KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM LEGISLASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH ANALISIS PUTUSAN MK 93/PUU/-X/203
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh: Fikri Abdullah NIM: 10904800048
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/2014 M
KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM LEGISLASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH ANALISIS PUTUSAN MK 93/PUU/-X/203
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Fikri Abdullah NIM : 109048000048
Pembimbing:
Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H NIP : 19591231 198609 1003
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI i
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/2014 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (SI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika suatu saat terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 April 2014
Fikri Abdullah 109048000048
iii
ABSTRAK
FIKRI ABDULLAH NIM 109048000048, TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM LEGISLASI RNCNGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH PASCA PUTUSAN MK 93/PUU/-X/2013. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Klembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2014 M. Xi + 100 halaman + 4 halaman daftar pustaka. Penelitian ini dilakukan untuk mencari dasar ketentuan dikabulkan untuk seluruhnya dari kasus pada perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh seorang anggota Dewan Perwkilan Derah (DPD) dalam kewenangan legislasi di parlemen yang teretuang dalam ketentuan didalam UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan adanya ketentuan pada pasal tersebut pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang dilindungi oleh UUD NRI 1945. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan doktrin (doctrinal approach). Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bahan hukum primer yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XI/2013 dan risalah sidangnya, serta peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa beberapa ketentuan yang ada didalam UU MD3, serta UU P3 mengenai kewenangan legislasi bertentangan dengan UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi mengembalikan kembali kewenangan legislasi DPD dalam prolegnas. Selain itu penguatan peran legislatif DPD pun semakin menguat dengan adanya putusan MK tersebut, sehingga putusan tersebut dianggap membawa pembaharuan bagi kedudukan DPD sebagai lembaga kenegaraan. Kata Kunci : Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Legislasi RUU, Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembimbing : Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, SH., MH. Daftar Pustaka : Tahun 1994 s.d Tahun 2013
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang mana atas limpahan nikmat karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjugan kita baginda Nabi Muhammad SAW. Penulis menyadari dengan setulus hati bahwa skripsi yang dibuat oleh penulis masih sangat jauh dari kata sempurna. Hal tersebut didasari pada keterbatasan waktu, tenaga, maupun pengetahuan yang penulis miliki. Akan tetapi penulis berupaya semaksimalkan mungkin untuk memberikan yang terbaik kepada para pembaca khususnya mahasiswa ilmu hukum UIN Jakarta untuk memberikan pengetahuan dan sebagai tambahan refrensi mengenai apa yang telah penulis buat. Serta penulis sangat bersyukur atas pengalaman serta wawasan yang semakin bertambah ketika menyusun skripsi ini. Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. J.M Muslimin S.H., M.H., selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Terima kasih kepada Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku ketua program studi ilmu hukum serta Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. selaku sekretaris program studi Ilmu Hukum atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini. 3. Terima kasih yang tak terhingga kepada Prof. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H., yang telah berkenan menjadi pembimbing dalam penyusunan skripsi ini dengan penuh kesabaran, ketelitian, serta banyak memberikan masukan yang sangat positif sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
v
4. Terima kasih kepada segenap dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Terima kasih kepada Abdurauf, Lc. Selaku dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun dalam hal akademik lainnya. 6. Terima kasih kepada Nur Rohim Yunus, L.L.M yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan serta saran untuk penulis. 7. Terima kasih kepada Nur Habibi, S.H., M.H., yang selama ini telah meluangkan waktu dan memberikan masukan serta saran untuk penulis, serta membimbing penulis sejak awal perkuliahan; 8. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Abdul Karim dan Ibunda Imriti yang selalu berdoa dan tiada henti mendukung penulis untuk menyelesaikan studi nya, dan berjuang dengan sangat keras untuk penulis. semoga Allah SWT senantiasa memberikan nikmat iman, islam, dan sehat kepada keduanya. 9. Terima kasih kepada adik-adik penulis Malik Khaidir serta Dimyati, serta para sepupu Abi Wafa, Moch. Iqbal, Sasha, Siti Faizah, Siti Soleha, Sari Maimunah, Cak Genchar, Silby, Dika, serta beberapa saudara-saudara penulis yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan motivasi dan doa kepada penulis. 10. Terima Kasih kepada seluruh kerabat-kerabat seperti Hary Restu H, Budi Nugraha, Farhan, Yulya, serta beberapa kerabat dekat yang senantiasa memberikan suntikan moril kepada penulis. 11. Terima Kasih kepada Cangkir The Gank Riviantha, Yudi, Prayoza, Akhmad vi
Kholil, dkk yang selama ini telah setia menemani perjuangan kuliah hingga masa berlaku perkuliahan sebentar lagi habis; 12. Terima Kasih kepada , Ilmu Hukum B angkatan 2009 Jajang, Maul, Farhan B, Roma, Arif , Imam, Gagat, Zaki, Saddam, dkk yang selama ini juga telah memberikan doa dan dukungannya kepada penulis. 13. Terima Kasih kepada Anti, Ujoh, Nazia, Fikka, Ocha, Defi, Bibil, Jakim, Gerry, Jentel, Icang, Doble Ilham, dll segenap ilmu hukum angkatan 2010 yang selama ini telah memberikan dukungan secara moril serta doa kepada penulis; 14. Terima kasih kepada Ichsan Beler, Tholib, Arman, Mail, Dika, Boceng, Tika, Citra, Irha, Pipih, Dimas RD, Farhan Subhi, Rezha, Eja, Fitroh, Hanif kancing, Agus bewox, Mbah Dobleh, dan segenap sahabat/i PMII angkatan 2009 lainnya yang selama ini telah berjuang bersama penulis dan memberikan dukungan serta doa kepada penulis; 15. Terima Kasih kepada keluarga besar IRMADA khususnya Faisal, Rio, Nurul, Ajeng, Idrus, Amel, Ode, Vera, Rina dkk yang terus memberikan dukungan serta doa kepada penulis; 16. Terima kasih kepada keluarga besar SAMASTHA BUANA dan LSM SAMASTHA BUANA khususnya Arwan, Farry, Eko, Ateng, Jambe, Bang jangga, bang jati, bang erizal (Ketum LSM SB), bang febri ( bf ) , bang rudi, ucup, keset, okta, dll yang terus memberikan dukungan dan doa tiada henti kepada penulis; 17. Terima kasih kepada keluarga besar LBH MATA HATI, Bang benu, Bang Badrul, Bang azis, Bang Nuzul, Nurul, Vani, Iwan, Uci, dll yang terus memberikan dukungan serta mendorong penulis lebih berkembang; vii
18. Terima kasih kepada segenap Pengurus KARANG TARUNA CIREUNDEU, Om tibet, Bang Abdhi, Cepoy, Bang Zabier, Nandya, Ayu, Handi, Bang Ayang, manarul dll yang selama ini juga telah memberikan doa dan dukungannya kepada penulis. 19. Terima kasih kepada segenap rekan-rekan Sekolah Anti Korupsi angkatan I, Isram, Pohan, Bianca, Ryan, Ingdam, Sarah, uswah, dll yang telah memberikan doa serta dukungannya kepada penulis; 20. Terima Kasih kepada rekan-rekan Gooners UIN, Apong, Daeng, Monic, Tatang, Temon, Alfian, Bagus, Poltak, dll yang juga telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis; 21. Terima kasih kepada Keluarga besar FOKDEM, Ayas, Dani, Shela, Izul, dll yang juga telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis selama ini; 22. Tak lupa, penulis sangat berterima kasih kepada seluruh direksi JIMLY SCHOOL OF LAW AND GOVERNMENT Bpk. Qomarudin (Direktur JSLG), Sdr. Hamdy (Manager JSLG), Mas Faqih (IT JSLG), Mba Dwi (Bendahara JSLG), Ibu Ida (Marketing JSLG) yang selama ini terus memberikan masukan serta dukungannya terhadap penulis, serta berbagai refrensi pun penulis temukan di JSLG.
Jakarta, 15 April 2014
Fikri Abdullah
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...............................................................i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iii ABSTRAK ....................................................................................................................iv KATA PENGANTAR................................................................................. .................iv DAFTAR ISI.......................................................................................... .......................ix DATA LAMPIRAN ................................................................................................... xii BAB
I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 8 C. Pembatasan Dan Rumusan Masalah ....................................................... 9 D. Tinjauan Dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10 E. Tinjauan (review) kajian terdahulu ....................................................... 11 F. Metode Penelitian ................................................................................ 12 G. Analisis Data ......................................................................................... 15 H. Sistematika Penulisan ............................................................................ 15
BAB II
KONSEP PERAN DPD SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF A. Teori Legislatif ..................................................................................... 18 1. Pengertian Legislatif ........................................................................ 18 2. Legislatif dalam perspektif Bicameral ............................................. 22
ix
B. Check and Balance ............................................................................... 27 1. Pengertian Check and Balances ........................................................ 27 2. Penerapan Check and Balances di Lembaga legislatif Indonesia .......................................................................................... 29 C. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang- Undang ...................... 34 1. Sejarah Pembentukan MK ................................................................ 34 2. Kedudukan MK ................................................................................ 38 3. Fungsi dan Peran MK ....................................................................... 41 BAB III
KEDUDUKAN HUKUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH BERDASARKAN KONSTITUSI A. Sejarah dan Dasar Hukum Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah.................................................................................................... 44 1. Sejarah Pembentukan DPD .............................................................. 44 2. Dasar Hukum Pembentukan DPD ................................................... 47 B. Kinerja DPD RI Dalam Bidang Legislasi ............................................ 49 C. Konsepsi Mengenai Legislasi Yang Ideal Menurut Anggota DPD dan Para Ahli ........................................................................................ 52 D. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah berdasarkan UUD 1945 ......... 60 1. Kedudukan DPD dalam Pembentukan Undang-Undang Pasca amandemen UUD 1945 NRI ........................................................... 60 2. Kewenangan legislasi DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia ........................................................................................... 62 3. Implementasi Kewenangann Legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam Undang-Undang No. 27 Tahun Tentang MPR, x
DPR, DPD, dan DPRD serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan Khususnya dalam Proses Pengajuan dan Pembahasan RUU Otonomi Daerah ............................................................................... 69 BAB IV
KEWENANGAN HUKUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM LEGISLASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH ANALISIS PUTUSAN MK 92/PUU/X/2013 A. Kedudukan dan
kewenangan DPD dalam pembahasan
RUU
Otonomi Daerah sesudah diputuskannya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah .................................................................................... 73 B. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan putusan MK Nomor 92/PUU- X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah ................................................. 79 C. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah ................................................................................... 88 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 101 B. Saran ................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 107 LAMPIRAN xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Lembaga legislatif adalah badan deliberatif pemerintah dengan kuasa untuk membuat hukum yang dalam hal ini disebut dengan peraturan perundang– undangan. Legislatif dikenal dengan beberapa nama, yakni parlemen, kongres dan asembli nasional. Dalam system parlemen, legislatif sebagai badan tertinggi dan menunjuk eksekutif. Sedangkan dalam system presidensiil, legislatif sebagai cabang pemerintahan yang sama dan bebas dari eksekutif. Di indonesia dikenal sistem bicameral, yang mana cabang kekuasaan legislatif dibagi atas dua bagian yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD). Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian besar negara (60%) disebut sebagai Senat. Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik, sistem perwakilan teritorial menghasilkan wakil-wakil daerah, sedangkan sistem 1
2
perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional. DPD merupakan perwujudan sistem perwakilan teritorial dan DPR sebagai perwakilan politik.1 Untuk mengoptimalkan sistem tersebut pemerintah terus berupaya melakukan reformasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Peran Pemerintah Daerah yang sebelumnya kurang diberdayakan, didorong untuk dapat berpartisipasi demi mengakomodir kepentingan daerah. Sesuai dengan amanat UUD NRI 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian terwujudnya
otonomi
luas kepada
kesejahteraan
daerah
masyarakat
diarahkan melalui
untuk
peningkatan
mempercepat pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dalam perkembangannya, pemerintahan daerah diawali oleh adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950. Sebagai kelanjutan dari Dekrit tersebut maka dibidang pemerintahan daerah pun terjadi perubahan fundamental dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan daerah.2 Serta disempurnakan dengan UU. No. 18 Tahun 1965 Tentang Pemerintahan Daerah menggantikan posisi UU. No. 1 Tahun 1957, dan 1
Dwi Reni Purnomowati, "Implementasi Sistem Parlemen Bikameral dalam Parlemen di Indonesia," (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 102. 2
126.
Prajudi Atmosudirjo, "Hukum Administrsi Negara," ( Jakarta : Ghalia Indonesia,1994), h.
3
melanjutkan ide Penpres No. 6 Tahun 1959. Kemudian pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah membawa reformarsi dalam bidang ketatanegaraan Indonesia. DPD dibentuk dan kemudian disejajarkan kedudukannya dengan lembaga-lembaga lainnya seperti DPR, dan Presiden demi mewujudkan keseimbangan antara pusat dan daerah. Hal ini kemudian diperkuat dengan munculnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Selanjutnya disebut UU MD3). Ide pembentukan DPD dalam kerangka sistem legislatif Indonesia memang tidak terlepas dari ide pembentukan struktur dua kamar parlemen atau bikameral. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarkan dengan sistem double check yang memungkinkan representasi seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. DPR merupakan representasi politik (political representation) sedangkan DPD mencerminkan
prinsip
representasi
teritorial
atau
regional
(regional
representation).3 Secara lebih rinci, UUD NRI 1945 mengatur kewenangan DPD sebagai berikut:
3
Jimly Asshiddiqie, "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi," (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 138.
4
(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD): a. ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta b. memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, RUU yang berkaitan dengan pendidikan, dan RUU yang berkaitan dengan agama. (3) DPD dapat melakukan pengawasan atas: a. pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; serta b. menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Haruslah dibedakan antara fungsi DPD dalam bidang legislatif dan bidang pengawasan. Meskipun dalam bidang pengawasan, keberadaan DPD
5
bersifat utama (main constitutional organ) yang sederajat dan sama penting dengan DPR, tetapi dalam bidang legislasi, fungsi DPD hanya menunjang tugas konstitutional DPR.4 Atau Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.5 Diundangkannya UU MD3 menjadi semangat baru dalam ketatangaraan Indonesia khususnya dalam sruktur kelembagaan. Dimana melahirkan DPD sebagai lembaga yang mempunyai fungsi dan kedudukan yang setara dengan DPR dan lembaga-lembaga lainnya. Kelahiran DPD sangat didasari oleh keinginan semua pihak termasuk pemerintah pusat dan daerah untuk memperbaiki hubungan kerja dan penyaluran kepentingan antara kedua level pemerintahan tersebut. Dalam hal ini, DPD juga diharapakan hadir sebagai lembaga yang mampu membantu untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dan daerah sesuai semangat otonomi daerah yang menjamin keadilan, demokrasi, dan jaminan keutuhan integritas wilayah negara.6
4
Jimly Asshiddiqie , "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi," (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 140-141. 5
Jimly Asshiddiqie, "Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII" (Jakarta: BPHN, 2003), h. 20. 6
Jimly Asshiddiqie, "Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945", (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 172.
6
Semangat reformasi kelembagaan yang muncul dari Undang-Undang tersebut seakan ternodai dengan pengikisan fungsional Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan RUU khususnya Pasal 102 ayat (1) huruf a, d, e, dan, h, serta pada Pasal 147 UU MD3. Walaupun pada dasarnya secara kedudukan Dewan Perwakilan Darah mempunyai kedudukan yang setara dengan lembaga lainnya sepreti DPR dan Presiden akan tetapi kewenangannya masih terkesan dibatasi dan terkesan samar khususnya dalam proses Pengajuan Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah serta dalam pembahasannya di Program Legislasi Nasional. Hal itu semakin diperparah dengan kerancuan dan tidak ditegaskannya kewenangan DPD dalam pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah di dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (Selanjutnya disebut UU P3). Mengingat
fundamentalnya
peran
DPD
dalam
mengawal
dan
menjembatani kepentingan daaerah, maka kemudian muculah inisiatif dari DPD mengajukan gugatan dari kedua Undang-Undang tersebut untuk mengembalikan efektifitas dari peranan DPD itu sendiri dan mengembalikan hak-hak konstitusional lembaga tersebut kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi khususnya di kelembagaan negara.. Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi 92/PUU/-X/2013 membawa angin segar bagi DPD. Jika selama ini DPD yang selama ini hanya menjadi bayang-bayang di bawah dominasi DPR. Dominasi berlebihan yang mencederai
7
sistem bikameral yang konon dibentuk tujuan mulia, yaitu terciptanya sistem check and balances. Mahkamah Konstitusi memutuskan DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tertentu dan ikut membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan namun DPD tidak memberi persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). MK juga memutuskan DPR, DPD, dan Pemerintah menyusun program legislasi nasional (prolegnas). RUU tertentu dimaksud adalah RUU mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan putusan tersebut, maka saat ini peranan DPD kembali kekhittanyah dalam mengawal dan menjembatani aspirasi serta kepentingan daerah khususnya dalam pengajuan serta pembahasan RUU ditataran legislatif dimana kedudukannya setara dengan Presiden dan DPR serta mempunyai hak dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah khususnya di dalam Program Legislasi Nasional Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam berkenaan dengan hal ini, sekaligus juga sebagai bentuk pemenuhan tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana
setrata
satu
(S1)
dengan
mengangkat
judul
skripsi
tentang:
8
“KEWENANGAN
DEWAN
PERWAKILAN
DAERAH
DALAM
LEGISLASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH ANALISIS PUTUSAN MK 92/PUU/-X/2013.”
B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, dapat dipetik beberapa persoalan yang berkaitan dengan peran dan fungsi kelembagaan dibidang legislative yang dimiliki oleh DPD didalam UU MD3 serta UU P3 terkait dengan proses pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-undang. Dari latar berfikir tersebut di atas ternyata terdapat berbagai masalah yang muncul yaitu: 1. Pasca Amandemen UUD NRI 1945 Ke-4 negara lebih mengoptimalkan peranan Daerah khususnya dalam mengawal pemerintahan dengan dibentuknya DPD akan tetapi seolah tereduksi oleh UU MD3 dan UU P3 khususnya dalam bidang legislasi; 2. Peran DPD seolah-olah dikerdilkan dengan tidak diikutsertakannya DPD dalam proses pembahasan RUU Otonomi Daerah. Padahal secara kelembagaan DPD mempunyai kedudukan yang sama dengan Presiden dan DPR. 3. Dengan dibatasinya kewenangan DPD dalam proses pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah maka terlihat semakin samarnya kedudukan DPD dalam bidang legislative, serta minimnya konstribusi
9
daerah
dalam
proses
perancangan
dan
pembentukan
Peraturan
PerUndang-Undangan Otonomi Daerah.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang penulis singgung dalam identifikasi masalah, maka dalam pembatasan masalah ini penulis membatasi pada pembahasan mengenai kewenangan DPD di bidang legislative khususnya dalam pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah sebelum dan sesudah diputuskannya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013.
2. Perumusan Masalah Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu di buat perumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana konsep peran DPD sebagai lembaga legislatif ? b. Bagaimana kedudukan hukum DPD berdasarkan konstitusi tertulis di Indonesia ? c. Bagaimana kewenangan hukum DPD dalam pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah sesudah diputuskannya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 ?
10
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Posisi hukum keberadaan DPD di Indonesia b. Mengetahui kewenangan DPD dalam proses pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah sesudah dikeluarkannya putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 . c. Untuk mengetahui landasan dan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 2. Manfaat Penelitian Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam segi akademisi dan praktisi, yaitu: Secara akdemisi: Dapat menjadi aspek pendukung dalam pengembangan Ilmu Hukum Kelembagaan Negara, agar penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi dan peningkatan wawasan akademis para akademisi di bidang hukum, khususnya dalam hal Kewenangan DPD di bidang legislative khususnya dalam proses pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah. Secara praktisi: memberikan informasi bagi para akademisi dan masyarakat luas mengenai Kewenangan DPD dalam proses pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah setelah keluarnya putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013.
11
E. Tinjauan (Review) Kajian terdahulu Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya yang pernah membahas seputar kewenangan DPD yaitu: 1. “REVITALISASI PERANAN DPD DALAM SISTEM PARLEMEN DI INDONESIA” (Kajian Yuridis UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22C Dan 22D Serta UU N0. 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Skripsi ini ditulis oleh Januar Muttaqien dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Dalam sekripsi ini penulis menjelaskan tentang posisi DPD dalam kelembagaan saat ini serta upaya memaksimalkan peran DPD didalam parlemen. Sedangkan di skripsi yang saya tulis, kajian yuridisnya terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 tentang kewenangan legislasi DPD terhadap Proses Pengajuan dan Pembahasan RUU Otonomi Daerah. 2. “REVITALISASI
DPD
DALAM
PENINGKATAN
OTONOMI
DAERAH PROPINSI BANTEN”. Skripsi ini ditulis oleh Ade Nubzatus Tsaniyah jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Pada skripsi ini penulis lebih menjelaskan mengenai hubungan DPD dengan Pemerintah Daerah, DPRD, serta sejauh mana peranan DPD saat ini terhadap peningkatan Otonomi Daerah di Propinsi Banten. Sedangkan dalam skripsi yang saya tulis lebih membahas kepada kewenangan legislasi
12
DPD dalam proses pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah dan bersifat menyeluruh terhadap seluruh DPD bukan terfokus kepada DPD di satu daerah. 3. “EKSISTENSI DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DALAM SISTEM BIKAMERAL DI INDONESIA”. Skripsi ini ditulis oleh Miki Pirmansyah dari Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Pada skripsi ini penulis menjelaskan tentang fungsi
dan
kedudukan
Dewan
Perwakilan
Daerah
(DPD)
dalam
penyelenggaraan sistem Bikameral di Indonesia. Serta sejauh mana eksistensi DPD dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Sedangkan dalam skripsi saya tulis saya lebih menyoroti mengenai kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah disertai dengan objek pada putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013, sehingga lebih terfokus pada pembahasan mengenai kewengan legislasi DPD. Dan hal tersebut jelas berbeda dengan apa yang dibahas oleh skripsi di atas yang lebih bersifat universal terhadap DPD dan tidak ada objek yang dikajinya.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
13
kepustakaan.7 Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan. Disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder.8 Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
2. Sumber dan Jenis Data Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah berupa bahan hukum, yang terdiri dari: Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Kewenangan Presiden terhadap Kementerian Negara, antara lain: a.
Undang-Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia
1945
pasca
amandemen; b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3; 7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, "Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat," (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 23. 8
Ronny Hanitijo Soemitro, "Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri," (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 10.
14
c.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan
d. PUTUSAN MK 92/PUU/-X/2013 Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain adalah tulisan berupa pendapat para pakar Hukum Tata Negara yang terdapat dalam buku-buku, tesis, makalah, jurnal hukum. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah, artikel, koran dan lainnya.9 Sumber data sekunder diperoleh dari hasil penelusuran pustaka dan dokementasi di berbagai lembaga atau instansi.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah: a. Observasi Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala
yang
diteliti.
Peneliti
mengawasi
dengan
cermat
setiap
perkembangan yang berkaitan dengan peneliti ini. 9
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, "Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat," (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 33.
15
b. Dokumentasi Pada tahap dokumentasi, penulis mengumpulkan buku-buku, majalah, artikel-artikel dan lain-lain untuk memudahkan penulis dalam mencari teori-teori yang berkaitan dengan judul skripsi.
G. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu setelah data diklasifikasikan sesuai aspek
data
yang terkumpul
lalu
diinterpretasikan secara logis. dengan melihat data-data yang diperoleh penulis melalui observasi dan dokumentasi setelah itu dianalisis kemudian disusun dalam laporan penelitian.
H. Sistematika Penulisan Buku pedoman yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah buku pedoman sekripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, terbitan tahun 2013. Untuk mempermudah pemahaman dan memperoleh gambaran yang jelas mengenai keseluruhan dari penulisan skripsi ini, berikut sistematikanya: BAB I
Berisi mengenai Pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar belakang masalah kajian skripsi ini, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan kepustakaan, dan sistematika penulisan.
16
BAB II
Berisi mengenai konsep DPD sebagai lembaga legislatif yang menjabarkan tentang teori-teori untuk mendukung penelitian ini. Tinjauan umum bab ini adalah tentang Pengertian tentang teori legislatif
dan penerapannya di Indonesia , serta pengertian system
check and balance dan penerapannya di Indonesia, serta sejarah pembentukan MK, kedudukan, dan kewenangan pengujian UndangUndang yang dilakukan oleh MK. BAB III Berisi mengenai bab yang menjelaskan mengenai kedudukan hukum DPD berdasarkan UUD NRI 1945 pasca amandemen, kinerja DPD dalam bidang legislasi, konsepsi legislasi yang ideal menurut anggota DPD, dan para ahli, serta implementasinya di dalam UU MD3 serta UU P3 terhadap proses pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah , dan perbedaan antara DPD dengan DPRD. BAB IV
Merupakan bab pembahasan kewenangan hukum DPD dalam Rancangan Perundang-undangan otonomi daerah pasca putusan MK 93/PUU/-X/2013.
Adapun bagian sub bab pada bab ini akan
berbicara mengenai: a. Kedudukan dan kewenangan DPD dalam pembahasan RUU Otonomi Daerah sesudah diputuskannya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah
17
b.
Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan putusan MK Nomor 92/PUU- X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah
c. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah
BAB V
Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis
BAB II KONSEP PERAN DPD SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF
A. Teori Legislatif 1. Pengertian Legislatif Dalam proses pembuatan Undang-Undang, keberadaan lembaga legislatif begitu berperan mengingat kewenangan yang dimandatkannya sebagai legisltor. Di Indonesia, lembaga tersebut dimiliki oleh MPR, DPR ,serta DPD. Walaupun Presiden memiliki sedikit kewenangan legislasi juga, akan tetapi Presiden bukan disebut sebagai lembaga legislatif, melainkan lembaga eksekutif. mengenai pembuat Legislasi biasanya diartikan sebagai suatu kewenangan dalam pembuatan undang-undang. Definisi tersebut tidaklah salah, melainkan memiliki pengertian yang sempit. Bahkan ada yang menganggap bahwa yang memiliki kewenangan undang-undang itu hanya DPR saja, DPD hanya sebagian fungsi dari DPR. Oleh karenanya sebelum penulis membahas lebih mendalam mengenai DPD sebagai lembaga legislatif, perlu penulis jelaskan secara ringkas mengenai pengertian legislatif. Dalam berbagai banyak pendapat para tokoh, legislatif tak jauh diartian sebagai pembuat undang-undang atau pembuat kebijakan. Kemudian apabila kita mengacu pada pendapat Frank Goodnow, kekuasaan negara dapat dibedakan antara fungsi pembuatan kebijakan (policy making) dan pelaksanaan kebijakan (policy executing). Teori Goodnow ini dapat dinamakan sebagai teori „duo18
19
politica‟. Berbeda dari Goodnow, fungsi-fungsi kekuasaan, menurut Montesquieu, terdiri atas tiga cabang atau „trias politica‟ yaitu legislature, executive, dan judiciary. Executive adalah pelaksana, sedangkan judiciary menegakkannya jika timbul sengketa atau pelanggaran terhadap kebijakan. Namun, baik menurut Goodnow maupun menurut Montesquieu, yang dimaksud dengan fungsi legislatif atau
legislature
itu
berkaitan
dengan
semua
kegiatan
yang
dengan
mengatasnamakan atau mewakili rakyat membuat kebijakan-kebijakan negara. Inilah yang disebut sebagai legislature atau fungsi legislatif.10 Dari kedua pendapat tokoh tersebut dapat dilihat, bahwa legislatif memiliki makna yang lluas. Tidak hanya sebatas pembuat kebijakan atau pembuat undangundang saja, lebih jauh bahwa legislatif merupakan resprentatif seluruh kegiatan yang dipangku oleh parlemen. Dalam hal ini, di Indonesia kombinasi ketiga lembaga parlemen MPR, DPR, dan DPD diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kebijakan-kebijakan yang dilahirkan. DPR sebagai lembaga perwakilan partai politik, DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, sementara MPR perwujudan dari perwakilan politik dan daerah. Kemudian secara fungisional, DPR memiliki fungsi sebagai pembuat undang-undang , DPD juga memiliki kewenangan tersebut, akan tetapi hanya terbatas pada undangundang otonomi daerah, serta MPR sebagai legitimate dari UUD NRI 1945. Dengan komposisi tersebut diharapkan mampu, meningkatkan kinerja parlemen
10
Makalah Lembaga Perwakilan Dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, h.2
20
dalam meweujudkan berbagai aspirasi serta secara umum memberikan hasil yang maksimal terhadap kebijakan-kebijakan yang dihasilkan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Dalam berbagai negara yang menganut sistem bicameral, umumnya DPD biasa disebut sebagai Senat. Bahkan banyak yang menyebutkan bahwa keberadaan DPD saat ini mencontoh konsep tersebut. Di Amerika Senat merupakan perwujudan perwalian dari negara-negara bagian. Senat mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan
pembentukan undang-undang tertentu.
Akan tetapi di Indonesia, DPD tidak mempunyai peranan selayaknya senat di Amerika melainkan hanya sebatas pengajuan serta pembahasan rancangan undangundang otonomi daerah dan tidak memiliki kewenangan dalam pengesahan undang-undang tersebut. Selain itu Hans Kelsen mempunyai pandangan tersendiri mengenai definisi legislatif dibandingkan Frank Goodnow dan Montesqiue. Menurutnya, kekuasaan legislatif ( pembuatan undang-undang) orang tidak memahami keseluruhan fungsi membuat hukum, melainkan satu aspek khusus dari fungsi ini , yaitu pembentukan norma-norma umum. “Hukum” sebagai suatu produk dari proses legislatif pada hakekatnya adalah norma umum, atau sekumpulan norma umum. Fungsi legislatif dipahami bukan sebagai pemberntukan dari semua norma umum, melainkan hanya pembentukan norma umum oleh organ khusus, yang disebut “lembaga legislatif.11
11
Hans Kelsen.,”Teori Umum Tentang Hukum dan Negara”,(Bandung:Penerbit Nusa Media,2009) h.362
21
Pembuatan norma-norma umum oleh suatu organ selain lembaga legislatif, yakni, organ-organ dari kekuasan eksekutif tau yudikatif biasanya dipandang sebagai fungsi eksekutif atau yudikatif. Ditinjau dari sudut fungsinya, tidak ada perbedaan esensial antara norma-norma yang dibuat oleh organ eksekutif atau yudikatif ini dengan hukum-hukum atau undang-undang (norma-norma umum) yang dibuat oleh lembaga legislatif. Norma-norma umum yang dibuat oleh lembaga legislatif disebut “undang-undang” (statuta) yang dibedakan dari normanorma umum yang secara pengecualian, mungkin dibuat oleh suatu organ selain lembaga legislatif. Sementara, norma-norma umum yang diterbitkan oleh organorgan kekuasaan eksekutif biasanya tidak disebut dengan undang-undang melainkan “peraturan” atau “ordinasi”. Peraturan atau ordinsi diterbitkan sebagai pengganti udnang-undang, dalam terminologi Perancis disebut “decrets-lois”, dan dalam terminologi Jerman disebut Verordnungen mit Gesetzeskraft. .12 Penjabaran tersebut seolah-olah menegaskan bahwa kekuasaan legislatif bukan hanya dibangun oleh pembentukan hukum semata melainkan menekankan kepada eksistensi dari norma-norma hukum secara khusus dalam pembuatan produk hukum yang kewenangannya dimiliki oleh lembaga legislatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang disebut sebagai lembaga legislatif ini adalah sumber dari semua norma umum, sebagian secara langsung dan tidak langsung melalui organ-organ yang mendapat kompetensi legislatif yang didelegasikan kepadanya oleh lembaga legislatif. Suatu organ adalah organ legislatif sepanjang organ ini diberi wewenang untuk membuat norma-norma hukum yang umum. 12
Kelsen Hans.,”Teori Umum Tentang Hukum dan Negara”, h.363
22
Dalam tatanan pemerintahan Indonesia, peran serta lembaga legislatif mempunyai peran yang signifikan dalam proses ketatanegaraan. Bukan hanya sebagai lembaga pembentuk produk hukum saja, akan tetapi lembaga legisltif didorong untuk lebih berperan aktif dalam pengawasan-pengawasan lembaga eksekutif maupun yudikatif. Hal ini tak terlepas dari implementasi check and balances guna menciptakan good governance. Selain itu secara umum, demokrasi menghendaki bahwa organ legislatif harus diberi kekuasaan pengawasan atas organ-organ eksekutif dan yudikatif.
2. Legislatif dalam perspektif Bicameral Setelah menjabarkan secara umum mengenai definisi secara umum tentang Legislatif, penulis kemudian mencoba menskrinosiasikan antara legislatif dengan bicameral. Pasca amandemen UUD NRI 1945 terjadi perubahan sistem ketatanegaraan terkait munculnya DPD. Indonesia yang awalnya menerapkan unikameral berubah menjadi bicameral. Penerapan ini memunculkan banyak polemik. Penerapan sistem bikameral tersebut diharapkan mampu memaksimalkan keterwakilan (respresentation) dan membangun sistem check and balances dalam lembaga perwakilan.13 Akan tetapi muncul banyak perdebatan mengenai penerapan sistem ini. Banyak yang beranggapan bahwa sistem bicameral ini tidak cocok diterapkan dinegara kita yang meerupakan negara kesatuan. Hal tersebut dilandasi dengan 13
Kelompok DPD di MPR RI,”Bikameral Bukan Federal”, artikel DPD dan Perwakilan Politik Daerah oleh M. Ichsan Loulembah., 2006,hal.139
23
mayoritas negara yang menganut sistem ini, negaranya berbentuk negara federal. Namun, dalam perkembangannya , akibat tuntutan desentralisasi kekuasan sistem bicameral saat ini dipraktekkan di beberapa negara kesatuan. Ahli hukum tata negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menjelaskan ada dua alasan utama yang sering digunakan untuk menerapkan sistem bikameral ini : 1. Adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan yang lebih stabil, 2. Keinginan untuk membuat sistem pemerintahan benar-benar berjala lebih efisien dan setidaknya lebih lancar.14 Parlemen bikameral mengandung konsepsi dasar mengenai parlemen yang mempunyai tiga fungsi utama parlemen yaitu legislatif, pengawasan, dan anggaran. Adanya sistem dua kamar dalam satu parlemen itu sendiri diciptakan untuk mengakomodasi semangat check and balance didalam parlemen itu sendiri. Pengalaman sistem bikameral mampu mencegah kolusi negartif dan eksekutif. Dan saat ini, semakin banyak negara-negara berkembang yang menerapkan sistem tersebut, contoh : Jerman, Australia, Jepang, Belanda, bahkan Malaysia dan Filipina menggunakan sistem ini. Amerika yang dikenal sebagai negara federal pun menerapkan sistem ini. Tak kurang dari 67 negara menerapkan sistem ini dan puluhan lainnya pun tengah bersiap seperti Kamerun, Uxbekistan, Lebanon, serta Oman.15
14
Jimly Asshidiqie,”Perkembangan Reformasi”,(Jakarta:. Sekjen MK, 2006). 15
dan
Konsolidasi
Kelompok DPD di MPR RI,”Untuk Apa DPD RI",2007, h. 24
Lembaga
Negara
Pasca
24
Giovanni Sartori membagi sistem parlemen bikameral menjadi tiga jenis yaitu : 1. Sistem bikameral yang lemah (asymmetric bicameralism atau weak bicameralism atau soft bicameral) yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya. 2. Sistem bikameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism) yaitu apabila antara kedua kamarnya nyaris sama kuat. 3. Perfect Bicameralism yaitu apabila kekuatan di antara kedua kamarnya betul-betul seimbang.16 Lebih lanjut lagi Sartori mengklasifikasikan bikameral tersebut berdasarkan komposisi atau sturktur keanggotannya diantara kedua kamarnya yaitu (1) bikameral yang unsurnya sama (similiar bicameralism); (2) bikameral yang unsurnya agak berbeda (likely bicameralism); (3) bikameral yang unsurnya sangat berbeda (differentianted bicameralism).17 Dari klasifikasi yang dilakukan oleh Giovanni Sartori tersebut, maka bikameral yang ideal sebaiknya mengarah kepada perpaduan antara strong bicameralism dengan likely bicameralism. Hal tersebut guna menggeser bikameral ke arah unikameral dan meminimalisir kebuntuan proses kerja parlemen. Setelah diatas dibahas mengenai penjabaran sekilas mengenai sistem bikameral, maka dalam sub ini akan sedikit dibahas mengenai penerapan sistem 16
17
Giovanni Sartori, “Comparative Constitutional Engineering”, (1997). h. 184 Ibid. hal.185
25
bikameral di Indonesia. Penerapan sistem bikameral di Indonesia saat ini memang sudah diterapkan. Hal ini berpacu pada munculnya DPD serta melihat struktur ketatanegaraan
setelah
perubahan
UUD
NRI
194518.
Dalam
dinamika
ketatanegaraan saat ini memang seharusnya antara DPR serta DPD dituntut menjadi harmonis dan berperan saling mengawasi. Hal tersebut tidak terlepas dari harapan penerapan sistem bikameral tersebut. Namun pada nyatanya sistem tersebut saat ini dinilai belum sepenuhnya terlihat , atau para ahli tata negara biasa menyebutnya soft bicameral. Saldi Isra membantah bahwa parlemen kita menganut soft bikameral. Menurutnya, bahwa dengan kewenangan yang dimiliki MPR, disamping kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR dan DPD, maka sebenarnya Indonesia menganut sistem parlemen tiga kamar (trikameral). Bahkan Sri Soemantri menyebut bahwa sistem parlemen yang kita anut menggunakan konsep „bukan-bukan‟. Karena menurutnya sistem parlemen yang dihasilkan bukan unikameral, bukan pula pada bikameral, tetapi cenderung trikameral. 19 Ekspetasi banyak pihak dengan diterapkannya sistem bikameral khususnya bagi rakyat didaerah tidak terlepas karena DPD saat ini dinilai benar-benar merupakan wujud respresentatif lembaga aspirasi rakyat. Mengapa demikian? Karena DPD merupakan satu-satunya lembaga legslatif yang sistem pemilihanny dipilih secara langsung oleh rakyat tanpa melalui wadah partai politik. Ini 18
Sekjen DPD RI, “Sekilas Mengenal dan Memahami Dewan Perwakilan Daerah RI:, 2006,
h.15 19
Saldi Isra, “Penataan Lembga Perwakilan Rakyat : Sistem Trikameral di Tengah Supermasi Dewan Perwakilan Rakyat,” Jurnal Konstitusi vol.1: No. 1,Juli 2004, h.129-132
26
dibuktikan dalam pasal 22E ayat 4 UUD NRI 1945. Hal tersebut menandakan bahwa DPD memang merupakan lembaga aspirasi rakyat, yang saat ini masih steril dari kepentingan partai politik. Selain itu, adanya sistem dua kamar ini memunculkan perdebatan-perdebatan mengenai susunan kedudukan MPR. Dalam perdebatan Komisi Konstitusi ada tiga alasan yang mennyebutkan perlunya penyesuaian terhadap susunan kedudukan dan kekuasan MPR yaitu : a. Kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan sehubungan dengan berbagai permasalahan dalam sistem MPR yang lama. b. Kebutuhan untuk mengakomodasikan kepentingan masyarakat daerah secara struktural. c. Kebutuhan bagi reformasi Indonesia saati ini untuk memulai menerapkan sistem check and balance dalam rangka memperbaiki kehidupan ketatanegran dan mendorong demokratisasi. 20 Terhadap adanya dua kamar di MPR seperti yang tercantum dalam pasal 2 (1) UUD NRI 1945 Jo Pasal 2 UU No. 22 Th.2003 tentang Susduk masih terdapat perbedaan interpretasi apakah MPR sungguh-sunggu sistem bikameral. Jadi, jika mengacu pada sistem bikameral di Jerman, dapat dikatakan saat ini sistem bikameral yang dianut Indonesia bersifat “Quasi Federal”. Dianutnya bikamerallembaga MPR terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat dalam perubahan UUD NRI 1945 mencerminkan bahwa kita memasuki alam demokrasi
20
h. 133
Kelompok DPD RI, “Konstitusi RI Menuju Perubahan ke 5”,(Jakarta: PT. Grafitri, 2009),
27
yang semuanya harus dipilih. Kewengangan DPR berbeda dengan kewenangan DPD, restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipologi unikameral atau bikameral. Proses baru legislasi di Indonesia melibatkan Presiden, DPR, dan DPD. Ini mengubah proses legislasi antara DPR dan Presiden menjadi pola hubungan tiga kamar yang asimentrik. Presiden dan DPR dengan melibatkan DPD hanya terjadi dengan DPR. Watak asimentrik juga ditandai dengan prosedur pengambilan keputusan yang hanya melibatkan DPR-Presiden. Prosedur ini sekaligus berpotensi memacetkan legislasi. Sistem bikameral dinilai banyak pihak sebagai penjelmaan dan esensi dari Trias Politica. Adanya sistem bikameral dimaksudkan untuk meminimalisir kewenangan yang terlalu luas bagi lembaga serta memaksimalkan fungsi pengawasan antar lembaga. Salah satu cara membatasi dan mengendalikan kekuasaan itu dengan cara menggunakan sistem saling mengawsi dan mengimbangi diantara berbagai lembaga. B. Check and Balances 1. Pengertian Check and Balances Amandemen UUD NRI 1945 telah menghasilkan relasi baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Relasi yang dimaksud disini mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip check and balances. Prinsip ini didasarkan atas berbagai macam pertimbangan, khususnya terhadap kolerasi antar seluruh lembaga negara. Secara umum, prinsip check and balances ini
28
dimaksudkan agar seluruh lembaga negara saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain. Maksud dan tujuan dari konsepsi ini adalah untuk meminimalisir dan menghindari hegemoni kekuasaan pada satu cabang tertentu. Secara istilah kata “check” ialah suatu pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Adapun “balance,” merupakan suatu keseimbangan kekuasaan, agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat (konsentrasi kekuasaan) sehingga menimbulkan tirani. Kemudian secara umum, Munir Fuadi menjelaskan operasional dari teori check and balances melalui cara-cara tertentu. Cara-cara itu meliputi : a. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. b. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. c. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan satu terhadap cabang pemerintahan lainnya. d. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan yang satu terhadap yang lainnya. e. Pemberian wewenang kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the last word) jika ada pertikaian antara badan eksekutif dan legislatif.21
21
Munir Fuadi, “Teori Negara Hukum Modern”, (Bandung:PT. Refika Aditama, 2006)
29
Untuk lebih memaksimalkan prinsip tersebut, check and balances bukan hanya diterapkan antar lembaga negara, melainkan dilakukan juga di internal lembaga negara. Dalam perspektif lain, prof Jimly Asshidiqie memberikan pandangannya mengenai check and balances. Menurutnya, Check and Balances merupakan sistem yang saling mengimbangi antar lembaga-lembaga kekuasaan negara. Sistem ini memberikan pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara sesuai undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing22. Sehingga menurut penulis, dapat dikatakan bahwa check and balances merupakan sistem saling mengawasi antar lembaga negara baik dilakukan antar lembaga negara maupun di internal lembaga negara, guna memaksimalkan fungsi dari lembaga-lembaga negara yang ada dan meminimalisir timbulnya lembaga super body guna mewujudkan good governance. Dengan prinsip check and balances seluruh lembaga mempunyai kewenangan dalam hal mengawasi antar lembaga sesuai fungsinya. 2. Penerapan Check and Balances di Lembaga legislatif Indonesia a. Check and Balances MPR MPR merupakan lembaga resprentatif dari DPR dan DPD. Sebelum amandemen UUD NRI 1945 MPR merupakan lembaga tertinggi dalam sturuktur ketatanegaraan. Namun, pasca amandemen MPR mempunyai kedudukan yang sama dengan seluruh lembaga negara. Baik DPR, MK, MA, BPK, dsb. Sebelum 22
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta
30
amandemen, MPR mempunyai kewenangan absolut dalam memberhentikan Presiden walaupun harus melalui sidang paripurna DPR. Pasca amandemen, dalam kewenangannya memberhentikan Presiden, MPR harus menunggu pendapat DPR dan Proses persidangan oleh MK. Disinilah yang menurut penulis terjadi mekanisme prinsip check and balances di tubuh MPR dalam wewenangnya memberhentikan Presiden. MPR tidak dapat begitu saja memberhentikan Presiden sebelum ada pendapat DPR melalui proses hak menyatakan pendapat yang dimiliki yang kemudian dengan mekanisme dimana diatur pada pasal 7B UUD NRI 1945. Begitupun dengan DPR, tidak begitu saja berpendapat sebelum adanya keputusan MK yang membenarkan pendapat DPR. Oleh karenanya dalam hal ini, menurut penulis terjadi proses Check and Balances dalam hal Pemberhentian Presiden atau yang lebih dikenal dengan sebutan Impeachment.
b. Check and Balances DPR Mekanisme Check and Balances pada DPR, terkait dengan fungsi pengawasan dan controling yang diatur dalam Pasal 20A ayat (1) UUD NRI 1945 . Akan tetapi banyak yang menilai bahwa fungsi ini mengindikasikan bahwa DPR mempunyai pengawasan yang jauh lebih luas dibandingkan lembaga-lembaga negara lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam tindakan pengawasan DPR terhadap DPD dilihat dari tugas DPD yitu pasal 22D ayat (3) UUD NRI 1945 dimana hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD dalam mengawasi undang-undang itu harus melaporkan kepada DPR, dan tidak ada pasal sebaliknya. Dalam konteks check and balances
31
maka hal tersebut dapat dikatakan tidak terjadi check and balances bahkan terkesan menghegemoni kewenangan DPR dan menggerus prinsip check and balances. Selain terhadap DPD, dalam wewenang legislasi yang saat ini dimiliki oleh DPR Berdasarkan Pasal 20A UUD NRI 1945 DPR lah yang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undangundang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Dalam konteks Check and Balances terlihat adanya otoritas fungsi lembaga yang dimiliki oleh DPR. Walaupun mekanisme check and balances dalam prolegnas sudah semakin baik dengan adanya keterlibatan Pemerintah, DPR, DPD, serta Presiden, akan tetapi ada beberapa ketentuan yang menurut penulis memperlihatkan otoritas DPR dibandingkan seluruh lembaga negara yang ada. Dan dalam hal internal DPR, terdapat BK sebagai lembaga controling dalam mengawal kode etik seluruh anggota DPR.
c. Check and Balances DPD Salah satu pembentukan DPD pasca amandemen UUD NRI 1945 NRI ialah untuk menciptakan prinsip check and balances di parlemen. Dalam hal ini DPD sebagai lembaga resprentatif dari daerah yang dibentuk bukan hanya sebagai untuk pelengkap keanggotaan MPR semata, melainkan benar-benar memaksimalkan fungsi check and balances khususnya dalam prolgnas. Akan tetapi seiring
32
berjalannya waktu, hingga saat ini keberadaan DPD seolah-olah samar dan seringkali tergerus oleh kewenangan DPR maupun Presiden. Hal ini tercemin dalam pada Pasal 22D UUD NRI 1945 dimana kewenangan DPD hanya terbatas pada kekuasaan-kekuasaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di luar itu, kekuasaan DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR. hal tersebut terlihat seolah-olah DPD sebagai Dewan pertimbangan dari DPR dan tidak mencerminkan fungsi check and balances dalam proses legislasi. Dalam ketentuan lain tepatnya di dalam Sesuai dengan pasal 22D ayat (1) yang menyatakan DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sda dan sumber daya ekonomi laenya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan pasal 21 UUD NRI 1945 yang menyatakan Presiden dan DPR berhak mengajukan rancangan undangundang. Terlihat seolah-olah DPD hanya dianggap pelengkap saja, dan kurang menccerminkan prinsip check and balances antar lembaga negara. Bahkan lebih tegas, Saldi Isra mengatakan bahwa DPD tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi legislasi. Dalam bukunya Saldi Isra mengatakan bahwa bahwa "fungsi legislasi
33
harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata tersebut dimana kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan DPR. Dengan menggunakan cara a contrario, sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang dapat mengajukan dan ikut membahas RUU bidang tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (2) DPD tidak mempunyai fungsi legislasi.23 Oleh karenanya, keberadaan DPD saat ini dalam aplikasi check and balances, menurut penulis belum mampu menunjukkan penerapan prinsip tersebut dalam tubuh DPD. Dalam fungsi pengawasan yang diberikan DPD masih terlihat timpang dengan DPR dan Presiden khususnya dalam prolegnas. Oleh karenanya timbulnya inisiatif DPD untuk memperkuat peran dengan mengajukan Uji Materiil terhadap UU MD3 serta UU P3 terhadap UUD NRI 1945 ke MK, dianggap banyak kalangan sudah tepat. Bahkan ada yang berpendapat, selain uji materiil DPD perlu mengupayakan mendorong amandemen kelima UUD NRI 1945 demi penguatan peran, serta mengembalikan fungsi check and balances di tubuh DPD dalam kapasitasnya sebagai lembaga perwakilan daerah.
23
Isra. Saldi, “Pergeseran Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945”.(Yogyakarta:UGM, 2006), h. 87
34
C. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang 1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk,meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut MK). MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi. Kiprah MK sejak kehadirannya enam tahun silam banyak dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan demokrasi. Namun usianya yang masih belia, membuat MK belum begitu dikenal oleh khalayak luas. Berbagai hal, istilah dan konsep yang terkait dengan MK dan segenap kewenangannya belum begitu dipahami oleh masyarakat. Sejalan dengan misi MK untuk membangun konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar berkonstitusi maka upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kedudukan, fungsi dan peran MK terus menerus dilakukan. Penulis akan menjelaskan sekilas tentang sejarah pembentukan MK. Membicarakan MK di
35
Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang patut dicermati antara lain kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD NRI 1945. Sejarah judicial review muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada
1803.
Meskipun
Undang-Undang
Dasar
Amerika
Serikat
tidak
mencantumkan judicial review, Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan yang mengejutkan. Chief Justice John Marshall didukung empat hakim agung lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court. .24 Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya
24
Jurnal Mahkamah Konstitusi, “Profil Mahkamah Konstitusi”, edisi Oktober 2010, (Jakarta: MK, 2010), h. 2, cetakan pertama.
36
segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undangundang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD NRI 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama MK.
37
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD NRI 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut.25 Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami 9 pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
25
Jurnal Legislasi : “Eksistensi Lembaga Negara”, Vol.4 September 2007, (Jakarta, Kemenkumham, 2007). h.11
38
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD NRI 1945.26 2. Kedudukan MK Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD NRI 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan 10 dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara. 26
HAS Natabaya, “Menjaga Denyut Konstitusi”, Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konsitusi, Jakarta.2004. h.17
39
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD NRI 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.27 Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembagalembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang 11 tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain. Selanjutnya, UUD NRI 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi
27
Jimly Assiddiqie, “Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004. h. 25
40
yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD NRI 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum. Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara
yang
mengakomodir
pembentukan
MK9
dalam
sistem
ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undangundang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD NRI 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya28 Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan 28
Jurnal Mahkamah Konstitusi, “Profil Mahkamah Konstitusi”, edisi Oktober 2010, (Jakarta: MK, 2010), h. 31, cetakan pertama.
41
dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
3. Fungsi dan Peran MK Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan MK Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional
(conctitutionally
entrusted
powers)
dan
satu
kewajiban
konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:
42
1. Menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 2. Memutus
sengketa
kewenangan
antar
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945. 3. Memutus pembubaran partai politik. 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.29 Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD NRI 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945 Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.11 Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu
29
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat 1 huruf a sampai huruf e.
43
dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
BAB III KEDUDUKAN HUKUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH BERDASARKAN KONSTITUSI
A. Sejarah dan Dasar Hukum Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah 1. Sejarah Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) Dalam UUD NRI 1945 sebelum diubah, dikenal adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keduanya sering dianggap lembaga legislatif berdasarkan UUD NRI 1945. Kedua lembaga tersebut memang diakui sebagai parlemen Indonesia.. masalahnya kemudian bagaimanaakah kedua lembaga tersebut, baik MPR maupun DPR dalam struktur organisasi parlemen Indonesia menurut Harun Al- Rasyid dalam bukunya UUD NRI 1945 sudah dirubah empat kali oleh MPR mengatakan badanbadan Negara yang dibentuk oleh para pembuat UUD NRI 1945 merupakan transformasi dari aparatur negara zaman Hindia Belanda.22 Akan tetapi apabila ditinjau dali sisi historis, pembentukan lembaga DPD pada saat itu masih menimbulkan banyak polemik khususnya di tataran parlemen. Pada saat proses amandemen, muncul pro kontra terkait pembentukan lembaga DPD.Pihak yang setuju dengan lahirnya DPD, beranggapan bahwa upaya pembentukan DPD ini lebih disebabkan kepada terkait dengan kewenangan 22
Harun Al-Rasyid, “Naskah UUD 1945 Sudah Empat Kali Diubah oleh MPR”,(Jakarta:UIPress, 2003) h. 38
44
45
yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana diatur oleh UUD 1945 sebelum perubahan. Unsur utusan daerah dalam susunan keanggotan MPR sebelum UUD 1945 diubah sebagaimana disebut dalam Pasal 2 ayat (1), adalah merupakan embrio bagi lahirnya DPD. Dengan demikian, keberadaan DPD fungsinya lebih terkait dengan lembaga MPR yang perlu penambahan keanggotaan disamping dari anggota DPR, agar terbentuk kelembagaan MPR. 23 Hal tersebut dibuktikan dengan perubahan pada tata cara pemilihan anggota MPR sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) perubahan UUD 1945 yang berbunyi : “Majelis Permussyawaratan Rakyat terdiri atas anggpta Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang”. Ketentuan ini dinilai untuk memperkuat delegasi dari daerah dan mendorong pemilihan MPR yang lebih demokratis dengan melibatkan utusan daerah. Selain itu, bagi pihak yang menentang akan munculnya DPD menilai bahwa dengan munculnya DPD akan mereformasi tatanan ketatanegaraan serta merusak sistem presidensial. Bahkan mereka beranggapan bahwa dengan munculnya DPD negara akan semakin bergeser ke arah federal, seperti yang dianut oleh Amerika Serikat. Penolakan akan munculnya DPD ini terpotret dalam 23
Jurnal Legislasi indonesia, “Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang”,(Jakarta:Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI),h.9
46
formulir tanda tangan yang menolak Perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 berkenan denan adopsi Dewan Perwakilan Derah dalam UUD 1945. Formulir itu dibukukan dengan Sikap Politik Para Anggota MPR-RI, tanggal 7 November 2001, diterbitkan oleh Yayasan Kepada Bangsaku dan Yayasan Pendidikan Tinggi 17 Agustus 1945. 24 Dalam formulir tersebut dikumpulkan tanda tangan hingga mencapai 200an orang, dan mayoritas bersal dari F-PDIP dan anggota F-UG MPR , dan adapun dari F-KB, serta F-KKI dan kemudian mereka menamakan diri dengan Gerakan Nurani Parlemen (GNP). Sehingga peulis berasumsi bahwa munculnya gagasan pembentukan DPD, tidaklah berjalan dengan mudah dan melalui proses yang berliku. Polemik yang muncul ketika itu berlangsung alot. Dinamika yang terjadi di parlemen membuktikan bahwa proses pembentukan DPD ini sangat memerlukan upaya keras. Sehingga apabila kita telaah secara eksplisit, maka keberadaan DPD saat ini, perlulah didorong secara maksimal mengingat secara history pun dalam pembentukannya memerlukan jalan yang berliku. Dan hal tersebut semata-mata demi menjembatani hubungan Pusat-Daerah, serta dalam rangka memaksimalkan peran daerah khususnya dalam mengharmonisasikan seluruh daerah yang ada di Negara ini, dalam konteks memaksimalkan Negara Kesatuan
24
Jurnal legislasi Indonesia.” Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam pembentukan undangundang”, (Jakarta:Dirjen peraturan perundang-undangan departemen hukum dan ham RI),h.1
47
2. Dasar Hukum Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) Pembentukan DPD adalah salah satu proses mereformasi sturuktur dan tatanan kelembagaan negara yang ada di Indonesia. Pembentukan DPD tersebut telah mengubah konsep parlemen di Indonesia yang sebelumnya merupakan konsep satu kamar (unikameral) kemudian berubah menjadi konsep dua kamar (bikameral).
Perubahan ini tentu membuat perubahan mendasar dalam hal
pembuatan peraturan perundan– undangan. Peranan legislasi yang sebelumnya dilakukan sepenuhnya oleh DPR bersama– sama presiden, kemudian berkembang dengan memberikan sebagian kewenangan legislasi tersebut kepada DPD. Ide pemikiran dari lahirnya DPD sebagai kamar baru dalam sistem parlemen di Indonesia ialah untuk memberikan sebuah double check sehingga lebih representatif terhadap kepentingan rakyat. Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa DPR merupakan suatu perwakilan politik (Political representation) sedangkan DPD merupakan (Regional representation). 25 Dikatakan juga oleh Jimly Asshiddiqie bahwa walaupun DPD mempunyai kewenangan terbatas seputar kepentingan daerah, akan tetapi dapat dikatakan bahwa DPD mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Oleh karena itu DPD mempunyai fungsi penunjang atau auxiliary terhadap fungsi DPR dalam fungsi legislasi atau disebut juga sebagai colegislator, daripada legislator sepenuhnya. Kembali kepada Sejarah awal lahirnya
25
Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan Dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi” (Jakarta:
Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), h. 139
48
DPD adalah ketika muncul amandemen UUD NRI Tahun 1945, tepatnya pada saat amandemen ketiga UUD NRI Tahun 1945. Di dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945 amandemen ketiga disebutkan tentang pengaturan DPD yaitu pasal Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945. Walaupun terdapat suatu progress atau kemajuan dalam rangka penguatan peranan DPD yang dilakukan oleh pemerintah bersama–sama dengan DPD, yakni pergantian UU No 22 Tahun 2003 menjadi UU MD3, Akan tetapi menurut penulis masih perlu penguatan kembali. Hal tersebut dikarenakan bahwa pelaksanaan UU MD3 masih kurang dan jauh dari harapan terhadap cita-cita pertama kali dibentuknya DPD dalam sistem parlemen di Indonesia. Bahwa DPD merupakan bentuk dari representasi keterwakilan rakyat yang ada di daerah, menjadi hal yang sangat mutlak apabila DPD harus mempunyai peranan penuh terhadap pembuatan peraturan perundang–undangan yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Oleh karena itu suatu revitalisasi terhadap peraturan yang berkaitan dengan DPD menjadi harga mati demi memberikan pelayanan yang lebih baik serta lebih merepresentasikan kepentingan daerah yang lebih baik. Pergeseran paradigma corak sistem sentralisasi menjadi desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia juga menjadi bahan pertimbangan mengapa perlu suatu revitalisasi peranan DPD dalam sistem parlemen di Indonesia.
49
B. Kinerja DPD RI Dalam Bidang Legislasi Setelah di atas dibahas mengenai pandangan tentang konsepsi legislasi, dalam sub bab kali ini penulis mencoba menjabarkan secara umum mengenai hasil kinerja DPD dalam bidang legislasi. Jumlah rancangan undang-undang yang diprakarsai oleh DPD RI pada perode 2004-2009 berjumlah 19 buah yang berasal dari PAH I, PAH II, dan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). Jumlah RUU usulan DPD RI berdasarkan pembidangan dapat dilihat dalam uraian berikut: a. PAH I : Membidangi Otonomi DAERAH, Hubungan Pusat dan Daerah, Pemekaran dan Penggabungan Daerah, Pemukiman dan Penduduk, Pertanahan dan Tata Ruang Beberapa produk panitia Ad Hoc I antara lain usulan RUU pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara ke DPR pada tanggal 13 Oktober 2005. DPD RI juga berinisiatif mengajukan RUU tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Usul RUU ini diajukan ke DPR pada tanggal 26 September 2007. Inisiatif DPD RI juga menyampaikan usul revisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Thun 1960 tentang UUPA. Usulan RUU ini diajukan DPD RI ke DPR padda tanggal 19 Juli 2009. Selain itu DPD saat ini masih terus menggodok upaya revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara signifikan, mengingat masih terdapatnya berbagai kekurangan atau kelemahan undang-undang ini. Hal yang paling disorot ialah mengenai tentang pemilihan kepala daerah dan pemerintahan desa.
50
b. PAH II : Membidangi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi Lainnya Beberapa hasil kerja Panitia Ad hoc II antara lain dalam masalah pegelolaan hutan, berhasil merampungkan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan ke DPR pada tahun 2007. Untuk mensinergikan dengan perkembangan situasi terutama setelah reformasi dan amandemen UUD 1945, DPD RI memandang perlu untuk dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aspek-aspek penguatan sumber daya ekonomi yang turut menjadi sorotan DPD RI pada periode 2004-2009 adalah masalah lembaga keuangan mikro, ketahanan oangan, dan jasa lingkungan. Dasar pemikiran penyususnan RUU tentang lembaga keuangan mikro dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor rill indrusti kreatif melalui ketersediaan jasa keuangan dengan tingkat suku bunga rendah, prosesnya cepat, dan mudah. RUU berhasil dirampungkan dan hasilnya disampaikan kepada DPR pada tahun 2009. c. Panitia Perancang Undang-Undang ( PPUU ) Salah satu kelengkapan DPD RI yang membidangi perancangan undangundang adalah Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). Meskipun semua PAH dapat mengkaji hingga mengeluarkan RUU tetapi secara kelembagaan finalisasi seluruh bentuk RUU berada di PPUU. Beberapa hasil kerja PPUU antara lain ialah RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
51
DPD RI menyadari bahwa permasalahan mendasar dalam RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan DPD RI sekedar supporting system bagi DPR. Selain itu juga RUU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam UU DPD ini DPD RI juga diposiisikan sekedar sebagai supporting system bagi DPR. RUU tentang Administrasi Pemerintahan. RUU ini diinisiasi oleh PPUU sehubungan dengan meningkatnya spirasi masyarakat terkait dengan perbaikan administrasi sebagai salh satu indikator perangkat penciptaan good governance. Dan RUU tentang Mahkamah Agung. PPUU memberikan perhatian yang besar antara lain terhadap penyempurnaan penataan sistem rekurtmen hakim agung agar dapat dihasilkan hakim-hakim agung yang berintregitas tinggi, profesional, dan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.26 Dapat dilihat bahwa kinerja DPD dalam fungsi legislasi sudah berjalan dengan baik, dan juga telah memperoleh beberapa hasil yang menurut penulis merupakan hasil dari usulan maupun aspirasi daerah. Oleh karenanya wajar apabila DPD selama ini agak resah, mengingat apa yang telah dihasilkan oleh DPD selama ini seolah-olah diklaim oleh DPR yang dalam hal ini seolah-olah mengenyampingkan keberadaan DPD. Bahkan tak banyak yang mengetahui bahwa beberapa hasil legislasi yang dihasilkan oleh DPD. Seluruh elemen masyarakat seolah-olah hanya melihat DPR
yang menjalankan fungsi
legislasinya, serta Presiden walaupun dalam hal ini Presiden sebagai lembaga 26
Kelompok DPD di MPR, “Eksistensi DPD RI 2009-2013, Untuk Daerah Dan NKRI”,(Jakarta,Sekjen DPD 2005), h. 8
52
Eksekutif akan tetapi juga mempunyai fungsi legislasi. Artinya, dengan penulis melampirkan beberapa hasil yang telah dicapai oleh DPD daiatas, maka sudah sekiranya kita mampu memahami dan memaknai lebih dalam mengenai fungsi legislasi DPD secara gamblang. Dan penulis juga ingin memberikan pandangan kepada semua khayalak bahwa DPD sampai sejauh ini telah menjalankan fungsi legislasinya secara on the track, bahkan beberapa hasil yang dihasilkan oleh DPD pun sampai sejauh ini cukup signifikan dalam penguatan instrumen UndangUndang di berbagai sektor, yang khususnya demi kepentingan masyarakat khususnya di beberapa daerah.
C. Konsepsi Mengenai Legislasi Yang Ideal Menurut Anggota DPD dan Para Ahli Konsepsi legislasi pada dasarnya telah dijabarkan secara ringkas oleh penulis pada Bab II mengenai teori legislatif. Akan tetapi hal tersebut, merupakan penjabaran secara umum yang diulas oleh penulis
berkaitan dengan konsep
legislasi yang ada di Indonesia. Lebih lanjutnya, untuk menyeimbangkan dan menskinronisasikan pembahasan tersebut dengan skripsi yang disusun oleh penulis ini, penulis kemudian mencoba menjabarkan beberapa pandangan ataupun pendapat yang dikemukakan oleh beberapa anggota DPD maupun beberapa para ahli hukum mengenai konsepsi yang ideal dalam proses legislasi. Berikut beberapa kutipan pandangan yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut :
53
1. Irman Gusman, S.E., M.BA ( Ketua DPD RI Periode 2009-2014) “Betapapun kami, para wakil daerah dalam DPD – RI mencoba arif dengan kewenagnan terbatas di atas, ternyata dalam praksisnya kewenangan terbatas itu pun masih belum dapat dioperasikan secara maksimal. Setidaknya sesuai dengan idealitas yang dicetuskan oleh para pejuang reformasi (the second founding patents). Di masa reformasi tahun 1998, kita harus menyaksikan dan mengalami lagi betapa bagi daerah setelah sekian lama dinafikan, diabaikan, bila tidak dapat dikatakan dihina oleh sentralisme kekuasaan di masa lalu ternyata kini masih hidup dikebiri atau dipasung dalam aktualisasi dan pelaksanaan praksisnya. 27 Praksis tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak mula diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dua produk regulatif yang telah ditetapkan, bahkan sebelum anggota DPD hasil pemilu pertama tahun 2004 dilantik. Kedua undang-undang tersebut karenanya bukanlah merupakan aspirasi sejati dari para wakil daerah dan akibatnya banyak hal yang
luput
dari
kondisi
konstitutional
yang
seharusnya
terjadi.
Inkonstitutionalitas itu membuat proses legislasi DPD dalam semua proses legislasi menjadi tidak terlaksana dengan baik. Proses pembuatan Undang-Undang hampir sama sekali tidak 27
Kelompok DPD di MPR RI, Eksistensi
NKRI”, (Jakarta, 2013), h.152
DPD RI 2009-2013, Untuk Daerah Dan
54
menyentuh DPD. Begitupun DPD hampir tidak pernah mendapat kesempatan dalam menyentuh proses penting yang menentukan hajat hidup orang banyak, hajat hidup masyarakat daerah. Selanjutnya terjadi perubahan dimana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 berganti menjadi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 berganti menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU P3). Walau belum menyentuh mandat konstitutional yang digariskan ada kemajuan konsep yang digariskan, ada kemajuan konsep keterlibatan DPD dalam law making processdibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya. Namun, kemajuan
kecil
itu
pun
tidak
dapat
diimplementasikan
karena
ketidaksepakatan akan makna normatif dari kedua Undang-Undang baru tersebut ditingkat praksis. DPD seolah sudah memperoleh wewenang, tetapi sesungguhnya tidak. Karena wewenang tersebut diikat dalam ruang-ruang aktualisasi tertentu dan terbatas saja. DPD masih terpasung oleh konstitusi karenanya kami berpendapat kedua Undang-Undang baru diatas, masih bertentangan dengan konstitusi.”28 2. I Wayan Sudirta, S.H. “Ada dua masalah besar dalam mekanisme legislasi yang sampai saat ini dihadapi oleh DPD. Masalah ini dikarenakan pengaturan dalam UU MD3 dan
28
Irman Gusman ( Ketua DPD RI Periode 2009-2014),” Eksistensi DPD RI 2009-2013 Untuk Daerah Dan NKRI”,.h.154
55
UU P3 yang belum sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 22D UUD NRI 1945,yaitu : a. Terkait dengan Prolegnas. Keterlibatan DPD dalam pembahasan prolegnas hanya sampai pada pembahasan awal dengan Badan Legislasi. Tidak ada tindak lanjut dari usulan DPD, dan DPD juga tidak pernah diberikan peran sesuai dengan pembagian RUU di Prolegnas. b. DPD sampai masa sidang tanggal 14 November 2012 yang lalu, DPD telah menghsilkan sebanyak 38 RUU dan tidak ada yang ditindak lanjuti oelh DPR. Bahkan tidak ada penjelsan tertulis dari DPR kepada DPD mengenai 38 RUU yang telah diajukan oleh DPD tersebut. c. Dalam keterlibatan DPD pada pembahssan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan darah, pembentukan, pemekran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan seumber daya ekonomi lainnya sampai saat ini masih belum sepenuhnya bulat. Beberapa pembahasan RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD, tidak melibatkan DPD seperti pembahasan RUU tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangungan Untuk Kepentingan Umum yang telah diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2012 d. Dalam kaitan pembahasan RUU di DPR, pada praktiknya terdapat dua mekanisme keterlibatan DPD yang berlaku pada waktu pembahasan RUU di DPR. Menyangkut DIM, DPD sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembahasan DIM. Pada pembahsan RUU tentang Keistimewaan DIY,
56
Komisi II menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU MD3 yang tidak memberikan kesemptan sama sekali kepada DPD untuk menyampaikan DIM, namun menyampaikan pendapat akhir mini dalam tahapan tngkat I. Kami terus terang kesulitan menyusun pendapat mini tersebut karena tidak mengikuti pembahasan dan perdebatan dalam pembahasan DIM. Untuk pembahasan RUU tentang Pemerintahan Daerah, RUU tentang Pemilu Kepala Daerah, dan RUU tentang Desa, Komisi II menggunakan ketentuanketentuan dalam UU P3 ( Pasal 68 ayat (3) huruf b) setelah kami menyampaikan bahwa DPD dapat menyampaikan DIM dan DIM tersebut menjadi bahan bagi DPR. Namun, untuk pembahasan daerah otonomi baru, DPD hanya dilibatkan dalam awal pembahasan seperti praktik pada waktu UU Susduk seperti praktik pada waktu UU Susduk.”29 3. Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. Pembentukan parlemen bikameral menempatkan dua kamar pada kedudukan kelembagaan yang setra dan harmonis. Kamar yang satu mengimbangi dan membatasi supermasi kamar yang lain, demikian sebaliknya. Kewenangan DPD termasuk soft bicameral. Kata “dapat” merupakan constitutional choice
yang diberikan konstitusi kepada DPD.
Manakala DPD menempuh pilihan mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, atau menggunakan pengawasan atas pelaksanaan undangundang a quo maka pilihan yang ditempuh tersebut mengandung sifat 29
I Wayan Sudirta S.H. Eksistensi DPD Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan NKRI”,.h..155
57
impresif, tidak disimpangi, apalagi di-negasi oleh DPR dan pemerintah. Dalam kata “dapat” itu terkandung hak dan kewenangan konstitutional DPD. Secara konstitutional, hanya ada tiga rancangan undang-undang yang bakal dibahas menjadi undang-undang yakni, RUU dari DPR, Pemerintah, dan DPD.30 4. Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA “Pokok awal sekarang, bagaimana memberikan pemaknaan yang tepat atas kewenangan DPD sehingga kehadirannya tidak menjadi sebuah lembaga yang berada pda posisi antara ada dan tiada. Karena desain Pasal 22D UUD 1945, adalah tidak mungkin pula memberikan kewenangan lebih luas kepada DPD untuk semua kategori itu hanya dapat dilakukan dengan melakukan Perubahan Kelima UUD 1945. Dengan batasan yang dipandu dalam Pasal 22D UUD 1945itu, desain legislasi ke depan harusnya diupayakan memebrikan tafsir yang tepat merujuk dengan wewenang legislasi DPD. Dengan memberikan tafsir yang tepat, wewenang DPD tidak hanya sebatas mengajukan dan ikut membahas sebagaimana peran yang dilakukan oleh DPR dan Presiden. Bahkan, apabila MK mau memberikan tafsir yang lebih progresif, apabila makna persetujuan dinilai sebagai konsekuensi dari pembahasan bersama, tidak keliru apabila DPD dilibatkan dalam proses pembentukan UU sampai pada persetujuan bersama.
30
Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.. Eksistensi DPD Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan NKRI”,.h..156
58
Memberikan pemaknaan baru yang lebih progresif terhadap DPD dalam proses legislasi sangat berpotensi menjawab keprihatinan kita terhadap produk legislasi yang kian hari kian menurun kualitasnya.”31 5. Ir. H. Isran Noor, M. Si. ( Saksi ahli dalam persidangan MK ) Dalam keterangannya sebagai saksi ahli dari DPD dalam persidangan Uji Materi UU MD3 dan UU P3 beliau mengemukakan beberapa pandangan dan gagasan sebagai berikut : a. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia sepakat dengan tujuan pengujian UU MD3 dan UU P3 bahwa undang-undang yang dimaksud telah mereduksi kewenangan DPD dengan tidak melibatkan lembaga negara ini dengan pengajuan maupun persetujuan RUU di tengah proses legislasi sekarang yang mengharuskan peran DPD RI. b. Di luar teks, beliau mendaptkan pesan dari para walikota dan gubernur bahwa DPD RI bukan menginginkan kewenangan dan mengharapkan kekuasaan di luar ketentuan aturan yang sudah mereka miliki. Yang menginginkan ini, kewenangan dan peran ini adalah para bupati, para walikota, para gubernur, dan seluruh rakyat di seluruh Nusantara ini menginginkan adanya peran DPD RI, jauh lebih banyak sesuai dengan respresentasi perwakilannya dan kepercayaannya yang diberikan oleh seluruh bangsa dan negara. 32 31
Prof. Dr. H.Saldi Isra, S.H,MPA. Eksistensi DPD Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan NKRI”,.h..164 32
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, hal. 142-144
59
Dari berbagai opini serta gagasan pra anggota, para ahli hukum, serta saksi ahli diatas maka dapat penulis katakan bahwa peran DPD dalam proses legislasi nasional begitu signifikan. Dimensi maupun instrumen hukum yang dibangun selama ini belum mampu untuk mengangkat DPD menjadi lembaga legislasi yang diharapkan. Fungsi legislasi yang dimiliki DPD saat ini seolah-olah hanya memberikan harapan kosong belaka terhadap kinerja DPD dalam bidang legislasi. Bahkan beberapa opini yang dikutip penulis diatas menunjukkan adanya sentimentil peran yang diberikan DPR dalam proses legislasi nasional. DPR selama ini seolah-olah menghegemoni peran legislasi di tataran pemerintah pusat, serta dalam rangka program legislasi nasional. Hal itu dibuktikan dengan tidak diresponnya maupun ditanggapinya secara serius beberapa usulan maupun RUU yang selama ini telah diajukan oleh para anggota DPD. Kemudian hal ini semakin diperparah dengan tidak dilibatkannya DPD dalam beberapa kesempatan pembahasan RUU yang seharusnya menjadi kewenangan DPD juga. Disini terlihat seolah-olah DPD hanya sebagai lembaga legislatif pelengkap saja dan hanya menjadi pelengkap dalam sistem bikameral. Oleh karenanya beberapa gagasan diatas, sekiranya dapat dijadikan acuan maupun pemahaman kepada kita mengenai fakta proses legislasi yang selama ini terjadi dilapangan. Beberapa fakta tersebut seolah-olah bukan hanya bualan belaka maupun agenda terselubung dari anggota DPD dalam keseriusannya dalam melakukan upaya untuk memperkuat kedudukan DPD dan melebarkan kewenangan DPD yang seolah-olah selama ini terkekang oleh aturan maupun praksis. Dan juga hal
60
ini membuktikan bahwa usulan amandemen kelima yang selama ini digaungkan oleh anggota DPD semata-mata dilakukan untuk mengembalikkan DPD pada posisi yang selayaknya bukan semata-mata agenda politik atau bahkan tunggangan kepentingan oknum semata. Sehingga, penulis berpendapat bahwa sudah selayaknya MK mengabulkan permohonan DPD tersebut, serta dalam rangka penguatan lembaga DPD, usul amandemen kelima yang selama ini terus diupayakan, menjadi bahan pertimbangan kembali bagi semua kalangan. Khususnya bagi semula elemen perangkat daerah guna mengawal dan menyokong kinerja DPD ditingkatan parlemen.
D. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah berdasarkan UUD 1945 NRI 1. Kedudukan
DPD
dalam
Pembentukan
Undang-Undang
Pasca
amandemen UUD NRI 1945 Pasca amandemen terjadi perubahan yang signifikan terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan munculnya lembaga DPD sebagai lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Dalam UUD pasca amandemen termaktub 2 pasal pada Bab VII A yang secara langsung mengatur tentang DPD yaitu Pasal 22 C dan Pasal 22 D. Dalam hal pembentukan Undang-Undang, kewenangan yang dimiliki oleh DPD ialah dalam Pasal 22 D, yaitu : 1. DPD dapat ikut mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, penggabungan daerah,
61
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah 2. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, hubungan
pusat
dan
daerah,
pembentukan,
pemekaran,
dan
penggabungan daerah, pengeluaran sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah 3. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Dari ketentuan tersebut telah disebutkan mengenai beberapa kewenangan DPD dalam proses pembentukan Undang-Undang. Walaupun hanya sebatas Undang-Undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah. Akan tetapi, hal tersebut merupakan transformasi baru dalam konstitusi serta ketatanegaraan Indonesia. Jika selama ini mekanisme pembentukan Undang-Undang hanya melibatkan Presiden serta DPR saja, dengan munculnya DPD pasca amandemen UUD 1945 menimbulkan harapan baru, khususnya bagi masyarakat daerah dalam menjembatani kepentingan daerah melalui Undang-Undang. Setelah munculnya amandemen tersebut, beberapa Undang-Undang muncul yang ikut menguatkan DPD dalam proses pembuatan Undang-Undang. Penulis tidak akan membedah keseluruhan Undang-Undang tersebut, akan tetapi penulis hanya akan sedikit menjabarkan
mengenai
beberapa
Undang-Undang
amandemen, yakni antara lain sebagai berikut :
yang
muncul
pasca
62
1. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD ( yang dibentuk atas dasar delegasi dari Pasal 22 C ayat (4) UUD 1945) Kedua Undang-Undang tersebut muncul setelah amandemen UUD 1945 , dan merupakan amanat dari amandemen UUD 1945. Dari kedua instrumen Undang-Undang tersebut, peranan DPD dlam pembentukan peraturan perundangundangan baik pada saat pengajuan RUU mapun pembahasan RUU terbatas pada bidang-bidang tertentu yang dibatasi oleh konstitusi, serta UU sebagai peraturan pelaksanaan dari konstitusi tersebut. 33 Sehingga penulis berpendapat, bahwa konstruksi amandemen UUD 1945 saat ini belum sepenuhnya menguatkan DPD khususnya dalam proses pembuatan Undang-Undang. 2. Kewenangan Legislasi DPD dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah disahkannya Perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang Tahunan MPR tahun 2002 yang lalu, agenda reformasi konstitusi Indonesia untuk kurun waktu sekarang ini dipandang telah tuntas. Mengingat perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia dilakukan secara adendum34. Substansi pokok pascaperubahan UUD 1945 antara lain ialah : 33
Jurnal Legislasi Indonesia. “Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang”. (Jakarta:Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI,2005). h..iv 34
M .Fatwa, “Potret konstitusi pasca amandemen UUD 1945”.( Kompas,Jakarta,2009), h. 8
63
1. Pembagian kekuasaan Berdasarkan UUD 1945 2. Hubungan Antar Lembaga 3. Otonomi Daerah seluas-luasnya 4. Penegakan Hukum dan Supermasi Hukum Dari keempat substansi tersebut, tentulah penulis tidak akan menjabarkan secara spesifik satupersatu substansi tersebut. Akan tetapi terkait dengan pembahasan penulis pada kali ini, sebagai pengantar sedianya penulis akan sedikit menjelaskan secara singkat mengenai hubungan antar lembaga yang mana lebih mengarah kepada DPD. Setelah amandemen tersebut hubungan antar lembaga mengalami perubahan yang cukup signifikan. Seluruh lembaga, memiliki kedudukan yang sama dan mempunyai kewenangan saling mengawasi dalam mewujudkan check and balance. Baik lembaga eksekutif ( Presiden ), Legislatif ( MPR, DPR, DPD ),serta Yudikatif ( MA, MK, KY ) dituntut untunk terus berkordinasi dan saling ,mengawasi kinerja masing-masing lembaga. Jika sebelumnya MPR yang mempunyai kekuasaan tertinggi, maka pasca amandemen ini semua lembaga mempunyai kedudukan yang sama, bahkan Presiden pun sebagai eksekutif di tempatkan pada kedudukan yang sama dengan lembagalembaga lainnya. DPD yang dalam hal ini sebagai anak baru dalam ketatanegaraan Indonesia pun diberikan porsi yang sama dengan lembaga lainnya. Dalam legislasi misalnya, DPD mempunyai tugas dan kewenangn dalam hal mengajukan RUU tertentu yang berkaitan dengan Otonomi Daerah dan ikut membahs dengan DPR,
64
memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, serta menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu kepada DPR 35. Dengan penjelasan tersebut, jelas bahwa saat ini kewenangan legislasi DPD setara dengan DPR bahkan Presiden. Akan tetapi, yang membedakannya ialah mengeanai ruang lingkupnya. Dalam hal ini DPD diberikan luang lingkup sejauh RUU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah. Hal itu wajar, mengingat DPD sebagai lembaga perwakilan daerah yang diberikan emban untuk mengakomodir kepentingan daerah. Prosees baru legislasi di Indonesia saat ini berarti melibatkan Presiden, DPR, dan DPD. DPD merupakan pelembagaan wakil daerah-daerah tetapi bukan seperti pola “utusan daerah” semasa Orde Baru. Pemilihan anggota DPD lebih berat dibandingkan pemilihan anggota DPR yaitu sistem distrik, sehingga lebih akuntabel kepada pemilih. Namun, dibalik itu semua, ternyata kompetensi DPD sangat terbatas, baik dalam hubungan dengan DPR maupun lembaga-lembaga lain. DPD tidak terlibat dalam pengambilan keputusan dibidang legislasi36. Selain itu, banyak pertanyaan muncul terkait pola hubungan antara MPR, DPR, dan DPD dalam fungsi legislator ini. Dalam konteks ini ketika berlangsung fungsi inter-kameral antara DPR-DPD , proses itu dapat disebut sebagai “arena” joint session DPR-DPD : ketika mengundang DPD untuk ikut membahas RUU
35
36
M Fatwa, “Potret konstitusi pasca amandemen UUD 1945”. h. 8
Kelompok DPD RI, “Konstitusi Ri Menuju Perubahan Ke 5”. (Jakarta, PT. GRAFITRI, 2009), h. 135
65
yang terkait dengan Otonomi Daerah; ketika kepada DPR pihak DPD mengajukan RUU yang terkait dengan Otonomi Daerah atau meminta pertimbangan RAPBN, ketika DPD meminta pertimbangan dalam pemilihan anggota BPK, dan ketika DPR-DPD menerima Haptah BPK. Dalam pembahasan dan pengambilan keputusan atas RUU (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ), fungsi legislatif diipegang oleh DPR dan Presiden, DPD hanya memiliki fungsi konsultatif. Jelas bahwa hubungan DPD-DPR-Presiden bukan merupakan MPR sebagai joint session, karena wewenang bersama ketiga lembaga tersebut bukan merupakan wewenang MPR dan pola hubungan ketiganya bukan dibawah naungan MPR. Ada yang mengatakan pola hubungan kamar-kamar legislatif ini boleh saja disebut tipe hibrida yaiitu “legislatif tiga kamar” ( three-chumber legislature), tapi dengan fungsi pengambilan keputusan hanya ada ditangan dua kamar ( DPR dan Presiden ). Akan tetapi tentu saja tidak dapat menyebut pola hubungan MPRDPR-DPD sebagai parlemen tiga kamar37. Melihat fenomena diatas , penulis beranggapan bahwa peran serta DPD dalam proses legislasi saat ini masih sangat terbatas. Hal itu, memunculkan banyak opini terkait lemahnya fungsi legislasi DPD sebagai lembaga legislatif. DPD terkesan dimonopoli oleh DPR dalam proses legislasi. Beberapa penjelasan berikut dapat membuktikan superioritas DPR atas DPD, antara lain :
37
Kelompok DPD RI, “Konstitusi Ri Menuju Perubahan Ke 5”. h. 134
66
1. Dalam fungsi legislasi perubahan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dari tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR menjadi DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang. 2. Penambahan pasal 20A, ayat (1) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawsan tidak saja berakibat pada melemahkan fungsi legislasi DPR terhadap DPD.38 Oleh karena itu, ruang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonmi daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam Pasal 22 Dayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak cukup untuk mengatakan bahwa DPD mempunyai fungsi legislasi. Bagaimnapun, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan undang-undang
menjadi
undang-undang.
Selain
itu,
banyak
pendapat
mengatakan, perubahan Pasal 20 Ayat (1) dan kehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat Undang-Undang hanya menjadi monopili DPR. Padahal, dalam lembaga perwakilan rakyat bikameral, kalu tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi berhak untuk
38
mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto)
Soewoto Mulyosudarmo,. Pembaruan ketatanegaraan melalui perubahan konsititusi. (Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN. Jawa Timur. Surabaya,2009), h. 98
67
rancangan undang-undang dari Majelis Rendah39. Selain itu, Kevin Evans dalam bukunya “Seputar Bikameral” menambahkan bahwa Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan rancangan undang-undang yang disetujui Majelis rendah. Hak menuda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggi jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undangundang40. Melihat pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberikan pertimbangan, seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 pasca amandemen secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi oleh DPD. Pasal 20 ayat (1) dan 20 A ayat (1) menentukan bahwa kekuasaan membuat undang-undang (legislasi) hanya dimiliki oleh DPR. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang SUSDUK MPR, DPR, DPD, dan DPRD amat membatasi kewenangan DPD. Dalam pasal 22 D ayat (1) dan Ayat (2) UUD NRI 1945 maupun pasal 42 dan 43 UU No.22 Tahun 2004 menunjukkan betapa terbatasnya wewenang DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan Otonomi Daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR 39
Saldi Isra,. “Lembaga Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945”. (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2004),h. 67 40
Kevin Evans,. Seputar Sistem Bikameral, dalam. CPPS PARMADINA DAN PARTNERSHIP GOVERNANCE IN INDONESIA, Jakarta, 2002.
68
saat DPR melaksanakan kewenangannya. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD NRI 1945 pasca amandemen tidak seusai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang dalam proses legislasi maupun pengawasan. Dengan demikian dalam fungsi legislasi , DPD tidak bisa ketahap persetujuan Rancangan Undang-Undang. Disamping itu, dalam bidang legislasi, DPD juga berfungsi sebagai pemberi pertimbangan atas perancangan dan pembahasan RUU di bidang-bidang tertentu serta dibidang pengawasan yaitu mengawasi pelaksanaan UU di bidang-bidang yang terkait dengan kepentingan daerah. Berdasarkan
penjelasan
diatas,
penulis
beranggapan
bahwa
guna
membangun prinsip check and balance dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak membatasi DPD seperti sekarang ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua dilembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan dapat diwujudkan. Bagaimanapun, dengan pola
legislasi sekarang ini, DPD tidak
mungkin mampu mengartikulasikan kepentingan politk daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional terutama dalam membuat UndangUndang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Untuk menata fungsi legislasi, yang diperlukan tidak hanya terbatas pada penguatan fungsi
69
legislasi DPD tetapi juga dengan membatasi peran atau keterlibatan presiden dalam fungsi legislasi. Kalau memang punya political will
yang kuat untuk
melakukan pembenahan sistem presidensial, presiden tidak lagi dilibatkan dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang. Dengan demikian, mekanisme check and balance dalam pembahasan Rancangan Undang-undang hanya terjadi antara DPR dan DPD.
3. Implementasi Kewenangann Legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan Khususnya dalam Proses Pengajuan dan Pembahasan RUU Otonomi Daerah Pengajuan uji materiil UU No.27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) serta UU No. 12 Tahun 2011 (UU P3) yang dilakukan oleh DPD ke MK, tidak serta merta dilakukan DPD secara membabibuta. Akan tetapi hal fundamental yang diupayakan oleh DPD ialah terkait dengan beberapa pokokpokok yang berkaitan dengan fungsi legislasi DPD diparlemen. Adapun pokokpokok tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1 ), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3),Pasal 2ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) UU P3 Telah Meniadakan Kewenangan Pemohon untuk Dapat Mengajukan Rancangan Undang-Undang baik di Dalam maupun di Luar Program Legislasi Nasional
70
2. Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan huruf (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU P3 telah Mereduksi Kewenangan Legislasi Pemohon Menjadi Setara dengan Kewenangan Legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara Sistematis Meniadakan Kewenangan Pemohon sejak Awal Proses Pengajuan Rancangan UndangUndang 3. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3 telah Mendistorsi Rancangan Undang-Undang Pemohon Menjadi Rancangan UndangUndang Usul DPR 4. Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah Merendahkan Kedudukan Pemohon Menjadi Lembaga yang SubOrdinat di bawah DPR41 Beberapa pokok diatas terkait dengan kewenangan DPD dalam pengajuan RUU. DPD berpendapat bahwa kewenangan legislasi DPD dalam konteks pengajuan RUU Otonomi daerah sangat terbatas, dan hal tersebut diperparah dengan disamakannya lembaga DPD dengan alat kelengkapan DPR. Hal tersebut bagi DPD sangat merendahkan kelembagaan DPD, khususnya dalam konteks lembaga legislatif. Kemudian adapun terkait pembahasan RUU DPD juga mengajukan beberapa permohonan terkait kewenangan dalam melakukan pembahasan RUU Otonomi Daerah. Adapun beberapa pokok permohonannya ialah sebagai berikut : 41
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 92/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 ,dan Undang-Undang nomor 12 Tahun 2001 tentang PU3, h. 1423
71
Dalam hal pembahasan RUU : 1. Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4) UU P3 Tidak Melibatkan Pemohon dalam Seluruh Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang 2. Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dan Pasal 68 ayat (3) UU P3 telah mengecualikan Pemohon dari Pengajuan dan Pembahasan Daftar Inventaris Masalah yang Justru Merupakan ”Inti” dari Pembahasan Rancangan Undang-Undang. 3. Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU MD3, serta Pasal 68 ayat (5) UU P3 telah Mereduksi Kewenangan Pemohon dengan Mengatur Bahwa Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tetap Dilaksanakan Meski Tanpa Keterlibatan Pemohon 4. Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g dan Pasal 107 ayat (1) huruf c UU MD3 dan Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 telah Mereduksi Kewenangan Pemohon untuk Ikut Serta dalam Memberikan Persetujuan Suatu Rancangan Undang-Undang yang Terkait denganKewenangannya 5. Pasal 150 ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a dan huruf b UU MD3, serta Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, dan ayat (4) huruf a 6. Pasal 69 ayat (1)huruf a dan huruf b, serta ayat (3) UU P3 Bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 karena Seharusnya Setiap RUU Dibahas oleh DPR, Presiden, dan Pemohon Sepanjang yang Berkaitan dengan RUU Kewenangan Pemohon, bukan oleh Fraksi dan Presiden
72
Beberapa pokok diatas terkait pembahasan RUU, DPD menilai bahwa implementasi yang diberikan UU MD3 serta UU P3 sangatlah mengekang kewenangan legislasi DPD dalam hal pembahasan RUU Otonomi Daerah. Sehingga DPD menilai bahwa semangat penguatan kelembagaan DPD pasca lahirnya UU MD3 serta UU P3 terkesan hanya formalitas belaka. Dalam hal pembahasan RUU kewenangan DPD seolah-olah dibatasi dan hanya sebagai pelengkap saja. Pada faktanya hegemoni antara Presiden dengan DPR masih tetap berlangsung. Padahal secara kelembagaan baik DPR, Presiden, serta DPD mempunyai kedudukan yang sama khususnya sebagai lembaga legislatif, walaupun ada pembatasan terkait kewenangannya akan tetapi secara kedudukan ketiga lembaga ini mempunyai porsi yang setara. Oleh karenanya, DPD bersikeras agar UU MD3 serta UU P3 terkait kewenangan legislasinya dibatalkan oleh MK. DPD ingin MK memberikan sebuah jalan baru bagi DPD dalam proses legislasi nasional.
BAB IV KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM LEGISLASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH PASCA PUTUSAN MK 92/PUU/-X/2013
A. Kedudukan dan Kewenangan DPD dalam Pembahasan RUU Otonomi Daerah sesudah di Putuskannya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 Tentang Kewenangan DPD dalam Legislasi RUU Otonomi Daerah Setelah penulis membedah fungsi DPD dalam legislasi pasca amandemen UUD NRI 1945, dan masih banyak pihak yang menganggaap bahwa amandemen UUD NRI 1945 belum mengakomodir dan mengefektifkan peranan DPD dalam bidang legislasi, maka pada sub bab ini penulis berusaha mencoba memaparkan secara ringkas mengenai kedudukan dan kewenangan DPD dalam pembahasan RUU Otonomi Daerah sesudah di Putuskannya Putusan MK Nomor 92/PUUX/2013 Tentang Kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah. Upaya para anggota DPD untuk mendorong pemerintah memaksimalkan fungsi DPD dalam legslasi terus diupayakan sejak lama. Berbagai upaya terus dilakukan dengan membawa isu amandemen ke -5 UUD NRI 1945 yang digagas sekitar tahun 2006. Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh para anggota DPD dilalui dengan jalan yang berliku. Pola yang dikembangkan dengan cara terstruktur dan sistematis demi mengupayakan amandemen ke 5 UUD NRI 1945. Mekanisme pola pengajuan amandemen yang digagas oleh anggota DPD antara lain sebagai berikut : 73
74
1. Naskah Akademik 2. Opini Building : media cetak, media elektronik, serta polling 3. Penetrasi Parpol : Pimpinan Parpol, Pimpinan Fraksi, dan Anggota DPR dan MPR 4. Penetrasi Non Parpol : Gubernur/Bupati,Walikota, Perguruan Tinggi, Organisasi Masyarakat, LSM , Opini para tokoh masyarakat.41 Pola tersebut terus digencarkan guna mendorong MPR RI melaksanakan amandemen UUD NRI 1945. Namun berbagai upaya tersebut tidak mendapat sambutan positif dari pimpinan MPR yang tidak berkenan menyampaikan kepada seluruh anggota MPR RI karena dianggap belum memenuhi ketentuan dalam UUD NRI 1945. Setelah gagal melalui pola tersebut DPD tak patah arang, kemudian DPD semakin gencar bersosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat mengenai pentingnya agenda amandemen UUD NRI 1945 ke – 5. Hingga akhirnya, dalam rapat gabungan MPR RI pda tanggal 19 Juli 2012, disepakati pembentukan Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia yang merupakan tim kerja Pimpinan MPR RI. Tugas Tim Kerja adalah melakukan kajian yang komprehensif mengenai sistem Ketatanegaraan Indonesia, dimana salah satunya membahas berkembangnya aspirasi yang meminta dilakukannya amandemen kelima oleh MPR.42 41
Kelompok DPD di MPR RI, “Eksistensi Dpd Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan NKRI”, (Jakarta:Sekjen DPD), h. 99 42
h.133
Kelompok DPD di MPR RI, “Eksistensi Dpd Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan NKRI”,
75
Namun hingga saat ini, tim kerja tersebut masih terus berjalan guna menggagas dan merumuskan konsep mengenai amandemen UUD NRI 1945. Sambil berharap amandemen UUD NRI 1945 dapat segera terlaksana, DPD terus berupaya keras untuk mendorong perubahan kewenagan legislasi DPD saat ini. Hal tersebut dilatar belakangi dengan kondisi DPD RI dalam sistem ketatanegaaan Indonesia, khususnya ketika berhubungan dengan DPR dapat dilihat dengan realitas sebagai berikut : 1. DPD RI dalam kurun waktu dari 1 Oktober 2004 sampai dengan Maret 2013 telah mengajukan 39 RUU, 184 Pandangan dan Pendapat, 60 Pertimbangan, dan 110 Hasil pengawasan. 2. Seluruh RUU, Pandangan, dan Pendapat,serta Pertimbangan DPD RI yang telah disampaikan ke DPR tersebut tidak ada tindak lanjutnya sebagaimana amanat UUD NRI 1945 untuk melibatkan DPD RI dalam proses pengajuan, pembahasan, dan pertimbangan RUU. 43 Dari fakta tersebut semua pihak termasuk rakyat dapat melihat betapa hasil kerja DPD tidak memperoleh respon memadai dari DPR. DPD telah berupaya melakukan berbagai langkah komunikasi politik dengan DPR untuk mencari solusi terhadap masalah yang terjadi ini. Namun demikian walau telah bertahun-tahun komunikasi politik itu dilakukan oleh DPD namun pihak DPR tidak memberi respon memadai dan menerima berbagai usul solusi yng 43
2013).h..2
Sekjen DPD RI, “Fungsi Legislasi DPD Pasca Putusan MK”, (Jakarta:Sekjen DPD RI,
76
ditawarkan DPD. Atas dasar tersebut, maka DPD melakukan Judicial Review terhadap UU MD3 dan UU P3. Setelah melalui proses yang berliku dan panjang, maka pada tanggal 27 Maret 2013 MK menggelar sidang pleno dengan agenda pembacaan putusan. Dalam sidang pleno tersebut, MK memutuskan untuk menerima permohonan yang diajukan oleh DPD RI tersebut. Dalam putusannya tersebut, MK meneguhkan lima hal, yakni : 1. DPD RI terlibat dalam pembahasan Program Legislasi Nasional 2. DPD RI berhak mengajukan RUU yanng dimaksud dalam Pasal 2D ayat (1) UUD NRI 1945 sebagaimana halnya atau bersama-sama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 3. DPD RI berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945. 4. Pembukaan RUU dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 bersifat tiga pihak (tripartit) yaitu antara DPR, DPD RI , dan Presiden 5. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU MD3 DAN UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD RI dengan sendirinya bertentangan dengan UUD NRI 1945, baik yang diminta atupun tidak.44 44
Putusan MK selengkapnya dpat dibaca di situs www.mahkamahkonstitusi.go.id (diakses pada tanggal 15 Januari 2014 )
www.dpd.go.id
dan
77
Dengan keluarnya putusan MK tersebut sebagaimana diketahui dalam UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Atas dasar itu, sebagai konsekuensi logisnya maka terhitung sejak wktu tersebut maka proses pembentukan UU di DPR sudah harus dilaksanakann sesuai dengan Putusan MK tersebut. Apabila proses pembentukan UU di DPR tidak mengacu kepda putusan MK tersebut, maka proses pembentukan UU tersebut cacat hukum,dan produk yang dihasilkan menjadi tidak sah atau batal demi hukum. Dalam konteks ini, pada tahun 2007 dalam tulisannya di sebuah buku, ketua MK Periode pertama Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H menyebutkan bahwa berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945, pengadilan MK adalah pengadilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat dinal. Pasal 47 UU MK menyatakan bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa dengan sendirinya putusan MK tidak memerlukan pelaksanaan lain, karena sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno, putusan itu telah memiliki kekuatan hukum tetap. 45 Hakim Konstitusi Dr. Haryono, S.H, MCL , dalam sebuah bukunya menulis, peradilan di MK sebagai “tingkat pertama dan terakhir” tersebut dimaksudkan bahwa terhadap putusan MK tidak dapat dilakukan upaya hukum
45
Jimly Asshiddiqie, “pasal 50 uu mk dan pelaksanaan putusan mk”, dalam rofiqul umam ahmad,dkk (editor), konstitusi dan ketatanegaraan indonesia kontemporer, pemikiran prof.dr. Jimly asshiddiqie, s.h dan para pakar hukum ,(Jakarta.:The biography institute,2007), h. 91
78
sebagaimana ada dipengadilan tingkat pertama yang dapat dilakukan banding di pengadiln tingkat banding, dan dapat dilanjutkan dengan upaya hukum berupa kasasi, bahkan penunjauan kemballi di MA sehingga putusan itu bersifat final. Putusan MK yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final harus diterima sebgai res judicata facit ius ( Putusan pengadilan diterina sebagai hukum dalam kenyataan ). 46 Dari beberapa penjelasan para pakar hukum diatas telah jelas bahwa putusan MK tersebut harus segera dilaksanakan oleh DPR. Selain itu DPR dan Presiden harus lebih menempatkan posisi DPD pada posisi yang semestinya. Jika selama ini, DPD hanya dicap sebagai dewan pertimbangan DPR / Presiden dalm proses legislasi, saat ini DPD mempunyai kedudukan dan kewenangan yang setara dengan DPR dan Presiden dalam pembahasan dan pengambilan keputusan dalam setiap RUU yang terkait dengan Otonomi Daerah. Selain itu, jika selama ini setiap usul RUU yang berasal dari DPD diklaim sebagai usul RUU DPR, untuk selanjutnya usul RUU yang berasal dari DPD tetaplah dinamakan sebagai RUU DPD.
46
141
Haryono, “Transformasi demokrasi”, (Jakarta:Sekjen dan kepaniteraan MK, 2009), h. 140-
79
B. Dasar Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 Tentang Kewenangan DPD dalam Legislasi RUU Otonomi Daerah Dalam memutuskan putusan MK tersebut, MK memiliki beberapa pertimbangan sebelum memutuskan putusan tersebut, beberapa pertimbangan tersebut seperti yang tercantum dalam putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 ialah: 1. Mengenai Kewenangan DPD dalam mengajukan RUU. MK
berpandangan
kewenangan
konstitutional
DPD
mengenai
pengajuan RUU, ditegaskan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan : “DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan RUU Otonomi Daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dn pemekran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan Sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.47 Menurut MK, kata dapat dalam Pasal 22 D ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut merupakan pilihan subjektif DPD untuk mengajukan atau tidak mengajukan
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pust dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD.
47
UUD NRI 1945 Pasal 22D ayat 1
80
Kata dapat tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak kewenangan konstitutional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR”. Dengan demikian DPD memiliki posisi dan kedudukan yang sama dengan Presiden dan DPR dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan Sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. MK menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas di badan legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945.48 2. Mengenai Kewenangan DPD Ikut Membahas RUU Menurut Mahkamah Konstitusi kewenangan DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam Pasal 22 D ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan : “DPD ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah ; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
48
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 244
81
pusat dan daerah. Serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Berdasarkan ketentuan tersebut DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dengan Presiden dalam hal yang disebutkan diatas. Penggunaan frasa “ikut membahas” dalam Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 karena Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 telah menentukan secara tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Penggunaan frasa “ikut membahas” adalah wajar karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan pada Perubahan Pertama UUD 1945 tahun 1999, sedangkan Pasal 22D UUD NRI 1945 disahkan pada Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001.49 Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas” harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah;
pembentukan,
pemekaran,
dan
penggabungan
daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama DPR dan Presiden. Dengan demikian,
pembahasan
RUU
harus
melibatkan
DPD
sejak
memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus
49
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 246
82
DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden,
Presiden
diberikan kesempatan
memberikan
penjelasan,
sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan
memberikan
penjelasan,
sedangkan
DPR
dan
Presiden
memberikan pandangan. Konstruksi UUD NRI 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi.50 Walaupun demikian, Mahkamah dapat memahami bahwa mekanisme pembahasan RUU dengan membahas DIM yang diajukan oleh fraksi
50
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 247
83
adalah praktik pembahasan RUU sebelum perubahan UUD NRI 1945. Selanjutnya pembahasan pada tingkat Alat Kelengkapan DPR yang sudah mengundang Presiden dan/atau sudah mengundang DPD, maka DPR dalam pembahasan DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan kelembagaan; 3. Mengenai Kewenangan Ikut Menyetujui RUU Terhadap dalil permohonan tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 telah menentukan dengan jelas bahwa DPD hanya berwenang ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dan tidak ikut serta pada pemberian persetujuan akhir yang lazimnya dilakukan pada rapat paripurna DPR pembahasan Tingkat II. Artinya, DPD dapat saja ikut membahas dan memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang membahas RUU pada Tingkat II, tetapi tidak memiliki hak memberi persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan. 51 Persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang, terkait dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa
51
hanya
DPR
dan
Presidenlah
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 248
yang
memiliki hak
memberi
84
persetujuan atas semua RUU. Kewenangan DPD yang demikian, sejalan dengan
kehendak
awal (original
pembentukan DPD pada
intent)
pada
Perubahan Ketiga UUD
saat
pembahasan
NRI 1945 yang
berlangsung sejak tahun 2000 sampai tahun 2001. Semula, terdapat usulan bahwa kewenangan DPD termasuk memberi persetujuan terhadap RUU untuk
menjadi
Undang-Undang, tetapi
usulan
tersebut
ditolak.
Pemahaman yang demikian sejalan dengan penafsiran sistematis atas Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 dikaitkan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945. Bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengandung dua kewenangan, yaitu kewenangan untuk membahas dan kewenangan untuk menyetujui bersama antara DPR dan Presiden, sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut memberi
persetujuan.
Berdasarkan pertimbangan
tersebut,
menurut
Mahkamah, DPD tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang; 4. Mengenai Keterlibatan DPD dalam Penyusunan Prolegnas Menurut
Mahkamah,
keikutsertaan dan
keterlibatan
DPD
dalam
penyusunan Prolegnas seharusnya merupakan konsekuensi dari norma Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan
pemekaran
serta
penggabungan
daerah,
85
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan
Penyusunan Prolegnas
perimbangan sebagai
keuangan
instrumen
pusat
dan
perencanaan
daerah.” program
pembentukan Undang- Undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD.52 Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam
rangka
mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak akan dibahas. Berdasarkan Undang-Undang
pertimbangan
tersebut,
yang
melibatkan
tidak
menurut Mahkamah, DPD
dalam
norma
penyusunan
Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan oleh UUD NRI 1945.
Dengan
demikian permohonan Pemohon beralasan menurut
hukum;
52
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 249
86
5. Mengenai Kewenangan DPD dalam memberikan pertimbangan terhadap RUU Menurut Mahkamah, makna “memberikan pertimbangan” sebagaimana yang dimaksud Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD memberikan pertimbangan
tanpa
ikut
serta
dalam pembahasan
dan
merupakan kewenangan DPR dan Presiden untuk menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan DPD sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting adalah adanya kewajiban dari DPR dan Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama53
Analisa Penulis Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka menurut penulis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi , seluruh ketentuan UU 27/2009 dan UU 12/2011 yang telah mereduksi atau mengurangi kewenangan Pemohon yang ditentukan oleh UUD NRI 1945 atau telah mengurangi fungsi, tugas, dan kewenangan DPD sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi dan sebagaimana dimaksudkan pada saat DPD dibentuk dan diadakan dalam konstitusi haruslah dinyatakan inkonstitusional dan diposisikan sebagaimana mestinya sesuai dengan UUD 1945.
53
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 250
87
Lagi pula, sebuah lembaga negara yang cukup besar seperti DPD dengan anggaran biaya negara yang cukup besar adalah sangat tidak seimbang dengan kewenangan yang diberikan menurut kedua UndangUndang a quo. Dengan anggota yang dipilih secara langsung oleh rakyat di masing-masing provinsi, tetapi tanpa kewenangan yang memadai sebagaimana diatur dalam kedua Undang-Undang a quo dapat mengecewakan para pemilih di
masing-masing
daerah
yang
bersangkutan.
Oleh karena itu, seluruh
ketentuan yang mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD dalam
kedua
Undang-Undang a quo, baik yang dimohonkan atau yang tidak dimohonkan oleh Pemohon, tetapi berkaitan dengan kewenangan DPD harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI 1945 apabila tidak sesuai dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal kedua Undang-Undang a quo yang terkait
dengan kewenangan
menyesuaikan
konstitusional
DPD,
harus
pula
dianggap
dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh
Mahkamah. Keluarnya putusan MK tersebut dapat dijadikan pijakan awal bagi DPD demi memperkuat eksistensinya dalam struktur ketatanegaraan. Selain itu penguatan prinsip check and balances dengan DPR maupun Presiden dalam proses legislasi, menjadi salah satu isu penting dari putusan MK tersebut. Selain itu, hal ini menjadi cambuk bagi DPR guna lebih kembali memberdayakan peranan DPD dalam proses legislasi. Selama ini DPR kerap mengenyampingkan peran DPD dalam berbagai proses legislasi. Hal itu terbukti,
88
dari beberapa temuan penulis yang telah sedikit penulis jabarkan di bab sebelumnya. Tak banyak yang menilai bahwa selama ini DPD telah menjalankan fungsi dan kinerjanya sebagaimana mestinya. Apabila DPD masih terus terbelenggu oleh kesewenang-wenangan DPR yang kerap kali memainkan UUD NRI 1945 sebagai acuannya, maka sudah sepatutnya perlu ada upaya lebih keras lagi bagi DPD guna mendorong amandemen UUD NRI 1945 kelima. DPD tidak lekas terbuai oleh putusan MK ini. DPD harus terus melakukan penetrasi yang selama ini telah dilakukan. Penetrasi ini bukan sekedar untuk memprovokasi, melainkan hanya sekedaar upaya sosialisasi peran kelembagaan DPD, serta dalam rangka memaksimalkan fungsi DPD. Bukan hanya DPD yang harus berupaya, MK juga harus terus mengawal dan bekerja sama dengan DPD guna mengontrol dan mengawasi apakah putusan ini dilakasanakan atau tidak. Karena apabila DPR masih terus mengacuhkan bahkan mengabaikan putusan MK ini, maka hal ini merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum. Oleh karenanya, MK harus terus berkordinasi dengan DPD dalam mengawal putusan ini. C. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUUX/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan
89
Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK. Dalam perkara pengujian UU misalnya, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Oleh karena itu, yang terikat dan harus melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK. Kemudian lebih lanjut lagi diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
90
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ditentukan bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Dengan demikian putusann MK harus langsung dilaksanakan sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Penjelasan Pasal 60 Undang – Undang Nomor 7 tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa." Sedangkan Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap putusan yaitu: putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam siding terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan. Suatu putusan hakim mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan54.
Sebagaimana putusan peradilan pada umumnya putusan peradilan konstitusi di MK juga mempunyai akibat hukum. Untuk putusan pengujian undang-undang bentuk putusannya adalah declarator constitutief. Artinya putusan MK dapat menciptakan suatu keadaan hukum baru atau meniadakan suatu kedaan hukum.
54
Gemala Dewi, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama DiIndonesia”, (Jakarta: Prenada media,2005).
91
Posisi yang demikian menempatkan MK sebagai negative legislator. Putusan MK mempunyai tiga kekuatan yakni kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial. 1.
Kekuatan Mengikat Sebuah putusan pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan suatu persoalan
atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak yang telah menyerahkan
perkaranya
pada
pengadilan
berarti
menyerahkan
dan
mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili. Konsekuensi yang timbul adalah pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan hakim. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. MK mendapatkan dukungan publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terutama memutus pengjian undang-undang. Meskipun demikian tak jarang MK mengeluarkan putusan yang dianggap aneh dan revolusioner dalam dunia peradilan. Ada yang mendukung dan sepakat dengan putusan MK. Adapula yang menentang putusan MK dengan dalih tidak mempunyai kekuatan hukum. Beberapa kalangan mempertanyakan mengenai kekuatan hukum yang dimiliki oleh subuah putusan MK. Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi MK juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat. MK berwenang mengadili perkara
92
konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan MK mau tidak mau harus dilaksanakan. Tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan MK. Yang demikian dikarenakan MK adalah pengadilan terakhir bagi masyarakat untuk mengadukan hak konstitusionalnya. Sifat final tersebut berarti bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat mengikat putusan MK berbeda dengan putusan peradilan pada umumnya. Jika di peradilan umum putusan hanya mengikat bagi para pihak berperkara (interpartes) maka putusan MK juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum yang ada di Indonesia. Sehingga putusan MK dikatakan sebagai negative legislator yang bersifat erga omnes. Mengenai kekuatan mengikat putusan MK kita dapat menengok kembali pada Pasal 10 UU MK bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final. Kekuatan hukum yang mengikat memiliki arti positif maupun negatif. Sebuah putusan bersifat mengikat dalam arti positif yakni bahwa apa yang telah diputuskan hakim harus dianggap benar dan tidak dimungkinkan pembuktian lawan. Mengikat dalam arti negatif, artinya bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama.
93
2.
Kekuatan Pembuktian Dalam proses pengadilan akan membutuhkan alat bukti sebagai sarana
penemuan fakta dan kebenaran. Sebuah putusan pengadilan, khususnya putusan MK memiliki kekuatan pembuktian. Dalam Pasal 60 UU MK menyatakan setiap muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian putusan MK tersebut merupakan sebagai lat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh kekuatan hukum yang pasti. Kekuatan hukum pasti yang terdapat dalam putusan MK ada dua sisi yakni positif dan negatif. Sisi positif adalah bahwa apa yang diputus oleh hakim dianggap telah benar sehingga tidak diperlukan pembuktian. Sedangkan sifat negatifnya adalah hakim tidak diperbolehkan memutus perkara yang pernah diajukan sebelumnya. Putusan pengadilan yang isinya menghukum dan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara mengenai peristiwa yang telah terjadi. 3. Kekuatan Eksekutorial Putusan MK dimaksudkan sebagai perbuatan hukum pejabat negara untuk mengakhiri sengketa yang akan menidakan atau menciptakan hukum. Sehingga diharapkan putusan MK tak hanya untaian kata yang tertulis di atas kertas. Kekuatan eksekutorial putusan MK adalah ketika putusan itu diumumkan. MK adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Konstitusi sebagai dasar dan pedoman paraktik ketatanegaraan harus ditaati sebagai dasar
94
hukum bernegara. Kewenangan MK untuk menguji apakah suatu undang-undang telah memenuhi syarat konstitusional diadakan melalui konstitusi. Sehingga MK dalam setiap putusannya mengandung nilai hukum yang mesti ditaati dan langsung dapat dieksekusi. Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap putusan MK yang membatalkan dalam pengujian undang-undang ditempatkan pada berita negara. Implikasinya terhadap uji materi yang diajukan oleh DPD ini maka terhitung sejak 27 Maret 2013 pukul 15.20 WIB proses pembentukan undangundang sudah harus dilaksanakan sesuai dengan putusan MK yaitu : a. DPD RI terlibat dalam pembahasan Program Legislasi Nasional b. DPD RI berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 sebagaimana halnya atau bersama-sama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang c. DPD RI berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 d. Pembukaan RUU dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 bersifat tiga pihak (tripartit) yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden
95
e. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD RI dengan sendirinya bertentangan dengan UUD NRI 1945, baik yang diminta ataupun tidak55 Apabila putusan MK tidak dijalankan maka proses pembentukan undangundang cacat hukum yang akhirnya produk undang-undang yang dihasilkan menjadi tidak sah atau batal demi hukum. Selain itu, dalam hal upaya amandemen UUD 1945 NRI dalam konteks penguatan DPD terletak pada Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 NRI yang berbunyi : “Setiap rancangan undangundang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Disinilah letak urgensinya, bahwa dengan adanya amandemen UUD NRI 1945 , nantinya DPD akan diberikan atau mempunyai andil dalam menentukan undang-undang
yang berlaku. Tak hanya
sebatas mengajukan sampai
pembahasan, akan tetapi apabila ingin mensejajarkan fungsi legislasi DPD dengan DPR maupun Presiden maka tak ada jalan lain selain amandemen UUD NRI 1945. Karena pada dasarnya, apabila DPD hanya mempunyai fungsi pengajuan serta pembahasan, maka dikhawatirkan ada beberapa RUU yang diajukan oleh DPD dan hal tersebut tidak dikehendaki oleh DPR atau Presiden maka RUU tersebut tidak disahkan bahkan hanya sampai tingkat pembahasan. Dan dalam 55
2013). h.6
Sekjen DPD RI, “Fungsi Legislasi DPD Pasca Putusan MK”, (Jakarta:Sekjen DPD RI,
96
rangka memaksimalkan prinsip check and balances dalam proses legislasi maka sekiranya perlu adanya amandemen UUD 1945 NRI. Namun satu tahun pasca putusan MK tersebut pada nyatanya belum seutuhnya berjalan atau terkesan masih dipandang sebelah mata. Hal ini dibuktikan dengan beberapa pernyataan yang penulis kutip dimedia cetak beberapa waktu silam oleh salah I Wayan Sudirta S.H yang merupakan salah satu anggota DPD. Ia menegaskan bahwa sampai sejauh ini DPR belum secara sungguh-sungguh menerima kehadiran DPD. Dalam kutipannya beliau menyatakan : “Karena DPD dihadirkan sebagai institusi resmi, putusan melalui amandemen, anggarannya melalui APBN, tentu DPD juga harus diberikan ruang secukupnya, ngak usah berlebihan dan tidak usah sama dengan DPR. Sudah ada Putusan MK masih tidak diajak,”56 I Wayan menambahkan, seharusnya, aturan tentang DPD sudah direvisi karena itu kewajiban dan isinya tinggal diadopsi dari putusan MK yang sudah mengatur tentang itu. Sejak keputusan MK ditetapkan sudah memakan waktu satu tahun lebih dan sepertinya DPR tidak berniat mengakomodir keputusan itu. Selain itu pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan bahwa Model legislasi tripartit yang dijalankan pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan memudahkan proses pembuatan undang-undang (law making process). Dengan adanya putusan MK tanggal 27 maret 2013, presiden, DPR, dan DPD seharusnya memiliki posisi yang sama. 56
http://atjehlink.com/untuk-mempercepat-proses-legislasi-dpr-harus-menerima-kehadiran-dpd/ (diakses pada tanggal 03 September 2014)
97
“Presiden seharusnya punya satu suara yang diwakili menterimenterinya, DPR punya satu suara diwakili pokja atau panjanya, dan DPD punya satu suara diwakili pokja atau panjanya,” ucap Pengamat Hukum Tatanegara Refly Harun kepada INDOPOS, Jakarta, Jumat (4/7).57 Dengan proses semacam ini, sambungnya, ke depan pembahasan undangundang bisa hanya dilakukan oleh DPR dan DPD saja. “Ke depan malah presiden tidak perlu lagi ikut dalam pembahasan undang-undang. Karena suara presiden itu sudah dititipkan dalam agenda di DPR.” kata Refly. Beberapa pendapat tersebut meneguhkan bahwa Pasca putusan MK 92/PUU/-X/2013 terlihat bahwa upaya DPR belum terlihat serius dalam melibatkan DPD dalam proses legislasi nasional. Bahkan DPR telah membuat Revisi UU MD3 yang menurut DPD masih terkesan mengikis fungsi legislasi DPD. Hal tersebut dikemukakan Ketua DPD saat ini Irman Gusman yang akan mencoba kembali menguji konstitutionalitas UU tersebut ke MK. 58 DPD merasa ditinggalkan oleh DPR saat pembahasan pasal-pasal krusial yang mengatur kedudukan dan kewenangannya. Irman pun merujuk pada putusan MK Maret tahun lalu yang memberikan tambahan kewenangan kepada DPD. DPD berhak mengusulkan dan membahas RUU tertentu meski tidak memberikan pengesahan akhir. 57
http://www.indopos.co.id/2014/07/model-legislasi-tripartit-mudahkan-pembuatan-uu.html (diakses pada tanggal 04 September 2014) 58
Koran Jawa Pos , Jakarta, 15 Juli 2014
98
Jika dicermati, setidaknya ada tiga hal mendasar yang membuat UU MD3 perlu direvisi. Pertama, sesuai dengan penjelasan umum, revisi UU MD3 bertujuan mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang demokratis, efektif, dan akuntabel. Namun, semangat mulia itu terpatahkan dengan dominasi peran DPR dalam penyusunannya. DPR menempatkan DPD pada posisi subordinat. Dengan begitu, prinsip checks and balances yang dikehendaki dalam sistem bikameral tidak terjadi. Sepanjang tidak ada kemauan politik (political will) dari DPR yang notabeneberisi orang-orang partai untuk berbagi kewenangan, posisi lembaga senator daerah tersebut akan serbatanggung. Kedua, seperti disebut sebelumnya, UU MD3 memfasilitasi diskriminasi yang dilegalkan bagi anggota DPR saat berhadapan dengan kasus hukum terkait dengan diperlukannya izin dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD). Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, ketentuan tersebut bertujuan mengangkat lagi wibawa lembaga perwakilan. Selama ini, menurut dia, aparat hukum seenaknya saja memanggil anggota DPR dan menggeledah ruang kerja mereka. Seperti tak sambung antara pertanyaan dan jawaban, bukannya menaikkan wibawa (self-preservation), proteksi ekstra itu justru akan makin merusak kewibawaan lembaga perwakilan (self-destruction). Seperti ular memakan ekornya sendiri. Kesan kebal hukum, mengulur waktu, dan memperpanjang rantai birokrasi justru lebih kental dalam mekanisme izin MKD tersebut. Mestinya kewibawaan DPR bisa ditingkatkan dengan memperbaiki kinerja anggota dan melaporkannya secara transparan kepada publik. Gampangnya, jujurlah.
99
Terakhir, UU MD3 itu terlihat sangat bias politik pusat dan tidak pro kepentingan daerah. DPR yang berisi politisi tingkat nasional seolah berupaya memuaskan
diri
sendiri
dengan
revisi
pasal-pasal
yang
berpotensi
menguntungkan kelompok mereka. Salah satunya, menghapus dua kursi jatah DPD untuk menduduki pimpinan MPR. Kepentingan daerah yang dititipkan lewat empat anggota DPD per provinsi akan tetap kalah dengan kepentingan parpolparpol di Senayan.59 Dari pandangan dan pendapat para ahli tersebut menjelaskan bahwa putusan MK tersebut belum memberikan luang gerak yang mumpuni terhadap DPD, bahkan DPR masih terkesan mencampakkan DPD. Revisi UU MD3 yang telah dilaksanakan oleh DPR terkesan bukan sebagai melaksanakan amanah dari putusan MK, akan tetapi terlihat lebih condong kepada kepentingan politik semata para anggota DPR dan menguatkan peranan DPR di tataran parlemen. Oleh karenanya penulis berpendapat bahwa demi menguatkan dan mengokohkan eksistensi DPD dalam bidang legislasi, bukan hanya bersandar pada putusan MK, dan revisi UU MD3 dan P3 akan tetapi amandemen UUD NRI 1945 ke 5 menjadi salah satu agenda penting guna menguatkan kewenangan legislasi DPD dalam proses legislasi nasional. Walaupun DPD saat ini mencoba kembali mengajukan judicial review ke MK terkait revisi UU MD3, akan tetapi hal tersebut dikhawatirkan sama seperti 59
http://www.jawapos.com/baca/artikel/4980/Saat-DPR-Memakan-Ekor-Sendiri tanggal 04 September 2014)
(diakses
pada
100
judicial review sebelumnya yang terkesan tidak diseriusi oleh DPR. Akan tetapi dengan adanya upaya DPD tersebut, kita patut mengapresiasi kejelian dan keseriusan DPD sebagai lembaga resprentatif daerah demi menjembatani kepentingan daerah dan penguatan kewenangan legislasinya. Oleh karenanya DPD harus mendapatkan banyak dukungan dari berbagai elemen masyarakat mengenai urgensi kewenangan legislasinya di tataran parlemen. Apabila pasca judicial review dan hasilnya tetap sama saja, maka tak ada upaya lain selain menseriusi mendorong amandemen UUD NRI 1945 ke-5. Walaupun muncul issue bahwa DPD akan mengajukan gugatan sengketa antar kelembagaan negara ke MK, akan tetapi menurut penulis uapaya amandemen UUD NRI 1945 jauh lebih berarti bagi memperkokoh kewenangan legislasi DPD.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah Penulis mengkaji dan memaparkan pembahasan skripsi ini, maka dari hasil analisis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Konsep peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif dari daerah sampai saat ini belum menunjukkan apa yang menjadi harapan bagi para kepentingan daerah. DPD yang merupakan harapan terbesar dari daerah dalam menjembatani aspirasi serta kepentingan daerah masih dianggap kurang bertaji dan seolah hanya lembaga pelengkap dan sering kali terlihat seolah-olah terhegemoni oleh DPR maupun Presiden. Sehingga tak ayal, banyak yang menyebutkan bahwa DPD makan gaji buta karena banyak yang menilai fungsi DPD seolah-olah tidak ada. Walaupun pada hakekatnya DPD dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif selain DPR dan anggota MPR merupakan bagian dari anggota DPD akan tetapi sampai sejauh ini peran DPD kurang begitu signifikan dalam proses legislasi di tataran pusat. DPD secara kelembagaan masih jauh dari harapan masyarakat daerah dalam menjembatani kepentingan daerah. 2. Penguatan kedudukan hukum
kelembagaan DPD berdasarkan konstitusi
menjadi salah satu isu yang sedang dikumandangkan di tataran internal DPD. Hal tersebut bukan tanpa alasan, mengingat tumpulnya peranan DPD dalam 101
102
mengawal proses legislasi sehingga wacana penguatan kelembagaan DPD tersebut menjadi isu yang terus dilemparkan oleh anggota DPD ke pemerintah guna memaksimalkan fungsi DPD sendiri. Tak ayal , dari beberapa data yang saya sertakan dalam skripsi saya terlihat jelas bahwa upaya anggota DPD dalam hal penguatan kelembagaan DPD sendiri sangatlah serius dan terukur. Hal tersebut didorong dengan upaya dari DPD sendiri dalam mengambil simpati publik serta beberapa dukungan baik dari masyarakat maupun organisasi-organisasi masyarakat. Karena dasar hukum yang ada saat ini dinilai belum mampu mengakomodir peran dan fungsi DPD secara efektif. Sehingga para anggota DPD menilai bahwa penguatan kelembagaan DPD dirasa sangatlah diperlukan guna meruntuhkan hegemoni DPR maupun Presiden dalam proses legislasi Nasional. UU No. 32 Tahun 2004, UU MD3, UU P3 yang merupakan dasar hukum dari lembaga tersebut masih dianggap kurang
memberikan
kewenangan
yang
semestinya.
Sehingga
DPD
menganggap bahwa perlu ada upaya penguatan kembali, khususnya dalam instrumen hukum. Bahkan desas-desus amandemen kelima UUD NRI 1945, merupakan salah satu usulan yang diajukan oleh DPD demi lebih memperkuat lembaga tersebut. Walaupun, pada akhirnya ditolak, akan tetapi anggotaanggota DPD tidak putus asa demi mewujudkan penguatan lembaga DPD, dan hal tersebut terus diupayakan hingga saat ini. 3. Kewenangan DPD dalam legislasi RUU otonomi daerah Pasca putusan MK yang mengabulkan permohonan dari DPD, telah sedikit membuka jalan bagi
103
DPD sendiri untuk terus memperbaiki dan memaksimalkan fungsi legislasi DPD. Walaupun hanya 5 kewenangan yang dikabulkan oleh MK, akan tetapi hal tersebut merupakan modal awal yang sangat berharga bagi DPD untuk terus melakukan upaya penguatan kelembagaan DPD. Akan tetapi, setelah dikabulkannya putusan tersebut tidak menjadikan DPD terbuai, hal tersebut dianggap lebih memotivasi DPD untuk menjadi lembaga perwakilan daerah yang diharapkan. DPD semakin bersemangat dalam mengawal kepentingan daerah, khususnya dalam proses legislasi nasional. Dalam proses legislasi saat ini DPD turut terlibat hingga proses Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang menurut sebagian anggota DPD, hal tersebutlah yang paling fundamental dalam proses legislasi nasional. Walaupun DPD saat ini belum diberikan kewenangan dalam proses pengesahan UU, akan tetapi hal tersebut tidak melunturkan semangat DPD untuk terus berupaya dan menjadikan DPD lembaga perwakilan daerah yang diharapkan masyarakat daerah untuk terus mengawal aspirasi daerah sampai tingkatan akhir. Pasca putusan MK tersebut, yang mengabulkan beberapa permohonan mengenai kewenangan DPD dalam proses legislasi, sedikit mengubah dan memperbaharui sistem ketatanegaraan. Yang dimaksud penulis disini, yang awalnya negara menganut sistem bikameral, pasca putusan MK tersebut menurut penulis, saat ini sistem yang terbangun ialah bukan sistem bikameral lagi, akan tetapi sistem “Tripartit”. Dimana bukan hanya dua kamar , akan tetapi saat ini sudah tercipta tiga kamar, dimana melibatkan : DPR, DPD, dan
104
Presiden khususnya dalam program legislasi Nasional. Artinya, upaya yang dilakukan DPD saat ini bukan hanya demi menguatkan peranan DPD saja, akan tetapi secara tidak langsung telah sedikit merubah dan memperbaharui sistem ketatanegaraan yang ada di negara ini.
B. Saran-saran Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini ialah : 1. Pemerintah khususnya DPR dan Presiden hendaklah lebih memaksimalkan peran DPD dalam setiap proses legislasi yang ada. Walaupun DPD saat ini sudah terus berupaya memaksimalkan peranannya, akan tetapi terkadang DPR dan Presiden seringkali mengacuhkan bahkan terkesan mengesampingkan lembaga DPD. Padahal kalau kita melihat secara kelembagaan, dibanding DPR dan Presiden, hanya DPD yang merupakan lembaga independen ( tanpa perwakilan partai politik ) yang ada di parlemen. Sehingga dapat dikatakan, apa yang diusulkan, maupun direkomendasikan oleh DPD merupakan murni dari aspirasi daerah dan tanpa kepentingan parpol yang selama ini terlihat di DPR maupun oleh Presiden. 2. Selain DPR maupun Presiden, hendaklah DPD terus mensosialisasikan mengenai peran dan fungsi lembaga DPD tersebut kepada seluruh elemen masyarakat. Hal tersebut sangatlah diperlukan agar masyarakat awam mengetahui keberadaan dan peranan DPD sendiri ditingkatan pusat, khususnya di seluruh daerah di Indonesia.
105
Karena saat ini, hanya DPR dan Presiden seolah-olah yang terlihat kinerja dan fungsinya, akan tetapi sebagian masyarakat kurang mengetahui keberadaan lembaga DPD sendiri, sehingga memunculkan berbagai polemik tentang efektifitas fungsi DPD sebagai lembaga perwakilan daerah ditingkatan pusat. Bahkan keberadaan DPD seolah-olah tergeser oleh popularitas dari lembaga DPRD yang ada didaerah-daerah. Jadi masyarakat lebih mengetahui tentang DPRD dan anggotanya dibandingkan mengetahui DPD serta anggotanya. Memang, dibeberapa kesempatan pimpinan DPD terlihat muncul di beberapa media massa, akan tetapi perlu ditingkatkan kembali upaya DPD dalam mensosialisasikan fungsi, peranan, serta kedudukan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Dan guna membantu dukungan kepada seluruh elemen masyarkat mengenai pentingnya DPD sebagai lembaga perwakilan daerah. 3. Dan DPD seharusnya lebih meningkatkan dan menngontrol seluruh elemen perangkat daerah, seperti gubernur dan walikota. Dampak dari Otonomi Daerah berperan sangat positif dalam upaya memajukan setiap daerah, akan tetapi hal tersebut pun seolah ternodai berkat beberapa aksi KKN yang dewasa ini marak dilakukan di berbagai daerah. Memang, DPD tidak mempunyai peran controling kepada perangkatperangkat tersebut, akan tetapi setidaknya DPD lebih cermat melihat dinamika KKN tersebut di beberapa daerah yang juga merupakan tempat para anggotaanggota DPD berasal. Kalau DPD bisa melakukan upaya good governance
106
kepada seluruh perangkat daerah, bukan tidak mungkin DPD semakin diperhitungkan keberadaannya di parlemen. Dan hal tersebut pun akan berdampak baik bagi lembaga DPD khususnya respon masyarakat sendiri. DPD dalam hal ini bisa bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang sifatnya mengawasi seperti KPK, BPK, PPATK, OMBUDSMAN, serta lain-lain guna mengikis tingkat KKN didaerah-daerah yang semakin hari semakin membabibuta serta seolah-olah memanfaatkan sistem Otonomi Daerah guna melakukan tindakan tersebut.