Shaummil Hadi- RARE-Pride Cohort 3- Bogor 22 Oktober 2008
Ringkasan Lokasi Nama Lokasi Nama MK Letak
Negara Provinsi Kabupaten Kecamatan Kawasan Posisi Koordinat
: INDONESIA : ACEH : Pidie : Geumpang : GEUMPANG : Timur 96° 8’,54” Utara 4° 50’ ,012’’
Deskripsi
Kawasan Hutan Geumpang berada dalam wilayah kecamatan Geumpang yang terletak di Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Secara geografis terletak pada koordinat 04º52’37 Lintang Utara dan 095º15’24 Bujur Timur. Letaknya berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Pidie Jaya di sebelah Utara. Populasi penduduk di Kecamatan Geumpang berjumlah 4931 jiwa, mereka tinggal dalam satu wilayah pemukiman yang tersebar dalam 5 wilayah administratif desa/ gampong. Tipe habitat umumnya di dominasi oleh hutan primer dan hutan sekunder dan lahan pertanian masyarakat. Luas tutupan kawasan hutan yang melingkupi kawasan ini (Geumpang, Mane, dan Tangse) berjumlah 108.593 Ha. Kawasan hutan Geumpang termasuk dalam campuran antara kawasan hutan lindung, hutan alam, dan hutan produksi terbatas. Beberapa IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) skala kecil pernah beroperasi di kawasan ini.
Kondisi Lingkungan Kabupaten Pidie Iklim Kabupaten Pidie termasuk kedalam wilayah beriklim tropis basah, temperatur berkisar dari suhu minimum 19°-22° sampai dengan suhu maksimum 30° -35°. Selama ini curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Januari, sedangkan curah hujan tetap terjadi pada bulan Oktober dan Desember. Walaupun kebiasaan musim hujan di daerah dimulai dari September hingga Desember namun bila di lihat dari rata-rata curah hujan dan hari hujan selama priode september sampai dengan Desember 2004 masing-masing 285,25 mm dan 16,55 hh dan selama musim kemarau Januari sampai Agustus 2004 rata-rata curah hujan m8asing-masing 171,62 mm dan 8,5 hh. Struktur Tanah Dari klasifikasi lereng, Kabupaten Pidie merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki daerah kelas lereng lebih besar dari 40 % sebesar 67,63 % dari wilayah kabupaten. Sisanya adalah daerah pesisir pantai yang memiliki klasifikasi lereng 0 - 2 %. Bila dilihat dari jenis tanah kabupaten Pidie, jenis tanah podzolit merah kuning merupakan jenis terluas yaitu sebesar188.722 hektar atau12,98 %. Sedangkan jenis tanah lainnya mempunyai besaran di bawah 10 %. Keadaan tanah efektif di kabupaten pidie mencapai 94,78 % untuk kedalaman lebih dari 90 cm, sedangkan sisanya 5,22 % tersebar ke dalaman lainnya. Penggunaan Lahan Perbandingan kawasan budidaya dan lindung di kabupaten Pidie berkisar 60 % dan 40 % . Penggunaan lahan terluas adalah pemukiman dan pertanian/perkebunan, sisanya adalah hutan lindung. Dari seluruh lahan baru sekitar 17,52 % lahan yang telah di gunakan, sedangkan sisanya merupakan hutan lebat dan lainnya.Kawasan non budidaya merupakan hutan lebat yang tak terpakai. Sumber: Website Kabupaten Pidie. 2005-2006
Faktor sosialekonomi
Jumlah Populasi dan Wilayah Mukim, Gampong (Desa): • Geumpang: Populasi 4931. Jumlah Mukim 1. Jumlah Desa/ Gampong 5. (Pulolhoih, Bangkeh, Pucok, Leupu, Keune) • Mane:
Populasi 4487. Jumlah Mukim 1. Jumlah Gampong 4. • Tangse: Populasi 23805. Jumlah Mukim 5. Jumlah Gampong 28.
KONDISI EKONOMI SEBELUM KONFLIK (2000-2004): 1. Dari penjelasan masyarakat bahwa sebelum konflik perkembangan perekonomian masyarakat sudah sangat memadai. Kebun yang mereka kelola rata-rata sudah menghasikan panen. 2. Seiring dengan terjadinya konflik dari tahun 2000 s/d 2004 masyarakat tidak bisa lagi berkebun disebabkan keamanan yang tidak terjamin sehingga kebun mereka terlantar dan tidak terurus lagi. 3. Setelah konflik masyarakat harus memulai dari nol kembali. Kehidupan perekonomian sangat tergantung dari hasil hutan disebabkan kebun kebun mereka sudah menjadi hutan kembali. 4. Untuk memulai kembali membersihkan lahan sangat tergantung pada kesiapan modal usaha yang sekarang menjadi kendala paling utama bagi masyarakat kecamatan mane. 5. Saat ini, masyarakat sangat mengharapkan bantuan dari pihak-pihak terkait untuk perkembangan ekonomi masyarakat pinggir hutan yang selama ini sangat kurang perhatianya kepada mereka.
Status Perkebunan Masyarakat Sebelum Konflik 1. Ds. Keune : sawah 214 ha, 596 ha kebun, 358 ha pekarangan, lain-lain 6332 ha, 2. Ds. Bangkeh : sawah 320 ha, 1352 ha kebun, pekarangan 187 ha, lain-lain 18941 ha, 3. Ds. Pulo Lhoih : sawah 403 ha, 1606 ha kebun, pekarangan 1756 ha, -lain 14435 ha 4. Ds. Pucuk : sawah 115 ha, 900 ha kebun, 84 ha pekarang, lain-lain 11201 ha, 5. Ds. Leupu : sawah 424 ha, kebun 1189 ha, pekarangan 568 ha, lain-lain 13319 ha (Data sensus Kec 1998 revisi 2003)
Jenis Mata Pencaharian Masyarakat (data sebelum konflik) Kopi 40 ha, coklat 427 ha, sawit 50 ha, Kelapa 74 ha, jagung 29 ha, k. Hijau 3 ha, k. Tanah 233 ha
POTENSI EKONOMI • Adapun potensi perkebunan dan pertanian di kecamatan geumpang Yaitu: coklat, pinang kopi, coklat, padi, kerbau, kambing sapi. • Pulo lhoih adalah salah satu tempat yang sangat cocok untuk membudidayakan ikan air tawar dan hampir sebagian masyarakat pulo lhoih mempunyain kolom ikan.
Keanekaragaman INDEKS INFORMASI KEKAYAAN BIODIVERSITAS DI KAWASAN GEUMPANG (Mistar 2007) hayati Tabel. Kehadiran Spesies Amfibi Dan Reptil Di Masing-Masing Lokasi No
Klass
1 Amphibia 2 Amphibia 3 Amphibia 4 Amphibia
Famili Bufonidae Bufonidae Bufonidae Bufonidae
Spesies Bufo asper Bufo juxtasper Bufo parvus Leptophryne borbonica
Nama Inggris River Toad Giant River Toad Lesser Toad Cross Toad
I. Geumpang Kota 1
II. Alue Rhiek
III. SP V 1
1
1
5 Amphibia 6 Amphibia 7 Amphibia 8 Amphibia 9 Amphibia
Bufonidae Bufonidae Megophrydae Megophrydae Microhylidae
Pelophryne signata Pelophryne sp Megophrys nasuta Megophrys sp Kalophrynus sp (juvenile)
Lowland Dwarf Toad 1 Bornean Horned Frog 1
10 Amphibia Microhylidae Microhyla heymonsi 11 Amphibia Microhylidae Microhyla palmipes?
1 Palmated Chorus Frog
1
12 Amphibia Microhylidae Microhyla sp_5
1
13 Amphibia Ranidae
Fejervarya cancrivora
Mangrove Frog
14 Amphibia Ranidae
Fejervarya limnocharis
Grass Frog
15 Amphibia Ranidae
Huia sumatrana
Sumatran Torrent Frog
16 Amphibia Ranidae
Hydrphylax labialis
17 Amphibia Ranidae
Limnonectes blythi
18 Amphibia Ranidae
Limnonectes kuhlii
Kuhl's Creek Frog
19 Amphibia Ranidae
Rivulet Frog
20 Amphibia Ranidae
Limnonectes laticeps Limnonectes sp_krueng inong
21 Amphibia Ranidae Amphibia Ranidae
Meristogenys kampeni Pulchrana debussyi
van Kampen's Frog
1
1
1 1
1
1
1
1
1 1
1 1
1 1
22 23 Amphibia Ranidae
Rana chalconota
White-Lipped Frog
24 Amphibia Ranidae
Rana hosii
Poisonous Rock Frog
25 Amphibia Ranidae
Rana nicobariensis
Criket Frog
26 Amphibia Ranidae
Rana nigrovittata
Dark-Sided Frog
1 1
1 1
27 Amphibia Rhacophoridae Nyctixalus pictus
Cinnamon Frog
1
28 Amphibia Rhacophoridae Philautus aurifasciatus
Gold-Striped Tree Frog
1
29 Amphibia Rhacophoridae Philautus cf petersi
1 1
30 Amphibia Rhacophoridae Polypedates colletti
Collet's Tree Frog
31 Amphibia Rhacophoridae Polypedates leucomystax
Four-Lined Tree Frog
1
1
32 Amphibia Rhacophoridae Rhacophorus appendiculatus Frilled Tree Frog 33 Amphibia Rhacophoridae Rhacophorus barisani
Barisan Montane Tree Frog
34 Amphibia Rhacophoridae Rhacophorus catamitus
1 1
35 Amphibia Rhacophoridae Rhacophorus acantharrhena 36 Amphibia Rhacophoridae Rhacophorus nigropalmatus Wallace's Flying Frog Amphibia Rhacophorus poecilonatus
1
37
Rhacophoridae
38 Lacertilia
Agamidae
Aphaniotis acutirostris
Earless Agamid
39 Lacertilia
Agamidae
Bronchocella christatella
Green Crested Lizard
40 Lacertilia
Agamidae
Bronchocella hayeki
41 Lacertilia
Agamidae
Dendragama boulengeri
42 Lacertilia
Agamidae
Draco melanopogon
43 Lacertilia
Agamidae
Draco sp_1
44 Lacertilia
Agamidae
Draco quinquefasciatus
45 Lacertilia
Agamidae
Draco sp_3 Grute
46 Lacertilia
Agamidae
47 Lacertilia
Agamidae
Draco sumatranus Gonocephalus chamaeliontinus
48 Lacertilia
Agamidae
Gonocephalus besychlagi?
49 Lacertilia
Agamidae
Gonocephalus grandis
50 Lacertilia
Agamidae
Gonocephalus lacunosus?
51 Lacertilia Lacertilia
Agamidae Gekkonidae
Poxophrys tuberculata Cnemaspis kandianus
1
1
1 Black-Bearded Gliding Draco
Five-Banded Gliding Lizard
Common Gliding Lizard Chamelion Anglehead Lizard
Great Anglehead Grandis
Wandering Round-Eyed
1 1
1
1
1
1
52
Gecko
53 Lacertilia
Gekkonidae
Cyrtodactylus consobrinus
Peter's Slender-Toad Gecko
54 Lacertilia
Gekkonidae
Cyrtodactylus lateralis
55 Lacertilia
Gekkonidae
Cyrtodactylus sp_Grute
56 Lacertilia
Gekkonidae
Cyrtodactylus sp_Jantho
57 Lacertilia
Gekkonidae
Cyrtodactylus sp_Limong
58 Lacertilia
Gekkonidae
Gekko smithi
Large Forest Gecko
59 Lacertilia
Gekkonidae
Hemidactylus frenatus
Spiny-Tailed House Gecko
60 Lacertilia
Scincidae
Dasia olivacea
Olive Tree Skink
61 Lacertilia
Scincidae
Mabuya multifasciata
Common Sun Skink
62 Lacertilia
Scincidae
Mabuya rugifera
Rough-Scaled Skink
63 Lacertilia
Scincidae
64 Lacertilia
Scincidae
Sphenmorphus anomalophus Sphenmorphus sp_krueng Inong
65 Lacertilia
Varanidae
Varanus salvator
Water Monitor
66 Ophidia Ophidia
Colubridae Colubridae
Ahaetulla fasciolata Ahaetulla prasina
Speckle-Headed Whip Snake Oriental Whip Snake
1
1
1
1
67 68 Ophidia
Colubridae
Aphlopeltura boa
Blunt-Headed Tree Snake
69 Ophidia
Colubridae
Boiga cynodon
Dog-Toothed Cat Snake
70 Ophidia
Colubridae
Boiga drapiezi
Spotted Cat Snake
71 Ophidia
Colubridae
Dendrelaphis caudolineatus StripedBronzeback
72 Ophidia
Colubridae
Dendrelaphis formosus
Elegant Bronzeback
73 Ophidia
Colubridae
Dendrelaphis pictus
Painted Bronzeback
74 Ophidia
Colubridae
Dryophiops rubescens
Keel-Bellied Vine Snake
75 Ophidia
Colubridae
Lepturophis albofuscus
Slender-Tailed Wolf Snake
76 Ophidia
Colubridae
Macrophisthodon sp
77 Ophidia
Colubridae
Astenodipsas laevis
Smooth Slug-Eating Snake
78 Ophidia
Colubridae
Psammodynastes pictus
Painted Mock Viper
79 Ophidia
Colubridae
Ptyas korros
Indo-Chinese Rat Snake
80 Ophidia
Colubridae
Rhabdophis chrysargos
Speckle-Bellied Keelback
81 Ophidia Ophidia
Colubridae Colubridae
Ular air_merah Xenochrophis trianguligerus Triangle Keelback
1 1
1 1
82 83 Ophidia
Viperidae
Popea barati
84 Ophidia
Viperidae
Trimeresurus sp_Teunom
85 Ophidia
Viperidae
Tropidolaemus wagleri
Red Tailed Pit Viper
Wagler's Pit Viper
86 Testudinata Geoemydidae Heosemys spinosa
Spiny Turtle
87 Testudinata Testudidae
Brown Giant Tortoise
Manouria emys Jumlah spesies per-lokasi
1
8
13
33
Melihat grafik akumulasi perolehan spesies di semua lokasi pengamatan, maka masih terjadi peluang penambahan spesies. Lokasi SP5 dan Bukit Grute sama dalam perolehan spesies, tetapi berbeda dalam jumlah hari pengamatan, dan sudah terlihat mulai mendatar, Bukit Grute cukup menarik karena perolehan spesies pada hari pertama sangat drastis, kemudian naik perlahan dan diakhiri tanpa ada penambahan spesies pada hari ke-lima, akumulasi spesies terlihat signifikan di lokasi Krueng Inong dan belum ada tanda-tanda mendatar. Lebih detail lihat grafik 1. Nilai indek keanerakaragaman hayati di semua lokasi termasuk dalam kategori sedang sampai tinggi. Berdasarkan Shanon-Wiener dimana; nilai antara 0-1.5 keanekaragaman hayati rendah, lebih besar dari 1.5-3 keanekaragaman sedang, dan lebih besar dari 3 disebut keanekaragaman tinggi. Nilai keanekaragaman hayati merupakan komposisi antar spesies yang seimbang, dan apabila suatu spesies mendominasi spesies lain disebut bernilai rendah walaupun perolehan spesies lebih tinggi. SP5 mempunyai nilai keanekaragaman hayati berkategori tinggi yaitu 3.03849 karena komposisi satwanya yang seimbang, lebih dari itu lokasi SP5 mempunyai habitat paling beragam dibandingkan lokasi lain dari permukiman, semak, hutan sekunder sampai hutan primer.
Tabel 4. Indek Keanekaragaman Hayati Amfibi Dan Reptil di Kawasan Ulu Masen Lokasi NilaiIndekKeanekaragaman Alur Rhek 2.26312 Bukit Grute 2.83122 SP5 3.08466
KESIMPULAN SURVEY BIODIVERSITAS AMPFIBI DAN REPTIL OLEH MISTAR, 2007. 1. Hasil survei dibeberapa lokasi dalam Kawasan Ulu Masen diperoleh 87 spesies dan 11 spesies masih memerlukan penelusuran lebih lanjut, 13 famili, 45 marga, 773 individu. Terdiri atas amfibi 37 spesies, 5 famili, 13 genus dari 447 individu. Reptilia terdiri atas Lacertilia (bunglon, cicak, kadal dan buaya terdiri atas 28 spesies, 4 famili, 14 genus dari 252 individu. Testudinata (kura-kura) 2 spesies, 2 famili, 2 genus dari 2 individu. Dan sub-ordo Ophidia (ular) 20 spesies, 2 famili, 16 genus dari 32 individu
a. Satuan Pemukiman 5 (SP5) diperoleh amfibi 20 spesies, 4 famili, 146 individu. Reptil 13 spesies, 5 famili, 30 individu. b. Alue Rhek diperoleh amfibi 10 spesies, 4 famili, 45 individu. Reptil 3 spesies, 2famili, 3 individu. c. Bukit Grute diperoleh amfibi 9 spesies, 4 famili, 37 individu. Reptil 23 spesies, 6 famili, 82 individu. d. Krueng Teunom diperoleh amfibi 5 spesies, 3 famili, 18 individu. Reptil 15 spesies, 6 famili, 72 individu. e. Krueng Inong diperoleh amfibi 19 spesies, 5 famili, 131 individu. Reptil 15 spesies, 7 famili, 72 individu. f. Cagar Alam Jantho diperoleh amfibi 11 spesies, 3 famili, 70 individu. Reptil 10 spesies, 3 famili, 26 individu. 2. Dari grafik akumulasi spesies, semua lokasi masih berpeluang terjadi penambahan spesies. 3. Semua lokasi survei mempunyai nilai indek keanekaragaman hayati termasuk dalam kisaran sedang kecuali SP5; Alue Rhek 2.26312, Bukit Grute 2.83122, Cagar Alam Jantho, 2.43683, Krueng Inong 2.87813, Krueng Teunom 2.43470, SP5 3.03849. 4. Nilai kemiripan antar lokasi dipengaruhi oleh ketinggian dan tipe habitat. 5. Grafik trend perolehan spesies dengan ketinggian dari permukaan laut tidak begitu nyata pada amfibi, dan terlihat nyata pada perolehan spesies pada reptil. 6. Di jumpai 15 spesies endemik, 2 spesies terancam, 2 dua spesies rentan, dan 5 spesies termasuk appendix II atau perdagangan harus merupakan hasil budidaya. 7. Kawasan Ulu Masen termasuk dalam kriteria High Conservation Value (HCV) berkategori HCV1 dimana “Kawasan hutan yang mempunyai konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional dan lokal; misalnya spesies endemik, terancam punah, tempat menyelamatkan diri (refugia). SUMBER: Mistar dkk, Laporan SURVEI KEANEKARAGAMAN HAYATI AMFIBI DAN REPTIL DI BEBERAPA LOKASI DALAM KAWASAN ULU MASEN PROV.NAD, Fauna & Flora International, 2007. Nilai-nilai Konservasi
Geumpang adalah habitat bagi hewan mamalia besar, seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan habitat bagi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Kedua jenis satwa ini terdaftar sebagai salah satu satwa yang populasinya terus menurun dan mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam (endangered species) (IUCN 2008- Endangered A2c). Di kawasan ini tercatat ada sekitar 60-80 individu gajah, dari 350-450 individu yang ada di provinsi Aceh. Data ini merupakan kompilasi data dari laporan amatan warga setempat dan data mitigasi (pencegahan) konflik satwa-manusia yang dikeluarkan oleh tim monitoring gajah FFI 2008 (Azmi, 2008). Jenis primata seperti Kedih (Presbytis thomas), juga ditemukan di sebagian wilayah Geumpang. Selain itu, Geumpang juga tercatat memiliki nilai keanekaragaman hayati paling tinggi di seluruh kawasan Ulu Masen. Nilai indeks keanekaragaman hayati ini didapat dari nilai komposisi antar spesies yang seimbang, dan apabila suatu spesies mendominasi spesies lain disebut bernilai rendah walaupun perolehan spesies lebih tinggi. Salah satu kawasannya yakni SP5-Geumpang memiliki nilai keanekaragaman hayati berkategori tinggi dengan nilai 3.03849. Nilai ini didapat karena komposisi satwanya yang seimbang. Selain
itu lokasi SP5-Geumpang mempunyai habitat paling beragam dari permukiman, semak, hutan sekunder sampai dengan hutan primer (Mistar 2007).
Layanan ekologi
Buatlah daftar dari semua layanan ekologi yang menurut Anda dapat disediakan oleh lokasi Anda Kawasan Geumpang memiliki fungsi sebagai penyedia jasa air bagi masyarakat yang memanfaatkan DAS TEUNOM. Kawasan hutan Geumpang adalah hulu bagi DAS TEUNOM. (Peta terlampir) Kawasan Geumpang memiliki aliran sungai yang deras, apalagi jika musim hujan tiba. Beberapa titik lokasi dapat dimanfaatkan sebagai arena arung jeram.
Ancaman
Ancaman terbesar untuk kawasan ini datang dari aktivitas penebangan liar (illegal logging) dan konversi lahan untuk pertanian. Di Aceh secara umum, aktivitas illegal logging dipicu oleh faktor kebutuhan material untuk rekonstruksi bangunan pascatsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004 lalu. Kebutuhan tersebut telah meningkatkan harga kayu di Aceh sehingga menjadi daya tarik bagi aktivitas penebangan secara intensif dan ekstensif. Sebuah analisis trend kebutuhan kayu pasca tsunami yang dilakukan oleh FAO menyebutkan bahwa kenaikan harga kayu di Aceh tersebut merupakan akibat dari naiknya permintaan domestik, kurangnya kapasitas nasional untuk produksi dan pasokan, dan kesulitan mengimpor kayu dari provinsi-provinsi lainnya. Terdapat kenaikan harga riil parsial yang terselubung karena sekarang kayu yang diproduksi memiliki kualitas lebih rendah dalam hal spesies dan grade dibandingkan kayu yang tersedia sebelum tsunami (Kuru, 2005). Menurut sejumlah pedagang dan konsumen, harga domestik rata-rata kayu bangunan di Provinsi Aceh berkisar antara Rp 1,6 hingga 2,2 juta per meter kubik. Setelah Tsunami, harga-harga beragam jenis kayu tersebut naik antara Rp 1,8 juta hingga sekitar Rp 3,0 juta per meter kubik untuk kayu ilegal dan Rp 2,7 juta hingga Rp 3,8 juta per meter kubik untuk kayu legal bersertifikat (Kuru, 2005 dan Rahmad, 2008). Moratorium Logging yang dicanangkan Gubernur Provinsi NAD Juli 2007 di satu pihak membawa dampak yang cukup signifikan dalam penurunan jumlah logging di kawasan Aceh pada umumnya. Namun dipihak lain aturan itu ternyata membawa imbas kepada masyarakat seperti di Geumpang. Masyarakat Geumpang adalah masyarakat yang sebagian besar bergantung dari areal kawasan hutan sebagai areal mata pencaharian. Hasil rapid assesment Geumpang yang dilakukan FFI Agustus 2007, menunjukkan bahwa hampir 50 % penduduk Geumpang yang mendiami 6 desa/gampong memiliki ketergantungan yang tinggi dengan hutan sebagai tempat mata pencaharian mereka. Selain melakukan penebangan kayu secara liar, masyarakat juga melakukan kegiatan perburuan skala kecil pada satwa jenis burung dan rusa (Ismail, 2007). Ancaman terbesar lain dikawasan ini adalah pola konversi lahan. Konversi lahan dipicu oleh beberapa faktor yang saling terkait, yakni seperti kurangnya informasi masyarakat tentang status lahan di sekitar kawasan Geumpang, persepsi tentang status pemanfaatan lahan, dan kebutuhan pengembangan kawasan ekonomi perkebunan paska konflik di Aceh. Kekurangan informasi tentang status kawasan, batas dan kepemilikan kawasan sepertinya menjadi hal yang umum terjadi di Indonesia. Hal ini sering menyebabkan banyak dari kawasan hutan lindung beralih fungsi menjadi lahan pertanian/perkebunan. Hal yang serupa juga dialami masyarakat di pinggiran hutan Geumpang. Kira-kira bulan Maret-April 2008 lalu telah terjadi peristiwa perambahan dan pembukaan lahan secara terang-terangan yang dilakukan warga setempat. Menurut informasi salah seorang staf lapangan FFI di Geumpang, kejadian ini dipicu oleh karena ketaktersediaan lahan perkebunan oleh sebagian masyarakat setempat. Walau mereka adalah warga setempat tetapi sebagian dari mereka telah melepaskan kepemilikan lahan perkebunannya pada saat konflik bersenjata berlangsung di provinsi Aceh, periode 2000-2005. Lahan-lahan yang dilepas itu adalah lahan yang disepakati
sebagai areal pemanfaatan kebun desa, yang berbatasan dengan hutan lindung, atau batas kebun desa. Lahan-lahan itu hak kepemilikannya kini telah dikuasai oleh segelintir penduduk setempat dan orang-orang kaya (tuan tanah) yang tidak tinggal di kawasan itu. Pasca konflik, ketika kondisi keamanan mulai membaik masyarakat setempat yang ingin memulai melakukan aktivitas perkebunannya kini menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak memiliki lahan. Batas kebun desa dengan hutan yang telah ditetapkan sebagai area pemanfaatan bagi perkebunan masyarakat, kini mulai dilanggar bagi pengembangan wilayah perkebunan. Akibatnya terjadi perambahan kawasan di luar batas desa yang telah disepakati. Salah satu contohnya adalah seperti yang terjadi di kawasan Km. 6 perbatasan Geumpang - Aneuk Manyak jalan menuju ke arah Kota Meulaboh Ibukota Kabupaten Aceh Barat, areal hutan lindung telah dibuka untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Kejadian seperti itu telah memicu terjadinya apa yang disebut pengembangan kawasan “kebun” yang tak tertata (unplanned “Kebun” development) dan tak terkontrolnya pembebasan lahan (uncontrolled land clearance). Masyarakat setempat mengeluh bahwa pembukaan lahan hutan lindung itu dikarenakan keterbatasan lahan yang dimiliki mereka. Faktor lainnya yang menjadi pemicu adalah adanya pihak lain yang menjadi donator yang membiayai aktivitas masyarakat setempat. Pola konversi lahan pada umumnya dilakukan secara tradisional. Beberapa masyarakat memamfaatkan areal untuk berladang pindah untuk menanam nilam (Pogostemon cablin).
Table 1 Tabel Tingkat Ancaman terhadap Spesies dalam Kawasan
No
Pengelolaan
1
Ancaman thd Spesies & Kawasan Illegal Logging
2 3
Konversi lahan Perburuan
Harimau Sumatera
Gajah Sumatera
Kekayaan Flora
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi Sedang
Tinggi Sedang
Tinggi Sedang
Daftar lembaga atau lembaga-lembaga, departemen, dan kelompok-kelompok yang terlibat dalam pengelolaan lokasi atau yang mempengaruhi lokasi dan pengelolaannya melalui berbagai cara. No 1 BKSDA NAD
Lembaga
Cara Mitigasi Konflik
2
Dinas KehutananProvinsi Aceh/ Kabupaten
3
Dinas KehutananKabupaten Pidie
4
Tim PerumusKebijakan Kehutanan Aceh (Tipereska) Prov. NAD
5
FFI
6 7 8
Polhut Pidie Kepolisian Daerah NAD Koperasi Geumpang Jaya Komite Peralihan Aceh (KPA) Forum Masyarakat Peduli Geumpang
9 9
Monitoring dan penyusun kebijakan pemanfaatan kawassan hutan di Aceh Monitoring dan penyusun kebijakan pemanfaatan kawassan hutan di Kabupaten Pidie Menjalankan Mandat Peraturan Gubernur Aceh ttg Moratorium Memetakan potensi dan lahan pemanfaatan kawasan hutan Aceh Membangun konstituesi konservasi dengan Membantu BKSDA utk mitigasi dan monitoring Monitoring kawasan dan penegakan hukum Monitoring dan penegakan hukum Institusi pemberdayaan ekonomi masyarakat Monitoring Kawasan Forum stakeholder masyarakat Geumpang
Adakah rencana (atau rencana-rencana) pengelolaan/pengembangan untuk lokasi (pastikan memperoleh salinannya)? Sejak 1998, FFI telah melakukan beberapa aktivitas di kawasan ini. Seperti Survey Ground Truthing dalam Program Manage Elephant Range (MER) dan beberapa rapid survey biodiversity. Saat ini, FFI mendorong pemamfaatan hutan dan pengelolaan hutan berbasis kemasyarakatan (PHBM) sebagai solusi alternatif bagi mata pencaharian masyarakat. Bekerjasama dengan komunitas setempat, FFI telah merintis terbentuknya Koperasi Geumpang Jaya sebagai wadah bagi proses PHBM di Geumpang. Program ini bekerjasama dengan LSM Telapak, Bogor yang telah memiliki pengalaman dalam program serupa di beberapa tempat di Indonesia. Fokus dari program ini adalah pemberdayaan kebun agroforestri. Untuk mewujudkannya beberapa langkah sedang dan telah dijalankan seperti menentukan kebijakan penataan ruang desa dan zonasi wilayah untuk menetapkan hak milik dan hak guna (masyarakat, negara, perusahaan). Pemetaan untuk pembagian wilayah kelola yang dapat disepakati masyarakat (pemetaan partisipatif). Serta mendorong penguatan kelembagaan dengan peningkatan kapasitas pada organisasi dan komunitas lokal setempat. Selain itu, beberapa program FFI yang sedang dan akan dikembangkan diupayakan dapat berjalan sinergis dengan program pemberdayaan masyarakat yang telah ada. Program Mitigasi Human Wildlife Conflict (HWC Mitigation) melalui Conservation Response Unit Program (CRU Program) untuk membantu masyarakat setempat dalam monitoring pergerakan gajah liar guna mencegah terjadinya konflik antara gajah-manusia. Program ini bekerjasama dengan BKSDA NAD. Program pemberdayaan kebun bibit masyarakat sedang dikembangkan sebagai alternatif livelihood lainnya. Program ini bekerjasama dengan lembaga ICRAF.
Pemangku kepentingan lokal manakah yang terlibat dalam pengelolaan lokasi? Bagaimana mereka terlibat Bekerjasama dengan mukim (institusi lembaga adat) dan kepala desa bersama-sama membangun konstituen konservasi. Berusaha mencipatkan alternatif matapencaharian bagi masyarakat yang bekerja sebagai penebang liar. Memberikan penyadartahuan kepada masyarakat akan arti penting kawasan hutan Geumpang. Persepsi
Deskripsikan lokasi proyek Anda menggunakan semua kriteria dan deskripsi subyektif yang menurut Anda paling sesuai. Kawasan geumpang adalah kawasan dengan topografi yang kasar dang berbukit. Masyarakatnya bermukim dan menetap di daerah lembah datar yang cukup luas diantara bukit dan gunung. Letaka kawasan geumpang yang berada di dataran tinggi membuat kawasan sejuk, kerap mengalami hujan. Kecuali di musim kemarau. Susasana sejuk mempengaruhi kondisi sosial masyarakat yang memimiliki sifat keakraban tinggi. Daerah berbukit dan lembah menghasilkan sungai dengan air yang deras yang dihasilkan oleh hutan sebagai penyedia jasa ekologi. Derasnya air sungai menjadi daya tarik bagi olahraga alam, rafting yang akan dikembangkan di geuimpang, oleh masyarakat setempat.
Referensi Buku Kuru, George (2005). Penilaian FAO Mengenai Permintaan dan Penawaran (Penyediaan) Kayu Untuk Rekosntruksi Pasca Tsunami di Indonesia. FAO, April 2005. Banda Aceh. Ismail, Mahdi (2007). Laporan Assesment Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Kemukiman Bangkeh, Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie. 5-7 Agustus 2007. Monitoring Community Base, Fauna & Flora International – Program Aceh. Banda Aceh. Rahmad (2008). “Timber Trade” dalam Conserving Forest and Biodiversity in the Ulu Masen Ecosystem, editor oleh M.Linkie dan J.E. McKay. Fauna & Flora International – Program Aceh. Banda Aceh. Mistar (2007). Laporan Keanekaragaman Hayati Amfibi Dan Reptil Di Beberapa Lokasi Dalam Kawasan Ulu Masen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Fauna & Flora International – Program Aceh. Banda Aceh. Situs Web
Informasi Kabupaten Pidie. http://www.pidie.go.id/index.php?kondisi=lingkungan [20 Oktober 2008] Wawancara Azmi, Wahdi (2008) Komunikasi Tisna Nando dengan penulis pada 16 September 2008. Mahlizar dan Hasbalah (2008) Komunikasi pribadi dengan penulis pada Juni 2008.