! " # $ % & ' ( ) * + ) ' , - * , " . ' / ) !"#$%&'#(&$)*$+$#(,)'-)./0(+)1$&&,$0$+&1) & . $ ) 0 " + " 1 & # 2 ) ' - ) 3 / 4 , " % ) 5 ' # 6 1 ) 1(&/(+)6$#7()+'+)8$#&"6(,)&$#&$+&/)91+8&:) 3$+(+**/,(+*(+)6$0"16"+(+)!")3$#6'&((+) ) )
+',/&)!"#*!0) )
+(&"'+(,)%'00/+"&2)$03'5$#0$+&)3#'*#(0) &.#'/*.)/#4(+)3'8$#&2)3#'7$%&)9+%$3;/33:)<==>))
%?@ABCDE@F)1GHIEJGA)K?H)()1DBLM)?@) 8?CB@DGGH)"@ADEDBDE?@NCEANDE?@)E@)3+30; /33)
"#$#%'!())*!
!
! ! ! !
!
!"#$%&'(& )'*#("++,&-(."/"#"/'(0*/.0"/'(& /(&12134511& & !
RINGKASAN
EKSEKUTIF
RINGKASAN
EKSEKUTIF
Studi
Pelembagaan
Kerelawanan
merupakan
kajian
eksploratif
terhadap
persoalan
kerelawanan
sebagai
bagian
terpenting
dalam
upaya
penanggulangan
kemiskinan
berbasis
pemberdayaan
masyarakat.
Studi
ini
dilatarbelakangi
oleh
adanya
kecenderungan
penurunan
keterlibatan
relawan
dalam
berbagai
kegiatan
P2KP.
Diduga,
kecenderungan
ini
terkait
dengan
rancangan
program
yang
sejauh
ini
gagal
memberikan
peran
keberlanjutan
yang
jelas
bagi
relawan.
Setidaknya
terdapat
tiga
pertanyaan
besar
yang
harus
dijawab
terkait
dengan
kerelawanan,
yaitu:
(1)
Bagaimana
peran
relawan
lokal
dalam
siklus
P2KP
dapat
disesuaikan
dalam
rangka
memenuhi
persyaratan‐ persyaratan
yang
muncul
dari
kegiatan
bersama
dengan
berbagai
pelaku
(pemerintah,
swasta,
masyarakat
sipil)?;
(2)
Apa
saja
persyaratan‐persyaratan
peningkatan
kapasitas
diantara
relawan
lokal
untuk
melaksanakan
peran
baru
tersebut?;
dan
(3)
Faktor‐faktor
apa
saja
yang
mempengaruhi
keberlanjutan
kerelawanan
lokal
di
lingkungan
perkotaan?
Melalui
6
(enam)
butir
pertanyaan
penelitian,
yaitu:
(1)
Siapa
sajakah
yang
menjadi
relawan
dan
apakah
jenis
kemampuan,
kapasitas
dan
komitmen
yang
mereka
bawa
ke
proyek?;
(2)
Sejauhmana
relawan
merepresentasikan
kepentingan
mayoritas
masyarakat
pada
umumnya
dan
kelompok
miskin
pada
khususnya?;
(3)
Bagaimana
peran
relawan
lokal
dalam
siklus
P2KP
dapat
disesuaikan
dalam
rangka
memenuhi
kebutuhan
yang
meningkat
dari
kegiatan
bersama
dengan
berbagai
pelaku
(pemerintah,
pihak
swasta,
masyarakat
sipil)?;
(4)
Apa
kebutuhan
peningkatan
kapasitas
diantara
relawan
lokal
untuk
melaksanakan
peran‐peran
baru
tersebut?;
(5)
Dapatkah
pelatihan
tambahan
khusus
dan
upaya
peningkatan
kapasitas
untuk
relawan
memperdalam
"kesenjangan
pemberdayaan"
di
dalam
masyarakat
sebagaimana
mereka
menjadi
sebuah
elit
baru
(elit
berdaya
yang
baru)?
Dan,
bagaimana
hal
ini
dapat
diatasi?;
serta
(6)
Faktor‐faktor
yang
mana
sajakah
yang
mempengaruhi
keberlanjutan
kerelawanan
lokal
di
lingkungan
perkotaan?,
studi
dilakukan
di
enam
kota
besar‐kecil
mewakili
tiga
fase
pelaksanaan
P2KP.
Keenam
kota
tersebut
adalah:
Makassar
dan
Gorontalo
(P2KP‐2),
Medan
dan
Bengkulu
(P2KP‐3),
serta
Surabaya
dan
Pasuruan
(PNPM‐2007).
Di
masing‐masing
kota
dikunjungi
dua
kelurahan
yang
mewakili
kelurahan
dengan
kategori
highest
level
dan
lowest
level
dalam
bidang
kerelawanan.
Jika
dipetakan,
posisi
ke‐12
kelurahan
yang
dikunjungi
adalah
sebagai
berikut:
Rural
Pesisir
Panggung‐ rejo
RuralUrban
Pertanian
Metropolis
Kepel
Karang
Berombak
Kota
Kecil
Urban
Metropolis
Kebun
Geran
Limba
B
Hamdan
Limba
U
Dua
i
Berkembang
Kebun
Dahri
Maccini
Tabaringan
Industri
Karangpoh
Kandangan
Secara
umum
dapat
disebut
tiga
lokasi
dengan
kondisi
kerelawanan
“bagus”,
yaitu:
Panggungrejo,
Karang
Berombak,
dan
Karangpoh.
Sedangkan
tiga
lokasi
dengan
kondisi
kerelawanan
“buruk”
adalah:
Limba
U
Dua,
Hamdan,
dan
Tabaringan.
Beberapa
kesimpulan
yang
dapat
ditafrik
dari
hasil
studi
ini
adalah:
a.
Profil
Relawan
•
•
•
•
• •
•
•
b.
Relawan
mayoritas
berpendidikan
SLTA,
kalaupun
terdapat
relawan
dengan
pendidikan
lebih
rendah
dari
itu
umumnya
dilengkapi
dengan
pendidikan
agama.
Tidak
terlihat
ada
perbedaan
kesempatan
antara
laki‐laki
dan
perempuan
untuk
menjadi
relawan
di
P2KP,
namun
secara
umum
terdapat
kecenderungan
peran
“lebih”
pada
relawan
perempuan.
Relawan
di
P2KP
umumnya
didominasi
oleh
kelompok
usia
36‐40
tahun,
atau
di
atasnya.
Dalam
hal
ini
ada
kecenderungan
relawan
yang
berusia
tua
cenderung
menjadikan
kerelawanan
sebagai
media
untuk
pengisi
waktu
luang,
sebagai
“ladang
amal”,
atau
bentuk
dari
tindakan
sosial.
Sebaliknya,
relawan
usia
muda
lebih
melihat
sisi
efektivitas
pemanfaatan
dan
perputaran
dana
BLM,
kemudahan
dalam
pengendalian,
atau
peluang
kerja.
Umumnya
relawan
adalah
mereka
yang
memiliki
usaha
sendiri
atau
ibu
rumah
tangga,
yang
memiliki
kebebasan
dalam
menentukan
jam
kerja
atau
memiliki
waktu
luang.
Relawan
P2KP
banyak
didominasi
oleh
tokoh‐tokoh
yang
kaya
pengalaman,
yang
cenderung
dinilai
memiliki
wawasan
luas
yang
bermanfaat
dalam
menangani
permasalahan
lingkungan.
Kedekatan
para
relawan
dengan
pihak
kelurahan
dirasakan
perlu,
terutama
dianggap
akan
memudahkan
banyak
hal.
Namun
demikian,
pada
umumnya
relawan
tidak
mengakui
adanya
intervensi
dari
pihak
kelurahan.
Kebanyakan
relawan
datang
dari
orang
miskin,
hal
ini
kensekuensi
dari
“kesalahan”
dalam
sosialisasi
yang
tidak
berhasil
menanamkan
pemahaman
bahwa
kemiskinan
adalah
masalah
seluruh
warga.
Dorongan
untuk
menjadi
relawan
umumnya
datang
dari
ajakan
orang‐orang
di
sekitarnya,
namun
demikian
kebanyakan
mereka
terlibat
di
P2KP
karena
adanya
“penunjukan”
dari
pihak
kelurahan
dan
perangkatnya.
Berdasarkan
penguasaan
terhadap
aset‐aset
penghidupan
(livelihood
assets)
yang
ada,
berikut
disajikan
beberapa
kesimpulan
kondisi
kerelawanan
di
berbagai
lokasi:
•
Terdapat
kecenderungan
adanya
kesamaan
sumberdaya
(natural,
physical,
human,
dan
financial,
bahkan
social
capital)
pada
lokasi‐ lokasi
yang
secara
geografis
berdekatan.
Pada
lokasi
demikian,
sangat
dimungkinkan
adanya
“kesamaan”
strategi
pengembangan
kerelawanan,
kecuali
jika
memang
benar‐benar
ada
ciri‐ciri
budaya
‐‐sebagai
bagian
dari
social
capital‐‐
yang
berbeda
secara
ekstrim.
ii
•
•
•
Secara
umum,
kondisi
sumberdaya
yang
dimiliki
tidak
dijadikan
pertimbangan
penting
dalam
sosialisasi,
sehingga
dalam
pelaksanaan
selanjutnya
sering
ditemukan
“kekurangberhasilan”
yang
bersumber
pada
strategi
yang
diterapkan.
Ketersediaan
sumberdaya
alam
dan
keuangan
memiliki
peran
penting
dalam
menentukan
keikutsertaan
relawan,
terutama
pola
intensitasnya
sebagai
relawan.
Pada
kota‐kota
“kecil”
terdapat
kemiripan
pola
pemilikan
sumberdaya,
sementara
pada
kota‐kota
“besar”
terdapat
perbedaan
dalam
pola
pemilikan
sumberdaya
antara
lokasi
yang
highest
level
dengan
lowest
level.
Pada
lokasi‐lokasi
yang
memiliki
potensi
kerelawanan
tinggi,
menunjukkan
ciri
kepemilikan
sumberdaya
sosial
sebagai
hal
yang
menonjol.
c.
Terkait
dengan
representasi
kepentingan
yang
“dibawa”
oleh
relawan,
dapat
disimpulkan
bahwa
secara
umum
terdapat
pemahaman
yang
kurang
tepat
terhadap
persoalan
kemiskinan
dan
desain
program.
Persoalan
kemiskinan
seringkali
hanya
dipahami
sebagai
kepentingan
warga
miskin
dan
pemerintah
(kelurahan),
akibatnya
warga
yang
tidak
miskin
merasa
tidak
berkepentingan
langsung
dengan
P2KP.
Akibat
selanjutnya,
sebagian
besar
relawan
datang
dari
kalangan
warga
miskin
karena
mereka
dianggap
merepresentasikan
kepentingan
warga
miskin.
d.
Proses
Pelembagaan
Kerelawanan
•
•
•
•
Secara
umum
kerelawanan
tidak
ditumbuhkan
melalui
proses
penanaman
nilai.
Relawan
direkrut
dengan
cara
dan
pola
yang
sama,
yaitu
melalui
proses
“seleksi
perwakilan”,
berangkat
dari
penunjukkan
RT
atau
RW
setempat.
Tujuan
pemberdayaan
hampir
tidak
pernah
tercapai
karena
kurangnya
pemahaman
para
pelaku
‐‐terutama
Faskel‐‐
terhadap
esensi
pemberdayaan.
Upaya
“menyambungkan”
kepentingan
antar
warga
secara
swadaya
(kaya‐miskin,
pintar‐bodoh,
sehat‐ sakit)
tidak
pernah
terjadi
secara
natural,
sehingga
penangganan
persoalan
kemiskinan
cenderung
tanpa
melibatkan
bukan
orang
miskin.
Dalam
banyak
kasus,
kerelawanan
dikembangkan
dengan
(hanya)
memanfaatkan
pendekatan
formal,
sehingga
struktur
proyek
sangat
dominan
dalam
pelaksanaan
di
lapangan.
Filosofi
hidup
dan
lokalitas
warga
tidak
banyak
dimanfaatkan
dalam
proses
pelembagaan
kerelawanan,
sehingga
muncul
fenomena
warga
(miskin)
yang
cenderung
tidak
merespon
“ajakan”
untuk
menumbuhkembangkan
kerelawanan.
Padahal
seharusnya
nilai‐ nilai
P2KP
sebagai
normal
baru
dikenalkan,
sehingga
warga
mengakui,
menghargai,
menaati,
dan
menghayati.
Faskel
lebih
banyak
menjadi
agen
“proyek”,
yang
disibukkan
oleh
jadwal
administrasi
proyek,
sementara
pendampingan
terhadap
relawan
pasca
pembangunan
BKM
tidak
terjadi
lagi.
Berikutnya
iii
•
•
•
•
•
e.
Pengembangan
Peran
Relawan
Ke
Depan
•
•
f.
Faskel
hanya
terpaku
pada
tokoh
yang
dijumpai
‐‐umumnya
anggota
BKM‐‐
dan
tidak
tergali
relawan‐relawan
baru
sebagai
sumberdaya
manusia
potensial.
Dalam
hal
ini
Faskel
melakukan
mistifikasi
terhadap
peran
tokoh
dan
mengabaikan
keberadaan
orang
lain
yang
mungkin
memiliki
potensi
sama.
BKM
semakin
tidak
tampil
dalam
fungsinya
sebagai
agen
pembangun/pengembang
keswadayaan
masyarakat,
sehingga
banyak
relawan
dan
calon
relawan
yang
putus
asa
dan
apatis,
“dijauhi
“
warga,
dan
sebagainya.
Disain
proyek
dan
terbatasnya
pemahaman
Faskel
juga
berdampak
pada
proses
pembelajaran
yang
tidak
berjalan.
Kebanyakan
Faskel
lebih
banyak
berperan
dengan
perspektifnya
sendiri,
bukan
perspektif
masyarakat
yang
didampingi.
Di
sisi
lain,
kegiatan
pemberdayaan
menjadi
berkembang
sangat
teknis
dan
tidak
sensitif
terhadap
pranata
dan
nilai‐nilai
masyarakat
setempat.
Manajemen
dan
disain
proyek
seringkali
dirasakan
sebagai
penyebab
utama
“gagal”nya
proses
pemberdayaan
di
tingkat
warga,
seperti
contoh
proses
mutasi
dan
promosi
Faskel
yang
berjalan
“terlalu
cepat”
dan
hanya
peka
terhadap
kebutuhan
administrasi
proyek.
Secara
umum
P2KP
lebih
mirip
sebagai
industri
massal
pemberdayaan,
yang
secara
dominan
menerjemahkan
proses
pemberdayaan
sendirian,
mengalahkan
proses
perkembangan
kerelawanan
di
masyarakat.
Hampir
semua
BKM
adalah
lembaga
yang
baru
dibentuk,
dan
sebagai
lembaga
baru
keberadaannya
justru
seringkali
“terlepas”
dari
social
context,
sehingga
keterlibatan
relawan
yang
merupakan
aktualisasi
dari
nilai‐nilai
kerelawanan
relatif
kurang.
Social
context
harus
dipahami
dengan
baik
jika
ingin
melembagakan
nilai‐nilai
kerelawanan
dalam
masyarakat.
Relawan
cenderung
dipahami
sebagai
prasyarat
proyek,
dan
saat
BKM
terbentuk
kebanyakan
relawan
ditinggalkan
dan
pendampingannyapun
hanya
tertuju
pada
BKM.
Dengan
kata
lain,
tidak
ada
kontinyuitas
pelibatan
relawan.
Relawan
adalah
orang
yang
in
dan
out
dari
program
kapan
saja,
sehingga
sangat
mungkin
relawan
terlibat
di
kegiatan
secara
temporer/musiman.
Ditemukan
di
hampir
semua
lokasi
bahwa
relawan
tidak
dapat
melakukan
kegiatannya
secara
berkesinambungan,
diantaranya
disebabkan
oleh
4
(empat)
faktor,
yaitu:
mata
pencaharian,
kebudayaan,
agama,
dan
faktor
politik.
Kontekstual‐Sosial
sebagai
Basis
Pelembagaan
Kerelawanan
•
Dalam
praktek
di
lapangan,
program
(P2KP)
sendiri
masih
bersifat
“proyek”,
dalam
arti
sangat
mengedepankan
ukuran‐ukuran
waktu
dan
target‐target
administratif.
Intervensi
siklus
selama
ini
hanya
iv
• •
•
•
menjadi
“racun”
dengan
menjadi
masyarakat
sebagai
instrumen,
sementara
BLM
dijadikan
“madu”.
Pengembangan
peran
kerelawanan
ternyata
tidak
cukup
dengan
memberikan
pelatihan,
karena
relawan
yang
dilatih
kebanyakan
“baru”
dan
tidak
berkesinambungan.
Belum
ada
pola
yang
digunakan
untuk
mengelola
peran
relawan
yang
sejak
mula
terlibat
kegiatan,
sehingga
upaya
mendorong
pemberdayaan
secara
swadaya
tidak
pernah
terjadi.
Pengembangan
peran
relawan
ke
depan
seharusnya
mempertimbangkan
struktur
sosial,
determinan
sosial,
integrator
sosial,
dinamika
sosial,
sampai
pada
persepsi
sosial
masyarakat
terhadap
lingkungannya.
Posisi
dan
peranan
masing‐masing
unsur
dari
struktur
tersebut
diharapkan
mengarah
kepada
tujuan‐tujuan
pemberdayaan.
Memperhatikan
keragaman
isu
di
setiap
lokasi
maka
strategi
pengembangan
dan
pelembagaan
kerelawaan
tidak
bisa
digeneralisir.
Karenanya,
semuanya
harus
diawali
dari
langkah
identifikasi
dan
memahami
situasi
kontekstual‐sosial
lokal.
v
KATA
PENGANTAR
P
uji
syukur
kami
panjatkan
ke
hadapan
Tuhan
Yang
Maha
Esa
atas
selesainya
penyusunan
Laporan
Akhir
(Final
Report)
untuk
pekerjaan
“Study
on
Volunteer
Institutionalisation
in
PNPMUPP”.
Seperti
kita
tahu,
studi
ini
merupakan
satu
bagian
dari
delapan
tematik
studi
evaluasi
P2KP.
Laporan
Antara
ini
secara
umum
berisikan
tentang
hasil
penggalian
data
lapangan.
Dengan
demikian,
laporan
ini
mengandung
rincian
tentang
kondisi
kerelawanan
secara
umum,
yang
secara
operasional
diturunkan
ke
dalam
6
(enam)
pertanyaan
penelitian.
Diharapkan
laporan
ini
dapat
menjadi
bukti
unjuk
kerja
pelaksanaan
pekerjaan
yang
telah
dilakukan
serta
menjadi
acuan
bagi
lanjutan
kegiatan
berikutnya.
Atas
segala
kekurangan
yang
ada,
secara
tulus
PT
Multidecon
Internal
mengharap
maaf
serta
kritik
yang
konstruktif
demi
perbaikan.
Terima
kasih.
Jakarta,
Februari
2010
PT.
Multidecon
Internal
Direksi
vi
DAFTAR
ISI
RINGKASAN
EKSEKUTIF
.............................................................................
KATA
PENGANTAR
...............................................................................
DAFTAR
ISI
.............................................................................................
DAFTAR
TABEL
......................................................................................
DAFTAR
GAMBAR
.................................................................................
DAFTAR
KOTAK
.....................................................................................
DAFTAR
SINGKATAN
DAN
ISTILAH
...................................................
BAB
1
LATAR
BELAKANG
.....................................................................
1.1. Perspektif
dalam
Penanggulangan
Kemiskinan
................
1.1.1. Arah
dan
Kebijakan
Penanggulangan
Kemiskinan
Nasional
.................................................
1.1.2. Koordinasi
Program‐program
Penanggulangan
Kemiskinan
..................................................................
1.1.3. Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan
....................................................................
1.2. Keterlibatan
Relawan
dalam
Pelaksanaan
P2KP
...............
1.3. Kebutuhan
Studi
Evaluasi
Kualitatif
terhadap
Kerelawanan
.............................................................................
BAB
2
TUJUAN
KAJIAN
DAN
PERTANYAAN
PENELITIAN
.................
2.1.
Tujuan
Kajian
..........................................................................
2.2.
Pertanyaan
Penelitian
...........................................................
BAB
3
METODOLOGI
.....................................................................................
3.1.
Pendekatan
...........................................................................
3.2.
Kerangka
Konseptual
...................................................................
3.2.1. Jatidiri
Relawan
..........................................................
3.2.2. Faktor‐faktor
Penghidupan
Relawan
......................
3.2.3. Kondisi
Aset
Penghidupan
Relawan
.......................
3.3. Operasionalisasi
Konsep
......................................................
3.3.1. Dimensi
dan
Indikator
..............................................
3.3.2. Pembobotan
..............................................................
BAB
4
KONDISI
KERELAWANAN
DI
6
LOKASI
......................................
4.1.
Kerelawanan
di
Kota
Medan
................................................
4.1.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
....................
4.1.2. Isu‐isu
dan
Kecenderungan
Kerelawanan
..............
4.2.
Kerelawanan
di
Kota
Bengkulu
...........................................
4.2.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
....................
4.2.2. Isu‐isu
dan
Kecenderungan
Kerelawanan
..............
4.3.
Kerelawanan
di
Kota
Surabaya
...............................................
4.3.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
....................
4.3.2. Isu‐isu
dan
Kecenderungan
Kerelawanan
..............
4.4.
Kerelawanan
di
Kota
Pasuruan
...........................................
4.4.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
....................
4.4.2. Isu‐isu
dan
Kecenderungan
Kerelawanan
..............
4.5.
Kerelawanan
di
Kota
Makassar
...........................................
vii
i
vi
vii
ix
x
xii
xiii
1
2
2
3
5
8
9
11
11
12
13
13
14
14
17
21
22
22
23
27
27
28
34
42
42
47
53
53
68
92
92
97
117
4.5.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
....................
4.5.2. Isu‐isu
dan
Kecenderungan
Kerelawanan
..............
4.6.
Kerelawanan
di
Kota
Gorontalo
..........................................
4.6.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
....................
4.6.2. Isu‐isu
dan
Kecenderungan
Kerelawanan
..............
BAB
5
PELEMBAGAAN
KERELAWANAN
..................................................
5.1.
Jatidiri
Relawan
...............................................................................
5.1.1. Relawan
Menurut
Latar
Belakang
Pendidikan
.......
5.1.2. Relawan
Menurut
Jenis
Kelamin
..............................
5.1.3. Relawan
Menurut
Usia
..............................................
5.1.4. Relawan
Menurut
Jenis
Pekerjaan
...........................
5.1.5. Relawan
Menurut
Kategori
Ketokohan
..................
5.1.6. Relawan
Menurut
Kedekatan
Akses
Birokrasi
.......
5.1.7. Relawan
Menurut
Intensitasnya
Dalam
Aktivitas
Sosial
...........................................................................
5.1.8. Relawan
Menurut
Status
Sosial
Ekonomi
...............
5.1.9. Relawan
Menurut
Sumber
Dorongan
Keikutsertaan
.............................................................
5.2.
Kerelawanan
Dipandang
Dari
Aset
Penghidupan
............
5.3. Proses
Pelembagaan
Kerelawanan
.......................................
5.4. Pengembangan
Peran
Relawan
Ke
Depan
........................
5.5. Kontekstual‐Sosial
sebagai
Basis
Pelembagaan
Kerelawanan
...........................................................................
BAB
6
KESIMPULAN
........................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA
.........................................................................................
LAMPIRANLAMPIRAN
................................................................................
viii
117
124
140
140
146
157
157
158
160
163
169
171
173
175
176
178
179
215
223
234
241
253
DAFTAR
TABEL
Tabel
1.1.
Gambaran
Umum
Program
P2KP
................................................
Tabel
1.2.
Jangkauan
Program
Tingkat
Desa
dan
Rata‐rata
Partisipasi
Perempuan
Menurut
Tahapan
P2KP
...............................................
Tabel
3.1.
Matrik
Penilaian
Livelihood
Asset
...............................................
Tabel
4.1.
Hubungan
Kelompok
Usia
Sekolah
dengan
Jenis
Kelamin
Di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan
...........................................
Tabel
5.1.
Hubungan
antara
Kelompok
Usia
Sekolah
dengan
Jenis
Kelamin
Di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan
.........................
Tabel
5.2.
Pemetaan
Kategori
Warga
Berdasarkan
Lokasi
RW
di
Kelurahan
Kandangan
...........................................................................
ix
7
8
25
94
159
204
DAFTAR
GAMBAR
Gambar
1.1.
Tiga
Klaster
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
............
Gambar
1.2.
Analogika
Tiga
Klaster
Program
.............................................
Gambar
3.1.
Kerangka
Pendekatan
Penghidupan
Berkelanjutan
(Sustainability
Livelihood
Approach)
.........................................
Gambar
4.1.
Peta
Kota
Medan
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
....................
Gambar
4.2.
Peta
Elite
Capture
Di
Kelurahan
Karang
Berombak
..............
Gambar
4.3.
Situasi
Salah
Satu
Sudut
Pusat
Kota
Bengkulu
.......................
Gambar
4.4.
Peta
Kota
Bengkulu
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
...............
Gambar
4.5.
Pemandangan
Salah
Satu
Infrastruktur
Lingkungan
di
Kelurahan
Kebun
Geran,
Bengkulu
.............................................
Gambar
4.6.
Peta
Kota
Surabaya
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
...............
Gambar
4.7.
Potret
Lingkungan
Permukiman
Warga
Kaplingan
Di
Kelurahan
Kandangan
......................................................................
Gambar
4.8.
Potret
Permukiman
Warga
Kos‐kosan
Di
Kelurahan
Kandangan
............................................................................................
Gambar
4.9.
Potret
Pelaksanaan
PNPM‐P2KP
Di
Kelurahan
Karangpoh
Gambar
4.10.
Peta
Kota
Pasuruan
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
............
Gambar
4.11.
Peta
Administrasi
dan
Sosial‐Ekonomi
Kelurahan
Kepel,
Pasuruan
..............................................................................................
Gambar
4.12.
Lokasi
Makhluk
Halus
di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan
..............................................................................................
Gambar
4.13.
Potensi
Ternak
Kambing
dan
Pertanian
di
Kelurahan
Kepel,
Pasuruan
................................................................................
Gambar
4.14.
Peta
Kota
Makassar
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
............
Gambar
4.15.
Peta
Kota
Gorontalo
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
..........
Gambar
4.16.
Pemandangan
Beberapa
Sudut
Kel.
Limba
U
Dua,
Gorontalo
............................................................................................
Gambar
5.1.
Profil
Relawan
Menurut
Latar
Belakang
Pendidikan
.............
Gamabr
5.2.
Profil
Relawan
Menurut
Jenis
Kelamin
.......................................
Gambar
5.3.
Profil
Relawan
Menurut
Usia
..........................................................
Gambar
5.4.
Profil
Relawan
Menurut
Jenis
Pekerjaan
...................................
Gambar
5.5.
Profil
Relawan
Menurut
Jenis
Pekerjaan
Di
Masing‐masing
Kota
Yang
Diteliti
................................................................
Gambar
5.6.
Peta
Hubungan
Kerelawanan
dengan
Status
Sosial
Ekonomi
Di
Kelurahan
Limba
B,
Gorontalo
.............................
Gambar
5.7.
Peta
Hubungan
Kerelawanan
dengan
Status
Sosial
Ekonomi
Di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan
...................
Gambar
5.8.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kota
Gorontalo
.........
Gambar
5.9.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kota
Bengkulu
...........
Gambar
5.10.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kelurahan
Tabaringan,
Makassar
.....................................................................
Gambar
5.11.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kota
Pasuruan
.........
Gambar
5.12.
Rel
Kereta
Api
Yang
Menempatkan
Panggungrejo
di
Posisi
Lore
Rel
.................................................................................
x
3
4
16
28
31
42
43
44
53
66
67
71
92
96
107
112
118
140
145
158
161
163
170
171
177
178
181
182
188
189
194
Gambar
5.13.
Skema
Hubungan
Kekerabatan
Antar
Relawan
Di
Kelurahan
Panggungrejo
..............................................................
Gambar
5.14.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kota
Surabaya
.........
Gambar
5.15.
Hubungan
Antara
Partisipasi
Relawan
dengan
Tingkat
Perekonomian
Pada
Masing‐masing
Kategori
Warga
di
Kelurahan
Kandangan
....................................................................
Gambar
5.16.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kr.
Berombak
..........
Gambar
5.17.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Hamdan
....................
Gambar
5.18.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Maccini
......................
Gambar
5.19.
Pemahaman
Siklus
Program
.......................................................
Gambar
5.20.
Potret
Para
Istri
Yang
Sedang
Memperbaiki
Jala,
Sambil
Mengasuh
Anak
Ketika
Suami
Melaut
.....................................
Gambar
5.21.
Analisis
Strategi
Pengelolaan
Efektivitas
Kerja
KMW
........
Gambar
5.22.
Peta
Kultural
Masyarakat
Jawa
Timur
......................................
xi
196
201
205
206
210
212
224
230
234
237
DAFTAR
KOTAK
Kotak
4.1.
RASA
PENASARAN
TENTANG
P2KP
............................................
Kotak
4.2.
TRANSPARANSI
ALA
KARANGPOH
............................................
Kotak
4.3.
SUSAHNYA
MENCARI
RELAWAN
DI
KEPEL
...............................
Kotak
4.4.
BAGAIMANA
ORANG
TUA
MEMAHAMI
RELAWAN?
................
Kotak
4.5.
SUSAHNYA
“MENCARI”
REAWAN
DI
TABARINGAN
................
Kotak
4.6.
SUSAHNYA
MENCARI
RELAWAN
DI
LIMBA
U
DUA
..................
Kotak
4.7.
BENARKAH
RELAWAN
BEKERJA
TANPA
PAMRIH
....................
Kotak
4.8.
DERITA
SEORANG
RELAWAN
.....................................................
xii
38
70
117
132
138
152
154
155
DAFTAR
SINGKATAN
DAN
ISTILAH
AD
APS
ART
BKKBN
BKM
BLM
BLT
BUMN
Caleg
CBD
CD
DFID
Faskel
FGD
IPDN
Jamkesmas
Kepling
KK
KMP
KMW
Korkot
KS
KSM
KTP
KUR
LSM
MA
MI
MTs
MDGs
NGO
P2KP
PAKET
PAUD
PKB
PKK
PNPM
PNS
Posyandu
PJM
Pronangkis
PS
PT
Raskin
Anggaran
Dasar
Angka
Partisipasi
Sekolah
Anggaran
Rumah
Tangga
Badan
Koordinasi
Keluarga
Berencana
Nasional
Badan
Keswadayaan
Masyarakat
Bantuan
Langsung
Masyarakat
Bantuan
Lansung
Tunai
Badan
Usaha
Milik
Negara
Calon
Legislatif
Central
Bussiness
Distric
Community
Development
Department
for
International
Development
Fasilitator
Kelurahan
Focus
Group
Discussion
Institut
Pemerintahan
Dalam
Negeri
Jaminan
Kesehatan
Masyarakat
Kepala
Lingkungan
Kepala
Keluarga
Konsultan
Manajemen
Pusat
Konsultan
Manajemen
Wilayah
Koordinator
Kota
Keluarga
Sejahtera
Kelompok
Swadaya
Masyarakat
Kartu
Tanda
Penduduk
Kredit
Usaha
Rakyat
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
Madrasah
Aliyah
Madrasah
Ibtida’iyah
Madrasah
Tsanawiyah
Millennium
Development
Goals
Non
Government
Organization
Proyek
Penanggulangan
Kemiskinan
di
Perkotaan
Penanggulangan
Kemiskinan
Terpadu,
sama
dengan
PAPG
Pendidikan
Anak
Usia
Dini
Perkumpulan
Keluarga
Berencana
Pembinaan
Kesejahteraan
Keluarga
Program
Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
Pegawai
Negeri
Sipil
Pos
Pelayanan
Terpadu
Pembangunan
Jangka
Menengah
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Pemetaan
Swadaya
Perguruan
Tinggi
Beras
untuk
orang
Miskin
xiii
RK
RKM
RT
RTM
RW
SD
SDM
SF
SKPD
SLA
SLTA
SMK
SMU
UP
UPK
UPL
UPP
UPS
UPTD
Refleksi
Kemiskinan
Rembug
Kesiapan
Masyarakat
Rukun
Tetangga
Rumah
Tangga
Miskin
Rukun
Warga
Sekolah
Dasar
Sumberdaya
Manusia
Senior
Fasilitator
Satuan
Kerja
Perangkat
Daerah
Sustainability
Livelihood
Approach
Sekolah
Lanjut
Tingkat
Atas
Sekolah
Menengah
Kejuruan
Sekolah
Menengah
Umum
Unit
Pengelola
yang
dibentuk
BKM
Unit
Pengelola
Keuangan
Unit
Pengelola
Lingkungan
Urban
Poverty
Project
(P2KP)
Unit
Pengelola
Sosial
Unit
Pelayanan
Terpadu
Daerah
xiv
DRAFT
FINAL
REPORT
Bab
1
LATAR
BELAKANG
LATAR
BELAKANG
S
tudi
ini
meneliti
tentang
“kerelawanan”
(volunteerism),
yang
dipahami
sebagai
kondisi
seseorang
atau
sekelompok
orang
yang
secara
ikhlas
karena
panggilan
nuraninya
memberikan
apa
yang
dimilikinya
tanpa
mengharapkan
imbalan/upah
ataupun
karir.
Relawan
didedikasikan
untuk
penanggulangan
kemiskinan
di
lingkungan
tempat
tinggal
mereka,
dimana
mereka
bersedia
mengorbankan
waktu,
tenaga,
pikiran,
dan
bahkan
materi
sebagai
bagian
dari
keterlibatan
mereka
dalam
proses
pemberdayaan
masyarakat
pada
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan
(P2KP).
Masalah
penelitian
terletak
pada
“jatidiri
relawan”
yang
muncul
dalam
masyarakat
yang
berperan
untuk
menanggulangi
kemiskinan
di
lingkungan
tinggal
mereka.
Dengan
demikian,
fokus
penelitian
ini
adalah
pada
jatidiri
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
1
DRAFT
FINAL
REPORT
relawan,
dimana
jatidiri
atau
identitas
diartikan
sebagai
pengenalan
atau
pengakuan
terhadap
seseorang
termasuk
dalam
sesuatu
golongan
yang
dilakukan
berdasarkan
atas
serangkaian
ciri‐cirinya
yang
merupakan
satu
satuan
yang
bulat
dan
menyeluruh,
yang
menandainya
sebagai
termasuk
dalam
golongan
tersebut.1
1.1.
Perspektif
dalam
Penanggulangan
Kemiskinan
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan
diinisiasi
pada
tahun
1997
sebagai
respon
terhadap
meningkatnya
angka
kemiskinan
yang
diakibatkan
oleh
krisis
moneter
yang
kemudian
berkembang
menjadi
krisis
ekonomi,
sosial,
dan
politik.
Pada
saat
bersamaan,
penanggulangan
kemiskinan
dan
pengembangan
manusia
menjadi
tujuan
utama
politik
sesuai
komitmen
global
menuju
pencapaian
MDGs.
1.1.1. Arah
dan
Kebijakan
Penanggulangan
Kemiskinan
Nasional
Pemerintah
terus
berupaya
untuk
menekan
angka
kemiskinan
dan
pengurangan
pengangguran.
Untuk
perbaikan
kondisi
sosial,
ekonomi,
budaya,
dan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
miskin,
pemerintah
menetapkan
tiga
jalur
strategi
pembangunan,
yaitu:
a.
Strategi
Pro‐Pertumbuhan
(ProGrowth),
untuk
meningkatkan
dan
mempercepat
pertumbuhan
ekonomi
melalui
upaya
menarik
investasi,
ekspor,
dan
bisnis,
termasuk
perbaikan
iklim
investasi.
b.
Strategi
Pro‐Lapangan
Kerja
(ProJob),
untuk
menciptakan
lapangan
kerja
termasuk
di
dalamnya
menciptakan
pasar
tenaga
kerja
yang
fleksibel
dan
menciptakan
hubungan
industri
yang
kondusif.
c.
Strategi
Pro‐Masyarakat
Miskin
(ProPoor),
untuk
meningkatkan
kapasitas
dan
kualitas
masyarakat
agar
dapat
berkontribusi
terhadap
pembangunan,
memperluas
akses
layanan
dasar,
dan
merevitalisasi
sektor
pertanian,
kehutanan,
kelautan,
dan
ekonomi
pedesaan.
1
Suparlan,
Parsudi
(2004).
Hubungan
Antar
Sukubangsa.
Jakarta:
YPKIK,
halaman
25
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
2
DRAFT
FINAL
REPORT
Pembangunan
ekonomi
dilaksanakan
untuk
mewujudkan
kesejahteraan
rakyat
secara
adil
dan
merata.
Oleh
karena
itu,
strategi
dasar
(grand
strategy)
yang
digariskan
adalah
strategi
“pertumbuhan
disertai
pemerataan”
(growth
with
equity).
1.1.2. Koordinasi
Programprogram
Penanggulangan
Kemiskinan
Sebagai
upaya
koordinasi,
pemerintah
mengelompokkan
program‐ program
penanggulangan
kemiskinan
berdasarkan
segmentasi
masyarakat
miskin
penerima
program
sebagaimana
diilustrasikan
pada
Gambar
1.1.2
Gambar
1.1.
Tiga
Klaster
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
PERTAMA
KLASTER
PROGRAM
Koordinasi:
Menko
Kesra,
Depsos,
Diknas,
Depkes,
Bappenas
Bantuan
dan
Perlindungan
Sosial
Sasaran:
• RT
Sangat
Miskin
• RT
Miskin
• RT
Hampir
Miskin
Koordinasi:
Koordinasi:
Menko
Kesra,
Bappenas
Pemberdayaan
Masyarakat
Sasaran:
• Kel.
Masyarakat
Miskin
• Kel.
Masyarakat
Hampir
Miskin
Menko
Perekonomian,
Menneg
Koperasi
dan
UKM
Pemberdayaan
Usaha
Mikro
dan
Kecil
Sasaran:
• Pelaku
Usaha
Mikro
dan
Kecil
KEDUA
KLASTER
PROGRAM
KETIGA
KLASTER
PROGRAM
Sumber:
Tim
Koordinasi
Penanggulangan
Kemiskinan
Republik
Indonesia
(2008),
halaman
11.
Ketiga
klaster
program
penanggulangan
kemiskinan
tersebut
dapat
dirinci
lebih
jauh
sebagai
berikut:
2
Tim
Koordinasi
Penanggulangan
Kemiskinan
Republik
Indonesia
(2008).
Memahami
Kebijakan
Percepatan
Penanggulangan
Kemiskinan
dan
Perluasan
Kesempatan
Kerja.
Buku
Saku
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
2008.
Jakarta.
Diterbitkan
oleh
Kementerian
Koordinator
Bidang
Kesejahteraan
Rakyat.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
3
DRAFT
FINAL
REPORT
1.
Klaster
pertama,
Bantuan
dan
Perlindungan
Sosial.
Klaster
ini
dapat
dianalogikan
seperti
pemberian
ikan
bagi
rumah
tangga
sangat
miskin,
miskin,
dan
hampir
miskin,
yang
memang
membutuhkan
bantuan
perlindungan
sosial.
Dalam
konteks
program,
klaster
ini
adalah
kelompok
program
bantuan
dan
perlindungan
sosial
yang
ditujukan
terutama
bagi
masyarakat
termiskin
di
antara
yang
miskin
(the
poor
of
the
poorest).
2.
Klaster
kedua,
Pemberdayaan
Masyarakat.
Klaster
ini
dapat
diibaratkan
sebagai
pemberian
kail
bagi
kelompok
masyarakat
miskin
dan
hampir
miskin
agar
masyarakat
dapat
mandiri.
Dalam
konteks
program,
klaster
ini
adalah
kelompok
program‐program
yang
bertujuan
untuk
memberdayakan
masyarakat
melalui
Program
Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
(PNPM)
Mandiri.
Mereka
yang
tidak
termasuk
atau
sudah
lepas
dari
klaster
pertama
didorong
dan
difasilitasi
untuk
dapat
mengoptimalkan
potensi
yang
mereka
miliki.
Termasuk
dalam
klaster
ini
adalah
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
di
Perkotaan
(P2KP).
Gambar
1.2.
Analogika
Tiga
Klaster
Program
“dibantu
untuk
punya
pancing
dan
perahu”
“diajari
memancing”
“diberi
ikan”
III.
Klaster
Program:
Pemberdayaan
Usaha
Mikro
dan
Kecil
II.
Klaster
Program:
Pemberdayaan
Masyarakat
I.
Klaster
Program:
Bantuan
dan
Perlindungan
Sosial
Sumber:
Tim
Koordinasi
Penanggulangan
Kemiskinan
Republik
Indonesia
(2008),
halaman
12.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
4
DRAFT
FINAL
REPORT
3.
Klaster
ketiga,
Pemberdayaan
Usaha
Mikro
dan
Kecil.
Klaster
ini
ibarat
memberikan
pancing
dan
perahu
bagi
kelompok
masyarakat
miskin
yang
sudah
mandiri
dan
siap
untuk
mengembangkan
usahanya,
bahkan
dapat
menciptakan
lapangan
pekerjaan
bagi
orang
lain.
Dalam
konteks
program,
klaster
ini
ditujukan
bagi
kelompok/
individu
masyarakat
miskin
yang
sudah/tidak
masuk
ke
dalam
kategori
penerima
klaster
pertama
dan
kedua
karena
dinilai
memiliki
mata
pencaharian
atau
usaha
yang
cukup
untuk
dapat
membiayai
kebutuhan
dasarnya,
namun
tetap
perlu
ditingkatkan.
Program‐program
yang
termasuk
dalam
klaster
ini
adalah
program‐program
bantuan
bagi
pemberdayaan
dan
pengembangan
usaha
mikro
dan
kecil,
baik
berupa
bantuan
modal
ataupun
peningkatan
kapasitas,
dan
Kredit
Usaha
Rakyat
(KUR).
1.1.3. Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan
bertujuan
mengurangi
kemiskinan
di
perkotaan
melalui
peningkatan
kapasitas
tindakan
bersama
oleh
masyarakat
miskin
perkotaan
dan
memberikan
bantuan
langsung
masyarakat
(BLM)
untuk
kelompok‐kelompok
masyarakat.
Program
ini
dilaksanakan
melalui
organisasi
masyarakat
(BKM)
yang
terpilih
dan
terbangun
secara
demokratis.
Fasilitator
Kelurahan
membantu
masyarakat
melalui
proses
mengangkat
kepedulian,
pemetaan
kemiskinan,
pemilihan
BKM,
dan
persiapan
rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Program
Penanggulangan
kemiskinan
(PJM
Pronangkis)
oleh
BKM.
BKM
selanjutnya
diberi
hibah
yang
dapat
digunakan
untuk
kegiatan
pengembangan
masyarakat
berkisar
dari
infrastruktur
berskala
kecil
hingga
kredit
mikro
dan
pengembangan
usaha
jasa‐jasa
lain
yang
bertujuan
mengurangi
kemiskinan.
Hingga
tahun
2009,
pelaksanaan
P2KP
sudah
dan
sedang
berjalan
dalam
9
(sembilan)
fase
proyek,
yang
umumnya
sudah
menyentuh
seluruh
propinsi
yang
ada,
mencakup
kurang
lebih
34,095
juta
keluarga
miskin,
dan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
5
DRAFT
FINAL
REPORT
melibatkan
pembiayaan
hingga
sebanyak
kurang
lebih
US$
941,58.3
Lebih
rinci
hal
ini
bisa
diikuti
pada
Tabel
1.1.
Dalam
konteks
keberlanjutan
program,
pelaksanaan
P2KP
‐‐khususnya
UPP‐1,
UPP‐2,
dan
UPP‐3‐‐
berusaha
melibatkan
sebanyak
mungkin
pihak,
baik
dari
pemerintah,
swasta,
maupun
masyarakat
itu
sendiri.
Khususnya
untuk
komponen
masyarakat,
sejak
awal
program
ini
meyakini
bahwa
keberlanjutan
program
tergantung
pada
peran
relawan
yang
dapat
dibangun
melalui
proses
pemberdayaan
secara
massive.
Hal
ini
sangat
bisa
dimengerti
mengingat
relawan
dapat
dicari
dan
dikembangkan
dari
lingkungan
setempat
diseleksi
dari
mereka
yang
bersedia
mengorbankan
waktu,
tenaga,
pikiran,
dan
bahkan
materi
untuk
kepentingan
proses
pemberdayaan
masyarakat,
khususnya
untuk
kepentingan
keberlanjutan
P2KP.
3
World
Bank
(2009).
Overview
of
UPP/PNPMUrban.
Materi
Disampaikan
pada
“Lokakarya
Persiapan
dan
Pelatihan
8
Studi
Tematik
Evaluasi
P2KP”.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
6
DRAFT
FINAL
REPORT
Tabel
1.1.
Gambaran
Umum
Program
P2KP
PNPM
Urban
2008
PNPM
Urban
2008
Additional
Financing
Housing
NAD
&
Nias
Housing
DI
Yogyakarta
2005‐2009
2006‐2009
UPP1
UPP2
UPP3
UPPAceh
UPP2
Additional
Financing/PNPM
Period
1999
‐
2004
2002‐2008
2004‐2009
2006‐2009
2007
2008‐2011
2009‐2011
Status
Completed
by
June
2004
Basic
program
completed;
PAPG
is
ongoing
Basic
program
com‐ pleted;
PAPG
&
ND
is
ongoing
80%
Disbursed
60%
Disbursed
Utilization
of
kel
grant;
60%
dis‐ bursed
Negotiated
Location
Urban
area
in
Urban
area
in
southern
coast
Urban
area
in
6
Kabupaten
northern
coast
of
of
Java,
kalimantan
(except
Sumatera,
Maluku,
East
affected
by
disaster
Java,
DI
Yogyakarta
East
Kalimantan),
Sulawesi
Kalimantan,
East
Nusa
in
Aceh
and
Kota
Malang
and
West
Nusa
Tenggara
Tenggara,
and
Papua,
Indonesia
Indonesia
Western
part
of
Indonesia;
14
provinces
Aceh
Central
and
West
Java
and
Yogyakarta
Special
Region
80%
Disbursed
75%
Disbursed
Number
of
Provinces
6
13
14
1
33
33
19
1
3
Number
of
Kota/
Kabupaten
58
79
101
6
249
244
158
14
6
2.548
2.227
2.456
402
7.273
10.791
6.168
126
100
Number
of
Poor
6,8
million
3,9
million
5,86
million
‐
3,5
million
families
14
million
families
‐
Total
Funding
(US$)
100
Million
(IDA)
108,6
Million
(IDA
78,5
million)
142,3
Million
(IDA
71,4
million)
18
Million
(grant
MDF)
135
Million
(IDA)
177,68
Million
(IDA/IBRD)
115
Million
(IBRD)
Number
of
Kelurahan
15.000
affected
20.000
affected
families
families
85
Million
(grant
MDF)
Sumber:
World
Bank
(2009).
Overview
of
UPP/PNPMUrban.
Materi
Disampaikan
pada
“Lokakarya
Persiapan
dan
Pelatihan
8
Studi
Tematik
Evaluasi
P2KP”.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
7
60
Million
(grant
JRF)
DRAFT
FINAL
REPORT
1.2.
Keterlibatan
Relawan
dalam
Pelaksanaan
P2KP
Dalam
pelaksanaan
P2KP
selama
ini,
sejumlah
besar
relawan
telah
dilibatkan
di
setiap
tahapan
kegiatan
proyek,
mulai
dari
tahap
mengangkat
kepedulian
masyarakat
(refleksi
kemiskinan),
pemetaan
swadaya,
membangun
BKM,
menyusun
PJM
Pronangkis,
hingga
keterlibatannya
pasca
BKM
terbentuk,
yaitu
menjadi
anggota
BKM
(lihat
Tabel
1.2).
Tabel
1.2.
Jangkauan
Program
Tingkat
Desa
dan
Ratarata
Partisipasi
Perempuan
Menurut
Tahapan
P2KP
Fase
Proyek
Jumlah
BKM
Jumlah
Anggota
BKM
%
Anggota
Perempuan
Jumlah
%
Relawan
Relawan
Perempuan
Jumlah
Anggota
KSM
%
Anggota
Perempuan
P2KP‐1
2.621
28.795
1,2
49.896
25,1
707.311
42,0
P2KP‐2
2.059
25.537
16,3
107.100
23,4
726.428
34,4
P2KP‐3
1.726*
*
*
55.629*
31,0
Sumber:
Term
of
Reference
for
a
Study
on
Volunteer
Institutionalisation
in
PNPMUPP.
Final
revised
version
(as
of
18
November
2008).
*
mencakup
jumlah
pada
pelaksanaan
program
yang
sedang
berjalan
dan
belum
selesai.
Melalui
berbagai
tahapan
pelaksanaan,
P2KP
memelihara
dan
lebih
lanjut
mengembangkan
dasar‐dasar
pemberdayaan
masyarakat,
yang
diantaranya
adalah
tentang
keberlanjutan
kerelawanan.
Terkait
dengan
persoalan
keberlanjutan
kerelawanan
ini,
terlihat
pada
Tabel
1.1
dan
Tabel
1.2
di
atas
bahwa
P2KP
telah
berhasil
secara
efektif
menjangkau
masyarakat
miskin
perkotaan
di
Indonesia.
Hal
ini
bisa
dilihat
dari
indikator
jumlah
keluarga
miskin
yang
terjangkau
yang
menakjubkan
dan
dari
indikator
keterlibatan
ratusan
ribu
relawan
(meskipun
proporsi
jumlah
wanita
masih
lebih
sedikit
dibanding
pria)
dalam
tindakan
kolektif
yang
membahas
kemiskinan
setempat.
Keseluruhan
proses
pengenalan,
pembentukan,
dan
keberlanjutan
pelaksanaan
dari
kegiatan
pendanaan
P2KP
di
tingkat
kelurahan
bergantung
pada
kontribusi
relawan
dari
banyak
individu
dalam
berbagai
tindakan.
Pada
umumnya,
lebih
dari
50
relawan
terdaftar
di
setiap
kelurahan
yang
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
8
DRAFT
FINAL
REPORT
berpartisipasi,
dan
hingga
saat
ini
jumlah
keseluruhannya
berkisar
200.000
orang.
Kampanye
peningkatan
kepedulian,
latihan
pemetaan
kemiskinan,
pemilihan
dan
pembentukan
BKM,
tidak
akan
mungkin
terlaksana
tanpa
keterlibatan
relawan.
Jelasnya,
kerelawanan
di
tingkat
masyarakat
memainkan
peranan
penting
dan
sangat
dibutuhkan
dalam
berbagai
upaya
penanggulangan
kemiskinan
yang
dikendalikan
oleh
masyarakat.
Meskipun
demikian,
monitoring
program
dan
informasi
evaluasi
menunjukkan
adanya
kecenderungan
penurunan
keterlibatan
relawan,
khususnya
di
wilayah
perkotaan
yang
dicakup
oleh
P2KP.
Lebih
lagi,
rancangan
program
sejauh
ini
gagal
memberikan
peran
keberlanjutan
yang
jelas
bagi
relawan,
meskipun
siklus
P2KP
telah
dilaksanakan
dengan
sukses
dan
BKM
telah
terbentuk
serta
PJM
Pronangkis
telah
dirumuskan.
Struktur
program
lokal
saat
ini
tidak
memberikan
ruang
yang
mengakomodasi
dorongan
relawan
untuk
melanjutkan
kontribusi
waktu,
tenaga,
dan
ide‐ide
secara
produktif
dalam
pengembangan
lingkungan
sekitar.
1.3.
Kebutuhan
Studi
Evaluasi
Kualitatif
terhadap
Kerelawanan
Kajian‐kajian
evaluasi
yang
sudah
dilaksanakan
sejauh
ini
terhadap
P2KP
cenderung
berhenti
pada
data
kuantitatif,
khususnya
terkait
dengan
keberlanjutan
kerelawanan
terkait
dengan
tujuan
proyek
secara
keseluruhan.
Diperlukan
kajian
terhadap
persoalan
kerelawanan
yang
lebih
bersifat
eksploratif
dan
menggambarkan
penyelidikan
mendalam
yang
intensif,
yang
memerlukan
pemfokusan
atau
pemusatan
yang
sempit
tentang
tipe
khusus
dari
masyarakat
dan
konteks
relevansinya.
Kajian
kualitatif
ini
dapat
dilakukan
dengan
menyediakan
waktu
yang
cukup
untuk
pengamatan
di
tingkat
kelurahan
dan
kelompok
sasaran
maupun
wawancara
dengan
informan
kunci.
Dengan
demikian
kajian
tentang
pelembagaan
kerelawanan
setempat
perlu
memberikan
jawaban
pada
beberapa
fokus
permasalahan,
yaitu:
1.
Bagaimana
peran
relawan
lokal
dalam
siklus
P2KP
dapat
disesuaikan
dalam
rangka
memenuhi
persyaratanpersyaratan
yang
muncul
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
9
DRAFT
FINAL
REPORT
dari
kegiatan
bersama
dengan
berbagai
pelaku
(pemerintah,
swasta,
masyarakat
sipil)?
2.
Apa
saja
persyaratanpersyaratan
peningkatan
kapasitas
diantara
relawan
lokal
untuk
melaksanakan
peran
baru
tersebut?
3.
Faktor‐faktor
apa
saja
yang
mempengaruhi
keberlanjutan
kerelawanan
lokal
di
lingkungan
perkotaan?
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
10
DRAFT
FINAL
REPORT
B ab
2
TUJUAN
KAJIAN
DAN
PERTANYAAN
PENELITIAN
PERTANYAAN
PENELITIAN
2.1.
Tujuan
Kajian
Tujuan
dari
kajian
ini
adalah:
1.
Memberikan
gambaran
yang
komprehensif
dari
situasi
relawan
dan
berbagai
peluang
untuk
partisipasi
yang
berkelanjutan
dan
lebih
bertanggungjawab
dalam
siklus
program
di
lokasi
penelitian.
2.
Memberikan
pengertian
analitis
faktor‐faktor
yang
menjadi
tantangan
keberlanjutan
pelembagaan
kerelawanan
setempat
di
lokasi
penelitian.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
11
DRAFT
FINAL
REPORT
3.
Mengembangkan
rekomendasi
untuk
perubahan
rancangan
program
dan
implementasi
program
di
wilayah
perluasan
PNPM
yang
tepat
untuk
mengurangi
tantangan
yang
teridentifikasi.
2.2.
Pertanyaan
Penelitian
Terdapat
6
(enam)
butir
pertanyaan
penelitian
(research
questions)
yang
harus
dijawab
sesuai
fokus
di
depan,
yaitu:
1.
Siapa
sajakah
yang
menjadi
relawan
dan
apakah
jenis
kemampuan,
kapasitas
dan
komitmen
yang
mereka
bawa
ke
proyek?
2.
Sejauhmana
relawan
merepresentasikan
kepentingan
mayoritas
masyarakat
pada
umumnya
dan
kelompok
miskin
pada
khususnya?
3.
Bagaimana
peran
relawan
lokal
dalam
siklus
P2KP
dapat
disesuaikan
dalam
rangka
memenuhi
kebutuhan
yang
meningkat
dari
kegiatan
bersama
dengan
berbagai
pelaku
(pemerintah,
pihak
swasta,
masyarakat
sipil)?
4.
Apa
kebutuhan
peningkatan
kapasitas
diantara
relawan
lokal
untuk
melaksanakan
peran‐peran
baru
tersebut?
5.
Dapatkah
pelatihan
tambahan
khusus
dan
upaya
peningkatan
kapasitas
untuk
relawan
memperdalam
"kesenjangan
pemberdayaan"
di
dalam
masyarakat
sebagaimana
mereka
menjadi
sebuah
elit
baru
(elit
berdaya
yang
baru)?
Dan,
bagaimana
hal
ini
dapat
diatasi?
6.
Faktor‐faktor
yang
mana
sajakah
yang
mempengaruhi
keberlanjutan
kerelawanan
lokal
di
lingkungan
perkotaan?
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
12
DRAFT
FINAL
REPORT
B ab
3
METOD OLOGI
OLOGI
B
ab
ini
berisikan
tentang
keseluruhan
metode
yang
digunakan
dalam
mewujudkan
tujuan
studi
berikut
argumen‐argumennya.
Juga,
termasuk
dalam
bab
ini
uraian
strategi
dan
instrumen
studi
yang
digunakan
dalam
penelitian
lapangan.
Selain
itu,
dalam
bab
ini
diketengahkan
rincian
sumber
informasi
(informan)
yang
digunakan
serta
metode
pengumpulan
dan
analisis
data.
3.1.
Pendekatan
Mengacu
pada
Kerangka
Acuan,
pendekatan
yang
digunakan
dalam
“Studi
Pelembagaan
Kerelawanan”
ini
adalah
pendekatan
multi‐level
dengan
metode
campuran.
Dengan
penekanan
pada
proses
induksi
maka
kegiatan
awal
banyak
difokuskan
pada
penggalian
data
lapangan
secara
grounded.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
13
DRAFT
FINAL
REPORT
Dalam
pendekatan
ini
permasalahan
dikaji
dengan
mengumpulkan
informasi
yang
bersifat
lokal
dan
kontekstual
di
tingkat
kelurahan
dan
selanjutnya
informasi
dan
data
dikembangkan
serta
dianalisis
pada
konteks
yang
lebih
yang
lebih
tinggi
yaitu
pada
tingkat
kota,
propinsi
dan
nasional.
Pendekatan
ini
mencoba
menemukan
suatu
perbandingan
secara
berjenjang,
sehingga
diharapkan
pada
tahap
analisis
bisa
tergambarkan
ada
tidaknya
suatu
pola
tertentu
yang
berbeda
untuk
setiap
jenjang
berbeda.
Diharapkan
pula
pengaruh
setempat
seperti
konteks
budaya,
politik,
ekonomi
dan
sosial
yang
timbul
dapat
teridentifikasi.
3.2.
Kerangka
Konseptual
Di
dalam
penelitian
kualitatif
dengan
pendekatan
grounded,
kerangka
pemikiran
penelitian
tidak
dibangun
pada
saat
awal,
tetapi
justru
dibangun
dari
temuan‐temuan
di
lapangan.
Meskipun
demikian
seperangkat
kerangka
pemikiran
dapat
saja
digunakan
untuk
membantu
membangun
struktur
instrumen
dan
analisis.
Kerangka
berpikir
ini
umumnya
bersifat
umum
dan
seandainya
bersifat
khusus,
hal
ini
diuji
kebenarannya
dari
temuan‐temuan
di
lapangan.
3.2.1. Jatidiri
Relawan
Dalam
kajian
ini,
untuk
mendapatkan
potret
tentang
jatidiri
relawan,
digunakan
“Pendekatan
Penghidupan
Berkelanjutan”
(Sustainability
Livelihood
Approach),
atau
yang
lebih
dikenal
dengan
SLA.
Dewasa
ini
pendekatan
SLA
sedang
dikembangkan
dan
banyak
diaplikasikan
untuk
mengatasi
kemiskinan
di
tingkat
global.4
Yang
dimaksud
dengan
Sustainability
Livelihood
Approach
adalah
kegiatan
yang
dibutuhkan
oleh
setiap
orang/masyarakat
untuk
menjalankan
4
kehidupannya
dengan
menggunakan
kapasitas/
Pendekatan
Sustainability
Livelihood
(SLA)
dipopulerkan
oleh
Robert
Chambers
&
Gordon
Conway
dari
IDS‐Brighton‐UK
yang
mengembangkan
konsep
livelihood
dari
D.
Carney
(1998).
Lihat
dalam
Rakodi,
Carole
&
Tony
Lloyd‐Jones,
eds.
(2002).
Urban
Livelihood:
A
PeopleCentered
Approach
to
Reducing
Poverty.
London:
Earthscan
Publication
Limited.
Saat
ini
SLA
banyak
diterapkan
oleh
lembaga‐lembaga
sosial
tingkat
internasional,
seperti
DFID,
UNDP,
SIDA,
CARE,
OXFAM,
Kanya
dan
lain‐lain.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
14
DRAFT
FINAL
REPORT
kemampuan
serta
kepemilikan
sumberdaya
untuk
mencapai
tingkat
kehidupan
yang
diharapkan.
Pendekatan
SLA
merupakan
seperangkat
upaya
atau
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
seseorang/keluarga
untuk
mencapai
harapan
kehidupannya.
Berbagai
kombinasi
dari
kegiatan
yang
dilakukan
untuk
mencapai
kehidupan
yang
diharapkan
inilah
yang
dikenal
dengan
livelihood
strategy
atau
strategi
dalam
mencapai
keberhasilan.
Kegiatan
tersebut
bisa
berupa
aktivitas
produksi,
sosial,
reproduksi,
dan
sebagainya,
dan
strategi
ini
semakin
rumit
karena
faktor
internal
dan
eksternal
semakin
beragam.
Misalnya
individu
yang
bekerja
di
tempat
yang
berbeda,
individu
yang
merangkap
lebih
dari
satu
profesi
sebagai
nelayan
+
petani
+
tukang,
kerja
di
kota
dan
tinggal
di
desa.
Untuk
mengetahui
kondisi
penghidupan
masyarakat,
maka
kajian
ini
berusaha
menggambarkan
aset
penghidupan
yang
dimiliki
masyarakat
di
lokasi
kajian.
Aset
adalah
sesuatu
yang
dimiliki
(berkuasa
mengkontrol)
atau
dapat
diakses
untuk
menjalankan
penghidupan.
Aset
merupakan
modal
untuk
melaksanakan
kegiatan
sehingga
tujuan
penghidupan
bisa
dicapai.
Kementerian
Pembangunan
Internasional
Inggris
(DFID)
mengelompokkan
aset
penghidupan
ke
dalam
lima
kelompok
yang
dikenal
sebagai
the
Pentagon
Assets,
yaitu:5
1.
Aset
Sumberdaya
Manusia
(Human
Capital)
Termasuk
dalam
kategori
aset
ini
antara
lain:
kesehatan,
pendidikan,
pengetahuan
dan
keterampilan,
kapasitas
untuk
bekerja,
serta
kapasitas
untuk
beradaptasi.
2.
Aset
Sumberdaya
Alam
(Natural
Capital)
Aset
ini
mencakup:
tanah
dan
produksinya,
air
beserta
sumberdaya
di
dalamnya
(ikan),
pohon
dan
hasil
hutan,
binatang
buruan,
serat
dan
5
I
b
i
d.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
15
DRAFT
FINAL
REPORT
pangan
yang
tidak
dibudidayakan,
keanekaragaman
hayati,
serta
sesuatu
kegiatan
yang
berhubungan
dengan
lingkungan.
3.
Aset
Sumberdaya
Keuangan
(Financial
Capital)
Aset
ini
mencakup:
tabungan
atau
simpanan,
kredit/hutang/hibah
baik
fomal
maupun
informal,
kiriman
dari
keluarga
yang
bekerja
di
luar
daerah,
dana
pensiun,
keuntungan
usaha,
atau
upah/gaji
yang
diterima.
4.
Aset
Sumberdaya
Sosial
(Social
Capital)
Aset
ini
berupa:
jaringan
dan
koneksi,
patron
yang
terbangun,
kerukunan
antar
tetangga,
hubungan
baik,
hubungan
yang
berbasis
rasa
saling
percaya
dan
saling
mendukung,
kelompok
formal
dan
informal,
peraturan
umum
dan
sanksi,
keterwakilan,
mekanisme
berpartisipasi
di
dalam
proses
pengambilan
keputusan,
dan
kepemimpinan.
Gambar
3.1.
Kerangka
Pendekatan
Penghidupan
Berkelanjutan (Sustainability
Livelihood
Approach)
VULNERABILITY
CONTEXT
‐ Stocks
‐ Trends
‐ Seasons
EXTERNAL
ENVIRONMENT
INFRASTRUCTURE
AND
SERVICES
Human
Capital
Natural
Social
Capital
Capital
LIVELIHOOD
ASSETS
Financial
Physical
Capital
Capital
POLICIES,
INSTITUTIONS,
PROCESSES
Structures/
Organizations
‐ Government
‐ Privat
Sector
Processes
‐ Laws
‐ Policies
‐ Culture
‐ Institutions
LIVELIHOOD
STRATEGIES
LIVELIHOOD
OPPORTUNITIES
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
16
DRAFT
FINAL
REPORT
Sumber:
Rakodi,
Carole
&
Tony
Lloyd‐Jones,
eds.
(2002),
halaman
9.
5.
Aset
Sumberdaya
Fisik/Infrastruktur
(Physical
Capital)
Aset
sumberdaya
fisik
di
dalamnya
mencakup:
•
Infrastruktur,
seperti:
jaringan
transportasi,
kendaraan,
dan
sebagainya;
gedung
dan
tempat
tinggal;
sarana
kebersihan
dan
air
bersih;
energi;
serta
jaringan
komunikasi.
•
Teknologi
dan
alat‐alat,
yang
mencakup
hal‐hal
sebagai
berikut:
alat‐alat
dan
peralatan
untuk
produksi;
bibit;
pupuk;
pestisida;
serta
teknologi
tradisional.
3.2.2. Faktorfaktor
Penghidupan
Relawan
Pendekatan
Penghidupan
Berkelanjutan
(Sustainable
Livelihoods)
dapat
juga
digunakan
untuk
membahas
tentang
faktor‐faktor
penghidupan
relawan.
Dalam
konteks
pembahasan
penghidupan
relawan
ini,
Sustainable
Livelihoods
merupakan
kerangka
analisis
yang
dapat
menggambarkan
cara
kita
untuk
memahami
faktor‐faktor
yang
mempengaruhi
kemampuan
seseorang
untuk
mencapai
level
penghidupan
yang
berkelanjutan
dalam
suatu
lingkungan
tertentu.6
Secara
umum
terdapat
dua
kategori
faktor
yang
dapat
mempengaruhi
capaian
penghidupan,
yakni:
pertama,
faktor
internal
seperti:
motivasi,
kekuatan
aset
yang
dimiliki,
dan
lain‐lain,
dan
kedua,
faktor
eksternal
yang
terdiri
dari
dua
faktor
kerentanan,
yaitu
(a)
perubahan
yang
terjadi
baik
secara
cepat,
lambat,
maupun
musiman,
yang
mengakibatkan
rentannya
masyarakat,
dan
(b)
struktur
dan
proses,
yaitu
perubahan
yang
diakibatkan
oleh
kebijakan,
norma‐norma
yang
dikeluarkan
oleh
pemerintah,
masyarakat,
lembaga
swadaya
masyarakat
(LSM),
maupun
pengusaha.
6
Sebagaimana
dijelaskan
oleh
Carney
dalam
publikasi
FAO
Corporate
Document
Repository
yang
berjudul
“Improving
Access
to
Natural
Resources
for
the
Rural
Poor
–
A
Critical
Analysis”
di
http://www.fao.org/docrep/006/ad683e/ad683e03.
html,
diunduh
24
Nopember
2009.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
17
DRAFT
FINAL
REPORT
Faktor
kerentanan
sendiri
dapat
dibedakan
menjadi
3
(tiga)
menurut
penyebabnya,
yaitu:7
(1)
faktor
perubahan
yang
sifatnya
lambat
(longterm
trends),
misalnya:
pertambahan
jumlah
penduduk,
perubahan
teknologi,
perubahan
fungsi
lahan,
polusi
air
dan
udara,
dan
perubahan‐perubahan
yang
berbasis
pada
sumberdaya
alam;
(2)
faktor
perubahan
yang
sifatnya
mendadak
(shortterm
shocks),
misalnya:
banjir,
wabah
penyakit,
konflik,
atau
bencana
alam
seperti
gempa
dan
tsunami;
dan
(3)
faktor
perubahan
musiman
(recurring
seasonal
changes),
misalnya:
harga,
kesempatan
kerja,
musim
panen,
musim
tanam,
musim
kering,
musim
hujan,
dan
lain‐lain.
Kembali
pada
Kerangka
Pendekatan
Penghidupan
Berkelanjutan
(SLA)
di
depan,
berikut
dijelaskan
lebih
rinci
beberapa
pengaruh
faktor
lingkungan
eksternal
terhadap
kondisi
Aset
Penghidupan
(Livelihood
Assets)
yang
merupakan
lingkungan
internal
relawan,
berikut
pengaruh
lainnya
terhadap
kondisi
infrastruktur
dan
berbagai
layanan
di
luar
(Infratructure
and
Services)
serta
terhadap
strategi
relawan
menghadapi
berbagai
peluang
penghidupan
(Livelihood
Opportunities).
a.
Pengaruh
faktor
kerentanan
terhadap
aset
Dampak
faktor
kerentanan
terhadap
aset
dapat
terindikasi
dari
pertama,
perubahan
yang
datangnya
perlahan
dan
masih
bisa
diramalkan
namun
dampaknya
sulit
diatasi.
Misalnya,
pertambahan
penduduk
yang
akan
mengurangi
ruang
untuk
mengembangkan
aset
penghidupan.
Kedua,
perubahan
yang
mendadak,
misalnya
bencana
alam,
gempa,
tsunami,
banjir
atau
konflik
sosial,
yang
dapat
menghancurkan
aset
(rumah,
jalan,
tanaman,
hewan)
secara
langsung.
Naiknya
harga
BBM
atau
turunnya
nilai
tukar
yang
mendadak
juga
secara
nyata
bisa
mengakibatkan
masyarakat
kehilangan
daya
belinya.
7
Lihat
dalam
Rakodi,
Carole
&
Tony
Lloyd‐Jones,
eds.
(2002).
Op.Cit.,
halaman
14.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
18
DRAFT
FINAL
REPORT
Ketiga,
perubahan
musiman,
seperti
ketersediaan
pangan,
ketersediaan
pekerjaan
atau
sebaliknya
kesulitan
pangan
atau
pekerjaan,
juga
merupakan
perubahan‐perubahan
yang
penting
terhadap
aset.
Hubungan
aset
terhadap
capaian
penghidupan
digambarkan
sebagai
berikut:
jika
capaian
dari
kegiatan
penghidupan
adalah
positif
maka
hasil
tersebut
bisa
memperkuat
aset.
Sebaliknya,
jika
capaian
dari
kegiatan
penghidupan
adalah
negatif
maka
akan
terjadi
mekanisme
pengurangan
terhadap
aset
yang
sudah
ada.
b.
Pengaruh
struktur
dan
proses
terhadap
capaian
penghidupan
Struktur
berarti
perangkat
keras
organisasi,
baik
swasta
(LSM,
NGO)
maupun
pemerintah,
yang
menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan
dan
legislasi
serta
fungsi‐fungsi
lain
yang
mempengaruhi
penghidupan.
Struktur
menjadi
penting
karena
membuat
proses‐proses
menjadi
berfungsi.
Tanpa
ada
badan
legislatif
maka
tidak
ada
legislasi.
Tanpa
ada
lembaga
hukum
yang
melaksanakannya
maka
legislasi
tidak
berarti.
Tanpa
pedagang
maka
pasar
hanya
akan
terbatas
melangsungkan
transaksi
dagang.
Dengan
adanya
PNPM‐P2KP
diharapkan
penguatan
aset
masyarakat
miskin
akan
berlangsung
sustainable.
Proses
bisa
dianggap
sebagai
perangkat
lunak,
yang
menentukan
cara‐ cara
dimana
struktur
dan
individu
berjalan
dan
berhubungan.
Proses
dianggap
sebagai
faktor
berpengaruh
dengan
kegiatan
yang
berhubungan
dengan
penghidupan
karena
pertama,
ada
proses
menyediakan
dukungan.
Misalnya
menggerakkan
masyarakat
untuk
membuat
pilihan‐pilihan
khusus,
seperti;
strategi
mempertahankan
penghidupan
mana
yang
akan
dilaksanakan?,
dimana
melakukannya?,
berapa
banyak
yang
harus
dikeluarkan
untuk
melakukan
investasi
dalam
berbagai
jenis
aset‐aset
penghidupan?,
bagaimana
mengelola
sumberdaya?,
dan
sebagainya.
Kedua,
proses
dapat
memberi
atau
menolak
akses
pada
aset‐aset.
Ketiga,
proses
memungkinkan
masyarakat
untuk
mengubah
satu
jenis
aset
menjadi
jenis
aset
lainnya
(melalui
pasar).
Keempat,
proses
mempunyai
pengaruh
kuat
pada
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
19
DRAFT
FINAL
REPORT
hubungan
interpersonal,
yaitu
bagaimana
satu
kelompok
memperlakukan
kelompok
yang
lain.
c.
Pengaruh
struktur
dan
proses
terhadap
aset
Struktur
dan
proses
memiliki
dampak
signifikan
terhadap
pentingnya
aset,
karena
ada
beberapa
suku
tertentu
secara
tegas
lebih
mengutamakan
pendidikan
bagi
anak
laki‐laki
daripada
anak
perempuan.
Adanya
peraturan
baik
yang
tertulis
maupun
tidak
yang
memberikan
akses
kepada
anak
laki‐laki
tertua
untuk
mendapatkan
tanah
warisan
adat
maupun
keluarga.
Pemerintah
mengeluarkan
Surat
Izin
Pengelolaan
Tanah
Ulayat
suku
tertentu
kepada
pengusaha
yang
mengakibatkan
tanah
ulayat
tersebut
tidak
lagi
menjadi
aset
suku
pemiliknya.
d.
Pengaruh
struktur
dan
proses
terhadap
kegiatan
penghidupan
Pelarangan
pedagang
kaki
lima
untuk
berjualan
di
jalan‐jalan
tertentu
akan
secara
otomatis
memaksa
para
pedagang
tersebut
merubah
kegiatan
penghidupannya.
Ketika
PNPM‐P2KP
memberikan
dukungan
keuangan
bagi
orang‐orang
yang
memiliki
usaha,
maka
beramai‐rami
orang
akan
beralih
menjadi
pelaku
usaha
sebagaimana
ketentuan
PNPM‐P2KP
apapun
kegiatan
penghidupannya
selama
ini.
e.
Pengaruh
struktur
dan
proses
terhadap
faktor
kerentanan
Gabungan
dari
kedua
faktor
di
atas
menjadi
penting
pengaruhnya
kepada
kerentanan,
yang
bisa
sangat
nyata
dalam
kasus‐kasus
berikut:
kebijakan
bisa
mendorong
atau
mencegah
terjadinya
pengalihan
fungsi
lahan,
kenaikan
BBM
pada
skala
global
adalah
kebijakan
yang
dihasilkan
oleh
tawar‐menawar
antara
pedagang
minyak
internasional.
Akibatnya
orang
beralih
ke
bioenergi
dan
akan
menurunkan
penambangan
minyak.
Kebijakan
nasional
menaikkan
harga
minyak
membuat
masyarakat
semakin
rentan
karena
daya
belinya
menurun.
Kebijakan
fiskal
dan
moneter
adalah
kebijakan
yang
dikeluarkan
pemerintah
akan
berakibat
apakah
akan
menguatkan
sumberdaya
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
20
DRAFT
FINAL
REPORT
manusia
orang
miskin
atau
suasana
yang
diharapkan
pengusaha.
Kebijakan
pemerintah
untuk
membangun
sistem
kewaspadaan
dini
merupakan
upaya
mencegah
banyak
korban
ketika
terjadi
bencana.
Sebagai
upaya
untuk
menghasilkan
aset
yang
kuat
agar
kegiatan/strategi
mempertahankan
penghidupannya
bisa
berjalan
optimal,
aset
yang
ada
dapat
dirubah
menjadi
aset
lain.
Satu
jenis
aset
dapat
diganti
dengan
jenis
aset
lainnya.
3.2.3. Kondisi
Aset
Penghidupan
Relawan
Elemen
kunci
dari
SLA
terdiri
dari
dua
aspek,
pertama,
adalah
penghidupan
(livelihood),
yang
mencakup:
kapasitas/kemampuan,
aset,
dan
kegiatan.
Kedua,
adalah
keberlanjutan
(sustainability),
yang
dapat
dilihat
dari
kemampuan
kegiatan/program
dalam
menghadapi
perubahan,
ketahanan
terhadap
tekanan
dan
goncangan,
proses
perkuatan
kehidupan
untuk
mencapai
hasil
yang
diharapkan.
Kunci
dari
keberlanjutan
adalah
pada
penguasaan
aset,
proses,
dan
kegiatan
‐‐dalam
arti
tergantung
pada
besar/kecilnya,
keragaman,
dan
keseimbangan
penguasaan
aset‐‐
serta
kebutuhannya
terhadap
sejumlah
modal/sumberdaya
untuk
mencapai
hasil‐hasil
penghidupan
yang
positif.
Hal
ini
perlu
disadari
karena
satu
jenis
sumberdaya
bisa
bermakna
ganda.
Sebagaimana
telah
disajikan
dalam
ilustrasi
Kerangka
SLA
di
depan,
bahwa
secara
agregat,
aset
penghidupan
mencakup
5
(lima)
sumberdaya
yang
berlaku
sebagai
modal
bersama
masyarakat,
yaitu:
sumberdaya
keuangan
(financial
capital),
sumberdaya
orang
(human
capital),
sumberdaya
alam
(natural
capital),
sumberdaya
fisik
(phisical
capital),
dan
sumberdaya
sosial
(social
capital).
Berdasarkan
kelima
sumberdaya
di
atas,
maka
selanjutnya
dapat
dilakukan
analisis
pola
dan
penilaian
kekuatan
kerangka
penghidupan
berkelanjutan
pada
kondisi
kerelawanan.
Pada
kesempatan
ini
analisis
lebih
difokuskan
pada
pengungkapan
jatidiri
relawan
melalui
pengukuran
atas
berbagai
sumberdaya
yang
ada.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
21
DRAFT
FINAL
REPORT
3.3.
Operasionalisasi
Konsep
3.3.1. Dimensi
dan
Indikator
Analisis
pola
dan
penilaian
kekuatan
aset
penghidupan
relawan
dapat
dilakukan
terhadap
5
(lima)
sumberdaya
yang
tercakup
sebagai
modal
bersama
masyarakat,
yaitu:
sumberdaya
keuangan
(financial
capital),
sumberdaya
orang
(human
capital),
sumberdaya
alam
(natural
capital),
sumberdaya
fisik
(phisical
capital),
dan
sumberdaya
sosial
(social
capital).
1.
Sumberdaya
Keuangan
(Financial
Capital),
terdiri
atas
6
(enam)
indikator
pengukuran,
yaitu:
1.1.
Keberadaan
lembaga
keuangan
(formal
dan
informal)
1.2.
Aksesibilitas
rumah
tangga
miskin
(RTM)
thd
lembaga
keuangan
1.3.
Kemampuan
menabung
1.4.
Bentuk
tabungan
non‐bank
(ternak,
perhiasan,
dan
lain‐lain)
1.5.
Keluarga
yang
bekerja
di
luar
kota
(mobilitas
eksternal)
1.6.
Kontribusi
kiriman
uang
dari
anggota
keluarga
yang
bekerja
di
luar
kota.
2.
Sumberdaya
Orang
(Human
Capital),
terdiri
atas
5
(lima)
indikator
pengukuran,
yaitu:
2.1.
Tingkat
pendidikan
rata‐rata
2.2.
Aksesibilitas
perempuan
terhadap
pendidikan
2.3.
Aksesibilitas
informasi
2.4.
Inovasi
teknologi
2.5.
Mata
pencaharian.
3.
Sumberdaya
Alam
(Natural
Capital),
terdiri
atas
5
(lima)
indikator
pengukuran,
yaitu:
3.1.
Potensi
sumberdaya
alam
3.2.
Status
kepemilikan
lahan
atau
sumberdaya
alam
3.3.
Aksesibilitas
terhadap
sumberdaya
alam
3.4.
Pemanfaatan
sumberdaya
alam
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
22
DRAFT
FINAL
REPORT
3.5.
Nilai
pakai
sumberdaya
alam.
4.
Sumberdaya
Fisik
(Physical
Capital),
terdiri
atas
4
(empat)
indikator
pengukuran,
yaitu:
4.1.
Dukungan
infrastruktur
4.2.
Kesesuaian
infrastruktur
dengan
kebutuhan
masyarakat
4.3.
Aksesibilitas
terhadap
infrastruktur
4.4.
Pemeliharaan
infrastruktur.
5.
Sumberdaya
Sosial
(Social
Capital),
terdiri
atas
4
(empat)
indikator
pengukuran,
yaitu:
5.1.
Keberadaan
lembaga‐lembaga
di
tingkat
lokal
5.2.
Trust
antar
warga
5.3.
Aksesibilitas
terhadap
lembaga‐lembaga
lokal
5.4.
Keberagaman
etnis.
3.3.2. Pembobotan
Pertama‐tama,
dilakukan
pembobotan
terhadap
5
(lima)
sumberdaya
yang
menjadi
modal
bersama
masyarakat,
berikut
24
indikator
yang
digunakan
untuk
menganalisis
pola
dan
penilaian
kekuatan
aset
penghidupan
relawan,
yang
keseluruhannya
berjumlah
100
poin.
Pembobotan
ini
dilakukan
dalam
panel
Tim
Ahli.
Terhadap
masing‐masing
indikator
yang
sudah
dibobot,
diberikan
“penilaian”
berdasarkan
kesepakatan
atau
rangkuman
pendapat
panel
tim
ahli.
Rentang
penilaian
dibuat
dalam
skala
1
sampai
dengan
5,
dengan
kriteria
dan
deskripsi
sebagai
berikut:
a.
Nilai
1,
atau
sangat
buruk
(very
poor
=
VP)
diberikan
pada
kondisi
kriteria
yang
cenderung
menggambarkan
ketidakcukupan
atau
(bahkan)
ketiadaan
dan
tidak
menggambarkan
adanya
keberlanjutan
penghidupan
(livelihood).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
23
DRAFT
FINAL
REPORT
b.
Nilai
2,
atau
buruk
(poor
=
P)
diberikan
pada
kondisi
kriteria
yang
cenderung
menggambarkan
kekurangcukupan
dan
kurang
menjamin
keberlanjutan
penghidupan
(livelihood).
c.
Nilai
3,
atau
baik
(good
=
G)
diberikan
pada
kondisi
kriteria
yang
cenderung
menunjukkan
kecukupan
dan
dirasakan
cukup
menjamin
keberlanjutan
penghidupan
(livelihood).
d.
Nilai
4,
atau
sangat
baik
(very
good
=
VG)
diberikan
pada
kondisi
kriteria
yang
dinilai
menunjukkan
perkembangan
yang
baik
dan
menjamin
keberlanjutan
penghidupan
(livelihood).
e.
Nilai
5,
atau
istimewa
(excellent
=
E)
diberikan
pada
kondisi
kriteria
yang
secara
disepakati
menunjukkan
perkembangan
optimal
dan
sudah
sustain
bagi
keberlanjutan
penghidupan
(livelihood).
3.3.3. Analisis
Sebagaimana
telah
disampaikan,
analisis
dilakukan
terhadap
dua
hal,
yaitu
pola
kepemilikan
sumberdaya
dan
kekuatan
aset
penghidupan.
a.
Analisis
pola
kepemilikan
sumberdaya
Dihitung
dari
rata‐rata
penilaian
yang
diberikan
oleh
Panel
Tim
Ahli
terhadap
setiap
unsur
aset
penghidupan
(lima
sumberdaya)
yang
kemudian
dituangkan
dalam
visualisasi
the
Assets
Pentagon.
Aset
Sumberdaya
Manusia
Aset
Sumberdaya
Alam
Aset
Sumberdaya
Sosial
Aset
Studi Pelembagaan Sumberdaya
Kerelawanan PNPM-P2KP Keuangan
Aset
Sumberdaya
Fisik
24
DRAFT
FINAL
REPORT
Tabel
3.1.
Matrik
Penilaian
Livelihood
Asset
No
1
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
1.6.
2.
Kriteria
Penilaian
Sumberdaya
Keuangan
Keberadaan
lembaga
keuangan
(formal
dan
informal)
Aksesibiltas
rumah
tangga
miskin
(RTM)
terhadap
lembaga
keuangan
Kemampuan
menabung
Bentuk
tabungan
non‐bank
(ternak,
perhiasan,
dan
lain‐lain)
Keluarga
yang
bekerja
di
luar
kota
(mobilitas
eksternal)
Kontribusi
kiriman
uang
dari
anggota
keluarga
yang
bekerja
di
luar
kota.
Sumberdaya
Orang
Bobot
(%)
Nilai
Nilai
x
Bobot
E
(5)
VG
(4)
G
(3)
P
(2)
VP
(1)
20
4
4
4
4
2
2
20
2.1.
Tingkat
pendidikan
rata‐rata
4
2.2.
Aksesibilitas
perempuan
terhadap
pendidikan
4
2.3.
Aksesibilitas
informasi
4
2.4.
Inovasi
teknologi
4
2.5.
Mata
pencaharian
4
20
3.
Sumberdaya
Alam
3.1.
Potensi
sumberdaya
alam
4
3.2.
Status
kepemilikan
lahan/
sumberdaya
alam
4
3.3.
Aksesibilitas
thd
sumberdaya
alam
4
3.4.
Pemanfaatan
sumberdaya
alam
4
3.5.
Nilai
pakai
sumberdaya
alam
4
20
4.
Sumberdaya
Fisik
4.1.
Dukungan
infrastruktur
5
4.2.
Kesesuaian
infrastruktur
dengan
kebutuhan
masyarakat
5
4.3.
Aksesibilitas
terhadap
infrastruktur
5
4.4.
Pemeliharaan
infrastruktur
5
20
5
5.
5.1.
Sumberdaya
Sosial
Keberadaan
lembaga‐lembaga
di
tingkat
lokal
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
25
DRAFT
FINAL
REPORT
5.2.
Trust
antar
warga
5
5.3.
Aksesibilitas
terhadap
lembaga‐lembaga
lokal
5
5.4.
Keberagaman
etnis
5
100
J
u
m
l
a
h
b.
Analisis
kekuatan
aset
penghidupan
Kekuatan
aset
penghidupan
ini
dicerminkan
dengan
suatu
nilai
rata‐rata
keseluruhan
sumberdaya
yang
dimiliki,
yang
merupakan
total
perkalian
antara
Nilai
(N)
dengan
Bobot
(B)
dibagi
dengan
100
(Total
Bobot).
Kekuatan
Aset
Penghidupan
=
∑
(
N
x
B
)
/
100
Hasil
penghitungan
kekuatan
aset
penghidupan
(livelihood
assets)
ini
kemudian
dikelompokkan
sebagai
berikut:
(1)
Daerah
dengan
kekuatan
aset
penghidupan
sangat
tinggi,
yaitu
memiliki
rentang
nilai
di
atas
4,20;
(2)
Daerah
dengan
kekuatan
aset
penghidupan
tinggi,
yaitu
memiliki
rentang
nilai
antara
3,41
–
4,20;
(3)
Daerah
dengan
kekuatan
aset
penghidupan
cukup,
yaitu
memiliki
rentang
nilai
antara
2,61
–
3,40;
(4)
Daerah
dengan
kekuatan
aset
penghidupan
kurang,
yaitu
memiliki
rentang
nilai
antara
1,81
–
2,60;
dan
(5)
Daerah
dengan
kekuatan
aset
penghidupan
rendah,
yaitu
memiliki
rentang
nilai
sampai
dengan
1,80.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
26
DRAFT
FINAL
REPORT
BAB
4
KONDISI
KERELAWANAN
DI
6
LOKASI
B
ab
ini
berisikan
tentang
gambaran
umum
dan
isu‐isu
serta
kecenderungan
kerelawanan
di
enam
lokasi
studi.
Diharapkan
bagian
ini
dapat
memperjelas
pemahaman
terhadap
kondisi
kerelawanan
secara
spesifik
di
setiap
lokasi
studi.
Hal
ini
akan
digunakan
untuk
menganalisis
jatidiri
relawan,
proses
pelembagaan
kerelawanan,
dan
keberlanjutan
peran
relawan
ke
depan.
Seperti
yang
ada
dalam
rancangan
awal,
enam
kota
yang
dikunjungi
sebagai
lokasi
studi
adalah:
Makassar
dan
Gorontalo
(Sulawesi),
Medan
dan
Bengkulu
(Sumatera),
serta
Surabaya
dan
Pasuruan
(Jawa).
Deskripsi
disajikan
sesuai
urutan
waktu
lapangan.
4.1.
Kerelawanan
di
Kota
Medan
Kota
Medan
merupakan
kota
pertama
yang
didatangi
Tim
Studi
Pelembagaan
Kerelawanan,
yaitu
pada
18
–
27
Mei
2009.
Bersama
Kota
Bengkulu,
Medan
mewakili
fase
P2KP‐3.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
27
DRAFT
FINAL
REPORT
4.1.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
Di
Kota
Medan,
dua
kelurahan
sampel
yang
ditentukan
adalah
Kelurahan
Karang
Berombak,
Kecamatan
Medan
Barat
‐‐mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerelawanan
tinggi
(highest
level)‐‐
dan
Kelurahan
Hamdan,
Kecamatan
Maimun
Gambar
4.1.
Peta
Kota
Medan
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
Medan
‐‐mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerelawanan
rendah
(lowest
level).
Kedua
kelurahan
ini
memiliki
karakteristik
lingkungan
yang
sangat
berbeda,
dan
secara
geografis
Kelurahan
Karang
Berombak
lebih
jauh
rentang
dari
kendalinya
pusat
kota
dibanding
dengan
Kelurahan
Hamdan,
yang
berada
di
pusat
kota
dan
relatif
tidak
jauh
dari
Bandara
Polonia.
Kelurahan
Karang
Berombak
Selintas
melewati
jalan‐jalan
di
Kelurahan
Karang
Berombak
tidak
tampak
adanya
segregasi
sosial
yang
tinggi.
Dan
memang,
jika
dilihat
dari
stratifikasi
sosial
masyarakatnya,
perbedaan
jumlah
penduduk
yang
tergolong
mampu
dan
kurang
mampu
tidak
terlalu
menonjol.
Demikian
halnya
dengan
keberadaan
perumahan
elit
yang
banyak
dihuni
oleh
pejabat
dan
mantan
pejabat
di
Propinsi
Sumatera
Utara
tidak
menunjukkan
adanya
perbedaan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
28
DRAFT
FINAL
REPORT
yang
tajam
dengan
kelompok
masyarakat
tidak
mampu.
Namun
begitu,
memasuki
lorong‐lorong
yang
ada
di
antara
19
lingkungan
di
kelurahan
ini,
masih
banyak
dijumpai
masyarakat
yang
tinggal
dengan
kondisi
rumah
berlantai
tanah
atau
berlantai
semen
seadanya,
serta
beratap
rumbai
dan
berdinding
tepas
atau
papan.
Beberapa
pejabat
di
kantor
Bappeda
Propinsi
yang
sempat
ditemui
dan
dikonfirmasi
tentang
kondisi
Kelurahan
Karang
Berombak
sempat
menyangkal
tentang
keberadaan
rumah
tangga
miskin
dan
menganggap
kelurahan
ini
tidak
ada
masyarakat
miskin.
Jika
dilihat
dari
kondisi
demografinya,
kelurahan
ini
termasuk
kelurahan
yang
padat
penduduknya.
Dengan
luas
wilayah
sekitar
105
hektar
dan
jumlah
penduduk
sebanyak
27.413
jiwa,
maka
kepadatan
penduduk
Kelurahan
Karang
Berombak
mencapai
261
jiwa
per
hektar.
Penduduk
terdiri
atas
13.852
jiwa
penduduk
laki‐laki
(50,53
persen)
dan
13.561
jiwa
penduduk
perempuan
(49,47
persen),
yang
secara
keseluruhan
tercakup
dalam
6.849
kepala
keluarga
(KK).
Dari
seluruh
tersebut,
tercatat
sebanyak
1.185
KK
(17,30
persen)
termasuk
dalam
kategori
KK
miskin
‐‐yang
kalau
menurut
kriteria
BKKBN
mencakup
Pra‐KS
dan
KS‐1.
Di
kelurahan
ini
berkembang
beberapa
jenis
usaha
kecil,
diantaranya
adalah
usaha
pembuatan
bahan
sofa
dari
kayu‐kayu
bekas
(bekas
peti
kemas),
pembuatan
kaki
kursi,
tas,
dan
usaha
pembuatan
sepatu.
Dari
ketiga
jenis
usaha
tersebut,
usaha
pembuatan
sofa
tampak
sudah
cukup
besar
dan
melibatkan
beberapa
tenaga
kerja,
khususnya
tenaga
kerja
laki‐laki.
Tidak
banyak
kesempatan
kerja
produktif
bagi
perempuan
ditemukan
di
kelurahan
ini.
Karena
itu,
tidak
mengherankan
jika
ibu
rumah
tangga
di
kelurahan
ini
memiliki
waktu
cukup
banyak,
sehingga
merekalah
yang
kemudian
mengambil
peran
paling
besar
dalam
program/kegiatan
pemerintah,
termasuk
kegiatan
sebagai
relawan
P2KP.
Secara
demografis
kondisi
Kelurahan
Karang
Berombak
sebenarnya
cukup
heterogen,
namun
demikian,
etnis
Jawa
yang
mencapai
sekitar
2/3
dari
jumlah
penduduk
sangat
menonjol
sebagai
kelompok
etnis
terbesar.
Dominasi
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
29
DRAFT
FINAL
REPORT
peran
kelompok
etnis
Jawa
ini
utamanya
dipengaruhi
oleh
kuantitas
yang
lebih
besar
dibandingkan
etnis‐etnis
lainnya
yang
ada
(seperti:
Batak,
Melayu,
China,
dsb).
Proporsi
jumlah
etnis
Jawa
yang
dominan
ini
dinilai
sebagai
salah
satu
“pemicu”
keberhasilan
dan
eksistensi
relawan
dalam
implementasi
P2KP
di
Kelurahan
Karang
Berombak.
Sifat
dasar
gotong
royong
masyarakat
di
sini
diakui
masih
sangat
tinggi,
khususnya
di
kalangan
etnis
Jawa,
yang
ditunjukkan
dengan
banyaknya
kegiatan
keswadayaan
masyarakat
untuk
kepentingan
bersama.
Sebagai
contoh,
jika
ada
anggota
masyarakat
yang
mengalami
kemalangan,
mereka
akan
dibantu
dengan
cara
“ngutip”
(menarik
iuran)
dari
warga.
Sehingga
masyarakat
umumnya
tidak
keberatan
apabila
diminta
untuk
berperanserta
melakukan
kegiatan
secara
sukarela.
Persoalan
homogenitas
etnis
ini
dinilai
oleh
tokoh‐tokoh
setempat
turut
menentukan
lahirnya
nilai‐nilai
luhur
kerelawanan.
Seperti
yang
dituturkan
oleh
Suy
(67
tahun)
dan
Har
(41
tahun),
koordinator
dan
aktivis
BKM
“Rose”
Kelurahan
Karang
Berombak:
“Relawan
di
Karang
Berombak
bisa
dikatakan
bagus
karena
mayoritas
masyarakatnya
Jawa.
Jadi
yaa
.....
manut
manut
wae
lah.
Yuk
gotong
royong,
yuk.
Iki
danane
enek,
ning
gajine
ra
ono.
Yo
wis,
ora
popo.
Jadi
ramerame
jalan.”
(Relawan
di
Karang
Berombak
bisa
dikatakan
bagus
karena
masyarakatnya
Jawa.
Jadi
yaa
.....
nurut
nurut
sajalah.
Mari
bergotong
royong,
mari.
Ini
tersedia
dana,
tapi
tidak
ada
gaji.
Ya
sudah,
gak
masalah.
Jadi
ramai‐ramai
masyarakat
melaksanakan).
(Keterangan
lisan
di
Kantor
Kelurahan
Karang
Berombak,
Medan,
19
Mei
2009:
11.00
–
12.30
WIB).
Dikatakan
bahwa
ada
beberapa
lingkungan
di
Kelurahan
Karang
Berombak
yang
warganya
lebih
banyak
dari
etnis
Batak.
Apabila
mereka
diberi
pekerjaan,
yang
dari
etnis
Jawa
lebih
cepet
siap,
lebih
rapi,
dan
gak
ada
masalah,
sementara
yang
dari
etnis
Batak
ini
kalau
ditanya
jawabnya
siap,
akan
tetapi
memakan
waktu
lama
dan
biasanya
“membawa”
banyak
masalah.
Sebagai
contoh,
kalau
suatu
pekerjaan
dikerjakan
oleh
masyarakat
dari
etnis
Jawa
maka
dalam
waktu
tiga
hari
selesai,
tapi
jika
dikerjakan
oleh
mereka
dari
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
30
DRAFT
FINAL
REPORT
kelompok
etnis
Batak
pekerjaan
yang
sama
ini
membutuhkan
waktu
hingga
satu
minggu.8
“Karakteristik
Jawa
adalah
masyarakat
yang
senang
bekerja
dan
suka
bergotong
royong,
sehingga
setiap
kali
ada
kegiatan,
cepat
selesai
dan
tidak
ada
masalah.
Berbeda
dengan
kelompok
Batak
yang
dinilai
malas,
lamban
dan
banyak
masalah.
Jika
ada
kegiatan,
hadir
100
orang,
yang
40
(orang)
bekerja
dan
60
(orang)
sisanya
hanya
berdiri
saja”.
(Penjelasan
EFL,
Lurah
Karang
Berombak,
19
Mei
2009:
11.00
–
12.30
WIB)
Peran
tokoh
juga
cukup
besar
dalam
mendorong
keterlibatan
masyarakat
sebagai
relawan.
Penokohan
dalam
masyarakat
di
Kelurahan
Karang
Berombak
tidak
terjadi
pada
elit
non‐formal,
tapi
tokoh
yang
mampu
menjembatani
persoalan
dan
kebutuhan
mereka,
dan
itu
adalah
EFL,
lurah
setempat.
Meskipun
beberapa
urusan
mereka
selesaikan
melalui
Kepala
Lingkungan
(Kepling),
namun
kenyataannya
lurahlah
yang
dianggap
masyarakat
sebagai
tokoh
utama,
sedangkan
Kepling
hanya
perantara.
Keberadaan
BKM
sebagai
“lembaga
baru”
di
masyarakat
juga
belum
dikenal,
namun
sebagian
masyarakat
mulai
menjadikan
BKM
sebagai
tempat
untuk
mencari
solusi
bagi
masalah
yang
dihadapi,
terutama
masalah
ekonomi.
Gambar
4.2.
Peta
Elite
Capture
Di
Kelurahan
Karang
Berombak
Masya rakat
BKM
‐
Kepling
Lurah
8
Penjelasan
ini
dibenarkan
oleh
EFL,
Lurah
Karang
Berombak
yang
kebetulan
warga
asli
Batak,
yang
mengatakan
bahwa
karena
2/3
warga
di
kelurahannya
adalah
etnis
Jawa
maka
menurutnya
nilai‐nilai
gotong
royong
dan
kebersamaan
masih
sangat
kental.
Diakui
bahwa
orang
dari
etnis
Batak
cenderung
malas.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
31
DRAFT
FINAL
REPORT
Peran
elit
atau
tokoh
masyarakat
di
Kelurahan
Karang
Berombak
cukup
besar,
khususnya
untuk
menunjang
keberhasilan
program
P2KP.
Relawan
dan
BKM
selalu
melibatkan
lurah
dan
aparat
kelurahan
dalam
setiap
pelaksanaan
program.
Demikian
pula
sebaliknya,
lurah
(aparat
kelurahan)
juga
sangat
proaktif
terhadap
pelaksanaan
kegiatan
P2KP
di
kelurahannya,
misalnya
dengan
turut
hadir
dan
terlibat
langsung
dalam
setiap
pelaksanaan
kegiatan
‐‐ sekalipun
hari
libur.
Kondisi
ini
cenderung
menciptakan
tidak
adanya
rasa
saling
mencurigai
antara
pelaku
program
dengan
pemerintah
kelurahan.
Seperti
yang
disampaikan
EFL,
Lurah
Karang
Berombak,
sebagai
berikut:
“Kita
bukan
munafik
ya
.....
uang
proyeknya
kurang
misalnya,
kita
bilang
sama
warga.
Mau,
warga
tuh
iuran.
Proyek
juga
yang
ngerjakan
warga,
masih
ada
yang
kasih
makan
siang,
pakai
ayam
goreng
lagi.
Murni
betul.
Maksud
saya,
peranserta
masyarakat
dalam
PNPM
(P2KP)
di
kelurahan
ini
sangat
baik.
Ya
gotong
royongnya,
menyediakan
makan
juga.
Saya
juga
nggak
segan
ikut
datang
setiap
ada
kegiatan.
Saya
juga
yang
menjelaskan
ke
warga
bahwa
program
ini
sifatnya
swadaya,
jadi
sebagian
biaya
harus
ditanggung
warga.
Biaya
kan
tidak
harus
berupa
uang,
tapi
tenaga
warga
untuk
mengerjakan
juga
termasuk
biaya.
Warga
menyumbangkan
tenaganya,
(itu)
sama
dengan
biaya
tenaga
kerja.
Belum
lagi
yang
menyediakan
makanan
dan
minuman.”
(Wawancara
pribadi,
Karang
Berombak,
19
Mei
2009:
10.30
‐
11.15
WIB)
Lebih
jauh
EFL
menjelaskan
perlunya
pemahaman
warga
masyarakat
bahwa
P2KP
ini
oleh
masyarakat
dan
untuk
masyarakat,
sehingga
siapapun
tidak
ada
yang
dibayar
‐‐termasuk
pengurus
BKM
“Rose”.
Masing‐masing
porsinya
sudah
jelas.
“.....
saya
paling
tidak
mau
mengganggu
sesuatu
yang
sudah
jelas
komposisinya.
Masingmasing
sudah
jelas
tupoksinya,
kecuali
jika
dana
sudah
keluar
dan
mau
didistribusikan,
saya
baru
bicara.
Saya
jelaskan
tentang
keterbatasan
program
dan
perlunya
partisipasi
masyarakat.
Saya
juga
jelaskan
bahwa
tim
BKM
itu
bekerja
tanpa
gaji.”
(Wawancara
pribadi,
Karang
Berombak,
19
Mei
2009:
10.30‐11.15
WIB).
Pemimpin/elit
formal
sebagai
pihak
yang
paling
banyak
didengar
masyarakat
dalam
hal
ini
memiliki
peran
dan
pengaruh
besar
bagi
masyarakat.
Gaya
kepemimpinan
yang
sangat
egalitarian
dari
lurah
berpengaruh
bagi
transparansi
dan
partisipasi
pelaksanaan
P2KP.
Aparat
kelurahan
tidak
memberikan
intervensi
terhadap
pelaksanaan
program
dan
pelaku
program.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
32
DRAFT
FINAL
REPORT
Dalam
penilaian
aparat
kelurahan,
relawan
P2KP
di
Karang
Berombak
dinilai
“di
atas
jujur”.
Kelurahan
Hamdan
Kelurahan
Hamdan
secara
geografis
berada
di
pusat
bisnis
(Central
Bussiness
Distric
=
CBD)
Kota
Medan.
Letak
geografis
ini
berpengaruh
pada
munculnya
kompleksitas
problem
perkotaan,
sebagaimana
kota
metropolitan
pada
umumnya.
Kepemilikan
lahan
menjadi
barang
mewah
yang
sulit
dijangkau
oleh
warga
miskin,
bahkan
harga
tanah
sudah
menjadi
permainan
para
spekulan
dan
investor.
Sebagian
warga
miskin
di
kelurahan
ini
menempati
tanah‐tanah
sengketa
atau
tinggal
di
bantaran
Sungai
Deli.
Segregasi
sosial
begitu
mencolok,
dimana
tidak
ada
batas
antara
permukiman
elit
‐‐yang
dimiliki
oleh
para
jutawan
lokal‐‐
dengan
permukiman
kumuh
yang
ada
di
belakangnya.
Bentuk
hunian
kelompok
elit
dengan
ciri
khas
rumah
gedung
besar
dan
megah
“menyembunyikan/menutup”
permukiman
padat
dan
kumuh
di
belakangnya.
Diantara
permukiman
miskin
dengan
pusat
perdagangan
berbaur
tanpa
batas
yang
jelas.
Di
antaranya
juga
terdapat
berbagai
tempat
praktek
prostitusi.
Kelurahan
Hamdan
selain
terkenal
sebagai
lokasi
hiburan
malam
dan
wisata
seksual,
juga
terkenal
sebagai
“grey
area”
‐‐yaitu
daerah
peredaran
narkoba.
Sebagaimana
ciri
khas
kota
metropolis
pada
umumnya,
keragaman
etnis
juga
terlihat
jelas
di
sini,
ada
orang
Batak
(Toba,
Dairi,
Simalungun,
dsb.),
Karo,
Deli,
Jadel
(Jawa
Deli),
Jabat
(Jawa
Batak),
Jawa
(sebagai
suku
terbanyak),
Nias,
Padang,
Aceh,
hingga
China
dan
India
(orang
Keling).
Dari
bermacam‐ macam
etnis
yang
ada,
terdapat
empat
etnis
yang
hidupnya
berkelompok,
artinya
mereka
tidak
tinggal
berpencar‐pencar
dan
selalu
ada
di
setiap
lingkungan.
Keempat
etnis
itu
adalah
Jawa,
Nias,
China,
dan
India.
Dari
keempat
etnis
tadi,
hanya
etnis
China
yang
sebagian
besar
warga
masyarakatnya
hidup
di
lingkungan
menengah
atas.
Sisanya,
etnis
Nias,
Jawa,
dan
India
hidup
dan
menetap
di
lingkungan
menengah
bawah
atau
miskin.
Bagi
Tim
Studi,
Lingkungan
09
adalah
lingkungan
yang
paling
“menarik”.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
33
DRAFT
FINAL
REPORT
Pengelompokan
etnis
terjadi
di
sini,
Jawa,
Nias,
dan
India.
Setiap
etnis
memiliki
patronnya
masing‐masing.
Setiap
kelompok
etnis
tidak
mau
tahu
atau
tidak
mau
ikut
campur
urusan
etnik
lainnya.9
Namun,
pada
lingkungan
ini
bukan
berarti
orang
India
‐‐sebagai
etnis
dominan,
baik
patron
maupun
warga
etnisnya‐‐
ditakuti
oleh
etnis
lainnya.
Relatif
tidak
ada
dominasi
etnis
di
kelurahan
ini.
Meskipun
tingkat
kriminalitas
tidak
tinggi,
namun
kondisi
lingkungan
di
Kelurahan
Hamdan
‐‐sebagaimana
dipaparkan
di
atas‐‐
berpengaruh
terhadap
keberadaan
relawan
yang
memiliki
nilai‐nilai
luhur.
Bahkan
pada
waktu
berlangsung
FGD
Relawan
Laki‐laki,
diantara
peserta
yang
hadir
berada
dalam
kondisi
mabuk.
Kompleksitas
persoalan
perkotaan
seringkali
dibenturkan
pada
persoalan
ekonomi,
dan
ini
juga
yang
menjadi
alasan
mengapa
orang
enggan
terlibat
dalam
kegiatan
P2KP
di
Kelurahan
Hamdan,
terutama
karena
dianggap
tidak
menguntungkan.
4.1.2. IsuIsu
dan
Kecenderungan
Kerelawanan
Kelurahan
Karang
Berombak
Program
P2KP
pertama
kali
muncul
di
Kelurahan
Karang
Berombak
pada
bulan
April
tahun
2006,
yang
diawali
dengan
kegiatan
sosialisasi
yang
dilakukan
oleh
Tim
Faskel.
Tahapan
sosialisasi
ini
dilaksanakan
oleh
Tim
Faskel
dengan
mengunjungi
lurah
dan
perangkat
kelurahan
untuk
meminta
dukungan
dari
pemerintahan
kelurahan.
Dari
kunjungan
ini,
Tim
Faskel
memperoleh
penjelasan
gambaran
tentang
kondisi
sosial
kemasyarakatan
dan
juga
meminta
data
potensi
kelurahan.
Selain
dukungan
berupa
data,
kelurahan
juga
memfasilitasi
tempat
untuk
mengadakan
pertemuan
awal
dengan
orang‐
9
Hal
ini
terbukti,
ketika
Tim
Studi
berkunjung
ke
Lingkungan
09
(tepatnya
di
depan
rumah
Erw,
salah
seorang
aktivis
BKM
P2KP
setempat),
Sabtu
23
Mei
2009:13.42
WIB.
Saat
itu
terjadi
perang‐mulut
ibu‐ibu
dari
dua
keluarga
dari
etnis
Jawa.
Kata‐kata
makian
yang
kotor
terucap
lantang
dan
keras
hingga
terdengar
jelas.
Namun,
tempat
berbeda
(yang
hanya
berjarak
puluhan
meter)
sedang
ada
acara
hajatan
pernikahan
adat
Nias
yang
cukup
meriah.
Dua
kejadian
yang
saling
bertolakbelakang
tersebut
berjalan
alami,
seolah‐olah
tidak
ada
pengaruhnya
terhadap
yang
lain.
Warga
dari
etnis
India
yang
menjadi
komuniti
etnis
dominan
bisa
“memilih”
mau
menonton
yang
perang‐mulut
atau
yang
sedang
menikah,
tentu
saja
dengan
sikap
yang
biasa
saja.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
34
DRAFT
FINAL
REPORT
orang
atau
tokoh‐tokoh
potensial
yang
dapat
mendukung
keberadaan
P2KP
di
wilayah
ini.
Tokoh
yang
dimaksud
di
sini
antara
lain
adalah
Kepling,
tokoh
pemuda,
dan
kader
PKK
atau
kader
kegiatan
lain
di
wilayah
setempat.
Setelah
mengadakan
pertemuan
tingkat
kelurahan,
selanjutnya
sosialisasi
dilakukan
di
tingkat
lingkungan
yang
difasilitasi
oleh
Kepling
masing‐masing.
Menurut
keterangan
pihak
BKM,
kegiatan
ini
biasanya
dilakukan
di
masjid/musholla.
Adanya
keterbatasan
waktu
dengan
capaian
target
yang
ditetapkan
maka
sosialisasi
di
masing‐masing
lingkungan
hanya
sempat
dilakukan
sebanyak
satu
kali.
Sebagaimana
ketentuan
yang
ada,
pelaksanaan
P2KP
di
Kelurahan
Karang
Berombak
difasilitasi
oleh
satu
Tim
Faskel
yang
beranggotakan
5
(lima)
orang
sesuai
spesifikasi
bidang
tugas
yang
“dibutuhkan”,10
yang
dipimpin
oleh
seorang
Fasilitator
Senior
(SF).
Kelurahan
Karang
Berombak
di
usia
menginjak
3
(tiga)
tahun
pelaksanaan
P2KP,
telah
melewati
hampir
semua
siklus
P2KP
(Sosialisasi,
Rembug
Kesiapan
Masyarakat,
Refleksi
Kemiskinan,
Pemetaan
Swadaya,
Penyusunan
PJM
Pronangkis,
Pembangunan
BKM,
Pembentukan
KSM,
serta
pelaksanaanya
dengan
basis
program
sesuai
dengan
rumusan
PJM
Pronangkis
yang
telah
disepakati).
Sampai
saat
studi
ini
dilakukan,
sebagian
prioritas
yang
telah
ditetapkan
dalam
PJM
Pronangkis,
khususnya
program
bidang
lingkungan
dan
bidang
sosial
tahap
pertama
telah
direalisasikan.
Sementara
untuk
program
yang
berkaitan
dengan
kegiatan
ekonomi
produktif
‐‐berupa
program
pinjaman
bergulir‐‐
hingga
studi
lapangan
selesai
masih
dalam
tahap
menunggu
pencairan
dana.
Namun
disadari
benar
oleh
koordinator
BKM
bahwa
selama
ini
ada
kecenderungan
dana
bantuan
langsung
masyarakat
(BLM)
untuk
kegiatan
10
Sekedar
untuk
menegaskan,
latar
belakang
faskel
biasanya
“mengikuti”
rona
kegiatan
atau
bidang
tugas
yang
ada
di
BKM,
seperti:
Unit
Pelaksana
Keuangan
(didampingi
oleh
Faskel
Kredit
Mikro),
Unit
Pelaksana
Lingkungan
(didampingi
oleh
Faskel
Infrastruktur),
dan
Unit
Pelaksana
Sosial
(didampingi
oleh
Faskel
Community
Development).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
35
DRAFT
FINAL
REPORT
ekonomi
produktif
seolah‐olah
diarahkan
kepada
peran
BKM
sebagai
“lembaga
perbankan”
dengan
orientasi
dan
sasaran
memenuhi
target
pengembalian
pinjaman.
Akibatnya
fokus
kegiatan
BKM
bukan
memikirkan
bagaimana
masyarakat
miskin
penerima
manfaat
mampu
mengembalikan
pinjamannya
dengan
memberikan
alternatif
solusi
apabila
terjadi
kemacetan
dan
menggugah
hati
sesama
anggota
masyarakat
untuk
peduli
kepada
warga
miskin
di
sekitarnya.
Pasang
surut
kerelawanan
di
Kelurahan
Karang
Berombak
Pada
kasus
di
Kelurahan
Karang
Berombak,
jatidiri
kerelawanan
saat
ini
lebih
identik
dengan
BKM.
Jadi,
bila
kita
berbicara
mengenai
P2KP,
yang
diketahui
dan
banyak
dikenali
masyarakat
adalah
anggota
BKM.
Sedangkan
relawan
terdaftar
lainnya
‐‐yang
dulu
pernah
terlibat
sebelum
terbentuknya
BKM‐‐
seolah‐olah
tenggelam,
meskipun
dalam
setiap
kegiatan
P2KP
sesungguhnya
mereka
tetap
menjadi
ujung
tombak
di
lapangan.
Jatidiri
relawan
yang
tampil
di
masyarakat
bukanlah
hal
yang
luar
biasa,
karena
semua
anggota
BKM
adalah
orang‐orang
yang
memang
sudah
dikenal
dan
biasa
berkecimpung
dalam
organisasi
masyarakat
maupun
organisasi
kelurahan.
Sebelum
terlibat
di
P2KP,
relawan‐relawan
ini
telah
aktif
di
PKK,
kegiatan
posyandu,
perkumpulan
keluarga
berencana
(PKB),
wiridan,
dan
kegiatan
sosial
lainnya
di
lingkungannya
masing‐masing.
Beberapa
diantaranya
baru
saling
mengenal
ketika
sama‐sama
menjadi
relawan
di
P2KP.
Di
dalam
keikutsertaan
di
organisasi
seperti
PKK
atau
PKB,
mereka
mendapatkan
pengetahuan
tentang
gizi
yang
baik
untuk
balita,
mengolah
makanan
yang
memenuhi
kebutuhan
gizi
keluarga,
demo
memasak,
dan
sebagainya.
Di
P2KP
mereka
juga
mendapatkan
pelatihan
serupa,
seperti:
kursus
menjahit,
salon,
dan
membuat
kue.
Yang
membedakan
adalah
di
P2KP
bahan‐bahan
telah
disediakan
(sudah
termasuk
yang
dianggarkan)
dan
mereka
langsung
praktek.
Sedangkan
di
PKK
atau
PKB
sifatnya
hanya
demo.
Dari
berbagai
pelatihan
tersebut
di
atas,
hingga
saat
ini
warga
masyarakat
penerima
manfaat
baru
mempraktekkan
keterampilan
yang
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
36
DRAFT
FINAL
REPORT
diperoleh
sebatas
untuk
kebutuhan
konsumsi
keluarga,
misalnya:
membuat
kue
pada
waktu
lebaran,
punya
hajat,
atau
pada
waktu
ada
kegiatan
masak
bersama
di
lingkungan.
Yang
menonjol
di
kelurahan
ini
adalah
dari
sebanyak
40
orang
relawan
yang
terdaftar,
ternyata
hanya
tercatat
empat
orang
saja
yang
laki‐laki
(10,00
persen),
sisanya
yang
36
orang
(90,00
persen)
adalah
relawan
perempuan.
Relawan
terdaftar
tersebut
rata‐rata
berusia
hampir
40
tahun,
bahkan
tidak
sedikit
yang
berumur
lebih
dari
50
tahun,
dan
satu
orang
diantaranya
berusia
di
atas
60
tahun,
yaitu
Pak
Suy
(67
tahun).
Kakek
berdarah
Jawa
ini
sekaligus
menjadi
sesepuhnya
BKM
“Rose”.
Secara
administratif,
beliau
terpilih
sebagai
Koordinator
BKM
“Rose”,
namun
saat
ini
untuk
keseharian
(baca:
Pelaksana
Harian)
diserahkan
sepenuhnya
ke
Pak
Har,
yang
lebih
muda
dan
energik.
Dalam
hal
ini,
posisi
Pak
Suy
dimanfaatkan
untuk
memainkan
peran
dalam
menghadapi
warga
masyarakat
dari
kelompok
usia
tua.
Beberapa
anggota
BKM
mengatakan
bahwa
keterlibatanya
secara
terus‐ menerus
menjadi
relawan
karena
rasa
penasaran.
Seperti
yang
dikisahkan
oleh
Pak
Har,
aktivis
BKM
yang
sehari‐hari
menggantikan
Pak
Suy
(lihat
Kotak
4.1).
Saat
pertama
kali
diperkenalkan,
banyak
warga
Kelurahan
Katang
Berombak
yang
skeptis,
tidak
percaya
bahwa
program
atau
kegiatan
ini
nanti
ada
duitnya.
Bahkan,
dari
penelusuran
tertangkap
kesan
di
awal‐awal
dulu
pihak
Kepling
sendiri
meragukan
P2KP.
Dikatakan
bahwa
ini
semua
tugas
pekerjaan
seorang
Fasilitator
Kelurahan,
yang
untuk
itu
dia
telah
digaji
oleh
pemerintah.11
11
Dalam
Kotak
4.1.
yang
disebut
Rosa
adalah
Rosa
Al
Japrina,
Faskel
Senior
pertama
kali.
Begitu
gigihnya,
hingga
sekarang
dia
dianggap
sangat
berjasa
dan
dikenang
oleh
warga
setempat.
Dan,
sebagai
kenang‐kenangan,
BKM
yang
dibentuk
diberi
nama
BKM
“Rose”.
Demikian
penuturan
para
anggota
BKM
saat
pertemuan
awal
dengan
anggota
BKM
dan
staf
UPK,
UPL,
UPS,
serta
dihadiri
oleh
Tim
Faskel
(yang
sekarang),
Karang
Berombak,
20
Mei
2009:13.45
WIB.
Mereka
rutin
bertemu
setiap
hari
Rabu
sore.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
37
DRAFT
FINAL
REPORT
Kotak
4.1.
RASA
PENASARAN
TENTANG
P2KP
(Diceritakan
kembali
oleh
Pak
Harun
untuk
Tim
Studi
Kerelawanan)
............................................................
Ketika
pertama
kali
mendengar
tentang
P2KP,
awalnya
penasaran,
Mbak.
Waktu
itu
Bu
Atik,
kepala
lingkungan
sini
(Lingkungan
17)
langsung
menunjuk
saya.
Kepling
:
“Run,
nanti
kamu
datang
ke
sana,
ada
pertemuan.”
Harun
:
“Pertemuan
apa?”
Kepling
:
“Saya
nggak
tau.
Cuma
dari
semua
lingkungan
diundang.”
Dari
awal
saya
tengok
nggak
ada
uangnya.
Faskel
pada
waktu
itu
hanya
mengatakan,
“.....
kita
akan
bangun
kampung
kita
dengan
P2KP,
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan.”
Dari
awal
kita
ditanya
relawan‐relawan,
duitnya
gak
ada.
Ini
prosesnya
lama
loh,
Mbak.
Satu
tahun
ini.
Saya
penasaran,
ini
ujungnya
itu
kayak
mana?
Saya
penasaran,
ikut
terus,
sampe
orang
rumah
kesal.
Isteri
:
“Udahlah
Bang,
nggak
ada
kerjaan
itu.
Ngapain
sih
ikutikut
gitu?”
Harun
:
“Udahlah,
wong
aku
nggak
ada
kerjaan
juga
kok.
Lagian
kan
nggak
jauh
dari
rumah.”
Ya
udah,
tak
ikuti
akhirnya.
Sampai
ada
Kepling
yang
bilang,
“Kalian
itu
sudah
dibodohbodohi
oleh
si
Rosa
(dulu
faskelnya
Rosa).
Dia
yang
untung,
dia
digaji.
Hla
.....
kalian
ngerjain
kerjaan
dia.”
Ya
udahlah,
masa
orang
dibohongi
satu
kampung.
Sejak
pertemuan
di
masjid
itu,
kenallah
saya
dengan
Pak
Suyoto
ini.
Sampai
kemudian
terbentuk
BKM
dan
beberapa
bulan
kemudian
.....
betul
ada
duitnya.
Tapi
duit
ini
tidak
untuk
BKM,
tapi
untuk
masyarakat.
Tapi
ya
sudahlah,
kita
jalani.
Kok
lama‐lama
enak
.....
Enaknya,
ada
semacam
kebanggaan.
Ini
yang
kita
buat
dari
dana
itu.
Ini
kalau
nggak
ada
BKM
belum
jalan
ini.
Kalau
ngarepin
BOP
yang
Rp
3
juta,
kita
nggak
jalan‐jalan.
Sampai‐sampai
ada
yang
ikut
mulai
dari
anaknya
masih
bayi
sampai
(sekarang)
bisa
jalan.
Kalau
buat
BAPUK
itu
sampai
jam
01.00
malam.
Nanti
waktunya
menyusui
anaknya,
dia
minta
ijin
pulang
dulu.
Sekarang
anaknya
sudah
umur
3
tahun.
(Kantor
Lurah
Karang
Berombak,
Selasa,
19
Mei
2009:
11.00
–
12.30
WIB)
Dalam
FGD
Relawan
Perempuan
di
kelurahan
ini
diperoleh
informasi
bahwa
umumnya
yang
menjadi
motivasi
menjadi
relawan
P2KP
di
Kelurahan
Karang
Berombak
adalah
dorongan
keinginan
untuk
(a)
menambah
banyak
kawan,
(b)
memajukan
lingkungan,
(c)
membantu
orang
miskin,
dan
(d)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
38
DRAFT
FINAL
REPORT
kondisi
lingkungan
yang
memang
membutuhkan
penanganan
dan
dirasa
hanya
ada
di
P2KP.
Seperti
terungkap
dalam
ungkapan‐ungkapan
berikut:
“Di
tempat
kami,
dulu
susah
air.
Kalau
cuci
dan
mandi
di
sungai,
apalagi
kalau
musim
kemarau.
Untuk
beli
air
mahal,
banyak
yang
tidak
mampu.
Waktu
kami
dapat
sosialisasi
di
sekolah
SD
dulu
dikatakan
kalau
nanti
kita
bisa
merencanakan
untuk
membangun
sarana
air
bersih.
Sejak
itulah,
kami
dengan
ikhlas
terlibat
jadi
relawan
(P2KP),
karena
benarbenar
terasa
manfaatnya.
Kami
ikut
senang
melihat
masyarakat
tuh
bisa
mendapatkan
air,
rasanya
gimana
gitu
.....
ya,
senang
pokoknya”.
(Seperti
dituturkan
oleh
Ibu
Sum
dalam
FGD
Relawan
Perempuan,
Karang
Berombak,
23
Mei
2009:
14.00
–
16.00
WIB)12
Proses
yang
harus
dilalui
untuk
mencapai
tahap
pencairan
BLM
#1
ternyata
memakan
waktu
yang
sangat
panjang.
Dana
BLM
#1
ternyata
baru
bisa
cair
pada
bulan
April
2007,
setelah
satu
satu
tahun
pelaksanaan
kegiatan
P2KP.
Dengan
relawan
tercatat
sebanyak
40
orang,
yang
mayoritas
relawan
perempuan.
Saat
berlangsung
fase
pembangunan
BKM,
relawan
yang
aktif
tinggal
15
orang,
dimana
13
orang
diantaranya
kemudian
terpilih
sebagai
anggota
BKM
“Rose”
(empat
orang
diantaranya
laki‐laki).
Saat
studi
ini
berlangsung,
dari
13
orang
anggota
BKM
terpilih
tinggal
menyisakan
10
orang
anggota
BKM
saja
yang
aktif
(dua
diantaranya
laki‐laki,
Pak
Suy
dan
Pak
Har).
Tiga
orang
anggota
BKM
tidak
aktif,
ada
yang
diterima
menjadi
PNS,
ada
yang
pindah
ke
kelurahan
lain,
dan
sebagainya).
Di
tahap
awal
ini,
peran
pemerintahan
kelurahan
sangat
besar.
Sosialisasi
yang
berawal
dari
tingkat
lingkungan
mau
tidak
mau
menuntut
banyak
keterlibatan
Kepling.
Merekalah
yang
kemudian
mendorong
orang‐ orang
‐‐seperti
Pak
Suy
dan
Pak
Har‐‐
menjadi
relawan.
Umumnya
disebabkan
Kepling
juga
tidak
mau
direpotkan
untuk
melakukan
seleksi,
sehingga
mekanisme
menunjuk
orang
yang
dirasa
memiliki
waktu
dan
kemampuan
cukup,
adalah
hal
yang
sangat
mungkin
dilakukan.
“Ini
kan
berangkat
dari
lingkungan.
Kepling
nggak
mau
kalau
disuruh
yang
ribet.
Ya
sudahlah,
dari
lingkungan
Pak
Suy,
dimintalah
beliau
hadir.
Di
12
Apa
yang
disampaikan
oleh
Ibu
Sum
ini
juga
dibenarkan
oleh
beberapa
peserta
FGD
yang
lain.
Intinya
bahwa
keikhlasannya
menjadi
relawan
murni
tanpa
pengharapan
imbalan
dalam
bentuk
apapun.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
39
DRAFT
FINAL
REPORT
lingkungan
saya,
saya
yang
hadir.
Saya
ini
kan
kerjanya
malam,
kalau
siang,
penuh
di
rumah
aja.
Jadi
dimintalah
saya.
Ya
sudah,
hadir.”
(Keterangan
Har,
Karang
Berombak,
19
Mei
2009:
11.00
–
12.30
WIB).
Proses
P2KP
sangat
panjang
dan
melelahkan,
program/kegiatan
banyak
menyita
waktu
dan
membutuhkan
kesukarelawanan13,
dan
karenanya
membuat
sebagian
relawan
terdaftar
menjadi
tidak
aktif
lagi.
Apalagi,
setelah
terbentuknya
BKM
“Rose”,
relawan‐relawan
lain
yang
semula
aktif
dan
kemudian
tidak
terpilih
menjadi
anggota
BKM,
menjadi
mundur
teratur,
tergantung
pada
ritme
kegiatan.14
“Mereka
tetap
aktif
kalau
digerakkan,
kalau
nggak
digerakkan
ya
tidak
aktif.
Sampai
dibilang,
‘.....
ngapain
itu,
nggak
ada.
Nggak
ada
duitnya.
Gak
jelas
itu.’
Atau
karena
dana
nggak
caircair,
setiap
kali
kawankawan
bertanya,
‘Bagaimana
Pak
Har,
ada
kelanjutannya
nggak?
Ada
pencairan
nggak?.”
(Seperti
dikatakan
Har,
Karang
Berombak,
19
Mei
2009:
11.00
–
12.30
WIB).
Diperlukan
seorang
“motivator”
yang
harus
selalu
bisa
menggerakkan
mereka,
karena
setelah
terbentuknya
BKM
kegiatan
cenderung
terpusat
di
BKM.
Dalam
kondisi
ini,
relawan‐relawan
terdaftar
yang
sebelumnya
aktif
menjadi
tidak
lagi
banyak
terlibat.
Ada
kecenderungan
bahwa
kegiatan
P2KP
sepenuhnya
merupakan
pekerjaan
BKM
berikut
UP‐UPnya.
Kelurahan
Hamdan
Pembentukan
relawan
di
Kelurahan
Hamdan
dimulai
dengan
datangnya
Tim
Faskel,
yang
dipimpin
oleh
seorang
Faskel
Senior,
Julia.
Oleh
Faskel,
para
warga
diundang
ke
kantor
kelurahan
untuk
mendengarkan
mengenai
rencana
akan
diadakannya
kegiatan
P2KP
di
kelurhan
ini.
Di
akhir
acara,
Faskel
menawarkan,
“Siapa
yang
mau
ikut
jadi
relawan?”
Pada
waktu
itu,
warga
yang
hadir
sekitar
40an
orang,
dan
umumnya
tidak
ada
yang
berminat.
Hal
ini
terjadi
karena
dalam
penjelasan
Faskel
disebutkan
bahwa
relawan
P2KP
ini
kerja
tapi
tidak
dibayar.
13
Secara
anekdot,
beberapa
relawan
yang
tersisa
di
kelurahan
ini
mengartikan
relawan
adalah
“rela”
dan
“tidak
melawan”.
14
Belakangan
terungkap
bahwa
aktivitas
relawan
sangat
tergantung
pada
“kesibukan”
program,
ketika
belum
ada
uang
yang
cair
mereka
banyak
diam.
Baru
nanti
kalau
termijn/BLM
cair
baru
sibuk.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
40
DRAFT
FINAL
REPORT
Sejalan
dengan
waktu,
Faskel
merasa
program
yang
ditawarkan
tidak
mendapat
sambutan
memadai
dan
tidak
berjalan
dengan
baik.
Mendapati
kenyataan
itu,
Faskel
memprakarsai
diadakannya
pemilihan
ketua
kerelawanan
di
masing‐masing
lingkungan,
yang
tujuannya
merangsang
para
warga
untuk
duduk
dalam
keanggotaan
BKM.
Syaratnya
bebas,
boleh
mencalonkan
dan
memilih
diri‐sendiri,
saudara,
keluarga,
dan
sebagainya.
Dari
kegiatan
pemilihan
di
tingkat
lingkungan
tersebut,
terbentuk
6
(enam)
orang
yang
mau
duduk
dalam
keanggotaan
BKM
‐‐yang
masing‐masing
mewakili
lingkungannya.
Walaupun
demikian,
masih
ada
juga
warga
dari
lingkungan
lainnya
yang
tidak
berminat
sama
sekali,
sehingga
lingkungan
tersebut
tidak
memiliki
wakil
yang
duduk
dalam
keanggotaan
BKM.
Mendapatkan
kenyataan
tersebut
Kepling
turun
tangan,
yaitu
dengan
menunjuk
langsung
warga
yang
dianggap
mau
dan
mampu
duduk
dalam
BKM.
Berdasarkan
informasi
dari
Bud
(33
tahun),
salah
seorang
tokoh
muda
di
BKM,
saat
itu
ada
dua
kemungkinan
orang
mau
duduk
dalam
BKM,
pertama,
karena
“terpaksa”
atau
“dipaksa”
oleh
Keplingnya.
Jadi,
dia
mau
duduk
dalam
kepengurusan
BKM
karena
merasa
tidak
sanggup
menolak
permintaan
Keplingnya.
Kedua,
memang
pada
dasarnya
orang
itu
mau,
namun
karena
pada
waktu
pencalonan
dan
pemilihan
anggota
BKM
ia
tidak
hadir
karena
kesibukannya
atau
karena
tidak
tahu,
maka
ia
tidak
bisa
menjadi
anggota
BKM.
Dari
penunjukan
itu,
terpilihlah
sebanyak
11
orang
anggota
BKM
‐‐empat
orang
laki‐laki
(36,36
persen)
dan
tujuh
orang
perempuan
(63,67
persen)‐‐
yang
masing‐masing
mewakili
lingkungannya.
Kondisi
program
yang
serba
tidak
jelas,
terutama
masalah
turunnya
anggaran,
membuat
beberapa
anggota
perlahan‐lahan
mengundurkan
diri.
Anggota
BKM
yang
tersisa
kemudian
jumlahnya
tinggal
9
(sembilan)
orang.15
15
Yaitu
terdiri
atas;
Ibu
Nazli
(Kordinator),
Budi,
Zulfikar,
Yono,
Lena,
Herawati,
Silvy,
Chandra,
dan
Erwin.
Koordinator
BKM
yang
sekarang
ini
terpilih
ulang
setelah
ada
“konflik”
antara
BKM
dengan
pihak
kelurahan.
Lurah
dalam
keseharian
merasa
“ditinggalkan”
oleh
BKM,
padahal
kantorBKM
terletak
di
lantai
2
Kantor
Kelurahan
Hamdan.
Maka
kemudian
BKM
“diusir”
dan
hingga
saat
studi
berlangsung
BKM
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
41
DRAFT
FINAL
REPORT
Saat
kunjungan
di
lapangan
(18
–
27
Mei
2009)
anggota
BKM
yang
aktif
tinggal
tersisa
tiga
orang,
yaitu:
Bud,
Erw,
dan
Cha.
Anggota
yang
lainnya
“mati
suri”,
yaitu
sudah
tidak
aktif
kecuali
kalau
ada
pencairan
dana
BLM
maupun
insentifnya.
Kurangnya
pemahaman
tentang
kerja
kerelawanan
ini
menurut
Erw
(32
tahun),
salah
seorang
aktivis
BKM,
diyakini
karena
dua
hal,
yaitu:
(1)
relawan
tidak
mengerti
fokus
program;
dan
(2)
relawan
terjebak
dalam
kesibukan
pribadi
(mencari
nafkah).
Khusus
untuk
kasus
ibu
Sil,
salah
seorang
anggota
BKM
dari
unsur
perempuan,
ketidakaktifannya
dikarenakan
lingkungan
yang
diwakilinya
sudah
tergusur
oleh
proyek
pengembang
untuk
pembangunan
ruko,
hingga
dirinya
terpaksa
pindah
rumah.16
4.2.
Kerelawanan
di
Kota
Bengkulu
Kota
Bengkulu
didatangi
Tim
Studi
Pelembagaan
Kerelawanan
pada
28
–
06
Mei
2009.
Sebagaimana
telah
disampaikan
sebelumnya,
Kota
Bengkulu
dipilih
sebagai
salah
satu
lokasi
kajian
mewakili
fase
P2KP‐3.
4.2.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
Di
Kota
Bengkulu,
dua
kelurahan
sampel
yang
ditentukan
untuk
dikaji
adalah
Kelurahan
Kebun
Geran
‐‐mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerelawanan
tinggi
(highest
level)‐‐
dan
Kelurahan
Kebun
Dahri
–mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerelawanan
rendah
(lowest
level)‐‐,
keduanya
Gambar
4.3.
Situasi
Salah
Satu
Sudut
Pusat
Kota
Bengkulu
berada
di
Kecamatan
Ratu
Samban.
Lebih
persisnya
kedua
lo‐ kasi
tersebut
terletak
berseberangan
dan
dipisahkan
oleh
Jalan
pindah
di
rumah
koordinatornya,
sedangkan
pusat
kegiatan
ada
di
rumah
Bud,
salah
seorang
anggotanya.
16
Seperti
yang
disampaikan
Erw,
32
tahun,
salah
seorang
pengurus
BKM
Kelurahan
Hamdan,
Medan,
20
Mei
2009.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
42
DRAFT
FINAL
REPORT
Suprapto,
salah
satu
jalan
utama
di
kota
ini.
Secara
fisik,
kedua
kelurahan
ini
tidak
memiliki
perbedaan
yang
mencolok,
dan
dengan
“kesibukannya”
kedua
kelurahan
ini
merupakan
salah
satu
“growing
points”
Kota
Bengkulu.
Zona
ini
menampung
sebagian
besar
kegiatan
kota,
berupa
pusat
Gambar
4.4.
Peta
Kota
Bengkulu
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
perdagangan,yang
dicerminkan
oleh
deretan
pertokoan
di
sepanjang
Jalan
Suprapto,
mall,
dan
pasar.
Di
sisi
luar
terdapat
juga
terminal,
sedang
di
bagian
dalam
adalah
permukim‐ an
penduduk
yang
padat.
Selintas
kondisi
Kebun
Dahri
terlihat
lebih
semrawut,
sebagai
Bussiness
dan
Central
Distric
Kota
Bengkulu,
kelurahan
ini
mencirikan
kehidupan
kota
yang
semakin
individualis
dan
kemacetan
pada
jam
kerja
dan
menjelang
malam
setiap
harinya,
seperti
tampak
pada
Gambar
4.3
di
atas.
Warga
yang
tinggal
di
sepanjang
Jalan
Suprapto
adalah
“warga
kaya”
di
Kelurahan
Kebun
Geran
dan
Kebun
Dahri.
Kelurahan
Kebun
Geran
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
43
DRAFT
FINAL
REPORT
Kelurahan
Kebun
Geran
terdiri
dari
tiga
RW,
yang
mencakup
10
RT,
yaitu
sebagai
berikut:
‐
RW
01,
terdiri
dari
tiga
RT,
yaitu:
RT
01,
RT
02,
dan
RT
03;
‐
RW
02,
terdiri
dari
empat
RT,
yaitu:
RT
04,
RT
05,
RT
06,
dan
RT
07;
‐
RW
03,
terdiri
dari
tiga
RT,
yaitu:
RT
08,
RT
09,
dan
RT
10.
Masyarakat
pada
umumnya
memiliki
mata
pencaharian
sebagai
buruh,
tukang
ojek,
dan
pedagang.
Suku
Bengkulu
asli
rata‐rata
bekerja
sebagai
nelayan,
buruh,
dan
kuli
angkut.
Kelurahan
Kebun
Geran
memiliki
luas
areal
sekitar
17,00
hektar
dan
dihuni
oleh
1.992
jiwa
(477
KK),
yang
terdiri
dari
976
jiwa
penduduk
laki‐laki
(49,00
persen)
dan
1.016
penduduk
perempuan
(51,00
persen).
Angka
kepadatan
penduduk
kelurahan
ini
adalah
sekitar
117
jiwa
per
hektar.
Masyarakat
miskin
di
Kelurahan
Kebun
Geran
kurang
dari
sepertiga
jumlah
keluarga,
hal
ini
dapat
dilihat
dari
porsi
jumlah
warga
penerima
raskin
mencapai
132
KK
atau
sekitar
27,67
persen.
Kelurahan
ini
dihuni
oleh
beragam
suku,
baik
suku
asli
‐‐yakni
Melayu‐Bengkulu
(Bengkulu)‐‐
maupun
pendatang.
Etnis
yang
dominan
di
kelurahan
ini
adalah
penduduk
asli,
yakni
Melayu
Bengkulu
sekitar
50,00
persen,
kemudian
sisanya
terbagi
antara
etnis
Minang
dan
campuran
(Jawa,
China,
Rejang,
dan
lain‐lain).
Melalui
Jalan
Cendrawasih,
sebagai
jalan
utama
masuk
lingkungan
Kelurahan
Kebuh
Geran,
permukiman
warga
belum
tertata
dengan
baik.
Jalan
masuk
Gambar
4.5.
Pemandangan
Salah
Satu
Infrastruktur
Lingkungan
Di
Kelurahan
Kebun
Geran,
Bengkulu
ke
permukiman
cukup
sempit.
Beberapa
malah
hanya
muat
untuk
satu
mobil
dan
selebihnya
hanya
bisa
dilalui
kendaraan
roda
dua.
Ojek
memang
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
44
DRAFT
FINAL
REPORT
merupakan
salah
satu
pilihan
sarana
transportasi
utama
di
kelurahan
ini.
Selain
karena
kondisi
tanah
yang
naik
turun,
masyarakat
belum
banyak
yang
memiliki
kendaraan
roda
empat.
Kehadiran
P2KP
merupakan
salah
satu
program
yang
dinilai
masyarakat
setemapt
sangat
membantu,
terutama
program
perbaikan
lingkungan,
‐‐khususnya
berupa
betonisasi
jalan‐‐
sehingga
jalan
setapak
yang
sebelumnya
tidak
bisa
dilalui
oleh
ojek,
saat
ini
sudah
bisa.
Hal
ini
sangat
membantu
dan
mempermudah
mobilitas
penduduk
untuk
mengakses
pusat‐pusat
ekonomi.
“Adonya
P2KP
bermanfaat,
jalan
jadi
bagus,
siring
ditutup
jadi
tampak
bersih.
Jalan
yang
di
depan
itu
dulunyo
idak
biso
motor
lewat.
Emak
ni
berat
nian
kalo
pulang
dari
pasar
bawa
belanjo
mesti
jalan
kaki.
Sekarang
idak
lagi,
ojek
bisa
masuk,
jadi
Emak
bisa
naik
ojek
dari
pasar.”
(Sebagaimana
dikisahkan
oleh
Sar,
64
tahun,
Kebun
Geran,
1
Juni
2009).
Perumahan
penduduk
di
sini
tampak
sederhana,
tidak
ada
segregasi
sosial
yang
mencolok,
dan
fisik
lingkungan
terlihat
lumayan
bersih.
Masih
di
sepanjang
jalur
Jaalan
Cendrawasih,
salah
satu
RT
di
sekitar
jalan
ini
dikatakan
“menolak”
program
P2KP,
yakni
RT
04
RW
02.
Wilayah
ini
merupakan
komplek
Asrama
Polisi
Kota
Bengkulu.
Saat
didatangi
oleh
Tim
Studi,
komplek
ini
tampak
lengang,
tidak
terlihat
banyak
aktivitas.
Dilihat
dari
interaksi
sosialnya,
warga
yang
tingga
di
(dalam)
asrama
sepertinya
memang
tidak
memiliki
intensitas
interaksi
dengan
masyarakat
setempat
di
sekitarnya.
Tidak
mengherankan
jika
kompleks
ini
seolah
terpisah
dari
kehidupan
warga
masyarakat
sipil.
Kelurahan
Kebun
Dahri
Menurut
data
statistik
kelurahan
bulan
Desember
2008,
jumlah
penduduk
Kebun
Dahri
tercatat
sebanyak
1.831
jiwa
‐‐tercakup
dalam
449
KK‐‐
dengan
rincian
853
jiwa
penduduk
laki‐laki
(46,59
persen)
dan
978
jiwa
penduduk
perempuan
(53,41
persen).
Wilayah
terdapat
di
kelurahan
ini
adalah
RT
05
RW
01
dengan
jumlah
penduduk
sebanyak
526
jiwa
(28,74
persen).
Sedangkan
RT
06
RW
03
merupakan
wilayah
dengan
penghuni
paling
sedikit,
yakni
sebanyak
100
jiwa
(5,46
persen).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
45
DRAFT
FINAL
REPORT
Secara
administratif,
Kelurahan
Kebun
Dahri
terbagi
dalam
tiga
RW
dan
mencakup
delapan
RT
dengan
perincian
sebagai
berikut:
(1)
RW
01,
terdiri
dari
tiga
RT,
yaitu:
RT
03,
RT
04,
dan
RT
05;
(2)
RW
02,
terdiri
dari
dua
RT,
yaitu:
RT
01
dan
RT
02;
serta
(3)
RW
03,
terdiri
dari
tiga
RT,
yaitu:
RT
06,
RT
07,
dan
RT
08.
Dari
ketiga
RW
tersebut,
yang
paling
kompleks
permasalahan
sosial
dan
segregasi
ruangnya
adalah
RW
03.
Lingkungan
perumahan
yang
padat,
kumuh,
dan
bau,
menjadi
ciri
khas
lingkungan
permukiman
ini.
Sumber
bau
di
lingkungan
ini
selain
berasal
dari
selokan
air
yang
menggenang
juga
diakibatkan
oleh
kegiatan
pasar
tradisional
yang
berada
di
dalam
lingkungan
permukiman.
Kondisi
permukiman
dengan
bau
yang
kurang
sedap
ini
semakin
lengkap
dengan
hadirnya
banyak
bangunan
tinggi
yang
sengaja
dibangun
untuk
usaha
peternakan
sarang
burung
walet.
Lingkungan
atau
RW
inilah
yang
menerima
manfaat
paling
banyak
dari
kegiatan‐kegiatan
P2KP.
Juga,
RW
03
selain
kondisinya
padat
dan
kumuh
juga
dihuni
oleh
berbagai
etnis
yang
beragam,
ada
orang
China,
Padang,
Bengkulu,
Lintang,
Jawa,
dan
lainnya.
Etnis
yang
terbanyak
tinggal
di
lingkungan
ini
adalah
Padang.
Menurut
perkiraan
warga
setempat,
etnis
Padang
ini
jumlahnya
lebih
dari
75,00
persen
dari
keseluruhan
warga
RW
ini.
Sisanya
adalah
orang
Bengkulu
asli,
dengan
populasi
sekitar
20,00
persen.
Berdasarkan
ukuran
“keberhasilan”
‐‐dalam
hal
pendapatan
ekonominya‐‐
menurut
argumentasi
yang
disampaikan
Her
(39
tahun),
salah
seorang
warga
asli
yang
juga
dikenal
sebagai
tokoh
adat
Bengkulu,
pada
dasarnya
dapat
dilihat
dari
kategori
etnis‐etnis
yang
ada.
Pemimpin
(dalam
bidang)
ekonomi
atau
etnis
yang
secara
umum
berhasil
dalam
hal
pendapatan
ekonominya
adalah
dari
etnis
China
dan
Padang.
Sebaliknya,
untuk
etnis
yang
“kurang
berhasil”
dari
segi
ukuran
pendapatan
ekonominya
adalah
dari
etnis
Bengkulu
(warga
asli),
etnis
Lintang,
dan
sebagian
dari
etnis
Jawa.
Masyarakat
miskin
yang
ada
di
RW
03
umumnya
bekerja
sebagai
pedagang
kaki
lima,
pedagang
makanan
dengan
sistem
gerobak
di
pinggir
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
46
DRAFT
FINAL
REPORT
jalan,
pedagang
di
pasar
tradisional,
tukang
ojek,
dan
buruh.
Jenis
buruh
yang
ditekuni
oleh
perempuan
adalah
buruh
cuci
pakaian,
sedangkan
sebagian
laki‐ laki
menjadi
kuli
bangunan.
Selain
itu,
terdapat
beberapa
warga
yang
berprofesi
menjadi
buruh
pemetik
batang
cabe
dan
pembersih
kulit
bawang
merah,
yang
hal
ini
bisa
dilakukan
baik
oleh
laki‐laki
maupun
perempuan.
Lingkungan
RW
02
yang
berada
di
sepanjang
Jalan
Suprapto
adalah
wilayah
yang
dihuni
oleh
kelompok
menengah
atas.
Umumnya
bangunan
di
sepanjang
jalan
ini
berupa
ruko
yang
dimiliki
oleh
etnis
China.
Di
belakangnya
adalah
area
permukiman
warga,
dan
termasuk
dalam
lingkup
RW
01.
Lingkungan
perumahan
kelas
menengah
ke
atas
terlihat
umum
di
sini.
Di
antara
fungsi
permukiman,
ada
juga
variasi
fungsi
bangunan
lain
di
dalam
lingkungan
ini,
yaitu
bangunan
untuk
peternakan
usaha
sarang
burung
walet.
Namun,
jumlahnya
tidak
sebanyak
yang
ada
di
RW
03,
dan
memiliki
karakteristik
bangunan
cukup
unik,
berdiri
sendiri
dengan
ciri
tertutup,
masif,
dan
menjulang
tinggi
(sekitar
30
meter).
Akan
tetapi
ada
jenis
bangunan
usaha
sarang
burung
walet
yang
pada
bagian
bawahnya
dihuni
oleh
keluarga
si
pemilik
usaha
peternakan
tersebut.
4.2.2. IsuIsu
dan
Kecenderungan
Kerelawanan
Kelurahan
Kebun
Geran
Program
P2KP
adalah
satu‐satunya
program
pengentasan
kemiskinan
yang
masuk
di
Kelurahan
Geran.
Program‐program
bantuan
lainnya
yang
pernah
ada,
seperti:
BLT,
Jamkesmas,
raskin,
dll.
memang
ada,
namun
semuanya
hanya
sebagai
program
“bantuan”
bukan
pemberdayaan.
Karenanya,
saat
sosialisasi
P2KP
dirasakan
sulit
di
sini.
Tadinya
masyarakat
beranggapan
bahwa
P2KP
adalah
proyek
“.....
ada
dana,
kerjakan
habis.”17
Awal
rekrutmen
relawan
dilakukan
di
tingkat
RT,
dimana
masing‐ masing
RT
merekrut
sebanyak
15
orang,
yang
kemudian
“disaring”
di
tingkat
RT
menjadi
sebanyak
sembilan
orang
calon
relawan.
Jumlah
RT
di
Kelurahan
17
Sebagaimana
dituturkan
oleh
DT,
mantan
Koordinator
BKM
setempat,
Kebun
Geran,
29
Mei
2009.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
47
DRAFT
FINAL
REPORT
Kebun
Geran
ada
sepuluh,
dimana
dua
RT
diantaranya
‐‐yakni
RT
01
dan
RT
04‐‐
menolak,
maka
jumlah
keseluruhan
relawan
yang
terdaftar
adalah
72
orang.
Sebagai
catatan,
kedua
RT
yang
menolak
tersebut
memiliki
alasan
berbeda,
RT
01
adalah
wilayah
permukiman
orang
kaya
(pertokoan)
sedangkan
RT
04
adalah
asrama
polisi.
Setelah
itu,
pada
saat
musyawarah
warga
pembangunan
BKM,
terpilihlah
13
orang
sebagai
pengurus
BKM.
Namun
dalam
perjalanannya,
hingga
saat
studi
ini
berlangsung
tinggal
10
orang
yang
aktif,
satu
orang
mengundurkan
diri
sejak
awal
terpilih,
satu
orang
mendapatkan
pekerjaan,
dan
satu
orang
lagi
pindah
tempat
tinggal.
Dari
13
orang
anggota
BKM,
tiga
diantaranya
adalah
perempuan,
yaitu
Net,
Nan,
dan
EtB.
Di
Kelurahan
Kebun
Geran,
menurut
penuturan
beberapa
pihak,
kesulitan
pelaksanaan
P2KP
dinilai
masyarakat
disebabkan
oleh
pergantian
Faskel
yang
terlalu
sering.
“Gantiganti
faskel
bikin
pusing.
Sudah
ada
faskel
yang
bagus,
diganti
lagi.
Dalam
satu
tahun
sudah
ganti
tiga
kali.
Tidak
semua
faskel
pinter,
kalau
ditanya
jawabnya
nggak
tahu.
Faskel
tidak
menjadi
fasilitator,
tapi
hanya
‘agen
proyek.’
Pokoknya
ini
harus
selesai
sekarang
.....”
(Sebagaimana
dituturkan
oleh
DT,
Koordinator
BKM,
Kelurahan
Kebun
Geran,
29
Mei
2009:
14.45
–
16.00
WIB).
Lebih
lanjut
DT
menjelaskan
bahwa
selain
itu,
P2KP
sendiri
ketentuannya
selalu
berubah‐ubah,
misalnya
pemasangan
lampu
di
rumah
warga,
dulu
boleh
tapi
sekarang
tidak
boleh.
“Pemasangan
lampu
di
rumah
masyarakat,
dulu
boleh,
sekarang
gak
boleh.
Ada
perubahan
seperti
ini,
kalau
tidak
ada
sosialisasi
bisabisa
anggota
BKM
dilempari
batu.
Susahnya
kalau
sosialisasi
ini
kami
tidak
dibantu
faskel.
Masyarakat
lebih
menerima
penjelasan
dari
faskel
dibandingkan
dari
BKM.
Kalau
faskel
dianggap
masyarakat
sebagai
orang
di
tampuk
P2KP.”
(Kebun
Geran,
29
Mei
2009).
Khususnya
mengenai
hubungan
dengan
pemerintah
kelurahan,
sejauh
ini
tidak
ada
persoalan.
Sebagaimana
yang
diinformasikan
oleh
Koordinator
BKM
setempat,
secara
tidak
langsung
BKM
P2KP
Kelurahan
Kebun
Geran
“diuntungkan”
dengan
adanya
pergantian
lurah.
Waktu
pertama
kali
P2KP
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
48
DRAFT
FINAL
REPORT
masuk
lurah
belum
paham
sama
sekali,
dan
saat
itu
baru
sama‐sama
mendapatkan
pembelajaran.
Lurah
menjadi
paham,
dan
(sehingga)
tidak
pernah
mempersoalkan
jika
dimintai
tanda
tangan.
Tidak
lama
kemudian
ada
pergantian
lurah
ganti,
dan
waktu
itu
sedang
berlangsung
proses
penyusunan
PJM
Pronangkis.
Oleh
karena
posisi
lurah
masih
baru
dan
tidak
mengikuti
proses
awalnya,
maka
ketika
dijelaskan
apa
itu
PJM
dan
diinformasikan
bahwa
ini
merupakan
lanjutan
dari
kegiatan
sebelumnya,
maka
lurah
tidak
susah
untuk
menandatangani
dokumen
PJM
Pronangkis
dan
surat‐menyurat
lainnya.
Pada
saat
studi
ini
berlangsung,
lurah
Kelurahan
Kebun
Geran
untuk
berganti
lagi,
sehingga
saat
ini
adalah
lurah
ketiga
selama
pelaksanaan
P2KP
di
Kelurahan
Kebun
Geran,
sehingga
usulan
kegiatan
juga
langsung
ditandatangani.
Kelurahan
Kebun
Dahri
Pelaksanaan
P2KP
secara
umum
terhambat
di
Kelurahan
Kebun
Dahri
‐‐ terutama
di
RW
03.
Dan,
jika
faktor‐faktor
penyebabnya
itu
dikaji
di
masing‐ masing
lingkungan
RW,
maka
ternyata
masing‐masing
RW
memiliki
permasalahan
yang
berbeda‐beda.
Sebagai
informasi
awal
dapat
disimak
uraian
berikut
yang
bersumber
pada
penjelasan
MR
(54
tahun)
‐‐staf
Kelurahan
Kebun
Dahri
yang
telah
bekerja
sejak
tahun
1981.
Yang
bersangkutan
mengikuti
secara
seksama
‐‐dan
bahkan
ikut
berpartisipasi
dalam‐‐
kegiatan
kerelawanan
P2KP
di
Kelurahan
Kebun
Dahri.
•
Pelaksanaan
Kegiatan
P2KP
di
RW
01
RW
01
merupakan
lingkungan
permukiman,
yang
sebagian
kecil
huniannya
merupakan
bangunan
untuk
usaha
peternakan
sarang
burung
walet.
Kondisi
kesejahteraan
warga
yang
pada
umumnya
pada
tingkatan
menengah
dan
atas,
membuat
kegiatan
P2KP
di
lingkungan
ini
tidak
menemui
kendala
yang
berarti.
Persatuan
antar
warga
juga
terjalin
dengan
baik.
Gotong‐royong
memang
sudah
ada
sebelum
kegiatan
P2KP
masuk
di
kelurahan
ini.
•
Pelaksanaan
Kegiatan
P2KP
di
RW
02
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
49
DRAFT
FINAL
REPORT
Merupakan
lingkungan
pertokoan
yang
berjajar
mulai
dari
Jalan
Suprapto
hingga
Jalan
Abidin.
Warga
di
lingkungan
ini
‐‐yang
rata‐rata
adalah
pedagang‐‐
sejak
awal
dikenalkan
kegiatan
P2KP
sudah
jelas‐ jelas
menolak.
Mereka
tidak
mau
dilibatkan
dengan
kegiatan
P2KP
dengan
alasan
sudah
terlalu
disibukkan
dengan
kegiatan
perniagaan
yang
mereka
jalankan.
•
Pelaksanaan
Kegiatan
P2KP
di
RW
03
Merupakan
RW
yang
padat,
kumuh,
dan
tingkat
“premanisme”nya
cukup
tinggi.
Kehidupan
di
RW
ini
secara
umum
“cukup
keras”,
dimana
banyak
diwarnai
oleh
karakter
orang‐orang
pasar,
para
pengangguran,
dan
preman.
Hal
ini
membuat
kegiatan
P2KP
di
lingkungan
RW
03
banyak
menemui
kendala.
“Warga
di
sini
mudah
sekali
emosi.
Itulah
juga
alasan
saya
kenapa
sekarang
menganggur.
Dulu
saya
pedagang
ikan
di
pasar,
karena
kehidupan
di
pasar
itu
keras,
salah
sedikit
‘main
pisau’.
Jadi
saya
cari
aman,
berhenti
sajalah.
Untuk
memenuhi
kebutuhan
hidup
seharihari
sekarang
saya
bekerja
sebagai
petugas
ronda.”
(Sebagaimana
dituturkan
oleh
Her,
39
tahun,
Kebun
Dahri,
29
Mei
2009)
Sejak
bulan
Februari
2009,
kegiatan
P2KP
di
lingkungan
ini
berhenti
total.
Para
relawan
terdaftar,
seperti:
BKM,
UP‐UP,
dan
KSM,
tidak
melakukan
aktivitas
sama
sekali.
Hal
ini
dipicu
oleh
rasa
trauma
mereka
atas
kejadian
meninggalnya
AH,
Koordinator
BKM
setempat,
karena
sakit
jantung.
Beberapa
anggota
BKM
menyampaikan
bahwa
salah
satu
penyebab
“sakit”nya
AH
adalah
karena
adanya
“tekanan”
persoalan
di
P2KP
yang
menurut
mereka
dilatarbelakangi
oleh
konflik
kepentingan/politik.
Dengan
kejadian
ini,
sebagian
besar
anggota
BKM
merasa
“kehilangan”
figur
yang
mereka
hormati
dan
sekaligus
melemahkan
semangat
mereka.
Diakui
oleh
beberapa
anggota
BKM,
memang
belakangan
ada
pertemuan
yang
diadakan
para
anggota
BKM,
namun
hasil
pertemuan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
50
DRAFT
FINAL
REPORT
tersebut
hanya
menetapkan
pengganti
Koordinator
BKM.
Disepakati
pengganti
AH
sebagai
koordinator
adalah
Zai.18
Pelaksanaan
P2KP
di
Kelurahan
Kebun
Dahri
bermula
dari
kedatangan
Ell,
Faskel
setempat,
yang
memperkenalkan
diri
kepada
masyarakat
pada
saat
ada
pertemuan
di
kelurahan
yang
dihadiri
undangan
dari
RT
dan
RW.
Dalam
forum
tersebut
Ell
menjelaskan
tentang
apa
itu
P2KP.
Saat
itu,
setelah
penjelasan
tentang
P2KP
dan
masyarakat
menerima
untuk
dilaksanakan
di
kelurahan
setempat,
acara
dilanjutkan
dengan
pemilihan
siapa
saja
yang
“layak”
menjadi
relawan.
Seperti
yang
disampaikan
oleh
Faskel
bahwa
syarat
untuk
menerima
P2KP
adalah
bahwa
kelurahan
yang
bersangkutan
harus
bersedia
menyediakan
relawan‐relawan
yang
akan
terlibat
dalam
pelaksanaan
program.
Mekanisme
pemilihannya
‐‐mirip
dengan
beberapa
tempat
lainnya‐‐
dimulai
dari
tingkat
RT,
dimana
setiap
RT
diminta
memilih
tiga
orang
relawan
yang
akan
mewakili
RT
yang
bersangkutan
dalam
pertemuan
di
tingkat
kelurahan.
Oleh
karena
di
beberapa
RT
warga
yang
berminat
menjadi
relawan
jumlahnya
melebihi
tiga
orang,
maka
diadakan
pemilihan
(voting)
oleh
warga
hingga
terpilih
relawan
yang
mewakili
RT
sebanyak
tiga
orang.
Sebagai
contoh:
untuk
RT
05,
saat
itu
terdapat
delapan
orang
yang
mencalonkan
diri
sebagai
relawan.
Seperti
yang
telah
disampaikan
sebelumnya
bahwa
RW
02
menolak
kegiatan
P2KP,
selain
karena
alasan
sibuk
dengan
perniagaan
yang
mereka
jalankan,
ada
alasan
khusus
yang
datang
dari
kelompok
etnis
China,
“...
kami
sudah
mampu,
tidak
perlu
lagi
ikut
kegiatan
ini
(P2KP).19”
Jadi,
dari
total
RT
yang
memiliki
wakil
relawan
dalam
kegiatan
P2KP
adalah
enam
RT
‐‐tiga
RT
di
18
Menurut
pengakuan
sebagian
besar
anggota
BKM,
kebetulan
Zai
merupakan
anggota
BKM
yang
sarjana,
disampaikan
pada
saat
FGD
BKM,
Kebun
Dahri,
Minggu,
30
Mei
2009.
19
Sebagaimana
yang
dituturkan
oleh
Zai,
Koordinator
BKM
pada
hari
Jumat,
tanggal
29
Mei
2009,
pukul
14.00
–
16.20.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
51
DRAFT
FINAL
REPORT
RW
01
dan
tiga
RT
lainnya
di
RW
03‐‐
maka
total
relawan
di
Kelurahan
Kebun
Dahri
adalah
18
orang.
Sejalan
dengan
waktu,
ketika
mulai
memasuki
fase
Pembangunan
BKM,
maka
sebagian
relawan
tersebut
terpilih
menjadi
anggota
BKM.
Pada
saat
pemilihan
BKM
‐‐yang
dilakukan
melalui
sistem
voting‐‐
maka
sama
halnya
dengan
mekanisme
pemilihan
relawan
tiap
RT
ditunjuk
perwakilan
sebanyak
5
(lima)
orang
yang
(seharusnya)
dipilih
oleh
warga.
Pada
kenyataannya
tidak
mudah
untuk
mendapatkan
sejumlah
lima
orang
untuk
mewakili
RT
pada
rapat
pembentukan
BKM.
Hal
ini
tersirat
dari
apa
yang
disampaikan
oleh
Zai,
Koordinator
BKM,
sebagai
berikut:
“.....
ternyata
setiap
RT
tidak
selalu
diwakili
oleh
5
orang
calon
anggota
BKM.
Jadi,
satu
RT
ada
yang
diwakili
oleh
2
atau
3
orang
calon
anggota
BKM
saja,
karena
banyak
warga
yang
tidak
mau
dicalonkan
dengan
berbagai
alasan.”
(Sebagaimana
dituturkan
Zai,
Jumat,
29
Mei
2009,
pukul
14.00
–
16.20)20
Dalam
pemilihan
anggota
BKM,
terbentuklah
BKM
dengan
anggota
sebanyak
13
orang,
yang
(tentu
saja)
hanya
mewakili
dua
RW
dan
enam
RT.
Namun
demikian,
saat
studi
ini
berlangsung,
hanya
tinggal
8
(delapan)
orang
anggota
BKM
yang
masih
aktif,
5
(lima)
orang
lainnya
sudah
tidak
aktif,
dengan
perincian:
dua
orang
pindah
ke
luar
kelurahan,
satu
orang
meninggal
(AH,
yang
kebetulan
Koordinator
BKM),
satu
orang
terkena
stroke
dan
tidak
memungkinkan
lagi
terlibat,
serta
satu
orang
lagi
mengundurkan
diri
karena
kesibukan.
Beberapa
anggota
BKM
yang
masih
aktif
saat
ini
adalah
orang‐ orang
yang
menjabat
Ketua
RT,
Ketua
RW,
atau
setidaknya
aktif
di
dalam
PKK
dan
Posyandu
di
lingkungannya
‐‐khususnya
untuk
anggota
BKM
yang
wanita.
4.3.
Kerelawanan
di
Kota
Surabaya
20
Hal
ini
diamini
oleh
beberapa
orang
aktivis
P2KP
yang
diwawancarai
pada
saat
kunjungan
awal
Tim
Studi
ke
RW
03,
diantaranya
Her,
39
tahun,
yang
kebetulan
dipercaya
menjadi
pengurus
UPK.
“Warga
di
sini
(RW
03)
susah
sekali
diajak
kerjasama.
Sewaktu
masyarakat
diundang,
ditanya
siapa
yang
mau
jadi
relawan?,
semua
bungkam.
Tapi,
lain
lagi
kalau
mau
ada
pembagian
BLT
(bantuan
langsung
tunai),
yang
diundang
seratus
orang,
yang
datang
lebih
dari
seratus.
Bahkan
tim
pendaftar
seperti
saya,
bisa
kena
pukul
kalau
nama
orangorang
itu
tidak
ada.”
(Seperti
yang
diinformasikan
oleh
Her,
Kebun
Dahri,
Jumat,
29
Mei
2009)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
52
DRAFT
FINAL
REPORT
Kota
Surabaya
dikunjungi
oleh
Tim
Studi
Pelembagaan
Kerelawanan
pada
tanggal
08
–
17
Juni
2009,
dan
sebagaimana
dirancang
dalam
Laporan
Pendahuluan,
Kota
Surabaya
ini
dipilih
sebagai
salah
satu
lokasi
kajian
mewakili
fase
PNPM‐2007.
4.3.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
Lokasi
yang
dipilih
untuk
Kota
Surabaya
berada
cukup
jauh
dari
pusat
kota,
yaitu
Kelurahan
Karangpoh,
Kecamatan
Tandes
‐‐mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerelawanan
tinggi
(highest
level)‐‐
dan
Kelurahan
Kandangan,
Kecamatan
Benowo
–mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerelawanan
rendah
(lowest
level).
Gambar
4.6.
Peta
Kota
Surabaya
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
Secara
fisik,
keduanya
kelurahan
terpilih
di
kota
ini
memiliki
karakteristik
kelurahan
yang
hampir
mirip.
Lokasinya
yang
dekat
dengan
pabrik‐pabrik
besar,
dan
sehingga
cukup
banyak
warga
pendatang
atau
“kos
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
53
DRAFT
FINAL
REPORT
kosan”
yang
tinggal
di
kedua
kelurahan
ini.
Hanya
saja
luasan
wilayah
dan
karakteristik
masyarakatnya
ternyata
sangat
berbeda.
Hal
ini
mempengaruhi
keberadaan
kerelawanan
pada
pelaksanaan
P2KP
di
kelurahan
setempat.
Kelurahan
Karangpoh
Kelurahan
Karangpoh
berjarak
sekitar
tujuh
kilometer
dari
pusat
Kota
Surabaya,
yang
memiliki
areal
seluas
33,895
hektar.
Penduduk
di
kelurahan
ini
dihuni
berjumlah
sekitar
4.000
an
jiwa
yang
termasuk
dalam
163
KK.
Secara
administratif
kelurahan
ini
memiliki
batas
sebagai
berikut:
‐
sebelah
Utara
berbatasan
dengan
Kelurahan
Balongsari;
‐
sebelah
Selatan
berbatasan
dengan
Kelurahan
Gadel;
‐
sebelah
Barat
berbatasan
dengan
Kelurahan
Balongsari;
dan
‐
sebelah
Timur
berbatasan
dengan
Kelurahan
Tandes
Lor
dan
Tandes
Kidul.
Dalam
sejarahnya,
Kelurahan
Karangpoh
berasal
dari
4
(empat)
RT,
yakni
RT
01
dan
RT
02
biasa
dikenal
dengan
Karangpoh,
serta
RT
03
dan
RT
04
yang
lebih
dikenal
dengan
lingkungan
Perumnas.
Seiring
dengan
mobilitas
penduduk
dan
perkembangan
sektor
industri,
di
kelurahan
ini
mulai
masuk
para
pendatang
dari
berbagai
daerah.
Maka
selain
karena
faktor
mobilitas
internal
di
lingkungan
cikal
bakal
Karangpoh,
masuknya
penduduk
satu
demi
satu
akibat
perkembangan
kota
telah
menyebabkan
jumlah
penduduk
menjadi
makin
banyak.
Hal
ini
berdampak
pada
relatif
sulitnya
pengelolaan
secara
administrasi
dari
kelurahan
terhadap
keberadaan
warga.
Maka
sejak
saat
itu,
atas
inisiasi
Lurah
Sarmin,
Kelurahan
Karangpoh
mulai
dipecah
menjadi
dua
RW,
yakni:
‐
RW
01
untuk
menyebut
lingkungan
Karangpoh,
terdiri
dari
RT
01
dan
RT
02;
serta
‐
RW
02
untuk
menyebut
lingkungan
Balongsari
Madya,
yang
terdiri
atas
RT
03
dan
RT
04.
Balongsari
Madya
sendiri
diambil
dari
nama
semua
jalan
yang
melintasi
lingkungan
RT
03
dan
RT
04
adalah
Jalan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
54
DRAFT
FINAL
REPORT
Balongsari
Madya,
maka
RW
02
disebut
dengan
nama
Balongsari
Madya.
Dengan
semakin
berkembangnya
kebutuhan
permukiman
dan
maraknya
perkembangan
industri
di
sekitar
Karangpoh,
masuklah
developer
yang
mengembangkan
beberapa
perumahan.
Salah
satunya
adalah
Komplek
Perumahan
Bogasari,
yakni
perumahan
yang
dikembangkan
atas
kerjasama
PT.
Bogasari
dan
developer.
Perumahan
ini
hampir
seluruhnya
dihuni
oleh
karyawan
PT.
Bogasari
dan
menjadi
satu
RW
tersendiri,
yakni
RW
03.
Kemudian
dalam
perkembangan
menyusul
satu
lagi
RW
baru
yang
berkembang
karena
peran
developer,
yakni
kawasan
elit
di
Kelurahan
Karangpoh
dan
dikenal
dengan
Komplek
Dharmo
Indah
Asri.
Komplek
ini
sekarang
menjadi
RW
04.
“Dulu
nggak
ada
RW,
setelah
kelurahan
langsung
RT,
hanya
ada
empat
RT
dulu.
Di
Perumnas
itu
ada
RT
03
dan
RT
04,
sedangkan
di
Karangpoh
(aslinya)
itu
ada
RT
01
dan
RT
02.
.....
Kemudian
dengan
masuknya
penduduk
satu
demi
satu
menjadi
makin
banyak,
kami
ngabari
kerja
bakti
itu
jadi
susah.
Maka
usul
Pak
Lurah
pada
waktu
itu
Pak
Sarmin
dijadikan
dua
RW,
yaitu
RW
01
dan
RW
02.
RW
01
bernama
Karangpoh
dan
RW
02
bernama
Balongsari
Madya.
Sebab
jalanjalannya
itu
Balongsari
Madya,
maka
atas
pertimbangan
lurah,
dinamakan
Balongsari
Madya.
Kemudian
tumbuh
RW
03
dan
RW
04
karena
dibangun
oleh
developer.
RW
03
itu
lebih
dikenal
sebagai
Bogasari,
karena
karyawannya
Bogasari
hampir
di
situ
semuanya.
Kemudian
kawasan
elit
yang
di
sana
itu,
Darmo
Indah
Asri.”
(Seperti
yang
diceritakan
oleh
Sup21
pada
acara
FGD
BKM,
Karangpoh,
8
Juni
2009:
20.00
–
22.15
WIB).
21
Sup,
55
tahun,
adalah
salah
seorang
sesepuh
di
Kelurahan
Karangpoh.
Beliau
termasuk
orang
yang
merintis
keberadaan
Kelurahan
Karangpoh.
Pernah
menjabat
Ketua
RW
selama
10
tahun
sejak
kelurahan
ini
masih
terdiri
dari
empat
RT.
Pria
lulusan
S1
ini
masih
aktif
sebagai
PNS,
saat
ini
bekerja
sebagai
guru
diperbantukan
sebagai
Kepala
Sekolah
di
salah
satu
SMP
Swasta
yang
berada
di
Asem
Rowo.
Isterinya
juga
seorang
guru,
saat
ini
juga
masih
aktif
mengajar
di
SMPN
37
Kedunganyar,
Surabaya.
Kehidupan
keluarga
Sup
makin
lengkap
dengan
dikaruniai
tiga
orang
anak
dan
tiga
orang
cucu.
Sebagai
PNS
yang
diperbantukan,
Sup
bekerja
lebih
banyak,
pagi
hari
bertugas
di
Asem
Rowo
dan
siangnya
setelah
jam
13
bertugas
di
Kedunganyar.
Namun
kesibukan
tersebut
tidak
pernah
menyurutkan
niatnya
untuk
terlibat
di
PNPM‐P2KP
sebagai
relawan
sejak
tahun
2007.
Bagi
sebagian
besar
warga
masyarakat,
Sup
menjadi
panutan
dan
sangat
didengar.
Ketokohannya
juga
diikuti
oleh
anak‐anaknya
yang
turut
aktif
dalam
kegiatan
sosial
sejak
kecil,
seperti
anak
perempuannya,
WS,
yang
aktif
dalam
kegiatan
sosial
sejak
SMP
(saat
ini
aktif
sebagai
relawan
perempuan
di
PNPM‐P2KP).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
55
DRAFT
FINAL
REPORT
Saat
ini,
Kelurahan
Karangpoh
terbagi
atas
empat
RW
dan
mencakup
sebanyak
22
RT,
yang
secara
fisik
keberadaan
dibelah
oleh
Jalan
Raya
Tandes
yang
memisahkan
RW
02
dan
RW
04
dengan
RW
01
dan
RW
03.
RW
01
dan
RW
02
masing‐masing
terdiri
atas
7
(tujuh)
RT,
sedangkan
RW
03
dan
RW
04
masing‐masing
terdiri
dari
4
(empat)
RT.
Masing‐masing
RW
memang
memiliki
homogenitas
berdasarkan
kemampuan
ekonomi
masyarakat.
RW
01
merupakan
kantong
kemiskinan
di
Kelurahan
Karangpoh,
sementara
RW
02
cenderung
dihuni
oleh
kelompok
masyarakat
kelas
menengah
atau
kebanyakan.
Sedangkan
RW
03
dan
RW
04
dikatakan
masyarakat
sebagai
komplek
elit
dan
sebagian
besar
dihuni
oleh
etnis
China
yang
umumnya
beragama
Budha
dan
Kristen.
Keragamanan
etnis
ditemukan
di
kelurahan
ini,
dengan
dominasi
terbesar
adalah
Jawa
yang
mencapai
sekitar
60,00
persen,
baru
kemudian
disusul
Madura
(sekitar
30,00
persen),
serta
etnis
lainnya,
seperti
Bima,
Ambon,
China,
dan
Banjar.
Seperti
disampaikan
sebelumnya,
etnis
China
kebanyakan
menghuni
RW
03
dan
RW
04.
Warga
dari
Bima
khususnya
‐‐atau
NTT
umumnya‐‐
banyak
menempati
rumah
koskosan
di
RT
07
RW
01.
Sedangkan
etnis
Madura,
Ambon,
dan
Banjar
cenderung
tersebar
dan
membaur
dengan
masyarakat
asli.
Walaupun
hunian
etnis
tidak
semuanya
mengelompok,
namun
masing‐masing
anggota
etnis
tertentu
selalu
terlihat
guyub.
Mereka
memelihara
ikatan
etnis
dengan
mengadakan
arisan
khusus,
dan
sebagainya.
Secara
umum
kondisi
kehidupan
di
Kelurahan
Karangpoh
terkesan
“adem
ayem”
dan
tenang.
Tidak
tampak
ada
gejolak
atau
perbedaan
yang
mencolok
dalam
interaksi
masyarakatnya,
meskipun
sebenarnya
stratifikasi
sosial
antar
RW
cukup
menonjol.
Kondisi
hidup
yang
guyub
juga
tampak
kental,
terutama
di
wilayah‐wilayah
kelompok
masyarakat
kelas
menengah
ke
bawah.
Bahkan,
di
lingkungan
yang
didominasi
warga
pendatang
(koskosan),
mereka
tampak
membaur
dan
saling
membantu
satu
sama
lain.
Seperti
pada
umumnya
masyarakat
Jawa
Timur,
masyarakat
Kelurahan
Karangpoh
dikenal
berwatak
keras,
namun
rasional
dan
egaliter.
Hal
ini
mudah
diamati
dan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
56
DRAFT
FINAL
REPORT
ditemukan
dari
seringnya
terjadi
pertengkaran
yang
bersumber
dari
“perbedaan
hak/perlakuan”.
Sebagai
contoh
dalam
pelaksanaan
PNPM‐P2KP,
saat
dana
yang
dijanjikan
tidak
segera
turun,
beberapa
warga
‐‐yang
sebagian
diantaranya
bukan
warga
masyarakat
sasaran‐‐
langsung
“nubruk.”22
Namun,
hal
ini
biasanya
segera
bisa
diselesaikan
dan
saling
bisa
mengerti
setelah
ada
penjelasan
yang
masuk
akal.
Meskipun
sempat
terjadi
pertengkaran
atau
ada
kemarahan,
namun
sifat
egaliter
juga
menyebabkan
mereka
tidak
mendendam
dan
sangat
terbuka
kepada
siapa
saja23.
Lokasi
yang
menurut
warga
sering
terjadi
konflik
adalah
di
tempat
koskosan,
khusus
warga
Flores
(NTT).
Di
antara
para
penghuni
kost
sering
terjadi
pertikaian
hingga
melibatkan
tokoh
setempat
(Ketua
RT).
Namun
untuk
melaksanakan
kegiatan
sosial,
baik
warga
asli
maupun
pendatang
semuanya
cancut
tali
wandha
(terlibat
bersama‐sama
dan
bahu
membahu).
Sebagaimana
telah
diuraikan
pada
bagian
sebelumnya,
Kelurahan
Karangpoh
terdiri
dari
empat
RW,
yang
masing‐masing
RW
menggambarkan
zoning
pengelompokan
masyarakat.
Pertama,
RW
01
adalah
RW
terpadat
penduduknya
dan
terdiri
dari
tujuh
RT.
RW
ini
sering
disebut
sebagai
“kampung
lama”
karena
merupakan
cikal
bakal
Kelurahan
Karangpoh,
atau
sebutan
yang
diberikan
oleh
warga
di
RW
lainnya
adalah
komplek
“perumahan
kampung”
karena
bangunan
perumahan
yang
mayoritas
berupa
perumahan
swadaya
‐‐tentu
saja
terkesan
agak
semrawut.
Bangunan
rumah
yang
umumnya
kecil
dan
sempit
menjadi
ciri
khas
RW
ini,
dan
banyak
yang
difungsikan
sebagai
rumah
koskosan.
Aksesnya
dekat
dengan
lokasi
pabrik
22
Dalam
kultur
setempat,
istilah
“nubruk”
ini
sepadan
dengan
istilah
“nglabrak”,
yang
biasanya
digunakan
untuk
menggambarkan
adanya
komplain/protes
yang
dilakukan
secara
beramai‐ramai
terhadap
pengelola
program.
23
Kesimpulan
ini
diperoleh
dari
perbincangan
dengan
beberapa
relawan
setelah
tim
melaksanakan
FGD
relawan
di
Balai
Warga
RW
02
Balongsari
Madya
pada
tanggal
9
Juni
2009.
Keterbukaan
warga
juga
nampak
dari
caranya
mereka
menyampaikan
pendapat
yang
tanpa
kesan
menutup‐nutupi
atau
takut
karena
keberadaan
beberapa
anggota
BKM.
Bahkan,
diantara
relawan
tidak
segan‐segan
meluapkan
kekecewaannya
dalam
pelaksanaan
PNPM‐P2KP.
Sikap
“legowo”
atau
mau
menerima
kritik
juga
ditunjukkan
oleh
Koordinator
BKM
dan
anggota
BKM
lainnya
dengan
mendengarkan
apa
yang
disampaikan
oleh
para
relawan,
tanpa
memberikan
intervensi
ataupun
sanggahan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
57
DRAFT
FINAL
REPORT
yang
ada
di
sepanjang
Tandes
menuju
Gresik,
dan
penghuni
di
sekitar
lokasi
ini
banyak
yang
tidak
memiliki
kartu
keluarga.
Seperti
di
Gang
I,
tercatat
penduduk
asli
hanya
ada
17
KK,
namun
warga
koskosan
jumlah
bisa
mencapai
ratusan
KK.24
Rumah
kost‐kostan
rata‐rata
terdiri
dari
bangunan
dua
lantai
dan
setidaknya
setiap
bangunan
memiliki
24
kamar.
Sedangkan
di
Gang
III,
penduduk
asli
hanya
10
KK,
sedangkan
warga
koskosan
mencapai
60
KK.25
“Mriki
rak
celak
BMI,
pabrik
udang
niku
lho.
Koskosan
sedaya
ten
mriki.
Kos kosan
ten
ngriki
kathah.
Nek
dibandingne
kalih
ingkang
asli,
boten
wonten
sepalihe.
Kados
gang
mriki
niki,
KKne
niku
kula
etung
nggih
namung
sedasa,
ngaten
mawon
nggih,
terus
nikune
niki
wonten
nek
sewidakan.”
(Di
sini
kan
dekat
dengan
BMI,
pabrik
udang
itu
loh.
Kos‐kosan
semua
di
sini.
Kos‐kosan
di
sini
banyak.
Jika
dibandingkan
dengan
penduduk
asli,
tidak
ada
separuhnya.
Seperti
di
gang
sini
ini,
KK‐nya
itu
jika
saya
hitung,
ya
hanya
10,
terus
itunya
(baca:
warga
kos)
mencapai
60‐an).
(Keterangan
Ibu
Mun,
59
tahun,
Karangpoh
Indah
Barat,
14
Juni
2009).
RT
07
RW
01
ini
terkenal
sebagai
kampungnya
orang
Lamongan,
karena
warga
koskosan
atau
pendatang
di
RT
ini
umumnya
berasal
dari
Lamongan.
Mereka
telah
tinggal
sudah
turun‐temurun,
puluhan
tahun
di
sini
sebagai
warga
koskosan
dan
membawa
pulang
hasil
kerjanya
ke
kampung
halaman.
Umumnya
warga
pendatang
ini
tidak
terlalu
peduli
dengan
kegiatan
atau
program
yang
ada
di
sekelilingnya,
mereka
hanya
memikirkan
pekerjaan
dan
mencari
uang
untuk
dibawa
pulang
ke
kampung
halaman.
Karenanya,
sudah
jamak
pemandangan
di
sini,
para
perempuan
berusaha
kecil‐kecilan
namun
tidak
tampak
sebagai
warga
miskin
(misalnya,
mengenakan
perhiasan
emas
yang
cukup
besar,
dll).
Fenomena
ini
justru
sebaliknya
mereka
artikan
dengan
“tidak
pernah
melibatkan
mereka
sebagai
warga
pendatang.”
Selain
alasan
ketidakpedulian,
warga
koskosan
umumnya
adalah
warga
musiman,
yang
menyebabkan
mereka
tidak
memiliki
intensitas
keterlibatan
yang
tinggi
dalam
kegiatan‐kegiatan
di
masyarakat.
Di
sisi
lain,
Ketua
RT
24
Menurut
penuturan
Ibu
Nur,
warga
RT
07,
rata‐rata
satu
bangunan
rumah
kos
terdiri
24
pintu
(kamar).
25
Ibu
Mun
menuturkan
sambil
menghitung
dan
menyebutkan
penduduk
asli
yang
tinggal
di
Gang
III,
tempatnya
membuka
warung
makan
bersama
adiknya,
Ibu
Mul.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
58
DRAFT
FINAL
REPORT
memiliki
keterbatasan
untuk
melibatkan
warga
koskosan,
karena
selain
mereka
sering
berpindah‐pindah
tempat
tinggal
juga
jam
kerja
mereka
sebagai
pekerja
pabrik
cukup
ketat.
Keterlibatan
yang
terjadi
umumnya
hanya
dalam
bentuk
iuran,
dimana
untuk
warga
kos
bebannya
lebih
kecil/setengah
dibanding
warga
asli.
“......
tidak
pernah
diajak
rembukan
apaapa,
tapi
kalau
ada
urunan
itu
dijaluki
sama
Pak
RT.
Nek
kerjabakti
ya
ikut,
meski
ndak
diundang
ya
ikut
sendiri.
Sebenernya
ya
pengin
ikut
kalau
ada
kegiatan
gitu,
tapi
wong
ndak
dipanggil
mosok
ikutikut,
lha
isin
loh
Mbak.
Sakjane,
KK
iku
mung
piro
sih,
Mbak
..…
tapi
emang,
arek
kos
iku
rak
pindahpindah.
Dulu
aku
di
sini,
terus
pindah
ke
Balongsari.
Paling
banyak
sini
warga
musiman,
nek
warga
tetap
itu
ndak
seberapa.
Kalo
warga
musiman
itu
rak
yo
gak
seberapa
akrab
sama
Pak
RT,
terus
pindah
ke
tempat
lain
kenal
dengan
RT
lain.”
(Pam,
pendatang
dari
Lamongan,
Karangpoh,
14
Juni
2009:
11.
40
–
12.10)
“Kalau
agustusan
rapat
diajak
semua.
Nek
ada
urunan,
yo
wis
dibayar.
Nek
agustusan,
sing
keluarga
tetap
ditarik
30
ribu,
sing
keluarga
musiman
15
ribu.”
(En,
pendatang
dari
Lamongan,
Karangpoh,
14
Juni
2009:
11.
40
–
12.10)
Harmonisasi
hubungan
antara
warga
asli
dengan
musiman
tidak
luput
dari
peran
Ketua
RT.
Menurutnya,
apabila
Ketua
RT
dianggap
tidak
pernah
peduli
dengan
warga
musiman,
maka
warga
musimanpun
juga
tidak
akan
pernah
peduli
dengan
lingkungannya.
“Semua
itu
tergantung
RTnya.
Kalo
RTnya
itu
nganggep
‘...
halah,
mung
arek
kos
wae
...’
memang
gak
akan
ada
kerukunan.
Akhirnya
kita
cuek
wae,
sing
penting
nyambut
gawe,
wong
mangan
golek
dhewe.
Tiap
bulan
bisa
bayar
kos,
bisa
bayar
iuran
sampah,
kan
sudah
wis.”
(Penjelasan
Kas,
yang
diamini
oleh
En
dan
Pam,
sesama
pendatang
dari
Lamongan,
Karangpoh,
14
Juni
2009:
11.
40
–
12.10
WIB)
Selain
sebagai
daerah
yang
terkenal
dengan
warga
koskosan‐nya,
RW
01
merupakan
kantong
kemiskinan
di
Kelurahan
Karangpoh.
Oleh
karena
itu,
kegiatan
PNPM‐P2KP
banyak
dilaksanakan
di
RW
ini.
Relawan
terdaftar
dari
warga
koskosan
memang
tidak
ditemukan,
tetapi
keterlibatan
warga
koskosan
ternyata
juga
cukup
besar.
Misalnya,
pada
waktu
kegiatan
pembangunan
jalan
(pavingisasi
dan
penyambungan
jalan)
di
Gang
III,
warga
koskosan
juga
terlibat
dalam
kerjabakti,
membantu
mengangkut
pasir
urug
bersama
warga
lain.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
59
DRAFT
FINAL
REPORT
“Saya
ikut
membantu
ngangkutngangkut
pasir
itu
saja
buat
urug.
Pada
waktu
itu
hari
Minggu,
jadi
saya
bisa
ikut
kerjabakti.
Kalau
hari
biasa
saya
kan
kerja,
jadi
gak
bisa
ikut
kerjabakti.
Warga
kos
yang
lain
juga
begitu,
karena
ratarata
yang
kos
di
sini
kan
kerja
di
pabrik,
jadi
mereka
kerja
kalau
harihari
biasa.
Baru
bisa
ikut
kalau
hari
minggu
saja.”
(Aji,
25
tahun,
warga
kos,
Karangpoh,
11
Juni
2009:
11.15
–
11.30)
Apa
yang
disampaikan
Aji
di
atas
mewakili
pendapat
sebagian
besar
warga
lainnya
‐‐baik
warga
asli/tetap
maupun
warga
kokkosan‐‐
bahwa
warga
kos
memang
tidak
terlibat
dalam
perencanaan,
karena
memang
mereka
tidak
memiliki
waktu
untuk
ikut
terlibat
dalam
setiap
musyawarah.
“.....
pertama
dikumpulkan
yang
KK,
bukan
warga
kos‐kosan.
Yang
kos‐kosan
tidak
mau.
Tapi
pada
waktu
penimbun
jalan
mereka
ikut
serta,
membantu
membawa
tanah
urugan
dengan
gerobak.
Tapi
pada
waktu
musyawarah
bahwa
ada
uang
sekian
yang
akan
digunakan
untuk
ini,
warga
kos‐kosan
tidak
ikut.
Yang
kos‐kosan
bercampur
tua
muda.
Jika
kerjabakti
semua
ikut.
Justeru
yang
muda‐muda
itu,
karena
dilaksanakan
tepat
pada
hari
Minggu,
semua
ikut
serta.
Ikut
melakukan
penimbunan,
mengangkut
tanah
urug
dengan
gerobak,
semua
senang.
Karena
senangnya,
makanan
dan
minuman
juga
tidak
pernah
terlambat.
Intinya
setiap
kerjabakti,
semua
warga
terlibat.
Ini
kebahagiaan
tersendiri,
senang.
Makanan
minuman
semuanya
ada.
Pokoknya
jika
hari
minggu
itu
semua
mengharapkan
ada
kerjabakti.
Tetapi
jika
hari‐hari
biasa
tidak
ada,
karena
semua
bekerja.
Jika
hari‐hari
biasa
tidak
ada
warga
yang
ikut,
hanya
tukang‐tukangnya
saja,
dibantu
kulinya
...
he
he
he
(sambil
tertawa)”
(Terjemahan
wawancara
bahasa
Jawa
dengan
Mun,
59
tahun,
Karangpoh,
14
Juni
2009)
Keterlibatan
warga
koskosan
tidak
hanya
dari
kelompok
laki‐laki,
warga
kos
perempuan
juga
ikut
terlibat
membantu
ibu‐ibu
masak
untuk
masyarakat
yang
kerjabakti.
“Jika
ada
kegiatan
apa
pun,
ibu‐ibu
juga
ikut
bekerja,
ada
yang
masak‐masak,
malah
terkadang
seperti
dapur
umum,
dimasak
bersama‐sama.
Bahannya
dari
uang
iuran
sukarela
tadi.
Sudah
iuran
saja
ditanggung
bersama.
Ada
yang
sepuluh
ribu,
duapuluh
ribu,
ada
juga
yang
lima
ribu,
pokoknya
tidak
menekan
dan
tidak
memaksa.
Sama‐sama
senang,
dimasak
bersama,
dimakan
bersama,
dan
semua
merasa
sangat
senang).
(Terjemahan
hasil
wawancara
bahasa
Jawa
dengan
Mul,
50
tahun,
Karangpoh,
14
Juni
2009)
Sekilas
ini
adalah
potensi
lingkungan
yang
bagus
bagi
pelaksanaan
kegiatan
PNPM‐P2KP.
Meskipun
tidak
banyak
relawan
yang
terdaftar,
namun
relawan
yang
menyediakan
waktu
dan
material
selalu
ada
karena
ikatan
guyub
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
60
DRAFT
FINAL
REPORT
dan
nilai‐nilai
kebersamaan
yang
selalu
dipupuk
bersama.
RW
01
ini
tergolong
sukses
melaksanakan
kegiatan
PNPM‐P2KP,
selain
memang
Kelurahan
Karangpoh
mampu
merepresentasikan
peran
pemberdaya
yang
berhasil,
RW
01
mampu
membuat
semua
pihak
terlibat
sesuai
kapasitasnya
masing‐masing.
Kedua,
RW
02
yang
merupakan
komplek
Perumnas,
wilayah
ini
juga
cukup
padat,
namun
jauh
lebih
tertata
karena
merupakan
komplek
permukiman
yang
sudah
dikembangkan
oleh
developer.
Warga
penghuni
di
RW
02
adalah
masyarakat
campuran,
yakni
terdapat
penduduk
asli
dan
pendatang
yang
sudah
berbaur.
Di
RW
inilah
Sekretariat
BKM
berada,
sekaligus
banyak
anggota
BKM
yang
berasal
dari
sini.
Kantor
Balai
RW
02
kemudian
menjadi
salah
satu
tempat
bagi
lahirnya
ide‐ide
kegiatan
PNPM‐ P2KP
yang
dilaksanakan
di
Kelurahan
Karangpoh
dan
sasaran
banyak
terfokus
di
RW
01.
Ketiga,
RW
03
adalah
RW
baru
dihuni
hampir
seluruhnya
oleh
karyawan
PT.
Bogasari,
dan
posisinya
berbatasan
langsung
dengan
RW
01.
Jika
kita
memasuki
RW
03
dari
Jalan
Karangpoh
Indah
maka
akan
tampak
permukiman
yang
cukup
kontras.
Dari
deretan
rumah
kecil
yang
berhimpitan,
kita
mendapati
jalanan
permanen
yang
lega,
dengan
penataan
yang
rapi,
dilengkapi
dengan
taman
yang
terawat,
dan
deretan
rumah
besar‐besar
cukup
mewah.
Jalan
akses
kedua
RW
ini
diberlakukan
sistem
buka‐tutup,
sehingga
pada
malam
hari
warga
dari
RW
01
atau
sebaliknya
tidak
bisa
keluar‐masuk
melalui
pintu
ini.
RW
03
“menolak”
keberadaan
program
sejak
awal
diperkenalkannya
PNPM‐P2KP,
utamanya
karena
menyatakan
menolak
sebagai
penerima
(sasaran
program).
Oleh
karena
menolak
maka
RW
03
ini
tidak
didatangi
dan
diajak
lagi
oleh
faskel
untuk
terlibat
dalam
proses/siklus
selanjutnya.
Hingga
Tim
Studi
berada
di
Kelurahan
Karangpoh,
tidak
ada
relawan
dari
RW
ini
dan
belum
ada
upaya
untuk
melibatkan
warga
di
RW
ini
untuk
turut
terlibat
dalam
program.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
61
DRAFT
FINAL
REPORT
Terakhir,
keempat,
RW
04,
yang
lebih
terkenal
dengan
sebutan
Darmo
Indah
Asri
ternyata
sudah
tidak
asing
bagi
warga
sekitarnya.
Lingkungan
ini
dikenal
sebagai
salah
satu
komplek
permukiman
elit
di
Kota
Surabaya,
yang
mayoritas
dihuni
oleh
kalangan
menengah‐atas
dan
umumnya
dari
etnis
China.
Sebagaimana
RW
03,
RW
04
juga
disebut‐sebut
“menolak”
‐‐sebagai
penerima‐ ‐
program
P2KP,
sehingga
kemudian
ditinggalkan
dan
tidak
dilibatkan
dalam
pelaksanaan
siklus
PNPM‐P2KP
selanjutnya.
Kelurahan
Kandangan
Kelurahan
Kandangan
memiliki
luas
wilayah
298.706
meter
persegi,
termasuk
dalam
wilayah
Kecamatan
Benowo,
bersama
empat
kelurahan
lainnya,
yaitu:
Klakahrejo,
Semeni,
Tambak
Osowilangun,
dan
Romokalisari.
Secara
administratif
Kelurahan
Kandangan
berbatasan
dengan
beberapa
kelurahan
lainnya,
seperti:
‐
sebelah
Utara,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Tambak
Langon,
Kecamatan
Asem
Rowo;
‐
sebelah
Selatan,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Bringin,
Kecamatan
Sambi
Kerep;
‐
sebelah
Barat,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Klakahrejo,
Kecamatan
Benowo;
dan
‐
sebelah
Timur,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Banjar
Sugihan,
Kecamatan
Tandes.
Kelurahan
Kandangan
terdiri
dari
tujuh
RW
dan
39
RT,
dengan
tiga
RW
diantaranya
merupakan
lahan
milik
BUMN
(Petrokimia
dan
Semen
Gresik)
yang
dalam
status
pinjam‐pakai
oleh
warga
masyarakat,
yaitu:
RW
01
(khususnya
RT
01,
RT
05,
dan
RT
06),
RW
02
(khususnya
RT
04),
dan
RW
03
(khususnya
RT
03).
Lahan
itu
umumnya
digunakan
untuk
pertanian
dan
perkebunan,
serta
sebagian
untuk
rumah
semi
permanen26.
26
Pendirian
rumah
semi
permanen
ini
mengacu
pada
kesepakatan
antara
warga
yang
menghuni
dengan
pihak
Petrokimia
maupun
Semen
Gersik.
Isi
kesepakatan
adalah
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
62
DRAFT
FINAL
REPORT
Jumlah
penduduk
keseluruhan
di
Kelurahan
Kandangan
adalah
sebanyak
12.647
jiwa.
Berdasarkan
tingkat
pendidikannya,
warga
yang
menamatkan
pendidikan
formalnya
hingga
SLTA
atau
sederajat
sebanyak
2.437
orang
(19,27
persen),
SD
atau
sederajat
2.089
orang
(16,52
persen),
SLTP
atau
sederajat
1.564
orang
(12,37
persen),
tamat
S1
atau
sederajat
42
orang
(0,33
persen),
tamat
D3
atau
sederajat
16
orang
(0,13
persen),
tamat
D1
12
orang
(0,09
persen),
tamat
D2
sembilan
orang
(0,07
persen),
dan
tamat
S2
berjumlah
11
orang
(0,09
persen).
Hal
yang
cukup
menarik
adalah
bahwa
di
kelurahan
ini
masih
ditemukan
warga
yang
buta
huruf
sebanyak
403
orang
(3,19
persen)
dan
tidak
tamat
SD
196
orang
(1,55
persen).
Karena
lokasinya
yang
luas
dan
berdekatan
dengan
pabrik,
maka
kelurahan
ini
memiliki
penduduk
yang
beragam.
Berdasarkan
lokasi
permukimannya
‐‐atau
berdasarkan
ciri
askriptif‐‐
penduduk
di
Kelurahan
Kandangan
dapat
dikelompokkan
sebagai
berikut:
•
Kategori
warga
asli
Dimaksudkan
sebagai
warga
yang
sudah
sejak
lama
menempati
wilayah
ini,
yaitu
sekitar
tahun
1600‐an.27
Mereka
umumnya
bermukim
di
sekitar
tepi
Jalan
Tengger
Raya.28
Warga
asli
pada
dasarnya
adalah
warga
Jawa,
namun
sejalan
dengan
waktu,
warga
asli
diartikan
sebagai
warga
campuran
antara
etnis
yang
berasal
dari
daerah
Jawa
‐‐ khususnya
Jawa
Timur‐‐
dengan
daerah
Madura
–khususnya
Bangkalan.
Warga
asli
memiliki
tingkat
ekonomi
menengah
bawah,
begitu
pula
bahwa
kapanpun
lahan
yang
bersangkutan
ingin
digunakan
oleh
Petrokimia/Semen
Gresik,
maka
penghuni
tersebut
harus
pindah
tanpa
syarat.
27
Informasi
ini
diperoleh
dari
Muj,
52
tahun,
salah
seorang
tokoh
masyarakat
yang
berasal
dari
warga
asli.
28
Menurut
informasi
Sup,
53
tahun,
seperti
yang
pernah
ia
dengarkan
dari
para
sesepuh
warga
asli,
nama
wilayah
Tengger
selalu
diidentikkan
dengan
permukiman
warga
asli.
Kata
“tengger”
sendiri
berarti
muter
(berputar),
yang
dulunya
dimaksudkan
bahwa
wilayah
ini
hanya
memiliki
satu
jalan
keluar‐masuk,
tidak
ada
jalan
tembusan.
Nama
wilayah
“Tengger”
akhirnya
berubah
menjadi
“Tengger
Raya”
pada
tahun
1990
atas
usulan
dari
lurah
saat
itu,
Bambang
Sudirman.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
63
DRAFT
FINAL
REPORT
dengan
tingkat
pendidikannya.29
Umumnya
pekerjaan
yang
mereka
lakukan
adalah
bertani
‐‐sebagai
petani
penggarap‐‐,
beternak
kambing,
dan
berdagang
di
pasar
maupun
berdagang
makanan
dengan
gerobak
dorong.
“Dahulu,
menurut
buyut
saya,
Kandangan
itu
berupa
rawa
yang
sangat
dalam.
Dalamnya
rawa
kirakira
setinggi
dada
orang
dewasa.
Saat
itu,
baru
beberapa
keluarga
saja
yang
menempati
daerah
ini,
tetapi
lamakelamaan
menjadi
padat,
terutama
setelah
dibangunnya
perumahan
dan
tanah
kaplingan
pada
tahun
1990.”
(Dituturkan
oleh
Muj,
52
tahun,
Kandangan,
14
Juni
2009)
Untuk
para
petani
penggarap
setempat,
jenis
tanaman
pertaniannya
adalah
padi
tadah
hujan
dan
sayur‐mayur
seperti
kangkung,
bayam,
kubis,
dan
kembang
kol.
Tanah
yang
digarap
umumnya
milik
Petrokimia,
dan
mereka
diperbolehkan
karena
menurut
sejarahnya
tanah
itu
dahulu
milik
ayah‐kakek
atau
buyut
mereka.
Selain
lingkungan
pertanian
dan
perkebunan,
pada
lokasi
warga
asli
juga
terlihat
rumah‐rumah
warga
yang
berderet
lurus
dan
rapih.
Gerbang‐gerbang
masuk
yang
berupa
pos
penjagaan
yang
berbentuk
rumah
bertingkat
dengan
bangunan
penuh
pada
bagian
atas
merupakan
ciri
untuk
memasuki
hunian
warga
asli.
“Warga
asli
bisa
juga
disebut
warga
Tengger.
Orang
Tengger
memiliki
lahan
yang
sangat
luas,
tidak
hanya
di
kelurahan
Kandangan
bahkan
sampai
ke
kelurahan
lainnya,
termasuk
Kelurahan
Banjar
Sugihan.
Bagi
kami
tidak
masalah,
silahkan
pakai
saja,
tetapi
sewaktuwaktu
ingin
digunakan
pihak
Petrokimia,
mereka
harus
siap
memberikan.
Orang
Tengger
tidak
suka
ribut,
karena
yang
mau
diributkan
sebenarnya
saudara
sendiri,
seperti
orang
Banjar
Sugihan
itu.
Mereka
sebenarnya
juga
berasal
dari
Tengger.”
(Wawancara
dengan
Muj,
52
tahun,
warga
asli
Kandangan,
14
Juni
2009)
•
Kategori
warga
perumahan
29
Menurut
informasi
para
warga
asli,
pada
tahun
1990
baru
ada
satu
orang
dari
warga
asli
yang
bergelar
sarjana.
Tingkat
pendidikan
warga
asli
yang
rendah
ini
ditenggarai
oleh
Muj,
salah
seorang
nara
sumber
setempat,
sebagai
penyebab
partisipasi
warga
asli
yang
rendah
dalam
kegiatan
PNPM‐P2KP.
Selain
karena
tidak
dilibatkan,
mereka
juga
ada
perasaan
rendah
diri
dibandingkan
warga
perumahan
‐‐yang
rata‐rata
memiliki
pendidikan
di
atas
warga
asli.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
64
DRAFT
FINAL
REPORT
Yaitu
warga
yang
tinggal
di
perumahan‐perumahan
yang
dikembangkan
oleh
developer.
Warga
perumahan
adalah
warga
yang
(dianggap)
paling
tinggi
tingkat
ekonomi
dan
pendidikannya
dibandingkan
kategori
warga
lainnya.
Mereka
umumnya
memiliki
rumah‐rumah
permanen
yang
cukup
mewah.
Warga
perumahan
ini
umumnya
berasal
dari
etnik
Jawa
‐‐khususnya
Jawa
Timur‐‐
namun
mereka
adalah
warga
pendatang
dari
wilayah‐wilayah
lainnya
di
sekitar
Kandangan.
Tidak
hanya
bentuk
rumah
yang
terlihat
mewah,
beberapa
fasilitas
untuk
para
penghuninya
juga
cukup
lengkap,
dari
fasilitas
komersial
hingga
fasilitas
sosial.
Fasilitas
komersial
yang
mudah
dijumpai
adalah
gelanggang
olahraga
bulu
tangkis,
fitness
center
dan
cafe.
•
Kategori
warga
kaplingan
Yaitu
warga
yang
tinggal
di
daerah‐daerah
kaplingan
tanah
di
sekitar
areal
persawahan
yang
telah
mereka
beli.
Di
atas
lahan
tersebut
mereka
membangun
rumah
dalam
bentuk
“semampunya”,
dalam
arti
rumah
tersebut
dibangun
secara
bertahap,
tergantung
kemampuan
keuangan.
Menurut
informasi
dari
Ibu
Suw,
53
tahun,
salah
seorang
“juragan
tanah”
yang
memiliki
tanah
luas
di
daerah
ini,
beliau
merasa
kasihan
dengan
para
warga
yang
ingin
memiliki
rumah
namun
tidak
memiliki
uang
yang
cukup.
Olehnya,
tanah
yang
luas
tersebut
dikapling‐ kapling
untuk
dijual
murah
kepada
para
warga
miskin
yang
umumnya
bekerja
sebagai
kuli
bangunan
serta
belum
memiliki
tempat
tinggal.
Para
kuli
ini
dahulunya
menempati
tanah‐tanah
milik
Petrokimia
dan
Semen
Gresik,
namun
kini
mereka
telah
mempunyai
rumah
sendiri
walau
terlihat
seadanya.
Sejalan
dengan
perkembangan
wilayah
Kelurahan
Kandangan
kini
penghuni
daerah
kaplingan
tidak
hanya
diisi
oleh
para
warga
yang
berasal
dari
kuli
bangunan,
tetapi
ada
juga
yang
bekerja
sebagai
guru,
karyawan,
dan
pedagang.
Walaupun
begitu,
mereka
semuanya
tetap
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
65
DRAFT
FINAL
REPORT
berasal
dari
luar
wilayah
Kandangan
(baca:
warga
pendatang)
yang
akhirnya
menjadi
warga
Kandangan.
Daerah
warga
kaplingan
posisinya
masuk
ke
dalam
areal
persawahan,
yang
membuat
wilayah
ini
seolah‐olah
menjadi
terisolasi
dengan
lingkungan
warga
di
sekitarnya.
Jarak
terdekat
untuk
mencapai
daerah
warga
kaplingan
dengan
lingkungan
hunian
di
sekitarnya
sekitar
350
meter.
Itupun
akses
jalannya
dari
tanah
tegalan
sawah,
tidak
ada
aspal
maupun
perkerasan
jalan
dengan
beton.
Juga,
tidak
ada
lampu
penerangan
jalan
dan
kondisi
jalan
yang
sempit
hanya
bisa
dilalui
oleh
Gambar
4.7.
Potret
Lingkungan
Permukiman
Warga
Kaplingan
Di
Kelurahan
Kandangan
sepeda
motor;
kalaupun
ada
mobil
yang
mencoba
masuk
pastinya
harus
melalui
jalan
yang
sulit.
Bagi
warga
sekitar
yang
sudah
mengetahui
dan
biasa
dengan
medan
jalan,
dapat
menuju
lokasi
dengan
cara
berjalan
kaki
maupun
menggunakan
sepeda
onthel
(kayuh).
Kondisi
ini
ternyata
juga
berpengaruh
terhadap
rendahnya
partisipasi
warganya
untuk
aktif
dalam
kegiatan
kerelawanan
di
PNPM‐P2KP.
Bila
harus
keluar
lingkungan
hunian
mereka,
apalagi
malam
hari,
mereka
cenderung
enggan.
“Bapakbapaknya
saja
malas
keluar
rumah
kalau
malam,
apalagi
ibuibunya.
Makanya
susah
sekali
mencari
relawan
di
lingkungan
saya
(daerah
kaplingan).”
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
66
DRAFT
FINAL
REPORT
(Wawancara
dengan
M.
Yus,
40
tahun,
salah
seorang
penghuni
daerah
kaplingan,
Kandangan,
14
Juni
2009)
•
Kategori
warga
koskosan
Mereka
adalah
warga
pendatang
yang
tinggal
di
daerah
Kandangan
dengan
cara
kos
(sistem
sewa
perbulan),
dan
bukan
merupakan
warga
Kandangan
karena
mereka
tetap
menggunakan
KTP
dari
daerah
asalnya.
Di
antara
mereka
ada
yang
menempati
rumah
kos
dalam
jangka
waktu
yang
cukup
panjang,
hingga
bertahun‐tahun.
Kondisi
hunian
di
lingkungan
warga
koskosan
secara
fisik
tampak
memprihatinkan.
Rata‐rata
tempat
tinggal
mereka
berbentuk
rumah
petak,
dengan
beberapa
ukuran
seperti:
2,50
meter
x
3,00
meter,
3,00
meter
x
3,00
meter,
3,00
meter
x
4,00
meter,
dan
4,00
meter
x
4,00
meter,
dengan
penghuni
umumnya
sudah
berkeluarga.
Dengan
kondisi
tersebut
tidaklah
mengherankan
jika
daerah
koskosan
terlihat
padat
dan
kumuh.
Kondisi
ini
tidak
berarti
menjadi
ukuran
kemampuan
Gambar
4.8.
Potret
Permukiman
Warga
Koskosan
Di
Kelurahan
Kandangan
ekonomi
warga
penghuninya.
Jika
dilihat
dari
kemampuan
warga
kos kosan
memenuhi
kebutuhan
dasar,
mereka
memiliki
kecukupan
ekonomi
untuk
makan
tiga
kali
sehari
dan
menabung.
Penghasilan
mereka
pada
umumnya
dibawa
pulang
kembali
ke
kampung
asalnya
untuk
membeli
ternak,
sawah,
atau
memperbaiki
rumah.
Namun
mereka
memiliki
keterbatasan
akses.
secara
psikologis
sebagai
warga
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
67
DRAFT
FINAL
REPORT
musiman
mereka
tidak
dapat
mengakses
seluruh
fasilitas
yang
dimiliki
oleh
warga
asli.
Hal
ini
disadari
benar
oleh
warga
koskosan
bahwa
mereka
bukan
warga
Kandangan.
Karena
itulah,
dalam
berbagai
kegiatan
yang
ada
di
Kandangan
mereka
tidak
dilibatkan
dan
“tidak
mau”
terlibat,
sehingga
seolah‐olah
ada
“jarak”
dengan
warga
asli.
Sehingga
tidak
mengherankan
jika
warga
koskosan
tidak
mengetahui
– atau
tidak
mau
tahu‐‐
kegiatan
PNPM‐P2KP.
“Mereka
itu
kan
musiman,
sehingga
mereka
juga
tidak
mau
membangun
tempat
tinggal
di
situ.
Hla
...
mendingan
dipakai
mbangun
di
kampung,
dimana
keluarganya
tinggal.
Sing
penting
iso
turu.
Tapi
dari
kecukupan
pemenuhan
kebutuhan
dasar,
mereka
bisa
makan
3
x
sehari
dan
masih
bisa
saving.
Jadi
mereka
tidak
miskin
sebenarnya.
Hanya
lingkungan
dia
tinggal
secara
fisik
memang
kondisi
infrastruktur
dan
kelayakan
hunian
kurang
memadai.
Secara
psikologis
mereka
juga
memiliki
jarak
dengan
warga
asli,
agak
terisolasi
dengan
warga
setempat.
Sehingga
mereka
sendiri
juga
membatasi
keterlibatannya
dalam
kegiatankegiatan
sosial
di
lingkungan.”
(Penjelasan
KH,
asisten
lokal
dan
mantan
Korkot,
Kandangan,
14
Juni
2009)
•
Kategori
warga
“Seberang
Jalan
Kandangan
Raya”
Warga
seberang
jalan
Kandangan
Raya
adalah
warga
yang
lokasi
huniannya
berada
di
depan
atau
di
seberang
jalan
Kandangan
Raya.
Lokasinya
berada
tidak
jauh
dari
Kantor
Kelurahan
Kandangan.
Penghuninya
adalah
warga
campuran
antara
warga
asli
dan
warga
pendatang.
Jarak
hunian
warga
seberang
jalan
Kandangan
Raya
yang
terpisah
dengan
warga
asli
(di
daerah
Tengger),
warga
perumahan,
dan
warga
kaplingan,
membuat
mereka
tidak
banyak
tahu
tentang
kegiatan
PNPM‐P2KP,
terutama
pasca
pembangunan
BKM
kegiatan
banyak
berada
di
lingkungan
perumahan.
4.3.2. IsuIsu
dan
Kecenderungan
Kerelawanan
Berikutnya
dapat
diikuti
deskripsi
tentang
isu‐isu
dan
kecenderungan
yang
terkait
dengan
kerelawanan
di
kedua
kelurahan
sampel
berikut.
Kelurahan
Karangpoh
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
68
DRAFT
FINAL
REPORT
Program
PNPM‐P2KP
mulai
masuk
di
Kelurahan
Karangpoh
pada
tahun
2007.
Sosialisasi
pertama
dilakukan
di
Kantor
Lurah
Karangpoh
yang
disampaikan
langsung
oleh
faskel.
Sosialisasi
berikutnya
dilakukan
di
Panti
Asuhan
Yatim
Piatu
“Diponegoro”,
Yayasan
Al
Khairat
yang
berada
di
Gang
I
RT
07
RW
01,
yang
diikuti
oleh
seluruh
Ketua
RT
dan
RW
se‐Kelurahan
Karangpoh.
Pada
saat
inilah,
Jar,
faskel
yang
bertugas
pada
waktu
itu
menyampaikan
bahwa
jika
masyarakat
menerima
program
P2KP
maka
salah
satu
prasyaratnya
adalah
harus
membentuk
relawan‐relawan.
Dari
sosialisasi
pertama
inilah
kegiatan
berikutnya
adalah
pemilihan
relawan
di
masing‐ masing
lingkungan.
Hingga
saat
ini
pelaksanaan
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
Karangpoh
telah
mengalami
kevakuman
hampir
dua
tahun.
Kegiatan
yang
jalan
hanya
kegiatan
pembangunan
fisik
lingkungan
(oleh
UPL)
dan
kegiatan
sosial
(oleh
UPS)
yang
memang
sudah
terlaksana
di
Kelurahan
Karangpoh.
Sedangkan
UPK
belum
sempat
bekerja
karena
dana
pinjaman
ekonomi
bergulir
belum
turun.
Kendala
ini
ditengarai
oleh
penolakan
Walikota
Surabaya
terhadap
kehadiran
PNPM
di
wilayahnya.
Namun
demikian,
sejak
bulan
Mei
2009
kegiatan
PNPM‐P2KP
mulai
diaktifkan
kembali.
Pada
bulan
ini
BKM
“Karangpoh
Maju”
telah
melakukan
fase
kegiatan
review.
Secara
umum
pelaksanaan
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
Karangpoh
berjalan
cukup
baik.
Harmonisasi
pelaksanaan
kegiatan
terbangun
antara
pelaku
program
di
tingkat
basis
dengan
aparat
pemerintah
kelurahan
dan
masyarakat.
BKM
selalu
melibatkan
masyarakat,
serta
perangkat
kelurahan
dalam
setiap
melaksanakan
program.
Demikian
pula
sebaliknya,
lurah
(aparat
kelurahan)
juga
proaktif
terhadap
pelaksanaan
kegiatan
dengan
turut
hadir
dan
terlibat
langsung
dalam
setiap
pelaksanaan
program
‐‐sekalipun
lurah
yang
saat
ini
menjabat
sempat
mengalami
trauma
dengan
kegiatan
serupa
di
wilayah
kerjanya
yang
lama
(di
Kelurahan
Made,
Jepara).
Kondisi
ini
menumbuhkan
sikap
transparansi
dan
mengikis
rasa
saling
mencurigai
antara
pelaku
program
dengan
pemerintah
kelurahan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
69
DRAFT
FINAL
REPORT
Kotak
4.2.
TRANSPARANSI
ALA
KARANGPOH
(Dikisahkan
oleh
Pak
Maheru,
Lurah
Karangpoh
untuk
Tim
Studi
Kerelawanan)
............................................................
Masyarakat
Karangpoh
sangat
transparan
dalam
pelaksanaan
pekerjaan
P2KP.
Laporan
kegiatan
disampaikan
secara
terbuka
dan
rinci.
Dulu
di
tempat
dinas
saya
yang
dulu,
urusannya
sampai
kepolisian,
kejaksaan.
Ini
repotnya
kalau
urusan
uang.
Rencana
kegiatannya
ada,
tapi
kegiatannya
‘ndak
dilaksanakan
dan
duitnya
juga
‘ndak
tahu
siapa
yang
“makan”.
Jadi
duitnya
itu
di‐enthit
(=
diambil
secara
sembunyi‐sembunyi)
sama
BKM‐nya.
Kalau
di
sini,
saya
melihat
sangat
baik.
Contohnya
saja,
kemarin
dari
dana
untuk
pavingisasi
ada
sisa
dana
Rp
3
juta,
akhirnya
juga
diambil
kesepakatan
masyarakat
digunakan
untuk
memperbaiki
embong
(=
jalan)
yang
jebol.
Sampai
sisa
Rp
3
juta,
mereka
nggak
mau.
Saya
ini
dimintai
pertimbangan.
BKM
:
“Ini
bagaimana
Pak
Lurah,
untuk
sisa
yang
Rp
3
juta
ini?”
Lurah
:
“Loh,
masyarakat
maunya
apa?”
BKM
:
“Untuk
‘ngerjakan
ini
(sambil
menunjuk
jalan
rusak
di
wilayah
RW
03)”
Lurah
:
“Hla,
monggo
(=
silakan)!”
BKM
:
“Jika
sisa
lagi,
mau
dipakai
untuk
ini,
Pak.”
Ini
loh
bedanya
.....
saya
sampai
bilang,
“.....
nek
ngenthit,
yo
ngenthito.
Ning
sing
ora
ketara.”
(Jika
mau
mengambil,
silakan.
Tetapi
jangan
kelihatan
mencolok
mata).
Hal
seperti
ini
kalau
di
Made
(=
tempat
bertugas
yang
lama),
wis
ora
keduman
(=
sudah
pasti
tidak
kebagian).
Jembatan
dari
pasir
saja
dananya
habis
100
juta.
(Kantor
Lurah
Karangpoh,
Senin
15
Juni
2009:
15.00
–
16.30
WIB)
Apa
yang
diceritakan
atas
bisa
terjadi
karena
para
pelaku
PNPM‐P2KP
di
tingkat
basis
(BKM
beserta
UP‐UP
dan
relawan)
mau
dan
sanggup
mengedepankan
“panggilan
hati”
dan
menjadikan
kegiatan
PNPM‐P2KP
sebagai
“ladang
amal.”
Keterlibatan
tokoh
masyarakat
seolah
menjadi
penuntun
dan
pemicu
munculnya
pemikiran
dan
orientasi
kegiatan
yang
selalu
berorientasi
pada
keberpihakan
kepada
masyarakat
miskin.
Keberpihakan
ini
begitu
nyata
diwujudkan
dalam
pelaksanaan
pembangunan
jalan,
baik
baru
maupun
paving‐isasi
yang
banyak
difokuskan
di
RW
01
yang
merupakan
kantong
kemiskinan
Kelurahan
Karangpoh.
Apa
yang
tertuang
dalam
PJM
Pronangkis
dan
pelaksanaannya
benar‐benar
kensekuen,
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
70
DRAFT
FINAL
REPORT
benar‐benar
diwujudkan.
Kalaupun
ditemukan
ada
pelaksanaan
pembangunan
infrastruktur
di
RW
lain
‐‐yang
notabene
bukan
kantong
kemiskinan‐‐
sifatnya
adalah
pembangunan
fisik
ringan,
seperti
perbaikan
saluran
air
dan
gorong‐gorong.
Sedangkan
yang
dilaksanakan
di
RW
01
adalah
paving‐isasi
jalan,
penutupan
got,
dan
pembangunan
jalan
baru,
sehingga
jalan
yang
semula
terputus
‐‐antara
kedua
RW
tersebut‐‐
saat
ini
terhubung
kembali
dengan
kondisi
jalan
yang
terlihat
bersih
dan
lebih
lebar.
Kebetulan
jalan
ini
juga
menjadi
akses
terdekat
masyarakat
Kandangan
menuju
ke
Pasar
Balongsari,
sehingga
manfaat
langsung
yang
dirasakan
oleh
masyarakat
adalah
kemudahan
akses
mereka
menuju
pasar.
Keswadayaan
yang
cukup
tinggi
juga
muncul
pada
saat
pelaksanaan
pembangunan
jalan
ini.
Sebagaimana
yang
dituturkan
oleh
beberapa
pihak,
keterlibatan
semua
warga
‐‐khususnya
yang
tinggal
di
sepanjang
Gang
III
RT
07
RW
01‐‐
sangat
tinggi.
Bahkan,
adanya
lahan
kosong
yang
semula
menghalangi
dan
membuat
jalan
akses
itu
terputus
(buntu),
dihibahkan
oleh
pemiliknya
untuk
disambungkan
untuk
menghubungkan
antara
ujung
jalan
satu
dengan
ujung
jalan
lainnya.
Gambar
4.9.
Potret
Pelaksanaan
PNPMP2KP
Di
Kelurahan
Karangpoh
Gambar
disamping,
menunjukkan
antusi‐ asme
seorang
warga
kos
di
Gang
III
RT
07
RW
01
yang
sedang
mencermati
pengumuman
papan
pem‐
bangunan
jalan
dan
saluran
air
(1).
Om
Mark
sapaan
akrab‐ nya
adalah
pedagang
bakso
dan
bebek
goreng,
dengan
penuh
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
71
DRAFT
FINAL
REPORT
semangat
seolah
turut
bangga
dan
seolah
mengatakan
kepada
Tim
Studi
bahwa
usahanya
makin
lancar
dengan
dibangunnya
jalan
tersebut.
“Jalan
ini
dulu
memang
sudah
selebar
ini,
tapi
tengahnya
got.
Sekarang
gotnya
itu
ditutup
dengan
program
ini,
kemudian
paving
ini
juga
dari
P2KP.
Lha
.....
yang
itu,
yang
tembok
itu,
sebagian
dari
program
ini
juga.
Mobil
sekarang
sudah
bisa
masuk.
Ini
menguntungkan
buat
pedagang
yang
bawa
gerobak
dorong,
apalagi
tidak
dibikin
polisi
tidur,
jadi
bisa
lancar.
Dulu
jalan
itu
cuma
sampai
di
sini,
terus
turun
ke
bawah,
sawah
itu.”
(Seperti
dituturkan
Om
Mark,
Karangpoh,
11
Juni
2009:
11.15
–
11.30
WIB)
Pada
gambar
berikutnya
(2),
tampak
anak‐anak
bermain
di
jalanan
yang
kini
tampak
lebih
bersih.
Ketika
ditanya,
dengan
wajah
polosnya
mereka
menjawab,
“Sekarang
enak,
bisa
mainmain
di
sini.
Dulu
ndak
bisa,
soalnya
sini
dulu
sawah,
jadi
kotor,
banyak
kambing.”
Kemudian
gambar
ke‐3,
adalah
potret
kondisi
fisik
jalan
dilihat
dari
ujung
Gang
III
di
RT
07
RW
01.
Kondisi
got
yang
sebelumnya
terbuka
saat
ini
telah
ditutup
dengan
semen,
sehingga
badan
jalan
tampak
menjadi
lebih
lebar
dan
tidak
kumuh
lagi.
Kemudian
pada
gambar
ke‐4,
tampak
pemandangan
di
salah
satu
sudut
Gang
III
ini
banyak
warga
yang
berprofesi
sebagai
pedagang
kaki
lima
(pedagang
bakso,
mie
ayam,
atau
bebek
goreng),
baik
keliling
maupun
di
Pasar
Balongsari.
Gang
III
ini
sekarang
merupakan
akses
terdekat
ke
Pasar
Balongsari;
jika
sebelumnya
mereka
harus
melalui
jalan
memutar
untuk
mencapai
pasar,
maka
sekarang
hal
itu
tidak
lagi.
Mereka
juga
dimudahkan
dengan
kondisi
jalan
yang
bagus,
maka
sekarang
tidak
kesulitan
membawa
belanjaan
dari
pasar
karena
bisa
menggunakan
becak
atau
ojek.
Bahkan
kadang
mobil
juga
melewati
jalan
ini.
Sedangkan
pada
gambar
yang
di
tengah
(5),
tampak
bangunan
jalan
baru
yang
disambungkan
dengan
jalan
lain,
yakni
dari
Gang
III
di
Karangpoh
Indah
Barat
dihubungkan
dengan
Gang
III
yang
tembus
di
Karangpoh
Lebar.
Bagian
jalan
inilah
yang
sebelumnya
buntu
dan
disebut
warga
sebagai
“sawah/turunan.”
Dulu
letak
jalan
ini
memang
rendah
atau
menurun
dan
berakhir
di
lahan
kosong
yang
dimanfaatkan
warga
untuk
menggembala
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
72
DRAFT
FINAL
REPORT
kambing.
Sekarang
jalan
ini
telah
diuruk
dan
ketinggiannya
menjadi
sama
dengan
ketinggian
jalan
di
ujung‐ujungnya
yang
lain.
Di
kanan
kiri
jalan,
hingga
saat
ini
masih
tetap
digunakan
untuk
kandang
kambing
atau
hanya
sekedar
menggembalakan
kambing.
Pasang
Surut
Kerelawanan
di
Karangpoh
Pembentukan
relawan
di
Kelurahan
Karangpoh
dilakukan
pada
waktu
awal
PNPM‐P2KP
masuk
ke
kelurahan
ini.
Menurut
penuturan
beberapa
relawan,
mereka
mulai
mendengar
informasi
tentang
PNPM‐P2KP
dari
sosialisasi
yang
dilakukan
oleh
Jar,
faskel
pertama.
Sosialisasi
ini
cukup
efektif
dan
menjadi
“bahan”
pembicaraan
di
antara
warga
masyarakat.
Beberapa
diantaranya
merasa
penasaran
dan
mencari
informasi
lebih
lanjut
ke
(aparat)
kelurahan,
ataupun
langsung
ke
Dinas
Pekerjaan
Umum
(khususnya
bagi
mereka
yang
memiliki
akses).
Sepertinya
pelaksanaan
siklus
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
Karangpoh
cukup
berkesan
di
hati
beberapa
relawan
yang
terlibat.
Hal
ini
tampak
dari
semangat
para
relawan
untuk
menceritakan
kembali
proses
atau
tahapan
siklus
yang
pernah
diikuti
dengan
runtut.
Seperti
yang
dituturkan
oleh
Suw30
di
bawah
ini:
30
Suw,
56
tahun,
laki‐laki
kelahiran
Lamongan
ini
tinggal
di
Surabaya
sejak
tahun
70‐an
dan
saat
ini
menempati
rumahnya
di
Karangpoh
Indah
Barat.
Kumis
tebal
dan
senyum
ramahnya
selalu
disampaikan
setiap
kali
tim
menjumpainya.
Pekerjaannya
sebagai
kontraktor
tidak
menyurutkan
hatinya
untuk
tetap
terlibat
dalam
PNPM‐P2KP.
Justeru
dengan
pekerjaannya
itu,
ia
memiliki
relasi
di
beberapa
dinas
di
Kota
Surabaya.
Karena
itulah,
ia
tidak
serta
merta
percaya
ketika
mendengar
informasi
ada
penawaran
program
pengentasan
kemiskinan
di
lingkungannya.
Berbekal
keberadaan
salah
seorang
temannya
yang
menjadi
pegawai
Dinas
Pekerjaan
Umum
setempat,
dia
menanyakan
kebenaran
informasi
tersebut.
Barulah
setelah
informasi
itu
dibenarkan,
tekad
bulatnya
untuk
terlibat
menjadi
kuat,
sekaligus
mendorongnya
untuk
mengajak
teman‐temannya
yang
lain.
“Dari
situ
trenyuh
saya
.....
kapan
saya
ini
bisa
membangun
tanpa
menarik
iuran
warga?”
Suw
memang
sosok
yang
tidak
asing
bagi
warga
setempat,
dikenal
sebagai
orang
yang
sering
menolong
dan
aktif
terlibat
setiap
kali
ada
pembangunan
masjid
dan
kampung.
Apa
yang
dilakukannya
selama
ini
juga
selalu
didukung
oleh
isteri
dan
keluarganya.
Isteri
pertamanya
telah
meninggal
dan
dari
perkawinannya
yang
pertama,
ia
dikarunia
3
(tiga)
orang
anak.
Isteri
keduanya
saat
ini
perempuan
cerdas
dan
sederhana,
bernama
Mul,
dan
telah
memberinya
2
(dua)
orang
anak.
Saat
ini,
Mul
yang
selain
dikenal
sebagai
“IBU”
bagi
lingkungannya
adalah
perempuan
ulet.
Ia
membantu
ekonomi
keluarga
dengan
membuka
warung
makan.
Meski
demikian,
sifat
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
73
DRAFT
FINAL
REPORT
“Awalnya
saat
pergantian
RW
dari
yang
lama,
Pak
Min
ke
RW
yang
baru
.....
hla
di
situ
saya
mendengar
selentingan
kalo
nanti
ada
duit
anu
.....
ini
proyek
PNPM
.....
itu
saya
belum
ngerti.
Terus
saya
kejarkejar
informasi
yang
intinya
ada
bantuan
untuk
kegiatan
lingkungan,
sosial,
dan
ekonomi.
Jadi
saya
juga
penasaran.
Terus
saya
kontak
ke
PU,
bener
ada
gak?
Bener,
ambil!
Yang
pertama
kali
ikut
pertemuan
di
RT
07
RW
01,
diundang
di
sana
bersama
Pak
Jarwo
yang
datang
pertama
memperkenalkan
dan
menawarkan
bahwa
ini
ada
dana,
mau
menerima
dan
melaksanakan
tidak?
Dari
selentingan
tadi,
saya
tindaklanjuti
karena
di
tempat
saya
itu
belum
terbentuk
bangunan
dari
bantuan
pemerintah
tadi.
............................................
Selama
ini
yang
terjadi
bangunan
itu
urunan,
sampaisampai
pinjem
dari
bank
suwekan,
bank
titil.
Dari
situ
saya
mengalami
itu
benerbener.
Lalu
kumpul
di
Panti
Asuhan
mengundang
RTRT
dan
RWRW
lain
untuk
alasan
itu.
Pak
Jarwo
turun
ditawarkan
itu,
lalu
masyarakat
menerima.
Hla
kalo
menerima,
konsekuensinya
harus
membentuk
relawan.”
(Seperti
dituturkan
oleh
Suw
dalam
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Karangpoh,
Senin,
8
Juni
2009:
20.00
–
22.15
WIB)
Setelah
warga
Kelurahan
Karangpoh
‐‐khususnya
RW
01
dan
RW
02‐‐
menerima
program
dengan
prasyarat
harus
membentuk
relawan,
maka
mulailah
relawan‐relawan
direkrut.
Proses
awal
rekrutmen
relawan
diawali
dengan
sosialisasi
di
tingkat
RT.
Masing‐masing
RT
mengirimkan
lima
orang
relawan,
maka
total
relawan
terdaftar
adalah
70
orang.
Catatan
menarik
di
sini,
beberapa
warga
masyarakat
sangat
terkesan
dengan
proses
rekrutmen
relawan
ini.
Hal
ini
dapat
disimak
dari
penuturan
H.
Naw,
Koordinator
BKM
setempat
sebagai
berikut:
“Saya
mau
mengomentari
relawan
tadi,
saya
akan
ceritakan
sesungguhnya.
Pemilihan
pada
malam
itu,
sampeyan
kalau
lihat,
seperti
pemilihan
lurah.
Di
setiap
RT,
ada
7
RT
waktu
itu,
melaksanakan
pemilihan
serempak
malam
itu.
Jadi
Pak
Jarwo
(Faskel)
itu
keliling.
Kita
mengambil
relawan
itu
empat
sampai
lima
orang
itu,
kita
betulbetul
pemilihan,
pemilihan
RT.
Tersaring
kurang
lebih
sampai
70
orang
itu,
kita
undang
lagi.
Kita
rapat
lagi
untuk
membentuk
BKM,
membentuk
KSM,
membentuk
UP.”
(Dituturkan
saat
pelaksanaan
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Kantor
Lurah
Karangpoh,
tanggal
8
Juni
2009
pukul
20.00
–
22.15
WIB)
kerelawanannya
tidak
membuatnya
serakah
dengan
menjual
segala
hal.
Ada
kala
waktu,
ia
tetap
menyempatkan
diri
masak
untuk
makan
bersama
dengan
warga
di
sekitarnya
(penduduk
asli/KK
atau
pun
kos‐kosan).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
74
DRAFT
FINAL
REPORT
Masyarakat
juga
memahami
bahwa
pembentukan
relawan
dengan
jumlah
terbatas
diharapkan
dapat
mewakili
dan
menyampaikan
permasalahan
di
masing‐masing
RT‐nya.
Tentu
saja
setelah
itu
disepakati
bersama
untuk
menentukan
prioritas.
“Sebelum
BKM
terbentuk,
ada
informasi
dari
RW
untuk
disampaikan
ke
masyarakat
tentang
program.
Informasi
itu
isinya,
ada
semacam
bantuan
yang
intinya
untuk
kesejahteraan
warga.
Sedangkan
pada
kelanjutannya
tiap
RW
dimintai
perwakilan
yang
pada
waktu
itu
kita
sebut
relawan
lima.
Dengan
harapan
masingmasing
wilayah
mendapatkan
perhatian.
Jadi
tiaptiap
RT
itu
ada
permasalahan
yang
kita
bawa
ke
BKM.
Dari
lima
relawan
itu
diharuskan
maksimal
dua
perwakilan
tiap
RT,
dengan
harapan
kedua
orang
ini
bisa
mewakili
wilayah
masingmasing.”
(Seperti
dituturkan
Suparmin
dalam
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Kantor
Lurah
Karangpoh,
tanggal
8
Juni
2009
pukul
20.00
–
22.15
WIB).
Setelah
pembangunan
BKM,
mulailah
kegiatan‐kegiatan
terpusat
pada
BKM,
dengan
fokus
di
dua
RW
saja,
yakni
RW
01
dan
RW
02,
yang
memang
menjadi
“kantong
kemiskinan”.
Secara
umum,
Kelurahan
Karangpoh
yang
dikategorikan
memiliki
jumlah
relawan
tinggi
(highest
level)
dalam
kenyataannya
juga
mengalami
pasang
surut.
Di
awal‐awal
proses,
semua
orang
seolah
ingin
terlibat,
namun
dengan
berjalannya
waktu,
relawan‐relawan
yang
semula
ikut
terdaftar
semakin
hilang.
Berkurangnya
jumlah
relawan
ini
berangkat
dari
strategi
sosialisasi
faskel
yang
menyampaikan
“janji‐janji
indah”,
seperti
misalnya
relawan
akan
digaji
sebesar
Rp
750.000,‐
per
bulan
apabila
“usaha”
yang
dirintis
BKM
berhasil.
Dalam
prakteknya,
hal
ini
ternyata
tidak
semudah
dan
seindah
yang
diceritakan
oleh
faskel.
Pemahaman
terhadap
usaha‐usaha
yang
dilakukan
BKM
(yang
dipahami
sebagai
semacam
lembaga
perkreditan)
bertentangan
dengan
ketentuan
yang
ada
didalam
Manual
Program.
Akibatnya
banyak
diantara
para
relawan
yang
terlanjur
berharap
besar
menjadi
kecewa.
“Saya
mendaftar
relawan
PNPM
melalui
tim
12
yang
pada
waktu
itu
melakukan
sosialisasi
kegiatan.
Isi
sosialisasinya
mulukmuluk,
fasilitator
bicara
gaji
relawan
sampai
Rp
750.000/bulan
melalui
contoh
usaha
dari
BKM
di
kelurahan
lain
yang
sudah
maju.
Pada
akhirnya,
ketika
anggaran
turun,
banyak
warga
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
75
DRAFT
FINAL
REPORT
menjadi
‘kendor’
(maksudnya,
kecewa
karena
tidak
sesuai
yang
diharapkan
yang
berdampak
kepada
kinerja
yang
merosot
turun
–
bahkan
menghilang)
karena
anggaran
untuk
pekerjaan
fisik.”
(Disampaikan
oleh
Toni
dalam
FGD
Relawan
Laki‐laki,
Balai
Warga
RW
02
Karangpoh,
9
Juni
2009,
pukul
20.00
–
22.00
WIB)
Kekecewaan
ini
ditambah
dengan
tidak
dilibatkannya
relawan‐relawan
terdaftar
setelah
anggota
BKM
terpilih,
sehingga
mereka
menghilang
begitu
saja
dan
tidak
mau
terlibat
lagi.
“BKM
ini
kan
hasil
pengerucutan.
Dulu
waktu
belum
BKM,
yang
ikut
itu
juga
mudamuda
sekali.
Tiap
RT
diambil
lima
kali
14
RT
(dua
RW),
jadi
70
orang.
Setelah
pemilihan
BKM
itu,
yang
lainnya
itu
merasa
tidak
terpakai
.....
menghilang,
merasa
tidak
terpakai
lagi.
Mereka
itu
setelah
gak
terpilih,
merasa
tidak
terpakai
lagi,
“mutung”.
Jadi
mereka
menghilang,
gak
mau
ikut
lagi.”
(Seperti
dituturkan
Teguh
dalam
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Kantor
Lurah
Karangpoh,
Senin,
8
Juni
2009
pukul
20.00
–
22.15
WIB)
Menurut
keterangan
para
anggota
BKM,
sebagian
dari
relawan
yang
tidak
terpilih
menjadi
anggota
BKM
masih
terserap
di
KSM‐KSM
dan
UP‐UP.
Sayangnya
tidak
semua
relawan
terdaftar
tadi
mampu
diserap
semuanya.
Hal
ini
ditegaskan
oleh
H.
Naw,
Koordinator
BKM
setempat:
“Relawan
yang
tidak
terpakai
tadi,
banyak
sekali
terserap
di
KSM.
Kalau
nggak
salah
di
UPL
saja
ada
empat
KSM.
Banyak
sekali
relawan
yang
tertampung
di
situ.
Di
UPS
ada
11
KSM:
montir,
menjahit,
memasak,
kosmetik,
komputer,
dll.
Tapi
memang
kita
belum
bergerak
di
KSM
ekonomi.”
(Wawancara
di
Kantor
Lurah
Karangpoh,
Senin,
8
Juni
2009)
Selain
kecewa
karena
tidak
terpilih
menjadi
anggota
BKM,
tidak
semua
relawan
memang
bisa
terlibat
terus‐menerus
dalam
kegiatan
PNPM‐P2KP.
Upaya
pelibatan
tidak
hanya
melalui
KSM
dan
UP‐UP,
tetapi
juga
melalui
keterlibatan
sebagai
pelaku
dalam
pelaksanaan
kegiatan.
Namun
diantara
para
relawan
terdaftar
adalah
masyarakat
miskin,
sehingga
secara
“tanggung
jawab’
mereka
lebih
mendahulukan
persoalan
ekonomi
keluarga.
“Selain
di
KSM
dan
UP,
mereka
juga
membantu
pada
waktu
pelaksanaan
kegiatan,
misalnya
membantu
membersihkan
selokan.
Mereka
sering
kita
undang
juga.
Tapi
yaitu
tadi,
misalnya
yang
diundang
20
orang
yang
datang
separuhnya
.....
hanya
10
orang.
Kebanyakan
mereka
ini
mengatur
dirinya
sendiri.
Kadang
mereka
menganggur,
ada
yang
bekerja,
ada
yang
tidak,
karena
memang
lingkungan
kita
seperti
itu.
Memang
RW
01
dan
RW
02
ini
sedikit
tertinggal
dibandingkan
RW
03
dan
RW
04,
jadi
lebih
memikirkan
urusan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
76
DRAFT
FINAL
REPORT
ekonomi
sendiri.
Sosial
ini
ya
.....
karena
sudah
keterpanggilan
saja.
Kalau
ndak
ada
panggilan
ini,
ya
gak
akan.”
(H.
Naw,
Karangpoh,
8
Juni
2009:
16.00
WIB).
Apa
yang
disampaikan
oleh
H.
Naw
di
atas
diamini
oleh
Bu
Mul,
50
tahun,
salah
seorang
relawan
perempuan.
Dia
mengaku
bahwa
dirinya
tidak
bisa
terlibat
lagi
karena
kesibukannya
mengelola
warung
miliknya.
“Saderenge
wonten
pilihan
BKM
niku
nggih
kathah,
meh
sedaya
tumut.
Nggih
kados
kulakula
niki,
wit
pertama
pun
ndherek.
Dados
pun
ngertos
awalawale
niku
yok
napa
pun
ngertos.
Selanjute
pun
boten
saget,
kula
pun
boten
ngertos.
Maksude
niku
yok
napa
nggih,
yo
repot
piyambak.
Napa
malih
kados
sakniki,
pun
wonten
niki
(maksudnya
kesibukan
warung).
Niki
riyin
dereng
wonten.
Hla
niki
saumpama
wonten
malih
ngoten,
nggih
boten
saged
nderek.
Hla
nggih
niki,
sibuk
kiyambak
niki.”
(Sebelum
ada
pemilihan
BKM
itu
ya
banyak,
hampir
semua
ikut.
Seperti
saya
ini,
sejak
pertama
sudah
ikut.
Sehingga
sudah
tahu
sejak
awal
program
itu
seperti
apa
sudah
tahu.
Selanjutnya
tidak
bisa,
saya
tidak
tahu.
Mangsutnya
ya
bagaimana
ya,
sibuk
sendiri.
Apalagi
seperti
sekarang,
sudah
ada
ini
(warung).
Warung
ini
dulu
belum
ada.
Misalnya
ada
lagi,
ya
saya
tidak
bisa
ikut.
Hla
ini
nih,
sibuk
sendiri
ini.”
(Karangpoh,
Minggu,
14
Juni
2009)
Namun
beberapa
relawan
yang
ditemui
mengatakan
bahwa
dirinya
merasa
terabaikan
dan
dihubungi
jika
diperlukan
saja,
sehingga
mereka
merasa
hanya
sebagai
pelengkap
saja.
“Saya
mengungkapkan
tiga
hal
penting
tentang
kerelawan
di
Karangpoh,
yakni:
(1)
tidak
ada
sejarahnya
di
sini
relawan
digaji,
(2)
tidak
ada
sejarahnya
di
sini
relawan
kerja
untuk
pribadi
atau
golongannya,
(3)
tidak
ada
sejarahnya
di
sini
relawan
tidak
mau
kerja.
Tapi
kenapa
relawan
yang
sudah
seperti
ini
hanya
dihubungi
oleh
BKM
jika
ada
perlunya
saja.
Kami
ini
seolah
hanya
untuk
‘tambel
butuh’
(pelengkap
kekurangan)”
(Disampaikan
oleh
Mas,
relawan,
Balai
Warga
RW
02
Karangpoh,
9
Juni
2009:
20.00
–
22.00
WIB)
Tidak
hanya
sekedar
kecewa
karena
tidak
lagi
dilibatkan
dalam
kegiatan,
relawan
yang
tidak
terpilih
menjadi
anggota
BKM
tidak
mendapatkan
informasi
dan
pemahaman
yang
cukup
tentang
kemajuan
program
dan
bentuk
kegiatan
pemberdayaan
untuk
masyarakat
yang
sudah
dilakukan.
Sehingga
hal
ini
justeru
memunculkan
kecurigaan
dan
pemikiran
buruk
tentang
anggota
BKM.
Program
dianggap
sebagai
program
bantuan
semata.
Lebih
buruk
lagi,
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
77
DRAFT
FINAL
REPORT
program
dipahami
sebagai
kegiatan
“dumduman
duit’”
(bagi‐bagi
uang),
dimana
kemudian
karena
kurangnya
informasi
yang
disampaikan
kepada
masyarakat
‐‐bahkan
kepada
para
relawan
sendiri‐‐
banyak
diantaranya
yang
kemudian
berpikir
bahwa
anggota
BKM‐lah
yang
menerima
bagian
uang
paling
banyak,
sementara
relawan
yang
tidak
terpilih
tidak
mendapatkan
apa‐apa.
Karena
lelah
dan
jenuh
oleh
proses
rapat‐rapat
panjang
dan
mulai
merasa
tidak
mendapatkan
apa‐apa,
maka
relawan‐relawan
tersebut
pada
akhirnya
memilih
untuk
tidak
mau
terlibat
lagi.
“.....
beberapa
relawan
bertanya,
aku
ben
bengi
rapat
terus,
mari
iki
ate
diapakno?
Saya
sendiri
jarang
terlibat
dalam
rapatrapat
BKM,
jarang
hadir.
Jadi
kalau
ada
warga
yang
tanya,
Pak
RT,
yok
opo
BKMe?
Lha
kirangan,
wong
dalam
kenyataannya
saya
jarang
hadir,
tapi
jadi
sasaran
karena
saya
RT.
Hla,
menurut
hemat
saya,
yang
penting
di
sini
kan
suara
para
punggawa
ya.
Repotnya
para
punggawa
ini
yang
nggak
ngerti
purapura
ngerti,
jadi
yang
dipahami
kemudian
dumduman
duwit,
bagi
mereka
yang
ga
ngerti
loh,
ya.
Karena
waktu
itu
memang
jadi
tersohor.
Jangankan
yang
muda,
yang
tuatua
yang
gak
bisa
baca
tulis
saja
datang
pada
pertemuan
dengan
harapan
ya
itu
tok.
Intinya
itu
duwit.
...................................................
Kalau
mereka
ndak
ngerti,
bukan
salah
mereka,
terus
akhirnya
ngomongnya
ngawur,
gitu
loh.
Jadi
menurut
saya
ya,
antara
masyarakat
dengan
BKM,
bukan
BKMnya,
tapi
pengurusnya.
Pengurusnya
ini
kurang
perhatian
ke
masyarakat.
Jadi
mungkin
pengurus
BKM
ini
tidak
menyampaikan
informasi
ke
warga,
sehingga
warga
saya
ini
tidak
mempunyai
pemikiran
yang
positif.
Mereka
kan
kemudian
berfikir
atau
mengira
‘palingpaling’
orangorang
di
bawah
itu
ngertinya
ya
itu
tok,
ada
dana
masuk.
Dan
selama
ini
tidak
dibuktikan
dengan
kondisi
yang
riil,
dengan
pembangunan,
dan
sebagainya.
Tapi
yang
ada
hanya
untuk
parit
dan
sebagainya,
gak
mungkin
bisa
nampak.”
(Wawancara
dengan
Sup,
salah
seorang
Ketua
RT
di
Karangpoh),
Selasa,
9
Juni
2009)
Berbagai
kekecewaan
tadi
diperkuat
dengan
terfokusnya
pendampingan
faskel
hanya
kepada
BKM
dan
tidak
pernah
lagi
ada
sosialisasi
atau
upaya‐upaya
pelibatan
relawan‐relawan
terdaftar.
Hal
ini
semakin
buruk
manakala
kegiatan
BKM
tiba‐tiba
terhenti
dan
vakum
setelah
pencairan
BLM
tahap
I
selama
hampir
dua
tahun.
“Dulu
itu
rapatrapat,
hla
kok
terus
mandeg
jegleg
(berhenti
begitu
saja).
Hla
yok
opo
teruse?
(Lantas
bagaimana
kelanjutannya?)
Ini
bikin
relawan
bingung,
karena
gak
jelas,
ya
terus
pada
gak
peduli.”
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
78
DRAFT
FINAL
REPORT
(Disampaikan
oleh
Dar
dalam
FGD
Relawan
Perempuan,
Balai
Warga
RW
02,
Selasa,
9
Juni
2009:
20.00
–
22.00
WIB)
Proses
yang
panjang,
administrasi
yang
tidak
sederhana,
membuat
para
relawan
mengalami
kejenuhan.
“Memang
keterkaitan
antara
relawan
dengan
lapangan
itu
terlalu
lama.
Seperti
kemarin
ketika
proposal
sudah
diajukan,
dananya
gak
turunturun,
sehingga
kegiatan
juga
sulit
dilaksanakan.
Proposal
sudah
diajukan,
tapi
dana
tidak
turun,
sehingga
pelaksanaannya
vakum,
tibatiba
ada
pembahasan
terjadi
perubahanperubahan,
terutama
di
anggaran
sampai
20%.
Yang
terjadi
kemudian
ada
rekayasarekayasa
yang
tidak
menyentuh
sampai
pada
keterkaitan
biaya
itu.
Umpamanya
kenaikan
20%,
naikkan
saja
yang
swadaya
masyarakat
itu
sampai
20%.
Padahal
konstruksi
itu
yang
merupakan
kunci.
Misalnya
semen
yang
anggarannya
disusun
pada
tahun
2007
itu
dianggarkan
Rp
30.000,
sekarang
harganya
sudah
jadi
Rp
56.000
–
60.000.
Hla
ini
efeknya
efek
domino,
karena
akan
berpengaruh
terhadap
harga
tukang,
harga
bahan
lain.
Belum
tentu
pada
pelaksanaan
nanti,
persis.
Akhirnya
rekayasa
yang
terjadi,
akalakalan.
Terus
terang
proses
administrasi
lebih
rumit
daripada
pelaksanaan
di
lapangan.
Ketidaksederhanaan
ini
yang
membuat
relawan
lamalama
jenuh.”
(Disampaikan
oleh
Abd.
H.,
anggota
BKM,
Karangpoh,
Senin,
8
Juni
2009:
20.00
–
22.15
WIB)
Desain
program
yang
dirasakan
njelimet
inilah
yang
dianggap
menjadi
salah
satu
sumber
mandeg‐nya
kegiatan
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
Karangpoh,
sehingga
relawan
merasa
putus
asa
dan
frustasi.
Sebenarnya
relawan
sendiri
tidak
berkurang,
tetapi
menjadi
enggan
terlibat
karena
persoalan
teknis
dan
administrasi
yang
panjang.
Pada
waktu
intensitas
kegiatan
berjalan
kontinyu,
yang
diundang
juga
terlibat
secara
kontinyu.
Begitu
tidak
ada
kejelasan
keberlanjutan,
maka
orang‐orang
menghilang.
Dan
hal
inilah
yang
terjadi
di
Karangpoh.
PNPM‐P2KP
selama
dua
tahun
terakhir
dinilai
hilang
dan
baru
dua
bulan
terakhir
mulai
aktif
kembali.
“.....
baru
2
bulan
kok
kami
mengadakan
pertemuan
di
Balai
RW
02
pada
tanggal
5
Mei
lalu
membahas
review
(bikin
BAPUK).
Jadi
kalo
relawan
ini
dikatakan
berkurang,
tidak
berkurang.
Tapi
sebenarnya
karena
persoalan
teknis
tadi.
Kenapa
sih
pemerintah
Kota
Surabaya
begitu.
Kalau
gak
mau
menerima
program,
gak
mau
BKM
ada
di
Surabaya,
bubarkan
saja.
Tapi
gak
mau.
Kami
juga
gak
mau
terkatungkatung
begini.
Lebih
baik
jelas
dibubarkan.
Kita
bisa
kok
membantu
masyarakat
di
tempat
lain,
seperti
nyumbang
di
panti,
di
musholla,
atau
yang
lain.
Ini
salah
satu
yang
menyebabkan
dikatakan
tadi,
bahwa
kerelawanan
itu
menurun.
Ini
kalau
denger
rapat,
diundang
lagi,
lebih
banyak
lagi.
Desain
program
ini
bikin
kegiatan
mandeg.
Lamalama
relawan
ini
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
79
DRAFT
FINAL
REPORT
putus
asa,
frustasi.
Kegiatan
orangnya
selalu
bergantiganti
juga.
Nah
sekarang
vakum,
ya
ndak
datang.”
(H.
Naw,
Koordinator
BKM,
Karangpoh,
Senin,
8
Juni
2009:
20.00
–
22.15)
Sebenarnya
aktivitas
kerelawanan
bukan
hal
baru
bagi
masyarakat
Karangpoh.
Aktivitas
sosial
dalam
bentuk
yang
lain
merupakan
bagian
dari
kegiatan
para
relawan
jauh
sebelum
mengikuti
kegiatan
PNPM‐P2KP.
Hanya
saja
para
pelaku
aktifnya
memang
orang‐orang
yang
sama.
Bukan
karena
latar
belakang
pendidikannya
yang
tinggi,
kemampuan
ekonominya
yang
kuat,
tetapi
menurut
para
relawan
di
Karangpoh,
nilai
dasar
yang
mendorong
tumbuhnya
para
relawan
adalah
“kepedulian”
dari
masing‐masing
individu.
Dan
sayangnya
kepedulian
ini
semakin
menipis
saat
ini.
“Orang
yang
berpendidikan
tinggi
itu
banyak,
orang
yang
pinter
juga
banyak,
orang
kaya
banyak
.....
tapi
yang
mau
peduli
itu
yang
sulit.
Mereka
hanya
mau
berkomentar
saja,
tapi
tidak
mau
bertindak.
Ini
yang
saya
sampek
heran,
kenapa
sih
masyarakat
yang
seperti
itu
kok
ndak
mau
sama
sekali
untuk
istilahnya
‘ngreken’
masyarakat
itu
kok
ndak
ada.
Mereka
hanya
menilai
saja.
Yang
aktif
akhirnya
ya
hanya
iniini
saja.
Jadi
memang
pribadinya
itu
loh.
Rasa
pedulinya
itu
memang
tidak
ada.
Yang
lillahi
ta’ala
ini
sulit
sekali.”
(Dituturkan
oleh
WL,
30
tahun,
relawan
perempuan
dari
Balongsari
Madya
dalam
FGD
Relawan
Perempuan,
Balai
Warga
RW
02,
Selasa,
9
Juni
2009:
20.00
–
22.00
WIB)
Dari
penuturan
relawan
di
atas,
gejala
umum
yang
muncul
di
masyarakat
saat
ini
adalah
melemahnya
kepedulian
terhadap
sesama,
digantikan
dengan
sikap
mencurigai
dan
cenderung
menilai
buruk
kegiatan
orang
lain.
Bahwasannya
nilai
kerelawanan
harus
muncul
atas
dasar
dorongan
dari
dalam
diri
sendiri,
bukan
karena
ajakan
atau
paksaan.
Kebersamaan
yang
saat
ini
sering
terjadi
justeru
pada
kegiatan‐kegiatan
pesta,
seperti:
campursari,
dangdutan,
atau
keramaian
lainnya.
“Ya
susah,
Mbak
.....
ndak
bisa.
Harus
ada
dorongan
dari
diri
sendiri.
Kita
sudah
sering
ngunjungi,
ngajak,
tapi
kalau
hatinya
gak
tergugah
itu,
ya
susah.
Padahal
misale
pengajian
itu,
undangan
itu
setiap
bulan
70
yang
disebar,
paling
yang
datang
30an
orang
di
musholla.
Kalau
anjangsana,
banyak.
Tiap
satu
rumah
mau.
Tapi
kalau
ada
kegiatan
seperti
campursari,
dangdutan,
atau
keramaian,
yang
datang
lebih
banyak,
keluar
semua
itu.”
(Dituturkan
oleh
Tri,
50
tahun,
relawan
perempuan
dalam
FGD
Relawan
Perempuan,
Balai
Warga
RW
02,
Selasa,
9
Juni
2009:
20.00
–
22.00
WIB)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
80
DRAFT
FINAL
REPORT
Diakui
oleh
para
relawan
bahwa
telah
terjadi
banyak
kemunduran
dalam
kegiatan
sosial
di
Karangpoh.
Anak‐anak
remaja
tidak
seperti
dahulu.
Karang
taruna
tidak
ada
lagi.
Penanaman
nilai‐nilai
akhlak
juga
semakin
berkurang
dalam
keluarga.
Hal
ini
juga
didukung
oleh
sistem
pendidikan
dan
gaya
hidup
perkotaan
yang
semakin
materialis.
Anak‐anak
dididik
dengan
berbagai
pendidikan
formal
hingga
kehabisan
waktu
untuk
bermain
dan
bersosialisasi
dengan
lingkungannya.
“Anak
sekarang
itu
memang
belajarnya
malah
anehaneh.
Mari
sekolah,
anak anak
itu
terus
les,
ngaji,
terus
belajar
terus
pelajarannya
juga
makin
sulit.
Ndak
kayak
dulu,
mari
sekolah
anakanak
masih
bisa
santai,
mari
belajar
iso
ikut
kegiatankegiatan
lain.
Mungkin
iku
juga
sing
bikin
anakanak
sekarang
itu
ndak
ada
yang
punya
waktu
ikut
kegiatankegiatan
sosial.
Anakanak
sekarang
itu,
mari
sekolah
les
iki,
les
iki,
les
iki,
sampe
ndak
ada
waktu.
Tapi
yo
kadang
teko
ibuke,
‘.....
wis
gak
usah
melu
sing
kayak
gitu,
kakehan
sing
dipikir.’
Kan,
kadang
kayak
gitu?
teko
wis
jam
papat,
mari
ngono
les,
mari
les
terus
belajar.
Terus
waktu
istirahate
yah
opo?
Kadang
wong
tuwo
saiki
sing
dipikir
ngono.”
(Dituturkan
DY,
38
tahun,
relawan
perempuan
dalam
FGD
Relawan
Perempuan,
Balai
Warga
RW
02,
Selasa,
9
Juni
2009;
20.00
–
22.00
WIB)
Minat
generasi
muda
untuk
terlibat
dalam
kegiatan
sosial
juga
rendah.
Karena
itulah
relawan
di
Karangpoh
sebagian
besar
adalah
orang‐orang
tua.
“Kenyataan
di
kelurahan
Karangpoh
ini,
urusan
sosial
itu
kebanyakan
yang
usianya
di
atas
30
tahun,
baru
dia
punya
pemikiran
ikut
kegiatankegiatan
sosial,
baik
itu
di
musholla,
di
kegiatan
RW,
kegiatan
lain.
Apalagi
BKM,
orangnya
ya
ituitu
aja.
Seperti
Bu
Endang
ini,
beliau
aktif
di
PKK,
PAUD,
di
arisan
...
jadi
ya
muter
aja,
orangnya
ketemunya
ya
ituitu
saja.
Ketua
RW
ya
ketemunya
dengan
RW
yang
lain
atau
RTRT
lain.
Orangnya
di
KPP
ketemu,
di
BKM
ketemu,
di
RW
ketemu,
ya
ituitu
saja.
Sing
enomenom
ndak
mau.”
(H.
Naw,
Balongsari
Madya
–
Karangpoh,
Selasa,
9
Juni
2009)
Sistem
reward
dan
mekanisme
pelatihan
relawan
dianggap
tidak
mampu
menjadi
daya
tarik
bagi
keberlanjutan
kerelawanan
di
Karangpoh.
Pelatihan‐pelatihan
tidak
pernah
ada
tindak
lanjut,
sehingga
tidak
mendorong
peningkatan
kapasitas
SDM
secara
signifikan.
“Tidak
pernah
ada
tindak
lanjut
peningkatan
sumberdaya
manusia
di
masyarakat
ini,
melalui
pelatihanpelatihan
itu,
ya
vakum
setelah
ada
pelatihan,
gak
ada
tindak
lanjutnya.
Tidak
ada
pembinaan
lebih
lanjut.
Seandainya
ini
ada
kelanjutan
pembinaan,
insya
Allah
akan
memenuhi
sasarannya.
Harapan harapan
kami,
hendaknya
disederhanakan.”
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
81
DRAFT
FINAL
REPORT
(Abd.
H,
anggota
BKM,
Karangpoh,
Senin,
8
Juni
2009:
20.00
–
22.15
WIB)
Bagi
relawan
di
Karangpoh,
penghargaan
dalam
bentuk
materi
bukanlah
yang
mereka
harapkan.
Mereka
tidak
mengharapkan
imbalan,
karena
dengan
imbalan
tersebut
dinilai
mengurangi
nilai
amalan
dan
melunturkan
nilai‐nilai
ibadah.
“Kalau
saya
bilang,
ya
tidak
perlu.
Nanti
kalau
dapat
imbalan
tertentu,
kita
malah
merasa
bangga
dan
kita
tidak
mendapat
amalannya.
Soalnya
sebetulnya,
seperti
Bapak
RT
itu
kan
orang
yang
dibutuhkan
di
masyarakat.
Jika
pemerintah
memberikan
penghargaan,
dalam
bentuk
apa?
Diberi
insentif
hanya
Rp
50
ribu,
apa
cukup?
Mending
gak
dikasih
sama
sekali.
Kalau
gajah
mati
meninggalkan
gading,
saya
ingin
meninggalkan
sesuatu
buat
anak
cucu.
Ingin
peninggalan
yang
kita
berikan
untuk
anak
cucu
kita,
mumpung
ada
stimulan.
Paling
gak,
anak
cucu
kita
ingat
bahwa
jalan/parit
ini
saya
ikut
membangun.
Kalau
semua
dengan
imbalan,
itu
ndak
bener.
Awalnya
dari
situ,
kesalahannya
di
situ.
Makanya
betulbetul
kita
latih,
segala
sesuatu
itu
dikerjakan
dari
hati
nurani
kita.
Jadi
harapan
kami,
dari
hati
nurani
kita,
cukup
imbalan
dari
Allah
SWT
saja
yang
kita
harapkan.”
(Penjelasan
TEY,
relawan
dan
Sekretaris
BKM,
Selasa,
9
Juni
2009)
Menurut
TEY,
sesuatu
yang
harus
ada
pengembalian
itu
melunturkan
nilai‐nilai
ibadah.
Penghargaan
menurut
relawan
Karangpoh
tidak
harus
seperti
itu.
Penghargaan
materi
akan
mendidik
segala
sesuatu
itu
dilakukan
harus
dengan
imbalan.
Sehingga
suatu
saat
nanti
jika
masyarakat
disuruh
kerja
bakti
jika
tidak
ada
imbalannya
tidak
ada
yang
mau.
Relawan
dengan
status
pekerjaan
PNS
misalnya,
lebih
mengharapkan
penghargaan
dalam
bentuk
sertifikat,
surat
keputusan,
atau
surat
keterangan
lainnya,
yang
memungkinkan
mereka
menggunakan
itu
untuk
menambah
cum.
“Dulu
sempat
saya
tanyakan
sama
faskel
soal
SK.
‘Ada
gak,
Bu,
SKnya?’
Kan
ada
kredit
poinnya.
Dijawab
oleh
faskel,
‘Oo
...
tidak
ada.
Karena
BKM
itu
dibentuk
oleh
masyarakat
sendiri.
Jadi
tidak
ada
yang
mengeluarkan
SK.
Siapa
yang
mengeluarkan
SK?’
Padahal
dalam
AD/ARTnya
BKM
itu
jika
BKM
terpeleset
dalam
suatu
kasus,
kena
pidana.
Tapi
nek
berbuat
baik,
gak
pernah
dapet
piala.
Ini
kan
gak
adil.
Ya
sebenernya,
ora
ketang
sesuwek
kertas,
bisa
jadi
bukti
sejarah
buat
penerus,
anak
cucu.
‘Iki
loh,
dek
emben
Bapak
nate
dadi
relawan
BKM,
tahun
sekian
aku
dadi
relawan
BKM
iki.’
(Ini
loh,
dulu
Bapak
pernah
menjadi
relawan
BKM,
tahun
sekian
saya
menjadi
relawan
BKM
ini).
Kan
ada
sejarahnya
gitu
loh.
Kayak
tadi
disampaikan
Pak
Teguh,
‘gajah
mati
meninggalkan
gading,
harimau
mati
meninggalkan
belangnya.’
Kalau
kita
mati
meninggalkan
nama/kebaikan.
Sehingga
ada
pendorong
untuk
generasi
berikut.
Nggo
anak
putune
(Untuk
anak
cucunya).
Bapakku
iso
ngene
(bisa
begini)
,
kenapa
aku
tidak.
Gitu
loh.”
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
82
DRAFT
FINAL
REPORT
(Abd.
H,
Karangpoh,
Senin,
8
Juni
2009:
20.00
–
22.15
WIB)
Selain
bisa
dimanfaatkan
untuk
menambah
kredit
poin,
bagi
relawan
sertifikat
atau
dalam
bentuk
apapun
merupakan
bukti
sejarah
yang
bisa
dijadikan
bahan
pembelajaran
bagi
generasi
penerusnya
(anak
dan
cucunya).
Hal
ini
dimaksudkan
supaya
keturunan
mereka
mengikuti
jejak
yang
pernah
ditempuh
pendahulunya.
Kelurahan
Kandangan
Kegiatan
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
Kandangan
nampak
tersegmentasi.
Faktor
wilayah
yang
sangat
luas,
keragaman
etnis,
banyaknya
pendatang,
dan
pengkategorian
masyarakat
dianggap
menjadi
penyebab
munculnya
segmentasi
tersebut.
Secara
nyata
dapat
dilihat
bahwa
kegiatan
kerelawanan
di
Kelurahan
Kandangan
berpusat
di
daerah
warga
perumahan
(baca:
Perumahan
Bumi
Tengger
Sejahtera),
yaitu
tepatnya
di
RW
03,
RW
04,
RW
05,
dan
RW
06
dimana
sebagian
besar
anggota
BKM
berasal
dari
daerah
ini.
Kategori
warga
kaplingan
(di
sebagian
lahan
RW
02),
koskosan
(di
sebagian
lahan
RW
01
dan
RW
02),
serta
di
seberang
Jalan
Kandangan
Raya
(di
sebagian
lahan
RW
01)
tidak
memiliki
wakil
warga
sama
sekali
yang
duduk
dalam
kepengurusan
BKM.
Kenyataan
ini
membuat
kehadiran
BKM
terkesan
eksklusif
dan
identik
dengan
“milik”
warga
perumahan.
Beberapa
warga
yang
ditemui
oleh
Tim
Studi
umumnya
mengaku
tidak
mengetahui
apa
itu
BKM
dan
PNPM‐P2KP,
apalagi
ditanya
apa
manfaatnya
untuk
mereka
‐‐para
warga
miskin.
Ketidaktahuan
ini
bukan
semata‐mata
karena
para
warga
miskin
tidak
peduli,
tetapi
lebih
kepada
sosialisasi
program
yang
tidak
tersebar
luas
dan
merata.
Bahkan,
penggunaan
anggaran
PNPM‐P2KP
lebih
dimanfaatkan
untuk
daerah
perumahan
dan
warga
asli
saja.31
Pasang
Surut
Kerelawanan
di
Kandangan
31
Mengenai
kategori
warga
koskosan
yang
tidak
dilibatkan
dalam
kegiatan
PNPM‐P2KP,
juga
dibahas
pada
bagian
“hubungan
antara
relawan
dengan
lingkungan
sosial”.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
83
DRAFT
FINAL
REPORT
Menurut
informasi
dari
beberapa
anggota
BKM,
awalnya
banyak
yang
mau
jadi
relawan.
Hal
ini
disebabkan
karena
banyaknya
informasi
yang
tidak
jelas
mengenai
PNPM‐P2KP.
Masyarakat
menyangka
bahwa
PNPM‐P2KP
merupakan
“proyek
bagi‐bagi
duit,
semacam
BLT”.
Pada
waktu
sosialisasi,
faskel
menjelaskan
bahwa
PNPM‐P2KP
bukan
BLT
dan
tidak
sama
dengan
BLT,
maka
perlahan‐lahan
tapi
pasti
beberapa
warga
masyarakat
mundur.
Apalagi
untuk
tahap
pertama
fokus
kegiatan
adalah
pekerjaan
fisik
lingkungan,
bukan
ekonomi
bergulir.
Jumlah
relawan
yang
pertama
kali
mendaftar
lebih
dari
50
orang.
Sejalan
dengan
waktu,
jumlahnya
berkurang.
Alasan
utamanya
karena
takut
ditagih
(uang)
oleh
warga
yang
tidak
mengerti
kegiatan
program,
terutama
masalah
penggunaan
anggaran.
Melalui
pemilihan,
maka
terpilih
13
orang
sebagai
anggota
BKM.
Sedangkan
relawan
yang
tidak
terpilih
hilang
begitu
saja.
Dari
beberapa
relawan
yang
tidak
terpilih
menjadi
anggota
BKM,
di
antaranya
ada
yang
diajak
(oleh
BKM)
untuk
menjadi
staf
UP‐UP,
maka
kemudian
terbentuklah
UP‐UP,
seperti:
UPL
(Unit
Pengelola
Lingkungan),
UPS
(Unit
Pengelola
Sosial),
dan
UPK
(Unit
Pengelola
Keuangan).
Karena
turunnya
dana
yang
tidak
tentu
dan
waktu
cukup
lama,
membuat
beberapa
anggota
BKM
mengundurkan
diri
dengan
berbagai
alasan,
terutama
alasan
sibuk.
Dari
13
orang
anggota
BKM,
empat
orang
telah
menyatakan
mengundurkan
diri.
Saat
Tim
Studi
ada
di
lokasi,
anggota
BKM
tinggal
delapan
orang,
karena
baru
beberapa
bulan
salah
seorang
anggota
meninggal
dunia
pada
bulan
Februari
2009.
Setiap
orang
memiliki
motivasi
yang
berbeda
ketika
menjadi
relawan.
Motivasi
tersebut
sebagai
landasan
dalam
kegiatan
kerelawanannya.
Ada
yang
karena
kebiasaan
berbuat
(menolong)
bagi
sesama,
mengacu
kepada
landasan
keagamaan,
hingga
pada
masalah
lain
yang
tidak
pernah
terpikirkan
oleh
kita
sebelumnya.
Pastinya,
alasan
mereka
menjadi
relawan
berhubungan
langsung
dengan
motivasi
yang
hendak
dicapai
dalam
kegiatan
kerelawanannya
itu.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
84
DRAFT
FINAL
REPORT
Berikut,
pendapat
beberapa
relawan
di
Kelurahan
Kandangan
terkait
dengan
alasan
mereka
menjadi
relawan:
“Alasan
saya
menjadi
relawan
karena
menambah
pengalaman
bermasyarakat.”
(ISS,
42
tahun)
“Motivasi
saya
menjadi
relawan
karena
…
jangan
sampai
halhal
yang
baik
seperti
kegiatan
PNPM
ini
jatuh
ke
tangan
orangorang
yang
tidak
baik.
Contohnya,
simpan
pinjam
(maksudnya,
dana
bantuan
bergulir),
harus
jelas
siapa
yang
menentukan
layak
atau
tidaknya
diberi;
dan
harus
jelas
pula
siapa
yang
layak
menerima
pemberian.”
(TW,
41
tahun)
“Motivasi
saya
menjadi
relawan
adalah
menambah
wawasan
dan
pengalaman.”
(Muh.
F,
35
tahun)
“Jadi
relawan
itu
amanah
masyarakat
kepada
saya.
Motivasi
saya
ya,
…
amanah
masyarakat
itu.”
(Muh.
W,
46
tahun)
“Motivasi
saya
jadi
relawan
adalah
rasa
bangga
pada
diri
saya.
Artinya,
saya
masih
dibutuhkan
atau
bermanfaat
untuk
orang.
Untuk
kenangkenangan
saya,
anakcucu
saya.”
(Sup,
53
tahun)
“Motivasi
saya
jadi
relawan
untuk
numpang
makmur
dalam
hidup;
aman
dan
sejahtera.”
(Muh.
Y,
40
tahun)
Sedangkan
motivasi
menjadi
relawan
dari
pihak
BKM
dan
UP‐UP
juga
tidak
jauh
berbeda
dengan
para
relawan.
Berikut
pandangan
mereka
yang
terangkum
dalam
FGD
BKM
dan
UP‐UP
pada
hari
Rabu,
10
Juni
2009:
“Jadi
relawan
itu
karena
‘panggilan’.
Saya
memang
sudah
terbiasa
kerja
untuk
masyarakat;
mulai
dari
jadi
RT
hingga
sekarang
jadi
RW
dan
kordinator
BKM.”
(Sya,
52
tahun)
“Pengalaman
saya
sebagai
pendidik
mengajar
banyak
anak
orang,
semuanya
saya
lakukan
dengan
ikhlas.
Hal
ini
sebagaimana
yang
saya
lakukan
di
BKM.
Motivasi
saya,
karena
pengalaman
saya
sebagai
pendidik.”
(Bam,
51
tahun)
“Motivasi
saya
adalah
agar
menjadi
manusia
yang
bermanfaat
bagi
manusia
lainnya.”
(Pur,
47
tahun)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
85
DRAFT
FINAL
REPORT
“Dari
dulu
saya
senang
berorganisasi.
Tanyakan
saja
ke
semua
warga
di
lingkungan
saya,
siapa
yang
‘rajin’
untuk
urusan
sosial,
pasti
jawabannya:
pak
Heru.
Jadi,
motivasi
saya,
yaa
..…
karena
dari
dulu
sudah
senang
berorganisasi,
dan
dengan
ikut
dalam
kegiatan
ini
memberikan
kenikmatan
tersendiri.”
(Her,
57
tahun)
“Kalau
ditanya
motivasi,
saya
bingung
menjawabnya.
Pokoknya,
saat
itu
saya
didatangi
warga
untuk
mewakili
mereka.
Alasannya,
karena
sering
terlibat
pekerjaan
sosial
di
lingkungan
saya.”
(Mak,
52
tahun)
Menjadi
relawan
atau
BKM
merupakan
tantangan
tersendiri
untuk
aktif
terlibat
dalam
kegiatan
sosial
di
lingkungan
masyarakat.
Hal
ini
perlu
juga
ditunjang
oleh
dukungan
dari
keluarga.
Kalau
keluarga
tidak
mendukung
kegiatan,
maka
situasi
“tidak
berimbang”
dapat
terjadi,
yaitu:
“.....
di
luar
relawan/BKM
dipuji
(jika
kegiatan
sesuai
dengan
keinginan
masyarakat),
di
dalam
(rumah)
relawan/BKM
memiliki
masalah
(tidak
disenangi
atau
ribut)
keluarga.”
Jadi,
sebagai
relawan
harus
pandai
memainkan
peran
dalam
latar
kehidupan
di
masing‐masing
“panggung”.
Uraian
kalimat
tersebut
merupakan
gambaran
umum
mengenai
hubungan
antara
relawan
dengan
keluarganya
yang
kami
temukan
di
beberapa
lokasi
penelitian.
Bagaimana
detailnya,
berikut
petikan
wawancara
dengan
beberapa
relawan
dan
BKM.
“Keluarga
tidak
terlalu
ikut
campur
dengan
kegiatan
saya
di
BKM,
tetapi
kalau
sampai
ada
masalah
dalam
kegiatan
yang
saya
kerjakan,
seperti
dana
belum
turunturun
.....
saya
ditanyai
terus
sama
warga;
istri
akhirnya
bicara
juga
‘...
makane
ta,
nek
semuane
ga
usah
ikut
megang
(=
makanya,
jangan
ikut
semua
kegiatan)’.”
(Seperti
yang
disampaikan
Pur,
47
tahun,
Rabu,
10
Juni
2009:
20.00
–
22.05)
“Keluarga
saya
jarang
sekali
mengomentari
kegiatan
sosial
yang
saya
kerjakan,
karena
dari
dulu
sudah
tahu
kalau
saya
senang
dengan
kegiatan
seperti
ini
begitu
juga
dengan
menjadi
UPS.
Intinya,
di
dalam
keluarga
semua
harus
tahu
‘posisinya’
masingmasing;
suami
punya
tanggungjawab
dan
isteri
punya
tanggungjawab
pula.”
(Keterangan
Her,
57
tahun,
Rabu,
10
Juni
2009:
20.00
–
22.05)
“Di
masyarakat,
jadi
relawan
itu
ada
manfaatnya,
banyak
persaudaraan,
banyak
hikmah.
Tetapi
juga
banyak
juga
masalah
di
dalam
keluarga,
terutama
dari
isteri.
‘Bolakbalik
metu
gak
oleh
duit’
(=
sering
keluar
rumah
tapi
tidak
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
86
DRAFT
FINAL
REPORT
menghasilkan
uang
untuk
keluarga).
Kalau
sudah
begini,
isteri
perlu
dikasih
pengertian.
Ibaratnya,
‘perempuan
itu
tulang
rusuknya
bengkok,
makanya
harus
dikerasi’.”
(Mak,
52
tahun,
Rabu,
10
Juni
2009:
20.00
–
22.05)
”Di
sini
semuanya
(maksudnya
para
relawan)
‘suamisuami
berani
istri’
bukannya
‘suamisuami
takut
istri’.
Maksudnya,
jika
suami
sudah
membuat
‘dapur
ngebul’,
istri
sebaiknya
tidak
mempersalahkan
kegiatan
positif
yang
dikerjakan
suaminya.”
(Pernyataan
tambahan
disampaikan
oleh
Iwn,
42
tahun32,
salah
seorang
ketua
RW
setempat,
Rabu,
10
Juni
2009)
“Kalau
isteri
saya
orangnya
sudah
sibuk
kerja,
jadi
tidak
ada
kesalkesalan
dengan
kegiatan
saya
sebagai
relawan.”
(TW,
41
tahun,
Rabu,
10
Juni
2009;
20.00
–
22.10)
Berbeda
dengan
pendapat
di
atas,
mengenai
keterkaitan
antara
kegiatan
kerelawanan
dengan
masalah
di
dalam
keluarga,
Tim
Studi
mencoba
menelusuri
informasi
dari
hasil
FGD
Relawan
‐‐baik
relawan
laki‐laki
maupun
relawan
perempuan.
Ternyata
hasilnya
berbeda
cukup
signifikan.
Sebagai
contoh
apa
yang
diungkapkan
oleh
Muh.
Y,
40
tahun
relawan
setempat,
yang
sempat
mengungkapkan
bahwa
intensitasnya
sebagai
relawan
tidak
mempengaruhi
hubungan
(interaksi)
dirinya
dengan
masyarakat
di
sekitarnya.
Namun,
ia
mengakui
bahwa
ketidakpuasan
warga
atas
dana
yang
tidak
turun‐ turun
dianggap
sebagai
kesalahan
relawan
dalam
memperjuangkan
kelancaran
dana.
Mengenai
hal
ini,
warga
tidak
ada
yang
mengeluh
langsung
ke
Muh.
Y.
tetapi
ke
isterinya
mereka
(baca:
warga)
berani
sambat
(=
mengeluh),
bahkan
ada
seorang
keluarga
yang
sampai
tidak
mau
menegurnya.
Dari
penelusuran
ke
keluarga
relawan
tersebut
diperoleh
penjelasan
sebagai
berikut:
“Suami
yang
jadi
relawan,
saya
yang
ikut
kena
susah
sama
warga.
Uang
yang
tidak
turunturun
membuat
warga
tidak
sabar.
Ada
yang
bilang
suami
saya
janjijanji
thok
(=
janji‐janji
saja).
Saya
sempat
bilang
ke
suami,
ndak
usah
ngurusi
mas,
sama
warga
ga
enak
…
ndak
seneng
aku
…
wargane
gak
terima
32
Pada
saat
itu
Iwn
hadir
di
tengah
acara
FGD,
walaupun
ia
bukan
anggota
BKM
maupun
UP‐UP.
Kehadiran
Iwan
tidak
menjadi
masalah
bagi
para
peserta
lainnya,
bahkan
para
anggota
BKM
dan
UP‐UP
mempersilahkan
Iwan
untuk
melihat
acara
tersebut
karena
beliau
adalah
ketua
RW
02,
tempat
di
mana
acara
FGD
berlangsung,
tepatnya
di
Gedung
Serba
Guna
RW
02.
Jadi,
kehadiran
Iwan
lebih
kepada
memberikan
‘salam’
kepada
Tim
Studi
dan
para
peserta
FGD.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
87
DRAFT
FINAL
REPORT
kasih
(=
tidak
usah
mengurusi
mas,
sama
warga
jadi
tidak
enak
…
tidak
senang
saya
…
karena
warga
di
sini
tidak
ada
rasa
terima
kasih).
Meski
sudah
dikasih
tahu,
suami
saya
masih
terus
saja
jadi
relawan.”
(Dituturkan
oleh
Sul,
41
tahun,
isteri
seorang
relawan
di
Kandangan,
Jumat,
12
Juni
2009)
Partisipasi
warga
Kelurahan
Kandangan
dalam
hal
kerelawanan
cukup
baik,
namun
dilihat
dari
wujudnya
(keaktifannya)
hanya
berada
pada
lingkungan‐lingkungan
tertentu,
seperti:
lingkungan
perumahan,
lingkungan
warga
asli,
dan
sebagian
kecil
lingkungan
kaplingan
dan
seberang
Jalan
Kandangan
Raya.
Nilai
kerelawanan
yang
ada
pada
warga
ini
bisa
dipersempit
lagi
jika
dihubungkan
dengan
kegiatan
PNPM‐P2KP,
karena
ada
lingkungan
yang
belum
tersentuh
program,
seperti
lingkungan
warga
seberang
Jalan
Kandangan
Raya
dan
lingkungan
warga
koskosan.
Selain
itu,
untuk
keaktifan
kegiatan
kerelawanan
yang
berhubungan
dengan
PNPM‐P2KP
berpusat
di
lingkungan
perumahan,
yang
ditandai
dengan
banyaknya
anggota
BKM
dan
UP‐UP
dari
daerah
ini.
Sedangkan
untuk
lingkungan
warga
asli
dan
kaplingan
sifatnya
hanya
“pelengkap
kerelawanan”
dari
lingkungan
perumahan.
Istilah
“pelengkap”
di
atas
bukan
tanpa
alasan,
seorang
“wakil
relawan”
dari
warga
asli
mengatakan:
“Saya
tidak
mau
berhenti
jadi
relawan.
Kalau
saya
keluar,
siapa
nanti
yang
ngurusi
warga
(maksudnya,
warga
asli).”
(Sup,
53
tahun,
relawan
warga
asli
Kandangan)
“Selama
masih
kuat,
saya
tetap
jadi
relawan
untuk
kepentingan
warga
di
lingkungan
saya
(maksudnya,
warga
kaplingan).”
(Muh.
W,
46
tahun,
relawan
dari
warga
kaplingan)
Bila
dianalisis
lebih
mendalam,
pernyataan
kedua
relawan
di
atas
ingin
menerangkan
adanya
“batasbatas
sosial
yang
jelas
antara
warga
asli,
warga
kaplingan
dengan
warga
perumahan”
yang
terwujud
dalam
lingkup
kegiatan
PNPM‐P2KP
yang
tidak
merata
karena
anggota
BKM
dan
UP‐UP
yang
didominasi
oleh
warga
perumahan.
Sehingga,
kehadiran
kedua
relawan
tersebut
di
atas
dalam
“kerelawanan
PNPM‐P2KP”
seolah‐olah
merupakan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
88
DRAFT
FINAL
REPORT
kontrol
dan
“sarana
untuk
memperjuangkan”
kepentingan
lingkungannya
masing‐masing.
Alasan
relawan
dari
lingkungan
warga
asli
dan
warga
kaplingan
tidak
sama
“niatnya”
dengan
relawan
dari
lingkungan
warga
perumahan.
Mereka
lebih
mengedepankan
faktor
“penggerak
awal”,
bahkan
‐‐ kalau
perlu‐‐
mereka
akan
tetap
mempertahankan
posisi
warga
perumahan
sebagai
pusat
dari
kegiatan
PNPM‐P2KP.
“Tidak
ingin
keluar.
Selama
ini,
kalau
ada
yang
keluar
diganti
orang
baru,
pasti
mulai
lagi
dari
nol.”
(Moh.
F,
35
tahun)
Berbicara
mengenai
siapa
yang
layak
untuk
“mengendalikan”
kegiatan
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
Kandangan
memang
tidak
pernah
ada
habisnya.
Ketidakpuasan
dari
beberapa
tokoh
masyarakat
di
tiap‐tiap
lingkungan
terlontar
ketika
tim
peneliti
menemui
mereka.
Ketidakpuasan
itu
terutama
dirasakan
mereka
pada
masalah
pelaksanaan
kegiatan
yang
lebih
banyak
terfokus
untuk
kepentingan
warga
perumahan.
Sikap
yang
mereka
lakukan
untuk
saat
ini
adalah
diam
dan
menunggu,
namun
ada
kekhawatiran
bahwa
hal
ini
dapat
menimbulkan
konflik
yang
berkepanjangan.
Dominasi
para
anggota
BKM
dan
UP‐UP
semakin
nyata
seperti
yang
diungkapkan
oleh
para
pelaku
sendiri.
Para
anggota
yang
umumnya
juga
memegang
jabatan
sebagai
Ketua
RT
atau
Ketua
RW
‐‐ataupun
wakil‐wakilnya‐ ‐
secara
sepakat
mengutarakan
bahwa
untuk
menjadi
anggota
BKM
ataupun
UPUP
harus
memiliki
kekuasaan
yang
dapat
mengontrol
para
warga.
Berikut
rangkuman
acara
FGD
BKM
dan
UP‐UP:
“Di
lingkungan
perumahan,
RW
05
merupakan
lingkungan
warga
yang
paling
kaya.
Kita
(baca:
BKM)
pernah
mendatangi
mereka
untuk
mengajak
berpartisipasi
untuk
memberikan
sumbangan
materi
dalam
kegiatan
fisik,
syukurlah
mereka
mau.
Saat
itu,
strateginya,
kami
tidak
hanya
membawa
nama
BKM,
tetapi
juga
sebagai
ketua
RT
dan
RW.
Maksudnya,
dengan
kekuatan
sebagai
RT
dan
RW
mereka
mau
(menyumbang
materi)
.....
kalau
cuma
BKM,
mana
mau.”
(Kandangan,
Rabu,
10
Juni
2009)
“Prokontra
pasti
ada
di
masyarakat.”,
begitulah
ungkapan
singkat
yang
diucapkan
serentak
oleh
para
anggota
BKM
dalam
acara
FGD
(Rabu,
10
Juni
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
89
DRAFT
FINAL
REPORT
2009),
yang
ingin
menggambarkan
dinamika
kerja
relawan
yang
ditanggapi
dari
berbagai
sisi
oleh
masyarakat.
Lebih
dalam
lagi,
Her,
57
tahun,
salah
seorang
peserta
FGD,
menambahkan,
”.....
sandungan
yang
ada
di
masyarakat
bukan
berarti
membuat
kita
(maksudnya,
BKM)
harus
berhenti,
tetapi
harus
berhatihati
untuk
melangkah
selanjutnya.”
Dalam
diskusi
juga
terungkap
masalah
yang
menjadi
batu
sandungan
pelaksanaan
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
kandangan,
yaitu
lebih
kepada
terlalu
lamanya
dana
turun
ke
BKM
untuk
disalurkan
ke
masyarakat.
Dampaknya,
karena
terlalu
lama
menunggu
warga
menjadi
kesal.
Akhirnya
swadaya
masyarakat
dalam
kegiatan
kerelawanan
menjadi
melemah.
Dalam
bahasan
ini
dapat
disimpulkan
bahwa,
waktu
yang
tidak
tepat
dalam
pengucuran
dana
ternyata
memunculkan
apatisme
kerelawan
di
tataran
masyarakat.
Permasalahan
yang
dihadapi
BKM
yang
menyangkut
keterlambatan
turunnya
dana
ini
juga
dihadapi
oleh
para
relawan.
Namun,
permasalahan
yang
dihadapi
oleh
para
relawan
lebih
besar,
karena
berhubungan
langsung
dengan
warganya.
Masalah
yang
paling
pelik
ditemukan
di
RT
03/RW
02,
dimana
Muh.
Y,
warga
setempat
yang
“ditunjuk”
menjadi
relawan
mewakili
lokasi
tersebut
justru
“dihantam”
(dimusuhi)
oleh
warganya
sendiri
‐‐bahkan
oleh
warga
yang
dahulu
mengangkatnya
sebagai
relawan.
“Masalah
di
RT
saya
adalah
lambatnya
dana
ke
masyarakat.
Padahal
masyarakat
sudah
semangat
membuat
proposal
pembuatan
bak
sampah
lingkungan.
Mulai
dari
mengukur,
mencari
lokasi,
menghitung
biaya
semuanya
sudah
dikerjakan
bahkan
sampai
dihitung
beberapa
kali.
Tetapi,
dana
turun
lambat,
masyarakat
sambat
(mengeluh).
‘Sambat’nya
ke
saya
sebagai
wakil
masyarakat.
Akhirnya,
warga
kesal
karena
kebutuhan
tempat
sampah
sudah
mendesak,
mereka
membuat
tempat
sampah
dengan
swadaya
mereka
sendiri.
Jadi,
swadaya
masyarakat
untuk
pembuatan
tempat
sampah
jadinya
tidak
ikhlas,
tetapi
terwujud
karena
kekesalan.”
(Dituturkan
oleh
Muh.
Y,
40
tahun,
Kandangan,
11
Juni
2009)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
90
DRAFT
FINAL
REPORT
“Masalah
saya
tidak
sama
dengan
pak
Yusuf,
di
lingkungan
saya
(RW
01)
paling
banyak
“warga
musiman”33
mulai
dari
kos‐kosan
sampai
yang
kontrak
(rumah).
Di
antaranya
kadangkadang
ada
yang
ngotot
tentang
kegiatan
PNPM,
minta
diperhatikan
..…
Biasanya
saya
ajak
sharing
(maksudnya,
diskusi
dengan
tujuan
diberi
pengertian),
kalau
masih
ngotot
juga
kita
tinggal,
karena
secara
administratif
mereka
tidak
masuk
ke
dalam
warga
kelurahan
Kandangan.
.….
Makanya,
menurut
saya,
relawan
itu
sebaiknya
berasal
dari
tokoh
masyarakat,
kalau
begitu
warga
pasti
sungkan.”
(Disampaikan
oleh
TW,
41
tahun,
Kandangan,
11
Juni
2009)
Agar
para
relawan
yang
tergabung
dalam
BKM
tidak
merasa
jenuh,
tiga
kali
dalam
sebulan
diadakan
pertemuan
berkala
melalui
prakarsa
Koordinator
BKM
dengan
Lurah
Kandangan.
Dari
rapat
berkala
ini
terbentuk
KSM
‐‐yang
sebagian
“diambil”
dari
relawan
yang
tidak
terpilih
menjadi
BKM
maupun
UP‐ UP.
Rapat
berkala
tetap
dilakukan,
ada
atau
tidak
ada
dana.
Hal
ini
membuat
para
anggota
BKM
dan
UP‐UP
menjadi
akrab
dan
solid,
bahkan
para
anggota
BKM
mengatakan
bahwa
hubungan
mereka
sudah
seperti
keluarga
sendiri.
Rasa
kekeluargaan
ini
didasari
atas
rasa
sepenanggungan
bersama,
sedih
maupun
senang
atas
tugas
yang
mereka
jalankan
‐‐apalagi
mereka
pada
umumnya
bertempat
tinggal
berdekatan
dalam
satu
lingkungan,
yaitu
lingkungan
perumahan.
Mengacu
pada
penjelasan
Koordinator
Kota
Surabaya,
terdapat
2
(dua)
faktor
penting
yang
ditengarai
mengakibatkan
terjadinya
penurunan
intensitas,
sikap,
dan
kegiatan
kerelawanan
dalam
konteks
pelaksanaan
PNPM‐ P2KP
‐‐khususnya
di
Kelurahan
Kandangan‐‐,
yaitu:
a.
Siklus
program
yang
menyita
waktu,
sementara
di
sisi
lain
relawan
harus
bekerja
mencari
nafkah
untuk
keluarganya.
b.
Adanya
kejenuhan
akibat
siklus
program
yang
panjang.
Apalagi
hal
ini
diperpanjang
dengan
adanya
pandangan
dari
relawan
itu
sendiri,
yang
33
Menurut
keterangan
warga,
yang
dimaksud
dengan
“warga
musiman”
adalah
warga
yang
tinggal
di
lingkungan
Kelurahan
Kandangan,
bukan
hanya
dengan
cara
mengontrak
rumah
ataupun
kos,
tetapi
ada
juga
yang
sampai
punya
rumah
sendiri
– yang
membedakan
hanya
status
administrasi
kependudukan
mereka,
yaitu
mereka
memegang
kartu
identitas
di
luar
Kelurahan
Kandangan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
91
DRAFT
FINAL
REPORT
merasa
bahwa
mereka
seolah‐olah
dipekerjakan
tetapi
dengan
kondisi
tidak
diberi
perhatian34.
4.4.
Kerelawanan
di
Kota
Pasuruan
Kota
Pasuruan
dikunjungi
Tim
Studi
Pelembagaan
Kerelawanan
pada
tanggal
17
–
26
Juni
2009,
dan
seperti
yang
disampaikan
dalam
laporan
Pendahuluan,
Kota
Pasuruan
ini
dipilih
sebagai
salah
satu
lokasi
kajian
mewakili
fase
PNPM‐2007
bersama
Kota
Surabaya.
4.4.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
Lokasi
yang
dipilih
untuk
dikaji
di
Kota
Pasuruan
adalah
dua
kelurahan
yang
berada
di
satu
wilayah
kecamatan,
yaitu
Kelurahan
Panggungrejo
dan
Kelurahan
Kepel,
Kecamatan
Bugul
Kidul.
Panggungrejo
dipilih
mewakili
kelurahan
dengan
Gambar
4.10.
Peta
Kota
Pasuruan
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
kategori
kerela‐
wanan
tinggi
(highest
level),
sedangkan
Kepel
dipilih
mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerela‐
wanan
rendah
(lowest
level).
Secara
geografis
jarak
keduanya
tidak
terlalu
jauh,
tetapi
memiliki
ciri
34
Hal
ini
juga
terungkap
pada
saat
berlangsungnya
FGD
Relawan.
Para
relawan
merasa
bukan
hanya
fisik
dan
pikiran
yang
telah
mereka
berikan,
tetapi
juga
materi
(uang)
‐‐ padahal
mereka
umumnya
bukan
berasal
dari
golongan
ekonomi
menengah
atas.
Contohnya
untuk
mendatangi
warga,
para
relawan
menggunakan
motor
pribadi
yang
juga
memerlukan
bahan
bakar,
padahal
biaya
untuk
bahan
bakar
itu
juga
berguna
untuk
keperluan
menambah
biaya
keperluan
rumah
tangga.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
92
DRAFT
FINAL
REPORT
geografis
yang
sangat
berbeda.
Kelurahan
Panggungrejo
berada
pada
posisi
“kantong”
(enclave)
dengan
batasan
garis
pantai
mengelilingi
sebagian
sisi
kelurahan
yang
hanya
bisa
diakses
dari
satu
pintu
masuk.
Sedangkan
Kelurahan
Kepel
jauh
lebih
mudah
dijangkau
karena
dilalui
oleh
jalan
negara
dan
sebagian
wilayahnya
adalah
areal
pertanian
dan
tambak.
Kelurahan
Panggungrejo
secara
homogen
dihuni
oleh
warga
Madura
Pedhalungan,
sedangkan
Kelurahan
Kepel
sebagian
warga
Madura,
yakni
mereka
yang
tinggal
di
lore
ban
sepur.
Kelurahan
Panggungrejo
Kelurahan
Panggungrejo
memiliki
luas
wilayah
sekitar
58
hektar,
dan
dilihat
dari
karakteristik
geografisnya
merupakan
daerah
pesisir.
Secara
administratif,
Kelurahan
Panggungrejo
memiliki
batas‐batas
sebagai
berikut:
‐
sebelah
Utara,
berbatasan
dengan
Selat
Madura;
‐
sebelah
Selatan
dan
Timur,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Mandaranrejo;
dan
‐
sebelah
Barat,
berbatasan
dengan
Sungai
Sembong.
Kelurahan
Panggungrejo
memiliki
empat
RW,
dan
berdasarkan
Laporan
Bulanan
bulan
Mei
2009,
jumlah
penduduk
kelurahan
ini
sebanyak
2.907
jiwa35
yang
terdiri
dari
1.440
jiwa
penduduk
laki‐laki
(49,54
persen)
dan
sisanya
1.467
jiwa
penduduk
perempuan
(50,46
persen).
Kepadatan
penduduk
di
Kelurahan
Panggungrejo
mencapai
sekitar
50
jiwa
per
hektar.
Dari
seluruh
penduduk,
semuanya
beragama
Islam.
Oleh
karenanya
tidak
mengherankan
jika
suasana
pesantren
daerah
pesisir
sangat
lekat
dengan
kehidupan
masyarakatnya.
Pada
bidang
pendidikan,
warga
Kelurahan
35
Berdasarkan
wawancara
dengan
DAW,
Lurah
Panggungrejo,
Sabtu,
13
Juni
2009
didapatkan
informasi
bahwa
penduduk
Kelurahan
Panggungrejo
terbagi
menjadi
dua:
(1)
penduduk
terdaftar,
yaitu
penduduk
yang
memiliki
KTP
atau
namanya
tercantum
dalam
kartu
keluarga;
dan
(2)
penduduk
tidak
terdaftar,
yaitu
penduduk
yang
keberadaannya
tidak
tercatat
di
kelurahan.
Kebanyakan
mereka
ini
warga
luar
yang
menikah
dengan
warga
Kelurahan
Panggungrejo,
dan
(kemudian)
menetap
di
Panggungrejo.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
93
DRAFT
FINAL
REPORT
Panggungrejo
lebih
mengedepankan
“pendidikan
agama”
dibandingkan
pendidikan
formal,
sehingga
jumlah
warga
usia
sekolah
yang
tidak
mengecap
pendidikan
formal
cukup
tinggi
(lihat
Tabel
4.1).
Tingkat
pendidikan
formal
warganya
juga
rendah,
rata‐rata
hanya
lulusan
SD.
Tabel
4.1.
Hubungan
Kelompok
Usia
Sekolah
dengan
Jenis
Kelamin
Di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan
U
s
i
a
5
–
6
Warga
7
–
13
Sekolah
Belum
sekolah
Sekolah
Belum
sekolah
Laki‐laki
64
18
142
Perempuan
55
47
105
14
–
17
18
–
21
Sekolah
Belum
sekolah
Sekolah
Belum
sekolah
35
98
27
97
55
21
86
19
90
80
Sumber:
Laporan
Bulanan
kelurahan
Panggungrejo,
Mei
2009.
Seperti
halnya
daerah
pesisir
lainnya,
kesulitan
mendapatkan
air
bersih
merupakan
permasalahan
utama
warganya.
Mereka
harus
membeli
air
yang
layak
untuk
dikonsumsi
dari
para
penjual
air
yang
membawa
melalui
gerobak‐ gerobak
ramping
agar
bisa
menyusup
ke
dalam
lorong‐lorong
sempit
permukiman
nelayan
yang
padat.
Permasalahan
air
pernah
ditangani
oleh
warga
melalui
pemasangan
pipa
air
bersih
yang
dialirkan
ke
tiap‐tiap
rumah.
Namun,
cara
itu
ternyata
juga
tidak
berjalan,
karena
airnya
tidak
keluar
untuk
warga
yang
rumahnya
jauh
dari
tangki
pusat.
Debit
air
sudah
“menghilang”
sebelum
sampai
ke
rumah
mereka
karena
sudah
“diserap”
oleh
warga
yang
rumahnya
dekat
dengan
tangki
air.
Hal
ini
mengakibatkan
penutupan
saluran
air
bersih
ke
setiap
rumah
warga,
tujuannya
untuk
menghindari
kecemburuan
antar‐warga.
Pusat
dari
wilayah
permukiman
adalah
masjid
An
Nur36,
yang
juga
menjadi
sentral
kegiatan
ibadah
masyarakatnya.
Pengeras
suara
dari
masjid
36
Karena
dibangun
oleh
Kyai
H.M.
Nur
sebelum
tahun
1960an,
maka
untuk
menghormati
beliau
maka
masjid
itu
diberi
nama
An
Nur.
Ketokohan
Kyai
H.
M.
Nur
menurut
sebagian
besar
warga
Panggungrejo
disamakan
dengan
kebesaran
Pangeran
Diponegoro.
Salah
satu
kisah
heroik,
beliau
pernah
menangkal
datangnya
angin
puyuh
yang
menuju
ke
Kelurahan
Panggungrejo.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
94
DRAFT
FINAL
REPORT
dan
beberapa
mushalla
mengalirkan
takbir‐takbir
dan
bacaan
al‐Qur’an
seolah
menjadi
pengingat
bagi
warga
di
sekitarnya
untuk
selalu
ingat
kepada
Allah
SWT.
Anak‐anak
kecil
terlihat
berlalu‐lalang
di
sekitar
masjid,
ada
yang
berangkat
dan
ada
juga
yang
baru
bubar
dari
sekolah
Madrasah
Ibtidaiyah
(setingkat
SD)
dan
Raudlotul
Athfal
(setingkat
TK)
yang
terletak
di
depan
masjid.
Tidak
saja
karena
kehidupannya
yang
sangat
lekat
dengan
nuansa
Islam,
namun
konsep
kepatuhan
orang
madura
“bebba,
bebbu,
guruh,
ben
ratoh”
yang
menempatkan
guru
agama
(ustadz)
dan
kyai
pada
status
sosial
tertinggi
dan
sangat
disegani
dan
dipatuhi.
Maka
menjadi
salah
satu
kunci
dasar
bagi
setiap
program
yang
masuk
ke
kelurahan
ini
bahwa
tokoh‐tokoh
inilah
yang
memiliki
pengaruh
besar
bagi
kehidupan
warga,
bukan
pemerintah
kelurahan.
Bagi
warga,
pemerintah
kelurahan
diperlukan
untuk
menangani
urusan
yang
berhubungan
dengan
legalitas
hukum
formal.
Kelurahan
Kepel
Kelurahan
Kepel
memiliki
luas
wilayah
sekitar
229,67
hektar,
dengan
jumlah
penduduk
3.279
jiwa
yang
terdiri
atas
penduduk
laki‐laki
sebanyak
1.622
jiwa
(49,47
persen)
dan
penduduk
perempuan
sebanyak
1.657
jiwa
(50,53
persen).
Dari
segi
usia,
mayoritas
jumlah
penduduk
di
Kelurahan
Kepel
adalah
penduduk
dewasa,
yaitu
usia
15
tahun
ke
atas,
yang
jumlahnya
mencapai
1.912
jiwa
(58,31
persen).
Kepadatan
penduduk
di
kelurahan
ini
adalah
14‐15
jiwa
per
hektar,
termasuk
kategori
kepadatan
rendah
‐‐setidaknya
bandingkan
dengan
Kelurahan
Panggungrejo
yang
mencapai
50an
jiwa
per
hektar.
Namun
demikian,
jumlah
KK
miskin
di
kelurahan
ini
cukup
besar,
yaitu
sebanyak
217
KK
atau
sekitar
26,50
persen
dari
seluruh
KK
yang
ada.
Secara
administratif,
Kelurahan
Kepel
terdiri
dari
enam
RW
‐‐dulu
disebut
dengan
lingkungan‐‐
yang
dibelah
oleh
rel
kereta
api
dan
(sekaligus)
oleh
jalan
utama
Surabaya‐Banyuwangi.
Terdapat
satu
RW/
lingkungan
‐‐yaitu
RW
04
(Lingkungan
Lojok)‐‐
yang
terbelah
menjadi
dua,
sebelah
selatan
jalan/rel
KA
banyak
didiami
oleh
mereka
yang
bekerja
sebagai
PNS,
sedangkan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
95
DRAFT
FINAL
REPORT
sebelah
utara
jalan/rel
KA
didominasi
oleh
para
petani
tambak
‐‐kebanyakan
mereka
hanya
berstatus
sebagai
petani
penggarap.
Masyarakat
lore
rel
(sebelah
utara
rel
KA)
merupakan
komunitas
yang
relatif
lebih
miskin
dibandingkan
masyarakat
kidule
rel
(sebelah
selatan
rel).
Dari
sebanyak
tiga
RW
di
lore
rel,
RW
06
atau
yang
dikenal
dengan
Lingkungan
Bintingan
adalah
yang
paling
miskin.
RW
ini
mayoritas
penduduknya
menjadi
petani
penggarap
tambak.
Sebagian
besar
areal
RW
06
adalah
tambak
yang
dimiliki
oleh
orang‐orang
kaya
‐‐baik
di
Kelurahan
Kepel
ataupun
dari
luar
Kelurahan
Kepel.37
Sedangkan
masyarakat
yang
di
kidule
rel
pada
umumnya
memiliki
mata
pencaharian
sebagai
pegawai
negeri,
pedagang,
swasta,
atau
pemilik
tambak.
Gambar
4.11.
Peta
Administrasi
dan
SosialEkonomi
Kelurahan
Kepel,
Pasuruan
RW0
5
(Lingk.
Glagah)
Petani
tambak
RW
04
(Lingk.
Lojok)
Petani
tambak
RW
06
(Lingk.
Bintingan)
Mayoritas
Madura
Kantung
kemiskinan
Lore
rel
KA
U
RW
01
(Lingk.
Kemiri)
Pedagang
kecil,
swasta
RW
02
(Lingk.
Krajan)
Petani,
pegawai
negeri
RW
03
(Lingk.
Kongsi)
Pegawai
negeri
RW
04
(Lingk.
Lojok)
Pegawai
negeri
Sumber:
Ilustrasi
Lapangan
Tim
Studi
Kerelawanan,
2009.
Secara
administratif,
Kelurahan
Kepel
berbatasan
dengan
beberapa
kelurahan
lain
di
sekitarnya,
yakni:
37
Salah
satu
pemiliknya
adalah
Kha
(Koordinator
BKM)
yang
tambaknya
dikerjakan
oleh
Muj
(salah
satu
penerima
manfaat
BLM
kambing
bergilir).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
96
DRAFT
FINAL
REPORT
‐
sebelah
Utara,
berbatasan
dengan
Selat
Madura;
‐
sebelah
Selatan,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Blondongan;
‐
sebelah
Barat,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Tapan
dan
Kelurahan
Krampyangan;
serta
‐
sebelah
Timur,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Blondongan.
4.4.2. Isuisu
dan
Kecenderungan
Umum
Kelurahan
Panggungrejo
Secara
umum,
sasaran
kegiatan
PNPM‐P2KP
adalah
untuk
pengentasan
kemiskinan.
Dari
sasaran
kegiatan
tersebut,
langkah
pertama
yang
ditempuh
adalah
mengidentifikasi
warga
miskin
di
suatu
lokasi.
Identifikasi
ini
berhubungan
dengan
prioritas
dan
ketepatan
target
sasaran
program.
Namun
untuk
beberapa
lokasi,
identifikasi
masyarakat
miskin
ini
harus
dilakukan
dengan
cermat
‐‐seperti
halnya
di
Kelurahan
Panggungrejo‐‐
khususnya
terkait
dengan
standar
kemiskinan
yang
sebaiknya
dilihat
secara
fleksibel
untuk
daerahnya.
“Di
sini
sulit
menentukan
standar
masyarakat
miskin.
Contohnya,
masyarakat
miskin
standarnya
tidak
boleh
memiliki
saluran
air
PAM.
Sulit
kalau
di
sini,
karena
daerah
laut,
airnya
asin,
mana
mungkin
tidak
pakai
air
PAM?
Contoh
lain
lagi,
masyarakat
miskin
standarnya
tidak
boleh
memiliki
rumah
yang
berlantai
keramik.
Di
sini
juga
tidak
bisa
menerapkan
standar
itu
karena
air
dari
bawah
tanah
di
dalam
rumah
kadangkadang
naik
ke
atas.
Supaya
air
tanah
itu
tidak
naik
caranya
hanya
dengan
pasang
keramik.
Selain
itu,
dengan
memasang
keramik,
juga
menghindari
tembok
rumah
yang
mudah
basah
dengan
naiknya
air
tanah.”
(Dikisahkan
oleh
DAW,
Lurah
Panggungrejo,
Senin,
22
Juni
2009)
Sulitnya
menentukan
standar
masyarakat
miskin
di
Kelurahan
Panggungrejo
sebenarnya
bukan
masalah
yang
besar.
Jika
disimak
penjelasan
Lurah
Panggungrejo,
BKM,
dan
cerita
singkat
para
relawan,
selama
ini
mereka
bekerjasama
dengan
baik
dengan
pihak
kelurahan.
Kerjasama
itu
ditekankan
pada
masalah
koordinasi.
Tujuannya
adalah
jangan
sampai
kegiatan
pembangunan
kelurahan
tumpang‐tindih
dengan
kegiatan
BKM.
Di
pihak
yang
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
97
DRAFT
FINAL
REPORT
lain,
BKM
juga
mengatakan
hal
serupa.
Selama
ini
terjalin
kerjasama
yang
baik
antara
BKM
dengan
pihak
kelurahan.
Jika
pihak
kelurahan
dan
BKM
saling
setuju
dengan
adanya
kerjasama
yang
baik,
maka
tidak
demikian
halnya
dengan
pendapat
PW,
faskel
pertama
pelaksanaan
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
Panggungrejo.
Sebagaimana
yang
diucapkan
pada
saat
FGD
Faskel
pada
hari
Selasa
tanggal
23
Juni
2009,
bahwa
di
Kelurahan
Panggungrejo
Lurah
kurang
percaya
kepada
masyarakat
‐‐lebih
percaya
kepada
Faskel.
Rasa
kurang
percaya
itu
menurut
faskel
muncul
karena
masyarakat
Panggungrejo
berpendidikan
rendah.
Pernyataan
ini
sejalan
dengan
apa
yang
pernah
diutarakan
oleh
Lurah
setempat
kepada
Tim
Studi
bahwa
sulit
membangun
masyarakat
di
Panggungrejo
karena
SDM‐nya
rendah.
Dengan
kata
lain,
sejak
awal
Tim
Studi
Kerelawanan
menangkap
adanya
“stigma”
yang
ditempelkan
pada
masyarakat
Panggungrejo
bahwa
mereka
terbelakang,
dan
semacamnya.38
Hambatan
pelaksanaan
kegiatan
di
Panggungrejo
justeru
muncul
dari
kalangan
internal
BKM
sendiri,
terutama
dari
Koordinator
BKM
yang
sebelumnya.
Penjelasan
dari
beberapa
anggota
BKM
yang
mengemuka
saat
pelaksanaan
FGD
BKM
dan
UP‐UP
pada
hari
Jum’at,
19
Juni
2009
dapat
dijadikan
rujukan
dalam
menangkap
dan
menyimpulkan
awal
hal
ini.
“Koordinator
yang
lama39
pergi
meninggalkan
BKM
begitu
saja,
tanpa
ada
tanggungjawab
ke
BKM,
sehingga
BKM
sempat
‘pecah’.
Semuanya
terjadi
karena
dia
(koordinator
lama)
bekerja
sendiri
dan
tidak
mempercayai
anggota
BKM
lainnya
untuk
bekerja.”
(Keterangan
dari
M.
Ar,
39
tahun,
anggota
BKM,
Panggungrejo,
19
Juni
2009:
14.00
–
16.20
WIB)
“Koordinator
BKM
yang
lama
pernah
bilang
sama
saya,
‘BKM
jangan
ada
yang
mengundurkan
diri,
kalau
sudah
masuk
ya
sudah
–
jangan
mundur.
Kalau
ada
masalah
saya
bantu’.
Katakata
koordinator
ini
sangat
menolong
kami
yang
38
Kesimpulan
sementara
Tim
Studi
menyepakati
stigmatisasi
seperti
di
atas
justru
semakin
merugikan
masyarakat
setempat,
mereka
selalu
diberi
cap
tertinggal.
Bahkan
penilaian
seperti
ini
diberikan
oleh
BKM‐BKM
kelurahan
lain
di
Kota
Pasuruan.
39
Pada
FGD
tidak
ada
satupun
peserta
yang
mau
menyebutkan
identitas
(nama)
Koordinator
BKM
sebelumnya
itu.
Sejalan
dengan
waktu
dan
dengan
pendekatan
kualitatif,
akhirnya
didapat
nama
Nur,
yang
dimaksudkan
sebagai
Koordinator
BKM
sebelumnya,
yang
dianggap
bermasalah
oleh
para
anggotanya
sendiri.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
98
DRAFT
FINAL
REPORT
berpendidikan
rendah,
karena
beliau
pendidikannya
paling
tinggi
di
antara
kita
semua
(=diploma
tiga).
Memang,
beliau
menolong,
tapi
permasalahannya
justru
pada
cara
kerja
koordinator
yang
semaunya.
Contohnya,
kalau
kerja,
dia
selalu
maunya
di
rumah
salah
satu
anggota
BKM
itu
saja,
di
rumah
Umar
karena
dia
Sekretaris
BKM.
Kita
jadi
tidak
enak
sama
keluarganya
Umar
yang
sepertinya
keberatan
kalau
rapat
selalu
di
rumahnya
mengganggu
katanya.
Umar
sendiri
pernah
mengeluh
kepada
anggota
BKM
lainnya
karena
ditegur
ibunya,
hal
ini
membuat
kita
merasa
tidak
enak.
Tetapi
Koordinator
BKM
tidak
mau
tahu.
Koordinator
ngotot
kerja
di
rumah
Umar
karena
dalam
setiap
rapat
ia
selalu
menggunakan
komputer
punya
bapaknya
Umar.
Akhirnya,
anggota
BKM
jadi
terpecah.
Ada
yang
tetap
rapat
karena
tidak
enak
sama
koordinator,
ada
yang
tidak
ikut
rapat
karena
tidak
enak
sama
keluarganya
Umar.”
(Dituturkan
Sam,
36
tahun,
salah
seorang
anggota
BKM,
Panggungrejo,
Jum’at,
19
Juni
2009)
Dari
penjelasan
di
atas,
dapat
ditarik
kesimpulan
awal
bahwa
kinerja
BKM
tergantung
juga
dari
alat
kerja
pendukung
maupun
inventaris
kerja.
Oleh
karena
itu,
langkah
awal
kegiatan
BKM
agar
mereka
tetap
solid
adalah
dengan
mempersiapkan
komputer
di
kantor
BKM
sebagai
sarana
penunjang
kegiatan
yang
dinilai
penting.40
Kemanfaatan
program
yang
dirasakan
oleh
masyarakat
Panggungrejo
cukup
besar.
Dengan
kehadiran
PNPM‐P2KP
dianggap
mempermudah
aksesibilitas
masyarakat
pada
sarana
dan
prasarana
dasar
yang
selama
ini
agak
sulit
diakses
karena
terbentur
pada
persoalan
birokrasi
(milik
pemerintah
kelurahan).
Seperti
diterangkan
Sam,
36
tahun,
anggota
BKM:
“Paling
tidak
(PNPMP2KP)
meningkatkan
taraf
hidup
di
masyarakat,
….
paling
tidak
untuk
kesehatan
masyarakat
dan
memperlancar
birokrasi
(maksudnya:
menghindari
atau
melawan
birokrasi).
Untuk
kesehatan
masyarakat,
seperti
memperbaiki
saluran
got
menjadi
tidak
bau
dan
enak
dilihat
….
Memperlancar
birokrasi
sama
saja
dengan
memperlancar
ekonomi
masyarakat.”
(Pendopo
Kantor
Lurah
Panggungrejo,
Jumat,
19
Juni
2010)
40
Pada
saat
Tim
Studi
ada
di
Panggungrejo,
di
Sekretariat
BKM
“Anugerah”
‐‐yang
berada
di
bagian
depan
Kantor
Lurah‐‐
terlihat
ada
satu
unit
komputer
beserta
printer.
Menurut
pengakuan
staf
UPK
yang
ada,
sehari‐hari
UPK‐lah
yang
banyak
memanfaatkan
komputer
tersebut.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
99
DRAFT
FINAL
REPORT
Di
sisi
lain,
masyarakat
juga
mendapat
pembelajaran
dan
merasa
dipercaya
untuk
merencanakan
pembangunan
dan
mengelola
sendiri
anggarannya.
“Tidak
penting
dana
besar
atau
kecil,
tapi
yang
penting
peran
masyarakat
dalam
mengelola
dana
untuk
kepentingan
mereka
sendiri.
Selain
itu,
masyarakat
jadi
mengerti
programprogram
pemerintah.”
(M.
Ar,
39
tahun,
Panggungrejo,
Jumat,
19
Juni
2009)
“Pentingnya
kegiatan
harusnya
dilihat
dari
sisi
kebutuhan
dan
skala
prioritas
masyarakat.”
(M.
Kho,
39
tahun,
Panggungrejo,
Jumat,
19
Juni
2009)
Secara
ekonomi,
kegiatan
BLM
ekonomi
bergulir
juga
menghambat
peran
tengkulak‐tengkulak
kecil
yang
selama
ini
menjerat
masyarakat
(nelayan)
dengan
pinjaman
yang
membebankan
bunga
besar.
Di
sinilah
kehadiran
program
dirasakan
sangat
bermanfaat.
“Program
(baca:
P2KP)
bermanfaat
sekali
untuk
masyarakat.
Untuk
mengatasi
tengkulaktengkulak
kecil
dengan
sistem
bank
“titil”
melalui
ekonomi
bergulir.”
(B.
Ul,
38
tahun,
Panggungrejo,
Jumat,
19
Juni
2009)
Sedangkan
yang
langsung
nampak
secara
fisik
dan
langsung
dirasakan
oleh
masyarakat
adalah
perbaikan
rumah
tidak
layak
huni.
Meskipun
sasarannya
baru
beberapa
rumah
dan
sempat
menimbulkan
kecemburuan
warga
yang
belum
menerima,
program
ini
dinilai
masyarakat
sangat
bermanfaat.
“(P2KP)
bermanfaat
sekali
untuk
masyarakat,
terutama
kegiatan
rehab
(baca:
perbaikan)
rumah.”
(M.
SAG,
31
tahun,
Koordinator
BKM,
Panggungrejo,
Jumat,
19
Juni
2009)
“Manfaat
yang
besar
sangat
diharapkan
oleh
masyarakat
.....
walaupun
dana
sedikit,
tetapi
yang
penting
bisa
dinikmati
oleh
masyarakat.”
(Saf,
46
tahun,
Panggungrejo,
Jumat,
19
Juni
2009)
Diakui
bahwa
kemanfaatan
masih
belum
merata,
dan
ini
disadari
benar
sebagai
proses
bertahap
dari
program.
Sekecil
apapun
dana
yang
telah
diterima
masyarakat,
kegiatan
PNPM‐P2KP
bisa
dinikmati
masyarakat.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
100
DRAFT
FINAL
REPORT
Pasang
Surut
Kerelawanan
di
Kelurahan
Panggungrejo
Awal
pembentukan
relawan
di
Kelurahan
Panggungrejo
dimulai
dari
kedatangan
PW,
faskel
pertama
program
ini.
Saat
itu
diadakan
pertemuan
antara
faskel
dengan
warga.
Jumlah
warga
yang
datang
ada
45
orang,
cukup
banyak
terutama
karena
rasa
penasaran
dan
antusiasme
yang
tinggi
dari
warga
untuk
keluar
dari
kemiskinan.
Dari
faskel
mereka
diberitahu
ada
kegiatan
PNPM‐P2KP,
dan
berdasarkan
pemberitahuan
tersebut
dipilihlah
beberapa
relawan
yang
mewakili
lingkungannya
atas
dasar
penunjukan
dari
Ketua
RT.
Saat
itu
terkumpul
35
orang
relawan,
dan
dari
35
orang
itu
kemudian
dilakukan
“seleksi
lanjutan”,
terpilih
berikutnya
25
orang
untuk
dikirim
dalam
pelatihan
dasar
relawan.
Memasuki
fase
berikutnya
‐‐yaitu
pembangunan
BKM‐‐
ke
25
orang
relawan
tersebut
mengikuti
proses
pemilihan
anggota
BKM
bersama‐sama
dengan
calon‐calon
lainnya
di
luar
relawan.
Melalui
proses
pemilihan
yang
terbuka
oleh
warga
secara
langsung.
Setelah
dijelaskan
kriterianya,
setiap
warga
yang
hadir
berhak
memilih
anggota
BKM
untuk
mewakili
lingkungannya41.
Dari
pemilihan
yang
dilakukan
oleh
warga
dan
setelah
mendengarkan
saran
dari
beberapa
tokoh
masyarakat,
terbentuk
anggota
BKM
yang
berjumlah
13
orang.
Jumlah
ini
tentu
saja
mengikuti
ketentuan
program,
sebagaimana
dijelaskan
oleh
faskel.
Dalam
perjalanannya,
BKM
Kelurahan
Panggungrejo
telah
melewati
masa‐masa
“manis”
dan
“pahit”.
Menurut
M.
Ar,
39
tahun,
salah
seorang
anggota
BKM,
masa‐masa
manis
dimaksud
adalah
masa
ketika
hasil
kerja
BKM
diapresiasi
secara
positif
oleh
warga.
Kepuasan
warga
atas
kinerja
BKM
merupakan
“bayaran”
yang
setimpal
atas
kerja
keras
BKM.
Sedangkan,
masa‐ masa
pahit
adalah
masa
dimana
BKM
“dicurigai”
oleh
warga,
terutama
terkait
dengan
pengelolaan
anggaran.
41
Menurut
informasi
beberapa
relawan
dan
warga
yang
hadir,
prosedur
pemilihan
anggota
BKM
dengan
dasar
“mewakili
lingkungannya”
pada
umumnya
memberi
dampak
negatif.
Diantaranya
muncul
“persoalan”
adanya
anggota
BKM
yang
hanya
mau
memberikan
perhatian
dan
bekerja
untuk
lingkungan
yang
diwakilinya
saja.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
101
DRAFT
FINAL
REPORT
“Karena
dana
tidak
turunturun,
BKM
sempat
tidak
dipercaya
oleh
masyarakat.
Hampir
satu
tahun
lebih
dana
tidak
turun.
Masyarakat
yang
tidak
mengetahui
bahwa
masalah
yang
menghambat
turunnya
dana
ada
di
tingkat
“atas”
bukan
pada
BKM
tetapi
mereka
tetap
ngotot
bahwa
ini
semua
karena
BKM.
Masyarakat
tahunya
BKM
yang
bertanggungjawab
atas
dana.
...............
Tetapi,
dengan
sering
ditagihnya
BKM
sama
masyarakat,
akhirnya
masyarakat
justru
rajin
membentuk
pertemuanpertemuan
dengan
BKM
yang
tujuannya
mengatasi
permasalahan
yang
ada.
Jadi,
untuk
Panggungrejo,
walaupun
dana
tidak
turun,
BKM
tidak
fakum.”
(Diutarakan
oleh
M.
Ar,
39
tahun,
pada
pelaksanaan
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Panggungrejo,
Jum’at,
19
Juni
2009:
14.00
–
16.20
WIB)
Jadi,
jika
dianalisis,
setiap
orang
memiliki
alasan
bermacam‐macam
kenapa
ia
menjadi
relawan.
Alasan
tersebut
merupakan
landasan
dalam
kegiatan
kerelawanannya,
seperti
misalnya
karena
kebiasaan
berbuat
(menolong)
bagi
sesama,
atau
karena
doktrin/ajaran
agama
yang
dipahami,
dan
sebagainya,
sehingga
kadang‐kadang
ada
alasan‐alasan
yang
tidak
pernah
terpikirkan
oleh
kita
sebelumnya.
Untuk
di
Kelurahan
Panggungrejo,
alasan
mereka
menjadi
relawan
berhubungan
langsung
dengan
motivasi
terhadap
satu
hal,
seperti
misalnya
adanya
upaya
untuk
“melawan”
stigma
lore
rel.
Sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya,
stigmatisasi
“negatif”
terhadap
warga
masyarakat
Panggungrejo
ini
ternyata
justeru
mendorong
mereka
untuk
“berjuang”
menghapuskannya.
Hal
ini
terungkap
dari
ungkapan‐ungkapan
yang
muncul
saat
berlangsungnya
FGD
Relawan
Perempuan,
hari
Sabtu
tanggal
20
Juni
2009,
seperti:
ingin
berpartisipasi,
senang
kalau
Panggungrejo
maju,
biar
Panggungrejo
tidak
ketinggalan
dan
tidak
diremehkan,
dan
sebagainya.
Sejalan
dengan
apa
yang
telah
dikemukakan
oleh
para
relawan
perempuan
di
atas;
para
relawan
laki‐ laki
juga
berpendapat
sama.
Dari
hasil
FGD
dengan
para
relawan
laki‐laki,
dapat
ditangkap
beberapa
motivasi
yang
melandasi
kegiatan
kerelawanan
di
Kelurahan
Panggungrejo,
seperti:
(a)
ingin
daerahnya
sukses
seperti
daerah‐daerah
lainnya;
(b)
melihat
lingkungan
yang
tidak
baik
(tidak
ada
saluran
air
di
sekitar
perumahan
warga),
jadi,
tujuannya
agar
lingkungan
menjadi
lebih
bersih
dan
teratur;
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
102
DRAFT
FINAL
REPORT
(c)
mendukung
tujuan
BKM
yang
telah
bekerja
keras;
dan
(d)
untuk
mengumpulkan
pahala
guna
bekal
di
akherat
nanti.
Dari
semua
tujuan
itu,
diakui
oleh
para
beberapa
laki‐laki
bahwa
ada
beberapa
permasalahan
yang
mereka
hadapi
sehubungan
dengan
pelaksanaan
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
Panggungrejo,
antara
lain:
(a)
turunnya
dana
memakan
waktu
yang
sangat
panjang;
(b)
kualitas
SDM
yang
rendah
membuat
mereka
kesulitan
dalam
menulis
laporan
maupun
proposal
yang
sifatnya
resmi;
serta
(c)
tidak
pernah
melakukan
studi
banding
ke
daerah
lain
‐‐terutama
yang
telah
sukses
menjalankan
kegiatan
PNPM‐P2KP‐‐
sehingga
tidak
bisa
mencontoh
dan
belajar
dari
yang
telah
berhasil.
Dari
jumlah
relawan
yang
ada
di
Kelurahan
Panggungrejo
terungkap
adanya
masalah
pokok
yang
diungkapkan
oleh
para
anggota
BKM
dan
UP‐UP
dalam
mencari
relawan.
Menurut
mereka
kesulitan
mencari
relawan
bukan
karena
faktor
usia,
tetapi
terkait
dengan
ketersediaan
waktu
mereka.
“Orang
yang
tidak
mau
kerja
jadi
relawan
biasanya
sebagian
menjadi
provokator,
tetapi
mereka
transparan
(maksudnya:
tidak
jelas
orangnya
‐‐ hanya
kasak‐kusuk)
dan
jumlahnya
juga
hanya
sedikit.”
(Diutarakan
oleh
M.
Ar,
39
tahun,
Panggungrejo,
Jumat,
19
Juni
2009)
“Selain
masalah
relawan
datang
dari
orang
lain,
ada
juga
masalah
yang
datang
dari
diri
kita
sendiri
yang
menyangkut
program
………
Terus
terang,
saya
tidak
pernah
niat
berhenti
jadi
relawan,
tetapi
kalau
jenuh
sering
karena
program
tidak
jelas.”
(Disampaikan
oleh
BU,
38
tahun,
Panggungrejo,
Jumat,
19
Juni
2009)
Kesulitan
lain
dalam
pelibatan
masyarakat
dalam
kegiatan
kerelawanan
berasal
dari
karakter
keseharian
masyarakat.
Berdasarkan
informasi
dari
pihak
kelurahan,
beberapa
warga
yang
tinggal
di
RW
04
dikenal
sulit
untuk
diajak
kerjasama,
bukan
hanya
oleh
pihak
kelurahan
tetapi
juga
pihak
BKM.
Namun
demikian
pendapat
itu
tidak
sepenuhnya
benar.
Setidaknya
penjelasan
dari
Tim
Faskel
saat
berlangsungnya
FGD
Faskel
di
Kantor
Korkot
menegaskan
hal
tersebut.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
103
DRAFT
FINAL
REPORT
“RW
04
itu
daerah
‘bajak
laut’
(=
daerah
orang
kasar).
Masyarakatnya
keras,
tetapi
bukan
berarti
tidak
bisa
diajak
kerjasama,
justru
mereka
mudah
diajak
kerjasama.
Masalahnya,
karena
sudah
dikenal
sebagai
daerah
keras,
maka
orang
yang
mau
masuk
ke
sana
jadi
enggan,
sehingga
program
tidak
berjalan
mulus
bukan
karena
mereka
saja,
tetapi
dari
pikiran
orang
yang
mau
masuk
itu
sendiri.”
(Diutarakan
oleh
En,
dalam
FGD
Faskel,
Pasuruan,
Selasa,
23
Juni
2009:
10.45
–
13.40
WIB)
Menurut
DAW,
Lurah
Panggungrejo,
diutarakan
bahwa
berdasarkan
pengalamannya
berdiskusi
dengan
pihak
BKM
dan
UP‐UP,
RW
04
dinilai
bermasalah
untuk
kerelawanan
karena:
(a)
kebanyakan
warganya
fokus
ke
laut.
Kondisi
badan
sudah
capek
kerja
di
laut,
jadi
kalau
sudah
sampai
ke
darat
mudah
emosi.
Sulit
jika
dilibatkan
dalam
kegiatan
program;
(b)
karena
kerja
di
laut,
maka
informasi
dari
BKM
kadang
tidak
sampai
ke
mereka
‐‐atau
sampainya
setengah‐setengah.
Dengan
kondisi
seperti
ini,
mereka
menjadi
kurang
paham
dengan
maksud
ajakan
BKM
untuk
menggerakkan
nilai‐nilai
kerelawanan
di
daerah
itu;
dan
(c)
di
RW
04,
mayoritas
SDM‐nya
rendah.
Di
sini
warganya
paling
banyak
yang
tidak
sekolah.
Menghadapi
kenyataan
itu
BKM
tidak
langsung
menjauhi
RW
04,
biar
bagaimanapun
mereka
masih
memiliki
hubungan
kekerabatan.42
Menurut
Sam,
36
tahun,
strategi
yang
dilakukan
untuk
warga
di
RW
04
adalah
dengan
mendatangi
langsung
ke
lokasi
untuk
memberikan
penjelasan‐penjelasan.
Setelah
mendengarkan
penjelasan‐penjelasan
ini
biasanya
mereka
yang
‘panas’
(baca:
mudah
emosi)
langsung
‘sejuk’
(baca:
tenang).
“Pada
dasarnya
warga
di
RW
04
itu
orangnya
baikbaik,
tapi
karena
informasi
kurang
mereka
jadi
begitu
(maksudnya:
mudah
marah).
Selain
itu,
masalahnya
ada
di
rendahnya
SDM.”
(Diutarakan
saat
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Panggungrejo,
Jumat,
19
Juni
2009)
42
Sebagai
informasi
awal,
antara
pengurus
BKM
dengan
para
relawan
–bahkan
dengan
seluruh
warga‐‐
di
Kelurahan
Panggungrejo
dapat
dikatakan
“bersaudara”.
Fenomena
ini
dibahas
secara
terpisah
di
bab
selanjutnya.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
104
DRAFT
FINAL
REPORT
Beberapa
relawan
ada
yang
memprioritaskan
melakukan
pendekatan
dengan
temannya
terlebih
dahulu.
Menurut
mereka,
kalau
dengan
teman
sendiri
pasti
sudah
tahu
sifatnya
masing‐masing.
Kalau
teman
sudah
tertarik,
baru
diajarkan
caranya.
Contohnya
dapat
diilustrasikan
sebagai
berikut:
Pendekatan
terhadap
beberapa
relawan
yang
sudah
dikenal
sebelumnya
di
lingkungannya
(karena
sering
sama‐sama
membantu
tetangga
yang
sedang
kesusahan,
seperti
mengantarkan
tetangga
yang
sedang
sakit
untuk
berobat
ke
dokter).
Hal
ini
dilakukan
oleh
Nur
(A).43
Dengan
dikenalnya
yang
bersangkutan
sebagai
relawan
yang
baik
di
lingkungannya
maka
hal
ini
membuat
dirinya
mudah
mengajak
tetangganya
untuk
ikut
aktif
pada
kegiatan
program;
Selain
itu,
beberapa
relawan
ada
yang
melakukan
pendekatan
dengan
cara
perlahan‐lahan
agar
mereka
mengerti
tujuan
kegiatan
kerelawanan.
Mereka
umumnya
dikandhani
alonalon
(diberitahu
perlahan‐lahan),
begitu
yang
dikatakan
Imr,
30
tahun).
Menurut
informasi
dari
para
Faskel
pada
saat
pelaksanaan
kegiatan
FGD
Faskel
di
Kantor
Korkot
Pasuruan
(Selasa,
23
Juni
2009:
10.45
–
13.40
WIB),
permasalahan
minimnya
nilai
kerelawanan
tidak
hanya
ada
di
RW
04.
Di
RT
01/RW
01
juga
dinilai
minim
kerelawanan
warganya.
Berbeda
dengan
RW
04
yang
warganya
dikenal
keras,
di
RT
01/RW
01
nilai
kerelawanan
minim
karena
masalah
letak
lingkungannya.
RT
01/RW
01
seolah‐olah
menjadi
daerah
yang
terpisah
dengan
Kelurahan
Panggungrejo
karena
menjadi
satu‐ satunya
RT
yang
dibatasi
oleh
tambak
yang
cukup
luas.
Selain
faktor
lingkungan,
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
minimnya
nilai
kerelawanan
di
RT
01/RW
01
yaitu:
rata‐rata
pendidikan
warganya
di
lingkungan
ini
adalah
SMP
atau
yang
sederajat.
Dalam
arti,
rata‐rata
pendidikan
mereka
lebih
tinggi
dibanding
RT‐RT
lainnya.
43
Kebetulan
di
BKM
Panggungrejo
terdapat
dua
nama
Nur,
untuk
memudahkan
mereka
membedakan
dengan
Nur
(a)
dan
Nur
(B).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
105
DRAFT
FINAL
REPORT
Dengan
keterbatasan
di
atas,
relawan
tetap
memiliki
sumbangsih
yang
tidak
sedikit
bagi
masyarakat
Kelurahan
Panggungrejo.
Menurut
pandangan
BKM,
sumbangsih
relawan
beragam,
namun
ada
juga
dari
beberapa
anggota
BKM
yang
hadir
dalam
FGD
sulit
sekali
untuk
menjelaskannya.
Di
antara
yang
hadir,
ada
beberapa
pernyataan
yang
menarik,
seperti
berikut
petikannya:
“Sumbangsih
relawan
sangat
penting,
karena
relawan
selain
bekerja
juga
menikmati
kegiatannya.
Seperti
pembuatan
rabat
(jalan
lingkungan)
yang
pembuatan
dan
pemeliharaannya
dilakukan
melalui
gotongroyong.
Ini
yang
membuat
sumbangsih
relawan
jadi
penting.
Tadinya
rencana
menggunakan
5
(lima)
orang
tukang,
akhirnya
karena
ada
relawan
hanya
menggunakan
2
(dua)
tukang
saja.”
(Disampaikan
M.
Ar,
39
tahun)
“Pekerjaan
seperti
ini
(maksudnya,
pekerjaan
fisik)
kalau
tidak
ada
relawan
tidak
jalan.
Tetangga
ada
yang
mengeluarkan
kue
dan
makanan
untuk
yang
bekerja
….…..
kalau
tidak
ada
relawan,
dana
yang
dikeluarkan
tidak
cukup.”
(Dituturkan
oleh
M.
Kh,
39
tahun)
“Kalau
tidak
ada
relawan,
mungkin
hanya
sedikit
warga
yang
membantu.
Para
warga
jadi
membantu
karena
tidak
enak
sama
tetangga
(=
relawan
yang
merupakan
bagian
dari
warga
di
sekitarnya/tetangga).
Tetapi
tetangga
yang
semacam
itu
hanya
membantu
mengerjakan
saja,
tidak
tahu
maksudnya
(nilai
kerelawanan).”
(Penjelasan
M.
SAG,
31
tahun)
Setelah
melakukan
wawancara
mendalam,
keterangan
mengenai
perjalanan
kegiatan
kerelawanan
yang
tadinya
dinyatakan
mulus
tanpa
hambatan
ternyata
tidak
sebagaimana
yang
disebutkan.
Ada
hal
menarik
yang
diucapkan
oleh
seorang
anggota
BKM,
dua
orang
UP,
dan
dua
orang
relawan
dalam
satu
kegiatan
wawancara
lepas
‐‐dan
tak
terstruktur‐‐
yang
dilakukan
di
rumah
salah
seorang
UP,
pada
hari
Minggu
tanggal
21
Juni
2009
pukul
13.00
–
14.50
WIB.
Dari
wawancara
lepas
tersebut
diuraikan
mengenai
hambatan
kerelawanan
warga
Kelurahan
Panggungrejo
akibat
nilai‐nilai
kepercayaan
rakyat
yang
pudar
dan
menurun.
Kepercayaan
rakyat
(folk
belief)
atau
ada
juga
yang
menyebutnya
dengan
superstitious,
memiliki
beberapa
kategori,
seperti
yang
dituturkan
oleh
Wayland
D.
Hand
(1961),
sebagaimana
disitir
Danandjaja
(1997:155‐160).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
106
DRAFT
FINAL
REPORT
Dari
beberapa
kategori
yang
ditulis
oleh
Hand,
warga
Kelurahan
Panggungrejo
‐‐lengkap
dengan
kebudayaan
pesisirnya‐‐
memiliki
kepercayaan
akan
adanya
alam
gaib,
yaitu
kepercayaan
rakyat
mengenai
para
dewa‐dewa,
roh‐roh,
makhluk‐makhluk
halus,
kekuatan
sakti,
dan
alam
gaib.
Mengacu
kepada
Clifford
Geertz
(1964:16‐29;
1983:19‐36),
terkait
dengan
kepercayaan
rakyat
tentang
adanya
makhluk‐makhluk
halus,
sebagian
besar
warga
Kelurahan
Panggungrejo
percaya
akan
adanya
memedi
dan
dhemit.44
Gambar
4.12.
Lokasi
Makhluk
Halus
Di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan
Sebagian
masyarakat
per‐ caya
adanya
Gendruwo;
yang
oleh
Geertz
termasuk
ke
dalam
jenis
memedi
dan
dhemit.
Sejalan
dengan
apa
yang
diutarakan
Geertz
oleh
(1964:16‐29;
1983:19‐36),
beberapa
menurut
informan,
Gendruwo
di
Panggungrejo
hanya
menetap
di
suatu
Keterangan:
“Lokasi
Gendruwo”
menurut
keterangan
warga
setempat
dilihat
dari
arah
utara
(kiri),
dilihat
dari
arah
selatan
(kanan
bawah),
kondisi
WC
umum
yang
tidak
digunakan
lagi
oleh
warga
karena
sering
diganggu
Gendruwo
(kanan
atas).
tempat
‐‐tidak
jalan
ke
sana‐sini.
Tubuhnya
tinggi‐besar
dan
warna
kulitnya
yang
hitam
pada
bagian
badannya
dipenuhi
dengan
bulu‐bulu
yang
lebat.
Matanya
besar
dan
mempunyai
taring.
Menurut
beberapa
saksi
yang
kemudian
disampaikan
oleh
beberapa
informan,
lokasi
Gendruwo
di
Panggungrejo
berada
di
WC
umum
dan
jalan
setapak
menuju
hutan
bakau.
Lalu
hubungannya
dengan
nilai‐nilai
kerelawanan
adalah
bahwa
para
warga
yang
rumahnya
harus
melalui
“lokasi
Gendruwo”
apabila
ingin
44
Dalam
pemahaman
warga
setempat
memedi
adalah
makhluk
gaib
yang
menakutkan,
sedangkan
dhemit
adalah
makhluk
gaib
setempat
atau
yang
mendiami
tempat‐tempat
khusus.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
107
DRAFT
FINAL
REPORT
menghadiri
rapat
kegiatan
PNPM‐P2KP
di
kantor
kelurahan.
Mereka
umumnya
tidak
berkenan
hadir
apabila
rapat
kegiatan
itu
dilakukan
pada
waktu
malam
hari.
Mereka
lebih
memilih
tinggal
di
rumah
daripada
mengikuti
kegiatan
kerelawanan
PNPM‐P2KP
daripada
harus
melewati
lokasi
itu
‐‐karena
takut
ditampakkan
wujud
asli
Gendruwo
yang
menyeramkan.
Selain
masalah
Gendruwo,
beberapa
warga
juga
mempercayai
adanya
roh
gentayangan
dari
orang
yang
baru
saja
meninggal.
Roh
itu
biasanya
menampakkan
dirinya
di
hadapan
warga
pada
daerah‐daerah
tertentu
karena
ingin
memberitahu
bahwa
ketika
meninggal
dirinya
memiliki
“hutang”
yang
belum
dilunasi.
Karakter,
nilai‐nilai,
dan
belief
yang
ada
di
masyarakat
Panggungrejo
adalah
bagian
yang
harus
dipahami
sebagai
salah
satu
sumber
terkait
dengan
berkurang
dan
menurunnya
peran
kerelawanan.
Pelatihan
yang
diberikan
sebagai
upaya
meningkatkan
sumberdaya
relawan
sebenarnya
dirasakan
manfaatnya,
sayangnya
tidak
ada
tindak
lanjut.
Berdasarkan
wawancara
dan
FGD,
manfaat
dari
pelatihan
yang
didapat
cukup
baik,
terutama
jika
pelatihan
itu
menyangkut
keterampilan
guna
peningkatan
ekonomi
rumahtangga.
Sejalan
dengan
pernyataan
di
atas,
pengetahuan
menjadi
penekanan
bagi
para
relawan.
“Menambah
wawasan,
yang
nggak
tahu
jadi
tahu,
yang
nggak
paham
jadi
paham.”
(Dirangkum
dari
pendapat
para
relawan
‐‐yang
keseluruhannya
hampir
sama‐ ‐
diutarakan
pada
FGD
Relawan
Perempuan,
Panggungrejo,
Sabtu,
20
Juni
2009).
Terkait
dengan
kerelawanan,
informasi
lain
yang
perlu
juga
ditampilkan
di
sini
adalah
masalah
bagaimana
membangun
kerjasama
dengan
pihak
luar
(afiliasi).
Berdasarkan
informasi
dari
para
relawan
dan
anggota
BKM,
pelaksanaan
PNPM‐P2KP
di
Kelurahan
Panggungrejo
belum
menunjukkan
adanya
kerjasama
yang
dilakukan
oleh
BKM/relawan
dengan
pihak‐pihak
lain,
seperti:
swasta,
pengusaha,
pedagang,
dan
lain‐lain.
Hal
ini
terjadi
karena
BKM
merasa
bahwa
pekerjaannya
adalah
sebagai
“pengatur”
penyaluran
dana,
sedangkan
relawan
hanya
sebagai
pelaksana
dari
penyaluran
dana
itu.
Selain
itu,
BKM
berpendapat
bahwa
dalam
menjalin
kerjasama
pasti
membutuhkan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
108
DRAFT
FINAL
REPORT
keterampilan
administrasi,
hal
itu
tidak
dimiliki
oleh
mereka
karena
kondisi
SDM
(baca:
tingkat
pendidikan)
yang
rendah.
“Jangankan
membuat
“surat
permohonan
resmi”
(menyangkut
anggaran)
untuk
kerjasama,
pembuatan
form
pengisian
BAPPUK
saja
kita
sangat
kesulitan.
Kita
ini
di
BKM
sudah
bapakbapak
dan
ibuibu,
susah
untuk
disuruh
belajar
pembukuan.”
(Disampaikan
M.
Ar,
pada
FGD
Relawan
Laki‐laki,
Kamis,
11
Juni
2009)
Masalah
rendahnya
SDM
di
Panggungrejo
ini
berdampak
pada
hubungan
antara
BKM
dengan
faskel.
Masyarakat
yang
memiliki
keterampilan
rendah
merasa
kesulitan
untuk
“mengikuti”
aturan‐aturan
kerja
formal
yang
diberikan/diajarkan
oleh
faskel.
Rasa
frustrasi
karena
“harus”
mengerjakan
hal
yang
sulit
membuat
beberapa
anggota
BKM
pernah
berselisih
paham
dan
ribut
dengan
faskel
‐‐terutama
faskel
pertama,
yaitu
PW.
“Peni
iku
kereng
(Peni
itu
orangnya
tegas),
.....
kita
(BKM)
pernah
tukaran
(berkelahi
dengan
kata‐kata,
ribut,
cek‐cok)
sama
Peni,
karena
kita
disuruh
mengerjakan
hal
yang
sulit
kita
kerjakan.
Bisa
dibilang,
dengan
SDM
di
Panggungrejo,
permintaan
Peni
itu
tidak
mungkin
dikerjakan.
Tetapi
setelah
masuk
pemetaan,
ternyata
kerasnya
Peni
sangat
bermanfaat
buat
kita.
Kalau
dulu
Peni
tidak
keras,
mungkin
kita
tidak
seperti
ini
(baca:
tidak
berjalan
sesuai
harapan).”
(Dikisahkan
oleh
M.
SAG,
Koordinator
BKM
Panggungrejo,
Rabu,
10
Juni
2009)
Pada
kesempatan
yang
sama,
Tim
Studi
menggulirkan
pertanyaan
mengenai
“penghargaan”
yang
didapat
BKM
maupun
relawan
atas
pengabdiannya
di
masyarakat.
Pada
umumnya
‐‐sebagaimana
yang
ditunjukkan
di
kota‐kota
lainnya‐‐
secara
serempak
anggota
BKM
dan
UP‐UP
yang
hadir
mengatakan
bahwa
mereka
tidak
pernah
mendapatkan
penghargaan
dari
pihak
kelurahan
maupun
dari
pihak
luar
Panggungrejo
(KMW,
Korkot,
maupun
faskel).
Selama
ini
yang
ditemui
adalah
penghargaan
yang
diterima
dari
masyarakat
‐‐terutama
penerima
manfaat‐‐
yaitu
dalam
wujud
ucapan
“terima
kasih”
atau
ikut
serta
membantu
sewaktu
ada
pekerjaan
fisik
dan
menyediakan
makanan
kecil
untuk
relawan
dan
masyarakat
yang
sedang
bekerja.
Khususnya
bagi
warga
yang
tidak
atau
belum
pernah
merasakan
manfaat
program
hampir
tidak
ada
yang
memberikan
penghargaan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
109
DRAFT
FINAL
REPORT
kepada
relawan.
Bahkan
dalam
beberapa
kasus
bukan
penghargaan
yang
diterima
tetapi
justeru
ucapan‐ucapan
yang
bernada
curiga
terkait
dengan
penggunaan
anggaran
PNPM‐P2KP.
Hal
ini
mencuat
saat
pelaksanaan
FGD
Relawan
Perempuan
pada
hari
Sabtu,
20
Juni
2009,
sebagai
berikut:
“Selalu
diduga
(akan)
dapat
uang.
Selama
ini
oleh
omongane
wong
(justru
yang
didapat
cerita
buruk
dari
orang
lain)
...
ndak
oleh
opoopo
(tidak
dapat
apa‐ apa).”
(Mai,
26
tahun)
“Wis
pokoke
ra
reken
(sudah,
yang
penting
tidak
usah
ditanggapi).”
(Rob,
29
tahun)
“Kerjasamanya
kurang,
karena
pendidikan
di
sini
rendah.
La
nyangopo
ngrewangi,
wong
kene
ra
dibayar
(untuk
apa
membantu,
orang
tidak
dibayar).”
(Nurw,
39
tahun)
Tim
peneliti
ingin
mengetahui
lebih
jauh
kiat‐kiat
yang
dimiliki
oleh
relawan
(perempuan)
yang
terlihat
santai
saja
dalam
menanggapi
sikap
kurang
menyenangkan
dari
warga
lain
yang
tidak
terkena
manfaat
program.
Tidak
ada
ekspresi
emosi
atau
mimik
yang
kecewa
dari
wajah
mereka;
bahkan
menyampaikannya
dengan
senyum
dan
tertawa.
Pada
FGD
ini,
para
relawan
perempuan
menjelaskan
syarat‐syarat
atau
kiat‐kiat
menjadi
relawan
di
kelurahan
Panggungrejo,
yang
secara
ringkas
sebagai
berikut:
“Sabar,
kuat
mental,
ikhlas,
mbudheg
(=
tidak
mengacuhkan
atau
menanggapi
hal‐hal
yang
tidak
perlu),
percaya
diri,
jujur,
transparan,
gak
oleh
ono
tedeng
alingaling
(=
tidak
ada
yang
perlu
disembunyikan),
opo
eneke
diomongkan
(=
apapun
adanya
harus
dibicarakan
apa
adanya).
Relawan
harus
ada
informasi
dan
pendekatan
diri
pada
masyarakat.”
(Panggungrejo,
Sabtu,
20
Juni
2009)
“Wis
kadung
dadi
relawan,
mosok
njaluk
bayaran.
Nek
sampeyan
welas,
yo
ditompo
rek
.....
(sudah
terlanjur
mau
jadi
relawan,
masa
mau
minta
bayaran.
Tetapi
kalau
anda
kasihan
sama
relawan,
mau
memberi,
ya
kami
terima).”
(Diutarakan
UH,
pada
FGD
Relawan
Perempuan,
Panggungrejo,
Sabtu,
20
Juni
2009)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
110
DRAFT
FINAL
REPORT
Tidak
jauh
berbeda
para
relawan
laki‐laki,
mereka
juga
memiliki
pandangan
yang
kurang
lebih
sama
dengan
BKM,
UP‐UP,
dan
para
relawan
perempuan,
yaitu
bahwa
perlu
ada
“insentif”
sebagai
penyemangat
dalam
bekerja.
Ungkapan
dari
para
relawan
yang
hadir
dalam
FGD
Relawan
Laki‐laki
pada
hari
Jumat
malam
tanggal
19
Juni
2009
di
Pendopo
Kelurahan
Panggungrejo
mengungkapkan
juga
alasan‐alasan
menjadi
relawan
sebagai
berikut:
(a)
karena
jujur
(karakter
ini
dimiliki
oleh
Kus
dan
Cho);
(b)
sering
terlibat
dalam
kegiatan
sosial
atau
ringan
tangan
(suka
membantu)
(karakter
ini
dimiliki
oleh
Ami,
H.
Am,
dan
Mun);
(c)
kalau
diajak
bicara
atau
tukar
pikiran
orangnya
menyenangkan,
terbuka
(berani
mengakui
kesalahan),
dan
tidak
temperamental
(mudah
emosi).
Ditambah
lagi
orangnya
mudah
senyum
dan
sering
bercanda
(karakter
seperti
ini
disampaikan
Nurh
(A)
dan
Halim);
(d)
mudah
diajak
kerjasama
(karakter
menurut
Nurh
(B),
Kus,
dan
Imron);
(e)
sering
memberikan
gagasan‐gagasan
yang
membangun
(karakter
menurut
H.
Rif,
H.
Ach,
dan
H.
Am).
Kelurahan
Kepel
Kelurahan
Kepel,
di
lingkungan
Kota
Pasuruan
dikenal
dengan
“daerah
kambing”,
maksudnya
merupakan
daerah
peternakan
gibas
(jenis
kambing)
dan
domba.
Ternak
kambing
merupakan
usaha
sampingan
bagi
para
petani
di
Kepel.
Baik
petani
tambak
maupun
petani
sawah,
ternak
merupakan
tabungan
untuk
kebutuhan
tak
terduga,
seperti
hajatan
atau
uang
sekolah.
Meskipun
ada
juga
yang
ternak
sapi,
bebek
atau
ayam,
pada
umumnya
kambing
menjadi
pilihan
sebagian
besar
masyarakat
Kepel,
karena
pemeliharaannya
yang
cukup
mudah
dan
ketersediaan
pakan
juga
sangat
banyak.
Kandang
di
sisi
rumah,
belakang
atau
samping
adalah
ciri
khas
rumah
petani‐petani
tersebut.
Hal
inilah
yang
membuat
kegiatan
ekonomi
PNPM‐P2KP
diarahkan
kepada
“ternak
bergilir”
untuk
warga
miskinnya.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
111
DRAFT
FINAL
REPORT
Program
“kambing
bergilir”
yang
berlangsung
di
Kelurahan
Kepel
cukup
inovatif.
Kegiatan
dilakukan
dengan
menyediakan
ternak
untuk
10
KK
(kepala
keluarga).
Satu
KK
mendapat
dua
ekor
kambing.
Jadi
total
Gambar
4.13.
Potensi
Ternak
Kambing
dan
Pertanian
Di
Kelurahan
Kepel,
Pasuruan
kambing
yang
disediakan
ada
20
ekor.
Dua
ekor
kambing
yang
diberikan
kepada
masing‐masing
KK
seluruhnya
betina.
Setelah
kambing
ini
memiliki
keturunan
dan
anaknya
siap
untuk
disapih,
maka
dialihkan
kepada
penerima
yang
lain.
Kegiatan
ini
dinilai
warga
lebih
menguntungkan
dibandingkan
bantuan
dalam
bentuk
uang.
“Jika
diberi
dalam
bentuk
uang,
dibelikan
alatalat
untuk
mencari
kerang
atau
melaut.
Ongkose
pak
puk
(biayanya
impas
saja).
Tapi
kalau
diberi
kambing,
cocok
tok
niki
(sangat
sesuai).
Girang,
wong
boten
gadah
ngonngonan
(senang
sekali,
karena
tidak
memiliki
ternak).”
(Wawancara
dengan
Pak
Sa’i,
35
tahun,
salah
seorang
penerima
program
“Kambing
Bergilir”,
Kepel,
22
Juni
2009)
Bantuan
dalam
bentuk
uang,
jika
dirupakan
menjadi
alat
kerja,
tetap
kurang
memadai,
bahkan
sangat
mungkin
tidak
akan
berkembang.
Sedangkan
ternak,
diharapkan
bisa
dikembangbiakkan,
sehingga
menunjang
ekonomi
masyarakat,
terutama
warga
yang
belum
memiliki
ternak.
Menurut
kacamata
arapat
kelurahan,
PNPM‐P2KP
di
Kepel
dinilai
baik.
Ukuran
penilaian
ini
didasarkan
pada
hubungan
antara
BKM
dengan
pihak
kelurahan,
meskipun
yang
terlibat
dalam
kegiatan
adalah
orang‐orang
yang
selalu
sama,
sebagaimana
kegiatan‐kegiatan
sosial
lainnya.
“BKM
oke,
hubungan
dengan
aparat
baik.
Tapi
yang
bekerja
ituitu
saja.
Saya
pribadi
aktif
ngobrol
dengan
koordinator
BKMnya.
Kami
memanfaatkan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
112
DRAFT
FINAL
REPORT
mahasiswa
AKPER
yang
sedang
PKL
di
sini
untuk
menyerap
aspirasi
(di
RW
Bintingan).
Mereka
ini
kerjasama
dengan
pengurus
BKM.”
(Wawancara
dengan
M.
Cat,
Lurah
Kepel,
Kamis,
18
Juni
2009)
Pelibatan
mahasiswa
Akper
(Akademi
Keperawatan)
yang
sedang
melakukan
praktek
kerja
lapangan
(PKL)
di
Lingkungan
Bintingan,
menurut
penuturan
pihak
kelurahan
disebabkan
karena
di
lingkungan
ini
memiliki
permasalahan
sosial
dan
kesehatan
lingkungan.
Program‐program
yang
ditempatkan
di
lokasi
ini,
dikatakan
selalu
mengalami
banyak
masalah.
Pasang
Surut
Kerelawanan
di
Kelurahan
Kepel
Rekrutmen
relawan
diawali
pada
waktu
sosialisasi
program
pertama
kali
di
kelurahan.
Dalam
rangka
sosialisasi
ini,
melalui
pihak
pemerintah
kelurahan,
faskel
mengundang
masyarakat.
Dari
120
undangan
yang
disebarkan,
80
orang
hadir
atau
4
–
5
orang
mewakili
masing‐masing
RT‐nya.
Dari
sejumlah
itu
kemudian
terpilih
13
orang
untuk
duduk
dalam
kepengurusan
BKM.
Sedangkan
sisanya
yang
lain
sebagian
diserah
dalam
KSM.
Sebagian
besar
anggota
BKM
(5
orang)
berasal
dari
RW
02
atau
lebih
dikenal
sebagai
Dusun
Krajan
yang
berada
di
sekitar
kantor
kelurahan.
Selain
karena
merupakan
pusat
pemerintahan
kelurahan,
di
lingkungan
ini
masyarakatnya
memiliki
pendidikan
yang
relatif
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
RW
lainnya.
Sejak
awal,
jumlah
keterlibatan
relawan
perempuan
yang
terdaftar
memang
sedikit.
Relawan
perempuan
terdaftar
yang
ada,
terpilih
dalam
kepengurusan
BKM.
Sebenarnya
cukup
banyak
potensi
relawan
di
kelurahan
ini,
tetapi
mereka
tidak
terlibat
atau
tidak
dilibatkan
sejak
sosialisasi.
Pada
saat
FGD
relawan
perempuan
diperoleh
informasi
bahwa
mereka
yang
tidak
terdaftar
sebenarnya
ikut
hadir
pada
saat
sosialisasi
awal,
namun
mereka
pulang
duluan45,
sehingga
tidak
sempat
mendengarkan
informasi
tentang
rekruitmen
relawan.
Hampir
seluruhnya,
relawan
perempuan
terdaftar
45
Karena
sosialisasi
dilaksanakan
pada
malam
hari,
sebagian
besar
perempuan
yang
hadir
meninggalkan
lokasi
sosialisasi
pada
pukul
22.00
WIB.
Sementara
itu
sosialisasi
masih
tetap
berlangsung
hingga
tengah
malam.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
113
DRAFT
FINAL
REPORT
maupun
tidak
terdaftar
adalah
para
aktivis
kelurahan,
baik
di
PKK,
Posyandu,
koperasi,
atau
pun
kegiatan‐kegiatan
lainnya.
Faktor
kedekatan
dengan
kelurahan
dan
ketokohan
seseorang
merupakan
salah
satu
aspek
yang
mendorong
keterlibatan
orang
untuk
menjadi
relawan
di
Kepel.
Sebagaimana
disampaikan
oleh
Lurah
Kepel,
sebagian
besar
anggota
BKM,
sebelumnya
telah
dikenal
dalam
jabatan
lain
yang
dekat
dengan
pihak
kelurahan,
seperti
Ketua
RW,
Ketua
Kematian,
Karang
Taruna.
Informasi
ini
diperkuat
oleh
koordinator
BKM
sebagai
berikut:
“Kebetulan
saya
ini
teman
pak
Lurah.
Teman
‘cangkrukan’
(ngobrol,
minum
kopi)
di
warung,
dan
sebagainya.
Saya
dan
pak
Lurah
senang
berteman
dengan
banyak
orang,
dengan
begitu
bisa
lali
utang
(lupa
kalau
ada
hutang).”
(Wawancara
dengan
Khai,
Koordinator
BKM
Kepel,
18
Juni
2009)
Peran
lurah
dalam
penetapan
strategi
program
cukup
besar
di
kelurahan
ini.
Meskipun
dikatakan
bahwa
lurah
tidak
intervensi
terhadap
kegiatan
program,
namun
skenario
pelaksanaan
program
cukup
kental
dengan
peran
lurah
sebagai
orang
nomor
satu
di
kelurahan.
Oleh
karena
itu,
Lurah
mengatakan
dirinya
memiliki
strategi
untuk
menjaring
partisipasi
warganya
dengan
memilih
relawan
dari
ibu‐ibu
muda
yang
tidak
memiliki
pekerjaan
yang
menghasilkan
uang.
Langkah
awalnya
mereka
diajak
bergaul
dan
bersosialisasi
melalui
wadah
PKK.
Dari
kehadiran
mereka
di
PKK
kemudian
dipantau.
Jika
mereka
terlihat
aktif
di
PKK,
maka
bisa
‘ditarik’
ke
BKM.
Dari
penjelasan
ini,
bisa
dikatakan
bahwa
lurah
sebenarnya
punya
peran
kendali
yang
cukup
besar,
terutama
pada
waktu
menentukan
orang‐orang
yang
masuk
dalam
tubuh
BKM
dan
UP‐UP.
Bentuk
kaderisasi
melalui
PKK
memang
bisa
menjaring
orang‐orang
yang
memiliki
kecukupan
waktu
dan
intens
terhadap
kegiatan
di
kelurahan.
Namun
strategi
seperti
ini
juga
merupakan
penghambat
bagi
anggota
masyarakat
yang
lain,
sehingga
enggan
untuk
berpartisipasi
karena
merasa
tidak
kenal
pihak
kelurahan
dan
tidak
diberi
kesempatan
terlibat.
Tidak
mengherankan
jika
orang
yang
terlibat
dalam
kegiatan
yang
satu
dengan
kegiatan
yang
lain,
termasuk
PNPM‐P2KP
adalah
orang
yang
sama.
Mereka
yang
aktif
terlibat
dalam
kegiatan‐kegiatan
itu
pada
umumnya
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
114
DRAFT
FINAL
REPORT
adalah
dari
lingkungan
Krajan.
Sementara
untuk
masyarakat
lore
ban
sepur,
yakni
RW
04
(Lingkungan
Glagah
dan
Lojok)
dan
RW
06
(Lingkungan
Bintingan)
sangat
sedikit
keterlibatannya.
Rendahnya
keterlibatan
warga
dari
RW
04
dan
RW
06
sebagaimana
tersebut
di
atas,
selain
memang
pendekatan
kepada
warga
di
kedua
RW
tersebut
kurang,
diperparah
dengan
pemberian
stigma
sebagai
masyarakat
lor e
ban
sepur
yang
identik
dengan
stereotipe
etnis
(Madura),
miskin,
dan
berpendidikan
rendah.
Stigmatisasi
ini
cukup
jelas
disampaikan
oleh
lurah
dan
koordinator
BKM
ketika
menjelaskan
rendahnya
partisipasi
masyarakat
dalam
kerelawanan
disebabkan
oleh
mayoritas
penduduk
berasal
dari
etnis
Madura
dengan
jumlah
mencapai
90,00
persen
dari
seluruh
jumlah
penduduk.
Stigmatisasi
etnis
ini
dilekatkan
dengan
pemberian
kesan
bahwa
etnis
Madura
memiliki
ciri
perwatakan
yang
malas,
keras
dan
susah
di
atur.
Akibatnya
seperti
yang
tampak
saat
studi
ini
dilaksanakan,
relawan
yang
ada
lebih
banyak
berasal
dari
komunitas
kidule
ban
sepur.
“Untuk
memotivasi
relawan,
woroworo
(pengumuman)
lewat
masjid,
tapi
warga
malas.
Lor
ban
sepur
(sebelah
utara
rel
kereta
api),
agak
susah
memang.
Mereka
adalah
orangorang
madura
yang
keras
dan
susah
diatur.
Tapi
sebenarnya
kalau
dikasih
tahu
gampang,
asal
didatangi
dari
rumah
ke
rumah.”
(Informasi
diperoleh
saat
pelaksanaan
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Kepel,
19
Juni
2009).
Persoalan
dana
juga
dinilai
oleh
para
relawan
setempat
sebagai
kendala
dalam
melibatkan
warga.
“Potensi
relawan
ada,
tapi
ada
persoalan
‘dana’.
Tidak
ada
embelembelnya
berupa
biaya
transportasi,
dll,
sehingga
lama
kelamaan
tidak
tahan.
Kalau
ada
duitnya,
yang
hadir
lebih
banyak.”
(Informasi
diperoleh
saat
pelaksanaan
FGD
BKM
da
UP‐UP,
Kepel,
19
Juni
2009).
Dari
informasi
di
atas,
relawan
punya
pengharapan
bahwa
mereka
juga
mendapatkan
penggantian
biaya
transportasi.
Karena
setelah
mengikuti
cukup
lama
kegiatan
tidak
mendapatkan
apa
yang
diharapkan,
relawan‐relawan
ini
lama‐kelamaan
tidak
mau
terlibat
lagi.
Bentuk
pengharapan
tidak
secara
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
115
DRAFT
FINAL
REPORT
langsung
berupa
penggantian
biaya
transportasi
atau
uang
lelah.
Ada
juga
mereka
yang
terlibat
sebagai
pengurus
BKM
atau
KSM
karena
mengharapkan
bisa
mendapat
prioritas
bantuan
yang
berupa
pinjaman
bergulir.
“Di
sini
warganya
banyak
yang
mau
dijadikan
pengurus
BKM
atau
KSM,
tapi
saya
tahu
yang
ada
di
kepala
mereka
yang
akhirnya
keluar
juga
pertanyaan
dari
mereka
ke
saya,
‘Kapan
utangutangane?’
(=
kapan
kegiatan
pinjaman
uang
diadakan
–
maksudnya,
mereka
dapat
kemudahan
meminjam
uang
kalau
sudah
duduk
dalam
BKM
atau
KSM).”
(Diutarakan
oleh
Khai,
Koordinator
BKM
setempat,
Kepel,
Kamis
18
Juni
2009)
Mata
pencaharian
warga
juga
merupakan
bagian
yang
harus
diperhatikan
dalam
pelibatan
mereka
pada
kegiatan‐kegiatan
program.
Kepel
yang
sebagian
warganya
bekerja
sebagai
petani
penggarap
tambak
(bandeng
dan
udang),
memiliki
siklus
pekerjaan
yang
sangat
tergantung
pada
“pasang
surut
air
laut”.
Pertama,
kalau
air
laut
pasang,
kegiatan
kerelawanan
turun
karena
para
warga
lebih
memilih
mengurusi
tambaknya
(umumnya
tambak
bandeng
dan
udang)
yang
dikhawatirkan
terkena
banjir
dari
air
laut
yang
pasang.
Kedua,
Kalau
air
laut
kebetulan
sedang
surut,
maka
kegiatan
kerelawanan
mulai
meningkat
karena
tambak
mereka
dinilai
aman46.
46
Di
Kepel
jarang
sekali
masyarakat
yang
bekerja
sebagai
nelayan,
karena
laut
di
sekitar
lokasi
tidak
ada
ikannya,
yang
ada
hanya
ubur‐ubur.
Jadi
perekonomian
rakyat
lebih
ke
pertambakan.
(Informasi
ini
didapat
dari
pihak
Kelurahan
pada
tanggal
18
Juni
2009).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
116
DRAFT
FINAL
REPORT
Kotak
4.3.
SUSAHNYA
MENCARI
RELAWAN
DI
KEPEL
(Dikisahkan
oleh
Pak
M.
Catur,
Lurah
Kepel
untuk
Tim
Studi
Kerelawanan)
Konon
suasana
saat
rapat
Pembangunan
BKM
di
Kelurahan
Kepel,
Kecamatan
Bugul
Kidup,
Pasuruan
.........................................................
Menurut
informasi
dari
beberapa
anggota
BKM,
mereka
yang
benar‐benar
relawan
jumlahnya
tidak
lebih
dari
setengah
jumlah
relawan
terdaftar
(=
6
RW
x
5
orang
=
30
orang)
.
Hal
ini
terjadi
karena
mereka
menjadi
relawan
bukan
dari
hatinya
sendiri,
tetapi
ditunjuk
oleh
warga
di
lingkungannya,
terutama
RT
maupun
RW‐nya.
Sama
halnya
dengan
BKM
maupun
UP‐UP.
Contohnya,
Endang
Rintis
(istri
Khairuddin)
yang
keberadaannya
dalam
UPK
juga
atas
dasar
penunjukkan.
Endang
Rintis
adalah
sosok
yang
sebelumnya
dikenal
terlalu
sibuk
dengan
urusan
Koperasi
“Makmur”
yang
berada
di
Kelurahan
Kepel.
Sebagai
bendahara,
waktu
Endang
Rintis
cukup
banyak
tersita.
Oleh
karena
itu,
untuk
kegiatan
sosial
yang
lainnya
ia
terkesan
malas
mengikuti
karena
tidak
memiliki
waktu
luang.
Hal
ini
ditunjukkan
dengan
ketidakhadirannya
setiap
kali
diundang
rapat
oleh
warga.
Akhirnya
pak
Lurah,
pak
RT
dan
RW
turun
tangan.
Mereka
datang
sendiri
mengundang
Endang
Rintis
untuk
hadir
dalam
rapat
warga.
Ketika
rapat
dilaksanakan,
ia
datang.
Ternyata
dalam
rapat
itu
ada
pemilihan
UP‐UP,
dan
Endang
Rintis
terpilih
sebagai
kordinator.
“Wis
kebes
(terlanjur
basah),”
katanya
menanggapi
terpilihnya
ia
sebagai
kordinator
UPK.
Saat
itu
alasan
warga
memilih
Endang
Rintis
karena
keuangan
Koperasi
Makmur
yang
dipegang
olehnya
cukup
berkembang,
sehingga
harapan
itu
juga
mungkin
akan
terjadi
pada
UPK
ke
depan.
(Kantor
Lurah
Kepel,
Kamis,
18
Juni
2009)
4.5.
Kerelawanan
di
Kota
Makassar
Kota
Makassar
dikunjungi
Tim
Studi
Pelembagaan
Kerelawanan
pada
tanggal
13
–
22
Juli
2009,
setelah
jeda
sekitar
dua
minggu
karena
ada
kegiatan
Pemilu
Legislatif
(5
Juli
2009).
Sebagaimana
disebut
dalam
Laporan
Pendahuluan,
Kota
Makassar
dipilih
sebagai
salah
satu
lokasi
kajian
mewakili
fase
P2KP‐2.
4.5.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
Kota
Makassar
adalah
kota
besar
yang
mulai
membenahi
dirinya
menjadi
kota
metropolitan.
Dua
kelurahan
yang
dijadikan
lokasi
studi
kerelawanan
di
kota
ini
adalah
Kelurahan
Maccini,
Kecamatan
Makassar
‐‐ mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerelawanan
tinggi
(highest
level)‐‐
dan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
117
DRAFT
FINAL
REPORT
Kelurahan
Tabaringan,
Keca‐
Gambar
4.14.
Peta
Kota
Makassar
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
matan
Ujung
Tanah
‐‐mewakili
kelurah‐ an
dengan
kategori
kerelawanan
ren‐
dah
(lowest
level).
Kedua
keluraha
tersebut
berada
di
dekat
pusat
perekonomian
rak‐ yat,
yakni
pasar
tradisional.
Kelurahan
Maccini
Kata
“maccini”
berarti
“mau
melihat”,
yang
dapat
diartikan
dalam
dua
interpretasi.
Pertama,
“apa
yang
orang
mau
lihat?”
(di
Maccini),
dan
kedua,
“apa
yang
mau
warga
(Maccini)
perlihatkan
ke
orang
lain?”
Jadi
bisa
ditarik
suatu
kesimpulan
dari
arti
kata
“maccini”
yang
menunjukkan
bahwa
Kelurahan
Maccini
menjadi
acuan
untuk
daerah
lainnya;
baik
dalam
pembangunan
maupun
perilaku
masyarakatnya.
Hal
ini
tidak
berlebihan,
karena
dalam
sejarahnya,
Kelurahan
Maccini
termasuk
kota
tua
hasil
rancangan
Pemerintah
Kolonial
Belanda
yang
memang
saat
itu
dijadikan
acuan
untuk
pembangunan
Kota
Makassar
karena
posisinya
tepat
berada
di
depan
jalan
protokol.
Kelurahan
Maccini
memiliki
luas
wilayah
kurang
lebih
2,600
kilometer
persegi
‐‐atau
setara
dengan
260‐an
hektar‐‐
yang
terdiri
dari
lima
RW
dan
44
RT,
dengan
distribusi
RW
01
dan
RW
02
masing‐masing
terdiri
dari
sembilan
RT,
RW
03
dan
RW
04
masing‐masing
terdiri
dari
10
RT,
dan
RW
05
terdiri
dari
enam
RT.
Total
jumlah
penduduk
kelurahan
ini
adalah
sebanyak
8.541
jiwa
tercakup
dalam
626
KK.
Kelurahan
Maccini
memiliki
kepadatan
sekitar
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
118
DRAFT
FINAL
REPORT
33
jiwa
per
hektar.
Secara
administratif,
Kelurahan
Maccini
memiliki
batas‐ batas
sebagai
berikut:
‐
sebelah
Utara,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Malimongan
Baru,
Kecamatan
Bontoala;
‐
sebelah
Barat
:
berbatasan
dengan
Kelurahan
Maccini
Gusung;
‐
sebelah
Selatan,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Bara
Baraya;
dan
‐
sebelah
Timur,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Maccini
Parang
dan
Kelurahan
Sinrijala,
Kecamatan
Panakkukang.
Dari
sebanyak
8.541
jiwa
jumlah
penduduk
Kelurahan
Maccini,
RW
04
adalah
RW
dengan
jumlah
penduduk
miskin
paling
banyak
di
kelurahan
ini.
Di
RW
04
jumlah
penduduk
seluruhnya
sebanyak
475
KK
‐‐pada
musim‐musim
normal
seperti
sekarang,
sedangkan
setelah
musim
panen
selesai,
jumlah
penduduk
bertambah
hingga
mencapai
500
an
KK.
Dari
total
jumlah
KK
tersebut,
227
KK
di
antaranya
adalah
penerima
BLT
(47,79
persen).
Jika
dibandingkan
dengan
total
KK
di
seluruh
kelurahan,
maka
jumlah
penerima
BLT
di
RW
04
lebih
dari
sepertiga
‐‐persisnya
36,26
persen.
Khususnya
di
RW
04,
mata
pencaharian
warganya
pada
umumnya
adalah
buruh
harian,
tukang
becak,
tukang
batu,
dan
pedagang
asongan.
Kondisi
sosial
masyarakat
Kelurahan
Maccini
secara
umum
dianggap
cukup
keras
‐‐terutama
oleh
warga
yang
tinggal
di
kelurahan
sekitarnya‐‐dan
kondisi
ini
menjadi
ciri
dari
kehidupan
kota
Makassar
pada
umumnya.
Kebetulan,
secara
geografis
Kelurahan
Maccini
terletak
di
tengah‐tengah
kota
yang
ketat
dengan
perebutan
sumber‐sumber
untuk
pemenuhan
kehidupan
warganya.
Dari
pola
kehidupan
masyarakat,
latar
belakang
askriptif,
dan
tingkat
perekonomiannya,
maka
berdasarkan
informasi
berbagai
sumber,
warga
yang
tinggal
di
Kelurahan
Maccini
dapat
dibagi
ke
dalam
beberapa
kategori,
yaitu:
a.
Kategori
warga
asli
Makassar
Adalah
warga
yang
secara
askriptif
berasal
dari
Makassar,
mereka
menempati
wilayah
Maccini
karena
faktor
turun‐temurun.
Akan
tetapi,
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
119
DRAFT
FINAL
REPORT
sebagian
di
antara
mereka
ada
juga
yang
berasal
dari
daerah
lain,
namun
tetap
asli
kelahiran
Makassar
‐‐sehingga
mereka
ini
tetap
dikatakan
sebagai
warga
asli.
Menurut
informasi
dari
pihak
kelurahan,
sekitar
50,00
persen
warga
Kelurahan
Maccini
berasal
dari
warga
asli.
Dari
sejumlah
lima
RW
yang
ada,
warga
asli
tersebar
di
RW
01,
RW
03,
RW
04,
dan
RW
05.
Sebagai
sumber
mata
pencahariannya,
sebagian
besar
warga
asli
bekerja
sebagai
pedagang,
sehingga
menjadi
suatu
pemandangan
yang
umum
jika
terdapat
gerobak‐gerobak
untuk
berdagang
terdapat
di
beberapa
rumah
mereka.
Kehidupan
perdagangan
warga
asli
juga
masih
terlihat
di
pasar
tradisional
pada
malam
hari.
Tidak
hanya
kegiatan
perdagangan
yang
terlihat
“hidup”
pada
malam
hari,
kehidupan
pergaulan
di
antara
warga
‐‐terutama
dari
kelompok
pemudanya‐‐
juga
terlihat
jelas
dari
kegiatannya
berkumpul
di
gardu‐ gardu
tempat
nongkrong
mereka.
Berdasarkan
informasi
para
warga,
dari
gardu‐gardu
tongkrongan
inilah
dimulainya
“perang‐perangan“
(tawuran)
antar‐kelompok
pemuda
yang
sebelumnya
didahului
oleh
pesta
minuman
keras.
Kondisi
gardu
begitu
kontras,
bila
malam
sangat
ramai
dan
mengerikan,
namun
jika
siang
hari
terlihat
sepi
tanpa
seorangpun
terlihat
di
situ.
Bahkan,
di
sekitar
gardu
terlihat
anak‐anak
kecil
terasa
merdeka
bermain
tanpa
perlu
merasa
takut.
Tidak
semua
warga
asli
identik
dengan
ciri
yang
digambarkan
di
atas,
ada
sebagian
warga
yang
bekerja
sebagai
PNS,
dosen,
dan
karyawan.
Kehidupan
perekonomian
warga
asli
juga
bervariasi,
ada
yang
hidup
dalam
garis
kemiskinan,
tetapi
banyak
juga
yang
telah
hidup
mapan.
Begitu
juga
dengan
kehidupan
sosial
para
pemudanya,
ada
yang
telah
lulus
perguruan
tinggi
dan
ada
pula
yang
masih
kuliah
hingga
masih
masa
sekolah.
Beberapa
pemuda
juga
ada
yang
memilih
tinggal
di
rumah
dari
pada
“harus”
ikut‐ikutan
nongkrong
di
gardu.
b.
Kategori
warga
pendatang
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
120
DRAFT
FINAL
REPORT
Adalah
warga
yang
telah
menempati
wilayah
Maccini
dalam
jangka
waktu
yang
cukup
lama,
namun
mereka
bukan
kelahiran
Makassar.
Informasi
dari
pihak
kelurahan
menyebutkan
bahwa
dari
sejumlah
35,00
persen
warga
pendatang,
kebanyakan
berasal
dari
etnis
Bugis,
Toraja,
dan
beberapa
warga
keturunan
China
(khususnya
yang
memiliki
rumah
dan
toko).
Sama
halnya
dengan
warga
asli,
warga
pendatang
juga
hidup
tersebar
menempati
seluruh
RW
yang
ada,
dari
RW
01
hingga
RW
05.
Warga
pendatang
juga
memiliki
tingkat
perekonomian
yang
bervariasi,
ada
yang
miskin
ada
pula
yang
mapan
‐‐bahkan
ada
yang
dapat
dikategorikan
kaya
raya.
Dibandingkan
dengan
warga
asli,
warga
pendatang
lebih
unggul
dalam
tingkat
perekonomian
keluarga.
Walaupun
tersebar,
lokasi
hunian
warga
pendatang
banyak
terdapat
di
RW
01,
RW
02
dan
RW
05.
Dilihat
dalam
konteks
P2KP,
kemanfaatan,
maka
warga
pendatang
lebih
sedikit
yang
berstatus
sebagai
penerima
manfaat
dibandingkan
warga
asli.
c.
Kategori
warga
kontrakan
Adalah
warga
yang
tinggal
di
Kelurahan
Maccini
dengan
cara
mengontrak
rumah
secara
beramai‐ramai.
Satu
rumah
bisa
dihuni
oleh
beberapa
keluarga.
Konsep
hidup
warga
kontrakan
adalah
“mencari
uang”
bukan
untuk
“penampilan”,
kalau
untuk
“penampilan”
lebih
baik
di
kampung
halamannya
sendiri.
Warga
kontrakan
umumnya
berasal
dari
etnis
Jeneponto,
dan
di
Kelurahan
Maccini
mereka
banyak
dijumpai
tinggal
di
RW
03
dan
RW
04.
“Mereka
itu
(=
warga
kontrakan)
pergi
(=
merantau)
mencari
uang.
Model model
rumahnya
memang
begitu.
Orangorang
Jeneponto
di
sini
tinggal
di
rumah
kontrakan
yang
kondisinya
sangat
miskin,
tapi
di
kampungnya
mereka
punya
rumah
bagusbagus.
Menurut
mereka,
rumahnya
itu
ada
di
kampung
halaman,
bukan
di
sini.”
(Seperti
yang
dituturkan
oleh
Abd.
R,
49
tahun,
Ketua
RT
01/RW
04
dan
tokoh
masyarakat
bagi
warga
kontrakan,
Maccini,
Rabu,
15
Juli
2009)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
121
DRAFT
FINAL
REPORT
Dari
kondisi
masyarakat
Kelurahan
Maccini
yang
terbagi
menjadi
beberapa
kategori,
tidak
ada
zonasi
ruang
yang
fixed
(jelas)
terhadap
kategori
warga
yang
ada,
masing‐masing
kategori
memiliki
lokasi
hunian
yang
tidak
mengumpul
sesuai
kategori.
Mereka
hidup
tersebar
dan
berbaur,
tetapi
akan
saling
menyatu
bila
ada
kepentingan‐kepentingan
tertentu
yang
menyangkut
kesatuan
kategorinya.
Menurut
Ach.
H,
58
tahun,
salah
seorang
warga
setempat,
setiap
RW
di
Kelurahan
Maccini
memiliki
hampir
semua
kategori
warga
yang
ada,
namun
secara
existing
mereka
dapat
dikenali
walaupun
tercampur‐baur.
Meskipun
zonasi
ruang
untuk
setiap
kategori
warga
sulit
dilakukan
‐‐ karena
hunian
mereka
yang
berpencar‐pencar‐‐
namun
secara
wujud
fisik,
karakteristik,
dan
fungsi
bangunan,
setiap
RW
di
Kelurahan
Maccini
dapat
diidentifikasi
sebagai
berikut:
‐
RW
01,
terdiri
atas
kantor‐kantor
pemerintah,
khususnya
SKPD
(dinas,
badan,
kantor,
UPTD)
di
lingkungan
Pemerintah
Kota
Makassar,
sekolahan,
lembaga
pendidikan,
dan
tempat‐tempat
kursus.
Beberapa
bagian
lokasi
di
RW
ini
merupakan
permukiman
warga.
Juga,
Di
lingkungan
RW
ini
ada
sebagian
perumahan
dan
permukiman
kumuh,
khususnya
yang
terletak
di
dekat
areal
pemakaman.
‐
RW
02,
terdiri
atas
perkantoran,
pertokoan,
apotik,
praktek
dokter
dan
permukiman.
Di
RW
ini
nyaris
tidak
ditemukan
warga
miskin.
‐
RW
03,
terdiri
atas
perkantoran,
pertokoan,
dan
permukiman
atau
rumah‐rumah
warga.
Tepat
di
belakang
bangunan
sekolah
SMP
Muhammadiyah
tinggal
beberapa
keluarga
miskin,
walaupun
secara
umum
jarang
terdapat
perumahan
kumuh
di
RW
ini.
‐
RW
04,
yang
kerap
disebut
sebagai
“Texas”nya
Maccini
‐‐bahkan
Texas‐ nya
Kota
Makassar‐‐
karena
merupakan
daerah
yang
paling
kumuh
dan
paling
keras
kehidupan
warganya.
Daerah
ini
didominasi
oleh
rumah‐ rumah
warga
yang
padat,
rapat,
dan
kumuh.
Rumah‐rumah
kumuh
bertingkat
dari
bahan
kayu
tersebar
dan
mudah
ditemukan
di
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
122
DRAFT
FINAL
REPORT
lingkungan
ini.
Rumah‐rumah
tersebut
umumnya
dihuni
oleh
warga
kontrakan.
Kehidupan
mereka
sangat
tertutup
dan
jarang
terlihat
berbaur
dengan
kategori
warga
lainnya.
‐
RW
05,
terdiri
dari
perkantoran,
beberapa
jenis
usaha
perdagangan,
tempat
kursus,
dan
rumah‐rumah
warga.
Di
RW
ini
hanya
ditemukan
sebanyak
dua
keluarga
miskin.
Kelurahan
Tabaringan
Kelurahan
Tabaringan
berlokasi
di
pinggiran
utara
Kota
Makassar.
Kelurahan
ini
memiliki
areal
yang
tidak
terlalu
luas,
dan
terdiri
dari
lima
RW
dan
25
RT.
Sebaran
RT
tidak
merata,
ada
beberapa
RW
yang
terbagi
dalam
empat
RT
(RW
02,
RW
04,
dan
RW
05),
sementara
RW
01
terbagi
dalam
lima
RT
dan
RW
03
terbagi
dalam
tujuh
RT.
Dari
kelima
RW
tersebut,
RW
01
adalah
RW
dengan
jumlah
keluarga
miskin
terbanyak,
dimana
kantong
kemiskinan
terbesar
ditemukan
di
RT
01.
Di
wilayah
ini,
mata
pencaharian
penduduk
umumnya
tukang
becak,
buruh
bangunan,
dan
buruh
pelabuhan.
Secara
administratif
Kelurahan
Tabaringan
memiliki
batas
wilayah
sebagai
berikut:
‐
sebelah
Utara,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Totaka,
yang
dipisahkan
oleh
Jalan
Cakalang;
‐
sebelah
Barat,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Malimongan
Tua,
Kecamatan
Wajo,
yang
dipisahkan
oleh
Jalan
Yos
Sudarso;
‐
sebelah
Selatan,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Parang
Layang,
yang
dipisahkan
oleh
Jalan
Yos
Sudarso
I;
dan
‐
sebelah
Timur,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Layang,
Kecamatan
Bontola,
yang
dipisahkan
oleh
Jalan
Tinumbu
B.
Pola
permukiman
seperti
halnya
karakter
permukiman
di
perkotaan,
dengan
wilayah
hunian
yang
cukup
padat.
Namun
demikian,
meskipun
padat,
permukiman
di
Kelurahan
Tabaringan
cukup
teratur
dengan
bangunan‐ bangunan
rumah
yang
sudah
permanen.
Menariknya,
wilayah
permukiman
di
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
123
DRAFT
FINAL
REPORT
kelurahan
ini
dikelilingi
oleh
ruko
di
sepanjang
Jalan
Sudarso,
Jalan
Cakalang,
dan
Jalan
Tinumbu.
Kelurahan
Tabaringan
juga
memiliki
keragaman
etnis.
Penduduk
asli
di
sini
adalah
suku
Makassar
dan
Bugis,
dengan
proporsi
jumlah
yang
berimbang.
Sedangkan
penduduk
pendatang
yang
paling
banyak
adalah
etnis
Jawa.
Selain
Jawa,
etnis
lain
yang
cukup
dominan
adalah
etnis
China.
Etnis
China
pada
umumnya
menempati
wilayah
di
sepanjang
Jalan
Sudarso,
Jalan
Cakalang,
dan
Jalan
Tinumbu,
tinggal
di
ruko‐ruko
sepanjang
jalan
tersebut.
Di
samping
itu
masih
ada
beberapa
suku
lain
yang
jumlahnya
tidak
terlalu
besar,
yakni
suku
Mandar
(Polewali)
dan
Toraja.
Penduduk
asli
(Makassar)
umumnya
bekerja
sebagai
buruh
harian,
sedangkan
yang
banyak
menjadi
pegawai
pemerintah
adalah
etnis
Bugis.
Etnis
China
di
sini
umumnya
adalah
kelompok
ekonomi
mapan
yang
memiliki
usaha
di
ruko
dengan
jenis
usaha
elektronik,
kelontong,
plastik
dan
alat‐alat
rumah
tangga,
salon,
dan
berbagai
usaha
lainnya.
Sayangnya
kelompok
etnis
ini
dianggap
tidak
membaur
dan
dicap
sebagai
“orang
kikir”.
“Mereka
ini
kikir
sekali,
tidak
pernah
mau
kasih
sumbangan.
Kalau
Agustusan
tidak
pernah
mau
kasih
sumbangan,
apalagi
(untuk)
PNPM.”
(Seperti
dituturkan
Nur,
warga
setempat,
Rabu,
15
Juli
2009:12.30
WITA)
Mengelilingi
seluruh
areal
Kelurahan
Tabaringan
hanya
membutuhkan
waktu
sekitar
30
menit
dengan
berjalan
kaki.
Ini
memang
bukan
kelurahan
yang
luas,
akan
tetapi
penduduknya
cukup
padat.
Jumlah
penduduk
di
Kelurahan
Tabaringan
‐‐tercatat
pada
bulan
Juni
2009‐‐
mencapai
4.705
jiwa,
terdiri
dari
2.274
jiwa
penduduk
laki‐laki
(48,33
persen)
dan
2.431
jiwa
penduduk
perempuan
(51,67
persen).
Menurut
keterangan
Sekretaris
Kelurahan
setempat,
penduduk
Kelurahan
Tabaringan
rata‐rata
telah
menamatkan
pendidikan
SMA.
4.5.2. Isuisu
dan
Kecenderungan
Umum
Berikut
disampaikan
deskripsi
berbagai
isu
dan
kecenderungan
umum
yang
ditemukan
di
dua
keluarahan
tersebut.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
124
DRAFT
FINAL
REPORT
Kelurahan
Maccini
Ada
keunikan
tersendiri
dalam
mengamati
kerelawanan
di
Kelurahan
Maccini.
Keunikan
itu
terlihat
pada
perbandingan
gender
yang
ada
antara
anggota
BKM
dan
relawan.
Semua
anggota
BKM
di
Kelurahan
Maccini
adalah
laki‐laki,
sedangkan
hampir
semua
relawannya
adalah
perempuan.
Relawan
yang
kebanyakan
perempuan
ini
juga
jarang
yang
memiliki
hubungan
keluarga
dengan
anggota
BKM,
kecuali
Nur
H,
21
tahun,
yang
merupakan
anak
dari
Dja,
Koordinator
BKM
setempat47.
Fakta
di
atas
diperkuat
oleh
kenyataan
yang
ditemui
Tim
Studi
ketika
mengadakan
FGD
Relawan
Laki‐laki,
yang
datang
hanya
enam
orang
‐‐itupun
hampir
seluruhnya
anggota
BKM
dan
UP‐UP.
Sebaliknya,
FGD
Relawan
Perempuan,
yang
hadir
jumlahnya
cukup
besar,
bahkan
kehadiran
relawan
perempuan
“harus
dibatasi”
oleh
Koordinator
BKM
‐‐hanya
10
–
12
orang
saja,
sesuai
rencana
studi.
Pembatasan
jumlah
ini
dimaksudkan
agar
proses
kegiatan
FGD
dapat
berjalan
dengan
tertib,
lancar,
dan
efektif.
Berdasarkan
informasi
dari
anggota
BKM
dan
UP‐UP,
relawan
di
Kelurahan
Maccini
jumlahnya
tidak
banyak;
orangnya
pun
itu‐itu
saja
–
mulai
dari
tahap
pertama.
Hal
ini
disebabkan
karena
warga
lebih
memilih
bekerja
untuk
mendapatkan
uang
daripada
jadi
relawan.
Selain
itu,
karakter
masyarakat
di
Makassar
yang
keras
membuat
beberapa
warga
enggan
untuk
menjadi
relawan,
karena
takut
bila
harus
bersinggungan
dengan
mereka.
“Di
sini
banyak
sekali
hambatan
pelaksanaan
PNPM;
tidak
hanya
dari
masyarakat
miskin
yang
tidak
dapat
bantuan
bergulir
karena
tidak
punya
usaha,
tetapi
juga
dari
orangorang
kaya.
Orang
kaya
ini
ada
yang
mau
dapat
bagian
juga.
Parahnya,
justru
mereka
yang
kaya
ini
yang
akhirnya
jadi
provokator.
Makanya
jangan
heran
kalau
di
masyarakat
ada
warga
yang
padahal
tahu
PNPM
tetapi
kalau
ditanya
PNPM
dia
bilang
tidak
tahu.
Mereka
begitu
karena
sakit
hati.
…
…
…
Saya
sebanarnya
sudah
tidak
kuat
jadi
relawan
di
sini.
jadi
kordinator
dari
tahun
2005
sampai
sekarang.
Padahal
waktu
Periode
II
sudah
mau
mundur,
tetapi
tetap
dipilih.
(Dja,
63
tahun,
Koordinator
BKM,
Maccini,
Rabu,
15
Juli
2009:
15.00
–
17.25)
47
Menurut
Rik,
28
tahun,
faskel
setempat,
hal
ini
terjadi
karena
pada
awal
pembentukan
relawan,
faskel
menghubungi
tokoh‐tokoh
masyarakat
yang
kebanyakan
memang
laki‐ laki.
(Disampaikan
pada
FGD
Faskel,
Makassar,
Minggu,
19
Juli
2009:
16.00
–
18.10)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
125
DRAFT
FINAL
REPORT
BKM
dengan
Lurah
dapat
bekeja
sama.
Hal
inilah
yang
membuat
kegiatan
kerelawanan
di
Kelurahan
Maccini
berjalan.
Salah
satu
faktor
yang
membuat
berjalannya
kerjasama
ini
adalah
adanya
rasa
tanggungjawab
atas
pekerjaannya
masing‐masing.
Salah
satu
wujud
dari
tanggungjawab
itu
berupa:
BKM
selalu
melakukan
laporan
kegiatan
kepada
Lurah
dan
Camat
–
setiap
bulan.
Hal
tersebut
dilakukan
karena
BKM
merasa
perlu
menjalin
hubungan
dengan
Lurah
karena
mereka
tahu
Lurah
sebagai
mitra
BKM.
“PNPM
ini
bagus,
karena
kegiatan
awalnya
dari
masyarakat.
Lurah
menjembatani
apa
yang
diinginkan
masyarakat
itu.
Ini
penting,
harus
dipertahankan
dan
dan
ditingkatkan
–
terutama
peningkatan
anggaran
fisik
kemasyarakatan.
Persoalan
ini
tidak
mudah,
terutama
pada
skala
prioritas.
Inilah
yang
selalu
saya
bicarakan
dengan
BKM
–
tetapi,
apapun
program
yang
diinginkan
oleh
masyarakat
melalui
BKM,
saya
pasti
mendukung.”
(Diutarakan
oleh
H.
Rah,
41
tahun,
Lurah
Maccini,
Rabu,
15
Juli
2009)
Pihak
kelurahan
sendiri
mengakui
bahwa
dengan
adanya
P2KP
di
mana
BKM
menjadi
wadah
dari
operasionalnya,
membuat
pihak
kelurahan
merasa
terbantu
untuk
meningkatkan
pembangunan
di
wilayahnya.
Pekerjaan‐ pekerjaan
dengan
latar
belakang
perbaikan
lingkungan
yang
tidak
terjangkau
oleh
pihak
kelurahan
karena
keterbatasan
anggaran,
dengan
adanya
P2KP
semua
jadi
“ringan”
(terbantu).
Namun,
di
sela‐sela
pembicaraan,
Tim
berusaha
menggali
keterlibatan
Lurah
dalam
kegiatan
P2KP
yang
bertalian
dengan
BKM
untuk
mendapatkan
jawaban
atas
kekhawatiran
tim
bahwa
kinerja
BKM
diatur
oleh
pihak
kelurahan.
“Tidak
..…
tidak.
Saya
tidak
pernah
mengintervensi
kegiatan
BKM.
Begini,
Lurah
ikut
mengusulkan,
tapi
jangan
diartikan
negatif,
seperti
mengintervensi;
maksudnya
Lurah
proaktif.
Caranya
saya
keliling
melihatlihat
lingkungan,
‘apa
yang
dibutuhkan
masyarakat?’
Ketika
keliling,
saya
juga
menemui
warga
yang
mengusulkan
kegiatan.
Apa
yang
dibutuhkan
warga
tersebut,
saya
membicarakannya
dengan
BKM.
Posisi
saya
hanya
menjembatani,
bukan
mengintervensi
atau
mengambil
keputusan.”
(Diutarakan
oleh
H.
Rah,
41
tahun,
Lurah
Maccini,
Rabu,
15
Juli
2009)
Lebih
jauh
disampaikan
oleh
Lurah
setempat
bahwa
selama
ini
justeru
pihak
kelurahan
ikut
kebagian
“persoalan”
yang
terjadi
di
masyarakat,
yang
tentunya
ini
akibat
“ulah”
BKM‐nya.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
126
DRAFT
FINAL
REPORT
“Ada
lagi
hal
lain
kebalikan
dari
itu,
BKM
pernah
mendatangi
Lurah
untuk
meminta
bantuan
melancarkan
kemacetan
dana
pinjaman
bergulir.
Saya
justru
melihat
persoalan
ini
sebagai
persoalan
yang
ada
di
masyarakat
akibat
kinerja
dari
BKM,
yang
akhirnya
menjadi
‘pekerjaan
rumah’
pihak
kelurahan.
Tetapi,
saya
hanya
bersedia
memberi
saran,
tetap
BKM
yang
bekerja.
Waktu
itu
saya
menyarankan,
lain
kali
dana
pinjaman
bergulir
itu
harus
“dikawal”
–
jangan
dilepas
seperti
hibah
saja.
Dari
awal
sekali
harus
sudah
dijelaskan
bentuk
dana
itu
wujudnya
seperti
apa.
Banyak
juga
dana
yang
macet
itu,
sekitar
60
juta,
pak.
….
….
….
Kesalahan
sematamata
jangan
langsung
dilimpahkan
ke
masyarakat.
Saya
tahu
karakter
masyarakat
di
sini,
kalau
kita
sampaikan,
mereka
mau
mendengar.
Permasalahannya
pada
sosialisasinya
saja”.48
(Maccini,
Rabu,
15
Juli
2009)
Seperti
yang
telah
diutarakan
di
awal
paragraf
sub‐bagian
ini,
salah
satu
faktor
yang
membuat
berjalannya
kerjasama
ini
adalah
adanya
rasa
tanggungjawab
atas
pekerjaannya
masing‐masing.
Di
mana
BKM
telah
memahami
posisinya
untuk
menjalin
kerjasama
dengan
pihak
kelurahan;
tetapi
apakah
pihak
kelurahan
dapat
memahami
posisinya
terhadap
BKM.
Lain
paparan
Lurah
–
lain
pula
paparan
BKM.
Menurut
salah
seorang
anggota
BKM,
Lurah
jarang
membantu
kinerja
BKM,
yang
ada
justru
membuat
BKM
pernah
mendapatkan
masalah
dengan
warga
miskin.
Walaupun
demikian,
memang
diakui
oleh
beberapa
anggota
BKM
bahwa
Lurah
pernah
hadir
untuk
menyaksikan
kegiatan
pembangunan
fisik
atas
undangan
BKM.
“Strategi
pemberian
dana
bergulir
yang
diselenggarakan
oleh
BKM
menjadi
kacau
karena
pihak
kelurahan
dan
kecamatan.
Mereka
sering
membuat
pendataan
yang
keliru
mengenai
RTM.
Kelirunya,
warga
luar
yang
tinggal
di
sini
–
yang
kontrak,
oleh
Lurah
diberi
juga
BLT,
Raskin,
dan
sebagainya.
Masalahnya,
karena
RTM
warga
luar
itu
sering
diberi
bantuan
oleh
pihak
kelurahan,
jadi
kalau
kita
(=
BKM)
tidak
beri
bagaimana?
Bisa
marah
orang orang
itu.
Akhirnya,
atas
kesepakatan
rapat
BKM,
kita
hanya
memberi
bantuan
dana
bergulir
untuk
warga
luar
yang
mengontrak
dengan
cara
KTPnya
difoto
kopi
untuk
pendataan.
Tetapi
cara
ini
justru
membuat
kami
susah
karena
banyak
warga
luar
yang
lari
(=
tidak
mau
mengembalikan
pinjaman)
setelah
mendapatkan
uang.
Akhirnya
cara
ini
kita
hentikan.”
(Penjelasan
H.
Rah,
41
tahun,
Lurah
Maccini,
Rabu,
15
Juli
2009)
48
Sosialisasi
dana
bergulir
yang
kurang
jelas
bisa
diakibatkan
dari
salah
satu
pihak;
antara
Faskel
pada
waktu
sosialisasi
awal
atau
relawan
pada
waktu
pelaksanaan
–
saat
BKM
terbentuk.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
127
DRAFT
FINAL
REPORT
Begitu
juga
dengan
masalah
intervensi.
Menurut
beberapa
anggota
BKM,
Lurah
juga
pernah
mengintervensi
kegiatan
BKM.
Beberapa
anggota
BKM
tersebut
menjelaskan
alasan
seperti
berikut:
“Lurah
pernah
mengintervensi
kinerja
BKM,
caranya
dengan
mengutus
orang
kelurahan
(=
staf)
dengan
menekan
BKM
agar
mempercepat
pekerjaan
paving,
padahal
seperti
telah
diketahui,
saat
itu
ada
hambatan
dana.
Seperti
saya
sudah
katakan
sebelumnya,
P2KP
itu
baik
sekali,
cuma
masyarakat
dan
(terutama)
pihak
kelurahan
tidak
mau
sabar
dan
mengerti
proses.”
(Penjelasan
salah
seorang
anggota
BKM,
Maccini,
Kamis,
16
Juli
2009)
“Nah,
itu
mi…,
waktu
pak
Lurah
masuk
sini
(maksudnya,
meninjau
lokasi
yang
sedang
dikerjakan
relawan
bersama
BKM),
tunjuk
sana
–
tunjuk
sini
yang
perlu
diperbaiki.
Dia
kasih
janji
sama
warga,
kalau
yang
ditunjuknya
akan
dikerjakan
BKM.
Saya
tegur
Lurahnya,
jangan
kasih
janji
sama
warga,
nanti
kita
(=BKM
dan
relawan)
yang
susah.
Saat
itu
Lurahnya
masih
yang
lama,
yaitu
pak
Usman,
kejadiannya
kirakira
tahun
2005.
Dia
itu
bikin
repot,
dia
itu
asal
bunyi
(=
bicara)
–
terlalu
gampang
keluar
omongnya.
Kita
ngeri
kalau
dia
masih
jadi
Lurah
di
sini.”
(Penjelasan
salah
seorang
anggota
BKM,
Maccini,
Kamis,
16
Juli
2009)
Komentar
dari
beberapa
anggota
BKM
dan
UP‐UP
terus
berdatangan
mengenai
kiprah
Lurah
dalam
kegiatan
PNPM
MP.
Dari
pernyataan
satu
orang
yang
“berani”
mengungkapkan
adanya
intervensi
terhadap
kinerja
BKM,
memancing
anggota‐anggota
BKM
lainnya
untuk
mengungkapkan
pengalaman
mereka
ketika
bekerja
sebagai
relawan,
yang
merasa
“terganggu”
dengan
tindakan
pihak
kelurahan.
Berikut
sebagian
pendapat
mereka:
“Sejak
adanya
P2KP,
mungkin
sudah
ada
3
lurah
yang
bertugas
di
kelurahan
Maccini,
tapi
hampir
semuanya
tidak
memahami
P2KP.
Sehingga
hal
ini
bisa
menimbulkan
permasalahan
dalam
BKM.
Lurah
sering
mengeluarkan
pertanyaan
yang
mengganggu
BKM,
seperti:
‘kenapa
dana
tidak
turunturun’
dan
‘kenapa
saya
tidak
dibagi
dana?’
Padahal
pertanyaan
ini
oleh
Lurah
sudah
diketahui
jawabannya,
karena
setiap
bulan
kami
selalu
memberikan
laporan
kerja.
Walaupun
sampai
sekarang
laporan
itu
tidak
ada
timbalbaliknya
(=
tidak
direspons).”
(Penjelasan
salah
seorang
anggota
BKM,
Maccini,
Kamis,
16
Juli
2009)
Selanjutnya
dikatakan
oleh
salah
seorang
peserta
FGD
BKM
dan
UPUP,
seperti
berikut:
“Lurah
yang
sekarang
hampir
sama
dengan
Lurah
yang
dulu.
Maksudnya,
‘kelakuannya
seperti
tahu
persis
–
tetapi
tidak
tahu
persis.’
Lurah
tidak
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
128
DRAFT
FINAL
REPORT
memahami
kerja
relawan,
contohnya,
ketika
diundang
rapat
BKM,
Lurah
datang
dan
langsung
bilang,
‘bagibagi
saya
ya!
(=
dana
P2KP)’.”
(Penjelasan
salah
seorang
anggota
BKM,
Maccini,
Kamis,
16
Juli
2009)
Pasang
Surut
Kerelawanan
di
Maccini
Awal
pembentukan
relawan
di
Maccini
tidak
lepas
dari
kunjungan
kerja
tim
dari
Jakarta
yang
dipimpin
oleh
George
Soraya.
Di
antara
kunjungan
kerjanya,
beliau
melakukan
pertemuan
dengan
warga.
Saat
itu
warga
dikumpulkan
di
kantor
kelurahan
melalui
undangan
dari
RT
dan
RW49.
Pada
acara
pertemuan
tersebut
dijelaskan
mengenai
pengenalan
P2KP
dan
di
akhir
pertemuan
ditanyakan
mengenai
kesediaan
warga
yang
ingin
menjadi
relawan
dengan
cara
bekerja
tanpa
gaji.
Masalah
gaji
ini
tidak
menjadi
masalah
utama
bagi
para
warga
yang
ingin
menjadi
relawan,
tetapi
warga
justru
memilih
asuransi
untuk
‘melindungi’
kegiatan
mereka.
Seperti
kita
ketahui
–
dan
telah
diuraikan
pada
bagian‐bagian
sebelumnya
bahwa
Kelurahan
Maccini
terkenal
sebagai
daerah
yang
sangat
keras
dan
rawan
kriminalitas.
Asuransi
diperlukan
untuk
jaga‐jaga
apabila
dalam
pelaksanaan
kerjanya
mendapatkan
‘ganjaran’
dari
warga
yang
tidak
puas.
“Sewaktu
saya
jadi
relawan
(dahulu,
sekarang
staf
UPS)
pernah
dibawakan
bambu,
mau
dipukul.
Mau
dibunuh
kita
sama
masyarakat
yang
tidak
puas.”
(Keterangan
Mul,
47
tahun,
staf
UPS,
yang
dibenarkan
oleh
Sad,
58
tahun,
untuk
menggambarkan
bagaimana
‘kerasnya’
kehidupan
masyarakat
di
kelurahan
Maccini.
Diutarakan
pada
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Maccini,
Kamis,
16
Juli
2009:
20.30
–
22.15
WITA)
Menurut
informasi
dari
Bud,
69
tahun,
selaku
tokoh
masyarakat
dan
relawan
yang
kemudian
terpilih
menjadi
anggota
BKM,
walau
pada
waktu
sebelumnya
(tahap
sosialisasi)
sudah
dijelaskan
bahwa
kegiatan
kerelawanan
tidak
digaji,
para
warga
tetap
mendaftar
sebagai
relawan50.
Saat
itu
belum
diketahui
motivasi
warga
yang
mendaftar,
namun
setelah
melalui
tahap
pelatihan
–
yang
pada
awalnya
para
warga
merasa
antusias
–
pada
akhirnya
49
Informasi
dari
Bas,
54
tahun,
pada
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Maccini,
Kamis,
16
Juli
2009:
20.30
–
22.15
WITA.
50
Rata‐rata
jumlah
warga
yang
mendaftar
untuk
perekrutan
relawan
ada
lima
sampai
10
rang
setiap
RW‐nya.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
129
DRAFT
FINAL
REPORT
beberapa
warga
‘berjatuhan’
(=
mengundurkan
diri)
satu‐persatu.
Alasan
utamanya
ternyata
pada
masalah
uang.
Walau
tahu
menjadi
relawan
tidak
digaji,
tetapi
mereka
tetap
maju
karena
berharap
dari
dana
kegiatan
yang
disebut‐sebut
akan
dikucurkan.
Motivasinya,
karena
mereka
memiliki
pandangan
bahwa
di
antara
dana
untuk
kegiatan,
pastinya
ada
beberapa
bagian
yang
diberikan
kepada
relawan
untuk
keperluan
kerja
mereka,
seperti:
uang
transport,
uang
rapat,
dan
sebagainya.
Kenyataannya
tidak
seperti
itu,
pada
saat
pelatihan
saja
tidak
ada
uang
transport.
Mereka
kecewa
karena
dugaannya
tidak
sesuai
dengan
kenyataan
dan
akhirnya
mereka
mengundurkan
diri.51
“Banyak
yang
mau
jadi
relawan
karena
semuanya
berharap
uang.
Kalaupun
tidak
dari
gaji,
mungkin
bisa
dari
yang
lainnya.
(Diutarakan
oleh
Dja,
63
tahun,
Maccini,
Senin,
16
Juli
2009:
20.30
–
22.15)
Lain
relawan
lain
pula
BKM.
Anggota
BKM
banyak
juga
yang
mundur
seperti
relawan.
Anggota
BKM
yang
mundur
adalah
yang
berasal
dari
pencalonan.
Rata‐rata
beralasan
tidak
ada
waktu.
Menurut
Dja,
63
tahun,
Koordinator
BKM
yang
juga
tokoh
masyarakat
Maccini,
anggota
BKM
yang
terpilih
terbagi
menjadi
dua,
yaitu:
(a)
Anggota
BKM
yang
berasal
dari
relawan
Adalah
anggota
BKM
yang
dipilih
oleh
warganya
karena
para
warga
mengetahui
bahwa
yang
bersangkutan
telah
mengikuti
siklus
kegiatan
P2KP
dari
awal,
termasuk
mengikuti
pelatihan‐pelatihan,
sehingga
kebanyakan
anggota
BKM
dari
kategori
ini
mengerti
program.
(b)
Anggota
BKM
yang
berasal
dari
pencalonan
Adalah
anggota
BKM
yang
dipilih
oleh
warganya
karena
semata‐mata
memenangkan
suara
terbanyak
dalam
pencalonan.
Anggota
BKM
kategori
ini
umumnya
belum
mengerti
kegiatan
P2KP
–
termasuk
51
Menurut
Buddin,
di
RW
04,
di
mana
ia
juga
menjabat
sebagai
Ketua
RW,
pada
awal
perekrutan
relawan,
yang
mendaftar
ada
10
orang.
Setelah
berjalan,
kini
tinggal
dua
orang
saja
yang
aktif;
itupun
termasuk
saya.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
130
DRAFT
FINAL
REPORT
tujuannya.
Bahkan
ada
sebagian
di
antaranya
yang
memiliki
tujuan
untuk
mendapatkan
uang
bila
sudah
masuk
anggota
BKM.
Di
Kelurahan
Maccini
hampir
setiap
relawan
memiliki
pandangan
sendiri
terhadap
pengertian
kerelawanan.
Hal
tersebut
tentunya
berpengaruh
terhadap
motivasi
yang
mereka
miliki
sebagai
relawan.
“Relawan
adalah
orang
gila
kerja.
Artinya,
orang
lain
mau
menilai
(maksudnya,
mengkritik
pekerjaan),
mau
membayar
(maksudnya,
menghargai
pekerjaan)
–
(relawan)
tetap
kerja.”
(Seperti
yang
diutarakan
oleh
Ach.
H,
58
tahun,
dalam
FGD
Relawan
Laki‐laki,
Maccini,
Jumat,
17
Juli
2009:
20.15
–
22.15
WITA)
“Relawan
adalah
orang
yang
mau
bekerja
secara
ikhlas,
tetapi
ingin
mengetahui
apa
yang
mau
dicapai52;
nilai
apa
yang
mau
diberikan
orang
kepada
relawan
itu.”
(Seperti
yang
diutarakan
oleh
Bud,
69
tahun,
dalam
FGD
Relawan
Laki‐laki,
Maccini,
Jumat,
17
Juli
2009:
20.15
–
22.15
WITA)
“Relawan
itu
berarti
keikutsertaan
seorang
dalam
pekerjaan
tanpa
menginginkan
sesuatu.”
(Seperti
yang
diutarakan
oleh
Haf,
51
tahun,
dalam
FGD
Relawan
Laki‐laki,
Maccini,
Jumat,
17
Juli
2009:
20.15
–
22.15
WITA)
Definisi
relawan
yang
dilontarkan
oleh
beberapa
informan
memiliki
inti
pernyataan
yang
sama,
yaitu:
“ikhlas”.
Kata
kunci
“ikhlas”
ini
coba
dikaitkan
oleh
tim
peneliti
dengan
faktor
usia
relawan
(informan),
karena
relawan
yang
ada
usianya
sudah
cukup
lanjut
(rata‐rata
di
atas
50
tahun).
Sumberdaya
pendidikan
masyarakat
yang
terlibat
dalam
kegiatan
kerelawanan
di
P2KP
rendah.
Masyarakat
yang
tinggi
tingkat
pendidikannya
tinggi
jarang
yang
berminat
menjadi
relawan
dengan
berbagai
alasan;
mulai
dari
yang
sibuk
kerja
hingga
tidak
ada
waktu
luang.
Masyarakat
dengan
tingkat
pendidikan
yang
rendah
ini
sebenarnya
juga
sulit
untuk
diajak,
walaupun
52
Kata
“apa
yang
mau
dicapai”
juga
mengandung
pengertian
“apa
yang
akan
didapatkan
oleh
relawan
itu
sendiri”.
Berdasarkan
penelitian
di
lapangan,
ternyata
sebagian
besar
anggota
BKM
maupun
UP‐UP
pernah
menjadi
penerima
manfaat
atas
kegiatan
PNPM
MP;
contohnya:
Buddin
yang
mendapatkan
bantuan
perbaikan
rumah,
Achmad
Hatuna
pernah
mendapatkan
bantuan
dana
bergulir,
dsb.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
131
DRAFT
FINAL
REPORT
demikian,
mengajak
mereka
lebih
mudah
dibandingkan
dengan
yang
berpendidikan
tinggi.
“Di
sini
relawanrelawan
kemampuannya
hanya
menulis
dan
mencatat.
Jadi
bagaimana
mau
melepas
mereka
untuk
pekerjaanpekerjaan
pakai
proposal.”
(Diutarakan
oleh
Bud,
69
tahun,
anggota
BKM
dan
Ketua
RW
04,
Maccini,
Kamis,
16
Juli
2009)
Kotak
4.4.
BAGAIMANA
ORANG
TUA
MEMAHAMI
RELAWAN?
(Dikisahkan
oleh
Pak
Achmad
Hatuna,
Relawan
P2KP
Kelurahan
Maccini
untuk
Tim
Studi
Kerelawanan)
Berikut
potongan
percakapan
seru
‐‐bahkan
(menurut
yang
bersangkutan)
bisa
dibilang
“perdebatan”
antara
tiga
orang
tokoh
P2KP
di
Kelurahan
Maccini
(Djamaluddin,
Koordinator
BKM,
Buddin
dan
Achmad
Hatuna,
keduanya
anggota
BKM).
Percakapan
berlangsung
saat
kunjungan
Tim
Studi
Pelembagaan
Kerelawanan
ke
BKM
“Maccini
Salewangan”.
Tim
:
“Sebetulnya,
kenapa
bapakbapak
mau
jadi
relawan,
apa
karena
usia
bapak
sudah
tua?”
Djamal
:
“Ha
ha
ha
.....
Kita
ini
kalau
bekerja
(maksudnya,
dalam
lingkup
kegiatan
kerelawanan
P2KP)
kita
jadikan
ibadah,
seolaholah
ada
bantuan
dari
Allah
SW,
dan
juga
(selain
itu)
untuk
menjaga
kesehatan
badan.
Kalau
tidak
ada
pekerjaan
badan
sakit
semua.
Apalagi
maunya
tidur
saja.”
Buddin
:
“Kalau
(agama)
Islam
tidak
dipahami
dengan
baik,
maka
tidak
muncul
dari
diri
untuk
mengarahkan
diri
sendiri
dan
orang
lain
untuk
melakukan
tujuantujuan
yang
baik.”
Achmad
:
“Tuhan
tidak
buta.
Kerja
jadi
relawan
memang
tidak
dapat
apaapa,
tetapi
ketika
sampai
di
rumah
ada
saja
rezeki.
Entah
ada
orang
yang
memberi
pekerjaan,
dan
sebagainya.”
Kita
sadar
bahwa
kita
ini
sudah
tua‐tua,
tapi
mau
bagaimana
lagi.
Kalau
kita
berhenti
(jadi
relawan),
habislah
relawan
di
PNPM
ini.
Regenerasi
sulit
sekali.
Di
sini
anak‐anak
mudanya
punya
karakter
‘berani
menantang
gaji’,
makanya
banyak
yang
menganggur.
Kalau
yang
dibayar
saja
dia
berani
tawar‐tawar
apalagi
jadi
relawan
yang
tidak
dibayar
–
mana
mau
mereka.”
(Maccini,
Jumat,
17
Juli
2009:
20.15
–
22.15
WITA)
Ini
loh
bedanya
.....
saya
sampai
bilang,
“.....
nek
ngenthit,
yo
ngenthito.
Ning
sing
ora
Dari
informasi
terangkai
di
atas,
rupanya
sumberdaya
masyarakat
yang
ketara.”
(Jika
mau
mengambil,
silakan.
Tetapi
jangan
kelihatan
mencolok
mata).
Hal
seperti
ini
kalau
di
Made
(=
tempat
bertugas
yang
lama),
wis
ora
keduman
(=
sudah
pasti
terbatas
dapat
menggerakkan
hati
beberapa
anggota
warga
di
Kelurahan
tidak
kebagian).
Jembatan
dari
pasir
saja
dananya
habis
100
juta.
Maccini
untuk
“berani
tampil”
menjadi
relawan
P2KP.
Di
lain
pihak,
(Kantor
Lurah
Karangpoh,
Senin
15
Juni
2009:
15.00
–
16.30
WIB)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
132
DRAFT
FINAL
REPORT
keterlibatan
mereka
sebagai
relawan
memang
didasari
oleh
faktor
usia
yang
sudah
tua
(di
atas
50
tahun)
untuk
“berbuat”
atas
dasar
“tabungan
akherat”;
tetapi
hal
itu
bukan
hanya
sebagai
alasan
utama
mereka
menjadi
relawan,
faktor
kebiasaan
melakukan
perbuatan
sosial
di
masyarakat
juga
menjadi
kunci
keberadaan
relawan.
Berikut
petikan
pernyataan
yang
menjelaskan
bagian
ini:
“Saya
dan
Pak
Dja
dari
‘orang
organisasi’,
kita
sudah
ditempa
untuk
(mengatasi)
masalahmasalah
di
masyarakat.
Kalau
ada
masalah
sama
warga,
saya
merenung
sampai
keluar
air
mata.
Kenapa
masyarakat
yang
mau
dibantu
malah
melawan.
Kalau
sudah
begini,
saya
keluar
rumah
–
masuk
masjid.
Setelah
itu
pulangnya
jadi
tenang.”
(Diutarakan
oleh
Bud,
69
tahun,
Maccini,
Selasa,
21
Juli
2009:
14.00
–
14.40
WITA).
Kelurahan
Tabaringan
P2KP
di
Kelurahan
Tabaringan
sudah
mengalami
dua
kali
fase
pemilihan
BKM.
Menurut
penjelasan
lurah
(PJS),
kegiatan
P2KP
periode
kedua
tidak
sebagus
periode
sebelumnya.
Kelemahan
ini
terjadi
karena
koordinator
BKM
dinilai
tidak
mampu
mendelegasikan
wewenang
kepada
anggota
BKM
yang
lain,
sehingga
dana
mengendap
di
rekening
BKM.
Di
sisi
lain,
terjadi
provokasi
di
masyarakat
yang
menyatakan
bahwa
dana
program
adalah
hibah,
sehingga
perguliran
macet.
Secara
personal
hubungan
antara
aparat
kelurahan
dengan
pelaku
program
baik‐baik
saja.
Masing‐masing
menunjukkan
keakraban
dan
saling
menghormati
satu
sama
lain.
Namun
ketika
dikaitkan
dengan
pelaksanaan
program,
ternyata
antara
BKM
dengan
pihak
kelurahan
tidak
banyak
berkoordinasi,
sekalipun
sekretariat
BKM
berada
di
kantor
kelurahan.
BKM
melibatkan
pihak
kelurahan
pada
waktu
kegiatan
akan
berakhir.
Demikian
juga
faskel,
selama
ini
dirasakan
tidak
banyak
bekerjasama
dengan
pihak
kelurahan.
“Kegiatan
jika
sudah
mau
finishing
baru
melibatkan
kelurahan.
Saya
tahunya
nol.
Saya
ini
orang
kecamatan,
hanya
pelaksana
tugas.
Sekali
datang
sama
saya,
faskel
ketemu.
Seharusnya
ada
laporan
berkala
ke
lurah.
Kan
kalau
ada
apa
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
133
DRAFT
FINAL
REPORT
apa,
atau
ada
tamu
seperti
ini,
lurah
juga
ditanya.
Sehingga
kami
juga
bisa
menjelaskan
bagaimana
perkembangan
kegiatan.”
(Wawancara
dengan
CF,
Pjs.
Lurah
Tabaringan,
Rabu,
15
Juli
2009:
10.00
–
11.00
WITA)
Ada
yang
berpendapat
bahwa
Tabaringan
tidak
pantas
mendapatkan
P2KP,
jika
orientasinya
adalah
lebih
banyak
infrastruktur.
Jika
dilihat
dari
kondisi
lingkungan
setempat,
hanya
ada
satu
lorong
(belakang
gudang)
yang
kondisi
infrastrukturnya
buruk,
yakni
berupa
jalan
tanah
yang
becek
jika
turun
hujan.
Hal
ini
terjadi
karena
lorong
tersebut
bukan
jalan
umum,
melainkan
lahan
milik
pribadi
dan
dianggap
sengketa.
Oleh
karena
itu,
dibiarkan
tetap
apa
adanya.
“Perbaikan
jalan
juga
pernah
diusulkan,
tapi
gak
jadi,
karena
tanahnya
ini
kan
bukan
tanah
kami.
Sebenernya
kalau
hujan
selalu
banjir.
Tapi
ya
sudahlah,
kami
juga
siap
sewaktuwaktu
disuruh
pindah,
meskipun
sudah
bertahuntahun
tinggal
di
sini.”
(Wawancara
dengan
HH,
60
tahun
dan
Has,
43
tahun,
Tabaringan,
Sabtu,
18
Juli
2009:
14.00
–
14.20
WITA)
Sementara
secara
keseluruhan
jalan
lingkungan
yang
ada
di
Tabaringan
dalam
kondisi
bagus
dan
sudah
dikeraskan,
baik
dalam
bentuk
dicor
maupun
paving.
“Sebenarnya
Tabaringan
ini
tidak
pantas
dapat
program
P2KP.
BLT
di
RW
04
ini
saja
hanya
4
orang,
itupun
jika
ditelusuri
tidak
tepat.
Jika
program
diberikan
dalam
bentuk
dana
bergulir,
tidak
tepat.
Mestinya
sosialnya
yang
lebih
banyak,
misalnya
untuk
putus
sekolah.”
(Wawancara
dengan
Har,
warga
RT
02/RW
04,
Sabtu,
18
Juli
2009:
10.30
–
12.00
WITA)
Menurut
desas‐desus
yang
beredar
di
masyarakat,
cukup
banyak
kesalahan
dalam
mekanisme
pelaksanaan
kegiatan.
Bahkan
disinyalir
ada
pengendapan
dana
hingga
Rp
90
juta
yang
tidak
jelas
pertanggung‐ jawabannya.
Hal
ini
disebabkan
karena
kriteria
dasar
penetapan
penerima
manfaat
tidak
dipenuhi
oleh
BKM.
“Ada
90
juta
tidak
jelas
keuangannya.
Ah,
ini
dana
pemerintah,
gak
kembali
pun
gak
apaapa.
Landing
kriterianya
saja
tidak
dipenuhi.”
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
134
DRAFT
FINAL
REPORT
(Wawancara
dengan
Har,
warga
RT
02/RW
04,
Sabtu,
18
Juli
2009:
10.30
–
12.00
WITA)
Jika
periode
pertama
terdapat
kemacetan
dan
pengendapan
anggaran
yang
tidak
jelas,
pada
periode
kedua
sosok
koordinator
BKM
dinilai
oleh
beberapa
anggotanya
sangat
birokratis
dan
menyulitkan.
Tidak
berjalannya
kegiatan
seringkali
disebabkan
oleh
ketidakpahaman
koordinator
BKM
tentang
mekanisme
pelaksanaan
kegiatan
yang
ditetapkan
oleh
proyek.
Misalnya,
anggaran
kegiatan
tetap
ditahan
di
rekening
BKM
bukan
diserahkan
kepada
KSM,
sehingga
KSM
tidak
bisa
berbuat
apa‐apa.
Selain
itu,
penguasaan
BKM
oleh
klan
“Golgo”53,
menimbulkan
adanya
gap
di
tubuh
BKM,
yaitu
antara
yang
pro‐Koordinator
BKM
dan
yang
kontra
Koordinator
BKM.
Klan
inilah
yang
menguasai
seluruh
lahan
aktivitas
di
lingkungan
Kelurahan
Tabaringan.
“Dalam
BKM
itu
sebenarnya
serba
salah,
karena
dikuasi
oleh
satu
klan.
Semua
tanah
dan
lahan
aktivitas
dikuasai
oleh
klan
mereka
(koordinator
BKM).
Mulai
dari
TPS,
KPPS,
dan
sebagainya.
Apalagi
sekarang
ada
saudaranya
yang
terpilih
duduk
di
DPRD
dari
Golkar.”
(Wawancara
dengan
Har,
warga
RT
02/RW
04,
Sabtu,
18
Juli
2009:
10.30
–
12.00
WITA)
Demikianlah,
hingga
studi
ini
dilaksanakan,
BKM
baru
yang
terbentuk
belum
banyak
melakukan
apa‐apa
dan
terkesan
stagnan.
Hubungan
antara
BKM
dan
faskel
yang
tidak
harmonis,
menambah
lambannya
pelaksanaan
program
di
kelurahan
ini.
Pasang
Surut
Kerelawanan
di
Kelurahan
Tabaringan
Tidak
mengherankan
jika
Kelurahan
Tabaringan
dikategorikan
sebagai
kelurahan
yang
kerelawanananya
rendah,
karena
selama
tim
studi
berada
di
kelurahan
ini,
kesulitan
menemui
masyarakat
yang
disebut
relawan
dalam
progam.
Bahkan
ketika
dilakukan
FGD
relawan
pun,
yang
terjadi
adalah
mobilisasi
massa,
sehingga
ketika
ditanya
sejak
kapan
terlibat
dalam
program,
53
Klan
“Golgo”
adalah
salah
satu
peristilahan
untuk
menyebut
keluarga
Udin
Golgo.
Gaya
premanisme
yang
ditampilkan
keluarga
Udin
ini
diturunkan
oleh
ayahnya
yang
seorang
tentara.
Kekuasaannya
masih
menguasai
pasar
hingga
masjid
di
Kelurahan
Tabaringan
dan
sekitarnya.
Sasaran
palaknya
adalah
anak‐anak
Jawa.
Kelurahan
Tabaringan
dikuasai
oleh
orang‐orang
Makassar
sebagai
etnis
mayoritas.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
135
DRAFT
FINAL
REPORT
jawaban
yang
diberikan
adalah
“baru
pertama
kali
ikut”
(pada
waktu
FGD
relawan
yang
dilakukan
tim
studi).
Relawan
yang
tergabung
di
BKM
pada
umumnya
berpendidikan
tinggi.
Rendahnya
kerelawanan
di
Kelurahan
Tabaringan
karena
rekruitmen
atau
pelibatan
relawan
dalam
kegiatan
program
hanya
“copot‐copot”
saja.
Kesulitan
untuk
mendapatkan
relawan
di
Tabaringan
adalah
cerminan
bahwa
memang
sangat
sedikit
orang
yang
mau
terlibat
dalam
kegiatan
P2KP
di
kelurahan
ini.
Beberapa
yang
terlibat
tidak
jarang
memanfaatkan
kegiatan
ini
sebagai
media
popularitas
untuk
eksistensi
diri,
khususnya
bagi
mereka
yang
terlibat
pencalonan
legislatif.
Di
sisi
lain,
menjadi
anggota
BKM
dinilai
merupakan
prestise.
“Motivasi
saya
ikut
di
PNPM
karena
didorong
faktor
keingintahuan
dan
saya
butuh
wadah
sehingga
saya
bisa
kerja
sosial.
Secara
politis,
memang
ada
prestise
tersendiri
jadi
pengurus
di
situ.”
(Wawancara
dengan
Har,
warga
RT
02/RW
04,
Sabtu,
18
Juli
2009:
10.30
–
12.00
WITA)
Beberapa
relawan
lain
mengatakan
bahwa
keterlibatannya
dalam
program
karena
ingin
menyelaraskan
antara
provisi
dengan
sosial.
Namun
demikian,
mekanisme
“copot‐copot”
yang
diterapkan
oleh
BKM
dalam
pelibatan
relawan
membuat
keterlibatan
seseorang
untuk
menjadi
relawan
di
kelurahan
ini
lebih
banyak
berorientasi
pada
perolehan
imbalan
yang
akan
diterima.
Misalnya
saja
salah
seorang
ibu
rumah
tangga
mengatakan
bahwa
dia
terlibat
pada
waktu
pendataan
karena
diberi
imbalan
Rp
800,‐
per
rumah.
Setelah
itu
tidak
terlibat
lagi
karena
tidak
mendapatkan
pinjaman
dari
dana
BLM.
“Dulu
saya
pernah
ikut
datadata
KK
itu,
diminta
oleh
Pak
Bahar,
katanya
saya
Kader.
Ada
honornya,
per
KK
Rp
800,.
Waktu
itu
saya
lagi
hamil,
jalan
siang siang
untuk
mendata.
Sebenarnya
di
RT
sini
banyak
nama
yang
didata,
tapi
yang
terima
ternyata
hanya
1
orang
yang
ambil.”
(Keterangan
Har,
29
tahun,
warga
Lorong
Gosip,
Sabtu,
18
Juli
2009)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
136
DRAFT
FINAL
REPORT
Imbalan
dalam
pelaksanaan
kegiatan
apa
pun
di
kelurahan
ini,
sepertinya
menjadi
sebuah
keharusan54.
Karena
jika
tidak
demikian,
maka
tidak
akan
ada
yang
berminat
untuk
terlibat,
apalagi
menjadi
relawan.
Selain
memang
masyarakat
lebih
berorientasi
pada
pemenuhan
kebutuhan
ekonomi,
budaya
setempat
tentang
nilai‐nilai
kegotong‐royongan
dan
kegiatan
sosial
sudah
makin
menipis.
Orang
yang
terlibat
dalam
kegiatan‐kegiatan
sosial
selalu
orang
yang
sama.
“Di
Tabaringan
ini,
setiap
ada
kegiatan
di
kelurahan,
ya
hanya
ituitu
saja.
Selalu
di
RW
5.
RT/RW
saya
gak
pernah
dilibatkan
kegiatan.
Infrastruktur
juga
dikerjakan
oleh
tukang
saja.
Kalau
mau
ngajak
orang,
“Ngapain
sih
ngurusin
begitubegituan,
mending
ngurusin
rumah.”
(Wawancara
dengan
Har,
warga
RT
02/RW
04,
Sabtu,
18
Juli
2009:
10.30
–
12.00
WITA)
“Depan
rumah
juga
ada
kontraktor
yang
benerin
jalan.
Ya,
kita
tidak
ikut
kerja
sih,
palingpaling
bantuin
yang
di
depan
rumah
kita
saja.
Kan
sudah
ada
tukang
yang
dibayar.”
(Wawancara
dengan
Jum,
30
tahun,
warga
RW
01,
Sabtu,
18
Juli
2009:
13.15
–
13.30
WITA)
Memang
semua
hal
di
kelurahan
ini
tidak
gratis
lagi.
Sangat
sulit
menemukan
relawan
yang
datang
tanpa
mengharap
imbalan.
Tidak
mengherankan
jika
rekruitmen
relawan
P2KP
tidak
diminati
oleh
masyarakat.
Karakteristik
masyarakat
pada
umumnya
yang
bekerja
sebagai
pedagang,
sangat
berhitung
soal
waktu
untuk
kegiatan
ekonomi.
“Sulitnya
mencari
relawan
terkait
dengan
karakteristik
masyarakat
setempat.
Terjadi
karena
masyarakat
di
situ,
apalagi
yang
rumahnya
dekat
pasar
aktivitasnya
berdagang.
Menjadi
sulit
untuk
mencari
relawan
yang
punya
waktu
di
sekitar
situ.
Sedang
di
wilayah
lain
(RW
02)
kecenderungannya
masyarakat
komuter
(sering
keluar
kota),
sehingga
juga
tidak
banyak
yang
punya
intensitas
waktu
untuk
lingkungannya.”
(Disampaikan
oleh
Muf,
faskel,
Kantor
Korkot
Makassar,
Sabtu,
19
Juli
2009:
17.00
–
20.00
WITA)
54
Dalam
kesempatan
yang
sama,
tim
menjumpai
sekelompok
ibu
pulang
dari
suatu
acara.
Setiap
kali
ada
sekelompok
yang
lewat,
pasti
ditangan
masing‐masing
ada
peralatan
dapur
dari
plastik.
Ini
bukan
kali
pertama
tim
menyaksikan
kejadian
serupa.
Untuk
membayar
rasa
penasaran
tim,
maka
tim
bertanya
kepada
warga
tentang
kegiatan
yang
dihadiri
oleh
ibu‐ibu
tersebut.
Ternyata
dalam
kegiatan
apa
pun,
apakah
penyuluhan
kesehatan,
posyandu,
atau
kegiatan
lainnya,
pihak
penyelenggara
selalu
menyediakan
souvenir
berupa
alat‐alat
dapur
atau
sejenisnya
agar
warga
mau
datang.
Jika
tidak
demikian,
maka
tidak
akan
ada
yang
datang.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
137
DRAFT
FINAL
REPORT
Sulitnya
mencari
relawan
ini
benar‐benar
terjadi
pada
waktu
Tim
Studi
bersepakat
dengan
BKM
untuk
melakukan
FGD
Relawan
‐‐Laki‐laki
dan
Perempuan.
Tertangkap
kesan
bagaimana
“kepanikan”
anggota
BKM
untuk
berusaha
memenuhi
jumlah
relawan
yang
diminta
oleh
Tim
‐‐yaitu
masing‐ masing
10
orang,
dan
sedapat
mungkin
bukan
yang
anggota
BKM
atau
staf
UP‐ UP.
Pada
waktu
hari
H,
kepanikan
dimaksud
semakin
terlihat,
sehingga
mereka
(baca:
para
relawan)
yang
datang
dan
disebut
relawan
dalam
FGD
sebagian
diantaranya
menunjukkan
wajah
yang
kesal
dan
merasa
terganggu55.
Kotak
4.5.
SUSAHNYA
“MENCARI”
RELAWAN
DI
TABARINGAN
(Catatan
Lapangan
Pelaksanaan
FGD
Relawan
di
Kelurahan
Tabaringan,
Makassar)
Jadwal
FGD
yang
sudah
disepakati
oleh
tim
peneliti
dan
BKM
pada
2
hari
sebelumnya,
yaitu
pukul
16.00
WITA
pada
akhirnya
tidak
terpenuhi.
Kehadiran
tim
peneliti
di
lokasi
yang
di
sepakati
(kantor
kelurahan)
untuk
melakukan
kegiatan
tidak
diikuti
oleh
para
relawan.
Walau
sudah
lewat
10
menit
dari
waktu
yang
telah
disepakati,
namun
tidak
satupun
relawan
yang
hadir.
Sepuluh
menit
kemudian,
datang
beberapa
anggota
BKM.
Melihat
kenyataan
ini,
mereka
menjadi
khawatir
dengan
kondisi
yang
dapat
mengecewakan
tim
peneliti.
Langkah
yang
mereka
lakukan
adalah
sibuk
ke
sana‐sini
mencari
relawan.
Terlihat
wajah
Nurlia
begitu
panik
bercampur
kesal.
Motor
Yamaha
Mio
CW
yang
digunakannya
bolak‐balik
mencari
relawan
–
ada
yang
berhasil,
ada
yang
tidak.
Bila
datang
ke
kelurahan
tanpa
hasil;
artinya
tidak
membawa
relawan,
dari
wajahnya
juga
terlihat
sedang
berpikir
keras.
Di
kepalanya
mungkin
sedang
berusaha
mencari‐cari
“siapa
lagi
yang
bisa
‘dijadikan
relawan’”.
Begitu
kira‐kira
analisa
tim
peneliti.
Sudah
pukul
16.30
WITA
–
yang
datang
baru
2
orang
relawan.
Mereka
adalah
Rafika
dan
Nurmala.
Dalam
hubungan
keluarga,
Rafika
adalah
keponakan
dari
Nurmala.
Nurmala
sendiri
mantan
anggota
BKM,
sekarang
dia
sebagai
relawan.
Menurut
keterangan
dirinya,
ia
tidak
mau
lagi
jadi
anggota
BKM
–
lebih
baik
jadi
relawan
saja.
Alasannya,
biar
yang
lain
ikut
merasakan
jadi
BKM
–
jangan
dia
saja.
Hal
itu
terjadi
karena
beberapa
orang
di
luar
BKM
pintar
mengkritik
dan
pintar
bicara,
kalau
sudah
jadi
anggota
BKM,
apakah
mereka
bisa
bekerja?
55
Sebagai
contoh,
Dah,
33
tahun,
seorang
penjahit
(membantu
usaha
modiste
kakaknya),
dan
belum
menikah.
Ketika
datang
wajahnya
tampak
kesal,
seolah
mengatakan
bahwa
dirinya
tidak
ingin
hadir
di
pertemuan
ini.
Barangkali
dia
hadir
karena
dipaksa
adiknya
(Nur)
demi
memenuhi
jumlah
peserta/relawan
10
orang.
Ketika
ditanya
tentang
keterlibatannya
di
P2KP
seperti
halnya
Raf
dan
Ant,
dia
tidak
banyak
bicara
dan
langsung
dijawab
oleh
Nurm
dan
Nur
bahwa
ia
terlibat
membantu
mengantar
undangan
saja.
Dengan
jujur
pula
dia
mengatakan
kalau
dititipin
undangan,
undangan
tersebut
dia
titipkan
lagi
pada
tetangga
terdekat
orang
yang
namanya
tercantum
di
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
138
DRAFT
FINAL
REPORT
Lanjutan
Kotak
4.5.
.....
Sulitnya
“Mencari”
Relawan
Di
Tabaringan
Pukul
16.45
WITA
datang
lagi
2
orang
relawan.
Sesuai
dugaan
tim
peneliti,
2
orang
itu
diragukan
sebagai
“relawan”
–
kemungkinan
besar
adalah
orang‐orang
yang
dimobilisasi
agar
kegiatan
FGD
tetap
berjalan,
sehingga
“wajah
pelaksanaan
kerelawanan
P2KP
di
Tabaringan
terkesan
berjalan.”
Kedua
orang
yang
menyusul
hadir
adalah
Anti
dan
Dahlia.
Penelusuran
kembali
dilakukan,
benar
saja
dugaan
kami,
Anti
adalah
keponakan
Nurlia;
dan
Dahlia
adalah
kakak
kandung
Nurlia.
Tepat
pukul
17.00
WITA
tim
peneliti
tidak
ingin
membuang‐buang
waktu,
‘relawan’
(=
masih
diragukan)
yang
ada
mulai
diwawancara
–
sambil
(masih)
menunggu
kehadiran
yang
lainnya.
Ketika
pertanyaan
demi
pertanyaan
bergulir
untuk
mengungkapkan
jatidiri
para
‘relawan’
tersebut,
wajah
mereka
tampak
kebingungan.
Ada
kesulitan
untu
menjelaskan
keterlibatannya
dalam
kegiatan
P2KP.
Di
antara
4
orang
yang
hadir,
hanya
Dahlia
yang
terlihat
sedikit
mengerti
mengenai
kegiatan
P2KP.
Akhirnya,
pada
pukul
17.05
WITA
tim
peneliti
mengambil
langkah
untuk
melakukan
FGD,
bersamaan
dengan
hadirnya
4
orang
relawan
laki‐laki
secara
serentak.selain
itu,
latar
belakang
kehadiran
mereka
juga
mendapat
perhatian
dari
tim
peneliti.
Mereka
adalah:
(1)
Irfan
–
merupakan
tetangga
dari
Nurlia;
kehadirannya
di
FGD
ini
karena
diajak
oleh
Nurlia
(2)
Taslim
–
merupakan
tetangga
dari
Nurlia;
kehadirannya
di
FGD
ini
karena
diajak
oleh
Nurlia
(3)
Riri
–
merupakan
tetangga
dari
Herlina
Zunaedi;
kehadirannya
di
FGD
ini
karena
diajak
oleh
yang
bersangkutan
(4)
Sal
–
merupakan
tetangga
dari
Herlina
Zunaedi;
kehadirannya
di
FGD
ini
karena
diajak
oleh
yang
bersangkutan.
Riri
dan
Sal
masing‐masing
mengakui
bahwa
baru
hari
ini
dia
“menjadi
relawan”.
Sedangkan
Irfan
dan
Taslim
masing‐masing
mengakui
bahwa
telah
ikut
menjadi
relawan
ketika
BKM
terbentuk.
Oleh
karena
itu,
fokus
dari
FGD
kali
ini
hanya
pada
Irfan
dan
Taslim,
karena
mereka
adalah
pelaku
kegiatan
–
atau
paling
tidak
mengetahui
PNPM
MP;
sedangkan
Riri
dan
Sal
hanya
dimobilisasi.
(Tabaringan,
Makassar,
Jumat,
16
Juli
2009)
Menurunnya
kerelawanan
di
Kelurahan
Tabaringan
menurut
informasi
faskel
disebabkan
oleh
ketidakmampuan
BKM
berperan
sebagai
mediator
dan
motivator.
“Kondisi
kekinian
relawan
di
Tabaringan
sangat
rendah.
Ternyata
BKM
sebagai
mediator
dan
motivator
tidak
berfungsi.
Dari
9
kelurahan
yang
saya
dampingi,
Tabaringan
yang
partisipasi
kerelawanannya
paling
rendah.”
undangan.
Kesibukannya
sebagai
penjahit,
memungkinkan
dia
mempunyai
sedikit
waktu
untuk
ikut
terlibat
dalam
kegiatan
P2KP.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
139
DRAFT
FINAL
REPORT
(Disampaikan
oleh
Ham,
Senior
Faskel,
dalam
FGD
Faskel
di
Kantor
Korkot
Makassar,
Sabtu,
19
Juli
2009
pukul
17.00
–
20.00
WITA)
Namun
demikian,
kenyataannya
faskel
juga
tidak
mampu
mengantarai
gab
yang
muncul
di
tubuh
BKM,
sehingga
fungsi‐fungsi
BKM
di
atas
tidak
berjalan.
4.6.
Kerelawanan
di
Kota
Gorontalo
Kota
Gorontalo
dikunjungi
Tim
Studi
Pelembagaan
Kerelawanan
pada
tanggal
22
–
31
Juli
2009,
yang
merupakan
kunjungan
lapangan
terakhir,
langsung
dari
Makassar.
Sebagaimana
disebut
dalam
Laporan
Pendahuluan,
bersama
Kota
Makassar,
Kota
Gorontalo
dipilih
sebagai
salah
satu
lokasi
kajian
mewakili
fase
P2KP‐2.
4.6.1. Gambaran
Umum
Kelurahan
Sasaran
Kota
Gorontalo
merupakan
salah
satu
dari
empat
kota
utama
di
Sulawesi.
Selain
dikenal
sebagai
Ibukota
Provinsi,
Gorontalo
dikenal
juga
sebagai
salah
kota
perdagangan,
pen‐ didikan,
dan
pusat
Gambar
4.15.
Peta
Kota
Gorontalo
dan
Posisi
Kelurahan
Sasaran
pengembangan
kebudayaan
Islam
di
Indonesia
Timur.
Di
kota
terkenal
yang
dengan
pertanian
padinya
ini,
ditentukan
dua
lokasi
studi,
yakni
Kelurahan
Limba
B
‐‐yang
mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerelawanan
tinggi
(highest
level)‐‐
dan
Kelurahan
Limba
U
Dua
‐‐ yang
mewakili
kelurahan
dengan
kategori
kerelawanan
rendah
(lowest
level).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
140
DRAFT
FINAL
REPORT
Keduanya
berada
di
Kecamatan
Kota
Selatan,
persis
di
pusat
pemerintahan
Kota
Gorontalo.
Kedua
kelurahan
ini
hanya
dibatasi
oleh
Jalan
Basuki
Rahmat.
Karena
letaknya
yang
berdekatan,
dan
bahkan
pada
awalnya
ini
merupakan
satu
kelurahan
yang
dimekarkan,
maka
kondisi
geografis
keduanya
tidak
jauh
berbeda.
Secara
umum
memang
Kota
Gorontalo
berada
di
bentangan
lembah
yang
luas.
Demikian
halnya
Kelurahan
Limba
B
dan
Limba
U
Dua,
seluruh
wilayahnya
merupakan
dataran.
Kedua
kelurahan
ini
juga
sangat
akrab
dengan
banjir.
Nama
“Limba”
sendiri
menurut
informasi
dari
beberapa
warga
berarti
pengaruh
air
yang
mengumpul
atau
tempat
penampungan
air.
Memang
kedua
kelurahan
ini
merupakan
daerah
yang
airnya
sering
meluap
atau
banjir
dan
menggenang
di
beberapa
tempat.
Kelurahan
Limba
B
Kelurahan
Limba
B
memiliki
luas
wilayah
sekitar
11,20
kilometer
persegi
‐‐atau
setara
dengan
1.120
hektar‐‐
dengan
sebagian
besar
lahan
dipergunakan
sebagai
permukiman,
perkantoran
dan
prasarana
umum.
Untuk
mempermudah
pengelolaan
administrasi
kelurahan,
areal
yang
cukup
luas
ini
dibagi
ke
dalam
delapan
RW.
Secara
administratif
Kelurahan
Limba
B
memiliki
batas
wilayah
sebagai
berikut:
‐
sebelah
Utara,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Limba
U
Satu
dan
Kelurahan
Limba
U
Dua;
‐
sebelah
Selatan,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Limbuo;
‐
sebelah
Barat,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Biawao;
dan
‐
sebelah
Timur,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Heledulaa
Selatan.
Berdasarkan
laporan
kependudukan
Kelurahan
Limba
B
bulan
Mei
2009,
jumlah
penduduk
di
Kelurahan
Limba
B
tercatat
sebanyak
5.553
jiwa,
yang
terdiri
dari
2.921
jiwa
penduduk
perempuan
(52,60
persen)
dan
2.632
jiwa
penduduk
laki‐laki
(47,40
persen),
dengan
kepadatan
penduduk
sekitar
lima
jiwa
per
hektar.
Keseluruhan
penduduk
tercakup
dalam
1.470
KK,
dimana
585
KK
diantaranya
termasuk
kategori
KK
miskin
(39,80
persen).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
141
DRAFT
FINAL
REPORT
Jumlah
ini
lebih
kecil
jika
dibandingkan
dengan
data
penerima
manfaat
program‐program
yang
terkait
dengan
pengentasan
kemiskinan
seperti:
Jamkesmas
:
penerimanya
sebanyak
620
KK
atau
1.812
jiwa
(42,18
persen)
PKH
:
penerimanya
sebanyak
28
KK
(1,91
persen)
Raskin
:
penerimanya
sebanyak
147
KK
(10,00
persen)
BLT
:
penerimanya
sebanyak
403
KK
(27,42
persen)
KK
miskin
:
tercatat
sebanyak
585
KK
(39,80
persen).
Sebagai
catatan,
jumlah
penerima
raskin
dalam
beberapa
tahun
terakhir
terus
mengalami
perubahan.
Penerima
raskin
tahun
2004
–
2005
tercatat
sebanyak
360
KK,
tahun
2006
–
2008
penerimanya
tercatat
sebanyak
585
KK,
dan
pada
tahun
2009
penerima
raskin
sebanyak
hanya
sebanyak
147
KK.
Berdasarkan
Dokumen
Perencanaan
Jangka
Menengah
(PJM)
dan
Rencana
Tahunan
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
(Renta
Pronangkis)
yang
dikeluarkan
oleh
BKM
“Mandiri
Sejahtera”
di
Kelurahan
Limba
B
tahun
2005
–
2007,
dari
keseluruhan
KK
(kepala
keluarga)
di
kelurahan
Limba
B,
jumlah
Keluarga
Pra‐sejahtera
dan
Keluarga
Sejahtera
I
ada
376
KK,
sedangkan
jumlah
keluarga
sejahtera
ada
928
KK.
Letaknya
yang
berada
di
tengah
Kota
Gorontalo
membuat
penzoningannya
terlihat
kompleks
dan
beragam.
Hal
ini
juga
berpengaruh
terhadap
mata
pencaharian
para
warganya
yang
juga
ikut
beragam.
Berdasarkan
informasi
dari
pihak
kelurahan
dan
beberapa
warga,
serta
hasil
pengamatan
di
lapangan,
jenis
pekerjaan
yang
paling
banyak
dimiliki
oleh
para
warga
di
Kelurahan
Limba
B
adalah
perdagangan
dan
jasa,
namun
sebagian
kecil
ada
yang
bekerja
sebagai
PNS.
Terdapatnya
banyak
jenis
ruang
dengan
berbagai
pengelompokan
fungsi
dan
kegiatan,
bukan
berarti
gadasinya
curam.
Tidak
ada
bangunan
yang
paling
menonjol
dari
bangunan
lainnya
–
tidak
ada
surprise
maupun
klimaks
baik
dalam
bangunan
maupun
zoning
kota.
Pemandangan
kota
dengan
nuansa
perdesaan
terlihat
sekali
di
sini,
ditandai
dengan
adanya
pengelompokan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
142
DRAFT
FINAL
REPORT
beberapa
jenis
kegiatan
di
dalam
suatu
ruang
yang
diwadahi
oleh
setiap
RW.
Berikut
gambaran
suasana
dari
beberapa
RW:
a.
RW
01,
merupakan
sentra
perdagangan.
Di
lingkungan
ini
terdapat
mall
Mega
Janur,
pertokoan,
pasar,
hotel
dan
terminal
kota.
Lingkungan
ini
juga
dikenal
sebagai
titik
rawan
kriminalitas
(pencopetan),
tepatnya
daerah
kumuh
di
belakang
masjid
Baitul
rahim.
b.
RW
02,
terdapat
kantor
Dinas
Kesehatan,
Yayasan
Pendidikan
Bina
Taruna,
kantor
Telkom,
dan
sebagian
permukiman
dan
persawahan
milik
warga.
c.
RW
03,
merupakan
daerah
pendidikan.
Ditandai
dengan
adanya
sekolah
TK,
SD,
SMP,
dan
PGSD.
Sebagian
tempat
terdapat
lokasi
permukiman,
TPU
(tempat
pemakaman
umum)
dan
persawahan
warga.
d.
RW
04,
merupakan
daerah
pertokoan
dan
daerah
permukiman.
e.
RW
05,
merupakan
daerah
pendidikan
utama.
Ditandai
dengan
adanya
SMK
02,
SMA
03,
SD
57.
Selain
permukiman
warga,
juga
terdapat
kantor
PLN,
penginapan,
dan
persawahan.
f.
RW
06,
RW
07,
dan
RW
08,
selain
befungsi
sebagai
permukiman
juga
sebagai
daerah
perdagangan
usaha
kecil
dan
menengah.
Berdasarkan
informasi
dari
lurah
dan
hasil
pengamatan
di
lapangan,
RW
07
dan
08
(termasuk
juga
RW
01)
diidentifikasi
memiliki
banyak
warga
miskin
dibandingkan
lingkungan
lainnya.
Secara
umum
kelurahan
ini
bisa
dibagi
menjadi
dua
kelompok,
yaitu
zona
(daerah)
perkotaan
dan
daerah
permukiman
–
pedesaan.
Daerah
perkotaan
merupakan
daerah
perdagangan
dan
jasa.
Seperti
halnya
dengan
daerah
perkotaan
lainnya,
jalan‐jalan
utama
terlihat
ramai.
Bentor
(becak
motor)
terlihat
sedang
mangkal
di
tiap‐tiap
sisi
jalur
lambat,
sementara
yang
lainnya
berlalu‐lalang
membawa
penumpang.
Masjid
Agung
Baitul
Rahim
merupakan
titik
utama
kota.
Bangunannya
yang
megah
dan
letaknya
yang
berada
di
pinggir
perempatan
jalan
membuat
masjid
ini
menjadi
pusat
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
143
DRAFT
FINAL
REPORT
perhatian
beberapa
warga
yang
melintas
di
depannya.
Menurut
beberapa
warga,
masjid
ini
juga
merupakan
simbol
bahwa
masyarakat
Gorontalo
adalah
masyarakat
beragama.
Apabila
kita
berjalan
menuju
bagian
belakang
masjid,
akan
ditemukan
pemandangan
yang
kontras.
Rumah‐rumah
kumuh
terlihat
berdiri
seakan
terlindung
dari
megahnya
bangunan
masjid.
Anak‐anak
kecil
bermain
di
lorong‐lorong
jalan
yang
berukuran
seadanya.
Zona
permukiman
–
pedesaan
merupakan
daerah
permukiman
warga
dengan
berbagai
tingkat
ekonomi.
Ada
permukiman
kelas
menegah
atas
yang
letaknya
dekat
dengan
pusat
kota,
selain
itu
ada
juga
permukiman
kelas
menengah
dan
bawah
yang
berada
pada
bagian
sisi
luar
pusat
kota.
Untuk
menuju
daerah
permukiman
menengah
dan
bawah
biasanya
harus
melewati
lorong‐lorong
panjang
dari
bangunan
bertingkat.
Setelah
melewati
lorong,
barulah
dijumpai
beberapa
tipe
permukiman
warga.
Suasana
daerah
“pinggir
kota”
terlihat
di
sini.
Rumah‐rumah
tanpa
pagar
yang
dilengkapi
dengan
pepohonan
memberikan
suasana
sejuk
di
sekitarnya.
Beberapa
halaman
rumah
juga
memiliki
kuburan
keluarga.
Ditambah
lagi
dengan
adanya
ciri
khas
warga
“pinggiran
kota”
yang
pemalu.
Menjawab
dengan
singkat
merupakan
tandanya.
Namun
keseluruhan
ciri
“pinggiran
kota”
itu
bukan
merupakan
pertanda
terjadinya
gradasi
yang
curam
dari
pembagian
zona
di
kelurahan
Limba
B.
Kelurahan
Limba
U
Dua
Kelurahan
Limba
U
Dua
memiliki
luas
wilayah
tiga
kali
lipat
dibandingkan
Limba
B,
yakni
33,97
km2
‐‐setara
dengan
3.397
hektar.
Dari
luasan
tersebut,
sebanyak
34,30
persennya
(tepatnya
1.165
hektar)
digunakan
sebagai
area
permukiman,
31,40
persen
(setara
dengan
1.065
hektar)
merupakan
area
pekarangan
dan
persawahan,
sedangkan
sisanya
sebesar
34,30
persen
(setara
dengan
1.167
hektar)
adalah
area
perkantoran
dan
prasarana
umum.
Secara
administratif,
kelurahan
ini
terbagi
ke
dalam
delapan
RW
dan
23
RT,
dan
berbatasan
dengan
empat
kelurahan
dan
dua
kecamatan,
yaitu:
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
144
DRAFT
FINAL
REPORT
‐
sebelah
Utara,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Wumialo,
Kecamatan
Kota
Tengah;
‐
sebelah
Selatan,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Limba
U
Satu;
‐
sebelah
Timur,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Limba
B;
dan
‐
sebelah
Barat,
berbatasan
dengan
Kelurahan
Libuo,
Kecamatan
Dungingi.
Menurut
Laporan
Kependudukan
Kelurahan
Limba
U
Dua
bulan
Juli
2009,
jumlah
penduduk
kelurahan
ini
tercatat
sebanyak
5.368
jiwa,
yang
terdiri
dari
2.529
jiwa
penduduk
laki‐ laki
(47,11
persen)
dan
2.839
sisanya
Gambar
4.16.
Pemandangan
Beberapa
Sudut
Kel.
Limba
U
Dua
jiwa
penduduk
perempuan
(52,89
persen).
Sesuai
dengan
luasnya
areal
yang
digunakan
untuk
perkantoran
dan
prasarana
umum,
mayoritas
warga
Kelurahan
Limba
U
Dua
bekerja
sebagai
pegawai
negeri
sipil
(PNS).
Namun
di
luar
itu
ada
juga
pedagang
dan
petani.
Sebagian
lokasi
(di
tengah‐tengah)
kelurahan
adalah
areal
persawahan.
Oleh
karena
itu,
sebagian
penduduk
Limba
U
Dua
adalah
petani.
Sayangnya
areal
persawahan
ini
bukan
milik
masyarakat
setempat,
sehingga
petani
di
kelurahan
ini
pada
umumnya
adalah
petani
penggarap.
Keberadaan
persawahan
ini
juga
dilestarikan
dan
diatur
dengan
perda
tentang
larangan
alih
fungsi
lahan
persawahan
untuk
peruntukan
lain,
seperti
permukiman
atau
industri.
Dalam
pandangan
sekilas,
Kelurahan
Limba
U
Dua
tampak
sangat
harmonis,
tidak
ada
konflik
atau
gejolak.
Menurut
penjelasan
lurah,
meskipun
kelurahan
ini
multi
etnis
dengan
etnis
dominan
adalah
masyarakat
asli
(etnis
Gorontalo)
dan
berbaur
dengan
etnis
pendatang
seperti
Manado,
Makassar,
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
145
DRAFT
FINAL
REPORT
dan
Jawa,
kehidupan
masyarakat
egaliter,
sehingga
tidak
ada
gejolak
maupun
konflik.
“Di
kelurahan
ini
paling
banyak
orang
asli
sini,
etnis
Gorontalo.
Tapi
ada
juga
pendatang
seperti
Manado,
Makassar,
dan
Jawa,
tapi
mereka
membaur.
Kata
orang,
Gorontalo
ini
aman,
sehingga
relatif
tidak
ada
gejolak
atau
konflik.”
(MA,
Lurah
Limba
U
Dua,
Kamis,
23
Juli
2009:
11.15
–
12.00
WITA)
Secara
fisik,
tidak
tampak
kemiskinan
di
kelurahan
ini.
Hanya
beberapa
rumah
saja
yang
terlihat
kurang
layak,
tetapi
selebihnya
adalah
rumah
yang
cukup
mewah.
Kondisi
ini
dibenarkan
oleh
lurah
setempat
bahwa
masyarakat
miskin
di
Kelurahan
Limba
U
Dua
hanya
sekitar
lima
persen
dari
seluruh
penduduk.
Masyarakat
miskin
paling
banyak
terdapat
di
RW
04
dan
RT
01/RW
01.
4.6.2. IsuIsu
dan
Kecenderungan
Umum
Kelurahan
Limba
B
Pada
bagian
sebelumnya,
disinggung
mengenai
permasalahan
yang
ada
dalam
tubuh
BKM
yang
dihubungkan
dengan
ketokohan
tiap‐tiap
lingkungan
masyarakat.
Beberapa
anggota
BKM
seakan
enggan
untuk
mengambil
sikap
dan
tindakan
terhadap
permasalahan
yang
ada
di
dalam
tubuh
BKM,
karena
hal
ini
berhubungan
dengan
ketokohan
masing‐masing
anggota
dilingkungannya.
Oleh
karena
itu,
permasalahan
di
dalam
tubuh
BKM
menjadi
berlarut‐larut,
hingga
tidak
bisa
diselesaikan
pada
tingkatan
Korkot.
“Saya
‘masuk’
menjadi
koordinator
(tahun
2008)
ketika
di
BKM
ada
permasalahan
yang
rumit.
Ada
penyelewengan
anggaran
yang
dilakukan
oleh
individuindividu.
Karena
saya
takut
terkena
akibatnya,
maka
saya
langsung
mengambil
beberapa
tindakan,
yaitu:
melapor
kejadiannya
ke
polisi;
dan
dalam
melaksanakan
kerjanya,
UPK
harus
selalu
didampingi
dalam
setiap
penagihan
dana
bergulir.”
(Diutarakan
IK,
Koordinator
BKM,
Gorontalo,
Kamis,
23
Juli
2009:
10.00
–
11.10
WITA)
Sudah
diketahui
bahwa
BKM
di
Limba
B
bermasalah.
Hal
ini
sudah
dipikirkan
pemecahannya
oleh
aparat
kelurahan
dan
beberapa
warga,
yang
tujuannya
agar
permasalahan
di
tubuh
BKM
tidak
berlarut‐larut.
Ada
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
146
DRAFT
FINAL
REPORT
pemikiran
waktu
pembentukan
BKM
tahap
II
dengan
memasukkan
tokoh
masyarakat
dengan
latar
belakang
militer.
Tetapi
cara
ini
ternyata
gagal.
Justru
tokoh
dari
militer
ini
mengambil
langkah
“tidak
mau
terlibat
dan
dilibatkan”
dalam
permasalahan
yang
ada.
“Masyarakat
melihat
tokoh
yang
berasal
dari
militer
dianggap
potensial
sebagai
relawan,
sehingga
pada
tahap
pertama
pemilihan
relawan
(tahap
seleksi
di
tingkat
RT)
beliau
terpilih.
Namun
pada
tahap
kedua
(di
kelurahan),
yang
bersangkutan
tidak
datang.
Rupanya
memang
tidak
berniat
duduk
dalam
BKM.”
(Diutarakan
oleh
HG,
anggota
BKM
Limba
B,
pada
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Jumat,
24
Juli
2009:
20.30
–
22.45
WITA)
Berkurang
atau
langkanya
jumlah
relawan
di
kelurahan
Limba
B
tidak
hanya
disebabkan
karena
reputasi
BKM
yang
buruk.
Kesibukan
dalam
mencari
nafkah
dan
tingginya
pendidikan
membuat
“jarak”
antara
warga
dengan
nilai‐ nilai
kerelawanan
semakin
jauh
terbentang.
Selain
itu,
kurang
tepatnya
mekanisme
sosialisasi
kerelawanan
yang
dilakukan
oleh
Faskel
dan
BKM
juga
ditenggarai
sebagai
akibat
dari
langkanya
relawan
di
Limba
B.
“Kalau
di
sini
cari
relawan
susah
dan
payah.
Semakin
tinggi
tingkat
pendidikan,
semakin
sulit
cari
relawan.
Alasannya
karena
sibuk;
mau
sibuk
bekerja,
kuliah,
bisnis
–
pokoknya
sibuk.
Apalagi
kalau
mau
atur
jadwal
pertemuan
(relawan),
sistemnya
WITA
–
waktu
itu
terserah
aku.”
(Diutarakan
oleh
salah
seorang
staf
Kelurahan
Limba
B,
Kamis,
23
Juli
2009)
“Di
sini
tokoh
masyarakat
dari
pegawai
kurang
partisipasinya,
bahkan
banyak
juga
yang
tidak
tahu
apa
itu
P2KP.
……
Salahnya,
sosialisasi
bukan
kepada
mereka,
tetapi
kepada
masyarakat
miskin
penerima
manfaat.
Jadi
untuk
membangkitkan
masyarakat
untuk
berpartisipasi
dalam
kegiatan
kerelawanan
tidak
tepat
sasaran.”
(Diutarakan
oleh
Suk,
anggota
BKM,
Limba
B,
Jumat,
24
Juli
2009)
Setelah
melakukan
penelusuran
di
lapangan
dalam
waktu
beberapa
hari,
permasalahan
langkanya
relawan
di
Limba
B
juga
disebabkan
karena
BKM
belum
bisa
mengembangkan
jaringan
sosialnya.
Dalam
melaksanakan
kegiatan
kerjanya,
BKM
hanya
tertumpu
pada
suatu
ikatan
kerjasama
dengan
orang
yang
itu‐itu
saja;
yang
ia
(BKM)
kenal;
yang
ia
(BKM)
rasakan
‘cocok’
(=nurut);
yang
ia
(BKM)
rasakan
satu
lingkungan
saja
‐‐atau
adanya
kedekatan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
147
DRAFT
FINAL
REPORT
jarak
hunian.
Sehingga,
masyarakat
yang
pada
dasarnya
sudah
memiliki
nilai‐ nilai
kerelawanan
seolah‐olah
terabaikan
begitu
saja.
“Relawan
mau
terlibat
kalau
diajak
BKM.”
(NB,
anggota
BKM,
Limba
B,
Jumat,
24
Juli
2009:
19.40
–
20.30
WITA)
“Saya
mengakui
bahwa
selama
saya
menjadi
kordinator
BKM,
saya
belum
menghubungi
relawanrelawan
lama
yang
telah
ada
untuk
ikut
bersama
bekerja
dengan
BKM.”
(IK,
Koordinator
BKM,
Limba
B,
Jumat,
24
Juli
2009:
20.30
–
22.45
WITA)
“Saya
bukan
membela
pak
Idris,
tetapi
dari
Faskel
tidak
pernah
disebutkan
ke
kita
kalau
BKM
harus
mengajak
relawan
untuk
bekerjasama.
Kita
takut
salah,
kalau
Faskel
bilang
begitu
–
kita
juga
begitu;
kalau
Faskel
tidak
pernah
mengatakan
mengajak
relawan,
tapi
kita
mengajak,
nanti
kita
salah,
karena
Faskel
kerjanya
juga
mengawasi
BKM.”
(Diutarakan
oleh
Ulf,
anggota
BKM,
Limba
B,
Jumat,
24
Juli
2009:
20.30
–
22.45
WITA)
Seorang
anggota
BKM
mencoba
menganalisa
langkanya
relawan
di
Limba
B
berdasarkan
pengalamannya,
yaitu
karena
adanya
pengaruh
sistem
pembagian
wilayah
yang
berganti
dari
lingkungan
menjadi
administrasi
lingkungan
RT
dan
RW.
Sistem
RT/RW
ini
menurutnya
justru
membuat
warga
menjadi
terkotak‐kotak
dan
individualis
‐‐dibandingkan
dengan
sistem
lingkungan.
Menurutnya,
orang
dari
mana
saja
bisa
masuk
dan
tinggal
di
wilayah
Limba
B
asalkan
melapor
atau
diketahui
oleh
RT‐nya
saja.
Dahulu,
ketika
masih
menerapkan
sistem
lingkungan,
orang
yang
mau
masuk
dan
tinggal
di
wilayah
lingkungan
itu
harus
mengenal
salah
satu
warga
di
lingkungan
tersebut
‐‐sebagai
penjamin
bahwa
orang
baru
itu
memang
dikenal
atau
bagian
dari
kerabatnya‐‐
baru
kemudian
mendapat
izin
dari
Kepala
Lingkungan.
Jadi,
ada
mekanisme
kontrol
yang
kuat
dari
system
lingkungan
dibandingkan
RT/RW.
Selain
itu,
hubungan
antara
warga
menjadi
lebih
dekat
karena
saling
kenal
dan
saling
percaya.
“Sewaktu
kota
Gorontalo
masih
menerapkan
“Lingkungan”
(=
bukan
RW
atau
RT),
kita
(BKM)
pernah
mengundang
orangorang
yang
ada
dalam
data
PS
(=
pemetaan
swadaya).
Saat
itu
banyak
yang
datang.
Sekarang,
dengan
dibuatnya
sistem
RT/RW,
justru
partisipasi
masyarakat
semakin
berkurang.”
(RA,
anggota
BKM,
Limba
B,
Jjumat,
24
Juli
2009:
20.30
–
22.45
WITA)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
148
DRAFT
FINAL
REPORT
“Saya
tidak
setuju
dengan
pak
Rahmat.
Dulu
mereka
belum
tahu
uang.
Sekarang
setelah
mereka
sudah
tahu
uang,
mereka
ribut
apalagi
sudah
tahu
kalau
P2KP
ada
uangnya.
Jadi
bukan
karena
PS
atau
RT/RW,
tetapi
karena
masyarakat
sudah
kenal
uang,
dan
memilih
uang
ketimbang
kerelawanan.”
(Diutarakan
oleh
Ahmad
pada
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Limba
B,
Jumat,
24
Juli
2009:
20.30
–
22.45
WITA)
Kelurahan
Limba
U
Dua
Kehadiran
P2KP
di
Kelurahan
Limba
U
Dua
tidak
banyak
dipersoalkan
oleh
masyarakat.
Selain
memang
masyarakat
miskin
hanya
sekitar
lima
persen
dari
total
jumlah
penduduk,
masyarakat
kaya
juga
tidak
terlalu
peduli.
Keberadaan
warga
miskin
juga
tersebar
di
antara
permukiman
warga
lainnya.
Meskipun
RW
04
dikatakan
sebagai
kantong
kemiskinan,
namun
jumlahnya
tidak
seberapa
dibandingkan
lokasi
lainnya.
Karena
itu
program
infrastruktur
diberikan
merata
di
setiap
RW.
Sedangkan
kegiatan
ekonomi
produktif
diberikan
dalam
bentuk
pinjaman
bergulir
dan
“mahyani“
(rumah
layak
huni).
Dalam
pelaksanaan
kegiatan
P2KP,
koordinasi
antara
lurah/aparat
kelurahan
dengan
BKM
dilakukan
sebelum
dan
sesudah
kegiatan.
Menurut
keterangan
Lurah
Limba
U
Dua,
biasanya
BKM
menyampaikan
laporan,
baik
tertulis
maupun
tidak
tertulis.
Demikian
juga
dalam
menentukan
calon
penerima
sasaran
program,
BKM
selalu
melakukan
konfirmasi
dengan
lurah.
Hal
ini
dimanfaatkan
lurah
untuk
melakukan
cross
check
ketepatan
sasaran.
“Setiap
mau
melaksanakan
kegiatan,
mereka
biasanya
memberikan
daftar
calon
penerima
ke
kelurahan.
Saya
kemudian
melakukan
cross
check
dengan
Kepala
Lingkungan
tentang
kebenaran
data
calon
penerima
tersebut.
Selama
ini,
calon
sasaran
yang
ditetapkan
oleh
BKM
tepat
sasaran.”
(Sebagaimana
disampaikan
MA,
Lurah
Limba
U
Dua,
Kamis,
23
Juli
2009:
11.15
–
12.00
WITA)
Keterlibatan
tokoh
masyarakat
dalam
tubuh
organisasi
BKM,
bagi
kelurahan
merupakan
keuntungan
tersendiri.
Keberadaan
Ketua
RT,
Ketua
RW,
atau
pengurus
LPM
dalam
keanggotaan
BKM,
tidak
mengurangi
kinerja
mereka
sebagai
staf
kelurahan.
Bahkan
menurut
lurah
Limba
U
Dua,
mereka
bisa
berperan
untuk
menekan
kemungkinan
salah
sasaran.
Hal
ini
diyakini
lurah
karena
mereka
adalah
ujung
tombak
kelurahan
yang
sudah
sangat
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
149
DRAFT
FINAL
REPORT
dikenal
dan
mengenal
masyarakat,
sehingga
memahami
dengan
baik
siapa
saja
yang
tergolong
masyarakat
miskin
di
lingkungannya
masing‐masing.
“Mereka
yang
menjabat
Ketua
RT,
RW,
atau
LPM
memang
sudah
aktif
dalam
kegiatan
di
masyarakat
dan
masyarakat
sudah
mengenal
mereka,
sehingga
sama
sekali
tidak
mengganggu
tugastugas
di
kelurahan.
Malahan
ini
memudahkan
kelurahan,
karena
mereka
dapat
mengontrol
ketepatan
calon
penerima
manfaat.”
(Penjelasan
lanjutan
oleh
MA,
Lurah
Limba
U
Dua,
Kamis,
23
Juli
2009:
11.15
–
12.00
WITA)
Dalam
penjelasannya
lebih
lanjut,
lurah
mengatakan
bahwa
data
calon
penerima
manfaat
yang
disampaikan
oleh
BKM
dijadikan
acuan
untuk
menentukan
sasaran
bagi
kegiatan
serupa,
sehingga
tidak
overlap.
Ketua
RT,
Ketua
RW,
atau
pengurus
LPM
yang
terlibat
dalam
keanggotaan
BKM
inilah
yang
melaksanakan
peran
ganda
dalam
identifikasi
penerima
manfaat,
sehingga
tugas
mereka
di
BKM
bisa
disinkronisasikan
dengan
tugas
di
kelurahan.
“BKM
ada
data,
diserahkan
ke
lurah.
Data
ini
kemudian
saya
jadikan
acuan
untuk
menentukan
sasaran
kegiatan
lain
juga,
seperti
BLT,
PKH,
atau
kegiatan
lain,
sehingga
tidak
tumpang
tindih.
Artinya
tidak
ada
warga
yang
sudah
menerima
bantuan
BLT
misalnya,
tetap
menerima
bantuan
yang
lain,
sementara
ada
warga
miskin
lain
yang
sama
sekali
tidak
pernah
menerima
bantuan.
Dengan
data
ini
kami
terbantu
juga,
karena
sasaran
masyarakat
miskinnya
bisa
merata.
Saya
juga
terbantu
dengan
struktur
BKM
yang
juga
staf
kelurahan,
sehingga
tugastugasnya
bisa
disinkronkan.”
(Penjelasan
lanjutan
oleh
MA,
Lurah
Limba
U
Dua,
Kamis,
23
Juli
2009:
11.15
–
12.00
WITA)
Secara
struktural,
kelembagaan
RT
dan
RW
untuk
Kelurahan
Limba
U
Dua
dan
kelurahan
lain
di
Gorontalo
pada
umumnya,
dipilih
langsung
oleh
lurah,
bukan
dipilih
oleh
warga
sebagaimana
perda
yang
ada
di
Kota
Gorontalo.
Hal
ini
dilakukan
karena
RT
dan
RW
adalah
kepanjangan
tangan
lurah.
Hal
ini
juga
memudahkan
bagi
lurah
untuk
melakukan
kontrol
birokrasi
kepada
aparatur
di
bawahnya,
sehingga
meskipun
mereka
terlibat
di
BKM,
mereka
tetap
menjalankan
tugas‐tugas
kelurahan
dengan
baik.
Pasang
Surut
Kerelawanan
di
Limba
U
Dua
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
150
DRAFT
FINAL
REPORT
Pembentukan
relawan
di
Limba
U
Dua
diawali
dengan
pengiriman
wakil
dari
masing‐masing
RT.
Pada
waktu
itu
terkumpul
50
orang
relawan
terdaftar
di
kelurahan.
Setelah
itu
baru
dilakukan
proses
pembangunan
BKM
dan
terpilih
13
orang
sebagai
anggota
BKM
dan
saat
studi
ini
dilaksanakan
tersisa
sembilan
orang
yang
masih
aktif.
Sedangkan
relawan
terdaftar
pada
waktu
rekruitmen
awal,
kini
sudah
susah
ditemui.
Sebagian
diantaranya
masih
aktif
terlibat
dalam
KSM
dan
UP‐UP.
Namun
untuk
menemui
relawan
di
luar
BKM,
KSM,
dan
UP‐UP,
sudah
sangat
sulit.
Dari
wawancara
dan
FGD
yang
dilakukan
di
Limba
U
Dua,
dirasakan
sekali
sulitnya
mencari
orang
yang
bekerja
tanpa
pamrih.
Dari
jumlah
sedikit
yang
bisa
ditemui,
tidak
semuanya
relawan.
Dalam
FGD,
peserta
yang
hadir
sebagian
relawan
sekaligus
penerima
manfaat
dan
sebagian
lagi
adalah
penerima
manfaat
saja.
“Saya
tidak
pernah
diundang
dalam
kegiatan,
tapi
saya
dapat
bantuan
pinjaman.”
(Disampaikan
oleh
DMD,
39
tahun,
dalam
FGD
Relawan
Perempuan,
Limba
U
Dua,
Sabtu,
25
Juli
2009)
“Saya
ikut
datang
sejak
pertama
diundang
dulu,
dijelaskan
tentang
apa
itu
kemiskinan.
Saya
juga
penerima
manfaat,
tapi
waktu
itu
saya
juga
belum
tahu
bisa
dapat
bantuan
juga.”
(Disampaikan
oleh
ER,
40
tahun,
dalam
FGD
Relawan
Perempuan,
Limba
U
Dua,
Sabtu,
25
Juli
2009)
Secara
umum,
faktor
lamanya
perjalanan
siklus
dan
tidak
adanya
pembiayaan
untuk
relawan,
membuat
relawan‐relawan
terdaftar
tidak
lagi
mau
terlibat.
Pada
umumnya
relawan
di
Limba
U
Dua
berasal
dari
warga
miskin,
sehingga
mereka
waktunya
lebih
banyak
untuk
bekerja
sebagai
tukang
bentor
atau
petani.
Sedangkan
warga
yang
kaya
enggan
terlibat
dengan
berbagai
alasan.
Keterangan
salah
seorang
warga
di
Kelurahan
Limba
U
Dua
berikut
dapat
dijadikan
rujukan
bagaimana
mereka
menyikapi
kehadiran
P2KP
di
daerahnya,
khususnya
terkait
dengan
keterlibatan
yang
diminta.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
151
DRAFT
FINAL
REPORT
Kotak
4.6.
SUSAHNYA
MENCARI
RELAWAN
DI
LIMBA
U
DUA
(Hasil
observasi
pelaksanaan
FGD
Relawan
Laki‐laki
dan
Perempuan
Di
Kelurahan
Limba
U
Dua)
Waktu
terus
berlalu,
tim
studi
menunggu
kehadiran
relawan
di
Kantor
Kelurahan
Limba
U
Dua
–
lokasi
FGD.
Jam
dinding
sudah
menunjukkan
pukul
16.45,
tetapi
belum
satupun
relawan
laki‐laki
hadir.
Pak
Agung
dan
Pak
Yophie
yang
diagendakan
untuk
memandu
acara
ini
mulai
merasa
bosan.
Makanan
ringan
yang
ada
di
meja
yang
sudah
kami
persiapkan
untuk
acara,
perlahan‐lahan
tapi
pasti
mulai
berkurang.
Pisang
kepok
mengkal
goreng
dan
kacang
kulit
menjadi
pelipur
lara
untuk
menemani
tim
peneliti
sewaktu
menunggu
kehadiran
relawan.
Di
saat‐saat
penantian,
tim
tidak
mengerti
kenapa
hal
ini
bisa
terjadi,
padahal
acara
FGD
ini
mereka
yang
menentukan
jadwal
dan
lokasinya
‐‐bukan
tim
studi.
Beberapa
saat
kemudian
datang
Atick,
menginformasikan
bahwa
relawan
laki‐ laki
sedang
ada
acara
menonton
pertandingan
sepakbola
yang
dimainkan
oleh
anak‐ anak
mereka.
Mendapatkan
kenyataan
ini,
tim
studi
makin
tidak
mengerti
kenapa
hal
ini
bisa
terjadi,
padahal
rencana
pelaksanaan
FGD
mereka
sendiri
yang
menentukan.
Bahkan
tiga
jam
sebelum
acara,
tim
sudah
menghubungi
salah
seorang
anggota
BKM
untuk
meminta
kepastian
acara,
dan
menurut
informasinya
acara
tidak
ada
perubahan.
Jam
telah
menunjukkan
pukul
17.00
WITA,
berarti
telah
satu
jam
tim
pemandu
FGD
masih
menunggu
kehadiran
relawan
laki‐laki,
belum
ada
tanda‐tanda
mereka
akan
hadir.
Di
sela‐sela
waktu
menunggu
tim
studi
hanya
sempat
tersenyum
bila
berpandangan
mata
untuk
mengungkapkan
perasaan
masing‐masing
yang
merasa
tidak
nyaman
atas
situasi
ini.
Sementara
anggota
tim
lainnya
yang
memandu
FGD
relawan
perempuan
telah
memulai
kegiatan
sejak
pukul
16.45
WITA,
dengan
jumlah
relawan
hanya
7
orang.
Lima
diantaranya,
serempak
datang
ke
kantor
kelurahan.
Tetapi
sebelum
masuk
ruang
FGD,
mereka
terlebih
dahulu
dihadang
di
depan
pintu
masuk
kelurahan
oleh
beberapa
ibu
anggota
BKM
untuk
diberikan
briefing
–
dan
entah
“bekal”
apa
yang
diberikan
oleh
para
ibu
anggota
BKM
itu
kepada
para
relawan
perempuan.
Beberapa
saat
kemudian
(tepatnya
17.05
WIB)
datanglah
seorang
laki‐laki,
namun
ia
tidak
menuju
ke
ruang
FGD
relawan
laki‐laki,
tetapi
duduk
santai
mengobrol
dengan
beberapa
orang
ibu
anggota
PKK
–
yang
di
antaranya
juga
ada
yang
menjadi
anggota
BKM.
Setelah
beberapa
saat,
laki‐laki
itu
menuju
ruang
FGD
laki‐laki.
Tim
mempersilahkan
“tamu”
itu
untuk
mengisi
daftar
hadir,
namun
beberapa
saat
setelah
mengisi
daftar
hadir
ia
keluar
ruangan
–
menuju
ibu
Ninto
Kairupan,
sekertariat
BKM
untuk
meminta
pendapat
yang
bersangkutan
dalam
mengisi
daftar
hadir.
Setelah
membaca
daftar
hadir,
diketahui
bahwa
laki‐laki
itu
bernama
Tune
Abdullah
(50
th),
tinggal
di
RT
02/RW
04.
Waktu
yang
telah
menunjukkan
pukul
17.20
WITA
memaksa
kami
untuk
melanjutkan
kegiatan
studi
–
namun
bukan
FGD,
tetapi
wawancara
saja
dengan
Tune
Abdullah
yang
sudah
“terlanjur”
hadir.
Pertanyaan
mendasar
kami
gulirkan
–
terutama
mengenai
kegiatan
P2KP,
tetapi
tidak
satupun
dimengerti
oleh
yang
bersangkutan.
Informan
mengaku
bahwa
ia
tidak
pernah
ikut
kegiatan
P2KP,
tetapi
kalau
ikut
rapat
P2KP
pernah.
Dari
informasi
ini
kemudian
tim
menggali
keterlibatan
Tune
Abdullah
dalam
P2KP,
yang
hasilnya:
ia
ternyata
bukan
relawan
P2KP,
tetapi
hanya
penerima
manfaat.
Jangankan
ikut
kegiatan
kerelawanan,
pertanyaan
mengenai
apa
itu
BKM,
UP‐UP,
KSM,
dan
Faskel
hingga
logo
P2KP
saja
ia
tidak
tahu.
Kehadirannya
di
FGD
relawan
kali
ini
karena
diminta
oleh
Ibu
Maharani
Mapangga
yang
dalam
kegiatan
P2KP
bertugas
sebagai
Badan
Pengawas
dan
Koordinator
PKK.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
152
DRAFT
FINAL
REPORT
Kotak
4.6.
.....
Sulitnya
Mencari
relawan
Di
Limba
U
Dua
Selain
itu,
istri
dari
Tune
Abdullah
yang
bernama
Hasna
Mbiua
juga
menyarankan
dirinya
untuk
hadir
ketika
sedang
menonton
televisi
di
rumah.
Sebagai
informasi,
Hasna
Mbiua
sendiri
juga
bertugas
sebagai
kordinator
PKK
Pokja
I.
Dari
serangkaian
peristiwa
ini,
tim
studi
dapat
menilai
keterlibatan
PKK
yang
bergitu
sentral
dalam
kegiatan
P2KP
di
Kelurahan
Limba
U
Dua.
Mendapatkan
kenyataan
bahwa
informan
yang
diharapkan
“sebagai
relawan”
tidak
mengerti
nilai‐nilai
kerelawanan
P2KP
dan
tidak
mengerti
kegiatan
program,
maka
wawancara
dihentikan.
Alasan
dihentikannya
wawancara
ini
karena
tim
juga
merasa
kasihan
kepada
Tune
Abdullah
yang
terlihat
panik
dan
serba
salah
karena
tidak
tahu
bagaimana
menjawab
pertanyaan
yang
berhubungan
dengan
kegiatan
P2KP.
Hingga
pukul
17.50
WITA
tetap
tidak
ada
lagi
“relawan”
yang
datang.
Akhirnya
dengan
berat
hati
tim
studi
menyudahi
rencana
FGD
relawan
laki‐laki
dengan
kesimpulan:
langka
mendapatkan
relawan
laki‐laki
di
kelurahan
Limba
U
Dua.
Hal
ini
diperkuat
dengan
informasi
dari
beberapa
ibu
anggota
PKK
yang
sempat
hadir
bahwa
memang
sulit
–
bahkan
sangat
sulit
menggerakan
laki‐laki
di
Limba
U
Dua
untuk
aktif
terlibat
dalam
kegiatan
kerelawanan
dibandingkan
dengan
perempuan.
Limba
U
Dua,
25
Juli
2009
“Dulu
saya
KSM
untuk
jalur
di
Jl.
Patimura.
Dulu
di
RT
03
saya
menjadi
penjual
kue.
Pelaksanaan
kegiatan
oleh
tukang,
warga
sedia
teh,
kue,
atau
makanan.
Sekarang
gak
ikut
lagi
karena
pada
waktu
ikut
P2KP
sawah
saya
gak
ke
garap.
Kalau
relawan
kebanyakan
dari
yang
tidak
mampu.
Kalau
yang
kaya
dia
banyak
keterangan
(alasan).”
(Keterangan
ID,
43
tahun,
warga
RT
04/RW
01,
Minggu,
26
Juli
2009)
Jika
orang
kaya
memiliki
banyak
alasan
untuk
tidak
terlibat
dalam
kegiatan,
berbeda
kondisinya
jika
dikaitkan
dengan
sasaran
program.
Ketika
mereka
tahu
bahwa
program
ini
untuk
warga
miskin,
tidak
sedikit
warga
kaya
yang
kemudian
mengaku
dirinya
miskin.
“Yang
kaya
susah
kalau
diminta
ikut
bantubantu.
Tapi
kalau
tahu
ada
bantuan,
mereka
rame.
Yang
jadi
sasaran
kegiatan
P2KP
itu
kan
masyarakat
miskin.
Karena
ada
bantuan
yang
mampu
suka
jadi
miskin.”
(MM,
45
tahun,
warga
Jalan
Raden
Saleh,
Minggu,
26
Juli
2009)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
153
DRAFT
FINAL
REPORT
Sementara
itu,
mereka
yang
cukup
populer
dan
kaya,
keikutsertaannya
sebagai
relawan
merupakan
ajang
eksistensi
diri
dan
sarana
pencapaian
tujuan
politik.
“Saya
memang
orang
organisasi,
di
bidang
agama
(saya
aktif)
di
Syarikat
Islam
dan
(juga)
di
partai
saya
di
golkar.
Disamping
saya
penceramah,
saya
ingin
seandainya
saya
di
dewan,
saya
bisa
bawa
masalahmasalah
ini
ke
dewan.
Saya
ingin
ke
depan,
dengan
perhatian
walikota
terhadap
P2KP,
saya
bisa
menjadi
jembatan
ini.”
(Disampaikan
oleh
H.
JL,
47
tahun,
Koordinator
BKM,
Limba
U
Dua,
Senin,
27
Juli
2009)
Terkait
dengan
karakter
masyarakat
Limba
U
Dua,
pada
umumnya
melakukan
kegiatan
apa
pun
harus
ada
upah,
maka
menjadi
sulit
mencari
relawan.
Program‐program
dari
pemerintah,
diasumsikan
masyarakat
dengan
keberadaan
dana,
sehingga
apabila
mereka
tidak
mendapatkan
uang
lelah/uang
duduk,
mereka
tidak
mau
hadir.
Akhirnya,
yang
terlibat
kegiatan
adalah
orang‐orang
yang
sama.
“.....
di
sini
berfikirnya
bahwa
proyek
ini
ada
dananya.
Bahkan
kita
kerja
bakti
saja,
dikira
dapat
gaji.
Jadi
relawan
banyak
musuh.
Susah
ngundang
orang,
kecuali
dia
tahu
ada
bantuan.
Kalau
ada
kegiatan,
ya
ituitu
saja.”
(Keterangan
MM,
45
tahun,
warga
Jalan
Raden
Saleh,
Minggu,
26
Juli
2009)
Kotak
4.7.
BENARKAH
RELAWAN
BEKERJA
TANPA
PAMRIH
(Sebuah
refleksi
dialog
antar
relawan)
Saat
pelaksanaan
FGD
BKM
dan
UP‐UP
di
Kelurahan
Limba
U
Dua,
sempat
terjadi
diskusi
yang
serius
antar
peserta.
Berikut
potongan
diskusinya
.....................................................
Hasna
:
“Relawan
adalah
seseorang
yang
kerja
secara
ikhlas,
panggilan
hati.
Kita
kan
manusia.
Kita
kan
butuh
diperhatikan
kesejahteraannya.
Relawan
...
relawan
...
tapi
perhatikan
kesejahteraannya.
Cukup
ratusan
ribu.”
Ninto
:
“Membantu
secara
ikhlas.
Jika
ada
BLM
baru
dapat
BOP,
tapi
tidak
ada
gaji
bulanan.
Butuh
biaya
operasional/transpor.”
Dirham
:
“Pekerjaan
sukarela
untuk
membantu
sesama.
Saya
analogikan
dengan
motor,
kalau
gak
ada
bensin,
juga
gak
bisa
jalan.
Kita
bantu
orang
susah,
kita
sendiri
susah.
Kita
di
sini
BOP
kurang.
Sehingga
untuk
membuat
laporanlaporan
ini,
bingung
gak
ada
dananya.
Belum
lagi
jika
salah
harus
ganti
sehingga
makin
besar
biayanya.”
Usman
:
“Kami
tidak
mengharapkan
upah.
Kerja
kami
ikhlas
untuk
membantu
kelurahan
kami
menjadi
berjalan
lebih
baik
dan
lancar.
Terutama
mahyani.
Harapan
saya
untuk
mendorong
semangat
relawan
perlu
BOP.”
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP Limba
U
Dua,
27
Juli
2009
154
DRAFT
FINAL
REPORT
Mencari
orang
yang
tanpa
pamrih
di
kelurahan
ini
memang
sulit.
Bahkan
relawan
yang
ada
di
BKM,
semuanya
menginginkan
adanya
insentif
atau
biaya
operasional.
Ketiadaan
insentif
dan
biaya
operasional
ini
mereka
katakan
sebagai
bentuk
penyemangat
(lihat
Kotak
4.7).
Tampak
eksplisit
relawan
di
Limba
U
Dua
mengharapkan
penghargaan
dalam
bentuk
uang.
Sementara
untuk
menjaga
keberlanjutan
kerelawanan
di
Kelurahan
Limba
U
Dua,
hingga
saat
ini
masih
dirasakan
sebagai
“beban”
dan
PR
yang
cukup
berat.
Hal
ini
teritama
karena
beberapa
“kejadian”
yang
dialami
oleh
beberapa
orang
relawan
setempat.
Diantaranya
ada
yang
sempat
mengalami
kondisi
yang
buruk
dalam
rumah
tangganya,
bahkan
hampir
cerai
dengan
suaminya
akibat
keterlibatannya
dalam
kegiatan
P2KP
(lihat
pada
Kotak
4.8).
Kejadian
yang
diceritakan
dalam
kotak
tersebut
jangan
menjadi
contoh
buruk
Kotak
4.8.
DERITA
SEORANG
RELAWAN
(Diceritakan
kembali
oleh
Ibu
EK
untuk
Tim
Studi
Kerelawanan)
Rumah
tangga
EK
hampir
saja
berakhir
dengan
perceraian.
Hal
ini
terjadi
pada
siklus
awal
P2KP
yang
padat
dengan
agenda
rapat.
Berawal
dari
keterlibatannya
sebagai
relawan
di
P2KP,
EK
sering
keluar
rumah
malam
hari
untuk
mengikuti
rapat‐ rapat.
Karena
sering
pulang
malam,
suaminya
marah
dan
hampir
menceraikannya.
Kejadiannya
pada
waktu
rapat‐rapat
pertama
di
P2KP.
Waktu
itu
kita
baru
cari
tahu,
apa
ini
P2KP.
Setelah
dana
cair,
kita
mempersiapkan
distribusi
ke
masyarakat.
Pada
waktu
itu,
suami
sudah
mengingatkan,
“Jangan
pulang
malam!
Jangan
pulang
malam!”.
Tapi
hari
itu
rapat
sampai
lebih
jam
12
malam.
Saya
pulang
diantar
Pak
Syahrir
(faskel,
laki‐laki).
Ternyata
begitu
ketok
pintu
rumah,
suami
saya
tanya:
Suami
EK
:
“Siapa?”
:
“Saya.”
Lalu
dia
buka
pintu,
namun
begitu
lihat
saya
pulang
dengan
Pak
Syahrir
(faskel),
marahlah
dia.
Suami
EK
:
“Siapa
dia?”
:
“Faskel”
Sebenarnya
saya
sudah
suruh
Pak
Syahrir
pulang.
Justeru
karena
lihat
saya
masih
ngomong
dengan
Pak
Syahrir,
suami
saya
makin
marah.
Dia
ambil
parang
mau
membunuh
Pak
Syahrir.
Setelah
kejadian
itu
saya
dan
suami
bertengkar
hebat,
bahkan
nyaris
cerai.
Keluarga
dan
kerabat
menyarankan
kami
untuk
damai.
Akhirnya
kami
sepakat
untuk
tetap
mempertahankan
rumah
tangga,
tapi
kegiatan
saya
dibatasi
sama
suami.
Selain
tidak
boleh
ikut
kegiatan
malam
hari,
sekarang
saya
tidak
boleh
kerja.
Limba
U
Dua,
27
Juli
2009
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
155
DRAFT
FINAL
REPORT
bagi
anggota
masyarakat
yang
lain.
Dengan
kejadian
yang
dialami
salah
seorang
relawan
di
atas,
membuat
BKM
dan
relawan
yang
eksis
kesulitan
meminta
warga
lain
untuk
ikut
menjadi
relawan.
Relawan
yang
ada
lebih
dipertahankan
dengan
kunci
pertemanan.
Antara
relawan
satu
dengan
yang
lainnya,
biasanya
adalah
teman
dekat.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
156
DRAFT
FINAL
REPORT
BAB
5
PELEMBAGAAN
KERELAWANAN
B
ab
ini
berisikan
tentang
jatidiri
relawan
beserta
isu‐isu
besar
yang
menyertai,
yang
mana
ini
merupakan
jawaban
terpenting
dari
keseluruhan
studi
ini.
Kondisi
dan
varian
relawan
di
lokasi
studi
kemudian
dijadikan
dasar
untuk
merumuskan
strategi
pelembagaan
kerelawanan
dan
keberlanjutannya
ke
depan.
5.1.
Jatidiri
Relawan
Membahas
jatidiri
relawan
tidak
bisa
kita
lepaskan
dari
identitasnya
sebagai
suatu
kesadaran
akan
kesatuan
dan
kesinambungan
pribadi.
Relawan
merupakan
suatu
kesatuan
unik
yang
memelihara
kesinambungan
arti
masa
lampaunya
sendiri
bagi
diri‐sendiri
dan
orang
lain,
Juga,
relawan
juga
dapat
dipahami
sebagai
satu
kesatuan
dan
kesinambungan
yang
mengintegrasikan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
157
DRAFT
FINAL
REPORT
semua
gambaran
diri,
baik
yang
diterima
dari
orang
lain
maupun
yang
diimajinasikan
sendiri
tentang
apa
dan
siapa
dirinya
serta
apa
yang
dapat
dibuatnya
dalam
hubungan
dengan
diri‐sendiri
dan
orang
lain.
Dari
enam
lokasi
kajian
yang
dikunjungi,
konsep
kerelawanan
ternyata
dimaknai
secara
berbeda‐beda
oleh
masing‐masing
pelaku.
5.1.1. Relawan
Menurut
Latar
Belakang
Pendidikan
Jika
kita
melihat
relawan
berdasarkan
latar
belakang
pendidikan
formal
yang
ditamatkan,
kita
bisa
menjumpai
relawan
mulai
dari
yang
berpendidikan
Sekolah
Dasar
(SD)
hingga
Perguruan
Tinggi
(PT).
Namun,
secara
umum
di
yang
paling
banyak
ditemukan
adalah
relawan
dengan
latar
belakang
pendidikan
SLTA.
Gambar
5.1.
Profil
Relawan
Menurut
Latar
Belakang
Pendidikan
Sumber:
Survei
Mini
Studi
Kerelawanan,
18
Mei
–
31
Juli
2009.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
158
DRAFT
FINAL
REPORT
Dari
gambar
di
atas,
tampak
sebagian
besar
relawan
yang
terlibat
dalam
kegiatan
P2KP
memiliki
latar
belakang
pendidikan
formal
setingkat
sekolah
lanjutan
atas
(SMU/SMK/MA).
Kondisi
yang
terlihat
paling
mencolok
perbedaannya
ditemukan
di
Kelurahan
Panggungrejo,
Kecamatan
Bugul
Kidul,
Pasuruan.
Relawan
di
kelurahan
ini
justeru
lebih
banyak
yang
berpendidikan
formal
SD
atau
yang
sederajat,
yakni
mencapai
hampir
45,00
persen.
Secara
umum,
di
bidang
pendidikan,
masyarakat
di
kelurahan
ini
lebih
mengedepankan
pendidikan
agama
(“nyantri”),
sehingga
jumlah
warga
usia
sekolah
yang
tidak
mengecap
pendidikan
formal
cukup
tinggi.
Tabel
5.1.
Hubungan
antara
Kelompok
Usia
Sekolah
dengan
Jenis
Kelamin
Di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan
U
s
i
a
No
Jenis
Kelamin
5
–
6
tahun
Sekolah
Belum
Sekolah
7
–
13
tahun
Sekolah
Belum
Sekolah
14
–
17
tahun
Sekolah
Belum
Sekolah
18
–
21
tahun
Sekolah
Belum
Sekolah
1.
Laki‐laki
64
18
142
35
98
27
97
55
2.
Perempuan
55
47
105
21
86
19
90
80
119
65
247
56
184
46
187
135
Jumlah
Sumber:
Laporan
Bulanan
Kelurahan
Panggungrejo,
Mei
2009.
Secara
umum
kelurahan
ini
memang
masih
tertinggal
dengan
di
bidang
pendidikan.
Angka
Partisipasi
Sekolah
(APS)
relatif
rendah,
masih
banyak
warga
usia
sekolah
yang
belum/tidak
bersekolah.
Namun
demikian,
secara
kualitatif
rendahnya
latar
belakang
pendidikan
ini
tidak
menyurutkan
semangat
masyarakat
untuk
terlibat
aktif
dalam
kegiatan
PNPM
Mandiri
Perkotaan.
Justeru
keterbatasan
ini
menjadi
motivasi
terbesar
bagi
mereka
untuk
berubah.
Hal
ini
tertangkap
dari
jawaban
beberapa
relawan
perempuan
ketika
ditanyai
tentang
motivasi
keterlibatan
mereka
dalam
kegiatan
PNPM:
“(Saya)
ingin
berpartisipasi
agar
Panggungrejo
ini
maju,”
(Sul,
23
tahun,
Relawan
Perempuan)
“(Saya)
senang
kalau
ada
kemajuan,
jadi
ingin
terlibat,”
(Ami.,
41
tahun,
Relawan
Perempuan)
“Biar
kelurahan
Panggung
(rejo)
ini
maju,”
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
159
DRAFT
FINAL
REPORT
(Far,
29
tahun,
Relawan
Perempuan)
“Biar
nggak
diremehkan,”
(NuW,
39
tahun,
relawan
Perempuan)
“Biar
maju,
nggak
ketinggalan,”
(Mmh,
28
tahun,
Relawan
Perempuan)
“Sama
(=
biar
tidak
tertinggal
dengan
daerah
lainnya),”
(Msh,
26
tahun,
Relawan
Perempuan)
“Supaya
tidak
tertinggal,
maju
pendidikannya,
ekonominya,
lansianya
juga
diperhatikan,”
(Ais,
35
tahun,
Relawan
Perempuan)
“Panggung
(rejo)
biar
merdeka,”
(UsH,
33
tahun,
Relawan
Perempuan).
Berbagai
respon
di
atas
mengisyaratkan
bahwa
pada
saat
masyarakat
diposisikan
marginal,
mendapatkan
stigma
tertinggal,
terbelakang,
dan
miskin,
yang
kesemuanya
dekat
dengan
konteks
“bodoh”,
justeru
nilai
dan
spirit
kerelawanan
mereka
tumbuh.
Hal
ini
karena
adanya
“tujuan
yang
sama”
yakni
keluar
dari
kemiskinan
yang
telah
memenjarakan
mereka
dalam
kerangkeng
kebodohan.
Namun
perlu
diingat
juga
bahwa
kesamaan
tujuan
ini
cenderung
lebih
bersifat
sebagai
tujuan
sesaat,
sehingga
pada
fase
tertentu
akan
mengalami
perubahan.
5.1.2. Relawan
Menurut
Jenis
Kelamin
Melihat
relawan
dari
sebaran
gender,
hampir
tidak
terlihat
ada
perbedaan,
terutama
kesempatan
antara
laki‐laki
dan
perempuan
untuk
terlibat
dalam
kegiatan
PNPM‐P2KP.
Dari
keenam
kota
terlihat
keterlibatan
laki‐laki
dan
perempuan
relatif
seimbang
(lihat
Gambar
5.2).
Kelurahan
Karang
Berombak,
Kecamatan
Medan
Barat,
Medan
tampak
memiliki
perbedaan
yang
mencolok
dibandingkan
dengan
lokasi
lain.
Di
lokasi
ini,
tercatat
dari
40
orang
relawan
terdaftar
hanya
empat
orang
diantaranya
laki‐laki
(10,00
persen),
sedangkan
36
orang
lainnya
perempuan.
Bahkan,
saat
studi
ini
dilaksanakan,
dari
empat
relawan
laki‐laki
tersebut
tinggal
dua
orang
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
160
DRAFT
FINAL
REPORT
yang
masih
“mau
terlibat”,
dua
orang
lainnya
sudah
mengundurkan
diri
karena
mendapatkan
pekerjaan.
Menonjolnya
peran
perempuan
dalam
kegiatan
P2KP
di
Kelurahan
Karang
Berombak
bukan
karena
di
lokasi
ini
dibatasi
keterlibatan
laki‐laki,
akan
tetapi
laki‐laki
pada
umumnya
bekerja
di
sektor
produktif
dan
sehingga
memiliki
keterbatasan
waktu
untuk
terlibat
aktif
dalam
kegiatan
P2KP.
Sementara
relawan
perempuan
relatif
lebih
“solid”
karena
sebelum
terlibat
di
P2KP
mereka
telah
aktif
di
berbagai
kegiatan,
seperti:
PKK,
posyandu,
PKB,
kelompok
wiridan,
dan
kegiatan
sosial
lainnya
di
lingkungannya
masing‐ masing.
Sehingga,
antara
satu
dengan
yang
lainnya
merasa
memiliki
ikatan
kelompok
yang
cukup
kuat
(tidak
hanya
terikat
di
P2KP).
Sebagai
gambaran,
dalam
seminggu
mereka
bisa
bertemu
setidaknya
4
(empat)
kali
pada
kegiatan‐kegiatan
tersebut.
Gambar
5.2.
Profil
Relawan
Menurut
Jenis
Kelamin
Surabaya
Pasuruan
Makassar
Gorontalo
Medan
Bengkulu
Kebun
Dahri
Kebun
Geran
Hamdan
Karang
Berombak
Limba
U
Dua
Limba
B
Tabaringan
Maccini
Kepel
Panggungrejo
Kandangan
Karangpoh
0%
20%
Jenis
Kelamin
L
40%
60%
80%
100%
Jenis
Kelamin
P
Sumber:
Survei
Mini
Studi
Kerelawanan,
18
Mei
–
31
Juli
2009.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
161
DRAFT
FINAL
REPORT
Kondisi
dengan
keterlibatan
relawan
perempuan
lebih
dominan
juga
ditemukan
di
Kelurahan
Kebun
Geran,
Kecamatan
Ratu
Samban,
Bengkulu.
Perbedaannya,
di
lokasi
ini
motivasi
keterlibatan
perempuan
menjadi
relawan
sangat
berbeda
dengan
relawan
perempuan
di
Kelurahan
Karang
Berombak.
Sebagian
besar
relawan
perempuan
di
Kebun
Geran
adalah
isteri
Ketua
RT/RW
atau
isteri
dari
anggota
BKM.
Dari
penuturan
mereka
terkesan
bahwa
keterlibatan
perempuan
menjadi
relawan
tidak
lebih
dari
“penebal
ijuk.”
Artinya,
sebenarnya
para
perempuan
ini
terlibat
dalam
P2KP
karena
kedudukan
mereka
sebagai
isteri
tokoh,
sehingga
keterlibatannya
dibutuhkan
untuk
mengukuhkan
ketokohan
suaminya.
“.....
ambo
memang
jadi
relawan,
tapi
ambo
ko
cuman
jadi
penebal
ijuk,
karno
laki
ambo
Ketua
RT.
Malu
kalo
dak
ikut,
kelak
dikecek
kek
orang.
Kalo
ambo
kini
dak
aktif,
kelak
orang
idak
dukung
laki
ambo
lagi
.....”
(Saya
memang
menjadi
relawan,
tapi
saya
hanya
menjadi
penebal
ijuk,
karena
suami
saya
Ketua
RT.
Malu
jika
tidak
ikut,
nanti
jadi
omongan
orang.
Kalau
sekarang
saya
tidak
aktif,
orang
tidak
mendukung
suami
saya
lagi).
(Wawancara
dengan
ibu
EtB
di
rumahnya,
Kebun
Geran,
3
Juni
2009).
Keterlibatan
perempuan
dalam
kegiatan
kerelawanan
di
PNPM‐P2KP
bisa
dimaknai
tidak
selalu
merupakan
dorongan
hati
untuk
berpartisipasi.
Beberapa
diantaranya
karena
ikut‐ikutan.
Hal
seperti
ini
ditemukan
di
Kelurahan
Karang
Berombak
‐‐yang
note
bene
memiliki
tingkat
keterlibatan
perempuan
sangat
tinggi‐‐
dimana
keberadaan
mereka
lebih
didorong
karena
hubungan
pertemanan.
Sebagaimana
telah
disampaikan,
para
perempuan
yang
terlibat
menjadi
relawan
di
sini
sudah
saling
kenal
satu
dengan
yang
lainnya
dalam
kelompok‐kelompok
kegiatan
di
tingkat
lingkungan.
Akibatnya,
diantara
mereka
sulit
“dimasuki”
oleh
orang
baru,
atau
dengan
kata
lain
terdapat
gejala
“eksklusivisme”.
Di
lokasi
lain
ditemukan
keterlibatan
relawan
perempuan
karena
motif
“balas
budi”.
Beberapa
“aktivis”
perempuan
di
Kelurahan
Limba
B
dan
Limba
U
Dua,
Kecamatan
Kota
Selatan,
Gorontalo
‐‐dan
juga
kota‐kota
lainnya,
termasuk
di
Medan‐‐
merasa
pernah
ditolong
dengan
menerima
BLM
ekonomi
bergulir,
dan
untuk
itu
membuat
mereka
mau
terlibat
dalam
kegiatan
PNPM‐
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
162
DRAFT
FINAL
REPORT
P2KP.
Dengan
bahasa
yang
berbeda
hal
seperti
ini
dapat
dimaknai
sebagai
adanya
kemanfaatan
yang
telah
mereka
rasakan
dari
program
ini.
5.1.3. Relawan
Menurut
Usia
Usia
merupakan
salah
satu
latar
belakang
penting
bagi
keterlibatan
individu
dalam
kegiatan
kerelawanan
di
PNPM‐P2KP.
Ada
beberapa
kecenderungan
jika
yang
terlibat
berusia
tua,
kerelawanan
dijadikan
media
untuk
mengisi
waktu
luang
di
tengah‐tengah
masa
pensiun
(lihat
juga
tabel
Relawan
Menurut
Jenis
Pekerjaan).
Pada
beberapa
lokasi
ditemukan
kondisi
kerelawanan
bagi
kelompok
usia
di
atas
40
tahun
merupakan
“ladang
amal”,
seperti
misalnya
di
Kelurahan
Karangpoh,
Kecamatan
Tandes,
Surabaya.
Makassar
Gorontalo
Medan
Bengkulu
Gambar
5.3.
Profil
Relawan
Menurut
Usia
Kebun
Dahri
Kebun
Geran
Hamdan
³
60
Karang
Berombak
56
‐
60
Limba
U
Dua
51
‐
55
46
‐
50
Limba
B
41
‐
45
Tabaringan
36
‐
40
31
‐
35
Maccini
Surabaya
Pasuruan
26
‐
30
Kepel
21
‐
25
£
20
Panggungrejo
Kandangan
Karangpoh
0
2
4
6
8
10
12
Sumber:
Survei
Mini
Studi
Kerelawanan,
18
Mei
–
31
Juli
2009.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
163
DRAFT
FINAL
REPORT
Dari
gambar
di
atas
terlihat
kondisi
relawan
di
Kelurahan
Karangpoh
kebanyakan
berusia
di
atas
45
tahun.
Sejumlah
relawan
yang
berhasil
ditemui
dan
masih
aktif,
tercatat
35,30
persen
diantaranya
berusia
antara
30
–
40
tahun.
Kelompok
ini
yang
dikategorikan
oleh
kelompok
tua
sebagai
“kader”
yang
sedang
mereka
dorong
dan
mereka
siapkan
untuk
bisa
menggantikan
keberadaan
para
tokoh
tua.
Beberapa
relawan
di
Karangpoh
mengartikan
relawan
sebagai
bentuk
dari
tindakan
sosial
atau
yang
mereka
terjemahkan
sebagai
suatu
kegiatan
yang
dilakukan
untuk
kepentingan
masyarakat
atau
sosial.
Mereka
juga
menyebut
relawan
sama
dengan
tenaga
sosial.
“Relawan
itu
adalah
tenaga
sosial.
.....
Relawan
adalah
tenaga
sosial
yang
penting
ikhlas.
Harus
ikhlas,
biarpun
sedikit,
harus
ikhlas.
Kalau
mengharapkan
imbalan
namanya
bukan
relawan.”
(Seperti
dituturkan
Dar
dalam
FGD
Relawan
Perempuan,
Karangpoh,
9
Juni
2009:
20.00‐22.00
WIB).
“Relawan
itu
adalah
orang
yang
mau
mengorbankan
waktu,
tenaga,
biaya,
dan
pikirannya
untuk
kepentingan
masyarakat/sosial.
Kadangkadang
nombok.
Contohnya,
tidak
harus
biaya
secara
langsung.
Misalnya
yang
punya
usaha
gitu
ya
...
kalau
ditinggal
begini
kan
dia
rugi
itungannya
...
itu
juga
berkorban.
Secara
gak
langsung
kan
dagangannya
gak
laku.”
(Sebagaimana
disampaikan
WSu
dalam
FGD
Relawan
Perempuan,
Karangpoh,
9
Juni
2009:
20.00‐22.00
WIB).
Definisi
relawan
menurut
masyarakat
Karangpoh
selalu
dikaitkan
dengan
spirit
keyakinan
dan
keagamaan,
khususnya
agama
Islam
yang
dianut
oleh
sekitar
90,00
persen
warganya.
Masyarakat
di
lokasi
ini
cenderung
mengaitkan
relawan
dengan
nilai
keikhlasan,
niat
yang
tulus,
tanpa
pamrih,
panggilan
hati,
dan
ladang
amal.
Kondisi
ini
menyerupai
konsep
yang
disampaikan
Clifford
Geertz
ketika
menulis
tentang
kehidupan
masyarakat
Mojokuto,
menjadi
relawan
di
Kelurahan
Karangpoh
dimaknai
masyarakat
sebagai
“kesalehan
sosial.”56
Contohnya
seperti
yang
ditunjukkan
Sup,
salah
seorang
tokoh
masyarakat
di
Karangpoh,
yang
mendefinisikan
relawan
sebagai
56
Kesalehan
sosial
adalah
suatu
bentuk
kesalehan
yang
tak
cuma
ditandai
oleh
ruku’
dan
sujud
(dalam
sholat
Islam),
melainkan
juga
oleh
cucuran
keringat
dalam
praksis
hidup
keseharian
kita.
Lihat
Geertz,
Clifford
(1993).
Abangan,
Santri,
Priyayi
Dalam
Masyarakat
Jawa.
Jakarta:
Pustaka
Jaya.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
164
DRAFT
FINAL
REPORT
sebuah
tindakan
yang
didasari
ketulusan
niat
dan
keikhlasan
tanpa
mengharapkan
imbalan,
selain
pahala
dari
Allah.
“Relawan
adalah
rela
berkorban
untuk
kepentingan
umum
dengan
ikhlas,
tanpa
pamrih.
Jika
orang
yang
menjadi
relawan
niatnya
tulus,
insya
Allah
bisa
eksis.”
(Dituturkan
dalam
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Karangpoh,
8
Juni
2009:
20.00
–
22.15
WIB).
Juga,
seperti
yang
disampaikan
oleh
beberapa
relawan
lainnya
di
Karangpoh,
sebagai
berikut:
“Relawan
itu
tenaga
kerja
sukarela,
tanpa
pamrih,
tidak
perlu
digaji.
Syarat
menjadi
relawan
adalah
‘teposeliro’
(tenggang
rasa).”
(Ton,
dalam
FGD
Relawan
Laki‐laki,
Karangpoh,
9
Juni
2009:
20.00
‐
22.05
WIB).
“Relawan
adalah
rela
segalanya.
Bahkan
karena
relanya,
urusan
rumahtangga
bisa
ditinggal.”
(Mat,
dalam
FGD
Relawan
Laki‐laki,
Karangpoh,
9
Juni
2009:
20.00
‐
22.05
WIB).
Baik
Sup,
Ton,
maupun
Mat,
ketiganya
mengedepankan
nilai
kesukarelaan
dan
tanpa
pamrih
sebagai
dasar
konsep
kerelawanan.
Lebih
spesifik,
Sup
mengedepankan
niat
(ushalli)
sebagai
landasan
seseorang
dalam
menentukan
tindakan.
Jika
dianalisis
lebih
mendalam
tampaknya
apa
yang
disampaikan
Sup
di
atas
memiliki
kemiripan
dengan
konsep
“etika
protestan”
seperti
yang
disampaikan
oleh
Max
Weber.57
Dalam
konteks
ini
Sup
menghubungkan
antara
agama
(Islam)
dan
tindakan
kerelawanan
dengan
menempatkan
ushalli
(niat)
dan
tindakan
secara
seimbang,
sebagai
salah
satu
bentuk
pengabdian
kepada
Tuhannya.
Ia
meyakini
apa
yang
dilakukan
bukanlah
hal
yang
sia‐sia,
ajaran
agamanya
menjadi
spirit
untuk
memilih
menjadi
relawan
dengan
harapan
mendapat
imbalan
di
surga.
Tidak
jauh
berbeda
dengan
Sup,
H.
Naw,
koordinator
BKM
setempat
menjelaskan
bahwa
kegiatannya
sebagai
relawan
merupakan
aktualisasi
dari
hablum
minnanas,
yakni
kewajiban
manusia
untuk
menjaga
hubungan
dengan
sesamanya
dalam
kehidupan
sehari‐hari.
H.
Naw
menempatkan
spirit
agama
57
Lihat
dalam
Weber,
Max
(2002).
Etika
Protestan
dan
Semangat
Kapitalisme.
Surabaya:
Pustaka
Promethea.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
165
DRAFT
FINAL
REPORT
sebagai
common
denominator
(‘kalimatun
sawa’)
dalam
merancang
etika
bermasyarakat
dan
menjaga
keseimbangan
dalam
kehidupan
bermasyarakat
(antara
si
kaya
dan
si
miskin).
“Relawan
adalah
mengabdi
(hablum
minnanas).
Dalam
hidup
ini,
selain
hablum
minnallah
kita
juga
harus
menjaga
hubungan
dengan
sesama.
Menjadi
relawan
adalah
bentuk
tindakan
kita
dalam
menjaga
hubungan
dengan
sesama
itu.
Di
situ
kita
bisa
menolong
orang
miskin
tanpa
harus
mengharapkan
imbalan,
tapi
sematamata
karena
Allah
SWT.”
(Seperti
dituturkan
H.
Naw
dalam
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Karang
Poh,
8
Juni
2009:
20.00
‐
22.15
WIB).
Lain
lagi
dengan
Suw,
relawan
dan
mantan
Ketua
RW
di
kelurahan
setempat,
yang
melihat
relawan
dalam
pandangan
dan
filosofi
Jawanya,
“ora
urup
yen
awor.”
Makna
filosofi
ini
adalah
adanya
harmonisasi
kehidupan
bermasyarakat.
Senada
dengan
apa
yang
disampaikan
oleh
H.
Naw,
Suw
memberikan
definisi
relawan
sebagai
aktualisasi
“kesalehan
sosial”,
dimana
manusia
dalam
kehidupan
sebagai
makhluk
sosial
tidak
bisa
hidup
sendiri,
tetapi
saling
membutuhkan.
Konsep
hablum
minnanas
yang
disampaikan
oleh
H.
Naw
diejawantahkan
oleh
Suw
dalam
bentuk
kesalehan
sosial.
Agama
memiliki
nilai‐nilai
penting
bagi
kehidupan
sosial,
sehingga
manusia
tidak
hanya
punya
kewajiban
untuk
melaksanakan
kesalehan
ritual
(hablum
minnallah),
tetapi
juga
kesalehan
sosial
(hablum
minnanas).
Semangat
beribadah,
dengan
demikian,
seharusnya
dipahami
secara
lebih
membumi
dan
berharmoni
atau
disesuaikan
dengan
kebutuhan
sehari‐hari.
“Relawan
adalah
merasa
terpanggil
untuk
melakukan
kegiatan
sosial.
Relawan
ini
kan
yang
jelas
sukarela,
merasa
terpanggil
untuk
kepentingan
umum.
Kita
hidup
ini
kan
tidak
hanya
sendiri,
tapi
ada
masyarakat
yang
saling
membutuhkan.
Saya
seneng
tadi
ada
pertanyaan,
‘wong
sudah
enakenak
di
rumah,
kenapa
masih
ikut
beginian’.
Istilah
jawa
“ora
urup
yen
awor.”
Jadi
putihnya
beras
itu
bukan
karena
ditumbuk,
tapi
karena
gesekan
dengan
yang
lain.”
(Seperti
dituturkan
Suw.
dalam
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
Kantor
Lurah
Karang
Poh,
8
Juni
2009:
20.00
–
22.15
WIB)
Jika
dihubungkan,
beberapa
pendapat
di
atas
satu
sama
lain
memiliki
keterkaitan.
Pandangan
tentang
relawan
dengan
demikian
memiliki
dua
dimensi,
yaitu
vertikal
dan
horizontal,
yang
disebut
oleh
H.Naw
sebagai
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
166
DRAFT
FINAL
REPORT
hablum
minnallah
dan
hablum
minnanas
dan
menurut
Suw
disebut
dengan
kesalehan
ritual
dan
kesalehan
sosial.
Relawan
bagi
masyarakat
Karangpoh
adalah
bentuk
ritual
ibadah
dalam
rangka
mendekatkan
diri
dengan
Tuhannya.
Dimensi
vertikal
dicirikan
dengan
ketulusan
dan
keikhlasan
dalam
mengabdi
kepada‐Nya
atau
ushalli
seperti
yang
dikatakan
oleh
Sup,
sedangkan
dimensi
horizontal
dicirikan
dengan
keinginan
untuk
berbagi
kenikmatan
atas
anugerah
rizqi
yang
telah
diberikan‐ Nya
kepada
sesama.
Dari
berbagai
definisi
yang
disampaikan
para
relawan
di
Kelurahan
Karangpoh
di
atas,
maka
tindakan
kerelawanan
mengandung
beberapa
nilai
spirit,
berikut:
(a)
keimanan
(aqidah)
kepada
Allah
SWT;
(b)
wujud
konkrit
dalam
meneladani
sifat
Rasul‐nya,
yaitu
kepedulian
sosial
(manafiun
linnas);
(c)
manusia
adalah
mahluk
sosial;
(d)
penghargaan
terhadap
pluralitas
(kaya‐miskin),
di
sini
agama
tidak
melihat
perbedaan
status
sosial
masyarakat
tertentu;
(e)
tazqiyatun
nafsi
(membersihkan
hati);
(f)
tarbiyah,
agar
manusia
tidak
berperilaku
serakah
atau
rakus;
dan
(g)
mengajarkan
kejujuran
manusia,
baik
terhadap
Tuhan
maupun
sesama
manusia.
Dengan
definisi
nilai
kerelawanan
seperti
di
atas
maka
tidak
mengherankan
jika
orang‐orang
yang
terlibat
menjadi
relawan
di
Kelurahan
Karangpoh
umumnya
berusia
di
atas
40
tahun,
sudah
pensiun
dari
pekerjaannya,
atau
kalaupun
masih
aktif
bekerja
biasanya
adalah
orang‐orang
yang
dalam
kesehariannya
memang
banyak
bersentuhan
dengan
masjid
(ajaran‐ajaran
keagamaan).
Merekalah
yang
disebut
“tokoh”
atau
“yang
ditokohkan”.
Karakteristik
seperti
ini
biasanya
dimiliki
oleh
relawan
laki‐laki.
Untuk
relawan
perempuan,
dengan
alasan
yang
sama
ketika
menjadi
relawan
adalah
tanpa
pamrih,
semata‐mata
mengharapkan
pahala
dari
Allah
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
167
DRAFT
FINAL
REPORT
nanti
di
akherat,
pada
umumnya
berusia
di
atas
40
tahun,
aktif
di
kelompok
pengajian,
aktif
di
berbagai
kegiatan
sosial
lainnya
seperti
PKK,
posyandu,
PAUD,
dan
lain‐lain.
Untuk
kasus
beberapa
relawan
perempuan
yang
masih
berusia
muda,
biasanya
memiliki
jiwa
kerelawanan
yang
diadopsi
dari
orang
tuanya.
Tidak
ada
perbedaan
gender
untuk
menjadi
relawan
di
Karangpoh.
Jumlah
relawan
laki‐laki
dan
perempuan
hampir
sama.
Relawan‐relawan
ini
‐‐ baik
laki‐laki
maupun
perempuan‐‐
terkait
erat
dengan
ketokohan
dan
“darah”
yang
mengalir
dalam
keluarganya.
Berbeda
dengan
Karangpoh,
ada
beberapa
lokasi
yang
memperlihatkan
keterlibatan
kelompok
muda
cukup
besar.
Sebagai
contoh
apa
yang
ditemukan
di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan,
serta
beberapa
lokasi
lainnya,
seperti
Kelurahan
Hamdan,
Kecamatan
Medan
Maimun,
Medan
dan
Kelurahan
Tabaringan,
Kecamatan
Ujung
Tanah,
Makassar.
Di
tiga
lokasi
tersebut
porsi
keterlibatan
relawanrelawan
berusia
muda
relatif
besar,
namun
masing‐ masing
lokasi
memiliki
keragaman
motivasi
kerelawanan.
Pertama,
di
Panggungrejo,
pelibatan
anak‐anak
muda
dalam
pelaksanaan
program
P2KP
merupakan
salah
satu
strategi
yang
dikembangkan
oleh
BKM,
khususnya
dalam
rangka
mengantisipasi
macetnya
pengembalian
dana
BLM.
Mereka
dilibatkan
sebagai
“juru
tagih”
yang
secara
aktif
mendatangi
warga
peminjam.
Hal
ini
dilakukan
karena
berdasarkan
pengalaman,
dengan
melibatkan
kelompok
orang
tua
dalam
UPK,
dan
khususnya
dalam
menagih
angsuran
pinjaman,
maka
yang
terjadi
justeru
setiap
kali
melakukan
penagihan
dana
BLM
mereka
seperti
diajak
“tawuran”.
Akibatnya
UPK
malas
melakukan
tagihan.
Untuk
itulah,
direkrut
para
remaja
‐ ‐bahkan
ABG‐‐
untuk
menggantikan
posisi
UPK
dengan
asumsi
bahwa
masyarakat
(orang
tua)
akan
merasa
malu
dan
tidak
akan
mau
ribut
dengan
remaja/ABG.
Strategi
ini
terbukti
cukup
efektif,
dan
positifnya
lagi
kelompok
remaja
ini
kemudian
secara
aktif
juga
mengajak
teman
sebayanya
untuk
ikut
terlibat.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
168
DRAFT
FINAL
REPORT
Kedua,
berbeda
dengan
Panggungrejo,
keterlibatan
relawan
berusia
muda
di
Kelurahan
Hamdan
awalnya
dilandasi
oleh
pemikiran
agar
BKM
dipegang
(baca:
dikendalikan)
oleh
tokoh‐tokoh
muda.
Dan
benar
saja,
ketika
tokoh‐tokoh
muda
mengambil
peran
dalam
kepengurusan
BKM,
tentu
saja
kemudian
yang
diajak
terlibat
adalah
teman‐teman
sebayanya.
Pengurus
BKM
tidak
mungkin/mau
mengajak
orang‐orang
yang
di
atasnya
(baca:
yang
berusia
lebih
tua)
karena
ada
kekhawatiran
mereka
akan
kesulitan
melakukan
komunikasi
antar‐generasi.
Oleh
karena
itu,
di
kelurahan
ini
porsi
keterlibatan
anak
muda
menjadi
cukup
besar.
Ketiga,
lain
lagi
yang
terjadi
di
Kelurahan
Tabaringan,
Makassar.
Di
kelurahan
ini
jarang
ditemui
ada
anak
muda
yang
menganggur.58
Lokasi
yang
berada
di
tengah
kota
dan
dekat
pusat
ekonomi
(pasar)
ini,
cukup
potensial
memberikan
peluang
kerja
kepada
masyarakatnya.
Sebagian
besar
anak
muda
di
sini
berdagang
di
pasar.59
Lokasi
kelurahan
yang
berada
di
pusat
ekonomi
inilah
yang
mendorong
pemuda
setempat
cukup
aktif
terlibat
dalam
kegiatan
lingkungan.
5.1.4. Relawan
Menurut
Jenis
Pekerjaan
Pekerjaan
merupakan
indikator
ekonomi
yang
pertama
dan
utama
yang
bersangkutan
dengan
masyarakat,
khususnya
masyarakat
miskin.
Dengan
gambaran
latar
belakang
pekerjaan
relawan,
studi
ini
berusaha
memperoleh
pemahaman
yang
akurat
dan
realistis
terkait
dengan
kekuatan
ekonomi
relawan
dan
bagaimana
mereka
terlibat
dalam
kegiatan
PNPM‐P2KP
sekaligus
menjadikan
keterlibatannya
sebagai
suatu
hasil
yang
dianggap
positif.
Gambar
5.4.
Profil
Relawan
Menurut
Jenis
Pekerjaan
58
Sebagai
informasi
pendukung,
kelurahan
ini
tidak
terlalu
luas
dan
dengan
jumlah
penduduk
yang
tidak
terlalu
besar
pula.
Kelurahan
Tabaringan
hanya
terbagi
menjadi
5
RW
dan
25
RT
serta
memiliki
jumlah
penduduk
sekitar
8.000an
jiwa.
59
Untuk
memperjelas,
mereka
umumnya
berdagang
ikan.
Namun
secara
keseluruhan,
sebagian
besar
pedagang
di
pasar
tersebut
adalah
para
pendatang
dari
kelurahan
lain.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
169
DRAFT
FINAL
REPORT
Sumber:
Survei
Mini
Studi
Kerelawanan,
18
Mei
–
31
Juli
2009.
Jika
digambarkan
secara
agregat
di
seluruh
lokasi
studi,
relawan
pada
umumnya
relawan
adalah
mereka
yang
memiliki
usaha
sendiri,
sehingga
punya
keleluasaan
dalam
menentukan
jam
kerja
(perhatikan
Gambar
5.4).
Selain
punya
usaha
sendiri,
ternyata
dapat
dilihat
juga
bahwa
relawan
perempuan
pada
umumnya
adalah
ibu
rumah
tangga.
Mereka
selain
memiliki
waktu
luang
untuk
terlibat
dalam
kegiatan‐kegiatan
sosial,
juga
biasanya
ibu
rumah
tangga
terlibat
sebagai
relawan
untuk
menggantikan
peran
suami
yang
tidak
bisa
terlibat
karena
umumnya
laki‐laki
bekerja
di
luar
rumah.
Dari
diagram
yang
ada
di
Gambar
5.5.
terlihat
bahwa
jumlah
relawan
yang
tidak
bekerja
juga
cukup
besar.
Kondisi
seperti
terlihat
di
semua
kota
dan
hampir
di
semua
kelurahan
yang
didatangi,
kecuali
di
Kelurahan
Karangpoh
(Surabaya),
Kelurahan
Maccini
(Makassar),
Kelurahan
Limba
B
(Gorontalo),
Kelurahan
Karang
Berombak
(Medan),
dan
Kelurahan
Kebun
Dahri
(Bengkulu).
Di
lima
kelurahan
tersebut
Tim
Studi
tidak
menemukan
kondisi
relawan
yang
statusnya
tidak
bekerja,
khususnya
untuk
relawan
yang
terdaftar.
Gambar
5.5.
Profil
Relawan
Menurut
Jenis
Pekerjaan
Di
Masingmasing
Kota
Yang
Diteliti
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
170
DRAFT
FINAL
REPORT
Sumber:
Survei
Mini
Studi
Kerelawanan,
18
Mei
–
31
Juli
2009.
Cukup
banyaknya
relawan
yang
berstatus
tidak
bekerja
memiliki
motivasi
yang
beragam,
misalnya:
(a)
ada
yang
terlibat
untuk
mengisi
waktu
luang
sampai
dengan
mendapatkan
pekerjaan.
Bagi
kelompok
ini
biasanya
mereka
akan
keluar
dari
program
setelah
mendapatkan
pekerjaan;
(b)
ada
yang
berharap
dengan
keterlibatannya
sebagai
relawan
akan
membuka
akses/jaringan
yang
lebih
luas;
atau
bahkan
(c)
ada
yang
berharap
mendapatkan
“uang”
‐‐atau
kompensasi
lainnya‐‐
dengan
menjadi
relawan.
Dengan
kata
lain,
kelompok
ini
menjadikan
relawan
sebagai
pekerjaan
dan
tempat
mencari
nafkah.
5.1.5. Relawan
Menurut
Kategori
Ketokohan
Ketokohan
merupakan
salah
satu
latar
belakang
penting
dalam
konteks
kerelawanan.
Tokoh
yang
kaya
pengalaman
memiliki
kecenderungan
dinilai
oleh
warga
di
sekitarnya
sebagai
orang‐orang
yang
dianggap
memiliki
wawasan
luas
untuk
menangani
suatu
permasalahan
di
lingkungannya,
baik
dalam
lingkup
sosial
maupun
teknis
pekerjaan.
Pengalaman
secara
sederhana
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
171
DRAFT
FINAL
REPORT
dikaitkan
dengan
faktor
usia,
perjalanan/
pengalaman
hidup,
latar
belakang
pekerjaan,
dan
sebagainya.
“Kalau
yang
disebut
tokoh,
tergantung,
tidak
selalu
lurah,
RT,
atau
RW,
atau
pejabat
apapun.
Tokoh
itu
dilihat
karena
wibawanya
orang
itu,
tidak
memandang
RT/RW.
Kadangkadang
di
sinipun,
RTnya
tidak
didengarkan.
Tapi
orang
lebih
mendengar
warganya
yang
dituakan
atau
dianggap
baik
oleh
warga
yang
lain.
Jadi
nggak
harus
Pak
RT.
Misalnya
di
RT
saya,
yang
didengar
Pak
Prapto,
ada
lagi
Pak
Mujiono.
Daripada
Pak
RTnya
lebih
didengar
orang orang
ini.
Ini
biasanya
terjadi
kalau
Pak
RTnya
ndak
bisa
‘nuweki’
(bersikap
dewasa).
Itu
tergantung
sama
pribadinya,
bukan
karena
dia
tua,
bukan
karena
gelar
juga,
tapi
lebih
pada
sifat
dan
sikapnya
orang
tersebut.
Kalau
gelar
saja,
banyak,
Mbak.
‘Tlecekan’
(tersebar
dimanamana)
sekarang.
Tapi
tidak
menjamin
orang
itu
dihargai
bisa
jadi
panutan.”
(Dijelaskan
oleh
WL,
30
tahun,
dalam
FGD
Relawan
Perempuan
Karangpoh,
Balai
Warga
RW
02,
Selasa,
9
Juni
2009,
pukul
20.00
–
22.00
WIB).
Kategori
tokoh
yang
kaya
pengalaman
dan
mampu
nuweki
(bersikap
dewasa
dan
bijaksana)
sebagaimana
dijelaskan
oleh
relawan
di
Kelurahan
Karangpoh,
paling
banyak
ditemui
sebagai
relawan.
Ketokohan
berikutnya
muncul
mewakili
warga
“asli”
(etnis
setempat).
Dan,
yang
jumlahnya
juga
cukup
banyak
adalah
tokoh
kepemudaan
dan
agama.
Kategori
tokoh
kaya
pengalaman
dan
mampu
bersikap
nuweki
hampir
disemua
lokasi
bisa
ditemui.
Tokoh
dengan
karakteristik
ini
pada
umumnya
sekaligus
juga
merupakan
tokoh
formal
dan
banyak
bergelut
di
bidang
keagamaan.
Tokoh
kaya
pengalaman
dan
menduduki
jabatan
formal
di
tingkat
kelurahan
sebagai
Ketua
RT/RW
banyak
ditemui
di
Kelurahan
Kebun
Dahri
dan
Kelurahan
Kebun
Geran
(Bengkulu),
Kelurahan
Limba
B
dan
Kelurahan
Limba
U
Dua
(Gorontalo),
Kelurahan
Kepel
(Pasuruan),
dan
Kelurahan
Maccini
(Makassar).
Tokoh
kaya
pengalaman
dan
dikenal
sebagai
tokoh
agama
banyak
dijumpai
di
Kelurahan
Karangpoh
(Surabaya)
dan
Kelurahan
Panggungrejo
(Pasuruan).
Sedangkan
mereka
yang
tidak
duduk
sebagai
tokoh
formal
maupun
keagamaan,
tetapi
dinilai
kaya
pengalaman
dan
bisa
nuweki
bisa
ditemui
di
Kelurahan
Karang
Berombak.
Secara
agregat,
ketokohan
karena
latar
belakang
“kaya
pengalaman”
ini
sangat
bisa
diterima
karena
umumnya
mereka
terpilih
menjadi
relawan
dengan
alasan
sudah
terbiasa
bekerja
untuk
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
172
DRAFT
FINAL
REPORT
masyarakat,
seperti
di
PKK,
posyandu,
panitia
kerja
bakti,
panitia
pengajian,
serikat
tolong‐menolong
(STM),
dan
sebagainya.
Kategori
tokoh
pemuda
banyak
ditermui
di
Medan,
khususnya
di
Kelurahan
Hamdan.
Ini
terjadi
karena
banyak
di
antara
pemuda
di
kelurahan
ini
masih
menganggur,
sehingga
menjadi
menjadi
relawan
merupakan
alternatif
kegiatan
untuk
mengisi
waktu.
Selain
di
Keliurahan
Hamdan,
tokoh
muda
potensial
bisa
ditemui
di
Kelurahan
Panggungrejo
(Pasuruan).
Tokoh
pemuda
di
Keliurahan
Panggungrejo
muncul
dengan
kerjasama
yang
baik
dengan
tokoh
lainnya
(golongan
tua),
tidak
ada
kesan
saling
mendominasi
satu
sama
lain,
bahkan
relatif
nampak
keduanya
saling
mendukung
dan
menguatkan.
Di
Kelurahan
Kebun
Geran
(Bengkulu),
tokoh
pemuda
juga
tampil
di
depan
yang
dikuatkan
posisinya
oleh
ketokohan
formal.
Beberapa
relawan
perempuan
yang
tampil
di
kelurahan
ini,
mengakui
bahwa
dirinya
adalah
“penebal
ijuk”
bagi
ketokohan
formal
suami
atau
ayahnya
yang
Ketua
RT/RW.
Kategori
tokoh
agama
juga
merupakan
identitas
yang
cukup
populer
dari
beberapa
relawan.
Tokoh
ini
paling
banyak
ditemui
di
Kelurahan
Panggungrejo
(Pasuruan)
dan
Kelurahan
Karangpoh
(Surabaya).
Untuk
Kelurahan
Panggungrejo,
tokoh
agama
muncul
sebagai
representasi
kepatuhan
masyarakat
setempat
pada
“guru/ustadz.”
Sedangkan
di
Kelurahan
Karangpoh,
sebenarnya
bukan
ketokohannya
di
bidang
agama
yang
lebih
ditonjolkan,
tetapi
sikap
untuk
menempatkan
kesalehan
sosial
sejajar
dengan
kesalehan
ritual.
Di
kelurahan
lain,
tokoh
agama
juga
bisa
dijumpai,
yakni
di
Kelurahan
Limba
B
dan
Kelurahan
Limba
U
Dua
(Gorontalo),
namun
jumlahnya
tidak
banyak
dan
cenderung
keberadaannya
karena
dia
adalah
orang
yang
difigurkan
di
masyarakat.
5.1.6. Relawan
Menurut
Kedekatan
Akses
Birokrasi
Kedekatan
para
relawan
dengan
pihak
kelurahan
membuat
aktivitas
pelaku
program
‐‐yaitu
khususnya
relawan
yang
kemudian
terpilih
menjadi
pengurus
BKM‐‐
dalam
menjalankan
kegiatan
program
mendapatkan
kemudahan.
Di
banyak
lokasi
ditemukan
fakta
bahwa
peran
Lurah
sebagai
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
173
DRAFT
FINAL
REPORT
pihak
yang
“memiliki
wilayah”
sangat
sentral
dalam
kegiatan
PNPM‐P2KP.
Selain
sebagai
legalisator
(“pemberi
tanda‐tangan”
bagi
faskel),
Lurah
juga
cukup
menentukan
dalam
“penunjukan”
siapa‐siapa
yang
diusulkan
menjadi
relawan
dan
siapa‐siapa
yang
akan
menjadi
anggota
BKM.
Karenanya,
tidak
mengherankan
di
beberapa
lokasi
yang
didatangi
terdapat
anggota
BKM
yang
berasal
dari
orang‐orang
yang
“dekat”
atau
aktif
dalam
lingkungan
kelurahan,
seperti
misalnya:
perangkat
kelurahan,
ketua
RW/RT,
dsb.
Di
Kelurahan
Kebun
Dahri
(Bengkulu),
anggota
BKM
sebagian
besar
adalah
Ketua
RT/RW.
Di
sini
memang
peran
kelurahan
tampak
jelas,
dimana
lurah
juga
memposisikan
diri
sebagai
orang
yang
“mengendalikan”
seluruh
aspek
kehidupan
di
Kebun
Dahri
yang
masyarakatnya
relatif
“liar”.
Konon,
Lurah
Kebun
Dahri
saat
ini
sudah
menjabat
selama
empat
kali
di
kelurahan
ini,
meskipun
sempat
dipindahkan
ke
kelurahan
lain,
namun
pada
akhirnya
dia
ditempatkan
kembali
ke
Kelurahan
Kebun
Dahri.
Menurut
analisis
Tim
Studi
hal
ini
bukan
semata‐mata
karena
prestasinya
yang
baik
sebagai
lurah
di
Kebun
Dahri,
tetapi
sangat
mungkin
disebabkan
karena
karakteristik
masyarakat
yang
“liar”
di
kelurahan
ini
akan
lebih
efektif
jika
dikendalikan
oleh
gaya
kepemimpinan
lurah
yang
sekarang.60
Dengan
pertimbangan
untuk
tetap
menjaga
agar
situasi
terkendali,
maka
tidak
mengherankan
jika
di
kelurahan
ini
keterlibatan
Ketua
RT/RW
menjadi
dominan
dalam
tubuh
BKM.
Karenanya
pula,
BKM
Kelurahan
Kebun
Dahri
tidak
mampu
berkembang
menjadi
kelembagaan
masyarakat
yang
mandiri.
Berbeda
dengan
Kelurahan
Kebun
Dahri,
di
Kelurahan
Limba
U
Dua
(Gorontalo)
keterlibatan
Ketua
RT/RW
‐‐yang
cukup
dominan‐‐
dalam
struktur
BKM
merupakan
salah
satu
bentuk
kontrol
yang
baik
terhadap
hubungan
antara
pihak
kelurahan
dan
BKM.
Menurut
keterangan
Lurah
Limba
U
Dua,
keterlibatan
tokoh
masyarakat
dalam
tubuh
organisasi
BKM,
bagi
kelurahan
merupakan
keuntungan
tersendiri.
Keberadaan
Ketua
RT,
Ketua
RW,
atau
pengurus
LPM
dalam
keanggotaan
BKM,
tidak
mengurangi
kinerja
mereka
60
Beberapa
warga
setempat
menjuluki
gaya
kepemimpinan
lurah
yang
sekarang
ini
sebagai
“lurah
preman”.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
174
DRAFT
FINAL
REPORT
sebagai
staf
kelurahan.
Bahkan,
lanjutnya,
mereka
bisa
berperan
untuk
menekan
kemungkinan
salah
sasaran.
Hal
ini
diyakini
lurah
karena
mereka
adalah
ujung
tombak
kelurahan
yang
sudah
sangat
dikenal
dan
mengenal
masyarakat.
Sehingga
dengan
demikian
mereka
sangat
memahami
dengan
baik
siapa
saja
yang
tergolong
masyarakat
miskin
di
lingkungannya
masing‐ masing.
“Mereka
yang
menjabat
Ketua
RT,
RW,
atau
LPM
memang
sudah
aktif
dalam
kegiatan
di
masyarakat
dan
masyarakat
sudah
mengenal
mereka,
sehingga
sama
sekali
tidak
mengganggu
tugastugas
di
kelurahan.
Malahan
ini
memudahkan
kelurahan,
karena
mereka
dapat
mengontrol
ketepatan
calon
penerima
manfaat.”
(Sebagaimana
disampaikan
MA,
Lurah
Limba
U
Dua,
Kamis,
23
Juli
2009:
11.15
–
12.00
WITA)
Dalam
penjelasannya
lebih
lanjut,
lurah
mengatakan
bahwa
data
calon
penerima
manfaat
yang
disampaikan
oleh
BKM
dijadikan
acuan
untuk
menentukan
sasaran
bagi
kegiatan
serupa,
sehingga
tidak
overlap.
Ketua
RT,
Ketua
RW,
atau
Pengurus
LPM
yang
terlibat
dalam
keanggotaan
BKM
umumnya
memainkan
peran
ganda
dalam
identifikasi
penerima
manfaat,
sehingga
tugas
mereka
di
BKM
bisa
disinkronisasikan
dengan
tugas
di
kelurahan.
Secara
struktural,
kelembagaan
RT
dan
RW
untuk
Kelurahan
Limba
U
Dua
‐‐dan
kelurahan
lain
di
Gorontalo
pada
umumnya‐‐
dipilih
langsung
oleh
lurah,
bukan
dipilih
oleh
warga
sebagaimana
perda
yang
ada
di
Kota
Gorontalo.
Hal
ini
dilakukan
karena
RT
dan
RW
adalah
kepanjangan
tangan
lurah.
Hal
ini
juga
memudahkan
bagi
lurah
untuk
melakukan
kontrol
birokrasi
kepada
aparatur
di
bawahnya,
sehingga
meskipun
mereka
terlibat
di
BKM,
mereka
tetap
menjalankan
tugas‐tugas
kelurahan
dengan
baik.
5.1.7. Relawan
Menurut
Intensitasnya
Dalam
Aktivitas
Sosial
Bagian
ini
sangat
terkait
dengan
pertanyaan
penelitian
tentang
representasi
kepentingan
yang
“dibawa”
relawan.
Latar
belakang
relawan
dalam
kegiatan
sosial
dapat
dilihat
sebagai
karakter
yang
dimiliki
dan
melekat
pada
relawan
yang
menjadi
dasar
untuk
merepresentasikan
kepentingan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
175
DRAFT
FINAL
REPORT
mayoritas
masyarakat
‐‐khususnya
dalam
hal
ini
masyarakat
miskin.
Namun
demikian,
pada
bagian
ini
juga
belum
tentu
bisa
ditarik
kesimpulan
mengenai
apakah
keaktifan
mereka
dalam
lingkungan
masyarakat
akan
serta
merta
mencerminkan
“ketulusan”
kerelawanan
yang
mereka
lakukan.
Hal
ini
bisa
saja
bertolak
belakang
dengan
kebiasaan
para
pelaku
(baca:
relawan)
P2KP;
karena
pada
awalnya
ia
(mau/ikhlas)
bekerja
sukarela
untuk
masyarakat,
akan
tetapi
dengan
adanya
program
P2KP
‐‐yang
dianggap
menyangkut
kepentingan
pemerintah‐‐
mereka
merasa
bekerja
untuk
Lurah
atau
Pemerintah,
dan
karenanya
(menurut
mereka)
harus
ada
imbalannya.
Catatan
untuk
profil
relawan
menurut
intensitas
keterlibatannya
dalam
aktivitas
sosial
antara
lain
bahwa
keaktifan
berorganisasi
di
lingkungan
dimaksudkan
sebagai
relawan
yang
aktif
dan
memiliki
status
serta
peran
dalam
perkumpulan‐perkumpulan
untuk
suatu
kegiatan
“permanen”
di
lingkungannya,
seperti:
ikatan
remaja
setempat/karang
taruna,
kumpulan
arisan,
ikatan
profesi
(seperti
di
Bengkulu,
ditemukan
ada
ikatan
pedagang
kaki
lima),
ikatan
suku/etnis,
dan
sebagainya.
5.1.8. Relawan
Menurut
Status
Sosial
Ekonomi
Hampir
di
keseluruhan
lokasi
studi
sulit
ditemukan
relawan
yang
berasal
dari
warga
yang
memiliki
status
ekonomi
tinggi
(baca:
orang
kaya).
Berdasarkan
penjelasan
dari
pihak
Kelurahan
dan
anggota
BKM,
dapat
ditangkap
kesan
bahwa
orang
kaya
menganggap
PNPM‐P2KP
diperuntukkan
bagi
masyarakat
miskin,
dan
(untuk
itu)
orang
kaya
tidak
perlu
terlibat.61
Selain
itu,
mereka
tidak
mau
ikut
kegiatan
cenderung
karena
takut
“ada
buntutnya”
(seperti:
menjadi
gantungan
harapan
orang
miskin).
Kalaupun
ada
yang
mau
terlibat,
mereka
umumnya
“tidak
mau”
dilibatkan
secara
berkesinambungan.
Akibatnya,
hingga
saat
studi
ini
dilakukan,
yang
muncul
menjadi
relawan
kebanyakan
datang
dari
orang
miskin,
dengan
alasan
yang
paling
gampang
karena
merasa
kegiatan
ini
untuk
mereka.
61
Tentu
saja,
persepsi
ini
salah
sama
sekali,
dan
(untuk
itu
juga)
perlu
“dipertanyakan”
sosialisasi
program
yang
(dahulu)
dilakukan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
176
DRAFT
FINAL
REPORT
Khususnya
di
Kelurahan
Limba
B,
Gorontalo,
berdasarkan
pengamatan
dan
catatan
pribadi
Tim
Studi
dapat
dideskripsikan
kategorisasi
warga
berdasarkan
kondisi
status
sosial
ekonominya.
Tokoh‐tokoh
masyarakat
menempati
status
tertinggi
di
Kelurahan
Limba
B,
kemudian
baru
disusul
posisi
Lurah
yang
berada
“sedikit”
di
bawah
tokoh‐tokoh
masyarakat,
yang
pada
dasarnya
memiliki
massa
atau
diposisikan
sebagai
panutan
di
lingkungannya.62
Gambar
5.6.
Peta
Hubungan
Kerelawanan
dengan
Status
Sosial
Ekonomi
Di
Kelurahan
Limba
B,
Gorontalo
Status
atas
Tokoh Masyarakat
Tokoh Masyarakat Lurah
Masyarakat Menengah Atas
BKM Masyarakat Miskin
Relawan
Status
bawah
Sumber:
Data
Primer
–
Catatan
Lapangan
Tim
Studi,
Gorontalo,
22
–
31
Juli
2009.
Lain
halnya
dengan
kondisi
yang
ditemukan
di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan,
berdasarkan
pengamatan
lapangan
selama
10
hari
dapat
dideskripsikan
secara
lebih
spesifik
bahwa
dalam
struktur
masyarakat
62
Sebagai
gambaran
awal
dapat
diikuti
komposisi
keanggotaan
BKM‐P2KP
dan
bagaimana
dahulu
proses
pembangunannya
(baca:
pemilihannya)
selama
dua
kali
kepengurusan.
Koordinator
BKM
yang
sekarang
dan
yang
digantikannya,
keduanya
sama‐sama
tokoh
masyarakat,
dulu
tokoh
pendidikan
dan
sekarang
mantan
birokrat.
Juga,
profil
lurah
yang
baru
dan
relatif
masih
muda
(lulusan
IPDN
yang
baru
ditempatkan
beberapa
tahun)
setidaknya
membuat
kondisi
dimaksud
semakin
relevan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
177
DRAFT
FINAL
REPORT
Panggungrejo,
tokoh
agama
memiliki
kedudukan
sosial
tertinggi,
baru
kemudian
disusul
“pengurus”
BKM‐P2KP,
Staf
UPK,
UPL,
dan
UPS
di
dalam
BKM,
dan
berikutnya
relawan.
Lurah
dan
perangkat
kelurahan
menurut
pandangan
mereka
berada
“di
luar”
struktur
sosial‐budaya
masyarakat.63
Gambar
5.7.
Peta
Hubungan
Kerelawanan
dengan
Status
Sosial
Ekonomi
Di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan
Masyarakat Panggungrejo
Status
teratas
di
masyarakat
Tokoh Keagamaan BKM UP-UP
Kelurahan
Relawan
RTM Status
terbawah
di
masyarakat
Sumber:
Data
Primer
–
Catatan
Lapangan
Tim
Studi,
Pasuruan,
17
–
26
Juni
2009.
5.1.9. Relawan
Menurut
Sumber
Dorongan
Keikutsertaan
Minat
menjadi
relawan
tentu
saja
ada
sumber
dorongan
untuk
ikut
serta.
Dorongan
untuk
ikut
serta
menjadi
relawan
umumnya
karena
adanya
ajakan
dari
orang‐orang
di
sekitarnya,
seperti:
orang
tua/saudara,
tetangga,
ataupun
kawan
bermain
yang
masih
satu
lingkungan
tempat
tinggal.
Di
lapangan
ditemukan
sumber
lain
yang
mendorong
keikutsertaan
relawan
dalam
program
PNPM‐P2KP,
seperti
adanya
“penunjukkan”
dari
pihak
kelurahan.
Kondisi
ini
menyebabkan
faktor
“penunjukkan”
perlu
juga
63
Hal
ini
secara
implisit
“dibenarkan”
oleh
lurah
setempat.
Wawancara
pribadi
dengan
DAW,
Lurah
Panggungrejo,
22
Juni
2010:09.30
WIB.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
178
DRAFT
FINAL
REPORT
dimasukkan
menjadi
kategori
pelaku
yang
terpaksa
ikut
dalam
kegiatan.
Dalam
konteks
ini
yang
tergolong
dalam
pihak
kelurahan
selain
lurah
adalah
ketua
RW/RT.
Disamping
itu,
“penunjukkan”
juga
berasal
dari
tokoh
masyarakat,
ataupun
yang
sejenis,
yang
pada
intinya
merupakan
penunjukkan
dari
kelompok
strata
sosial
yang
lebih
tinggi
ke
yang
lebih
rendah.
Akibatnya,
ditemukan
kondisi
sulit
menjadi
relawan
atas
“keinginan
sendiri”.
Selalu
ada
“peran
penunjukkan”
(external
factor)
ini,
terutama
dari
Lurah
(atau
perangkatnya)
atau
dari
tokoh‐tokoh
setempat.64
5.2.
Kerelawanan
Dipandang
Dari
Aset
Penghidupan
Sebagaimana
telah
dijelaskan
di
Bab
3
bahwa
akan
sangat
menarik
mempelajari
“jatidiri”
relawan
dari
sudut
pandang
penguasaan
sumberdaya‐ sumberdaya
yang
ada
di
sekitar
kehidupan
mereka,
yang
dalam
kajian
ini
disebut
dengan
“aset
penghidupan”
(livelihood
assets).
Masyarakat
memerlukan
berbagai
sumberdaya
untuk
mencapai
hasil
positif
dan
tidak
ada
satu
kategori
sumberdaya
tunggal
yang
cukup
untuk
menghasilkan
sekian
banyak
dan
beragam
kebutuhan
yang
harus
dipenuhi.
Untuk
itu
masyarakat
harus
mencari
cara‐cara
memelihara
dan
menggabungkan
aset
apa
yang
mereka
miliki
dalam
cara‐cara
inovatif
untuk
memastikan
kelangsungan
hidupnya.
Bentuk
pentagon
dapat
digunakan
untuk
menunjukkan
skematik
variasi
akses
relawan
terhadap
sumberdaya
yang
ada
di
lingkungannya.
Atas
dasar
skema
berbentuk
segilima
yang
berbeda
dapat
ditarik
untuk
berbagai
komunitas
atau
kelompok‐kelompok
sosial
dalam
masyarakat.
Penting
untuk
dicatat
bahwa
satu
sumberdaya
fisik
dapat
menghasilkan
beberapa
keuntungan.
Jika
seseorang
memiliki
akses
(modal/sumberdaya
alam),
mereka
mungkin
modal/sumberdaya)
dalam
bentuk
uang,
juga
karena
terhadap
tanah
akan
memiliki
mereka
mampu
menggunakan
tanah
bukan
hanya
untuk
kegiatan
produktif
secara
langsung,
tetapi
juga
sebagai
jaminan
atas
pinjaman.
Demikian
pula,
ternak
dapat
64
Beberapa
relawan
secara
lepas
memberi
penjelasan
dengan
menyebutkan
bahwa
ini
sudah
“budaya”
(baca:
kebiasaan)
di
kelurahan
mereka.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
179
DRAFT
FINAL
REPORT
menghasilkan
modal/sumberdaya
sosial
(dalam
bentuk
prestise
dan
kesinambungan
dengan
masyarakat)
sebagai
pemilik,
sementara
pada
saat
yang
sama
digunakan
sebagai
modal/sumberdaya
fisik
produktif.
Dalam
rangka
mengembangkan
pemahaman
tentang
hubungan
yang
kompleks
ini
perlu
juga
mempertimbangkan
faktor‐faktor
di
luar
sumberdaya
itu
sendiri,
khususnya
untuk
berpikir
tentang
praktek‐praktek
budaya
yang
berlaku
dan
jenis
struktur
dan
proses
yang
“mengubah”
berbagai
sumberdaya
non‐ekonomi
menjadi
sumber
ekonomi,
yang
notabene
merupakan
kekuatan
bagi
keberlangsungan
nilai‐nilai
kerelawanan.
Dengan
menggunakan
lima
kategori
sumberdaya,
yakni:
natural
capital,
physical
capital,
human
capital,
financial
capital,
dan
social
capital,
Tim
Studi
dapat
membuat
gambaran
yang
berbeda‐beda
di
masing‐masing
lokasi
studi.
Beberapa
lokasi
memiliki
kecenderungan
sama
karena
terletak
di
satu
kota
dan
secara
geografis
hanya
dipisahkan
oleh
jalan,
sehingga
memiliki
kesamaan
pada
aset
natural
capital,
physical
capital,
human
capital,
dan
financial
capital.
Bahkan
social
capital‐nyapun
tidak
terlalu
memiliki
perbedaan
yang
signifikan.
Lokasi
yang
memiliki
skema
livelihood
asset
hampir
sama
adalah
Kelurahan
Limba
B
dan
Limba
U
Dua
(Gorontalo),
serta
Kelurahan
Kebun
Geran
dan
Kebun
Dahri
(Bengkulu).
Kelurahan
Limba
B
dan
Kelurahan
Limba
U
Dua
di
Gorontalo
memiliki
diagram
hubungan
antar
aset
yang
hampir
sama.
Perbedaan
diantara
kedua
lokasi
tersebut
sangat
tipis,
yakni
terutama
pada
sumberdaya
sosialnya,
dimana
Limba
B
sedikit
lebih
besar,
dan
sumberdaya
sosial
ini
diduga
berpengaruh
besar
terhadap
keterlibatan
masyarakat
untuk
menjadi
relawan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
180
DRAFT
FINAL
REPORT
Gambar
5.8.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kota
Gorontalo
Kelurahan
Limba
B
Kelurahan
Limba
U
Dua
Sumber:
Data
Primer
Lapangan
Studi
Kerelawanan,
diolah,
2009.
Sepintas,
dari
diagram
di
atas,
terlihat
aset
penghidupan
yang
dimiliki
relawan
di
kedua
kelurahan
tampak
tidak
jauh
berbeda.
Namun
demikian,
dalam
praktek
kerelawanan,
di
Kelurahan
Limba
U
Dua
memiliki
kecenderungan
sulit
menemukan
relawan,
terutama
laki‐laki.
Hal
ini
terjadi
karena
rendahnya
akses
masyarakat
(khususnya
laki‐laki)
terhadap
kelembagaan
lokal.
Kelembagaan
lokal
yang
ada
‐‐seperti:
PKK,
posyandu,
arisan,
dan
lain‐lain‐‐
lebih
banyak
melibatkan
warga
perempuan.
Bahkan
kelompok
pengajian
dari
tingkat
RT
hingga
kelurahan
hanya
diikuti
oleh
perempuan.
Selain
itu,
Kelurahan
Limba
U
Dua
merupakan
lokasi
perkantoran
Kota
Gorontalo,
sehingga
sebagian
besar
penduduknya
bekerja
sebagai
pegawai
(khususnya
PNS).
Jumlah
penduduk
miskin
di
kelurahan
ini
tercatat
hanya
sekitar
lima
persen
dari
total
jumlah
penduduk,
dan
sebagian
besar
relawan
berasal
dari
penduduk
miskin
ini.
Pada
umumnya,
laki‐laki
dari
kelompok
masyarakat
miskin
bekerja
sebagai
penarik
bentor
(becak
motor),
sehingga
waktunya
lebih
banyak
tersita/digunakan
untuk
bekerja.
Akibatnya,
pada
umunya
laki‐laki
dewasa
di
sini
tidak
banyak
terlibat
menjadi
relawan
pada
program.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
181
DRAFT
FINAL
REPORT
Agak
sedikit
berbeda
dengan
kondisi
di
Gorontalo,
situasi
di
Kelurahan
Kebun
Geran
dan
Kebun
Dahri,
Bengkulu,
juga
memiliki
gambaran
keberlanjutan
penghidupan
(livelihood
sustainability)
yang
hampir
sama.
Kelurahan
Kebun
Geran
memiliki
sumberdaya
sosial
relatif
lebih
rendah
dibandingkan
dengan
Kebun
Dahri.
Dari
sumberdaya
fisik,
juga
Kelurahan
Kebun
Dahri
lebih
baik
jika
dibandingkan
dengan
Kebun
Geran.
Namun
demikian,
secara
administratif,
sisi
kerelawanan
di
Kelurahan
Kebun
Geran
(menurut
data
SIM
KMP)
dinilai
memiliki
kinerja
yang
lebih
tinggi
(highest
level)
dibandingkan
Kebun
Dahri
(lowest
level).
Gambar
5.9.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kota
Bengkulu
Kelurahan
Kebun
Geran
Kelurahan
Kebun
Dahri
Sumber:
Data
Primer
Lapangan
Studi
Kerelawanan,
diolah,
2009.
Untuk
melihat
lebih
jauh
keberlanjutan
aset
penghidupan
relawan
P2KP
di
Bengkulu,
tidak
ada
salahnya
jika
kita
mengkaji
aspek
kultural
yang
melatarbelakangi.
Aspek
kultural
ini
menjadi
salah
satu
ciri
khas
‐‐lebih
tepatnya
menjadi
stereotipe‐‐
masyarakat
Bengkulu.
Sebagaimana
orang
Bengkulu
asli
(terutama
yang
tinggal
di
kota
Bengkulu),
masyarakat
Kelurahan
Kebun
Geran
memiliki
filosofi
dan
pandangan
hidup
sederhana
dan
mendalam,
yang
hal
ini
diekspresikan
dalam
ungkapan
berikut:
Ikan
sejerek,
berè
secupak.
Gudang
garam
sebatang,
madar
.....
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
182
DRAFT
FINAL
REPORT
Ikan
sejerek
maksudnya
adalah
ikan
hasil
tangkapan
(biasanya
memancing
di
sungai,
rawa,
atau
laut),
diikat
dengan
tali
uwi
(rotan)
yang
masih
kecil
(seukuran
lidi
kelapa).
Ikan
pertama
diikat
dengan
salah
satu
ujung
uwi
dari
lubang
insang
dan
keluar
dari
mulutnya.
Ikan‐ikan
berikutnya
disusun
dengan
cara
memasukkan
ujung
uwi
satu
lagi
dari
lubang
insang
menembus
ke
mulutnya.
Lalu
sejerek
ikan
itu
terlihat
susunan
ikan
yang
dibawa
dengan
seutas
tali
uwi.
Jerek
ini
sebenarnya
tidak
hanya
menggunakan
uwi,
namun
bisa
juga
dengan
sebuah
lidi
enau
(aren),
dahan
kecil
semak‐semak
yang
ditemui,
atau
lainnya
yang
bisa
men‐jerek
ikan.
Berè
adalah
beras.
Cupak
adalah
ukuran
yang
setara
dengan
satu
setengah
liter.
Jadi
yang
dimasud
berè
secupak
adalah
beras
sekitar
satu
setengah
liter.
Gudang
garam
merupakan
salah
satu
merek
dagang
rokok
yang
diakrabi
oleh
kelompok
masyarakat
perokok
dan
menjadi
salah
satu
merek
yang
diinginkan
untuk
dinikmati
oleh
kelompok
masyarakat
itu.
Sedangkan
madar
berarti
istirahat.
Dalam
bahasa
Kaur
atau
Bintuhan
berarti
tulik,
atau
tidur.
Tapi
madar
ini
memiliki
makna
beristirahat,
melepas
lelah,
namun
betul‐betul
melepaskan
beban
hidup
setelah
seharian
menjalani
dan
menikmati.65
Makna
sebenarnya
dari
filosopi
hidup
ini
adalah
menggambarkan
kesederhanaan
orang
Bengkulu
dalam
menjalani
hidup.
Sumberdaya
alam
diambil
secukupnya,
tidak
melebihi
kebutuhan.
Ikan
sejerek
merupakan
penggambaran
masyarakat
yang
mengambil
kekayaan
alam
berupa
ikan
hanya
sekedar
untuk
kebutuhan
makan
sekeluarga.
Sejerek
ikan
umumnya
hanya
berisi
sekitar
lima
sampai
belasan
ikan
ukuran
sedang
(tidak
lebih
besar
dari
telapak
tangan
orang
dewasa).
Untuk
ukuran
keluarga
batih
(nuclear
family),
berè
secupak
cukup
untuk
makan
dua
tiga
hari.
Maka,
berè
secupak
dimaknai
65
Berdasarkan
penuturan
Irm
(35
tahun),
pedagang
burung
dan
staf
Unit
Pengelola
Keuangan
(UPK)
di
BKM
Kelurahan
Kebun
Geran,
filosofi
tersebut
cenderung
mengesankan
masyarakat
Kebun
Geran
(khususnya)
dan
Kota
Bengkulu
(umumnya)
memiliki
sifat
malas.
“.....
(kerja)
cukup
untuk
makan
hari
ini,
besok
cari
lagi.”
(Wawancara
pribadi,
Pasar
Burung,
31
Mei
2009:
09.30
–
11.00
WIB).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
183
DRAFT
FINAL
REPORT
dengan
kecukupan
untuk
menjalani
hidup.
Rokok
sebatang
merupakan
ungkapan
bahwa
dalam
sehari
cukup
merokok
sebatang.
Setelah
mendapatkan
ikan
sejerek,
berè
secupak,
dan
sebatang
rokok,
dianggap
sudah
cukup
pencarian
rezeki
dalam
sehari.
Sehingga,
selanjutnya
adalah
madar,
beristirahat,
atau
memanfaatkan
waktu
untuk
bercengkrama
dengan
keluarga
dan
orang
di
sekelilingnya.
Juga,
makna
yang
ingin
disampaikan
oleh
para
pendahulu
atau
nenek
moyang
masyarakat
Bengkulu
adalah
bagaimana
menjalani
kehidupan
dengan
tidak
berlebihan,
memanfaatkan
kekayaan
alam
dengan
bijaksana
dan
menyisihkan
sebagian
untuk
ditabung.
Sayangnya
filosofi
ini
lebih
banyak
diaplikasikan
di
masyarakat
dengan
menonjolkan
perilaku
“malas”,
sehingga
mereka
(baca:
warga
asli)
cenderung
tertinggal
dari
para
pendatang
dan
makin
terdesak
ke
pinggir.
Tanpa
bermaksud
menegasikan
bahwa
filosofi
ini
benar
adanya,
selama
sepuluh
hari
Tim
Studi
berada
di
Kota
Bengkulu
‐‐khususnya
di
Kelurahan
Kebun
Geran
dan
Kebun
Dahri‐‐
tertangkap
kesan
bahwa
aktivitas
masyarakat
di
kedua
lokasi
tersebut
sama‐sama
menggambarkan
rendahnya
daya
juang
mereka
untuk
mengakses
sumber‐sumber
(aset)
penghidupan
yang
ada
di
sekitarnya.
Mereka
cenderung
pragmatis,
mengkaitkan
setiap
program
di
masyarakat
dengan
kebutuhan
hidup
sehari‐hari.
Demikian
halnya
yang
terjadi
dalam
pelaksanaan
P2KP,
relawan‐relawan
yang
terlibat
cenderung
kurang
memainkan
peran
dramatis
dan
sensasional
‐‐yang
dapat
memberi
kontribusi
terhadap
keberlanjutan
program‐‐
dan
cenderung
menjadikan
program
(baca:
P2KP)
sekedar
sebagai
salah
satu
peluang
untuk
mendapatkan
sumberdaya
keuangan.
Gambaran
aset
penghidupan
di
atas
memiliki
pengaruh
cukup
besar
dalam
tindakan
kerelawanan
di
Bengkulu.
Ketika
Tim
Studi
mencoba
mencari
tahu
pemahaman
para
relawan
tentang
definisi
relawan,
secara
umum
yang
muncul
hanyalah
“jawaban
normatif”,
sekedar
menyampaikan
ulang
apa
yang
ditulis
dalam
manual
program.
Ketika
ditelusuri
lebih
jauh,
relawan
sejati
justeru
banyak
dijumpai
di
luar
P2KP.
Sebagai
contoh,
ditemukan
banyak
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
184
DRAFT
FINAL
REPORT
informasi
yang
tidak
sinkron
antara
yang
disampaikan
oleh
BKM
dengan
apa
yang
dipahami
warga
masyarakat.
Beberapa
nama
tercatat
sebagai
penerima
manfaat,
namun
ketika
nama‐nama
tersebut
didatangi
banyak
diantaranya
tidak
tahu‐menahu
tentang
program
yang
mencantumkan
namanya.
“Ade,
misalne
genku
perneak
ijai
ketuai
KSM
sulammenyulam,
padahal
uku
coa
perneak
namen
masalah
do’o,
tibotibo
genku
ade
ngen
tekenku
kulo
biade,
tapi
uku
coa
perneak
namen
jano
igai
temekene,
uku
coa
namen
api
di
melakukan
pemalsuan.”
(Ada,
misalnya
nama
saya
pernah
jadi
ketua
KSM
sulam‐menyulam,
padalal
saya
tidak
pernah
tahu
masalah
tersebut,
tiba‐tiba
nama
dan
tanda
tangan
saya
sudah
ada,
tapi
saya
tidak
pernah
tahu
–
apalagi
menandatanganinya.
Saya
tidak
tahu
siapa
yang
melakukan
pemalsuan).
(Wawancara
dengan
Mel,
warga
asli,
Minggu
31
Mei
2009:
09.30
–
10.40
WIB.
Dialog
menggunakan
bahasa
daerah
suku
Rejang,
Bengkulu).
Demikian
halnya
drama
yang
terjadi
di
tubuh
BKM.
Aktor‐aktor
“pandai”66
tidak
selalu
berada
di
garis
depan,
tetapi
menjadi
penyusun
skenario
dan
menempatkan
aktor
“boneka”
sebagai
koordinator
atau
pengurus
BKM
lainnya.
Kelurahan
Kebun
Geran
yang
dikategorikan
memiliki
kerelawanan
tinggi
(highest
level)
ini,
ternyata
hanyalah
“tampilan
luar”
dari
kerelawanan.
“Bagian
dalam”nya
lain,
praktek
kerelawanan
di
kelurahan
ini
sesungguhnya
tidak
jauh
berbeda
dengan
Kelurahan
Kebun
Dahri
‐‐kelurahan
tetangga‐‐
yang
dikategorikan
memiliki
kerelawanan
rendah
(lowest
level).
Sebagaimana
disampaikan
dalam
Teori
Dramaturgi
dari
Goffman67,
terdapat
dua
hal
dalam
realitas
panggung,
yaitu
bagian
depan
dan
bagian
belakang.
Bagian
yang
hakiki
adalah
bagian
belakang.
Bagian
depan
hanyalah
tempat
pertunjukan
66
Istilah
ini
diadopsi
dari
Team
Leader
KMW
setempat.
Istilah
aktor‐aktor
“pandai”
yang
dimaksudkan
di
sini
adalah
untuk
menyebut
mereka‐mereka
yang
pandai
mensiasati
dan
memainkan
program
sehingga
mereka
mendapat
keuntungan
dari
kegiatan
tersebut.
(Wawancara
dengan
Ana,
Team
Leader
KMW‐VII,
Bengkulu,
4
Juni
2009:
10.15
–
12.00
WIB).
67
Erving
Goffman,
seorang
sosiolog
interaksionis,
memperdalam
kajian
dramatisme
tersebut
dan
menyempurnakannya
dalam
bukunya
yang
kemudian
terkenal
sebagai
salah
satu
sumbangan
terbesar
bagi
teori
ilmu
sosial.
Lihat
Goffman,
Erving
(1959).
The
Presentation
of
Self
in
Everyday
Life.
Garden
City,
New
York:
Doubleday
Anchor.
Dalam
buku
ini
Goffman
yang
mendalami
fenomena
interaksi
simbolik
mengemukakan
kajian
mendalam
mengenai
konsep
dramaturgi.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
185
DRAFT
FINAL
REPORT
untuk
membahagiakan
penonton
belaka.
Begitu
juga
halnya
dengan
kerelawanan
yang
ingin
ditunjukkan
di
Kelurahan
Kebun
Geran.
Ketika
Tim
Studi
datang
di
lokasi,
tim
disuguhi
dengan
kondisi
seolah‐ olah
pelaksanaan
P2KP
di
kelurahan
ini
berjalan
dengan
peran
serta
aktif
seluruh
masyarakat
dan
dengan
cerita‐cerita
sukses
yang
pernah
diraih
selama
pelaksanaan
program
‐‐meskipun
itu
juga
tinggal
cerita,
karena
tidak
ada
keberlanjutan
dan
gagasan
inovatif
maupun
ketergerakan
relawan
untuk
tetap
menjaga
kontinuitas
kegiatan.
P2KP
kemudian
menjadi
proyek
“habis
pakai”,
hal
ini
bisa
terlihat
dan
dirasakan
oleh
Tim
Studi
yang
menelisik
kelurahan
ini
selama
hampir
10
hari.
Selayaknya
drama
yang
sedang
dimainkan,
informasi
yang
diperoleh
peneliti
di
hari
pertama
dan
kedua
seperti
skenario
pertunjukan
yang
disajikan
dengan
sangat
bagus,
sehingga
jika
tidak
jeli
menangkap
setiap
informasi
maka
Tim
Studi
akan
terjebak
pada
informasi
kulit
yang
bagus
dan
melupakan
isi
di
dalamnya.68
Berdasarkan
kenyataan
di
lapangan,
dilihat
dari
para
pelaku
kegiatan
kerelawanan
itu
sendiri,
Tim
Studi
menemukan
kasus
yang
ada
di
Bengkulu
bahwa
relawan
sama
dengan
BKM.
Hampir
sebagian
besar
warga
jika
ditanyakan
siapa
relawan
yang
terlibat
kegiatan
P2KP
di
lingkungan
mereka,
maka
yang
keluar
adalah
nama‐nama
anggota
BKM.
Begitu
juga
ketika
Tim
68
Manusia
adalah
aktor
yang
berusaha
untuk
menggabungkan
karakteristik
personal
dan
tujuan
kepada
orang
lain
melalui
“pertunjukan
dramanya
sendiri”.
Dalam
mencapai
tujuannya
tersebut,
menurut
konsep
dramaturgi,
manusia
akan
mengembangkan
perilaku‐perilaku
yang
mendukung
perannya
tersebut.
Selayaknya
pertunjukan
drama,
seorang
aktor
drama
kehidupan
juga
harus
mempersiapkan
kelengkapan
pertunjukan.
Kelengkapan
ini
antara
lain
memperhitungkan
setting,
kostum,
penggunaan
kata
(dialog)
dan
tindakan
non‐verbal
lain,
hal
ini
tentunya
bertujuan
untuk
meninggalkan
kesan
yang
baik
pada
lawan
interaksi
dan
memuluskan
jalan
mencapai
tujuan.
Oleh
Goffman,
tindakan
di
atas
disebut
dengan
istilah
“impression
management”.
Goffman
juga
melihat
bahwa
ada
perbedaan
akting
yang
besar
saat
aktor
berada
di
atas
panggung
(“front
stage”)
dan
di
belakang
panggung
(“back
stage”)
drama
kehidupan.
Kondisi
akting
di
front
stage
adalah
adanya
penonton
(yang
melihat
kita)
dan
kita
sedang
berada
dalam
bagian
pertunjukan.
Saat
itu
kita
berusaha
untuk
memainkan
peran
kita
sebaik‐baiknya
agar
penonton
memahami
tujuan
dari
perilaku
kita.
Perilaku
kita
dibatasi
oleh
konsep‐konsep
drama
yang
bertujuan
untuk
membuat
drama
yang
berhasil
(lihat
unsur‐unsur
tersebut
pada
impression
management
di
atas).
Sedangkan
back
stage
adalah
keadaan
dimana
kita
berada
di
belakang
panggung,
dengan
kondisi
bahwa
tidak
ada
penonton.
Sehingga
kita
dapat
berperilaku
bebas
tanpa
mempedulikan
plot
perilaku
bagaimana
yang
harus
kita
bawakan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
186
DRAFT
FINAL
REPORT
Studi
mengadakan
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
hampir
semua
anggota
yang
hadir/diundang
adalah
peserta
pada
FGD
berikutnya
(FGD
Relawan).
Orangnya
itu‐itu
juga.
Kondisi
seperti
ini
diakui
dan
dibenarkan
oleh
pihak
Koordinator
Kota
(Korkot)
maupun
Team
Leader
KMW.
Berdasarkan
hasil
diskusi
dengan
Team
Leader
KMW
VII
‐‐yang
mencakup
wilayah
seluruh
Provinsi
Bengkulu‐‐
yang
dikaitkan
dengan
temuan
di
lapangan,
terjadi
suatu
pemaparan
yang
menarik.
Dinyatakan
bahwa
sesungguhnya
anggota/pengurus
BKM
tidak
sama
dengan
relawan.
Relawan
adalah
masyarakat
yang
memiliki
nilai‐nilai
kerelawanan,
sedangkan
BKM
adalah
kelembagaan
masyarakat.
Jika
relawan
disamakan
dengan
BKM
maka
yang
terjadi
pada
nilai‐nilai
kerelawanan
di
Kelurahan
Kebun
Geran
dan
Kebun
Dahri
adalah
“relawan
yang
bersifat
eksklusif”.
Selain
itu,
BKM
muncul
menjadi
elite
baru
dalam
masyarakat,
yang
lebih
dikenal
sebagai
“relawan
terdaftar”
atau
relawan
berstatus.
Jika
kondisi
kerelawanan
ini
dihubungkan
dengan
aset
penghidupan
yang
berkelanjutan
dari
masyarakat
Bengkulu,
maka
tidak
mengherankan
jika
hingga
studi
ini
dilakukan
gambaran
kemampuan
akses
masyarakat
terhadap
sumber‐sumber
penghidupan
terlihat
masih
rendah.
Meskipun
sumberdaya
fisik
cukup
bagus
‐‐karena
berada
di
pusat
kota
sehingga
infrastruktur
sudah
menunjang
mobilitas
eksternal‐‐
namun
sumberdaya
yang
lain
kondisinya
masih
rendah.
Kondisi
ini
berpengaruh
cukup
signifikan
terhadap
tujuan
para
relawan
untuk
memanfaatkannya
dalam
mengakses
kepada
sumberdaya
keuangan.
Hal
yang
hampir
sama
ditemukan
di
Kelurahan
Tabaringan,
Makassar.
Kelurahan
ini
memiliki
karakteristik
yang
mirip
dengan
dua
kelurahan
di
Kota
Bengkulu.
Terletak
dekat
dengan
pusat
ekonomi
(pasar)
dan
merupakan
“kantong
kemiskinan”.
Rumah
kontrakan
yang
kecil
saling
berhimpitan
dengan
pemandang‐an
anak‐anak
yang
berkeliaran
serta
fasilitas
dasar
yang
minim.
Ciri
perkotaan
yang
kental,
lingkungan
permukiman
dikelilingi
oleh
bangunan
pertokoan.
Secara
umum,
kondisi
fisik
dan
infrastruktur
sangat
baik,
namun
masyarakat
terlalu
sibuk
dengan
“mencari
nafkah”.
Sumberdaya
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
187
DRAFT
FINAL
REPORT
manu‐sia
yang
tersedia
untuk
menjadi
relawan
Gambar
5.10.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kelurahan
Tabaringan,
Makassar
tidak
banyak
karena
sebagian
besar
masyarakat
lebih
mengutamakan
kegiatan
ekonomi.
Jika
dilihat
dari
sudut
pandang
ketersediaan
sumber
daya
alamnya,
di
Sumber:
Data
Primer
Lapangan
Studi
Kerelawanan,
diolah,
2009.
Kelurahan
Tabaringan
sama
seperti
halnya
kelurahan‐kelurahan
di
Bengkulu,
hampir
semua
lahan
telah
dipergunakan
sebagai
areal
permukiman
dan
pertokoan.
Sumberdaya
keuangan
yang
mengandalan
sumberdaya
alam
tidak
ada.
Sumberdaya
keuangan
dipenuhi
melalui
aktivitas
pasar,
yakni
sektor
perdagangan
yang
sangat
dominan
di
wilayah
ini.
Hal
ini
memiliki
pengaruh
yang
besar
bagi
ketersediaan
waktu
yang
sangat
terbatas
bagi
mereka
untuk
menjadi
relawan.
Kelurahan
Tabaringan
juga
memiliki
sumberdaya
sosial
yang
relatif
rendah.
Sebagai
contoh,
di
dalam
tubuh
BKM
sendiri
seolah
terjadi
kesenjangan.
Pola
pelibatan
relawan
juga
dengan
sistem
“copotcopot”.
Sementara
tindakan‐tindakan
yang
bersifat
sosial
dan
tidak
berorientasi
materi
sulit
ditemukan
di
sini.
Beberapa
orang
relawan
di
Kelurahan
Tabaringan
mengatakan
bahwa
keterlibatannya
dalam
program
karena
ingin
menyelaraskan
antara
provisi
(provision)
dengan
sosial.
Namun
demikian,
mekanisme
“copotcopot”
yang
diterapkan
oleh
BKM
dalam
pelibatan
relawan
membuat
keterlibatan
seseorang
untuk
menjadi
relawan
di
kelurahan
ini
lebih
banyak
berorientasi
pada
perolehan
imbalan
yang
akan
diterima.
Misalnya
lagi,
salah
seorang
ibu
rumah
tangga
di
Lorong
154
RW
01
yang
mengatakan
bahwa
dia
terlibat
pada
waktu
pendataan
karena
diberi
imbalan
sebesar
Rp
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
188
DRAFT
FINAL
REPORT
800,‐
untuk
setiap
rumah
yang
didata.
Setelah
itu
tidak
terlibat
lagi
karena
tidak
mendapatkan
pinjaman
dari
dana
BLM.
Kelurahan
Tabaringan
adalah
gambaran
lokasi
studi
yang
melaksanakan
kegiatan
P2KP
semata‐mata
untuk
kepentingan
proyek.
Sangat
sulit
menemukan
relawan
di
kelurahan
ini.
Meskipun
sumberdaya
fisik
cukup
bagus,
namun
sumberdaya
yang
lain
relatif
sedikit
(lihat
Gambar
5.10
di
depan),
sehingga
orang
yang
mau
terlibat
dalam
kegiatan
kerelawanan
di
P2KP
sangat
sedikit.
Sumberdaya
sosial
yang
tidak
terlalu
kuat
dan
(ditambah)
sosialisasi
yang
kurang
menyeluruh
ini
menjadikan
masyarakat
tidak
memahami
esensi
program.
Masyarakat
juga
disibukkan
oleh
kepentingan
untuk
mendapatkan
sumberdaya
keuangan.
Baik
di
Kelurahan
Kebun
Geran,
Kebun
Dahri,
maupun
Tabaringan,
bisa
dijadikan
gambaran
kondisi
kerelawanan
di
daerah
perkotaan
yang
berkembang
dengan
sumberdaya
alam
terbatas,
sehingga
masyarakat
cenderung
berorientasi
untuk
pemenuhan
sumberdaya
keuangan.
Gambar
5.11.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
Di
Kota
Pasuruan
Kelurahan
Panggungrejo
Kelurahan
Kepel
Sumber:
Data
Primer
Lapangan
Studi
Kerelawanan,
diolah,
2009.
Kondisi
agak
berbeda
ditemukan
di
Pasuruan.
Dengan
lokasi
yang
memiliki
kemiripan
karakteristik
masyarakat
dan
letak
geografis
seperti
ditemukan
di
Kelurahan
Kepel
dan
Kelurahan
Panggungrejo,
maka
kota
ini
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
189
DRAFT
FINAL
REPORT
cenderung
merepresentasikan
wilayah
dengan
ciri
urbanrural.
Yang
membedakan
keduanya
adalah
bahwa
Kelurahan
Kepel
cenderung
lebih
bersifat
agraris
baik
pertanian
sawah
(sebelah
selatan
jalan/rel
KA)
maupun
tambak
(sebelah
utara
jalan/rel
KA),
sedangkan
Kelurahan
Panggungrejo
lebih
menggambarkan
karakter
pesisir
dengan
mayoritas
penduduknya
berprofesi
sebagai
nelayan.
Kedua
kelurahan
ini
dapat
dibandingkan
tidak
hanya
dari
segi
kedekatan
dan
kemiripan
geografis,
tetapi
juga
adanya
kemiripan
etnis
di
kedua
lokasi
ini
juga
menjadi
pertimbangan
analisis
tim
dalam
melihat
kecenderungan
kerelawanan.
Secara
umum,
kedua
lokasi
tersebut
sama‐sama
dihuni
oleh
mayoritas
etnis
Madura.69
Masyarakat
Madura
dikenal
memiliki
budaya
yang
khas,
unik,
stereotipikal,
dan
stigmatik.
Penggunaan
istilah
khas
menunjuk
pada
pengertian
bahwa
entitas
etnik
Madura
memiliki
kekhususan
kultural
yang
tidak
serupa
dengan
etnografi
komunitas
etnik
lain70.
Kekhususan
kultural
itu
tampak
antara
lain
pada
ketaatan,
ketundukan,
dan
kepasrahan
mereka
secara
hirarkis
kepada
empat
figur
utama
dalam
berkehidupan
‐‐lebih‐lebih
dalam
praksis
keberagamaan‐‐
yaitu
Buppa,’
Babbu,
Guruh,
ban
Ratoh
(Ayah,
Ibu,
Guru,
dan
Pemimpin/
Pemerintah).
Kepada
figur‐ figur
utama
itulah
kepatuhan
hirarkis
orang‐orang
Madura
menampakkan
wujudnya
dalam
kehidupan
sosial
budaya
mereka71.
Pertama,
kepatuhan
atau
ketaatan
kepada
orang
tua,
yaitu
ayah
dan
ibu
(Buppa’
ban
Babbu’)
sebagai
orangtua
kandung
atau
nasabiyah
sudah
jelas,
tegas,
dan
diakui
keniscayaannya.
Secara
kultural,
ketaatan
dan
ketundukan
seseorang
kepada
kedua
orangtuanya
adalah
mutlak.
Jika
tidak,
ucapan
atau
sebutan
kedurhakaanlah
yang
akan
ditimpakan
oleh
lingkungan
sosiokultural
69
Dalam
kamus
masyarakat
setempat
digolongkan
sebagai
“Madura
Pedhalungan”,
yaitu
sebutan
untuk
keturunan
Madura
yang
sudah
cukup
lama
tinggal
di
luar
Madura
namun
belum
“diakui”
sepenuhnya
sebagai
orang
Jawa.
70
Lihat
misalnya
dalam
Alwi,
Hasan
(2001).
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia.
Jakarta:
Depdiknas
RI
&
Balai
Pustaka,
halaman
563.
71
Wiyata,
Latief
A.
(2003).
Madura
Yang
Patuh,
Kajian
Antropologi
Mengenai
Budaya
Madura.
Jakarta:
CERIC
FISIP‐UI
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
190
DRAFT
FINAL
REPORT
masyarakatnya.
Kepatuhan
pada
figur
buppa’
dan
babbu
ini
dikekalkan
oleh
faktor
genealogis.
Kedua,
kepatuhan
orang‐orang
Madura
kepada
figur
guruh
(guru)
berposisi
pada
level
hirarkis
selanjutnya.
Penggunaan
dan
penyebutan
istilah
“guru”
menunjuk
dan
menekankan
pada
pengertian
kiai
‐‐yaitu
pengasuh
pondok
pesantren,
atau
sekurang‐kurangnya
ustadz
pada
“sekolah‐sekolah”
keagamaan.
Peran
dan
fungsi
guru
di
sini
lebih
ditekankan
pada
konteks
moralitas
yang
dipertalikan
dengan
kehidupan
eskatologis
‐‐terutama
dalam
aspek
ketenteraman
dan
penyelamatan
diri
dari
beban
atau
derita
di
kehidupan
akhirat
(morality
and
sacred
world).
Ketiga,
kepatuhan
orang
Madura
kepada
figur
ratoh
(pemimpin
pemerintahan)
menempati
posisi
hirarkis
keempat.
Figur
ratoh
dicapai
oleh
seseorang
‐‐dari
mana
pun
etnik
asalnya‐‐
bukan
karena
faktor
genealogis
melainkan
karena
keberhasilan
prestasi
dalam
meraih
status.
Oleh
karena
itu,
kesempatan
untuk
menempati
figur
ratoh‐pun
dalam
realitas
praksisnya
merupakan
kondisi
langka
yang
relatif
sulit
diraih
oleh
orang
Madura.
Deskripsi
tentang
kepatuhan
orang
Madura
kepada
empat
figur
utama
tersebut
sesungguhnya
dapat
dirunut
standar
referensinya
pada
sisi
religiusitas
budayanya.
Kepatuhan
kepada
kedua
orangtua
merupakan
tuntunan
Rasulullah
SAW,
walaupun
urutan
hirarkisnya
mendahulukan
ibu
(babbu’)
baru
kemudian
ayah
(buppa’).
Di
sisi
lain,
kepatuhan
kultural
orang
Madura
kepada
guruh
(kiai/ustadz)
maupun
kepada
ratoh
(pemimpin
pemerintahan)
karena
peran
dan
jasa
mereka
itu
dipandang
bermanfaat
dan
bermakna
bagi
survivalitas
entitas
etnik
Madura.
Guruh
berjasa
dalam
mencerahkan
pola
pikir
dan
perilaku
komunal
murid
untuk
memperoleh
kesejahteraan
hidup
di
dunia
dan
keselamatan
mendiami
negeri
akhirat
kelak.
Kontribusi
mereka
dipandang
sangat
bermakna
dan
berjasa
besar
karena
telah
memberi
bekal
untuk
survivalitas
hidup
di
alam
dunia
dan
keselamatan
akhirat
pasca‐kehidupan
dunia.
Sedangkan
pemimpin
pemerintahan
berjasa
dalam
mengatur
ketertiban
kehidupan
publik
melalui
penyediaan
iklim
dan
kesempatan
bekerja,
mengembangkan
kesempatan
bidang
ekonomi,
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
191
DRAFT
FINAL
REPORT
mengakomodasi
kebebasan
beribadat,
memelihara
suasana
aman,
dan
membangun
kebersamaan
atau
keberdayaan
secara
partisipatif.
Dalam
dimensi
religiusitas,
khususnya
untuk
sebutan
figur
ratoh
dalam
perspektif
etnik
Madura
dipersamakan
dengan
istilah
ulil
amri
yang
sama‐ sama
wajib
untuk
dipatuhi.
Konsep
kepatuhan
ini
menjadi
salah
satu
kunci
masuk
bagi
keberhasilan
pelaksanaan
PNPM‐P2KP
‐‐atau
yang
resmi
dikenal
dengan
PNPM
Mandiri
Perkotaan‐‐
khususnya
berkenaan
dengan
bagaimana
masyarakat
dilibatkan
sebagai
relawan
di
wilayah
dengan
karakteristik
etnis
Madura.
Sudah
selayaknya
program
(baca:
P2KP)
menempatkan
figur‐figur
yang
dipatuhi
masyarakat
tadi
sebagai
key
person
dalam
pelaksanaan
program.
Salah
satu
bukti
yang
dapat
dirujuk
adalah
relatif
rendahnya
kerelawanan
di
Kelurahan
Kepel
yang
sesungguhnya
justeru
terletak
pada
lemahnya
program
dalam
membaca
potensi
kultural
warga
setempat.
Secara
umum,
masyarakat
lore
rel
(yaitu
masyarakat
yang
tinggal
di
sebelah
utara
jalan
atau
rel
KA)
merupakan
daerah
yang
relatif
lebih
miskin
dibandingkan
masyarakat
kidule
rel
(yaitu
masyarakat
yang
tinggal
di
sebelah
selatan
jalan
atau
rel
KA).
Dari
seluruh
RW
di
lore
rel,
terdapat
satu
RW,
yaitu
RW
06
‐‐atau
yang
dikenal
dengan
Lingkungan/Dusun
Bintingan‐‐
yang
merupakan
“kantong
kemiskinan”
di
Kelurahan
Kepel.
Di
sini
mayoritas
penduduknya
bermatapencaharian
sebagai
petani
penggarap
tambak.
Sebagian
besar
areal
RW
6
adalah
tambak
yang
dimiliki
oleh
orang‐orang
“kaya”
di
Kelurahan
Kepel
atau
(bahkan)
dari
luar
Kepel.
Sedangkan
masyarakat
yang
tinggal
di
kidule
rel,
pada
umumnya
memiliki
mata
pencaharian
sebagai
pegawai
negeri,
pedagang,
swasta,
atau
pemilik
tambak.
Lore
rel
dihuni
oleh
mayoritas
etnis
Madura,
sedangkan
kidule
rel
dihuni
oleh
etnis
Jawa.
Perbedaan
antara
masyarakat
lore
rel
dan
kidule
rel
yang
cukup
mencolok
ini
sepertinya
tidak
menjadi
pertimbangan
penting
oleh
para
pelaku
program
P2KP
(baca:
KMW,
Korkot,
Tim
Fasilitator,
dan
bahkan
BKM
sendiri)
dalam
menentukan
“strategi
pendekatan”
di
Kelurahan
Kepel.
Pelaku
program
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
192
DRAFT
FINAL
REPORT
P2KP
cenderung
tidak
membedakan
terhadap
perbedaan
kondisi
ini,
dan
cenderung
menerapkan
stategi
yang
“seragam”
bagi
keduanya.
Akibatnya,
masyarakat
lore
rel
hanya
sedikit
saja
yang
terlibat.
Hal
yang
harus
diperhatikan,
dalam
konteks
kultur
dan
sistem
nilai
setempat,
program
P2KP
masuk
melalui
figur
IV
(ratoh),
yakni
pemerintah
kelurahan.
Mungkin
bagi
masyarakat
Jawa
umumnya,
figur
IV
atau
pemerintah
ini
dapat
dianggap
sebagai
“lingkaran
pertama”
yang
dipatuhi,
tetapi
tidak
demikian
bagi
masyarakat
Madura.
Pemerintah
justru
ditempatkan
di
lingkaran
keempat
‐‐ setelah
buppa’,
babbu,
dan
guruh‐‐
untuk
dipatuhi.
Kondisi
ini
diperburuk
dengan
stigmatisasi
yang
diberikan
kepada
etnis
Madura
setempat
sebagai
masyarakat
yang
keras,
mudah
marah,
dan
preman
sehingga
dihindari
keterlibatannya.
“.....
maklumlah,
warga
sebelah
rel
kereta
kalau
di
sini
disebut
lore
rel,
tipikal
masyarakatnya
keras,
suka
marah,
dan
preman
….
karena
di
sana
juga
banyak
Maduranya.”
(Wawancara
dengan
BKM
dan
UP‐UP
di
Sekretariat
BKM
“Hikmah”
Kelurahan
Kepel,
Kamis
8
Juni
2009).
Senada
dengan
penjelasan
di
atas,
MC,
Lurah
Kepel
menyampaikan
hal
yang
kurang
lebih
sama:
“Mereka
susah
diatur
karena
banyak
Maduranya.
Bahasa
seharihari
yang
dipakai
oleh
warga
yang
tinggal
di
Bintingan
adalah
bahasa
Madura.
Mereka
itu
seolaholah
tidak
lepas
dari
akar
budaya
Madura
yang
dikenal
keras.”
(Wawancara
di
Ruang
Kerja
Lurah
Kepel,
Kamis,
8
Juni
2009).
Stigmatimatisasi
inilah
yang
membuat
social
trust
sebagai
kata
kunci
modal
sosial
menjadi
lemah.
Persoalan
yang
paling
mendasar
sesungguhnya
terletak
pada
pemaknaan
kultural
tentang
kepatuhan
dalam
konteks
subordinasi,
hegemoni,
eksploitasi,
dan
berposisi
kalah
sepanjang
hidup.
Pemaknaan
tersebut
perlu
diletakkan
dalam
posisi
yang
berkeadilan
dan
proporsional.
Kenyataannya
yang
terjadi
justeru
etnis
Madura
di
Kepel
mendapatkan
stigma
yang
memarginalkan
mereka.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
193
DRAFT
FINAL
REPORT
Berbeda
dengan
Kepel,
Kelurahan
Panggungrejo
justeru
memiliki
ikatan
sosial
yang
relatif
lebih
kuat.
Homogenitas
etnis
di
kelurahan
ini
menjadikan
konsep
kepatuhan
etnis
Madura
sejak
awal
dijadikan
instrumen
untuk
melakukan
pendekatan
ke
masyarakat.
Gambar
5.12.
Rel
Kereta
Api
Yang
Menempatkan
Panggungrejo
di
Posisi
Lore
Rel
Panggungrejo
merupakan
kelurahan
terti‐ nggal
dengan
manusia
sumberdaya
yang
rendah.
Mayoritas
penduduknya
berpendidikan
SD
dengan
angka
buta
huruf
yang
masih
tinggi.
Kelurahan
ini
berada
di
bagian
lore
rel.
Begitulah
ini
dari
keterangan
BTL,
Koordinator
Kota
(Korkot)
Pasuruan.
Kalimatnya
ingin
Sumber:
Dok.Tim
Studi
Kerelawanan,
2009.
menjelaskan
bahwa
karakteristik
masyarakat
yang
hidup
di
wilayah
lore
rel
sebagai
wilayah
yang
memiliki
penduduk
berkarakter
keras,
kasar,
susah
diatur,
dan
berpendidikan
rendah.
Ungkapan
stereotype
seperti
ini
cenderung
disampaikan
oleh
setiap
masyarakat
yang
tinggal
di
Kota
Pasuruan
‐‐terutama
yang
paham
tentang
Kelurahan
Panggungrejo.
Pameo
lore
rel
kadang
juga
menjadi
acuan
bagi
beberapa
masyarakat,
organisasi,
bahkan
pemerintah
daerah
bila
datang
ke
lokasi
ini.
Sebagian
besar
pelaku
program
(termasuk
P2KP)
yang
ingin
memasuki
wilayah
lore
rel
belum
apa‐apa
sudah
memikirkan
hal‐hal
yang
dipahami
dan
dipercaya
seperti
stereotype
di
atas.
Tidak
hanya
masyarakat
di
luar
lore
rel
yang
memiliki
stigma
demikian,
sebagian
besar
masyarakat
yang
tinggal
di
dalam
lingkungan
lore
rel
sendiri
juga
seperti
“terkena”
stigma
stereotype
ini.
Rasa
percaya
diri
masyarakat
yang
tinggal
di
Kelurahan
Paggungrejo
menjadi
kurang,
bahkan
untuk
memperkenalkan
diri
sebagai
warga
yang
lokasi
rumahnya
berada
di
lingkungan
lore
rel
saja
tidak
merasa
nyaman.
Selain
itu,
rasa
sungkan
sebagai
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
194
DRAFT
FINAL
REPORT
orang
dari
daerah
lore
rel
membuat
mereka
menjadi
masyarakat
yang
seakan‐ akan
jauh
dari
(sasaran)
pembangunan.72
“Kalau
ditanya
orang,
dari
PKK
mana
ibu?
Kita
jawab
dari
Panggungrejo.
Ibu ibu
yang
bertanya
tadi
sepertinya
akan
menjauh.
Mereka
tahu
kalau
kelurahan
kita
pernah
jadi
kelurahan
kategori
IDT.
Kita
malu
kalau
bilang
dari
Panggungrejo.”
(Keterangan
Fit.
pada
FGD
Relawan
Perempuan,
Panggungrejo,
20
Juni
2009).
Dari
sisi
sebaliknya,
jika
kita
ungkapkan
“temuan”
bahwa
kondisi
kerelawanan
di
Kelurahan
Panggungrejo,
hal
seperti
ini
serta
merta
mendapat
“tentangan”
dan
counter
dari
mereka
yang
tinggal
di
kelurahan
lain.
Seperti
tanggapan
yang
disampaikan
oleh
Kha,
sesama
pelaku
program
P2KP
di
kelurahan
tetangga:
“Masa
sih
kelurahan
Panggungrejo
kondisi
kerelawanannya
lebih
tinggi
dari
Kepel.
Ndak
mungkin
itu
.....
Di
sana
orangorangnya
banyak
yang
ndak
sekolah.
Mana
mungkinlah
kalau
Kepel
di
bawah
Panggungrejo.
Bapak
ke
sana
saja,
buktikan
kebenaran
omongan
saya
ini.”
(Keterangan
lepas,
Kepel,
17
Juni
2009:
10.00‐12.20
WIB).
Demikianlah
gambaran
Kelurahan
Panggungrejo,
selalu
dianggap
identik
dengan
“kemiskinan
dan
kebodohan.”
Stigmatisasi
yang
diberikan
oleh
masyarakat
di
luar
Panggungrejo
dengan
label
lore
rel
secara
tidak
langsung
merugikan
pelaksanaan
program.
Padahal,
hal
ini
tidak
bisa
dijadikan
indikator
bahwa
kerelawanannya
lebih
rendah
dibandingkan
dengan
daerah/kelurahan
lain
yang
tidak
miskin
dan
tersedia
sumberdaya
manusia
yang
hebat.
Kenyataan
di
lapangan
justeru
membuktikan
lain.
Hal
ini
terbukti
dengan
antusiasme
warga
untuk
terlibat
dalam
kegiatan‐kegiatan
yang
mereka
nilai
dapat
memajukan
kelurahannya
dan
keluar
dari
stigma
buruk
tersebut.
Modal
sosial
di
Panggungrejo
cukup
kuat.
Selain
homogenitas
etnis,
pola
perkawinan
endogami
yang
menjadi
trend
di
kelurahan
ini
menjadikan
ikatan
kekerabatan
antara
satu
warga
dengan
yang
lain
tidak
hilang.
Bisa
dikatakan,
99,99
persen
masyarakat
di
Kelurahan
Panggungrejo
memiliki
72
Terungkap
dalam
FGD
BKM
dan
UP‐UP,
melalui
ungkapan
para
relawan
laki‐laki
dan
perempuan
di
Kelurahan
Panggungrejo.
Hal
ini
juga
diperkuat
oleh
pernyataan
DAW,
Lurah
Panggungrejo,
Wawancara
pribadi,
22
Juni
2009:
9.00
–
10.40
WIB).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
195
DRAFT
FINAL
REPORT
hubungan
kekerabatan.
Bahkan
untuk
saat
ini,
menurut
informasi
dari
beberapa
warga
di
RT
02/RW
04,
bukan
99,99
persen
tapi
100,00
persen
masyarakat
Panggungrejo
semuanya
memiliki
hubungan
persaudaraan
(lihat
Gambar
5.13
.....
diketengahkan
sebagai
kasus
hubungan
kekerabatan
antara
relawan
lakilaki
yang
hadir
pada
acara
FGD
Relawan
Lakilaki).
Gambar
5.13.
Skema
Hubungan
Kekerabatan
Antar
Relawan
Di
Kelurahan
Panggungrejo
saudara
dari
istri
Nurhasan
(A)
Halim
Munawar
Keponakan
dari
bapak
sepupu
misanan
dari
istri
H.
Rifai
Satu
buyut
(2)
Satu
buyut
saudara
dari
ibu
keponakan
dari
istri
Istrinya
keponakan
dari
menantu
menantu 2)
Munawar
Imron
saudara
dari
kakak
H.
Achmad
Sodiq
Markus
Nurhasan
(B)
H.
Amir
Catatan:
Rangkaian
ini
hanya
sebagai
contoh
kecil
hubungan
kekerabatan
di
antara
para
relawan.
Jika
dihubungkan
dalam
cakupan
yang
lebih
luas
pada
seluruh
masyarakat
kelurahan
Panggungrejo,
hubungan
ini
berlaku
luas.
Dibenarkan
semua
pihak,
seluruh
masyarakat
Panggungrejo
memiliki
hubungan
kekerabatan,
antara
relawan
dengan
BKM,
BKM
dengan
KSM,
KSM
dengan
UPUP,
UPUP
dengan
penerima
manfaat,
dan
antara
penerima
manfaat
dengan
relawan.
Hubungan
itu
ada
yang
berbentuk:
menantu,
keponakan,
saudara
misan,
sepupu,
paman,
bibi,
nenek,
kakek,
buyut,
dsb.
Sumber:
Rekonstruksi
Lapangan
Tim
Studi
Kerelawanan,
2009.
“.....
memang
tadinya
99,99
persen.
(Tapi)
karena
ada
satu
keluarga
yang
suamiistrinya
tidak
memiliki
hubungan
kekerabatan
dengan
warga
di
Panggungrejo.
Keluarga
tersebut
adalah
keluarga
mbak
Tari.
Dia
asalnya
dari
Kalimantan.
Dulu
tinggalnya
di
RT.01/RW.02.
Suaminya
ABK
kapalkapal
besar.
Keluarga
itu
tinggal
di
Panggungrejo
karena
dahulu
kapalkapal
besar
banyak
yang
merapat
ke
sini,
tapi
sekarang
tidak
lagi.
Karena
kapalkapal
besar
tidak
ada
lagi
yang
merapat
ke
Panggungrejo,
maka
keluarga
ibu
Tari
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
196
DRAFT
FINAL
REPORT
pindah
rumah.
Jadinya
sekarang,
100,00
persen
seluruh
warga
Panggungrejo
memiliki
hubungan
saudara.”
(Keterangan
lisan
M.SAG,
pada
FGD
BKM,
Panggungrejo,
19
Juni
2009:
20.00‐ 22.30
WIB)
Secara
khusus,
hal
ini
dibenarkan
oleh
relawan‐relawan
lainnya
yang
juga
hadir
pada
acara
tersebut:
“Sistem
masyarakat
di
sini
‘perjodohan’.
Jadi,
warga
sini
nikah
sama
sesama
warga
sini.
Jadi
banyak
hubungan
saudara.”
(Nur
(B),
48
tahun,
Panggungrejo,
19
Juni
2009:
20.00‐22.30
WIB).
“Kita
di
sini
sebenarnya
dari
satu
keturunan.
Silsilahnya
dari
leluhur
kami
yang
bernama
Haji
Mbah
Nur.
Beliau
yang
buat
masjid
An
Nur
tahun
1948
.................................................................................................................................................
Tidak
ada
suamiistri
dari
luar
(Kelurahan
Panggungrejo)
yang
tinggal
di
sini
..…
tidak
ada!
Tapi
kalau
orang
luar
lakilaki
atau
perempuan
nikah
dengan
orang
sini,
lalu
tinggal
di
sini
.....
itu
baru
ada.”
(Penjelasan
H.
AS,
61
tahun,
Panggungrejo,
19
Juni
2009:
20.00‐22.30
WIB).
Walaupun
karakter
warga
Panggungrejo
dikenal
keras,
namun
dari
pengamatan
lapangan
tidak
senantiasa
terlihat
demikian.
Selama
di
lapangan,
stereotype
seperti
tersebut
diantara
sesama
warga
Panggungrejo
tidak
ditemukan.
Ikatan
kekerabatan
mempersatukan
mereka,
mereka
cenderung
menghindari
terjadinya
konflik
antar‐warga.
Warga
setempat
secara
eksplisit
merasakan
bahwa
mereka
adalah
bagian
dari
warga
Panggungrejo
lainnya.
Berdasar
hal
ini
pula,
Lurah
Panggungrejo
me‐wantiwanti
(dengan
nasehat)
kepada
setiap
orang
“luar”
yang
datang
ke
Panggungrejo
untuk
hati‐hati
dalam
berbicara.
“Di
sini
ndak
bisa
ngerasani
(=
menjelek‐jelekkan
orang
lain),
karena
yang
dirasani
saudaranya
sendiri.
Tapi
walaupun
masih
saudara,
di
sini
ketokohan
sangat
penting.
Tokoh
masyarakat
yang
paling
menonjol
adalah
tokoh
keagamaan.
Masyarakat
di
sini
sangat
mudah
‘dialirkan’
(=
diarahkan)
oleh
para
tokoh
agama
ini.
(Wawancara
dengan
DAW,
Lurah
Panggungrejo,
22
Juni
2009:
09.35
WIB)
Dari
apa
yang
disampaikan
oleh
Lurah
Panggungrejo
di
atas,
secara
kultural
pemerintah
(kelurahan)
telah
memposisikan
diri
sebagai
ratoh
yang
dalam
konsep
kepatuhan
orang
Madura
berada
pada
figur
IV.
Oleh
karena
itu,
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
197
DRAFT
FINAL
REPORT
di
Kelurahan
Panggungrejo
jauh
lebih
kondusif
karena
nilai‐nilai
yang
ada
dijadikan
modal
sosial
dalam
melakukan
pendekatan
program.
Disamping
kekuatan
modal
sosial,
baik
Kelurahan
Panggungrejo
maupun
Kepel
sebenarnya
sama‐sama
mempunyai
potensi
sumberdaya
alam
yang
sangat
kaya.
Khususnya
Kelurahan
Panggungrejo,
yang
konon
hanya
bisa
diakses
melalui
satu
jalan
masuk
ini
‐‐karena
bentuknya
yang
enclave‐‐
menyajikan
hamparan
tanah
lapang
berseling
dengan
tambak
ikan
bandeng
dan
areal
industri
garam.
Pemandangan
khas
lingkungan
pesisir
segera
bisa
kita
temui
jika
memasuki
kelurahan
ini,
yaitu
tumpukan
sampah
di
sepanjang
tepian
tambak
dan
bau
amis
dari
kerang
kupas
dan
ikan
asin
yang
dijemur.
Kelurahan
ini
memang
terkenal
sebagai
daerah
penghasil
kerang
kupas
di
Kota
Pasuruan.
Memang
kelurahan
ini
juga
memiliki
sumberdaya
alam
yang
kaya.
Laut
yang
membentang
di
sepanjang
tepi
kelurahan
merupakan
sumber
mata
pencaharian
pokok
masyarakat.
Dari
sinilah
sebagian
besar
warga
Panggungrejo
menggantungkan
sumber
penghidupannya.
Laut
sebagai
modal
alam
yang
secara
langsung
menjadi
modal
keuangan.
Namun
sayangnya,
karena
dukungan
sumberdaya
manusia
yang
masih
rendah,
nelayan
setempat
kalah
dengan
nelayan
dari
luar.
Selain
teknologi
yang
digunakan
masih
tradisional,
daya
inovasi
untuk
mengolah
hasil
tangkapan
‐‐supaya
memiliki
nilai
tambah
ekonomi‐‐
juga
belum
muncul.
Maka
tidak
mengherankan
jika
Panggungrejo
yang
kaya
sumberdaya
alam,
tapi
miskin
sumberdaya
keuangan.
Seperti
halnya
daerah
pesisir
lainnya,
kesulitan
mendapatkan
air
bersih
merupakan
permasalahan
utama
masyarakat
Panggungrejo.
Mereka
harus
membeli
air
yang
layak
untuk
dikonsumsi
dari
para
penjual
keliling.
Permasalahan
air
bersih
ini
pernah
ditangani
oleh
warga
melalui
pemasangan
pipa
air
bersih
yang
dialirkan
ke
tiap‐tiap
rumah,
tetapi
cara
itu
tidak
berjalan
karena
debit
air
tidak
mencukupi
untuk
memasok
kebutuhan
semua
warga.
Aliran
air
hanya
mampu
menjangkau
warga
yang
rumahnya
dekat
dengan
tangki
air,
dan
untuk
menghindari
kecemburuan
antar
warga,
maka
tangki
ditutup.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
198
DRAFT
FINAL
REPORT
Ketersediaan
sumberdaya
alam
laut
sebagai
mata
pencaharian
untuk
memenuhi
kebutuhan
sumberdaya
keuangan
ini
memiliki
pengaruh
yang
cukup
besar
bagi
partisipasi
relawan,
khususnya
relawan
laki‐laki.
Umumnya
pada
siang
hari
laki‐laki
(nelayan)
di
Panggungrejo
ini
pergi
melaut,
sehingga
sangat
sedikit
laki‐laki
yang
bisa
terlibat
dalam
kegiatan
PNPM‐P2KP
jika
dilaksanakan
pada
siang
hari.
Oleh
karena
itu,
pada
kegiatan
yang
diselanggarakan
di
siang
hari
kita
akan
menjumpai
lebih
banyak
relawan
perempuan.
Begitu
juga
Kelurahan
Kepel,
yang
lokasinya
tidak
jauh
dari
Kelurahan
Panggungrejo,
memiliki
karakteristik
geografis
yang
serupa.
Hamparan
sawah
padi
dan
tambak
bandeng
terhampar
di
kanan
kiri
jalan
Daendels
‐‐jalan
utama
Surabaya‐Banyuwangi‐‐
yang
membelah
kelurahan
ini.
Namun
sayangnya,
sebagian
besar
petani
sawah
dan
tambak
di
kelurahan
ini
berstatus
petani
penggarap.
Bagi
masyarakat
sekitar
Pasuruan,
kelurahan
ini
dikenal
dengan
sebutan
“daerah
kambing”,
yakni
daerah
peternakan
kambing
jenis
gibas
dan
domba.
Jika
dilihat
dari
sisi
sumberdaya
alam,
sebagaimana
Panggungrejo,
Kelurahan
Kepel
juga
sangat
kaya.
Hanya
saja
kepemilikan
dan
akses
terhadap
sumber‐sumber
dimaksud
sangat
rendah.
Sebagian
besar
areal
persawahan
dan
tambak
dimiliki
oleh
“orang
kaya”
dari
luar
Kepel.
Oleh
karena
itu,
masyarakat
setempat
memenuhi
sumberdaya
keuangan
melalui
ternak
dan
berdagang.
Sebagian
juga
bekerja
sebagai
buruh/karyawan/
pegawai.
Ketersediaan
sumberdaya
alam
dan
sumberdaya
keuangan
ini
memiliki
peran
penting
dalam
menentukan
keikutsertaan
relawan.
Bagi
petani
penggarap,
sumberdaya
keuangan
merupakan
hal
yang
harus
diperjuangkan
dengan
kerja
keras,
sehingga
(konsekuensinya)
sedikit
dari
mereka
yang
terlibat
menjadi
relawan
P2KP.
Berbeda
dengan
para
buruh/karyawan/pegawai
yang
memiliki
gaji
rutin,
mereka
relatif
lebih
punya
waktu
untuk
terbiat
sebagai
relawan.
Karena
itu,
relawan
di
Kelurahan
Kepel
pada
umumnya
adalah
mereka
yang
punya
usaha
sendiri
atau
yang
bekerja
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
199
DRAFT
FINAL
REPORT
sebagai
buruh/karyawan/pegawai
serta
untuk
relawan
perempuan
umumnya
ibu
rumah
tangga.
Kembali
ke
Kelurahan
Panggungrejo,
letak
geografisnya
yang
enclave
sedikit
banyak
menyebabkan
mobilitas
eksternalnya
rendah.
Selain
itu,
pola
hunian
resident
pattern
dan
pola
perkawinan
endogami
berpengaruh
besar
dalam
mengikat
orang‐orang
setempat
untuk
tetap
berada
di
kelurahan
ini.
Sehingga
ketersediaan
sumberdaya
manusia
“berkualitas”
menjadi
kurang
karena
sangat
sedikit
pengaruh
dari
luar
dan
aksesibilitas
informasi
yang
sangat
rendah.
Oleh
karena
itu,
relawan
di
Kelurahan
Panggungrejo
sebagian
besar
memiliki
latar
belakang
pendidikan
formal
SD/MI,
yaitu
sekita
44,00
persen,
bandingkan
dengan
Kelurahan
Kepel
yang
sekitar
68,00
persen
relawannya
berlatarbelakang
pendidikan
hingga
SMU,
atau
di
atasnya.
Secara
keseluruhan,
meskipun
kekuatan
aset
sumberdaya
manusia,
alam,
keuangan,
dan
fisik
lebih
rendah,
kerelawanan
di
Panggungrejo
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
Kepel,
karena
kekuatan
sumberdaya
sosial
lebih
kuat.
Ungkapan
budaya
Madura
yang
bernada
sindiran,
“mon
kerras
pa akerres”
(“cuma
berani
ngomong”)
dijadikan
daya
dorong
para
individu
entitas
etnik
Madura
di
Panggungrejo
untuk
membuktikan
diri
meraih
keberhasilan
dan
ketenteraman
dalam
menjalani
kehidupan
yang
“berdaya”
di
dunia
maupun
di
akhirat.
Karena
itulah
mereka
berusaha
keluar
dari
stigma
“miskin
dan
bodoh”
yang
selama
ini
dilabelkan
masyarakat
pada
Kelurahan
Panggungrejo.
Skema
pentagon
dengan
luasan
lebih
besar
di
bandingkan
beberapa
lokasi
yang
telah
dibahas
sebelumnya
adalah
lokasi
studi
di
Kota
Surabaya.
Dua
kelurahan
terpilih
memiliki
karakteristik
hampir
sama.
Kedua
kelurahan
ini
merupakan
daerah
yang
berdekatan
dengan
pusat
industri,
sehingga
keduanya
memiliki
warga
pendatang
yang
jumlahnya
sangat
besar.
Kedua
lokasi
ini
bisa
menggambarkan
lokasi
yang
dekat
dengan
pusat‐pusat
industri.
Gambar
5.14.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
di
Kota
Surabaya
Karangpoh
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
Kandangan
200
DRAFT
FINAL
REPORT
Sumber:
Data
Primer
Lapangan
Studi
Kerelawanan,
diolah,
2009
Jika
dilihat
dari
diagram
di
atas,
dua
kelurahan
dengan
karakteristik
yang
sama,
ternyata
memiliki
skema
pentagon
yang
sangat
berbeda.
Beberapa
sumberdaya
memiliki
skor
yang
sama,
yakni
sumberdaya
manusia,
fisik,
dan
keuangan.
Namun
sumberdaya
alam
dan
sosialnya
saling
bertolak
belakang.
Karangpoh
memiliki
sumberdaya
sosial
yang
besar,
tetapi
sumberdaya
alamnya
kecil.
Sedangkan
Kandangan
memiliki
sumberdaya
sosial
kecil,
tetapi
sumberdaya
alamnya
besar.
Karangpoh
berada
+
7
km
(4
miles)
dari
pusat
Kota
Surabaya.
Seiring
dengan
mobilitas
penduduk
dan
perkembangan
sektor
industri
di
Surabaya,
mulai
masuk
pendatang
dari
berbagai
daerah
lain.
Maka
selain
karena
faktor
mobilitas
internal
di
lingkungan
cikal
bakal
Karangpoh,
masuknya
penduduk
satu
demi
satu
akibat
perkembangan
kota,
menyebabkan
jumlah
penduduk
menjadi
makin
banyak.
Persoalan
permukiman
tidak
bisa
dielakkan
lagi.
Sebagian
besar
lahan
di
Karangpoh
dipergunakan
untuk
area
permukiman.
Ada
beberapa
warga
yang
memanfaatkan
lahan
kosong
sebagai
kandang
kambing
dan
ternak
ayam,
terutama
di
RW
01.
Namun
tidak
banyak
yang
bisa
digantungkan
pada
sumberdaya
alam
di
Karangpoh.
Wilayah
kantong
kemiskinan
seperti
RW
01,
sebagian
warganya
mengandalkan
sektor
perdagangan
sebagai
sumberdaya
keuangan.
Bebek
goreng,
mie
ayam,
dan
bakso
merupakan
salah
satu
andalan
warga.
Dan
di
lokasi
dimana
banyak
pedagang
kaki
lima
ini,
sebuah
jalan
yang
semula
terputus
dihubungkan
melalui
program
PNPM‐P2KP.
Tersambungnya
jalan
ini
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
201
DRAFT
FINAL
REPORT
secara
ekonomi
signifikan
dalam
memudahkan
akses
masyarakat
ke
pasar
Balongsari.
Sedangkan
Kelurahan
Kandangan
yang
berada
pada
bagian
tepi
luar
Ibukota
Jawa
Timur,
Surabaya,
letaknya
mendekati
Kota
Gresik.
Suasana
kota
tidak
terlalu
terlihat
nyata
di
sini.
Hamparan
sawah
dan
padang
rumput
yang
luas,
serta
dijumpainya
perkebunan
mangga
merupakan
ciri
kental
Kelurahan
Kandangan.
Peternakan
kambing
tersebar
di
beberapa
ruas
Jalan
Tengger
Raya.
Kondisi
kelurahan
ini
mirip
sekali
dengan
suasana
perdesaan.
Sekitar
100
meter
ke
arah
belakang
kantor
lurah,
dapat
dijumpai
tambak‐tambak
ikan
yang
luas
membentang.
Kekayaan
alam
yang
demikian
besarnya
di
Kandangan
ini,
tidak
lagi
banyak
dimanfaatkan
oleh
masyarakat.
Sentuhan
industrialisasi
telah
meminggirkan
sektor
pertanian.
Areal
persawahan
sebagian
digarap
oleh
warga
asli,
bahkan
menjadi
tumpuan
penghidupan.
Namun
sebagian
yang
lain
dibiarkan
bera.
Sedangkan
area
tambak
yang
membentang
luas,
sebagian
besar
milik
beberapa
industri
pengolahan
hasil
laut
di
sekitar
Kandangan.
Kedua
kelurahan
ini
merupakan
kelurahan
dengan
jumlah
penduduk
pendatang
cukup
besar.
Sumberdaya
manusia
potensial
juga
dengan
mudah
bisa
ditemui
di
keduanya.
Bedanya,
di
Karangpoh
pendatang
dengan
warga
asli
membaur
dengan
baik,
sedangkan
di
Kandangan
mereka
memisahkan
diri
dari
warga
asli.
Potensi
konflik
di
Kandangan
cukup
besar,
sedangkan
di
Karangpoh
hampir
tidak
nampak.
Kedua
lokasi
ini
memiliki
pembagian
kategorisasi
warga
yang
cukup
menarik.
Pembagian
wilayah
di
Kelurahan
Karangpoh
berpengaruh
cukup
besar
dalam
pelaksanaan
PNPM‐P2KP.
RW
03
dan
RW
04
sebagai
komplek
permukiman
masyarakat
menengah
atas
sejak
awal
menolak
menerima
program.
Sikap
menolak
ini
dimaknai
pula
sebagai
penolakan
untuk
terlibat
dalam
kegiatan
PNPM‐P2KP,
sehingga
tidak
ada
satu
pun
relawan
yang
berasal
dari
kedua
RW
ini.
Untungnya
pendatang
di
kelurahan
ini
membaur
dengan
warga
asli
dengan
baik,
sehingga
keterlibatannya
dalam
kegiatan
PNPM‐P2KP
tidak
berbeda
dengan
warga
asli.
Hanya
saja
tidak
ada
diantara
para
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
202
DRAFT
FINAL
REPORT
pendatang
ini
yang
menjadi
relawan
terdaftar.
Seperti
misalnya
Aji
yang
tinggal
di
Gang
I
RT
07
RW
01
ini
selalu
ikut
kerjabakti
membantu
mengangkut
mengangkut
pasir
untuk
urug
bersama
warga
lain,
baik
yang
warga
asli
maupun
koskosan.
“Saya
ikut
membantu
ngangkutngangkut
pasir
itu
saja
buat
urug.
Pada
waktu
itu
hari
minggu,
jadi
saya
bisa
ikut
kerjabakti.
Kalau
hari
biasa
saya
kan
kerja,
jadi
gak
bisa
ikut
kerjabakti.
Warga
kos
yang
lain
juga
begitu,
karena
ratarata
yang
kos
di
sini
kan
kerja
di
pabrik,
jadi
mereka
kerja
kalau
harihari
biasa.
Baru
bisa
ikut
kalau
hari
minggu
saja.”
(Wawancara
dengan
Om
Mark,
Mas
Aji,
Mbak
Siti,
dan
Mas
Hendrik,
di
Gang
I
RT
07
RW
01,
Karangpoh
Indah
Barat,
11
Juni
2009:
11.15
–
11.30
WIB).
Sedangkan
warga
kos
perempuan
ikut
terlibat
membantu
ibu‐ibu
masak
untuk
masyarakat
yang
kerjabakti.
Menurut
beberapa
pendatang,
mereka
terlibat
pada
waktu
kerjabakti
itu
saja,
sedangkan
dalam
proses
perencanaannya
hanya
KK
asli
yang
diundang.
Tetapi
mereka
tidak
keberatan,
karena
menurut
mereka,
KK
inilah
yang
memang
orang
asli,
sedang
mereka
sebagai
pendatang
sewaktu‐waktu
bisa
pindah
dan
memang
tidak
memiliki
KTP
setempat.
Selain
itu,
keterbatasan
waktu
mereka
sebagai
pekerja
pabrik
menyebabkan
keterlibatannya
bersifat
eksidental
pada
hari
libur
saja.
“Kami
gak
diajak
musyawarah
waktu
merencanakan,
hanya
mereka
yang
KK.
Tapi
gak
apaapa,
wong
mereka
yang
warga
asli.
Kami
juga
tidak
bisa
ikut
rapatrapatnya,
karena
kami
kerja.
Toh
kami
ini
bukan
KTP
sini,
sewaktuwaktu
pengin
pindah,
ya
pindah
saja.
Tapi
ya
kalau
ada
kerja
bakti,
meskipun
tidak
diundang
misalnya,
kami
juga
malu
kalau
tidak
ikut.
Apalagi
di
depan
rumah.
Kami
juga
mau
membantu,
sekalian
biar
kenal
dengan
yang
lain.
Lagian
jalan
ini
kalau
bagus,
kami
juga
jadi
enak
kalau
lewat,
ojeg
jadi
bisa
masuk.”
(Wawancara
dengan
Om
Mark,
Mas
Aji,
Mbak
Siti,
dan
Mas
Hendrik,
di
Gg.
I
RT
7
RW
1,
Karangpoh
Indah
Barat,
11
Juni
2009
pukul
11.15
–
11.30
WIB).
Kondisi
saling
memahami
kepentingan
bersama
ini
membuat
sumberdaya
sosial
di
Kelurahan
Karangpoh
menjadi
kuat,
sehingga
pelaksanaan
PNPM
MP
berjalan
sebagaimana
yang
diharapkan.
Ketersediaan
sumberdaya
manusia
yang
bagus
dari
para
relawan,
dimana
justeru
relawan
yang
eksis
lebih
banyak
mereka
yang
memiliki
kemampuan
ekonomi
mapan
dan
latar
belakang
pendidikan
tinggi
menjadikan
kelurahan
ini
memfokuskan
kegiatan
pada
wilayah
kantong
kemiskinan,
bukan
pada
pemerataan.
Secara
kuantitas
memang
tidak
terlalu
banyak
ditemukan
relawan
di
Karangpoh,
tapi
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
203
DRAFT
FINAL
REPORT
secara
kualitas
kerelawanan
di
Karangpoh
bisa
dijadikan
model
untuk
wilayah
perkotaan
dengan
kompleksitas
seperti
Karangpoh.
Sedangkan
di
Kandangan,
masyarakat
juga
terbagi
dalam
kategorisasi
sebagaimana
Karangpoh,
tetapi
jauh
lebih
ekstrim.
Berdasarkan
pengamatan
di
lapangan
dan
berbagai
informasi
yang
berhasil
dihimpun
dari
pihak
kelurahan
Kandangan
maupun
dari
para
warga,
tim
peneliti
dapat
memetakan
kategori
warga
yang
ada
berdasarkan
lokasi
huniannya
pada
tiap‐tiap
RW.
Pemetaan
yang
dapat
dibuat
adalah
sebagai
berikut:
Tabel
5.2.
Pemetaan
Kategori
Warga
Berdasarkan
Lokasi
RW
Di
Kelurahan
Kandangan
No.
Kategori
Warga
Lokasi
RW
1.
Warga
asli
01,
02,
07
2.
Warga
perumahan
3.
Warga
kaplingan
02,
03
4.
Warga
koskosan
01,
02
5.
Warga
seberang
Jalan
Kandangan
Raya
03,
04,
05,
06
01
Catatan:
Penjelasan
lebih
rinci
tentang
kategorisasi
ini
ada
di
bab
berikutnya.
Kategorisasi
ini
sangat
berpengaruh
bagi
keterlibatan
masyarakat
dalam
kerelawanan
PNPM‐P2KP.
Selain
karena
wilayahnya
yang
sangat
luas,
pengelompokan
warga
ini
membuat
mereka
membatasi
interasi
antara
satu
kelompok
dengan
kelompok
yang
lain.
Sebagai
contoh
kegiatan
PNPM‐P2KP
ini,
seolah‐olah
ini
merupakan
kegiatan
warga
perumahan.
Warga
koskos‐an
merasa
dirinya
sebagai
orang
luar,
sehingga
tidak
perlu
terlibat
dengan
kegiatan
warga
setempat.
Sedangkan
warga
seberang
Jl.
Kandangan
Raya
yang
lokasinya
tidak
jauh
dari
Kantor
Kelurahan
tidak
tahu
menahu.
Sumberdaya
sosial
sangat
rendah
di
kelurahan
ini.
Masing‐masing
kelompok
masyarakat
memiliki
kepentingan
masing‐masing
dan
trust
kurang
terbangun.
Karenanya,
kerelawanan
di
kelurahan
ini
juga
rendah.
Gambar
5.15.
Hubungan
Antara
Partisipasi
Relawan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
204
DRAFT
FINAL
REPORT
denganTingkat
Perekonomian
Pada
MasingMasing
Kategori
Warga
di
Kelurahan
Kandangan
TINGKAT
PEREKONOMIAN
Tinggi
Warga Perumahan
Warga Perumahan
Warga asli
Warga Asli
Warga Kaplingan
Warga Kaplingan
Warga Seberang Tengger
Warga Seberang Tengger
Warga Kos-Kosan
Warga KosKosan
Rendah
PARTISIPASI
RELAWAN
Faktor
sumberdaya
fisik
juga
memiliki
pengaruh
cukup
besar
dalam
menentukan
keterlibatan
masyarakat
sebagai
relawan
di
Kandangan.
Warga
Kaplingan
yang
berada
di
areal
persawahan,
membuat
wilayah
ini
seolah‐olah
menjadi
terisolasi
dengan
lingkungan
warga
di
sekitarnya.
Jarak
terdekat
untuk
mencapai
daerah
warga
Kaplingan
dengan
lingkungan
hunian
di
sekitarnya
sekitar
350
meter.
Itupun
hanya
bisa
diakses
melalui
tanah
tegalan
sawah,
belum
ada
jalan
yang
sudah
dikeraskan
apalagi
diaspal.
Kondisi
ini
diperparah
dengan
tidak
adanya
lampu
penerang
jalan
pada
malam
hari.
Lebar
jalan
juga
hanya
cukup
untuk
dilalui
kendaraan
roda
dua.
Bagi
warga
sekitar
yang
sudah
mengetahui
medan
jalannya,
dapat
menuju
lokasi
dengan
cara
berjalan
kaki
maupun
menggunakan
sepeda
onthel
(kayuh).
Kondisi
ini
ternyata
juga
berpengaruh
terhadap
partisipasi
warganya
untuk
aktif
mengikuti
kegiatan
kerelawanan
dalam
PNPM
MP
karena
sulit
menjangkau
lokasi
kegiatan
yang
cenderung
dipusatkan
di
perumahan,
apalagi
jika
kegiatannya
dilakukan
malam
hari.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
205
DRAFT
FINAL
REPORT
“Bapakbapaknya
saja
malas
keluar
rumah
kalau
malam
–
apalagi
ibuibunya.
Makanya
susah
sekali
mencari
relawan
di
lingkungan
saya
(daerah
kaplingan).”
(Wawancara
dengan
M.
Yusuf,
40
tahun).
Gambaran
kerelawanan
yang
juga
menarik
kasusnya
adalah
di
Kelurahan
Karang
Berombak,
Kecamatan
Medan
Barat.
Di
kelurahan
ini,
Gambar
5.16.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
di
Kr
Berombak
hampir
semua
adalah
relawan
perempuan,
mencapai
90%.
Dari
40
orang
relawan
terdaftar,
hanya
4
orang
diantaranya
laki‐laki,
sedangkan
36
orang
lainnya
perempuan.
Jika
dilihat
dari
tingkat
pendidikannya,
relawan
di
Kelurahan
Karang
Berombak
rata‐rata
memiliki
latar
belakang
pendidikan
SMA/SMK,
yakni
mencapai
55%.
Selebihnya
SMP
sebesar
30%
dan
SD
15%.
Semua
relawan
perempuan
adalah
ibu
rumah
tangga,
sehingga
relatif
memiliki
waktu
lebih
fleksibel
di
lingkungannya.
Hal
ini
berbeda
dengan
mereka
yang
berstatus
karyawan
atau
pegawai
yang
memiliki
keterbatasan
waktu
karena
tergantung
pada
jam
kerja
di
kantornya.
Aset
sumberdaya
manusia
yang
cukup
baik
ini,
memang
tidak
terlalu
signifikan
dengan
keberadaan
sumberdaya
keuangan
dan
alam.
Di
kelurahan
ini
masih
ada
lahan
yang
dimanfaatkan
sebagai
areal
persawahan,
tetapi
sebagaimana
umumnya
gejala
perkotaan,
sektor
pertanian
semakin
ditinggalkan
oleh
masyarakat
dan
beralih
ke
sektor
industri.
Ada
beberapa
jenis
usaha
kecil
yang
tumbuh
di
lingkungan
masyarakat
miskin
di
Kelurahan
Karang
Berombak,
yaitu:
usaha
pembuatan
sofa
dari
kayu‐kayu
bekas
(peti
kemas),
pembuatan
kaki
kursi,
tas,
dan
usaha
pembuatan
sepatu.
Dari
ketiga
jenis
usaha
tersebut,
usaha
pembuatan
sofa
tampak
sudah
cukup
besar
dan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
206
DRAFT
FINAL
REPORT
melibatkan
beberapa
tenaga
kerja.
Namun
pada
umumnya
sektor
ini
menampung
tenaga
kerja
laki‐laki.
Karena
itulah,
relawan
perempuan
sangat
banyak
di
kelurahan
ini.
Karena
kerelawanan
di
P2KP
menjadi
media
bagi
kelompok
perempuan
untuk
melakukan
aktivitas
di
luar
rumah,
sekaligus
media
pembelajaran
dan
komunikasi
antar
mereka.
Kelurahan
Karang
Berombak
sebenarnya
cukup
heterogen.
Namun
demikian,
etnis
Jawa
yang
mencapai
2/3
dari
jumlah
penduduk
sangat
menonjol
sebagai
kelompok
etnis
terbesar.
Tampilnya
kelompok
etnis
jawa
ini
utamanya
dipengaruhi
oleh
kuantitas
yang
lebih
besar
dibandingkan
etnis‐ etnis
lainnya
yang
ada
(seperti:
Batak,
Melayu,
China,
dsb.).
Dampak
positifnya
adalah
kebersihan
lingkungan
yang
seringkali
memang
identik
dengan
budaya
orang
Jawa
“pawuhan”
(tempat
pembuangan
sampah)
pun
bersih.
Ini
pula
menyebabkan
masyarakat
memiliki
tanggung
jawab
bersama
untuk
memelihara
fasilitas
lingkungan,
baik
berupa
jalan
atau
pun
parit.
Secara
umum,
karena
lokasinya
tidak
terlalu
jauh
dari
pusat
kota,
kelurahan
ini
memiliki
infrastruktur
yang
baik.
Jalan
dan
gang‐gang
sudah
beraspal
atau
dicor.
Hal
ini
memudahkan
akses
keluar
dan
masuk
ke
wilayah
ini.
Secara
umum
kelurahan
ini
sangat
kondusif
dalam
pelaksanaan
kegiatan
P2KP.
Hubungan
harmonis
antara
pihak
pemerintah
(lurah)
dengan
berbagai
unsur
masyarakat
menjadi
kekuatan
sumberdaya
sosial
yang
baik.
Relawan
dan
BKM
selalu
melibatkan
lurah
dan
aparat
kelurahan
dalam
setiap
melaksanakan
program.
Demikian
pula
sebaliknya,
lurah
(aparat
kelurahan)
juga
sangat
proaktif
terhadap
pelaksanaan
kegiatan
dengan
turut
hadir
dan
terlibat
langsung
dalam
setiap
pelaksanaan
program
sekali
pun
hari
libur.
Kondisi
ini
mengakibatkan
tidak
ada
rasa
saling
mencurigai
antara
pelaku
program
dengan
pemerintah
kelurahan.
“Berjalannya
P2KP
ini
berkat
lurahnya
juga.
Bukan
kita
mau
banggabanggain
gak.
Tapi
misalnya
kalau
minggu
kita
gotong
royong,
buat
selokan,
Pak
Lurah
tetap
hadir.
Kalau
dilainlain,
ada
juga
yang
ngomong,
‘cem
mana
lurahnya?
Kita
nih
kan
harus
bikin
LPJLPJ.
Itulah
masalahnya,
susah
kita
dapat
tanda
tangan.
Saya
bilang,
kita
gak
ada
masalah.
Walaupun
mau
minta
tanda
tangan
seabrek,
gak
masalah
lurahnya,
bahkan
tanda
tangannya
di
bawah,
gak
di
kantornya.”
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
207
DRAFT
FINAL
REPORT
(Seperti
dituturkan
oleh
Har,
Karang
Berombak,
19
Mei
2009:
11.00
–
12.30)
Pemimpin/elit
formal
sebagai
pihak
yang
paling
banyak
didengar
masyarakat,
memiliki
peran
dan
pengaruh
besar
bagi
masyarakat.
Gaya
kepemimpinan
yang
sangat
egaliter
dari
lurah,
berpengaruh
bagi
transparansi
dan
partisipasi
pelaksanaan
P2KP.
Aparat
kelurahan
tidak
memberikan
intervensi
terhadap
pelaksanaan
program
dan
pelaku
program.
“Kita
bukan
munafik,
ya.
Uang
proyeknya
kurang
misalnya,
kita
bilang
sama
warga.
Mau,
warga
tuh
iuran.
Proyek
juga
yang
ngerjakan
warga,
masih
ada
yang
kasih
makan
siang,
pakai
ayam
goreng
lagi.
Murni
betul.
Maksud
saya
peran
serta
masyarakat
dalam
PNPM
di
kelurahan
ini,
sangat
baik.
Ya,
gotong
royongnya,
menyediakan
makan
juga.
Saya
juga
ga
segan
ikut
datang
setiap
ada
kegiatan.
Saya
juga
yang
menjelaskan
ke
warga
bahwa
program
ini
sifatnya
swadaya,
jadi
sebagian
biaya
harus
ditanggung
warga.
Biaya
kan
tidak
harus
berupa
uang,
tapi
tenaga
warga
untuk
mengerjakan
juga
termasuk
biaya.
Warga
menyumbangkan
tenaganya,
sama
dengan
biaya
tenaga
kerja.
Belum
lagi
yang
menyediakan
makanan
dan
minuman.”
“...
saya
paling
tidak
mau
mengganggu
sesuatu
yang
sudah
jelas
komposisinya
masingmasing,
sudah
jelas
tupoksinya.
Kecuali
jika
dana
sudah
keluar
dan
mau
didistribusikan,
saya
baru
bicara.
Saya
jelaskan
tentang
keterbatasan
program
dan
perlunya
partisipasi
masyarakat.
Saya
juga
jelaskan
bahwa
tim
BKM
itu
bekerja
tanpa
gaji.”
(Wawancara
dengan
EFL,
Lurah
Karang
Berombak,
19
Mei
2009:
10.30‐11.15)
Fungsi
Lurah
dalam
program
P2KP
adalah
menghimpun
masyarakat
dan
menyarankan
masyarakat
mengikuti
kegiatan
P2KP.
“Kalau
sosialisasinya
baik
pasti
hasilnya
juga
baik.
Jadi
fungsi
Lurah
di
sini
dipahami
sebagai
“pendorong”
masyarakat
untuk
mengikuti
kegiatan
kerelawanan.
Sebelum
Lurah
meminta
masyarakat
untuk
aktif
dalam
kegiatan
kerelawanan,
Lurah
itu
sendiri
yang
terlebih
dahulu
harus
memberi
contoh
kepada
masyarakat
bahwa
dirinya
memiliki
nilai
“kerelawanan”
untuk
masyarakatnya.
“Kalau
bapak/ibu
bertanya
kepada
saya,
“Siapa
itu
relawan?”
maka
saya
jawab,
“Saya
salah
satu
contoh
relawan.”
Mendorong
masyarakat
untuk
berpartisipasi
dalam
kegiatan
yang
hasilnya
untuk
mereka
juga
apa
bukan
kegiatan
relawan?
Jadi,
relawan
jangan
diartikan
orang
yang
‘harus’
ada
dalam
kelembagaan;
walaupun
ia
tidak
dalam
kelembagaan
–
tetapi
jika
ia
aktif
membantu
baik
hanya
tenaga,
pikiran,
maupun
finansial;
maka
orang
itu
bisa
kita
sebut
relawan.”
(Seperti
dituturkan
EFL,
Lurang
Karang
Berombak,
19
Mei
2009:
10.30‐11.15)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
208
DRAFT
FINAL
REPORT
Sumberdaya
sosial
ini
juga
diperkuat
oleh
kondisi
guyub
meskipun
mereka
sebenarnya
multietnis.
Guyup
dan
nilai‐nilai
kebersamaan
inilah
yang
mendorong
lahirnya
relawan‐relawan
tanpa
pamrih
di
Kelurahan
Karang
Berombak.
Jumlah
etnis
Jawa
yang
mencapai
2/3
jumlah
penduduk
juga
berdampak
positif
bagi
berkembangnya
budaya
kerjasama
dan
gotong
royong.
Sifat
dasar
gotong
royong
pada
umumnya
diakui
masyarakat
sangat
tinggi
di
kalangan
etnis
Jawa.
Hal
ini
ditunjukkan
dengan
banyaknya
kegiatan
keswadayaan
masyarakat
untuk
kepentingan
bersama.
Contohnya,
jika
ada
anggota
masyarakat
mengalami
kemalangan
dibantu
dengan
cara
“ngutip”
(menarik
iuran)
dari
warga.
Kegiatan
bersama
telah
menjadi
bagian
dari
kehidupan
masyarakat
dalam
bentuk
kegiatan
“wirid”,
PKK,
posyandu,
PKB,
dan
arisan.
Kegiatan
PKK,
posyandu,
dan
PKB
diikuti
oleh
kelompok
perempuan
saja,
sedangkan
wirid
dan
arisan
dilakukan
oleh
kelompok
laki‐laki
maupun
perempuan.
Kegiatan
bersama
ini
biasanya
berada
pada
tingkat
lingkungan.
Hanya
PKK
dan
Posyandu
yang
cakupannya
tingkat
kelurahan.
Kegiatan
ini
dimanfaatkan
masyarakat
sebagai
media
bertemu,
saling
berbagi,
dan
bersilaturahmi.
Kekuatan
sumberdaya
sosial
yang
baik
di
kelurahan
ini
merupakan
faktor
pendorong
internal
yang
menyebabkan
kerelawanan
menjadi
tinggi.
Trust
yang
terbangun
antar
unsur
yang
terlibat
di
P2KP,
membuat
para
relawan
juga
tetap
eksis
hingga
studi
ini
dilakukan.
Karang
Berombak
adalah
gambaran
livelihood
kerelawanan
di
daerah
rural
urban
dengan
etnis
cenderung
homogen.
Untuk
mendapatkan
gambaran
kerelawanan
di
kota
besar
dengan
lokasi
di
central
bussiness
distric
(CBD)
berikut
kompleksitas
masalah
sosialnya,
bisa
dilihat
di
Kelurahan
Hamdan.
Sumberdaya
keuangan
merupakan
sumber
penting
yang
selalu
diperebutkan.
Harga
tanah
di
sini
sangat
tinggi
–
walaupun
demikian,
tetap
menjadi
incaran
para
pengusaha
maupun
spekulan
kelas
atas.
Namun,
mereka
yang
‘memperebutkan’
kepemilikan
tanah
di
Kelurahan
Hamdan
tidak
hanya
terbatas
pada
para
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
209
DRAFT
FINAL
REPORT
mengusaha
kelas
atas
maupun
orang‐orang
berkantong
tebal.
Para
warga
miskin
kota
juga
tampil
untuk
‘memeriahkan’
penguasaan
tanah
tadi.
“Sejarah
pertanahan
di
Kelurahan
Hamdan
berawal
dari
kepemilikan
tanah
tersebut
atas
nama
Sultan
(maksudnya,
Kesultanan
Deli).
Kemudian
dijual
ke
pengembang.
Oleh
karena
itu,
40%
tanah
di
Kelurahan
Hamdan
dimiliki
oleh
para
pengembang.
Namun,
tanah
itu
kini
menjadi
tanah
sengketa.
Ceritanya,
pengembang
yang
belum
memiliki
rencana
membangun
di
atas
tanahnya
–
membiarkan
tanahnya
begitu
saja,
yang
pada
akhirnya
tanah
itu
digarap
oleh
masyarakat
miskin.
Mulai
dari
membuat
gubuk
seadanya,
lamakelamaan
mereka
mendudukinya
secara
permanen,
dan
menjadi
lingkungan
yang
padat
dan
kumuh.
Untuk
bisa
menggunakan
tanahnya,
pengembang
harus
mengeluarkan
uang
lagi
dalam
jumlah
yang
besar,
karena
masyarakat
yang
menduduki
tanahnya
meminta
gantirugi
yang
sulit
dipenuhi.
Bayangkan,
mereka
meminta
Rp.5.000.000/meter,”
(Keterangan
RH,
Lurah
Hamdan,
19
Mei
2009:
14.00‐15.55)
Kelurahan
ini
juga
memiliki
beragam
etnis.
Ada
orang
Batak
(Toba,
Dairi,
Simalungun,
dsb.),
Karo,
Deli,
Jadel
(Jawa
Deli),
Jabat
(Jawa
Batak),
Jawa
(sebagai
suku
terbanyak),
NIas,
Padang,
Aceh;
hingga
Gambar
5.17.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
di
Hamdan
Cina
dan
India
(Orang
Keling).
Dari
bermacam‐ macam
etnis
yang
ada,
ada
4
etnis
yang
hidupnya
berkelompok,
artinya
mereka
tinggal
tidak
berpencar‐pencar
selalu
ada
di
dan
setiap
lingkungan.
Keempat
etnis
itu
adalah
Jawa,
Nias,
Cina,
dan
India.
Dari
keempat
etnis
tadi,
hanya
etnis
Cina
yang
sebagian
besar
warga
masyarakatnya
hidup
di
lingkungan
menengah
atas.
Sisanya,
etnis
Nias,
Jawa,
dan
India
hidup
dan
menetap
di
lingkungan
menengah
bawah
atau
miskin.
Lingkungan
09
adalah
lingkungan
yang
paling
“menarik”.
Pengelompokan
etnis
terjadi
di
sini;
Jawa,
Nias,
dan
India.
Setiap
etnis
memiliki
patronnya
masing‐masing.
Setiap
kelompok
etnis
tidak
mau
tahu
atau
tidak
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
210
DRAFT
FINAL
REPORT
mau
ikut
campur
urusan
etnik
lainnya73.
Namun,
pada
lingkungan
ini
bukan
berarti
orang
India
sebagai
etnis
dominan;
baik
patron
maupun
warga
etnisnya
ditakuti
oleh
etnis
lainnya.
Justru
yang
terlihat,
Erw
sebagai
warga
dari
etnis
Karo
dan
Ucok
dari
etnis
Jabat
cukup
disegani
di
lingkungan
ini.
Segregasi
sosial
juga
sangat
tajam.
Batas
antara
daerah
bisnis,
perdagangan,
dan
rumah
elite
menempel
dengan
daerah
kumuh
dan
bangunan
liar.
Antara
kelompok
miskin
dengan
kaya
terjadi
jarak
yang
sangat
mencolok,
baik
dari
kepemilikan
aset
maupun
interaksi
sosialnya.
Sikap
individualis
dan
masa
bodoh
dengan
orang
lain
membuat
kegiatan
program
sulit
dilaksanakan
di
lokasi
ini.
Selain
sumberdaya
sosial
yang
rendah,
kerawanan
sosial
juga
sangat
tinggi.
Kelurahan
ini
juga
terkenal
dengan
area
prostitusinya,
sekaligus
area
judi
dan
peredaran
miras
dan
narkoba.
Kompleksnya
persoalan
yang
terjadi
di
Hamdan,
sebagaimana
dialami
oleh
daerah‐daerah
di
kota
besar/metropolit,
merupakan
penyebab
sulitnya
nilai
kerelawanan
tumbuh
di
daerah
ini.
Bahkan
ketika
tim
studi
berada
di
lokasi
studi
dan
melaksanakan
FGD,
relawan
yang
hadir
bukanlah
relawan
P2KP
sebagaimana
yang
terdaftar,
akan
tetapi
mobilisasi
masa
untuk
memenuhi
jumlah
relawan
yang
diminta
tim,
dan
diantaranya
sedang
dalam
kondisi
mabuk.
“Tidak
ada
satupun
orang
kaya
dari
lingkungan
itu
(maksudnya,
Lingkungan
5
&
6
–
lingkungan
permukiman
elit)
yang
mau
ikut.
Beberapa
surat
ajakan
sering
kita
kirim,
tetapi
tidak
pernah
ada
tindak
lanjutnya.
Mereka
itu
tidak
mau
tahu
dengan
program
di
sini
(maksudnya,
P2KP).
Dari
pengalaman
kita
sebagai
BKM
dan
sebagai
warga
masyarakat
di
sini,
alasan
orang
kaya
tidak
mau
bergabung
dengan
kegiatan
kerelawanan
karena:
73
Hal
ini
dibuktikan
ketika
kami
berada
di
Lingkungan
09
(tepatnya
di
depan
rumah
Erw)
pada
hari
Sabtu,
tanggal
23
Mei
2009,
jam
1.42.
Saat
itu
terjadi
perang‐mulut
ibu‐ ibu
dari
dua
keluarga
beretnis
orang
Jawa.
Kata‐kata
makian
yang
kotor
terucap
lantang
dan
keras,
hingga
terdengar
jelas
dari
posisi
kami
duduk
dengan
tempat
kejadian
yang
berjarak
20
meter.
Namun,
di
sisi
yang
lainnya
lagi,
ada
acara
pernikahan
dengan
adat
yang
cukup
meriah
dari
kelompok
etnis
Nias,
dengan
jarak
sekitar
8
meter
dari
tempat
kami
duduk.
Dua
kejadian
yang
saling
bertolak
belakang
itu
(ada
yang
marah
dan
ada
yang
bahagia)
berjalan
natural
(seolah‐olah
tidak
ada
pengaruhnya
terhadap
yang
lain).
Masyarakat
India
yang
menjadi
komuniti
etnis
dominan
bisa
“memilih”
mau
menonton
yang
perang‐mulut
atau
yang
sedang
menikah,
dengan
sikap
yang
biasa
saja.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
211
DRAFT
FINAL
REPORT
(1)
(2)
Bila
ada
orang
miskin74
yang
mau/dekat
dengan
orang
kaya,
mereka
selalu
beranggapan
bahwa
kita
‘tebar
pancing’
(maksudnya,
punya
siasat
buruk
yang
berhubungan
dengan
uang)
–
jadi
mereka
belum
apaapa
sudah
mundur
karena
curiga
terlebih
dahulu.
Takut
komunikasi
akan
berkelanjutan.
Orang
kaya
sangat
membatasi
diri
untuk
berkomunikasi
dengan
kita;
itulah
alasannya.
Artinya,
kalaupun
ada
komunikasi,
cukup
sekali
saja,
jangan
ada
buntutnya.
Begitulah
kirakira
pandangan
orang
kaya
di
lingkungan
itu
kepada
kami.
Kita
bisa
bicara
seperti
ini
karena
pengalaman.”
(Seperti
yang
dituturkan
Erw,
anggota
BKM,
Hamdan,
Rabu,
20
Mei
2009)
Lokasi
lain
yang
memiliki
kerawanan
sosial
tinggi
adalah
Maccini,
Kecamatan
Makassar,
Kota
Makassar.
Secara
geografis
letaknya
tidak
jauh
dari
pusat
kota,
sehingga
infrastruktur
dan
sumberdaya
fisik
lainnya
sangat
Gambar
5.18.
Profil
Aset
Penghidupan
Relawan
di
Maccini
memadai.
Akan
sumberdaya
tetapi
alamnya
sudah
berubah
menjadi
area
permukiman.
Sedangkan
sumberdaya
keuangan
tidak
banyak
yang
bisa
diakses
oleh
para
relawan,
karena
sebagian
besar
relawan
yang
ada
di
Maccini
adalah
penerima
manfaat.
Keterlibatan
relawan
di
Maccini
pada
umumnya
dilatarbelakangi
oleh
alasan
“balas
budi”,
sehingga
mereka
yang
terlibat
kecenderungannya
adalah
orang
yang
pernah
menerima
bantuan
dari
P2KP,
kemudian
ikut
terlibat
dengan
maksud
membalas
budi.
“Hatihati
kalau
masuk
Kelurahan
Maccini,
di
sana
terkenal
rawan
kejahatan;
copet,
maling,
serta
banyak
orang
minum
(=
mabuk)
dan
berkelahi.
Kalau
ke
sana
sebaiknya
siang
hari,
pulangnya
jangan
lewat
dari
jam
10
malam.”
74
Maksudnya,
bukan
dari
kelompok
ekonomi
seperti
mereka.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
212
DRAFT
FINAL
REPORT
Petikan
kalimat
ini
merupakan
peringatan
awal
dari
KMW
VIII
dan
Korkot
kepada
tim
untuk
mengunjungi
Kelurahan
Maccini.
Sekembali
dari
KMW
VIII,
tim
mulai
bertanya‐tanya
tentang
Maccini.
Namun
setelah
tim
bertemu
Lurah
Maccini,
tim
mendapatkan
informasi
bahwa
Maccini
sangat
kondusif.
Hal
ini
tidak
membuat
tim
terpuaskan.
Tim
kemudian
mencari
informasi
dari
membaca
surat
kabar
setempat
hingga
mencari
informasi
melalui
internet
kami
lakukan.
Dari
data
ini
didapatkan
berita‐berita
yang
justru
mendukung
kebenaran
informasi
dari
KMW
VIII,
bahkan
seminggu
sebelumnya
baru
saja
ada
peristiwa
perang
antar‐warga
di
Maccini
yang
menewaskan
satu
orang
warga
yang
terkena
panah.
Berikutnya,
ketika
kami
menemui
BKM,
ada
beberapa
pernyataan
yang
kembali
mendukung
informasi
awal
dari
KMW
VIII.
“Kalau
mau
berburu
tato
(=
preman),
di
sini
tempatnya,
…
…
banyak
di
jalan jalan.”
(Diutarakan
Ah.
H.,
58
tahun,
Maccini,
16
Juli
2009)
“Di
sini
(terutama
RW
04)
pencuri
sudah
profesi.
Kalau
di
sini
mi,
yang
banyak
penyambar
(=
jambret)
kalau
masuk
rumah
(=
maling)
jarang.
…
…
Kalau
masalah
perkelahian,
hampir
tiap
malam
ada
perangperangan
(tawuran),
terutama
antara
RW
04
dan
RW
03.
Penyelesaiannya,
kita
(=
para
sesepuh
lingkungan)
jalan
di
tengahtengah
tawuran.
Biasanya
mereka
langsung
berhenti
dan
bubar.
Tapi
kalau
kita
pulang,
mereka
bisa
saja
melanjutkan
perangperangan
lagi.
…
…
Kehidupan
warga
Maccini
keras;
main
pukul
main
parang,
tapi
kalau
untuk
kelompok
narkoba
banyak
yang
sudah
diambil
(=
ditangkap
polisi).”
(Diutarakan
Bud,
69
tahun,
Maccini,
Kamis,
16
Juli
2009)
Bagi
orang
Makassar,
Maccini
dikenal
sebagai
“Texas‐nya
Makassar.”
Kelurahan
ini
dikenal
dengan
seringnya
terjadi
pertikaian
antar
kampung
(perangperangan
dengan
menggunakan
panah).
Memang
ada
satu
RW
di
kelurahan
ini
yang
dikenal
sebagai
RW‐nya
“jambret”,
yakni
di
RW
IV.
Namun
ironisnya,
banyak
ditemukan
relawan
dari
RW
ini.
Ternyata
persoalannya
kembali
pada
dari
kelompok
ekonomi
mana
relawan
berasal.
Dan
tidak
jauh
berbeda
dengan
lokasi
lainnya,
relawan
di
Maccini
berasal
dari
masyarakat
miskin,
sedangkan
RW
IV
adalah
kantong
kemiskinan
di
Kelurahan
Maccini.
Dengan
demikian,
justeru
sumberdaya
keuangan
merupakan
pendorong
utama
keterlibatan
relawan
di
Maccini.
Namun
juga
tidak
bisa
dipungkiri,
bahwa
di
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
213
DRAFT
FINAL
REPORT
kelurahan
ini
juga
ada
sumberdaya
manusia
yang
bagus
dengan
latar
belakang
pendidikan
yang
baik.
Sumberdaya
manusia
inilah
yang
kemudian
menyebarkan
nilai‐nilai
luhur
kepada
para
relawan
yang
lain,
sehingga
pada
akhirnya
daerah
ini
memiliki
kerelawanan
yang
cukup
baik.
Meskipun
rawan
dengan
persoalan
sosial,
kontrol
lembaga
agama
(Islam)
cukup
kuat
di
daerah
ini.
Sehingga
nilai‐nilai
luhur
lebih
mudah
untuk
diinternalisasikan
kepada
relawan
yang
lain.
Dari
keseluruhan
lokasi,
jika
dilihat
dari
skema
livelihood
asset‐nya,
bisa
dibuat
pengelompokan
model
kerelawanan
berdasarkan
karakteristik
daerahnya,
sebagai
berikut:
a.
Kerelawanan
di
daerah
ruralurban
(peripheri)
Untuk
wilayah
ruralurban
ini
dibagi
dua,
yakni
(1)
ruralurban
di
kota
metropolis,
dan
(2)
ruralurban
di
kota
kecil.
Yang
pertama
digambarkan
oleh
Kelurahan
Karang
Berombak
(Medan),
dan
yang
kedua
digambarkan
oleh
Kelurahan
Limba
B
dan
Limba
U
Dua
(Gorontalo).
b.
Kerelawanan
di
daerah
rural
Daerah
rural
juga
masih
harus
dibagi
dua,
yakni
(1)
rural
pesisir,
yang
digambarkan
oleh
Kelurahan
Panggungrejo;
dan
(2)
rural
pertanian,
yang
digambarkan
oleh
Kelurahan
Kepel,
keduanya
Pasuruan.
c.
Kerelawanan
di
daerah
urban
Daerah
urban
juga
harus
dibagi
dalam
dua
kelompok,
yakni
(1)
daerah
CBD
kota
berkembang,
yang
digambarkan
oleh
Kelurahan
Kebun
Geran
dan
Kebun
Dahri
(Bengkulu),
serta
Kelurahan
Tabaringan
dan
Maccini
(Makassar),
dan
(2)
daerah
CBD
kota
metropolis,
yang
digambarkan
oleh
Kelurahan
Hamdan
(Medan).
d.
Kerelawanan
di
daerah
industri
Digambarkan
oleh
Kelurahan
Karangpoh
dan
Kandangan,
Surabaya.
5.3.
Proses
Pelembagaan
Kerelawanan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
214
DRAFT
FINAL
REPORT
Dari
semua
lokasi
yang
didatangi
oleh
Tim
Studi
Kerelawanan,
di
semua
tempat
proses
rekruitmen
relawan
dilakukan
melalui
proses
“seleksi
perwakilan.”
Artinya,
relawan
yang
mendaftar
atau
didaftar
seringkali
berangkat
dari
penunjukkan
RT
atau
RW
setempat,
bukan
berangkat
dari
kesadaran
atau
keterpanggilan
hati.
Di
Medan
misalnya,
sosialisasi
berangkat
dari
Kepling.
Umumnya
hal
ini
karena
Kepling
juga
tidak
mau
direpotkan
untuk
melakukan
seleksi,
sehingga
mekanisme
menunjuk
orang
yang
dirasa
memiliki
waktu
dan
kemampuan
cukup,
adalah
hal
yang
sangat
mungkin
dilakukan.
“Ini
kan
berangkat
dari
lingkungan.
Kepling
gak
mau
kalau
disuruh
yang
ribet.
Ya
sudahlah,
dari
lingkungannya
Pak
Suy,
dimintalah
Pak
Suy
ini
hadir.
Di
lingkungan
saya,
saya
ini
kan
kerjanya
malam,
kalau
siang,
penuh
di
rumah
aja.
Jadi
dimintalah
saya.
Ya
sudah,
hadir.”
(Wawancara
dengan
Har
dan
Suy,
Karang
Berombak,
Selasa,
19
Mei
2009:
11.00
–
12.30)
Kondisi
ini
diperburuk
dengan
kurangnya
pemahaman
faskel
terhadap
siapa
saja
yang
bisa
menjadi
relawan,
sehingga
tujuan
pemberdayaan
yang
diharapkan
nyaris
tidak
pernah
tercapai.
Setelah
sosialisasi
kemudian
dilakuan
rembug
kesiapan
masyarakat,
tidak
jarang
dalam
satu
kelurahan
ada
RW
yang
menolak
menerima
program.
Penolakan
seperti
ini
dimaknai
bahwa
RW
tersebut
menolak
secara
keseluruhan.
Akibat
pemahaman
seperti
ini,
wilayah
semacam
ini
ditinggalkan
begitu
saja.
Tidak
ada
pendekatan
lebih
lanjut
bahwa
menolak
program
diartikan
sebagai
menolak
menjadi
penerima
manfaat,
tetapi
tetap
bisa
menjadi
pelaku,
yakni
sebagai
relawan.
Sebagai
contoh
di
Karangpoh,
Surabaya.
Salah
satu
RW
yang
mengatakan
menolak
adalah
Komplek
Darmo
Asri
yang
dikenal
sebagai
salah
satu
komplek
permukiman
elit
di
Kota
Surabaya.
Komplek
ini
sebagian
besar
dihuni
oleh
etnis
China
dan
dianggap
ekslusif.
Hal
ini
menambah
keengganan
faskel
untuk
mensosialisasikan
program
ke
wilayah
ini.
Komplek
ini
menolak
program,
tetapi
komplek
ini
juga
aset
yang
besar
bagi
kelurahan
setempat,
dimana
seharusnya
“si
Kaya”
bisa
(ikut)
memberdayakan
“si
Miskin”
di
lingkungan
setempat.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
215
DRAFT
FINAL
REPORT
“RW
03
dan
RW
04
masyarakatnya
dominan
China
dan
sangat
ekslusif,
jika
kami
ketok
pintu,
hanya
anjingnya
berbunyi.
Kami
akhirnya
tidak
pernah
datang
lagi.
Dan
mereka
menyatakan
menolak
program,
jadi
kami
tinggal.”
(Disampaikan
oleh
Rin,
dalam
FGD
Faskel,
Surabaya,
13
Juni
2009:
11.00
–
13.30)
Hal
seperti
ini
terjadi
di
semua
lokasi.
Wilayah‐wilayah
yang
menyatakan
tidak
mau
menerima
program,
kemudian
sama
sekali
tidak
disentuh
dan
tidak
pernah
dilibatkan
dalam
proses
pelaksanaan
kegiatan,
sehingga
tidak
pernah
ada
relawan
dari
wilayah
yang
bersangkutan.
Contoh
lain
adalah
yang
terjadi
di
Kelurahan
Kepel,
Pasuruan.
Sebagaimana
telah
dijelaskan
pada
bagian
sebelumnya,
faskel
menentukan
strategi
yang
sama
antara
“kidule
rel”
(mayoritas
Jawa)
dengan
“lore
rel”
(mayoritas
Madura).
Faskel
menjadikan
aparat
kelurahan
(dalam
hal
ini
Lurah
dan
perangkatnya)
sebagai
key
person
dan
melupakan
bahwa
masyarakat
Madura
mempunyai
filosofi
hidup
bebba,
bebbu,
guru,
ban
ratoh.
Alhasil,
masyarakat
lore
rel
tidak
terlalu
memperdulikan
apa
yang
disampaikan
oleh
ratoh
(aparat
kelurahan),
sehingga
mereka
tidak
terlibat.
Hal
ini
tidak
dicermati
oleh
faskel,
dan
justeru
membenarkan
justifikasi
yang
diberikan
oleh
sekelompok
masyarakat
di
luar
etnis
Madura
dengan
stereotipe
bahwa
masyarakat
lore
rel
berwatak
keras,
pemarah,
dan
susah
diatur.
Dengan
stereotipe
ini,
kemudian
warga
lore
rel
karena
ditrasakan
susah
cenderung
untuk
“ditinggalkan”
begitu
saja.
Faskel
sebagai
agen
pemberdaya
relatif
tidak
berjalan.
Yang
terjadi
justeru
faskel
lebih
banyak
menjadi
agen
“proyek.”
Hal
ini
diakui
sendiri
oleh
beberapa
faskel,
bahwa
dirinya
lebih
banyak
disibukkan
oleh
jadwal
administrasi
proyek,
sehingga
kecenderungan
langkah
yang
diambil
adalah
memenuhi
jadwal
proyek
ketimbang
mendapat
“SIM
merah.”75
75
Di
lapangan,
kegiatan
tim/seorang
faskel
sangat
didominasi
oleh
kegiatan
administratif,
seperti
membuat
laporan
rutin,
mendorong
penyusunan
proposal
kegiatan
“tepat
waktu”,
dsb.
Hal
ini
menjadi
penting
karena
menjadi
“tolok
ukur”
kinerja
tim/seorang
faskel
yang
(akan)
dikaitkan
dengan
haknya.
Progress
administratif
sangat
dibutuhkan
untuk
dapat
dilaporkan
dan
dicatat
dalam
SIM
KMW.
Akibatnya,
berbagai
persoalan
pemberdayaan
yang
ditemui
selama
proses
pendampingan
ada
kecenderungan
“ditinggalkan”
tanpa
solusi,
dan
sehingga
muncul
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
216
DRAFT
FINAL
REPORT
“Kami
ini
satu
sisi
agen
proyek,
sisi
lain
agen
pemberdayaan,
tapi
lebih
besar
sebagai
agen
proyek.
Kami
harus
memenuhi
jadwal
yang
ditetapkan
oleh
proyek,
dan
jika
pada
jadwal
yang
ditentukan
tidak
terpenuhi
data
SIMnya,
maka
kami
dapat
SIM
merah.
Akhirnya
kami
kejar
tayang,
supaya
jadwal
tersebut
terpenuhi.
...
di
lapangan
terbalikbalik
karena
tuntutan
administrasi
proyek,
BAPPUK
harus
jadi
lebih
dulu.”
(Pengakuan
disampaikan
oleh
Dew,
Faskel
Senior,
FGD
Faskel
Kota
Medan,
Sabtu,
23
Mei
2009:
20.15
–
23.00
WIB)
“Kami
harus
melaksanakan
kegiatan
sesuai
jadwal
dari
pusat.
Jika
kami
melebihi
batas
waktu
administrasi,
mereka
(SNVT)
pending
gaji
kami.
Kami
didesain
proyek
benerbener.
Dana
besar
atau
kecil,
resiko
administrasi
sama
saja.
Itungtiungan
bahan
saja,
tidak
sama
itungitungan
tukang
dan
program
itu
sulit
ketemu.
Formatformat
susulan,
juga
ribet.
Setiap
kali
kami
habis
memberikan
coaching,
ditanya,
“Benar
gak
ini?”
Kami
seperti
sinetron
kejar
tayang.”
(Dirangkum
dari
pendapat
beberapa
faskel
dalam
FGD
Faskel
Kota
Bengkulu,
3
Juni
2009:
14.30
–
17.00
WIB)
Apa
yang
disampaikan
faskel
di
atas
benar
adanya.
Di
semua
lokasi
studi,
tim
kerelawanan
menjumpai
kenyataan
bahwa
BKM
dikejar
dengan
jadwal
pelaporan
kegiatan
dan
keuangan.
Sementara
itu
pendampingan
yang
seharusnya
selalu
diberikan
kepada
seluruh
relawan,
tidak
lagi
terjadi
pasca
pembentukan
BKM.
Pendampingan
yang
dilakukan
faskel
makin
mengerucut
tidak
lagi
mendampingi
masyarakat,
tapi
hanya
BKM.
Bahkan
KSM
sama
sekali
tidak
tersentuh.
Kegiatan
kemudian
menjadi
kegiatan
yang
melelahkan
bagi
masyarakat
karena
mulai
bermain
mata
dan
mengejar
untung.
Sedangkan
BKM
sebagai
agen
pemberdaya
di
masyarakat
telah
disibukkan
dengan
agenda
proyek,
sehingga
“melupakan”
juga
keberadaan
relawan.
Muncul
banyak
keputusasaan,
“mutung”
(=patah
semangat),
merasa
diabaikan,
tidak
dibutuhkan
lagi,
dan
sebagainya
dari
para
relawan
yang
tidak
terpilih
menjadi
anggota
BKM.
Ini
merupakan
pengaruh
dari
target
siklus
yang
harus
dicapai.
Ketika
P2KP
masuk
malah
mengkotak‐kotakan
masyarakat,
muncul
konflik
antar
pribadi
(misalnya:
anggota
BKM
dengan
masyarakat
saling
curiga),
saling
menjauh,
dan
seterusnya.
istilah‐istilah
“ada
daerah
yang
menolak
P2KP”
hanya
karena
proses
sosialisasi
yang
belum
tuntas.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
217
DRAFT
FINAL
REPORT
Siklus
program
yang
kejar
tayang
ini
berakibat
sangat
fatal
bagi
esensi
program.
Faskel
salah
dalam
mengidentifikasi
siapa
relawan,
mendorong
munculnya
relawan
“sejati”,
dan
seringkali
terpaku
hanya
pada
tokoh
(key
person)
yang
dijumpai,
sehingga
malah
mengukuhkan
ketokohan
yang,
tidak
menggali
sumberdaya
manusia
potensial
di
luar
tokoh
karena
tidak
populer.
“Model
yang
dipakai
temanteman
untuk
menjaring
relawan,
kami
tidak
tahu.
Interaksi
dengan
relawan
juga
gak
pernah,
kecuali
pas
ada
pelatihan.
Tapi
pemahaman
tentang
relawan
juga
masih
sangat
rendah.
Entah
sosialisasi
yang
salah
atau
memang
trend.
Proses
menemukan
orangorang
baik
dengan
nilai nilai
luhur
itu
tidak
terjadi.
Kalau
faskel
atau
BKM
ditanya
soal
proses
ini,
nol,
tidak
ada
yang
tahu.
Mereka
biasanya
hanya
bolakbalik
pada
tokoh
yang
pernah
dijumpainya
pertama,
atau
bahkan
terpusat
pada
aparat
kelurahan.”
(Wawancara
dengan
KA,
Korkot
Bengkulu,
3
Juni
2009:
20.00
–
22.00
WIB)
Terfokusnya
program
masuk
pada
key
person
justeru
menjebak
para
pelaku
untuk
tidak
keluar
dari
lingkaran
“pelaku
utama”76
di
tingkat
kelurahan.
Perhatikan
penjelasan
faskel
berikut:
“Koordinator
itu
dibutuhkan
figur.
Selama
ini
dia
adalah
key
person.
Semua
pelaporan
ada
di
dia,
terutama
urusan
administrasinya.
Penurunan
relawan
karena
keterbatasan
dan
hilangnya
figur.
Figur
Devi77
adalah
sosok
muda
yang
bisa
berada
di
kelompok
manapun.
Dia
ada
di
kelompok
kematian,
di
masjid,
dll.
Lurah
juga
sangat
tergantung
kepada
Pak
Devi,
bahkan
untuk
pembuatan
gapura
kelurahan
saja,
desain
anggarannya,
Pak
Lurah
meminta
tolong
kepada
Devi.”
(Seperti
dituturkan
oleh
Dar,
Faskel
Senior,
Bengkulu,
3
Juni
2009).
Dengan
memperhatikan
kutipan
di
atas,
faskel
sendiri
melakukan
mistifikasi
terhadap
peran
salah
seorang
tokoh
dan
mengabaikan
keberadaan
orang
lain
yang
mungkin
memiliki
potensi
sama,
tetapi
tidak
pernah
populer
karena
tidak
pernah
mendapat
kesempatan.
Peran
seorang
figur
memang
diperlukan,
tetapi
program
juga
harus
menghindari
bahwa
hal
seperti
ini
akan
menguatkan
ekslusifisme
di
tubuh
BKM.
76
77
Yang
dimaksud
adalah
orang
yang
selalu
terlibat
dalam
setiap
kegiatan
di
tingkat
kelurahan.
Biasanya
orang
ini
memiliki
kedekatan
khusus
dengan
aparat
kelurahan,
populer
di
masyarakat,
dianggap
pandai
sehingga
orang
lain
segan
dan
selalu
menganggap
bahwa
apa
yang
disampaikan
benar.
Devi
adalah
mantan
Koordinator
BKM
Kebun
Geran,
yang
“memilih”
Kom
sebagai
penggantinya
(tanpa
melalui
mekanisme
pemilihan).
Namun,
Kom
hanyalah
boneka
yang
di‐setting
untuk
memainkan
peran‐peran
sesuai
keinginannya.
Dominasi
Devi
ini
membuat
orang
memandang
seolah
tanpa
peran
Devi
semua
kegiatan
tidak
berjalan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
218
DRAFT
FINAL
REPORT
Terbatasnya
pemahaman
faskel
juga
berdampak
pada
proses
pembelajaran
yang
tidak
berjalan.
Seringkali
tugas
BKM
diambil
alih
oleh
faskel
dengan
tujuan
tidak
melebihi
jadwal
yang
ditetapkan.
Karena
itu,
seringkali
rancangan
PJM
seolah
di
atas
awan.
Faskel
lebih
banyak
berperan
dengan
perspektifnya
sendiri,
bukan
perspektif
masyarakat.
Ini
yang
diistilahkan
oleh
salah
seorang
korkot
sebagai
bagian
dari
proses
“ngarang‐ ngarang”
dan
“nyari‐nyari.”
Akibatnya
tidak
memunculkan
rasa
“handarbeni”
(memiliki)
dari
masyarakat,
yang
disebabkan
program
tidak
dirancang
sendiri
oleh
masyarakat
sesuai
kebutuhannya.
Kalaupun
mereka
yang
merancang,
faskel
lebih
cenderung
membiarkan
saja
apakah
itu
sesuai
kebutuhan
atau
tidak,
sehingga
program
pun
banyak
yang
melenceng
dari
sasaran
dan
banyak
yang
dilatarbelakangi
pemerataan.
“Kesalahan
identifikasi,
seringkali
karena
sudah
ada
pola
atau
patron
yang
ditetapkan
oleh
program,
sehingga
tidak
ada
penentuan
yang
bersifat
inovatif.
Kita
tidak
kasih
kerangka,
mereka
diskusi
sendiri.
Sekarang
merencanakan
susah,
ngarangngarang.
Pelaksanaannya
juga
gitu,
nyarinyari
orang,
hayo
siapa
yang
mau
ikut.
Karena
bukan
kebutuhan
masyarakat,
tidak
digali.
Jadi
kalau
ada
pelatihan
tidak
digali
apa
kebutuhan
masyarakat.
Inovasinya
lemah
sekali.
Sehingga
orang
tidak
merasakan
manfaat
apa
yang
diberikan
oleh
program.
Tapi
jika
ada
yang
bisa
membuat
mereka
bangga
dengan
keberhasilan
dari
program
yang
mereka
susun,
kerelawanan
itu
akan
berlanjut.”
(Wawancara
dengan
KA,
Korkot
Bengkulu,
3
Juni
2009:
20.00
–
22.00
WIB)
Demikian
halnya
relawan
yang
direkruit,
seolah
hanya
memenuhi
kuota
proyek.
Bahkan
faskel
memahami
jumlah
25
orang,
sebagai
batasan
jumlah
relawan.
Sedikit
sekali
yang
berfikir
inovatif
untuk
menjaring
sebanyak
mungkin
relawan
dan
mendorong
keswadayaan
masyarakat
makin
luas.
Karena
anggaran
pelatihan
relawan
yang
disediakan
program
hanya
untuk
25
orang,
maka
faskel
tidak
mau
direpotkan
untuk
berfikir
inovatif
sehingga
dana
yang
terbatas
tersebut
bisa
dimanfaatkan
secara
optimal.
Proses
seleksi
awal
dengan
batasan
jumlah
ini
justeru
menjadi
pisau
pemangkas
berkembangnya
nilai‐nilai
luhur,
karena
orang
yang
memiliki
jiwa
kerelawanan
yang
sebenarnya
seringkali
tidak
terpilih
menjadi
relawan
dan
kembali
yang
muncul
adalah
tokoh‐tokoh
(elit
lokal)
populer.
Demikian
halnya
dengan
partisipasi
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
219
DRAFT
FINAL
REPORT
perempuan,
hanya
untuk
memenuhi
yang
disyaratkan
program
bahwa
dari
25
orang
relawan
30
persen
diantaranya
haruslah
perempuan.
Pola
mutasi
faskel
juga
berjalan
terlalu
cepat.
Di
saat
masyarakat
mulai
percaya
dan
menggantungkan
banyak
harapan
dari
salah
seorang
faskel,
tidak
berapa
lama
faskel
yang
bersangkutan
diganti.
Hal
ini
menimbulkan
kebingungan
tidak
hanya
bagi
masyarakat,
tetapi
juga
bagi
faskel
bersangkutan.
Belum
lagi
ditemui
banyak
sekali
faskel
yang
baru
saja
lulus,
belum
mendapatkan
pelatihan,
sehingga
ketika
ditanya
juga
tidak
paham
apa‐ apa.
“Persoalan
yang
mendasar
dari
faskel
adalah
rotasi.
Rotasi
terjadi
pada
waktu
yang
pendek,
sehingga
masalah
yang
sedang
kami
tangani
selesai,
kami
sudah
harus
pindah
ke
kelurahan
lain.”
(Mes,
FGD
Faskel
Kota
Medan,
Sabtu,
23
Mei
2009:
20.15
‐
23.00
WIB)
Standardisasi
rekruitmen
faskel
harus
menjadi
pertimbangan,
karena
faskel
adalah
ujung
tombak
keberhasilan
proses
pemberdayaan.
Dan
semestinya
fungsi
faskel
dikembalikan
pada
fungsi
utamanya,
yakni
sebagai
agen
pemberdaya.
“Kadangkadang
kalau
kita
ketemu
yang
baik
itu,
karena
memang
fasilitator
yang
mengawal
itu
inovatif.
Faktor
personal
fasilitator,
relawan,
dan
aparat
kelurahan.
Bukan
karena
sistem
yang
ada
ini
sudah
baik.”
(Wawancara
dengan
KA,
Korkot
Bengkulu,
3
Juni
2009:
20.00
–
22.00
WIB)
Apa
yang
disampaikan
Korkot
Bengkulu
di
atas
menegaskan
bahwa
fasilitator
memiliki
peran
besar
bagi
keberhasilan
program.
Namun
beban
kerja
dan
waktu
yang
berorientasi
pada
kebutuhan
administratif
menjadi
salah
satu
sebab
“gagalnya”
nilai‐nilai
kerelawanan
yang
ditanamkan
dalam
masyarakat.
“Siklus
yang
ada
itu
hanya
menyentuh
pada
BKM
dan
KSMKSM
yang
ada.
Kalau
temanteman
(baca:
faskel)
bisa
bekerja
24
jam,
mungkin
baru
bisa.
Saya
pernah
menghitunghitung
waktu,
untuk
menghindari
mereka
‘ngeles’.
Sampe
saya
pernah
menghitungkan
dari
jam
sekian
sampai
sekian,
sehingga
sampe
kelurahan
agendanya
banyak,
tidak
hanya
mengurusi
keuangan
saja.
Ada
yang
hanya
sekedar
bekerja,
ada
juga
yang
hobbi
untuk
kegiatan
pemberdayaan,
sehingga
kalau
tidak
ke
masyarakat
gatel,
ada
juga
yang
hanya
kerja,
sekedar
administrasi
beres.
Dengan
jangkauan
kelurahan
yang
banyak,
temanteman
memiliki
keterbatasan.
Apalagi
untuk
menjangkau
masingmasing
RT.
Bisa
jadi
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
220
DRAFT
FINAL
REPORT
satu
orang
faskel
harus
menjangkau
200
RT.
Kadang
kala
temanteman
stress,
jadi
ya
yang
penting
administrasi
terpenuhi.”
(Wawancara
dengan
Abdu,
Korkot
Surabaya,
Selasa,
16
Juni
2009:
10.10
–
11.00
WIB)
Jika
melihat
kondisi
riil
pelaksanaan
program,
khusus
proses
bagaimana
relawan
dilibatkan
dalam
kegiatan
program
sejak
rekruitmen
awal
hingga
program
berjalan,
PNPM‐P2KP
lebih
mirip
sebagai
industri
massal
atau
industri
pemberdayaan,
bukan
agen
pemberdayaan.
Program
tampil
sebagai
penerjemah
dominan
mengenai
proses
pemberdayaan,
sedangkan
warga
masyarakat
tertinggal
dalam
diskursusnya
sendiri,
dan
ujungnya
pengaruh
program
menjadi
tak
tertandingi
dalam
proses
sosial,
ekonomi
dan
politik.
Pada
gilirannya,
perkembangan
kerelawanan
cenderung
mengalami
distorsi‐ distorsi
dan
akhirnya
melemah.
Praktek
penyelenggaraan
PNPM‐P2KP
menciut
ke
arena‐arena
teknis
‐‐ atau
banyak
orang
menyebutnya
sebagai
blue
print
oriented
‐‐
yang
tidak
sensitif
terhadap
pranata
dan
nilai‐nilai
masyarakat
setempat.
Mengingat
dalam
realitanya,
relawan
yang
terlibat
jika
bukan
elit/tokoh
lokal
adalah
warga
miskin
penerima
manfaat,
kadang‐kadang
tujuan
kegiatan
hanya
terfokus
pada
pemenuhan
kepentingan
pribadi
atau
kelompoknya.
Prosesnya
sendiri
di
beberapa
lokasi
tidak
bersifat
lentur,
dan
dinilai
banyak
pihak
hanya
cocok
untuk
masyarakat
“Jawa.”
“Budaya
di
Medan
memang
semua
hal
memakai
uang.
Dari
awal
kegiatan
P2KP
dianggap
tidak
jalan
dan
hanya
mungkin
terjadi
di
Jawa.”
(Keterangan
Dew,
Faskel
Senior,
Sabtu,
23
Mei
2009:
20.15
–
23.00
WIB)
Hal
ini
sangat
mirip
dengan
keterangan
salah
seorang
pejabat
yang
terkait
dengan
P2KP
di
Bappeda
Propinsi
Sumatera
Utara,
sebagai
berikut:
“P2KP
ini
hanya
cocok
kalau
buat
orang
Jawa.
Orang
menyebut
Medan
ini,
bagian
dari
SUMUT.
SUMUT
yang
Bapak
Ibu
kenal
sebagai
Sumatera
Utara,
jika
di
sini
artinya
lain.
SUMUT
itu
singkatan
dari
Semua
Urusan
Memakai
Uang
Tunai.
Jadi
tidak
cocok
jika
P2KP
itu
ada
di
sini.
Tidak
ada
yang
mau
orang
sini
jika
tidak
dibayar.
Beda
dengan
orang
Jawa.”
(Wawancara
dengan
Reg,
saat
audiensi
di
Bappeda
Propinsi
Sumatera
Utara,
Medan,
Jumat,
22
Mei
2009)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
221
DRAFT
FINAL
REPORT
“Di
sana
masyarakat
ada
dua,
yakni
masyarakat
asli
dan
transmigran.
Masyarakat
transmigrannya
campuran
antara
Jawa
dan
Batak.
Tapi
saya
katakan,
Pak,
kalau
memang
Jawa
atau
trans,
saya
katakan
enak,
Pak.
Kalau
penduduk
asli,
saya
ampun,
Pak.
Ampuun...
Kalau
trans,
apalagi
Jawa,
mereka
kalau
ada
pelatihan
sangat
respon.”
(Penjelasan
Askot
Bengkulu,
3
Juni
2009:
20.00
–
22.00
WIB)
Desain
program
dinilai
oleh
pelaku
dan
masyarakat
di
luar
Jawa
lebih
identik
dengan
Jawa.
Namun
tidak
cukup
dengan
melihat
pengelompokan
etnis
sebagaimana
di
atas.
Terkait
dengan
statement
yang
cenderung
“rasis”
di
atas,
Tim
cenderung
berkesimpulan
bahwa
program
bisa
berjalan
lebih
baik
jika
karakter
masyarakatnya
homogen.
Persoalan
justeru
bersumber
pada
tidak
adanya
kontekstualisasi
nilai
yang
diperkenalkan
program
dengan
nilai‐nilai
yang
mengakar
di
masyarakat.
“Kalau
dalam
kitab
sucinya
P2KP
ada
nilai
luhur
seperti
rukun,
“rukun”
yang
ada
dimasyarakat
itu
adanya
“rukun
kematian”,
justeru
gak
ada
“rukun
kehidupan”.
Coba
bayangkan,
kalau
ada
orang
mati,
semua
orang
serta
merta
langsung
datang
membantu,
sedangkan
untuk
orang
yang
hidup,
sangat
sulit
ditemukan
orang
yang
mau
membantu
dengan
ikhlas
tanpa
pamrih.
Artinya,
nilainilai
luhur
dalam
P2KP
perlu
dicari
akarnya
di
masyarakat.”
(Wawancara
dengan
Pae,
Team
Leader
KMW
Jawa
Timur,
Surabaya,
Selasa,
16
Juni
2009:
17.30
–
19.20
WIB)
Dalam
disain
PNPM‐P2KP,
keterlibatan
masyarakat
relatif
lebih
mudah
dan
posisinya
lebih
kuat
karena
mereka
terorganisir
dalam
satuan
institusi
sosial
yang
dipercaya,
yakni
BKM.
Karena
dalam
kondisi
yang
terorganisir,
maka
di
satu
sisi
komunikasi
sosial
lebih
manageable,
dan
pada
sisi
yang
lain
posisi
tawar
publikpun
relatif
lebih
kuat.
Namun
karena
pada
umumnya
BKM
dimaknai
sebagai
pembangunan
kelembagaan
baru,
keberadaannya
seringkali
justeru
malah
dipertanyakan.
Idealnya,
jika
BKM
adalah
institusi
sosial
yang
sudah
mapan,
kekuatan‐kekuatan
individual
dapat
terakumulasi
menjadi
kekuatan
publik
secara
kolektif,
begitu
juga
biaya‐biaya
individual
dapat
ditanggung
secara
kolektif.
Misalnya
kerukunan
kematian
sebagaimana
yang
dicontohkan
oleh
Pae,
TL
KMW
Jawa
Timur
di
atas.
Nilai
strategis
keberadaan
sebuah
organisasi
masyarakat
sebagai
satu
institusi
sosial
adalah
untuk
menjamin
(mempermudah)
keterlibatan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
222
DRAFT
FINAL
REPORT
masyarakat
dalam
proses
penentuan
kebijakan
buat
diri
mereka
sendiri.
Selanjutnya,
yang
penting
adalah
bagaimana
mendorong
lahirnya
rasa
“handarbeni”
sehingga
orang
tergerak
dengan
sendirinya
untuk
terlibat
menjadi
satu
bagian
dari
kegiatan
karena
adanya
rasa
memiliki
dan
keinginan
untuk
turut
bertanggung
jawab
atas
apa
yang
mereka
gagas
sebagai
tujuan
bersama.
Dalam
PNPM‐P2KP
keterlibatan
ini
adalah
aktualisasi
dari
nilai‐nilai
kerelawanan.
Untuk
memperoleh
jawaban
atas
pertanyaan
tersebut,
permasalahan
social
context
perlu
difahami
terlebih
dahulu.
Karena,
kalau
kita
menginginkan
institusionalisasi
nilai‐nilai
kerelawanan
dalam
masyarakat
sehingga
melembaga,
maka
langkah
pertama
adalah
memahami
kontekstual‐ sosial
di
mana
kita
akan
mendorong
tertanamnya
nilai‐nilai
itu
sebagai
sebuah
pranata
dalam
masyarakat.
Karena
begitu
luasnya
variasi
konteks
sosial
di
Indonesia,
maka
belajar
dari
enam
lokasi
studi
yang
telah
didatangi
oleh
tim
studi
kerelawanan,
dengan
begitu
banyaknya
varian
dan
karakteristik
relawan
berikut
yang
melatarbelakangi
keterlibatannya,
termasuk
aset‐aset
penghidupan
yang
melingkupinya,
maka
yang
harus
ditekankan
oleh
program
adalah
karakteristik
dasar
untuk
memahami
struktur
sosial,
determinan‐determinan
sosial,
integrator‐integrator
sosial,
dinamika
sosial,
sampai
pada
persepsi
sosial
masyarakat
terhadap
lingkungannya.
5.4.
Pengembangan
Peran
Relawan
Ke
Depan
Mengelola
relawan
menjadi
mudah
jika
substansi
dipahami.
Relawan
itu
boleh
dikatakan
kader
atau
apapun.
Relawan
yang
dipahami
“mereka”
di
lapangan
hanya
sekedar
baju
sebagai
prasyarat
proyek,
kebetulan
proyek
ini
mensyaratkan
jika
P2KP
ini
diterima,
harus
ada
relawan.
Jika
kita
berangkat
dari
substansi
program,
siklus
program
sebenarnya
sederhana.
Jika
digambarkan
dalam
siklus
PNPM‐P2KP
seperti
ini:
Gambar
5.19.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
223
DRAFT
FINAL
REPORT
Pemahaman
Siklus
Program
RKM
RK
PS
Masyarakat
Siap
Paham
Siapa
Miskin
Dimana
Si
Miskin
Relawan
PJM
BKM
BLM
Miskin
membentuk
Kelompok
(KSM)
Gambar
di
atas
menjelaskan
bahwa
relawan
muncul
manakala
pada
waktu
RKM
(rembug
kesiapan
masyarakat),
masyarakat
menyatakan
siap
melaksanakan
program.
Setelah
relawan
terbentuk,
maka
dilaksanakan
RK
(refleksi
kemiskinan)
dimana
pada
tahapan
ini
masyarakat
memahami
siapa
yang
disebut
sebagai
orang
miskin
di
lingkungannya.
Kemudian
mereka
melakukan
PS
(pemetaan
sosial)
untuk
mengetahui
dimana
saja
“si
Miskin”
berada,
sekaligus
identifikasi
lembaga
potensial
yang
bisa
melaksanakan
program.
Kegiatan
ini
menjadi
cikal
bakal
lahirnya
BKM.
Lantas
disusun
PJM
(perencanaan
jangka
menengah)
dimana
salah
satu
agenda
di
dalamnya
adalah
BLM
(bantuan
langsung
masyarakat).
Untuk
mengakses
BLM
ini
,
“si
Miskin”
harus
membentuk
kelompok
(KSM).
Lantas
kesalahannya
dimana,
sehingga
relawan
menurun
dari
waktu
ke
waktu?
Karena
relawan
hanya
dilibatkan
hingga
BKM
terbentuk.
Gambaran
siklus
di
atas
tidak
dipahami
bahwa
kesiapan
masyarakat
yang
diprasyaratkan
dengan
tersedianya
relawan,
seharusnya
sejak
awal
hingga
program
lepas
landas,
relawan
tersebut
tetap
ada
dan
tetap
berperan.
Sayangnya
begitu
BKM
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
224
DRAFT
FINAL
REPORT
terbentuk,
seringkali
relawan
ditinggalkan
dan
pendampingannyapun
hanya
tertuju
pada
BKM.
Bukan
itu
saja,
ternyata
tahapan
program
yang
diharapkan
dapat
mendorong
masyarakat
dari
tidak
berdaya
menjadi
berdaya,
dari
berdaya
menjadi
mandiri,
dan
dari
mandiri
menjadi
madani,
seolah
hanya
mimpi,
karena
yang
tercipta
bukan
lagi
masyarakat
“madani”
akan
tetapi
“medeni”
(Jawa
=
menakutkan).
“Selama
ini
tidak
ada
pemberdayaan,
yang
ada
SIM
kuantiti
yang
terlibat.
Belum
ada
konsep
pemberdayaan
untuk
membangun
kesadaran
komunitas,
yang
ada
adalah
instrumeninstrumen
proyek
untuk
masyarakat.
Yang
terjadi
bukan
masyarakat
madani,
tapi
masyarakat
“medeni.”
Karena
yang
terjadi
justeru
tatanan
dan
nilainilai
sosial
hilang
di
masyarakat.
Karena
orientasinya
proyek,
segala
sesuatu
justeru
berubah
menjadi
berorientasi
uang.
Kalaupun
tidak,
muncul
saling
mencurigai
bahkan
konflik.
Garagara
program,
orang
yang
tadinya
berkawan
baik,
jadi
saling
bermusuhan;
yang
tadinya
tidak
pernah
ada
demo,
jadi
saling
mendemo;
yang
tadinya
akrab,
jadi
tidak
bertegur
sapa,
dll.”
(Wawancara
dengan
Pae,
Team
Leader
KMW
Jatim,
Selasa,
9
Juni
2009)
Hal
serupa
juga
disampaikan
oleh
Korkot
Bengkulu
terkait
dengan
“kesalahan
pemahaman”
ini.
“Siklus
itu
seharusnya
dari
tidak
berdaya
menjadi
berdaya,
dari
berdaya
menjadi
mandiri,
kemudian
dari
mandiri
menjadi
madani.
Di
sini
yang
terjadi
memperdayai,
sehingga
akhirnya
jadi
mandiri
(mati
sendiri).
Proses
itu
tidak
terjadi.
Kalau
faskel
atau
BKM
ditanya
soal
proses
ini,
nol,
tidak
ada
yang
tahu.
Tahapan
pelatihan
yang
diberikan
juga
diharapkan
mengikuti
tahapan
masyarakat
tadi,
dari
mandiri
ke
madani.
Contohnya:
nama
pelatihan:
pelatihan
madya
tujuannya
adalah
masyarakat
madani.
Padahal
pesertanya
itu
dari
nol
(orangorang
baru
lagi).
Jadi
pemahamannya
juga
nol.
Terus,
kapan
madaninya?
Ini
proses
transformasi
sosialnya
yang
perlu
ditinjau
ulang.
Perlu
dilokalistik,
bukan
industri
masal,
industri
pemberdayaan.
Semestinya
ada
koridor
buku,
ada
koridor
kurikulum,
ada
proyek
pengadaan,
proyek
semua
kan?
Tapi
memanusiakan
manusianya
tidak
terjadi.
Kadangkadang
kalau
kita
ketemu
yang
baik
itu,
karena
memang
fasilitator
yang
mengawal
itu
inovatif.
Faktor
personal
fasilitator,
relawan,
dan
aparat
kelurahan.
Bukan
karena
sistem
yang
ada.”
(KA,
Korkot
Bengkulu,
3
Juni
2009:
20.00
–
22.00
WIB)
Di
Makassar,
Tim
Studi
juga
menemukan
kondisi
yang
tidak
berbeda,
dimana
program
dianggap
gagal
melakukan
pemberdayaan.
Para
pelaku
di
lapangan
lebih
berorientasi
pada
pemenuhan
jadwal
yang
diagendakan
proyek.
Akibatnya
bukan
nilai‐nilai
kerelawanan
yang
muncul,
tetapi
justeru
uang
menjadi
pengendali
utama.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
225
DRAFT
FINAL
REPORT
“Pemberdayaan
sejati
seperti
yang
diinginkan
tidak
muncul,
karena
orientasi
pelaksana
program
bukan
lagi
pada
bagaimana
membuat
masyarakat
mengerti/memahami
sehingga
terjadi
perubahan
sikap
dan
perilaku,
dan
akhirnya
memunculkan
aksi
kolektif,
tetapi
hanya
sekedar
memenuhi
jadwal jadwal
yang
diagendakan
oleh
proyek,
semua
siklus
terlaksana,
dana
turun.
Pekerjaannya
beres
dan
gaji
lancar
!
Inilah
yang
dimaksud
dengan
uang
memang
benarbenar
menjadi
pengendali
utama.”
(Wawancara
dengan
Bus,
Pemandu
Nasional
di
KMW
Sulawesi
Selatan,
13
Juli
2009)
Dari
pendapat
di
atas,
disadari
sekali
oleh
para
pelaku
program
bahwa
dalam
pelaksanaan
kegiatan,
tidak
ada
kontinyuitas
pelibatan
relawan.
Kondisi
ini
disebabkan
oleh
beberapa
hal,
salah
satunya
seperti
disebutkan
oleh
korkot
di
atas
bahwa
pelaku
tidak
memahami
tentang
proses
dari
tidak
berdaya
hingga
madani
tadi,
tetapi
ada
hal
yang
tidak
pernah
disadari
program
bahwa
relawan
adalah
orang
yang
in
dan
out
dari
program
kapan
saja.
Sedangkan
selama
ini
program
mengidentifikasi
bahwa
relawan
adalah
mereka
yang
terdaftar
di
awal
program.
Sebagaimana
telah
dijelaskan
pada
bagian
sebelumnya,
orang
terlibat
menjadi
relawan
bersifat
temporer/musiman.
Beberapa
daerah
sangat
tergantung
pada
musim.
Ini
erat
kaitannya
dengan
kesempatan
dan
kemampuan
masyarakat
untuk
mengakses
sumber‐sumber
penghidupan
yang
ada
di
lingkungannya.
Berdasarkan
hasil
studi
di
lapangan,
dapat
ditemukan
bahwa
para
pelaku
yang
terlibat
dalam
kegiatan
kerelawanan
yang
ada
di
hampir
semua
lokasi
studi
tidak
dapat
melakukan
kegiatannya
secara
berkesinambungan.
Maksudnya,
pada
suatu
waktu
mereka
tidak
bisa
ikut
berpartisipasi
secara
penuh
dalam
kegiatan
kerelawanan;
namun
pada
waktu
yang
lain,
pelaku
tersebut
bisa
aktif
terlibat
dalam
kegiatan
kerelawanan.
Dalam
pengertian
ini
dapat
kita
simpulkan
bahwa
para
pelaku
memaknai
kegiatan
kerelawanan
sebagai
“sampingan”
‐‐bukan
hal
yang
utama.
Keadaan
ini
pada
tiap
lokasi
studi
kasusnya
tidak
selalu
sama,
ada
beberapa
hal
yang
melatarbelakanginya,
di
antaranya:
1.
Faktor
mata
pencaharian
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
226
DRAFT
FINAL
REPORT
Faktor
mata
pencaharian
menjadi
faktor
yang
sering
muncul
di
setiap
lokasi
studi.
Pada
umumnya,
para
pelaku
yang
mengikuti
kegiatan
kerelawanan
(baca:
relawan
terdaftar)
apabila
sedang
menganggur,
mereka
melakukan
kegiatan
kerelawanan
secara
penuh
(aktif).
Namun
ketika
ada
suatu
pekerjaan
yang
datang
pada
dirinya,
maka
mereka
lebih
memilih
untuk
meninggalkan
kegiatan
kerelawanannya
sama
sekali
dan
lebih
berkonsentrasi
kepada
pekerjaan
barunya
yang
dianggap
menghasilkan
uang
yang
cukup
jelas.
Dari
penelusuran
masalah
di
lapangan
dapat
disimpulkan
bahwa
para
pelaku
yang
mengikuti
kegiatan
kerelawanan
dengan
status
tidak
bekerja
atau
tidak
punya
pekerjaan
tetap,
pada
umumnya
mengikuti
kegiatan
tersebut
dengan
mengharapkan
sesuatu,
biasanya
imbalan
berupa
uang
atas
apa
yang
telah
dilakukannya.
Apabila
para
pelaku
tidak
mendapatkan
seperti
apa
yang
diharapkannya,
maka
ada
dua
kemungkinan
yang
terjadi,
yaitu:
(a)
mereka
akan
mencari
alternatif
untuk
mendapatkan
“penghasilan”
dari
pos‐pos
anggaran
PNPM‐P2KP,
misalnya
dengan
melakukan
“penyimpangan”
penggunaan
dari
anggaran
yang
seharusnya
digunakan;
atau
(b)
mereka
akan
pergi
meninggalkan
statusnya
sebagai
relawan,
termasuk
meninggalkan
kegiatan
kerelawanan
karena
merasa
tidak
“berhasil”
mendapatkan
apa‐apa
(baca
=
uang).
Hal
yang
sama
juga
terjadi
pada
kaum
perempuannya
‐‐baik
pada
usia
remaja
maupun
kelompok
ibu
rumah
tangga.
Di
beberapa
lokasi
penelitian,
seperti:
Surabaya,
Pasuruan,
Makassar,
dan
Gorontalo,
para
perempuan
‐‐khususnya
ibu
rumah
tangga‐‐
mengambil
“inisiatif”
terhadap
keuangan
rumah
tangganya
apabila
suami
dinilai
“memerlukan
bantuan”
dari
dirinya.
Sehingga
dijumpai
beberapa
ibu
rumahtangga
ikut
aktif
mencari
nafkah
dalam
memenuhi
kebutuhan
hidup
keluarganya.
Dari
kondisi
suami‐istri
yang
aktif
bekerja
ini
juga
mempengaruhi
jumlah
relawan
yang
ada
dalam
masyarakat.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
227
DRAFT
FINAL
REPORT
2.
Faktor
kebudayaan
Faktor
kebudayaan
ternyata
mempengaruhi
kegiatan
kerelawanan
di
suatu
lokasi,
baik
secara
kualitas
maupun
kuantitas.
Namun
pengaruh
pada
tiap‐tiap
lokasi
tidak
bisa
digeneralisasi,
terdapat
cultural
relativism.
Beberapa
hal
spesifik
dan
unik
dari
suatu
daerah
sudah
pernah
diuraikan
pada
bahasan
livelihood
asset.
Namun
ada
beberapa
kondisi
yang
relatif
bisa
digeneralisasi,
dapat
dicontohkan
dengan
kasus
di
beberapa
lokasi
seperti
berikut:
‐
Kelurahan
Kebun
Dahri
dan
Kebun
Geran,
Bengkulu
Di
Bengkulu,
sulit
menemui
remaja
laki‐laki
(usia
antara
16‐25
tahun)
yang
(mau)
mengikuti
kegiatan
kerelawanan,
diantaranya
karena
bagi
masyarakat
Bengkulu,
usia
tersebut
merupakan
usia
awal
pembentukan
karier
para
remaja
(salah
satu
bagian
dari
rites
of
passages).
Usia
16‐25
tahuan
merupakan
awal
pembentukan
kehidupan
yang
lebih
jauh
lagi
untuk
melangkah
menuju
kehidupan
pada
tahap
berikutnya
(pernikahan
atau
berkeluarga)
yang
membutuhkan
biaya
yang
sangat
besar.
Para
remaja
di
kota
Bengkulu
yang
umumnya
merupakan
warga
asli
Bengkulu
‐‐ada
juga
warga
pendatang
dari
etnis
Minang
(Sumatera
Barat)‐‐
di
usia
tersebut
lebih
memilih
untuk
memulai
“karier
hidupnya”
sebagai
pedagang.
Mereka
berpandangan
langkah
inilah
yang
akan
membawa
mereka
untuk
mendapatkan
jodoh.
Hal
ini
terjadi
karena
adanya
pandangan
dari
para
remaja
sendiri
bahwa
para
perempuan
di
kota
Bengkulu
umumnya
lebih
memilih
pasangan
dari
para
pemuda
yang
sudah
bekerja.
Kesimpulan
yang
bisa
ditarik
dari
permasalahan
ini
adalah:
para
orang
tua
tidak
terlalu
senang
atau
cenderung
tidak
mengizinkan
anaknya
yang
masih
remaja
untuk
ikut
kegiatan
kerelawanan
karena
dianggap
tidak
sesuai
dengan
tradisi
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
228
DRAFT
FINAL
REPORT
masyarakatnya,
dimana
(seharusnya)
pada
usia
tersebut
mereka
sudah
“belajar
mencari
uang”;
dan
para
pemuda
umumnya
tidak
berminat
mengikuti
kegiatan
kerelawanan
karena
dianggap
tidak
produktif
untuk
dirinya
sendiri.
Hal
ini
dibenarkan
oleh
KMW
Kota
Bengkulu.
Menurut
informasi
di
KMW,
“Masyarakat
di
Kota
Bengkulu
sulit
sekali
diajak
kegiatan
kerelawanan,
terutama
para
pemudanya
–
karena
mereka
‘harus
mulai
bekerja’
untuk
mencapai
kehidupan
berikutnya;
yaitu
perkawinan.
Apalagi
kalau
bulanbulan
tertentu,
seperti:
bulan
puasa
atau
menjelang
Idul
Adha
(atau
Hari
Raya
Qurban),
mereka
lebih
giat
lagi
mencari
uang
karena
saatsaat
itu
dikenal
waktu
panennya
para
pedagang.
Di
waktu
itulah
masyarakat
banyak
yang
mengeluarkan
uangnya
untuk
berbelanja
untuk
menyambut
hari
besar
agama
Islam.
Jadi,
mana
mungkin
mengajak
mereka
(para
remaja)
ikut
sebagai
relawan
kalau
kesempatan
langka
dalam
memperoleh
uang
yang
sangat
besar
ada
di
hadapan
mereka?”
‐
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan
Bagi
masyarakat
Panggungrejo,
secara
umum
sulit
meluangkan
waktu
untuk
mengikuti
kegiatan
kerelawanan
secara
berkesinambungan,
terutama
karena
faktor
budaya
mereka
yang
mengenal
konsep
“hari‐hari
baik”.
Hari
Minggu
hingga
hari
Kamis
bagi
mereka
adalah
hari
kerja
melaut
‐‐bahkan
bisa
terjadi
berhari‐hari
mereka
ada
di
atas
perahu
sebagai
nelayan.
Sementara
itu,
hari
Jumat
mereka
yakini
sebagai
“hari
suci/ibadah”
yang
pantang
untuk
melakukan
kegiatan
kerja
dalam
bentuk
apapun.
Sedangkan
hari
Sabtu
adalah
hari
berkumpul
dengan
keluarga,
di
hari
inilah
ada
kesempatan
mereka
mengikuti
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
229
DRAFT
FINAL
REPORT
kegiatan
kerelawanan
dengan
mengajak
keluarga
maupun
kerabatnya.78
Di
satu
sisi,
kondisi
ini
dipandang
sebagai
hambatan,
tapi
di
sisi
yang
lain
bisa
dipandang
sebagai
potensi
masyarakat,
yang
bisa
dikerahkan
untuk
melakukan
kegiatan
kerelawanan
dengan
menggali
kekuatan
faktor
kekerabatan.
Dan,
Kelurahan
Panggungrejo
adalah
salah
satu
contoh
lokasi
yang
relawannya
memiliki
hubungan
kekerabatan
satu
dengan
yang
lainnya.
Lain
permasalahan
yang
dihadapi
program
untuk
“menda‐patkan”
relawan
laki‐laki
di
Kelurahan
Panggungrejo,
lain
pula
permasalahan
un‐
tuk
“mendapatkan”
relawan
perempuan
di
lokasi
ini.
Mengacu
kepada
prinsip
resident
pattern,
yang
menganut
pola
Gambar
5.20
Potret
Para
Istri
Yang
Sedang
Memperbaiki
Lala,
Sambil
Mengasuh
Anak
Ketika
Suami
Melaut
brideservice
sangat
digunakan
oleh
masyarakat
Panggungrejo
yang
beretnis
Madura
Pedhalungan.
Di
antara
beberapa
pola
kebudayaan
yang
menganut
resident
pattern
dengan
aturan
bride service79,
masyarakat
Panggungrejo
menggunakan
pola‐pola
yang
terjadi,
yaitu
(disebutkan
secara
urut
berdasarkan
pola
yang
lebih
78
Hal
ini
pula
yang
menjadi
argumen
mengapa
kegiatan
intensif
Tim
Studi
di
Panggungrejo
‐‐khususnya
yang
melibatkan
kaum
laki‐laki‐‐
banyak
bertumpu
pada
dua
hari,
yaitu
Jumat
(khususnya
malam)
hingga
Sabtu,
19‐20
Juni
2009.
79
Brideservice
sangat
dekat
hubungannya
dengan
adat
menetap
setelah
menikah
(uxorilocal),
yang
akan
menentukan
bahwa
pegantin
baru
harus
tinggal
menetap
dekat
dengan
pusat
kediaman
kelompok
kerabat‐kerabatnya.
(lihat
misalnya
Koentjaraningrat,
1992:105‐106).
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
230
DRAFT
FINAL
REPORT
banyak
dilakukan
ke
pola
yang
jarang
dilakukan):
Virilocal80,
Uxorilocal81,
Utrolocal82,
Bilocal83,
dan
Avunkulocal84.
Dari
semua
pola
yang
ada,
Uxorilocal
terlihat
cukup
jelas
dalam
hubungannya
dalam
mempengaruhi
nilai‐nilai
kerelawanan
dari
kaum
perempuan
di
lokasi
studi.
Penjelasannya,
pada
masyarakat
Panggungrejo,
brideservice
berhubungan
dengan
peran
salah
satu
pasangan
pengantin
untuk
“berbakti”
pada
salah
satu
keluarga
yang
ditempatinya.
Bagi
yang
laki‐laki,
rasa
bakti
diwujudkan
dengan
ikut
mencari
ikan
dengan
keluarga
istri.
Sedangkan
untuk
yang
perempuan,
rasa
bakti
diwujudkan
melalui
bekerja
memperbaiki
jala
ikan
yang
dipergunakan
oleh
suami
dan
kerabatnya.
‐
Kelurahan
Kepel,
Pasuruan
dan
Kelurahan
Limba
U
Dua
dan
Limba
B,
Gorontalo
Bagi
kota‐kota
pinggiran
atau
kota‐kota
taraf
perkembangan
yang
sebagian
besar
warganya
masih
memiliki
lahan
persawahan
‐‐atau
masih
bekerja
sebagai
petani,
seperti
Pasuruan
dan
Gorontalo‐‐
terjadi
permasalahan
dalam
kegiatan
kerelawanan
yang
berhubungan
dengan
budaya
“tanam
padi”
dan
“petik
padi”
(panen).
Jika
kegiatan
kerelawanan
waktunya
dilakukan
80
Tujuan
dari
dilakukannya
virilocal
adalah
agar
pasangan
pengantin
baru
sesudah
menikah
ditentukan
untuk
menetap
di
sekitar
pusat
kediaman
dari
kaum
kerabat
suami.
Dalam
arti,
si
perempuan
akan
selalu
dibawa
pergi
dari
kaum
kerabatnya
sendiri.
Pola
ini
kental
sekali
dengan
agama
Islam
pada
mahralmithl
(berhubungan
dengan
besar
kecilnya
maskawin)
dalam
Fikh
(hukum
Islam),
yang
terlihat
nyata
sekali
pada
masyarakat
Panggungrejo
yang
seluruhnya
beragama
Islam.
81
Pengantin
baru
menetap
di
sekitar
kediaman
kaum
kerabat
istri.
82
Memberi
kemerdekaan
kepada
tiap
pengantin
baru
untuk
menetap
sekitar
pusat
kediaman
kaum
kerabat
suami
atau
di
sekitar
pusat
kediaman
kaum
kerabat
istri.
Cara
ini
digunakan
asalkan
kerabat
suami
atau
istri
masih
tinggal
di
Panggungrejo.
83
Pengantin
baru
tinggal
berganti‐ganti.
Pada
satu
masa
tertentu,
tinggal
di
sekitar
pusat
kediaman
kerabat
suami;
pada
lain
masa
tertentu
di
sekitar
pusat
kediaman
kaum
kerabat
istri.
84
Pengantin
baru
tinggal
menetap
di
sekitar
tempat
kediaman
saudara
laki‐laki
ibu
(avunculus)
dari
suami.
Pola
ini
yang
paling
sedikit
dilakukan
oleh
masyarakat
Panggungrejo.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
231
DRAFT
FINAL
REPORT
bersamaan
dengan
kegiatan
persawahan,
maka
kegiatan
kerelawanan
tentunya
akan
mendapat
hambatan,
karena
para
petani
lebih
memilih
untuk
kegiatan
pertaniannya.
Dari
kondisi
ini,
yang
justru
terlihat
adalah
aktifnya
relawan
dari
pihak
perempuan
‐‐khususnya
kaum
ibu.
Luangnya
waktu
untuk
bekerja
di
sawah
dan
sebagai
ibu
rumahtangga,
membuat
para
ibu
mendapatkan
kesempatan
untuk
aktif
dalam
kegiatan
relawan.
Dari
para
suami
sendiri
menganggap
bahwa
keaktifan
istrinya
di
PNPM‐P2KP
sebagai
“wakil”
atas
dirinya
yang
tidak
bisa
atau
berhalangan
untuk
berperanserta.
3.
Faktor
agama
Selain
itu,
diskontinyuitas
kerelawanan
ada
kemungkinan
berhubungan
dengan
faktor
agama/kebudayaan
lokal
‐‐Tim
Studi
belum
mendalami
lebih
lanjut
mengingat
waktu
studi
yang
relatif
singkat.
Namun,
Tim
Studi
menemukan
perbedaan
pemahaman
yang
cukup
ekstrim
di
dua
lokasi
studi
‐‐yaitu
di
Surabaya
dan
Bengkulu‐‐,
jika
di
Surabaya
(Kelurahan
Karangpoh)
tindakan
kerelawanan
dimaknai
sebagai
bentuk
dari
kesalehan
sosial
dan
menjadikan
kegiatan
kerelawanan
sebagai
ladang
amal,
maka
sebaliknya
di
Bengkulu
terjadi
penyimpangan
kegiatan
atas
dasar
pemahaman
kebudayaan
setempat,
seperti
dalam
kegiatan
sosial
keagamaan
‐‐terutama
agama
Islam.
Dalam
konteks
ini,
di
Bengkulu
ditangkap
kuat
adanya
pemahaman
bahwa
para
pelaku
yang
bekerja
membantu
orang
lain
mendapat
imbalan
dari
apa
yang
telah
dilakukannya.
Mereka
mengambil
contoh
peran
amil
(petugas
pendata
dan
penyalur)
zakat
atau
qurban
yang
mendapat
bagian
dari
zakat
dan
qurban
yang
berhasil
dikumpulkan
dan
disalurkannya.
Pemahaman
yang
sama
mereka
adopsi
dan
mereka
terapkan
dalam
aktivitasnya
sebagai
relawan.
Menurut
keterangan
beberapa
relawan
‐‐ yang
minta
dirahasiakan
identitasnya‐‐
saat
FGD
Relawan
Laki‐laki:
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
232
DRAFT
FINAL
REPORT
“Wajar
kalau
kami
ambil
sedikit
dana
(P2KP)
untuk
uang
lelah
kami,
karena
itu
bagian
dari
pemahaman
agama,
setiap
tetes
keringat
orang
yang
bekerja
harus
dibayar.”
(Bengkulu,
FGD
Relawan
Laki‐laki
Kebun
Dahri,
Senin,
01
Juni
2009:
20.20
–
22.10
WIB)
Dalam
hal
ini,
Tim
Studi
menangkap
fenomena
ini
sebagai
“perbedaan
pemahaman”
terhadap
nilai‐nilai
moralitas
yang
ditanamkan
oleh
program.
4.
Faktor
politik
Terkait
dengan
reward
(penghargaan)
yang
diterima
oleh
relawan,
kegiatan
kerelawanan
merupakan
media
bagi
eksistensi
orang‐orang
yang
terlibat
di
dalamnya.
Menjadi
relawan
dapat
mengukuhkan
status
pelakunya
di
masyarakat,
terutama
relawan
yang
duduk
dalam
BKM.
“Dari
yang
tidak
dikenal
menjadi
dikenal
–
dari
yang
sudah
dikenal
menjadi
lebih
terkenal,”
demikian
ungkapan
sebagian
besar
relawan
yang
disampaikan
saat
berlangsungnya
FGD.
Secara
khusus
apa
yang
disampaikan
oleh
Bu
Mus,
70
tahunan,
relawan
perempuan
dari
Kelurahan
Karang
Berombak,
Medan,
saat
ditanyakan
manfaat
apa
yang
dirasakan
setelah
aktif
di
P2KP:
“.....
setelah
ikut
P2KP,
sekarang
saya
jadi
tidak
takut
(lagi)
dengan
polisi
(maksudnya
berani
bicara).”
(Karang
Berombak,
Rabu,
20
Mei
2009)
Mengetahui
potensi
ini,
di
beberapa
lokasi
studi,
beberapa
relawan
‐‐ terutama
yang
ada
di
dalam
kelembagaan
BKM‐‐
mengambil
“keuntungan”,
yaitu
dengan
mencalonkan
diri
pada
posisi‐posisi
yang
penting
dalam
masyarakat.
Mulai
dari
Ketua
RT/RW,
Ketua
Ormas,
hingga
Calon
Legislatif
(Caleg)
‐‐khususnya
apabila
relawan
tersebut
berlatar
belakang
tokoh
masyarakat
dan
yang
memiliki
cukup
modal
untuk
kampanye.
Relawan
‐‐terutama
yang
duduk
dalam
BKM‐‐
yang
menjadi
Caleg
banyak
ditemukan
di
Kelurahan
Limba
U
Dua
dan
Limba
B
di
Kota
Gorontalo.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
233
DRAFT
FINAL
REPORT
5.5.
KontekstualSosial
sebagai
Basis
Pelembagaan
Kerelawanan
Jika
dianalisis
secara
sederhana,
selama
ini
strategi
yang
digunakan
untuk
pengelolaan
efektivitas
kerja
KMW
adalah
dengan
konsep
madu
dan
racun.
Gambar
5.21
Analisis
Strategi
Pengelolaan
Efektivitas
Kerja
KMW
Desain
Proyek
Proses
Penyadaran
Jika
dicermati,
sebenarnya
program
(P2KP)
sendiri
masih
bersifat
“proyek”,
dalam
arti
sangat
mengedepankan
ukuran‐ukuran
waktu
dan
target‐ target
administratif.
Yang
terjadi
selama
ini
program
belum
pernah
menyentuh
kesadaran.
Masyarakat
menjadi
instrumentalis.
Seharusnya
dengan
program
kemiskinan
akan
menumbuhkan
kesadaran
pikir
dan
perilaku
bagi
masyarakat,
tetapi
dalam
prakteknya
intervensi
siklus
selama
ini
hanya
menjadi
“racun”
dengan
menjadi
masyarakat
sebagai
instrumen.
Sedangkan
BLM‐nya
yang
dijadikan
“madu”.
Selama
kemiskinan
belum
menjadi
kebutuhan
atau
masalah
bagi
masyarakat,
maka
tidak
akan
pernah
ada
atau
ditemui
apa
yang
didefinisikan
sebagai
relawan.
“Untuk
itu,
relawan
harus
dikelola
melalui
pelatihan
yang
ditujukan
untuk
cuci
otak
supaya
masyarakat
menyadari
bahwa
program
untuk
kebutuhan
masyarakat.
Dulu
ada
ide
agar
relawan
itu
punya
ladang,
yakni
melalui
ikatan
alumni
relawan.
Yang
sekarang
kemudian
dikembangkan
dalam
konsep
KBK
(Komunitas
Belajar
Kelurahan).
Namun
ini
juga
tidak
jalan.
Sehingga
yang
harus
dilakukan
sebenarnya
adalah
proses
penyadaran
terhadap
diri
relawan
dengan
pola
militansi.
Yang
sudah
diterapkan
selama
ini
adalah
dengan
menggunakan
milestone
dan
master
schedule
lebih
tepatnya
menurut
saya
monster
schedule,
tapi
akhirnya
hanya
quit
status.”
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
234
DRAFT
FINAL
REPORT
(Wawancara
dengan
Pae,
TL
KMW
Jawa
Timur,
9
Juni
2009:
10.30
–
12.00)
Pengembangan
peran
kerelawanan
ternyata
tidak
cukup
dengan
memberikan
pelatihan.
Karena
pelatihan
yang
terjadi
selama
ini
tidak
memiliki
efek
terhadap
pengembangan
kapasitas
relawan,
sebagaimana
disampaikan
di
atas
bahwa
peserta
pelatihan
(relawan)
tidak
selalu
kontinu,
tetapi
seringkali
adalah
relawan
yang
direkruit
dari
“nol.”
Jadi,
relawan
yang
terlibat
pelatihan
kecenderungannya
adalah
relawan
baru
yang
dimobilisasi
untuk
memenuhi
kebutuhan
pelatihan
sesuai
yang
dijadwalkan
oleh
proyek.
Karena
memang
tidak
atau
belum
ada
pola
yang
digunakan
untuk
mengelola
peran
relawan
yang
sejak
mula
terlibat
kegiatan.
Bahkan
bisa
jadi
karena
alasan
tertentu
tidak
bisa
terlibat
dalam
satu
kegiatan,
pada
kegiatan
berikutnya
relawan
tersebut
sudah
tidak
dilibatkan
lagi.
Terlebih
jika
mereka
tidak
terpilih
menjadi
anggota
BKM.
Beberapa
memang
terlibat
dalam
KSM,
akan
tetapi
pada
umumnya
yang
terlibat
dalam
KSM
adalah
relawan‐relawan
yang
sekaligus
penerima
manfaat.
Sehingga
cita‐cita
program
untuk
mendorong
pemberdayaan
secara
swadaya
tidak
terjadi.
Untuk
itu,
pengembangan
peran
kerelawanan
ke
depan
harus
mempertimbangkan
stuktur
sosial,
determinan‐determinan
sosial,
integrator‐ integrator
sosial,
dinamika
sosial,
sampai
pada
persepsi
sosial
masyarakat
terhadap
lingkungannya.
Struktur
di
dalam
suatu
komunitas
terdiri
dari
individu‐individu
yang
tergabung
dalam
keluarga‐keluarga,
kelompok‐ kelompok
dan
institusi‐institusi
lokal
yang
secara
menyeluruh
membentuk
komunitas.
Dalam
konteks
pengembangan
peran
dan
pelembagaan
kerelawanan,
posisi
dan
peranan
masing‐masing
unsur
dari
struktur
tersebut
diharapkan
mengarah
kepada
tujuan‐tujuan
pemberdayaan.
Maka
jika
mengacu
pada
tujuan
pemberdayaan,
diperlukan
pengelompokan
kembali
elemen‐elemen
struktural
sudah
ada
di
masyarakat.
Pengelompokan
ini
harus
dapat
mencerminkan
suatu
konsistensi
dalam
interrelasinya,
agar
terwujud
suatu
model
sistem
sosial
dengan
bentuk
dan
fungsi
sebagai
(semacam)
managementmodels
yang
menjamin
tercapainya
pemenuhan
kebutuhan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
235
DRAFT
FINAL
REPORT
kolektif.
Sudah
jelas
bahwa
posisi
dan
peranan
masing‐masing
individu
keluarga,
kelompok,
institusi
tidak
berkurang
dalam
arti
dan
maknanya,
akan
tetapi
peranan‐peranan
institusional,
dalam
hal
ini
diperankan
oleh
BKM
harus
terarah
pada
pencapaian
tujuan
bersama.
Komunitas
sebagai
sistem
teritorial
dan
sosial
menunjukan
adanya
interaksi
antara
komponen‐komponennya
yang
bermakna
dan
berarti.
Kelancaran
dan
komponennya
ini
dicapai
melalui
intergrator‐integrator
sosial.
Yaitu
berbagai
macam
bentuk
dan
komunikasi
sosial
yang
terlembaga
dalam
masyarakat
yang
bersangkutan,
cara
dan
bentuk
lain
yang
secara
kultural
menjadi
kelaziman
untuk
mengekspresikan
diri
sebagai
pelaku
dalam
sistem
sosial
yang
ada.
Integrator‐integrator
ini
banyak
berakar
dalam
kebudayaan,
sehingga
tidak
mungkin
diabaikan
sebagai
faktor
penyatu
dari
masyarakat
setempat.
Jika
integrator
tersebut
berakar
dalam
kebudayaan,
maka
tidak
mungkin
integrator
yang
berlaku
ini
dengan
sengaja
atau
paksaan
dirubah
sekaligus,
oleh
karena
mungkin
akan
melahirkan
social
chaos.
Secara
kualitatif
dan
kuantitatif,
meluasnya
tantangan
lingkungan
yang
disertai
peningkatan
kebutuhan
menuntut
pula
suatu
peningkatan
dari
social
self.
Perubahahan
identitas
sosial
tersebut
akan
merubah
persepsi
sosial
terhadap
lingkungannya.
Lingkungan
masyarakat
tidak
saja
merupakan
sumber
segala
macam
tantangan,
tetapi
juga
sekaligus
menjadi
wilayah
sumber‐sumber
yang
dapat
memenuhi
kebutuhannya.
Bagaimana
lingkungan
tersebut
dipersepsikan
sangat
tergantung
pada
social
self.
Persepsi
atas
lingkungan
penting
ketika
mempengaruhi
formasi
modal
sosial
yang
terjadi.
Karena
formasi
modal
sosial
pada
akhirnya
juga
mempengaruhi
pilihan
strategi
penguatan
institusi‐institusi
yang
berada
di
dalam
lingkungan
yang
dipersepsikan
tersebut.
Mengingat
pelbagai
pertimbangan
kontekstual‐sosial
di
atas,
dimana
hasil
studi
juga
menunjukkan
keragaman
issue
di
setiap
lokasi,
maka
strategi
pengembangan
dan
pelembagaan
peran
kerelawaan
tidak
bisa
digeneralisir.
Yang
jelas,
langkah
pertama
yang
harus
dilakukan
adalah
mengidentifikasi
dan
memahami
situasi
kontektualsosial
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
dimana
kerelawanan
236
DRAFT
FINAL
REPORT
dikembangkan.
Dalam
hal
ini
Tim
Studi
Kerelawanan
mengambil
contoh
dari
apa
yang
terjadi
di
Jawa
Timur.
Gambar
5.22
Peta
Kultural
Masyarakat
Jawa
Timur
Subkultur
OSING
(Banyuwangi)
Subkultur
MADURA‐SUMENEP
(Bondowoso,
Situbondo)
Subkultur
Warok
(Ponorogo,
Madiun)
Subkultur
MADURA‐NONSUMENEP
(Probolinggo,
Pasuruan)
Subkultur
MALANGAN
(Malang)
Subkultur
Mataraman
(Kediri,
Nganjuk,
Blitar)
Subkultur
Arek
(Surabaya,
Sidoarjo)
Sumber:
Dikembangkan
dari
Laporan
Pendahuluan
KMW
SWK‐IX,
Januari
2000.
Jawa
Timur,
secara
geokultural
dapat
dikelompokkan
ke
dalam
tujuh
subkultur,
yaitu
subkultur
“Osing”
(Banyuwangi‐an),
subkultur
“Madura‐ Sumenep/Keraton”
(Situbondo,
Bondowoso),
subkultur
“Madura‐Non‐
Sumenep/Pedhalungan”
(Pasuruan,
Probolinggo),
subkultur
“Malangan”
(Malang
Raya),
subkultur
“Arek”
(Surabaya,
Sidoarjo,
Mojokerto,
Jombang),
subkultur
“Mataraman”
(Kediri,
Nganjuk,
Blitar)
dan
subkultur
“Warok”
(Ponorogo,
Madiun).
Pembedaan
subkultur
ini
dalam
aktivitas
kehidupan
keseharian
tidak
dapat
dipilah
secara
hitam‐putih,
namun
dalam
bentuk
kecenderungan‐ kecenderungan
saja.
1.
Subkultur
“Osing”
Subkultur
ini
teridentifikasi
di
daerah
Banyuwangi
dan
sekitarnya,
yang
secara
demografis
didominasi
oleh
tiga
kelompok
etnis
besar,
yaitu:
Jawa,
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
237
DRAFT
FINAL
REPORT
Madura,
dan
Osing
(asli/setempat).
Karakter
yang
kuat
dari
subkultur
ini
adalah
cukup
tingginya
apresiasi
terhadap
seni
tradisional.
Secara
sosiologis,
semangat
“paguyuban”
(gemeinschaft)
lebih
menonjol,
dan
dalam
keseharian
semangat
ini
mewarnai
berbagai
aktivitas
agrarian
(pertanian,
perkebunan,
peternakan,
perikanan
pantai),
serta
juga
nampak
menonjol
aktivitas
“kantoran”.
2.
Subkultur
“Madura‐Sumenep”
Subkultur
ini
ditemukan
dengan
mudah
di
kawasan
Situbondo
dan
Bondowoso,
yang
secara
demografis
banyak
dihuni
oleh
kelompok
etnis
Madura
Sumenep
‐‐atau
yang
lebih
dikenal
dengan
Madura
Keraton.
Di
antara
masyarakat
di
wilayah
“tapal
kuda”,
subkultur
“Madura‐Sumenep”
relatif
yang
paling
halus.
Karakter
yang
menonjol
adalah
tingkat
kepatuhannya
kepada
tokoh
informal
(ulama),
terutama
di
Situbondo,
dan
aktivitas
yang
menonjol
adalah
nelayan.
3.
Subkultur
“Madura‐NonSumenep”
Subkultur
ini
teridentifikasi
di
daerah‐daerah
Probolinggo
dan
Pasuruan,
khususnya
di
wilayah
kota
dan
pesisir.
Oleh
karena
letak
geografisnya
yang
membentang
di
sepanjang
pantai
Selat
Madura,
maka
mayoritas
kegiatan
masyarakat
(khususnya
masyarakat
miskin)
adalah
nelayan
dan
perikanan.
Mereka
yang
di
sini
umumnya
datang
dari
komunitas
Madura
Pedhalungan,
yaitu
“orang
Madura”
yang
sudah
tidak
memiliki
akar
(up rooted)
di
Madura,
namun
sepenuhnya
mereka
bukan
orang
setempat.
Dibanding
subkultur
Madura‐Sumenep,
subkultur
masyarakat
di
wilayah
ini
relatif
berbeda
dan
lebih
kasar.
Yang
mirip
adalah
kepatuhannya
kepada
tokoh
agama
(Islam).
4.
Subkultur
“Malangan”
Subkultur
ini
mendominasi
wilayah
Malang
Kota
dan
Kabupaten.
Mereka
mirip
dengan
kultur
“arek”
pada
umumnya.
Kultur
basisnya
Jawa,
namun
menjadi
agak
berbeda
karena
sifat‐sifat
keterbukaannya,
lebih
egaliter,
apa
adanya
disampaikan
dan
“ceplasceplos”
(outspoken).
Aktivitas
yang
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
238
DRAFT
FINAL
REPORT
menonjol
disamping
sebagai
pegawai
adalah
perdagangan,
pariwisata,
dan
produsen
kebutuhan
rumah
tangga.
5.
Subkultur
Arek
Subkultur
ini
mendominasi
wilayah
Surabaya,
Sidoarjo,
dan
Gresik.
Kultur
basisnya
Jawa
yang
berbaur
dari
berbagai
daerah,
namun
menjadi
agak
berbeda
karena
sifat‐sifat
keterbukaannya,
lebih
egaliter,
apa
adanya
disampaikan
dan
“ceplasceplos”
(outspoken)
sebagaimana
Malangan.
Aktivitas
yang
menonjol
perindustrian.
Di
samping
itu
pegawai,
perdagangan,
pariwisata,
dan
buruh
pabrik
adalah
sektor
cukup
dominan.
6.
Subkultur
Mataraman
Subkultur
ini
mendominasi
wilayah
Nganjuk,
Kediri,
dan
Blitar.
Kultur
basisnya
Jawa,
namun
menjadi
agak
berbeda
dengan
Malangan
dan
Arek,
karena
cenderung
halus
dan
masih
kental
dengan
budaya
keraton
Jawa
(Mataram).
Aktivitas
yang
menonjol
disamping
sebagai
pegawai
adalah
pertanian,
perdagangan,
dan
industri
rumah
tangga.
7.
Subkultur
Warok
Subkultur
ini
mendominasi
wilayah
Ponorogo,
Madiun,
dan
Ngawi.
Mereka
memiliki
karakter
Jawa
Timur
pada
umumnya.
Kultur
basisnya
Jawa,
tidak
sekasar
“Arek”
tuturnya,
namun
sama‐sama
memiliki
sifat‐sifat
keterbukaan
dan
egaliter,
apa
adanya
disampaikan
dan
“ceplasceplos”
(outspoken).
Aktivitas
yang
menonjol
disamping
sebagai
pegawai
adalah
pertanian
dan
perdagangan.
Basis
kultural
semacam
ini
seharusnya
menjadi
perhatian
awal
untuk
menentukan
strategi
pelaksanaan
P2KP,
khususnya
dalam
proses
sosialisasi,
diseminasi,
mobilisasi
SDM,
pemilihan
sistem
sanksi,
dan
sejenisnya,
khususnya
selama
program
berlangsung.
Apabila
langkah
pertama
ini
sukses,
maka
langkah
berikutnya,
mendorong
peningkatan
kapasitas
sumber
daya
manusia.
Bentuk
dan
aspek
ini
sangat
beragam,
mulai
dari
pendidikan,
pelatihan
sampai
pada
pembelajaran
dari
proses
(learning
by
doing);
penguatan
legitimasi
dan
kapasitas
institusi,
seperti
penguatan
responsibilitas
dan
transparansi
pada
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
239
DRAFT
FINAL
REPORT
konstituennya,
'chanelling
dari
berbagai
pihak
yang
mempunyai
hubungan
kepentingan
baik
secara
langsung
maupun
tidak
langsung,
penguatan
jaringan
informasi
dan
komunikasi,
dan
sebagainya;
dan
penguatan
manajemen
mobilisasi
sumber
daya
(resources
mobilization
management)
relatif
lebih
kondusif
dan
memungkinkan
keberhasilan
program.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
240
DRAFT
FINAL
REPORT
BAB
6
KESIMPULAN
K
ajian
tentang
pelembagaan
kerelawanan
di
enam
kota
secara
spesifik
ingin
memberikan
jawaban
pada
beberapa
fokus
permasalahan,
seperti:
(1)
Bagaimana
peran
relawan
lokal
dalam
siklus
P2KP
dapat
disesuaikan
dalam
rangka
memenuhi
persyaratanpersyaratan
yang
muncul
dari
kegiatan
bersama
dengan
berbagai
pelaku
(pemerintah,
swasta,
masyarakat
sipil)?;
(2)
Apa
saja
persyaratanpersyaratan
peningkatan
kapasitas
diantara
relawan
lokal
untuk
melaksanakan
peran
baru
tersebut?;
dan
(3)
Faktor‐faktor
apa
saja
yang
mempengaruhi
keberlanjutan
kerelawanan
lokal
di
lingkungan
perkotaan?
Terdapat
6
(enam)
butir
pertanyaan
penelitian
(research
questions)
yang
harus
dijawab
sesuai
fokus
di
atas,
yaitu:
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
241
DRAFT
FINAL
REPORT
1.
Siapa
sajakah
yang
menjadi
relawan
dan
apakah
jenis
kemampuan,
kapasitas
dan
komitmen
yang
mereka
bawa
ke
proyek?
2.
Sejauhmana
relawan
merepresentasikan
kepentingan
mayoritas
masyarakat
pada
umumnya
dan
kelompok
miskin
pada
khususnya?
3.
Bagaimana
peran
relawan
lokal
dalam
siklus
P2KP
dapat
disesuaikan
dalam
rangka
memenuhi
kebutuhan
yang
meningkat
dari
kegiatan
bersama
dengan
berbagai
pelaku
(pemerintah,
pihak
swasta,
masyarakat
sipil)?
4.
Apa
kebutuhan
peningkatan
kapasitas
diantara
relawan
lokal
untuk
melaksanakan
peran‐peran
baru
tersebut?
5.
Dapatkah
pelatihan
tambahan
khusus
dan
upaya
peningkatan
kapasitas
untuk
relawan
memperdalam
"kesenjangan
pemberdayaan"
di
dalam
masyarakat
sebagaimana
mereka
menjadi
sebuah
elit
baru
(elit
berdaya
yang
baru)?
Dan,
bagaimana
hal
ini
dapat
diatasi?
6.
Faktor‐faktor
yang
mana
sajakah
yang
mempengaruhi
keberlanjutan
kerelawanan
lokal
di
lingkungan
perkotaan?
Secara
agregat,
kondisi
kerelawanan
di
lokasi
studi
dapat
dipetakan
sebagai
berikut:
Tabel
6.1.
Peta
Pengelompokan
Kerelawanan
Rural
Pesisir
RuralUrban
Pertanian
Metropolis
Kota
Kecil
Urban
Metropolis
Kebun
Geran
Limba
B
Panggung‐ rejo
Kepel
Karang
Berombak
Hamdan
Limba
U
Dua
Berkembang
Kebun
Dahri
Maccini
Tabaringan
Industri
Karangpoh
Kandangan
Jika
“terpaksa”
harus
mengidentifikasi,
secara
umum
dapat
disebut
3
(tiga)
lokasi
dengan
kondisi
kerelawanan
“bagus”,
yaitu:
(1)
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan;
(2)
Kelurahan
Karang
Berombak,
Medan;
dan
(3)
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
242
DRAFT
FINAL
REPORT
Kelurahan
Karangpoh,
Surabaya.
Sedangkan
3
(tiga)
lokasi
dengan
kondisi
kerelawanan
“buruk”
adalah:
(1)
Kelurahan
Limba
U
Dua,
Gorontalo;
(2)
Kelurahan
Hamdan,
Medan;
dan
(3)
Kelurahan
Tabaringan,
Makassar.
Profil
Relawan
Berdasarkan
latar
belakang
pendidikan
formal
yang
ditamatkan,
ditemukan
variasi
relawan
mulai
dari
yang
berpendidikan
SD
hingga
Perguruan
Tinggi,
namun
yang
paling
banyak
ditemukan
adalah
relawan
dengan
latar
belakang
pendidikan
SLTA.
Kejadian
khusus
ditemukan
di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan,
dimana
sebagian
besar
relawan
hanya
berpendidikan
formal
SD
atau
yang
sederajat,
namun
umumnya
mereka
melengkapi
dengan
pendidikan
agama.
Dari
sebaran
gender,
hampir
di
semua
lokasi
tidak
terlihat
ada
perbedaan
kesempatan
antara
lakilaki
dan
perempuan
untuk
terlibat
dalam
kegiatan
P2KP.
Kejadian
khusus
ditemukan
di
Kelurahan
Karang
Berombak,
Medan,
dimana
mayoritas
relawan
adalah
perempuan.
Terdapat
pembagian
kerja
yang
cukup
ketat
menurut
gender,
dimana
peran
perempuan
dalam
kegiatan
P2KP
di
kelurahan
ini
lebih
menonjol,
diantaranya
karena
laki‐ laki
pada
umumnya
harus
bekerja
di
sektor
produktif
dan
(sehingga)
memiliki
keterbatasan
waktu
untuk
terlibat
aktif
dalam
kegiatan
P2KP.
Secara
umum
di
beberapa
lokasi
ditemukan
kecenderungan
peran
relawan
yang
“lebih”
pada
perempuan.
Salah
satu
alasan
penting
yang
bisa
dirujuk
adalah
bahwa
selain
terlibat
di
P2KP
mereka
telah
aktif
di
berbagai
kegiatan
sosial.
Namun
demikian,
“dominasi”
peran
perempuan
dalam
kerelawanan
P2KP
ada
juga
yang
dilatarbelakangi
oleh
status
sosial
suami,
motif
“balas
budi”
karena
telah
menerima
BLM
ekonomi
bergulir,
dan
sebagainya.
Dari
segi
usia,
relawan
di
P2KP
tersebar
secara
relatif
merata
antara
usia
di
atas
20
tahun
hingga
di
atas
60
tahun,
dengan
pola
pengelompokan
sebagian
besar
lokasi
didominasi
oleh
relawan
berusia
antara
3640
tahun
dan
kelompok
usia
di
atasnya.
Catatan
khusus
diberikan
pada
Kelurahan
Hamdan
yang
memiliki
relawan
dengan
usia
rata‐rata
antara
31‐35
tahun.
Ada
kecenderungan
relawan
yang
berusia
tua
menjadikan
kerelawanan
sebagai
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
243
DRAFT
FINAL
REPORT
media
untuk
mengisi
waktu
luang
di
tengah‐tengah
masa
pensiun,
sebagai
“ladang
amal”,
atau
bentuk
dari
tindakan
sosial.
Sebaliknya,
keterlibatan
kelompok
muda
dalam
kerelawanan
bisa
saja
memiliki
muatan
demi
efektivitas
pemanfaatan
dan
perputaran
dana
BLM
(Kelurahan
Panggungrejo),
atau
beberapa
alasan
lain
seperti:
agar
BKM
dikendalikan
oleh
tokoh‐tokoh
muda
(Kelurahan
Hamdan),
peluang
kerja
bagi
masyarakat,
khususnya
angkatan
kerja
yang
sebagian
besar
anak‐anak
muda
(Kelurahan
Tabaringan).
Secara
agregat,
pada
umumnya
relawan
adalah
mereka
yang
memiliki
usaha
sendiri
atau
ibu
rumah
tangga.
Alasan
umumnya
adalah
kebebasan
dalam
menentukan
jam
kerja
atau
memiliki
waktu
luang.
Jumlah
relawan
yang
tidak
bekerja
cukup
besar,
terutama
karena
alasan‐alasan:
mengisi
waktu
luang
(sampai
dengan
mendapatkan
pekerjaan),
memanfaatkan
atau
membuka
akses/jaringan
yang
lebih
luas,
atau
ada
yang
berharap
mendapatkan
imbalan
(tempat
mencari
nafkah).
Dari
sudut
pandang
ketokohannya,
relawan
P2KP
banyak
didominasi
oleh
tokohtokoh
yang
(dianggap)
kaya
pengalaman,
baru
kemudian
disusul
oleh
tokoh‐tokoh
yang
mewakili
lokalitas,
tokoh‐tokoh
pemuda,
serta
tokoh‐tokoh
agama.
Tokoh
kaya
pengalaman
cenderung
dinilai
oleh
warga
setempat
memiliki
wawasan
luas
untuk
menangani
suatu
permasalahan
di
lingkungannya.
Pengalaman
ini
secara
sederhana
dikaitkan
dengan
faktor
usia,
pengalaman
hidup,
dan
latar
belakang
pekerjaan.
Dengan
berbekal
pengalamannya,
tokoh‐tokoh
yang
menjadi
relawan
akan
terbiasa
bekerja
untuk
masyarakat.
Di
banyak
tempat,
kedekatan
para
relawan
dengan
pihak
kelurahan
dirasakan
perlu
karena
akan
membuat
aktivitas
pelaku
program
mendapatkan
banyak
kemudahan
(tempat
kerja
dan
dukungan
lainnya),
namun
tanpa
harus
ada
intervensi
ataupun
(bahkan)
kooptasi
dari
pihak
pemerintah
kelurahan.
Peran
Lurah
sebagai
“pemilik
wilayah”
sangat
sentral
dalam
kegiatan
P2KP,
khususnya
sebagai
legalisator
atau
peran
formal.
Namun
demikian,
dari
sisi
“negatif”
Lurah
juga
ikut
menentukan
dalam
“penunjukan”
siapa‐siapa
yang
diusulkan
menjadi
relawan
dan
siapa‐siapa
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
244
DRAFT
FINAL
REPORT
yang
akan
menjadi
anggota
BKM.
Dari
sudut
pandang
ini,
kedekatan
dengan
kelurahan
akan
memudahkan
koordinasi
dan
kerjasama.
Kebanyakan
relawan
datang
dari
orang
miskin,
hampir
di
seluruh
lokasi
studi
sulit
ditemukan
relawan
yang
berasal
dari
warga
yang
memiliki
status
ekonomi
tinggi.
“Kesalahan”
dalam
sosialisasi
menimbulkan
kesan
orang
kaya
tidak
perlu
terlibat
dalam
P2KP,
kalaupun
ada
yang
terlibat
sifatnya
tidak
berkesinambungan.
Catatan
khusus
diberikan
pada
Kelurahan
Limba
B,
Gorontalo,
dimana
ditemukan
kategorisasi
warga
berdasarkan
kondisi
status
sosial
ekonomi,
mulai
dari
kelompok
teratas
diisi
oleh
tokoh‐ tokoh
masyarakat,
kemudian
disusul
Lurah
yang
berada
“sedikit”
di
bawahnya.
Berbeda
dengan
kondisi
yang
ditemukan
di
Kelurahan
Panggungrejo,
Pasuruan,
ditemukan
bahwa
tokoh
agama
memiliki
kedudukan
sosial
tertinggi,
baru
kemudian
disusul
“pengurus”
BKM‐P2KP,
Staf
UPK,
UPL,
dan
UPS
di
dalam
BKM,
dan
berikutnya
relawan.
Lurah
dan
perangkat
kelurahan
menurut
pandangan
mereka
berada
“di
luar”
struktur
sosial‐budaya
masyarakat.
Dorongan
untuk
ikut
serta
menjadi
relawan
umumnya
karena
adanya
ajakan
dari
orangorang
di
sekitarnya,
seperti:
orang
tua/saudara,
tetangga,
ataupun
kawan
bermain
yang
masih
satu
lingkungan
tempat
tinggal.
Namun
demikian,
tidak
sedikit
relawan
yang
ikutserta
dalam
program
PNPM‐P2KP
karena
adanya
“penunjukan”
dari
pihak
kelurahan,
termasuk
perangkat‐ perangkatnya
di
tingkat
bawah
(RW,
RT).
Disamping
itu,
“penunjukan”
juga
berasal
dari
tokoh
masyarakat
atau
dari
kelompok
strata
sosial
yang
lebih
tinggi
ke
yang
lebih
rendah.
Sulit
ditemukan
relawan
yang
berangkat
dari
“keinginan
sendiri”.
Berikut
disajikan
profil
relawan
berdasarkan
lima
kategori
sumberdaya
yang
dimiliki,
yakni:
natural
capital,
physical
capital,
human
capital,
financial
capital,
dan
social
capital
di
masing‐masing
lokasi
studi.
Pertama,
terdapat
beberapa
lokasi
yang
memiliki
kecenderungan
sama
karena
terletak
di
satu
kota,
berdekatan,
dan
biasanya
hanya
dipisahkan
oleh
jalan
dan
semacamnya.
Umumnya
lokasi‐lokasi
ini
cenderung
memiliki
kesamaan
sumberdaya
natural,
physical,
human,
dan
financial,
bahkan
social
capital‐
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
245
DRAFT
FINAL
REPORT
nyapun
tidak
terlalu
memiliki
perbedaan
yang
signifikan,
misalnya:
Kelurahan
Limba
B
dan
Limba
U
Dua
(Gorontalo)
serta
Kelurahan
Kebun
Geran
dan
Kebun
Dahri
(Bengkulu).
Kondisi
agak
berbeda
ditemukan
di
Pasuruan.
Kondisi
di
Kelurahan
Kepel
dan
Panggungrejo
cenderung
merepresentasikan
wilayah
dengan
ciri
urbanrural
yang
berbeda.
Kelurahan
Kepel
cenderung
lebih
bersifat
agraris,
sedangkan
Panggungrejo
lebih
menggambarkan
karakteristik
pesisir.
Kedua,
kondisi
sumberdaya
yang
dimiliki
tidak
selalu
dijadikan
pertimbangan
penting
dalam
sosialisasi
awal
program
P2KP,
sehingga
dalam
kelanjutan
pelaksanaannya
sering
ditemukan
“kekurangberhasilan”
yang
bersumber
pada
strategi
yang
diterapkan
para
pelaku
‐‐terutama
faskel.
Hal
ini
terlihat
dari
keterlibatan
relawan,
yang
selalu
tidak
dikaitkan
dengan
karakteristik
sumberdaya
yang
ada
‐‐terutama
potensi
kulturalnya
(social
capital)‐‐
mulai
dari
rekrutmen
hingga
pengembangannya.
Ketersediaan
sumberdaya
alam
dan
keuangan
memiliki
peran
penting
dalam
menentukan
keikutsertaan
relawan,
terutama
pola
intensitasnya
sebagai
relawan.
Warga
masyarakat
yang
memiliki
akses
yang
lebih
baik
pada
sumberdaya
ekonomi
(phisical
capital
dan
financial
capital)
cenderung
bertahan
lama
sebagai
relawan
‐‐bahkan
bisa
menjadi
relawan
permanen.
Sebaliknya,
mereka
yang
tidak
memiliki
akses
yang
baik
pada
sumberdaya
ekonomi
cenderung
menjadi
relawan
yang
“paruh
waktu”,
sesuai
dengan
ketersediaan
waktu
di
luar
waktu
kerja.
Ketiga,
jika
pada
kota‐kota
“kecil”
‐‐Bengkulu,
Pasuruan,
Gorontalo‐‐ terdapat
kemiripan
pola
pemilikan
sumberdaya
(the
Pentagon
Scheme),
maka
tidak
demikian
yang
terjadi
pada
kota‐kota
“besar”.
Pada
kotakota
“besar”
Medan,
Surabaya,
Makassar
pola
pemilikan
sumberdaya
relatif
berbeda
antara
lokasi
yang
tingkat
kerelawanannya
dipandang
tinggi
(highest
level)
dengan
lokasi
yang
dianggap
memiliki
tingkat
kerelawanan
rendah
(lowest
level).
Perbedaan
livelihood
asset
ini
sangat
mungkin
diakibatkan
oleh
faktor
mobilitas
internal,
kebutuhan
perkembangan
kota
(peruntukan
lahan,
tata
ruang),
dan
segmentasi
sosial
yang
relatif
tegas.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
246
DRAFT
FINAL
REPORT
Keempat,
pada
lokasi‐lokasi
yang
dipandang
memiliki
potensi
kerelawanan
tinggi
‐‐Karang
Berombak
(Medan),
Karangpoh
(Surabaya),
dan
Panggungrejo
(Pasuruan)‐‐
menunjukkan
ciri
kepemilikan
sumberdaya
sosial
(social
capital)
sebagai
hal
yang
menonjol.
Beberapa
ekspresi
dari
sumberdaya
sosial
ini
diantaranya
adalah
kondisi
“guyub“,
terutama
hal
ini
diciptakan
oleh
kondisi
homogenitas
etnis
dan
rasa
saling
percaya
(mutual
trust)
antar
warga.
Kesimpulan
berikutnya
adalah
terkait
dengan
representasi
kepentingan
yang
“dibawa”
relawan.
Secara
umum
terdapat
pemahaman
yang
kurang
tepat
terhadap
persoalan
kemiskinan
dan
desain
program.
Persoalan
kemiskinan
‐‐yang
semestinya
menjadi
persoalan
seluruh
masyarakat‐‐
seringkali
hanya
dipahami
sebagai
kepentingan
warga
miskin
dan
pemerintah
(kelurahan).
Akibatnya,
warga
yang
tidak
miskin
merasa
tidak
berkepentingan
langsung
dengan
P2KP
sehingga
ada
wilayah/
lingkungan
yang
“menolak”
kehadiran
P2KP
hanya
karena
di
lingkungannya
tidak
terdapat
warga
miskin.
Dengan
lokalisasi
seperti
itu,
sebagian
besar
relawan
datang
dari
kalangan
warga
miskin,
terutama
hal
ini
dianggap
merepresentasikan
kepentingan
warga
miskin.
Proses
Pelembagaan
Kerelawanan
Terdapat
kesamaan
pola
dalam
rekrutmen
hingga
pengembangan
relawan,
dan
ini
terkait
dengan
siklus
program
yang
memang
sudah
diseragamkan
secara
nasional.
Rekrutmen
diawali
dengan
pendaftaran
calon
relawan
secara
terbuka,
yang
akan
diseleksi
sesuai
kebutuhan
program
‐‐tentu
saja,
karena
diseleksi,
pasti
ada
yang
tidak
terpilih.
Dari
semua
lokasi
tercatat
proses
rekruitmen
relawan
dilakukan
melalui
proses
“seleksi
perwakilan”,
berangkat
dari
penunjukkan
RT
atau
RW
setempat,
bukan
berangkat
dari
kesadaran
atau
keterpanggilan
hati.
Kurangnya
pemahaman
faskel
terhadap
siapa
saja
yang
bisa
menjadi
relawan
membuat
tujuan
pemberdayaan
yang
diharapkan
nyaris
tidak
pernah
tercapai.
Di
beberapa
tempat
ditemui
adanya
“penolakan”
terhadap
P2KP
akibat
pemahaman
yang
keliru,
dan
tidak
terlihat
ada
solusi
yang
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
247
DRAFT
FINAL
REPORT
memadai
sehingga
mengarah
pada
penanganan
persoalan
kemiskinan
tanpa
melibatkan
bukan
orang
miskin.
Padahal
esensi
dari
pemberdayaan
adalah
keswadayaan
yang
berlangsung
di
atas
natural
relationship.
Juga,
dalam
beberapa
kasus
kerelawanan
dikembangkan
dan
dilembagakan
dengan
(hanya)
melalui
pendekatan
formal,
misalnya
dengan
mengandalkan
peran
serta
‐‐dan
bahkan
“campurtangan”‐‐
perangkat
pemerintah
kelurahan.
Ketika
kenyataan
filosofi
hidup
dan
lokalitas
warga
tidak
diindahkan
maka
warga
miskin
cenderung
tidak
merespon
“ajakan”
untuk
menumbuhkembangkan
kerelawanan.
Dan,
inilah
yang
kemudian
ditangkap
sebagai
stereotipe
“negatif”
yang
dilekatkan
pada
kelompok
masyarakat.
Banyak
pihak
‐‐terutama
pelaku
program‐‐
yang
mengabaikan
bahwa
esensi
dari
proses
pelembagaan
(institutionalizing)
adalah
adanya
norma
baru
yang
dikenal,
diakui,
dihargai,
ditaati,
dan
dihayati
mendarah
daging.85
Faskel
sebagai
agen
pemberdaya
relatif
tidak
berjalan,
yang
terjadi
justeru
faskel
lebih
banyak
menjadi
agen
“proyek”,
yang
lebih
banyak
disibukkan
oleh
jadwal
administrasi
proyek.
Di
semua
lokasi
studi,
dijumpai
kenyataan
bahwa
faskel
lebih
banyak
“mengejar‐ngejar”
jadwal
pelaporan
kegiatan
dan
keuangan
BKM,
sementara
pendampingan
terhadap
relawan
pasca
pembangunan
BKM
tidak
terjadi
lagi.
Pendampingan
yang
dilakukan
faskel
makin
mengerucut
hanya
terhadap
BKM,
secara
umum
KSM
sama
sekali
tidak
tersentuh.
BKM
semakin
tidak
tampil
sebagai
agen
pembangkit
keswadayaan
masyarakat
‐‐sesuai
namanya,
Badan
Keswadayaan
Masyarakat‐‐
namun
telah
disibukkan
dengan
urusan‐urusan
pencairan,
penyaluran,
dan
penagihan.
Fungsi
“enabling”
dan
pemberdayaan
yang
seharusnya
banyak
dimainkan
BKM
tidak
tampak,
sehingga
banyak
relawan
putus
asa
dan
apatis,
“dijauhi
“
warga,
85
Lihat
misalnya
dalam
Wibowo,
Agung
P.P.
2009.
Pengembangan
Kelembagaan
Lokal.
Draft
#1.
Jakarta:
Dalam
Proses
Penerbitan.
Sebagai
pembanding,
lihat
juga
Soerjono
Soekanto.
1993.
Beberapa
Teori
Sosiologi
tentang
Struktur
Masyarakat.
Jakarta:
PT
Raja
Grafindo;
Tumpal
M.S.
Simanjuntak.
2001.
Perbedaan
antara
Organisasi
(Organization)
Dengan
Kelembagaan.
Makalah
P2KP.
Jakarta:
Tidak
diterbitkan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
248
DRAFT
FINAL
REPORT
dan
sebagainya.
Dalam
keseharian,
yang
teridentifikasi
sebagai
relawan
adalah
anggota
BKM,
dan
karena
Faskel
seringkali
terpaku
hanya
pada
tokoh
yang
dijumpai
maka
tidak
tergali
relawan‐relawan
baru
sebagai
sumberdaya
manusia
potensial.
Dalam
hal
ini
Faskel
melakukan
mistifikasi
terhadap
peran
tokoh
dan
mengabaikan
keberadaan
orang
lain
yang
mungkin
memiliki
potensi
sama.
Disain
proyek
dan
terbatasnya
pemahaman
faskel
juga
berdampak
pada
proses
pembelajaran
yang
tidak
berjalan.
Dengan
ketatnya
jadwal
program,
Faskel
sering
mengambil‐alih
tugas
BKM
agar
tidak
melebihi
jadwal
yang
ditetapkan.
Akibatnya,
Faskel
lebih
banyak
berperan
dengan
perspektifnya
sendiri,
bukan
perspektif
masyarakat
yang
didampingi,
yang
pada
gilirannya
tidak
tumbuh
rasa
memiliki
dari
masyarakat.
Kegiatan
menciut
ke
arena
teknis
(blue
print
oriented)
yang
tidak
sensitif
terhadap
pranata
dan
nilai‐nilai
masyarakat
setempat.
Prosesnya
di
beberapa
lokasi
tidak
bersifat
lentur,
dan
dinilai
cocok
untuk
masyarakat
“Jawa.”
Kerelawanan
yang
seharusnya
ditumbuhkan
melalui
nilai‐nilai
yang
ditanamkan
tidak
pernah
terbukti.
Keberadaan
relawan
tidak
dilahirkan
dari
suatu
proses
pelembagaan
yang
seharusnya,
namun
direkrut
sesuai
kuota
proyek.
Tidak
ditemukan
adanya
pelaku
yang
berpikir
inovatif
untuk
menjaring
sebanyak
mungkin
relawan
dan
mendorong
keswadayaan
masyarakat
makin
luas.
Pola
mutasi
seorang/tim
faskel
berjalan
“terlalu
cepat”
dan
tidak
memperhitungkan
tumbuhnya
bangunan
kepercayaan
masyarakat.
Di
saat
masyarakat
mulai
percaya
dan
menggantungkan
banyak
harapan
dari
salah
seorang
Faskel,
tidak
berapa
terjadi
mutasi.
Padahal
jelas‐jelas
Faskel
memiliki
peran
besar
bagi
keberhasilan
program.
Jika
melihat
kondisi
riil
pelaksanaan
program,
P2KP
lebih
mirip
sebagai
industri
massal
pemberdayaan,
bukan
agen
pemberdayaan.
P2KP
tampil
sebagai
penerjemah
dominan
proses
pemberdayaan,
sedangkan
warga
masyarakat
tertinggal
dalam
diskursusnya
sendiri,
dan
ujungnya
pengaruh
program
menjadi
tak
tertandingi
dalam
proses
sosial,
ekonomi
dan
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
249
DRAFT
FINAL
REPORT
politik.
Pada
gilirannya,
perkembangan
kerelawanan
cenderung
mengalami
distorsi‐distorsi
dan
akhirnya
melemah.
Dalam
disain
P2KP,
karena
pada
umumnya
BKM
dimaknai
sebagai
pembangunan
kelembagaan
baru
maka
keberadaannya
seringkali
justeru
malah
dipertanyakan.
Lembaga
ini
seringkali
“terlepas”
dari
social
context,
sehingga
keterlibatan
relawan
yang
merupakan
aktualisasi
dari
nilai‐nilai
kerelawanan
relatif
kurang.
Permasalahan
social
context
harus
dipahami
dengan
baik
jika
kita
menginginkan
institusionalisasi
nilai‐nilai
kerelawanan
dalam
masyarakat
hingga
melembaga
(internalized).
Pengembangan
Peran
Relawan
Ke
Depan
Fakta
di
lapangan
menunjukkan
bahwa
relawan
cenderung
dipahami
hanya
sekedar
baju
sebagai
prasyarat
proyek,
karena
memang
saat
RKM
(rembug
kesiapan
masyarakat)
disampaikan
bahwa
jika
P2KP
diterima,
disyaratkan
harus
ada
relawan.
Relawan
tersebut
akan
dilibatkan
hingga
BKM
terbentuk.
Saat
BKM
terbentuk,
seringkali
relawan
ditinggalkan
dan
pendampingannyapun
hanya
tertuju
pada
BKM.
Dari
pendapat
di
atas,
disadari
sekali
oleh
para
pelaku
program
bahwa
dalam
pelaksanaan
kegiatan,
tidak
ada
kontinyuitas
pelibatan
relawan.
Sepanjang
pelaksanaannya,
ada
hal
yang
berkembang
dan
tidak
pernah
disadari
program
bahwa
relawan
adalah
orang
yang
in
dan
out
dari
program
kapan
saja.
Selama
ini
program
mengidentifikasi
bahwa
relawan
adalah
mereka
yang
terdaftar
(sejak)
di
awal
program.
Dengan
demikian,
program
ini
gagal
mengidentifikasi
bahwa
relawan
sangat
mungkin
orang
yang
terlibat
di
kegiatan
secara
temporer/musiman.
Ditemukan
di
hampir
semua
lokasi
bahwa
relawan
tidak
dapat
melakukan
kegiatannya
secara
berkesinambungan.
Terdapat
4
(empat)
faktor
yang
dapat
menjelaskan
mengapa
kegiatan
kerelawanan
cenderung
dimaknai
sebagai
kegiatan
“sampingan”,
yaitu
sebagai
berikut:
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
250
DRAFT
FINAL
REPORT
1.
Faktor
mata
pencaharian
(karena
tidak
bekerja
atau
tidak
punya
pekerjaan
tetap,
atau
mengikuti
kegiatan
dengan
mengharapkan
sesuatu).
Hal
ini
juga
berpengaruh
terhadap
keterlibatan
perempuan,
yang
akan
menurun
keterlibatannya
ketika
suami
dinilai
“memerlukan
bantuan”
dalam
mencari
nafkah
dalam
memenuhi
kebutuhan
hidup
keluarganya.
2.
Faktor
kebudayaan
(efek
dari
rites
of
passages
dan
persiapan
menuju
gerbang
rumah
tangga,
adanya
konsep
“hari‐hari
baik”,
budaya
“tanam
padi”
dan
“petik
padi”
atau
panen,
dan
lain‐lain).
3.
Faktor
agama
(kerelawanan
sebagai
ladang
amal,
imbalan
yang
diperoleh
dari
membantu
orang
lain
seperti
peran
amil
zakat
atau
qurban
yang
mendapat
bagian
dari
zakat
dan
qurban
yang
berhasil
dikumpulkan
dan
disalurkannya).
4.
Faktor
politik
(kerelawanan
sebagai
penghargaan
yang
ditunjukkan
melalui
eksistensi
orang‐orang
yang
terlibat
di
dalamnya,
kerelawanan
sebagai
modal
untuk
kampanye).
KontekstualSosial
sebagai
Basis
Pelembagaan
Kerelawanan
Jika
dicermati,
sebenarnya
program
(P2KP)
sendiri
masih
bersifat
“proyek”,
dalam
arti
sangat
mengedepankan
ukuran‐ukuran
waktu
dan
target‐ target
administratif.
Yang
terjadi
selama
ini
program
belum
pernah
menyentuh
kesadaran.
Masyarakat
menjadi
instrumentalis.
Seharusnya
dengan
program
kemiskinan
akan
menumbuhkan
kesadaran
pikir
dan
perilaku
bagi
masyarakat,
tetapi
dalam
prakteknya
intervensi
siklus
selama
ini
hanya
menjadi
“racun”
dengan
menjadi
masyarakat
sebagai
instrumen.
Sedangkan
BLMnya
yang
dijadikan
“madu”.
Selama
kemiskinan
belum
menjadi
kebutuhan
atau
masalah
bagi
masyarakat,
maka
tidak
akan
pernah
ada
atau
ditemui
apa
yang
didefinisikan
sebagai
relawan.
Pengembangan
peran
kerelawanan
ternyata
tidak
cukup
dengan
memberikan
pelatihan.
Karena
pelatihan
yang
terjadi
selama
ini
tidak
memiliki
efek
terhadap
pengembangan
kapasitas
relawan,
sebagaimana
disampaikan
di
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
251
DRAFT
FINAL
REPORT
atas
bahwa
peserta
pelatihan
(relawan)
tidak
selalu
kontinu,
tetapi
seringkali
adalah
relawan
yang
direkruit
dari
“nol.”
Jadi,
relawan
yang
terlibat
pelatihan
kecenderungannya
adalah
relawan
baru
yang
dimobilisasi
untuk
memenuhi
kebutuhan
pelatihan
sesuai
yang
dijadwalkan
oleh
proyek.
Belum
ada
pola
yang
digunakan
untuk
mengelola
peran
relawan
yang
sejak
mula
terlibat
kegiatan.
Karenanya
relawan
terlibat
dalam
satu
kegiatan
belum
tentu
terlibat
pula
pada
kegiatan
berikutnya.
Beberapa
yang
terlibat
dalam
KSM
pada
umumnya
relawan‐relawan
yang
sekaligus
penerima
manfaat.
Sehingga
cita‐cita
program
untuk
mendorong
pemberdayaan
secara
swadaya
tidak
terjadi.
Untuk
itu,
pengembangan
peran
kerelawanan
ke
depan
harus
mempertimbangkan
struktur
sosial,
determinandeterminan
sosial,
integratorintegrator
sosial,
dinamika
sosial,
sampai
pada
persepsi
sosial
masyarakat
terhadap
lingkungannya.
Posisi
dan
peranan
masing‐masing
unsur
dari
struktur
tersebut
diharapkan
mengarah
kepada
tujuan‐tujuan
pemberdayaan.
Jika
mengacu
pada
tujuan
pemberdayaan,
diperlukan
pengelompokan
ulang
elemen‐elemen
struktural
sudah
ada
di
masyarakat.
Pengelompokan
ini
harus
dapat
mencerminkan
suatu
konsistensi
dalam
interrelasinya,
agar
terwujud
suatu
model
sistem
sosial
dengan
bentuk
dan
fungsi
sebagai
(semacam)
managementmodels
yang
menjamin
tercapainya
pemenuhan
kebutuhan
kolektif.
Mengingat
pelbagai
pertimbangan
kontekstual‐sosial
di
atas,
dimana
hasil
studi
juga
menunjukkan
keragaman
issue
di
setiap
lokasi,
maka
strategi
pengembangan
dan
pelembagaan
peran
kerelawaan
tidak
bisa
digeneralisir.
Yang
jelas,
langkah
pertama
yang
harus
dilakukan
adalah
mengidentifikasi
dan
memahami
situasi
kontektualsosial
dimana
kerelawanan
dikembangkan.
Studi Pelembagaan Kerelawanan PNPM-P2KP
252
INCEPTION
REPORT
DAFTAR
PUSTAKA
PUSTAKA
Alwi,
Hasan
(2001),
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
Jakarta:
Depdiknas
RI
&
Balai
Pustaka.
Clark,
Candace
&
Howard
Robboy,
eds.
(1986).
The
Presentation
of
Self
in
Everyday
Life,
Social
Interaction:
Readings
in
Sociology.
Third
Edition.
New
York:
St.
Martin’s
Press.
Geertz,
Clifford
(1993),
Abangan,
Santri,
Priyayi
Dalam
Masyarakat
Jawa,
Jakarta:
Pustaka
Jaya.
Goffman,
Erving
(1959).
The
Presentation
of
Self
in
Everyday
Life.
Garden
City,
New
York:
Doubleday
Anchor.
Miles
&
Huberman
(1992).
Analisis
Data
Kualitatif,
Buku
Sumber
tentang
MetodeMetode
Baru.
Jakarta:
UI‐Press.
Moleong,
Lexy
J.
(2001).
Metodologi
Penelitian
Kualitatif,
Bandung:
PT
Remaja
Rosdakarya.
Nazir,
Mohammad
(1988).
Metode
Penelitian.
Jakarta:
Ghalia
Indonesia.
Rakodi,
Carole,
&
Tony
Lloyd‐Jones,
des
(2002),
Urban
Livelihood:
A
People Centered
Approach
to
Reducing
Poverty,
London:
Eartscan
Publication
Limited.
Suparlan,
Parsudi
(2004).
Hubungan
Antar
Sukubangsa,
Jakarta:
YPKIK.
Weber,
Max
(2002),
Etika
Protestan
dan
Semangat
Kapitalisme,
Surabaya:
Promethea.
Wiyata,
Latief
A.
(2003),
Madura
Yang
Patuh,
Kajian
Antropologi
Mengenai
Budaya
Madura,
Jakarta:
CERIC
FISIP‐UI
Non
–
Buku:
Anonymous
(2008a),
Pedoman
Pelaksanaan
PNPM
Mandiri
Perkotaan.
Anonymous
(2008b).
Term
of
Reference
for
a
Study
on
Volunteer
Institutionalisation
in
PNPMUPP.
Final
Revised
Version
(as
of
18
November
2008).
253
INCEPTION
REPORT
Anonymous
(2008c).
Generic
Research
Strategy
Input
for
Eight
Thematic
UPP
Studies:
Minimal
Data
Requirements
and
Respective
Methodologies
and
Data
Collection
Techniques.
Carney,
Improving
Acces
to
Ntural
Resources
for
Rural
Poor
–
A
Critical
Analysis,
dari
http://www.fao.org/docrep/006/ad683e/ad683e03.html
diunduh
pada
tanggal
24
Nopember
2009.
Tellis,
Winston
(1997).
Introduction
to
Case
Study.
The
Qualitative
Report,
Volume
3,
Number
2,
July,
1997,
(http://www.nova.edu/sss/QR/QR3‐ 2/tellis1.html).
World
Bank
(2009).
Overview
of
UPP/PNPMUrban.
Materi
Disampaikan
pada
“Lokakarya
Persiapan
dan
Pelatihan
8
Studi
Tematik
Evaluasi
P2KP”.
254
IDENTITAS
ANGGOTA
TIM
AGUNG
PRAMONO
P.W.
(Team
Leader),
lahir
di
Magetan
(Jatim),
16
Januari
1962.
Mendapatkan
gelar
sarjana
di
bidang
Administrasi
Publik
dari
Universitas
Jember
dan
melanjutkan
studinya
di
Universitas
Indonesia
dengan
gelar
M.A
di
bidang
yang
sama.
Untuk
memperdalam
keahliannya
di
bidang
kelembagaan
lokal,
ia
aktif
mengikuti
training
dan
pelatihan
dari
berbagai
lembaga
dalam
dan
luar
negeri.
Ia
mulai
aktif
sebagai
community
worker
sejak
tahun
1990
sebagai
peneliti
NURINDRA
(Norwegian
–
Indonesian
Rain
Forest
and
Resource
Management).
Pengalamannya
dalam
P2KP
diawali
pada
tahun
1999
sebagai
Project
Manager
untuk
123
desa/kelurahan
di
Kabupaten‐kabupaten
Banyuwangi,
Bondowoso,
Situbondo,
Probolinggo,
Pasuruan,
Malang,
dan
Kota‐kota
Pasuruan,
Probolinggo,
dan
Malang.
Hingga
saat
ini,
ia
aktif
sebagai
peneliti
di
berbagai
lembaga
pemerintah
maupun
swasta.
Selain
sebagai
community
worker,
ia
juga
aktif
sebagai
pengajar
di
Universitas
Indonesia
dan
Sekolah
Tinggi
Administrasi
Negara
Lembaga
Administrasi
Negara
(STIA
LAN).
SITI
NURKHAYATI,
lahir
di
Ponorogo
(Jawa
Timur),
5
Desember
1975.
Lulus
dari
Ilmu
Sosiologi
dari
Universitas
Sebelas
Maret
(UNS),
Surakarta
pada
tahun
1999
dan
memperoleh
gelar
master
di
bidang
yang
sama
di
FISIP
Universitas
Indonesia
tahun
2005.
Sejak
masih
mahasiswa
telah
aktif
sebagai
social
worker
di
bidang
HIV/AIDS.
Sejak
mahasiswa
pula
telah
aktif
sebagai
peneliti
di
Departemen
Pendidikan
Nasional.
Setelah
menamatkan
studinya
di
UNS,
kemudian
aktif
sebagai
peneliti
di
Pusat
Antar
Universitas
Ilmu‐ilmu
Sosial
Universitas
Indonesia
(PAU‐IS‐UI).
Di
luar
kegiatannya
sebagai
peneliti,
ia
tetap
aktif
sebagai
social
worker
di
Desantara
Institute
for
Culture
Studies
sebagai
Program
Assistent
Madrasah
Emansipatoris
(2001
–
2002).
Terlibat
dalam
P2KP
sejak
tahun
2006
sebagai
Junior
Investigator
Konsultan
Evaluasi
P2KP‐2
di
bawah
Lembaga
Studi
dan
Pengembangan
Kewirausahaan
(LSPK).
Hingga
saat
ini
aktif
sebagai
peneliti
di
lembaga
pemerintah
dan
swasta.
YOPHIE
SEPTIADI,
lahir
di
Jakarta,
28
September
1971.
Gelar
Sarjana
Teknik
Arsitektur
diperoleh
dari
Universitas
Pancasila,
Jakarta.
Kemudian
ia
melanjutkan
studinya
di
Universitas
Indonesia
hingga
mendapatkan
gelas
Magister
dan
Doktor
di
bidang
Antropologi.
Sebagai
seorang
antropolog,
ia
banyak
mendalami
kajian
di
bidang
antropologi,
khususnya
untuk
komunitas
marginal.
Selain
aktif
sebagai
peneliti,
ia
juga
aktif
sebagai
pengajar
di
Universitas
Pancasila
dan
Universitas
Indonesia.
ERI
TRINURINI
ADHI,
lahir
di
Magelang
(Jawa
Tengah),
29
April
1961.
Mendapatkan
gelar
sarjana
dari
Institut
Pertanian
Bogor
(IPB)
dan
berhasil
meraih
gelar
Magister
dan
Doktor
dari
Fakultas
Pertanian
Georg
August
University,
Jerman.
Selama
ini
ia
aktif
sebagai
konsultan
untuk
isu‐isu
good
governance,
desentralisasi,
pembangunan
desa,
capacity
building,
dan
manajemen
proyek.
Ia
juga
telah
berpengalaman
sebagai
Training
Specialist
Konsultan
Manajemen
Pusat
untuk
P2KP
(1999
–
2001).
Beberapa
tulisannya
yang
pernah
dipublikasikan
adalah
The
Decentralization
in
Indonesia.
The
influence
of
village
governance
in
the
traditional
communities
in
North
Sumatera/Indonesia
(2005)
dan
Desentralisasi
di
Indonesia.
Pengaruhnya
pada
kepemerintahan
desa
di
masyarakat
tradisional
di
Sumatera
Utara
(2007).
Daftar
Informan
Hamdan
1
Nama
Usia
Pekerjaan
Keluarga
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
Kemasyarakatan
:
:
:
:
:
:
Rina
Harahap
tahun
Lurah
Karang
Berombak
Menikah
Lurah
Lurah
Nama
Usia
Pekerjaan
Keluarga
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
Kemasyarakatan
:
:
:
:
:
:
Nazji
Erwina
50
tahun
Ketua
PKK
Menikah,
sudah
memiliki
beberapa
cucu.
Kordinator
BKM
Tokoh
wanita
yang
cukup
dikenal
di
setiap
lingkungan
di
Kelurahan
Hamdan.
3
Nama
Usia
Pekerjaan
Keluarga
:
:
:
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Kemasyarakatan
:
Budi
33
tahun
Teknisi
elektronik
Suami
dengan
2
orang
anak;
tinggal
serumah
dengan
orangtua.
BKM/relawan
Tokoh
kepemudaan
4
Nama
Usia
Pekerjaan
Keluarga
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Kemasyarakatan
:
2
:
:
:
:
Zulfikar
42
tahun
Serabutan
(pedagang,
LSM,
dsb.)
Menikah,
memiliki
5
orang
anak;
tinggal
serumah
dengan
orangtua.
Ketua
BKM/relawan
Tokoh
di
lingkungannya
5
Nama
Usia
Pekerjaan
Keluarga
:
:
:
:
Chandra
26
tahun
Menganggur
(lulusan
SMU)
Bujangan,
anak
sulung
(2
bersaudara);
tinggal
serumah
dengan
ibu
(janda)
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Kemasyarakatan
:
BKM/relawan
(wakil
Budi)
Kegiatan
kepemudaan
dan
pengurus
masjid
6
Nama
Usia
Pekerjaan
:
:
:
Keluarga
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
Kemasyarakatan
:
:
:
Erwin
32
tahun
Serabutan
(tukang
becak
motor,
penjaga
rumah
warung,
dll)
Menikah,
memiliki
2
orang
anak;
Tinggal
serumah
dengan
orangtua
BKM/relawan
Kegiatan
kepemudaan
setempat
7
Nama
Usia
Pekerjaan
Keluarga
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
Kemasyarakatan
:
:
:
:
:
:
Sumarwan
(alias
Wawan)
32
tahun
Tukang
becak
motor
Menikah,
memiliki
2
orang
anak;
Tinggal
serumah
dengan
orangtua
UP/relawan
Kegiatan
kepemudaan
setempat
A
8‐9
B
KODE
A:
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
:
:
:
:
:
Fatma
56
tahun
Jl.
Multatuli
No.132
(lingkungan
4)
Ibu
rumah
tangga
Menikah,
memiliki
3
orang
anak;
2
cucu
Pengecoran
jalan
dan
pembuatan
saluran
air
di
depan
rumah.
KODE
B:
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
:
:
:
:
:
Ngatini
41
tahun
Jl.
Multatuli
No.71
(lingkungan
4)
Ibu
rumah
tangga
Menikah,
memiliki
2
orang
anak
Pengecoran
jalan
dan
pembuatan
saluran
air
di
depan
rumah.
10
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
:
:
:
:
:
Deti
33
tahun
Jl.
Multatuli
No.130
(lingkungan
4)
Pedagang
gorengan
di
depan
rumah
Menikah,
memiliki
4
orang
anak;
Pengecoran
jalan
dan
penerima
dana
bantuan
bergulir.
:
:
:
:
:
:
Riswani
(alias
Mak
We’)
64
tahun
Jl.
Multatuli
No.130
(lingkungan
4)
Pedagang,
warung
minuman
keras
(bir)
Menikah
(janda),
memiliki
6
orang
anak;
dan
14
cucu
Pengecoran
jalan
dan
penerima
dana
bantuan
bergulir.
11
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
12‐13
A
B
KODE
A:
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
:
:
:
:
:
Ibu
Aray
49
tahun
Jl.
Teratai
Pasiran
(lingkungan
9)
Ibu
rumah
tangga/tukang
cuci
pakaian
Menikah,
memiliki
4
orang
anak
Pengecoran
jalan
dan
pembuatan
saluran
air
di
sekitar
lingkungan.
:
:
:
:
:
:
Simla
18
tahun
Jl.
Teratai
Pasiran
(lingkungan
9)
Putus
sekolah
(SMP)
karena
tidak
mampu/tukang
cuci
pakaian
Anak
ke‐3
dari
6
bersaudara;
ibu
sudah
meninggal.
Pengecoran
jalan
dan
pembuatan
saluran
air
di
sekitar
lingkungan.
KODE
B:
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
14
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
:
:
:
:
:
Animal
(alias
ibu
Butet
Sayur)
54
tahun
Jl.
Teratai
Pasiran
No.15
(lingkungan
9)
Pedagang
sayur,
dorong
gerobak
Menikah,
memiliki
4
orang
anak;
Pengecoran
jalan
dan
pembuatan
bak
sampah
umum.
15
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
:
:
:
:
:
Hengky
29
tahun
Jl.
Teratai
Pasiran
No.15
(lingkungan
9)
Pedagang,
warung
rokok
Belum
menikah,
tinggal
dengan
orangtua
(anak
ibu
Butet
Sayur).
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Pengecoran
jalan
dan
pembuatan
bak
sampah
umum.
Daftar
Informan
Kandangan
1.
Nama
:
Sutrisno
Usia
:
56
tahun
Alamat
:
Jl.
Hibrida
Raya
No.
8,
Kelurahan
Sido
Mulyo.
Pekerjaan
:
Lurah
Kandangan
Tim
peneliti
(Atick
&
Yophie)
Keluarga
:
Menikah
(5
anak
&
7
cucu)
bersama
staf
kelurahan
kandangan,
Pendidikan
terakhir
:
SMA
yang
memberikan
informasi
penelitian
ketika
Lurah
sedang
tidak
ada
di
tempat.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Nama
:
Pairan
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Team
Leader
KMW
Surabaya
&
Pasuruan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Syahrir
Rahim
Usia
:
52
tahun
Alamat
:
Jl.
Tengger
Kandangan,
RW
05
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Bambang
Putoyo
Usia
:
51
tahun
Alamat
:
Tengger
Kandangan
Timur
IV/15
Pekerjaan
:
Guru
STM
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Purnomo
Usia
:
47
tahun
Alamat
:
Tengger
Kandangan
Timur
V/2A
Pekerjaan
:
Swasta
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Subroto
Usia
:
36
tahun
Alamat
:
Tengger
Rejomulyo
II/RT
IV
Pekerjaan
:
Swasta
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Heru
S
Usia
:
57
tahun
Alamat
:
Tengger
Kandangan
XIII/10
8.
9.
10.
Pekerjaan
:
Swasta‐Pensiunan
TNI
Keluarga
:
Menikah
(3
anak
&
2
cucu)
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Maksum
Usia
:
52
tahun
Alamat
:
Kandangan
RT
03/RW
01
Pekerjaan
:
Swasta
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Agus
Budijanto
Usia
:
55
tahun
Alamat
:
Tengger
Kandangan
XX/15
Pekerjaan
:
Swasta
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Mudjiati
Usia
:
39
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Wiraswasta
(buka
warung
rumahan)
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Suparto
Usia
:
53
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Serabutan
(gali
sumur,
pasang
lampu,
dsb)
Keluarga
:
Menikah
(3
anak
&
2
cucu)
Pendidikan
terakhir
:
11.
Nama
:
M.
Wajib
Usia
:
46
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Wiraswasta
(perbengkelan)
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
12.
Nama
:
M.
Fauzi
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Karyawan
swasta
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
13.
Nama
:
Tri
Wahyudi
Usia
:
41
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
TNI
AL
(instruktur)
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
14.
Nama
:
Iwan
Sujana
Sahudi
Usia
:
42
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Wiraswasta
(pedagang)
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
15,
Nama
:
M.
Yusuf
alias
Yusuf
Usia
:
40
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Guru
SD
Swasta
di
Gersik
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
16.
17.
18.
Nama
:
Suliyah
(istri
Yusuf)
Usia
:
41
tahun
Alamat
:
Tengger
Raya
(Kaplingan)
No.11
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Istri
relawan
dan
dana
yang
tidak
turun
Nama
:
Ibu
Suwarno
Usia
:
53
tahun
Alamat
:
Tengger
Kandangan
XXII/1
Pekerjaan
:
Wiraswasta
(catering)
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Pembuatan
tegalan
selokan
pusat
Nama
:
Mujisutono
Usia
:
52
tahun
Alamat
:
Tengger
Raya
III/26
Pekerjaan
:
Pimpinan
tarekat
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Kemasyarakatan
:
Tokoh
utama
“warga
asli”
Pimpinan
keagamaan
“warga
asli”
19.
20.
Nama
:
Tiono
Usia
:
59
tahun
Alamat
:
Tengger
Raya
Pekerjaan
:
Penjual
bensin
eceran
&
bibit
kangkung
Keluarga
:
Menikah
(1
anak
&
1
cucu)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Pembetonan
selokan
di
depan
rumah
21.
Nama
:
Mat
Ra’i
Usia
:
86
tahun
Alamat
:
Gang
I
Kandangan
No.15
Pekerjaan
:
Petugas
kebersihan
kotapraja
(pensiun)
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
‐
22.
23.
24.
Nama
:
Ibu
Budi
Usia
:
38
tahun
Alamat
:
Tengger
Kandangan
no.17
Pekerjaan
:
Penjual
kue
bantuan
PNPM
M
Keluarga
:
Janda
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Bantuan
membuat
warung
kue
Nama
:
Witani
Usia
:
38
tahun
Alamat
:
Kandangan,
Gang
I/D8
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Tidak
terkena
dampak
karena
“warga
kos‐kosan”
Nama
:
Dewi
Usia
:
32
tahun
Alamat
:
Kandangan,
Gang
I
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Tidak
terkena
dampak
karena
“warga
kos‐kosan”
Daftar
Informan
Karang
Berombak
Nama
:
Edwin
Faisal
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Lurah
Karang
Berombak
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
1.
Nama
:
Harun
Usia
:
41
tahun
Alamat
:
Lingkungan
XVII
Pekerjaan
:
Karyawan
Hotel
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
STM
2.
Nama
:
Suyoto
Usia
:
67
tahun
Alamat
:
Lingkungan
VI
Pekerjaan
:
Pensiunan,
UKM
travel
bag
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMP
3.
Nama
:
Rosmala
Dewi
Nasution
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Senior
Faskel
Tim
IX
Medan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
4.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
:
Jamun
:
72
tahun
:
Lingkungan
XVII
:
Pengrajin
Sepatu
:
Menikah,
memiliki
2
orang
anak
yang
keduanya
sudah
berkeluarga
Pendidikan
terakhir
:
5.
Nama
Usia
Alamat
6.
:
Mbah
Painem
:
85
tahun
:
Jl.
Karya
Lingk.
II
Gg.
Karangsari
Pekerjaan
:
IRT/
RTM
penerima
manfaat
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Tidak
sekolah,
tahu
baca
tulis
Nama
:
Hj.
Supriyatin
Usia
:
Alamat
:
Lingkungan
XVII
Pekerjaan
:
Kepling
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
7.
Nama
:
Suryaningsih
Usia
:
40
tahun
Alamat
:
Lingkungan
XVII
Pekerjaan
:
IRT/Sekretariat
BKM
Rose
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMP
8.
Nama
:
Rita
Wati
(Butet)
Usia
:
38
tahun
Alamat
:
Jl.
Sekat
Lingk.
XII
Pekerjaan
:
IRT/Relawan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMP
9.
Nama
:
Musiem
Usia
:
56
tahun
Alamat
:
Jl.
Karya
No.
34
Pekerjaan
:
IRT/Relawan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMP
10.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
11.
:
Mbah
Rikem
:
83
tahun
:
Jl.
Karya
Lingk.
II
:
IRT/RTM
penerima
manfaat
:
Menikah,
memiliki
8
orang
anak,
2
diantaranya
sudah
meninggal
dan
yang
5
orang
masih
tinggal
bersama
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Evi
Susilawati
Usia
:
34
tahun
Alamat
:
Jl.
Karya
Lingk.
II
No.
41
Pekerjaan
:
Pedagang/Relawan
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMA
12.
Nama
:
Asdar
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Team
Leader
KMW
Medan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
13.
Nama
:
Permadi
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Pemanas
KMW
Medan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
14.
Nama
:
Prihatini
Daely
Usia
:
38
tahun
Alamat
:
Jl.
Karya
Lingk.
VIII
No.
14
Pekerjaan
:
IRT/Relawan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMP
15.
Nama
:
Sumarni
Usia
:
38
tahun
Alamat
:
Lingk.
XIX
Pekerjaan
:
IRT/Relawan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMP
16.
Nama
:
Masdalipah
Nasution
Usia
:
64
tahun
Alamat
:
Lingk.
XII
Pekerjaan
:
IRT/Relawan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SR
17.
Daftar
Informan
Karangpoh
Nama
:
H.
Maeru,
S.H.
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Lurah
Karangpoh
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
1.
2.
Nama
:
Drs.
Pairan,
M.Si.
Usia
:
46
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Team
Leader
KMW
VII
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Magister
Sains
Nama
:
Abdus
Salam
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Korkot
Surabaya
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
3.
4.
Nama
Usia
:
H.
Nawawi
:
58
tahun,
lahir
di
Palembang,
tinggal
di
Karangpoh
sejak
1973
Alamat
:
Pekerjaan
:
Pensiunan
BUMN
(Pusri)
Keluarga
:
Menikah,
Memiliki
3
anak
dan
2
cucu
Pendidikan
terakhir
:
S1
Kemasyarakatan
:
Sejak
tahun
80an,
telah
aktif
di
lingkungan
Kelurahan
Karang
Poh
sebagai
bendahara,
sekretaris,
atau
pengurus
organisasi
tingkat
kampung,
RT,
dan
sampai
sekarang
masih
menjabat
sebagai
Ketua
RW.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
5.
:
Wiwid
Lestari,
S.E.
:
30
tahun
:
Balongsari
Madya
7G/12
:
Guru
di
SMK
Tanwir,
memberikan
les
di
rumah,
menjabat
Ketua
PAUD
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
1
anak,
suami
kerja
di
PT.
Djarum
Pendidikan
terakhir
:
S1
Akuntansi
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
:
Suminah
:
54
tahun
:
Balongsari
Madya
7G/12
:
Ibu
Rumah
Tangga,
usaha
rumah
makan
Keluarga
:
Memiliki
anak
5,
3
diantaranya
sudah
sarjana
(teknik,
akuntansi,
Sastra
Jepang)
dan
2
lagi
masih
mahasiswa.
Suaminya
seorang
pensiunan
pegawai
pos.
Sudah
memiliki
cucu
2
orang.
Pendidikan
terakhir
:
SD
6.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
7.
:
Trisyani
:
50
tahun
:
:
Ibu
Rumah
Tangga
:
Menikah,
memiliki
anak
4,
suami
bekerja
di
PT.
Sarana
Kimia
(perusahaan
farmasi)
Pendidikan
terakhir
:
Bc.Kn
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
:
Titik
Mariati
:
49
tahun
:
:
Seorang
(PNS)
guru
TK
di
Kelurahan
Tandes
Lor,
Kec.
Tandes
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
3
orang
anak
dan
1
orang
cucu
Pendidikan
terakhir
:
S1
8.
Nama
:
Darma
Yanti
Usia
:
38
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Ibu
Rumah
Tangga
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
3
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
SMA
9.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
10.
:
Suprapto
:
55
tahun
:
Balongsari
Madya
7G/12
:
Pensiunan
PNS
:
Menikah,
memiliki
3
orang
anak
dan
3
orang
cucu
Pendidikan
terakhir
:
S1
Kemasyarakatan
:
KNPI,
PGRI,
Ketua
LKMP,
salah
satu
dari
cikal
bakalnya
Karang
Poh
dan
pernah
menjabat
sebagai
ketua
RW
selama
10
tahun,
yakni
pertama
Ketua
RT
3
dan
4
di
Perumnas,
dan
kedua
di
RT
1
dan
4
(Karang
Poh)
Nama
:
Maslan
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Swasta
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
11.
12.
Nama
Usia
Alamat
:
Suwarno
:
:
Karangpoh
Indah
Barat,
Gg.
III
RW
1
Pekerjaan
:
Kontraktor
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
3
orang
anak
dari
isteri
I
(meninggal)
dan
2
orang
anak
dari
isteri
II.
Pendidikan
terakhir
:
S1
Kemasyarakatan
:
Selama
ini
telah
aktif
terlibat
sebagai
seksi
pembangunan
masjid
dan
kampung
Nama
:
Suparmin
Usia
:
40
tahun
Alamat
:
Balongsarimadya
7H/18
Pekerjaan
:
Swasta
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
3
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
SLTA
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
6
RW
2
13.
Nama
Usia
Alamat
:
Bu
Munasim
:
59
tahun
:
RW
1
RT
7
Karangpoh
Indah
Barat
Pekerjaan
:
Ibu
Rumah
Tangga
dan
usaha
warung
makan
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
2
orang
anak
dan
5
orang
cucu
Pendidikan
terakhir
:
14.
Nama
Usia
Alamat
:
Mulyani
:
40
tahun
:
RT
3
RW
1
Karangpoh
Indah
Barat
Pekerjaan
:
Ibu
Rumah
Tangga
dan
usaha
warung
makan
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
2
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
15.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
16.
:
Om
Mark,
Mas
Aji,
Mbak
Siti
:
:
Gg.
III
RW
1
(warga
kos‐kosan)
:
Om
Mark
bekerja
sebagai
pedagang
bakso
dan
bebek
goreng.
Mas
Aji
dan
Mbak
Siti
(suami‐ isteri)
adalah
karyawan
pabrik
:
Menikah
Keluarga
Pendidikan
terakhir
:
17.
Nama
:
Bu
Eny
dan
Suami
Usia
:
Alamat
:
Balongsari
(warga
kos‐kosan)
Pekerjaan
:
Karyawan
Pabrik
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Kasminten
Usia
:
29
tahun
Alamat
:
RT
2/RW
1
(warga
kos‐kosan)
Pekerjaan
:
Pedagang
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
18.
Nama
:
Nurul
Usia
:
Alamat
:
RT
7/RW
1
(warga
kos‐kosan)
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
19.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
20.
21.
22.
23.
:
Teguh
Eko
Yuwono
:
45
tahun
:
Balongsari
Madya
7D/12
:
Swasta
(perusahaan
konstruksi
baja)
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
2
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
SLTA
Kemasyarakatan
:
Di
Karangpoh
biasanya
berperan
menjadi
sekretaris,
mulai
dari
sekretaris
musholla,
lingkungan,
BKM,
dll.
Nama
:
Rohasiningsih
Usia
:
42
tahun
Alamat
:
Karangpoh
4/8
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
2
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
SLTP
Kemasyarakatan
:
Sebagai
mantan
paramedis
di
RS
Sadono,
ia
aktif
di
Posyandu,
PAUD,
Kader
PKK,
dan
kegiatan
sosial
di
Karang
Poh
yang
terkait
dengan
kesehatan.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
:
Abdul
Hamid
:
60
tahun
:
Balongsari
Madya
7J/11
:
Pensiunan
:
Menikah,
memiliki
6
orang
anak
dan
5
orang
cucu
Pendidikan
terakhir
:
S1
Kemasyarakatan
:
Saat
ini
menjabat
sebagai
wakil
ketua
RW
2.
Kegiatan
sehari‐hari
sebagai
pensiunan
lebih
banyak
untuk
kegiatan
sosial
dan
momong
cucu.
Nama
:
Supraptono
Usia
:
58
tahun
Alamat
:
Balongsari
Madya
7G/30
Pekerjaan
:
Pensiunan
Dinas
Perhubungan
(Kepala
Terminal
Tambakosa)
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
1
anak
dan
2
cucu
Pendidikan
terakhir
:
SLTA
Kemasyarakatan
:
Tinggal
di
Karang
Poh
sejak
1980.
Saat
ini
aktif
sebagai
staff
RW
dan
musholla.
Nama
:
H.
Affandi
Usia
:
47
tahun
Alamat
:
Karangpoh
Indah
Barat
I/16
Pekerjaan
:
Karyawan
Pabrik
Kain
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
2
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
SLTP
Kemasyarakatan
:
Lahir
di
Pasuruan
dan
sejak
1990
pindah
ke
Karang
Poh.
Saat
ini
menjabat
sebagai
Ketua
RT
07
RW
1.
Anak
2.
24.
25.
26.
Nama
:
Erni
Purwanti
Usia
:
28
tahun
Alamat
:
Balongsari
Madya
7
I/8
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah,
belum
memiliki
anak
Pendidikan
terakhir
:
SMP
Nama
:
Endang
Sumarni
Usia
:
30
tahun
Alamat
:
Balongsari
Madya
7E/4
Pekerjaan
:
IRT,
pernah
bekerja
selama
5
tahun.
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
1
orang
anak
Pendidikan
terakhir
:
S1
Kemasyarakatan
:
aktif
di
PKK
Daftar
Informan
Kebun
Dahri
Nama
:
Syafaruddin
Usia
:
56
tahun
Alamat
:
Jl.
Hibrida
Raya
No.
8,
Kelurahan
Sido
Mulyo
Pekerjaan
:
Lurah
Kebun
Dahri
Keluarga
:
Menikah
(5
anak
&
7
cucu)
Pendidikan
terakhir
:
SMA
1.
2.
3.
4.
Hermawansyah
dan
salah
satu
anaknya
Nama
:
Anang
Usia
:
‐
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Tim
Leader
KMW
VII‐Prop.
Bengkulu
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Team
Leader
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Marzuki
Rahman
Usia
:
54
tahun
Alamat
:
Jl.
Al
Furqon,
No.74,
RW
1
Pekerjaan
:
Staf
kelurahan
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Staf
keuangan
Kemasyarakatan
:
Tokoh
masyarakat
&
ketua
RT
Nama
:
Hermawansyah
Usia
:
39
tahun
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Petugas
keamanan
lingkungan
Keluarga
:
Menikah
(6
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan/unit
pengelola
lingkungan
(UPL)
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT,
wakil
ketua
adat,
TKSM
(tenaga
kerja
sosial
masyarakat),
ketua
karang
taruna),
kelurahan
Yassin
&
Tahlil
5.
6.
7.
8.
9.
Nama
:
Zainir
SP
Usia
:
38
tahun
Alamat
:
Jl.
Al
Furqon,
No.65,
RT
05,
RW
1
Pekerjaan
:
PTT
(penyuluh)
Kabupaten
Seluma.
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/Relawan
Kemasyarakatan
:
Kader
Muhammasdyah,
ketua
PSS
&
KPPS
Nama
:
Evi
Susanti
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
Jl.
Pekerjaan
:
Bina
Swadaya
Nasional,
Bagian
Pemberdayaan
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPK
Kemasyarakatan
:
Aktif
dalam
kegiatan
kemasyarakatan
Nama
:
Rosnali
Usia
:
41
tahun
Alamat
:
Jl.
Al
Furqon,
No.64,
RT
05,
RW
1
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/relawan
Kemasyarakatan
:
PKK
Nama
:
Husni
Zulkarnaen
Usia
:
40
tahun
Alamat
:
Jl.
Kebun
Dahri,
No.33,
RT
03,
RW
1
Pekerjaan
:
Serabutan
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/relawan
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
03.
Nama
:
Hendra
Usia
:
46
tahun
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Pedagang
kue
–
kaki
lima
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/relawan
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
06.
Nama
:
Umar
Usman
Usia
:
54
tahun
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Pedagang
pempek
–
kaki
lima
Keluarga
:
Menikah
(4
anak
&
5
cucu)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/relawan
Kemasyarakatan
:
Tokoh
masyarakat
10.
Nama
:
Jamila
Usia
:
28
tahun
Alamat
:
Jl.
Kebun
Bungsu,
No.47C
(RW
03)
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Pembuatan
MCK.
11.
12.
13.
14.
Nama
:
Ali
Akbar
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Wiraswasta
(dagang
pakaian
olahraga,
dagang
mainan,
dsb).
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Penutupan
siring
(selokan).
Kemasyarakatan
:
Sekertaris
masjid
Assalamah;
Sekertaris
Suka
Duka
–
Satuan
Kematian.
Nama
:
Resi
Usia
:
36
tahun
Alamat
:
Jl.
Kebun
Bungsu,
No.45C
(RW
03)
Pekerjaan
:
Dagang
warungan
(warung
di
rumah)
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Pengecoran
jalan
&
Pembuatan
MCK.
Nama
:
Melda
Usia
:
23
tahun
Alamat
:
Jl.
Kebun
Bungsu,
No.14C
(RW
03)
Pekerjaan
:
Pedagang
sayur
di
pasar
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Penutupan
siring
(selokan)
Kelompok
kepemudaan
setempat
(RW
03);
IPKB
(Ikatan
Pemuda
Kebun
Bungsu).
15.
Daftar
Informan
Kebun
Geran
Nama
:
Rusdi
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Lurah
Kebun
Geran
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
1.
Nama
:
Komarudin
Usia
:
39
tahun
Alamat
:
RT
09
Kb.
Geran
Pekerjaan
:
Tukang
Ojeg/Koord
BKM
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMA
Organisasi
:
Aktif
di
PTMSI
(Persatuan
Tenis
Meja
Seluruh
Indonesia)
Nama
:
Suryadi
(Dede)
Usia
:
33
tahun
Alamat
:
RT
09
Kb.
Geran
Pekerjaan
:
Buruh
Harian/Ojeg
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMP
Organisasi
:
tergabung
dalam
KKR
(Kerukunan
Kesenian
Rakyat)
dalam
bentuk
ikan‐ikanan,
karang
telong,
dan
tabot
2.
3.
Nama
:
Irmawanto
Usia
:
41
tahun
Alamat
:
RT
09
Kb.
Geran
Pekerjaan
:
Ojeg/Pedagang
Burung
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
2
anak
Pendidikan
terakhir
:
SLTA
4.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
:
I’in
:
34
tahun
:
:
Serabutan,
bantu
masak/bantu
cuci
Keluarga
:
Janda,
1
anak
Pendidikan
terakhir
:
5.
6.
Nama
:
Jusniharnetti
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
RT
08
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah,
suami
TNI
Pendidikan
terakhir
:
SLTA
Organisasi
:
Sebagai
anak
Ketua
RT
dituntut
untuk
bisa
memberi
contoh
Nama
:
Aminah
(Ibu
Gadis)
Usia
:
52
tahun
Alamat
:
RT
05
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Janda
Pendidikan
terakhir
:
7.
Nama
:
Sarifah
Usia
:
64
tahun
Alamat
:
RT
06
Pekerjaan
:
Buruh
Cuci
Keluarga
:
Janda,
8
anak,
20
cucu
Pendidikan
terakhir
:
8.
9.
10.
Nama
:
Nur
Insyana
(Inga)
Usia
:
44
tahun
Alamat
:
Jl.
Andalas
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah,
memiliki
2
anak
Pendidikan
terakhir
:
Organisasi
:
Kegiatan
sosial
adalah
hobbinya.
Sebelum
menjadi
sekretariat
BKM,
Inga
sudah
aktif
di
kegiatan
lain
seperti
PKK,
Posyandu,
dan
BKMT
(Badan
Kesejahteraan
Majelis
Taklim)
sebagai
bendahara
Nama
:
Darmawi
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Pedagang
ayam
potong
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Organisasi
:
sebelum
menjadi
relawan
P2KP,
Darmawi
pernah
merintis
kegiatan
di
PDMDKE
dan
USPAE.
Di
P2KP
tidak
bisa
intent
karena
kesibukan
usahanya,
tetapi
dia
banyak
membantu
secara
material
Nama
:
Dahlan
Usia
:
53
tahun
Alamat
:
RT
06,
Jl.
Andalas
Pekerjaan
:
Penjual
daging/Ketua
RT
06
Keluarga
:
Menikah,
4
anak,
3
cucu
Pendidikan
terakhir
:
11.
12.
13.
Nama
:
Devi
Trisno
Usia
:
43
tahun
Alamat
:
Jl.
Cendrawasih
RT
09
Pekerjaan
:
PNS
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
Organisasi
:
Sejak
sekolah
aktif
di
Pramuka,
kemudian
terlibat
dalam
KKR.
Di
kantornya
dia
adalah
pramuwisata
Provinsi
Bengkulu.
Dia
aktif
juga
dalam
komunitas
ORARI.
Di
kelurahan
dia
juga
menjabat
sebagai
Ketua
Kerukunan
Kematian
Nama
:
Ahmad
Hartono
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
RT
08
Pekerjaan
:
Buruh
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMA
Organisasi
:
Aktif
di
POBSI
(Persatuan
Olahraga
Billiard
Seluruh
Indonesia)
sebagai
koordinator
wasit.
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Keluarga
14.
:
Salim
:
55
tahun
:
:
Ketua
RT
05
:
Menikah,
memiliki
3
orang
anak
dan
8
cucu
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Juhariah
Usia
:
31
tahun
Alamat
:
RT
09
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
anak
2
Pendidikan
terakhir
:
SMP
15.
16.
Nama
:
Kurnia
Apriliyanto
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Korkot
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Anang
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
TL
KMW
Bengkulu
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
17.
Nama
:
Fery
Murtiningrum
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
SF
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
18.
19.
20.
Nama
:
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Ass.
Korkot
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Nurbani
Usia
:
36
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
UPK
sejak
Oktober
2008
Keluarga
:
Menikah,
6
anak
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Nuri
Usia
:
25
tahun
Alamat
:
RT
03
Pekerjaan
:
Ass.
Korkot
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMK
21.
Nama
:
Nanun
Asmawati
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
RT
08
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah,
2
anak
Pendidikan
terakhir
:
SLTA
22.
Nama
:
Dina
Usia
:
40
tahun
Alamat
:
Jl.
Cendrawasih
RT
09
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SLTA
Organisasi
:
Aktif
di
PKK
23.
24.
Nama
:
Eti
Bambang
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Daftar
Informan
Kepel
Nama
:
M.
Catur
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Lurah
Kepel
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
1.
2.
Nama
:
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
/Koord
BKM
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Sa’i
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Petani
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
3.
Nama
:
Ridwan
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Petani
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
4.
Nama
:
Muji
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Petani
Penggarap
Tambak
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
5.
6.
Daftar
Informan
Limba
B
Nama
:
M.
Kurniawan
Usia
:
‐
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Lurah
Limba
B
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
1.
2.
3.
4.
5.
Nama
:
Idris
Khali
Usia
:
56
tahun
Alamat
:
RT
03/Rw
08
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Menikah
(2
anak,
3
cucu)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Koordinator
BKM
Kemasyarakatan
:
Ketua
RW
08
Nama
:
Ulfa
Djibran
Usia
:
41
tahun
Alamat
:
RT
02/Rw
05
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(4
anak,
1
cucu)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM
Kemasyarakatan
:
Sekertaris
RT
Nama
:
Ahmad
Mulane
Usia
:
37
tahun
Alamat
:
RT
02/Rw
07
Pekerjaan
:
PNS
dan
ustadz
(penceramah
agama
Islam)
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
01/RW
08
Nama
:
Nelly
Bau
Usia
:
42
tahun
Alamat
:
RT
05/Rw
03
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
05/RW
03
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Nama
:
Hasni
Gani
Usia
:
44
tahun
Alamat
:
RT
02/Rw
07
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Janda
tdk
cerai
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPK
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
02/RW
07,
kader
Posyandu
Nama
:
Adeline
Abd.
Kadir
(alias
Cik
Adi)
Usia
:
58
tahun
Alamat
:
Jl.
Teuku
Umar
No.24
RW
01
Pekerjaan
:
Staf
kelurahan
Keluarga
:
Janda
tdk
memiliki
anak
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan;
mantan
anggota
BKM
Kemasyarakatan
:
Ketua
RW
01
Nama
:
Faruk
Abdul
Usia
:
56
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
03
Pekerjaan
:
Pensiunan
Inspektorat
Gorontalo
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
P2KP
sejak
thn
2007
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
02/RW
03
Nama
:
Rahamt
Abay
Usia
:
42
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
02
Pekerjaan
:
Usaha
jahit
gorden
Keluarga
:
Menikahblm
memiliki
anak
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Soniwati
Ibrahim
Usia
:
41
tahun
Alamat
:
RT
03/RW
08
Pekerjaan
:
Usaha
warung
rumahan
Keluarga
:
Menikah
(1
anak,
1
cucu)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Sekertariat
BKM
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
03/RW
08
Nama
:
Sukarto
P.
Usia
:
42
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
04
Pekerjaan
:
Staff
Kelurahan
12.
13.
14.
15.
16.
Keluarga
:
Belum
menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM
Kemasyarakatan
:
Ketua
LPM
Nama
:
Faruk
Abdul
Usia
:
56
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
03
Pekerjaan
:
Pensiunan
Inspektorat
Gorontalo
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
P2KP
sejak
thn
2007
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
02/RW
03
Nama
:
Iwan
Arief
Usia
:
37
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
07
Pekerjaan
:
Wiraswasta
mebel
(pintu,
kusen,
jendela)
Keluarga
:
‐
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
02/RW
07
Nama
:
Sudirman
Abd.
Kadir
Usia
:
56
tahun
Alamat
:
RT
03/RW
02
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
sejak
awal
adanya
P2KP
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
03/RW
02
Nama
:
Udin
Panu
Usia
:
59
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
02
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
P2KP
sejak
thn
2007
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
02/RW
02
Nama
:
Abdullah
(suami
dari
sekertariat
BKM)
Usia
:
44
tahun
Alamat
:
RT
03/RW
08
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
P2KP
sejak
thn
2005
17.
18.
19.
20.
21.
Kemasyarakatan
:
Suami
Ibu
RT
(Soniwati)
Nama
:
Ibnu
Abdul
Usia
:
44
tahun
Alamat
:
RT
05/RW
01
Pekerjaan
:
Swasta
Keluarga
:
Belum
menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
M.
Dhani
(alias
Mato;
suami
Ulfa)
Usia
:
41
tahun
Alamat
:
RT
05/RW
02
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
KSM
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Lukson
Tindow
Usia
:
54
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
05
Pekerjaan
:
Pemda
Biro
Pembangunan
&
Ekonomi
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
&
mantan
pengurus
BKM
Kemasyarakatan
:
Ketua
RW
05
Nama
:
Belinda
Ndui
Usia
:
54
tahun
Alamat
:
Jl.
Imam
Bonjol
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
Ketua
RW
05
Nama
:
Faria
alias
Nona
Usia
:
33
tahun
Alamat
:
Jl.
Panigoro,
Lingkungan
II
Pekerjaan
:
Buka
usaha
warung
rumahan
Keluarga
:
Janda
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Dampak
PNPM
MP
:
Bantuan
dana
bergulir
Kemasyarakatan
:
‐
22.
23.
24.
25.
26.
Nama
:
Hia
Paneo
Usia
:
58
tahun
Alamat
:
Jl.
KH.
Ahmad
Dahlan
RW
01
Pekerjaan
:
Pemulung
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
MP
:
Dijanjikan
dana
bantuan
bergulir
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Hamid
Abdullah
Usia
:
30
tahun
Alamat
:
KH.
Ahmad
Dahlan
Pekerjaan
:
Jasa
Bentor
(milik
kakak)
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
M
:
Tidak
pernah
dilibatkan
dalam
kegiatan
kerelawanan
P2KP
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Nurlina
Oame
Usia
:
25
tahun
Alamat
:
KH.
Ahmad
Dahlan
Pekerjaan
:
Penjual
kacang
goreng
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
M
:
Tidak
dilibatkan
dalam
kegiatan
kerelawanan
P2KP
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Kusnomo
Usia
:
32
tahun
Alamat
:
RW
05
(1
rumah
4
RT)
Pekerjaan
:
Karyawan
honorer
rumah
sakit
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
M
:
Tidak
mau
dilibatkan
dalam
kegiatan
kerelawanan
P2KP
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Oman
Usia
:
33
tahun
Alamat
:
1
rumah
dengan
Kusnomo
Pekerjaan
:
Jasa
Bentor
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
M
:
Tidak
mau
dilibatkan
dalam
kegiatan
kerelawanan
P2KP
Kemasyarakatan
:
‐
27.
28.
29.
Nama
:
Selvi
Maluto
Usia
:
31
tahun
Alamat
:
RW
04
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
M
:
Kecewa
dengan
kinerja
BKM
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Reti
Muslim
Usia
:
37
tahun
Alamat
:
RW
04
Pekerjaan
:
Cuci
baju
tetangga
Keluarga
:
Janda(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
M
:
Tidak
terkena
dampak
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Rina
Ismail
Usia
:
23
tahun
Alamat
:
RW
04
Pekerjaan
:
Buruh
kupas
bawang
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
Program
PNPM
M
:
Kecewa
dengan
kinerja
BKM
Kemasyarakatan
:
‐
Daftar
Informan
Limba
U
Dua
Nama
:
Mutakhim
Adam,
S.Sos.
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Lurah
Limba
U
Dua
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
1.
2.
Nama
:
Jamaludin
Usia
:
47
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Ustadz/Koord
BKM
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SLA
Nama
:
Usman
Abdul
Usia
:
tahun
Alamat
:
55
tahun
Pekerjaan
:
Pegawai
honorer
kelurahan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SD
3.
Nama
:
Ise
Malanoa
Usia
:
70
tahun
Alamat
:
Komplek
Pasar
Keramat
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
4.
Nama
:
Sari
Malanoa
Usia
:
50
tahun
Alamat
:
Komplek
Pasar
Keramat
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
5.
Nama
:
Masni
Rahmad
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
6.
7.
Nama
:
Usia
:
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Kel.
Rahmad
Muhammad
Usia
:
30
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
8.
Nama
:
Ishak
Daniel
Usia
:
43
tahun
Alamat
:
RT
04/RW
01
Pekerjaan
:
Petani/Ketua
RT
Keluarga
:
Menikah
(Duda)
Pendidikan
terakhir
:
9.
Nama
:
Ernawati
Ibrahim
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
Jl.
Sari
Bungo
RW
05
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
SMP
kelas
2
10.
Nama
:
Ekayanti
Katili
Usia
:
40
tahun
Alamat
:
Jl.
K.H.
Agus
Salim
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
12.
13.
14.
Nama
:
Maharani
Mapangga
(a)
Usia
:
45
tahun
Alamat
:
Jl.
Raden
Saleh
RT
04/RW
04
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
SMP
Nama
:
Doddy
(b)
Usia
:
39
tahun
Alamat
:
RT
01/RW
03
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
SMA
Nama
:
Hasna
Yunus
Usia
:
54
tahun
Alamat
:
Jl.
Patimura
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Janda
Pendidikan
terakhir
:
SLA
Nama
:
Agustina
Fransisca
Sirait
Usia
:
33
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SLA
15.
16.
Nama
:
Ramlah
Latala
Usia
:
42
tahun
Alamat
:
Jl.
K.H.
Agus
Salim
Pekerjaan
:
Staf
Kelurahan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SLTA
17.
Nama
:
Dirham
Hala
Usia
:
57
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SLA
18.
Nama
:
Ali
Akbar
Usia
:
28
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Staf
Dinas
Sosial
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMEA
19.
20.
Nama
:
Savinda
Aswad
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
Jl.
Jaksa
Agung
Suprapto
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
MA
Nama
:
Ninto
Kairupan
Usia
:
38
tahun
Alamat
:
Jl.
K.H.
Agus
Salim
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
D3
Daftar
Informan
Maccini
Nama
:
H.
Rahman
Usia
:
41
tahun
Alamat
:
BPH.
Sultan
Alaudin
Pekerjaan
:
Lurah
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
1.
2.
3.
4.
5.
Nama
:
H.
Dkjamaluddin
Awing
Usia
:
63
tahun
Alamat
:
Jl.
Urip
Sumoharjo
Pekerjaan
:
Pensiunan
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Koordinator
BKM
Kemasyarakatan
:
Muhammadiyah,
mantan
ketua
RW
selama
20
tahun
Nama
:
Buddin
Usia
:
69
tahun
Alamat
:
Jl.
Maccini
Pasar
Malam
III
Pekerjaan
:
Pedagang
warungan
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM
Kemasyarakatan
:
Muhammadiyah,
HMI,
Pengurus
Masjid
Nama
:
Achmad
Hatuna
Usia
:
58
tahun
Alamat
:
Jl.
Urip
S.
Harjo
230
Pekerjaan
:
Penjaga
sekolah
SD
Maccini
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPK/UPE
Kemasyarakatan
:
P3I
Anshor
Nama
:
Djawahir
Usia
:
50
tahun
Alamat
:
Jl.
Maccini
Kidul
Pekerjaan
:
LSM
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM
Kemasyarakatan
:
LSM
6.
7.
8.
9.
10.
Nama
:
Rachmat
J.
(anak
dari
Djawahir)
Usia
:
20
tahun
Alamat
:
Jl.
Maccini
Kidul
Pekerjaan
:
Mahasiswa
Keluarga
:
Belum
menikah
Pendidikan
terakhir
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPE/UPK
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Basri
Habe
Usia
:
54
tahun
Alamat
:
Jl.
Maccini
Raya
I
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM
Kemasyarakatan
:
Tokoh
masyarakat
Nama
:
St.
Saddiah
Usia
:
58
tahun
Alamat
:
Jl.
Maccini
Kidul
Pekerjaan
:
Pensiunan
pegawai
Puskesmas
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPS
Kemasyarakatan
:
Majelis
Taklim
Nama
:
Muliati
Usia
:
47
tahun
Alamat
:
Jl.
Urip
S.
Harjo
77
No.31
Pekerjaan
:
Ibu
Rumah
tangga
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPS
Kemasyarakatan
:
Majelis
Taklim
Nama
:
Hafid
Abdul
Samad
Usia
:
51
tahun
Alamat
:
Jl.
Urip
S.
Harjo
Pekerjaan
:
Karyawan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT
11.
12.
13.
14.
15.
Nama
:
Daeng
Intan
Usia
:
58
tahun
Alamat
:
Maccini
Raya
14
C
Pekerjaan
:
Penjual
makanan
di
SD
Maccini
Raya
I
Suami
makelar
–
lebih
banyak
menganggur
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Dampak
PNPM
MP
:
Tidak
dapat
pinjaman
karena
tidak
ada
kelompok
Nama
:
Siti
Dewa
(Istri
Achmad
Hatuna)
Usia
:
48
tahun
Alamat
:
Jl.
Urip
Sumoharjo
230/SD
Maccini
I
Pekerjaan
:
Penjual
makanan
di
SD
Maccini
I
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
PNPM
MP
:
Pinjaman
dana
bergulir
Nama
:
Basri
Usia
:
50
tahun
Alamat
:
Maccini
Pasar
Malam
III/3
Pekerjaan
:
Buruh
harian
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
PNPM
MP
:
Pembuatan
sumur
Nama
:
Dencekne
Usia
:
47
tahun
Alamat
:
Maccini
Pasar
Malam
Pekerjaan
:
Penjual
asongan;
Suami
tukang
becak
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
PNPM
MP
:
Pemberian
dana
bergulir;
Rp
500.000,‐
Nama
:
Bintang
Usia
:
26
tahun
Alamat
:
Maccini
Raya
III/14
Pekerjaan
:
Ibu
rumah
tangga,
suamki
penjual
koran
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
PNPM
MP
:
Relawan
pendata
RTM
16.
17.
18.
A
19.
Nama
:
Diana
Usia
:
35
tahun
Alamat
:
Maccini
Pasar
Malam
I
No.
174
Pekerjaan
:
IRT,
suami
bekerja
supir
Keluarga
:
Menikah
(5
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
PNPM
MP
:
Perbaikan
rumah
Nama
:
Asnah
Usia
:
‐
Alamat
:
Maccini
Pasar
Malam
I/19
C
Pekerjaan
:
‐
Keluarga
:
Janda
tanpa
anak
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
PNPM
MP
:
Pemberian
bantuan
atap
seng
Nama
:
Nini
(istri
Alimuddin)
Usia
:
44
tahun
Alamat
:
Maccini
Pasar
Malam
Pekerjaan
:
Buruh
pembuat
kue
Keluarga
:
Menikah
(5
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
PNPM
MP
:
Pemberian
bantuan
atap
seng
Nama
:
Iswarti
(dan
para
tetangga)
Usia
:
40
tahun
Alamat
:
Maccini
Pasar
Malam
III
No.10
Pekerjaan
:
Buruh
kupas
bawang
putih
Keluarga
:
Janda
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Terkena
dampak
PNPM
MP
:
Pembuatan
sumur
warga
yang
gagal
Daftar
Informan
Tabaringan
Nama
:
Choirul
Fahri
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
Lurah
Tabaringan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
1.
Nama
:
Usia
:
Alamat
:
Pekerjaan
:
/Koord
BKM
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
2.
Nama
:
Rifa’i
Usia
:
tahun
Alamat
:
RW
05
Pekerjaan
:
Koord.
BKM
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
3.
Nama
:
Baharuddin
Usia
:
Alamat
:
Jl.
Tinumbu
RW
01
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
4.
Nama
Usia
Alamat
5.
6.
:
Hamsina
Hamzah
:
60
tahun
:
Jl.
Tinumbu
155/75
RT
01/RW01
Pekerjaan
:
Pedagang
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Nurhawati
Usia
:
55
tahun
Alamat
:
RT
04/RW
01
Pekerjaan
:
Penjual
Kue
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Jumaria
Usia
:
30
tahun
Alamat
:
RT
04/RW
01
Pekerjaan
:
Pedagang
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
7.
8.
Nama
:
Ita
Usia
:
30
tahun
Alamat
:
RT
04/RW
04
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(1
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Nama
Usia
Alamat
9.
:
Hasniati
:
43
tahun
:
Jl.
Tinumbu
155/75
RT
01/RW01
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
Usia
Alamat
:
Harni
:
29
tahun
:
Jl.
Tinumbu
Lr.
154
RT
01/RW01
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
10.
Nama
:
Harlina
Junaed
Usia
:
Alamat
:
RT
B/RW
04
Pekerjaan
:
Dosen
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
11.
12.
Nama
:
Nurlia
Usia
:
33
tahun
Alamat
:
RW
05
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
H.
Anwar
Usia
:
33
tahun
Alamat
:
Jl.
Tinumbu
164
A
RW
01
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
13.
14.
Nama
:
Rafika
Lestari
Usia
:
18
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMU
Nama
:
Hj.
Sakri
Bunga
Usia
:
55
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
15.
16.
Nama
:
Hj.
Andi
Wilayah
Usia
:
55
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Nama
:
Irfan
Usia
:
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Mahasiswa
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
17.
18.
Nama
:
Nurmala
Usia
:
40
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMU
Nama
:
Anti
Usia
:
19
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMU
19.
Nama
:
Dahlia
Usia
:
33
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Penjahit
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SMU
20.
Nama
:
Aswar
Usia
:
33
tahun
Alamat
:
RW
02
Pekerjaan
:
Mahasiswa
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
–
on
going
21.
Nama
:
Hambriani
Usia
:
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
SF
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
22.
Nama
:
Muflihin
Usia
:
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Faskel
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
S1
23.
Nama
:
Andi
Asdar
Usia
:
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
Team
Leader
KMW
Sulsel
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
24.
Nama
:
Busman
Usia
:
tahun
Alamat
:
Pekerjaan
:
TA
KMW
Sulsel
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
25.
Daftar
Informan
Panggungrejo
Nama
:
Dwi
Agus
W.
Usia
:
‐
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Lurah
Panggung
Rejo
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
1.
2.
3.
4.
5.
Nama
:
Peni
Wilujeng
Usia
:
36
tahun
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Faskel
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Faskel
Panggung
Rejo
mulai
tahun
2004
Kemasyarakatan
:
Tokoh
kepemudaan
dan
keagamaan
Nama
:
M.
Somad
Ali
Ghozi
Usia
:
31
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
02
Pekerjaan
:
Petani
Tambak
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Sekolah
paket
setara
SMA
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Kordinator
BKM
Kemasyarakatan
:
Tokoh
kepemudaan
dan
keagamaan
Nama
:
M.
Arief
Usia
:
39
tahun
Alamat
:
RT
01/RW
02
Pekerjaan
:
Nelayan
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
Sekolah
paket
setara
SMA
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/Relawan
Kemasyarakatan
:
Tokoh
masyarakat
dan
keagamaan
Nama
:
Samsul
Arifin
Usia
:
36
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
03
Pekerjaan
:
Swasta
(pedagang
kulit
kerang)
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
SMA
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/Relawan
Kemasyarakatan
:
Tokoh
kepemudaan
dan
keagamaan
6.
7.
8.
9.
10.
Nama
:
Uswatun
Hasanah
Usia
:
33
tahun
Alamat
:
RT
01/IV
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(2
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
PKK,
Posyandu
Nama
:
Nurwanah
Usia
:
39
tahun
Alamat
:
RT
03/RW
04
Pekerjaan
:
IRT
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
PKK,
Posyandu
Nama
:
Bahrul
Ulum
alias
Bahar
Usia
:
38
tahun
Alamat
:
RT
01/RW
04
Pekerjaan
:
Pedagang
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
SD
dan
Tsanawiyah
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/Relawan
Kemasyarakatan
:
Tim
pengelola
perikanan
&
mangroove
Nama
:
Turmudi
Usia
:
31
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
02
Pekerjaan
:
Buruh
perbengkelan
Keluarga
:
Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SD
dan
Pesantren
Tingkat
Dasar
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/Relawan
Kemasyarakatan
:
Organisasi
“Remas”
(Remaja
masjid)
Nama
:
Abdul
Hanan
Usia
:
40
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
03
Pekerjaan
:
Penarik
becak
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
SMP
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Wakil
Kordinator
BKM/relawan
Kemasyarakatan
:
Anggota
“Remas”
(Remaja
masjid)
11.
12.
13.
14.
15.
Nama
:
M.
Khozin
Usia
:
39
tahun
Alamat
:
RT
01/RW
03
Pekerjaan
:
Pedagang
kelontong
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
Paket
setara
SMA
dan
MAN
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
BKM/relawan
Kemasyarakatan
:
Ketua
RT;
Ketua
Takmir
masjid
Nama
:
Safiudin
Usia
:
46
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
02
Pekerjaan
:
Nelayan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
SD
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPL/relawan
Kemasyarakatan
:
Organisasi
keagamaan
di
masjid
Nama
:
Kholimatus
Sakdiyah
alias
Diah
Usia
:
20
tahun
Alamat
:
RT
01/RW
03
Pekerjaan
:
‐
Keluarga
:
‐
Pendidikan
terakhir
:
Paket
setara
SMA
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPL/relawan
Kemasyarakatan
:
Aktif
kegiatan
kepemudaan
Nama
:
Amaniah
alias
Nia
Usia
:
20
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
02
Pekerjaan
:
‐
Keluarga
:
‐
Pendidikan
terakhir
:
Paket
setara
SMA
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPL/relawan
Kemasyarakatan
:
Aktif
kegiatan
kepemudaan
Nama
:
Maria
Ulfa
Usia
:
17
tahun
Alamat
:
RT
01/RW
02
Pekerjaan
:
‐
Keluarga
:
‐
Pendidikan
terakhir
:
Paket
setara
SMA
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
UPS/relawan
Kemasyarakatan
:
Aktif
kegiatan
kepemudaan
16.
17.
18.
19.
20.
Nama
:
Umar
Faroq
Usia
:
19
tahun
Alamat
:
RT
02/RW
03
Pekerjaan
:
‐
Keluarga
:
‐
Pendidikan
terakhir
:
SMA
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Sekertaris
BKM
Kemasyarakatan
:
Aktif
kegiatan
kepemudaan
Nama
:
H.
Achmad
Sodiq
Usia
:
61
tahun
Alamat
:
Jl.
Jend.
S.
Parman
Pekerjaan
:
‐
Keluarga
:
‐
Pendidikan
terakhir
:
SMP
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
Tokoh
masyarakat
yang
paling
disegani
di
Panggung
Rejo.
Nama
:
Kusnadi
alias
Markus
Usia
:
39
tahun
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Nelayan
Keluarga
:
Menikah
(4
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
‐
Nama
:
Nurhasan
(A)
Usia
:
48
tahun
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Nelayan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
Aktif
di
kegiatan
masjid
Nama
:
Nurhasan
(B)
Usia
:
48
tahun
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Nelayan
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
Aktif
di
kegiatan
masjid
21.
22.
23.
Nama
:
H.
Amir
Usia
:
31
tahun
Alamat
:
‐
Pekerjaan
:
Swasta
Keluarga
:
Menikah
Pendidikan
terakhir
:
‐
Keterlibatan
Program
PNPM
MP
:
Relawan
Kemasyarakatan
:
Aktif
di
kegiatan
masjid
Nama
:
Muaidah
Usia
:
29
tahun
Alamat
:
Jl.
Jend.
S.
Parman,
RT
02/
RW
04
Pekerjaan
:
Jasa
Bentor
(milik
kakak)
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
PNPM
M
:
Perbaikan
rumah
Nama
:
Halim
Usia
:
32
tahun
Alamat
:
Jl.
Jend.
S.
Parman,
RT
02/
RW
04
Pekerjaan
:
Nelayan
ikan
&
udang
Keluarga
:
Menikah
(3
anak)
Pendidikan
terakhir
:
‐
Terkena
dampak
PNPM
M
:
Bantuan
perabot
dari
relawan
(pribadi)
PNPM
FORM
CATATAN
LAPANGAN
SEMI
STRUCTURE
DAN
BIOGRAPHIC
INTERVIEW
IDENTITAS
INFORMAN
Nomor
kode
:
Peneliti
:
Fasilitator
:
Pencatat
:
Tanggal
:
Waktu
:
Durasi
:
......
Jam
......
menit
Lokasi
kegiatan
:
Kab/Kota
:
Jumlah
Relawan
:
Yang
hadir
:
Informan
:
Kelamin
:
Usia
:
(a)
<
15
(b)
15
–
21
(c)
22
–
30
(d)
31
–
40
(e)
41
–
50
(f)
51
–
60
(g)
>
60
Organisasi
:
Posisi/Jabatan
:
Etnis/suku
:
Agama
:
Tempat
dan
tanggal
lahir
:
Sejak
kapan
tinggal
di
kelurahan
ini
:
Konteks
:
(suasana/permasalahan
yang
dihadapi
selama
interview
berlangsung/petunjuk‐petunjuk
nonverbal
dari
informan,
dst)
Catatan:
Identitas
ini
dibuat
lengkap
ditujukan
khusus
untuk
relawan
dengan
maksud
sekaligus
dapat
menggambarkan
identitas
diri
relawan.
Kata
Kunci
FORM
CATATAN
LAPANGAN
SEMI
STRUCTURE
DAN
BIOGRAPHIC
INTERVIEW
Catatan
Lapangan
FORM
DATA
FGD
Nomor
kode
Peneliti
Fasilitator
Pencatat
Tanggal
Waktu
Durasi
Lokasi
kegiatan
Yang
hadir
Konteks
No.
:
:
:
:
:
:
:
.........
Jam
...........
menit
:
Kelurahan
:
Kabupaten/Kota
:
:
:
(suasana/permasalahan
yang
dihadapi
selama
interview
berlangsung/petunjuk‐petunjuk
non
verbal
dari
informan,
dst)
Nama
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Etnis
Agama
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
*Catatan:
Absensi
ini
sekaligus
menjadi
bagian
dari
pengumpulan
data
biografi
relawan
(identitas)
Informan
FORM
CATATAN
FGD
Catatan
FGD
STUDY
ON
VOLUNTEER
INSTITUTIONALISATION
IN
PNPM UPP
KUESIONER
UNTUK
RELAWAN ,
BKM,
DAN
UP UP
( Lampiran
#01 )
Jakarta,
2009
1.
Identitas
Diri
1.1.
Kode
Responden
:
1.2.
Nama
:
...........................................................................................
1.3.
Jenis
kelamin
:
Laki‐laki
1.4.
Usia
:
.........
tahun
1.5.
1.6.
Status
Pernikahan
:
Jumlah
anak
:
1.7.
Pendidikan
:
1.8.
Pekerjaan
:
Perempuan
Belum
Kawin
Kawin
Cerai
Hidup
Cerai
Mati
...........................................................................................
S2/S3
Diploma
IV/S1
Diploma
III/Sarmud
Diploma
I/II
SMK
M.
Aliyah
SMA
M.
Tsanawiyah
SMP
Umum/Kejuruan
M.
Ibtidaiyah
SD
Berusaha
sendiri
Berusaha
dibantu
buruh
tidak
tetap/
buruh
tidak
diayar
Berusaha
dibantu
buruh
tetap/
buruh
diayar
Buruh/karyawan/pegawai
Pekerja
bebas
di
pertanian
Pekerja
bebas
di
non‐pertanian
Pekerja
tidak
dibayar
1.9.
Status
Pekerjaan
:
Pekerjaan
utama
Pekerjaan
sampingan
1.10.
Hubungan
dengan
kepala
rumah
tangga:
Kepala
Rumah
Tangga
Isteri/Suami
Anak
Menantu
Cucu
Orang
tua/mertua
Famili
lain
Pembantu
rumah
tangga
Lainnya
1.11.
Jumlah
tanggungan
dalam
keluarga:
..........
orang
2.
Apakah
Anda
kenal
dengan
aparat
kelurahan?
3.
Apakah
Anda
kenal
dengan
pemimpin/tokoh
di
kelurahan
ini?
4.
Sangat
mudah
Mudah
Sulit
Sangat
sulit
Apakah
setelah
menjadi
relawan
Anda
lebih
mudah
membangun
relasi
dengan
pihak
luar?
Masih
saudara
Tetangga
rumah
Teman
dekat
Sekedar
tahu/kenal
Apakah
Anda
bisa
dengan
mudah
menghubungi
aparat/tokoh
tersebut?
6.
Sangat
tahu/kenal
Cukup
tahu/kenal
Kurang
tahu/kenal
Tidak
tahu/kenal
sama
sekali
Bagaimana
hubungan
Anda
dengan
aparat/tokoh
tersebut?
5.
Sangat
tahu/kenal
Cukup
tahu/kenal
Kurang
tahu/kenal
Tidak
tahu/kenal
sama
sekali
Sangat
mudah
Mudah
Sulit
Sangat
sulit
STUDY
ON
VOLUNTEER
INSTITUTIONALISATION
IN
PNPM UPP
PEDOMAN
SAWALA
BERFOKUS
( Lampiran
#01 )
Jakarta,
2009
FGD
#01
Relawan
LakiLaki
Tujuan:
Untuk
menjaring
aspirasi/masukan
dari
peserta
FGD
tentang
motivasi,
ekspektasi,
manfaat
dan
keuntungan
menjadi
relawan,
serta
keberadaan
relawan
(status
sosial)
dalam
masyarakat
setelah
menjadi
relawan
dan
harapan
terhadap
pelatihan
dan
peningkatan
kapasitas
yang
mungkin
dikembangkan
oleh
program
Metode:
Fasilitator
menyampaikan
beberapa
pertanyaan,
dimana
masing‐masing
pertanyaan
akan
dibahas
secara
mendalam
untuk
menangkap
keragaman
informasi
dari
peserta.
Peneliti
I
bertindak
sebagai
fasilitator,
sedangkan
Peneliti
II
bertindak
sebagai
pencatat
serta
membantu
mengendalikan
peserta
yang
terlalu
dominan.
Target
Peserta
Jumlah
peserta
maksimal
11
orang,
yang
terdiri
atas:
1. Tim
RK
(1
‐
2
orang)
2. Tim
PS
(1
‐
2
orang)
3. Tim
PP
(1
‐
2
orang)
4. Tim
BKM
(1
‐
2
orang)
5. Tim
Review
(minimal
3
orang,
dari
Tim
Review
Kelembagaan,
Review
Keuangan,
dan
Review
Program)
Waktu:
Total
waktu
yang
dibutuhkan
maksimal
120
menit
(2
jam)
Topik
Diskusi
1. 2. 3. 4. 5.
Motivasi
keterlibatan
relawan
dalam
P2KP
(karena
apa
dan
siapa)
Ketrampilan
yang
diperoleh
dari
pengalaman
Ketrampilan
yang
diperoleh
selama
menjadi
relawan
Aviliasi
dengan
pihak
luar
Keterlibatan
pihak
lain
(pemerintah,
swasta
dan
masyarakat
sipil)
dalam
pelaksanaan
program
6. Kegiatan
yang
dilakukan
relawan
untuk
melibatkan
pihak‐pihak
lain
dalam
pelaksanaan
program
7. Manfaat
yang
diperoleh
dari
keterlibatan
pihak
lain
tersebut
8. Hambatan
yang
dihadapi
dalam
melibatkan
pihak
lain
9. Penghargaan
untuk
relawan
**Catatan:
Setelah
FDG
selesai,
dilakukan
biographic
interview.
Interview
sedapat
mungkin
mencakup
life
cycle
dan
livelyhood
FGD
#02
Relawan
Perempuan
Tujuan:
Untuk
menjaring
aspirasi/masukan
dari
peserta
FGD
tentang
motivasi,
ekspektasi,
manfaat
dan
keuntungan
menjadi
relawan,
serta
keberadaan
relawan
(status
sosial)
dalam
masyarakat
setelah
menjadi
relawan
dan
harapan
terhadap
pelatihan
dan
peningkatan
kapasitas
yang
mungkin
dikembangkan
oleh
program.
Metode:
Fasilitator
menyampaikan
beberapa
pertanyaan,
dimana
masing‐masing
pertanyaan
akan
dibahas
secara
mendalam
untuk
menangkap
keragaman
informasi
dari
peserta.
Peneliti
I
bertindak
sebagai
fasilitator,
sedangkan
Peneliti
II
bertindak
sebagai
pencatat
serta
membantu
mengendalikan
peserta
yang
terlalu
dominan.
Target
Peserta
Jumlah
peserta
maksimal
11
orang,
yang
terdiri
atas:
1. Tim
RK
(1
‐
2
orang)
2. Tim
PS
(1
‐
2
orang)
3. Tim
PP
(1
‐
2
orang)
4. Tim
BKM
(1
‐
2
orang)
5. Tim
Review
(minimal
3
orang,
dari
Tim
Review
Kelembagaan,
Review
Keuangan,
dan
Review
Program)
Waktu:
Total
waktu
yang
dibutuhkan
maksimal
120
menit
(2
jam)
Topik
Diskusi
1. 2. 3. 4.
Motivasi
keterlibatan
relawan
dalam
P2KP
(karena
apa
dan
siapa)
Ketrampilan
yang
diperoleh
dari
pengalaman
Ketrampilan
yang
diperoleh
selama
menjadi
relawan
Aviliasi
dengan
pihak
luar
5. Keterlibatan
pihak
lain
(pemerintah,
swasta
dan
masyarakat
sipil)
dalam
pelaksanaan
program
6. Kegiatan
yang
dilakukan
relawan
untuk
melibatkan
pihak‐pihak
lain
dalam
pelaksanaan
program
7. Manfaat
yang
diperoleh
dari
keterlibatan
pihak
lain
tersebut
8. Hambatan
yang
dihadapi
dalam
melibatkan
pihak
lain
9. Penghargaan
untuk
relawan
**Catatan:
Setelah
FDG
selesai,
dilakukan
biographic
interview.
Interview
sedapat
mungkin
mencakup
life
cycle
dan
livelyhood
FGD
#03
Badan
Keswadayaan
Masyarakat
(BKM)
Dan
UPUP
Tujuan:
Untuk
menjaring
aspirasi/masukan
dari
peserta
FGD
tentang
perspektif
pengurus
BKM
dalam
melihat
kualitas
dan
intensitas
keterlibatan
relawan
dan
potensi
pengembangan
kapasitas
relawan
ke
depan
dalam
program.
Metode:
Fasilitator
menyampaikan
beberapa
pertanyaan,
dimana
masing‐masing
pertanyaan
akan
dibahas
secara
mendalam
untuk
menangkap
keragaman
informasi
dari
peserta.
Peneliti
I
bertindak
sebagai
fasilitator,
sementara
Peneliti
II
membantu
sebagai
pencatat
dan
mengendalikan
peserta
yang
terlalu
dominan.
Target
Peserta
Jumlah
peserta
FGD
maksimal
15
orang,
yang
terdiri
atas:
1. Pengurus
BKM
(8
orang)
2. UP‐UP
(7
orang)
Waktu:
Total
waktu
yang
dibutuhkan
maksimal
60
menit
(1
jam)
Topik
Diskusi
1. Pandangan
BKM
terhadap
sumbangsih
relawan
2. Manfaat
program
bagi
masyarakat
3. Berkurangnya
partisipasi
relawan
dari
waktu
ke
waktu
4. Penghargaan
untuk
relawan
FGD
#04
Fasilitator
Kelurahan
Tujuan:
Untuk
menjaring
aspirasi/masukan
dari
peserta
FGD
tentang
keterlibatan
relawan
dalam
P2KP
dan
potensi
pengembangan
peran
relawan
ke
depan
dengan
membandingkan
dua
kelurahan
yang
berbeda.
Metode:
Fasilitator
menyampaikan
beberapa
pertanyaan,
dimana
masing‐masing
pertanyaan
akan
dibahas
secara
mendalam
untuk
menangkap
keragaman
informasi
dari
peserta.
Peneliti
I
bertindak
sebagai
fasilitator,
dan
Peneliti
II
membantu
sebagai
pencatat
dan
mengendalikan
peserta
yang
terlalu
dominan.
Target
Peserta
Jumlah
peserta
FGD
maksimal
15
orang,
masing‐masing
faskel
5
orang,
yang
terdiri
atas:
1. 2. 3.
Faskel
Ekonomi
Faskel
Sosial
Faskel
Lingkungan
5
orang
5
orang
5
orang
Waktu:
Total
waktu
yang
dibutuhkan
maksimal
60
menit
(1
jam)
Topik
diskusi
1. Keterlibatan
pihak
lain
(pemerintah,
swasta
dan
masyarakat
sipil)
dalam
pelaksanaan
program
2. Kegiatan
yang
dilakukan
relawan
untuk
melibatkan
pihak‐pihak
lain
dalam
pelaksanaan
program
3. Pengembangan
kapasitas
relawan
dalam
konteks
lokal.
4. Desain
proyek
yang
cocok
untuk
mendukung
partisipasi
relawan.
5. Aviliasi
dengan
pihak
luar.
6. Berkurangnya
jumlah
partisipasi
relawan.
7. Menurunnya
jumlah
kegiatan
program.
8. Penghargaan
untuk
relawan.
STUDY
ON
VOLUNTEER
INSTITUTIONALISATION
IN
PNPM UPP
BIOGRAPHIC
DAN
SEMI
STRUCTURE
INTERVIEW
( Lampiran
#03 )
Jakarta,
2009
BIOGRAPHIC
DAN
SEMI
STRUCTURE
INTERVIEW
Relawan
LakiLaki
dan
Perempuan
Tujuan:
1.
Menjaring
informasi
mengenai
kegiatan
relawan,
meningkatnya
kualitas
dan
meluasnya
jaringan
setelah
menjadi
relawan,
serta
kemauan
dan
komitmen
ke
depan.
Keikutsertaan
dalam
pelatihan
1.1.
Pelatihan
di
P2KP
:
Pelatihan
Dasar
Pelatihan
Refleksi
Kemiskinan
Pelatihan
Pemetaan
Swadaya
Pelatihan
Pembangunan
BKM
Pelatihan
Perencanaan
Partisipatif
Pelatihan
Review
Kelembagaan
Pelatihan
Review
Keuangan
Pelatihan
Review
Program
Pelatihan
lain,
sebutkan
.......................................
.........................................................................................
1.2.
Pelatihan
lain
di
luar
P2KP:
2.
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
Organisasi
yang
diikuti
2.1.
Di
lingkungan
tempat
tinggal:
Nama
organisasi
:
...............................................................................................
Jabatan
:
...............................................................................................
Periode
waktu
:
...............................................................................................
Nama
organisasi
:
...............................................................................................
Jabatan
:
...............................................................................................
Periode
waktu
:
...............................................................................................
2.2.
Di
lingkungan
tempat
kerja:
Nama
organisasi
:
...............................................................................................
Jabatan
:
...............................................................................................
Periode
waktu
:
...............................................................................................
Nama
organisasi
:
...............................................................................................
Jabatan
:
...............................................................................................
Periode
waktu
:
...............................................................................................
3.
Peningkatan
kualitas/ketrampilan
setelah
menjadi
relawan.
4.
Kesesuaian
pelatihan
dengan
peran
dan
tugas
relawan.
5.
Harapan
terhadap
pelatihan
lebih
lanjut.
STUDY
ON
VOLUNTEER
INSTITUTIONALISATION
IN
PNPM UPP
SEMI
STRUCTURE
INTERVIEW
( Lampiran
#04 )
Jakarta,
2009
WAWANCARA
#01
Rumah
Tangga
Miskin
Tujuan:
Menjaring
informasi
tentang
manfaat
yang
diperoleh
masyarakat
miskin
dari
program
dan
kontribusi
relawan
terhadap
keuntungan
manfaat
yang
dirasakan
masyarakat
miskin
tersebut.
1.
Identitas
Diri
1.1.
Nama
:
............................................................................................
1.2.
Jenis
kelamin
:
Laki‐laki
1.3.
Usia
:
.........
tahun
1.4.
Alamat
:
............................................................................................
............................................................................................
Telpon
:
..........................................................................
1.5.
Pendidikan
2.
Materi
Wawancara
:
Perempuan
....................................................................................
....................................................................................
....................................................................................
2.1.
Keuntungan/manfaat
yang
diperoleh
dari
program
2.2.
Pandangan
masyarakat
terhadap
sumbangsih
relawan.
2.4.
Posisi
relawan
di
mata
masyarakat.
WAWANCARA
#02
Aparat
Kelurahan
Tujuan:
Menjaring
informasi
tentang
perspektif
dan
pengalaman
aparat
kelurahan
dalam
melihat
kualitas
dan
intensitas
keterlibatan
relawan
dan
potensi
pengembangan
kapasitas
relawan
ke
depan
dalam
program.
1.
Identitas
Diri
1.1.
Nama
:
............................................................................................
1.2.
Jenis
kelamin
:
Laki‐laki
1.3.
Usia
:
.........
tahun
1.4.
Alamat
:
............................................................................................
............................................................................................
Telpon
:
..........................................................................
1.5.
Pendidikan
1.6.
Jabatan
2.
Materi
Wawancara
:
:
Perempuan
....................................................................................
....................................................................................
....................................................................................
....................................................................................
2.1.
Perspektif
aparat
kelurahan
terhadap
sumbangsih
relawan
dalam
konteks
lokal.
2.2.
Manfaat
program
bagi
masyarakat.
2.3.
Gambaran
elite
capture
2.4.
Pengalaman
aparat
kelurahan
terlibat
dengan
relawan
dalam
melaksanakan
program.
2.5.
Kualitas
dan
intensitas
keterlibatan
relawan
dalam
program.
2.6.
Potensi
untuk
mengembangkan
relawan
ke
depan
dalam
program.
2.7.
Penghargaan
untuk
relawan.
WAWANCARA
#03
BKM
dan
UPUP
Tujuan:
Menjaring
informasi
tentang
perspektif
dan
pengalaman
pengurus
BKM
dalam
melihat
kualitas
dan
intensitas
keterlibatan
relawan
dan
potensi
pengembangan
kapasitas
relawan
ke
depan
dalam
program.
1.
Identitas
Diri
1.1.
Nama
:
............................................................................................
1.2.
Jenis
kelamin
:
Laki‐laki
1.3.
Usia
:
.........
tahun
1.4.
Alamat
:
............................................................................................
............................................................................................
Telpon
:
..........................................................................
1.5.
Pendidikan
2.
Materi
Wawancara
:
Perempuan
....................................................................................
....................................................................................
....................................................................................
2.1.
Pandangan
pengurus
BKM
terhadap
sumbangsih
relawan
2.2.
Manfaat
program
bagi
masyarakat
2.3.
Gambaran
elite
capture
2.4.
Berkurangnya
partisipasi
relawan
dari
waktu
ke
waktu.
2.5.
Menurunnya
jumlah
kegiatan
dalam
program.
WAWANCARA
#04
Relawan
Tujuan:
Menjaring
informasi
tentang
berbagai
pengalaman
relawan
selama
terlibat
dalam
program
dan
potensi
pengembangan
kapasitas
serta
keberlanjutan
relawan
ke
depan
dalam
program.
Daftar
Pertanyaan:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Motivasi
keterlibatan
relawan
dalam
P2KP
(karena
apa
dan
siapa)
Ketrampilan
yang
diperoleh
dari
pengalaman
Ketrampilan
yang
diperoleh
selama
menjadi
relawan
Aviliasi
dengan
pihak
luar
Pandangan
relawan
terhadap
sumbangsihnya
kepada
masyarakat
Manfaat
program
bagi
masyarakat
Upaya‐upaya
yang
dilakukan
relawan
untuk
membantu
masyarakat
Keterlibatan
pihak
lain
(pemerintah,
swasta
dan
masyarakat
sipil)
dalam
pelaksanaan
program
9. Kegiatan
yang
dilakukan
relawan
untuk
melibatkan
pihak‐pihak
lain
dalam
pelaksanaan
program
10. Manfaat
yang
diperoleh
dari
keterlibatan
pihak
lain
tersebut
11. Hambatan
yang
dihadapi
dalam
melibatkan
pihak
lain
12. Kualifikasi
menjadi
relawan
13. Pembelajaran
yang
diberikan
oleh
program
14. Pelatihan
yang
diikuti
selama
menjadi
relawan
15. Kesesuaian
pelatihan
dengan
peran
dan
tugas
sebagai
relawan
16. Harapan
pelatihan
lebih
lanjut
17. Gambaran
elit
capture
18. Keikutsertaan
dalam
studi
banding
atau
perjalanan
ke
luar
(kelurahan)
19. Meningkatnya
koneksi
dengan
pihak
luar
20. Kemudahan
akses
dan
relasi
dengan
elit
formal
dan
informal
21. Menjaga
motivasi/kepedulian
relawan
dari
waktu
ke
waktu
Catatan:
Wawancara
ini
dilakukan
bersamaan
dengan
biographic
interview.
WAWANCARA
#05
Korkot,
KMW,
dan
KMP
Tujuan:
Menjaring
informasi
tentang
peran
desain
proyek
dalam
mendukung
partisipasi
dan
keberlanjutan
kerelawanan
1.
Identitas
Diri
1.1.
Nama
:
............................................................................................
1.2.
Jenis
kelamin
:
Laki‐laki
1.3.
Usia
:
.........
tahun
1.4.
Alamat
:
............................................................................................
............................................................................................
Telpon
:
..........................................................................
1.5.
Pendidikan
2.
Materi
Wawancara
:
Perempuan
....................................................................................
....................................................................................
....................................................................................
2.1.
Pengembangan
kapasitas
bagi
relawan
yang
dilakukan
oleh
proyek
2.2.
Desain
proyek
yang
cocok
untuk
mendukung
partisipasi
relawan
2.3.
Berkurangnya
jumlah
partisipasi
relawan
2.4.
Menurunnya
jumlah
kegiatan
program
2.5.
Penghargaan
untuk
relawan
2.6.
Rencana
proyek
ke
depan
untuk
keberlanjutan
kerelawanan