Yesus Belajar dari Perempuan Siro-Fenisia?: Berdialog dengan Ruth Schafer Markus 7:24-30[/31] (bnd. Mat. 15:21-28) Deky Hidnas Yan Nggadas A. Pendahuluan Saya mengetahui bahwa pandangan-pandangan yang mencoba menjelaskan dialog Yesus dan seorang perempuan Siro-Fenesia (Mrk. 7:24-30[/31];1 atau “perempuan Kanaan” – Mat. 15:21-28) cukup beragam. Saya hanya fokus pada salah satunya, yaitu pandangan bahwa dialog tersebut mengindikasikan Yesus belajar dari perempuan Siro-Fenesia tersebut. Dalam intonasi negatifnya, sebagaimana maksud para penganut pandangan ini, Yesus diajar bahkan dihajar oleh perempuan SiroFenesia itu.2 Saya juga hanya fokus pada tulisan Markus walau untuk beberapa bagian spesifik, saya merujuk juga kepada kisah paralelnya dalam Matius 15:21-28. Ketertarikan untuk fokus pada pandangan di atas terstimulasi ketika membaca naskah orasi ilmiah Dr. Ruth Schafer berjudul: “Yesus sebagai Pelajar,” yang dipublikasikan dalam sebuah buku berisi kumpulan tulisan eksegetis dari perspektif Feminisme.3 Naskah tersebut dibacakan pada acara Diesnatalis STT GKE Banjarmasin tanggal 8 Februari 2008.4 Meskipun Schafer bukan satu-satunya ahli yang menganut pandangan ini,5 saya memilih untuk fokus hanya pada tafsirannya. Beliau akan 1 Mayoritas versi terjemahan modern membagi perikop itu hanya sampai pada ayat 30. Tetapi, penyebutan mengenai Yesus meninggalkan Tirus dalam Markus 7:31 tampaknya membentuk sebuah inklusio geografis (ay. 1) bahkan membentuk struktur khiastik yang menandai kesatuan teks tersebut, seperti yang diperlihatkan dalam tulisan: Sharon Ringe, “A Gentile Woman’s Story, Revisited: Rereading Mark 7:24-31a,” in Amy-Jill Levine and Marianne Blickenstaff (eds.), A Feminist Companion to Mark (Cleveland, OH.: The Pilgrim Press, 2004), 82. Tulisan Ringe di sini dikutip dan diikuti juga oleh: Cristopher E. Alt, “The Dynamic of Humility and Wisdom: The Syrophoenician Woman and Jesus in Mark 7:24-31a,” Lumen et Vita, Vol. 2 (2012): 3. 2 Lih. David D.M. King, “The Problem of Jesus and the Syrophoenecian Woman: A Reader-Response Analysis of Mark 7:24-31,” The Journal of Religion, Identity, and Politics, Vol. 3, No. 1 (January 2014): 1-20. Perlu dikomentari bahwa istilah “reader-response analysis” pada judul artikel ini tidak digunakan dalam arti bahwa King memanfaatkan metode reader-response criticism, salah satu pendekatan hermenutik khususnya hermeneutik Postmodern terhadap Alkitab. King menggunakan istilah ini untuk upayanya mendaftarkan berbagai pandangan di sekitar masalah Yesus dan perempuan Siro-Fenesia itu, lalu ia memberikan komentar evaluatif terhadap setiap pandangan tersebut. Pandangan yang saya bahas di sini adalah salah satu dari enam pandangan yang didaftarkan King dalam tulisan tersebut. 3 Ruth Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” dalam Ruth Schafer, dkk. (ed.), Menggugat Kodrat Mengangkat Harkat: Tafsiran dengan Perspektif Feminis atas Teks-teks Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 339-351. Melihat tahun terbitnya, buku ini terbilang cukup terkini walau tulisan-tulisan di dalamnya telah pada tahun 2008 oleh para mantan mahasiswa S1 bimbingan Schafer di STT GKE Banjarmasin. Saya sungguh mengapresiasi Schafer untuk proyek semacam ini! 4 Menariknya, pada tahun yang sama tepatnya tanggal 2 Agustus 2008, Dr. Eben Nuban Timo yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Ketua Sinode GMIT mempresentasikan sebuah naskah berjudul: “Yesus dan Orang Lain” pada acara Lokakarya Paradigma Inklusif di Kupang. Inti asersi interpretif Nuban Timo dan Schafer pada dasarnya sama saja. 5 Para pakar lain yang juga menganut pandangan ini, antara lain: John R. Donahue and Daniel J. Hrrington, The Gospel of Mark (Sacra Pagina, Vol. 2; Collegeville, Minnesotta: The Liturgical Press, 2002), 232-235; William C. Placher, Mark (Belief: A Theological Commentery on the Bible; Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2010), 106; Mary Ann Tolbert, “Mark,” in Carol A. Newsom and Sharon H. Ringe (eds.), Women’s Bible Commentary (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 1998), 356; Sharon H. Ringe, “A Gentile Woman’s Story, Revisited: Rereading Mark 7:24-31a” 79-100; Alt, “The Dynamic of Humility and Wisdom: The Syrophoenician Woman and Jesus in Mark 7:24-31a”; 2-7; dan Nuban Timo, “Yesus dan Orang Lain”.
menjadi “teman berpikir” uama saya dalam tulisan ini, walau tentu saya akan menyertakan juga interaksi dengan para pakar lainnya. Saya akan mengulas dan mengvaluasi tafsirannya, lalu mengakhirinya dengan presentasi mengenai alternatif pandangan yang menurut saya lebih akomodatif untuk menjelaskan natur perdebatan Yesus dan perempuan Siro-Fenesia tersebut. B. Tafsiran Schafer Sesuai judul orasinya, Schafer bermaksud membuktikan bahwa Yesus adalah seorang pelajar berdasarkan teks-teks PB. Istilah “pelajar” di sini tidak digunakan dalam arti formal, melainkan sikap belajar Yesus dalam sejumlah kesempatan menurut tahap-tahap kehidupan-Nya di bumi. Sikap Yesus sebagai pelajar pada masa kecilNya diulas berdasarkan Lukas 2; Markus 1 dan Matius 3-4 dibahas untuk memperlihatkan sikap belajar Yesus pada tahap Ia mulai berkarya di hadapan publik; pada pertengahan pelayanan-Nya, sikap belajar Yesus dielaborasi berdasarkan Markus 7; dan Ibrani 5 menandai tema Yesus sebagai pelajar pada tahap akhir kehidupan-Nya. Dengan skema seperti ini berikut ulasan terhadap sejumlah teks buktinya, Schafer menyimpulkan, “Yesus belajar melalui keadaan yang berbeda-beda itu, seumur hidup-Nya.”6 Pembuktian eksegetis Schafer mengenai sikap belajar Yesus dari Markus 7:24-31 dilatari oleh asersinya bahwa teks ini mencerminkan sebuah perkembangan teologis mengenai jangkauan misi Yesus. Ia menulis, “Dalam cerita ini, bukan mukjizat yang paling penting, melainkan perkembangan teologis.”7 Isu spesifik, dalam pandangan Schafer, yang menandai perkembangan teologis ini adalah isu mengenai “...adatistiadat orang-orang Yahudi yang mencegah mereka bergaul dengan orang nonYahudi (orang “Yunani” atau “kafir”).”8 Di kemudian hari, mungkin sekitar tahun 3335 M., pandangan lama yang salah ini ditinggalkan khususnya di daerah-daerah pelayanan Paulus, Antiokhia. Karena itu, Schafer percaya bahwa teks ini mengandung dua lapisan, yaitu sitz im leben Jesu dan Sitz im leben der kirche.9 Saya akan kembali ke pokok ini nanti. Selanjutnya, Schafer menafsirkan Markus 7:27-29, ayat per ayat, untuk membuktikan asersinya mengenai perkembangan teologis tersebut dalam dua kategori sitz im leben di atas. Menurut Schafer tanggapan Yesus dalam Markus 7:27 terhadap permintaan tolong dari perempuan Siro-Fenesia untuk kesembuhan anaknya, merupakan cerminan dari paradigma misi Yesus yang eksklusif di atas. Yesus mengasumsikan paradigma ini ketika Ia berkata: “Lalu Yesus berkata kepadanya: ‘Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing’” (Yun.: kai. e;legen auvth/|( :Afej prw/ton cortasqh/nai ta. te,kna( ouv ga,r evstin kalo.n labei/n to.n a;rton tw/n te,knwn kai. toi/j kunari,oij balei/n). Schafer melihat indikasi tersebut ketika Yesus menyebut orang-orang Yahudi sebagai “anak-anak” (ta. te,kna) dan orang-orang Yunani sebagai “anjing-anjing kecil” (toi/j kunari,oij). Kata-kata Yesus di sini, dalam pemahaman Schafer, memperlihatkan bahwa “Allah tidak Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 351. Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 344. Bnd. Morna D. Hooker, The Gospel According to St. Mark (Black’s New Testament Commentaries; New York: Continuum, 1991), 183. 8 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,”345. 9 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 346. 6 7
berkenan – menemui bahkan menolong mereka sebab mereka tidak dimasukkan ke dalam rencana penyelamatan Allah.”10 Yesus percaya bahwa “...keselamatan (kasih?) Allah tidak cukup besar dan luas untuk semua orang. Jika Ia mulai menyembuhkan orang kafir juga, yang dapat Ia berikan akan cepat habis dan tidak memadai lagi untuk keperluan dan kerinduan bani Israel.”11 Ini adalah kehendak Allah yang dipercayai Yesus pada waktu itu yang menurut Schafer tidak lebih dari sebuah “prasangka etnis dan religius”12 semata. Prasangka etnis dan religius yang salah yang diasumsikan Yesus di atas yang terbingkai dengan kata-kata yang tidak sopan itu, ditolak perempuan Siro-Fenesia itu dalam Markus 7:28. Argumen bantahannya adalah bahwa “...kebaikan Allah cukup besar untuk semua, termasuk orang Yunani, termasuk anaknya sendiri.” 13 Dan Markus 7:29 membuktikan sikap belajar Yesus: “Prasangka Yesus diatasi, pandangan-Nya dikalahkan oleh argumentasi seorang perempuan, Yesus menerima fakta ini dengan baik. Ia belajar dari perempuan itu tentang kehendak Allah, memperluas pengertian panggilan-Nya...”.14 Pandangan keliru Yesus mengenai jangkauan misi-Nya dikoreksi oleh argumen (dia. tou/ton to.n lo,gon) perempuan Siro-Fenesia itu. Bagi Schafer, Yesus membenarkan perempuan itu bukan karena “imannya” melainkan karena “argumennya”. Maka ia mempertanyakan judul: “Perempuan Siro-Fenesia yang Percaya” (LAI) karena tidak jelas apakah perempuan itu menjadi percaya sebelum atau sesudah peristiwa tersebut.15 Mengantisipasi penarikan implikasi bahwa Yesus dapat berdosa, Schafer menambahkan komentar: “...kita harus membedakan dengan tegas antara kesalahan yang tak terelakkan untuk semua orang (termasuk Yesus) dan dosa (yang tidak dibuatNya).”16 Kelihatannya Schafer mengasumsikan, sebagaimana kita semua pada umumnya, bahwa proses belajar itu mencakup koreksi terhadap pandanganpandangan terdahulu kita yang salah. Dan itu tidak masalah. Itu biasa. Yesus pun, sebagai manusia sejati, mengalami proses belajar itu. Ia dikoreksi oleh seorang perempuan lalu Ia menerima koreksi itu dan mengubah pandangan serta praktik misiNya.17 Kembali kepada dua lapisan konteks di atas, bagi Schafer, Yesus sebelum perdebatan-Nya dengan perempuan Siro-Fenesia itu adalah Yesus yang percaya bahwa misi-Nya terbatas hanya untuk Israel. Orang-orang non-Israel tidak tercakup di dalam jangkauan misi-Nya. Namun Yesus setelah perdebatan itu adalah Yesus yang
Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 347. Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 347; bnd. Matthew L. Skinner, “‘She Departed to Her House’: Another Dimension of the Syrophoenecian Mother’s Faith in Mark 7:24-30,” World & World 26.1 (Winter 2006): 17-18, menyatakan bahwa perempuan Siro-Fenesia itu “appears to understand even more acutely than Jesus the potential and the scope of the reign of God...”; Letica A. Guardiola-Saenz, “Borderless Women and Borderless Texts: A Cultural Reading of Matthew 15:21-28,” Semeia 78 (1997): 80, menyatakan: “the other that he once treated as a dog is now giving him a lesson...”. 12 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 347. 13 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 348. 14 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 348. 15 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 348-349. 16 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 348. 17 Mengacu kepada perspektif feminisme yang dianut para kontributor naskah dalam buku ini, tampaknya orasi ilmiah ini diikutsertakan dalam buku ini karena empasis Schafer mengenai Yesus yang dikoreksi oleh seorang perempuan. 10 11
lebih inklusif, sebuah sikap misi yang nanti tercermin dalam pelayanan Paulus di kemudian hari.18 C. Studi Mark D. Nanos mengenai “Anjing” Sebelum memberikan komentar evaluatif terhadap pandangan di atas, saya ingin menarik perhatian kita kepada studi dari Mark D. Nanos, seorang ahli suratsurat Paulus yang berlatar belakang penganut Yahudi yang cukup disegani kepakarannya di kalangan Pauline theologians. Karya tulis spesifik Nanos yang menurut saya relevan untuk didiskusikan di sini, berjudul: “Paul’s reversal of Jews Calling Gentiles ‘Dogs’ (Philippians 3:2): 1600 Years of an Ideological Tale Wegging an Exegetical Dog?”19 Memang studi ini fokus pada penggunaan sebutan “anjing-anjing” dalam Filipi 3:2, namun observasi Nanos memiliki implikasi penting untuk komentar saya selanjutnya, termasuk juga “mendobrak” asumsi sosio-religius yang umumnya diasumsikan sebagai latar belakang dari kata-kata Yesus dalam Markus 7:27. Saya hanya akan merepresentasikan bagian-bagian dari studi Nanos yang relevan dengan isu tulisan ini. Dalam kaitan dengan Markus 7:27 (Mat. 15:26), para penafsir Kristen mengasumsikan bahwa kata-kata Yesus tersebut – apa pun maknanya – menggemakan stigma orang-orang Yahudi terhadap orang-orang non-Yahudi di mana orang-orang Yahudi biasanya menyebut mereka sebagai “anjing”. Nanos memperlihatkan bahwa asumsi ini pertama kali dikemukakan oleh Yohanes Krisostomus dalam homilinya mengenai Filipi 3:2. Krisostomus menyatakan bahwa Paulus membalik sebutan “anjing” di situ bagi orang-orang Yahudi sendiri yang biasanya mereka gunakan bagi orang-orang non-Yahudi. Kemudian, Krisostomus memperlihatkan “kebiasaan” orang-orang Yahudi tersebut dengan merujuk kepada kata-kata Yesus dan respons perempuan Kanaan dalam Matius 15:26-27.20 Selanjutnya, salah satu sumber penting yang sering dirujuk untuk membuktikan asumsi di atas adalah entri yang ditulis oleh Michael mengenai kuwn (“anjing”) dalam 18 Karena kontinuitas antara misi Yesus dan misi Paulus bukan merupakan isu tulisan ini, maka saya perlu memberikan sedikit komentar implikatif mengenai isu ini di sini. Jika saya secara tepat menafsirkan maksud Schafer, maka implikasi dari tafsiran Schafer dalam kaitan dengan isu ini adalah bahwa misi Yesus tidak berkesinambungan sekaligus berkesinambungan dengan misi Paulus. Ketidaksinambungan itu adalah paradigma misi Yesus yang eksklusif yang sebenarnya hanya prasangka etnis dan religius semata sebelum perdebatan-Nya dengan perempuan Siro-Fenesia itu. Yesus kemudian meninggalkan paradigma misi yang eksklusif pasca perdebatan itu yang menandai kesinambungannya dengan misi Paulus di kemudian hari. Dan titik penentu dari peralihan paradigma misi Yesus adalah argumentasi perempuan Siro-Fenesia itu. Bnd. Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 348. Terlepas dari benar atau tidaknya tafsiran Schafer di atas, implikasi dari pandangannya terhadap kesinambungan misi Yesus dan Paulus cukup unik. Para pakar yang membahas isu ini cenderung percaya bahwa misi Yesus dan misi Paulus berkesinambungan atau tidak berkesinambungan sama sekali. Isu mengenai kontinuitas dan diskontinuitas misi Yesus dan Paulus tersebut, dapat dibaca misalnya dalam tulisan: Wilhelm Wrede, Paul (Boston: American Unitarian Association, 1908); J.W. Fraser, Jesus and Paul (Abingdon, Berks. England: Marcham Books, 1974); W.A. Simmons, A Theology of Inclusion in Jesus and Paul: The God of Outcasts and Sinners (Lewiston, NY.: Mellen Biblical Press, 1996); dan Paul W. Barnett, Paul: Missionary of Jesus (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2008). 19 Ini adalah paper yang dipresentasikan Nanos dalam Annual Meeting of the Society of Biblical Literature bertema: “Early Jewish-Christian Relations”. Pertemuan ini berlangsung pada tanggal 21 November 2008, di Boston. 20 John Chrisostom, Homilies on the Epistle of St. Paul to the Philippians, X, in Philip Schaff (ed.), A Select Library of the Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church. First Series (14 vols.; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1979), 13: 230; dikutip dalam: Nanos, “Paul’s Reversal of Jews Calling Gentiles ‘Dogs’,” 6.
TDNT. Dalam entri ini Michael mendaftarkan penggunaan istilah “anjing” dalam PL, literatur-literatur Yahudi Intertestamental, dan tradisi-tradisi Rabbinik untuk menekankan asumsi di atas. Orang-orang Yahudi mencerminkan superioritas spiritual mereka atas orang-orang non-Yahudi dengan menyebut orang-orang nonYahudi dengan sebutan “anjing”.21 Michael secara eksplisit menyatakan bahwa istilah “anjing-anjing” merupakan “sebuah terminologi umum untuk mengekspresikan cibiran orang-orang Yahudi bagi orang-orang lain”.22 Nanos tidak setuju dengan kesimpulan di atas. Ia tidak berargumentasi bahwa orang-orang Yahudi tidak bersikap superior terhadap orang-orang non-Yahudi. Ia meninjau bagian-bagian yang biasanya dirujuk dari PL, literatur-literatur Yahudi Intertestamental, Philo, Yosefus, dan tradisi-tradisi Rabbinik dan berargumentasi bahwa bagian-bagian tersebut tidak menggunakan kata “anjing” atau “anjing-anjing” dengan referen kepada orang-orang non-Yahudi semata-mata karena mereka adalah orang-orang non-Yahudi.23 Nanos hanya menemukan satu teks Rabbinik dari Abad Pertengahan, Pirke de Rabbi Eliezer 29, yang dalam taraf tertentu memang menyamakan orang-orang non Yahudi dengan anjing.24 Ia menandaskan, “Pastinya tidak ada buktibukti dalam literatur-literatur Yahudi bagi tradisi interpretif untuk berkesimpulan bersama Michael...”25 seperti yang sudah dikutip di atas. Itulah sebabnya, Nanos mengingatkan bahwa asumsi bahwa Yesus sekadar mengasumsikan prejudis etnis yang umum di kalangan orang-orang Yahudi, merupakan asumsi yang tidak terbukti.26 Sebaliknya, Nanos justru melihat bahwa kata-kata Yesus dalam Markus 7:27 (Mat. 15:26), secara historis, merupakan teks pertama yang secara terang menggunakan istilah “anjing-anjing” dalam nuansa inferioritas etnis non-Yahudi. Nanos menyatakan bahwa secara logis, hasil studinya “...membuat Yesus, atau penulis Injil, sebagai penemu dari perkembangan polemik ini.” 27 Bagi saya, studi Nanos yang sangat stimulatif itu memuat kesimpulan yang “terlalu bersih” (too clean) mengenai relasi sosio-etnis Yahudi dan non Yahudi pada masa itu. Hal utama yang perlu dipertimbangkan adalah dalam daftar literatur utama (primary sources) yang dipresentasikan Michael (dan yang diikuti oleh para penafsir Kristen), kata “anjing” memang muncul dalam konteks-konteks ketika di sana pun orang-orang non Yahudi disebut. Jadi persoalannya adalah bagaimana menafsirkan relasi komponen-komponen tersebut di dalam konteks-konteks kemunculannya. Juga perlu diingatkan sekali lagi bahwa Nanos tidak membantah sikap superior orangorang Yahudi atas non-Yahudi; ia sekadar membantah pengaitan penggunaan kata “anjing” dengan asumsi mengenai sikap superior tersebut. Meski begitu, kesimpulan Nanos bahwa kata “anjing” tidak dapat dianggap sebagai sebutan degradatif yang umum di kalangan orang-orang Yahudi bagi orangorang non-Yahudi pada masa itu – walau secara occasional sebutan itu bisa jadi digunakan dalam nuansa degradatif – penting untuk dijadikan clue bahwa sangat Michael, “kuwn,” in Gerhard Kittel and Gerhard Friedrich (eds.), Theological Dictionary of the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1965), 3.1101-1104. 22 Michael, “kuwn,” 3.1103. 23 Nanos, “Paul’s Reversal of Jews Calling Gentiles ‘Dogs’,” 12-19. 24 Nanos, “Paul’s Reversal of Jews Calling Gentiles ‘Dogs’,” 18. 25 Nanos, “Paul’s Reversal of Jews Calling Gentiles ‘Dogs’,” 18. 26 Nanos, “Paul’s Reversal of Jews Calling Gentiles ‘Dogs’,” 19. 27 Nanos, “Paul’s Reversal of Jews Calling Gentiles ‘Dogs’,” 19, 24. 21
mungkin kata-kata Yesus tidak dilatarbelakangi oleh asumsi umum itu 28 melainkan Ia mengasumsikan “sesuatu” yang lain. Dan jika Yesus tidak mengasumsikan asumsi umum itu,29 sementara nuansa superior-inferior etnis itu memang terdapat di dalam kata-kata Yesus, maka dalam pengertian tertentu, menyebut bersama Nanos bahwa Yesus atau para penulis Injil (Matius dan Markus) merupakan inventor dari makna penggunaan kata “anjing” dalam konteks ini (mengapa tidak?!), merupakan sebuah alternatif yang perlu “diburu” lebih lanjut. Dan saya akan memberikan perhatian terhadap alternatif ini dalam bagian selanjutnya. D. Observasi dan Komentar Untuk membatasi cakupan observasi pada bagian ini, saya perlu meringkas ulang klaim dan argumen Schafer di atas. Ia mengklaim bahwa pokok utama dari Markus 7:24-30 adalah perkembangan teologis, khususnya pemahaman Yesus mengenai jangkauan misi-Nya. Yesus mengasumsikan misi yang eksklusif bagi orangorang Yahudi saja, sebuah prejudis etnis-religius yang Ia warisi dari latar belakang keyahudian-Nya. Asumsi yang salah ini dikoreksi oleh perempuan Siro-Fenesia itu menjadi sebuah misi yang universal. Benarkah? 1. Latar Geografis-Etnis Narasi yang di dalamnya terdapat dialog antara Yesus dan perempuan SiroFenesia itu terjadi di Tirus (Mrk. 7:24).30 Tirus memang merupakan daerah nonYahudi yang terletak di sebelah barat laut Galilea. Dalam PL, Tirus merupakan tempat tinggal Isebel di mana Ahab pun berdiam di situ setelah menikahinya (1Raj. 16:31-34). Ahab mengadopsi praktik-praktik kafir serta menyembah Baal di Tirus yang kemudian mendatangkan murka Allah. Selama masa pemberontakan kaum Makabe, orang-orang Tirus bergabung bersama Seleukid untuk menganihilasi orang-orang Yahudi (1Mak. 5:14-23). Yosefus juga menulis mengenai sikap antipati orang-orang Tirus terhadap orang-orang Yahudi,31 bahwa mereka “selalu membenci dan berperang melawan orang-orang Yahudi.”32 Ia mencatat bahwa banyak orang Yahudi
28 Pada awal abad ke-20, telah muncul protes dari seorang penafsir Yahudi terhadap klaim berulang dalam tafsiran-tafsiran Kristen mengenai asumsi umum tersebut di atas. Lih. Israel Abrahams, Studies in Pharisaism and the Gospels, First and Second Series (Library of Biblical Studies; New York: Ktav Publishing House, 1967), 2.195. Di sini, mengenai kata-kata Yesus dalam Matius 15:26, Abrahams menulis: “When, however, the commentaries on Mt. persistently assert that the Jews habitually called the heathens ‘dogs,’ it is necessary to dispute the assertion,... There was no such designation....”; bnd. Ulirich Luz, Matthew: A Commentary 8-20, trans. Wilhelm C. Linss (Hermeneia; Minneapolis: Fortress, 1989), 341. 29 Perlu dipertimbangkan bahwa Israel sendiri pernah disebut secara metaforik sebagai “unfortunate dog” seperti yang diulas dalam: Louis Ginzberg (ed.), The Legend of the Jews, trans. Heinrietta Szold (7 vols.; Philadelphia: The Jewish Publication Society of America, 1946), 4.275, 6.368; dirujuk juga oleh: Nanos, “Paul’s Reversal of Jews Calling Gentiles ‘Dogs’,” 17. 30 Beberapa manuskrip menambahkan frasa kai. Sidw/noj, namun ini tampaknya merupakan sebuah harmonisasi di kemudian hari berdasarkan penggunaan tw/n o`ri,wn Tu,rou h=lqen dia. Sidw/noj dalam Markus 7:31 dan ta. me,rh Tu,rou kai. Sidw/noj dalam Matius 15:21. Lih. komentar: Harvie Branscomb, The Gospel of Mark (The Moffatt NT Commentary; New York and London: Harper and Brothers Publishers, n.d.), 129; John Painter, Mark’s Gospel: Worlds in Confilict (NT Readings; London and New York: Routledge, 1997), 110. 31 Josephus, Against Apion, 1.70, in Josephus: The Complete Works (Grand Rapids, Michigan: Christian Classics Ethereal Library, n.d.). 32 Josephus, The War of the Jews, 4.105, in Josephus: The Complete Works.
yang dibunuh dan dipenjarakan oleh orang-orang Tirus.33 Tidak heran, penafsir semisal James R. Edwards berkomentar bahwa “Tirus sangat mungkin dipresentasikan sebagai ekspresi paling ekstrim mengenai paganisme” 34 pada waktu itu. Ini adalah informasi-informasi yang diperlihatkan sejumlah penafsir untuk memberi kesan kekafiran yang lebih kuat koneksinya dengan asumsi mengenai stigma orang-orang Yahudi yang terekspresi dalam penggunaan kata “anjing” bagi orangorang non-Yahudi.35 Selain asumsi di atas tidak ada di dalam teks tersebut, juga dengan mempertimbangkan studi Nanos di atas, saya melihat penyebutan Tirus dalam Markus 7:24 semata-mata untuk menandai keberadaan Yesus di daerah non-Yahudi. Karena Yesus berada di daerah non-Yahudi tersebut, maka seorang perempuan nonYahudi datang menemuinya untuk mendapatkan kesembuhan bagi anak perempuannya yang sedang kerasukan.36 Jika kita ingin mendapatkan manfaat dari informasi-informasi di atas, kita mungkin sekadar dapat menghubungkannya dengan alasan mengapa anak perempuan dari ibu tersebut dikatakan kerasukan “roh najis” (pneu/ma avka,qarton – 7:25).37 Jadi, meskipun nuansa kenonyahudian kental dalam perikop ini,38 itu tidak harus dikaitkan dengan stigma “etnis-religius” yang dianggap terasumsi dalam kata-kata Yesus (Mrk. 7:27). Tidak dikatakan alasan Yesus memasuki Tirus walau Markus 7:24 mengindikasikan bahwa Yesus tidak sedang dalam perjalanan misi-Nya,39 walau pengamatan struktur di bawah akan memperlihatkan bahwa itu merupakan transisi dari perjalanan misi-Nya ke daerah non-Yahudi. Ia memasuki sebuah rumah (oivki,an) secara diam-diam agar tidak diketahui keberadaan-Nya.40 Tidak seperti pengisahan Matius, dalam pengisahan Markus para murid tidak dikatakan bersama dengan Yesus di itu, namun kita tidak memiliki alasan untuk berasumsi bahwa Ia 33 34
Josephus, The War of the Jews, 2.478. James R. Edwards, The Gospel According to Mark (PNTC; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2002),
217. 35
Mis. Robert A. Guelich, Mark 1-8:26 (Software version of WBC 34a; Dallas, Texas: Word Books Publisher, 1998); Edwards, The Gospel According to Mark, 217; Garland, Mark, 287; Alt, “The Dynamic of Humility and Wisdom: The Syrophoenician Woman and Jesus in Mark 7:24-31a” 3; Donahue and Harrington, The Gospel of Mark, 232. 36 Ezra P. Gould, A Critical and Exegetical Commentary on the Gospel According to St. Mark (ICC; Edinburgh: T. & T. Clark, 1912), 134, “Tyre and Sidon belonged to Syrophoenecia...”. 37 Penggunaan istilah serupa juga digunakan untuk orang-orang yang kerasukan di daerah non-Yahudi: Gerasa (neu,mati avkaqa,rtw| - Mrk. 5:2), walau tidak selalu begitu (mis. di Dekapolis, o` daimonisqei.j – Mrk. 5:20). Di sini saya setuju dengan Schafer bahwa penyebutan”roh najis” itu berhubungan dengan latar belakang geografis-etnis perempuan tersebut, “Yesus sebagai Pelajar,” 345; bnd. Kelly R. Iverson, Gentiles in the Gospel of Mark (Library of New Testament Studies 339; New York: T&T Clark International, 2007), 48; Edwards, The Gospel According to Mark, 386; France, The Gospel of Mark, 297. 38 Iverson, Gentiles in the Gospel of Mark, 40-41. 39 Ada yang menduga Yesus mungkin bermaksud untuk mengajar para murid-Nya secara privat (bnd. Mrk. 9:30-31) atau sekadar menarik diri dari keramaian pasca kemarahan-Nya terhadap para lawannya (Mrk. 6:31), lih. David E. Garland, Mark (NIVAC; Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1996), 287. Ada pula yang secara umum saja menduga bahwa Yesus sedang “berlibur” dan sedang tidak ingin diganggu. Itulahnya Ia menolak permintaan perempuan Siro-Fenesia itu. Pandangan ini dipertimbangkan kemudian dikritik dalam: King, “The Problem of Jesus and the Syrophoenecian Woman: A Reader-Response Analysis of Mark 7:24-31,” 6-7. 40 Perlu dicatat bahwa banyak peristiwa kunci dalam tulisan Markus mengambil latar belakang dalam rumah-rumah (1:29-34; 2:1-12; 5:38-43; 7:24-30; 9:33-37; 9:28-29; 10:10-16; 14:3-9, 12-31). Ini mengindikasikan bahwa rumah-rumah dipresentasikan sebagai latar bagi mukjizat-mukjizat Yesus juga tempat di mana terjadi persekutuan yang intim (bnd. 1:29; 5:37; 9:2-8; 14:32-42).
tidak bersama mereka (bnd. Mrk. 2:1, 15; 3:20; 7:17; 9:28).41 Keberadaan-Nya pun segera diketahui oleh perempuan (7:25) yang digambarkan Markus sebagai Ellhni,j( Surofoini,kissa tw/| ge,nei (“orang Yunani, keturunan Siro-Fenesia” – 7:26). Penggambaran identitas etnis yang spesifik ini42 tampaknya mengindikasikan bahwa perempuan ini cukup terpandang secara sosio-ekonomis.43 Dan yang terpenting, penggambaran ini empasisnya ada pada latar belakang etnisnya,44 bukan pada aspek seks45 dan gendernya.46 2. Struktur Injil Markus dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian pertama (1:16 – 8:30) dan bagian kedua (8:31 – 16:8) dengan pasal 1:1-15 sebagai pendahuluan yang menginformasikan pembaca bahwa Injil ini adalah tentang Yesus Kristus yang adalah Kabar Baik itu sendiri dan yang memberitakan Kabar Baik. Bagian pertama mengisahkan tentang pelayanan Yesus di hadapan publik sebagai Mesias. Delapan pasal pertama ini memuat tema kunci yaitu identitas Mesianik Yesus. Secara struktural, bagian pertama ini dapat dibagi lagi ke dalam tiga sub-bagian di mana masing-masingnya diawali dengan perikop mengenai para murid: 1:16 – 3:13; 3:13 – 41
Guelich, Mark 1-8:26 [software version]. Penggambaran ganda: “orang Yunani” (umum) dan “keturunan Siro-Fenesia” (spesifik) biasanya dilakukan untuk menekankan sesuatu yang krusial, lih. David Rhoads, “Jesus and the Syrophoenecian Woman in Mark: A Narrative-Critical Study,” Journal of the American Academy of Religion 62 (1994): 352-353. 43 Bnd. Gerd Theissen, The Gospels in Context: Social History and Political History in the Synoptic Tradition (Minneapolis: Fortress Press, 1991), 71-74. 44 Iverson, Gentiles in the Gospel of Mark, 48, menandaskan: “Mark’s description of the woman centers on her etnicity.” 45 Mis. Lilly Nortje-Meyer, “Tthe Homosexual Body without Apology: A Positive Link Between the Canaanite Woman in Matthew 15:21-28 and Homosexual Interpretation of Biblical Texts,” Religion and Theology 9.1-2 (2002): 130, “her story is an inspiration to homosexual interpretation of biblical texts.” 46 Ewards, Mark, 218, menyebut penggambaran itu sebagai “a crescendo of demerit” (dari perspektif Yahudi). Para penafsir lain membaca teks ini untuk menandaskan isu gender (perempuan), mis. Sharon H. Ringe, “A Gentile Woman’s Story,” in Letty M. Russell (ed.), Feminist Interpretation of the Bible (Philadelphia: Westminster, 1985), 65-72. Gendernya menjadi clue bagi mereka untuk mengategorikan perempuan Siro-Fenesia itu sebagai “orang lain” (bnd. judul paper Nuban Timo di atas) dalam pengertian kaum marginal, tertindas, yang sedang berjuang untuk “duduk semeja” dengan para pria. Lih. Guardiola-Saenz, “Borderless Women and Borderless Texts: A Cultural Reading of Matthew 15:21-28,” 71-74. Menariknya, David Rhoads mengakui bahwa isu gender bukan fokus narasi di atas melainkan etnisitasnya, namun ia menambahkan: “Namun observasi mengenai kehadiran seorang wanita di sini sangat luar biasa, dan itu mengubah segalanya”, lih. “Jesus and the Syrophoenecian Woman,” in Reading Mark, Engaging the Gospel (Minneapolis: Fortress, 2004), 90. Skinner, “‘She Departed to Her House’: Another Dimension of the Syrophoenecian Mother’s Faith in Mark 7:24-30,” 19, “Gender is not essential, but it is quite salient.” Jadi, karena narasi ini mengisahkan tentang seorang perempuan, maka ada isu gender di sini? Di samping tidak menafikan sejumlah perspektif stimulatif mereka, saya melihat bahwa obsesi akan isu gender di sini membuat mereka harus melihat isu ini pada setiap kesempatan di mana ada seorang wanita dikisahkan dalam Alkitab. Perlu dicatat bahwa isu gender ini sering dilebih-lebihkan dan disalahpahami khususnya dalam konteks kuno. Misalnya, Rhoads mengklaim bahwa Markus adalah seorang “antipatriakhal” berdasarkan cara Markus berbicara mengenai sejumlah perempuan dan bahwa Yesus melakukan kontak publik dengan para perempuan merupakan sesuatu yang tidak umum pada waktu itu, lih. “Jesus and the Syrophoenecian Woman in Mark: A Narrative-Critical Study,” 368. Asumsi gender yang berlebihan seperti ini tidak mempertimbangkan studi dari pakar-pakar lain bahwa para wanita Yahudi maupun non-Yahudi pada masa itu bukan hanya dapat memiliki properti, melainkan juga memangku jabatan kekuasaan politik dan berstatus sosial yang tinggi, lih. E. Fantham, et al., “Excursus: The Women of Pompeii,” in Women in the Classical World: Image and Text (New York: Oxford University Press, 1994), 330-344; Shaye J. D. Cohen, “Women in the Synagogues of Antiquity,” Conservative Judaism 34 (November/December 1980): 23-29. Dua tulisan yang saya rujuk terakhir ini memuat primary sources mengenai klaim mereka akan status perempuan pada masa kuno. Theissen menyatakan bahwa dari perspektif ekonomi, politik, dan sosoal, justru konsep “otherness” itu lebih cocok disematkan bagi Yesus ketimbang perempuan Yunani itu, khususnya yang berasal dari Tirus, lih. The Gospels in Context, 68-80. 42
6:6a; dan 6:6b – 8:21. Sub-bagian yang pertama berbicara mengenai otoritas Yesus dan pengajaran-Nya yang melampaui para ahli Taurat (1:22); sub-bagian yang kedua berbicara mengenai pengikut Yesus yang sejati; dan sub-bagian yang ketiga berbicara mengenai perluasan misi Yesus melampaui batas-batas puritas Yudaisme. Klimaks dari tema mengenai identatas Mesianik Yesus ini ada pada pengakuan Petrus: Su. ei= o` Cristo,j – “Engkau adalah Mesias” (8:27-30). Markus kemudian fokus kepada penderitaan dan kematian Mesias dalam pasal-pasal selanjutnya (8:31 – 16:8). Narasi mengenai Yesus dan perempuan Siro-Fenesia ini ada di bagian tengah (center) dari sub-bagian ketiga di atas. Yang menarik adalah sub-bagian yang ketiga ini didominasi oleh tema mengenai “memberi makan” (feeding) dengan kata a;rtoj (roti) sebagai kata kuncinya47 termasuk juga eksosrsisme yang ditempatkan dalam setting geografis-etnis.48 Rhoads mengamati komposisi khiastik dari sub-bagian ini dengan dominasi tema “memberi makan” (6:30 – 8:9), sebagai berikut: A – 6:30-52, memberi makan 5000 orang Yahudi B – 6:53-56, menyembuhkan orang-orang Yahudi C – 7:1-14, konflik dengan orang-orang Yahudi D – 7:15-23, Yesus mengajar para murid secara privat dan semua makanan dideklarasikan tahir C – 7:24-30, Yesus berangkat ke daerah non-Yahudi (yang dianggap tidak tahir) dan mengusir “roh najis” dari anak perempuan SiroFenesia B – 7:31-37, menyembuhkan orang-orang non-Yahudi A – 8:1-9, memberi makan 400 orang non-Yahudi.49 Mengikuti Rhoads, namun dengan pengamatan dengan cakupan yang lebih luas (6:30 – 8:21), saya mendapati struktur khiastik berikut: A – 6:30-44, memberi makan orang-orang Yahudi B – 6:45-56, upaya menyeberangi danau (eivj to. pe,ran)50 C – 7:1-23, konflik dengan orang-orang Yahudi D – 7:24a, perjalanan ke teritori non-Yahudi E – 7:24b – 8:9, eksorsisme, penyembuhan, dan memberi makan di teritori non-Yahudi D – 8:10, perjalanan ke teritori Yahudi C – 8:11-12, konflik dengan orang-orang Yahudi B – 8:13, berhasil menyeberangi danau (eivj to. pe,ran) A – 8:14-21, penjelasan mengenai “memberi makan”51 Markus menggunakan 21 kali kata a;rtoj dari 97 kali kemunculannya dalam PB. Dari 21 kali penggunaan kata a;rtoj dalam Injil Markus, kata ini digunakan sebanyak 18 kali dalam sub-bagian ketiga di atas (8:6, 37, 38, 41, 52; 7:2, 5, 27; 8:4, 5, 14, 16, 17, 19). 48 Mengenai pentingnya fungsi indikator geografis dalam Injil Markus, lih. R.T. France, The Gospel of Mark (NIGTC; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2002), 33. 49 Rhoads, “Jesus and the Syrophoenecian Woman in Mark: A Narrative-Critical Study,” 348. 50 Yesus tampaknya berhadapan dengan resistensi para murid-Nya sendiri dalam perjalanan itu: h=n auvtw/n h` kardi,a pepwrwme,nh (6:52). Namun Yesus tetap meneruskan perjalanan-Nya (7:24, 31). 51 Pengamatan struktur yang lebih komprehensif (6:6b – 8:30) dalam kategori paralel antara tema: memberi makan, penyeberangan, konflik, mukjizat, serta klimaksnya dalam pengakuan Petrus di Kaisarea Filipi, dapat 47
Pengamatan struktural di atas dalam kaitan dengan isu ini dapat disarikan menjadi dua pokok penting dengan mengasumsikan pengamatan akan keseluruhan Injil Markus.52 Rhoads menyatakan, “Episode menenai perempuan Siro-Fenesia ini merupakan bagian integral yang mencakup fabrikasi narasi Injil Markus. Menjadi keharusan dalam rangka menjelaskan satu perikop ini, dalam pengertian tertentu, untuk mengulang seluruh narasi Markus dari awal hingga akhirnya.” 53 Saya setuju!54 Pertama, secara intern, Yesus berhadapan dengan ketidakmengertian para murid-Nya mengenai signifkansi dari mukjizat penyembuhan dan eksorsisme yang dilakukan-Nya. Mereka melihat sendiri Yesus memberi makan orang banyak tetapi mereka ouv sunh/kan evpi. toi/j a;rtoij( avllV h=n auvtw/n h` kardi,a pepwrwme,nh (Mrk. 6:52; 8:17).55 Di kemudian hari, di Kaisarea Filipi, baru terdeklarasi pengakuan akan Yesus dari mulut Petrus: Su. ei= o` Cristo,j (Mrk. 8:27-30). Mukjizat-mukjizat itu bukan sekadar tindakan sosial. Mukjizat-mukjizat itu adalah perbuatan-perbuatan Mesianik pada naturnya. Dan karena naturnya adalah perbuatan-perbuatan Mesianik, maka itu bersignifikansi redemptif (penebusan).56 Itu adalah bagian dari deklarasi bahwa kerajaan Allah sudah dekat dan orang-orang dipanggil kepada pertobatan (Mrk. 1:15).57 Kedua, secara eksternal, Yesus berhadapan dengan batasan puritas Yudaisme. Yesus mengkritik sikap para pemimpin Yahudi yang sangat ketat menjaga outward cleansing. Yesus mendeklarasikan bahwa semua makanan itu tahir (kaqari,zwn pa,nta ta. brw,mata; Mrk. 7:19). Makna dari deklarasi ini dapat dielaborasi lebih lanjut,58
dilihat dalam: Iverson, Gentiles in the Gospel of Mark, 42; bnd. Robert L. Humphrey, Narrative Structure and Message in Mark: A Rhetorical Analysis (Lewiston, NY.: E. Mellen Press, 2003), 237-243. 52 France, The Gospel of Mark, 296. 53 Rhoads, “Jesus and the Syrophoenecian Woman in Mark: A Narrative-Critical Study,” 348. 54 Bnd. Francis J. Moloney, “The Markan Story,” World & World 26.1 (Winter 2006): 5-13; Francis J. Moloney, Mark: Storyteller, Interpreter, Evangelist (Peabody, Massachusetts: Hendrikson, 2004). Dalam kedua tulisan ini, Moloney berargumentasi bahwa Markus mendesain struktur Injilnya dengan sangat baik dan mengaitkan bagian demi bagian dengan koneksi yang tak terpisahkan. Baginya, Markus lebih dari sekadar seorang editor yang mengumpulkan kemudian menyusun unit-unit narasi menjadi sebuah kitab. Juga: R.C. Tannehill, “The Gospel of Mark as Narrative Christology,” Semeia 16 (1979): 77, yang menyatakan: “Mark is a single unified story because of its progressive narrative lines.” 55 Joel B. Green, “The Gospel According to Mark,” in Stephen C. Barton (ed.), The Cambridge Companion to the Gosepls (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 147-154. Green melihat bahwa Kristologi dan pemuridan merupakan dua tema yang saling terjalin dalam presentasi Markus mengenai para murid. Di satu sisi, Markus mempresentasikan tentang Pribadi dan karya-karya ajaib Yesus di hadapan para murid-Nya bahkan Yesus mengajar mereka. Namun di saat yang sama, para murid ditampilkan sebagai orang-orang yang sangat dekat dengan para lawan Yesus. Mereka bukan hanya tidak mengerti tentang siapa Yesus dan signfikansi dari perbuatanperbuatan ajaib-Nya, mereka bahkan menjadi oposisi Yesus sendiri. 56 Green, “The Gospel According to Mark,” 150-151, menulis: “For Mark, powerful wonder-worker and suffering servant do not form two contradictory portraits of Jesus, nor does the one correct or exclude the other; rather, together they disclose a single, integrated portrait of Jesus and his mission. It is precisely as the worker of powerful deeds and authoritative teacher that Jesus goes to the cross. These merge together in order to signify the full nature of his redemptive mission.” 57 Lih. Suzanne Watts Henderson, Christology and Discipleship in the Gospel of Mark (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 204-237. Dalam studi ini, Henderson menyimpulkan bahwa ketidakmengertian para murid itu bersifat Kristologis pada naturnya, yaitu soal signifikansi dari mukjizat-mukjizat Yesus serta kehadiran Yesus yang penuh kuasa di sekitar mereka. Juga: Humphrey, Narrative Structure and Message in Mark, 240-241; Henderson, Christology and Discipleship in the Gospel of Mark, 273. 58 Lih. Garland, Mark, 275-277.
namun intinya, apa yang dianggap tidak tahir tradisi Yahudi yang ditekankan para pemimpin Yahudi, dideklarasikan tahir oleh Yesus. Ketiga, observasi mengenai signifikansi kata a;rtoj (roti) dalam konteks mukjizat memberi makan (feeding miracle) juga penting untuk ditandaskan di sini. Markus terindikasi membuat koneksi antara mukjizat memberi makan dengan Perjamuan Terakhir Yesus. Indikasi ini terlihat dari penggunaan pola disribusi dalam mukjizat memberi makan yang identik dengan Perjamuan Terakhir (The Las Supper): labw.n... a;rtouj... euvlo,ghsen... kate,klasen (Mrk. 6:41) dan labw.n a;rton euvlogh,saj e;klasen (Mrk. 14:22). Signfikansinya, a;rtoj dalam mukjizat memberi makan merupakan foretaste dari Perjamuan Mesianik (bnd. Yoh. 6:1-71).59 Keempat, observasi lain lagi dari struktur di atas adalah Markus 6:45dst., berbicara mengenai Yesus menyeberang danau yang nanti diteruskan dengan perjalanan ke Tirus (7:42) dan Sidon (7:31) yang merupakan daerah-daerah nonYahudi. Tetapi perlu diingat bahwa ini bukanlah perjalanan Yesus yang pertama ke daerah non-Yahudi dalam tulisan Markus. Sebelumnya, Markus 5:1-20 mengisahkan tentang Yesus mengusir “roh najis” (pneu,mati avkaqa,rtw|; 5:2) dari orang-orang Gerasa di daerah Dekapolis yang adalah orang-orang non-Yahudi di daerah nonYahudi pula.60 Implikasinya, membaca dialog Yesus dan perempuan Siro-Fenesia itu dengan asumsi bahwa Yesus belum menyadari akan jangkauan misi-Nya karena masih terjebak dalam prejudis etnis-religius Yahudi, merupakan pembacaan yang tidak disarankan konteksnya.61 Yesus sudah bermisi di daerah non-Yahudi; Yesus juga sudah mendeklarasikan isu tahir yang persis berseberangan dengan tradisi Yahudi. Lalu bagaimana mungkin Ia belum mengetahui jangkauan misi-Nya dan masih terjebak dalam prejudis etnis-religius Yahudi? 62 Selain itu, mukjizat-mukjizat Yesus dalam sub59
Lih. Humphrey, Narrative Structure and Message in Mark, 240-241; Henderson, Christology and Discipleship in the Gospel of Mark, 168-203. 60 Untuk afirmasi mengenai historisitas narasi eksorsisme dalam Markus 5:1-20, lih. Jostein Adna, “The Encounter of Jesus and the Geresane Demoniac,” in Bruce Chilton and Craig A. Evans (eds.), Authenticating the Activities of Jesus (Leiden: Brill, 1999), 279-301. 61 Lagi pula, asumsi bahwa orang-orang Yahudi sangat eksklusif sekali sehingga tidak menyertakan orangorang non-Yahudi dalam komunitas iman, merupakan asumsi yang tidak seluruhnya benar. Michael F. Bird melakukan studi yang ekstensif terhadap sumber-sumber Yahudi pada era Intertestamental, termasuk tulisan Yosefus dan Philo. Bird menyimpulkan: “Several Jewish groups and individuals actively facilitated the conversion of Gentiles to a form ofJudaism and even incorporated them into Jewish communities”, Crossing over Sea and Land: Jewish Missionary Activity in the Second Temple Period (Peabody, Massachusetts: Hendrikson, 2010), kutipan ini diambil dari hlm. 149. Di samping itu, David E. Aune mengklasifikasikan pandangan orang-orang Yahudi terhadap orang-orang non-Yahudi dalam kaitan dengan “misi” dan keselamatan, ke dalam empat pandangan: a) anihilasi total; b) restorasi Israel untuk penebusan bagi bangsa-bangsa lain; c) bangsa-bangsa lain tunduk kepada Israel; dan d) partisipasi total bangsa-bangsa lain dalam keselamatan eskatologis. Lih. Revelation 17-22 (Software version of WBC 52c; Nashville, Tennessee: Thomas Nelson, 1998). E.P. Sanders juga menggunakan sebuah bab khusus untuk membantah pandangan umum yang beredar di kalangan para teolog bahwa orang-orang Yahudi umumnya bersikap negatif terhadap orang-orang non-Yahudi dan tidak mengikutsertakan mereka dalam keselamatan, lih. Jesus and Judaism (Philadelphia: Fortress Press, 1985), 212-221. 62 Ben F. Meyer menjelaskan bahwa adanya sekuensi dalam misi Yesus, dari Israel kepada bangsa-bangsa lain, lebih bersifat strategis atau metode ketimbang pemahaman diri mengenai misi-Nya. Yesus adalah “a man with a definitive view of himself and his time, a man with a mission” yang jangkauannya universal melampaui batas-batas geografis, etnis, dan sosio-ekonomis, menginginkan respons iman yang sungguh-sungguh. Meyer menulis, “Why did the strategy of communication that Jesus adopted take the shape that it did? We have already made one indispensable point: Jesus was not seeking a spectator's uncommitted grasp, but a believer's committed grasp, of his mission. This says why the elements of his mission were to be presented not all at once as a single Gestalt to be carefully examined, but in a sequence that at every point appealed for a self-committing act of faith”.
bagian ketiga ini (6:6b – 8:21) termasuk deklarasinya mengenai isu tahir di atas, jelas menegaskan tentang otoritas (kuasa) Yesus. Otoritas inilah yang menarik perempuan Siro-Fenesia itu datang menemui-Nya untuk mendapatkan kelepasan bagi putrinya. 63 Jadi, dalam argumen Schafer, Yesus dapat berotoritas sedemikian hebat tanpa memiliki pengetahuan yang utuh mengenai jangkauan misi-Nya? Schafer kehilangan (atau tepatnya: mengabaikan) dimensi Kristologis yang penting ini dari konteksnya untuk tetap menganut pandangannya di atas. Lagi pula, tafsiran Schafer mengandung kontradiksi. Di satu sisi, ia menyatakan bahwa kata-kata Yesus (Mrk. 7:27) mengindikasikan Yesus memahami bahwa Allah tidak berkenan memasukkan orangorang non-Yahudi ke dalam rencana keselamatan Allah.64 Namun, pada tafsirannya mengenai Markus 7:28, ia mendiskusikan kata prw/ton (Mrk. 7:27) dan menyatakan, “Perempuan Yunani itu tidak berkeberatan bahwa bangsa Israel diutamakan, yaitu bahwa ‘pertama-tama’ [prw/ton] anak-anak dikenyangkan’ [ay. 27b; lih. juga Rm. 1:16; 2:9-10; Kis. 3:26; 13:46 dan 1 Raj. 17:13]”.65 Ini seperti ada orang yang bertanya: “Kamu mau makan?,” lalu jawabannya pada saat yang sama: “Saya tidak mau makan sama sekali” dan “Saya tidak makan sekarang tapi nanti”. Ini adalah jawaban yang bukan hanya berbeda, melainkan berkontradiksi.66 Dan inilah yang dilakukan Schafer dalam dalam tafsirannya. Selanjutnya, kombinasi antara tema: ketidakmengertian, tahir, roti, dan misi yang melampau batas keyahudian pada bagian-bagian sebelumnya, merupakan latar belakang yang penting untuk menafsirkan dialog Yesus dan perempuan Siro-Fenesia itu. 3. Dialog Yesus dan Perempuan Siro-Fenesia (Mrk. 7:27-29) Seperti yang sudah saya indikasikan sebelumnya, tampaknya penyebutan Tirus [dan Sidon] dalam Markus 7:31 membentuk sebuah lingkup struktur khiastik,67 seperti di bawah ini (Mrk. 7:24-31a): A – Yesus tiba di Tirus (ay. 24) B – Perempuan Siro-Fenesia datang meminta kesembuhan bagi putrinya (ay. 25-26) C – Dialog Yesus dan perempuan Siro-Fenesia itu (ay. 27-28) B – Permintaan perempuan Siro-Fenesia itu dikabulkan (ay. 29-30) B – Yesus berangkat dari Tirus (ay. 31a) Sebenarnya, Ringe juga melihat struktur khiastik serupa, namun menempatkan tanggapan perempuan Siro-Fenesia itu (ay. 28) di pusat struktur khiastiknya.68 Ringe melakukan ini karena mengasumsikan bahwa tanggapan perempuan Siro-Fenesia itu Lih. “Jesus’ Ministry and Self-Understanding,” in Craig A. Evans (ed.), The Historical Jesus: Critical Concepts in Religious Studies, Vol. III: Jesus’ Mission, Death, and Ressurection (London and New York: Routledge, 2004), 161-175 [kutipan langsung, diambil dari hlm. 164, 171]. 63 Lih. ulasan mengenai iman perempuan Siro-Fenesia itu pada bagian selanjutnya. 64 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 347. 65 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 348. 66 Berkontradiksi itu pasti berbeda, tapi berbeda belum tentu berkontradiksi. 67 Bnd. Edwin K. Broadhead, Teaching with Authority: Miracles and Christology in the Gospel of Mark (JSNTSup. 74; Sheffield: JSOT, 1992), 129. 68 Lih. catatan kaki no. 2.
merupakan koreksi terhadap kata-kata Yesus dalam ayat 27. Saya tidak setuju, dan penjelasan berikut ini adalah alasan ketidaksetujuan saya. Tafsiran “sejuta umat” terhadap kata-kata Yesus dalam Markus 7:27 adalah bahwa kata-kata tersebut bersifat penolakan dengan alasan yang beragam. Ada yang menyatakan bahwa penolakkan itu dikarenakan oleh latar belakang etnis perempuan Siro-Fenesia itu.69 Ada yang menyatakan penolakan itu karena Yesus masih terjebak dalam prejudis etnis-religius Yahudi (Schafer, dkk). Ada yang menyatakan bahwa penolakan itu merupakan ironie d'epreuve (Ing. peirastic irony).70 Ada yang menyatakan penolakan itu tidak sungguh-sungguh di mana Yesus sedang playing devil’s advocate.71 Ada yang menyatakan bahwa Yesus menolak karena Ia sedang dalam prioritas misiNya bagi Israel.72 Ada pula yang menduga bahwa penolakan itu dikarenakan adanya konflik internal dalam diri Yesus yang sedang tidak pasti mengenai maksud Allah akan jangkauan dan sasaran misi-Nya73 atau konflik internal itu karena Yesus sedang menghadapi tekanan setelah mengetahui kematian Yohanes Pembaptis serta berhadapan dengan oposisi dari pihak otoritas Yahudi.74 Tafsiran “sejuta umat” mengenai sifat dari kata-kata Yesus di atas sebenarnya lahir atas dasar asumsi bahwa orang-orang Yahudi umumnya menggunakan sebutan degradatif “anjing” bagi orang-orang non-Yahudi, yang sudah dibantah oleh Nanos di atas. Dengan kata lain, tafsiran “sejuta umat” itu lahir dari fokus “berjamaah” Guelich, Mark 1-8:26 [Software version], menyatakan: “Jesus rejected her request because of who she was, a gentile.” 70 Jerry Camery-Hoggatt, Irony in Mark’s Gospel: Text and Subtext (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 150. Camery Hoggatt menjelaskan bahwa peirastic irony adalah sebuah jenis ironi yang digunakan untuk menguji kesungguhan pihak lain. Apa yang diungkapkan terbalik dari yang dipercayai oleh yang mengungkapkannya. Pandangan ini diikuti juga oleh: Iverson, Gentiles in the Gospel of Mark, 52. Menurut pandangan ini, Yesus tidak sungguh-sungguh menolak, melainkan sekadar mengungkapkan “penolakkan” untuk menguji iman perempuan Siro-Fenesia itu. 71 Pandangan ini mirip dengan peirastic irony, hanya tidak menekankan soal ironinya melainkan menekankan soal untuk “siapa” kata-kata itu ditujukan. Menurut pandangan ini, Yesus sengaja “meminjam” pandangan yang diasumsikan para lawan-Nya (para pemimpin Yahudi) termasuk juga mungkin para murid-Nya dengan maksud dibantah. Pandangan ini dikemukakan oleh, mis.: Holly J. Carey, “Jesus and the Syrophoenecian Woman: A Case Study in Inclusiveness,” Leaven, Vol. 19, No. 1 (January 2011): 1-5. Variasi lain dari pandangan ini adalah pandangan yang memanfaatkan imajinasi akan gestur atau bahasa tubuh Yesus. Menurut variasi pandangan ini, Yesus mungkin mengatakan penolakan itu sambil tersenyum atau sambil mengedipkan matanya kepada perempuan itu dengan maksud agar perempuan itu tidak menganggapnya sebagai penolakan yang serius. Intinya Yesus hanya bergurau saja. Para penafsir yang menganut pandangan ini, mis. William Barclay, The Gospel of Mark (The New Daily Study Bible; Louisville, Kentucky: Wesminster John Knox Press, 2001), 206-207; N.T. Wright, Mark for Everyone (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2004), 95; Alan Hugh McNeile, The Gospel According to Matthew (London: Macmillan, 1915), 231; R.T. France, Matthew (TNTC; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1985), 247; A.E.J. Rawlinson, St. Mark (London: Methuen, 1960), 99. Ketika masih menjadi fasilitator Kairos Course, sebuah kurus misi yang bertujuan memperlengkapi umat Tuhan untuk terlibat dalam misi garis depan (frontier missions), salah satu mater berbentuk video yang dibawakan Don Richardson khusus membahas tentang narasi ini. Richardson, seperti para penafsir ini percaya bahwa Yesus mengungkapkan katakata metaforik itu sambil tersenyum dan mengedipkan mata kepada perempuan Siro-Fenesia itu. 72 Mis. Lamar Williamson, Mark (Interpretation: A Bible Commentary for Preaching and Teaching; Louisville, Kentucky: John Knox Press, 2009), 138, menyatakan bahwa pada dasarnya penolakkan itu “affirms the priority of the Jews in Jesus’ mission.”; Garland, Mark, 288. 73 Pandangan ini mirip dengan yang dikemukakan Schafer,d kk. Bedanya adalah pandangan ini menganggap keraguan dalam diri Yesus disebabkan lebih karena pemahaman-Nya akan bagian-bagian PL yang eksklusif menujukan misi-Nya bagi Israel saja. Lih. C.E.B. Cranfield, The Gospel According to St. Mark: An Introduction and Commentary (The Cambridge Greek Testament Commentary; Cambridge: Cambridge University Press, 1959), 247. 74 Branscomb, The Gospel of Mark, 132. 69
terhadap penggunaan kata “anjing-anjing” (toi/j kunari,oij) dalam kata-kata Yesus tersebut yang umumnya dianggap berintonasi abusive.75 Seakan-akan apa pun maksud Yesus, penggunaan kata “anjing-anjing” di situ harus berintonasi abusive.76 Bahkan, selain menegaskan intonasi abusive dari kata-kata Yesus, Alt berargumentasi bahwa Yesus sebenarnya mengemukakan tanggapan (ay. 27) yang tidak “nyambung” dengan permintaan perempuan Siro-Fenesia itu. Menurutnya, penggunaan kata-kata: roti, makanan, dan makan dalam makro-konteks Injil Markus merupakan simbol-simbol dari pengajaran Yesus. Alt menyatakan, “Perempuan itu tidak hendak mendapatkan pengajaran, melainkan sebuah penyembuhan – sebuah tindakan yang sangat berbeda.”77 Dalam ranah logika, Alt bermaksud menyatakan bahwa Yesus bukan hanya melakukan abusive ad hominem78 melainkan juga mengemukakan jawaban straw man.79 a. Natur dan Maksud Yesus (ay. 27) Saya menolak tafsiran “sejuta umat” yang lahir dari pengamatan “berjamaah” terhadap kata “anjing-anjing” yang didorong asumsi yang keliru mengenai penggunaan kata tersebut secara degradatif yang umumnya dikemukakan orangorang Yahudi terhadap orang-orang non-Yahudi di atas. Dan alternatif tafsiran saya akan saya kemukakan berikut ini. Mayoritas pakar percaya bahwa kata-kata Yesus: kai. e;legen auvth/|( :Afej prw/ton cortasqh/nai ta. te,kna( ouv ga,r evstin kalo.n labei/n to.n a;rton tw/n te,knwn kai. toi/j kunari,oij balei/n (ay. 27), merupakan metafora. Saya setuju. Yang tidak saya setujui adalah tafsiran “sejuta umat” bahwa kata-kata itu ditujukan untuk menyorot inferioritas etnis perempuan Siro-Fenesia itu. Pertama, perlu diingat bahwa perempuan itu datang untuk memohon penyembuhan (mukjizat) bagi putrinya (ay. 25-26). Asumsi dari permohonan itu adalah bahwa Ia sudah mendengar sebelumnya mengenai kuasa Yesus dalam melakukan mukjizat-mukjizat (bnd. “segera mendengar tentang Dia” – ay. 25).80 Sementara mukjizat-mukjizat Yesus, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bukan semata-mata tindakan sosial melainkan yang terpenting adalah tindakan-tindakan Mesianik. Mukjizat-mukjizat itu Mayoritas penafsir konservatif berupaya “mengecilkan” nada abusive dari penggunaan kata “anjinganjing” itu dengan menyatakan bahwa Yesus sangat mungkin menggunakan metafora mengenai “anjing peliharaan” bukan “anjing liar” meski tetap mengakui adanya intonasi negatif di situ. Mis. Theissen, The Gospels in Context, 62. Sementara itu, para pakar lain bersikeras bahwa upaya penjelasan seperti ini tidak mengurangi bobot abusive dari kata-kata Yesus. T.A. Burkill terkenal dengan kalimat ini: “To call a woman ‘a little bitch’ is no less abusive than to call her ‘a bitch’ without qualification” dalam: “Historical Developement of the Story of the Syrophoenecian Woman, Mark 7:24-31,” Novum Testamentum 9 (July 1967): 173; Hooker, The Gospel According to St. Mark, 183. 76 Gould, A Critical and Exegetical Commentary on the Gospel According to St. Mark, 136, menyatakan: “...‘dog’ always a term of contempt...”. 77 Alt, “The Dynamic of Humility and Wisdom: The Syrophoenecian Woman and Jesus in Mark 7:2431a,” 6. 78 Abusive ad hominem adalah sesat pikir informal (logical fallacy) yang terjadi ketika serangan itu ditujukan kepada pribadi lawan diskusi ketimbang argumennya. Lih. Douglas Walton, Ad Hominem Arguments (Studies in Rhetoric and Communication; Alabama: University of Alabama Press, 1998), 2. 79 Straw man adalah sesat pikir informal yang terjadi ketika seseorang salah merepresentasikan maksud lawan diskusi biasanya dengan maksud agar mudah dipatahkan. Lih. T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments (6th ed.; Belmont, CA.: Wadsworth, 2009), 204-206. 80 Markus 3:8 menyebut kehadiran orang-orang dari Tirus yang mendengarkan pengajaran Yesus di daerah Galilea. Mungkin mereka kembali ke Tirus dan membawa kabar mengenai Yesus. Bisa jadi juga, mukjizatmukjizat yang dilakukan Yesus sebelumnya telah tersiar hingga ke Tirus. Lih. Thomas M. Lindsay, The Gospel According to St. Mark (Edinburgh: T&T Clark, 1883), 129; Guelich, Mark 1 – 8:26 [software version]. 75
bersignifikansi redemptif.81 Dalam konteks ini, bagi Yesus tindakan eksorsisme yang diharapkan perempuan tersebut adalah tindakan redemptif pada naturnya. 82 Di samping itu, peristiwa ini adalah peristiwa yang terjadi dalam masa transisi di mana setelah itu Yesus mulai melakukan penetrasi misi ke daerah non-Yahudi.83 Yesus akan melakukan perjalanan misi ke daerah-daerah non-Yahudi secara “resmi”, walau sebelumnya Ia sudah secara insidentil dan sekilas melakukannya (Mrk. 5:1-20). Pertimbangan-pertimbangan observatif ini, bagi saya, mengharuskan Yesus menanggapi permintaan perempuan itu dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang “program kerja” misi-Nya yang sekuensial dalam rencana penebusan, yaitu dimulai dari Israel kepada bangsa-bangsa lain.84 Seperti yang sudah dikemukakan banyak penafsir, penggunaan kata prw/ton (“pertama-tama”)85 dalam kata-kata Yesus (ay. 27) menegaskan gagasan ini. Bangsa-bangsa non-Yahudi tidak dikecualikan dalam misi Yesus, hanya saja belum tiba waktunya secara “resmi” untuk Yesus melakukan penjangkauan ke daerah-daerah non-Yahudi. Israel mendapat prioritas sekuensial (urutan) dalam program kerja misi Yesus, bukan prioritas etnis.86 Jadi kata-kata Yesus bukan soal mau atau tidak mau memenuhi permintaan perempuan itu, melainkan penjelasan tentang misi-Nya (kontra tafsiran “sejuta umat”).87 81
Itulah sebabnya Yesus menegor ketidakmengertian para murid terhadap signifikansi dari mukjizatmukjizat tersebut (Mrk. 6:52; 8:17); bnd. klimaks dari sub-bagian ketiga yang di dalamnya terdapat narasi ini, yaitu pengakuan Petrus di Kaisarea Filipi (8:27-30). 82 N.T. Wright melakukan studi yang sangat mendalam mengenai eksorsisme dalam konteks pelayanan Yesus. Ia menyatakan, “Thus the exorcisms, in particular, are not simply the release from strange bondage of a few poor benighted souls. For Jesus and the evangelists, they signaled something far deeper that was going on, namely the real battle of the ministry, which was not a round of fierce debates with the keepers of orthodoxy, but head-on war with the Satan”, Christian Origin and the Question of God, Vol. 2: Jesus and the Victory of God (Minneapolis: Fortress Press, 1996), 195. 83 Markus 7:31b-37 mengisahkan tentang Yesus menyeberang ke daerah Dekapolis, daerah yang sebelumnya telah ia masuki secara sekilas (Mrk. 5) dan mengadakan mukjizat di situ. Selanjutnya, Yesus memberi makan 4000 orang non-Yahudi di daerah itu juga (8:1-10). 84 Dalam PL, misi penebusan itu dimulai dari janji kepada Abraham bahwa dari keturunannya bangsabangsa akan mendapat berkat (Kej. 22:18; 26:4). Keturunan Abraham yang dimaksud itu berasal dari jalur keturunan Ishak (Kej. 21:12), dilanjutkan kepada Yakub hingga menjadi bangsa Israel. Dan ketika Israel sudah menjadi sebuah kumpulan besar orang, Allah menyatakan bahwa mereka akan menjadi “kerajaan imam” (Kel. 19:6). Yesus pun mengikuti pola misi yang sekuensial ini termasuk juga para rasul, seperti yang sudah dicatat oleh: Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 348. 85 Penggunaan kata prw/ton di sini agak problematik mengingat Matius tidak menggunakan kata ini dalam kisah paralelnya. Guelich menduga bahwa Markus sengaja menambahkan kata ini untuk membuat koneks antara pemberian makan yang bagi orang-orang Yahudi dalam pasal 6 untuk “anak-anak”, sedangkan pemberian makan bagi orang-orang non-Yahudi dalam pasal 8 untuk “anjing-anjing”, Mark 1 – 8:26 [software version]. Guelich juga menyebutkan sejumlah pakar lain yang percaya bahwa Markus menambahkan kata ini untuk melembutkan maksud ucapan Yesus yang terdengar sangat eksklusif. Mengenai teori ini, Cranfield berargumentasi bahwa bahkan kata ini merupakan tambahan Markus pun, itu tetap menggambarkan sikap Yesus yang sebenarnya terhadap orang-orang Yahudi, lih. The Gospel Accroding to St. Mark, 247-248. Di samping itu, dugaan-dugaan mengenai teori sisipan ini lebih dikendalikan oleh asumsi bahwa Yesus dalam taraf tertentu dipengaruhi prejudis Yahudi, padahal tidak ada masalah tekstual untuk kemunculan kata ini di ayat ini. 86 Jadi tidak benar, seperti yang ditafsirkan Schafer, bahwa kata-kata Yesus mengindikasikan bahwa orang-orang non-Yahudi tidak termasuk dalam jangkauan misi-Nya. Bnd. France, The Gospel of Mark, 298. 87 Lebih khsusus lagi, kontra Alt. Yesus bukan pembuat mukjizat jalanan seperti yang dilakukan banyak eksorsis pada waktu itu yang lebih mementingkan tindakan demi mendapatkan bayaran. Seakan-akan Yesus harus segera bertindak dan tidak perlu menjelaskan alasan dari tindakan-Nya. Perbuatan-perbuatan Yesus memiliki signifikansi penebusan, dan orang yang mendapatkan manfaat terutama bukan dari mukjizat itu per se, melainkan pemahaman serta respons imannya terhadap Yesus Sang Pembuat mukjizat tersebut. Perempuan itu meminta penyembuhan, yang bagi Yesus permintaan itu bernatur redemptif, maka ya, ia harus mendapatkan pengajaran! Mengenai historisitas, perbandingan mukjizat-mukjizat Yesus dan orang-orang sejaman-Nya, keunikan, serta
Dan kedua, memang latar belakang etnis perempuan itu menjadi fokus di sini, namun aspek ini harus ditafsirkan dalam terang poin pertama di atas. Yesus tidak sedang menyorot inferioritas etnis perempuan Siro-Fenesia per se,88 tetapi menggunakan latar belakang etnisnya dalam kategori sekeunsi misi-Nya. Yesus menggunakan metafora yang menggambil setting dalam acara makan keluarga.89 Apa pun makna “anjing-anjing” dalam kata-kata Yesus, yang pasti mereka merupakan bagian dari keluarga tersebut. Hal ini juga terindikasi dari jawaban perempuan itu bahwa “anjing-anjing” itu ada di sekitar meja makan (ay. 28).90 Jika begitu, mengapa Yesus menggunakan kata “anjing-anjing” untuk diparalelkan dengan latar belakang etnis perempuan itu? Apakah ini secara tidak langsung merendahkan status perempuan itu meskipun hanya secara metaforik? Tidak! Jika Yesus menggunakan perbandingan “anak-anak” (“Israel”) + “anak-anak” (“orang-orang non-Yahudi”), Ia akan kehilangan gagasan inti dari kata-kata-Nya yaitu mengenai sekuensi misi-Nya: dari Israel kepada bangsa-bangsa lain. Sebab memberi makan “anak-anak” dalam keluarga tidak dilakukan secara sekuensial (bergiliran), melainkan simultan (bersamaan). Dalam urutan normalnya, memang “anak-anak” diberi makan terlebih dahulu baru kemudian “anjing-anjing peliharaan”.91 Sampai di sini, orang masih bisa tetap “memaksa” bahwa bagaimana pun tetap ada nuansa degradatif terhadap latar belakang etnis perempuan Siro-Fenesia itu. Bagi saya, ini lebih merupakan tanggapan yang terekspresi dari sebuah generalisasi yang salah, yaitu bahwa setiap kali seseorang atau sekelompok orang diparalelkan dengan “anjing” dalam sebuah ungkapan metaforik, maka itu pasti abusive pada naturnya. signifikansinya, lih. Craig A. Evans, “Prophet, Sage, Healer, Messiah, and Martyr: Types and Identites of Jesus,” in Tom Homen and Stanley E. Porter (eds.), Handbook for the Study of the Historical Jesus, Volume 2: The Study of Jesus (Leiden: Brill, 2011), 1228-1236; Gary R. Habermas, “Did Jesus Perform Miracles?,” in Michael J. Wilkins and J.P. Moreland (eds.), Jesus under Fire: Modern Scholarship Reinvents the Historical Jesus (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1995), 117-134; William L. Lane, The Gospel According to Mark (NICNT 2; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1974), 262. 88 Kekeliruan tafsiran “sejuta umat” yang secara “berjamaah” menyorot penggunaan kata “anjing-anjing” yang jelas paralel dengan latar belakang etnis perempuan itu adalah seakan-akan Yesus sedang menyorot aspek etnis itu per se dalam kata-kata-Nya. 89 Setting ini tampaknya sengaja digunakan oleh Yesus untuk membuat kaitan dengan feeding miracle sebelumnya, peristiwa Yesus berjalan di atas air, termasuk juga inti konfrontasi Yesus dengan para pemimpin Yahudi mengenai masalah tahir dan tidak tahir, serta perjalanan berikutnya dalam memasuki teritori gentiles. Itulah sebabnya, Humphrey menyatakan: “And this may well be whay these episodes, in which Jesus’ mission is extended to Gentiles, are included at this point inthe narrative; because his ministry to the Gentiles is a sign of his messiahship, just as was his giving of bread in the wilderness, walking on water, and authoritative teaching on defilement...the episode, thus, brings the mission of the Gentiles to a conclusion, by including Gentiles among those who will share in the messianic banguet, of which this meal in the wilderness is a foretaste”, Narrative Structure and Message in Mark, 240-241; bnd. France, The Gospel of Mark, 294. Dengan kata lain, narasi ini bukan hanya menempati pusat dari sub-bagian ini secara struktural, melainkan secara tematik merupakan vocal point dalam peralihan misi Yesus menuju daerah non-Yahudi. 90 Penegasan ulang mengenai rentang makna leksikal dari kata “anjing-anjing” dalam teks tersebut yang dikemukakan Larry Hurtado juga sangat penting untuk diingat. Lih. https://larryhurtado.wordpress.com/2012/10/11/ dogs-doggies-and-exegesis/, diakses tanggal 10 Desember 2016. 91 Setting makan bersama dalam keluarga dan tanggapan perempuan Siro-Fenesia tersebut mengharuskan kategori metafora “anjing peliharaan”. Lih. France, The Gospel of Mark, 298. Tafsiran seperti yang saya kemukakan di atas, dalam taraf tertentu telah dicanangkan juga sebelumnya oleh: Lane, The Gospel According to Mark, 261-262. Namun Lane masih membangun argumennya di atas fokus “berjamaah” terhadap kata “anjing” yang ia tafsirkan sebagai anjing peliharaan. Baginya, kategori ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah ungkapan abusive. Keberatan terhadap Lane, lih. Robert H. Gundry, Mark: A Commentary on His Apology for the Cross (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1993), 374.
Tidak setiap kali begitu. Allen Black memunculkan sebuah ungkapan analogis yang cocok, di sini: “let sleeping dogs lie.”92 Penggunaan kata “anjing” di sini tidak serta merta memuat intonasi abusive terhadap orang yang kepadanya ungkapan ini ditujukan. Ini semata-mata cara lain untuk menyatakan: “Jangan menciptakan masalah yang tidak perlu.”93 Demikian pula ketika kata-kata Yesus yang di dalamnya terdapat kata “anjing-anjing” jika dilepaskan dari asumsi-asumsi tafsiran “sejuta umat” dengan fokus “berjamaah” di atas, maka kita tidak mendapati intonasi abusive di situ. Itu hanya sebuah cara lain bagi Yesus untuk mengungkapkan mengenai sekuensi misiNya: dari Israel ke bangsa-bangsa lain (kontra tafsiran ad hominem di atas)!94 Akhirnya, saya setuju dengan Nanos bahwa Yesus merupakan inventor dari makna penggunaan kata “anjing-anjing” dalam kalimat-Nya, walau bukan persis seperti yang dimaksudkan Nanos yang masih akomodatif terhadap tafsiran “sejuta umat” di atas. b. Tanggapan Perempuan Siro-Fenesia (ay. 28) Terhadap penjelasan metaforik mengenai misi Yesus (ay. 27), perempuan SiroFenesia itu menjawab: h` de. avpekri,qh kai. le,gei auvtw/|( Ku,rie( kai. ta. kuna,ria u`poka,tw th/j trape,zhj evsqi,ousin avpo. tw/n yici,wn tw/n paidi,wn (ay. 28). Saya setuju dengan Schafer95 dari aspek kemunculan kata, bahwa terjemahan LAI yang memasukkan kata “Benar...” (juga: NJB; NKJ; NLT; RSV; YLT; dalam ayat ini, tidak ada di dalam teks Yunaninya.96 Tetapi saya tidak setuju dengan maksud Schafer yang menegaskan fakta ini demi menyatakan bahwa jawaban perempuan itu adalah koreksi terhadap kata-kata Yesus (ay. 27) yang mengasumsikan tafsiran “sejuta umat” di atas (bnd. NIV yang menerjemahkan kata de dengan “but” – padahal ada pilihan terjemahan “dan” untuk kata ini – untuk menandai kontras tersebut). Sama seperti sejumlah penafsir yang percaya bahwa Yesus tidak sungguhsungguh memaksudkan intonasi abusive dalam ayat 27, ada penafsir yang percaya bahwa perempuan itu tidak sungguh-sungguh membenarkan kata-kata Yesus, melainkan hanya fokus pada tujuannya, mendapatkan kesembuhan bagi putrinya. Misalnya Skinner menyatakan, The woman’s failure to combat the injurious metaphor itself does not suggest a show of virtous humility. We should assume that willfully accepting possibly gratuitious degradation is a dimension of the ‘faith’ she displays in this passage. 92
Allen Black, Mark (College Press NIV Commentary; Joplin, MO.: College Press, 1995), 173. Dalam film Taken 2 (2012), sang istri menggambarkan karakter suaminya yang sangat fokus dalam mengerjakan sesuatu dengan ungkapan: “Like a dog with a bone.” Apakah dengan menggunakan kata “anjing” di sini lalu sang istri itu sedang mengungkapkan sesuatu yang bernada abusive di sini? Tidak. Sebaliknya ini adalah sebuah apresiasi bagi suaminya. 94 Kalimat editorial yang sering digunakan oleh mereka yang mencoba menggambarkan berbagai posisi dalam menafsirkan maksud Yesus di atas, kira-kira berbunyi demikian: “Pandangan-pandangan yang berupaya ‘melembutkan’ nuansa negatif dari kata ‘anjing’, dst. Saya berharap, siapa pun yang mencoba menanggapi atau mengevaluasi tafsiran saya di sini tidak menggunakan kalimat editorial ini seakan-akan tafsiran saya tergolong dalam upaya pelembutan intonasi negatif tersebut. Kalimat editorial ini berangkat dari tafsiran “sejuta umat” yang telah saya tolak persis pada asumsinya seakan-akan bahwa penggunaan kata “anjing-anjing” di situ harus bermakna negatif, maka setiap upaya penjelasan yang mengurangi bobot negatif ini maka itu tergolong sebagai upaya pelembutan intonasi arti kata. 95 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 347. 96 France, The Gospel of Mark, 295. 93
I imagine that a person in her situation would maintain a driving focus on only that which is necessary to secure healing for her child. I would hope that she and her daughter might return to Jesus later for a follow-up discussion that would begin with, ‘Now about the dog’ comment...’.97 Komentar Skinner di atas cocok untuk menggambarkan sikap seorang oportunis dan telelogis sejati yang berguman dalam dirinya: “Iya, iya saja. Yang penting sembuh. Nanti kalau sudah sembuh, kita bereskan cara bicara yang tidak sopan itu.” Di sisi lain, mayoritas penafsir percaya bahwa perempuan itu sangat rendah hati dan sadar betul akan posisinya sebagai gentile untuk menerima metafora Yesus yang menyakitkan itu.98 Memang, asumsi yang salah terekspresi dalam tafsiran yang salah lalu berakhir dengan penarikan implikasi atau aplikasi yang juga salah! Membaca kata-kata perempuan tersebut, jelas bahwa ia mengasumsikan (dalam arti membenarkan!) kata-kata Yesus mengenai sekuensi misi-Nya. Ingat, Yesus tidak menyatakan bahwa Ia tidak akan menjangkau orang-orang non-Yahudi, justru sebaliknya. Juga, Yesus tidak menyatakan bahwa program kerja misi-Nya yang sekuensial itu tidak mengandung “kekecualian” sama sekali, justru sebaliknya sudah pernah terjadi (Mrk. 5:1-20). Yesus hanya tidak menyertakan “kekecualian” itu di dalam penjelasan mengenai pola sekuensial misi-Nya dalam ayat 27. Jadi, ketika perempuan Siro-Fenesia itu menyatakan, “...anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak,” ia sedang menonjolkan peristiwa situasional di luar pola pemberian makan yang “normal”, tanpa menolak gagasan inti Yesus dalam ayat 27. Tanggapan perempuan Siro-Fenesia ini justru mengindikasikan bahwa ia memahami tentang kesangatberlimpahan (the superabundance) dari berkat Mesianik.99 Meski demikian, perlu dicatat bahwa dari segi dinamika dialog itu sendiri, perempuan itu bisa dikatakan menambahkan unsur baru ke dalam kata-kata Yesus sebelumnya. Namun dari sudut pandang aktivitas misi Yesus sebelumnya hingga Ia didatangi perempuan Siro-Fenesia itu, sebenarnya itu bukan unsur yang baru (bnd. Mrk. 5:21; 6:30-44). Dalam terang terang argumentasi ini, saya tidak melihat aspek perbedaan yang sangat mendasar apalagi aspek korektif dalam jawaban perempuan Siro-Fenesia itu.
Skinner, “‘She Departed to Her House’: Another Dimension of the Syrophoenecian Mother’s Faith in Mark 7:24-30,” 17. 98 Mis. Alt, “The Dynamic of Humility and Wisdom: The Syrophoenecian Woman and Jesus in Mark 7:2431a,” 7-13, yang menggunakan teori virtue of humility dari James Keenan dan Daniel J. Harrington untuk membaca sikap perempuan Siro-Fenesia itu dan sikap Yesus setelah dikoreksi. Keduanya merupakan potret kerendahhatian yang berkebajikan. Schafer menekankan tentang ketabahan perempuan itu dalam menghadapi penolakkan Yesus yang merendahkan dirinya, “Yesus sebagai Pelajar,” 347; juga Cranfield, The Gospel According to St. Mark, 249. Garland menekankan tentang keluasan hati perempuan Siro-Fenesia itu dalam menerima metafora degradatif Yesus, Mark, 288-299. 99 Bnd. sisa dua belas bakul dalam mukjizat memberi makan bagi orang-orang Yahudi (Mrk. 6:30-44). Mungkinkah perempuan ini pernah mendengar tentang peristiwa ini (bnd. Mrk. 7:25) sehingga tatkala Yesus menggunakan metafora dalam setting acara makan keluarga, ia segera mendapatkan gagasan mengenai keberlimpahan berkat Allah tersebut? Bnd. Guelich, Mark 1 – 8:26 [software version]; T.A. Burkill, “The Syrophoenecian Woman, the Congruence of Mark 7:24-30,” ZAW 57 (1966): 29-30. Tidak heran, para penafsir memuji kecerdasan perempuan Siro-Fenesia itu dalam jawabannya, mis. Rhoads, “Jesus and the Syrophoenecian Woman in Mark: A Narrative-Critical Study,” 346-347; Garland, Mark, 288; Skinner, “‘She Departed to Her House’: Another Dimension of the Syrophoenecian Mother’s Faith in Mark 7:24-30,” 17; Gundry, Mark, 375. 97
c. Respons Yesus (ay. 29) Yesus menaggapi kata-kata perempuan Siro-Fenesia itu: kai. ei=pen auvth/|( Dia. tou/ton to.n lo,gon u[page( evxelh,luqen evk th/j qugatro,j sou to. daimo,nion. Yesus membenarkannya dan sampai di sini tidak ada perdebatan. Perdebatannya justru ada pada koneksi antara tanggapan Yesus di sini dengan dua ayat sebelumnya. Dan umumnya, para penafsir dengan pandangan yang beragam di atas percaya bahwa Yesus mengubah pandangan-Nya entah secara radikal (Schafer, dkk.) atau dalam taraf tertentu saja. Untuk pandangan yang terakhir ini, bisa kita dapati dalam komentar Rhoads bahwa kecerdasan dan kerendahhatian perempuan Siro-Fenesia itu mengubah pandangan Yesus.100 Walau atas alasan yang berseberangan seperti yang saya kemukakan dalam tafsiran di atas, saya setuju dengan Schafer bahwa argumen wanita itu (dia. tou/ton to.n lo,gon) dibenarkan oleh Yesus.101 Tetapi, sekali lagi ini perlu ditafsirkan di dalam keseluruhan konteks narasi ini. Perempuan Siro-Fenesia itu datang untuk mendapatkan kesembuhan bagi putrinya (ay. 25-26). Kesembuhan yang ia harapkan itu adalah bagian dari tindakan redemptif. Tindakan redemptif itu bekerja secara sekuensial, dari Israel ke bangsa-bangsa lain (ay. 27). Wanita itu setuju dengan menambahkan unsur kesangatberlimpahan berkat Allah dalam tanggapan-Nya (ay. 28). Sebuah unsur yang persis sudah muncul di dalam aktivitas misi Yesus sebelumNya: secara simbolik dapat dilihat dalam sisa roti yang dikumpulkan (6:43) dan secara langsung dalam peristiwa eksorsisme di Dekapolis (5:1-20). Saya melihat ironi pada keseluruhan narasi ini hingga klimaksnya ketika Yesus membenarkan to.n lo,gon perempuan Siro-Fenesia itu.102 Kekhususan yang ironis di sini terlihat dalam dua hal kontras dalam dua aspek keberlimpahan berkat Allah di atas. Pertama, Yesus sendiri yang mendatangi orang-orang di Dekapolis dan mendemonstrasikan keberlimpahan berkat Allah bagi mereka namun mereka menolak Dia dengan menyuruh-Nya meninggalkan wilayah itu (5:1-20).103 Wanita ini mendatangi Yesus (7:25-26), mengklaim keberlimpahan berkat Allah (7:28), dan disuruh pulang oleh Yesus dengan mendapatkan keberlimpahan berkat itu (7:29-30). Dan kedua, para murid yang menyaksikan sendiri betapa berlimpahnya berkat Allah itu dicurahkan (6:30-43), namun mereka masih tetap tidak mengerti dan hati mereka tetap degil (6:52). Bahkan setelah peristiwa ini kemudian Yesus menyembuhkan orang-orang di Dekapolis dan memberi makan 4000 orang di daerah itu, para murid masih mendapatkan tegoran dari Yesus atas alasan yang sama (8:17). Wanita ini hanya mendengar tentang Yesus, mendapatkan pengajaran Yesus tentang misi-Nya (sesuatu yang tidak dikatakan sebelumnya mengenai para murid) dan ia menegaskan apa yang tidak dipahami oleh para murid Yesus sendiri (7:28; bnd. 4:20).104 Edwards bahkan Rhoads, “Jesus and the Syrophoenecian Woman in Mark: A Narrative-Critical Study,” 356, 361-362. Dimensi Kristologis dari ayat 29-30 mengenai pengetahuan supernatural Yesus akan kesembuhan putri perempuan Siro-Fenesia itu, bertentangan dengan klaim Schafer mengenai kekeliruan Yesus memahami jangkauan misi-Nya. Bnd. Gundry, Mark: A Commentary on His Apology for the Cross, 375. 102 Kontra Camery-Hoggatt, Irony in Mark’s Gospel, 150-151, yang melihat unsur ironi itu hanya pada perkataan Yesus dalam ayat 27. 103 Garland, Mark, 291, menyatakan: “Dia tidak menolak mereka; mereka yang menolak Dia dan mengusirNya dari wilayah itu (5:1-20).” 104 Iverson, Gentiles in Gospel of Mark, 54, menyebutkan juga bahwa wanita itu bahkan memiliki pengertian yang melebihi para pemimpin Yahudi yang seharusnya lebih paham tentang karya Allah (bnd. 2:7, 16, 24; 3:2, 22; 7:1-13); Edwards, The Gospel According to Mark, 221. 100 101
menyatakan bahwa perempuan ini mendengarkan pengajaran tentang misi Yesus dan dan dalam Injil Markus, ia merupakan orang pertama yang memahaminya.105 4. Iman Perempuan Siro-Fenesia Jika kita membaca teks ini dengan penekanan pada aspek “iman” sambil membayangkan bahwa perempuan ini “mengaku percaya secara eksplisit” (bnd. Rm. 10:9-10) kemudian beralih menjadi Kristen, kita tidak mendapatinya sama sekali di situ. Dalam konteks seperti ini, saya memahami alasan Schafer mempertanyakan “Judul perikop dalam edisi LAI memuji kepercayaan perempuan Siro-Fenesia ini.... Apakah ketabahannya sama dengan ‘kepercayaan’?”106 Schafer mengasumsikan jawaban tidak untuk pertanyaan ini dan menambahkan pengamatan bahwa sapaan ku,rie (ay. 28) semata-mata berarti “tuan”, bukan “Tuhan” (LAI).107 Ia berkomentar: “Barangkali dalam cerita ini Yesus menyembuhkan perempuan yang tetap kafir, beragama lain.”108 Tetapi saya tidak mengetahui satu pun karya kesarjanaan yang membahas tentang aspek “iman” dari narasi ini dalam kategori seperti yang dibayangkan Schafer. Sangat mungkin, Schafer membayangkan sebuah konteks anakronis dan “menyerangnya” dalam komentar terakhir ini. Bagaimanapun, saya sepakat dengan alarm dari Schafer bahwa aspek iman dari narasi ini tidak boleh disorot dari konteks anakronis tersebut. Seperti yang sudah saya indikasikan dalam struktur khiastik Markus 7:24-31 di atas, fokus dari narasi ini adalah dialog Yesus dan perempuan Siro-Fenesia tersebut,109 yang terjadi dalam konteks eksorsisme.110 Para pakar melihat bahwa konteks yang mengelilingi dialog itu, bagaimanapun, mengindikasikan dimensi-dimensi menarik mengenai iman.111 Penggambaran mengenai kedatangangan dan sikap memohon (ay. 25-26) serta jawabannya kepada Yesus (ay. 28) dilabeli “iman”. 112 Skinner bahkan memberi perhatian terhadap pulangnya perempuan itu pasca berdialog dengan Yesus. Skinner menyatakan bahwa Yesus “memberikan apa yang diingikan perempuan itu, namun itu tetap membutuhkan tindakaniman baginya untuk memastikannya.”113 Komentar Skinner ini menarik karena, seperti yang dikemukakan Iverson, ini adalah satu-satunya catatan mengenai eksorsisme jarak jauh yang dicatat dalam Injil Markus, berbeda dengan catatan mengenai eksorsisme lainnya (bnd. 1:25, 31, 41; 2:5, 11; 3:5; 4:39; 5:8, 41; 9:25).114 Ada sejumlah dugaan mengenai mengapa Yesus tidak bersama perempuan itu ke rumahnya,115 namun yang jelas “ia pulang tanpa 105
Edwards, The Gospel According to Mark, 221. Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 348. 107 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 249; bnd. Cranfield, The Gospel According to St. Mark, 248. 108 Schafer, “Yesus sebagai Pelajar,” 249. 109 Bnd. Iverson, Gentiles in the Gospel of Mark, 54. 110 Saya setuju separoh dengan Schafer bahwa “bukan mukjizat yang paling penting”, tetapi saya tidak setuju bahwa yang paling penting adalah “perkembangan teologis”, “Yesus sebagai Pelajar,” 344. 111 Sebelumnya, Markus telah memberikan penekanan mengenai pentingnya iman (1:15; 2:5; 4:40; 5:34, 36; 6;6). 112 Hooker, The Gospel According to St. Mark, 181-184; Francis J. Moloney, The Gospel of Mark: A Commentary (Peabody, Massachusetts: Hendrickson, 2002), 144-148, 210-211. 113 Skinner, “‘She Departed to Her House’: Another Dimension of the Syrophoenecian Mother’s Faith in Mark 7:24-30,” 20. 114 Iverson, Gentiles in the Gospel of Mark, 54. 115 Guelich, Mark 1 – 8:26 [software version], dengan mempertimbangan mukjizat jarak jauh lainnya dalam Injil Sinoptik bagi orang-orang non-Yahudi (Mat. 8:15-13; Luk. 7:1-10), ia menduga bahwa masalah tahir 106
pendamping atau kehadiran Yesus sebagai jaminan dari validitas janji-Nya. Kebersediaannya untuk memegang kata-kata Yesus...dan kembali ke rumah, ia menampilkan iman.”116 Berbeda dengan tafsiran minimalis Schafer terhadap sapaan ku,rie (ay. 28), sejumlah penafsir percaya bahwa sapaan ini mengasumsikan high Christology atas sejumlah alasan. Gundry berargumentasi bahwa wanita ini jelas mempercayai kuasa supernatural Yesus dan terlepas dari diskusi historis mengenai maksud perempuan itu, Markus tampaknya menyertakan sapaan ini persis seperti pengakuan Kristen mengenai ketuhanan Yesus (bnd. 1:3; 2:28; 5:19 [?]; 9:24; 11:3; 12:36-37; 13:35).117 Guelich menyatakan bahwa sapaan ini mengkonotasikan lebih dari sekadar sebuah sapaan kesopanan (“tuan”). Konteksnya memperlihatkan bahwa kata ini ia gunakan sebagai tipikal komunitas Kristen non-Yahudi bahwa Yesus adalah Tuhan. Konteks yang dimaksudkan Guelich di sini termasuk di dalamnya penggambaran Markus mengenai kedatangan perempuan itu. Bisa diasumsikan bahwa ia mendatangi Yesus karena ia percaya Yesus dapat menyembuhkan putrinya. Markus bahkan menggambarkan gestur perempuan itu dengan kata “tersungkur” (prose,pesen – bentuk aorist dari kata prospi,ptw; ay. 25) dan “memohon” (hvrw,ta; ay. 26).118 Gestur seperti di atas yang digambarkan dengan menggunakan kata prospi,ptw (dan biasanya juga: pi,ptw) menurut konteks pada masa itu, seperti yang dikemukakan Larry W. Hurtado, tidak mengharuskan kesimpulan bahwa perempuan itu mengakui keilahian Yesus. Bagi Hurtado, kata yang lebih teknis menggambarkan gestur penyembahan terhadap keilahian (cultic worship) adalah proskunew.119 Itulah sebabnya, ketika Matius 15:25 menggambarkan gestur perempuan ini (“perempuan kanaan” sebagai sebutan lain dari “perempuan Siro-Fenesia”) dengan kata proskunew, Hurtado menyimpulkan bahwa Matius memfungsikan kata itu untuk “foreshadowings of the exalted reverence of Jesus familiar to his Christians readers in their collective worship.”120 Sampai di sini, saya setuju dengan Guelich bahwa konteksnya mengindikasikan makna sapaan ku,rie (ay. 28) melampaui sapaan kesopanan. Yang menjadi persoalan adalah latar belakang Hellenistik perempuan ini menarik diskusi ini ke dalam konteks yang sedikit lebih luas. Misalnya, menurut Paul J. Achtemeier, Markus menggabungkan siklus ganda (double cycle) dalam pasal 4:35 – 6:44 dan 6:45 – 8:26 untuk merupakan alasannya. Saya percaya bahwa konteks transisi di mana narasi ini ditempatkan merupakan alasannya. Yesus belum melakukan penetrasi misi ke daerah non-Yahudi, sekaligus fungsi naratifnya yang mendahului penetrasi tersebut, merupakan jawaban kontekstual yang penting untuk dipertimbangkan. Atau seperti komentar Painter, “Mark has forshadowed the mission to the nations withaout makin Jesus himself a universal missionary”, Mark’s Gospel, 112. 116 Skinner, “‘She Departed to Her House’: Another Dimension of the Syrophoenecian Mother’s Faith in Mark 7:24-30,” 21; bnd. Gould, A Critical and Exegetical Commentary on the Gospel According to St. Mark, 137. 117 Gundry, Mark: A Commentary on His Apology for the Cross, 374; France, The Gospel of Mark, 298299. 118 Guelich, Mark 1 – 8:26 [sotware version]. 119 Larry W. Hurtado, How on Earth Jesus Become God?Historical Questions about Earliest Devotion to Jesus (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2005), 140-141. Menurut Hurtado, istilah yang lebih khusus menggambarkan gestur dalam rujukan kepada sikap penghormatan akan keilahian, walau tidak selalu begitu. Konteks tetap harus dipertimbangkan untuk membuat kesimpulan ini; bnd. James D.G. Dunn, Did the First Christians Worship Jesus? The New Testament Evidence (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2010), 8-12. 120 Hurtado, How on Earth Jesus Become God?, 146.
mempresentasikan Yesus sebagai theios aner (divine man) Hellenistik yang berlatar belakang pada praktik eukaristi epifanik dalam tradisi-tradisi Hellenistic-Jewish Moses.121 Leander E. Keck melihat potret theios aner Hellenistik bagi Yesus ada pada Markus 3:7-12; 4:35 – 5:43; 6:31-52, 53-56, sedangkan catatan-catatan lain mengenai mukjizat-mukjizat Yesus menampilkan Yesus agen eskatologis Allah (kategori apokaliptik Yahudi) yang menghancurkan Setan (bnd. Mrk. 3:23-27).122 W.R. Telford berargumentasi bahwa orang-orang non-Yahudi tidak paham soal kategori apokaliptik Yahudi ini, itulah sebabnya Markus menggunakan penggambaran Hellenistik mengenai theios aner dalam presentasinya mengenai mukjizat-mukjizat Yesus. Bukan karena Markus setuju dengan konsep theios aner itu, melainkan dengan menggunakan kategori ini ia hendak membawa pembacanya yang non-Yahudi kepada klimaks dari misi Yesus yaitu kematian dan kebangkitan-Nya. Dan bahwa mukjizat-mukjizat yang dilakukan bagi orang-orang Yahudi, memiliki signfikansi juga bagi para pembacanya yang non-Yahudi. Telford melihat kedua gambaran ini terjalin di dalam narasi-narasi mukjizat dalam Injil Markus.123 Membaca presentasi dari beberapa pakar tersebut sambil mengasumsikan elaobrasi teks dan konteks pada bagian-bagian di atas, membawa saya kepada kesimpulan ini. Dengan mempertimbangkan latar belakangn perempuan itu serta beredarnya konsep theios aner di kalangan non-Yahudi, mungkin saja ia mendatangi Yesus dengan asumsi ini. Tetapi hipotesis ini tidak cukup untuk menjelaskan apresiasi Yesus mengenai pemahamannya yang distinktif akan misi Yesus (ay. 29). Pemahaman yang bahkan “melampaui” pemahaman para murid dan para pemimpin Yahudi. Yesus tidak memandang diri-Nya dalam kategori Hellenistik itu. Sepanjang pelayanan-Nya, Yesus mempresentasikan diri dan misi-Nya dalam terang PL.124 Maka apresiasi Yesus tidak mungkin bisa ditafsirkan bahwa Yesus mengafirmasi asumsi perempuan itu mengenai theios aner.125 Konsekuensi logisnya, saya setuju dengan Gundry atau dengan memanfaatkan pengamatan Hurtado: apa yang dimaksudkan perempuan itu tereksplisit dalam Matius 15:25. 126 Jadi, meskipun kata “iman” memang tidak muncul dalam narasi ini, juga seperti yang dinyatakan Skinner: “...Yesus memberi kredit untuk logoj (argumen), dan bukan
Paul J. Achtemeir, “Towards the Isolation of Pre-Markan Miracle Catanae,” Journal of Biblical Literature 89 (1970): 245-291; Paul J. Achtemeir, “The Origin and Function of the Pre-Markan Miracle Catanae,” Journal of Biblical Literature 91 (1972): 198-221. 122 Leander E. Keck, “Mark 3:7-23 and Mark’s Christology,” Journal of Biblical Literature 84 (1965): 341-358. 123 W.R. Telford, The Theology of the Gospel of Mark (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 87-100. 124 Lih. Peter J. Tomson, “Jesus and His Judaism,” in Markus Bockmuehl (ed.), The Cambridge Companion to Jesus (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 25-40. Ulasan yang lebih luas, lih. Stanley E. Porter, “The Context of Jesus: Jewish and/or Hellenistic?,” in Handbook for the Study of the Historical Jesus, Volume 2: The Study of Jesus, 1441-1463. 125 Sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa Yesus memandang mukjizat-mukjizat-Nya dalam kategori tindakan-tindakan Messianik yang bersignifikansi redemptif. 126 Susan E. Miller mengutip sejumlah pakar (Fander dan Gnilka) yang mengamati sapaan itu sebagai indikasi bahwa perempuan Siro-Fenesia itu merupakan tipikal orang-orang non-Yahudi yang percaya kepada Yesus. Itulah sebabnya, ia menyatakan sapaan itu merupakan “...a christological title in the phrase kurioj Ihsouj (Rom. 10:9 and 1 Cor 12:3)”, Women in the Gospel of Mark (Ph.D., diss.; University of Glasgow, 2002), 142. 121
pistij (iman)nya”.127 Namun presentasi Markus mengenai kegigihan, gestur, permohonan, dan argumen, serta apresiasi Yesus terhadapnya persis seperti yang dikemukakan Theissen: “the woman not only evokes the image of the faithful dog in her reply, she behaves like a ‘devoted dog.’”128 Sebuah kombinasi yang sejati antara “percaya” (trust) dan “pengertian” (understanding) membuat perempuan ini layak disebut sebagai perempuan beriman.129 LAI benar dalam memberi judul perikop ini: “Perempuan Siro-Fenesia yang Percaya”. 5. Implikasi Kristologis Saya bisa memahami bahwa Schafer berupaya menghindari implikasi Kristologis dari tafsirannya dengan mengusulkan mengenai perbedaan antara kesalahan-kesalahan yang manusiawi sebagai bagian dari proses belajar dan dosa seperti yang telah saya cantumkan sebelumnya. Menurut Schafer, Yesus tidak berdosa namun sebagai manusia Yesus dapat melakukan kesalahan-kesalahan, dalam hal ini Yesus menganut prasangka etnis-religius yang Ia warisi dari orang-orang sebangsaNya. Pertama-tama, saya ingin menghindari pembahasan teologis yang lebih luas yakni apakah Yesus sebagai manusia dapat berbuat kesalahan atau tidak? Pertanyaan ini menarik namun memerlukan rentang argumentasi yang lebih luas daripada yang terdapat dalam tulisan ini. Perhatian saya adalah soal implikasi Kristologis yang coba dihindari Schafer dalam naskah orasinya di atas. Menafsirkan narasi Markus di atas demikian sambil menyatakan bahwa Yesus tidak melakukan dosa dalam hal ini, merupakan sebuah upaya menghindar yang sia-sia. Itu sama halnya dengan menyatakan bahwa Yesus tidak mengetahui dengan jelas tujuan kedatangan-Nya dan karena itu dalam kesempatan tertentu, misalnya dalam narasi ini, Yesus dapat menyatakan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah.130 Dengan demikian, Schafer bukan hanya membaca narasi Markus secara salah, melainkan juga pembacaannya mengimplikasikan bahwa Yesus dapat menyatakan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan kedatangan-Nya. Schafer memang berupaya menghindari implikasi ini, namun upaya menghindar tersebut, sekali lagi, merupakan sesuatu yang tidak mungkin secara logis. E. Penutup Tulisan-tulisan akademis seperti ini umumnya diakhiri dengan “kesimpulan” yang tidak lain berisi ikhtisar mengenai pokok-pokok argumen yang penting di dalamnya. Tidak begitu, pilihan saya, di sini. Ulasan dan kesimpulan tafsiran saya sudah jelas dalam ulasan di atas. Tidak perlu diringkas lagi di sini. Saya memilih Skinner, “‘She Departed to Her House’: Another Dimension of the Syrophoenecian Mother’s Faith in Mark 7:24-30,” 15. 128 Theissen, The Gospels in Context, 80. 129 Bnd. Telford, The Theology of the Gospel of Mark, 101, menyatakan: “Faith for Mark, however, as I 127
have elsewhere argued, is connected with understanding, and understanding with the true significance of Jesus' person and mission.” 130
Lih. Simon J. Gathercole, The Pre-Existent Son: Recovering the Christologies of Matthew, Mark, and Luke (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2006). Dalam buku ini, Gathercole bukan hanya membuktikan dengan sangat meyakinkan bahwa ungkapan-ungkapan “Aku datang” atau “Engkau datang” dalam Injil-injil Sinoptik mengindikasikan pra-eksistensi Yesus, melainkan juga mengimplikasikan bahwa Yesus sangat jelas mengetahui dari mana Ia datang dan untuk apa Ia datang ke dalam dunia.
menggunakan bagian ini untuk sedikit berbicara tentang Schafer, walau tentu akan saya hubungkan juga dengan tulisan ini secara keseluruhan. Sebuah pembicaraan singkat dengan sentuhan “personal”. Seperti yang terlihat dalam tulisan ini, tafsiran Schafer membentuk outline dan mendominasi interaksi saya. Walau tafsiran saya persis berseberangan dengan tafsiran beliau, namun saya mengapresiasi beliau sebagai akademisi yang layak dijadikan “teman berpikir”. Tafsirannya menstimulasi saya untuk mengadakan riset lebih lanjut, walau proses itu memimpin saya kepada kesimpulan yang tidak sejalan dengan klaim serta argumennya. Saya sendiri telah mendapat banyak manfaat dari: Belajar Bahasa Yunani Koine-nya,131 juga pernah membaca buku yang dikarangnya bersama Freshia Aprilyn Ross: Bercerai: Boleh atau Tidak?132 Maksud saya, di sini saya sedang berinteraksi dengan seorang pakar yang kesarjanaannya telah dikenal luas oleh masyarakat Kristen di Indonesia. Maka sudah pasti saya tidak bermaksud menggugat reputasi kepakarannya. Saya hanya tidak setuju dengan tafsirannya dan bahkan terbuka untuk belajar lebih lanjut dari beliau, jika beliau berkenan menanggapi tulisan ini. Meskipun saya menganggap Schafer gagal membuktikan tesisnya bahwa “Yesus adalah Seorang Pelajar” menurut Markus 7:24-31, namun ia tidak gagal menjadi “pengajar” bagi saya. Tulisan ini adalah buktinya! Schafer mengajar saya sebagai “lawan”, dalam arti seperti yang dikemukakan Anis Baswedan: “Lawan badminton adalah teman bermain; lawan diskusi adalah teman berpikir.”
Biodata Penulis Deky Hidnas Yan Nggadas: Sarjana Teologi dari SETIA Jakarta (2003); Master of Divinity dari STT Amanat Agung Jakarta (2008); Master of Theology in Biblical Studies dari Institut Injil Indonesia (2013) dengan tesis berjudul: “Dari ‘Mesir’ ke Mesir: Analisis terhadap Penggunaan Hosea 11:1 dalam Matius 2:15 dengan Pendekatan Kristotelik”. Penulis buku: Pengantar Praktis Studi Kitab-kitab Injil (Yogyakarta: Andi, 2011); Paradigma Eksegetis: Penting dan Harus! (Depok: Indie-Publishing, 2013). Blog pribadi: www.dekynggadas.wordpress.com. Saat ini bekerja sebagai dosen tetap bidang Biblika Perjanjian Baru di STT Huperetes Batam dan dosen tamu bidang Biblika Perjanjian Baru di STT Gracia Batam.
131
Ruth Schafer, Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). 132 Ruth Schafer, Bercerai: Boleh atau Tidak? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012)