@Surat Pembaca Permohonan Kepada Tim Riset Pusham UII
Kasus Maulana Sampai dimana?
Untuk Tim Riset Pusham UII, mohon untuk melakukan penelitian terkait bagaimana penanganan pemerintah daerah (Satpol PP), terhadap gepeng, anak jalanan, waria dan lainnya. Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat informasi. Meskipun kebenaran informasi tersebut memang masih harus dibuktikan dengan penelitian. Informasi yang sebenarnya cukup mengejutkan. Pembinaan yang dilakukan masih saja menggunakan cara-cara kekerasan. Dalam kasus penanganan terhadap PSK & waria, kerap dijumpai tindakan pelecehan.
Mohon diulas secara lengkap terkait kasus tewasnya Maulana Rusadi. Sampai hari ini masyarakat luas tidak mengetahui sampai dimana perkembangan kasus tersebut. Jangan sampai terjadi kasus “Udin” lagi. Jika terbukti telah terjadi penganiayaan oleh oknum kepolisian atas meninggalnya Maulana, para pelaku harus dihukum seberat-beratnya. Masyarakat menuntut polisi untuk terbuka menyelesaikan kasus ini.
Perlu kiranya untuk ditelaah lebih dalam. Bagaimana penanganan terhadap kelompok masyarakat yang kerap di pandang sebelah mata ini? Kalau memang masih ada praktek-praktek kekerasan di lapangan, tentu hal ini harus segera dihentikan. Hasil dari penelitian nantinya bisa direkomendasikan kepada pemerintah daerah untuk menyusun prosedur penanganan terhadap kelompok marginal ini. Tujuannya agar penanganan dapat dilakukan dengan lebih manusiawi. Syamsudin, Jalan Kaliurang, Sleman.
Daftar Isi 2 EDITORIAL
Beda Itu Fitrah dan Bukan Masalah
4 LAPORAN UTAMA
Kota Ramah Ahmadiyah
8 LAPORAN UTAMA Bukit Para Penghayat
12 LAPORAN UTAMA
Dusun di bukit Toleransi
19 LAPORAN UTAMA
Konsep Syiah Versi Indonesia
25 WAWANCARA
Urip Bahagia, "Fanatisme Dangkal Menjadi Penyebab Menipisnya Toleransi"
28 TOKOH
Sajid Ahmad Sutikno, "Peci Orang Ahmadiyah, Sama Dengan Peci Orang NU"
31 TAGAR
Kicauan untuk Sang Garuda
33 RESENSI
Konstruksi Demokrasi Deliberatif dan Semangat Emansipasi
36 PERSPEKTIF
Konstitusionalitas Kebebasan Beragama dan Kecenderungan Masyarakat Terbuka
Diky Hartadi, Kadipiro, Sleman.
Editorial
BEDA ITU FITRAH
DAN BUKAN MASALAH Oleh: Puguh Windrawan
M
engumpulkan orang untuk bisa duduk bersama itu bukan persoalan sepele. Apalagi bila dalam benak mereka mempunyai persepsi berbeda-beda soal agama. Lazimnya persepsi yang berbeda, bisa jadi akan menimbulkan persoalan yang tak selesai. Adu argumen, saling menyalahkan dan merasa dirinya yang paling benar dan paling berhak masuk surga. Inilah kesalahan manusia yang tak pernah berhenti sedari zaman purba. Mengeliminasi hak Tuhan untuk menentukan siapa saja yang bisa masuk surga. Padahal manusia sama sekali bukan Tuhan. Tapi anggapan miring itu ternyata salah kaprah. Setidaknya ini yang terjadi di sebuah kota kecil nan dingin, Wonosobo, Jawa Tengah. Dibantu oleh seorang kawan di sana, komunikasi mudah terjalin diantara mereka yang berbeda persepsi soal agama. Bayangkan, satu meja besar diisi mereka yang Syiah, Ahmadiyah, bahkan Aboge. Apakah ada gontok-gontokan? Sama sekali tidak! Hanya ada suasana guyonan dan saling menghormati satu sama lain. Perbedaan itu biasa. Bukan untuk dimasalahkan. Banyak orang dengan banyak otak, tentu saja ada beragam cara dan persepsi. Apalagi soal agama yang sudah sejak turun temurun berkelindan dengan budaya setempat. Tuhan lebih bijak menjadikan manusia saling berbeda daripada menjadikannya satu. Saling belajar satu sama lain, dan ternyata suasana itulah yang bisa kita dapatkan di Wonosobo.
2
PRANALA { Maret - April 2015 }
Saat kemudian kita berkumpul di satu meja dengan mereka; ada Syiah, Ahmadiyah, dan Aboge, maka kita semua adalah saudara. Sama-sama manusia yang membutuhkan rasa aman dan membutuhkan kebebasan untuk beribadah. Dari balik itu semua, bahwa kebenaran yang mereka dapatkan dengan memegang teguh keyakinan masing-masing adalah masalah pribadi. Kebenaran yang terbawa berasal dari proses pencarian, dan proses itu melalui jalan yang berbeda antara satu orang dengan orang lain. Wonosobo adalah salah satu contoh dimana mereka yang memeluk agama minoritas mendapatkan kebahagiannya. Bebas beribadah tanpa ada rasa takut. Bebas mengelola keimanannya sesuai dengan apa yang diyakini. Anehnya, semua ini justru ditemukan di kota kecil dan bukan di kota besar yang dipenuhi oleh banyak orang pintar. Sebuah keanehan yang justru membuat kita harus berpikir ulang; mengapa banyak kota besar justru tidak ramah kepada mereka yang minoritas? Wonosobo memang menjadi contoh dimana orang bisa saling hormat atas keyakinan masing-masing. Ini bukan barang baru, karena situasi ini disinyalir sudah muncul sejak jaman dulu di kota itu. Hanya saja, yang namanya mempertahankan prestasi –jika kebebasan beragama di wonosobo disebut sebagai prestasi- lebih susah daripada membuatnya. Ada pekerjaan rumah yang begitu besar bagi kota yang kecil ini. Mereka harus membuktikan jika sebuah kota kecil adalah rumah yang nyaman bagi semua orang. Termasuk bagi mereka; Syiah, Ahmadiyah, dan Aboge.
Pranala
"Selamat Menunaikan Ibadah Puasa, Ramadhan 1436H" ―Tim Majalah Pranala
Diterbitkan Oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penaggung Jawab: Eko Riyadi | Pemimpin Redaksi: Puguh Windrawan | Reporter: Kamil Alfi Arifin, Kelik Sugiarto, Prayudha Maghriby | Kontributor: Noveri Faikar Urfan, Susanto Polamolo | Fotografer: Gibbran Prathisara | Layout: Arief Mizuary Alamat Redaksi/Tata Usaha: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No.517 A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198 | Telpon: 0274-452032 | Fax: 0274-452158 | Website: www.pusham. uii.ac.id Email:
[email protected]
PRANALA { Maret - April 2015 }
3
Laporan Utama
KOTA RAMAH AHMADIYAH Oleh: Kamil Alfi Arifin
Di tempat-tempat lain, warga Ahmadiyah dianggap sesat, disakiti bahkan diusir dengan cara-cara tak beradab. Di Wonosobo berbeda. Warga Ahmadiyah dan kelompokkelompok minoritas yang lain justru sangat dilindungi dan dirangkul erat.
P
agi hari. Pukul setengah delapan lewat sepuluh menit. Ahmad Sutikno tampak sedang menyapu teras rumahnya yang berada tepat di pinggir jalan, tidak jauh dari pom bensin Ngasinan, Wonosobo. Sementara istrinya, menyiapkan perlengkapan anak-anaknya yang hendak berangkat ke sekolah. Saat melihat kedatangan saya, yang malam sebelumnya memang sudah membuat janji untuk bertemu, Sutikno kemudian bergegas menyudahi aktivitasnya, lalu mempersilahkan saya untuk masuk ke dalam ruang tamunya. “Maaf, baru beres-beres,” ujar Sutikno dengan senyumnya yang ramah. Di ruang tamunya tak ada kursi. Hanya karpet yang terhampar. Terdapat rak lemari kecil tempat menyimpan sebagian buku-buku koleksinya. Buku-bukunya tidak hanya tertata rapi, tapi juga beragam. Di antara buku-bukunya yang beragam itu, terlihat satu buku tentang fiqh warga Nahdlatul Ulama (NU) berwarna hijau dan cukup tebal berjudul “Solusi Hukum Islam: Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (2006-2004 M)”.
4
PRANALA { Maret - April 2015 }
» Sis Ahmad Afandi, seorang sesepuh Ahmadiyah Qadian Wonosobo, tengah membaca catatan terkait ajaran Ahmadiyah
Tak aneh Sutikno menyimpan buku-buku orang NU. Sutikno memang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga besar nahdliyyin di Jombang, Jawa Timur. Meski tidak pernah merasakan mondok di pesantren, tapi dia belajar mengaji kepada banyak kiai NU dan menjadi santri kalong. Hanya saja, Sutikno mengaku, karena ingin tahunya yang besar, dia banyak mencari, mengalami pergulatan yang cukup serius, dan kemudian menghentikan proses pencarian dan pergulatannya yang panjang tersebut dengan melabuhkan diri di Ahmadiyah. Dia menjadi seorang Ahmadi, sebutan untuk orang Ahmadiyah. Lebih
tepatnya di Ahmadiyah Qadian. Pada tahun 1999, Sutikno dibaiat. “Karena saya meyakini,” ujarnya. Meski menempuh jalan yang berbeda, Sutikno masih tetap menjaga hubungan baik dengan orang tuanya yang NU. “Di keluarga akur-akur saja. Saya kadang mimpin tahlilan meskipun bukan tradisi dalam Ahmadiyah,” terangnya. Latar belakang keluarganya yang berbeda, membuat Sutikno agak lentur dalam berdakwah setelah menjadi mubalig Ahmadiyah dan ditugaskan di Wonosobo. Apalagi karakter Wonosobo, kata Sutikno, sejak awal
PRANALA { Maret - April 2015 }
5
Laporan Utama memang sudah terbuka dan toleran. Sejarah menunjukkan Ahmadiyah sudah masuk dan warga Ahmadiyah bisa hidup rukun dengan masyarakat di Wonosobo, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. “Masyarakat Wonosobo menganut ajaran nenek moyangnya, tepo seliro,” papar Sutikno. *** Di ruang tamu itu, Sutikno tidak sendirian mewakili warga Ahmadiyah di Wonosobo. Dia ditemani Kyai Sis Ahmad Afandi, seorang sesepuh Ahmadiyah Qadian di Wonosobo yang tidak hanya mengerti, tetapi juga pernah merasakan langsung bagaimana denyut nadi kehidupan Ahmadiyah di Wonosobo sejak zaman dulu kala. Sutikno dan Sis kemudian bergantian menceritakan kehidupan Ahmadiyah kepada saya. Menurut keterangan keduanya, Ahmadiyah masuk pertama kali di Wonosobo pada tahun 1920-an. Pelopornya Ahmadiyah Lahore. Di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). KH Sabitun merupakan salah satu tokoh utamanya. Ahmadiyah Lahore ini masuk dan berkembang di Wonosobo melalui pintu pendidikan madrasah. Sementara, Ahmadiyah Qadian, yang di Indonesia dikenal dengan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), lebih belakangan masuk ke Wonosobo. Ahmadiyah Qadian
MESKI AHMADIYAH LAHORE DAN AHMADIYAH QADIAN BERBEDA, TAPI DI WONOSOBO, KEDUANYA HIDUP BERDAMPINGAN.
6
PRANALA { Maret - April 2015 }
baru masuk ke Wonosobo pada tahun sekitar 80-an. Dibawa oleh seorang keturunan asli Ahmadiyah dari Jawa Barat bernama Sukindar yang berdagang ke Wonosobo dan seorang mubaligh bernama Suripto. Suripto dan Sukindar belajar Ahmadiyah langsung di Bogor, yang dikenal pusatnya Ahmadiyah di Indonesia. Meski Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian berbeda, tapi di Wonosobo, keduanya hidup berdampingan. Bahkan, banyak warga Ahmadiyah Lahore yang kini bergabung dengan Ahmadiyah Qadian. Di Wonosobo, jumlah jemaat Ahmadiyah Lahore memang lebih banyak dibandingkan dengan jemaat Ahmadiyah Qadian. Akan tetapi, secara kepemimpinan, Ahmadiyah Qadian dianggap lebih maju karena lebih terorganisir. “Kalau kita hadir di publik, kita ya satu. Enggak pernah bilang dua,” kata Sutikno, diiyakan oleh anggukan Kyai Sis yang berada tepat di hadapannya. Menurut Kyai Sis, pernah ada masa di Wonosobo, di mana Ahmadiyah, terutama Ahmadiyah Lahore, menjadi negatif di mata masyarakat. Tetapi Ahmadiyah dianggap negatif oleh masyarakat Wonosobo bukan karena faktor ajarannya, seperti yang terjadi sekarang ini. Melainkan, karena KH Sabitun, dulu pernah masuk ke Partai Komunis Indonesia (PKI), yang kerap diidentikkan dengan orang-orang ateis. “Bukan karena ajarannya,” tegas Kyai Sis. Hal tersebut dibenarkan oleh Sutikno. Menurutnya, masuknya KH Sabitun ke PKI, itu semata-mata pilihan strategi taktik perjuangan. Waktu itu, KH Sabitun melihat, partai-partai Islam tidak memiliki sikap pembelaan yang tegas terhadap orang-orang miskin. “Mungkin Pak Sabitun ingin memperjuangkan Islam dekat dengan PKI,” terang Sutikno. Akan tetapi, lanjut Sutikno, pandangan masyarakat yang negatif terhadap Ahmadiyah lantaran karena KH Sabitun masuk PKI itu, sudah hilang dalam pandangan dan ingatan masyarakat di Wonosobo. Ditelan waktu dan zaman yang telah berubah. *** Sekarang, pandangan negatif masyarakat terhadap Ahmadiyah lebih banyak disebabkan oleh pemberitaan media-media. Penyesatan dan pengusiran warga
» Ahmad Sutikno bersama Ahmad Afandi dan ketiga orang anaknya
» Pemimpin Internasional Jamaat Ahmadiyah, Hadharat Mirza Masroor Ahmad, bersama dengan Bupati Wonosobo, Kholiq Arif
Ahmadiyah menjadi hal yang sering diangkat. Sutikno menceritakan, di Watumalang, salah satu kecamatan di Wonosobo yang paling banyak warga Ahmadiyahnya, selain di kecamatan-kecamatan lain, seperti di Selomerto, Mojotengah, Wadaslintang, pada akhir tahun 90-an dan tahun 2000-an, sempat terjadi kekerasan terhadap warga Ahmadiyah. Ini dikarenakan imbas pemberitaan media terhadap Ahmadiyah. “Tahun 1993, di Jawaran, Watumalang, terjadi gangguan dari masyarakat karena pemberitaan media. Warga pakai spanduk, melarang pengajian, bahkan melakukan perusakan masjid. Ini sebelum Pak Khaliq menjadi bupati,” ujar Sutikno. Meski sebenarnya, kata Sutikno, tindakan anarkis tersebut disebabkan karena persoalan tanah. Sejumlah warga kemudian menghasut warga yang lainnya dengan mengatakan Ahmadiyah sesat, persis seperti yang mereka lihat di media. Beberapa tahun sesudahnya, sekitar tahun 2000-an juga sempat terjadi pemasangan
spanduk pengajian sesat, saat warga Ahmadiyah hendak mengadakan pengajian. Tapi, pemasangan spanduk itu tidak menimbulkan gesekan yang besar, karena warga Ahmadiyah tetap melakukan pengajian yang sudah diagendakan. Saat di daerah-daerah lain, gelombang penyesatan terhadap warga Ahmadiyah semakin kencang dilakukan, warga Ahmadiyah di Wonosobo saat ini merasa cukup beruntung dan sangat bersyukur memiliki Khaliq Arif, seorang bupati yang dianggap memiliki sikap yang tegas terhadap keberagaman dan merawatnya dengan penuh perlindungan di Wonosobo. “Pak Khaliq itu pandai mengelola potensi lokal,” puji Sutikno. Potensi lokal yang dimaksud Sutikno adalah potensi keberagaman yang sejak dulu memang dimiliki oleh Wonosobo. Dalam mengelola keberagaman di daerahnya, Khaliq, kata Sutikno, sering mengadakan pertemuan lintas agama dengan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) untuk mendengarkan persoalan-persoalan mereka. Bupati sangat mengakui eksistensi kelompokkelompok minoritas. “Beliau begitu memperhatikan, berani di depan. Kita merasa ‘diewongke’ (dimanusiakan-red),” tambah Sutikno. Bahkan, pernah suatu ketika, Sutikno sangat terharu mendengar pernyataan bupati yang begitu menghargai Ahmadiyah di Wonosobo. “Ahmadiyah bagian dari Islam. Meskipun di tempat lain dianggap bukan Islam. Mereka warga saya, mereka bisa hidup wajar di Wonosobo,” ujar Sutikno, menirukan pernyataan sang bupati saat itu. Dalam rangka memelihara keberagamaan di Wonosobo ke depan, saat ini Khaliq Arif sebagai bupati, juga sedang merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Ramah HAM. Terdapat satu pasal yang menegaskan soal jaminan terhadap kelompok-kelompok minoritas, termasuk Ahmadiyah. Perda ini berorientasi untuk membangun keharmonisan dan keadilan di Wonosobo. Perda yang dirumuskan dengan melibatkan semua elemen di Wonosobo tersebut, saat ini tinggal menunggu ketok palu dan disahkan.
PRANALA { Maret - April 2015 }
7
Laporan Utama
BUKIT PARA PENGHAYAT Oleh: Kamil Alfi Arifin
» Pemimpin penghayat kepercayaan Aboge, Sarno Kusnandar, tampak bersama dengan cucu dari anak pertamanya.
8
PRANALA { Maret - April 2015 }
Kepercayaan Aboge masih bertahan dari generasi ke generasi di Dusun Binangun, Wonosobo, Jawa Tengah. Penganutnya hidup rukun. Mereka sangat menghargai keberagaman, baik dalam keluarganya sendiri maupun lingkungan sekitar.
R
umah berdinding kayu albasia itu tampak paling tua, bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan rumah lain yang berderet di sekitarnya. Rumah itu memang sudah berumur seratus tahun lebih. Lebih tua dari usia para penghuninya. “Ini warisan dari kakek saya,” ujar Sarno Kusnandar, pemilik rumah, saat ditemui di rumahnya. Sarno merupakan tetua penghayat kepercayaan Aboge di daerah perbukitan yang sejuk nan indah, di Dusun Binangun, Desa Mudal, Kecamatan Mojotengah, Wonosobo. Dialah yang sampai saat ini, merawat rumah tua itu. Dia juga yang terus menjaga serta menjalankan kepercayaan Aboge dari waktu ke waktu. Bahkan, rumah Sarno dijadikan tempat berkumpul sejumlah warga Dusun Binangun penganut kepercayaan Aboge dalam melakukan berbagai macam ritual.
» Seorang anak tengah mengamati aktivitas di depan rumah Sarno Kusnandar
Sarno sendiri mengaku tidak tahu persis kapan kepercayaan Aboge muncul pertama kali di Wonosobo, terlebih di dusunnya. Sejak kecil, kata dia, Aboge memang sudah diajarkan oleh orang tuanya. Menurut Sarno, kalender Aboge ini berbeda dengan kalender hijriyah. Sebab itu, orang yang menggunakan kalender Aboge pasti berbeda dengan orang yang menggunakan kalender hijriyah dalam menetapkan hari raya Idul Fitri, misalnya, dan hari-hari penting lainnya. Dalam kalender Aboge disebutkan bahwa dalam kurun waktu sewindu, terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba, Wau dan Jim akhir. Dalam satu tahun, terdiri dari 12 bulan. Satu bulan terdiri dari 29-30 hari, dengan hari pasaran berdasarkan penghitungan Jawa yakni Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Berdasar penjelasan Sarno, hari pasaran pertama dalam tahun Alif jatuh pada hari Rabu Wage. Sebutan Aboge, lanjut dia, itu sebenarnya kepanjangan dari Alif Rebo Wage. “Aboge itu hanya kalenderisasi,” terang Sarno. Sambil menggulung rokok cengkehnya, Sarno mengisahkan bahwa dahulu, saat dirinya masih kecil, orang-orang di Dusun Binangun kebanyakan, termasuk orang tuanya sendiri, sudah memeluk Islam. Tapi meski demikian, saat itu, mereka tetap menjalankan kejawen dan menggunakan kalender Aboge dalam hidup kesehariannya. “Dulu penganut Aboge, biasa melaksanakan sholat lima waktu, sholat Ied, melaksanakan takbir di langgar (surau), itu dulu...,” kata Sarno. Tapi keadaan berubah. Sekarang ini, pemandangan itu tak ditemukan lagi. Sejak dua puluh tahun terakhir, terjadi banyak perubahan di Dusun Binangun. Warga PRANALA { Maret - April 2015 }
9
Laporan Utama
» Pertemuan Pusham UII dengan kelompok minoritas di Wonosobo.
penganut Aboge sudah sama sekali melepaskan syariat Islamnya. Mereka tak lagi melakukan sholat Ied di mesjid, melakukan takbiran dan sholat lima waktu. Mereka hanya cukup mengamalkan kejawen semata. Maka, penyebutan Islam Aboge di Dusun Binangun yang sering dipakai media, dianggap kurang sepenuhnya tepat oleh Sarno. Perubahan-perubahan tersebut, kata Sarno, disebabkan oleh banyaknya anak-anak muda yang sekolah agama, menyantri ke daerah-daerah lain dan kemudian memilih menggunakan kalender hijriyah dari pada menggunakan kalender Aboge. Anak-anak muda Dusun Binangun yang menyantri ke luar tersebut, membawa pemahaman baru saat mereka kembali pulang ke dusunnya. Ditambah lagi, hadirnya media televisi, yang kerap menayangkan pelaksanaan hari raya Idul Fitri yang tidak berbarengan dengan hari yang telah ditetapkan pemerintah, sebagai hal yang aneh. Sejak saat itu, warga Aboge yang masih menjalankan syariat Islam, mulai dipandang negatif dan penuh dengan keanehan, bahkan tak jarang mulai ada penyesatan. Terutama pandangan-pandangan orang dari warga di daerah-daerah lain, di luar Dusun Binangun. Dari pada dianggap “sesat” dan berpotensi menggangu
10
PRANALA { Maret - April 2015 }
keharmonisan sosial, akhirnya warga Aboge di Dusun Binangun memilih untuk tidak melaksanakan syariat Islam lagi. Mereka juga tidak lagi melaksanakan sholat Ied di masjid saat hari raya, seperti biasa dilakukan sebelumnya. Sebagai gantinya, warga Aboge pada malam hari raya, berdasarkan penghitungan kalender Aboge, berkumpul di rumah Sarno untuk melakukan semedi. Baru pada esok harinya, mereka melakukan syukuran makan bersama di masjid Al-Huda, sebuah masjid kecil yang berada di depan rumah Sarno, dengan mengundang semua warga Binangun, tak peduli apapun keyakinannya. Mereka saling meminta maaf, lalu secara simbolik, melepaskan balon-balon terbang warna-warni. “Pada hari raya, Aboge cukup mengadakan tasyakuran, makan dan melepas balon. Semua datang dan ikut dalam acara itu,” jelas Sarno. Bagi Sarno, kerukunan dan kebersamaan itu sangatlah penting. Itu yang dia terus perjuangkan di dusunnya. Baginya, hakikat dari semua kepercayaan sebenarnya sama. Hari ini, warga di Binangun, jelas Sarno, sudah hidup rukun, saling menghargai, meskipun mereka berbeda dalam keyakinan, dalam tata cara peribadatan. “Orang Islam dan penghayat sudah tidak ada sekat lagi,” tegasnya. Bahkan, kata Sarno, hidup keberagamaan yang hangat di Dusun Binangun bisa dijadikan model bagi tempat-tempat lain. *** Tidak hanya di lingkungan sosialnya, Sarno juga menunjukkan sikap toleransinya yang dalam di
SAYA ENGGAK MENGHARUSKAN ANAK SAYA HARUS SAMA DENGAN SAYA
tengah-tengah keluarganya. Meski dia menganut kepercayaan Aboge, dia tidak pernah memaksakan keyakinannya pada keenam anak-anaknya. Anak gadisnya yang kelima, yang saat ini sedang kuliah di Yogyakarta, menganut Islam. Bahkan, kata Sarno, dia menjadi muslimah yang taat dan “murni”, bila dibandingkan dengan kakak-kakaknya yang lain, meskipun menganut islam tapi masih menjalankan kejawen dan mengikuti kalender Aboge. Sementara anaknya yang ketiga, pernah masuk Kristen. “Saya enggak mengharuskan anak saya harus sama dengan saya,” tegas Sarno. Selain bekerja sebagai perangkat desa, dan dipercayakan untuk mengurusi ritual-ritual di hari penting oleh Dinas Pariwisata Wonosobo, lelaki yang setiap hari tetap bertani dan mencari rumput untuk pakan sapinya itu, membebaskan anak-anaknya untuk mengikuti agama apapun asalkan mendekatkan diri ke Tuhan. “Kepercayaan yang saya anut itu kepercayaan lunak, menerima siapa saja,” ujarnya. Karena sikap hidupnya yang penuh kearifan, Sarno begitu sangat disegani dan dihormati. Di dusunnya, dia sering diminta nasehat oleh para tetangganya. Tetapi dia sendiri tidak pernah memaksakan kepercayaannya kepada orang lain, hanya atas nama menjaga keberlangsungan kepercayaan Aboge di Dusun Binangun. Meski demikian, kaderisasi Aboge terus berlangsung. “Masih terus, karena yang muda masih banyak yang mengikuti kalender Aboge,” katanya. Bahkan, di Dusun Binangun, jumlah penganut kepercayaan Aboge paling banyak dari tempat-tempat lain di Wonosobo. Jumlah seluruh warga penganut kepercayaan Aboge di Wonosobo sekitar 500-an orang. Tetapi sebenarnya lebih. Menurut Sarno, angka itu hanya perhitungan kasar. Kaderisasi kepercayaan Aboge di Dusun Binangun, secara umum, kata Sarno, melalui tiga pintu kegiatan besar dalam kepercayaan Aboge. Pertama, kegiatan sarasehan warga penganut kepercayaan Aboge, yang biasanya dilakukan setiap malam minggu pahing. Kedua, kegiatan setiap satu syuro. Ketiga, pada setiap malam hari raya.
Melalui kegiatan-kegiatan itu, proses pengajaran tentang segala hal yang berkaitan dengan aliran kepercayaan Aboge di Dusun Binangun, dilakukan. Sehingga kepercayaan Aboge tetap terus berlangsung, dapat bertahan, dan hidup berdampingan secara damai, rukun, dan saling menghargai dengan agama dan kepercayaan yang lain di sekitarnya. Tapi di luar itu, Sarno juga menyadari, bahwa peran dan dukungan pemerintah daerah sangat penting dalam membantu menjaga kepercayaan Aboge dan keberagaman di Wonosobo. Oleh sebab itu, Sarno memuji sikap Bupati Wonosobo, Khaliq Arif, yang sepenuhnya berpihak pada keberagaman. Dalam penilaiannya, Khalik berani melakukan hal-hal yang lebih maju dibandingkan bupati-bupati sebelumnya dalam konteks kehidupan masyarakat Wonosobo yang majemuk. “Pak Khalik berani melindungi kelompok-kelompok minoritas dan memberikan bantuan dana. Itu baru Pak Khalik, (bupati-bupati) sebelumnya cuma sebatas mengakui saja,” paparnya. Lewat Pak Khalik pulalah, kata Sarno, yang semakin menebalkan dan mengangkat eksistensi kepercayaan Aboge di Wonosobo, ke permukaan.
» Sarno Kusnandar saat berbincang dengan redaksi Pranala di rumahnya
PRANALA { Maret - April 2015 }
11
Laporan Utama
DUSUN DI BUKIT TOLERANSI Oleh: Prayudha Maghriby
Dianggap sesepuh Aboge, Sarno berusaha toleran kepada penganut agama lain. Berlatar belakang budaya, Aboge tetap hidup karena berusaha menghormati keyakinan lain. Selain itu, hal ini juga dipicu oleh masyarakat sekitar yang memandang keyakinan bukanlah sumber perbedaan.
» Sore hari di salah satu sudut Kampung Binangun
12
PRANALA { Maret - April 2015 }
H » Tutur, isteri Sarno Sukendar mengamati para pekerja yang membawa kayu bakar dari kebunnya 1
» Dua orang penghayat Aboge tengah menata kayu bakar untuk dikeringkan di dinding rumah Sarno Sukendar
ari Sabtu itu, Sarno ada pertemuan dengan seseorang di Kota Wonosobo, Jawa Tengah. Saya yang sudah merencanakan berkunjung ke rumahnya menawarkan untuk bisa naik angkutan bareng. Sarno awalnya sepakat. Tapi karena khawatir nten-entenan (saling menunggu dan tidak bertemu-red), ia mempersilahkan saya untuk berangkat terlebih dahulu. Saya pun bergegas mencari pangkalan angkot trayek Wonosobo - Limbangan. Setelah berkeliling alun-alun, sampailah saya di pangkalan angkot. Angkot yang saya tuju ditandai dengan cat coklat pada bampernya. Rupanya saya menjadi penumpang pertama. Artinya, saya mesti sabar menunggu hingga angkot terisi penuh. Satu per satu penumpang masuk. Sampai terjadi hal yang membuat saya kaget. “Lho, kok ketemu?” ujar Sarno tiba-tiba di muka pintu angkot. Saya duduk bersebelahan dengannya masih dalam kondisi kaget. “Sudah bayar?” tanyanya, sembari memberikan uang Rp. 20 ribu pada kernet angkot. “Sampun Pak,” jawab saya. Pria dengan nama lengkap Sarno Kusnandar ini rupanya cukup dikenal. Semua penumpang menyapanya. Tak terkecuali dua orang remaja yang mengenakan sarung dan kopiah hitam. Keduanya menanyakan kabar Sarno dengan bahasa Jawa Kromo. Sarno tersenyum dan menerangkan jika dia baru saja ada pertemuan. Sopir dan kernet memanggilnya dengan sebutan “kadus”, Sebuah singkatan dari kepala dusun. Selain dikenal sebagai tokoh Aboge, Sarno juga diamanahi jabatan kepala dusun di desanya. Sang Sopir sedikit bercanda agar Sarno mau menyarter angkotnya. Dengan begitu, angkot bisa langsung berangkat tanpa harus menunggu penumpang penuh. Namun Sarno hanya menjawab dengan ungkapan bijak Jawa secara diplomatis. Sekian lama menunggu, angkot akhirnya penuh dan kami pun segera berangkat. Kami berdesak-desakan. Bagian tengah angkot penuh dengan barang belanjaan. Dua penumpang sampai harus bergantung di pintu. Sekitar 20 menit dari kota, angkot masuk wilayah Desa Kalianget. Satu per satu penumpang turun. Di salah satu
PRANALA { Maret - April 2015 }
13
Laporan Utama sudut nampak sejumlah pemuda bersarung tengah memasang umbul-umbul. “Wis arep khataman apa?” tanya Sarno pada penumpang bersarung dan berkopiah. “Nggih sampun, Pak. Monggo kulo riyin,” jawab keduanya sembari melangkah turun dari angkot. Kedua remaja itu adalah santri dari sebuah pesantren tua di Desa Kalianget. Tak berselang lama, angkot sampai di ujung desa. Seharusnya kami turun dan mesti menumpang ojek untuk bisa mencapai Dusun Binangun. Ini karena dusun itu bisa dikatakan terpencil. Lokasinya di atas bukit dan jalanannya belum diaspal. Padahal, jarak dusun dengan pusat pemerintahan Kabupaten Wonosbo relatif dekat. Agak aneh jika masih ada jalan desa yang belum diaspal. Diskusi kecil terjadi antara Sarno dengan sang sopir. Akhirnya, angkot tak jadi berhenti tetapi terus berjalan memasuki jalanan sempit, menanjak, dan hanya dicor tipis. Di sekitar jalan tampak lahan pertanian yang masih dalam masa tanam. Saya pun menanyakan perihal jenis pertanian di Dusun Binangun. “Di sini cabai, mas. Warga agak kapok nanam tembakau,” jawab Sarno. Beberapa tahun silam, komoditas utama dusun adalah tembakau. Tapi, karena sering ditipu tengkulak, warga akhirnya kapok. Maklum, bertani tembakau modalnya cukup besar. Jika panen berhasil petani bisa untung banyak. Sebaliknya, kalau rugi, hutang petani bisa sampai anak cucu. Sarno pernah mengalami pengalaman serupa. Peristiwa itu terjadi di tahun 90-an. Selain sebagai petani, ia mencoba peruntungan menjadi tengkulak tembakau. Istilahnya tukang potong. Awalnya semua berjalan seperti rencana. Namun, situasi yang tak terduga tiba-tiba terjadi. Dana macet. Panennya tak sanggup mencukupi tunggakan tagihan ke petani. Tembakau tak seperti sayur. Ketika macet, daundaun mewah itu hanya bisa tertimbun di gudang hingga layu dan membusuk. Sarno mengalami kerugian besar. Ia menanggung hutang hingga Rp. 300 juta, jika dikurskan dengan nilai tukar saat ini. Dengan susah payah,
14
PRANALA { Maret - April 2015 }
ABOGE. ITU KEPANJANGAN DARI REBO WAGE. ALIRAN KEPERCAYAAN INI TELAH BANYAK DIKETAHUI. BANYAK MEDIA MASA YANG DATANG SILIH BERGANTI TERUTAMA SAAT HARI RAYA IDUL FITRI. KARENA MENGGUNAKAN PENANGGALAN KALENDER JAWA, WAKTU HARI RAYA BAGI PENGANUT ABOGE BIASANYA JATUH LEBIH AWAL SATU HARI. akhirnya ia bisa melunasinya. Kini, sebagaimana warga dusunnya, Sarno lebih memilih bertanam cabai. *** Angkot yang kami tumpangi akhirnya bisa melibas tanjakan sekitar 1,5 kilometer itu. Ada dataran di tengah lereng. Di dataran itulah Dusun Binangun berada. Sopir langsung banting kiri menuju gang dusun. Tepat di depan sebuah masjid angkot berhenti. Masjid bercat hijau itu tampak terawat. Begitu pula rumah-rumah penduduk dusun, hampir seluruhnya telah dibangun dengan batu bata. Rata-rata rumah itu dibangun dengan konsep modern. Saya dan Sarno bergegas turun angkot. Sarno cepat-cepat berjalan masuk ke sebuah rumah. Rumah itu
tampak berbeda dengan tetangga-tetangganya. Tembok, pilar, hampir seluruh bagian rumah itu masih menggunakan kayu. Dicat putih, rumah itu tampak cukup sederhana. Apalagi, jika dibandingkan dengan rumah-rumah di dusun itu. Tak berapa lama Sarno keluar. Dia tampak memberikan uang pecahan Rp. 20 ribu pada sang kernet angkot. Rupanya, untuk bisa langsung diantar sampai dusun ada biaya tambahan. Saya dipersilahkan masuk. Sebuah karpet tergerlar di lantai semen. Tidak terdapat meja atau kursi sama sekali di ruangan itu. Kami duduk dan mulai sama-sama membakar rokok. Sarno melinting sendiri rokoknya. “Ini saja, Pak. Sudah jadi,” kata saya menawarkan sebatang rokok. Sarno tak bergeming. “Saya kalau sangat terpaksa saja ngerokok yang sudah jadi,” jawabnya, sembari menata tembakau ke dalam kertas rokoknya. Ia lebih gemar rokok dengan tembakau sendiri. Saat asap dari rokok mulai mengepul, seorang wanita muda datang. Ia mengenakan bawahan berupa jarik yang ditapih. Bajunya lengan pendek, tapi dia tetap berkerudung. Dia membawakan kami gelas dan tremos. Gelas itu berisi gula. Ia duduk bersimpuh dan secara perlahan menuangkan air teh panas dari tremos. Uap teh mengepul hampir menyamai asap rokok. Dengan perlahan dan mata yang terus menunduk, wanita itu mempersiahkan saya untuk meminum tehnya. Ia juga
» Penghayat Aboge tampak meggunakan gerobak untuk memindahkan kayu bakar.
membuka satu per satu toples berisi camilan. Setelah itu, ia bergegas masuk kembali ke belakang. Ada horden yang menjadi sekat antara ruang tamu dengan bagian belakang rumah. Wanita itu seolah hilang ditelan kain horden yang berkibar perlahan. Saya penasaran dengan sosok itu. “Apa itu anak bapak?” tanya saya. Sarno menunggu sampai dia selesai menghisap rokok. Dia hembuskan asap rokoknya yang melebihi tebalnya rokok apapun. “Bukan. Dia menantu saya,” ujarnya sembari menaruh rokoknya pada asbak. Wanita itu isteri dari anak pertamanya. Ia asli Magelang. Pasangan itu bertemu di Yogyakarta. Padahal, saat itu putra pertamanya masih bekerja di sebuah toko bunga di Jakarta. “Ya sudah jodoh,” kata Sarno. Kami pun mulai obrolan yang lebih serius. Kali ini tentang kelompok kepercayaan yang ia pimpin. Namanya Aboge. Itu kepanjangan dari Rebo Wage. Aliran kepercayaan ini telah banyak diketahui. Banyak media masa yang datang silih berganti terutama saat hari raya Idul Fitri. Karena menggunakan penanggalan kalender Jawa, waktu hari raya bagi penganut Aboge biasanya jatuh lebih awal satu hari. Selain itu, perayaan Idul Fitri di dusun ini juga unik. Ada tradisi bersalaman yang diikuti oleh ratusan orang. Nama Dusun Binangun dan Sarno menjadi dikenal karena tradisi tersebut. Sarno sampai hafal nama-nama media yang selalu rutin meliputnya. Hampir semua stasiun televisi sudah pernah meliput. Sebuah stasiun televisi milik publik bahkan mengagendakan liputan rutin. Media cetak apalagi. Hampir seluruh koran lokal dan nasional telah mendatanginya. Sarno berubah bak selebritis. Namun demikian, ada cerita lain. Sejatinya, Aboge saat ini memiliki perbedaan dengan kelompok aliran kejawen pada umumnya. Pada awalnya aliran kejawen masih memadukan antara ritual leluhur dengan ibadah dalam Islam. Sebagai contoh saat Idul Fitri, penghayat Aboge masih menyempatkan ikut Shalat Ied. Tiba-tiba ada sekelompok orang yang mengaku dari ormas Islam tertentu memberikan ancaman. Sarno mengenang
PRANALA { Maret - April 2015 }
15
Laporan Utama peristiwa itu dengan seksama. Ia membiarkan rokoknya habis terbakar di dalam asbak: “Tiba-tiba saja datang.” “Mungkin orang yang tidak senang.” “Mereka mengancam kami.” “Mereka tak segan-segan akan menyerang dusun kami.” Kelompok itu berniat melaporkan Aboge dan warga dusun karena dianggap melakukan penistaan agama. Aboge dianggap melakukan peribadatan yang melenceng dari tuntunan. Kelompok itu juga mengaku tak segansegan akan melakukan penyerangan. Sarno dan para penghayat Aboge akhirnya mesti mengambil langkah yang sejatinya sangat berat. Mereka memutuskan untuk sepenuhnya memakai ajaran leluhur. Artinya, mereka mesti sepenuhnya melepaskan syariat Islam. Saat ini penghayat Aboge tidak lagi Shalat Ied atau mengumandangkan takbir. Di malam satu syawal, mereka menjalankan ritual semedi. Rumah Sarno menjadi pusat ritual semedi itu. Begitu pula untuk ritual lain. Aboge sepenuhnya melakukan ajaran para leluhur. **** Obrolan kami begitu hangat. Tak terasa saya sudah habis dua gelas teh. Adzan ashar akhirnya berkumandang dari masjid yang terletak persis di depan rumah Sarno. Tanah tempat dibangunnya masjid sendiri adalah tanah wakaf dari kakeknya. Dulu, sang kakek membuat langgar, sebuah sebutan untuk mushola kecil. Saat tanah itu diwariskan padanya, ia memformalkan wakaf dengan merubah sertfikat kepemilikan tanah. Tak hanya itu, ia juga memperluas luas tanah wakaf agar bisa dibangun masjid yang lebih besar seperti saat ini. Pembagunan masjid dipeolopori oleh seseorang yang kesempatan belajar di sebuah pesantren. Setelah lulus, dia kembali dan mulai mengajar ngaji. Dari situ perlahanlahan masyarakat mulai menerima konsep baru. Salah satunya soal perhitungan kalender yang mereka anut. Sebagian warga mulai menerima penanggalan hijriyah. Sebagian lagi tetap pada penanggalan Jawa. Kedua penanggalan ini bermakna banyak. Baik kalender hijriyah maupun Jawa memiliki jadwal dan jenis
16
PRANALA { Maret - April 2015 }
ritual sendiri. Artinya, ketika seseorang mempergunakan patokan hijriyah, ritual yang dilaksanakan relatif akan sesuai tuntunan syariat Islam. Sementara itu, mereka yang mempergunakan patokan Jawa, akan tetap mempraktekan ritual-ritual sebagaimana telah terbiasa dilakukan. Dengan kata lain, warga dusun terbagi sebagai penghayat Aboge dan penganut Islam. Keadaan itu telah berlangsung puluhan tahun. Karena rokok habis, saya meminta izin pada Sarno untuk mencari warung. Warung itu hanya terpaut tiga rumah dari kediaman Sarno. Pemilik warung, Banu Rusmanto, rupanya adalah ketua RT. Kami pun terlibat perbincangan kecil. “Ya semua biasa aja, mas. Tidak pernah ada apapun,”
KALAU LEBARAN, YA IKUT SHALAT. SEMUA WAJARWAJAR SAJA ujarnya, saat saya tanya soal hubungan antara penganut Islam dan Aboge di dusunnya. Sebagai bagian pemerintah, Banu juga tidak pernah diminta melakukan program apapun untuk menjaga toleransi bagi 36 kepala keluarga di RT yang ia pimpin. “Alami saja. Wong kami semua kebanyakan masih saudara,” tambah pria berusia 39 tahun ini. Dia mengaku bangga karena memiliki tokoh seperti Sarno. Sebagai pemimpin Aboge, Sarno sangat toleran. Sementara itu, sebagai atasannya di pemerintah desa, yakni kepala dusun, Sarno adalah sosok pemimpin yang amanah dan patut untuk dicontoh. Sarno pernah memimpin
proyek pengerasan jalan dan pipanisasi air minum. Seingat Banu, dana proyek saat itu tidak mencukupi. Untung saja Sarno rela menutup kekurangan dana dengan uang pribadinya. Padahal, secara ukuran, tingkat ekonomi Sarno bisa ikatakan pas-pasan. Banu juga mensyukuri keberadaan Sarno dan Aboge karena membuat dusunnya menjadi terkenal serining dengan banyaknya media yang meliput. Selain saya, ada pembeli lain. Namanya Yuli Sofianti. Dia berniat membeli sabun dan bumbu masak. Rupanya dia pendatang dari Purbalingga. Kebetulan dia diperistri warga dusun. “Saya kebetulan ikut Pak Haji (penganut Islam-red.),” ujar ibu muda berusia 25 tahun ini. Sebagai pendatang, dia merasa nyaman tinggal di Dusun
» Juanto, anak pertama Sarno Sukendar, berbincang dengan redaksi Pranala di ruang dapur.
Binangun. Baik penganut Aboge maupun Islam samasama ramah dengan warga pendatang. Yuli sangat takjub dengan tradisi peringatan Idul Fitri di dusunnya. Ada tradisi bersalaman yang juga diikuti warga dusun lain. Ratusan orang dari dusun sekitar bertemu di halaman masjid untuk sekedar bersalaman. Karena penasaran dengan sosok Pak Haji, saya berjalan menuju kediamannya. Namun, saya kurang beruntung. Tetangga Pak Haji, Triyati, mengatakan jika Pak Haji sedang pergi. Soal sosok Pak Haji, Triyati mengatakan jika hubungan Pak Haji dengan Sarno sangat baik. Keduanya selalu bersama jika terdapat pertemuan warga.
“Suka saling becanda malah. Mereka seperi kakak beradik,” ujarnya sembari menimang bayi. Triyati sendiri mengaku sebagai penganut Islam. Rokok pun saya nyalakan sembari berjalan kembali ke rumah Sarno. Tepat di depan rumah, ada beberapa pemuda tengah menata kayu bakar. Kayu bakar itu adalah sisa penebangan di kebun kayu albasia milik Sarno. Ada sejumlah kayu yang terkena hama dan terpaksa dipanen lebih awal. Kayu-kayu itu ditata meninggi sejajar dengan pagar rumah. Selain agar cepat kering, kayu itu bisa mempertebal pagar rumah. Itu sangat membantu untuk melindungi rumah dari hawa dingin yang ketika malam bisa sangat menusuk. Salah satu pemuda itu adalah anak pertama Sarno. Namanya Juanto. Ia ingin agar saya memanggilnya dengan nama “Juan”. Dia baru beberapa tahun menetap kembali di dusun. Keputusan hijrah dari Jakarta karena dia telah beristeri. Selain itu, dia ingin merawat ayah dan ibunya yang mulai berusia senja. Seluruh saudaranya merantau. Dua adiknya tengah kuliah di sebuah kampus kehutanan di Yogyakarta. Juan kini telah berkeluarga dan tinggal satu atap dengan Sarno. Uniknya, isteri dan mertuanya di Magelang tergolong penganut Islam yang taat. “Yang penting bisa shalat. Keluarga isteriku menerimaku dengan baik,” kata Juan saat bercerita soal kisah cintanya dengan sang isteri. Ia kini menyebut dirinya setengah Islam dan setengah Aboge. Dia masih menjalankan ritual-ritual penting dalam aliran kepercayaan Aboge. Namun demikian, dia juga tidak anti sholat. “Kalau lebaran, ya ikut shalat. Semua wajar-wajar saja,” ujar pria kalem berusia 30 tahun ini. Dia berkisah, saat dia sekolah dari SD hingga SMK, untuk pelajaran agama, dia tidak bermasalah. Tidak ada hal serius yang menjadikannya mesti merasa berbeda dengan teman-temannya di sekolah. Berkisah soal asmara, ada sosok ibu di samping saya dan Juan yang terus tersenyum mendengar kami berbincang. Sosok paruh baya itu adalah isteri Sarno. Namanya Tutur. Sedikit penasaran, saya pun bertanya soal kisah asmara Tutur dengan Sarno.
PRANALA { Maret - April 2015 }
17
Laporan Utama “Wong sudah cinta mau bisa apa?” jawabnya sambil tersipu malu. Tutur dan Sarno sama-sama penduduk asli kampung. Dia bercerita jika Sarno sewaktu muda banyak yang naksir. Dia sedikit heran kenapa Sarno tetap memilihnya. Padahal, saat itu, Tutur telah dijodohkan orang tuanya dengan pria lain. Kekuatan cinta membuat keduanya bertahan. Dengan cerita yang berliku akhirnya kedunya bisa bersama hingga kini. Badai datang silih berganti menerpa bahtera rumah tangganya. “Suka-duka kita hadapi bareng. Kita pasrahkan sama Yang Maha Kuasa,” ujar Tutur. Soal Aboge, Tutur berkisah jika sedari dulu warga dusunnya telah mengenal ajaran itu. Saat masih muda, wanita 61 tahun itu sering menemani Sarno untuk memperdalam pemahaman mengenai Aboge. Terdapat seorang guru yang dikenal dengan nama “Mbah Lukito” di daerah Kauman, Wonosobo. Tokoh itu menggelar semacam pengajian tiap malam Rebo Wage. Ajarannya lebih tentang kearifan lokal dan filosofi Jawa. Pertemuan Rebo Wage itulah yang menjadi asal nama Aboge. Tokoh itu telah meninggal. Sarno kini dianggap sebagai tokoh sentral Aboge. Dia memiliki jaringan dengan aliran kejawen di seluruh Wonosobo, bahkan wilayah Jawa Tengah lainnya. Oleh pemerintah daerah, Sarno kini dipercaya menangani acara yang terkait dengan ritual kejawen. Sarno selalu menjadi pemimpin ruwatan hari jadi Kota Wonosobo. Selain itu, Sarno juga dipercaya menjadi satu-satunya pemimpin ritual pemotongan rambut gembel. Sebagaimana diketahui, fenomena anak berambut gembel merupakan kejadian unik yang jamak terjadi pada anak-anak di lereng pegunungan Dieng. **** Sarno masih duduk dengan rokok yang terus mengepul. Tak terhitung jumlah puntung rokok di asbaknya. “Kalau selo begini saya tidak bisa berhenti merokok,” katanya, saat saya masuk kembali ke dalam rumah. Lagi-lagi hal yang sedikit mengagetkan terjadi. Tibatiba dia menanyakan tempat asal saya. Belum saya selesai menjelaskan, dia mengatakan, “Dulu ada pendatang dari Sidaeraja, Cilacap. Dia meminta surat pindah ke dusun ini tetapi saya ragu,” ujarnya, seolah tahu jika saya baru
18
PRANALA { Maret - April 2015 }
saja berbincang dengan seorang pendatang. Pendatang dari Sidareja itu seorang lelaki yang berniat memperistri salah seorang gadis dusun. Belakangan diketahui jika pria itu telah beranak dan beristeri. Dia juga seorang penambal ban di Jakarta yang mengaku sebagai seorang pengusaha sukses. Saya mengangguk dan tetap sedikit heran. Hari mulai gelap dan hujan perlahan turun. Saya mesti kembali ke kota. Sarno meminta salah seorang remaja untuk mengantar saya sampai pangkalan angkot. Setelah bersalaman dengan seluruh keluarga Sarno, saya membonceng remaja dengan motor Suzuki Satria F 150. Kami pun segera melaju turun gunung. Saya sedikit ngeri. Motor yang saya tumpangi telah dimodifikasi khas anak zaman sekarang. Kedua bannya kecil. Padahal, kami melaju di turunan tajam dan dalam situasi gerimis. “Santai mas. Saya sudah master,” canda remaja itu mencoba menenangkan saya. Rupanya dia sewaktu kecil berambut gimbal. Sarno lah yang memipin ritual pemotongan rambutnya. Ada mitos jika keinginan anak gimbal tak dipenuhi, setelah dicukur, rambut yang tumbuh akan gembel kembali. “Saya minta sepeda, mas. Dituruti jadi rambut saya bagus sekarang,” tambah pelajar SMK itu. Dia berkisah jika tetangganya ada yang gagal cukur. Dia meminta nasi jagung tapi tidak dituruti orang tuanya. Akibatnya, setelah cukur, anak itu kembali gembel. Akhirnya, setelah adrenalin dibuat naik-turun, kami sampai di pangkalan angkot. Saya turun. Sebelumnya saya telah mempersiapkan sejumlah uang untuk biaya ojek. Saya juga menyiapkan tambahan sebagai ganti uang angkot yang dibayarkan oleh Sarno. Selain itu, saya juga sempat diajak makan di rumah Sarno. Ketika saya berniat memberikan uang, remaja itu menolak. Saya terus membujuk. Remaja itu tetap tak bergeming. Saya memaksa. Dia malah segera berbalik arah. Sembari tersenyum dan melambaikan tangan dia mengatakan jika saya tidak usah memberinya dan Sarno apapun. Di situ saya merasa heran. Sulit menemukan jiwa ikhlas yang demikian di tempat lain.
» Arman, tokoh komunitas Syiah Wonosobo berbincang dengan redaksi Pranala di ruang keluarga.
KONSEP SYIAH VERSI INDONESIA Oleh: Prayudha Maghriby
K
Tidak menonjolkan perbedaan dan mencoba untuk menawarkan persamaan. Ini salah satu kunci mengapa Syiah hidup di Wonosobo. Daripada berdebat masalah fikih, lebih nyaman berdiskusi seputar persoalan intelektual.
egiatan jual beli sudah mulai sejak pagi. Pembeli berjejal di sela-sela kios dan los yang sempit. Mereka menawar barang dagangan kepada pembeli dengan berbagai cara. Ada yang berpura-pura pergi agar penjual melepas barangnya dengan harga minim. Di sisi lain, penjual lebih berpengalaman lagi. Dia punya trik khusus menghadapai pembeli yang demikian. Ada juga tipe penjual yang tak sabaran. Dia merasa kurang nyaman jika pembeli menawar barangnya terlalu murah. “Sudah. Gratis aja. Saya juga modal,” tukas salah seorang penjual pakaian kesal. Perilaku penjual dan pembeli Jum’at pagi itu cukup unik. Di tengah tawar-menawar yang alot, pembeli dikagetkan dengan suara klakson motor. Motor itu minta dikasih jalan untuk lewat. Rupanya, selain sebagai pasar, wilayah itu juga adalah jalan. Pengendara di belakang motor lebih tak sabaran lagi. Dia membawa banyak barang di motornya.
PRANALA { Maret - April 2015 }
19
Laporan Utama “Minggir. Ngerti minggir ra?” teriak pengendara sembari terus membunyikan klakson. Suasana pasar memang sedikit kacau. Dan itu terjadi setiap hari. Padahal, nama pasar itu adalah Pasar Induk Wonosobo, pasar terbesar dan termodern di wilayah itu. Hiruk pikuk dan kesemrawutan pasar tidak akan terjadi jika pasar masih dalam keadaan normal. Pasar berubah setelah pada 22 Desember 2014 silam, Pasar Induk Wonosobo kembali terbakar. Sejumlah 2.960 los dan kios habis dilalap api. Kini, setelah hampir setengah tahun berlalu, pasar induk belum mulai diperbaiki. Para pedagang terpaksa menggelar dagangannya dengan gubuk kayu di jalan raya sekitar pasar. Kegiatan jual beli nyaris terjadi seluruhnya di jalan raya. Suasananya jadi lebih mirip pasar tradisional. Sebuah jalan yang terletak sebelah selatan pasar dipusatkan bagi para penjual ikan dan daging. Aroma daging dan ikan menguasai tiap sudut. Saya menjadi begitu murah senyum saat itu. Ini karena saya mesti menolak tiap pedagang yang menawari dagangannya. “Mboten, bu. Maturnuwun,” ucap saya menjawab tawaran seorang wanita penjual didih (darah sapi yang dipadatkan-red). Tujuan saya bukan untuk berbelanja. Saya mesti bertemu dengan pemilik toko “Tanjung”. Malam sebelumnya kami telah membuat janji. Setelah melewati sekian kios, sampailah saya di depan toko “Tanjung”. Toko ini menjual kasur, springbed, horden, dan keperluan rumah lainnya. Ada dua wanita tengah menjaga toko. Saya menanyakan apakah toko tersebut milik Arman. Dan betul itu tokonya. Arman segera menghampiri saya dan meminta saya masuk. Kami menaiki tangga menuju lantai dua ruko. Lantai dua dipusatkan bagi hunian rumah. Ada semacam ruang tamu di lantai dua. Amran mempersilahkan saya duduk. Ruangan itu dipenuhi foto-foto keluarga. Saya mencari keberadaan foto Sayidina Ali. Jika tidak saya berharap menemukan foto Ayatullah Khomeni atau imam-imam lain dalam mahzab Syiah. Namun, tidak satupun foto itu saya temukan. “Gimana, mas? Kira-kira apa yang bisa saya bantu,” ujar pria 63 tahun itu sembari membenarkan pecis putih
20
PRANALA { Maret - April 2015 }
» Arman tampak berjalan menembus ruko-ruko sementara di pasar Induk Wonosobo untuk menuju masjid Abu Bakar.
di kepalanya. Saya memulai obrolan dengan topik yang ringan. “Ini isteri saya. Dia mau ke kantor,” ucap Arman. Saya berdiri dan menyalaminya. Dia isteri Arman. Kini dia menjadi Ketua Unit Pelayanan Informasi Perempuan dan Anak Wonosobo. Dia mesti bergegas ke kantor saat itu karena ada hal yang mesti ditangani. Setelah isterinya berangkat, Arman sediki bercerita ihwal isterinya. Mereka dipertemukan di Yogyakarta saat masih sama-sama menjadi aktivis mahasiswa. Dulu, Arman pernah aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII). Setelah sukses menjadi Ketua Fatimiyah, organisasi sayap Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), isterinya didaulat untuk mengetuai Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak. “Ada 3 ribuan kasus sampai saat ini. Tingkat pelecehan pada perempuan di Wonosobo ini tergolong tinggi,” jelas pemilik nama lengkap Muhammad Arman Jauhari ini.
Arman sendiri saat ini menjadi Dewan Pembina Ijabi. Sebelumnya, Arman pernah menjadi ketua organisasi penganut Syiah terbesar di Indonesia itu, untuk wilayah Wonosobo. Obrolan mulai hangat. Namun, jam menunjukan pukul 11. Hari itu hari Jum’at, jadi kami mesti bersiap menuju masjid. Saya dipersilahkan mengambil wudhu di kamar mandi. Arman menawari saya untuk mengenakan sarung, tapi saya berpikir celana jeans saya masih cukup bersih. Kami pun akhirnya langsung bergegas menuju masjid. **** Saya dan Arman berjalan menembus ruko-ruko pasar menuju Masjid Abu Bakar. Kadang kami jalan beriringan. Seringnya saya membelakangi Arman karena jalan terlalu sempit. Sembari berjalan Arman meneruskan diskusi kami soal tradisi pemikiran Islam. “Jadi sebenarnya ada tiga tingkatan filsafat. Nah, filsuf Islam sudah lengkap membahasnya,” ujarnya sembari melempar senyum pada orang-orang yang menyapanya. Arman rupanya sangat dikenal oleh para pedagang pasar ini. Dia anak dari salah satu tokoh penting di Wonosobo dan juga masyarakat sekitar pasar induk. “Pagarilah rumahmu dengan lepek (piring kecil-red). Itu pesan ayah saya dulu,” kenangnya. Artinya, ketika seseorang mau berbagi rizki pada tetangga dan sesama, maka dia otomatis melindungi keluarganya. Soal pasar yang terbakar, Arman sejatinya sangat tahu duduk persoalannya. “Itu siklus sepuluh tahunan,” katanya. Tak berapa lama kami sampai di masjid. Jamaah sudah penuh sesak. Saya duduk menunggu waktu shalat sementara Arman melaksanakan salat tahyatul masjid. Tidak ada yang aneh dengan gerakan sholatnya. Sama saja seperti jama’ah lain. Adzan pada shalat Jum’at di masjid itu dikumandangkan dua kali. Itu tanda jika masjid ini dikelola oleh Nahdatul Ulama (NU). Singkat cerita, shalat Jum’at usai. Arman melangkah keluar dan beberapa orang menyalaminya. “Panas sekali. Ini karena ada badai siklon di pasifik. Cuaca semakin sulit diprediksi,” katanya saat kami berjalan pulang. Arman memang tahu banyak hal. Hobinya dari kecil
adalah membaca. Ketika SMP, ayahnya sudah memperkenalkannya dengan buku Das Capital karya filsuf Karl Marx. Saat kuliah di IAIN Sunan Kali Jaga (sekarang UIN) Jurusan Ushuludin, minat membacanya semakin menjadi. Budaya membaca ia jaga hingga kini. Meski dia hanya kuliah sampai semester enam, katanya, bukan berarti membaca mesti berakhir juga. “Saya masih menyimpan keinginan untuk bisa S2, bahkan kalau bisa jadi doktor,” tambah Arman. Sumber belajar Arman kini selain buku adalah internet dan TV kabel. Dengan semua itu dia terbilang sangat update dengan informasi global. “Sejak dibukanya dokemen CIA soal penyerangan Pearl Harbour, saya sangat hati-hati untuk mempercayai media,” sela Arman. Ia sempat bercerita jika Winston Churchill mengorbankan ribuan nyawa prajurit Amerika agar punya alasan menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Baginya, informasi yang dikabarkan media pasti memiliki kepentingan tertentu. Asyik ngobrol, tak sadar kami sampai kembali ke toko “Tanjung”. Di depan toko, ada Sanditiyas Novimartina, anak pertamanya, yang sedang menggendong anak. Arman segera meraih cucu keduanya yang berumur 2 tahun itu. Tyas, begitu ia akrab dipanggil, belum begitu lama tinggal bersama Arman. Sebelumnya ia bekerja di Surabaya, di sebuah perusahaan farmasi. Kepindahannya lebih disebabkan keinginannya untuk membantu bisnis Arman. Selain itu, ia ingin fokus merawat anak pertamanya yang mengidap language disorder atau terlambat berbicara. Meski sudah berusia tiga tahun, anaknya masih belum bisa memproduksi banyak kosakata. Tyas adalah sarja teknik industri lulusan UPN Veteran Yogyakarta. Baginya, Arman adalah sosok ayah yang tegas. Sedari kecil dia terus dibimbing untuk giat belajar. “Dulu itu, bapak sangat rajin telepon untuk memantau belajar saya. Teman-teman saya sampai heran,” ujar wanita ini. Berkat didikan yang demikian, dari tujuh saudaranya, lima diantaranya berhasil menjadi sarjana. Dua adiknya yang kembar berkebutuhan khusus, sehingga tidak memungkinkan untuk belajar hingga perguruan tinggi. Sebagai anak pertama, ia merasakan sendiri pasang
PRANALA { Maret - April 2015 }
21
Laporan Utama surut kehidupan keluarganya. Yang paling diingatnya adalah ketika ayahnya mesti mendekam di rumah tahanan pada 1979 hingga 1988. “Bapakmu mana? Lagi sekolah. Itu sekolahannya (rumah tahanan Wonosobo). Saya tidak minder sama sekali,” kenang Tyas mengingat peristiwa saat dia masih duduk di taman kanak-kanak. Arman, setelah aktif di PII kemudian banyak bergaul dengan aktivis-aktivis yang sering berdiskusi seputar penerapan syariat Islam. Malang bagi Arman, dia dianggap terlibat gerakan Negara Islam Indonesia (NII), hanya karena banyak bergaul dengan pemikir-pemikir di dalamnya. Padahal, ketertarikan Arman lebih pada suasana intelektualnya. Arman ditangkap pada 8 Agustus 1979. Peristiwa
sebuah buku berjudul Dialog Sunni dan Syiah terbitan Mizan menjadi pendorong ketertarikannya pada ajaran Syiah. Arman resmi menjadi penganut Syiah setelah dibebaskan pada 1988. Bagi Tyas, peristiwa penangkapan ayahnya memang menyedihkan. Namun, ia merasakan banyak hikmah dan pelajaran dari peristiwa itu. “Saya menjadi lebih kuat,” katanya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Sebagai bagian dari kelompok minoritas, ia mesti bisa kuat dengan berbagai dinamika di masyarakat. Dia sangat bersyukur tumbuh di kota Wonosobo yang sangat toleran. “Sama sekali tidak ada konflik di sini. Kami tidak pernah mendapat hal yang kurang baik,” tambah perempuan berusia 36 tahun itu. Situasi itu bertahan
KAMI TIDAK MAU BERDEBAT SOAL FIQIH. ITU TIDAK AKAN KETEMU. TAPI KITA BISA DISKUSI SOAL-SOAL LAIN DENGAN CARA INTELEKTUAL itu hampir bersamaan dengan berkobarnya revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeni. Awalnya, Arman ditahan di Semarang. Ia kemudian di pindah di Magelang dan selanjutnya di Wonosobo. Dia sempat banyak mengenal tokoh-tokoh penting NII di dalam tahanan, termasuk Abu Bakar Baasyir dan Abdulah Sungkar, tokoh dari Jamaah Islamiah. Arman banyak berdiskusi dan bertukar ilmu pada tokoh-tokoh yang notabene dari mahzab Sunni tersebut. Di dalam tahanan, Arman juga mulai tertarik dengan ajaran Syiah. Ketertarikannya lebih didasari keberanian tokoh-tokoh Syiah melawan hegemoni Amerika dan sekutunya. Tak bisa dielakan, keberhasilan Khomeni dalam revolusi Iran merupakan pemicu utama ketertarikannya pada mahzab Syiah. Selain itu,
22
PRANALA { Maret - April 2015 }
hingga kini. Meski isu anti-syiah saat ini sedang mengemuka, hal itu tidak merubah situasi lingkungannya. Tempat tinggalnya, menurut Tyas, memang sudah multikultur sedari dulu. “Ketua RW di sini malah Tionghoa, lho,” katanya. Tyas saat itu didampingi adiknya Khoirun Niswa. Dia sedang liburan. Lulusan IPB jurusan Ilmu Komunikasi itu baru saja pulang dari Belanda mewakili lembaganya untuk sebuah pelatihan. Dia seusia dengan saya, 25 tahun. Kami pun mulai membuka obrolan. Dia sangat jarang menatap mata saya, mungkin untuk menjaga pandangan. “Waktu saya kuliah juga biasa, mas,” ujarnya sembari menahan senyum. Niswa tidak pernah mengalami hal aneh apapun dari
teman-temannya. Ini karena dia memegang betul nasihat sang ayah untuk tidak menonjolkan perbedaan tetapi mesti menekankan persamaan. “Kami tidak mau berdebat soal fiqih. Itu tidak akan ketemu. Tapi kita bisa diskusi soal-soal lain dengan cara intelektual,” tambah Niswa. Ayahnya, Arman, menurutnya mempraktikan hal itu dengan baik. Itu mengapa komunitas Syiah di Wonosobo tidak pernah mengalami gesekan serius dengan kelompok lain. **** Arman mengajak saya ke ruang makan. Karena asisten rumah tangga tak berada di tempat, dia menyiapkan sendiri piring, gelas, dan air minum. Selain tinggal bersama isteri, anak, dan cucu, Arman mempekerjakan empat asisten. Dua asisten mengurusi urusan rumah tangga, termasuk mengasuh cucunya dan dua lainnya bekerja di toko. Awalnya, Arman akan mengambilkan saya nasi, tapi saya menolak. “Biar saya saja, Pak. Biar pas,” kata saya. Dia mengambil nasi hanya setengah sendok nasi. “Bapak ada gula (diabetes)?” tanya saya penasaran. Rupanya, sudah beberapa tahun ini gulanya tak normal. Temannya yang dokter memintanya menjaga pola makan dan mengkonsumsi obat penurun gula serta cukup olah raga. Ini kenapa di lantai satu ada alat fitnes yang handmade alias rakitan sendiri. “Sebelum tidur saya minum beberapa obat,” ujarnya sambil mengambil lauk. Sesuai rencana, setelah makan, kami akan mengunjungi lokasi yayasan yang dikelola Ijabi Wonosobo. Bersama kami, ikut juga Yusuf Mahadavi, anak angkat Arman. Sejak bayi hingga kini berusia sembilan, tahun Arman dan Isterinya merawatnya. Isteri Arman bertemu dengan Yusuf melalui program pendampingan organisasinya. Yusuf kini duduk di kelas tiga, di SD Negeri 07 Wonosobo. Sebelum berangkat, saya dan Yusuf terlibat percakapan kecil. “Kalau di rumah begini. Kalau di sekolah begini,” ucapnya sembari memperagakan gerakan sholat. Buku agama yang ia pakai berasal dari kementrian agama, sebagaimana siswa lain. Guru agamanya juga tidak pernah membedakan Yusuf dengan siswa lain. “Biasa saja,” tukas Yusuf. Kami pun segera berangkat ke
lokasi Gedung Yayasan Al-mustaba. Yayasan itu menjadi semacam paguyuban bagi sekitar 250 orang penganut Syiah di Wonosobo. Sampailah kami di lokasi. Sayang, gedung tengah kosong. Tidak ada jamaah atau petugas yang biasanya stand by di situ. Untungnya, Arman membawa kunci cadangan. Fasilitas pusat kegiatan itu, menurut Arman, untuk seluruh Jawa Tengah, hanya dimiliki oleh Wonosobo. Dulunya lokasi itu adalah tanah miring. Dengan kontur yang demikian, gedung idealnya bisa dibangun dua lantai seperti saat ini. Lantai satu dipergunakan sebagai pusat kegiatan. Sementara itu, lantai dua dijadikan tempat tinggal bagi penjaga gedung. Saya diajak Arman memasuki bangunan itu. Ini kali pertama saya bersentuhan langsung dengan pusat kegiatan penganut Syiah. Lantai satu cukup luas. Konsep ruangannya lebih seperti hall, hanya terdiri dari satu ruangan, tanpa tembok penyekat. Di pojok kanan depan terdapat sebuah almari kaca cukup besar. Almari itu dipenuhi karya-karya cendikiawan bermahzab Syiah. Ada sekian buku karya Jalaludin Rahmat atau lebih dikenal sebagai Kang Jalal, Ketua Ijabi. Arman memiliki hubungan dekat dengan Kang Jalal. Pertemuannya dengan Kang Jalal pertama kali terjadi pada 1996. Kang Jalal, menurut Arman, adalah tokoh penting yang membangun konsep Syiah khas Indonesia. Arman sebelumnya dekat dengan kalangan Syiah keturunan Arab. Pusatnya ada di Pekalongan, Jawa Tengah. Arman melihat jika ada semacam chauvinisme pada diri Syiah Arab. Sebagai sayid, keturunan nabi, mereka merasa lebih dekat dengan Nabi Muhammad, bahkan Tuhan. Di sisi lain, mereka melihat orang pribumi dengan sebelah mata. Kang Jalal merubah itu dengan membawa gagasan; orang Indonesia yang bermahzab Syiah; bukan orang Syiah yang tinggal di Indonesia. Gagasan itu pula yang melatarbelakangi lahirnya Ijabi pada tahun 2000 yang dibidani oleh Kang Jalal, Ahmad Baraqbah, Dimitri Mahayana, dan Zahir bin Yahya. Sebagai respon, syiah Arab kemudian mendirikan Ormas Ahlul Bait Indonesia (ABI) pada 2011. Dari buku-buku itu, Arman kemudian menjelaskan
PRANALA { Maret - April 2015 }
23
Laporan Utama sejumlah lukisan di dinding sebelah kanan ruangan. Ia pertama menunjukan saya tentang sertifikat izin yang dibingkai. Itu sebagai bukti jika bangunan pusat kegiatan itu legal. Di kanan sertifikat itu ada lukisan realis namun sangat simbolis. Lukisan itu menggambarkan tiga orang lelaki terkapar dan satu orang wanita yang tak berdaya di atas seekor kuda putih. Arman menjelaskan jika itu gambaran tragedi Karbala. Lelaki itu adalah cucu nabi, Husain dan Hasan yang dibunuh. Sementara wanita di tas kuda adalah Siti Fatimah. Saya sangat penasaran dengan lukisan di belakang podium. Genre lukisan itu lebih tampak realis. Ada seorang pria berjubah kuning tengah duduk dengan kepala tertunduk. Ia menyembunyikan wajahnya di balik kedua lutut. “Ini lukisan kedatangan Imam Mahdi,” jelas Arman. Sosok itu tidak lain adalah Imam Ke-12. “Harus ada foto presiden dan Garuda Pancasila,” cetus Arman menunjukan ornamen yang hampir saya luput tanyakan. Menurutnya, itulah simbol jika Syiah sepakat dengan empat pilar kebangsaan. Setelah mengantar saya ke seluruh bagian bangunan, termasuk lantai atas yang dijadikan tempat tinggal bagi penjaga gedung, Arman mengajak saya ke sebuah toko elektronik. Lokasinya di seberang jalan, tak jauh dari gedung. Dia ingin mengenalkan saya dengan Tadi Santoso, salah seorang jamaah. Pria berusia 55 itu tahun sangat sibuk. Meski dia pemilik toko, dia terlibat langsung dalam transaksi. Apalagi sore itu pelanggannya cukup banyak. “Piro, yo (berapa, ya)? 100 wae 100,” ujar Tadi menjawab pegawainya yang menanyakan harga sebuah komponen elektronik. Saya meski sedikit menunggu untuk dapat berbincang dengannya. Dia menyiapkan saya tempat duduk di antara etalase. Baru saja akan memulai obrolan, seorang pelanggan datang menghampiri. Dia tampaknya tak puas jika hanya menawar harga dengan pegawainya. “Jelase gimana Pak?” pintanya meminta potongan
24
PRANALA { Maret - April 2015 }
harga. “100 itu sudah banyak, loh!” jawab Tadi. “150 lah potongannya” “Itu wis okeh!” “Nek gitu bonus tas lah.” “Tas apa?” “Biasanya dapat tas.” “Ya wis nanti tak carikan.” Akhirnya, setelah ikut bingung barang apa yang sedang ditawar, saya punya sedikit kesempatan untuk bertanya pada Tadi. Ia rupanya tergolong anggota jamaah yang baru. Dia mulai mengenal Syiah setelah pencarian sekian tahun. Dulunya ia hanya menjadi pegawai di toko itu. Namun, dengan kerja keras dan keberuntungan, dia kini menjadi pemilik toko yang relatif besar itu. Sebelumnya, Tadi mengaku banyak bergelut dalam dunia gelap. Dia pernah menggilai judi, minuman keras, dan sebagainya. Kemudian, setelah berkenalan dengan Arman dan jamaahnya, ia menemukan hidup. “Saya menemukan kebenaran, mas. Itu alasannya saya ikut,” ujarnya. Ia juga mengaku tidak mengalami masalah apapun sebagai penganut Syiah. Keputusan itu adalah buah dari pencarian soal hidup dan ketuhanan. Sampai saat ini dia masih terus mencari dengan belajar. “Sementara ini yang tak anggap benar. Besok mungkin berbeda. Itu tak masalah. Yang penting terus mencari,” tukas Tadi. Saya sedikit merasa bersalah mengganggu kesibukan Tadi. Namun, dia memastikan itu tidak masalah. Setelah bersalaman, saya, Arman, dan Yusuf kembali ke gedung. Motor kami masih di parkir di halaman gedung. Saat berjalan kembali, tiba-tiba telepon genggam saya berdering. Nomornya tak dikenal. Saya bergegas mengangkatnya. “Halo?” kata saya cepat-cepat. Arman yang berjalan di samping saya lantas sedikit tertawa. “Itu nomor saya,” katanya. Ia meminta saya untuk tidak segan-segan menghubunginya jika ada saya membutuhkan informasi tambahan.
Wawancara
“FANATISME DANGKAL MENJADI PENYEBAB MENIPISNYA TOLERANSI” Wawancara Oleh: Kelik Sugiarto
Foto Oleh: Gibbran Prathisara
PRANALA { Maret - April 2015 }
25
Wawancara Bagaimana kerukunan antar umat beragama di Yogyakarta secara umum? Kebetulan masalah kerukunan antar umat beragama ini memang menjadi bagian tugas dari Kesbanglinmas. Baik di kabupaten maupun kota sudah ada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Di Kabupaten Sleman, FKUB ini berjalan cukup baik. Semua unsur agama ada di situ. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha ada di situ. Kalau dari kalangan Islam sendiri ada beberapa perwakilan. Ada dari NU, Muhammadiyah dan LDII.
Peran FKUB seperti apa? Melakukan pertemuan dan berdialog secara rutin antar pemeluk agama menyangkut masalah-masalah keagamaan terkini. Selain itu, merekomendasikan berdirinya tempat ibadah. Pada tahun 2009 di Sleman sempat terjadi konflik terkait rumah ibadah ini, namun pada akhirnya bisa kita selesaikan secara baik-baik. Tidak menimbulkan efek yang meluas.
Bagaimana konflik itu bisa terjadi? Ceritanya berawal dari jama’ah sebuah aliran dari agama Kristen yang menggunakan rumah biasa sebagai tempat peribadatan. Karena tidak ada ijin peruntukkan rumah ibadah, kemudian terjadi konflik dengan masyarakat sekitar yang mayoritas agama Islam. Kami fasilitasi bersama-sama FKUB dan ada juga dari DPRD Kabupaten. Akhirnya tercapai kesepakatan dalam sebuah perjanjian. Intinya, jama’ah tersebut tidak diperbolehkan lagi menggunakan rumah sebagai tempat ibadah.
Apakah ada peran pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah tersebut? Pemerintah daerah memfasilitasi jama’ah tersebut untuk beberapa bulan menggunakan kantor Kecamatan Sleman sebagai tempat untuk beribadah. Namun ternyata para jama’ah ini ngeyel juga. Kantor Kecamatan secara permanen ingin dijadikan sebagai tempat ibadah. Pendeta dari jama’ah tersebut berdalih, setiap umat kristiani akan mendirikan tempat ibadah, umat Islam selalu mempersulit, selalu diminta perijinannya. Tapi coba di cek ulang apakah masjid-masjid itu juga mempunyai surat ijin? Namun pada akhirnya, konflik ini bisa kita
26
PRANALA { Maret - April 2015 }
selesaikan. Namun memang kerukunan antar umat beragama itu bisa bersifat semu.
Maksudnya? Sepertinya bagus di permukaan, tapi di dalam bisa terjadi hal yang berbeda. Karena ini berkaitan dengan iman. Sebagai contoh, di kelompok-kelompok Muhammadiyah, LDII memandang orang yang berlainan agama, ya mereka kafir. Yang bisa menerima itu orang-orang Nahdliyin. Bahkan di kalangan Islam sendiri antara yang setuju tahlil sama yang kontra tidak setuju tahlil pertentangannya masih kuat sekali.
Faktor apa saja yang bisa mendukung terciptanya sebuah kerukunan antar umat beragama? Berdasar pengalaman saat masih aktif di Kesbanglinmas, ada beberapa faktor yang bisa mendukung terciptanya kerukunan antar umat beragama. Pertama, budaya persaudaraan. Di Yogyakarta ini masih kuat sekali nilai-nilai lokal yang mengedepankan rasa saling menghormati, tepo seliro, saling toleransi. Nilai-nilai seperti ini sudah ditanamakan oleh para leluhur sejak dahulu. Masih bisa dipertahankan sampai sekarang. Meskipun kita lihat juga dalam beberapa tahun terakhir, nilai-nilai luhur itu ternodai oleh tindakan kelompok-kelompok tertentu yang mengatas-namakan agama, yang hampir
Nama : Urip Bahagia TTL : Sleman, 2 April 1955 Pendidikan : S1 Geografi-Demografi UGM 1976-1982 Jabatan 1. Camat Pakem, 2001-2002 2. Kepala Pertambangan Kab. Sleman, 2002-2007 3. Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kab. Sleman, 2007-2009 4. Kepala Kesbanglinmas Kab. Sleman, 2009-2010 5. Kepala BPBD Kab. Sleman, 2010-2013
selalu menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi terjadinya sebuah perbedaan. Kedua, kondisi masyarakat yang heterogen. Kondisi ini terjadi di segala bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, pemerintahan. Dalam kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat misalnya, keterlibatan dari berbagai jenis agama sering terjadi. Demikian juga dalam hal transaksi jual beli, baik di toko maupun di pasar. Semua aktifitas perekonomian selalu melibatkan orang-orang yang mempunyai agama yang berbeda. Demikian halnya di lingkungan institusi pemerintahan. Di kantor mereka saling bergaul dan bekerja sama dengan sejawat yang berbeda agama.
Tetapi kondisi umat beragama yang majemuk ini bukankah juga bisa menimbulkan konflik? Ya, tentu bisa terjadi juga muncul potensi konflik, manakala kemajemukan itu tidak dapat dikelola dengan baik. Masalah ini biasanya terjadi akibat dampak langsung dari kompetisi yang tidak sehat antar umat beragama. Contohnya seperti yang terjadi di Sleman tadi. Bahkan kemajemukan yang tidak dikelola dengan baik akan dapat menimbulkan konflik internal dalam masyarakat yang berujung pada tindakan inklusif radikal dalam masyarakat. Namun kemajemukan juga tidak selalu berujung pada terjadinya konflik atau perpecahan. Sebaliknya dapat menimbulkan dinamika dan
kreatifitas kelompok untuk menciptakan suasana yang dinamis. Berbuat lebih banyak untuk amal kebajikan serta karya-karya sosial. Terdapat banyak cara yang bertujuan untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Meskipun hal itu tidak terlepas dari faktor pendukung dan penghambatnya.
Faktor penghambatnya sendiri seperti apa? Ada banyak faktor saya lihat. Warisan penjajah berupa politik pecah belah. Fanatisme dangkal yang dapat menyebabkan menipisnya toleransi sesama. Sikap kurang bersahabat dari masing-masing pemeluk agama. Cara-cara agresif dalam dakwah yang ditujukan untuk orang-orang yang telah beragama. Pendirian tempattempat ibadah tanpa mengkaji perundang-undangan yang berlaku. Munculnya berbagai sekte atau aliran dalam agama yang sering kali menggunakan klaim kebenaran hanya menjadi milik kelompoknya. Belum lagi masalah-masalah ekonomi, ketimpangan sosial, kesejahteraan, ketidakadilan di mata hukum. Masalah agama memang sangat sensitif. Mudah sekali digunakan untuk menyulut api konflik. Dibutuhkan forum-forum dialog yang dilakukan secara rutin dan berkesinambungan antar umat beragama. Tanpa kecurigaan satu dengan yang lain untuk mendiskusikan problem-problem keagamaan yang terjadi.
PRANALA { Maret - April 2015 }
27
Tokoh
“PECI ORANG AHMADIYAH, SAMA DENGAN PECI ORANG NU” Wawancara oleh: Kamil Alfi Arifin Foto Oleh: Gibbran Prathisara
Saya berbincang dengan salah seorang mubaligh muda Ahmadiyah di Wonosobo. Namanya Sajid Ahmad Sutikno. Perbincangan seputar kisah awal dan pertimbangannya masuk ke Ahmadiyah, tentang sedikit doktrin Ahmadiyah, dakwah Ahmadiyah di dunia, serta tentang kesan dan pandangan warga Wonosobo terhadap Ahmadiyah dan lain sebagainya. Berikut petikan wawancaranya:
Anda besar di lingkungan NU, terus pindah menjadi mubaligh di Ahmadiyah. Apa pertimbangan yang mendasari keputusan tersebut? Bahasa saya bukan “pindah”. Bahasa saya bukan keluar dari NU. Tetapi, meningkat (sambil tertawa). Ya, pertimbangannya, saya orangnya kan keingintahuannya tinggi. Rasa ingin tahunya tinggi, dan saya senang dengan bidang-bidang keintelektualan. Kemudian, sesuatu yang menantang, saya senang. Kebetulan, kakak kandung saya tadinya Muhammadiyah. Terus menikah dengan kakak ipar saya yang keturunan (Ahmadiyah). Nah, disitulah. Mereka berdua berdakwah ke saya.
Orang tua juga ikut ke Ahmadiyah? Enggak, orang tua tetap di NU.
Apa tidak ada gejolak? Awal-awal dilarang, tetapi bukan berarti Ahmadiyah itu (dipandang) bukan Islam. Sama-sama Islamnya. Tapi
28
PRANALA { Maret - April 2015 }
yang di NU ya di NU aja, enggak usah pindah-pindah. Saya sendiri menemukan jati diri Islam di dalam Ahmadiyah. Dan, saya membaca buku-buku Ahmadiyah. Di sana, banyak nubuwwatan, ramalan-ramalan Rasulullah SAW bahwa di akhir zaman itu, akan datang sosok yaitu Mahdi atau Al-Masih. Saya baca, termasuk di antaranya, saya senang dengan ilmu kalam di Ahmadiyah... teologi ya. Ada tiga hal yang menggelitik otak saya waktu itu. Pertama adalah, kewafatan Nabi Isa as, kemudian, kebenaran Imam Mahdi (Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi) dan kenabian setelah Muhammad Rasulullah. Tiga hal inilah, tiga masalah penting, yang saya pelajari. Oh, ternyata saya menemukannya di Ahmadiyah, yang saya tidak temukan di luar.
Ahmadiyah sering dituding sesat karena dianggap memiliki kitab dan nabi sendiri. Bisa dijelaskan? Kitab Tazkirah isinya itu ilham-ilham atau pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami oleh pendiri (Mirza Ghulam Ahmad), terus dibukukan, itupun sekitar 30 atau sekitar 27 tahun setelah wafatnya pendiri yang kita anggap Imam Mahdi itu. Nah, seandainya itu kitab suci, harusnya ada di zaman itu, seperti Rasullullah, Al-Qur’an ada di zamannya. Di dalam Ahmadiyah, Tazkirah tidak lebih dari sekedar catatan. Buku catatan harian pendiri, pengalaman spiritualnya. Kitab suci sampai kiamat nanti adalah Al-Qur’an. Tidak dapat digantikan. Kita mempercayai itu. Nabi Muhammad sebagai khataman nabiyyin, kita yakini. Tapi, wahyu-wahyu itu tetap ada, yang bukan berbentuk syariat itu terus turun. Antara Allah dan hambanya itu kan terus berkomunikasi. Nah, wahyu-wahyu itu pun tidak lepas dari pada kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an, karena dia (Mirza Ghulam Ahmad) beragama Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa turun, agar hamba itu mencicipi bagaimana rasanya wahyu yang pernah diterima oleh junjungan Nabi Muhammad SAW. Di Ahmadiyah, pengalaman spiritual seperti itu dijunjung tinggi. Tapi bukan wahyu syariat. Wahyu syariat sudah tertutup oleh Al-Qur’an. Tapi wahyu mubasyirah, kabar suka.
PRANALA { Maret - April 2015 }
29
Tokoh
ADA KRITERIA YANG KETAT SEBAGAI IMAM DI AHMADIYAH. MAKANYA, ENGGAK SEMBARANGAN ORANG DI DEPAN. KARENA KRITERIA RASULLULLAH SENDIRI, ITU BACAAN AL-QUR’ANNYA HARUS BAGUS, KETAKWAANNNYA, UCAPANNYA, BERBAURNYA DENGAN MASYARAKAT BAGAIMANA? KEMUDIAN DIA BISA MEMIMPIN UMATNYA. Bagaimana perkembangan dakwah Ahmadiyah? Perkembangan Ahmadiyah begitu luas, di dua ratus enam negara dengan lebih dari dua ratus juta umat manusia yang sudah dalam pelukan Islam Ahmadiyah. Dan, yang paling banyak di Barat, di negeri Eropa. Mas Haqqi kemarin menyebutkan, muslim terbesar di Eropa itu muslim Ahmadiyah. Karena kita meyakini, ada sabda kanjeng nabi Muhammad SAW, thuluis syamsi mim maghribiyah, bahwa matahari akan terbit dari Barat. Matahari ini, kita yakini Islam. Bukan matahari yang di langit itu. Akan kiamat dunia ini, buat apa Imam Mahdi datang, datangnya Imam Mahdi tanda-tanda akan dekatnya kiamat, akhir zaman, itu adalah matahari yang terbit dari Barat. Kita pahami Islam muncul di Barat. Mesjid terbesar di Eropa, Barat itu, itu kita yang bangun, komunitas kita, Ahmadiyah, namanya Baitul Futur.
Di Wonosobo sendiri, orang-orang memandang Ahmadiyah bagaimana? Ahmadiyah itu dipandang “aneh”. Ya, ketika tampil di umum gitu, wong Ahmadiyah ternyata pecinya sama dengan NU, kayak gitu...kayak gitu... (sambil tertawa). Karena di TV Ahmadiyah kan digambarkan sebagai hal yang menakutkan. Sesat, bukan Islam, teroris, katanya kita ada hubungannya dengan ISIS. Tapi, kalau di Wonosobo (pandangan semacam itu-red) tidak terjadi. Memang kalau berbicara HAM, keharmonisan di
30
PRANALA { Maret - April 2015 }
Wonosobo, sering dibilang tidak pernah ada gangguangangguan. Tapi tidak sepenuhnya demikian. Saya pernah meneliti juga, saya kan kemarin menulis skripsi judulnya “Keharmonisan di Wonosobo”. Saya teliti, ada gangguan tahun-tahun sekitar 1993, itu di Jawaran, di Watumalang. Itu di sana terjadi gangguan dari masyarakat terhadap warga Ahmadiyah. Kita mau mengadakan pengajian enggak boleh sama mereka. Diboikot. Sampai masa-masa itu, mesjid dirobohkan. Sebelum Pak Bupati yang sekarang. Sebenarnya karena kesalahpahaman. Sebenarnya tanah itu sudah dibeli oleh kita (warga Ahmadiyah), terus kita dirikan bangunan mesjid kecil-kecilan. Tapi tahun-tahun itu masih belum ada hitam di atas putih, jadi sulit. Diakui, tanah itu tidak dibayar oleh kita (warga Ahmadiyah). Karena kita ini, warga Ahmadiyah, tidak biasa gelut (berkelahi-red), ya sudah kita mundur saja, mengalah. Sekarang aman-aman saja.
Dalam keseharian, warga Ahmadiyah di Wonosobo berbaur harmonis dengan warga yang lain. Tapi, mengapa sholat jamaahnya kok tidak berbarengan, mengapa punya mesjid sendiri-sendiri? Dalam hal sholat, itu kan masalah privasi antara hamba dengan Allah ta’ala. Jadi, ibaratnya begini. Kita naik kendaraan, itu harus mengenal supirnya. Supirnya enggak tahu jalan, supirnya enggak tahu petunjuk-petunjuk jalan, rambu-rambu dan sebagainya, kalau nabrak? Nah, Ahmadiyah itu gambarannya seperti itu. Supirnya harus dikenal dulu, orang yang bertakwakah, kesehariannya, akhlaknya seperti apa? Ada kriteria yang ketat sebagai imam di Ahmadiyah. Makanya, enggak sembarangan orang di depan. Karena kriteria Rasullullah sendiri, itu bacaan Al-Qur’annya harus bagus, ketakwaannnya, ucapannya, berbaurnya dengan masyarakat bagaimana? Kemudian dia bisa memimpin umatnya. Itu imam. Kriteria-kriteria imam itu seperti itu. Atau, pemahaman keagamannya, fiqihnya. Nah, itu kan enggak sembarangan. Rasullullah bersabda seperti itu. Kemudian diterapkan di Ahmadiyah. Makanya, orang-orang Ahmadiyah itu tidak sembarangan bermakmum di belakang orang.
Tagar
Kicauan untuk Sang Garuda Oleh: Prayudha Maghriby
Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Momen ini rupanya cukup bergelora di sosial media. Banyak netizen yang men-tweet dengan #Pancasila. Ada yang sekedar mengucapkan selamat ulang tahun. Ada yang mempertanyakan eksistensinya, bahkan ada yang memparodikannya. Berbagai kalangan, dari kaum muda hingga politisi terkenal ikut membahasnya. Sayangnya, #Pancasila tidak bisa menembus tranding topic, baik itu di Indonesia apalagi dunia. Dari sekian anak muda, masih ada anakanak muda yang masih peduli terkait isu seputar Pancasila. Irfan dalam akun @irfan_zj semisal menulis, “Selamat Ulang Tahun #Pancasila .... semoga dirimu selalu diingat dan semua butirmu dijalankan oleh Rakyat Indonesia...” (31 Mei 2015). Sayangnya, tweet ini tidak banyak dikomen atau di-retweet. Pengguna sosial media lain mengunggah tweet sedikit menggelitik. “Pancasila aja jadi dasar negara kita Indonesia, kalo kamu jadi dasar hati aku #eeaaa #pancasila #KokiFT, (1 Mei 2015),” tulis Dini Novianti melalui akun @diniviant. Anak muda lain seperti pemilik akun @ HeraLoebs cukup tegas dengan mengatakan jika Pancasila sudah menjadi asas yang tak bisa ditawar-tawar lagi. “P A N C A S I L A H A R G A M A T I #Pancasila,” (1 Juni) katanya.
Perdebatan yang konon semestinya sudah selesai ini nyatanya terus mengemuka. Paska reformasi, beberapa pihak mulai membuka kembali diskursus mengenai dasar negara yang dirasa paling sesuai bagi Indonesia. Gerakan kiri dan kanan mulai hidup kembali dan menawarkan ideologi mereka masingmasing. Apalagi, Pancasila pernah dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk mengamankan kekuasaannya. Ini seperti yang diunggah oleh Jody Ananda dalam akun @masjabier. Dia menulis, “Dulu saya menolak asas tunggal #Pancasila, karena digunakan sebagai alat penekan rezim Orde Baru (21 Mei 2015)”. Keresahan Jody cukup beralasan. Selama hampir 30 tahun, ideologi Pancasila memang lebih terkesan dipaksakan. Ada berbagai program indoktrinasi. Padahal, proyek indoktrinasi melalui berbagai cara itu tidak dalam rangka kepentingan rakyat. Proyek itu lebih merupakan cara rezim Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaannya. Pada periode itu, siapa saja yang berani mebuka diskursus soal Pancasila, akan dianggap makar. Banyak warga negara yang menjadi korban dari proses itu. Ada yang mesti menjadi tahanan politik dan bahkan ada yang mesti kehilangan nyawa. Beberapa kelompok yang mengatasnamakan Islam bahkan cukup serius untuk menawarkan konsep lain; syariat Islam. Muncul lagi gerakan-gerakan yang menjadi kelanjutan dari DI/ TII dan NII. Beberapa bahkan menggunakan cara-cara kekerasan dalam usahanya. Ini
PRANALA { Maret - April 2015 }
31
seperti aksi-aksi yang dimotori oleh Abu Bakar Baasyir melalui Jamaah Islamiah (JI). Beberapa elemen lain menggunakan diskursus ilmiah dalam rangka menawarkan gagasan tandingan selain Pancasila. Muncul organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang gencar mewacanankan konsep khilafiah. Namun, tentunya itu bertentangan dengan Pancasila. Mayoritas kelompok Islam justru tidak melihat ada pertentangan antara sila-sila Pancasila dengan syariat Islam. Ini seperti ditulis Kris Wijayanto. “Kiai As’ad tentang #Pancasila sebagai konsensus ulama #Indonesia. r/t (1 Mei 2015),” katanya pada akun @Keriiiz. Kelompok lain yang sering disebut-sebut hendak mengganti asas tunggal dengan syariat Islam adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kelompok ini memiliki jaringan dengan Ikhwanul Muslimin dan melandasi perjuangannya dari buah pemikiran Hasal Al Bana. Namun, tuduhan itu belum terbukti. Salah satu tokoh muda PKS, Fahri Hamzah setidaknya memberikan peryataan itu. “Apakah peradaban Indonesia itu universal? Ya. Karena ada #Pancasila. #Rohingya (17 Mei 2015),” tulisnya melalui akun @Fahrihamzah. Hampir semua tokoh, terutama dari pihak nasionalis, meyakini jika kemerdekaan Indonesia tidak akan bisa diraih tanpa Pancasila sebagai ideologi pemersatu. Seorang pengguna sosial media, M. Reza, cukup menghayati analisis tersebut. Melalui akun @Reza_Syakhroel, dia menulis: “Pancasila did’t come about easily, but unifying the nation are arranged in Bhineka tunggal ika @SBYudhoyono @jokowi_do2 @Pak_JK #Pancasila.” Sebagai negara bangsa, Indonesia membutuhkan gagasan penyatu. Pancasila
32
PRANALA { Maret - April 2015 }
merupakan kompromi yang menjadi jalan tengah dari kemajemukan yang menjadi takdir Indonesia. Meski Pancasila masih diakui sebagai ideologi bangsa, harus diakui, popularitasnya tidak terlalu baik. Banyak warga bangsa yang tak lagi acuh. Persoalannya, selain pendidikan, juga pembacaan kondisi bangsa. “#TKW RI DAH 8 JUTA (?) JADI #BABU di l.n., kagetkan kita. Pbangunan jelas ga tuk mreka, rakyat kecil lain. #Pancasila hanya dikecapkan (1 Mei 2015),” tulis neitzen dengan akun @BJZweir. Menurutnya, keterpurukan yang masih menyelimuti bangsa ini adalah bukti jika sila-sila dalam Pancasila belum diamalkan secara baik baik oleh negara maupun rakyatnya. Toleransi antar kelompok beragama juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi negara untuk membuktikan kesaktian Pancasila. Pemilik akun @beranimimpi menyoroti banyaknya kekerasan atas dasar pemahaman keagamaan. Dia menulis, “#Pancasila bilang kita bangsa berkeadilan. Keadilan macam apa itu, membiarkan manusia lain dihabisi hanya krn memegang teguh keyakinannya”. Persoalan ini mendesak untuk segera ditangani. Nilai-nilainya tentu sudah termaktub dalam butir-butir Pancasila. Pengguna sosial media lain melihat jika pengamalan Pancasila tidak hanya bisa diserahkan semata pada negara. Masyarakat perlu aktif dalam mengamalkannya dengan tindakan nyata. Pemilik akun @DPDGAFATARDIY menulis, “Pelatihan Membuat Bakpau dari #GAFATAR untuk Warga Kampung #Pancasila Dusun Kepil #Gunungkidul (31 April 2015).” Menurutnya, berbuat baik bagi sesama adalah hal terkecil yang bisa dilakukan sebagai bentuk ketaatan pada Pancasila.
Resensi
KONSTRUKSI DEMOKRASI DELIBERATIF DAN SEMANGAT EMANSIPATORIS AGAMA Oleh: Noveri Faikar Urfan Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), kini sedang berupaya merampungkan tesisnya di jurusan yang sama di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Mendengar nama Juergen Habermas, pikiran saya langsung tertuju pada konsep ruang publik (public sphare). Konsep ini (ruang publik), sepengetahuan saya sangat sering dipakai dalam kajian-kajian kritis seputar media, terutama untuk mengritik posisinya yang semakin jauh dari format ideal. Di tengah problem inilah, konsep ruang publik sering dikumandangkan oleh sarjana-sarjana yang menilai media telah kehilangan fungsinya sebagai ruang publik, sekaligus para sarjana itu ingin mengaji alternatif baru bagi terciptanya ruang publik, misalnya dengan pemanfaatan media baru (new media) atau media berbasis komunitas secara tepat. Akan tetapi, buku Agama dalam Ruang Publik, karya Gusti A.B. Menoh ini, tampaknya punya perspektif dan semangat yang relatif segar dalam memperbincangkan pemikiran Habermas. Buku ini menyinggung persoalan agama dalam lanskap pemikiran Habermas, yang sepertinya belum banyak dibicarakan. Apalagi, dewasa ini wacana seputar hubungan agama (khususnya Islam) dan negara cukup ramai menyeruak ke permukaan, misalnya soal penerapan syariat Islam, perda syariah, hingga ideide dari beberapa golongan untuk mengganti dasar negara dengan landasan agama tertentu. Di tengah wacana
seperti ini, buku yang merupakan pengembangan dari karya tesis oleh penulisnya ini, menemukan momentumnya yang tepat sasaran. Dalam buku ini, penulis membagi ulasannya dalam enam bab. Di dalam enam bab tersebut diulas secara runtut, mulai dari biografi sang filsuf, filsafatnya yang disebut demokrasi deliberatif, pemikiran Habermas tentang agama, hingga membaca persoalan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar dalam konteks Indonesia. Perlu diketahui bahwa Habermas adalah seorang filsuf Jerman dari generasi kedua Madzhab Frankfurt (Frankfurt School), yang meneruskan tradisi kritis filsuf Madzhab Frankfurt pendahulunya, seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer dan Herbert Marcuse. Konsep dasar pemikiran Habermas sebenarnya dibangun dari kritiknya atas Karl Marx tentang rasio “paradigma kerja”, paradigma ini juga masih dipakai oleh generasi pertama Madzhab Frankfurt. Dalam karya besarnya yang terbit pada tahun 1980an, The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan
PRANALA { Maret - April 2015 }
33
Resensi Komunikatif), menjadi penanda bahwa komunikasi merupakan titik sentral dalam filsafat Habermas. Melalui telaah kritisnya yang disebut “Teori Tindakan Komunikatif” Habermas ingin memberikan dasar pada praksis (tindakan) untuk tujuan emansipasi. Jika para penganut Marx klasik masih percaya bahwa kunci dari pembebasan (emansipasi) adalah terciptanya masyarakat tanpa kelas melalui revolusi, Habermas justru menyarankan bahwa proses emansipasi harus didorong melalui perbincangan atau dialog rasional yang dilandasi oleh komunikasi bebas penguasaan (lih, hal 48-56). Pemikiran inilah yang menjadi dasar filsafat politik Habermas yang dikenal dengan demokrasi deliberatif.
Demokrasi Deliberatif Demokrasi deliberatif mengandaikan sebuah bentuk radikal dari demokrasi, di mana setiap pengambilan keputusan harus melalui proses diskursus komunikasi rasional, dirundingkan atau dikonsultasikan
Judul Buku : AGAMA DALAM RUANG PUBLIK, Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Post-sekuler Menurut Jurgen Habermas Penulis : Gusti A.B. Menoh Penerbit : Kanisius, Yogyakarta Tahun : Januari, 2015 Tebal : 235 Halaman
(deliberative), melalui ruang publik yang bebas penguasaan. Demokrasi deliberatif juga merupakan konsep yang diupayakan sebagai jalan keluar bagi kejanggalan model demokrasi normatif yang sudah berlaku yakni demokrasi liberal dan demokrasi komunitarian/republikan (Bab II). Demokrasi liberal didasari oleh filsafat liberalisme yang menekankan hak asasi manusia dan kebebasan individu, sementara negara diposisikan perannya hanya sebagai “wasit”. Sedangkan, demokrasi republikan
34
PRANALA { Maret - April 2015 }
mengutamakan kedaulatan rakyat sebagai komunitas yang lebih tinggi kedudukannya dibanding individu, sementara negara diposisikan sebagai representasi rakyat yang bertugas menciptakan kemakmuran bersama. Habermas lantas mengritik dua tradisi demokrasi tersebut. Habermas menilai tradisi liberal yang menjamin kebebasan tiap individu justru sangat rapuh karena tidak menciptakan suatu solidaritas di antara para warganya. Sementara tradisi komunitarian meskipun menekankan adanya solidaritas, akan tetapi ia tidak mampu mengantisipasi kondisi masyarakat modern yang plural dalam hal tradisi dan pandangan dunia baik religus maupun kultural, karena akan sulit untuk membayangkan sebuah masyarakat yang homogen di era modern seperti sekarang. Sebab itu, menurut Habermas, kedua tradisi itu (liberalisme dan komunitarianisme) harus dilampaui dengan mengupayakan praktik diskursus tindakan komunikasi rasional yang di satu sisi menekankan kebebasan individu untuk menyampaiakn pendapat tanpa ada kekuasaan yang menekannya, di pihak lain juga menekankan pentingnya kesepahaman bersama untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang dapat disepakati semua pihak. Dari sini terlihat bahwa Habermas sebenarnya tidak ingin menolak secara keseluruhan tradisi normatif demokrasi tersebut, malahan Habermas memilih mengambil elemen-elemen penting dari kedua tradisi tersebut dan mengintegrasikannya ke dalam suatu konsep prosedur deliberasi. Dalam sebuah ulasannya Habermas mengatakan (dikutip dalam buku ini, hal 75): “Rasio praktis tidak lagi terletak pada hak-hak asasi manusia universal (sebagaimana dalam liberalisme), atau dalam substansi etis suatu komunitas tertentu (seperti dalam republikanisme/ komunitarianisme), melainkan pada aturan-aturan diskursus dan bentuk-bentuk argumentasi… yang diorientasikan pada pencapaian pemahaman.”. Maka jelas bahwa tujuan utama dari teori tindakan komunikatif yang dibangun oleh Habermas bertujuan untuk membangun konsensus prosedural yang disepakati bersama. Jika kita boleh berterus terang, agaknya ketiadaan pemahaman bersama dalam masyarakat
ARGUMEN-ARGUMEN RELIGIUS PERLU DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI BAGIAN DARI PROSES DISKURSUS DALAM RUANG PUBLIK. demokrasi kita dewasa ini, merupakan sebuah problem besar. Sejumlah konflik berlatar agama di negeri ini, isu fundamentalisme agama yang merebak secara internasional seperti kasus ISIS, dan upaya-upaya dari sejumlah golongan untuk menerapkan hukum agama tertentu ke dalam konstitusi negara, adalah bukti bahwa tarikmenarik hubungan antara agama dan negara merupakan persoalan yang cukup serius, dan belum menemukan titik kesepahaman yang melegakan semua pihak.
Semangat Emansipatoris Agama Sebagai seorang filsuf, Habermas sendiri memilih tidak beragama, namun demikian dalam perkembangan pemikirannya, ia berpendapat bahwa argumen-argumen religius perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari proses diskursus dalam ruang publik. Habermas sendiri melontarkan kritik tajam pada tesis sekularisasi, yang menduga bahwa nantinya agama akan semakin pudar dan makin tidak penting ketika masyarakat sudah mencapai taraf rasional melalui proses modernisasi. Memang bahwa dalam praktik negara demokrasi modern, peran publik agama cenderung pudar, akan tetapi makna agama dalam masyarakat terus saja hidup, tidak lenyap, bahkan bisa dibilang mengalami penguatan dalam derajat tertentu. Di banyak negara, bahkan agama menjadi pemicu kekuatan politik tertentu, seperti Islam di Timur Tengah, Budha di Myanmar, Hindu di India, Kristen di Amerika dan Eropa. Hal ini membuktikan bahwa meskipun modernisasi telah dialami oleh negara-negara di dunia ini,
agama tetap merupakan elemen vital dalam membentuk situasi politik maupun kebudayaan. Apalagi, dewasa ini agama seringkali dikaitkan dengan sentimen-sentimen kekerasan, anti sekuler, bahkan anti demokrasi, seperti yang tersirat dari kasus-kasus misalnya tragedi 11 September, teror bom di berbagai negara, hingga yang terbaru pada gerakan ISIS. Akan tetapi, tidak boleh dilupakan bahwa agama juga memiliki semangat rasional bahkan kekuatan kritis untuk membendung kekuasan tiranis dan ketidakadilan, seperti misalnya dipraktikan dalam civil rights movement yang di pimpin oleh Pendeta Marthin Luther King Jr. di Amerika Serikat, People Power di Philiphina atau peran kelompok-kelompok Islam moderat saat reformasi di Indonesia (hal 19). Maka, patut disadari bahwa agama (iman religius) memiliki kekuatan bagi emansipasi, asalkan menurut Hebermas, para penganutnya harus belajar paling tidak tiga hal: Pertama mengembangkan sikap rasional yang tepat dalam kenyataan pluralitas agama. Kedua, menyesuaikan diri dengan otoritas sains. Ketiga, menyepakati bahwa premis-premis dasar negara hukum modern yang berlaku dalam politik dan konstitusi adalah argumenargumen sekuler (aturan main urusan duniawi) (hal 109110). Jika iman religus dapat menyesuaikan diri untuk belajar tiga hal tersebut, mungkin akan timbul banyak keyakinan bahwa agama mampu berperan secara rasional dalam negara demokrasi. Akhirnya, buku yang ditulis Gusti A.B. Menoh ini, saya kira menyuguhkan pengetahuan tentang yang amat penting untuk kita dibaca dan dalami secara serius. Selain itu, buku ini tampaknya memperoleh sambutan yang cukup luas dari beberapa intelektual kenamaan, sebut saja ada Frans Magniz Suseno, Yudi Latif, dan Prof. Syafii Maarif, yang memberi kalimat-kalimat singkat sebagai endorsement¸ di halaman awal buku ini. Tidak dilupakan, ada pengantar dari Dr. Frans Budi Hardiman yang sangat serius menekuni pemikiran Habermas seperti yang dapat dibaca lewat buku-bukunya, sehingga pengantarnya dalam buku ini sungguh bermanfaat untuk memperkaya pengertian pembaca tentang luasnya pemikiran Habermas.
PRANALA { Maret - April 2015 }
35
Perspektif
Konstitusionalitas Kebebasan Beragama dan Kecenderungan Masyarakat Terbuka Oleh: Susanto Polamolo
36
PRANALA { Maret - April 2015 }
“…Orang bisa mendapatkan kemenangan dengan perdamaian..” (H.O.S. Tjokroaminoto)
K
eyakinan merupakan prinsip paling mendasar yang sulit untuk dikompromikan. Karenanya, sejauh ini, hal-hal yang bersentuhan dengan keyakinan seperti misalnya keyakinan politik, keyakinan ideologi, hingga terutama keyakinan agama, telah menjadi sesuatu yang melebihi makna keyakinan itu sendiri. Keyakinan beragama terbentuk dari sekumpulan pesan moral sosial yang dibawa oleh setiap agama, nilai-nilai keyakinan transendental, dan misalnya ritus universal kandungan masing-masing agama, serta kebutuhan mutlak umat manusia akan kedamaian, ketenangan, kesejahteraan, kesatuan dan persatuan, telah merangsang kesadaran manusia untuk memeluk agama. Keyakinan agama menunjuk kepada betapa pentingnya kerjasama diantara umat beragama. Kerjasama diperlukan terutama untuk menghadapi dan memecahkan masalah-masalah sosial yang dapat berujung pada konflik sosial bernuansa agama. Disamping kerjasama, dialog juga penting. Dialog disini, meminjam pandangan Burhanuddin Daya,1 adalah tempat orang menemukan titik-titik persamaan dalam perbedaan.
Petunjuk Hukum yang Dipahami Secara Prematur Kebebasan beragama, ternyata tidak sesederhana arti kata kebebasan itu sendiri. Jika kebebasan itu harus dirayakan, pertanyaannya, bagian mana dari sejarah Indonesia modern yang menunjukkan kebebasan beragama benar-benar dirayakan? Apakah lima agama, dan ratusan suku plus bahasa yang tersebar diseluruh Indonesia adalah bukti bahwa kebebasan telah berhasil dirayakan? Disini harus dilihat agama sebagai fakta sosial yang sesungguhnya mendapatkan tempat istimewa didalam konstitusi Indonesia (UUD 1945), pemeriksaan dapat
diawali dari sini. Dasar paling fundamental persis tersurat dalam alinea keempat preambule UUD 1945, atau lebih akrab disapa dengan sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Dasar negara yang pertama itu, telah menempatkan setiap manusia Indonesia dan agamanya ke dalam satu ikatan hukum yang setara antar agama dan pemeluknya. Meski sila pertama ini sebagai beginsel (asas hukum) bagi kebebasan beragama, tetapi tampaknya debat teologis yang mengelilinginya bak debat regressus ad infinitum (proses tanpa akhir). Sepertinya, memang ada kendala dalam hubungan hermeneutis antar umat beragama di Indonesia soal ini, persis seperti pada pertanyaan “bersediakah umat beragama menghubungkan kehidupan imannya dengan tertib hukum?” Jika jawabannya iya, maka petunjuk hukum primer penting digaris bawahi kembali, UUD 1945 pasal 1 ayat (3), berikut petunjuk yang mengatur kedudukan hukum setiap warga negara dalam BAB X, kemudian sumber formele zin mengenai hak asasi yang diatur dalam BAB XA, serta BAB XI tentang agama, yang sekali lagi mengulang prinsip dasar kebebasan beragama dalam ayat (1) dan (2). Petunjuk hukum primer di dalam UUD 1945 itu tidak hanya memberi kedudukan hukum kepada sipil, tetapi juga memberikan kedudukan hukum bagi penegak hukum. Persis dicantelkan mulai dari pasal 1 ayat (3), pasal 30 ayat (2), (4), dan (5) UUD 1945. Perbedaannya ialah, kedudukan hukum bagi para penegak hukum itu tercakup di dalamnya kekuatan hukum berdasarkan prinsip dalam pemidanaan ius poeniendi (hak memidana),3 berdasarkan pada prinsip-prinsip ius poenale.4 Sedangkan sipil sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum seperti itu, sehingga dalam hal kebebasan beragama dan khususnya HAM [apabila mulai mengarah kepada konflik], petunjuk hukum sekunder yang
PRANALA { Maret - April 2015 }
37
Perspektif mengaturnya menjadi guiding of rules bagi para penegak hukum. Dimana penegak hukum dalam tugasnya di atur oleh petunjuk hukum sekunder yang bersifat code of rules. Kiranya petunjuk hukum cukup jelas mengatur wilayah-wilayah hukum, baik sipil maupun penegak hukum. Pertanyaannya lalu mengapa merayakan kebebasan beragama masih selalu di hantui konflik? Bersisian dengannya, mengapa penegak hukum masih mengalami kendala menanggulangi fakta-fakta evidensi konflik sosial bernuansa agama? Jawaban yang paling mudah diberikan biasanya adalah menandainya secara ekskursif.5 Bagaimana mungkin terjadi penyimpangan perilaku tanpa pengaruh faktor eksternal dibaliknya? Disini sebetulnya sedang terjadi persoalan lain, dimana diksi-diksi agama menjadi superior, dan diksi inilah yang harus menjadi diksi kenegaraan. Itu artinya di Indonesia, mayoritas umat beragama masih secara primordial menghidupi hukum Tuhan untuk dinegasikan kepada sesamanya, yang belum tentu berada dalam satu keyakinan, Itu berarti pula, penegak hukum dan kita semua sedang berhadapan dengan keinginan kuat orang-orang yang hidup dalam segerombolan yang tidak teratur (volonte de tous), yang berlindung dibalik agama tertentu, serta penganut agama yang tidak bersedia menghubungkan kehidupan imannya dengan tertib hukum.
Kecenderungan Masyarakat Terbuka Suatu kecenderungan dimungkinkan oleh dua hal. Pertama, transisi di masa lalu yang prematur. Kedua, ketika kejadian-kejadian pahit di masa lalu tak lagi mampu dilihat secara jelas dan terukur. Kecenderungan masyarakat terbuka—dalam argumentasi meyakinkan dari Popper6—berhubungan dengan fakta bahwa, banyak anggotanya berjuang untuk meningkatkan kedudukan sosialnya [hingga kedudukan agamanya], bahkan mengambil alih kedudukan anggota masyarakat lainnya. Ini berhubungan dengan sketsa negara organik. Indonesia persis mendapatkan tempat dalam sebuah proses perubahan yang terjadi sejak tahun 1970-an. Indonesia menjadi sangat organik. Ketika karakter organik itu menghilang akibat
38
PRANALA { Maret - April 2015 }
KETIDAKBERDAYAAN, KETIDAKBERARTIAN, KETERASINGAN, KETIDAKSEIMBANGAN, MERUPAKAN ARTIKULASI DARI KONDISI MASYARAKAT YANG HANYA MENYISAKAN SEDIKIT BAGIAN DARI SEPERANGKAT SISTEM NILAI YANG DAPAT DI HAYATI KEBENARANNYA, UNTUK SECARA KONSISTEN DI GUNAKAN SEBAGAI PEDOMAN.
patahan 1998-1999, reformasi menghantar sebuah kecenderungan masyarakat terbuka—dengan masih merujuk Popper—yang bisa menjadi masyarakat abstrak. Masyarakat yang kehilangan karakter kelompok konkrit manusia, dengan basis kesadaran yang tercerabut. Dari situ terlihat, kecenderungan masyarakat terbuka telah melahirkan suatu sistem sosial sebagai entitas yang rapuh. Ditandai dengan banyaknya penyimpangan karena perangkap modernitas. Memeriksa kembali kecenderungan sebuah masyarakat, memang membutuhkan kerangka reduksi eidetic. Sebab dalam kecenderungan itu, kita dapat menemukan pertautan bahwa agama paralel dengan kekuasaan dan ideologi. Agama menjadi pembenaran bagi kekuasaan. Ia menjadi eskatologis sebagai dasar bertindak untuk klaim perubahanan. Kecenderungan semacam ini—mengubah agama menjadi gelanggang—mengarah kepada relasi antara agama, modal, dan negara. Saling menentukan satu sama lain, dalam diri para pelaku agama, pelaku modal, dan pelaku kekuasaan. Tentu realitas ini akan menyulitkan semua pihak. Terutama bagi yang hendak menegakkan kebebasan beragama. Dampak modernitas harus diakui telah mengendurkan ikatan antar kelompok, komunitas, umat beragama, melemahkan mereka dari ikatan-ikatan moral dan etik. Di tengah situasi demikian, kebebasan hanyalah makna lain yang menunjuk kepada suatu krisis, anomali, involusi, dan polarisasi. Akhirnya harus disebutkan bahwa, ketidakberdayaan, ketidakberartian, keterasingan, ketidakseimbangan, merupakan artikulasi dari kondisi masyarakat yang hanya menyisakan sedikit bagian dari seperangkat sistem nilai yang dapat di hayati kebenarannya, untuk secara konsisten di gunakan sebagai pedoman. Kencederungan ini yang sedang menyelimuti kehidupan bermasyarakat Indonesia, terlebih kehidupan beragamanya.
Kebebasan Beragama, Dialog, dan Diskursus Kemenangan legal agama-agama terhadap beragamnya aliran kepercayaan, tidak berarti mematikan aliranaliran kepercayaan itu sendiri, atau dapat dikatakan ada yang keliru diantara realitas dominan ini. Sudah barang
tentu disanalah butuh kehadiran negara. Ketika aliranaliran kepercayaan, dan organ taktis keagamaan, yang merepresentasi diri dalam paket ormas, tampil menyeruak dari balik kebebasan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia, ini berarti agama sedang mengalami kendala internal, terutama kendala dialog dan diskursus. Batas-tegas Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi begitu sulit di pahami, jika ternyata sesama umat masih terjadi perpecahan, dan memperebutkan tempat untuk menempatkan Tuhan versi agama mana yang lebih benar di dalam struktur kekuasaan negara. Aliran-aliran kepercayaan, yang berkelindan dengan ormas keagamaan, jelas tak ketinggalan dalam riuh-rendahnya perebutan tempat utama itu, dengan saling menghakimi aqidah hingga iman satu sama lain. Harus ada diksi-diksi yang wajib untuk diisolasi. Seperti diksi mayoritas dan minoritas, serta aliran dan ormas yang benar dan aliran yang salah. Dengan mengisolasi diksi-diksi semacam ini, maka kebebasan beragama telah sampai pada spasi dialogis. Dalam suasana dialogis tersebut, sinkretisme butuh ruang diskursus baru, untuk merekonstruksikan kembali apa makna kebebasan beragama secara konstitusional. Diskursus semacam itu dibutuhkan untuk mengeliminasi sistemadogmatik yang tersempal ke dalam penubuhan-penubuhan aliran dan ormas. Pertama, diskursus dapat berangkat dari koreksireflektif bahwa agama di Indonesia telah luput dan terasing dari sistem kebudayaan. Tidak mungkin bagi suatu kebebasan beragama terhindar dari distorsi, karena keyakinan beragama akan semakin berakar kuat melalui penafsiran. Telak disitu koreksinya, bagaimana mungkin suatu penafsiran tak akan terdistorsi atau mendistorsi? Di Indonesia, distorsi penafsiran berpangkal pada ketegangan prinsipil bahwa agama [tertentu] harus menjadi negara. Ini berpapasan tepat dengan persoalan fundamentalisme dan modernisme religius.7 Suatu konfrontasi yang berkutat seputar doktrin dan apa yang ditolak oleh iman. Apabila kita merujuk konstitusi, maka beragama disana dibuhul ke dalam frasa Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam banyak penafsiran itu ditandai sebagai sekularisasi negara.
PRANALA { Maret - April 2015 }
39
Perspektif Memang dalam sejarahnya, frasa tersebut paling ramai menghadirkan perdebatan,8 tetapi jika di eksplorasi sekali lagi, frasa ini berhubungan dengan sistem kebudayaan masyarakat Indonesia yang telah menghidupi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai suatu tertib kontrol-diri dan tertib batin. Konstitusi Indonesia melalui frasa tersebut menunjuk pada tertib-hukum, agar setiap individu dapat menghubungkan keyakinan imannya terhadap tertib-hukum. Disitu kandungan agama lebih dihadirkan dalam konteks sosial ketimbang doktrin transendental. Itu berarti pula, doktrin agama harus berpartisipasi dalam pemuliaan heterogenitas masyarakat, bukan terhadap keyakinan yang tidak dialogis. Kedua, diskursus sekularisasi negara menjadi penting, ketika negara secara konstitusional memberi tempat istimewa atas kehidupan beragama di Indonesia. Atau juga misalnya, sekularisasi negara justru digunakan untuk menindas, disitu kehidupan beragama menjadi terancam. Keduanya butuh konsensus umat, baik ketika negara menjadi sekuler, maupun sekularisasi tersebut ternyata digunakan sebagai legitimasi untuk merongrong kehidupan beragama. Lebih tepatnya, melalui satu pertanyaan, dapatkan agama menerima dan bertahan dalam negara yang konstitusinya memposisikan diri sebagai sekuler? Ketika pertanyaan ini diunggah, jawaban sulit harus dikemukakan, karena pada kenyataannya, tidak semua agama menerima konsep sekularisasi tersebut, misalnya Islam. Head to head disana, hukum negara dan hukum agama, mana yang harus diutamakan ketika misalnya terjadi perbedaan pendapat yang dapat berujung pada
konflik? Tentulah konstitusi yang harus di utamakan, karena disana juga di atur batas-tegas kehidupan beragama. Jawaban ini menjadi rasionalisasi yang sulit diterima, ini dapat menunjuk fenomenon yang sama, yaitu, bahwa sebagian agama yang sulit menerima konstitusi yang harus didahulukan, sesungguhnya sedang merasa terancam atas sekularisasi. Menghubungkan keyakinan, apalagi iman, kepada tertib-hukum yang di inginkan konstitusi memang sulit. Pada situasi yang demikian, agama menjadi tidak dialogis, dan potensial untuk terjadi konflik. Maka pesan kebudayaan dapat diajukan disitu, yakni komunikasi kebudayaan untuk mengisolasi ekpsresi kehidupan beragama yang berlebihan. Komunikasi lintas kebudayaan penting untuk mewujudkan konstitusionalitas kebebasan beragama, dan menegakkan identitas, misalnya sebagai umat beragama yang taat sekaligus sebagai etnis yang taat memegang adat. Pesan kultural semacam ini—dalam epistema Irwan Abdullah—dapat memberi kekuatan pada banyak orang di dalam proses integrasi sosial, yang dalam banyak hal harus menghubungkan kehidupan integrasi tersebut kepada konstitusi. Dengan begitu, kehidupan beragama dapat secara obyektif melihat kedalam keberagaman budaya, dapat pula secara obyektif menghayatinya dalam perbedaan yang harus di hormati, dan menjadi komitmen bersama. Menghadirkan sebuah suasana yang alot, sebetulnya hanyalah bahasa lain dari ekspresi yang berlebihan, diantara itulah setiap orang harus memiliki batas, agar kebebasan dapat hidup secara terukur, dan teratur.
(Endnotes) 1 Selengkapnya Burhanuddin Daya, Agama Dialogis; Merenda Dialektika Identitas dan Realita Hubungan Antara Agama, Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, dicetak oleh LKiS, Cet-I, 2004. 2 Terkait ini, penulis telah mengembangkan tafsir hukum hermeneutikafenomenologis atas Pancasila dalam tesis penulis, Kekuatan Hukum Preambule UUD 1945, di Pascasarjana MIH Universitas Slamet Riyadi Surakarta 2015. 3 Hak untuk mengancam hukuman (strafbedreiging), hak untuk menjatuhkan hukuman (strafoplegging), hak untuk melaksanakan hukuman (strafuitvoering). Hak-hak ini menjadi milik sepenuhnya penegak hukum (hukum pidana ajektif). 4 Berdasarkan hukum pidana substantif. 5 Menandainya sebagai penyimpangan, mencari norma terkait, lalu
40
PRANALA { Maret - April 2015 }
menindaknya. Ini terutama dilakukan penegak hukum ketika terjadi konflik. 6 Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 2009. 7 Lihat studi yang mengulas serius soal ini dalam Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1997. Lihat juga kiprah spesifik melalui kecendekiawanan Islam di Indonesia yang di studi oleh Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Jakarta: Mizan, 2012. 8 Lihat perdebatan alot oleh golongan kebangsaan dan golongan Islam di sidang BPUPKI mengenai ini dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, terbitan Sekretariat Negara 1998.