4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4.1 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein Keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah salah satu aspek penting dalam menentukan standar gizi. Kekurangan konsumsi gizi bagi seseorang dari standar minimum umumnya akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dari sisi jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia. Diantara banyaknya kandungan zat gizi, kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Jumlah rumah tangga sampel SUSENAS di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2002 adalah 8.621 rumah tangga. Sampel SUSENAS pada tahun 2005 adalah sebesar 8.502 rumahtangga. Penambahan jumlah sampel SUSENAS terjadi pada tahun 2008 yaitu menjadi sebesar 29.646 rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan yang merupakan satu indikator penentu ketahanan pangan rumah tangga masih mencapai proporsi yang cukup besar di Provinsi Jawa Timur. Hasil pengolahan data SUSENAS menunjukkan bahwa terjadi penurunan pangsa pengeluaran untuk pangan yang diimbangi dengan kenaikan konsumsi kalori masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan di masyarakat. Tabel 4 menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan untuk pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan masyarakat perkotaan masih lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan. Selama ini pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun sektor swasta masih bias pada perkotaan dan hasilnya lebih dinikmati oleh masyarakat perkotaan. Kondisi ini menyebabkan kesenjangan antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. (Ariani, 2004).
48
Tabel 4 Pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan pangan di Provinsi Jawa Timur 2002 Uraian Pangsa Kalori Pangan (kkal) (%) 1 Kota 2 Desa 3 Total
2005 Protein Pangsa Kalori Protein Pangsa (gr) Pangan (kkal) (gr) Pangan (%) (%)
54,36 1.913,33 54,78 61,99 1.926,50 51,86 57,87 1.920,83 53,12
45,88 1.979,16 57,97 57,35 2.006,78 55,78 50,76 1.995,08 56,71
2008 Kalori Protein (kkal) (gr)
47,43 1.903,50 56,06 57,01 1.913,00 52,99 51,21 1.908,35 54,49
Sumber : BPS, diolah
Kecukupan pangan dan gizi berkaitan erat dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia. Pengolahan data SUSENAS menunjukkan, rata-rata konsumsi kalori di Provinsi Jawa Timur masih dibawah rata-rata calorie intake yang dianjurkan (Lampiran 1) yaitu 96 persen pada tahun 2002, 99 persen pada tahun 2005 dan 95 persen pada tahun 2008. Antara tahun 2002, 2005 dan 2008 terdapat penurunan standar deviasi. Hal ini memperlihatkan kondisi antar kabupaten/kota yang semakin konvergen. Jika dilihat antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Lampiran 1), maka pada tahun 2002 dan 2005 terdapat 5 kabupaten/kota yang telah melebihi standar kecukupan kalori yang dianjurkan. Tahun 2002, kabupaten/kota yang mencapai ratarata kalori diatas standar yang dianjurkan adalah Sidoarjo, Ngawi, Sumenep, Mojokerto dan Madiun. Pada tahun 2005 terjadi perubahan kabupaten/kota yang telah mencukupi kebutuhan kalori menjadi Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Madiun dan Batu. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan kabupaten/kota yang diatas rata-rata kecukupan kalori yang dianjurkan yaitu menjadi 7 kabupaten/kota. Tujuh kabupaten/kota tersebut adalah Pacitan, Trenggalek, Banyuwangi, Bondowoso, Mojokerto, Nganjuk dan Tuban. Selain kecukupan kalori, kecukupan protein juga menjadi indikator kualitas pangan yang perlu diperhitungkan. Berdasarkan data SUSENAS, kecukupan protein yang dikonsumsi masyarakat Jawa Timur telah mencapai standar yang dianjurkan
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, yaitu 52 gram protein/kapita/hari. Perbandingan antara pedesaan dan perkotaan memperlihatkan bahwa kecukupan protein di pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan (Tabel 4).
49
4.2. Pola Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur Pola konsumsi masyarakat Jawa Timur masih didominasi oleh kelompok padi-padian yang mencapai sekitar 20 persen (Tabel 5). Namun, persentase ini lambat laun menurun seiring dengan peningkatan konsumsi makanan dan minuman jadi. Hal tersebut dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup sehingga lebih menyukai komoditas instan dan cepat saji. Tabel 5 Persentase konsumsi makanan di Provinsi Jawa Timur Komoditi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur Kacang-kacangan Buah Minyak dan Lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi TOTAL
Kota 18,98 0,90 7,21 6,53 7,50 7,76 5,34 5,70 4,40 5,27 3,26 3,07 24,09
2002 Desa
Total
29,48 1,29 7,53 3,37 5,04 9,49 6,10 4,48 5,61 6,45 3,68 2,45 15,02
24,10 1,09 7,37 4,99 6,30 8,60 5,71 5,10 4,99 5,85 3,46 2,77 19,67
100,00 100,00 100,00
Kota 14,54 0,75 7,28 6,58 7,98 7,03 4,95 5,47 4,17 4,46 2,99 2,97 30,83
2005 Desa
Total
23,52 1,14 7,74 3,92 5,58 9,26 6,46 4,46 5,34 5,53 3,74 2,98 20,32
18,82 0,94 7,50 5,31 6,84 8,09 5,67 4,99 4,73 4,97 3,35 2,97 25,82
100,00 100,00 100,00
Kota 15,48 0,73 6,14 4,60 7,99 7,34 5,38 4,70 5,49 3,95 2,60 2,91 32,68
2008 Desa
Total
23,29 1,10 6,45 2,46 5,19 9,54 6,21 3,76 7,05 5,47 3,26 3,05 23,17
18,90 0,89 6,28 3,66 6,76 8,30 5,74 4,29 6,17 4,61 2,89 2,97 28,53
100,00 100,00 100,00
Sumber : BPS, diolah
Perbandingan antara perkotaan dan pedesaan menunjukkan bahwa persentase konsumsi padi-padian di daerah pedesaan masih jauh lebih besar daripada di perkotaan. Di sisi lain, persentase konsumsi makanan dan minuman jadi di perkotaan jauh lebih besar daripada di pedesaan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan gaya hidup masyarakat perkotaan dan pedesaan. Di wilayah perkotaan dengan segala aktivitas yang padat, membuat masyarakat lebih mudah mengkonsumsi makanan dan minuman jadi dibandingkan dengan memasak sendiri. Sebaliknya, di daerah pedesaan masyarakat memiliki sumberdaya tenaga maupun waktu yang cukup sehingga lebih memilih memasak makanannya sendiri di rumah. Padi-padian menjadi konsumsi utama masyarakat pedesaan pada awal periode penelitian yaitu tahun 2002. Pada tahun berikutnya, terjadi perubahan dengan mengecilnya pangsa padi-padian dan meningkatnya makanan dan minuman jadi. Pada tahun 2008, konsumsi makanan dan minuman jadi di pedesaan hampir sama dengan konsumsi padi-padian. Hal yang menarik dalam
50
penelitian ini adalah ketika dilihat makanan dan minuman jadi yang menempati porsi terbesar adalah pecel (19,71 persen), makanan ringan anak-anak (14,60 persen) dan mie rebus/bakso (13,36 persen). Kondisi ini sangat ironis mengingat konsumsi sumber protein di pedesaan masih rendah, namun konsumsi makanan dan minuman jadi justru meningkat. Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi, mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan komoditi lainnya memiliki persentase yang sangat kecil (Tabel 6). Dari kelompok padi-padian, konsumsi tepung terigu di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di pedesaan dan lambat laun mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan banyaknya jenis makanan di perkotaan yang pengolahannya membutuhkan tepung terigu. Tabel 6 Persentase konsumsi padi-padian di Provinsi Jawa Timur Komoditi 1 2 3 4 5 6 7 8
Beras Beras ketan Jagung basah Jagung pipilan Tepung beras Tepung jagung Tepung terigu Lainnya TOTAL
Kota 96,73 0,16 0,32 1,23 0,62 0,03 0,89 0,03
2002 Desa 92,73 0,18 0,35 5,91 0,32 0,03 0,45 0,03
Total 94,35 0,17 0,34 4,01 0,44 0,03 0,63 0,03
100,00 100,00 100,00
Kota 95,71 0,11 0,88 0,69 0,95 0,09 1,46 0,11
2005 Desa 91,62 0,27 0,38 6,14 0,61 0,06 0,86 0,05
Total 94,37 0,17 0,34 3,99 0,44 0,03 0,63 0,03
100,00 100,00 100,00
Kota 95,72 0,13 0,81 1,41 0,69 0,04 1,14 0,06
2008 Desa 91,31 0,13 0,56 6,29 0,74 0,09 0,86 0,03
Total 93,35 0,13 0,67 4,04 0,72 0,06 0,99 0,04
100,00 100,00 100,00
Sumber : BPS, diolah
4.3 Ketersediaan Pangan di Provinsi Jawa Timur Salah satu cara untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan menjamin ketersediaan pangan yang diperlukan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu kewajiban pemerintah sesuai dengan amanat Undang Undang No 7 tahun 1996 tentang pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat seharusnya dalam jumlah yang cukup, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Tersedianya pangan yang cukup diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga akan mendukung suatu daerah untuk mewujudkan masyarakat yang sehat. Masyarakat yang sehat akan menjadi modal atau penggerak dalam pelaksanaan pembangunan suatu daerah selanjutnya dapat
51
mewujudkan kondisi masyarakat yang adil dan makmur. Sebaliknya jika kebutuhan pangan tidak terpenuhi akan menyebabkan penderita gizi kurang, sehingga produktivitasnya rendah, kehilangan kesempatan bersekolah, kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi, berisiko kelaparan dan pada akhirnya akan menjadi miskin. Beras merupakan komoditi pokok dan strategis dibandingkan komoditi pangan lainnya. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Jawa Timur pada khususnya mayoritas mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. Sehingga, pemerintah memberi perhatian khusus terhadap produksi padi dengan mentargetkan untuk dapat mencapai swasembada beras di sepanjang waktu. Jawa Timur sebagai penghasil padi kedua terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat, memiliki kontribusi produksi padi yang cukup besar dan cenderung semakin meningkat. Secara agregat pada tahun 2002, 2005 dan 2008 produksi padi di Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan (Lampiran 3). Namun jika dibagi dengan data jumlah penduduk di Jawa Timur maka peningkatan ini hanya terjadi pada tahun 2008. Pada tahun 2005 terjadi sedikit penurunan produksi padi perkapita, namun akhirnya meningkat kembali pada tahun 2008 (Gambar 9). 29 28,24
28 27 26 25 24
produksi 23 padi 22 perkapita (kg)
24,82
2002
24,69
2005
2008
Tahun
Gambar 9 Produksi padi perkapita di Provinsi Jawa Timur. Peningkatan produksi padi terkait dua hal utama yaitu luas panen dan produktivitas padi. Kedua hal ini harus diperhatikan sehingga produksi padi dapat
52
terus meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Berbagai riset ditujukan untuk dapat memenuhi bibit-bibit padi yang unggul sehingga dapat meningkatkan produktivitas dari luas lahan yang ada.
4.4 Akses Pangan di Provinsi Jawa Timur Salah satu faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan selain ketersediaan pangan adalah akses pangan. Meskipun suatu daerah memiliki persediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, namun jika tidak mampu mengakses pangan tersebut maka tidak akan dapat mencapai ketahanan pangan. Sebaliknya, suatu daerah yang tidak memiliki sumberdaya sebagai penghasil bahan pangan, namun masih dapat memenuhi kebutuhan pangannya jika memiliki akses yang cukup kuat untuk mendapatkan makanan. Faktor yang menentukan akses pangan diantaranya adalah pendapatan regional yang tercermin melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), stabilitas harga, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. PDRB menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi pendekatan yaitu produksi, pengeluaran dan pendapatan. Ketiganya menyajikan komposisi data nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan dan sumber pendapatan. PDRB dari sisi produksi merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya. Sedangkan dari sisi penggunaan menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Selanjutnya dari sisi pendapatan, nilai tambah merupakan jumlah upah/gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung neto yang diperoleh. Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah seperti provinsi atau kabupaten. Fenomena dan perilaku ekonomi dari berbagai pelaku ekonomi dapat dilihat dari data PDRB. Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 dan direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, diharapkan
53
dapat memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan regional suatu daerah dan menimbulkan multiplier effect terhadap perekonomian Jawa Timur. Jawa Timur merupakan barometer perekonomian nasional setelah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, sebab kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai sekitar 16 persen. PDRB Jawa Timur baik Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) maupun Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) pada periode 2002-2008 menunjukkan
kecenderungan
terus
meningkat
sejalan
dengan
semakin
membaiknya kondisi perekonomian. Pada tahun 2002 PDRB Jawa Timur menurut ADHB sebesar 267,158 triliun rupiah, yang kemudian meningkat di tahun 2008 mencapai 621,582 triliun rupiah. PDRB ADHK juga mengalami kenaikan menjadi 304,799 triliun rupiah pada tahun 2008 yang pada tahun 2002 sebesar 218,452 triliun rupiah (Tabel 7). Tabel 7 PDRB Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 Tahun
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (milyar)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
267.157,72 300.609,86 341.065,25 403.392,35 470.627,49 534.919,33 621.581,96
Atas Dasar Harga Konstan (milyar) 218.452,28 228.884,34 242.228,77 256.374,93 271.244,67 287.817,72 304.798,97
Sumber : BPS, diolah.
Provinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan sembilan kota. Masingmasing daerah di Provinsi Jawa Timur mempunyai karakteristik alam, sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan produktivitas perekonomian antar wilayah yang satu berbeda dengan wilayah lainnya. Nilai tambah bruto Jawa Timur sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang paling besar pangsanya dalam pembentukan nilai tambah bruto Jawa Timur. Ketiga sektor tersebut adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.
54
Tabel 8 menunjukkan bahwa mulai tahun 2006, terjadi pertukaran posisi antara sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi industri pengolahan mengalami penurunan, salah satu penyebabnya adanya krisis BBM pada tahun 2005. Sebagaimana diketahui, bahwa sektor industri adalah sektor yang sangat tergantung pada BBM, sehingga jika ada kenaikan harga BBM akan berpengaruh pada sektor industri. Tabel 8 Struktur PDRB di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 (persen) Lapangan Usaha
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan , Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa - Jasa
19,04 2,06 29,31 1,62 3,81 25,35 5,67 4,79 8,35
18,24 2,00 29,50 1,76 3,74 26,08 5,71 4,59 8,38
17,58 1,93 29,61 2,05 3,68 26,71 5,52 4,60 8,32
17,24 2,01 29,99 1,89 3,60 27,17 5,53 4,53 8,04
17,16 2,06 29,26 1,86 3,46 27,96 5,58 4,53 8,14
16,72 2,11 28,75 1,92 3,36 28,81 5,55 4,62 8,15
16,57 2,17 28,49 1,91 3,34 29,36 5,32 4,68 8,15
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Produk Domestik Regional Bruto
Sumber : BPS
Kontribusi sektor PDRB terhadap total PDRB untuk masing-masing kabupaten/kota di Jawa Timur sangat bervariatif. Potensi yang beragam di masing-masing wilayah menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik struktur perekonomian yang berbeda di setiap kabupaten/kota. Sebagai contoh aktivitas perekonomian di wilayah kabupaten pada umumnya didorong oleh sektor pertanian dan sektor industri sedangkan wilayah perkotaan oleh sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Beberapa kabupaten didominasi (hampir 50 persen) oleh sektor pertanian seperti Kabupaten Banyuwangi, dan kabupaten-kabupaten di kawasan Madura. Kontribusi dari sektor pertanian di wilayah kota secara umum sangat kecil, kecuali Kota Batu. Sebagian besar wilayah kota didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pangsa terbesar pada PDRB tahun 2008 disumbangkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang kemudian disusul sektor industri, namun sebagian besar wilayah Jawa Timur masih berbasis sektor pertanian. Sedangkan sektor perdagangan dan industri pengolahan hanya menjadi basis di beberapa kabupaten/kota saja.
55
Selain faktor pendapatan, akses pangan juga ditentukan oleh stabilisasi harga. Dalam hal ini angka inflasi dapat mencerminkan tingkat stabilisasi harga di tingkat konsumen. Meskipun banyak komoditi yang mempunyai kontribusi terhadap inflasi, namun karena lebih dari 50 persen pendapatan masih digunakan untuk pangan, maka pengaruh perubahan harga pangan terhadap inflasi diduga cukup besar.
Dalam penelitian ini, angka inflasi yang digunakan adalah inflasi yang terjadi pada PDRB kabupaten/kota, karena keterbatasan data inflasi di beberapa kabupaten/kota. Gambar 10 menunjukkan fluktuasi harga yang terjadi pada PDRB di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2005 inflasi PDRB mencapai nilai tertinggi diantara tahun 2002 sampai 2008. Hal ini dimungkinkan karena adanya kebijakan kenaikan BBM di tahun 2005. Persen 14.00 11,75
12.00 10.00
9,73
10,27
10,04
8.00 7,39
6.00
7,21
7,12
4.00 2.00
Tahun
0.00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Gambar 10 Deflator PDRB Provinsi Jawa Timur 2002-2008. Akses pangan juga ditentukan oleh pendidikan. Dengan adanya pendidikan yang cukup baik, masyarakat dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk menentukan jenis pangan yang dikonsumsi sehingga cukup dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Pemilihan dan penentuan dalam penyusunan hidangan konsumsi makanan bukanlah sesuatu yang secara otomatis diturunkan, dalam pengertian heriditer. Susunan hidangan adalah hasil dari manifestasi proses belajar. Susunan hidangan di masyarakat dapat diubah dengan proses pendidikan
56
gizi, penerangan dan penyuluhan meskipun mengubah suatu susunan hidangan adalah relatif sulit. Penelitian ini menggunakan rata-rata lama sekolah (RLS) sebagai cerminan pendidikan yang diraih oleh masyarakat. Rata-rata lama sekolah di Jawa Timur masih dibawah standar pendidikan sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah yaitu berada pada kisaran enam tahun. Namun nilai ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 11 ). Peningkatan rata-rata lama sekolah ini juga terjadi hampir di semua kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. L a m a
7.0
6,95
6.9 6,76
6.8 6.7
S e k o l a h
6.6
6,50
6.5 6.4 6.3
Tahun
6.2 2002
2005
2008
Gambar 11 Rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Timur. Faktor lain yang menentukan ketahanan pangan adalah infrastruktur wilayah. Infrastruktur akan meningkatkan kemudahan dalam distribusi barang pangan dari produsen ke konsumen. Dengan adanya kemudahan distribusi barang pangan, maka harga yang dikenakan kepada konsumen akan lebih murah. Hal ini akan mendukung pencapaian ketahanan pangan rumah tangga. Adapun dua indikator infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalan dan pasar. Data infrastruktur jalan yang digunakan adalah panjang jalan dengan kualitas baik dan sedang di Provinsi Jawa Timur. Pada umumnya terjadi peningkatan panjang jalan dengan kualitas baik dan sedang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 panjang jalan yang berkualitas baik dan sedang adalah sepanjang 25.858 km. Tahun 2005 terjadi peningkatan panjang jalan berkualitas baik dan sedang menjadi 26.040 km. Pada akhir periode penelitian yaitu tahun 2008
57
panjang jalan berkualitas baik dan sedang meningkat menjadi 32.563,51 km (Lampiran 6). Jumlah pasar merupakan salah satu indikator kemudahan masyarakat untuk akses pembelian bahan makanan. Berdasarkan data PODES terlihat bahwa jumlah pasar mengalami peningkatan baik di pedesaan maupun perkotaan (Lampiran 7). Peningkatan jumlah pasar ini akan meningkatkan kemudahan akses rumah tangga dalam mencukupi kebutuhan pangan yang beragam.
4.5 Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Timur Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 disusun berdasarkan Indeks Ketahanan Komposit (DKP, 2009). Pilar utama dalam penyusunan Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 ada tiga yaitu: (1) ketersediaan pangan, (2) akses terhadap pangan dan (3) pemanfaatan pangan. Ketiga pilar ini dijabarkan menjadi sembilan indikator yaitu: 1. Ketersediaan pangan yang terdiri dari rasio normatif per kapita terhadap padi+jagung+ubi kayu+ubi jalar 2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (penduduk miskin) 3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai 4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 5. Angka harapan hidup 6. Berat badan balita di bawah standar 7. Perempuan buta huruf 8. Persentase rumah tangga tanpa air bersih 9. Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan Ketersediaan pangan dijabarkan dalam indikator pertama. Akses terhadap pangan dijabarkan dalam indikator kedua, ketiga dan keempat. Adapun pemanfaatan pangan terdiri dari indikator kelima sampai kesembilan. Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 menunjukkan ada lima kabupaten di Jawa Timur yang rawan pangan (DKP, 2009) dengan prioritas yang berbeda. Kelima wilayah tersebut adalah Sampang, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Probolinggo (Gambar 12). Secara umum wilayah yang rawan pangan
58
adalah wilayah yang terletak di kepulauan kecuali Kabupaten Probolinggo. Masuknya kabupaten Probolinggo dalam prioritas ketiga dalam Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2009 adalah karena tingginya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan yaitu sebesar 25,49 persen, jauh di atas rata-rata Provinsi yaitu 18,20 persen. Disamping itu, angka harapan hidup di Kabupaten Probolinggo juga masih rendah yaitu sebesar 60,33 tahun sedangkan rata-rata angka harapan hidup di Provinsi Jawa Timur adalah 68,90 tahun (DKP, 2009). Kedua hal ini merupakan indikator yang menyebabkan Kabupaten Probolinggo masuk ke dalam prioritas ketiga di dalam Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2009.
Keterangan : Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6
Sumber : FSVA, 2009
Gambar 12 Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009. Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Menurut hukum Engel, pangsa
59
pengeluaran untuk belanja pangan rumah tangga miskin lebih besar dari rumah tangga kaya. Pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung terhadap kesejahteraan (Deaton dan Muellbauer, 1980).
Berdasarkan penghitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi Jawa Timur persentase penduduk yang rawan pangan relatif cukup besar. Namun, persentase penduduk yang rawan pangan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2002 persentase penduduk rawan pangan adalah sebesar 16,66 persen yang kemudian menurun pada tahun 2005 menjadi 12,04 persen dan pada tahun 2008 menjadi 11,63 (Tabel 9). Penurunan persentase rumah tangga yang rawan pangan di Jawa Timur diikuti dengan meningkatnya rumah tangga yang tahan pangan. Pada tahun 2002, rumah tangga tahan pangan adalah sebesar 23,65 persen. Nilai ini meningkat pada tahun 2005 menjadi sebesar 35,90 persen dan kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi sebesar 36,30 persen. Tabel 9 Persentase status ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur Status Rumah Tangga Rawan Pangan Kurang Pangan Rentan Pangan Tahan Pangan
2002 Desa
Kota 13,85 13,50 41,72 30,93
18,76 6,97 56,06 18,21
Total 16,66 9,77 49,92 23,65
Kota
2005 Desa
Total
Kota
2008 Desa
Total
9,26 18,49 26,82 45,43
13,95 10,17 46,51 29,37
12,04 13,55 38,51 35,90
9,87 18,91 26,52 44,71
12,96 9,12 47,97 29,94
11,63 13,33 38,73 36,30
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan latar belakang daerah tempat tinggal, ternyata persentase rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Pada tahun 2008, rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan sebesar 12,96 persen sedangkan di perkotaan 9,87 persen. Sebaliknya, rumah tangga yang tahan pangan di perkotaan lebih banyak daripada di pedesaan. Rumah tangga tahan pangan di perkotaan pada tahun 2008 mencapai 44,71 persen sedangkan rumah tangga tahan pangan di pedesaan hanya sebesar 29,94 persen. Hal
ini
terkait
dengan
sarana
infrastruktur
yang
digunakan
untuk
mengklasifikasikan apakah pedesaan suatu daerah dikategorikan sebagai pedesaan
60
atau perkotaan. Terbatasnya sarana di pedesaan menyebabkan tingginya kerawanan pangan rumah tangga. Persentase rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan ternyata lebih besar dibandingkan di perkotaan. Rumah tangga yang diidentifikasi rentan pangan ini pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan kalori minimum, namun secara ekonomi memiliki pangsa pengeluaran pangan yang masih besar. Biaya hidup yang lebih murah di pedesaan menjadi salah satu penyebab terpenuhinya kebutuhan kalori meski pangsa pangannya lebih besar. Rumah tangga yang kurang pangan di perkotaan lebih besar dibandingkan pedesaan. Hal ini menunjukkan rumah tangga di perkotaan masih banyak yang tidak terpenuhi kebutuhan kalori minimumnya meski dari sisi ekonomi pangsa pangannya cukup kecil. Rumah tangga perkotaan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan non pangan meski kebutuhan kalorinya di bawah standar minimum yang dianjurkan. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, terlihat bahwa rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan studi Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga. Kepala rumah tangga yang memiliki pendidikan cukup baik, akan lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan sehingga mampu mendapatkan income yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pendidikan akan dapat meningkatkan produktivitas, yang selanjutnya mampu meningkatkan output sehingga dapat meningkatkan income. Pendidikan yang cukup baik juga akan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki sehingga dapat digunakan untuk menentukan pola makanan yang baik dan bergizi sehingga terhindar dari kerawanan pangan.
61
45
40,12
40
P e r s e n
37,56
35 30 25 20 15
12,04
10
9,60
5
0,67
0 Tidak Lulus SD
SD
SLTP
SLTA
Tingkat Pendidikan
PT
Gambar 13 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga adalah sumber penghasilan utama rumah tangga. Sumber penghasilan utama rumah tangga dapat didekati dengan lapangan usaha kepala rumah tangga. Secara umum, setiap rumah tangga di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya menganut sistem ‘single budget’ dimana kebutuhan seluruh anggota rumah tangga dipenuhi melalui satu pengelolaan manajemen keuangan. Kepala rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan istri/suami dan anggota rumah tangga lainnya bersifat membantu mencari nafkah. Oleh karena itu, lapangan usaha yang ditekuni oleh kepala rumah tangga dijadikan acuan dalam penentuan kategori sektor dalam penelitian ini. Diantara penduduk rawan pangan pada tahun 2008, ternyata persentase terbesar adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 44,35 persen (Gambar 14). Hal ini merupakan suatu kondisi yang ironis, mengingat pertanian adalah salah satu lapangan usaha yang menghasilkan bahan makanan namun rumah tangga di sektor pertanian merupakan rumah tangga yang rawan pangan. Apabila kondisi ini terjadi terus menerus maka lapangan usaha pertanian akan banyak ditinggalkan oleh masyarakat untuk beralih ke lapangan usaha lainnya yang memberikan
62
pendapatan. Akibatnya, hasil-hasil pertanian yang merupakan salah satu pendukung ketahanan pangan nasional dan sebagai jaminan ketersediaan pangan, ketersediannya akan terancam. Indonesia akan terus tergantung kepada impor bahan makanan dari negara lain sehingga tidak memiliki kemandirian pangan.
jasa (28,29)
industri (15,23)
tidak bekerja (12,14)
pertanian (44,35)
Gambar 14 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur (persen) Berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangganya, rumah tangga dibedakan menjadi enam kategori yaitu : (1) berusaha sendiri, (2) berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, (3) berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar (4) buruh/karyawan/pegawai, (5) pekerja bebas dan (6) pekerja tidak dibayar. Gambar 15 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga. Status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar merupakan status pekerjaan dengan persentase tertinggi dalam rumah tangga rawan pangan yaitu sebesar 25,70 persen. Tingginya persentase rumah tangga rawan pangan pada status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar menunjukkan tingginya resikonya terkena kerawanan pangan pada status tersebut. Status berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar sebagian besar merupakan pekerja informal dengan jaminan kepastian pekerjaan lebih rendah dibandingkan status lainnya. Kondisi ini disebabkan resiko yang harus ditanggung oleh para pekerja
63
dengan status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar lebih besar dibandingkan status pekerjaan lainnya. Pekerja bebas (15,40) Buruh/ karyawan (21,95)
Berusaha dibantu buruh tetap/dibayar (2,61)
Pekerja tidak dibayar(1,51)
Tidak bekerja (12,12) Berusaha sendiri (20,71)
Berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar (25,70)
Gambar 15 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan di Provinsi Jawa Timur (persen). Berdasarkan klasifikasi silang Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000), maka dapat dibuat peta tematik kerawanan pangan. Peta ini disusun untuk memberikan gambaran dinamika ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur. Peta ini disusun dengan tiga gradasi warna yang menunjukkan semakin gelap warna maka tingkat persentase rumah tangga rawan pangan semakin besar. Perbandingan dinamika kerawanan pangan dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu: (1) membandingkan kondisi kerawanan pangan 2002 dan 2005, (2) membandingkan kondisi kerawanan pangan 2005 dan 2008. Gambar 16 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan yang dibandingkan antara tahun 2002 dan 2005. Perbandingan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) wilayah dengan kondisi membaik yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari gelap ke arah yang lebih terang, (2) wilayah dengan kondisi memburuk yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari terang ke arah yang lebih gelap, (3) wilayah yang tidak berubah warnanya. Sebanyak 17 kabupaten/kota masuk dalam kelompok pertama, yaitu kelompok yang membaik dengan perubahan gradasi dari gelap ke warna yang semakin terang. Kelompok kedua
64
terdiri dari lima kabupaten/kota. Adapun kelompok ketiga terdiri dari 16 kabupaten/kota (Lampiran 13). 2002
2005
Keterangan : Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang
08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan
15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi
22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo
75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 16 Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur tahun 2002 dan 2005.
65
Gambar 17 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan yang dibandingkan antara tahun 2005 dan 2008. Perbandingan persentase rumah tangga rawan pangan pada tahun 2005 dan tahun 2008 juga dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) wilayah dengan kondisi membaik yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari gelap ke arah yang lebih terang, (2) wilayah dengan kondisi memburuk yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari terang ke arah yang lebih gelap, (3) wilayah yang masih dalam kelompok yang sama atau tidak berubah warnanya. Sepuluh kabupaten/kota masuk dalam kelompok pertama, yaitu kelompok yang membaik dengan perubahan gradasi dari gelap ke warna yang semakin terang. Kelompok kedua terdiri dari enam kabupaten/kota. Adapun kelompok ketiga terdiri dari 22 kabupaten/kota (Lampiran 13). Persentase rumah tangga yang rawan pangan pada Gambar 16 dan 17 mengalami penurunan dari tahun ke tahun menuju suatu kondisi yang konvergen. Namun hal ini tidak terjadi pada wilayah kepulauan. Persentase rumah tangga yang rawan pangan di wilayah kepulauan masih cukup tinggi yaitu lebih dari 20 persen. Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa secara konsisten ada daerah yang selalu membaik dengan perubahan gradasi warna dari arah gelap ke arah yang lebih terang. Daerah yang masuk kelompok ini terdiri dari 11 kabupaten/kota yaitu : Ponorogo, Trenggalek, Blitar, Jember, Mojokerto, Nganjuk, Magetan, Bojonegoro, Tuban, Gresik dan Bangkalan.
Daerah ini mampu menurunkan
kerawanan pangan karena didukung oleh meningkatnya produksi padi sebagai food availability, meningkatnya rata-rata lama sekolah yang merupakan stability dan bertambahnya access to food baik dari sisi panjang jalan maupun jumlah pasar (Lampiran 3, 6, 7 dan 8). Gambar 16 dan 17 juga menunjukkan bahwa terdapat daerah yang secara konsisten semakin memburuk yang ditunjukkan dengan perubahan gradasi dari warna terang ke arah yang lebih gelap. Daerah yang termasuk dalam kategori ini hanya ada satu yaitu Kabupaten Pamekasan. Kabupaten Pamekasan yang tidak dapat menurunkan persentase rumah tangga yang rawan pangan antara lain disebabkan oleh menurunnya produksi padi di tahun 2005 (Lampiran 3) dan
66
rusaknya infrastruktur jalan pada tahun 2008 (Lampiran 7). Kedua hal ini mengurangi food availability dan access to food. 2005
2008
Keterangan Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang
08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan
15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi
22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo
75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 17 Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur tahun 2005 dan 2008.
67
Berdasarkan uraian di atas, food availability, access to food dan stability merupakan faktor yang harus dicapai untuk menurunkan persentase rumah tangga rawan pangan di sepanjang waktu. Faktor-faktor tersebut harus terjaga stabilitasnya sehingga penurunan persentase rumah tangga rawan pangan dapat tercapai sepanjang waktu.
4.6 Hubungan Kemiskinan dan Kerawanan Pangan Kemiskinan sering dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendapatan sehingga kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Todaro (2000) menguraikan bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat pendapatan minimum merupakan batas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Kemiskinan memiliki kaitan yang erat dengan pemenuhan kebutuhan pangan (Sudiman, 2008). Kemiskinan dapat mengakibatkan kelaparan yang selanjutnya berdampak pada gizi kurang, bahkan kematian. Eratnya hubungan antara kemiskinan dan gizi kurang, mengakibatkan banyak orang sering mengartikan bahwa penanggulangan masalah gizi kurang baru dapat dilaksanakan bila keadaan ekonomi sudah baik. Tabel 10 menunjukkan perbandingan persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan persentase rumah tangga yang rawan pangan. Secara umum, persentase penduduk yang miskin menurun dari tahun ke tahun yang diiringi dengan menurunnya persentase rumah tangga rawan pangan. Hal ini menunjukkan semakin membaiknya kinerja perekonomian dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Tabel 10 Perbandingan persentase penduduk miskin dan rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur Uraian 1 Kota 2 Desa 3 Total
2002 Penduduk RT Rawan Miskin Pangan 21,47 19,31 20,06
13,85 18,76 16,66
2005 Penduduk RT Rawan Miskin Pangan 15,52 24,19 19,95
9,26 13,95 12,04
2008 Penduduk RT Rawan Miskin Pangan 13,15 23,64 18,51
9,87 12,96 11,63
Sumber : Penduduk miskin bersumber dari BPS, rumah tangga rawan pangan dihitung berdasarkan metode Jonsson dan Toole et al. (1991) dalam Maxwell (2000)
68
Gambar 18 menunjukkan kondisi ketahanan pangan rumah tangga pada penduduk miskin. Rumah tangga yang rawan pangan merupakan persentase yang paling besar. Persentase rumah tangga rawan pangan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2002 persentase penduduk miskin yang terindikasi rawan pangan sebanyak 50,44 persen. Nilai ini menurun menjadi 39,18 persen pada tahun 2005 dan kembali menurun menjadi 39,03 persen pada tahun 2008. 100%
2.66
4.37
6.36
38.11
34.75
90% 80%
P e r s e n
35.70
70% 60%
Tahan
11.20
50%
18.34
19.85
40% 30% 20%
Rentan Kurang
50.44
Rawan 39.18
39.03
2005
2008
10% 0% 2002
Tahun
Gambar 18 Status ketahanan pangan penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur. Pencegahan dan penanggulangan kerawanan pangan tidak harus menunggu penanggulangan masalah kemiskinan selesai. Kerawanan pangan dapat ditanggulangi antara lain dengan peningkatan food availability melalui peningkatan kapasitas produksi pangan dengan perbaikan sistem inovasi teknologi, perbaikan kualitas lahan dan pengembangan sistem irigasi (Hardono dan Kariyasa, 2006). Hal ini tentunya juga harus diikuti dengan upaya peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang pentingnya konsumsi pangan bergizi, beragam dan berimbang. Melalui peningkatan ketahanan pangan yang baik, kebutuhan gizi akan tercapai, produktivitas meningkat dan selanjutnya dapat menurunkan angka kemiskinan.