1
31. Upaya Dua Sekawan “Aku bersyukur bahwa sekarang ini adalah masa liburan,” gumam Ery saat ia dan Ahmadi sedang duduk di Breakfast Corner. Ahmadi tidak mengalihkan pandangannya dari Diana yang sedang meluncur gesit di atas sepatu rodanya untuk mengantarkan pesanan tamu. Ia hanya berujar sekenanya untuk menanggapi ucapan Ery. “Apa sesungguhnya yang hendak loe sampaikan?” “Kau dan aku sama-sama tahu kalau pertengkaran antara Sugi dan Billy membuat kita merasa serba salah,” kata Ery muram. “Masa begitu? Wa gak merasa serba salah, kok,” tukas Ahmadi, “terutama saat sedang makan di sini sambil menyaksikan betapa luwesnya Diana meluncur ke sana kemari. Sayang, aku tidak bisa bermain sepatu roda. Aku sedang berpikir, apakah pantas jika aku mengendarai sepeda untuk mendampinginya mengelilingi kantin terbuka ini…” “Dasar! Dari tadi loe gak mendengarkan wa, ya?” tegur Ery kesal. Detik berikutnya, Ahmadi terpekur dengan patuh dalam kondisi bibir yang memble dan pelipis mata yang mengembang sebesar telur angsa. “Tenang, jangan merasa bersalah,” tutur Ahmadi setelah Ery usai melakukan upacara kurban alias terapi fisik pada wajahnya. “Sekarang ceritakanlah idemu.” “Dengar, kita harus berbuat sesuatu…” “Yeah, loe baru saja melakukannya. Biar kuungkapkan kalau loe baru saja berbuat sesuatu terhadap wajah wa,” ujar Ahmadi. ”Dan kalau loe masih banyak bacot, akan wa anggap kalau loe minta porsi tambahan untuk adegan pijat muka gratis,” sahut Ery. Ahmadi lantas terdiam dan menyimak. Kalaupun ia ingin berbicara, ia hanya menggunakan bahasa isyarat, misalnya acungan jari tengah… *** Empat sekawan telah menjadi karib sejak masa kanak-kanak. Mereka paham betul dengan watak Sugi yang pemberani, namun akan kehilangan kendali bila ia larut dalam emosi. Peristiwa terdashyat yang pernah terjadi dari dulu hingga kini adalah sewaktu ia memutuskan persahabatan dengan Billy dan mengusirnya dengan cara yang teramat kasar. Ery berpikir keras sementara Ahmadi duduk dan melamun yang jorokjorok (salah satunya adalah tentang betapa joroknya sapu tangan yang jatuh secara tidak sengaja ke dalam genangan lumpur di musim hujan). Mereka mengurutkan kembali kronologis kejadian yang menimpa persahabatan mereka dalam urutan FIFO (First In First Out), mulai dari terbongkarnya rahasia surat cinta konyol yang ditulis Sugi untuk Herlina, penolakan Herlina, kemenangan Benny yang tidak terduga, sampai pada peristiwa pemecatan secara tidak hormat terhadap Billy sebagai anggota empat sekawan. Menurut Ery, peristiwa pertama bisa dikatakan sangat berpengaruh buruk pada Sugi. Ia stress berat, bahkan permintaan maaf dari Chris dan kawan-kawan tidak juga digubrisnya. Kendati begitu, tekanan ini berhasil dihalau secara tidak sempurna setelah Sugi mendapat tantangan dari Benny. Dalam kondisi diliputi amarah, Sugi belajar dengan keras untuk mempertahankan reputasinya sebagai seorang cerdik-pandai. Semua ini semestinya berjalan dengan baik kalau saja tidak muncul kejadian memilukan yang tidak sanggup ditolerir oleh Sugi. Penolakan Herlina secara terang-terangan sungguh menjerumuskan Sugi ke dalam jurang depresi. Dengan demikian tidak mengherankan kalau Sugi gagal dalam ujian dan akhirnya dikalahkan oleh Benny. Kekalahan ini merupakan Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
2 pukulan telak yang membunuh akal sehat pemuda berkacamata itu. Sugi yang malang akhirnya kehilangan pegangan hidup, lalu memancing pertengkaran dengan Billy dan mengusirnya serta-merta. Setelah menguraikan rangkaian peristiwa secara terperinci, Ery bertepuk tangan sendiri untuk merayakan keberhasilannya dalam mendongeng. Buktinya Ahmadi saja sampai tertidur lelap! Akan tetapi Ery langsung sadar kalau suatu kekeliruan telah terjadi. Ia tidak sedang menceritakan dongeng sebelum tidur dan oleh karena itu tidak sepantasnya Ahmadi mengorok. Akhirnya, dengan ritual “bak-bik-buk” yang sudah terlampau sering ia pertontonkan, Ahmadi terbangun dalam kondisi berserakan. Beberapa saat kemudian, setelah potongan tubuh Ahmadi disusun kembali, mereka kembali larut dalam pemikiran bahwa masalah ini cukup rumit karena banyak pihak yang terkait di dalamnya. Ery tidak mau gegabah dengan mempertemukan Billy dan Sugi kembali pada saat ini karena mereka pasti akan ngotot dalam mempertahankan ego masing-masing. Meskipun dua sekawan tahu kalau Herlina akan sangat berperan dalam memulihkan perasaan Sugi yang terluka, tindakan ini tidak mereka tempuh untuk saat ini. Masalahnya apakah Herlina bersedia? Lagipula mereka belum menemukan resep yang jitu untuk membuat gadis itu merasa prihatin terhadap Sugi. Sekarang ini, langkah yang paling tepat adalah menyadarkan Benny kalau kemenangan yang ia peroleh bukanlah karena ia sanggup mengalahkan Sugi, melainkan karena Sugi telah dikalahkan oleh perasaannya sendiri sehingga tidak mampu untuk melanjutkan kompetisi mereka. Gagasan ini sungguh cemerlang, tetapi Ery tidak mampu mengolah idenya agar tidak terdengar cengeng, memelas dan mengemis pada Benny sehingga ia sudi membatalkan kemenangannya dan secara tidak langsung membuat Sugi merasa lebih lega. Nah, pada saat-saat terjepit seperti inilah Ahmadi terlihat lebih berguna daripada biasanya… *** Benny menoleh saat mendengar sapaan “Hi” yang menembus telinga kirinya. Ia merasa tidak senang saat mengetahui siapa yang menghampirinya. Ia lantas mengekspresikan diri dengan sinis. “Ah, teman-teman si Pecundang Berkacamata! Ada apa? Apakah Sugi meminta kalian untuk membalas kekalahannya dengan cara mengeroyok? Atau… ini malah inisiatif kalian sendiri?” tanya Benny. Ahmadi menoleh ke arah Ery dengan wajah bego. “Gee, kasihan Benny. Dia kira dia mengungguli Sugi.” Benny terperanjat. “Hei, apa aku tidak salah dengar? Bicara apa kau? Di atas kertas, aku lebih baik dari Sugi di bidang akademis!” Ahmadi tersenyum mengejek. “Ketuk pintu hatimu dan jawablah dengan jujur, sesungguhnya apa kau yakin kalau kau sanggup memenangkan kompetisi di antara kalian berdua?” “Aku…” “Oh,” Ahmadi segera memotong ucapan Benny, “kau tidak perlu mengatakannya padaku. Lagipula aku belum tentu mau mendengarkan ocehanmu.” “Shit! Kau mau menuduh kalau aku telah berbuat curang?” Sambil menguap, Ahmadi melambai dengan malas. “Aku paling tidak suka menerka, apalagi menuduh sembarangan. Kalau kau tidak merasa berbuat curang, itu urusanmu. Tapi kupikir kau cerdas. Semestinya kau menyadari bahwa ada yang tidak beres.”
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
3 Seketika itu juga langsung terpikirkan oleh Benny kalau selisih nilai ujian mata kuliah mereka yang terakhir sungguh jauh berbeda. “Apa yang hendak kau katakan? Apakah… apakah telah terjadi sesuatu pada Sugi sehingga ia gagal di dalam ujian?” “Bagaimana menurutmu?” Ahmadi balik bertanya. Benny menggeram kesal. “Sial! Aku tidak sudi menerima kemenangan ini kalau begini caranya. Aku ingin mengalahkannya secara total, bukan karena keberuntungan semata.” “Katakan hal ini kepadanya, kalau begitu,” komentar Ahmadi. “Bagaimanapun kau telah bertindak terlalu jauh dengan cara menghinanya sedemikian rupa, padahal kau sama sekali tidak mengalahkannya.” “Yeah, Pasti. Aku tidak ingin menjadi bahan tertawaan. Di mana Sugi? Biar aku bicara langsung dengannya!” Dan Benny yang telah termakan umpan pun berlalu, meninggalkan Ahmadi yang sukses dengan pancingannya. Di sampingnya, Ery merasa bingung dengan keberhasilan Ahmadi. “Kau tidak menyangka, bukan?” Ahmadi bertanya. “Namun aku sudah memprediksikannya. Benny itu pria sejati yang angkuh. Harga dirinya tinggi sekali. Sudah tentu ia tidak mau menang dengan cara seperti ini. Begitu ia membatalkan kemenangannya, tugas terstruktur kita pun selesai satu nomor.” “Hehe, seperti kuliah saja,” sahut Ery. “Ayo, aku ingin menyaksikan pertemuan dua tokoh yang selalu membuat kita kerepotan ini.” *** “Kau memang brengsek!” maki Benny ketika ia bertemu Sugi di asrama. Sugi yang sedang merenung langsung panas hatinya ketika ia dicerca secara tiba-tiba. Dengan tangan terkepal, ia bertanya, “apa maksud ucapanmu?” “Aku tidak mau tahu masalah apa yang menimpamu sehingga kau gagal di ujian terakhir, tetapi seharusnya kau tidak membiarkanku menghinamu demi merayakan kemenangan kosong yang tidak ada artinya itu.” “Semua ejekanmu tidak ada artinya bagiku. Bukankah sudah kukatakan kalau gayamu sama bodohnya dengan cara berpikirmu?” kilah Sugi dengan ketus. “Sekarang, kalau kau sudah selesai, enyahlah.” “Kau!” Benny berseru dengan nada tertahan, lalu mengangguk-angguk. “Empat sekawan memang menyebalkan, aku tahu itu. Tapi kau pasti tidak tahu kalau kau yang paling menyebalkan, Sugi!” Sugi mendekatkan wajahnya ke muka Benny. Raut muka Sugi terlihat menghina, lalu pipinya berkerut sedikit, menarik bibirnya ke atas sehingga mengeluarkan kata “pergi” dengan volume suara kecil dan perlahan. Wajah Benny memerah. “Baik, aku pergi! Tapi sebelum itu kau harus mendengarkan aku! Dengar, aku tidak ingin kemenangan dengan cara seperti ini. Siapkan dirimu untuk kompetisi di semester mendatang. Saat itu aku harap kau tidak lagi beralasan ini-itu untuk membela kekalahanmu.” “Benny yang patut dikasihani, aku khawatir kalau saat itu malah kau yang sibuk mencari alasan,” tukas Sugi datar. Benny mendengus kesal, lantas melangkah pergi dengan hati jengkel. Mengintip dari celah pintu, dua sekawan melihat ekspresi Sugi tetap dingin seperti sebelumnya. Mereka mulai kecewa karena perjuangan mereka tidak membuahkan hasil, namun mendadak sebuah senyum tipis merekah di bibir Sugi. Ery dan Ahmadi saling bertatapan. Bagaimana pun ini adalah awal yang baik… *** Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
4
32. Billy Yang Sendiri Musim liburan terasa membosankan bagi Billy. Sudah seminggu lamanya ia tinggal sendiri. Ia tidak ingin pulang ke Tortoise Village karena teman-teman di sana pasti akan merasa aneh dan bertanya-tanya, kenapa ia tidak pulang bersama Sugi dan kawan-kawan. Kendati begitu, berkeliaran di Newtown City tanpa tiga sekawan terasa sangat menyiksa, apalagi setelah ia mengetahui bahwa mereka pun tidak kembali ke hometown. Billy sedih karena Ery dan Ahmadi sama sekali tidak mencarinya. Ia bahkan mulai berburuk-sangka, mengira dua sekawan memihak kepada Sugi dan sepakat untuk meninggalkannya. Billy tidak tahu bahwa ketika ia memikirkan kemungkinan terburuk tentang sikap para karibnya, di saat itu pula dua sekawan sedang mengupayakan kemungkinan terbaik untuk persahabatan mereka. Billy mulai menghabiskan waktunya di perpustakaan. Di sana ia bisa duduk dalam keheningan, membaca buku dengan tatapan kosong sementara pikirannya mengembara entah ke mana. Kegiatan ini, tidak bisa tidak, menyita semangat Billy, mengubahnya menjadi seseorang yang kehilangan arah dan melamun tanpa tujuan. Tak pernah disadari olehnya kalau setiap ekpresinya yang murung senantiasa diamati oleh sepasang mata yang bersedih untuknya. Dan pemilik sorot mata itu, seorang gadis cantik, akhirnya tidak dapat menahan diri untuk menghampiri Billy dan menegurnya… *** “Selamat siang, boleh aku duduk di sini?” tanya Susan. Billy menoleh sedikit, lalu kembali menunduk dan pura-pura membaca. “Kau lihat sendiri, kursi itu kosong. Duduklah kalau kau mau.” Suasana kembali diam, namun Susan tidak membiarkan kesunyian datang menyergap. Sekedar berbasa-basi, ia lantas bertanya, “rasanya aku tidak melihat Ery, Sugi atau Ahmadi di sini. Di mana mereka?” Sorot mata Billy bagaikan terbit dari batas atas buku yang sedang dipegangnya. Tatapannya tidak bersahabat. Ia merasa tidak senang karena Susan sepertinya sengaja menanyakan hal itu, namun ia masih berupaya untuk tidak unjuk perasaan. Billy kemudian berkata, “mereka sedang ada urusan. Aku harap kau tidak merasa terganggu karena kami tidak muncul bersama.” Kalimat terakhir Billy terdengar cukup sinis bagi perasaan seorang gadis yang sensitif. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dan sesuatu itu pastilah mendekam di dalam hati Billy, membebaninya sedemikian rupa dan menggerogoti pribadinya sampai ia menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. Susan tidak mau menerka tentang apa yang telah terjadi. Billy sendiri yang harus menceritakannya supaya ia bisa merasa lega. Kalau sudah begitu, Susan harus memancing emosi Billy supaya keluh-kesahnya bisa dikeluarkan semua. “Aku tidak merasa terganggu kalau kalian tidak sedang bersama,” jawab Susan, menanggapi ucapan Billy sebelumnya, “tapi bagaimana dengan dirimu sendiri?” “Apa maksudmu?” tanya Billy tajam. “Billy, ada yang keliru dengan ucapanku?” “Aku sama sekali tidak suka pertanyaan seperti itu.” “Atas dasar apa?” Billy langsung menghempaskan bukunya ke meja. “Kau rewel sekali. Persis seperti Sugi. Aku tidak habis pikir kenapa aku harus bertemu dengan orang-orang seperti kalian! Menjengkelkan sekali!” Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
5 Billy mendengus dengan marah, lalu beranjak pergi. Susan, yang kini telah mengerti kalau Billy sedang bertengkar dengan Sugi, segera menyusulnya. Langkah Billy terhenti tatkala tangan lembut itu menarik lengannya. Hati Billy berdebar-debar. Ia merasakan keramahan lewat sentuhan tersebut, tetapi ia tidak yakin harus berbuat apa. Akhirnya ia membiarkan rasa amarah menguasai dirinya. “Apa lagi?” seru Billy. “Kenapa kau selalu menggangguku?” “Bukan mengganggu, tetapi peduli padamu.” “Kau…” Billy menatap sorot mata yang jernih itu, tetapi tidak menemukan alasan untuk memarahinya. Dan Billy pada dasarnya memang bukan pemarah. Akhirnya ia hanya bisa berkata dengan lirih, “tapi aku… aku ‘kan bukan siapasiapa bagimu. Mengapa kau harus turut campur dalam urusanku?” “Salah,” gumam Susan. “Kau adalah temanku. Karena itu aku peduli. Jangan katakan kalau kau lupa dengan nasehat yang telah kau berikan pada kami di saat kau membela Daisy1.” “Itu… peristiwa Daisy dan aku… apa hubungannya? Itu adalah dua hal yang berbeda...” “Tidak! Sekarang ini keadaanmu tidak jauh lebih baik dari Daisy. Kau sedang kesepian dan dirundung masalah. Jika bukan aku yang menolongmu, maka aku, mereka dan dirimu sendiri, akan kehilangan Billy yang selama ini kita kenal. Dan aku… aku tidak rela jika hal itu terjadi…” Billy terpana. Susan segera memalingkan wajahnya, menaikkan tangannya dan menyeka pelipis matanya dengan halus, lalu berkata, “maaf, pandanganku terganggu karena debu.” Apapun yang dikatakan Susan, Billy tahu gadis itu meneteskan air matanya karena tak sanggup menahan luapan perasaannya. Susan mencintai Billy sejak pandangan pertama, perasaannya tidak pernah berubah, karena itulah ia ada di sini. Jika Billy adalah seseorang yang berpikiran picik, ia pasti beranggapan bahwa gadis itu tidak tahu malu, sudah ditolak tetapi masih saja mendekatinya. Tetapi Billy tidak berpikiran sesempit itu. Ia justru terharu karena Susan begitu tulus kepadanya. “Aku yang seharusnya minta maaf karena telah meneriakimu dengan kasar,” tutur Billy dengan nada pelan. “Semestinya aku berterima kasih karena masih ada kau yang mau memperhatikan aku.” Susan menoleh dengan tatapan tak percaya. “Aku bisa memahami niat baikmu,” lanjut Billy, “tapi bagaimana caranya kau bisa menolongku kalau aku sendiri pun tidak bisa menolong diriku untuk keluar dari masalahku?” “Apapun masalahmu, berbagilah denganku. Setidaknya kau akan merasa lebih baik.” Billy mengangguk, kemudian, selagi pandangannya tertuju pada papan peringatan bertuliskan “harap diam” yang tergantung di dinding perpustakaan, Billy pun berbisik, “tapi rasanya perpustakaan bukanlah tepat yang tepat untuk bercerita.” Susan tersenyum. Billy lantas menggandeng tangannya dan meninggalkan perpustakaan… ***
1
A friend in need is a friend indeed. Billy membela Daisy ketika para teman-temannya mulai mengucilkan gadis malang itu. Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
6
33. Membujuk Herlina “Tetapi kenapa harus aku?” tanya Herlina ketika Ery dan Ahmadi mencegatnya, menceritakan kisah sedih Sugi dan memintanya untuk membantu. “Jangan katakan kalau aku yang membuatnya merasa tertekan.” “Yeah, kau memang tidak menekan apa pun dari tubuhnya yang sensitif,” sahut Ahmadi tanpa pikir panjang. “Dasar gila,” ujar Herlina sambil melangkah pergi. “Aku tidak mau berbicara denganmu.” Ahmadi mengangguk setuju. “Bagus. Kalau begitu, bicaralah dengan Sugi. Kalau kau berhasil meyakinkannya bahwa kau tidak bermaksud menyakiti hatinya, kau boleh kembali dan menuntut satu porsi nasi goreng dariku.” “Sinting. Jangan kira aku sudi melakukan permintaanmu.” “Hei, itu bukan permintaan, tapi perintah!” Dan langkah Herlina pun semakin cepat. Ahmadi tidak bisa menahan diri untuk menyeringai senang. Di sampingnya, Ery mendengus kesal karena Ahmadi semakin memperburuk suasana. “Usaha yang hebat,” gumam Ery. “Tentu saja. Kau boleh bergembira karena selera humorku membaik. Padahal sebelumnya aku sempat cemas, apakah lidahku sudah menjadi kaku karena seringkali terjebak dalam formalitas kehidupan.” “Dasar bego!” seru Ery. “Kau baru saja menghancurkan kesempatan kita. Kini dia semakin tidak mau bekerja sama dengan kita karena…” Ahmadi segera menyela. “Karena tampangmu terlalu seram. Kalong saja bisa kehilangan nafsu makan bila menatap wajahmu! By the way, kau harus tahu, Herlina ini rupanya agak judes dan temperamental. Sedikit menggoda gadis ini akan baik untuk memperbaiki kreativitas humorku yang cukup menurun akhirakhir ini. Bagaimanapun aku harus melucu demi kesehatanku sendiri…” “Aih, sudahlah! Dalam kasus ini loe gak perlu turun tangan. Biar wa yang selesaikan.” “Terserah!” jawab Ahmadi. “Tapi mengingat pengalamanmu dalam memikat Diana, rasanya kau akan gagal lagi. Ingat! Herlina bukanlah Luk Kiau atau Mardiana.” *** Ery mengejar, lalu menghentikan langkah gadis itu dan membuatnya terlonjak mundur sebanyak tiga langkah karena tidak sanggup menahan bau ketiak Ery yang bercampur keringat segar nan asin. Sambil mendekap hidungnya dengan sapu tangan, Herlina bertanya, “mau apa kau? Mau menggunakan kekerasan?” “Tidak, punyaku pendek dan tidak keras,” kilah Ery dengan gugup. “Jangan salah paham dulu. Wa memang bau. Tapi setiap orang gemuk yang berkeringat akan tetap beraroma seperti babi dalam comberan.” Herlina terperanjat. “Aku sama sekali belum pernah mendengar peribahasa ini. Apa artinya?” “Artinya sama-sama bau. Akan tetapi bukan bau ketiak ini yang mau kubahas denganmu, melainkan bau ujung kaki yang sudah terlalu lama terselubung oleh kaus kaki, ups… bukan itu juga. Sorry, aku gugup.” Mau tidak mau Herlina jadi tertawa. “Baik. Bila dibandingkan dengan temanmu tadi, kau jauh lebih enak untuk diajak bicara. Namun jangan ajak aku berbincang tentang Sugi. Aku tidak mau. Aku tidak terlibat.” “Justru itu yang mau wa jelaskan,” potong Ery. “Herlina, kalau kau berpendapat bahwa kau tidak terlibat, maka baiklah, kita tidak akan membahas hal itu lagi. Tapi kita lihat dari sisi lain: Sugi dalam masalah dan hanya kau yang Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
7 bisa menolongnya. Kalau sudah begitu, apa kau tidak tergerak untuk menolongnya?” “Tapi… tapi ini tidak masuk akal. Kalaupun aku ingin menolongnya, aku sama sekali tidak tahu masalahnya. Bagaimana mungkin aku bisa membantunya?” Ery tersenyum. “Kurasa kau tahu masalahnya.” Herlina mengerutkan dahi. Pandangan Sugi yang begitu pasrah dan terpukul karena ucapannya senantiasa menghantuinya sejak peristiwa itu. Walaupun begitu, Herlina masih mencoba untuk mengingkari hal tersebut. Kini, setelah Ery memojokkannya sedemikian rupa, Herlina hanya bisa tertunduk sambil menghela napas. Kemudian ia kembali menengadah dan berkata, “katakan padaku, di mana aku bisa menemui Sugi?” *** Sugi tidak bisa mempercayai penglihatannya ketika ia menyadari kehadiran sosok yang datang untuk menjumpainya. “Herlina, kaukah itu?” “Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan menjumpaimu pada saat-saat seperti ini?” Muda-mudi itu lantas terdiam. Mereka tidak saling bertatapan, bukan karena tidak mau, tetapi tidak sanggup untuk beradu pandang. Sugi merasa rendah diri karena telah ditolak, sedangkan Herlina merasa bersalah karena tempo hari telah bersikap kasar pada pemuda ini. “Herlina, aku,” Sugi memulai percakapan, tapi tampaknya tidak tahu darimana ia harus memulainya, “aku… coba katakan, apa yang harus kulakukan agar kau percaya bahwa aku…” “Plak!” *** Ery dan Ahmadi yang mengintip dari balik tembok kontan merasa terkejut. Karena kaget, Ahmadi langsung berkata spontan, “wah, Sugi ditampar! Hebat juga Herlina! Atau mungkin Sugi yang terlalu bego. Kalau wa yang diperlakukan seperti itu, pasti wa colok mata cewek itu.” “Tapi Herlina ‘kan pakai kacamata.” “Kalau begitu, bor dulu kacamatanya, baru colok matanya,” tukas Ahmadi. “Psst! Jangan ribut! Herlina mulai berbicara lagi, tuh!” *** “Dasar Sugi bodoh! Kau tahu apa masalahmu? Kau sama sekali tidak peka terhadap perasaan seorang wanita. Dengan mencoba menyatakan isi hatimu kepadaku di depan umum, itu sama saja artinya dengan mempermalukan diriku secara terang-terangan. Coba kau pikir! Aku tidak begitu mengenalmu, ‘kan aku bisa saja mengira kalau kau berniat untuk menghinaku dengan cara seperti itu.” Sugi terdiam dengan mulut terbuka. Seekor lalat hinggap di lidahnya dan… *** Ahmadi dan Ery terkejut bukan buatan. Saat mereka melihat lalat sial itu sedang menggosok-gosokkan kedua kaki depannya, tahulah mereka bahwa lalat itu merasa puas dan siap untuk menyebarkan penyakit. “Gawat! Aku harap Sugi tidak terkena diare gara-gara lalat itu. Aku tidak suka kalau dia bolak-balik ke toilet selagi kita tidur,” gumam Ery cemas. “Yeah, apa yang dia keluarkan dari anusnya bahkan lebih bau dari pupuk kandang. Lebih celaka lagi, dia sering lupa menyirami kloset dan membersihkan pantatnya kalau sedang buang air di tengah malam.”
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
8 “Mari kita berharap, daripada dia terserang diare, lebih baik jika dia terkena typhus. Dengan demikian kita tinggal melemparkannya ke bangsal rumah sakit dan membiarkan para suster kerepotan karena ulahnya.” Ahmadi tersenyum senang. “Ide bagus. Kita bisa menjenguk para suster di sana.” *** Kembali ke adegan dramatis antara Sugi dan Herlina… “Kupikir kau pintar. Kukira kau tegar. Tidak kusangka kalau kau begitu lemah dan mudah dipermainkan oleh perasaan. Bagaimana kau bisa berharap bahwa aku akan menyukaimu kalau kau sendiri mudah larut dalam perasaan frustrasi? Aku tidak suka pria cengeng.” Kalimat Herlina terasa bercabang di telinga Sugi. “Menyukaiku? Maksudmu… aku masih punya kesempatan?” “Terserah jika kau mau berpendapat begitu. Aku mau pergi!” “Tunggu dulu, Herlina…” Gadis itu menghentikan langkahnya. “Apa lagi?” “Terima kasih karena telah menghadirkan kembali secercah harapan di dalam hidupku.” “Oh? Dulu aku pernah mendengar kalau Sugi itu seseorang yang optimis,” ucap Herlina tanpa menoleh. “Sekarang ini setidaknya kau mulai terlihat seperti apa yang pernah kudengar.” Usai berkata, gadis itu kembali meneruskan langkahnya. Di belakang Herlina, Sugi tersenyum bahagia. Sorot matanya terlihat menyala, penuh semangat seperti biasanya… ***
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
9
34. Bersatu Kembali “Aku tahu ini ulah kalian! Percuma kalian bersembunyi!” teriak Sugi. “Ahmadi dan Ery, keluarlah!” Dua sekawan keluar dari persembunyiannya dengan enggan. Sambil mendekat, Ahmadi beralasan sekenanya. “Err, kenapa loe tidak berpikir kalau Herlina datang karena kehendaknya sendiri?” “Pertama, karena itu tidak mungkin,” Sugi menjelaskan pemikirannya. “Kedua, dengan berkata seperti itu, wa tahu kalau loe mencoba berbohong untuk menutupi perbuatan loe.” Ahmadi kontan menggerutu setelah mendengar penuturan Sugi. “Inilah alasan kenapa wa kurang suka berkawan dengan orang pintar. Dia selalu bisa menebak kebohongan yang wa karang.” “Sekarang jelaskan kenapa kalian memancingnya kemari,” pinta Sugi. “Memancing?” Ahmadi berkomentar sambil menoleh arah Ery. “Tadi kita tidak pergi ke kolam ikan, bukan?” “Dan jika Herlina adalah jelmaan putri duyung, bukan salah kita juga kalau dia datang menjumpai Sugi. Kita ‘kan tidak pergi ke laut untuk memancing duyung,” jawab Ery, berimprovisasi untuk mengikuti permainan bego-begoan yang diciptakan Ahmadi secara spontan. Sugi tersenyum geli melihat dua sekawan begitu kompak dalam hal berpura-pura. “Sudahlah, aku tidak marah, kok. Aku banyak melakukan kekeliruan akhir-akhir ini. Sudah sepantasnya aku berterima kasih untuk bantuan kalian.” Ahmadi menyipitkan mata dan mengerucutkan mulutnya. “Mirip. Sudah cukup mirip Sugi yang dulu wa kenal.” “Yeah,” sambung Ery. “Sudah mulai terasa seperti dulu lagi. Hanya saja masih ada yang kurang…” “Aku tahu maksudmu, Ery,” tukas Sugi. “Ayo, kita jumpai dia.” *** Sebenarnya Billy bukanlah pribadi yang suka mengeluh, tapi ia sungguh terpukul oleh sikap Sugi yang begitu sinis terhadapnya, terlebih lagi setelah persahabatan yang telah mereka jalani selama bertahun-tahun. Ia merasa dikecewakan. Lebih buruk lagi, ia merasa bahwa persahabatan mereka ternyata hanyalah sebuah kemunafikan belaka. Kalau saja Susan tidak hadir untuk mendampinginya, kehidupan Billy akan berjalan tak tentu arah. Kini ia sungguh terkesan dengan gadis ini. Secara perlahan, persahabatan empat sekawan mulai menjadi bayang-bayang masa lalu bagi dirinya. Susan adalah segalanya bagi Billy, meskipun hal ini belum pernah ia ungkapkan. Di saat bersamaan, Sugi telah kembali menjadi dirinya yang dulu. Ia bukan lagi Sugi yang pemarah dan iri, tetapi Sugi yang cerdas dan bersahabat. Bersama Ery dan Ahmadi, ia menjumpai Billy, namun… *** “Sepertinya aku kenal dengan orang-orang ini?” ujar Billy ketika ia dan Susan bertemu dengan tiga sekawan. “Tapi maaf, aku tidak ingat apa pun tentang kalian.” Ahmadi tersenyum. “Loe pasti bercanda. Masa kau lupa dengan temantemanmu? Jangan katakan kalau kau tidak merindukan lelucon Ahmadi yang ceria.” “Lelucon murahan, maksudmu? Teman-teman apaan? Di mana kalian saat aku diusir oleh si Kacamata sialan ini?” Billy memaki dengan ketus untuk Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
10 melampiaskan kekesalannya. “Apa yang kau sebut sebagai persahabatan itu sudah usai. Pergilah.” Ahmadi terkejut. Ia tidak menyangka kalau Billy yang cool bisa kalap seperti itu. Sugi segera mengambil alih pembicaraan karena ia sadar bahwa semua ini adalah salahnya. “Kau terpisah cukup lama dari kami. Kau tidak tahu apa yang mereka lakukan selama ini, jadi…” “Jadi kau berharap aku duduk dan mendengarkan ceritamu dulu? Kau sangat bodoh jika berpikir bahwa aku akan begitu saja mendengarkan ocehan komplotan penipu seperti kalian.” Hati Sugi merasa pedih karena dicerca seperti itu. Mungkin itulah yang dirasakan oleh Billy sewaktu ia mengusirnya. Sadar kalau ia pantas menerima perlakuan sekasar itu, Sugi tidak beranjak dari hadapan Billy. “Kenapa diam? Kehabisan kata-kata? Bukankah tadinya kau ingin bercerita? Kau ini memuakkan, tahu?!” “Billy, sudahlah!” Susan akhirnya menengahi perbincangan mereka karena tidak tahan mendengar perkataan Billy yang ketus. Billy menoleh. “Apanya yang sudah? Aku baru saja mulai.” “Tapi mereka adalah teman-temanmu.” “Teman? Kalau saja kau melihat bagaimana dia memakiku, aku ingin tahu apakah kau masih berpikir kalau Sugi adalah temanku. Dia menghinaku habishabisan, seolah-olah aku ini hanyalah anjing kampung yang kotor. Aku hanya ingin dia merasakan hal yang sama. Nah, apakah aku salah?” “Tentang kejadian itu, aku minta maaf,” ucap Sugi dengan nada lemah. “Itu pun kalau kau masih mau memaafkan aku…” Billy melongo tak percaya. “Maaf? Kau pikir ucapan itu menyelesaikan semua masalah?” “Kau benar-benar menyedihkan,” ucap Susan, mendadak melepaskan tamparan ke wajah Billy. “Kebanggaan seperti apa yang akan kau capai jika kau berhasil menyakiti hati mereka? Begitu mereka pergi karena kecewa, kau justru akan menyesali perbuatanmu.” Bagaikan terbangun dari mimpi buruk, emosi Billy mulai terkendali. Ia melihat Susan menangis dan mundur perlahan. Gadis itu mundur dan menjauh. “Billy, aku telah salah menilaimu. Selamat tinggal.” *** Susan pergi. Billy tak sanggup mengejarnya karena setiap langkahnya terasa begitu berat. Ia terpaku di tempatnya dan berkata, “aku… apa yang telah kulakukan?” Tiba-tiba ia merasa ada yang menepuk pundaknya dengan maksud menghibur. Ia menoleh, dan Sugi menyambutnya dengan kata-kata, “maafkan, aku. Semua ini salahku.” Billy tidak menjawab. Ia hanya menatap Sugi dalam hening, membuat Sugi tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya. Sugi akhirnya membalikkan badan sambil menggeleng-gelengkan kepala, kemudian berjalan meninggalkan Billy. “Sugi, aku juga minta maaf.” Sugi langsung menghentikan langkahnya dan menoleh. Senyum khasnya merekah di bibir setelah telinganya merasakan nada ucapan yang bersahabat dari Billy. Ia lantas mendekat dan menonjok lengan Billy dengan perlahan. “Kita banyak berbuat kesalahan, eh?” ujar Sugi. “Yeah, aku bahkan mengorbankan perasaan Susan karena amarahku yang sia-sia. Kita mulai kembali persahabatan kita?” Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
11 Sugi mengangguk. Ery lantas menghampiri dan merangkul mereka berdua. “Wah, kalian membuatku terharu,” gumam Ery. “Ahmadi?” “Woah, jangan berharap kalau aku akan turut bergabung dalam acara peluk-pelukan seperti itu. Aku bisa menderita alergi kalau memaksakan diri untuk memeluk cowok.” Billy tertawa. “Kau benar. Aku sungguh merindukan leluconmu.” Empat sekawan akhirnya bersatu kembali setelah melewati masa-masa getir yang menguji kesetiakawanan mereka. Dengan menguburkan kisah persahabatan yang retak di dalam gundukan masa lalu dan berpijak di atasnya pada saat ini, empat sekawan akan menyikapi masa depan dengan lebih arif dan bijaksana… ***
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
12
35. Dituduh Memperkosa “Berkali-kali sudah kukatakan, pelakunya bukan aku. Anda salah paham, Sir,” bantah Ery dengan nada cemas dan putus asa. Mr. Policeman itu acuh tak acuh. “Apapun pembelaan anda, mohon disampaikan di pengadilan yang akan digelar besok.” Ery langsung merasa lemas. Tidak terbayang kalau nasibnya akan menjadi runyam seperti ini. “Aku bingung. Boleh aku menelepon?” Si polisi tidak menjawab, tetapi hanya menunjuk ke arah telepon dengan pen yang digenggamnya. Ery melangkah dengan gontai untuk mencapai telepon, lalu mulai memutar nomor dan… *** Ery : “Halo. Sugi, ya?” Sugi : “Wah, Ery. Loe di mana sekarang? Loe sedang ditunggu, nih! Masa loe tega membiarkan Diana menunda pesta ultahnya hanya karena loe berlama-lama?” Ery : “Sugi, wa sedang ada di kantor polisi.” Sugi : “Apa? Loe ditangkap karena menginjak ekor kucing atau berebut tulang dengan anjing?” Ery : “Loe menghina, ya? Kasus gua jauh lebih elit dari itu. Wa ditahan dengan tuduhan memperkosa!” *** “Ada apa, Sugi?” tanya Ahmadi, heran karena Sugi berpaling dengan muka pucat sehabis menerima telepon. Mendengar ucapan Ahmadi, semua teman-teman yang hadir di rumah Diana pun menatapnya, seolah-olah sedang menunggu penjelasan tentang ekspresinya yang aneh. “Ery tidak bisa datang. Dia akan sangat terlambat. Yeah, bukan cuma telat satu atau dua jam, tapi bisa saja selama enam atau tujuh tahun.” Penjelasan Sugi terasa ngawur. Billy lantas menanyakan detil permasalahannya. “Ery ada di kantor polisi. Ia dituduh memperkosa.” Semua terperanjat, terlebih lagi Ahmadi. Ia langsung mengelus dagu dan mulai berhipotesa. “Hmm, dengan tampang bejat yang dimiliki Ery sejak lahir, aku sudah lama mencurigai kelakuannya yang biadab. Kukira dia hanya mengorok sewaktu tidur, tak kusangka kalau dia juga memperkosa di siang bolong.” Kini gantian Ahmadi yang ditatap oleh semua orang. Penuturannya yang sembarangan sungguh mirip dengan analisis Kogoro tidur dalam serial Conan Edogawa! Setelah menjitak Ahmadi secukupnya (yeah, cukup untuk membungkam mulutnya), mereka meminta Sugi untuk menjelaskan persoalan sebenarnya. “Ery tadi menceritakan kalau ia tadi mendengar jeritan lemah dari arah lorong gelap, kemudian ia berlari ke sana dan memergoki seorang pria berbadan besar sedang menindih seorang gadis. Tanpa pikir panjang lagi, Ery segera menarik pria itu dan mendorongnya ke belakang. Pria itu sempat jatuh, namun segera bangkit dan kabur setelah perbuatannya ketahuan. Ery tidak mengejarnya karena ingin mengambil kesempatan untuk menggarap gadis malang itu…” Semua langsung menatap Sugi dengan pandangan datar. “Kau yakin itu cerita yang sesungguhnya?” “Haha, rupanya kalian serius dalam menyimak, ya? Cerita yang sesungguhnya adalah Ery berniat menolong gadis itu. Pakaian gadis itu sobek
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
13 karena dicabik dengan brutal. Gadis itu sendiri berada dalam kondisi pingsan. Ketika Ery mencopot bajunya untuk menutupi tubuh gadis itu…” “Sebentar, Sugi. Yang hendak ditutupi Ery itu tubuh bagian atas atau bagian bawah?” tanya Ahmadi dengan hidung mimisan. “Hmm, aku mulai bisa membayangkan bagaimana air liur Ery menetes ketika ia hendak menutupi tubuh gadis itu. Tidak heran kalau akhirnya ia dituduh sebagai pemerkosa.” “Tidak salah!” sahut Sugi. “Ketika Ery sedang melepas bajunya, gadis itu siuman. Dalam kondisi trauma karena nyaris diperkosa, ia berteriak dengan histeris, menuduh Ery sebagai pemerkosa. Massa berdatangan karena jeritan tersebut, lalu mulai menggebuki Ery, menarik bulu ketiaknya, mencubit pipinya, menjewer kupingnya, menggigit pahanya, menyodok pantatnya…” “Wah, main sodok pantat segala? Pasti ada penyandang homoseksual di antara kerumunan orang itu,” gumam Ahmadi takjub. “Lantas?” “Yeah, akhir dari cerita. Ery digiring ke kantor polisi dan dituduh sebagai pemerkosa.” Billy langsung mengungkapkan perasaan tidak setuju terhadap perlakuan yang tidak adil terhadap Ery. “Ini sungguh tidak masuk akal. Kita semua memang tahu kalau Ery itu pecandu situs xxx, majalah porno dan film biru, tetapi ia tetap saja jauh lebih sopan dari tampangnya. Kalau ada tindakannya yang paling kurang ajar, itu adalah kentut tanpa melorotkan celana.” Geoffrey melongo. “Kentut harus melorotkan celana? Kedengarannya sexy sekali.” “By the way, wa tidak tahu kalau Ery itu pecandu situs xxx, majalah porno dan film biru, tetapi ia tetap saja jauh lebih sopan dari tampangnya,” tukas Subianto dengan wajah polos namun sedikit dungu. Billy menoleh dengan agak tercengang, namun ia segera menangani hal kecil itu dengan bijak. “Well, Subi. Kalau kau yang tidak tahu, itu wajar sekali. Pendapat loe gak dibutuhkan, jadi loe gak usah tahu tentang banyak hal.” Dan Subianto mengangguk setuju, membuktikan bahwa IQ-nya memang lebih jongkok dari kera Jepang berpantat merah yang sedang jongkok untuk buang air besar di kolam pemandian air panas. “Tapi kita lupakan dulu Subianto dan pantat merahnya,” ujar Sheik Habibie setelah membaca paragraf sebelumnya. “Apa yang bisa kita lakukan untuk Ery?” *** Pertanyaan Sheik Habibie terjawab lewat aksi mahasiswa di depan kantor pengadilan pada keesokan harinya. Arie Dementor memimpin rekan-rekannya untuk melakukan demo. Setiap orang berunjuk rasa dengan keras, namun yang paling keras adalah Arie Dementor karena ia menggunakan corong pengeras suara. “Bebaskan Ery sebelum baterai megaphone ini habis! Jangan biarkan saya berteriak tanpa pengeras suara! Kasihanilah saya. Saya orang tak punya. Makan cuma 4 kali sehari dan terkadang lupa minum Coca-Cola. Bayangkan betapa cemasnya ibu saya kalau suara saya menjadi serak dan terpaksa berkomunikasi dengan tulisan. Saya bersumpah demi apa saja bahwa tulisan saya sangat jelek, karena itu jangan biarkan ibu saya membacanya!” Dan semua menoleh dengan heran kepada Arie Dementor. Apa sebenarnya yang sedang ia perjuangkan? Di tempat lain, Mahatma Iqram kembali berpuasa. Belajar dari pengalaman gagalnya puasa terdahulu, ia menegaskan bahwa kali ini ia berpuasa terhadap nasi, namun bebas makan roti.
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
14 Subianto juga menyiksa fisik dalam rangka demo. Ia makan jagung dan kerupuk ikan tanpa bantuan gigi palsu. Dengan gigi seadanya (atau gigi yang tersisa), Subianto tampak kelelahan saat mengunyah. Pencernaan yang tidak normal itu membuat beberapa biji jagung tergelincir masuk sehingga menyumbat paru-paru, menyebabkan bengeknya kambuh. Sheik Habibie sendiri tidak mau kalah. Ia datang dengan unta, mendeklarasikan dirinya sebagai pahlawan yang datang dari negeri seribu satu malam dan menuntut pembebasan tanpa syarat untuk Ery. Sebagai gantinya, ia mempertontonkan pertunjukan unta yang bermain bola selincah anjing laut. Tetapi para polisi yang mengawal pengadilan tidak terkecoh, malah menuduhnya sebagai buronan yang kabur dari Perang Teluk dan mencari suaka di Newtown City. Dengan tembakan gas air mata, ia dan untanya pun menangis sedih. Para mahasiswa panik karena gas air mata. Bagaimanapun mereka tidak suka menangis di depan umum karena hal ini akan membuat mereka terlihat cengeng. Untunglah pada saat itu Sugi telah datang. Dengan bantuan Mr. AlIqhlas yang turut mendampinginya, Sugi meredakan suasana dan mengajak teman-temannya untuk masuk ke dalam gedung karena sidang akan segera dimulai. *** Sidang dimulai. Ery dihidangkan sebagai terdakwa. Ia tampak kelaparan. Sepertinya ia tidak diberi ransum yang cukup sewaktu berada dalam tahanan. Dengan perut kosong begitu, Sugi khawatir kalau Ery akan kentut sembarangan karena masuk angin. Jaksa penuntut maju, membuat Ery merinding tak bergairah. Pertanyaan pertama pun dilontarkan: “siapa namamu?” “Ery, Sir.” “Cocok sekali! Tak diragukan lagi, kamulah pelakunya!” Semua langsung terlonjak dari kursinya. Bahkan rambut palsu sang hakim pun melompat karena kaget. Baru pertanyaan pertama saja sudah menuduh! Tomat busuk pun bertaburan. Masrul dan Budi Tornado segera diamankan dari ruangan. Sisa tomat yang mereka bawa akhirnya disita dan dijadikan juice. “Kalian berdua akan saya tuntut nanti!” umpat sang jaksa sambil mengelap pipinya yang dihajar tomat basi. “Sekarang kembali ke kamu, Gendut. Namamu Ery, ‘kan? Apakah kamu akui hal ini?” “Mengaku apa?” “Hei, jawabannya hanya ya atau tidak!” “Ya, saya akui kalau nama saya Ery.” Dan penonton pun tertawa. Jaksa itu mencak-mencak dan menuntut hukuman cambuk sepuluh kali atas pernyataan Ery yang dianggap telah mempermalukan dirinya. Kali ini telur busuk yang bertaburan, lalu Santa Eve dan Luk Kiau ditarik keluar dari ruangan. Sisa telur yang mereka bawa akhirnya disita dan dibuat menjadi telur dadar. Hakim segera mengetuk palu. “Mohon kendalikan diri. Kalau tidak, saya akan menghentikan persidangan ini. Jaksa penuntut, silahkan.” “Kalian berdua juga akan saya tuntut nanti!” umpat sang jaksa sambil mengelap pipinya yang dihajar telur busuk. “Sekarang kembali ke kamu, Gendut. Lihat gadis malang ini. Apakah ia cantik?” “Ya.” “Apakah kamu bernafsu kalau melihatnya?” Ery merasa disudutkan. “Pertanyaan macam apa ini?” “Hei, jawabannya hanya ya atau tidak!”
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
15 Ery lantas menoleh ke arah penonton. Ia berkeringat dingin. Bila ia menjawab iya, pasti ia akan didakwa sebagai pemerkosa. Tapi kalau ia menjawab tidak, kejantanannya akan dipertanyakan oleh teman-temannya, terutama oleh Ahmadi. Pertolongan akhirnya datang dari tim pengacara, dalam hal ini adalah Mr. Al-Iqhlas dan dr. Koellar. “Keberatan, Yang Mulia. Klien saya sangat dirugikan dengan pertanyaan semacam itu.” Hakim mengangguk. “Keberatan diterima. Jaksa, tarik kembali pertanyaan anda, kalau tidak,” hakim menoleh dengan cemas ke arah penonton, “bom molotov akan melayang ke arah anda.” “Baik, Yang Mulia,” sahut jaksa. Ia lantas beranjak ke Ery dan berbisik, “kau beruntung bisa lolos dari pertanyaan maut. Tapi kali ini kau tidak akan seberuntung itu lagi.” Jaksa itu mundur dan mengibaskan jubahnya seperti Drakula. “Kenapa kau melepaskan baju saat melihat gadis itu? Tidakkah itu merupakan indikasi kalau kau ingin memperkosanya?” “Indikasi seperti apa?” tanya Ery, tidak mengerti. “Dengan apa saya memperkosanya kalau celana saya tidak dibuka?” Penonton tertawa geli, apalagi saat dr. Koellar mengingatkan sang jaksa bahwa penis itu berada di balik celana. Hakim juga tertawa kecil sembari meminta agar dr. Koellar menjaga ucapannya, namun sang dokter membantah bahwa penis tidaklah bermakna jorok karena kata tersebut bersifat ilmiah. “Sir, satu-satunya maksud dari tindakan yang saya lakukan adalah untuk menutupi tubuh gadis yang telah tersingkap itu,” ungkap Ery jujur. *** Waktu sang jaksa telah usai. Kini giliran pengacara yang bertanya. Mr. Al-Iqhlas lantas menanyai sang korban. “Nona, bagaimana upaya pemerkosaan ini bisa terjadi?” “Saat itu saya sedang berjalan melewati lorong sepi. Tiba-tiba saya disekap dan dijatuhkan untuk ditindih.” “Apakah anda melihat wajah si pelaku?” Nona itu terdiam, agak gelisah. “Saya sangat ketakutan. Saya berusaha untuk berteriak dan meronta sebisa mungkin. Saya hanya ingat bahwa orang itu bertubuh besar dan tangannya berbulu, lalu saya pingsan.” Mr. Al-Iqhlas menoleh ke arah Ery, melihat tubuhnya yang besar dan lengannya yang berbulu. “Saya tidak bertanya sejauh itu, Nona. Saya hanya ingin tahu apakah anda melihat wajah sang pelaku.” “Keberatan, Yang Mulia. Klien saya diintimidasi oleh pengacara botak itu.” Hakim menjawab, “keberatan ditolak.” Mendengar keputusan hakim, nona muda itu menunduk, lalu menggeleng. Mr. Al-Iqhlas menatap gadis itu dengan lembut, kemudian berkata dengan perlahan. “Saya mengerti bahwa anda telah merasa dipermalukan dan ingin agar ada yang dihukum untuk menutupi aib ini, namun gugatan anda terlalu lemah. Yang benar tidak dapat dipersalahkan, dan anda akan sangat menyesali tuntutan anda jika penolong anda ternyata dijatuhi hukuman karena kebaikannya.” *** Di akhir persidangan, Hakim memutuskan bahwa Ery tidak bersalah. Penonton bersorak gembira. Ery turun dan menjabat tangan hakim, jaksa, dan para pengacara, kemudian ia melambai kepada teman-temannya. Setelah itu ia berpaling ke arah penggugat. Gadis itu tampak terisak dalam tangis. Ery lantas menghampirinya. “Bagaimana perasaanmu?” Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
16 Gadis itu berusaha menyeka air matanya. “Maafkan aku.” “Tidak, bukan itu. Aku tidak mempermasalahkan tuntutanmu meskipun, jujur saja, aku sangat ketakutan karena inilah kali pertama aku menjadi seorang terdakwa.” Ucapan Ery membuat gadis itu tertawa sedikit. “Terima kasih karena telah menolongku.” “Dengar. Aku tahu pengalamanmu ini sangat tidak menyenangkan. Tapi aku mau membantumu. Aku kenal pelakunya. Sekali lagi aku bertemu dengannya, akan kuseret dia ke pengadilan. Nantikan saja.” ***
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
17
36. Ulang Tahun Diana Gara-gara kasus Ery, ulang tahun Diana batal dirayakan. Untung saja kue tartnya bisa ditaruh di kulkas sehingga tidak basi. Sebenarnya Diana tidak terlalu bersedih hati, tapi teman-teman tidak tega. Oleh karena itu, ketika Diana bekerja freelance pagi hari di Breakfast Corner, Ery dan kawan-kawan berbondongbondong menyusup ke rumahnya untuk bikin kejutan. Rintangan pertama yang harus dilewati oleh gerombolan adalah pagar dengan palang peringatan berbunyi, “awas, anjing galak!” Anak-anak tentu saja tidak cemas karena di hari sebelumnya mereka sudah mampir ke sini dan tidak menemukan seekor anjing pun. Akan tetapi peringatan itu bukan sekadar peringatan, rupanya. Begitu Subianto mendorong gerbang dan menjulurkan kakinya ke dalam halaman, ia langsung ditarik ke dalam. Sugi dan kawan-kawan yang masih berdiri di balik pagar sempat merasa takjub melihat tubuh Subianto terombang-ambing di udara. Setiap kali ia menjerit, maka terdengar raungan buas dan terlihat pula cabikan kain yang disertai percikan darah. “Peringatan ini cukup serius,” gumam Ahmadi. “Dan tampaknya hewan-hewan itu sudah cukup lama tidak melihat daging segar,” sahut Billy. Sugi mengangguk setuju. “Kalau kita masuk, aku khawatir kalau bukan kita yang membuat kejutan, namun malah kita yang menjadi kejutan dalam bentuk daging cincang dan bakso super.” Ery menghela napas. “Wa tahu resikonya. Tapi kita harus berjuang demi Diana. Ayolah, kawan-kawan.” Arie Dementor dan yang lainnya langsung merosot dalam kondisi lemas. “Gendut atau kurus, ganteng atau jelek, semua Romeo sama saja. Selalu berlagak gentle!” Dan Arie Dementor langsung dicampakkan ke dalam pagar, dijadikan umpan langsung ke moncong bulldog, doberman, herder, serigala, rubah, hyena, puma, beruang, singa dan macan purba bertaring pedang. Ia dicabik dari sepuluh penjuru (delapan arah mata angin dan arah atas-bawah) sehingga terlihat bugil tak bercelana dalam. Setelah Arie dikorbankan, para mahasiswa segera menyerbu masuk. Sheik Habibie melayang dengan permadani terbang, mendarat di atas atap rumah bersusun dua, lalu mulai merangkai cerobong asap dari bata supaya dia bisa masuk dengan gaya Sinterklas (atau the Grinch). Sebelum cerobongnya jadi, mendadak ia disambar oleh tyrannosaurus-rex untuk dijadikan pembangkit selera. Para mahasiswa terkejut! Kalau hewan seperti tyrannosaurus saja dijadikan peliharaan di rumah ini, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa spinosaurus atau bahkan Godzilla juga berkeliaran bebas di sini! Meski gaya Sheik Habibie sebagai seorang penyusup sebenarnya sangat anggun dan pantas untuk ditiru, teman-teman lebih berminat untuk segera menerobos masuk demi menyelamatkan nyawa masing-masing. Sugi berusaha membuka kunci pintu dengan kawat, tetapi tangannya gemetar karena ketakutan. Ahmadi yang sudah terkencing-kencing itu langsung mendorong temannya dan mencongkel pintu dengan linggis, lantas keduanya melompat ke dalam. Di sisi lain, Ery memecahkan kaca jendela dengan bola kasti, tetapi lubangnya terlalu kecil. Ia akhirnya berlari ke arena bowling untuk meminjam bola, kemudian menghempaskan bola itu sehingga bukan cuma kacanya yang pecah, namun bingkai jendela pun ikut runtuh sehingga ia bisa
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
18 masuk dengan leluasa. Billy menjadi orang keempat yang masuk setelah meluluh-lantakkan dinding dengan buldozer. Empat sekawan masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Napas mereka terengah-engah. Sesekali wajah mereka mengernyit, menahan perasaan ngeri yang tercipta akibat lirihnya pekik jerit yang terdengar di luar pintu rumah. Akan tetapi mereka terpaksa tertawa ketika Masrul yang telah tercabik-cabik mendadak berteriak, “gigitlah sesukamu, tetapi jangan gigit bagian yang satu ini!” Tawa empat sekawan kemudian berhenti ketika mereka sadar bahwa mereka sebenarnya sedang diamati oleh seseorang. Kenal atau tidak kenal, pria itu sudah cukup berumur dan berada di rumah Diana. Tiga sekawan pun langsung berseru dengan kompak: “Papanya Diana!” Hanya Ahmadi yang meneriakinya sebagai perampok setengah baya. Orang itu tersenyum. “Santai, Anak-anak. Dan yang di luar juga. Silahkan masuk. Adegan horor untuk pembaca dinyatakan selesai sampai di sini.” Kemudian mereka pun masuk. Sheik Habibie masih mengenakan kostum karet kepala tyrannosaurus di atas kepalanya, Arie Dementor menggunakan daun pepaya untuk menutupi bagian tubuhnya yang malu karena disebut sebagai kemaluan, sedangkan Subianto sibuk menyirami tubuhnya yang penuh bercakbercak cat merah dengan cairan pengencer. “Coba ceritakan maksud kedatangan kalian,” pinta Papa Diana. “Mau pinjam toilet,” jawab Ahmadi. “Kalau wa hendak mengambil jambu tanpa diketahui oleh siapa pun,” tukas Iqram. Ery tertawa kecil. “Itu sama saja dengan mencuri.” “Sembarangan,” Iqram membantah dengan nada keras. “Orang gendut memang tidak jalan logikanya. Bila tidak ketahuan, bagaimana bisa disebut mencuri?” “Dasar Gandhi gadungan. Rutinitasnya berpuasa, tapi hobinya mencuri.” “Dilarang menghina Gandhi. Dilarang menghina Gandhi,” Mahatma Iqram berkata dengan kalap, lalu mencolok mata Ery dengan kedua jarinya. Tak lama kemudian keduanya terlibat adu fisik: saling tindih dan cubit-cubitan. “Hei! Masa kalian mau mempertontonkan pertunjukan biadab ini kepada Papa Diana,” Sugi dan Billy melerai perkelahian tersebut di kala Chris “ShowHand” Drake mulai bertaruh dengan Buddy Goodman, menebak siapa yang lebih unggul dalam pergumulan brutal yang menimbulkan luka dalam alias bengkak dan memar itu. “Dia yang lebih dulu memukul,” seru Ery dan Iqram secara bersamaan. “Sudahlah! Tunjukkan niat baik kalian. Ingat tujuan awal kita. Kita hendak merayakan ulang tahun Diana, bukan?” Ery dan Iqram akhirnya menyadari kesalahan mereka. Mereka berjabat tangan, saling berpelukan dan menepuk punggung satu sama lain dengan tinju maha keras sambil berseru, “sahabatku, maafkan aku!” Akhirnya, setelah acara menghisap pipa perdamaian yang diwarnai dengan pukulan-pukulan terselubung, Mahatma Iqram roboh dengan mulut berdarah dan bola mata memutih karena tinju Ery lebih besar dan mematikan. Pemandangan yang cukup menyedihkan, memang. Tetapi tidak menimbulkan penyesalan. Iqram yang terkapar lantas ditutup dengan kain kafan, setelah itu dialog antara para tamu dan tuan rumah pun dimulai kembali. “Jadi kalian ke sini untuk merayakan ulang tahun Diana?” tanya Papa Diana. Sugi mengangguk. “Kami minta kesediaan anda untuk memberikan tempat dan waktu.” Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
19 “Boleh saja, Anak Muda. Tetapi ingat, jangan kotori rumah ini.” *** Diana akan pulang sekitar jam 10 A.M. Anak-anak harus bekerja dengan cepat untuk memanfaatkan waktu yang tersisa. Sugi segera membagi tugas. Yang mahir memasak diminta ke dapur untuk menyiapkan hidangan, sedangkan sisanya berada di ruang tamu untuk menghias ruangan. Subianto membantu meniup balon, namun cara kerjanya sama sekali tidak efektif. Meskipun ia telah berusaha untuk memonyongkan mulutnya sedemikian rupa, angin yang masuk ke dalam balon tetap saja lebih sedikit dibandingkan dengan angin yang lolos dari rahang atasnya yang tidak bergigi. Buddy Goodman yang merupakan perokok sejati ternyata bisa meniup lebih cepat dari Subianto, tetapi ia hanya mampu menghasilkan satu balon setengah jadi karena napasnya terkuras habis. Ia langsung terserang asma dan tergeletak lemas sementara napasnya berdenging, menghasilkan bunyi seruling bambu yang merdu. Sampai sejauh ini mereka hanya menyelesaikan satu setengah balon. Budi Tornado terpaksa turun tangan, menggunakan sedikit kekuatan tornadonya untuk mengisi angin ke dalam balon plastik. Setelah menciptakan ledakan balon beruntun, mencabut atap rumah dan menerbangkan Luk Kiau entah ke mana, Budi Tornado akhirnya berhasil menyesuaikan kekuatannya dan menghasilkan balon-balon gemuk yang mengesankan. Di pojok lain, Ery turun dari tangga setelah memasang beberapa hiasan gantung yang terbuat dari kertas metalik berwarna-warni. Ia menyeka keringatnya, menatap hasil karyanya dengan kagum, lalu menatap ke pojok lain dan langsung terlonjak kaget. Ahmadi sedang menggantung beberapa lampion berwarna pucat yang biasa digunakan oleh yayasan pemakaman! “Hei, ini ‘kan pesta ulang tahun!” protes Ery. “Ini bukan untuk Diana, tetapi untuk Iqram,” tukas Ahmadi dengan ekpresi datar. *** Sementara itu, di dapur, Susan sedang mengaduk vla untuk puding ciptaannya. Di sampingnya, Santa Eve menyiapkan sari jeruk. Tugas sepele ini semestinya tidak bermasalah, tetapi semua yang ada di dapur kontan merasa curiga ketika Santa Eve berkomentar bahwa sari jeruknya terasa asin. Setelah diperiksa, mereka menemukan segumpal kotoran hidung sebesar gundu yang sedang mengapung bebas di permukaan air jeruk. Rupanya Santa Eve menyodok hidungnya yang gatal, setelah itu baru mencelupkan jarinya untuk mencicipi tingkat kemanisan air jeruk yang dibuatnya. Atas dosanya yang sulit dimaafkan ini, satu baskom air jeruk itu dituangkan langsung ke dalam perut Santa Eve lewat corong yang diganjal di kerongkongannya. Santa Eve kontan berakhir di toilet, berkutat di sana untuk mengucurkan air jeruk asin buatannya dari lubang serba-guna miliknya. Insiden Santa Eve ini sungguh membuang waktu yang berharga. Susan dan Mardiana khawatir kalau mereka tidak akan sempat untuk membuat nasi goreng lagi. Geoffrey, seksi sibuk yang hanya sibuk mondar-mandir, turut merasa cemas dengan menyeka pipinya dengan sapu tangan, seolah-olah sedang membersihkan make up-nya yang luntur karena keringat dingin. Pada saat inilah Chris “ShowHand” Drake kembali unjuk kemampuan. Chris dikenal karena ketangkasan tangannya. Kehebatannya ini telah terbukti, baik saat bermain kartu atau pun saat mencopet. Ketika ia berdiri di depan kompor gas, kesigapannya kembali dipertontonkan. Satu tangan menggenggam kuali, tangan yang lain menuangkan minyak, tangan berikutnya Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
20 meraih alat penggoreng dan tangan selanjutnya menuangkan satu bakul nasi. Ketika butiran nasi menggeliat penuh gairah di dalam kocokan kuali yang anggun, talenan tampak bergetar karena pisau bergerak cepat untuk memotong sayur. Di sebelah kanan kuali, terlihat lagi sebuah tangan yang sedang memutar penggiling daging. Saat kecap dan bumbu bertaburan ke dalam masakan, Susan dan yang lainnya menyadari kalau ada dua tangan lagi yang sedang memegang botol kecap dan menyendoki setiap bumbu yang ada. Gerakan Chris betul-betul cepat sehingga ia terlihat seperti memiliki delapan tangan pada saat bersamaan. “Chris, gayamu hebat. Mirip sekali dengan Saint Of Cookery2,” puji Susan. “Mau minta tanda tangan?” ujar Chris sambil tersenyum. *** Berkat kekompakan mereka, persiapan ulang tahun akhirnya selesai. Saat Diana tiba, rumah tampak gelap-gulita, lalu tiba-tiba keadaan menjadi terang-benderang dan semua berteriak, “surprise! Happy Birthday!” Diana tersenyum. Tetapi ia tidak terkejut karena Luk Kiau, yang sebelumnya sempat diterbangkan oleh Budi Tornado dan ternyata jatuh tepat di Breakfast Corner, telah memberitahukan rencana mereka kepada Diana. Seluruh usaha mereka menjadi sia-sia. Luk Kiau langsung diinjak ramairamai dan diterbangkan sekali lagi oleh Budi Tornado. “Aku harap dia mendarat di Uranus,” ujar Budi dengan nada gemas. “Sudahlah,” hibur Diana. “Bagaimana pun aku sangat terkesan dengan perjuangan kalian. Ide siapa ini?” Semua yang langsung menunjuk Ery. Arie Dementor langsung menimpali aksi teman-temannya dengan ucapan, “si pemerkosa ini yang punya ide!” Diana tertawa. “Terima kasih, Ery.” Dan Ery pun tak jadi marah kepada Arie. “Mana kue tart-nya? Wa mau tiup lilin, nih!” “Wa penasaran. Kira-kira berapa umur Diana?” ujar Rahmawati sambil menancapkan lilin ke atas lapisan mentega yang menyelimuti kue tart. “Kalau loe ingin tahu, loe justru tidak akan wa beritahu,” sahut Diana sembari mengedipkan mata. Rahmawati yang bawel ternyata cukup cerdik dalam menyikapi ucapan Diana. “Karena Diana merahasiakan umurnya, wa tancapkan tiga puluh batang lilin untuknya. Selamat ulang tahun yang ke-30, Diana.” Semua tertawa. Sugi lantas menyalakan lilin tersebut dan berkata, “make a wish…” Diana memejamkan mata selagi teman-temannya menyanyikan lagu Happy Birthday. Bibir Diana mencuri senyum ketika ia mendengar lagu Merry Christmas secara samar-samar. Tanpa melihat pun ia tahu kalau Ahmadi sedang berulah. Setelah itu ia beranjak sedikit dari tempat duduknya dan meniup lilin. Kilatan blitz dari kamera Billy segera mengabadikan peristiwa tersebut. “Selamat ulang tahun,” seru teman-teman sembari silih berganti menyalaminya. Setelah itu Susan dan Mardiana menghidangkan nasi goreng kepada mereka semua. “Lezat sekali, Chris,” Diana memuji masakan tersebut setelah ia tahu bahwa Chris yang membuatnya. “Jarang sekali ada pria yang bisa memasak seenak ini.” “Kalau begitu, loe boleh tambah dua piring lagi,” ujar Chris. Lagi-lagi Diana tertawa. “Oh ya, ada kejutan apa lagi, nih?”
2
Saint Of Cookery adalah kisah yang diperankan oleh Anthony Lee dan The PartyKids
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
21 “Wa dengar Ery ingin mendemontrasikan kemahirannya dalam berbicara lewat perut,” Arie menyindir Ery yang belum makan sejak tadi. Begitu Arie selesai bicara, perut Ery yang keroncongan langsung “berbicara”. “Tontonan hebat, Ery,” Ahmadi mengelu-elukan sahabatnya yang telah dipermalukan oleh Arie Dementor. “Sekarang wa akan bermain terompet lewat anus.” Semua langsung kabur begitu Ahmadi kentut habis-habisan. Sesudah kentutnya reda, ia langsung dijerat dengan tali, ditelanjangi dan disumpal pantatnya dengan gabus. “Mohon maaf atas prilaku Ahmadi yang tidak terpuji,” ucap Ery. Atas sikapnya yang sopan, Diana pun menghadiahkan potongan pertama dari kue tart-nya kepada Ery… *** Pesta berlangsung meriah. Diana bahagia, semua pun turut merasa senang. Di akhir acara, ketika semua sedang terpaku pada keahlian Chris dalam bermain kartu, Billy mengambil dua gelas minuman dan menghampiri Susan. “Boleh aku duduk di sini?” tanya Billy. Susan menoleh sedikit, lalu kembali memperhatikan Chris. “Kau lihat sendiri, kursi itu kosong. Duduklah kalau kau mau.” Billy tersenyum. Tanya-jawab yang baru saja terjadi ini persis sama dengan kejadian di mana Susan menegurnya sewaktu mereka bersua di perpustakaan3. Billy lantas menyodorkan minuman yang dibawanya. Susan menerima, tetapi langsung meletakkannya di atas meja tanpa meminumnya terlebih dahulu. “Kau masih marah?” tanya Billy. Susan diam, perhatiannya tetap tertuju pada Chris. “Aku tidak akan menyalahkanmu bila kau marah. Pada kesempatan ini aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Berkat dirimu, aku telah berbaikan kembali dengan tiga sekawan.” Hati Susan tersentuh. Sebenarnya ia tidak marah lagi kepada Billy. Ia hanya ingin tahu apa yang akan disampaikan Billy kepadanya. Pada akhirnya ia berkata, “jika kalian sedang bersama, persahabatan kalian adalah hal yang paling indah. Ingat itu.” Billy mengangguk setuju. “Aku tahu. Tetapi bagaimana bila kami tidak sedang bersama? Apakah ada kemungkinan bagi kita untuk berjalan bersama seperti sewaktu kita bertemu di perpustakaan dulu?” Susan langsung menoleh. Ia tidak sanggup untuk menyembunyikan rasa terkejutnya. Apa maksud Billy? ***
3
Baca episode ke-32
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
22
37. Antara Mimpi Dan Kenyataan Ery agak gugup ketika pesawat hendak lepas landas. Telinganya berdenging, rasanya seperti dipaksa mendengar paduan suara gratis dari lebah-lebah pengumpul madu. Ia sungguh merasa tidak nyaman, apalagi dengan kondisi perut yang dijerat sedemikian rupa oleh sabuk pengaman. Kalau saja Ery adalah seorang wanita, dia pasti berpendapat bahwa kondisinya bagaikan wanita hamil tua yang memakai korset ketat. Seorang pramugari lewat sambil mendorong kereta, menawarkan permen para penumpang. Ery langsung menjulurkan tangannya, ingin mengambil segenggam permen tanpa mengucapkan terima kasih, namun saat ia menyadari bahwa pramugari dengan senyum memelas itu adalah Luk Kiau, perutnya langsung protes dengan mengirimkan rasa mual ke otak. Rupanya perut Ery menolak untuk mencerna apa pun yang berbau Luk Kiau! Ery terdiam sejenak dalam eskpresi yang sangat kaku. Satu-satunya tanda kehidupan pada Ery adalah jari-jari tangannya yang membuka, menjatuhkan permen kembali ke dalam nampan di atas kereta dorong. Luk Kiau pun berlalu. Ery memandang keluar jendela dan pemandangan terlihat bergerak. Rupanya pesawat mulai berpacu di landasan. Ery memejamkan mata dan memegang lengan kursi dengan erat ketika pesawat terasa miring sementara di sekelilingnya terdengar suara “woo” dan “boo” yang ditujukan pada pramugrari Santa Eve yang berani memperagakan penggunaan pelampung darurat, padahal tubuhnya sama sekali tidak seksi. Beberapa saat kemudian, awan seputih kapas menghiasi jendela di samping Ery. Pemandangan itu, meski menakjubkan, tetapi juga membosankan. Ery menoleh ke samping, berharap akan melihat sesuatu yang lebih menyenangkan matanya. Dan ia melihat Subianto yang sedang menyeringai dengan deretan gusi atas yang tidak bergigi, persis seorang psikopat. Ini jelas bukan pemandangan yang diharapkan oleh seseorang yang merasa gugup terhadap perjalanan udara. Entah karena tekanan batin atau bukan, tiba-tiba saja Ery merasa kalau kantong muntah yang terselip di depannya berteriak, “muntah! Muntah! Muntah!” Cairan becek yang mengandung remah dan gumpalan daging lumat itu pun mendesak keluar, membuat Ery muntah berliter-liter. Belum selesai penderitaannya karena kantong muntahnya tidak cukup untuk menampung isi perutnya yang keluar sehingga ia harus meminta pramugrari Luk Kiau yang berbau tidak sedap untuk mengambilkan kantong lain dan dengan demikian ia menjadi pusat perhatian para penumpang lainnya lalu ia pun berkecil hati karena bahkan Diana yang dikaguminya juga turut mengernyitkan hidung karena tidak sanggup menahan aroma busuk yang dihasilkan oleh muntahan yang dicerna berjam-jam yang lampau oleh ususnya, baik yang dua belas jari, yang halus maupun yang besar, tiba-tiba saja terjadi peristiwa yang luput dari perkiraan siapa pun! Terjadi pembajakan pesawat! Pelakunya adalah Subianto, pemilik tampang psikopat yang ternyata merupakan teroris sungguhan. Depresi karena ia dulu ditolak oleh sekolah penerbangan hanya karena gusi atasnya tidak bergigi, Subianto berbuat nekad dengan menyelinap ke kokpit selagi perhatian semua orang tertuju pada Ery. Subi menyergap dari belakang sambil berseru, “ciluk ba!!” Setelah itu ia menutup mata pilot dengan selotip, kemudian melapisinya dengan kacamata kuda. Karena pandangannya terganggu, pilot Masrul membanting kemudi sehingga pesawat menjadi oleng. Para penumpang yang tidak mengenakan Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
23 sabuk pengaman langsung tumpah ruah ke samping. Arie Dementor yang sedang berada di toilet pun tidak luput dari guncangan. Ia yang baru saja mengeluarkan isi perutnya kontan terciprat oleh kotoran sendiri karena hentakan kuat pada ekor pesawat. Pergumulan seru berlangsung di dalam kokpit. Subianto tak hentihentinya mencubit dan mengelus Masrul. Ngeri terhadap kemungkinan terjadinya sodomi setelah pemanasan, Masrul memilih untuk melompat dari pesawat. Ia membuka pintu dan akhirnya terjun sambil membaca doa, memohon agar dosadosanya diampuni karena ia tahu betul apa akibatnya jika melompat tanpa parasut. Setelah ditinggal oleh pilot, pesawat berdisko gila-gilaan di langit biru. Penumpang bagaikan dikocok-kocok. Pada suatu ketika, Iqram yang berusaha untuk berpegangan agar tidak terhempas malah menarik tuas pintu darurat. Dalam hitungan detik, Iqram pun melayang keluar bersama pintu yang ia genggam. Meski begitu, ia sempat kiss-bye beberapa kali sebagai salam terakhir untuk para penumpang. Iqram lenyap dari pandangan dalam sekejap. Tekanan udara yang menyedot para penumpang ternyata begitu kuat dan tidak tertahankan. Luk Kiau terlempar keluar dengan kaki terangkat, membuat rok mininya tersibak. Buddy Goodman langsung celaka setelah melihat isi di balik rok Luk Kiau secara tidak sengaja. Ia mengalami sakit mata dan muntah darah karena apa yang dilihatnya merupakan horor bagi impian kaum lelaki. Dalam kondisi lemas, ia pun pasrah dan terpental keluar pesawat. Keadaan di dalam pesawat sangat tidak stabil. Ery berusaha berpegangan dengan erat. Sambil memicingkan mata untuk menahan terpaan angin yang ganas, ia sempat melihat Ahmadi meluncur deras ke arah pintu sambil memekik, “hei, kalau kalian tolong aku, aku berjanji tidak akan mengenakan sepatu roda di dalam pesawat lagi!!!” Santa Eve yang masih berada di dalam pesawat kini berusaha untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai pramugrari. Meski Santa Eve sama sekali tidak bisa berdiri dengan tegak, ia masih berusaha untuk melemparkan parasut kepada para penumpang. Hasilnya sudah bisa ditebak: setiap penumpang yang berusaha meraih parasut harus melepaskan pegangannya sehingga pasti terjungkal keluar sebelum sempat meraih parasut! Hihihi… Kendati harus bertaruh dengan maut, mereka tetap mencoba untuk menggapai parasut yang dibagikan. Beberapa penumpang, termasuk juga Diana, berhasil mendapatkan parasut dan segera mengenakannya sewaktu sedang terombang-ambing di langit. Melihat kenyataan seperti itu, Ery tahu ia tidak punya pilihan lain kecuali melakukan hal yang sama. Ketika ia melepaskan pegangannya dan melayang ke arah Santa Eve, pramugari itu malah berteriak, “tidak ada parasut untuk yang ukuran badannya XL!” Ery terkejut, namun terlambat untuk berpegangan. Ia pun terguling keluar sambil melepaskan acungan jari tengah kepada Santa Eve… *** Ery terlonjak kaget ketika peluit kapal menderu keras di sebelahnya. Arie Dementor, sang awak yang sedang bergelantungan pada tali tambang yang dirangkai di tiang kapal, tertawa melihat sosok gendut yang bergoyang lucu karena dikejutkan oleh suara peluit. Arie Dementor sama sekali tak menyangka kalau ia harus membayar mahal kalau berani menertawakan Ery. Detik berikutnya, ia langsung jatuh ke laut karena ditimpuk Ery dengan jangkar.
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
24 Kapal pun berlayar setelah insiden kecil tersebut. Di dek paling bawah, tepatnya di antara tumpukan barang dan hewan ternak, Ahmadi menggelar pesta kecil untuk kaum jelata. Ery pun hadir di situ untuk menonton. Dengan banjo di tangan, Ahmadi menciptakan kemeriahan lewat lagulagu country yang ia bawakan. Sugi, Billy dan penumpang lain bertepuk tangan. Luk Kiau dan Santa Eve bahkan menari bersama babi-babi. Tak jauh dari panggung, Buddy Goodman sibuk menuang bir dari gentong dan menyodorkan gelas demi gelas kepada para penumpang lainnya. Pesta itu begitu menyenangkan, tetapi kehadiran Subianto membuat semuanya menjadi kacau. Makhluk menyeringai dengan deretan gusi atas yang tidak bergigi itu sengaja memicu keributan dengan menyulut api di ekor kambing. Bandot tua yang kesakitan itu kontan menyeruduk ke sana kemari, menanduk siapa saja yang dilaluinya. Keributan itu mendatangkan sekumpulan petugas keamanan yang dipimpin oleh Rio. Ahmadi diseret, dituduh sebagai biang masalah. Akan tetapi Ahmadi membantah dengan mengatakan ada seorang provokator ompong yang membakar jenggot kambing. “Seharusnya ekor, bukan jenggot,” ujar Ery, membetulkan ucapan rekannya. “Yeah, pokoknya bagian yang berbulu itu,” sahut Ahmadi sekenanya. Rio tidak berhasil diyakinkan. “Sekarang di mana orang yang kau ceritakan itu?” Ahmadi menoleh. Yang lain juga ikut mencari. Ternyata Subianto sudah menyelinap pergi. Teroris bertampang psikopat itu masuk ke ruang kapten dan melakukan sabotase sebagai balas dendam atas penolakan yang pernah ia alami sewaktu ia mengajukan lamaran sebagai kapten kapal itu. Masrul, sang kapten, mengetahui niat jahat Subianto. Ia berusaha menghentikannya, namun tak berdaya karena pinggangnya digelitik dan telinganya dijilat oleh Subianto. Ngeri terhadap kemungkinan terjadinya sodomi setelah pemanasan, Masrul memilih untuk melompat ke dalam laut. Tak lupa ia membaca doa, memohon agar dosa-dosanya diampuni karena ia tahu betul apa akibatnya jika menceburkan diri ke laut yang penuh dengan ikan hiu. Setelah Masrul dibereskan, Subianto langsung memutar kemudi, membiarkan kapal menabrak gunung es. Guncangan keras terjadi, membuat seisi kapal terjungkir balik. Luk Kiau jatuh terpuruk, lalu diduduki oleh seekor babi yang terpental dan mendarat tepat di atas punggungnya. Meski sempat tertawa sewaktu menyaksikan kemalangan Luk Kiau, para penumpang segera sadar kalau sesuatu yang buruk telah terjadi. Lambung kapal sobek. Air masuk dengan cepat, membuat kapal mulai karam. Sesudah membasuh muka dengan air laut yang dingin untuk mengusir kantuk, Ery dan para penumpang lainnya berlomba untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, di atas kapal… “Perempuan dan anak-anak dulu!” seru Rio dengan tegas ketika penumpang lelaki berniat untuk menyerobot antrian untuk menaiki sekoci. Santa Eve bergegas, namun Rio segera menariknya keluar dari barisan. “Sebentar! Anda yakin kalau anda adalah perempuan?” Meski panik, Ahmadi tidak bisa menahan diri untuk mengejek. “Yeah, apa dada rata begitu bisa disebut perempuan?” Dan pergumulan pun segera terjadi karena Santa Eve melompat untuk mencakar wajah Ahmadi untuk membalas ucapannya yang usil. Perkelahian itu membuat suasana kian tegang dan semakin tidak dapat dikendalikan. Rio akhirnya didorong ke laut karena melarang penumpang pria untuk Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
25 menyelamatkan diri. Iqram pun sibuk memotong tali sekoci sementara Sugi mencari dayung. Begitu sekoci jatuh ke laut, para penumpang berebut untuk menaikinya. Air laut sudah membasahi pinggang ketika Ery hendak melangkah ke dalam sekoci. Tapi siapa sangka kalau penumpang lain akan menolak dengan alasan tidak ada tempat untuk orang gemuk? Ery terpana sewaktu menyadari bahwa ia ditakdirkan untuk tenggelam bersama kapal. Sekoci akhirnya menjauh dari kapal dan acungan jari tengah Ery… *** Bus melaju dengan Ery di dalamnya. Ia baru saja mendekatkan wajahnya ke jendela ketika bus tiba-tiba membelok di tikungan tajam.Tak terhindarkan lagi, hidungnya pun langsung membentur kaca. Merasa perjalanan ini tidak aman, Ery langsung ribut-ribut, berupaya mendapatkan klaim asuransi untuk kecelakaan yang baru saja dialaminya. Perhatian para penumpang langsung tertuju para Ery. Tanpa mereka sadari, Subianto, teroris dengan deretan gusi atas yang tidak bergigi, menyelinap ke depan untuk mengambil bus. Masrul, sang sopir, disergap dari belakang. Ia meronta, namun usahanya malah membuat penumpang pucat pasi karena mobil bergeser ke kiri dan ke kanan secara tidak terkontrol. Tak tahan karena dadanya diraba-raba dan ngeri terhadap kemungkinan terjadinya sodomi setelah pemanasan, Masrul memilih untuk melompat ke jalan raya. Tak lupa ia membaca doa, memohon agar dosadosanya diampuni karena ia tahu betul apa akibatnya jika menjatuhkan diri ke jalan yang sedang dilalui banyak mobil. Subianto kini punya kesempatan untuk membalas dendam atas tidak dikeluarkannya surat ijin mengemudi yang ia mohon. Dengan menginjak pedal gas hingga menyentuh lantai, ia melaju dengan kecepatan tinggi. Mardiana yang duduk di deret paling depan kontan terpekik kaget saat bus menghantam truk kontainer. Ia terlontar seperti ditembakkan dari ketapel, menerobos kaca bus dan langsung menggelantung di pintu peti kemas. Tak lama kemudian, setelah mengambil posisi yang nyaman dan meyakinkan untuk berpose sebagai orang celaka, Mardiana langsung mengangkat sebuah papan bertuliskan, “korban pertama!” Subianto mengacungkan jempol, pertanda puas dengan akting Mardiana. Selanjutnya, di kala ia mendengar adanya langkah-langkah yang berusaha mendekatinya, ia membanting kemudi, menyerudukkan kepala bus ke pengendara motor terdekat. Iqram, pengendara sial itu, langsung tergilas dan mencret di tempat, lantas dinyatakan mati konyol oleh petugas ambulan setelah satu jam kemudian. Sementara itu, di dalam bus, para penumpang dipaksa untuk berjumpalitan oleh ulah Subianto yang berbahaya. Selagi penumpang lainnya jatuh terkapar, Sheik Habibie berhasil mendekati Subianto. Ia hampir saja berhasil menjambak rambut Subianto ketika letusan pistol terdengar. Sheik Habibie akhirnya tergeletak. Tatkala Subianto hendak menembaknya lagi, Sheik Habibie segera berteriak, “hei, satu peluru saja sudah cukup mematikan! Jangan ditambah lagi!” Subianto mengangguk, lalu Sheik Habibie pun diperkenankan untuk meninggal dengan tidak tenang. Dalam keadaan penyok, bus masih terus kebut-kebutan di jalan raya. Kemudian Subianto memasuki jembatan layang tanpa menyadari bahwa jembatan itu belum selesai dibangun. Karena bergerak dengan kecepatan yang terlalu tinggi, Subianto tidak sempat lagi menghentikan kendaraannya. Bus melejit saat ruas jembatan terputus. Semua berteriak dengan histeris, berharap Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
26 agar bus bisa mencapai seberang jembatan. Sayang, harapan itu tidak menjadi kenyataan. Bus menabrak pinggir jembatan dan terpelanting ke bawah. Teriakan “aaaaa!!!” terdengar membahana, namun Ery merasa cukup lega karena ia tidak mati sendiri dalam kecelakaan kali ini… *** Setelah tiga kali bermimpi buruk secara terus-menerus, Ery akhirnya terbangun dari tidurnya. Ia lantas beranggapan bahwa mimpi-mimpi tersebut adalah semacam peringatan agar ia tidak tidak menaiki kendaraan apa pun untuk hari ini. Berjalan kaki adalah pilihan yang paling aman untuknya. Satu hal yang tidak ia perhitungkan adalah kendati ia tidak menaiki kendaraan, rupanya kendaraan itu bisa menghampiri untuk mencelakainya. Dan Ery pun tidak bisa menghindar ketika jempol kakinya dilindas oleh sepeda roda tiga. ***
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
27
38. Angelia Kehidupan jalan raya bahkan masih terlelap ketika empat buah sepeda melaju ke arah bandara. Masing-masing pengendara sepeda itu memanggul tabung oksigen murni, sekadar jaga-jaga supaya tidak kehabisan napas karena upaya bersepeda ke airport sebenarnya bisa dikategorikan sebagai tindakan gila. Tapi apa boleh buat, karena ongkos taksi sangat mahal dan inilah satu-satunya kesempatan untuk bisa menyaksikan kedatangan idola mereka, empat sekawan pun berteguh hati untuk mengayuh pedal sepeda mereka. Ada apa sebenarnya? Apa istimewanya hari ini sehingga mereka bersikeras untuk pergi ke bandara di kala fajar belum menyingsing? Ini sangat mencurigakan, terutama bila kita mengingat prestasi Ahmadi dalam menciptakan rekor terlambat atau bahkan tidak hadir dalam sesi perkuliahan pertama yang dimulai jam tujuh pagi. Well, kalau kita mengarahkan fokus kamera ke seluruh Newtown City untuk memantau aktivitas kota di tengah malam ini, sebenarnya bukan hanya empat sekawan yang bergegas. Hampir seluruh anak muda di kota ini gelisah, tidak bisa tidur dan berbondong-bondong menyerbu bandara. Lima tahun silam, kejadian yang fenomenal ini pernah dan sering terjadi, tepatnya ketika The PartyKids masih berjaya. Dan hari ini, ketika tersiar kabar bahwa Angelia akan pulang ke Newtown City, histeria Angelmania pun muncul kembali untuk menyambut sang diva. Ery, yang paling gendut tetapi sama sekali tidak atletis, memimpin rombongan kecil itu. Ahmadi dan Billy meluncur di belakangnya, saling susulmenyusul. Sugi tertinggal jauh di belakang. Sewaktu merasakan bahwa napasnya hampir putus, Sugi langsung mengenakan masker dan memompa oksigen murni ke dalam paru-parunya. Semangatnya timbul dan ia kembali melanjutkan perjalanan yang masih tersisa sepanjang 31 KM. Dengan kecepatan rata-rata 14,5 KM/H, hitunglah berapa waktu tempuh yang dibutuhkan oleh para pengayuh sepeda untuk mencapai bandara. Nah, jadi soal fisika, ‘kan? Hihihi… *** “Di mana tempat parkir sepeda?” tanya Ery kepada petugas pelataran parkir. Petugas itu kontan melongo. Bertahun-tahun ia menjaga bandara, tidak pernah lapangan parkirnya dikunjungi sepeda, apalagi di pagi buta seperti ini. Tak tahu harus menjawab apa, petugas itu akhirnya berkata, “err, tempatnya belum dibangun.” “Kalau begitu, usulkan kepada pemerintah daerah untuk membangunnya. Tolong perhatikan kesejahteraan rakyat kecil kalau tidak ingin didemo. Nah, untuk sementara ini, kau saja yang menjaga sepeda kami,” ujar Ery sambil merantai sepeda mereka secara bergandengan. “Kami parkir di sini, ya? Awas! Jangan sampai hilang.” Setelah pesan-pesan terakhir, empat sekawan pun menuju ke anjungan penjemput. Akan tetapi jalan menuju ke sana sudah penuh sesak. Ternyata banyak muda-mudi seusia mereka yang telah berada di sana. Ery dan kawankawan terpaksa harus ber-kamikaze untuk mendapatkan tempat yang nyaman. Begitu Ahmadi membentangkan kain merah, Ery langsung menyeruduk seperti banteng untuk membubarkan kerumunan. Usaha yang cukup jitu semestinya, tetapi para korban tidak kalah cerdik. Seperti layaknya matador, semua yang ada di sana langsung menghunus pedang dan menghunjamkannya ke tubuh Ery. Banteng Ery pun mati dengan luka lebih dari seribu tusukan. “Wah, rencana A gagal,” gumam Ahmadi. “Ada ide lain?” Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
28 “Cepat, kita ke ruang ganti karyawan,” ujar Sugi. Dan sesaat kemudian, setelah berganti kostum, mereka muncul sebagai petugas bandara. Mereka pun menerobos kerumunan dengan berkata, “tolong beri jalan bagi petugas.” Para pengunjung airport terpaksa memberi jalan dengan enggan. Meskipun demikian, ide licik Sugi dan kawan-kawan tidak berhenti sampai di situ. Dengan kalimat, “tolong jangan bersandar di pagar teras,” mereka akhirnya berhasil mendapatkan tempat yang paling jelas dan nyaman untuk melihat kedatangan Angelia. *** Menjelang pagi, aktivitas Stephen Newtown International Airport mulai terlihat. Para pramugari keluar-masuk kantor maskapai penerbangan masing-masing sambil menunggu tibanya jadwal penerbangan mereka. Sejumlah portir bersiaga di tempat, menunggu datangnya permintaan dari para penumpang untuk mengangkut bagasi. Berbagai pemberitahuan pun bisa didengar di setiap penjuru bandara. Fans Angelia tidak lelah menanti. Setiap terdengar alunan nada yang mendahului pengumuman, mereka saling berpandangan dan berharap bahwa itu adalah pemberitahuan tentang datangnya sang pujaan. Namun jika isi pemberitahuan sejauh ini tidak seperti yang mereka duga, mereka pun kembali tertunduk lesu. “Pesawatnya lama sekali,” ujar Billy. “Mungkin bannya bocor, sehingga pesawatnya harus tetap terbang sampai bannya ditambal kembali,” ujar Ahmadi. Ery menarik napas panjang. “Inilah pendapat orang yang tidak pernah naik pesawat.” Ahmadi kontan tersinggung. “Sok tahu! Memangnya loe pernah naik kapal terbang?” “Loe gak baca episode yang lalu? Di situ dikisahkan wa naik pesawat, ‘kan?” sahut Ery. “Dan lain kali perhatikan ucapan loe. Di mana-mana kapal itu berlayar di atas laut, tidak terbang di langit. Mana ada kapal terbang?” Ahmadi mengomel panjang-pendek. Tapi pengumuman yang telah lama mereka tunggu akhirnya dikumandangkan sehingga Ahmadi pun menarik kembali rasa amarahnya dan menggantikannya dengan perasaan suka-cita. Mereka semua menatap ke langit biru, menatap datangnya sebuah pesawat dari arah barat. Deru mesin jet begitu keras, tetapi sama sekali tidak sanggup untuk meredam teriakan para pengunjung bandara yang mulai histeris. Mereka membentangkan spanduk dan meneriakkan nama Angelia maupun The PartyKids. Ada pula yang menyanyikan lagu-lagu hits Angelia. Bagi empat sekawan yang datang dari Tortoise Village dan tidak pernah mengalami wabah Angelmania, kejadian ini terasa sangat luar biasa. “Ini…” tubuh Sugi bergetar karena gugup, “aku tidak pernah melihat yang seperti ini.” “Yeah, waktu kita mengejar maling jambu bersama para penduduk Tortoise Village pun tidak seheboh ini,” timpal Ahmadi. Tapi ini hanya awal dari kegilaan yang pernah begitu merepotkan para petugas keamanan di tahun 1998. Suara teriakan semakin membahana ketika pintu terbuka dan tangga terjulur hingga landasan. Angelia akhirnya keluar dan para fans yang riuh kini semakin tidak terkendali. Mereka menyerbu ke bawah, berusaha menerobos barisan satpam dan polisi yang menghalangi langkah mereka. Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
29 “Anda tidak tahu apa yang sedang anda lakukan!” seorang pria bertubuh besar terdengar memaki polisi. “Aku sudah menunggu dari subuh. Apa aku tidak diperbolehkan untuk turun ke landasan supaya bisa melihatnya dari dekat?” Namun polisi itu tetap bergeming. Suasana kian kacau. Tetapi empat sekawan tidak melibatkan diri. Mereka hanya berdiri di pagar teras, terpana saat melihat Angelia secara langsung untuk pertama kalinya. Angelia masih seperti dulu. Senyumnya tetap berseri, namun kini rambutnya agak keriting dan kecoklatan. Kacamata hitam menaungi tatapan matanya, tetapi tidak menutupi kecantikannya. Syal yang ia kenakan langsung berkibar dengan lembut karena tertiup angin. Sambil melambai, ia pun turun dari pesawat pribadinya, lalu menapaki karpet merah yang telah digelar untuknya. Fans wanita meneteskan air mata, menahan rasa haru dan rindu setelah melihatnya kembali. Beberapa di antara mereka bahkan sampai jatuh pingsan karena larut dalam suasana yang begitu emosional itu. Para penggemar pria semakin berani, memaksakan diri untuk melewati petugas keamanan meskipun resikonya digebuk dengan pentungan. Walau reaksi publik begitu agresif, empat sekawan tetap terpaku di tempat masing-masing. Terbenam antara shock dan kekaguman karena mengalami Angelmania, empat sekawan terlihat linglung. “Bagaimana menurutmu?” tanya Billy. “Ia mirip dengan Angelia yang ada di poster,” jawab Ahmadi. Empat sekawan tertawa, tetapi tidak mencermati apa yang sedang mereka tertawakan. Lama berselang, setelah yakin bahwa ini bukan mimpi, Sugi baru memimpin mereka untuk mengikuti konferensi pers yang berlangsung di lantai bawah. *** Ketika empat sekawan tiba di ruang konferensi, wawancara telah dimulai… Newtown Post (NP) : “…sungguh suatu kejutan yang menyenangkan bahwa anda kembali ke kota ini.” Angelia (A) : “Saya juga gembira karena bisa menginjakkan kaki di Newtown City lagi. Bagaimana pun ini adalah kota kelahiran saya.” NP : “Sudah tiga tahun lamanya anda pergi…” A : “Ya. Setelah Sentimental Journey4 selesai di tahun 2000, saya meninggalkan Newtown City untuk menetap di Kuala Lumpur.” NP : “Dan kini anda kembali. Itu berarti akan ada sesuatu yang anda kerjakan di sini.” A : (tersenyum) “Biar saya perjelas. Sesuatu yang anda maksudkan itu adalah konser penutup dari rangkaian tour untuk mempromosikan album terbaru saya yang berjudul After All These Years.” NP : “Yeah, konser anda pasti akan sukses besar. Anda lihat sendiri bagaimana sambutan mereka terhadap kedatangan anda.” A : (menatap para penggemar dan melambaikan tangannya) “Saya sangat terharu. Saya tidak menyangka kalau antusiasme mereka masih begitu tinggi.” NP : “Newtown City merindukan anda dan kami selalu menantikan saat-saat dimana The PartyKids bersatu kembali.” 4
Sentimental Journey adalah album Anthony Ventura yang melibatkan seluruh teman-temannya, termasuk Angelia. Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
30 A NP A NP A NP A NP A NP A NP A NP A
: “Sayang, saya tidak bisa memutuskan hal itu seorang diri. Impian anda itu ditentukan oleh seluruh mantan anggota The PartyKids.” : “Tapi bagaimana dengan kepulangan anda ini, apakah anda akan reuni dengan PartyKids lainnya?” : “Saya rasa tidak. Reuni ini tidak dijadwalkan sebelumnya, jadi mungkin kami tidak akan bisa bertemu karena kesibukan masing-masing.” : “Jadi tidak ada kemungkinan kalau mereka atau salah satu dari mereka akan bergabung dengan anda di dalam konser anda nanti malam?” : “Saya tidak tahu.” : “Apa pendapat anda tentang pernikahan Yoviana?” : “Mengagumkan. Setiap wanita selalu mendambakan pernikahan yang bahagia dan dia mendahului kami dalam mewujudkan impian ini.” : “Kalau begitu, apakah anda akan menjadi PartyKid berikutnya yang melangkah ke jenjang pernikahan?” : “Kita lihat saja nanti.” : “Bagaimana hubungan anda dengan Anthony Ventura setelah sekian lama tidak bertemu?” : “Kadang kala kami berbicara lewat telepon untuk saling menanyakan kabar. Hanya itu.” : “Oh, begitu. Satu pertanyaan terakhir, bagaimana kabar Angelina?” : “Dia baik-baik saja. Terima kasih karena telah menanyakan.” : “Baiklah, Angelia. Anda tentu lelah setelah perjalanan yang anda tempuh. Kita bertemu lagi nanti malam di konser anda.” : “Sampai jumpa.”
Setelah wawancara, Angelia pun beranjak pergi. Para penggemar berusaha mencapai Angelia untuk mendapatkan tanda tangan darinya, namun upaya mereka nyaris tidak mungkin karena Angelia dipagari oleh lusinan petugas keamanan. Kendati begitu, masih saja ada beberapa di antara mereka yang cukup beruntung, salah satunya adalah Ahmadi. “Ini akan menjadi kenangan seumur hidup,” ujar Ahmadi sambil memperlihatkan hasil jerih-payahnya kepada tiga sekawan. “Kuperingatkan kalian, kalau berani menyentuh souvenir ini, telinga kalian akan wa tusuk dengan jarum, sulam-simpul dengan benang, lalu wa gantung di Oliver Tower!” *** Konser malam itu tidak mungkin dilewatkan oleh empat sekawan. Kapan lagi bisa menyaksikan Angelia: Live In Newtown City kalau bukan pada kesempatan itu? Lima jam sebelum acara dimulai, People’s Square telah dipadati oleh kaum muda yang ingin menyaksikan idola mereka, dan dari sekitar 12.000 penonton yang ada, empat di antaranya adalah Sugi, Ery, Ahmadi dan Billy. Waktu merayap begitu pelan, membuat penonton menggerutu karena tidak sabar. Menurut jadwal, konser akan dimulai pukul tujuh malam, akan tetapi sejauh ini yang tampak di panggung hanyalah para petugas yang sibuk mengecek alat-alat musik. Lambat-laun para penonton merasa gelisah karena setelah menunggu begitu lama, sama sekali belum ada tanda-tanda bahwa Angelia telah hadir berada di lokasi pertunjukan. Kalau begitu keadaannya, bisabisa konser itu mengalami keterlambatan atau penundaan.
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
31 Penonton sudah mulai kecewa, tetapi kekecewaan yang tidak beralasan itu langsung dibayar dengan kejutan yang menyenangkan. Konser itu tetap dimulai pukul tujuh dengan dibuka oleh lengkingan gitar yang tidak asing lagi di telinga penonton. Pada awalnya mereka sempat terperangah ketika petugas panggung itu menguji alat musik dengan permainan yang begitu luar biasa, namun mereka segera sadar kalau itu bukan sekedar sound check. Itu adalah Band It yang mengawali konser dengan impromptu yang menjadi ciri khas mereka! Sorak-sorai penonton langsung membahana. Hardy dan kawan-kawan pun mengimbangi semangat penonton dengan aksi yang memukau. Rhythm Cun Chuan dan bass Susanto saling mengisi, berpadu dengan harmonis dengan gebrakan drums Rudy. Hardy, lead guitarist Band It, memetik beraneka melody di atas fondasi musik yang telah dibangun oleh tiga rekannya. Lepas dari fakta bahwa Band It telah bubar lima tahun yang lalu, kepiawaian dan kekompakan mereka selaku musisi kelas atas sama sekali tidak termakan oleh waktu. Kehandalan yang mereka pertontonkan tetap saja menunjukkan kualitas mereka sebagai grup musik rock paling populer di tahun 1998. Setelah menggoyang penonton lewat alunan instrumen listrik yang hingarbingar, Hardy masuk ke versi acoustic. Rudy memainkan bongo, menciptakan derap bunyi yang teratur, kemudian Hardy masuk dengan kocokan rhythm dan membawakan He Ain’t A Saint, He’s Just A Man, lagu yang ia tulis untuk menggalang massa guna mendukung Robert saat ia disidang karena mengaku telah terlibat dalam penggunaan obat bius. Begitu bait pertama selesai dinyanyikan, Cun Chuan memetik senarnya dalam chord yang sesuai dan menciptakan nada yang lentik untuk lagu tersebut sementara bass Susanto kembali berdentum. Tepuk tangan menggelegar sesudah lagu tersebut usai. Band It kembali menenteng gitar listrik. Mereka bersiap di depan mic, seolah menunggu adanya suatu aba-aba untuk memulai lagu ketiga. Penonton tegang, namun begitu intro November Rain dimainkan dengan piano, tahulah mereka siapa yang telah hadir di panggung. Sekali lagi tepuk tangan dan teriakan yang tak kunjung putus menggelora di dalam lautan penonton. Angelia telah muncul di pentas! Ia kini sedang menyumbangkan permainan piano untuk Band It. Lalu suara Hardy yang garing pun terdengar, melantunkan cover version itu dalam gaya dan permainan yang mirip dengan Guns n’ Roses. “Tepuk tangan yang meriah untuk Band It!” seru Angelia ketika lagu terakhir selesai dinyanyikan. Band It pun membungkuk untuk membalas penghormatan penonton kepada mereka. Angelia lantas menghampiri setiap anggota Band It dan membisikkan ucapan terima kasih atas kesediaan mereka untuk membuka konsernya. “Publik Newtown City, sekarang saatnya kita sambut Angelia,” ujar Hardy, sesaat sebelum menghilang di balik panggung. *** “Tidak ada yang lebih menimbulkan rasa gugup selain menyanyi untuk publik sendiri,” ucap Angelia sebelum ia mulai menyanyi. “Coba kita lihat apakah masih ada di antara kalian yang masih mengingat lagu ini.” Usai berkata, intro lagu Red Rose Angel pun melantun dengan lembut. Penonton heboh, tak banyak yang sanggup menahan luapan emosi mereka, apalagi saat cuplikan film Saint Of Cookery ditayangkan di monitor raksasa. Lagu ini adalah karya original Robert yang dinyanyikan oleh Angelina dan dijadikan
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
32 sebagai soundtrack film tersebut. Bisa mendengar Angelia menyanyikan lagu ini adalah suatu kesempatan istimewa untuk menikmati variasi yang berbeda. Begitu lagu pertama berakhir, Angelia langsung masuk ke lagu ke-2, sebuah lagu baru yang berjudul Love On Delivery. Lagu ini bertempo cepat sehingga penonton bisa turut berjingkrak-jingkrak. Angelia mungkin bukan penari terhebat, tetapi gerakan spontan yang ia lakukan sambil mengikuti irama lagu tetap saja memikat, terlebih lagi karena ia sama sekali tidak kehilangan sentuhan suaranya selagi menari. Suaranya terdengar luwes dan lincah, begitu nyaman di telinga. Lanjut ke lagu berikutnya, Angelia mengumumkan kehadiran Soul’Beatz sebagai bintang tamu. “Spring Time Love adalah lagu favorit bagi setiap orang yang mendengarkannya. Sungguh suatu kehormatan bahwa para musisi yang telah menulis lagu ini mau mengiringi saya untuk menyanyikannya. Saya harap suara saya tidak mengecewakan.” Penonton tertawa saat melihat para anggota Soul’Beatz tersipu karena ucapan Angelia. Musik mengalun, Angelia pun bersenandung: “… spring time love, will it be a second chance for me? Cause however I still love you. Spring time love, bring back those sweet mem’ries to me And then I won’t feel blue.” Lagu berikutnya adalah cover version dari lagu hit Mr. Heru, penyanyi legendaris yang hanya sanggup ditandingi oleh The PartyKids dalam perihal kesuksesan. Angelia menyanyikan Don’t Cry For Me, Newtown City, lagu yang menjadi side-B single terakhir dalam karir gemilang Mr. Heru. Di saat bersamaan, layar raksasa menampilkan cuplikan film Old And New yang mengetengahkan adegan yang dilatarbelakangi oleh lagu tersebut. Ketika lagu tersebut selesai dinyanyikan, tiba-tiba kamera melakukan zoom di antara kerumunan penonton. Rupanya kehadiran Yoviana terpantau oleh kamera. Angelia senang sekali saat mengetahui bahwa rekannya menyempatkan diri untuk menyaksikan konsernya. Ia segera mengundang Yoviana naik ke panggung. Penonton pun memberi jalan dan melakukan standing ovation di saat Yo berjalan menuju pentas. “Untuk Yoviana, yang usia kandungannya kini memasuki bulan ketiga,” Angelia berhenti berkata, lalu memandang ke arah penonton, “dan juga untuk dia yang tidak saya ketahui keberadaannya, tetapi bisa dirasakan kehadirannya di malam ini. Lagu berikut ini saya persembahkan untuk kalian.” Angelia melantunkan lagu After All These Years, single sekaligus judul album terbarunya. Musik yang hanya terdiri dari alunan piano itu tidak terlalu rumit, tetapi liriknya jelas menggambarkan pengalaman pribadinya. Ada nuansa getir di dalam lagu itu, penonton bisa merasakannya. Dan mereka pun larut dalam emosi yang dituangkan dalam lagu oleh sang penulis. Mereka pun sadar, di balik gemerlapnya ketenaran The PartyKids, ketenaran yang sama juga memaksa Angelia untuk mengorbankan cinta dan persahabatan, suatu hal yang membuat masa depan tidak akan sama lagi seperti masa lalu. Tidak bisa tidak, penonton pun menyalakan lilin dan tabung cahaya sebagai rasa salut. Mata Angelia tampak basah oleh air mata, terharu karena begitu banyak orang mau turut berbagi perasaan dengannya. Ia pun berdiri dan membungkuk penuh hormat kepada penonton, lalu mengundurkan diri dari panggung bersama Yoviana.
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
33
After All These Years Back to all those years ago Before we were the greatest show We were young and nothing else could follow Just to our love we took a bow We shared the same smile and laughter It seemed that we’d be together ever after But only true love that lasts forever And our dream was about to over I sang a song, they sang my name That was the time, a period of fame Things would never be the same again Our friendship was heading to the end Reff: After all these years Through the happiness and tears You’re still the one that shine As a very good friend of mine I loved you but I didn’t wanna see you I hated you but I really miss you I cried but I didn’t wanna lie There was no way but to say goodbye Now I’m here, thinking of yesterday There are so many things that I wanna say I’m not sure how to tell you So it’s you this song is dedicated to
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
34 Pertunjukan telah berakhir. Tetapi penonton masih enggan untuk beranjak. Mereka masih bertahan di tempat masing-masing sambil mengeluelukan nama Angelia. Menanggapi hal itu, Angelia akhirnya kembali ke panggung untuk membawa sebuah lagu sebagai encore. “Sepertinya masih ada yang kurang kalau yang satu ini belum dinyanyikan, eh?” tanya Angelia. Segera sesudah itu, terdengar bunyi lonceng. All I Want For Christmas Is You pun disenandungkan oleh Angelia. Hit pertama yang ia cetak di blantika musik sebelum ia bergabung dengan The PartyKids ini adalah nomor yang paling ditunggu oleh para penonton. Suguhan ekstra ini akhirnya memuaskan dahaga setiap orang yang setia mengikuti perjalanan karir Angelia sebagai biduanita. Mereka akhirnya merelakan usainya pertunjukan spektakuler itu. *** “Luar biasa. Sejujurnya pertunjukan tadi bahkan terlalu luar biasa bila kita tinjau dari tiket masuknya yang hanya seharga N$ 100,” gumam Billy. “Jika seorang Angelia saja disambut seperti itu, rasa-rasanya wa sudah bisa membayangkan seperti apa The PartyKids diperlakukan di saat mereka sedang berada di puncak kejayaannya,” tukas Sugi. “Tapi takkan ada lagi pertunjukan seperti ini di kemudian hari,” kata Ery dengan nada agak sedih. Ahmadi menepuk pundak sahabatnya. “Jangan terlalu pesimis. Angelia pasti akan kembali lagi kalau dia merilis album baru dan menggelar tour untuk mempromosikan albumnya itu.” “Yeah, mungkin saja,” sahut Ery, agak terhibur. “semoga begitu. Dan akan lebih menarik seandainya The PartyKids mau bersatu kembali.” “Siapa yang bisa memastikan?” ujar Billy. “Kita ikuti saja perkembangannya…” ***
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
35
39. Semester Dua Liburan semester satu, yang diawali dengan perpecahan empat sekawan dan ditutup dengan kesan menakjubkan dari konser Angelia, telah berakhir. Sugi mempersiapkan diri lagi sementara Ahmadi sibuk menghitung jam tidurnya yang tersisa. Pemuda kocak itu tegang bukan buatan saat menyadari ia masih harus harus menjalani masa pendidikan selama 110.376.000 detik (alias tenggang waktu tiga setengah tahun yang dihitung dengan rumus: 60 detik x 60 menit x 24 jam x 365 hari x 3,5 tahun). Simon Sez tidak meluluskan Ahmadi untuk mata kuliahnya karena ia sama sekali tidak terkesan dengan program Ahmadi yang hanya terdiri dari baris tunggal: (if Ahmadi = “Cowok Ganteng” then “Cewek-cewek pasti suka”) Dan Ahmadi diganjar nilai E untuk program error tersebut. Akibatnya indeks prestasi Ahmadi jatuh ke titik terendah. Kini Ahmadi terpaksa menghamba dan memohon kepada dosen pembimbing akademik supaya diberikan bonus kredit sehingga ia bisa tetap mengimbangi jumlah kredit yang telah diambil oleh tiga sekawan… *** “Anda harus memahami itikad baik saya, Madam,” ujar Ahmadi, memulai bujukrayunya. “Kamu tidak terlalu rajin, ‘kan? Kalau saya memberimu bonus kredit, saya khawatir hal ini malah membebani kuliahmu.” Ahmadi tetap berusaha berargumentasi untuk mendapatkan kredit tambahan. “Anda tidak perlu khawatir soal kerajinan, Sir. Saya paling rajin tidur sampai siang sehingga tidak jarang saya membolos dari kuliah jam pertama demi meneruskan kerajinan saya.” “Wah, kalau begitu peluangmu untuk mendapatkan kredit semakin kecil,” Mdm. Margareth, takjub dengan strategi Ahmadi yang salah total. “Begini saja, Mdm. Margareth. Apa susahnya membubuhkan tanda tangan untuk membantu mahasiswa anda yang tercinta? Lagipula saya berniat untuk membelikan semangkok bakmie kalau urusan ini sudah selesai dengan lancar.” Mdm. Margareth kontan tersinggung. “Lho, kamu berniat menyogok saya? Kamu kira reputasi saya sebagai dosen bisa dibeli dengan bakmie?” “Kalau begitu saya tambahkan segelas teh es.” Dan Ahmadi pun langsung dipersilahkan keluar dengan tidak hormat. *** Musim perkuliahan akhirnya dimulai. Rushman Toliongto hadir lagi sebagai dosen, kali ini dalam mata kuliah Pemrograman Clipper. Mata kuliah ini terasa rumit, terutama bagi mereka yang tidak biasa berlogika tetapi hobi melamunkan hal yang jorok (misalnya berimajinasi tentang sapi yang sibuk mengayunkan ekor untuk mengusir kerumunan lalat sembari mandi di kubangan lumpur). Mr. Rushman tetap cool n’ fast seperti biasanya. Pipinya yang tembem bagai tomat senantiasa bergerak lincah mengikuti tarian bibirnya yang mengeluarkan 174 kata per detik. Tangannya sibuk menuliskan contoh selagi ia menjelaskan beda antara program interpreter dan compiler. Para mahasiswa hanya bisa melongo, tidak mampu mencerna apa yang telah diterangkan oleh dosen tersebut. Lebih buruk lagi, mahasiswa yang belum sarapan tidak sanggup untuk menerima pelajaran sedashyat ini. Banyak di antara mereka yang muntah darah dan meninggal pada saat itu juga. Setelah jatuh korban, mahasiswa yang
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
36 tersisa akhirnya menyerah dan memilih untuk memainkan game solitaire daripada mendengarkan sang dosen. *** Mata kuliah pemrograman lainnya, yaitu Pascal, ditangani oleh Mikhail Chen. Dengan hidung pesek dan bola mata berwarna biru, tampak jelas bahwa dosen yang tinggal di rumah bertirai bambu dan besi ini adalah blasteran Cina/Rusia. Trauma latar belakang kehidupan komunis yang keras senantiasa hidup di jiwanya, menyebabkan ia mengajar dengan gaya Stalin: mahasiswa yang tidak patuh langsung dihukum dengan Russian Roulette. Namun hukuman yang bergengsi itu biasanya hanya diterapkan pada mahasiswa yang pandai. Khusus yang bego akan dieksekusi secara tidak hormat, yaitu hukuman mati tertawa gaya Rusia. Mr. Mikhail jarang tersenyum, mungkin karena ia tidak ingin kalau para mahasiswa tahu bahwa ia menyembunyikan emas yang disamarkan dalam bentuk gigi. Kehidupan sosialis menyatakan bahwa segala sesuatu adalah milik negara, jadi kalau sampai Mr. Mikhail ketahuan menyembunyikan harta berharga yang ditanam di dalam gusinya, maka gigi emasnya pun harus dicopot dan dikembalikan kepada Vladimir Putin. Penulisan bahasa pemrograman Pascal sangat detil, bahkan penempatan titik-koma juga harus diperhatikan. Maka dari itu, sebagai bahasa tingkat tinggi, Pascal sangat sulit dipahami oleh mahasiswa-mahasiswa tingkat rendah. Mr. Mikhail bisa melihat kebingungan para mahasiswa, tetapi hatinya yang sedingin salju Siberia tidak mengenal kata toleransi. Mr. Mikhail akhirnya mempersilahkan mahasiswa yang tidak mengerti untuk mengacungkan tangan. Mengira ia diberi kesempatan bertanya, Masrul pun menaikkan kelima jarinya tinggi-tinggi. Dan ia langsung disambar oleh peluru bertubi-tubi dari Tommy Gun, senapan mesin yang dipakai oleh Dick Tracy. Para mahasiswa mengeluarkan keringat dingin saat menyaksikan Masrul roboh dengan tubuh mengepulkan asap. Sejak saat itu tidak pernah ada lagi yang memberanikan diri untuk bertanya… *** Mr. Al-Iqhlas merupakan salah satu muka lama yang masih mengajar semester dua. Ilmunya kini sedikit beralih. Kalau dulu ia mengurus masalah manajemen, sekarang dia mengajarkan ilmu menghitung duit orang lain, alias ilmu akuntansi. Pada hari pertama ia membiasakan para mahasiswa untuk menggaris kolomkolom jurnal. Hari kedua ia masuk ke pelatihan membuat kolom buku besar. Pada hari ketiga mereka diajari cara-cara menggambar kolom neraca. Setelah yakin kalau para mahasiswa bisa membuat kolom-kolom tanpa mencontek dari buku panduan lagi, barulah ilmu akuntansi itu diturunkan Mr. Al-Iqhlas. “Akuntansi itu seperti lingkaran yin-yang, ada debet dan kredit yang saling mengimbangi. Akuntansi harus mencapai keadaan setara, dengan demikian hasilnya dapat dikatakan tepat dan akurat. Percaya atau tidak, kitab Tao Te Ching baru ditulis oleh Lao Tze setelah ia memahami akuntansi.” Dan para mahasiswa pun kompak berseru, “tidak percaya!!!” “Well, kalian boleh anggap kalau Bapak tadi sedang bercanda,” ujar Mr. Al-Iqhlas setelah ketahuan bohongnya. “Sejarah akuntansi dimulai pada zaman Reinaissance, tepatnya setelah Michelangelo memahat patung Daud yang tersohor. Inspirasi tentang akuntansi muncul ketika Michelangelo menyadari bahwa patung Daud yang dibentuknya dengan pahat dan palu ternyata telanjang. Dua bulatan yang menggantung di pangkal pahanya terlihat seimbang, persis seperti debet dan kredit, lalu sejak saat itu Michelangelo mencetuskan teori akuntansi.”
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
37 Para mahasiswa hanya bisa terpana tak percaya. Dosen ini ternyata hanya membual dan mengajarkan kebohongan yang seronok sepanjang perkuliahan! *** Setelah muncul beberapa kali sebagai figuran, Mr. Neku akhirnya tampil sebagai dosen empat sekawan. Di semester dua ini beliau mengajarkan Teori Organisasi Umum. Pengetahuan Mr. Neku sangat luas, penjelasannya pun sangat detil. Ia juga meladeni pertanyaan-pertanyaan seperti, “apakah kumpul kebo juga termasuk prilaku berorganisasi?” Pertanyaan iseng dari Arie Dementor ternyata mendapat tanggapan serius. Mr. Neku mengatakan bahwa jika lebih dari satu orang berkumpul untuk mencapai tujuan bersama, maka hal itu dapat digolongkan sebagai prilaku berorganisasi. Oleh karena itu, meski kumpul kebo pada intinya adalah perkumpulan kebo-kebo, namun di situ telah terjadi suatu interaksi untuk mencapai sebuah tujuan. “Apa tujuannya?” pancing Arie. “Tanyakan pada kebo-kebo yang bersangkutan,” elak Mr. Neku dengan diplomatis. Pelajaran pun terus berlanjut. Mr. Neku mengajarkan apa saja tentang organisasi, mulai dari Palang Merah dan Pramuka sampai perkumpulan pengemis Kay Pang dan organisasi gay & lesbian. Ia bahkan mengajarkan sedikit filsafat tentang keharusan untuk berorganisasi. Ia berkata, “jika kalian tidak sanggup melawan suatu gerakan massa, katakanlah itu adalah penjajah, bergabunglah dengannya maka kalian akan selamat. If you can’t beat them, join them!” Dan Ery langsung berpendapat kalau dosen ini bukan patriot, tetapi pengkhianat sejati. *** Mata kuliah bahasa Inggris diasuh oleh Miss Lidya. Karena ia menganjurkan untuk speak English, so this is how the story begins: Once upon a time… As the lecturer enters the class, the boys and girls are stunned. Well, bloody hell. She has a gorgeous body that you may call it with one word: hot. A mini skirt plus fish-net stockings are covering those beautiful legs. A little bit curly hair is jumping down to adorn her lovely face. She also lets her horn-rimmed glasses sit on her nose, but that doesn’t lessen her beauty. Without doubts, with such a lecturer, all boys are ready to learn English. “Good morning, angels!” “Huh?” They look at each other cause they don’t get it. Bravely enough to ask, Ahmadi later questions the lecturer, “what the hell is that? We are not doin’ Charlie’s Angels here.” “That’s a great answer. What a quick-witted boy. What’s your name?” Totally nervous due to the counter-attack, Ahmadi helplessly answers while the others are busy chuckling, “err, the name is Ahmed Johnson, but friends call me Ahmadi.” “Nice to meet you, Ahmadi. I’m Lidya.” After a short introduction, The vivacious Miss Lidya is urging them anything about English. “The most important way of saying thing rightly and say the right thing is by rehearsing. Rehearsing consists of two parts: listening and speaking. That’s very simple, a natural thing to do. Whether you realize it or not, you have done that elementary practice every day and night. And now, what I
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
38 have to do is to make sure that all of you are capable enough in these skills. We kick off with listening.” And the lecturer leads them to the audio room. She plays a couple of songs and asks them to fill the blank spaces in the form. The students are quite happy with the way they learn English. It’s so much fun and they don’t feel like studying at all. After all, they don’t mind being driven by a beautiful teacher, do they? *** Dosen terakhir adalah yang memberikan pelajaran kepada mereka Mr. Justin. Ia memberi kuliah Konsep Sistem Informasi. Mr. Justin adalah dosen yang mengesankan dalam arti dia tahu apa yang sedang ia omongkan (yeah, dengan kata lain, dia tidak sekadar cuap-cuap dan asal bunyi). Sadar bahwa ini adalah perkenalan pertama para mahasiswa dengan apa yang disebut sebagai sistem informasi, Mr. Justin menggunakan perumpamaan sederhana dalam mengajar. Dijelaskan olehnya bahwa komunikasi seperti yang terjadi di pasar buah bukanlah suatu sistem informasi. Kenyataannya informasi di sana simpang-siur sehingga harga apel bisa tertukar dengan harga jeruk. Bagaimana tidak? Setiap pedagang saling berlomba meneriakkan harga dagangannya sehingga para pembeli yang tidak cermat mendengar bisa salah informasi. “Contoh sistem informasi yang baik dan paling jelas adalah sistem percernaan,” tukas Mr. Justin. “Makan nasi, keluar tahi. Sekarang terlihat bahwa di dalam sistem telah terjadi proses, karena kalau tidak maka terjadi makan nasi, keluar nasi. Informasi terjalin dengan baik, menyebabkan adanya delegasi wewenang sehingga prosesi bisa berjalan sebagaimana mestinya.” Mr. Justin berhenti sejenak, menikmati kekaguman mahasiswa terhadap kemampuannya memadukan nasi, informasi, delegasi, dan prosesi dalam sajak si-si-si-si. Setelah itu ia kembali mengajar. Anak-anak menyimak. Meskipun kebanyakan dari mereka tidak mengerti, tapi setidaknya mereka tidak tertidur karena gaya Mr. Justin cukup menarik. Kalau saja Al-Iqhlas yang menerangkan, mereka pasti sudah terbuai ke alam mimpi. *** Setelah perkuliahan berjalan beberapa minggu, Mr. Sandy mengadakan survey terhadap para dosen. Hasil akhir yang diperoleh adalah sebagai berikut: Al-Iqhlas
Rushman
Mikhail
Justin
Lidya
Neku
Rapi seperti militer
Lebih cocok kalau pakai dasi kupu-kupu
Sexy!
Berantakan
Pas
Luar biasa
Terlalu luas
Menyenangkan
Menggairahkan Tidak perlu dipermasalahkan, yang penting sexy
Menyesatkan
Kerapian
Sok rapi
Cool
Materi Presentasi
Ngawur
Terlalu dalam
Membosankan
Terlalu cepat
Disiplin waktu
Bagus, suka pulang awal!
Santai
Terlalu tepat waktu
Fleksible
Keluhan
Ini dosen atau tukang dongeng sebelum tidur?
Dosen atau masinis kereta api, ya?
Pecat pembunuh berdarah dingin ini!!!
Nyaris tidak ada
Tidak dimengerti Menakutkan
***
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
Jam mengajarnya terlalu sedikit
Cukup tidak disiplin
Sedang dicari
39
40. Diana Menikah? Kalau Marlina menjadi pesona di kalangan mahasiswa semester atas, maka Diana adalah ratu di hati setiap mahasiswa generasi empat sekawan. Diana boleh dipandang, tetapi tidak boleh disentuh, apalagi dimiliki. Hukumnya haram, hihihi. Mahasiswa yang berani melanggar aturan tidak tertulis ini konon akan dieksekusi dengan segalon air cabe yang diinfus langsung ke mata (bayangkan betapa pedihnya hukuman ini!). Kenyataan ini perlu diperjelas bahwa Diana bukannya tidak boleh disentuh karena kulitnya ditumbuhi panu. Tidak, Diana dijamin bersih dari segala penyakit kulit. Penyebab munculnya ketetapan bersama ini adalah karena Diana molek dan bersahabat, dengan demikian akan lebih adil kalau keramahan dan kecantikannya dinikmati sebagai milik bersama. Alasan lainnya, sebenarnya Sugi dan kawan-kawan berkecil hati bilamana mengharapkan hubungan mereka dengan Diana menjadi lebih dari sekadar teman biasa. Impian tersebut bagaikan pergi ke bulan dengan mengayuh sepeda. Mereka semua, termasuk juga Ery yang pernah jatuh hati kepada Diana, akhirnya cukup berpuas diri dengan kebaikan Diana terhadap mereka. Sejak itu mereka tidak pernah lagi berharap lebih. Dengan terbentuknya kondisi seperti ini, maka kehidupan kampus dan predikat Diana sebagai idola pun berlangsung dengan damai dan tenteram, sampai suatu ketika, tatkala muncul rumor mengenai pernikahan Diana… *** Kisah ini dimulai ketika Sugi sedang duduk di perpustakaan untuk jumpa pembaca dan memberikan tanda tangan gratis kepada mereka yang telah membeli Happy Campus III. Karena sepi dari penggemar, Sugi terpaksa duduk sambil menepuk lalat dan melamunkan nasibnya yang naas. Di saat yang mengenaskan seperti itulah Diana mampir ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Waktu itu U Tin Kashmir, wanita berdarah Myanmar/Pakistan yang menjabat sebagai kepala perpustakaan sekaligus dosen Perfect Alphabeth University, bertanya, “lho, Diana? Sudah mau menikah masih saja rajin membaca, ya?” Dan Sugi langsung melotot tak percaya. Rahang bawahnya jatuh dengan bebas sampai membentur meja, sehingga giginya yang jarang disikat kini terlihat kuning menyilaukan seperti bunga matahari. Well, Diana akan menikah? Akan tetapi Diana sendiri menyangkal rumor ini. Ia tertawa lepas sambil bertanya kepada Mdm. U Tin, dari mana dosen itu mendapatkan kabar ini. Diana sendiri bahkan tidak tahu-menahu siapa pengantin prianya, bagaimana mungkin ia akan menikah? *** Bantahan Diana tidak membuat Sugi lega. Ia justru panas-dingin karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Namun tetap saja ia tidak bisa menemukan jawabannya. Oleh karena itu ia segera mengumpulkan para bujangan tak laku untuk menggelar rapat kilat. Semua mahasiswa ikut, kecuali Billy yang saat itu sudah terpikat oleh Susan. Di dalam forum, Sugi menceritakan apa yang telah ia dengar. Supaya lebih seru, ia membumbui cerita itu dengan rempah-rempah gosip. Sugi berkata bahwa ia telah bertemu Diana yang sedang menenteng buket bunga dan tas berisi pakaian pengantin. Saat itu Diana singgah ke perpustakaan untuk membagikan undangan kepada Mdm. U Tin.
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
40 Semua merasa tak percaya, apalagi mereka ingat betul dengan hobi Sugi dalam menceritakan sesuatu secara bombastis. Masih segar di benak mereka bagaimana Sugi mengubah kisah Ery yang dituduh memperkosa sehingga Ery benar-benar terdengar seperti pemerkosa. Tapi Diana mempunyai pengaruh besar bagi kumpulan orang jelek. Entah kisah Sugi benar atau tidak, mereka tetap merasa was-was dengan kemungkinan terjadinya pernikahan Diana. Untuk orang secantik Diana, persentase bahwa ia telah dilamar dan akan dinikahi dalam waktu dekat ini adalah sangat besar. Lumrah sekali bila hal ini terjadi, tetapi anak-anak merasa tidak rela. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah: siapa pria nekat yang berani melanggar sumpah mahasiswa itu? Mereka bertekad untuk mencari tahu. Untuk itu Sugi menyusun beberapa rencana. “Aku butuh anjing pelacak,” seru Sugi. Lalu beberapa kandidat pun maju ke depan. Arie Dementor pamer kebolehan dengan mengendus bokong Ahmadi. Buddy Goodman mengangkat sebelah kakinya dan mengencingi pojok ruangan sementara Subianto menggaruk telinganya dengan kaki. Dari tiga pilihan yang ada, akhirnya Arie Dementor yang dipilih karena ia terlihat seperti anjing pelacak yang terlatih, sedangkan yang lain malah terlihat seperti anjing kampung kudisan dan anjing penderita rabies. “Aku butuh alat penyadap,” Sugi berkata lagi dengan suara lantang. Kemudian beberapa calon pun menghadap. Ada Geoffrey yang berkuping siaga namun sanggup mengelabui sasaran dengan senyum gemulai, Masrul yang sanggup mengibaskan kupingnya seperti telinga gajah dan Ery yang tidak bisa apa-apa tetapi memaksakan diri untuk menjadi calon alat penyadap. Setelah mempertimbangkan untung-ruginya, Sugi memilih Geoffrey karena sifat feminim yang ia miliki membuatnya bisa berbaur dengan wanita tanpa dicurigai. Mahasiswa mana lagi yang sanggup membahas tentang pembalut kalau bukan Geoffrey orangnya? “Terakhir, aku butuh mata-mata,” ujar Sugi sambil memberi tanda centang pada daftar rencananya. Tiga orang pemuda kembali mengajukan diri. Orang pertama adalah Chris “ShowHand” Drake yang sanggup mencopet apa saja, lalu Iqram yang sanggup melayang setinggi 10 CM kalau ia komat-kamit membaca mantra kaum fakir, lantas ada pula Budi Tornado yang bisa mengangkat rok wanita dengan sedikit kibasan halus dari telapak tangannya. Sehabis membaca surat lamaran dan CV masing-masing pelamar, yang direkrut oleh Sugi adalah Chris. Sesudah membubarkan para calon gagal, ia langsung menjelaskan rencananya kepada agen-agen rahasia itu. Sebuah rencana akan segera dimulai, tepatnya setelah paragraf ini berakhir… *** Diana berpaling ketika namanya dipanggil. Ia cukup terkejut dan berusaha menahan tawa ketika Geoffrey berlari ke arahnya, melambai dengan lemas sambil menarik rantai anjing yang dikalungkan ke leher Arie Dementor. “Apa itu?” tanya Diana sambil menunjuk Arie. “Oh, dia sedang berperan sebagai anjing pelacak, tetapi aku tidak bisa menjelaskan alasannya kepadamu, nanti rahasia kami terbongkar.” “Rahasia apakah itu, Geoffrey sayang?” ujar Diana sambil tersenyum. Ia sama sekali tidak sadar kalau Arie mulai mengernyitkan hidungnya, mengendus aroma parfum undangan. Setelah beberapa saat, manusia anjing akhirnya tahu kalau undangan ada di dalam tas kecil yang menggantung di pundak Diana. Arie menggonggong liar, memberi tanda kepada Chris untuk segera beraksi. Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
41 Diana langsung menoleh, menatap Arie dengan penuh rasa iba. Ia jadi lupa dengan rahasia yang ia tanyakan pada Geoffrey. Tepat di belakangnya, Chris berlari menentang arah angin sehingga bau badannya tidak mungkin tercium oleh Diana. Setelah berhasil mendekati korban, ia pun mulai mengacakacak tasnya untuk mencari undangan yang dimaksud. Kemahiran Chris memang pantas untuk diacungi jempol. Diana sama sekali tidak sadar bahwa tasnya sedang diobrak-abrik. Ia malah menunduk dan menggaruk dagu Arie, membuat manusia anjing itu menjulurkan lidahnya dengan senang hati karena merasa dimanjakan. “Ia menderita rabies,” ungkap Geoffrey dengan mimik sedih sehingga perhatian Diana semakin tersita untuknya. Diana mendesah, turut bersedih atas nasib Arie yang malang. “Kasihan sekali, padahal ia teman yang baik.” “Yeah, anjing memang teman baik manusia,” sahut Geoffrey. Kesal karena terus-menerus dianggap anjing, Arie langsung menggigit kaki Geoffrey, membuat pria lembut itu mengaduh sambil berteriak, “mati aku. Aku tertular rabies sekarang.” Sebenarnya Chris telah berhasil mendapatkan undangan tersebut, tapi ia panik melihat rekan-rekan kerjanya mulai tidak kompak. Ia mengeluarkan undangan itu, membaca sebisanya, lalu gone with the wind begitu Diana hendak mengambilkan tissue untuk Geoffrey. “Anjing sial!” maki Geoffrey sambil mengelap kakinya yang basah karena air ludah. “Akan kugebuk kau nanti dengan tongkat pemukul anjing.” Kemesraan Geoffrey dan Arie sebagai partner telah berakhir. Mereka terpaksa berlalu tanpa mendapatkan informasi berharga dari Diana. Harapan terakhir tergantung kepada Chris. *** Sekali lagi rapat kaum buruk rupa digelar. Kali ini giliran Chris yang berbicara panjang-lebar. Dari apa yang berhasil ia baca, pengantin pria itu bernama August. “Sebentar,” gumam Sugi sambil meneliti daftar nama mahasiswa. “Gee, tak ada yang bernama August di Perfect Alphabeth University.” “Bagaimana kalau seandainya August itu bukan mahasiswa?” tukas Ahmadi. “Itu mungkin saja terjadi. Maka dari itu orang tersebut tidak tahu tentang sumpah mahasiswa untuk tidak memiliki Diana sebagai koleksi pribadi,” jawab Sugi. “Hmm, bukan mahasiswa…” Semua tersentak sewaktu pemikiran yang sama melintas di benak mereka. Saling berpandangan satu sama lain, mereka pun berseru, “Mr. August, dosen sekaligus kepala laboratorium kampus ini!” Seketika itu juga mereka tertunduk lemas dan lesu. Bagaimana mungkin mereka bisa bersaing dengan dosen? Habis sudah harapan mereka. Detik-detik mereka dalam menjalin persahabatan dengan Diana sudah hampir berakhir. *** Para mahasiswa menjadi murung. Mereka selalu menghindari Diana, enggan untuk bertatapan langsung dengannya. Diana merasa heran, lalu memutuskan untuk bertanya kepada Ery. Ery merasa gerah saat ditanya tentang perubahan sikap para mahasiswa. Ia tidak ingin menjadi orang yang menjelaskan bahwa mereka sedih karena akan kehilangan Diana, tetapi ia tidak sanggup menolak permintaan gadis itu. Dengan nada getir, ia akhirnya berkata, “kami sangat terpukul karena kau akan segera menikah.” Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura
42 Mata Diana terbelalak. “Hah? Gosip dari mana itu?” “Tidak usah berpura-pura. Sugi bahkan melihat dengan matanya sendiri saat kau membagikan undangan kepada Mdm. U Tin di perpustakaan.” “Sugi? Perpustakaan? Well, aku mulai bisa menebak kenapa cerita ini bisa beredar,” ujar Diana dengan nada geli, “tapi kalau kau ingin tahu…” Ery merasa tidak nyaman saat Diana mengeluarkan undangan dari tasnya. Ia sungguh tidak ingin membaca nama mempelai pria yang tertera di undangan tersebut karena hatinya akan sangat terluka. “Tidak usah diperlihatkan, Diana. Aku sudah tahu kalau mempelai prianya adalah Mr. August.” “Tapi kau tidak tahu siapa mempelai wanitanya,” sanggah Diana. Diana membuka undangan tersebut sehingga mau tidak mau Ery harus membacanya… *** “Teman-teman, ternyata selama ini kita telah dibutakan oleh bandit berkacamata yang suka bergosip ini,” Ery berpidato sewaktu rapat pria pengagum Diana dibuka kembali untuk ketiga kalinya. “Kenyataannya adalah Diana tidak akan menikah untuk saat ini.” Semua bersorak lega. Tapi Sugi membantah. “Dari mana bisa tahu?” Bukti tertulis berupa undangan pernikahan itu segera ditunjukkan. Ternyata yang menikah adalah pasangan Mr. August dan Lina, teman karib Diana. “Sekarang terbukti bahwa Sugi telah mengarang cerita bohong,” ujar Ery. “Tidak sepenuhnya bohong, kok,” Sugi menyeringai, berusaha menutupi kesalahannya dengan senyum. “Paling tidak itu yang dikatakan Mdm. U Tin kepada Diana.” “Kalau ceritamu jujur, hasilnya tidak akan seperti ini,” Ery menolak kebohongan Sugi. “Yeah, seandainya loe bercerita apa adanya, wa ‘kan tidak harus menjadi anjing,” Arie mendukung pendapat Ery. “Loe tidak tahu kalau menggigit kaki Geoffrey merupakan horor yang sangat mengerikan. Demi Tuhan, kakinya sama sekali tidak berbulu!” Yang lain berusaha menahan tawa saat Arie meluapkan emosinya. Geoffrey sendiri tampak sewot sewaktu rahasianya terbongkar. “Apa jeleknya kalau kaki tidak berbulu? Bukankah malah tampak lebih rapi? Dasar manusia anjing!” Arie dan Geoffrey kembali memanas. Keduanya berhadap-hadapan, siap untuk baku hantam. Tapi Ery mengingatkan mereka bahwa ada orang yang lebih tepat untuk dipersalahkan. Sugi menelan ludah. Ia akhirnya dicakar, dicubit, dikencingi, dicabik-cabik dan digigit sampai ia mengakui kesalahannya dan bersedia menulis kalimat, “saya tidak akan bergosip lagi di kemudian hari” sebanyak 50 baris, lalu disahkan dengan cap jempol berdarah… ***
Happy Campus 4 © 2003, Anthony Ventura