3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya. BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
2.1. Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1. Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut
Flippo
(2000),
manajemen
sumber
daya
manusia
adalah
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian atas pengadaan tenaga kerja, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja dengan sumber daya manusia untuk mencapai sasaran perorangan, organisasi dan masyarakat. Manajemen sumber daya manusia juga bisa dilihat secara mendalam menurut Gomes (2000), manajemen sumber daya manusia berasal dari dua pengertian utama yaitu (1) manajemen dan (2) sumber daya manusia. Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur, mengurus, melaksanakan, dan mengelola. Sedangkan sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya yang terdapat di organisasi, meliputi semua orang yang melakukan aktivitas. 2.1.2. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Arep dan Tanjung (2003), membagi fungsi manajemen sumber daya manusia menjadi dua bagian, yaitu :
1. Fungsi manajerial, yaitu fungsi manajemen yang berkaitan langsung dengan aspekaspek manajerial seperti fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. a. Fungsi perencanaan, yaitu melaksanakan tugas dalam hal merencanakan 10 kebutuhan, pengadaan pengembangan dan pemeliharaan SDM. Termasuk dalam hal ini adalah merencanakan karir bagi para karyawan. b. Fungsi pengorganisasian, yaitu menyusun suatu organisasi dengan membentuk struktur dan hubungan antara tugas yang harus dikerjakan oleh tenaga kerja yang dipersiapkan. Struktur dan hubungan yang dibentuk, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi organisasi yang bersangkutan. c. Fungsi pengarahan, yaitu memberikan dorongan untuk menciptakan kemauan kerja yang dilaksanakan secara efektif dan efisien. d. Fungsi pengendalian, yaitu melakukan pengukuran antara kegiatan yang telah dilakukan dengan standar yang telah ditetapkan, khususnya di bidang tenaga kerja. 2. Fungsi operasional, yaitu fungsi yang berkaitan langsung dengan aspek-aspek operasional sumber daya manusia di organisasi atau perusahaan meliputi rekruitmen, seleksi, penempatan, pengangkatan, pelatihan dan pengembangan, kompensasi, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja. Fungsi operasional ini merupakan tindakan pengoperasian yang harus dipertanggung jawabkan oleh manajer personalia kepada manajemen puncak. 2.2. Motivasi
2.2.1. Pengertian Motivasi Motivasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan, dan memelihara perilaku manusia akibat interaksi individu dengan situasi. Umumnya orang-orang yang termotivasi akan melakukan usaha yang lebih besar daripada yang tidak melakukan. Kata motivasi berasal dari kata motivation, yang dapat diartikan sebagai dorongan yang ada pada diri seseorang untuk bertingkah laku mencapai suatu tujuan tertentu (Rivai, 2004). Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang ditentukan (Siagian, 2004). Sedangkan Gerungan (2000), menambahkan bahwa motivasi adalah penggerak, alasan-alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan dirinya melakukan suatu tindakan/bertingkah laku. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang terdapat dalam diri manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Hal ini terkait dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan rohani. Istilah motivasi mengandung tiga hal yang amat penting, yaitu:
a) Pemberian motivasi berkaitan langsung dengan usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasional. Tersirat pada pandangan ini bahwa dalam tujuan dan sasaran organisasi telah tercakup tujuan dan sasaran pribadi anggota organisasi. Pemberian motivasi hanya akan efektif apabila dalam diri bawahan yang digerakkan terdapat keyakinan bahwa dengan tercapainya tujuan maka tujuan pribadi akan ikut pula tercapai. b) Motivasi merupakan proses keterkaitan antara usaha dan pemuasan kebutuhan tertentu. Usaha merupakan ukuran intensitas kemauan seseorang. Apabila seseorang termotivasi, maka akan berusaha keras untuk melakukan sesuatu. c) Kebutuhan adalah keadaan internal seseorang yang menyebabkan hasil usaha tertentu menjadi menarik. Artinya suatu kebutuhan yang belum terpuaskan menciptakan ketegangan yang pada gilirannya menimbulkan dorongan tertentu pada diri seseorang. Gitosudarmo dan Sudita (1997), menyatakan motivasi atau dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja sama demi tercapainya tujuan bersama atau tujuan perusahaan ini terdapat dua macam yaitu: (a) motivasi finansial yaitu dorongan yang dilakukan dengan memberikan imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan tersebut sering disebut Insentif; dan (b) motivasi non finansial yaitu dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk finansial, akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian, penghargaan, pendekatan manusiawi dan lain sebagainya. 2.2.2. Teori Motivasi
Robbin (2006), teori ini mula-mula dipelopori oleh Maslow pada tahun 1954. Ia menyatakan bahwa manusia mempunyai berbagai keperluan dan mencoba mendorong untuk bergerak memenuhi keperluan tersebut. Keperluan itu wujud dalam beberapa tahap kepentingan. Setiap manusia mempunyai keperluan untuk memenuhi kepuasan diri dan bergerak memenuhi keperluan tersebut. Lima hirarki keperluan mengikut Maslow adalah kebutuhan: (1) Faali (fisiologis): antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), sex dan kebutuhan ragawi lain, (2) Keamanan : antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional, (3) Sosial: mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik, dan persahabatan, (4) Penghargaan : mencakup faktor rasa hormat internal seperti hargadiri, otonomi, dan prestasi; dan faktor hormat ekstemal seperti status, pengakuan, dan perhatian. (5) Aktualisasi-diri: dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi; mencakup pertumbuhan, mencapai potensialnya, dan pemenuhan diri. Maslow memisahkan kelima kebutuhan sebagai kategori tinggi dan kategori rendah, kebutuhan faali dan kebutuhan keamanan digambarkan sebagai kebutuhan kategori rendah dan kebutuhan sosial dan kebutuhan akan penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan kategori tinggi. Pembedaan antara kedua kategori ini berdasarkan alasan bahwa kebutuhan kategori tinggi dipenuhi secara internal (di dalam diri orang itu). Sedangkan kebutuhan kategori rendah terutama dipenuhi secara eksternal (dengan upah, kontrak serikat buruh, dan masa kerja). 2.2.3. Jenis-Jenis Motivasi
Handoko (2001), motivasi terdiri atas: (a) motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang berfungsinya tanpa rangsangan dari luar, karena dalam diri individu tersebut sudah ada dorongan untuk melakukan tindakan, dan (b) motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berfungsinya karena disebabkan oleh adanya faktor pendorong dari luar diri individu. Herzberg dalam (Hasibuan, 2005) menjelaskan bahwa motivasi pada prinsipnya berkaitan dengan kepuasan dan ketidak puasan kerja. Dalam hal ini kepuasan kerja atau perasaan positif disebut sebagai hygien. Secara terinci dikemukakan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan dikalangan karyawan atau bawahan. 2.2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Motivasi Faktor motivasi dibedakan menjadi dua, yang pertama dinamakan situasi motivasi yang "subjective" atau faktor intrinsik dan yang kedua adalah faktor "objective" atau faktor ekstrinsik. Faktor-faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang timbul dari individu petugas dengan pekerjaanya yang sering disebut pula sebagai "job content factor". Faktor tersebut diantaranya meliputi keberhasilan dalam melaksanakan tugas, memperoleh pengakuan atas prestasinya, memperoleh tanggung jawab yang lebih besar dan memperoleh kemajuan kedudukan melalui promosi jabatan. Sejauh mana semuanya itu dapat terpenuhi secara positif bagi petugas, maka sejauh itu pula dorongan/daya motivasinya untuk bekerja bagi tercapainya tujuan organisasi
Herzberg dalam (Hasibuan, 2005), menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi motivasi seorang karyawan ada yang bersifat internal dan eksternal. Faktor yang bersifat internal (motivatorfactor), antara lain: 1) Tanggung jawab (Responsibility). Setiap orang ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang berpotensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar. 2) Prestasi yang diraih (Achievement) Setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya. 3) Pengakuan orang lain (Recognition) Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi. 4) Pekerjaan itu sendiri (The work it self) Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai, merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi. 5) Kemungkinan Pengembangan (The possibility of Growth)
Karyawan hendaknya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya misalnya melalui pelatihan-pelatihan, kursus dan juga melanjutkan jenjang pendidikannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih giat dalam bekerja. 6) Kemajuan (Advancement) Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pagawai dalam melakukan pekerjaan, karena setiap pegawai menginginkan adanya promosi kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalaman dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik. Sedangkan yang berhubungan dengan faktor ketidakpuasan dalam bekerja menurut Herzberg dalam Luthans (2003), dihubungkan oleh faktor ekstrinsik antara lain : 1) Gaji Tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem kompensasi yang realitis dan gaji bila digunakan dengan benar akan memotivasi pegawai. 2) Keamanan dan keselamatan kerja. Kebutuhan akan keamanan dapat diperoleh melalui kelangsungan kerja.
3) Kondisi kerja Dengan kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh peralatan yang memadai, karyawan akan merasa betah dan produktif dalam bekerja sehari-hari. 4) Hubungan kerja Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana atau hubungan kerja yang harmonis antara sesama pegawai maupun atasan dan bawahan. 5) Prosedur perusahaan. Keadilan dan kebijakasanaan dalam mengahadapi pekerja, serta pemberian evaluasi dan informasi secara tepat kepada pekerja juga merupakan pengaruh terhadap motivasi pekerja. 6) Status Merupakan posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota kelompok dari orang lain. Status pekerja memengaruhi motivasinya dalam bekerja. Status pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya antara lain ditunjukkan oleh klasifikasi jabatan, hak-hak istimewa yang diberikan serta peralatan dan lokasi kerja yang dapat menunjukkan statusnya. 2.2.5. Manfaat Motivasi Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu manfaat yang diperoleh karena bekerja
dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang ditetapkan dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya. Sesuatu yang dikerjakan dengan adanya motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang melakukannya. Orang pun akan merasa dihargai atau diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep dan Tanjung, 2003). 2.3. Bidan 2.3.1. Sejarah Bidan Sejarah menunjukkan bahwa kebidanan merupakan salah satu profesi tertua di dunia sejak adanya peradaban umat manusia. Bidan lahir sebagai perempuan terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu- ibu yang melahirkan. Profesi ini telah mendudukkan peran dan posisi seorang bidan menjadi terhormat di masyarakat, karena tugas yang diembannya sangat mulia dalam upaya memberikan semangat dan membesarkan hati ibu-ibu. Disamping itu, bidan dengan setia mendampingi dan menolong ibu-ibu dalam melahirkan sampai sang ibu mampu merawat bayinya dengan baik. Sejak zaman prasejarah, dalam naskah kuno telah tercatat bidan dari
Mesir (Siphrah dan Poah), yang berani mengambil resiko membela keselamatan bayibayi laki-laki bangsa Yahudi (sebagai orang-orang yang terjajah oleh bangsa Mesir), yang diperintahkan oleh Firaun untuk dibunuh. Mereka sudah menunjukkan sikap etika moral yang tinggi dan takwa kepada Tuhan dalam membela orang-orang yang berada pada posisi lemah, yang pada zaman modern ini kita sebut peran advokasi. Dalam menjalankan tugas dan praktiknya, bidan bekerja berdasarkan pada pandangan filosofi yang dianut, keilmuan, metode kerja, standart praktik pelayanan dan kode etik profesi yang dimilikinya (Asrinah et all, 2010). 2.3.2. Definisi Bidan Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun internasional dengan sejumlah praktisi di seluruh dunia. Pengertian Bidan dan bidang prakteknya secara internasional telah diakui oleh International Confederation of Midwives (ICM) tahun 1972 dan International Federation of International Gynaecologist and Obstetritian (FIGO) tahun 1973, WHO dan badan lainnya. Pada tahun 1990 pada pertemuan dewan di Kobe, ICM menyempurnakan defenisi tersebut yang kemudian disahkan oleh FIGO (1991) dan WHO (1992). Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan Bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan di negeri itu. Dia harus mampu memberikan supervisi, asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita selama masa hamil, persalinan desa ,masa pasca persalinan (postpartum period), memimpin
persalinan atas tanggung jawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak. Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan tindakan pertolongan gawat darurat pada saat tidak hadirnya tenaga medik lainnya. Dia mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita tersebut, tetapi juga termasuk keluarga dan komunitasnya. Pekerjaan itu termasuk pendidikan antenatal, dan persiapan untuk menjadi orang tua, dan meluas ke daerah tertentu dari ginekologi, keluarga berencana, dan asuhan anak. Dia bisa berpraktek di rumah sakit, klinik, unit kesehatan, rumah perawatan atau tempat-tempat pelayanan lainnya. (PP IBI, 2005). Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah negara RI serta memiliki kompetensi dan mendapat lisensi untuk menjalankan praktek kebidanan. (Permenkes, 2007). Bidan adalah seorang yang telah secara teratur mengikuti suatu program pendidikan kebidanan yang diakui negara. Program tersebut diselenggarakan dan telah berhasil menyelesaikan serangkaian pendidikan kebidanan yang ditetapkan dan telah memperoleh kualifikasi yang diperlukan untuk bisa didaftarkan dan secara hukum memperoleh ijin untuk melakukan praktek kebidanan. (Helen Varney, 2007). Bidan menurut WHO adalah seorang yang telah diakui secara reguler dalam pendidikan diakui secara yuridis, ditempatkan dan mendapat kualifikasi, serta
terdaftar di sektor dan memperoleh ijin melaksanakan praktek kebidanan (Salmah, 2006). Demikian luas dan dalamnya profesi bidan maka dapat dikatakan bahwa bidan Indonesia adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian dengan persyaratan yang berlaku. Jika melakukan praktek, yang bersangkutan harus mempunyai kualifikasi agar mendapatkan lisensi untuk praktek (PP IBI, 2005).
2.4. Teori tentang Kinerja 2.4.1. Pengertian Kinerja Menurut Robbins (2006), kinerja merupakan pencapaian yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang karyawan merupakan hal yang selalu menjadi perhatian para pemimpin organisasi. Kinerja ini menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Menurut Triffin dan Mac Cormick (1979), kinerja individu berhubungan dengan individual variable dan situational variable. Perbedaan individu akan menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Individual variabel adalah variabel yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan, misalnya kemampuan, kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sedangkan situational variable adalah variabel yang bersumber dari situasi pekerjaan yang lebih luas (lingkungan
organisasi), misalnya pelaksanaan supervisi, karakteristik pekerjaan, hubungan dengan teman sekerja dan pemberian imbalan. Sementara kinerja menurut Mangkunegara (2002), adalah hasil kerja secara kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan penilaian terhadap kinerja karyawannya. Penilaian kinerja merupakan alat yang sangat berpengaruh untuk mengevaluasi kerja karyawan bahkan dapat memotivasi dan mengembangkan karyawan.
2.4.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Mangkunegara (2002), mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). a. Faktor Kemampuan (ability). Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja yang diharapkan. b. Faktor Motivasi (motivation). Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja atau organisasi. Pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu
karyawan dengan karyawan lainnya yang berada dibawah pengawasannya. Secara garis besar, perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor individu dan situasi kerja. Menurut Gibson et al. (1996), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu: 1. Variabel Individual, terdiri dari: a) Kemampuan dan Keterampilan Kondisi mental dan fisik seseorang dalam menjalankan suatu aktivitas atau pekerjaan. b) Latar belakang Kondisi dimasa lalu yang memengaruhi karakteristik dan sikap mental seseorang, biasanya dipengaruhi oleh faktor keturunan serta pengalaman dimasa lalu. c) Demografis Kondisi kependudukan yang berlaku pada individu atau karyawan, dimana lingkungan sekitarnya akan membentuk pola tingkah laku individu tersebut berdasarkan adat atau norma sosial yang berlaku. 2. Variabel Organisasional, terdiri dari: a) Sumber Daya Sekumpulan potensi atau kemampuan organisasi yang dapat diukur dan dinilai, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia. b) Kepemimpinan
Suatu seni mengkoordinasi yang dilakukan oleh pimpinan dalam memotivasi pihak lain untuk meraih tujuan yang diinginkan oleh organisasi. c) Imbalan Balas jasa yang diterima oleh pegawai atau usaha yang telah dilakukan di dalam proses aktivitas organisasi dalam jangka waktu tertentu secara intrinsik maupun ekstrinsik. d) Struktur Hubungan wewenang dan tanggungjawab antar individu di dalam organisasi, dengan karakteristik tertentu dan kebutuhan organisasi.
e) Desain Pekerjaan Job Description yang diberikan kepada pegawai, apakah pegawai dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan job description. 3. Variabel Psikologis, terdiri dari: a) Persepsi Suatu proses kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. b) Sikap Kesiapsiagaan mental yang dipelajari dan diorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain.
c) Kepribadian Pola perilaku dan proses mental yang unik, mencirikan seseorang. d) Belajar Proses yang dijalani seseorang dari tahap tidak tahu menjadi tahu dan memahami akan sesuatu terutama yang berhubungan dengan organisasi dan pekerjaan. Menurut Werther dan Davis (1996), faktor-faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis, kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge+skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Sedangkan Robbin (2006), menambahkan dimensi baru yang menentukan kinerja seseorang, yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun seseorang bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan). Mungkin ada rintangan yang menjadi kendala kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan kerja tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung prosedur yang tidak jelas dan sebagainya. 2.4.3. Penilaian Kinerja Menurut Simamora (2004), penilaian kinerja (performance appraisal) adalah prosesnya organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Penilaian kinerja memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam
menjelaskan tujuan-tujuan dan standar kinerja individu di waktu berikutnya. Sedangkan menurut Rivai (2005), penilaian kinerja merupakan kajian sistematis tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal yang dikaitkan dengan standar kerja yang telah ditentukan perusahaan. Penilaian kinerja merupakan proses yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang, meliputi dimensi kinerja karyawan dan akuntabilitas. Rivai (2005), mengemukakan pada dasarnya ada 2 (dua) model penilaian kinerja : 1. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Lalu (a) Skala Peringkat (Rating Scale) Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam penilaian prestasi, di mana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. (b) Daftar Pertanyaan (Checklist) Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka macam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu kata atau pertanyaan yang mengambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan. Keuntungan dari cheklist adalah biaya yang murah, pengurusannya mudah, penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan distandarisasi. (c) Metode Dengan Pilihan Terarah
Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi subjektivitas dalam penilaian. Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini adalah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah penilaian dengan memaksa suatu pilihan antara pernyataan-pernyataan deskriptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama. (d) Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Method) Metode ini bermanfaat untuk memberi karyawan umpan balik yang terkait langsung dengan pekerjaannya. (e) Metode Catatan Prestasi Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan. (f) Skala Peringkat dikaitkan dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating cale=BARS) Penggunaan metode ini menuntut diambilnya 3 (tiga) langkah, yaitu: 1) Menentukan skala peringkat penilaian prestasi kerja 2) Menentukan kategori prestasi kerja dengan skala peringkat 3) Uraian prestasi kerja sedemikian rupa sehingga kecenderungan perilaku karyawan yang dinilai dengan jelas. (g) Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Method)
Di sini penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM. Spesialis SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal karyawannya, lalu mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut. (h) Test dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation) Karyawan dinilai, diuji kemampuannya, baik melalui ujian tertulis yang menyangkut berbagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus ditaati atau melalui ujian praktik yang langsung diamati oleh penilai. (i) Pendekatan Evaluasi Komparatif (Comparative Evaluation Approach) Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. 2. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Depan a. Penilaian Diri Sendiri (Self Appraisal) Penilaian diri sendiri adalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan dan kelemahan dirinya sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang. b. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objective) Merupakan suatu bentuk penilaian di mana karyawan dan penyelia bersama-sama menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja karyawan secara individu di waktu yang akan datang.
c. Penilaian dengan Psikolog Penilaian ini lazimnya dengan teknik terdiri atas wawancara, tes psikologi, diskusi-diskusi dengan penyelia-penyelia. 3. Organisasi dengan Tingkat Manajemen Majemuk Pada organisasi dengan tingkat manajeman majemuk, personel biasanya dinilai oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi. Penilaian termasuk yang dilakukan oleh penyelia atau atasan langsung kepadanya laporan kerja personel disampaikan. Penilaian ini dapat juga melibatkan manajer lini unit lain. Sebagai contoh, personel bagian pembelian dapat dinilai oleh manajer produksi sebagai sebagai pemakai barang yang dibeli. Hal ini normal terjadi bila interaksi antara personel dan unit lain cukup tinggi. Sebaiknya penggunaan penilaian atasan dari bagian lain dibatasi, hanya pada situasi kerja kelompok dimana individu sering melakukan interaksi. Pada penilaian manajer, biasanya dilakukan oleh beberapa atasan manajer dengan tingkat lebih tinggi yang sering bekerja sama dalam kelompok kerja. Penilaian kerja kelompok akan sangat bernilai jika penilaian dilakukan dengan bebas dan kemudian dilakukan mufakat dengan diskusi. Hasil penilaian akhir seharusnya tidak dihubungkan dengan kemungkinan adanya
perbedaaan
pendapat
diantara
penilai.
Penilaian
kelompok
dapat
menghasilkan gambaran total kinerja personel lebih tepat, tetapi kemungkinan terjadi bias dengan kecenderungan penilaian lebih tinggi sehingga menghasilkan penilaian yang merata. Penilaian atasan langsung sangat penting dari seluruh sistem penilaian
kinerja. Hal ini disebabkan karena madah untuk memperoleh hasil penilaian atasan dan dapat diterima oleh akal sehat. Para atasan merupakan orang yang tepat untuk mengamati dan menilai kinerja bawahannya. Oleh sebab itu, seluruh sistem penilaian umumnya sangat tergantung pada evaluasi yang dilakukan oleh atasan (Rivai, 2005). 2.4.4. Tujuan Penilaian Kinerja Menurut Simamora (2004), tujuan penilaian kinerja digolongkan kedalam tujuan evaluasi dan tujuan pengembangan. a. Tujuan Evaluasi Melalui pendekatan evaluatif, dilakukan penilaian kinerja masa lalu seorang karyawan. Evaluasi yang digunakan untuk menilai kinerja adalah rating deskriptif. Hasil evaluasi digunakan sebagai data dalam mengambil keputusan-keputusan mengenai promosi dan kompensasi sebagai penghargaan atas peningkatan kinerja karyawan.
b. Tujuan Pengembangan Pendekatan pengembangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan di masa yang akan datang. Aspek pengembangan dari penilaian kinerja mendorong perbaikan karyawan dalam menjalankan pekerjaannya. 2.4.5. Manfaat Penilaian Kinerja Manfaat penilaian kinerja yang dikemukakan oleh Mulyadi (1997), yaitu:
1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum. 2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan, seperti promosi, transfer dan pemberhentian. 3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan. 4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka. 5. Menyediakan suatu dasar distribusi penghargaan 2.4.6. Kinerja Bidan Kinerja bidan dapat dinilai dari kesesuaian target cakupan pelayanan yang dilakukannya dengan jumlah sasaran yang ada di wilayah kerjaannya. Oleh karena itu, bidan di desa harus mengetahui jumlah sasaran program KIA (ibu hamil, bersalin, bayi). Apabila hasil pendataan yang sebenarnya tidak dimiliki, maka dapat dilakukan perkiraan jumlah ibu hamil (2,7-3% dari jumlah penduduk), dan jumlah bayi (2,52,7% dari jumlah penduduk) per tahun. Untuk validasi data maka jumlah yang dicatat bidan di desa tidak boleh berbeda (10%) dari patokan di atas. Untuk cakupan K1 pertahun tidak boleh kurang dari 90%, bila kurang di asumsikan pemahaman tentang indikator cakupan dan penghitungan oleh bidan desa masih kurang, maka perlu ditindak lanjuti dalam supervisi dengan pembinaan intensif dan sebagai bahan informasi mengenai kinerja bidan di desa (Depkes RI, 2003).
2.5. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Pembangunan kesehatan dilakukan dengan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan masyarakat dan keluarga melalui peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat dan keluarga antara lain ditentukan oleh derajat KIA sebagai kelompok penduduk yang rawan dan strategis. Oleh karena itu perlu diupayakan penurunan AKI dan AKB yang merupakan indikator penilaian derajat kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2003). Upaya penurunan kematian ibu dan bayi dapat dilakukan dengan peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan KIA, sehingga program KIA tetap diharapkan menjadi kegiatan prioritas (Depkes RI, 2009). Beberapa pelayanan KIA menurut Kemenkes 2010 adalah sebagai berikut : 1. Pelayanan Antenatal Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi umum dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan). Dalam penerapannya terdiri atas: a. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan dengan alat timbangan dan mikrotois. b. Ukur tekanan darah dengan alat tensimeter.
c. Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas) dengan meteran. d. Ukur tinggi fundus uteri. e. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin dengan alat stetostop. f. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan dengan alat form skrining. g. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan. h. Test laboratorium (rutin dan khusus). i. Tatalaksana kasus. j. Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan. Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan golongan darah, hemoglobin, protein urine dan gula darah puasa. Pemeriksaan khusus dilakukan di daerah prevalensi tinggi dan atau kelompok berisiko, pemeriksaan yang dilakukan adalah hepatitis B, HIV, sifilis, malaria, tuberkulosis, kecacingan dan thalasemia. Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal disebut lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut. Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut : a. Minimal 1 kali pada triwulan pertama. b. Minimal 1 kali pada triwulan kedua. c. Minimal 2 kali pada triwulan ketiga.
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan komplikasi. Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan antenatal kepada ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat. 2. Pertolongan Persalinan Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada kenyataan di lapangan, masih terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, secara bertahap seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Pencegahan infeksi. b. Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar. c. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi. d. Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini. e. Memberikan Injeksi Vit K1 dan salep mata pada bayi baru lahir. Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan pertolongan persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter dan bidan.
3. Pelayanan Nifas Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga kesehatan. Untuk deteksi dini komplikasi pada ibu nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas dan meningkatkan cakupan KB pasca. Pelayanan yang diberikan adalah : a. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu dengan alat tensimeter, jam dan termometer. b. Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uterus). c. Pemeriksaan lokchia dan pengeluaran per vaginam lainnya. d. Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan. e. Pemberian kapsul Vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali , pertama segera setelah melahirkan, kedua diberikan setelah 24 jam pemberian kapsul Vitamin A pertama. f. Pelayanan KB pasca salin adalah pelayanan yang diberikan kepada ibu yang mulai menggunakan alat kontrasepsi langsung sesudah melahirkan (sampai dengan 42 hari sesudah melahirkan). 4. Pelayanan Kesehatan Neonatus Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus sedikitnya 3 kali, selama periode 0 sampai dengan 28 hari setelah lahir, baik di fasilitas kesehatan maupun melalui kunjungan rumah. Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonatus :
a. Kunjungan Neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6-48 Jam setelah lahir. b. Kunjungan Neonatal ke-2 (KN 2) dilakukan pada kurun waktu hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 setelah lahir. c. Kunjungan Neonatal ke-3 (KN 3) dilakukan pada kurun waktu hari ke 8 sampai dengan hari ke 28 setelah lahir. Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap pelayanan
kesehatan
dasar,
mengetahui
sedini
mungkin
bila
terdapat
kelainan/masalah kesehatan pada neonatus. Risiko terbesar kematian neonatus terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, minggu pertama dan bulan pertama kehidupannya. Sehingga jika bayi lahir di fasilitas kesehatan sangat dianjurkan untuk tetap tinggal di fasilitas kesehatan selama 24 jam pertama. Pelayanan kesehatan neonatal dasar dilakukan secara komprehensif dengan melakukan pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir dan pemeriksaan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) untuk memastikan bayi dalam keadaan sehat, yang meliputi : a. Pemeriksaan dan Perawatan Bayi Baru Lahir 1) Perawatan Tali pusat 2) Melaksanakan ASI Eksklusif 3) Memastikan bayi telah diberi Injeksi Vitamin K1 4) Memastikan bayi telah diberi Salep Mata Antibiotik 5) Pemberian Imunisasi Hepatitis B-0
b. Pemeriksaan menggunakan pendekatan MTBM 1) Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi bakteri, ikterus, diare, berat
badan rendah dan masalah pemberian ASI.
2) Pemberian imunisasi hepatitis B-0 bila belum diberikan pada waktu perawatan bayi baru lahir. 3) Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI eksklusif, pencegahan hipotermi dan melaksanakan perawatan bayi baru lahir di rumah dengan menggunakan buku KIA. 4) Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan. 5. Deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat. Deteksi dini kehamilan dengan faktor risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor risiko dan komplikasi kebidanan. Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal , tetapi tetap mempunyai risiko untuk terjadinya komplikasi. Oleh karenanya deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya faktor risiko dan komplikasi, serta penanganan yang adekuat sedini mungkin, merupakan kunci keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya. 6. Penanganan Komplikasi Kebidanan Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan komplikasi kebidanan untuk mendapat penanganan definitif sesuai standar oleh
tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Diperkirakan sekitar 15-20% ibu hamil akan mengalami komplikasi kebidanan. Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga sebelumnya, oleh karenanya semua persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan agar komplikasi kebidanan dapat segera dideteksi dan ditangani. Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas penanganan komplikasi kebidanan maka diperlukan adanya fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu memberikan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi secara berjenjang mulai dari polindes/poskesdes, puskesmas mampu PONED sampai rumah sakit PONEK 24 jam. Pelayanan medis yang dapat dilakukan di Puskesmas mampu PONED meliputi : a. Pelayanan obstetri : 1) Penanganan perdarahan pada kehamilan, persalinan dan nifas. 2) Pencegahan dan penanganan hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsi dan eklampsi) 3) Pencegahan dan penanganan infeksi. 4) Penanganan partus lama/macet. 5) Penanganan abortus. 6) Stabilisasi komplikasi obstetrik untuk dirujuk dan transportasi rujukan. b. Pelayanan neonatus : 1) Pencegahan dan penanganan asfiksia. 2) Pencegahan dan penanganan hipotermia.
3) Penanganan bayi berat lahir rendah (BBLR). 4) Pencegahan dan penanganan infeksi neonatus, kejang neonatus, ikterus ringan sedang. 5) Pencegahan dan penanganan gangguan minum 6) Stabilisasi komplikasi neonatus untuk dirujuk dan transportasi rujukan. 7. Pelayanan Kesehatan Bayi Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4 kali, selama periode 29 hari sampai dengan 11 bulan setelah lahir. Pelaksanaan pelayanan kesehatan bayi : a. Kunjungan bayi satu kali pada umur 29 hari sampai 2 bulan. b. Kunjungan bayi satu kali pada umur 3 sampai 5 bulan. c. Kunjungan bayi satu kali pada umur 6 sampai 8 bulan. d. Kunjungan bayi satu kali pada umur 9 sampai 11 bulan. Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi sehingga cepat mendapat pertolongan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan stimulasi tumbuh kembang. Dengan demikian hak anak mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi :
a. Pemberian imunisasi dasar lengkap (BCG, Polio 1,2,3,4, DPT/HB1,2,3, Campak) sebelum bayi berusia 1 tahun. b. Stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang bayi. c. Pemberian vitamin A 100.000 IU (6 - 11 bulan). d. Konseling ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI, tanda tanda sakit dan perawatan kesehatan bayi di rumah menggunakan Buku KIA. e. Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan. 8. Pelayanan Kesehatan Anak Balita Lima tahun pertama kehidupan, pertumbuhan mental dan intelektual berkembang pesat. Masa ini merupakan masa keemasan atau golden period dimana terbentuk dasar-dasar kemampuan keindraan, berfikir, berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan awal pertumbuhan moral. Pada masa ini stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan pengembangan otak. Upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia dini menjadi sangat penting agar dapat dikoreksi sedini mungkin dan atau mencegah gangguan ke arah yang lebih berat. Kematian bayi dan balita merupakan salah satu parameter derajat kesejahteraan suatu negara. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita dapat dicegah dengan teknologi sederhana di tingkat pelayanan kesehatan dasar, salah satunya adalah dengan menerapkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di tingkat pelayanan kesehatan dasar.
Pelayanan kesehatan anak balita meliputi pelayanan pada anak balita sakit dan sehat. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sesuai standar yang meliputi : a. Pelayanan pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun yang tercatat dalam Buku KIA/KMS. Pemantauan pertumbuhan adalah pengukuran berat badan anak balita setiap bulan yang tercatat pada Buku KIA/KMS. Bila berat badan tidak naik dalam 2 bulan berturut-turut atau berat badan anak balita di bawah garis merah harus dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan. b. Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) minimal 2 kali dalam setahun. Pelayanan SDIDTK meliputi pemantauan perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa, sosialisasi dan kemandirian minimal 2 kali pertahun (setiap 6 bulan). Pelayanan SDIDTK diberikan di dalam gedung (sarana pelayanan kesehatan) maupun di luar gedung. c. Pemberian Vitamin A dosis tinggi (200.000 IU), 2 kali dalam setahun. d. Kepemilikan dan pemanfaatan buku KIA oleh setiap anak balita e. Pelayanan anak balita sakit sesuai standar dengan menggunakan pendekatan MTBS. 9. Pelayanan KB Berkualitas Pelayanan KB berkualitas adalah pelayanan KB sesuai standar dengan menghormati hak individu dalam merencanakan kehamilan sehingga diharapkan dapat berkontribusi dalam menurunkan angka kematian Ibu dan menurunkan tingkat fertilitas (kesuburan) bagi pasangan yang telah cukup memiliki anak (2 anak lebih
baik) serta meningkatkan fertilitas bagi pasangan yang ingin mempunyai anak. Pelayanan KB bertujuan untuk menunda (merencanakan) kehamilan. Bagi Pasangan Usia Subur yang ingin menjarangkan dan/atau menghentikan kehamilan, dapat menggunakan metode kontrasepsi yang meliputi : a. KB alamiah (sistem kalender, metode amenore laktasi, coitus interuptus). b. Metode KB hormonal (pil, suntik, susuk). c. Metode KB non-hormonal (kondom, AKDR/IUD, vasektomi dan tubektomi). 2.6. Landasan Teori Landasan teori adalah menggunakan teori Herzberg yang melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik, yang merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Faktor-faktor yang termasuk dalam motivasi intrinsik yaitu tanggung jawab, penghargaan, pekerjaan itu sendiri. Motivasi ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang terutama dari organisasi tempat bekerja. Faktor-faktor yang termasuk dalam motivasi ekstrinsik adalah gaji, kebijakan, hubungan kerja, lingkungan kerja, supervise. 2.7. Kerangka Konsep Kerangka konsep dalam penelitian ini mengacu kepada landasan teori yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut ini :
Variabel Independen 1. Motivasi Intrinsik a. Tanggungjawab b. Prestasi yang diraih c. Pengakuan orang lain
2. Motivasi Ekstrinsik a. Imbalan b. Kondisi kerja c. Hubungan kerja
Variabel Dependen Kinerja Bidan dalam KIA : pelayanan antenatal pertolongan persalinan pelayanan nifas pelayanan kesehatan neonatus deteksi dini faktor risiko penanganan komplikasi kebidanan pelayanan neonates dengan komplikasi pelayanan kesehatan bayi pelayanan kesehatan anak balita pelayanan KB
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Pada Gambar 2.1. diatas, dapat kita ketahui bahwa dalam penelitian ini, variabel penelitian di atas terdiri atas variabel independen motivasi intrinsik (Tanggung jawab, prestasi yang diraih, pengakuan orang lain) dan ekstrinsik (Imbalan, Kondisi kerja, hubungan kerja) dan variabel dependen, yaitu kinerja bidan.