208
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
Mengibarkan Panji- Panji
Mengibarkan Panji-panji
209
210
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
Bendera Pertama di Puncak Soekarno Pendakian Gunung Jaya Wijaya, 1963
Mengibarkan Panji-panji
211
Pada tanggal 8 September 1963, Presiden Sukarno memanggil beberapa pimpinan instansi pemerintah ke Istana Bogor guna membahas permohonan dari pihak Universitas Kyoto untuk menyelenggarakan suatu Ekspedisi bersama ke daerah pegunungan tengah Irian Barat dengan tujuan melakukan pendakian Puncak Sukarno dan sekaligus penyelidikan Ilmiah. Presiden sangat mendukung rencana itu dan kemudian memerintahkan Men/Pangad mengkoordinasikan pembentukan dan penyelenggaraan kegiatan Tim Ekspedisi yang dimaksud. Unsur-unsur yang selanjutnya dilibatkan dalam Tim Ekspedisi diantaranya Gabungan-V Koti, Ditopad, Pusjarahad, RPKAD, AURI, Direktorat Meteorologi, Perusahaan Film Negara, Pemda Enarotali dan Universitas Cendrawasih. Sebagai pimpinan Tim Ekspedisi yang dinamakan sebagai ‘Ekspedisi Cenderawasih’ ini ditunjuk Kolonel H.A. Hamid dari Ditopad. Penunjukan satuan RPKAD untuk mengirimkan personelnya tergabung dalam Tim Ekspedisi ini salah satunya didasarkan pada pertimbangan bahwa pada tahun 1963 itu pula di RPKAD telah dikembangkan kemampuan di bidang mountaineering melalui program latihan yang intensif. Hal ini berhubungan dengan pengiriman perwira-pewira RPKAD oleh angkatan darat yaitu Mayor Mong Parhadimulyo dan Kapten Seno Hartono untuk menempuh pendidikan mountaineering ke Amerika Serikat. Setelah dilakukan seleksi, dua orang prajurit RPKAD terpilih untuk ikut dalam Tim Ekspedisi Cenderawasih, yaitu Lettu Inf Sudarto dan Peltu Sugirin. Puncak Soekarno merupakan gunung tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 5.030 meter diatas permukaan laut, dan selalu diselimuti oleh salju abadi, nampak sangat mencolok dilihat dari arah pantai Selatan Irian Barat, yang disaksikan pertama kali oleh seorang pelaut Belanda bernama Yan Carstensz pada pelayarannya tanggal 16 Pebruari 1623. Upaya pendakian untuk menaklukkan puncak ini telah berulang kali dilakukan pada permulaan abad ke-20, namun dan baru berhasil dilakukan pada tahun 1936 oleh ‘Ekspedisi Colidn’ Selandia Baru, menggunakan rute dari pantai Selatan. Pada tahun 1962, ekspedisi kedua, juga dari Selandia, berusaha melakukan pendakian dari arah Timur Laut, tetapi hanya berhasil menembus 30 puncak di sekitar pegunungan tanpa pernah menginjakkan kakinya di Puncak Sukarno. Melalui Ekspedisi Cenderawasih, ditargetkan Tim Pendaki yang mewakili bangsa Indonesia itu dapat mencapai puncak dan mengibarkan ‘Sang Merah Putih’ untuk pertama kalinya di Puncak Soekarno, yang diharapkan akan menggelorakan kembali semangat saat merebut kembali Irian Barat dari tangan penjajah Belanda menyongsong pelaksanaan Pepera tahun 1969. Hal penyelidikan ilmiah Ekspedisi Cenderawasih diharapkan pula untuk dapat merintis usaha di bidang kemasyarakatan guna membangun kehidupan yang lebih maju di daerah pedalaman
Atas. Perlengkapan yang dipakai para pendaki ketika mendaki Puncak Soekarno
212
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
dalam rangka peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakatnya. Sesuai dengan kepentingannya, rombongan Ekspedisi Cenderawasih dibagi dalam dua kelompok, yaitu ‘Tim Kuskus’ sebagai tim pendakian Puncak Soekarno, serta ‘Tim Mambruk’ sebagai tim peneliti ilmiah. Pada tanggal 13 Desembar 1963, Tim Ekspedisi Cenderawasih diberangkatkan menuju Enarotali yang ditentukan sebagai titik awal dimulainya perjalanan pendakian. Dari Jakarta, mereka menuju Biak menggunakan pesawat Electra ‘Danau Toba,’ selanjutnya menuju Nabire dengan menggunakan pesawat Dakota AURI, dan terakhir menuju ke Enarotoli dengan pesawat kecil Cessna. Pada tanggal 24 Desember 1963 setelah semua perlengkapan yang diperlukan siap, maka Tim Ekspedisi berangkat melaksanakan misinya yang direncanakan melalui rute Homejo–Hitalipa–Bioga–Puncak Sukarno. Selama dalam perjalanan, mereka berhenti pada titik-titik yang telah ditentukan untuk melaksanakan penelitian ilmiah. Tim Ekspedisi tidak hanya menghadapi naik turunnya medan pegunungan, keluar masuk hutan-hutan yang gelap dan lembab serta menyusuri tebing-tebing lembah yang curam dan licin, namun tidak jarang harus menyusuri sungai dan melewati danau menggunakan perahu. Pada tanggal 25 Desember 1963, anggota Ekspedisi sempat merayakan Natal bersama penduduk setempat di daerah Kumopa.
Atas. Lettu Inf Sudarto dan Peltu Sugirin diarak dalam kendaraan terbuka mengelilingi kota Jakarta
Dari Homejo, Tim Pendaki memutuskan untuk menempuh rute melalui Ogimba dengan maksud untuk memperpendek rute, sementara Tim Peneliti tetap menempuh rute sesuai rencana awal. Namun karena keadaan medan yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan melalui rute baru, akhirnya Tim Pendaki memutar kembali ke rute awal
Mengibarkan Panji-panji
213
dan bergabung kembali dengan Tim Peneliti di Bioga. Mereka kemudian sempat merayakan hari Idul Fitri dengan mengadakan Sembahyang bersama dan berdoa semoga dapat menunaikan tugas akspedisi ini dengan berhasil. Sementara itu, pihak AURI terus mengikuti perkembangan gerakan Tim Ekpedisi dan kemudian melakukan droping bekal dari pesawat. Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari tiga bulan, Tim Ekspedisi berhasil mencapai titik di ketinggian 4.050 m, dan mendirikan kemah terakhir sebelum naik lebih lanjut menuju puncak. Pada tanggal 29 Februari 1963, Tim baru dapat melanjutkan upaya pendakian kembali karena seringnya mengalami cuaca buruk. Setelah melalui kerja keras melintasi medan terjal dan bersalju, tepat pada tanggal 1 Mei 1963 sejumlah 6 orang dari anggota ekspedisi berhasil menginjakkan kaki di Puncak Soekarno, tiga diantaranya dari Tim Indonesia yaitu Letnan Sudarto, Peltu Sugirin dan Fred Athabu (putra daerah Irian Barat). Dengan rasa haru tidak terkira, bendera Sang Merah Putih pemberian Presiden Sukarno dibentangkan di atas salju Puncak Sukarno, pada ke empat ujungnya dipaku dalam salju, agar tidak hilang dihembus oleh angin yang bertiup sangat kencang pada ketinggian tersebut. Setelah itu Lettu Sudarto menulis pesan di atas kertas beralaskan punggung saudara Fred Athabu, berisi tulisan ‘Kupersembahkan Kepada Bangsaku, Sebagai Tanda Pengabdianku Telah Kuselesaikan, Semoga Bangsaku Tetap Jaya.’ Surat pesan dimasukkan dalam botol yang ditutup rapatrapat dan ditanam dibawah Sang Merah Putih sebagai bukti bagi pendakipendaki berikutnya dikemudian hari bahwa pada 1 Maret 1964, Puncak Sukarno telah dicapai oleh pendaki-pendaki pertama Indonesia.
Atas. Lettu Inf Sudarto dan Peltu Sugirin menuruni tangga pesawat di bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta disambut warga korps Baret Merah
214
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
Mengibarkan Panji-panji
215
Menginjak Puncak Grandes Jorrasses Pendakian di Perancis, 1990
Pada awal tahun 1990, satuan Kopassus mendapatkan kepercayaan dari Pimpinan TNI AD untuk mengirimkan prajurit-prajurit Kopassus sebagai perwakilan dari ‘PPG-AD’ dalam rangka mendukung Ekspedisi pendakian Grandes, Jorrases, Perancis, salah satu puncak gunung tertinggi di Eropa, yang akan dilaksanakan bersama dengan anggota-anggota pecinta alam ‘PATAGA.’ Ditargetkan Tim Ekspedisi dapat mencapai sasaran pendakian pada tanggal 17 Agustus 1990, dan mengibarkan panji-panji kebesaran bangsa Indonesia ‘Sang Merah Putih,’ bertepatan dengan saat peringatan HUT ke-45 Kemerdekaan RI. Sebagai Komandan Tim Ekspedisi ditunjuk Letkol Inf Mustopo dari Grup-3 Pusdikpassus Kopassus dibantu Mayor Inf Ading Rupadi sebagai Kasi Opslat. Anggota Tim terdiri dari empat orang pendaki PPG-AD Kopassus masing-masing yaitu Serda Ayat Priyatna (Grup3), Serda Sumari (Grup-2), Serda M. Situmorang dan Serda Sudarto (Den-81), serta empat orang anggota PATAGA yaitu Syahbudin, Yosep CDS, Faisal S. Duta dan Erwin Yuliand. Sejak tanggal 15 April 1990 seluruh personel Tim menjalani pemusatan latihan dan menyiapkan perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan. Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan persiapan, Tim Ekspedisi kemudian melakukan pemanasan-pemanasan dengan pendakian ke Puncak ‘Cartenz Pyramid’ dan ‘Puncak Soekarno’di Gunung Jayawijaya, Irian Jaya. Setelah menjalani persiapan selama kurang dari tiga bulan, Tim Ekspedisi diberangkatkan dari Jakarta menuju Perancis, Eropa. Saat itu iklim di Eropa sudah memasuki musim gugur yang cukup dingin, namun demikian keadaan di lingkungan sasaran pendakian masih belum sepenuhnya diselimuti oleh salju sebagaimana keadaan di musim dingin sesuai dengan perhitungan dalam rencana pendakian. Usai melakukan penyesuaian-penyesuaian, Tim Ekspedisi memulai perjalanan pendakiannya. Medan yang berat dan cuaca dingin dihadapi dengan tabah dan penuh konsentrasi oleh para anggota Tim selama berhari-hari. Pagi hari tanggal 17 Agustus 1990, Tim Ekspedisi berhasil mencapai puncak Grandes, Jorrases, dan tepat pukul 10.00 berkibarlah ‘Sang Merah Putih’ dengan megah di salah satu puncak gunung tertinggi di Eropa tersebut.
Atas. Pemandangan gunung Grandes Jorrases di Perancis
216
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
Mengibarkan Panji-panji
217
Mencapai ‘Atap’ Dunia Pendakian Mount Everest, 1996 Semua demi tegaknya Sang Saka Merah Putih, dengan semangat itulah Satuan Baret Merah menorehkan berbagai prestasi dalam penugasannya. Dengan semangat itu pulalah, satuan ini sejak lama mencanangkan tekad untuk dapat mengibarkan bendera national ‘Sang Merah Putih’ di puncak gunung tertinggi di dunia Mount Everest (8.848 meter), sejak keberhasilan prajurit-prajurit Baret Merah mengibarkan panji-panji bangsa untuk pertama kalinya di puncak gunung tertinggi di Indonesia tahun 1963 dan puncak gunung di Perancis Eropa. Dalam rangka merealisasikan tekad tersebut, pada tahun 1996, Kopassus merancang suatu ekspedisi pendakian ke Mount Everest. Sebagai langkah awal, pada bulan September 1996 dikirim Tim Advance beranggotakan Kapten Inf Rohadi dan Monty Sorongan ke Nepal sekaligus untuk mengurus administrasi ijin pendakian. Untuk tindak lanjutnya, WadanGrup-1 Kopassus, Letkol Inf Pramono Edhie Wibowo, yang ditunjuk sebagai Koordinator Umum Ekspedisi Mount Everest, bersama dengan Waasops Kopassus, Letkol Inf Erfie Triassunu, kemudian mengkoordinasikan rencana, program seleksi, dan latihan. Sekretariat Tim Ekspedisi segera dibuka bertempat di Gedung Serba Guna Makopassus Cijantung. Setelah berhasil menghimpun 45 orang calon anggota Tim Ekspedisi yang terdiri dari pendaki Kopassus serta pendaki sipil, pada tahap berikutnya dilakukan ‘Chamber Test’ di Lakkespra Saryanto, Pusat Test dan Kesehatan TNI–AU, sekaligus pembekalan tentang Altitude Mountain Sicknes (AMS) dengan segala resiko yang mungkin timbul. Usai menjalani Chamber Test, mereka menjalani pemeriksaan kesehatan lengkap di RSPAD Gatot Subroto. Seluruh bagian penting termasuk jantung dan kapasitas paru diperiksa, khususnya untuk dapat ketahui nilai VO2 Max standar yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi kemampuan menghadapi perubahan udara.
Atas. Anggota tim pendaki sedang melaksanakan aklimatisasi di Camp Paldor
218
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
Mengibarkan Panji-panji
219
Atas. Tim pendaki sedang beristirahat di Camp Island Peak untuk mempersiapkan pendakian berikutnya
220
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya Program pemusatan latihan segera dilaksanakan, diawali dengan periodisasi pembinaan fisik secara cermat yang disusun dalam sebuah simulasi berjenjang dengan bantuan dosen olah raga dari FKOK IKIP Jakarta, Drs Oktavianus Mataukupan. Para peserta harus menjalani latihan pada ketinggian 3.000 meter, yaitu mendaki puncak Gunung Gede, dan Pangrango, Jawa Barat. Lewat metode tes ketahanan tubuh atas perubahan ketinggian per 1.000 meter, mereka diharuskan mendaki dari ketinggian 1.800 meter melalui Desa Gunung Putri ke Alun-alun Timur di Gunung Gede yang berketinggian 2.970 meter. Kecepatan rata-rata pendaki diukur dan dicatat perkembangan kemajuannya, mulai dari di atas waktu 1 jam 15 menit yang terus meningkat hingga hampir mencapai waktu 45 menit di akhir latihan. Latihan serupa kemudian juga diterapkan oleh Vladimir Baskorov, instruktur dari Rusia, yang membantu memberikan pelatihan saat dilaksanakan program pemusatan di Paldor Glacier–Nepal menjelang akhir tahun 1996. Selama sebulan, para pendaki langsung diperkenalkan pada medan-medan sulit, terutama bagaimana menyelamatkan diri dan aklimatisasi akibat timbulnya penyakit ketinggian. Untuk itu, para pendaki harus berjuang keras mengatasi ganasnya musim dingin pada ketinggian 5.928 meter di akhir tahun itu, terlebih pada ketinggian di atas 5.000 meter keadaan oksigen telah semakin menipis hingga sekitar 50% dari keadaan normal yang dapat menimbulkan kekurangan oksigen. Sejak memasuki latihan pada ketinggian di atas 4.000 meter, ratarata para anggota Tim Pendaki menderita sakit ketinggian itu, yang ditandai dengan rasa mual mendalam disertai pusing yang sangat sulit diungkapkan, dan nafas tersengal-sengal sehingga menyebabkan berat badan turun drastis, utamanya akibat hanya sedikit makanan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini sekaligus memberikan gambaran langsung kepada para pendaki tentang Altitude Mountain Sickness (AMS). Latihan dan sekaligus tahapan seleksi tersebut telah menyusutkan jumlah anggota Tim dari 33 orang menjadi tinggal 25 orang, yang lainnya berguguran akibat menderita sakit bahkan seorang diantaranya yaitu Kamran dari FPTI terpaksa harus dijemput dengan helikopter saat dibawa ke Kathmandu.
Atas dan halaman sebelah. Anggota tim pendaki sedang melakukan pendakian dan melewati jurang dengan menggunakan tangga
Tahap berikutnya, sebagai latihan akhir, para pendaki harus membiasakan diri untuk tinggal di ketinggian 6.128 meter, menghadapi temperatur yang mencapai hingga di bawah –400ºC. Situasi ini masih ditambahkan dengan tiupan angin kencang di daerah latihan Imja Tse (Island Peak) daerah Solu Khumbu Nepal itu. Setelah sebulan menjalani program latihan yang didukung oleh para Sherpa yang berpengalaman,
Mengibarkan Panji-panji
221
222
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
Mengibarkan Panji-panji
223
jumlah pendaki kembali menciut tinggal 16 orang di akhir latihan. Oleh Koordinator Umum Ekpedisi Mount Everest, Letkol Inf Pramono Edhie Wibowo, keenambelas anggota yang telah lolos seleksi disusun dalam dua Tim yang masing-masing disiapkan untuk melaksanakan pendakian melalui route yang berbeda. Tim-I beranggotakan sepuluh orang, melakukan pendakian dari sisi Selatan di Nepal, sedangkan Tim-II beranggotakan enam orang mendaki dari sisi Utara di Tibet–China. Sebelum pendakian seluruh Tim melaksanakan persiapan-persiapan di Hotel Gauri Shanker Khatmandu. Pada tanggal 12 Maret 1997, Tim pendaki dari sisi Selatan diberangkatkan secara langsung oleh Danjen Kopassus di Desa Lukla menggunakan sebuah helicopter Rusia menuju titik awal pendakian yang ditempuh dalam waktu 45 menit. Sementara Tim pendaki dari sisi Utara, diberangkatkan pada tanggal 20 Maret 1997 melalui darat menggunakan kendaraan menuju titik awal pendakian di kota Zangmu, di perbatasan Nepal dengan Tibet. Selama 46 hari para, pendaki menapaki lerenglereng es dan salju di Everest. Selama perjalanan pendakian mereka mendirikan camp, untuk beraklimatisasi, melakukan penyesuaian terhadap perubahan suhu dan ketinggian.
Atas dan halaman sebelah. Pratu Asmujiono, anggota tim yang berhasil mencapai puncak Mount Everest
Saat tiga anggota Tim sisi Utara terdiri dari seorang anggota Kopassus dan dua orang anggota Wanadri sudah mencapai ketinggian sekitar 8.600 meter, mereka dihadapkan pada situasi cuaca dan suhu udara yang sedemikian buruk. Atas pertimbangan keselamatan dan keamanan, sesuai instruksi yang telah diberikan mereka tidak melanjutkan pendakian, walaupun puncak sasaran sudah sangat dekat. Sementara itu Tim sisi Selatan berhasil memasuki sasaran, dan hari itu tanggal 26 April 1997 pukul 15.25, Pratu Asmujiono dengan penuh perjuangan dapat menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di puncak ‘Atap Dunia’ Mount Everest disusul kemudian oleh Sertu Misirin dan Lettu Inf Iwan Setiawan. Segera bendera ‘Merah Putih’ berkibar di tempat tertinggi dunia tersebut, yang sekaligus menempatkan Tim Pendaki Indonesia sebagai pendaki pertama di Asia Tenggara, serta menempatkan pendaki militer Indonesia sebagai pendaki ketiga di jajaran angkatan bersenjata seluruh dunia setelah Nepal dan India, yang berhasil mencapai Puncak Mount Everest.
...dan hari itu tanggal 26 April 1997 pukul 15.25, Pratu Asmujiono dengan penuh perjuangan dapat menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di puncak ‘Atap Dunia’ Mount Everest disusul kemudian oleh Sertu Misirin dan Lettu Inf Iwan Setiawan. Segera bendera ‘Merah Putih’ berkibar di tempat tertinggi dunia tersebut, yang sekaligus menempatkan Tim Pendaki Indonesia sebagai pendaki pertama di Asia Tenggara, serta menempatkan pendaki militer Indonesia sebagai pendaki ketiga di jajaran angkatan bersenjata seluruh dunia setelah Nepal dan India, yang berhasil mencapai Puncak Mount Everest.
224
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
Menembus Rekor Asia Canopy Relative Work, 1996 Terjun bebas..., salah satu kemampuan yang telah dikembangkan di satuan Kopassus sejak tahun 1980-an untuk memenuhi kebutuhan terhadap kemampuan di bidang infiltrasi udara guna mendukung keberhasilan tugas pokok satuan. Sasaran yang cukup jauh dan medan yang sulit, serta kebutuhan untuk menciptakan pendadakan, merupakan salah satu tantangan bagi prajurit-prajurit Baret Merah ini dalam tugasnya. Sebagai jawabannya, adalah kemampuan lintas udara berupa terjun bebas, hal mana pasukan dapat mendarat dengan cepat dan sangat dekat dengan sasaran secara rahasia. Kegiatan terjun payung prajurit-prajurit Baret Merah berkembang dengan cepat, bukan hanya terbatas pada terjun bebas militer namun juga telah merambah pada terjun bebas olahraga. Banyak peterjunpeterjun Kopassus yang menjadi atlet-atlet handal serta menorehkan prestasi dalam berbagai kejuaraan baik di tingkat nasional maupun internasional, mulai dari kejuaraan di bidang ketepatan mendarat ‘Accuracy,’ kerja sama di udara ‘Relative Work’ (RW), maupun kerja sama antar payung ‘Canopy Relative Work’ (CRW). Untuk kegiatan kerja sama antar payung, salah satu jenisnya yaitu kerjasama membentuk suatu formasi yang banyak jenisnya antara lain yaitu formasi ‘Susun Tegak’ yang belum pernah dilakukan oleh peterjun Kopassus.
Atas & halaman sebelah. Formasi 17 berhasil dicapai oleh anggota tim peterjun Kopassus
Pada tahun 1983, para peterjun gabungan ABRI pernah melaksanakan terjun kerja sama formasi susun tegak di Lapangan Udara Kemayoran Jakarta, dan berhasil membentuk formasi susun tegak 13 payung. Untuk tingkat ASEAN, rekor susun tegak dipegang Tim Peterjun Thailand dengan 14 payung, sedangkan di tingkat Asia rekor dipegang Tim Peterjun China dengan 15 payung. Seiring dengan pesatnya kemajuan kegiatan terjun bebas di kalangan prajurit Kopassus, menjadi suatu tantangan untuk mengasah dan menguji kemampuan dalam melakukan terjun kerja sama formasi susun tegak yang belum pernah dilakukan peterjun Kopassus, dan dicanangkan tekad untuk dapat melakukan suatu pemecahan rekor bertaraf internasional.
Mengibarkan Panji-panji
225
226
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya Bermula dari tekad tersebut mulai pertengahan Januari 1996 disusun rencana kegiatan dan program latihan, dengan target pemecahan rekor dapat dilakukan tepat pada saat HUT ke-44 Baret Merah tanggal 16 April 1996, dengan tujuan disamping mengibarkan panji-panji bangsa Indonesia di forum Internasional sekaligus juga sebagai suatu kado ulang tahun bagi segenap warga Korps Baret Merah. Rencana kegiatan ini mendapat sambutan dan dukungan dari organisasi-organisasi terjun di tanah air seperti Pusat Terjun Payung FASI, PTP Aves dan PTP Polri, yang kemudian mengirimkan personel-personelnya untuk membantu penyiapannya. Letkol Inf Erfie Triassunu yang ditunjuk sebagai koordinator kegiatan dibantu oleh salah satu penerjun senior Kopassus yaitu Letkol Inf Syamsuri, segera mengkoordinasikan perencanaan dan persiapan kegiatan. Pada tahap awal, sejumlah 17 orang peterjun Kopassus yang telah diseleksi secara ketat dikumpulkan di Pusdikpassus Kopassus, Batujajar, untuk diberikan pelajaran-pelajaran teori dan praktek-praktek penerjunan selama sekitar dua setengah bulan. Dalam hal ini, Kopassus memperoleh bantuan tenaga pelatih dari FASI Perancis (IPC–FAI) yaitu Patrice Gerardin yang berpengalaman dalam olah raga terjun kerja sama formasi. Tahap selanjutnya, para peterjun Kopassus melaksanakan latihan penerjunan secara intensif selama satu bulan. Secara normal diperlukan waktu selama enam bulan untuk melaksanakan rangkaian persiapan kegiatan seperti ini, namun karena waktu penerjunan telah ditetapkan, maka peterjun-peterjun Kopassus harus bekerja keras untuk dapat menyelesaikannya dalam waktu yang cukup singkat. Terjun kerjasama formasi susun tegak merupakan salah satu jenis olah raga terjun yang sangat beresiko, sehingga disamping sangat menuntut keberanian, para peterjun mampu mengambil keputusan dan bertindak secara cepat serta memiliki tanggung jawab dalam suatu kesatuan. Peran pelatih sangat dominan dalam menciptakan kegiatan yang realistis dan kemampuan tinggi, serta dituntut kepiawaian dan kemampuannya untuk meramu peterjun. Peran peterjun senior berpengalaman juga sangat penting untuk memberikan bimbingan kepada yuniornya, membangun kepercayaan diri baik secara perorangan maupun Tim serta menciptakan kekompakan yang harmonis.
Atas. Tim pemecah rekor Asia dalam suatu latihan
Dengan bermodalkan disiplin yang tinggi, kerja keras dan semangat pantang menyerah demi Merah Putih, seluruh program latihan dapat diselesaikan dengan baik, lancar dan aman oleh ketujuhbelas peterjun Kopassus, yang terdiri dari delapan orang Perwira, delapan orang Bintara dan satu orang Tamtama, masing-masing yaitu Kapten Inf
Mengibarkan Panji-panji
227
Imam Rusnomo, Kapten Inf Tri Widodo, Lettu Inf Burhamsyam, Lettu Inf Slamet, Lettu Inf Sumeri, Letda Inf Wardi, Letda Inf Tasimintoro, Letda Inf Suwardji Hartoyo, Serma Suganda, Serka Usman Rinton, Sertu Kabul Santoso, Sertu Samsul Arif, Sertu Elas Miharja, Sertu Suwito K., Serda Marlon S., Serda Nuralang dan Praka Mujiono. Pagi tanggal 16 April 1996, setelah para peterjun selesai mempersiapkan diri mereka segera bergerak masuk pesawat Cassa-212 Angkatan Darat yang sudah menderu-deru menunggu di areal samping landasan. Langit di atas lapangan udara Pondok Cabe Jakarta saat itu cukup cerah, yang sangat membesarkan hati para peterjun untuk dapat melaksanakan misinya. Pesawat segera membawa para peterjun membubung tinggi sampai sekitar 14.000 feet. Sekitar pukul 10.00, setelah mendapatkan kode yang diberikan pilot pesawat, Kapten Pnb Jumair, para peterjun segera melompat keluar pesawat. Hanya sesaat mereka melayang dan segera mengembangkan payungnya yang berwarna ‘Merah Putih,’ warna panji-panji kebesaran dan kehormatan bangsa Indonesia. Satu persatu para peterjun menyusun formasi payung, dan dalam tempo sekitar 10 menit terbentuk formasi susun tegak 17 payung yang berlangsung selama kurang lebih 10 detik. Segenap hadirin yang mengamati aksi prajurit-prajurit Baret Merah dengan penuh harap dan rasa was-was di areal lapangan udara Pondok Cabe segera bersorak dan bertepuk tangan gembira, pecahlah rekor Asia terjun kerjasama formasi susun tegak yang telah dipegang Tim Peterjun Cina selama lima tahun sejak tahun 1991 oleh Tim Peterjun Kopassus dari Indonesia.
Bawah. Seluruh anggota tim pemecah rekor Asia dalam Canopy Relative Work sebelum melakukan penerjunan
228
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
Mengibarkan Panji-panji
229
Ekspedisi Poligon Merah Putih di Puncak Gunung-gunung Tertinggi di Indonesia, 1999 Sebagai bagian dari upaya untuk ikut menggelorakan rasa cinta tanah air serta memupuk kembali rasa kesatuan dan persatuan, Kopassus merencanakan suatu ekspedisi pendakian yang melibatkan Tim dari Kopassus serta anggota-anggota pecinta alam dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Perubahan situasi nasional dengan bergulirnya angin reformasi pada tahun 1998 dalam perkembangannya telah melahirkan sejumlah ekses yang perlu menjadi perhatian dan disikapi secara arif agar jiwa, semangat dan cita-cita reformasi untuk menuju Indonesia baru yang lebih baik tidak melenceng. ‘Sikap’ saling menghujat secara marak muncul di mana-mana, aksi-aksi kekerasan antar kelompok dalam masyarakat banyak terjadi, yang kesemuanya akan dapat menodai bahkan merusak bangunan kesatuan dan persatuan yang telah dirintis dan dibangun oleh para pejuang bangsa sejak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai bagian dari upaya untuk ikut menggelorakan rasa cinta tanah air serta memupuk kembali rasa kesatuan dan persatuan, Kopassus merencanakan suatu ekspedisi pendakian yang melibatkan Tim dari Kopassus serta anggota-anggota pecinta alam dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Program yang dinamakan dengan Ekspedisi Poligon 1999 tersebut bertujuan untuk melakukan pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih secara serempak di puncak-puncak gunung tertinggi di seluruh Indonesia tepat pada tanggal 17 Agustus 1999 saat HUT ke54 Kemerdekaan RI. Sebagai koordinator penyelenggaraan kegiatan kemudian ditunjuk Komandan Grup-5 Kopassus, Kolonel Inf Pramono Edhie Wibowo dengan Wakil Koordinator Mayor Inf Nugroho.
Atas. Tim Poligon 99 berhasil mencapai puncak Gunung Binaya di Maluku
230
KOPASSUS; Sejarah dan Perkembangannya
Mengibarkan Panji-panji
Ekspedisi Poligon yang direncanakan ternyata mendapat banyak sambutan, dengan bergabungnya sejumlah 39 orang yang merupakan pelajar SMU dan mahasiswa pecinta alam dari UI, Universitas Atmajaya, Universitas Trisakti, IKIP, Perbanas, IAIN dan UPN, dari Jakarta, Unpad dan ITB, Bandung, kemudian dari UGM Yogyakarta, Universitas Muhamadiyah Malang serta Klub Pecinta Alam Tramp.
Atas. Tim ekspedisi Poligon 99 ketika sedang mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Gunung Agung di Bali
Ekspedisi Poligon yang direncanakan ternyata mendapat banyak sambutan, dengan bergabungnya sejumlah 39 orang yang merupakan pelajar SMU dan mahasiswa pecinta alam dari UI, Universitas Atmajaya, Universitas Trisakti, IKIP, Perbanas, IAIN dan UPN, dari Jakarta, Unpad dan ITB, Bandung, kemudian dari UGM Yogyakarta, Universitas Muhamadiyah Malang serta Klub Pecinta Alam Tramp. Seluruh personel terlibat dalam Ekspedisi Poligon 1999 kemudian menjalani program pemusatan latihan di Cijantung Jakarta (Makopassus) dalam rangka mempersiapkan kemampuan fisik dan mental untuk melaksanakan kegiatan pendakian. Selesai mengikuti program latihan, anggota ekspedisi yang telah disusun dalam beberapa Tim diberangkatkan menuju sasaran pendakian masing-masing dengan dilepas langsung oleh Komandan Jenderal Kopassus. Oleh karena tidak semua propinsi memiliki gunung, kemudian ditentukan sembilan gunung tertinggi di sembilan propinsi yang menjadi sasaran pendakian Ekspedisi Poligon 1999, yaitu Gunung Leuser di Aceh, Gunung Kerinci di Sumatera Barat, Gunung Bukit Raya di Kalimantan Tengah, Gunung Latimojong di Sulawesi Selatan, Gunung Binaya di Ambon, Gunung Cartenz di Irian Jaya, Gunung Agung di Bali, Gunung Semeru di Jawa Timur, dan Gunung Ciremai di Jawa Barat.
Dengan penuh semangat, kekompakan dan kerjasama, para anggota Ekspedisi Poligon 1999 bekerja keras melakukan pendakian menuju puncak gunung yang menjadi sasaran masing-masing dan berusaha untuk dapat tiba di tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Pada tanggal 17 Agustus 1999, ditengah suasana pagi yang dingin di puncak gunung tertinggi di sembilan propinsi di Indonesia, secara serempak seluruh Tim Ekspedisi Poligon 1999 melaksanakan pengibaran bendera Sang Merah Putih memperingati HUT ke-54 Kemerdekaan RI. Lagu Indonesia Raya dan pekik Sumpah Pemuda pun mereka kumandangkan di tengah kesunyian puncak gunung yang semakin memberikan rasa khidmat dan haru, disertai dengan doa untuk senantiasa terpeliharanya kesatuan bangsa dan negara Indonesia yang tercinta.
231