RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XV/2017 “Makar dan Permufakatan Jahat”
I. PEMOHON 1. Hans Wilson Wader (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Meki Elosak (selanjutnya disebut sebagai Pemohon II); 3. Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon III); 4. Pastor John Jonga, Pr. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon IV); 5. Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua, dalam hal ini diwakili oleh Pdt. Dr. Benny Giay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon V); 6. Yayasan Satu Keadilan, dalam hal ini diwakili oleh Sugeng Teguh Santoso, selaku Ketua (selanjutnya disebut sebagai Pemohon VI). Kuasa Hukum: Latifah Anum Siregar, SH., MH., Elieser Murafer, SH., dkk, tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kebebasan Warga Negara, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 21 Januari 2017. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 104, 106, 107, 108, 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi
adalah
melakukan
pengujian
Undang-Undang
terhadap UUD 1945; 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: 1
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 3. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga Negara.”; 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Bahwa Pemohon I-IV adalah perorangan warga negara Indonesia, Pemohon V adalah organisasi gereja berbentuk Sinodal, dan Pemohon VI adalah badan hukum yang berbentuk yayasan, yang semuanya merasa dirugikan secara konstitusional atas berlakunya Pasal 104, 106, 107, 108, dan 110 KUHP;
2
4. Bahwa persoalan yang menjadi objek Pasal 104, 106, 107, 108, dan 110 KUHP yang diujikan merupakan persoalan setiap umat manusia karena sifat universalnya, yang bukan hanya urusan para Pemohon; 5. Bahwa
ketidakkonsistenan
dalam
penerapan
pasal-pasal
a
quo
membuktikan watak karet atau fleksibiltas dari pasal-pasal a quo, yang memunculkan situasi ketidakpastian hukum, sehingga mengakibatkan dirugikannya hak-hak konstitusional para Pemohon. V.
NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945
A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil KUHP: 1. Pasal 104: “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun”. 2. Pasal 106: “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
3. Pasal 107: “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” 4. Pasal 108: (1) “Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun: 1. orang yang melawan pemerintah Indonesia dengan senjata; 2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata.” (2) “Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.“ 3
5. Pasal 110: (1) “Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.” (2) “Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan: 1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan; 2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atua orang lain; 3. memiliki pers 4. ediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan; 5. mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain; 6. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan.” (3) “Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas.” (4) “Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 1. Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 2. Pasal 28: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” 3. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 4. Pasal 28E ayat (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
4
5. Pasal 28E ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa aspirasi warga negara dalam menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah dapat dilakukan dengan cara aksi unjuk rasa atau demontrasi. Jaminan kebebasan untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah dapat terancam dengan adanya rumusan Pasal a quo yang multitafsir dan cenderung bisa digunakan oleh penguasa untuk membungkam masyarakat yang mengkritiknya; 2. Bahwa Unsur dari Pasal 110 ayat (4) adalah: Perbuatan-perbuatan dalam ayat (2) itu ternyata tidak dapat dipidana apabila dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam arti umum. Ayat ini dibentuk karena ada kekhawatiran pasal ini akan diberlakukan terlalu jauh, hingga dapat membahayakan bagi kebebasan berpolitik, kebebasan berpikir atau kebebasan bertindak; 3. Bahwa pasal 110 KUHP dipahami sebagai antisipasi tindakan yang masif terhadap keamanan negara dari perbuatan melawan hukum, namun
dapat
dipahami terbentuknya pasal 110 KUHP tersebut merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Belanda untuk mencegah revolusi komunis di Belanda pada tahun 1920 maka di buatlah Anti revolutie wet. Seiring dengan perkembangan jaman di Indonesia yang Demokrasi ini sudah sepantasnya pasal itu ditiadakan karena berdampak akan merusak nilai-nila Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dengan membatasi kebebasan berkumpul, mengeluarkan pemdapat sehingga menciderai pilar dari Prinsip Negara Hukum yaitu salah satu pilar terpentingnya, adalah perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Para Pemohon;
5
2. Menyatakan Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, oleh karenanya Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat; 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono).
6