15
3. PEMANFAATAN INFORMASI IKLIM UNTUK PENYUSUNAN MODEL PRODUKSI PERTANIAN Berbagai model ramalan produksi tanaman pangan (khususnya padi) telah dikembangkan di Indonesia. Model-model tersebut secara umum dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu model dengan menggunakan indikator iklim dan model tanpa indikator iklim. Pada bab ini akan disajikan model-model ramalan produksi padi yang telah dikembangkan di Indonesia. 3.1 Model ramalan tanpa indikator iklim : Model BPS BPS dan Departemen Pertanian setiap tahun telah melakukan pendataan dan prediksi (ramalan) hasil panen per empat bulan (subround) (BPS 2003). Ramalan disusun menurut propinsi yang dihitung berdasarkan data deret waktu propinsi dan tidak berdasarkan pada penjumlahan ramalan tingkat kabupaten/kota. Produksi per propinsi didapatkan dari hasil perkalian antara luas panen bersih dengan hasil per hektar per satuan luas panen bersih untuk setiap subround. Produksi propinsi per subround didapatkan rumus: Pk = Lk xRk , dimana Pk produksi subround ke-k, Lk luas panen bersih subround ke-k, dan Rk hasil per hektar subround ke-k. Subround merupakan periode perhitungan setiap 4 bulanan, yaitu subround 1 (Januari-April), subround 2 (Mei-Agustus), dan subround 3 (September-Desember). Produksi dan luas panen dalam setahun (JanuariDesember) didapatkan dari penjumlahan produksi dan luas panen selama 3 subround. Hasil per hektar merupakan hasil per hektar dalam bentuk hasil ubinan per satuan luas panen bersih. Untuk melakukan ramalan produksi padi, BPS dan Depateman Pertanian (2003) menggunakan analisis regresi dan kecenderungan linear. Dalam setahun dilakukan angka ramalan (ARAM) sebanyak tiga kali, yaitu pertama bulan Pebruari, kedua bulan Juni, dan ketiga bulan Oktober. ARAM 1 merupakan penjumlahan dari angka ramalan per subround, karena belum tersedia angka realisasi. Ramalan luas panen Januari-April, dengan peubah penjelas luas tanaman akhir bulan Desember tahun sebelumnya. Kemudian luas panen Mei-Agustus diramalkan berdasarkan pada luas tanaman akhir April tahun yang bersangkutan, dimana luas tanaman akhir bulan tersebut diramal
dengan menggunakan
16 kecenderungan linear. Selanjutnya luas panen Mei-Agustus diramal dengan regresi linear. Demikian juga luas panen September – Desember diramal dengan menggunakan regresi linear dengan peubah penjelas luas tanaman akhir Agustus tahun yang bersangkutan, dimana luas tanaman akhir Agustus diramal dengan kecenderungan linear. Hasil per ha Januari-April, Mei-Agustus, dan September – Desember diramalkan dengan menggunakan kecenderungan linear. Ramalan produksi per subround merupakan perkalian masing-masing ramalan luas panen subround dan ramalan hasil per ha-nya. Ramalan kedua (ARAM 2) adalah penjumlahan realisasi produksi JanuariApril dan ramalan produksi subround kedua (Mei-Agustus) dan ketiga (September-Desember). Luas panen Mei-Agustus diramalkan berdasarkan luas tanaman akhir April dengan regresi linear. Luas panen September – Desember diramal menggunakan regresi linear dengan peubah penjelas luas tanaman akhir Agustus, dimana luas tanaman akhir Agustus diramal dengan kecenderungan linear. Hasil per ha Mei-Agustus, dan September – Desember diramalkan dengan menggunakan kecenderungan linear. Ramalan ketiga (ARAM 3) adalah realisasi produksi Januari-April dan Mei-Agustus ditambah ramalan produksi September-Desember. Luas panen September – Desember diramalkan dengan menggunakan regresi linear dan peubah penjelas luas tanaman akhir Agustus. Hasil per ha September – Desember diramalkan dengan menggunakan kecenderungan linear. 3.2 Model ramalan dengan indikator iklim Model dengan indikator ENSO dan DMI Padi sangat terkait dengan ketersediaan air. Padi membutuhkan 600-1200 mm air selama kurun waktu 90-120 hari, mulai tanam hingga panen dan bergantung pada agrosistem dan hujan/irigasi (De Datta 1981, diacu dalam Naylor et al. 2002). Salah satu yang mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia adalah fenomena El Nino-Southern Oscillation (ENSO) di lautan Pasifik (Boer and Faqih 2005; Aldrian and Susanto 2003; Hendon 2003; McBride et al. 2003; Haylock and McBride 2001). Satu indikasi hubungan antara curah hujan dan suhu muka laut (sea surface temperature: SST) ditunjukkan korelasi yang nyata, terutama
17 SST Nino 3.4 (Allan 2000, diacu dalam Arrigo dan Wilson 2008). Hendon (2003) menyatakan bahwa keragaman SST Nino 3.4 mempengaruhi 50% keragaman curah hujan di seluruh Indonesia. Selain ENSO di Samudera Pasifik, terdapat juga fenomena interaksi lautan-atmosfer lainnya yang diduga menyebabkan keragaman hujan di Indonesia. Yaitu kejadian dipol yang terjadi di Samudera Hindia yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole Mode (IODM) (Saji et al. 1999). IODM merupakan mode dari variabilitas iklim antar tahun yang menghasilkan anomali angin, suhu muka laut dan curah hujan di seluruh wilayah Samudera Hindia yang membawa kekeringan di Indonesia dan Australia dan juga banjir di Afrika bagian timur (Saji 2000, diacu dalam Surmaini 2006). Ciri terjadinya peristiwa IOD positif yang menyebabkan kekeringan di sebagian wilayah Indonesia ialah dengan mendinginnya suhu muka laut (SML) dekat Sumatera serta menghangatnya SML di bagian barat Samudera Hindia. Intensitas IODM direpresentasikan oleh nilai Dipole Mode Index (DMI) yang merupakan gradien anomali SML antara bagian barat Samudera Hindia Ekuator (50°-70°BT, 10°LU-10°LS) dan bagian tenggara Samudera Hindia Ekuator (90°-110°BT, 0°-10°LS). Adanya keterkaitan antara keragaman curah hujan dan fenomena ENSO di lautan Pasifik, DMI di lautan Hindia, maka dikembangkan model ramalan produksi padi dengan menggunakan kedua peubah iklim tersebut. Beberapa model tanaman pangan (terutama padi) dengan menggunakan peubah penjelas SST Nino 3.4 (diantaranya: Boer 2000; Naylor et al. 2001, 2002, 2007; Falcon et al. 2004), SOI dan DMI (Boer et al. 2004), SST Nino 3.4 dan DMI (Surmaini 2006; Arrigo dan Wilson 2008). Model dengan indikator indeks kekeringan Arrigo dan Wilson (2008) mengembangkan model ramalan padi dengan menggunakan indeks kekeringan Palmer bulanan (Palmer drought severity index; PDSI). PDSI merupakan gabungan dari suhu permukaan dan curah hujan. PDSI diduga dengan menggunakan DMI dan SST Nino 3.4. Kemudian nilai PDSI digunakan untuk menduga luas panen dengan regresi linear. Hasil verifikasi model luas panen (ha) padi per tahun di pulau Jawa ini relatif baik, yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.67. Peubah penjelas yang
18 digunakan dalam model luas panen tersebut adalah PDSI musiman ( SeptemberDesember). Sementara PDSI musiman tersebut diduga dengan SST Nino 3.4 dan DMI bulan Agustus. Model ini cukup menjanjikan karena sederhana dan mudah diterapkan, namun untuk menduga wilayah kabupaten/propinsi maka membutuhkan modifikasi model terutama dalam memodelkan peubah penjelas PDSI. Model dengan indikator curah hujan Pendekatan lain yang diperkirakan lebih baik dalam menduga produksi padi nasional ialah dengan menggunakan indeks hujan terboboti (weighted rainfall index: WRI) yang dikembangkan di Australia oleh Stephen et al. (1994). Indeks ini dapat menduga produksi gandum lebih baik dari perkiraan produksi yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah Australia.
Indeks disusun
berdasarkan data hujan bulanan yang diberi bobot. Nilai bobot yang digunakan untuk masing-masing bulan berbeda bergantung pada siklus pertumbuhan tanaman. Bulan dimana fase pembungaan (fase yang sensitif terhadap kekurangan air) umumnya berlangsung akan memiliki bobot yang tinggi karena besar kecilnya hujan pada bulan ini sangat berpengaruh besar terhadap keragaman produksi gandum. Modifikasi indeks hujan terboboti (Stephen et al. 1994) dinyatakan: 12 ⎛ n ⎞ WRI = ∑ ⎜ ∑ Rm * Wm * Wd ⎟ / N , Rm curah hujan wilayah bulan ke-m, Wm nilai m =1 ⎝ d =1 ⎠
pembobot bulan ke-m, Wd nilai pembobot wilayah ke-d yaitu persentase sumbangan wilayah ke-d terhadap produksi padi, N jumlah nilai pembobot wilayah. Keragaman produksi padi terutama ditentukan oleh luas penanaman padi pada musim gadu (MKI a ), yaitu penanaman padi yang memanfaatkan sisa air pada akhir musim hujan. Pada banyak kasus, padi yang terkena kekeringan dan puso pada waktu terjadi El-Nino, ialah padi yang ditanam pada musim gadu karena hujan yang diharapkan masih cukup tinggi pada akhir musim hujan tidak terjadi. Dengan demikian pada kondisi ini bulan-bulan pada MKI akan memiliki bobot yang tinggi. a
Untuk wilayah bertipe hujan moonson, musim hujan (MH) ialah Desember-Maret, MKI: AprilJuli dan MKII: Agustus-November.
4. PENENTUAN DOMAIN (GRID) GCM UNTUK PEMODELAN STATISTICAL DOWNSCALING 4.1 Pendahuluan Penentuan domain GCM merupakan salah satu bagian penting dalam pemodelan SD. Berbagai penelitian telah dilakukan khusus untuk menentukan luasan (jumlah grid) dan lokasi grid GCM. Seperti Cavazos dan Hewitson (2002); Maini dan Kumar (2005) menggunakan 9 grid (3x3 lintang-bujur) di sekitar lokasi stasiun (lokasi stasiun berada ditengah-tengah). Wigena (2006) menyimpulkan bahwa 64 grid (8x8 lintang-bujur) di sekitar lokasi stasiun menghasilkan dugaan yang lebih baik daripada menggunakan grid bujusangkar 10x10, 12x12, 14x14, dan 16x16. Sementara itu Haryoko (2004) menggunakan luasan grid 11x 23 (lintang-bujur). GCM yang digunakan berbeda-beda dengan resolusi lintang dan bujur yang berbeda pula, Wigena (2006) menggunakan GCM ECHAM dengan resolusi 2.80x2.80, sedangkan Haryoko (2004) menggunakan GCM NCEPreanalysis dengan resolusi 2.50x2.50. Banyaknya penelitian dengan menggunakan GCM yang berbeda, luas dan domain yang berbeda dan beragam metode statistik, seringkali menyulitkan dalam menentukan domain yang akan dipilih. Berbagai permasalahan muncul dalam penentuan domain, salah satunya adalah apakah penggunaan luasan grid yang sama pada GCM berbeda akan menghasilkan tingkat ketepatan ramalan/prediksi yang sama (konsisten). Demikian juga lokasi penelitian yang berbeda, apakah luasan dan lokasi grid yang sama memberikan ketepatan yang sama pula. Terlalu sempit luasan grid/domain yang digunakan mengurangi informasi pengaruh global/regional. Sebaliknya, luasan grid terlalu luas menyebabkan informasi lokal akan berkurang. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka perlu diteliti penentuan domain untuk pemodelan SD. Terbatasnya penelitian pemodelan SD khususnya di Indonesia, maka perlu dikaji tentang penentuan domain dengan menggunakan GCM yang berbeda. Dalam penelitian ini bertujuan menentukan domain (luasan grid) GCM CSIRO-Mk3 yang menghasilkan kinerja model yang baik untuk pemodelan SD.
20 4.2 Bahan dan Metode Bahan Data yang digunakan adalah peubah-peubah luaran CSIRO Mk3 dengan resolusi lintang-bujur 1.8650 x 1.8750. Peubah luaran CSIRO Mk3 yang digunakan meliputi: precipitable water (prw), tekanan permukaan laut (slp), komponen angin meridional (va), komponen zonal (ua), ketinggian geopotensial (zg), dan kelembaban spesifik (hus). Ketinggian (level) yang digunakan dalam penelitian adalah 850 hPa, 500 hPa, dan 200 hPa (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Peubah penjelas yang di ambil dari model luaran CSIRO-Mk3 dan pengkodingan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Peubah Precipitable water Tekanan permukaan laut Komponen angin meridional Komponen angin zonal Ketinggian geopotensial Kelembaban spesifik
Satuan
Ketinggian/level 850 hPa 500 hPa -
Kg m Pa
Permukaan prw slp
m s-1
vas
va850
va500
va200
m s-1
uas
ua850
ua500
ua200
m
-
zg850
zg500
zg200
ltr
huss
hus850
hus500
hus200
-2
200 hPa -
Data curah hujan bulanan meliputi stasiun: Losarang (6.410 LS, 108.150 BT), Indramayu (6.350 LS, 108.320 BT), Tulangkacang (6.360 LS, 107.010 BT ), Sumurwatu (6.520 LS, 108.100 BT), dan Yuntinyuat (6.430 LS, 108.440 BT). Data diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dengan periode 19672000.
Metode Analisis Langkah awal dalam pengolahan data adalah mengkonversi format data GCM netCDF ke format text (ASCII). Selanjutnya pada masing-masing peubah GCM dilakukan cropping grid dengan luasan 3x3, 8x8, dan 12x12. Lokasi grid yang diambil adalah ditengah-tengah lokasi penelitian, yaitu koodinat grid 3x3 : 4.660 LS- 8.390 LS, 106.870 BT– 110.640 BT; grid 8x8: 0.930-13.990 LS, 101.120
21 BT - 114.380 BT; dan grid 12x12: 2.790 LU-17.720 LS, 97.500 BT – 118.1250 BT (Gambar 4.1). Proses mengkonversi format data GCM netCDF ke format text (ASCII) dan cropping grid GCM menggunakan piranti lunak Matlab 6.5 yang selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.
(A) Lokasi penelitian (stasiun)
(B)
(C)
Gambar 4.1. Penentuan domain grid; 3x3 (A), 8x8 (B), dan 12x12 (C). Langkah berikutnya adalah mendapatkan nilai (besaran) dari masingmasing peubah GCM yang mewakili setiap luasan grid. Terdapat 17 peubah penjelas GCM yang saling berkorelasi. Demikian juga antar grid pada masingmasing peubah, memungkinkan adanya korelasi. Adanya korelasi antar peubah penjelas akan mengakibatkan kasus multikolinearitas pada proses pemodelan, terutama model regresi (SD). Untuk itu dilakukan reduksi dimensi secara serentak peubah GCM dan jumlah grid dengan menggunakan komponen utama. Reduksi dimensi dilakukan menurut ketinggian (level), yaitu permukaan, 850 hPa, 500 hPa, dan 200 hPa. Pada setiap hasil reduksi (per level) diambil satu atau lebih komponen utama dengan keragaman lebih dari 90%. Berdasarkan analisis komponen utama diperoleh 4 - 5 komponen utama. Selanjutnya, untuk menduga fungsi hubungan antara peubah penjelas (peubah GCM) dan peubah respon digunakan regresi splines adaptif berganda (RSAB). Untuk melihat keterandalan pemilihan domain digunakan: (1) root mean square error prediction (RMSEP), yang dirumuskan: RMSEP =
Np
∑ (y i =1
i
2 − yˆ i ) / N p ,
22 yi adalah nilai observasi, yˆ i adalah nilai dugaan, Np banyaknya data bebas yang digunakan untuk validasi model, (2) mean absolut error prediction (MAEP), Np
yang dirumuskan: MAEP = ∑ yi − yˆ i / N p , dan (3) korelasi (r) antara data obseri =1
vasi dan data hasil dugaan. Data yang digunakan untuk validasi model adalah data bebas sepanjang 12 bulan terakhir (periode 1999-2000). Diagram alir metode analisis data selengkapnya disajikan pada Gambar 4.2.
Data GCM: Ukuran grid: 3x3; 8x8;12x12 Ketinggian: permukaan, 850 hPa, 500 hPa, dan 200 hPa Peubah: prw, hus, ua, va, zg, dan slp
Untuk setiap ukuran grid: Dilakukan reduksi dimensi secara serentak grid dan peubah GCM menurut ketinggian (level) dengan menggunakan komponen utama Untuk setiap ukuran grid: Mengambil satu atau lebih komponen utama yang representasi di setiap level (ketinggian) : PCL11, PCL12, …, PCL41, PCL42 PCL11: komponen utama pertama level 1
Data Curah hujan
Untuk setiap ukuran grid: Y = f (PCL11, PCL12, …, PCL41, PCL42) Metode RSAB
Hitung RMSEP, MAEP, dan korelasi pada masing-masing ukuran grid
Ukuran grid yang dipakai
Pilih ukuran grid yang mempunyai nilai RMSEP dan MAEP kecil, serta korelasi yang tinggi antara nilai observasi dan hasil dugaan
Gambar 4.2. Diagram alir untuk menentukan luasan grid/domain.
23 4.3 Hasil dan Pembahasan Terdapat lokasi dengan nilai RMSEP antar grid yang tidak mencolok perbedaannya. Seperti Stasiun Sumurwatu nilai RMSEP grid 3x3, 8x8, dan 12x12 masing-masing secara berurutan 102.82, 85.16, dan 96.32 dengan nilai MAEP adalah 78.09, 70.98, dan 74.26, serta nilai korelasi 0.71, 0.85, dan 0.76. Terdapat juga stasiun yang semakin luas grid semakin kecil nilai RMSEP dan sebaliknya. Stasiun Tulangkacang dan Losarang memiliki nilai RMSEP dan MAEP yang semakin besar seiring dengan penambahan luasan grid. Stasiun Tulangkacang mempunyai RMSEP, MAEP dan korelasi, masing-masing grid 3x3 (RMSEP= 96.61, MAEP=55.21, r=0.65), grid 8x8 (RMSEP=130.57, MAEP= 85.34, r=0.35), dan grid 12x12 (RMSEP=201.51, MAEP=124.34, r=0.74). Berbeda dengan Stasiun Indramayu dan Yuntinyuat, semakin luas gridnya semakin kecil nilai RMSEP dan MAEP-nya (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Nilai RMSEP, korelasi validasi model menurut luasan grid dan stasiun Stasiun Losarang
Sumurwatu
Indramayu
Tulangkacang
Yuntinyuat
Ukuran grid 3x3 8x8 12x12 3x3 8x8 12x12 3x3 8x8 12x12 3x3 8x8 12x12 3x3 8x8 12x12
Hasil tersebut di atas
RMSEP 111.79 120.78 179.36 102.82 85.16 96.32 269.88 265.53 167.52 96.61 130.57 201.51 214.49 110.31 103.43
MAEP 84.14 87.76 110.41 78.09 70.98 74.26 167.68 148.46 120.30 55.21 85.34 124.34 146.86 98.18 83.56
r 0.20 0.40 0.20 0.71 0.85 0.76 -0.09 0.31 0.42 0.65 0.35 0.74 0.80 0.48 0.61
menunjukkan bahwa tidak terdapat konsistensi
luasan grid terhadap besarnya nilai RMSEP, MAEP, dan korelasi.
Artinya
semakin luas grid tidak menjamin meningkatkan ketepatan dan sebaliknya. Besarnya tingkat ketepatan model bergantung pada lokasi stasiun penelitian. Untuk lokasi stasiun yang berdekatan dengan pantai/laut (Indramayu dan
24 Yuntinyuat), semakin luas domain gridnya cenderung semakin baik hasil dugaan modelnya. Sebaliknya stasiun yang agak jauh dari laut (Tulangkacang dan Losarang), semakin luasan gridnya, cenderung tidak memuaskan hasil dugaan modelnya. Khusus untuk stasiun yang mempunyai topografi yang tidak rata (Sumurwatu), luasan gridnya cenderung tidak bisa dibedakan tingkat keandalan validasi modelnya. Adanya perbedaan kinerja (skill) model antar lokasi terhadap luasan grid, diduga karena pengaruh yang nyata adanya laut . Untuk stasiun dekat laut (pantai), peubah klimatologi mempunyai sifat (property) yang homogen, terutama pada grid 12x12. Sementara untuk lokasi yang agak jauh dengan laut, topografi mulai berpengaruh, sehingga sifat peubah klimatologinya mulai tidak homogen. Seperti halnya proses termodinamik pembentukan awan dan curah hujan pada setiap lokasi stasiun terdapat perbedaan. Lokasi stasiun yang agak jauh dengan laut pengaruh topografi (lokal) mulai terasa, sehingga proses hujan konveksinya lebih sempit daripada stasiun di dekat laut/pantai dengan kondisi datar (flat). Wetterhall (2005) menyatakan bahwa luasan grid yang optimum tidak bergantung pada musim, tetapi lebih pada lokasi stasiun. Secara umum, grid 8x8 dan 12x12 mempunyai kinerja yang tidak berbeda. Nilai RMSEP dan MAEP terkecil terdapat pada luasan grid 8x8. Demikian juga
nilai RMSEP terbesar terdapat pada grid 8x8. Nilai rataan
RMSEP dan MAEP terkecil adalah grid 8x8, kemudian sedikit lebih besar pada grid 12x12. Meskipun rataan RMSEP grid 8x8 tidak berbeda mencolok dari grid 12x12, namun simpangan bakunya jauh lebih besar. Berbeda dengan grid 3x3 mempunyai rataan RMSEP terbesar dan nilai simpangan baku 48.24 (Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Nilai minimum, maksimum, rataan, dan simpangan baku RMSEP, MAEP, dan korelasi validasi model masing-masing grid Ukuran statistik Minimum Maksimum Rataan Simpangan baku
Grid 3x3 RMSEP MAEP 96.61 55.21 265.53 167.68 158.25 106.40 76.98
48.24
Grid 8x8 r RMSEP MAEP 0.20 85.16 70.98 0.80 269.88 148.46 0.53 143.34 98.15 0.26
72.73
29.76
Grid 12x12 r RMSEP MAEP r -0.09 96.32 74.26 0.20 0.85 201.51 124.34 0.76 0.40 149.63 102.58 0.54 0.34
47.10
2.43
0.24
25 Gambar 4.3 menunjukkan bahwa grid 12x12 mempunyai simpangan baku dan rataan RMSEP dan MAEP kecil dan berpontensi menghasilkan nilai ramalan terbaik. Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh laut agak susah dihindarkan di semua lokasi stasiun. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Wigena (2006). Meskipun luasan grid GCM ECHAM yang optimum grid 8x8, namun luasan grid ini ekuivalen dengan grid 12x12 GCM CSIRO-Mk3. Karena resolusi ECHAM (2.80x2.80) lebih besar daripada CSIRO-Mk3 (1.80 x 1.80). Sehingga luas grid 12x12 untuk GCM CSIRO-Mk3 adalah 2.790 LU-17.720 LS, 97.500 BT– 118.1250 BT, sementara GCM ECHAM grid 8x8 adalah 1.910 LU – 17.780 LS, 97.590 BT– 117.120 BT.
RMSEP
MAEP
1.00
r
250.00
0.80
200.00
0.60
150.00
0.40
100.00
0.20
50.00
0.00
3x3
8x8
Yuntinyuat
Tulangkacang
Indramayu
Sumurwatu
Losarang
Yuntinyuat
Tulangkacang
Indramayu
Sumurwatu
Losarang
Yuntinyuat
Tulangkacang
Indramayu
Sumurwatu
-0.20 Losarang
0.00
Korelasi
RMSEP
300.00
12x12
Gambar 4.3. Nilai RMSEP, MAEP, dan korelasi validasi model menurut stasiun dan luasan grid. 4.4 Simpulan 1. Luasan grid yang menghasilkan kinerja model yang baik bergantung pada lokasi stasiun. Untuk lokasi stasiun di dekat laut, grid 12x12 cenderung baik hasil dugaannya, sebaliknya untuk lokasi yang semakin jauh dari laut, dengan topografi datar (flat), grid 12x12 kurang memuaskan hasil ketepatan model dugaannya.
26 2. Tidak terdapat perbedaan yang mencolok hasil ketepatan model antara grid 8x8 dan grid 12x12, yaitu mempunyai rataan nilai RMSEP dan MAEP yang yang hampir sama. Namun simpangan baku grid 12x12 lebih kecil, sehingga berpotensi menghasilkan ramalan yang baik.