4. LOKASI PENELITIAN 4.1.
Gambaran Umum Perairaran dan Kepulauan Wakatobi Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores, di
sebelah utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton, di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, di sebelah Timur oleh Laut Banda dan sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores. Wakatobi merupakan kependekan dari nama empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko (RPTNW, 2008: 1; RPJMD 2006-2011:6). Semula gugusan pulau ini dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi1, karena sejak dahulu penduduk di kepulauan ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi yang memasok kebutuhan rumah tangga dan alat-alat perang bagi kerajaan Buton dan sekitarnya (RPTNW, 2008: 1; RPJMD 2006-2011:6). Terbentuknya Kepulauan Wakatobi dimulai sejak jaman Tersier hingga akhir jaman Miosen. Pembentukan pulau-pulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik yang berlangsung sejak jaman dulu hingga sekarang. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Masing-masing pulau mempunyai luas yang berbeda-beda, Pulau Wangi-wangi (156,5 km2), Pulau Kaledupa (64,8 km2), Pulau Tomia (52,4 km2), dan Pulau Binongko (98,7 km2). Proses pembentukan atol, yaitu terjadi karena adanya penenggelaman dari lempeng dasar. Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang, antara lain Atol 1
Kepulauan Tukang Besi adalah istilah sebelum nama Kepulauan Wakatobi muncul. Nama Kepulauan Tukang Besi terjadi pada jaman Penjajahan Belanda-awal kemerdekaan RI, sampai sebelum dibubarkannya Kesultanan Buton (Schroll, 2003).
57
Kaledupa, Atol Kapota, Atol Tomia. Perairan Kepulauan Wakatobi berada pada wilayah “Coral Triangle” atau wilayah segitiga terumbu karang, yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia. Segitiga karang dunia terdapat di beberapa negara meliputi Philipina, Indonesia sampai kepulauan Solomon IndoPasifik Barat (RPTNW, 2008:10). 4.2.
Letak Geografis Kawasan Taman Nasional Wakatobi Secara geografis Kepulauan Wakatobi terletak antara 123o15’00’’–
124o45’00’’ Bujur Timur dan 05o15’00’’– 06o10’00’’ Lintang Selatan.
Atas
dasar hal tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998, Menteri Kehutanan melalui SK Menhut No. 393/Kpts-VI/1996 telah menunjuk Kepulauan Wakatobi beserta perairan laut di sekitarnya seluas 1,39 juta ha sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), yang kemudian ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002. Tujuan penunjukan Kepulauan Wakatobi sebagai taman nasional adalah untuk pelestarian keanekaragaman hayati (marine biodiversity conservation) sebagai perwakilan ekosistem wilayah ekologi perairan laut Banda-Flores (Banda Flores Marine Eco-region), serta untuk menunjang upaya perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries) bagi pemerintah daerah dan masyarakat di sekitar kawasan (RPTNW, 2008:1). Kepulauan Wakatobi mempunyai posisi sejajar miring ke arah timur laut, dilihat dari peta zonasi taman nasional, antara pulau terdapat selat yang menghubungkan antara Laut Banda di sebelah utara dan timur, sedangkan sebelah selatan dan barat adalah Laut Flores. Dalam kajian oseanografi selat tersebut merupakan selat fenomena tutup botol, yang menjadi penghubung aliran arus antara dua laut tersebut, sehingga arusnya deras disetiap selat-selat di Kepulauan Wakatobi. Hal ini dapat dirasakan gelombangnya setiap akan menyeberang dan melewati selat diantara pulau-pulau di Wakatobi2. 2
Hasil Wawancara dengan Sahri (30 Tahun), bahwa selat diantara pulau-pulau di gugus kepulauan Wakatobi berarus deras, dimana arus tersebut adalah arus dari Laut Banda menuju ke Laut Flores dengan melewati celah sempit diantara pulau.
58
Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 hektar. Di kompleks Pulau Wangi-wangi dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk Pulau Kaledupa dan Pulau Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada Pulau Tomia, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Karang Kaledupa merupakan atol yang terletak di sebalah barat Pulau Lentea, sebelah selatan Pulau Kaledupa dan Pulau Wangi-wangi serta memanjang kearah Tenggara dan Barat Laut dengan Panjang lebih kurang 49,26 km dan lebar 9,75 km. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi (RPTNW, 2008:11). 4.3.
Sejarah Kabupaten Wakatobi Sebelum Tahun 1960-an, orang yang tinggal di Kesultanan Buton, disebut
dengan orang Buton. Kesultanan Buton merupakan kepemerintahan kesultanan dengan sistem monarkhi kerajaan. Kesultanan Buton ini meliputi pulau-pulau utama Buton (Butuni atau Butung), Muna dan Kabaena, Kepulauan Tukang Besi serta dua daerah di bagian tenggara Pulau Sulawesi yaitu Pulau Rumbia dan Poleang (Schoorl, 2003:1, Hannan, 2010:26). Kepulauan Tukang Besi (atau yang sekarang di kenal dengan Kepulauan Wakatobi-saat ini), pada masa Kesultanan Buton (periode sebelum Tahun 1959), dikenal dengan pengelolaan wilayah barata (kerajaan bagian atau distrik) dan kadie (perkampungan atau distrik kecil). Kesultanan Buton memiliki 4 barata dan 72 kadie (Hannan, 2010:44). Kepulauan Tukang Besi (sekarang disebut dengan Kepulauan Wakatobi) pada masa kesultanan terdapat barata di Kepulauan Kaledupa, dengan daerah otonomi meliputi, Pulau Hoga, Pulau Darawa, Pulau Lentea dan Pulau Kaledupa itu sendiri, sedangkan tiga pulau besar lainnya merupakan wilayah kadie yang masuk dalam wilayah Barata Buton, seperti Pulau Wangi-Wangi, Pulau Tomia dan Pulau Binongko (Hannan, 2010: 46; Wawancara pribadi dengan nara sumber Hanan, 39 Tahun, 5 Mei 2012).
59
Kesultanan Buton pada Tahun 1960 dibubarkan dan terdapat dua kabupaten di dalam bekas wilayah kesultanan tersebut. Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Muna (yang meliputi wilayah Pulau Muna dan sebelah utara Pulau Buton) dan Kabupaten Buton, dimana wilayahnya merupakan bekas wilayah kesultanan Buton selain wilayah Kabupaten Muna (Schrool, 2003:1). Wakatobi pada awal pembubaran Kesultanan Buton masuk dalam wilayah Kabupaten Buton. Terdapat dua kecamatan di wilayah Kepulauan Wakatobi, yaitu Kecamatan Wangi-Wangi dan Kaledupa (Wandupa) dan Kecamatan Tomia dan Binongko (Tombino). Asal muasal nama Wakatobi merupakan gabungan dari dua kesebelasan sepak bola dua kecamatan, yang merupakan gabungan kecamatan Wandupa (Pulau Wangi-Wangi dan Kaledupa), Kecamatan Tobino (Pulau Tomia dan Pulau Binongko), sehingga dipakai menjadi singkatan ke empat pulau tersebut menjadi Wakatobi (Hanan, 2010:46). Perkembangan
administrasi
wilayah
Wakatobi
berkaitan
dengan
perkembangan desentralisasi di Indonesia pasca Orde Baru. Kabupaten Wakatobi mengalami pemekaran dari Kabupaten Buton yang dibentuk berdasarkan UU No. 29 tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten Bombana, Wakatobi, dan Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebelum Kabupaten Wakatobi dimekarkan dari Kabupaten Buton, Kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai taman nasional mempertegas aspek legalitas kawasan dan kepentingan efektifitas pengelolaan kawasan perairan di kepulauan Wakatobi, dengan terbentuknya Kabupaten Wakatobi seiring dengan perumusan keluasan areal taman nasional, dibentuklah sebuah kelembagaan Taman Nasional yang berfungsi sebagai institusi pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan. Luasannya adalah areal pelestarian yang meliputi keterwakilan ekosistem perairan laut dan keanekaragaman hayati. Upaya ini dilakukan untuk menjaminkan pengembangan perikanan berkelanjutan yang
memusatkan
pada
keterpaduan
antara
aspek
konservasi
dengan
pembangunan daerah serta kebutuhan ekonomi masyarakat di Kabupaten Wakatobi (RPTNW, 2008:1). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa di dalam wilayah daratan Kepulauan Wakatobi telah terdapat pemukiman penduduk beserta fasilitasfasilitas umum seperti kantor-kantor dinas, kecamatan, sekolah, rumah ibadah,
60
rumah peenduduk, daan lain-lainn, yang keb beradaannyya jauh sebbelum peneetapan kawasan tersebut t sebbagai tamann nasional. Bahkan bebberapa lahaan telah bersstatus sebagai lahhan milik atau a lahan addat (Hannan n, 5 Mei 2012). Wiilayah Kabbupaten Waakatobi terd diri dari 95,5 persen pperairan daan 4,5 persen darratan, yang mempunyai 8 kecamattan, diantaraanya: a. Kecamatan K B Binongko; Togo Binonngko; b. Kecamatan K c. Kecamatan K Tomia; d. Kecamatan K mur; Tomia Tim e. Kecamatan K Kaledupa; f. Kecamatan K Kaledupa Selatan; S g. Kecamatan K Wangi-Wanngi; h. Kecamatan K Wangi-Wanngi Selatan. Penyelengggaraan pem merintahan Kabupaten n Wakatobi secara resm mi dimulai pada tanggal 9 Januari 2004. Tuggas pokok Pemerintaah Daerah dalam raangka penyelengggaraan Peemerintahann Daerah sebagaimanna yang diamatkan oleh Undang–U Undang Noomor 22 Taahun 1999 jo j Undang--Undang N Nomor 32 Tahun T 2004 tentaang Pemerinntahan Daerrah dan mem mpunyai koomitmen unttuk mewuju udkan Visi Pem merintah Kaabupaten Wakatobi W sebagaiman s a tercantum m dalam Perda P Nomor 1 Tahun 2007 tentang Rencana R pembangunann Jangka M Menengah Daerah D (RPJMD) Kabupatenn Wakatobii 2006 – 2011 2 yaitu Terwujudnyya Surga Nyata N Bawah Laaut di Jantunng Segitiga Karang Du unia.
Peta letak Kepulauan K Waakatobi di segiitiga karang dunia d
Petaa akses transpport ke Waktob bi
Gam mbar peta 4.1. Peta Coral Triangle T Centeer dan akses trransport ke keepualuan Wak katobi
61
Gambar peta 4.2. Peta Kepulauan Wakatobi (Sumber; tourist agency, Kabupaten Wakatobi dalam presentasi Bupati, 2012)
Pada pertengahan 2009, jumlah penduduk Wakatobi adalah berjumlah 103.423 jiwa/orang dari yang sebelumnya di tahun 2008 berjumlah 101.475 jiwa/orang. Peningkatan yang cukup besar ini salah satunya dipengaruhi oleh perubahan status Wakatobi menjadi kabupaten tersendiri yang lepas dari Kabupaten Buton. Setelah terbentuknya kabupaten baru tentunya akan membawa konsekuensi dibutuhkannya tenaga-tenaga terampil terdidik untuk mengisi pospos pemerintahan yang jumlahnya lebih banyak daripada saat masih berstatus kecamatan di bawah Kabupaten Buton. Sedangkan penyebaran penduduk di Kabupaten Wakatobi tersebar dan bervariasi antar kecamatan. Tabel 4.1. Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Kecamatan 2010 Kecamatan Penduduk Rata-rata Pertumbuhan (%) 2000 2010 Binongko 8.839 8.385 (0,53) Togo Binongko 5.057 4.701 (0,73) Tomia 6.593 6.907 0,47 Tomia Timur 10.399 8.460 (2,04) Kaledupa 8.853 9.999 1,22 Kaledupa Selatan 6.552 6.644 0,14 Wangi-Wangi 19.021 23.362 2,08 Wangi-Wangi Selatan 24.658 24.537 (0,05) Jumlah 89.972 92.995 0,33 Sumber : Olahan Sensus Penduduk 2000-2010; Wakatobi Dalam Angka, 2011. Tabel 4.2. Persebaran Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Kecamatan 2000 dan 2010 Kecamatan Tahun 2000 Tahun 2010 Penduduk Persebaran Penduduk Persebaran Binongko 8.839 9,82 8.385 9,02 Togo Binongko 5.057 5,62 4.701 5,06 Tomia 6.593 7,33 6.907 7,43 Tomia Timur 10.399 11,56 8.460 9,10 Kaledupa 8.853 9,84 9.999 10,75 Kaledupa Selatan 6.552 7,28 6.644 7,14 Wangi-Wangi 19.021 21,14 23.362 25,12 Wangi-Wangi Selatan 24.658 27,41 24.537 26,39 Jumlah 89.972 100,00 92.995 100,00 Sumber : Olahan Sensus Penduduk 2000, 2010, Wakatobi Dalam Angka 2011.
62
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wakatobi (Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Tomia), Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara tepatnya di komunitas nelayan Bajo Mola di Pulau Wangi-Wangi dan komunitas nelayan Bajo Lamanggau serta komunitas Nelayan Anto Pulo di Kelurahan Tongano Barat Pulau Tomia. Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme seafood savers terjadi dalam tingkat komunitas nelayan dan tingkat eksportir yang beroperasi di Taman Nasional Wakatobi. Pemilihan tempat penelitian di Kepulauan Wakatobi melihat beberapa kriteria yaitu: 1). Taman Nasioal Wakatobi sebagai percontohan seafood savers yang diinisiasikan oleh WWF Indonesia, Capture Fisheries; 2). Kondisi perikanan dan tutupan terumbu karang di perairan TNW masih bagus (berdasarkan survey dari LIPI Tahun 1996), sehingga ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi; 3). Karena ada pegaturan kawasan konservasi, sehingga praktek perikanan tangkap yang merusak dapat ditekan serendah mungkin; 4). Memiliki kelembagaan pengaturan kawasan konservasi oleh Taman Nasional Wakatobi. Menurut Wakatobi Dalam Angka 2011, jumlah penduduk yang mendiami komunitas Bajo Mola (terdiri dari lima desa), Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dan Desa Lamanggau Kecamatan Tomia, serta Desa Tongano Barat Kecamatan Tomia Timur, adalah sebagai berikut: Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Bajo Mola Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Desa Laki-Laki Perempuan Total Mola Bahari 541 547 1088 Mola Nelayan Bakti 708 802 1510 Mola Samaturu 407 451 858 Mola Selatan 965 973 1938 Mola Utara 384 410 794 Sumber : Olahan Sensus Penduduk 2010. Wakatobi Dalam Angka 2011. Tabel 4.4. Jumlah Penduduk Desa Tongano Barat dan Bajo Lamanggau Kecamatan Tomia dan Tomia Timur Desa Laki-Laki Perempuan Total Tongano Barat 781 878 1659 Lamanggau 469 470 939 Sumber : Olahan Sensus Penduduk 2010 , Wakatobi Dalam Angka 2011.
4.4.
Gambaran Umum Komunitas Bajo Mola Desa Mola merupakan wilayah perkampungan Bajo terbesar di Wakatobi
yang berada di Pulau Wangi-Wangi. Pada awal perkembangan Bajo Mola, merupakan perpindahan dari Bajo Mantigola dari Pulau Kaledupa. Bajo Mola 63
menempati wilayah kekuasaan Sara (Adati) Mandati. Kekuasaan Sara Mandati terdapat dua pengaturan di dalamnya, yaitu secara Adati dan Hokumi. Adati adalah kekuasaan Sara yang diatur oleh pemimpin adat, pemimpin adat disini adalah kepala desa/kepala kampung. Sara Adati biasanya mengatur hal-ihwal mengenai hubungan kemasyarakatan, seperti pemberian lahan untuk komunitas Bajo dalam menempati tanah adat Mandati. Sedangkan Sara Hokumi adalah Sara yang kepemimpinannya diatur oleh Imam Desa. Imam Desa ini adalah tokoh agama yang diyakini masyarakat mempunyai kemampuan secara agama sehingga mempunyai peran dalam urusan hubungan individu dengan individu lainnya (muamalah) (Hannan, 5 Mei 2012). Perkembangan komunitas Bajo Mola, dari perkampungan menjadi desa dijelaskan dalam tabel dibawah ini sebagai berikut: Tabel 4.5. Periodisasi perkembangan masyarakat Bajo Mola. Periode 1957
1974 1977
Peristiwa perkembangan kemasyarakatan Bajo Mola Perpindahan suku Bajo datang dari Bajo Mantigola Kaledupa dan menetap di Sara Mandati, dan menjadi perkampungan Bajo Mola Perkampungan Bajo Mola menjadi Desa Mola Raya
Pemerkaran Desa Mola Raya menjadi Desa Mola Utara dan Desa Mola Selatan 2010 Sesuai dengan perkembangan otonomi daerah, Wilayah Wakatobi memekarkan diri menjadi Kabupaten pada Tahun 2003 dan terjadi populasi penduduk Mola sampai 11.000 jiwa, terjadi pemekaran menjadi 5 desa. Dengan pembagian, Desa Mola Utara, menajdi 2 desa, yaitu Desa Mola Utara dan Mola Bahari, sedangkan Desa Mola Selatan menjadi tiga desa, yaitu Desa Nelayan Bhakti, Desa Mola Selatan dan Desa Mola Samaturu. Sumber data: data primer hasil wawancara, April-Juni 2012.
Sumber data Wawancara, nelayan Bajo Mola, Kades Mola Selatan, Kades Mola Samaturu dan Pemangku Adat Bajo Mola Selatan; 2012 Wawancara tokoh masyarakat desa Mola Utara, wawancara nelayan Bajo Mola; 2012 Wawancara tokoh masyarakat; Kades Mola Selatan dan nelayan Bajo Mola; 2012 Wawancara tokoh masyarakat Mola Selatan, wawancara mantan Kades Mola Utara, wawancara nelayan Bajo Mola; 2012
Pemukiman Mola merupakan salah satu dari 21 desa dan atau kelurahan yang ada di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Jarak desa ini dari Ibukota Kecamatan adalah sekitar 0,5 km. Luas wilayahnya yakni 3,70 km² atau 1,80 % dari luas Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Lokasi desa ini terletak di wilayah 64
pantai dan bentuk desanya memanjang menyusuri pantai. Topografi wilayahnya hampir semua sama yaitu merupakan dataran rendah dengan ketinggian hanya 1-2 meter dari permukaan air laut (Laporan CRE Coremap, 2010). Seluruh lahannya terbentuk dari timbunan batu karang yang awal mulanya merupakan teluk laut dangkal dengan aliran arus yang tidak deras. Karena kebutuhan akan pemukiman sebagai akibat dari pertambahan jumlah penduduk, kemudian sedikit demi sedikit menimbun lahan laut dengan batu karang dan pasir yang pada akhirnya menjadi lahan yang dapat digunakan untuk pemukiman. Bentuk pemukiman dengan pemisahan parit di belakang dan depan rumah penduduk untuk memudahkan akses masyarakat dalam menggunakan perahunya (hanya bisa dilewati sampan/koli-koli (perahu kecil tanpa mesin, hanya dijalankan dengan dayung)) dan ada yang berukuran cukup besar (bisa dilalui bodi, perahu bermesin diesel Djiandong)). Sedangkan jalur daratnya berupa jalan kecil yang cukup bisa dilalui kendaraan roda dua. Kondisi perkampungannya tampak gersang dan padat dengan rumah penduduk yang rapat. Perkampungan Bajo Mola tidak mempunyai
tanaman
baik
di
daerah
pantainya
maupun
di
dalam
perkampungannya. Apabila ada angin kencang atau badai yang datang, pemukiman ini tidak memiliki pelindung dan potensial untuk merusak perumahan penduduk. Faktor utama yang menjadi hambatan di desa ini adalah sangat terbatas sarana air bersih, tidak adanya MCK, dan sarana kebersihan lainnya. Filosofi hidup Suku Bajo sebagai manusia perahu yang diberikan pada Suku Bajo dikarenakan kebiasaan mereka yang selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang memiliki potensi perikanan berlimpah. Menurut penuturan salah satu pemangku tokoh adat Bajo Mola (Udn Knsng, 1 Juni 2012), perpindahan orang Bajo dari daratan besar Buton terjadi ketika masa kesultanan Buton, sekitar Tahun 1930-an. Pada Awalnya, pasukan Bajo, sebagai pasukan kelas empat yang ditugaskan oleh Sultan Buton untuk menjaga kewilayahan Kesultanan Buton dari serangan kerajaan dari utara (Kerajaan Ternate dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya). Prajurit Bajo lama-kelamaan menetap di Pulau Kaledupa untuk daerah Wakatobi, karena Kaledupa merupakan Barata pada saat itu, yang merupakan kerajaan bagian dari Kesultanan Buton. Menurut penuturan orang-orang Kaledupa, karena di Kaledupa hidup pemimpin yang merupakan adik kandung
65
dari Sultan Buton yang memimpin pada waktu itu. Pada Tahun 1955-an terjadi pembrontakan DI/TII. Pasukan gerombolan DI/TII membajak kapal milik orang Bajo Mantigola untuk mengangkut dan merampok kapal lainnya. Pada saat merampok kapal milik orang daratan Kaledupa, orang daratan Kaledupa mengetahui dan kenal bahwa salah satu dari perampok tersebut orang Bajo Matigola, dan orang daratan Kaledupa berhasil selamat dari perampokan tersebut. Mulailah menjadi konflik ketika itu, bahwa orang Bajo Mantigola terlibat “gerombolan DI/TII”. Terjadi pengusiran dan pemusuhan besar-besaran pada saat itu, sehingga mereka di usir dari daratan Kaledupa. Pengusiran besar-besaran menyebabkan hampir seluruh masyarakat Bajo Mantigola berpindah menuju ke Pulau Wangi-Wangi. Tetapi sebagian masih menetap di Pulau Kaledupa. Bajo yang menetap di Kaledupa, sampai sekarang dikenal dengan Bajo Mantigola, dan Bajo yang pindah ke Wangi-Wangi dikenal sebagai Bajo Mola. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat (Udn Knsng, 1 Juni 2012), Suku Bajo memasuki Pulau Wangi-wangi sekitar tahun 1957 dan menempati wilayah Sara Mandati. Masyarakat Sara Mandati merupakan salah satu komunitas masyarakat adat di Pulau Wangi-Wangi (sekarang Kecamatan Wangi-Wangi Selatan) yang memiliki kelembagaan adat yang masih terbentuk dan terjaga sampai saat ini. Berdasarkan penjelasan dari tokoh adat Mandati, Suku Bajo yang diijinkan untuk menempati wilayah adat Mandati, diberi wilayah untuk menempati di bagian wilayah Kelurahan Mandati II. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, sekitar Tahun 1960-an banyak Suku Bajo dari tempat lain datang dan menetap di Pulau Wangi-Wangi, perpindahan suku Bajo ke Pulau Wangi-Wangi dikarenakan potensi perikanannya masih cukup melimpah. Seiring berjalannya waktu Suku Bajo Mola di Pulau Wangi-wangi semakin bertambah, dan juga karena ada program nasional tentang desanisasi sehingga pada tahun 1977 perkampungan Suku Bajo berubah menjadi pemerintahan desa dan dibentuklah desa Mola Raya. Pertambahan penduduk di Desa Mola Raya semakin padat. Pada tahun 1982 terbentuklah dua desa pemerintahan , yaitu Desa Mola Utara dan Desa Mola Selatan. Hingga saat ini jumlah penduduk Bajo di Mola mencapai 6.883 jiwa dan terdiri dari 1.846 kepala keluarga (BPS Wakatobi 2010). Kondisi ini menyebabkan Desa Mola pada Tahun 2010 terbagi menjadi lima desa
66
pemerintahan yaitu Desa Mola Selatan, Mola Utara, Mola Samaturu, Mola Bahari dan Mola Nelayan Bakti.
Gambar 4.3. Perumahan di Mola dari arah laut (kiri), dan kondisi pemukiman Mola(kanan).
4.5.
Gambaran Umum Komunitas Bajo Lamanggau dan Komunitas Nelayan Tongano Barat Kecamatan Tomia Komunitas Masyarkaat Lamanggau Desa Lamanggau terletak di Pulau Onemabaa yang merupakan salah satu dari 10 desa dan atau kelurahan yang ada di Kecamatan Tomia. Luas wilayah desa ini adalah 7 km² atau 14,86 % dari luas Kecamatan Tomia yang terbagi ke dalam tiga dusun yakni Dusun Ketapang, Dusun Lasoilo dan Dusun Dunia Baru. Jarak Desa Lamanggau dari pusat kecamatan yakni 5,8 km. Jumlah penduduk di desa ini telah mencapai 1.046 jiwa yang terdiri dari 530 jiwa laki-laki dan sisanya 516 adalah perempuan. Jumlah penduduk di desa ini sebesar 13,61 % dari total penduduk di Kecamatan Tomia (Laporan CRE Coremap, 2010). Sebagaimana pulau-pulau kecil di gugusan Kepaulaun Wakatobi, pulau Onemobaa merupakan bebatuan yang terapung di atas laut, yang jika dilihat dari topografinya, memiliki ketinggian di atas permukaan air kira-kira 2,5 meter, sebagian besar wilayah Desa Lamanggau adalah daratan perbukitan yang didominasi oleh bebatuan karang. Sementara dibagian bukit desa ini, warga memanfaatkan untuk berkebun ubi kayu dan jagung. Sedangkan keadaan dalam kampung pada umumnya merupakan bebatuan sementara dibagian pantai nampak timbunan batu yang dikumpulkan oleh Suku Bajo Lamanggau yang dulunya adalah daerah kawasan hutan mangrove. Desa Lamanggau merupakan wilayah perkampungan yang orang Tomia dengan orang Bajo Lamanggau hidup berdampingan. Desa Lamanggau terletak di
67
Pulau Onemabaa yang merupakan pulau terpisah dari Pulau induk Tomia. Awal pekembangan perkampungan menjadi desa di jelaskan dalam table 4.2. dibawah ini sebagai berikut: Tabel. 4.6. Periodisasi perkembangan masayarakat Bajo Lamanggau Periode Peristiwa perkembangan kemasyarakatan Lamanggau Sebelum dekade 1970an 1971
1975-1977
1975/1976
1996
2000-sekarang
Terjadi perpindahan masyarakat dari daratan Pulau Tomia menuju ke Pulau Onembaa. Mereka pindah ke Pulau Onemabaa karena kegiatan pertanian lahan kering dan mencari ikan. Awalnya mereka tinggal di tengah Pulau Onemabaa. Perpindahan Suku Bajo dari Mola, dengan menggunakan Sope-sope pakai layar dengan tujuan mencari ikan. Ikan yang di dapat di jual ke masyarakat Tomia. Awal mereka hanya untuk bermalam, ketika mereka melaut. Hal ini, menggunakan ijin kepada masyarakat Lamanggau setempat. Awal kedatangan mereka hanya 2-3 keluarga tinggal di rumah penduduk Lamanggau, kemudian diikuti 4 KK lama kelamaan mereka banyak berdatangan dan mendirikan pemukiman di Desa Lamanggau. Akhirnya mendapat ijin untuk membuat rumah di daerah mangrove. Atas anjuran dari pejabat Danramil pada waktu itu, akhirnya mereka pindah ke daerah bawah, dengan memanfaatkan lahan mangrove untuk di jadikan pemukiman. Alasan mereka untuk pindah ke bawah adalah untuk memudahkan dalam pendataan penduduk. Pengusaha asal Swiss, Mr. Lorentz, mendirikan Wakatobi Dive Resort, yang merupakan jasa pariwisata dengan menjual obyek site keindahan bawah laut Desa Lamanggau menempati lokasi seperti sekarang. Kondisi antara masyarakat Lamanggau daratan dengan Bajo Lamanggau menyatu, akan tetapi tetap Bajo Lamanggau membangun pemukiman mereka masih diatas jeramba, walaupun sudah sambung menjadi satu dalam penghubung akses jalan. Sekarang di Lamanggau terdapat 78 KK orang Bajo.
Sumber data Wawancara dengan Kades Lamanggau 21 Mei 2012 Wawancara tokoh Bajo Lamanggau, tokoh Desa Lamanggau dan Kades Lamanggau; 21 Mei 2012
Wawancara Kades Lamanggau, dan tokoh masyarakat Desa Lamanggau; 21 Mei 2012 Wawancara Kades Lamanggau, tokoh masayrakat Desa Lamanggau dan observasi langsung dilapanagan; 21 Mei 2012.
Sumber data: data primer hasil wawancara, Mei 2012.
Gambar 4.4. Desa Lamanggau dari laut (kiri), dan pemukiman penduduk Bajo Lamanggau (kanan)
Komunitas “Anto Pulo” Kelurahan Tongano Barat Kelurahan Tongano Barat merupakan salah satu kelurahan dari 9 desa dan atau kelurahan yang ada di Kecamatan Tomia Timur. Luas wilayah desa ini
68
adalah 5 km² atau 7,36 % dari luas wilayah Kecamatan Tomia Timur. Batas wilayah desa yakni sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Bahari, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tongano Timur, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Banda dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Patipelong. Wilayah administrasi desa ini terbagi ke tiga lingkungan yakni Lingkungan Longa, Lingkungan Bada dan Lingkungan Lawanata. Jumlah penduduk di desa ini telah mencapai 1.840 jiwa yang terdiri dari 871 jiwa laki-laki dan sisanya 969 adalah perempuan. Jumlah penduduk di desa ini sebesar 19,61 % dari total penduduk di Kecamatan Tomia Timur (Laporan CRE Coremap, 2010). Keadaan
topografi
desa yakni sebagian adalah wilayah pesisir pantai dan sebagian besar merupakan wilayah perbukitan dengan struktur bebatuan yang keras. Bila dilihat dari struktur batuannya yang berpori seperti halnya bentuk coralit karang pada umumnya maka kemungkinan awalnya merupakan pulau yang terbentuk dari proses pergesaran lapisan bumi. Adapun bentuk pantai di desa ini adalah pantai berbatu. Gambaran umum tentang masyarakat Kelurahan Tongano Barat, adalah sebagian besar mereka memanfaatkan hasil laut. Hal ini dikarenakan kondisi kesuburan tanah di Pulau Tomia yang tandus. Sebagaian besar mereka mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan, dan pekerjaan sampingan adaah pekerjaan sehari-hari yang dibutuhkan masyarakat, seperti berkebun, menjadi tukang kayu atau tukang bangunan dan berdagang. Sebelum mereka mengenal komoditas ikan konsumsi karang hidup, mereka adalah pencari teripang. Sehingga kelompok nelayan di Tongano Barat meggunakan istilah “anto pulo” yang diambil dari nama jalan di mana digunakan nelayan-nelayan tradisional pendahulunya sebagai jalan untuk melaut mencari teripang. Berikut perkembangan kelompok nelayan “anto pulo” dari waktu ke waktu:
69
Tabell 4.7. Periodisaasi perkembanngan masyaraakat nelayan “A Anto Pulo”. No. Periode Perkem mbangan sejarrah 1. < 1990-an Nelayaan teripang traadisonal, menanngkap ikan dassar sebagai komodditas subsisten n atau hanya untuk keperluan lok kal saja 2. 1990-an Nelayaan mencari ikan dasar untuk di jual ke peru usahaan eksporrtir 3.
Anto pulo p diresmikaan di bawah bimbinngan Komunto o (komunitas Nelayaan Tomia)
2007
Keterangann Perusahaann Ikan konsumsi iikarang hidup beluum masuk ke Tomia Feri dan E Ence Rahman sebagai piooneer perusahaann yang membeli ikkan konsumsi kkarang hidup Sudah terjaadi kesadaran masyarakat mbentuk untuk mem organisasi nelayan
p hasil wawancara w teraarah dengan kelompok k “antto pulo”, 25 Juuni 2012. Sumbber data: data primer
Gambar 4.5. Tonganoo Barat dari lauut (kanan), daan jalan anto pulo p (kiri).
(Bajo Mola)
(Lmg-Tonganno) Gambar peeta 4. 6. Lokaasi Penelitian Penelitian, P tiga site komunittas nelayan (ddua pulau).
70
Sebagaimana tertulis di atas bahwa wilayah Kabupaten Wakatobi terdiri dari wilayah daratan dan lautan yang mana wilayah lautnya mencapai 95,5% dari total luas wilayah kabupaten dengan panjang garis pantai 251,96 km maka potensi wilayahnya yang paling besar adalah potensi wilayah lautnya. Adapun sumberdaya pesisir dan laut yang telah diketahui dan banyak dikelola oleh masyarakat dan pemerintah Wakatobi adalah penangkapan ikan, budidaya laut dan terumbu karang. Terumbu karang menjadi salah satu fokus perhatian tersendiri karena luasannya yang begitu besar dan menjadi aspek yang penting bagi keberlanjutan perekonomian sebagian masyarakat Kabupaten Wakatobi khususnya mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Kabupaten Wakatobi memiliki 90.000 ha terumbu karang yang tersebar di semua wilayah kecamatan di Kabupaten Wakatobi dan sebuah atol tunggal sepanjang 48 km yang merupakan atol terpanjang di dunia yakni Karang Kaledupa. Di wilayah perairan kepulauan wakatobi juga terdapat 750 jenis karang dari 850 spesies karang yang ada di dunia dan 900 jenis ikan (Laporan CRE Coremap 2010). Kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut yang semakin tinggi dan dilakukan dengan cara-cara eksploitatif mengancam keberlanjutan ekologi perairan Wakatobi menjadi menurun. Bagi masyarakat Bajo khususnya dan masyarakat Wakatobi umumnya, ekosistem perairan Wakatobi merupakan aset terbesar untuk ekonomi mereka. Mengingat pentingnya perairan Wakatobi sebagai layanan ekologi dan ekonomi untuk masa mendatang maka penetapan kawasan tersebut menjadi kawasan taman nasional adalah salah satu kebijakan pusat (negara) yang mengarah pada konservasi dan keberlanjutan eksosistem untuk kebutuhan masyarakat. Keberadaan taman nasional diperuntukan untuk melindungi kondisi ekosistem perairan Wakatobi yang kegiatan pemanfaatannya dilakukan dengan konsep keberlanjutan. Akan tetapi konsep keberlanjutan sumberdaya perarian Wakatobi, masih jauh dari ideal konservasi karena mendapat tantangan dan hambatan kedepan, terlihat kondisi di lapangan yang masih terjadi pemanfataan sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat Wakatobi dengan cara-cara yang eksploitatif, seperti: kegiatan-kegiatan seperti pengambilan karang, pasir dan jenis satwa yang dilindungi dilakukan dengan sangat bebas dan terbuka.
71
Salah satu ancaman langsung degradasi terumbu karang adalah pada pemanfaatan langsung tambang batu karang oleh masyarakat selama ini. Pemanfaatan batu terumbu karang sebagai bahan untuk pondasi rumah, jalan maupun penutup pantai untuk daratan. Sedangkan pemukiman penduduk yang tidak berada di tepian pantai telah menggunakan batu gunung sebagai bahan bangunan. Selain pemanfaatan terumbu karang, juga terjadi pemanfaatan pasir laut yang digunakan sebagai bahan bangunan. Penggunaan batu karang dan pasir laut untuk bangunan disebabkan sulitnya mendapatkan batuan gunung dan pasir gunung sebagai bahan bangunan. Selain penggunaan langsung batu karang oleh masyarakat, kerusakan terumbu karang juga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bahan peledak (bom) dan penggunaan bahan kimia sianida (potassium cyanide). Akan tetapi setelah banyaknya upaya penyadaran dan adanya kegiatan-kegiatan pelestarian terumbu karang, penggunaan alat yang merusak tersebut telah jauh berkurang, meskipun masih ada sebagian nelayan yang melakukannya. Hal ini senada dengan apa yang dituturkan oleh Kmrdn (50 Tahun, 27 Maret 2012), masyarakat Bajo Mola yang berprofesi sebagai nelayan ikan konsumsi karang hidup (ikan dasar, untuk sebutan masyarakat lokal), namun sudah berhenti dan sekarang berprofesi sebagai penambang pasir: Kotak 4.1. Gambaran mata pencaharian nelayan dan kendala di Wakatobi Menurut penuturan Pak Kmrdn 50 tahun, bahwa sekarang mencari ikan menjadi sangat sulit. Karena ikan dasar (karang) sudah semakin sedikit. Ikan yang sering ditangkapi adalah ikan jenis kerapu, sunu dan ada juga napoleon. Pekerjaan dulu adalah sebagai nelayan ikan dasar saya sekarang adalah menambang pasir laut yang digunakan untuk bahan bangunan. Pasir laut dijual per perahu/satu bak pick up dengan harga 50.000. Awalnya dilarang oleh pemerintah dan Balai Taman Nasional, tetapi karena untuk keperluan bangunan, akhirnya di perbolehkan hanya yang disekitar pulau saja. Artinya bukan di pantai tetapi di sekitar gugusan pasir yang dekat dengan pemukiman Bajo. Pelarangan pengambilan pasir adalah yang masuk dalam zonasi konservasi TN Wakatobi dan masuk dalam wilayah laut milik desa lain yang mempunyai wilayah laut. Peraturan tentang zonasi menurut penuturan Pak Kmrdn dalah hanya mempersulit rakyat. Artinya, semakin susah mencari ikan. Himbauan dari Pak Bupati pun kadang tidak pas dengan pelarangan ikan yang mau bertelur itu ditangkap. Tetapi justru ikan karang bisa di pancing ketika pas mau bertelur karena mengumpul di karang. Untuk saat ini masih ada beberapa nelayan yang masih menggunakan bom dan racun, dengan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Terhadap pengawasan zonasi konservasi yang ditetapkan oleh TN nasional adalah kurangnya pengawasan. Artinya tidak masyarakat tidak dilibatkan untuk memonitor tersebut. Hanya dijalankan oleh Polairud dan TNI AL. Mereka juga tidak difasilitasi oleh pemda. Setiap kali nelayan Mola melapor sering tidak ditanggapi. Pelaku pengebom dan pembius kebanyakan dari Bajo Kendari. Nelayan Mola tidak bisa berbuat apapun. Disini sebetulnya penjualan ikan Napoleon masih berlangsung. Tetapi dengan diam-diam. Mereka dengan bekerja sama dengan aparat Polisi dan TNI dalam menangkap napoleon untuk dijual ke Bali. Salah satunya adalah Rtn. Rtn sebagai kordinator menjual Napoleon ke Bali. Bali ke
72
eksportir Apng dan diekspor ke Hong Kong. Nelayan disini menjual Napoleon dengan harga sekitar Rp.300.000,-/kg kemudian oleh Rtn di jual ke Bali dengan harga Rp. 800 000.- per kg. Nelayan Mola menjadi banyak yang kaya terjadi pada saat eksploitasi penyu hijau pada akhir dekade 1980-an sampai awal 1990-an. Penyu tersebut dijual ke Bali untuk upacara pernikahan Adat Hindu dan ada yang dijual ke Hong Kong melalui AB, penjual dari Pangkal Pinang. Mr. Lee juga dari singapura ikut mengambil penyu hijau dan juga ikut meramaikan adanya pengekploitasi kerapu (ikan karang). Pada awal perdagangan ikan dasar, awalnya ikan dasar tidak ada harganya. Ikan kerapu hitam dan merah (Sai Sing dan Tong Sing) harganya hanya 2500 per kg dan di jual mati. ikan kerapu tiger harganya 5000. Tetapi setelah masuknya pembeli dari luar termasuk masuknya pembeli dari Pangkal Pinang, Singapura dan Hong Kong menjadikan ikan kerapu tersbeut bernilai lebih. Ikan kerapu di jual dari nelayan dalam keadaan hidup adalah Rp. 40.000,/kg dan di jual ke pengepul sekitar Rp.80.000,- /kg. Pak Kmrddn. adalah penggepul ikan dasar yang di jual ke Abu Bakar. Ikan saising dan tongsing di beli dengan harga Rp.45000,-/kg sampai Rp.50000,-/kg kemudian di jual dengan harga Rp. 80.000,- sampai Rp. 90.000,-/kg. ini terjadi pada sekitar tahun 1995-2007 an. Napoleon kadang di beli dari nelayan dengan harga Rp. 100.000,-/per ekor, kemudian di jual ke kordinator dengan harga Rp.200.000-Rp. 300.000,-. Termahal adalah Penyu Hijau (Penyu Laut). Bisa di beli dari nelayan dengan harga Rp. 1-2 juta per ekor tergantung bobotnya, kemudian bisa di jual di bali sekitar Rp.4-5 juta per ekor. Sampai saat ini pun masih sering terjadi selundupan Napoleon dan Penyu Hijau. Tetapi secara diam-diam. Penyelundup bekerjasama dengan Polisi,dan TNI AL, dan tidak jarang dengan petugas Jagawana itu sendiri. Bahan racun untuk menangkap Napoleon, potassium didatangkan dari Bali dan Malaysia. Memang ada yang menyuplai termasuk para kordinator tersebut. Jenis potassium yang paling berbahaya adalah potassium yang bentuknya seperti kamper (kapur barus). Pemahaman akan pasir menurut pemaham Pak Kmrdn, pasir laut itu tumbuh, setiap kali di ambil besoknya ada lagi. Begitupun karang, ada terus. Pak Kmrdn berpendapat bahwa, selama daun jatuh dari pohonnya, selama itu masih ada ikan. Selama ada laut selama itu pula ada ikan, dan selama pasir dan karang dibutuhkan oleh manusia, maka tidak akan habis. Kebutuhan akan air bersih masih beli, sebulan bisa menyetor antara Rp.30.000,- sampai Rp.50.000,- tergantung pemakian dari PDAM. Dan untuk pemasangan instalasi sekitar Rp. 1,5 juta.
Gambar 4.7. Pengambilan batu karang oleh penduduk untuk bahan bangunan (Mola, 2012).
Mata pencaharian masyarakat Bajo dan Wakatobi yang berprofesi sebagai nelayan sangat beragam. Keberagaman tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan dan desakan ekonomi dalam hidupnya. Kebutuhan akan pembangunan wilayah pemekaran baru Kabupaten Wakatobi tak lepas dari pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan yang tak sedikit berdampak pada eksploitasi sumberdaya yang nantinya dirasa akan menuai kerusakan sumberdaya perairan Wakatobi. Berdasar dari hasil survey penelitian, dibagi beberapa jenis nelayan yang terdapat
73
di Wakatobi yang diambil dari ketiga lokasi penelitian. Kategori jenis nelayan dijelaskan dalam tabel di bawah ini: Tabel 4.8. Kategori Jenis Nelayan di Perairan Wakatobi (Hasil observasi peneliti, 2012) Kategori Jenis Nelayan Nelayan Berdasarkan Nelayan ikan Nelayan ikan Nelayan Nelayan jenis produksi pelagis (Tuna, dasar (kerapu, budidaya pemanfaat Ikan Babi, suni, napoleon, (nelayan sumberdaya Cakalang, dll) gurita, teripang, pembudidaya lainnya udang-udangan) rumput laut) (penambang pasir, penambang batu karang) Berdasarkan alat Rumpon, kapal Pancing kedo, Lahan milik Linggis, sekop, tangkap pelingkar, pancing tonda, sendiri atau sedot mesin pancing laying bubu, lamba, menyewa dan pancing jarring biasa, model gurita pembius dan pembom Berdasarkan Modal besar, Perahu bodi dan Berdasarkan Mesin sedot, kemampuan dengan kapal sampan kaloko ukuran barisan. seperti alat modal dan pelingkar. Modal (koli-koli) Melebihi dua penyedot pasir teknologi kecil dengan baris ikatan yang ditarik perahu bodi rumput laut dengan mesin sudah modal bear disel, dan alat tradisonal dengan linggis dan skop Berdasarkan Bos, pengepulKordinator besar, Lahan milik Bos dan struktur penarik investor, kordinator kecil, sendiri da penambang kemampuan dan nelayan dan nelayan menyewa modal Berdasarkan Sama (Bajo), Sama (Bajo), Bagai (selain Sama (Bajo)etnis Bagai (selain Bagai (selain Bajo) penambang, Bajo) Bajo) Bagai (selain Bajo)-bos. Sumber: Olahan data primer, hasil pengamatan dan wawancara (April-Juni 2012).
Hasil penelitian menunjukkan, nelayan diketahui berdasar empat kategori, yaitu: 1). Berdasar jenis produksi; 2). Berdasar pada kepemilikan alat produksi (teknologi); 3). Berdasarkan pada alat tangkap; 4). Berdasar pada kekuatan modal dan teknologi serta, 5). Berdasar pada etnis (suku). Namun secara umum kategori nelayan dibedakan berdasarkan oleh sarana produksi alat tangkap yang dimiliki. Berdasarkan data statistik dari DKP Wakatobi, jumlah sarana penangkap ikan di Wakatobi tahun 2009 khususnya Kecamatan Wangi-Wangi Selatan mencapai 386 unit yang terdiri dari 73 unit motor tempel, 184 unit perahu tanpa motor, 114 unit kapal motor <5 GT, 15 unit kapal motor >5 GT dan Kecamatan Tomia mencapai 20 unit yang terdiri dari 26 unit motor tempel, 76 unit perahu tanpa motor, 91 unit kapal motor <5 GT, 9 unit kapal motor >5 GT.
74
Tabel 4.9. Jumlah Sarana Penangkap Ikan Menurut Jenis dan Kecamatan 2009 ( Unit ) Kecamatan Motor Perahu Kapal Kapal Tempel Tanpa Motor Motor (< 5 Motor (≥ 5 GT) GT) Wangi-Wangi 73 184 114 15 Selatan Tomia 26 76 91 9 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Wakatobi, 2009. BPS Kab.Wakatobi, 2009.
Berikutnya, jumlah alat penangkap ikan juga sudah mencapai 967 unit yang terdiri dari 8 unit pukat cincin , 349 unit jaring insan, 504 unit pancing, 54 unit perangkap, dan 50 unit alat penangkap lainnya. Tabel 4.10. Jumlah Alat Penangkap Ikan Menurut Jenis dan Kecamatan 2009 (Unit) Kecamatan Pukat Pukat Jaring Jaring Pancing Perangkap Lainnya Kantong Cincin Insang Cincin Wangi-Wangi 4 229 464 22 20 Selatan Tomia 4 120 42 32 30 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Wakatobi, 2009. BPS Kab.Wakatobi, 2009.
Sektor perikanan merupakan sektor unggulan sebagai pemasok PDRB Kabupaten Wakatobi, sedangkan sektor lainnya berupa sektor perdagangan, hotel restoran, serta sektor jasa-jasa adalah sektor-sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB Wakatobi. Kontribusi ketiga sektor ini dalam PDRB mencapai 80,7%. Distribusi peranan sektoral terhadap perekonomian berurutan menurut nilai tambah adalah sektor perikanan (45,47 %); sektor perdagangan hotel dan restoran (18,77%); sektor jasa-jasa (16,43%); sektor keuangan (5,86%); sektor bangunan (4,64%); sektor penggalian (3,07%); sektor industri pengolahan (2,84%); sektor pengangkutan dan komunikasi (2,15%); sektor listrik dan air bersih (0,77%). Pada tahun 2006, kontribusi sektor pertanian dalam PDRB mencapai 51,70%. Namun demikian, peranan sektor perikanan tampaknya dalam jangka pendek belum akan dapat digeser oleh sektor lain dalam sumbangsihnya terhadap PDRB Wakatobi. Hal ini disebabkan peranan sektor lain masih jauh dibawah sektor pertanian (perikanan) (lihat tabel berikut).
75
Tabel 4.11. Peranan Sektor Ekonomi Terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku 2006 – 2009 (dalam %). No. LAPANGAN USAHA 2006 2007 2008 2009 1. Pertanian (Perikanan) 51,70 49,32 46,88 45,48 2. Pertambangan dan Penggalian 2,81 2,76 3,29 3,07 3. Industri Pengolahan 2,81 2,94 2,92 2,81 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0,85 0,84 0,77 0,77 5. Konstruksi/Bangunan 3,60 3,80 4,31 4,64 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 13,67 15,26 16,53 18,78 7. Pengangkutan dan Komunikasi 2,15 2,33 2,19 2,15 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 6,62 6,42 6,52 5,86 9. Jasa - jasa 15,79 16,32 16,57 16,44 Jumlah 100 100 100 100 Sumber: Wakatobi Dalam Angka, 2011 Tabel 4.12. Perkembangan Subsektor dengan Pertumbuhan Nilai Tambah di atas Pertumbuhan Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006-2009 (dalam %). No. Sub Sektoral 2006 2007 2008 2009 1. Pertanian 5,4 9,06 18,18 63,20 2. Perdagangan Besar dan Eceran 2,41 10,7 11,06 29,21 3. Hotel 11,5 12,2 12,75 50,56 4. Restoran 5,13 3,74 3,85 45,91 5. Pos dan Telekomunikasi 16,96 7,46 11,04 35,29 6. Hiburan dan Rekreasi 7,65 17,86 13,6 59,85 PDRB 6,04 6,07 7,21 13,67 Sumber: Wakatobi Dalam Angka, 2011
Gambar pendapatan rumah tangga nelayan juga bervariasi menurut lokasi penelitian dilakukannya survey pemantauan kondisi sosial ekonomi. Hasil survey bila dilihat berdasarkan lokasi survey di tiga lokasi penelitian, rendahnya pendapatan nelayan di ketiga lokasi penelitian (seperti yang akan diuraikan secara terinci dengan pendapatan rumah tangga nelayan yang diwawancarai peneliti (2012) pada selanjutnya dalam komodifikasi ikan konsumsi karang hidup, disebabkan oleh karena umumnya mata pencaharian masyarakat di desa tersebut berprofesi sebagai nelayan. Produksi perikanan tangkap mengalami penurunan di ketiga lokasi penelitian tersebut. Hal ini disebabkan karena kondisi alam terutama cuaca sudah tidak menentu dalam tiga tahun terakhir, kondisi gelombang dan ombak yang cukup besar dengan armada yang tidak memadai, banyaknya nelayan yang memulai mencari ikan tangkap dan menurut masyarakat terjadinya kondisi penurunan jumlah ikan dasar di karang sehingga hasilnya pun sulit untuk diprediksi untuk 3 tahun terakhir. Berdasarkan wawancara dan survey sosial-ekonomi, secara umum tingkat pendapatan masyarakat di tiga lokasi dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor internal, eksternal dan struktural. Selain ketiga faktor tersebut juga menjadi
76
perhatian penting adalah pemasaran hasil-hasil laut3. Selanjutnya akan dibahas tersendiri sebagai berikut : Pertama, aspek internal bersumber dari nelayan itu sendiri. Dalam hal ini modal yang dimiliki oleh nelayan sangat terbatas. Oleh karenanya akan berimplikasi pada aset kepemilikan dalam hal melakukan penangkapan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia. Aset dimaksud yaitu kepemilikan armada tangkap seperti perahu dan peralatan tangkap yang digunakan. Faktor internal lainnya adalah ketergantungan nelayan dalam usahanya memiliki modal. Beberapa rumah tangga memiliki kebiasaan meminjam modal kepada pemilik modal (ke pengepul/kordinator) yang lebih besar atau ke bank (simpan pinjam) harian. Kondisi ini tanpa disadari oleh masyarakat akan berdampak terhadap kesulitan perekonomian karena selain untuk memenuhi kebutuhannya juga berusaha mengembalikan modal pinjaman tersebut dengan bunga yang cukup tinggi. Faktor internal lainnya terdapat pada, kebutuhan akan BBM sebagai modal untuk melaut, dan tidak adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagai tempat pasar ikan. Mahalnya BBM di Wakatobi, menjadikan kebutuhan BBM untuk nelayan masih mengalami hambatan dan minimnya distribusi BBM. Belum tersedianya SPBU membuat kelangkaan bahan bakar terjadi, sehingga nelayan harus membayar mahal untuk memenuhi kebutuhan melaut. Saat ini baru ada satu APMS (Agen pengisian Minyak dan Solar) yang membuka penjualan dari jam 8 pagi sampai 10 atau 11 siang. Tidak adanya TPI membuat masyarakat menjual ikannya ke pasar tradisional milik pemerintah ataupun milik swasta. Di Pulau Wangi-Wangi masih ada pasar milik perorangan. Untuk setiap tempat penjualan, membayar satu hari Rp. 1000,- baik di pasar pemerintah ataupun pasar swasta. kondisi eksternal menjadi penghalang untuk masyarakat setempat mempunyai penghasilan yang layak karena hasil tangkapan yang tidak menentu dan kondisi ekologi yang semakin langka.
3
Pembagian ketiga faktor dan satu faktor pemasaran produk perikanan yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga masyarakat nelayan Wakatobi, merunut data dan laporan dari hasil laporan CRE Coremap, 2009
77
Faktor eksternal lebih banyak dipengaruhi oleh faktor alam yaitu terkait langsung dengan musim/waktu penangkapan. Nelayan mengurangi frekuensi penangkapan pada musim-musim tertentu khususnya pada musim timur di manauntuk wilayah Kabupaten Wakatobi terjadi gelombang kuat, dan adanya air putih (menurut mereka air tersebut menjadikan ikan karang menjadi berpenyakit dan dapat juga merusak budidaya rumput laut). Air putih adalah blooming ubur-ubur karena musim reproduksinya4. Faktor lain disebabkan pula oleh karena armada tangkap yang memiliki teknologi terbatas apabila berhadapan dengan kondisi gelombang yang cukup besar. Selain faktor tersebut, faktor eksternal lainnya juga sangat dipengaruhi oleh kehadiran nelayan luar yang dilengkapi dengan armada dan teknologi penangkapan yang lebih modern dibanding nelayan lokal. Apalagi saat musim gelombang kuat, di mana nelayan lokal tidak mampu untuk melaut (melakukan penangkapan) maka kesempatan bagi nelayan luar (asing) melakukan ekploitasi besar-besaran di wilayah perairan yang tidak dapat dijangkau sendiri oleh nelayan lokal. Sebaliknya pada musim gelombang lemah disaat frekuensi nelayan meningkat untuk melakukan penangkapan fenomena lain yang dihadapi oleh masyarakat pesisir (nelayan) yaitu terjadi penurunan harga-harga dari hasil tangkapan terjadi. Tabel 4.13. Pembagian musim penangkapan ikan konsumsi karang hidup yang dibedakan menjadi dua musim, musim timur dan musim barat. Musim
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sept
Okt
Musim Barat Musim Timur Sumber data: hasil wawacara dengan nelayan ikan dasar (ikan konsumsi karang hidup) 2012.
Faktor struktural lebih banyak terkait dengan dukungan kebijakan dan pengelolaan dibidang kelautan dan perikanan khususnya pengelolaan sumberdaya laut. Kebijakan yang ada terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut dirasakan 4 Blooming ubur-ubur adalah musim dimana ubur-ubur mengalami reproduksi, biasanya terjadi di bulan Juni-Agustus. Menurut penuturan Pak Purnomo, bahwa air putih ini disebabkan adanya reproduksi ubur-ubur sehingga air laut terlihat putih. Pada bulan reproduksi ubur-ubur menjadikan penyakit untuk ikan konsumsi karang hidup. Menurut penuturan nelayan pada bulan tersebut dikenal sebagai bulan paceklik.
78
masih lemah dan belum berpihak dan pro kepada masyarakat khususnya nelayan. Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan, masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa konsep pengelolaan konservasi yang sedang diterapkan di daerah Wakatobi belum berpihak kepada mereka. Salah satunya adalah penerapan perizinan bagi kapal-kapal penangkap juga banyak dilanggar oleh pemilik kapal seperti apa yang menjadi standar yang ditetapkan oleh pemerintah seperti SIPI, SIUP, SIKPI dan Penetapan Harga Dasar Ikan. Penerapan peraturan daerah kerap kali dilanggar oleh oknum-oknum tertentu dan tidak dilakukan tindakan apapun. Sebaliknya bila masyarakat melakukan pelanggaran justru ditindaklanjuti lebih cepat dan di proses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pada dasarnya masyarakat telah memahami kondisi demikian namum karena adanya beberapa kejadian yang dilakukan oknum-oknum tersebut dan dilihat langsung oleh masyarakat biasa memaksa masyarakat dapat melakukan hal yang sama. Secara keseluruhan masalah-masalah tersebut masih terbatas pada kurangnya sosialisasi dalam hal penerapan peraturan seperti apa yang ditetapkan oleh pemerintah maupun institusi yang terkait. Kesadaran semua lapisan masyarakat baik pemerintah, pelaku dunia usaha dan nelayan perlu dihidupkan dalam kebersamaan sebagai bentuk sistem pengelolaan sumberdaya kawasan yang integral. Faktor lainnya yang tidak bisa diabaikan yaitu pemasaran hasil-hasil laut dan hasil produksi lainnya yang bersumber dari sektor lainnya yang diperoleh dan diproduksi oleh masyarakat. Fenomena ini terlihat ketika pada waktu-waktu tertentu beberapa hasil tangkapan cukup melimpah sehingga hasil-hasil tangkapan yang diperoleh dijual cukup murah di pasaran sekalipun tangkapan tersebut memiliki nilai ekonomi cukup tinggi dan bernilai mahal di tempat lain. Namun sebaliknya juga bisa terjadi bahwasanya hasil tangkapan akan mahal di pasaran di waktu-waktu tertentu pula, namun hal ini biasanya tidak berlangsung lama. Selain itu beberapa hasil tangkapan yang dipasarkan juga banyak terdapat beberapa hasil laut yang semestinya dilarang untuk diambil seperti Napoleon, Kima, Kepiting Kanari, Penyu Hijau dan telurnya masih banyak dikonsumsi oleh masyarakat Wakatobi. Untuk itu mengenai kejadian ini sangat diperlukan pemahaman yang
79
mendalam dan sosialisasi yang tidak henti-hentinya demi penyelamatan terumbu karang dan stok sumberdaya perikanan di perairan Kabupaten Wakatobi.
80