STUDI KOMPARATIF PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA DAN IRAN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
OLEH: INDAH KHOIRIL BARIYYAH NIM: 1613048000094
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M
STUDI KOMPARATTI' PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN DALAM SISTEM KETATAIIEGARAAN INDONESIA DA}I IRAN
Skripsi Diajukan Kcpada f,'akultas Syariah dan Ifukum Untuk Memenuhi Perryaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilukum (S.$
Oleh: Indah Khoiril Bariwah 1613048000094
NIP: 19760817200912 1005
15201101 1004
KONSENTRASI IIUKUM KELEMBAGAAI\I NEGARA PROGRAM STT'DI ILMU HUKT'M FAKT'LTAS SYARIAH DAII ITUKiJM
IJINSYARIFHIDAYATT]LLAII JAKARTA
,437fin0t6i0[
(
PENGESAIIAN PAI\ITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul 'STUDI KOMPARATIF PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA DAN IRAN" telah diajukan dalam sidang munaqasah Fakultas Symiah dan Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayahrllah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sa:jana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 23 Juni 2016 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
NrP: 1969121619960J 1001
PAITiITIAUJIAN:
1.
Ketua
Drs. Aseo Syarifuddin Hidayat. SH.. MH NIP: 19691 121 199403 1001
2.
Seloetaris
Drs. Abu Thamrin. SH.. M.Hum NIP: 19650908199503 1001
3.
Pembimbmg
4'
,, Nw Rohlrn YuIULLLM Pembrmbmgll t'trp, tqzso+toz0l10l 1004
5.
Penguji
I
Dr. Hj. Mesraini. SH.. M.Ag NIP: 19760213200312 2001
6.
Penguji
II
Ali Mansur. S.Aq.. MA NIP: 1976050620141 1 1002
.I NurHabjbLLHLME ffi-,tsTooa fi20og12 toos
LEMBARPERNYATAAN
Dengarl ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini
merupakan hasil karya
asli saya yang diajukan
memenuhin salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu
untuk
(Sl) di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
ini
telah
saya
di UIN Symif
Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini plagiat, maka saya bersedia menerima sarksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 08 Juni 2016
Indah Khoiril Bariv.vah NIM:'1613048000094
It
ABSTRAK
Indah Khoiril Bariyyah, NIM 1613048000094. STUDI KOMPARATIF PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA DAN IRAN. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016 M, viii + 94 halaman + 4 halaman daftar pustaka. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan mekanisme impeachment terhadap Presiden antara Indonesia dan Iran. Hal yang menarik untuk dikaji adalah setiap negara menerapkan impeachment dengan ketentuan yang berbeda sesuai dengan aturan konstitusi yang berlaku di negara tersebut. Indonesia dengan Sistem Presidensiilnya menjadikan Presiden sebagai kepala negara dan sekaligus menjabat kepala pemerintahan, namun di Iran Presiden hanya menjabat sebagai kepala pemerintahan saja, sedangkan yang menjabat sebagai kepala negara dan pemimpin tertinggi adalah Wali Faqih. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan studi pustaka dan mengkaji UUD NRI dan UUD Republik Islam Iran. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Mekanisme impeachment di Indonesia memiliki beberapa perbedaan sebelum dan sesudah amandemen yang disesuaikan dengan kedudukan dan kewenangan Presiden pada masa itu, yakni sebelum perubahan UUD 1945 dan sesudah perubahan UUD 1945. Adapun mekanisme impeachment di Iran yaitu setelah adanya Revolusi besar-besaran tahun 1979, Imam Khumaini dengan para ulama lainnya merumuskan konstitusi negara Iran yang memuat didalamnya kewenangan Wali Faqih sebagai Pemimpin tertinggi negara Iran memiliki kewenangan untuk memecat atau melakukan impeachment terhadap Presiden apabila Presiden terbukti melanggar konstitusi dan ajaran Islam namun tentunya setelah mendapatkan rekomendasi dari Mahkamah Agung yang diketahui oleh Majelis Permusyawaratan Islam. Penulis memaparkan alasan yang mendasari terjadinya impeachment di Indonesia dan Iran, lembaga yang berwenang dalam proses impeachment dan memberikan hasil analisis temuan penulis mengenai perbedaan dan persamaan mekanisme impeachment kedua negara tersebut. Kata Kunci : Impeachment Presiden, Parlementer, Konstitusi, MPR RI, Wilayatul faqih.
Pembimbing
: 1. Nur Habibi, S.HI., MH 2. Nur Rohim Yunus, LLM
Daftar Pustaka
: Tahun 1978 s.d Tahun 2016
iv
Sistem
Presidensiil,
Sistem
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيم Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat begitupun rahmat dalam penulisan penelitian ini sehingga penullis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai tugas akhir masa kuliah tingkat Strata Satu di perguruan tinggi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan juga para tabiin yang meneruskan dakwahnya hingga akhir zaman. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat selama penyusunan penelitian ini dengan proses yang panjang berbagai bantuan moral dan kelancaran dalam setiap prosesnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH, Ketua Program Studi Dan Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
3. Bapak Nurhabibi, S.HI., MH., dosen pembimbing 1 dan Bapak Nur Rohim Yunus, LLM, dosen pembimbing 2 yang telah bersedia dengan sabar memberikan arahan dan bimbingankepada penulis. 4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pengajaran kepada penulis, memberikan ilmu yang bermanfaat selama kuliah, dan tidak lupa kepada seluruh staff dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum. 5. Bapak Jajat Hendrawan dan Ibu Wawat Karwati, kedua orangtua penulis yang sangat penulis cintai, yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan nasehat, doa, semangat dan dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini, serta adik-adik penulis yang penulis banggakan. 6. Abang Milki Aan, suamiku tercinta, yang telah memberikan motivasi dan mencurahkan cinta untuk istrinya. Uhibbuka Fillah. Teruntuk keluargaku di Jambi, ayah Alauddin, Ibu Juwirna dan keluarga dari pihak suami yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 7. Keluarga besar Ummi Nisa, Baba Abu Bakar, Ummi Sham di Malaysia dan Mbak Ayu, Mbak Maria juga MBAK Elsa. Keluarga besar PPI 19 Bentar Garut, PPI 90 Karangpawitan, IPP-IPPI, FSK, HIMA-HIMI, beserta otonom lainnya. Keluarga
besar
Fakultas
Dirasat
Islamiyah
angkatan
2011,
asatidz-
asatidzahnya, keluarga besar Double Degree Ilmu Hukum, keluarga Bidikmisi seluruh angkatan. Keluarga besar KAHFI Motivator School, keluarga besar HMI FSH, HMI FDI, PMII FDI dan Keluarga besar MCC UIN Jakarta.
vi
8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Dengan rasa syukur yang tak tehingga kepada Allah SWT penulis berharap kepada yang Maha Esa agar seluruh upaya dan hasil yang penulis upayakan dapat bermanfaat bagi umat dan keindahan ilmu bagi siapapun yang mendapatkannya. Amin
Jakarta, 08 Juni 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii ABSTRAK ............................................................................................................. iv KATA PENGANTAR........................................................................................... v DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 6 D. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 7 E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual........................................ 10 F. Metode Penelitian............................................................................... 14 G. Sistematika Penulisan......................................................................... 17
BAB II : TINJAUAN UMUM PERIHAL IMPEACHMENT A. Pengertian Impeachment .................................................................. 19 B. Batasan Hukum Istilah Impeachment .............................................. 20 C. Sejarah Impeachment ....................................................................... 23 D. Metode Impeachment di Beberapa Negara 1. Amerika Serikat ........................................................................... 24 2. Fhilipina ..................................................................................... 28 3. Jerman.......................................................................................... 28 4. Korea Selatan............................................................................... 30 5. Brasil .......................................................................................... 31 E. Mekanisme Impeachment dalam Islam.............................................. 32
viii
BAB III: PROSES IMPEACHMENT DI INDONESIA DAN IRAN A. Impeachment di Negara Indonesia ................................................ 38 1. Mekanisme Impeachment di Negara Indonesia ..........................38 a. Sebelum Amandemen UUD 1945 ........................................ 40 1) Proses Impeachment Presiden Soekarno......................... 44 2) Proses Impeachment Presiden Abdurrahman Wahid ...... 50 b. Setelah Amandemen UUD 1945 .......................................... 55 2. Kewenangan MPR RI dalam Proses Impeachment di Indonesia .................................................................................................... 58 B. Impeachment di Republik Islam Iran ............................................. 63 1.
Mekanisme Impeachment di Iran............................................. 63
2.
Kewenangan Wali Faqih dalam Proses Impeachment di Iran. 71
BAB IV: ANALISIS
PERBANDINGAN
KETENTUAN
IMPEACHMENT
TERHADAP PRESIDEN DI INDONESIA DAN IRAN A. Alasan Yang Dijadikan Dasar Impeachment Presiden Di Indonesia Dan Iran..................................................................................................... 78 B. Lembaga Yang Berwenang Melakukan Impeachment Di Indonesia Dan Iran..................................................................................................... 80 1. Lembaga yang Berwenang di Indonesia ...................................... 80 a. Dewan Perwakilan Rakyat .................................................... 80 b. Mahkamah Konstitusi............................................................ 81 c. Majelis Permusyawaratan Rakyat ......................................... 82 2. Lembaga yang Berwenang di Iran .......................................... 84 a. Wilayatul Faqih................................................................... 84 b. Mahkamah Agung ............................................................... 85 c. Majelis Permusyawaratan Islam ......................................... 86 C. Persamaan dan Perbedaan Mekanisme Impeachment ..................... 86 1. Persamaan Mekanisme Impeachment Indonesia dan Iran........... 88 2. Perbedaan Mekanisme Impeachment Indonesia dan Iran ........... 89
ix
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 91 B. Saran ................................................................................................ 94
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 95
x
HARAPAN Berjalan menelusuri barisan lampu peron Berharap temukan bunga dandelion Mengukir sejarah atas nama cinta Cinta sempurna yang abadi sepanjang masa Mencintai bukanlah hal yang mudah Pun dicintai bukanlah perkara yang tak susah Semua perlu pengorbanan Semua lahir dari ejekan dan cacian Lahir bathin menjadi taruhan Harga diri menjadi ancaman Waktu, pemgabdian dan ketulusan menjadi modal keutuhan Kesetiaan dan ketegaran menjadi kekuatan untuk pertahankan kehidupan Jika tak ku temukan lagi kau utuh Hanya kau temukan kau separuh tak menyeluruh Kan ku kenang selamanya meski aku kan rapuh Asalkan demi cinta aku tak kembali angkuh Jika tak ku temukan lagi kesetiaan Hanya ku temukan keluhan dan keluhan Kan berusaha perbaiki tanpa sentuhan Hingga benang-benang yang putus kembali menyatu dalam keindahan
Skripsi ini dipersembahkan untuk suami seluruh keluargaku tercinta dan Para pejuang mimpi dimanapun berada .... 08 Juni 2016 Indah khoiril Bariyyah
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara menerapkan impeachment dengan ketentuan yang berbeda sesuai dengan aturan konstitusi yang mengaturnya. Konstitusi yang menjadi aturan tertinggi di sebuah negara menentukan peraturan yang berlaku di negara tersebut. Maka dalam hal ini setiap negara memiliki aturan khusus yang berbeda-beda mengenai impeachment. Aturan-aturan yang berbeda lahir dari alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya impeachment tersebut. Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turun, berhenti atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan, sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya. 1 Pengaturan impeachment di Amerika Serikat terdapat dalam article of impeachment, yang menyatakan, “the president, vice president, and all civil officers of the united states, shall be removed from office on imepachment for and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”. Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment.2 1
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, cet.I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 13. 2
Winarno Yudho, dkk, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , (Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung dan Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jend eral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), h. 1-3.
1
2
Beberapa negara menerapkan impeachment untuk proses mendakwa para pejabat negara, dari level kepala daerah hingga level tertinggi yaitu Presiden.
Indonesia
adalah
termasuk
negara
yang
hanya
mengadopsi
mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut Presiden dan Wakil Presiden. Aturan hukum impeachment Presiden dan/ atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam UUD NRI 1945 perubahan ketiga, yaitu penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut terdapat dalam UUD NRI 1945 perubahan ketiga, tepatnya pada pasal 7A dan 7B.3 Definisi Alasan impeachment dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi memberikan penjelasan jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut yaitu: a. Penghianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih. d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 UndangUndang Dasar 1945.
3
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012), h. 42-43 dan 61-62.
3
Namun penafsiran tersebut masih melahirkan banyak perdebatan di lingkungan para pakar hukum dan menarik untuk menjadi pembahasan wacana secara akademis yang dapat digali lebih dalam. Berbeda
dengan
negara
Iran,
dalam
menjalankan
sistem
demokrasinya Iran menerapkan konsep wilayatul faqih yang gagasannya dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran yang dalam prinsipnya
menganut
sistem demokrasi.
Negara
Iran
dalam
menetapkan undang-undang dan menyusun sebuah konstitusinya harus berdasarkan agama Islam dan sudah barang tentu terikat oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam dan tidak boleh keluar dari Islam. Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran, mempunyai pranatapranata demokrasi. Konstitusi melengkapi sistem pemerintahan dengan badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif melakukan pembagian kekuasaan dan membentuk sistem pengawasan dan perimbangan dan menetapkan pemilihan Presiden dengan suara mayoritas mutlak (pada tahun 1989 Konstitusi diubah, kedudukan Presiden menggantikan perdana menteri). 4 Dalam mukadimahnya Konstitusi itu menjamin dengan tegas “menolak segala bentuk tirani intelektual dan sosial serta monopoli ekonomi, dan mempercayakan nasib rakyat ke tangan rakyat itu sendiri” dan dalam pasalpasal tertentu,
Konstitusi menegaskan
pentingnya opini rakyat
dan
4 John L. Esposito, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, penerjemah Rahmani Astuti, Cet.I, (Bandung: Mizan anggota IKAPI, 1996) h. 82.
4
pemilihan umum.5 Setelah Imam atau pemimpin tertinggi di Iran yaitu Wali Faqih, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan Presiden. Dalam pasal 113 disebutkan,
Presiden
bertanggung
jawab
dalam
penerapan
UUD,
pengaturan ketiga cabang kekuasaan negara, dan memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab Imam. Presiden, berdasarkan pasal 114, dipilih untuk masa jabatan empat tahun, dan dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lagi secara berurutan. 6 Demikian pula, terhadap pemilihan kepala negara atau Presiden, keabsahan pemilihannya sebagai Presiden tergantung pada persetujuan seorang Wali Faqih atau ahli agama tertinggi yang dipercaya sebagai penguasa tertinggi, dalam hal ini Presiden harus bertanggung jawab kepada imam yang disebut Wali Faqih. Wali faqih melalui dewan Wali dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, bukan saja memiliki wewenang untuk menyetujui atau tidak
terhadap calon Presiden, ia sekaligus
berwenang untuk memecat Presiden jika Presiden dianggap tidak kapabel, setelah mendapat rekomendasi Mahkamah Agung. 7
5 John L. Esposito, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, penerjemah Rahmani Astuti, h. 82. 6
Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, Cet.I, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 83. 7
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khumaini Filsafat Politik Islam, Cet.I, (Bandung: Mizan,
2002), h. 130.
5
Wali Faqih merupakan penguasa tertinggi memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden dari jabatannya, atau dalam istilah lain, Wali Faqih berhak untuk melakukan impeachment Presiden sebagaimana konstitusi yang berlaku di Negara Republik Islam Iran yang menjelaskan tentang kewenangan seorang. Berkaitan dengan latar belakang di atas, perlu kiranya penulis membahas dan membandingkan proses impeachment yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. Padahal Indonesia dengan sistem demokrasinya menjadikan
pancasila
sebagai
ideologi
tertinggi,
sedangkan
Iran
menerapkan sistem demokrasi, namun tetap menjunjung tinggi agama Islam dalam konstitusinya dalam hal proses impeachment terhadap Presiden. Kajian tersebut penulis tuangkan dalam judul: STUDI KOMPARATIF PROSES
IMPEACHMENT
PRESIDEN
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA DAN IRAN.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, penulis membatasi dengan membahas mengenai proses impeachment terhadap Presiden oleh lembaga yang berwenang di Indonesia dan Iran dengan mengkaji konstitusi keduanya, dan penulis memfokuskan pembahasan kepada tugas dan wewenang MPR RI dan Wali Faqih dalam hal impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.
6
2. Perumusan Masalah Berdasarkan pada pembatasan masalah di atas dan dalam rangka mempermudah penulis dalam menganalisa permasalahan, maka penulis merumuskannya sebagai berikut: a. Bagaimana
mekanisme
impeachment
terhadap
Presiden
di negara
Indonesia dan Iran? b. Apa kewenangan MPR RI dalam proses impeachment terhadap Presiden di negara Indonesia dan Wali Faqih di negara Iran? c. Bagaimana penerapan sistem demokrasi dalam proses impeachment di negara Indonesia dan Iran?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah: a. Untuk mengetahui mekanisme impeachment terhadap Presiden di Indonesia dan Iran b. Untuk mengetahui kewenangan MPR RI dalam proses impeachment terhadap Presiden di negara Indonesia dan Wali Faqih di negara Iran. c. Untuk
mengetahui
penerapan
sistem
demokrasi
impeachment di negara Indonesia dan Iran. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dan kegunaan penelitian ini adalah:
dalam
proses
7
a. Diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
pemahaman
terhadap
analisis mengenai peran MPR RI dalam impeachment terhadap Presiden di Indonesia dan peran wilayatul faqih dalam impeachment terhadap Presiden di Iran dalam perspektif Hukum Tata Negara dengan harapan, nantinya dapat dikembangkan dan dijadikan acuan penelitian lebih lanjut. b. Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan informasi dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap konsep-konsep aktual, terutama menyangkut impeachment terhadap Presiden. c. Dalam rangka pengembangan dan perluasan wawasan pengetahuan mengenai perbandingan hukum antara satu negara dengan negara lain dalam hal impeachment terhadap pemimpin negara. d. Dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang mekanisme impeachment di dua negara yang sama-sama menganut sistem demokrasi, namun memiliki banyak perbedaan dan. e. Menambah
literatur
perpustakaan
khususnya
dalam
bidang
perbandingan hukum.
D. (Review) Kajian Terdahulu Kajian mengenai Impeachment Presiden adalah kajian yang sangat menarik dalam pembahasan ketatanegaraan, banyak dijadikan bahan penelitian oleh Mahasiswa
dalam pembahasan
ketatanegaraan,
untuk
menghindari
8
duplikasi serta untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan penyusunan ini, beberapa tulisan yang terdapat di berbagai media cetak, buku dan lain-lain yang penyusun gunakan sebagai bahan rujukan sehingga dapat membantu dalam penyusunan yang mengkaji hal tersebut di atas ada beberapa tulisan Tesis dan Skripsi yang berkaitan dengan
pembahasan impeachment Presiden, sistem
pemerintahan Iran dan impeachment dalam ketatanegaaan Indonesia. Penulis mengkaji beberapa skripsi terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang penulis angkat, diantaranya: 1. Judul: “Negara Hukum dan Mekanisme Pemberhentian Presiden di Indonesia”. Penulis: Achmad Farobi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Uraian: Skripsi ini mengkaji tentang konsep negara hukum terhadap mekanisme dan pemberhentian presiden di Indonesia. Dimana pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Konstitusi hadir sebagai perwakilan unsur yudikatif yang melengkapi proses pemberhentian Presiden di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana konsep negara hukum diterapkan dalam mekanisme pemberhentian Presiden di Indonesia. 2. Judul: “Proses Impeachment Presiden menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945”. Penulis: Sheila Miranda Hasibuan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2012.
9
Uraian: Skripsi ini meneliti tentang bagaimanakah impeachment ditinjau secara global, sejarah impeachment di Indonesia,
dan penerapan
impeachment Presiden menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta apakah proses impeachment tunduk pada asas-asas hukum dan bagaimana keterkaitan proses impeachment dengan beberapa asas hukum. 3. Judul: “ Perbandingan Konstitusional Pengaturan Impeachment Presiden dan Wakil Presiden antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat dalam Mewujudkan Demokrasi” Penulis: Haris Fadillah Wildan, tahun 2010. Uraian: Skripsi ini mengkaji tentang persamaan dan perbedaan pengaturan impeachment di negara Indonesia dan Amerika Serikat ditinjau dari konstitusionalisme dan membahas tentang bagaimana seharusnya Indonesia dalam mengatur proses impeachment sebagai negara demokrasi. 4. Judul: “Pemakzulan Presiden di Indonesia”. Cetakan pertama, Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Penulis: Hamdan Zoelva, Uraian: Buku ini membahas tentang pemakzulan di Indonesia, termasuk juga dengan sejarah awal pemakzulan, dan negara-negara di dunia yang pernah melakukan proses pemakzulan.
5. Judul: Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan: Konsep Wilayatul Faqih Sebagai Epistemologi Pemerintahan Islam, penerjemah Muhammad Anis Maulachela. Cetakan pertama, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002. Penulis: Imam Khumaini
10
Uraian: Buku ini membahas terbentuknya sistem hukum Republik Islam Iran setelah kemenangan Revolusi Islam yang digerakan oleh Imam Khumaini. Dari kajian studi terdahulu di atas, penulis tidak menemukan satupun
pembahasan
yang
membahas
tentang
proses
mekanisme
impeachment yang membandingkan antara negara Indonesia dengan negara Iran. Perbedaan skripsi di atas dengan skripsi yang penulis susun adalah dalam pemaparan proses impeachment di Indonesia, negara-negara yang menggunakan impeachment dan mekanismenya lebih lengkap. Skripsi yang sebelumnya tidak menjelaskan terlalu rinci. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa judul skripsi yang penulis ajukan belum pernah ada yang membahas dalam penelitian sebelumnya.
E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teori Kerangka teori dibangun dengan maksud sebagai bingkai dan pisau analisis pada permasalahan penelitian ini yang memfokuskan kajian tentang impeachment. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori untuk mempermudah dalam penyusunannya, diantaranya adalah: a. Negara Hukum Pada dasarnya, ada 12 prinsip pokok negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu
11
negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (the rule of law atau rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya. Kedua belas prinsip itu adalah: (i) diakuinya supremasi hukum; (ii) adanya persamaan dalam hukum; (iii) berlakunya asas legalitas; (iv) efektifnya pembatasan kekuasaan; (v) terjaminnya independensi fungsi kekuasaan tekhnis; (vi) adanya peradilan bebas dan tidak berpihak; (vii) tersedianya mekanisme peradilan administrasi negara; (viii) adanya mekanisme peradilan konstitusi; (ix) dijaminnya perlindungan hak-hak asasi manusia; (x) dianutnya sistem dan mekanisme
demokrasi
(democratic rule of law, democratische rechtsstaat); (xi) berfungsi sebagai sarana kesejahteraan rakyat (welfare-rechtsstaat); dan (xii) transparansi dan kontrol sosial.8 b. Teori Konstitusi Kekuasaan suatu negara yang tidak memiliki Konstitusi adalah kekuasaan yang tak terbatas. Oleh karenanya, dibutuhkan Konstitusi untuk membatasi kekuasaan para penguasa. Sebagaimana kekuasaan para raja di masa silam, yang tidak terbatas oleh aturan mana pun, sehingga cenderung menimbulkan perilaku tirani dan otoriter. Pada dasarnya,
pengertian
dan
materi
muatan
Konstitusi
senantiasa
berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat
8
Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam (Menyambut 73 Tahun Prof. Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, SH.), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 29.
12
diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa. 9 Kajian tentang konstitusi menjadi hal penting dalam negaranegara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri sebagai negara Konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional. Konstitusi tidak lagi sekedar istilah untuk menyebut suatu dokumen hukum, tetapi menjadi suatu paham tentang prinsipprinsip dasar penyelenggaraan negara (konstitusionalisme) yang dianut hampir di semua negara, termasuk negara-negara yang tidak memiliki konstitusi sebagai dokumen hukum tertulis serta yang menempatkan supremasi kekuasaan pada parlemen sebagai wujud kedaulatan rakyat. 10 2. Kerangka Konseptual Kerangka
konseptual
menjelaskan
pengertian-pengertian
yang
berkaitan dengan istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain: a. Impeachment: suatu proses dakwaan yang diajukan oleh cabang legislatif terhadap pejabat sipil atau pemerintahan. Secara hukum istilah impeachment diterapkan hanya untuk dakwaan.11
9 A. Salman Manggalatung dan Nurrohim Yunus, Pokok -Pokok Teori Ilmu Negara, Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, Cet.I, (Bandung: Fajar Media Bandung, 2013), h. 123. 10 Riri Nazriyah, MPR RI: Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan , (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), h.22. 11
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, h. 8
13
b. Pemberhentian: istilah pemberhentian berupa tindakan lebih lanjut dari berhenti karena mengundurkan diri,
atau tidak
dapat lagi
melaksanakan tugas (incapacity) dalam jabatannya.12 c. Presiden: adalah suatu nama jabatan yang digunakan untuk pimpinan suatu organisasi, perusahaan, perguruan tinggi, atau negara. Lebih spesifiknya, istilah Presiden digunakan untuk kepala negara bagi negara yang berbentuk republik, baik dipilih secara langsung maupun tidak langsung.13 d. Negara Republik:
adalah negara dengan pemerintahan rakyat yang
dikepalai oleh Presiden sebagai kepala negara yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu.14 e. Demokrasi: adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya
turut
serta
memerintah
dengan
perantaraan
wakilnya,
pemerintahan rakyat.15 f. Sistem Presidensiil adalah suatu pemerintahan di mana kedudukan eksekutif
tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat.
12
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, h. 2 13
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 13 14 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah, Cet.I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 112 15
Muhammad Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Amani, 2000), h. 77
14
Dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada di luar pengawasan parlemen.16 g. Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan legislatif (badan perwakilan) mempunyai hubungan yang erat. Hal ini disebabkan karena adanya pertanggungjawaban para menteri kepada parlemen. Setiap kabinet yang dibentuk harus mendapat dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen. Dengan demikian kebijakan parlemen atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen. 17 h. Majelis Permusyawaratan Rakyat: menurut Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945 terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. i.
Wilayatul Faqih: yaitu menjalankan ketetapan hukum-hukum Islam, seorang hakim bertanggung jawab atas kekuasaan eksekutif dan wajib baginya untuk melaksanakan hukum-hukum Allah.18
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
16 A. Salman Manggalatung dan Nurrohim Yunus, Pokok -Pokok Teori Ilmu Negara,
Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, h. 87 17 A. Salman Manggalatung dan Nurrohim Yunus, Pokok -Pokok Teori Ilmu Negara,
Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, h. 86 18
Imam Khumaini, Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan: Konsep Wilayatul Faqih sebagai Epistemologi Pemerintahan Islam, penerjemah Muhammad Anis Maulachela, Cet.I (Jakarta: Shadra Press 2010), h. 87
15
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-empiris. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.19 Kaitannya dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum yaitu hukum tertinggi di negara Iran dan Indonesia yakni Konstitusi negara atau disebut dengan UUD. Objek penelitian pustaka ini adalah perbedaan antara dua negara dalam hal proses impeachment terhadap Presiden. 2. Sumber Data Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah sumber-sumber pokok yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran atau yang disebut dengan (Qanun-e Asasi). Sedangkan data sekunder adalah data-data pendukung yang digali dari berbagai literatur yang tidak secara khusus membahas permasalahan yang penulis angkat, seperti buku-buku tentang
hukum,
ensiklopedi
hukum
dan
jurnal
nasional
maupun
internasional. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan data-
19
Amirudin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 118
16
data kualitatif, yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Secara kategoris, teknik pengumpulan data dan skripsi ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu dengan memanfaatkan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan informasi tersedia, baik yang terdokumentasi dalam bentuk buku, majalah, jurnal, artikel ataupun data-data kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan mekanisme impeachment di negara Indonesia dan Iran. Selain itu sumber data dalam teknik penulisan skripsi ini dengan menggunakan sumber primer dan sekunder. 4. Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu menganlisis data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat dan konsep, menggambarkan
serta
analisis
tentang
hukum yang
perssamaan
dan
bersifat perbedaan
komparatif yaitu antara
proses
impeachment di negara Indonesia dan Iran. 5. Teknik Penulisan Skripsi Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, tahun 2012.
17
G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumuan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kajian
terdahulu, kerangka teori dan kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Membahas kerangka teoritis tentang impeachment. Dalam bab ini penulis akan menguraikan menjadi tiga sub bab yaitu: pengertian dan istilah impeachment, sejarah impeachment, metode impeachment di beberapa negara dan mekanisme Impeachment dalam Al-Quran dan As-Sunnah. BAB III Pada bab ini penulis menguraikan tentang impeachment di Indonesia dalam beberapa sub bab yaitu impeachment di Indonesia dan impeachment
di
Iran
yang
mencakup
tentang
mekanisme
impeachment, kewenangan MPR RI daan Wali Faqih dan sejarah mengenai presiden yang pernah diberhentikan di Indonesia dan Iran. BAB IV Merupakan uraian analisa tentang kajian perbandingan hukum yang berlaku di Indonesia dan Iran dalam proses impeachment terhadap Presiden dengan melihat Konstitusi Indonesia dan Iran, menjelaskan tentang alasan yang mendasari terjadinya impeachmen, lembaga yang
18
berwenang dan menganalisis persamaan dan perbedaan yang terjadi di dua negara tersebut dalam proses impeachment terhadap Presiden. BAB V Merupakan kesimpulan dari pokok masalah yang telah dielaborasi dan dianalisis secara kritis pada bab-bab sebelumnya dan saran yang dapat berupa rekomendasi-rekomendasi.
BAB II TINJAUAN UMUM PERIHAL IMPEACHMENT A. Pengertian Impeachment Impeachment dimaknai sebagai turun,
berhenti,
atau dipecatnya
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Arti dari impeachment itu sendiri adalah tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada proses dan tidak selalu berakhir dengan berhentinya atau turunnya presiden atau pejabat tinggi negara lainnya dari jabatannya. 1 Black’s law dictionary mendefinisikan impeachment
sebagai “a
criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”. Henry Campbell Black, black’s law dictionary: definitions of the term and phraes of american and english jurisprudence, ancient and modern. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya article of impeachment yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Jadi article of impeachment adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan dimulainya suatu proses impeachment.2
1
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Cet.I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 13 2 Winarno Yudho, dkk, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ,
(Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung dan Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), h. 22
19
20
Istilah impeachment berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata “to impeach”,
yang
berarti
meminta
atau
mendakwa
untuk
meminta
pertanggungjawaban.3 Dalam kedudukannya dengan kedudukan kepala negara atau kepala pemerintahan, impeachment berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukannya dalam masa jabatan. Dengan demikian penggunaan pranata impeachment dalam sistem hukum yang sering digunakan terutama menurut Hukum Tata Negara lebih diproyeksikan pada ketentuan pelanggaran hukum yang tidak hanya disebabkan karena faktor politik. Meskipun dalam praktek pelaksanaannya pranata impeachment itu ditujukan bukan hanya kepada kekuasaan Presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan melainkan setiap jenjang jabatan yang ada pada struktur pemerintahan negara yang berbentuk sistem presidensiil maupun parlementer. 4
B. Batasan Hukum Istilah Impeachment Istilah impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden memiliki banyak versi, yaitu pemakzulan, pemberhentian, dan pemecatan. Istilah yang digunakan dalam UUD NRI 1945 adalah pemberhentian.
3 Soimin, Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, Cet.I, (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 9 4
Soimin, Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, h. 9
21
Istilah impeachment merupakan istilah umum yang sudah dikenal dalam literatur di berbagai negara dengan artian pemberhentian Presiden. Masyarakat umum cenderung keliru dalam mengartikan impeachment sebagai sebuah proses pemberhentian, padahal tidak selamanya proses impeachment berujung pada pemberhentian dan impeachment merupakan salah satu bagian dari proses pemberhentian. Hamdan Zoelva dalam bukunya Pemakzulan Presiden di Indonesia menyatakan bahwa impeach berasal dari bahasa latin yang berarti menjerat, jerat atau perangkap. Sehingga dapat diartikan impeachment adalah suatu proses dakwaan yang diajukan oleh DPR terhadap pejabat sipil atau pemerintahan. Secara hukum impeachment diterapkan hanya untuk dakwaan.
5
Terdapat beberapa hal yang menjadi dasar dalam proses impeachment. Munir Fuady dalam bukunya Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat) menyatakan bahwa yang menjadikan dasar bagi suatu proses impeachment diantaranya adalah: 1. Melakukan kesalahan berat 2. Melanggar haluan negara sebagaimana berlaku di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945. 3. Melakukan pengkhianatan (treason), suap menyuap (bribery), dan kelalaian serta kejahatan berat lainnya (other high crimes and misdemenors) sebagaimana yang terdapat dalam konstitusi federal Amerika Serikat. 4. Melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang serius (serious abuse of power)
5
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 8
22
5. Melakukan penghianatan yang serius (a groos breach of trust).6 6. Dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen 7A, impeachment dapat dilakukan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: a. Penghianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana diatur dalam undang-undang b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 UndangUndang Dasar 1945.7 Berkaitan dengan batasan hukum istilah impeachment tersebut, dalam penelitian ini penulis hendak
menegaskan bahwa
pengaturan
mengenai
mekanisme dan batasan hukumnya merupakan kajian dalam ruang lingkup konstitusionalisme. Selanjutnya mengenai pengaturan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Konstitusi Republik Indonesia dan Republik Islam Iran akan merujuk kepada batasan-batasan yang ada dalam kajian perbandingan konstitusi secara formal yang terbatas pada pasal-pasal dalam konstitusi dan lembaga-lembaga negara yang diberi wewenang dalam proses impeachment.
6 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 155-156 7
Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, LN No. 98 Tahun 2003, TLN 4316.
23
C. Sejarah Impeachment Perkenalan pemerintahan modern dan mekanisme pertanggungjawaban politik dalam sistem demokrasi dalam konstitusi di abad modern di Amerika serikat berjalan beriringan dengan diperkenalkannya pemberhentian Presiden dengan istilah impeachment pada tahun 1787.8 Para perumus konstitusi Amerika Serikat mengadopsi pemberhentian Presiden dari praktek di Inggris dengan melalui mekanisme impeachment yang dikenal pada abad ke-14. Mekanisme impeachment merupakan mekanisme peradilan yang mengalami perkembangan cukup baik di Inggris, tetapi hampir tidak memperoleh teknik dan mekanisme baku. Istilah impeachment sendiri telah lama digunakan berkaitan dengan jenis penuntutan di setiap pengadilan di Inggris. Awalnya tidak ditujukan khusus untuk penuntutan di parlemen (the House of Commons) di hadapan Raja9 , dan tentunya dalam perkembangannya, banyak negara yang menerapkan impeachent dalam beberapa Pasal pada konstitusi negaranya. Studi tentang impeachment dalam konteks ketatatanegaraan biasanya merujuk kepada ketentuan dan praktik di Amerika Serikat. Artikel I section 2, dan 3 dan Artikel II section 4 konstitusi Amerika Serikat menyatakan: “The President and Vice President, and all civil officers of the United Stated shall be removed from office on impeachment for, and conviction of, treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors. Judgment in Case of Impeachment shall not extend further than removal from office, and disqualification to hold and enjoy any Office of honor, Trust or Profit under the United Stated: but the Party convicted shall 8
Hamdan Zoelva Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 29
9
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 30
24
Neverthless be liable and subject to indictment, Trial, Judgment, and Punishment, acording to Law”.10 Dari sisi materiil uraian substansi pasal ini dijelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden saja yang dapat diberhentikan dari jabatannya melalui proses impeachment. namun seluruh pejabat negara sampai tingkat pejabat distrik juga dapat diproses impeachment untuk diberhentikan dari jabatannya jika terlibat atau melakukan tindakan yang memenuhi rumusan article impeachment dalam konstitusi Amerika Serikat. Namun dari sisi formil, penjelasan mengenai penghianatan terhadap negara, penyuapan, tindk pidana berat, dan perbuatan tercela yang menjadi sebab atau dasar untuk dilakukannya proses impeachment tidak dijelaskan secara luas dan rinci baik pada penjelasan konstitusi maupun undang-undang di bawah konstitusi. D. Metode Impeachment di Beberapa Negara 1. Amerika Serikat Impeachment di Amerika Serikat sebenarnya diadopsi dari praktik yang berlaku di Inggris sebagai ungkapan yang menunjuk pada pengadilan politik yang digunakan untuk menjangkau para pelanggar yang mungkin lepas dari tuntutan. Impeachment diperlukan untuk melindungi negara sekaligus menghukum pelaku.
10
National Constitution Centre, The Constitution of The United States. E-Pdf, Diakses Pada 30 Mei 2016 dari: http://constitutioncenter.org/media/files/constitution.pdf, atau lihat juga Merrill McLoughlin (ed.), The Impeachment and Trial of President Clinton. The Official Transcript, from House Judiciary Committe Hearings to the Senate Trial, (US: Time Books Random House, 1999), h. v
25
Proses impeachment terhadap Presiden di Amerika Serikat pertama kali terjadi pada tahun 1868 yang menimpa Presiden Andrew Johnson. Secara garis besar tuduhan terhadap Presiden Andrew Johnson ini adalah telah melakukan “high
crimes and
misdemeanor”
dengan rincian
pelanggaran meliputi: a. Pelanggaran sumpah jabatan. Presiden Andrew Johnson dipandang tidak menghiraukan kewajiban sesuai sumpah jabatannya. Presiden melakukan pemberhentian kepada Edwin M. Santon sebagai Menteri Pertahanan dan menggantinya dengan
pejabat yang lain
tanpa
persetujuan senat Amerika Serikat. Padahal dalam Act Regulating the Tenure of Civil Officer ditentukan harus dengan persetujuan senat. b. Melanggar Undang-Undang Federal Amerika Serikat, yaitu “the Command of Act” yang disahkan pada tanggal 2 Maret 1867, yaitu memberikan perintah kepada Commander in Chief Willam H. Emory yang seharusnya melalui The General of The Army.11 Proses
impeachment
ini,
dalam
perjalanannya
meskipun
pelanggaran yang dituduhkan kepada Presiden, Andrew Johnson tetap menjabat sebagai Presiden karena suara di Senat yang menghendaki diberhentikannya Presiden Andrew Johnson kalah dengan suara anggota
11
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, h. 107-108
26
Senat yang mendukung Andrew Johnson tetap sebagai Presiden meskipun hanya berbeda satu suara.12 Upaya impeachment terhadap Pesiden yang terjadi kedua kali adalah pada tahun 1974 terhadap Presiden Richard Nixon yang dituduh melakukan “high crimes and misdemeanors” berupa: a. Obstuction of justice (menghambat peradilan); b. Abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan); c. Contemp of congress (penghinaan terhadap kongres) Ketiga tuduhan tersebut berkaitan dengan kasus “Watergate” yang terjadi pada tanggal 17 Juni 1972, yaitu masuk secara tidak sah (burglary) beberapa orang di kantor pusat Komite Nasional Demokrat di Watergate Washington DC. Namun, proses impeachment ini gugur karena Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.13 Hal ini dapat disimpulkan bahwa suatu proses impeachment dapat berakhir ketika yang terkena impeachment lebih memilih megundurkan diri daripada melayani persidangan baik di House of Representative maupun di Senat. Pada tahun 1988, terjadi kembali proses impeachment terhadap Presiden di Amerika Serikat yaitu menimpa kepada Presiden Bill Clinton.
12
Soimin, Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, h. 66
13
Soimin, Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, h. 67
27
Kasus impeachment Presiden Amerika Bill Clinton ini bermula dari tuduhan bahwa Clinton telah melakukan perbuatan yang tidak bermoral terhadap karyawan Gedung Putih Monika Lewinsky. Clinton membantah telah melakukan perbuatan yang tidak wajar itu dengan karyawannya. Akan tetapi dalam perkembangan penyelidikannya Clinton mengakui telah melakukan perbuatannya yang disiarkan melalui televisi nasional. Oleh karena itu tuduhan terhadap Clinton beralih dari perbuatan yang tidak wajar pada tuduhan bahwa Clinton telah menghalangi penyidikan dengan berbohong di bawah sumpah. Oleh Commite of Judiciary House of Representative, Clinton dikenai 4 Pasal impeachment yaitu; a. Melakukan sumpah palsu di hadapan grand jury (perjury in grand jury); b. Melakukan sumpah palsu (perjury); c. Menghambat peradilan (abstruction of justice); d. Memberikan respon yang tidak layak atas pertanyaan tertulis dari Committe of Judiciary. Dari keempat dakwaan tersebut hanya dua yang dibawa ke senat. Akhir dari proses impeachment ini adalah Clinton dibebaskan (acquited) oleh Senat dengan Suara mutlak dan tetap menduduki jabatan Presiden Amerika Serikat.14
14
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Cet.I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 110-111
28
2. Fhilipina Negara Fhilipina memberikan kekuasaan penuh kepada House of Representative untuk melakukan impeachment. Proses impeachment tersebut bukan hanya terhadap Presiden, melainkan terhadap Wakil Presiden, Mahkamah Agung, anggota komisi-komisi yang dibentuk oleh konstitusi, serta Ombudsman. Hal ini terdapat dalam Konstitusi Fhilipina Article XI Section 2. Hamdan Zoelva mengungkapkan bahwa mekanisme impeachment Presiden dalam masa jabatannya sebagaimana diatur dalam Konstitusi Fhilipina menerapkan model peradilan dua tingkat layaknya di Amerika Serikat. Peradilan pertama yaitu pendakwaan yang dilakukan oleh Ang Kapulungan ng nga Kintawan (House of Representatif), selanjutnya barulah dakwaan tersebut disidang dan diputuskan oleh Ang Senado (Senate). Persidangan dilakukan oleh Ang Senado tersebut dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung Fhilipina, sama halnya dengan persidangan impeachment Presiden Amerika Serikat oleh Senate yang dipimpin oleh ketua Supreme Court.15 3. Jerman Presiden Federasi Jerman dapat diajukan impeachment baik oleh Bundestag maupun Bundesrat karena alasan secara sengaja melaggar hukum Jerman. Impeachment tersebut diajukan dan akan diputus oleh Mahkamah Konstitusi Jerman apakah Presiden bersalah atau tidak serta 15
Hamdan Zoelva Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 54
29
apakah akan diberhentikan atau tidak. Dalam Pasal 61 ayat (1) Konstitusi Jerman ditentukan bahwa impeachment terhadap Presiden dapat diajukan oleh ¼ anggota Bundestag (lembaga perwakilan rakyat) atau ¼ jumlah suara dalam Bundesrat (Senat). Selanjutnya
dalam Pasal 61 ayat (2)
Konstitusi Jerman diberikan kewenangan untuk memutuskan Presiden bersalah telah melanggar konstutusi atau undang-undang federal lainnya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan Presiden telah dipecat dari jabatannya.
Setelah
impeachment,
Mahkamah
mengeluarkan perintah pengadilan interim untuk
Konstitusi mencegah
dapat Presiden
menjalankan fungsi kepresidenannya.16 Pandangan Abdul Rasyid Thalib sebagaimana yang dikutip oleh M. Saleh dan Mukhlish adanya instrumen hukum yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan adanya instrumen hukum yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk pengadilan
interim
kepresidenannya
untuk
bertujuan
mencegah untuk
Presiden
mempertegas
memerintahkan
menjalankan status
hukum
fungsi dari
keputusan Mahkamah Konstitusi.17 Hal ini mengandung makna jika parlemen memutuskan hal yang sebaliknya dengan keputusan Mahkamah Konstitusi maka keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut tetap memiiki
16 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dala m Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 259-260 17
M. Saleh dan Mukhlish, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, (Sebuah Tinjauan Konstitusional), (Surabaya: Bina Ilmu, 2010), h. 40
30
akibat hukum berupa impeachment Presiden secara administratif, dan bukan hanya suatu keputusan yang terkesan sia-sia. 4. Korea Selatan Objek impeachment di Korea Selatan, selain Presiden, juga dapat ditujukan kepada pejabat negara lainnya seperti Wakil Presiden, Perdana Menteri, anggota Dewan Negara, Kepala Eksekutif Departemen, Hakim Mahkamah Konstitusi, anggota Komite Manajemen Pemilihan Pusat, anggota Dewan Audit dan Inspeksi, dan lainnya pejabat publik yang ditunjuk oleh hukum.18 Konstitusi Korea Selatan menyebutkan dua alasan diberlakukannya impeachment
yaitu
jika
melanggar
hukum atau
konstitusi
dalam
pelaksanaan tugas resminya. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, namun hanya disebutkan tanpa rinci apa bentuk pelanggaran yang dilakukan. 19 Melihat pada praktek impeachment di berbagai negara di atas, terdapat beberapa alasan yang hampir sama terkait
dengan dilakukannya
18
Dalam The Constitution of Republic of South Korea Article 65 section 1 dinyatakan sebagai berikut : “In case the President, the Prime Minister, members of the State Council, heads of Executive Ministries, judges of the Constitutional Court, judges, members of the Central Election Management Committee, members of the Board of Audit and Inspection, and other publik officials designated by law have violated the Constitution or other laws in the performance of official duties, the National Assembly may pass motions for their impeachment”. lihat juga: M. Saleh dan Mukhlish, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Sebuah Tinjauan Konstitusional) , h. 42, dan Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, h. 270-271 19
UU tentang Mahakamah Konstitusi Korea Selatan Pasal 48 menyebutkan: If a publik official who falls under any of the following violates the Constitution or laws in the course of execution of his or her services, the National Assembly may pass a resolution on the institution of impeachment as prescribed in the Constitution and the National Assembly Act. Lihat juga: Hamdan Zoelva Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 55
31
impeachment yaitu bahwa Presiden sebagai pejabat publik merupakan pemimpin yang dihormati melakukan perbuatan melawan hukum dan melakukan pelanggaran hukum dan/atau melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai moral bangsa dan juga konstitusi. 5. Brasil Negara Brasil memberikan kekuasaan penuh kepada Majelis Tinggi Senat untuk melakukan impeachment terhadap Presiden dan wakil Presiden. Seperti yang ramai diperbincangkan dunia bahwa telah terjadi impeachment terhadap Presiden Dilma Rousseff yang merupakan Presiden perempuan pertama di Brasil. Seperti yang diberitakan oleh BBC Indonesia, Rousseff dituduh telah menyembunyikan uang negara dan melakukan korupsi. Selain tuduhan tersebut, Roussef juga dituduh telah memanipulaasi data keuangan negara untuk menutupi defisit anggaran menjelang pemilihan Presiden yang dimenangkannya kembali pada 2014.20 Anggota impeachment
senat terhadap
Brasil mengadakan Roussef.
Hasilnya
sidang 55
untuk
anggota
melakukan senat
pro
impeachment setuju atas ditangguhkannya Rousseff dari jabatannya, sedangkan 22 orang lainnya menolak. 21 Mekanisme tentang impeachment di negara Brasil dapat ditemukan pada pasal tentang kewenangan the Federal Senate yaitu pada Chapter I 20
Presiden Brasil Dilma Rossef diberhentikan sementara, Artikel ini diakses pada 08 Juni 2016 dari: http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/05/160512_dunia_brasil_pemakzulan 21
Presiden bakal hadapi sidang impeachment, Artikel ini diakses pada 08 Juni 2016 dari:http://international.sindonews.com/read/1108083/42/presiden-brazil-bakal-hadapi-sidangimpeachment-1463065211
32
Section IV: The Federal Senate Art 52: The Federal Senate has exclusive power: To try the President and Vice-President of the Republic for impeachable offense, as wel as Ministers of the Federal Government and the Commanders of the Navy, the Army and the Air Force for crimes of the same nature connected with them; Selain pasal tentang kewenangan dari Federal Senate,
yang
berkaitan dengan pemenuhan atas kewajiban Presiden ada pada Chapter II Section III : Liability of the President of the Republic Art 85 dan Art 86.22
E. Mekanisme Impeachment dalam Islam Allah SWT mewajibkan kepada hambaNya untuk bersifat jujur dan adil termasuk ketika menjadi seorang pemimpin. Hal ini sejalan dengan ayat AlQuran surat An-nisa ayat 135 yang berbunyi:
ّلِل َولَ ۡو َعلَ َّٰ َٰٓى أَنف ُ ِسكُ ۡم أَ ِو ۡٱل َّٰ َو ِلدَ ۡي ِن ِ َّ ِ َّٰ َيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َء َامنُواْ ُكونُو ْا َق َّٰ َّو ِمينَ ِب ۡٱل ِق ۡس ِط شُ َهدَآَٰ َء َۚ َِو ۡٱۡل َ ۡق َرب ْعۡدلُو َۚا َّ َينَ إِن يَكُ ۡن َغنِيًّا أَ ۡو فَ ِق ٗيرا ف ِ َٱّلِل ُ أَ ۡولَ َّٰى بِ ِه َماۖ فَ ََل تَتَّبِعُواْ ۡٱل َه َو َّٰ َٰٓى أَن ت عۡملُونَ خَ بِ ٗيرا َ َّ عۡرضُواْ فَإِ َّن َ َٱّلِل َكانَ بِ َما ت ِ ُ َوإِن تَ ۡل َُٰٓۥواْ أَ ۡو ت “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”
22 Translated by Keith S. Rosenn, Brasil’s Constitution of 1988 with Amandements through 2014, Artikel ini diakses pada 08 Juni 2014 dari: https://www.constituteproject.org/constitution/Brazil_2014.pdf.
33
Dalam memilih seorang pemimpin dalam Islam harus merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Berkaitan dengan pembahasan penulis yatu
impeachment terhada Presiden, yang dimaksud dengan pemimpin adalah Kepala negara atau dalam Islam disebut dengan Khalifah atau Imam. Memilih pemimpin sudah menjadi wajib sebagaimana yang dijelaskan oleh sabda Rasulullah SAW: )إذا خرج ثَلثة في سفر فليؤمروا أحدهم (رواه أبوا داود من حديث أبي سعيد وأبي هريرة “apabila tiga orang bepergian, maka sallah serang daripadanya hendaklah menjadi pemimpinnya.”(H.R. Abu Dawud) Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Mawardi syarat-syarat sebagai seorang pemimpin adalah: 1. Adil dengan segala pernyataannya (benar tutur katanya, dapat dipercaya, terpelihara dari segala yang haram, menjauhi segala dosa dan hal-hal yang meragukan, memegang muruah; 2. Memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk ijtihad di dalam hukum dan kasus-kasus hukum yang harus dipecahkan. 3. Sehat panca indranya baik pendengaran, penglihatan, lisannya agar dapat sigunakan sebagaimana mestinya.sehat anggota badannya dari kekurangan-kekurangan yang dapat mengganggu geraknya. 4. Kecerdasan dan kemampuan di dalam mengatur rakyat dan kemaslahatan 5. Kebenaran dan punya tanggung jawab dan tabah di dalam mempertahankan negara dan memerangi musuh 6. Nasab, imam itu harus keturunan Quraisy atas dasar nash dan ijma. 23
Pemberhentian jabatan atau impeachment dalam Islam dapat diartikan dengan al-khalla’.
23
Al-Khalla
memiliki makna pencabutan,
pencopotan,
Al-Mawardy, Al- Ahkam AL-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (Mesir: Musthafa al-‘Arabi al-Halabi, tt), h. 6.
34
pemecatan, menelanjangi, dan menyingkirkan. Ibnu Manzur mengatakan kata “pencopotan” sama artinya
dengan “pencabutan”;
namun dalam istilah
“pemecatan” mengandung arti “penangguhan atau proses secara perlahan”. Berkaitan dengan pencopotan maka erat kaitannya dengan pelanggaran atau dalam istilah bahasa arab yaitu an-naktsu. Pemecatan dan pelanggaran memiliki kandungan arti tipu daya dan muslihat, sedangkan dalam syariat Islam hal tersebut sangat tidak diperkenankan.24 Mengenai mekanisme impeachment, dalam Islam tidak ditemukan penjelasan secara eksplisit, namun terdapat dalam kitab-kitab fikih siyasah ditemukan mekanisme pemberhentian kepala negara, diantaranya: 1. Sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah, dan para ulama
Murjiah
berpendapat
wajib
mengangkat
senjata
untuk
memberhentikan Presiden.25 2. Untuk memberhentikan pemimpin adalah melalui apa yang diistilahkan pada zaman modern ini dengan civil disobedience (pembangkangan sipil). Cara inilah yang dilakukan apabila umat Islam merasa imamnya atau pemimpinnya berbuat fasiq dan melakukan dosa, maksiat dan zalim. Maka dalam keaadaan demikian tidak ada jalan lain selain memboikot pemimpin tersebut. hal ini diambil dari sabda Rasulullah SAW:
24 Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 191-192 25
Muhammad Abdul Qodir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 180
35
من رأ منكم منكرا فليغيره بيده فمن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه )ولك أضعف اإليمان (رواه مسلم Artinya: “Barangsiapa diantara kamu melihat suatu kemunkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan jika ia tak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman”.(H.R. Muslim)26 Hadits Rasulullah SAW tersebut dalam konteks ini menjelaskan bahwa umat muslim harus saling mengingatkan satu sama lain dan apabila saudara muslim melakukan kemungkaran maka wajib bagi muslim lainnya untuk melakukan perubahan atas saudara muslim lainnya dengan tangan, lisan dan hati. Hal ini menunjukkan bolehnya umat muslim memboikot pemimpin dengan jalan yang dianjurkan oleh Rasul namun tidak keluar dari aturan Al-Quran dan As-Sunnah dengan menggunakan tangan yaitu menggunakan kekuasaan dan hak yang dimiliki oleh orang muslim dalam berbuat, menggunakan lisan dengan cara menyampaikan suara dan pendapat dan dengan hati apabila kedua cara tadi tidak mampu dilakukan lagi. Maksud dengan hati adalah dengan cara mendoakan pemimpin tersebut supaya tidak melakukan perbuatan dzhalim. 3. Masa jabatan imam lebih baik dibatasi hingga jangka waktu tertentu. Jika imam melakukan perbuatan fasiq maka umat menghindarkan diri dari keburukannya dengan tidak memilihnya pada periode lain. 27 Al-Quran mewajibkan ketaatan kepada mereka yang berkuasa, namun kepada
26 Muhyiddin Abi Zakaria, Riyadus Solihin, Penerjemah Muslich Shabir, (Surabaya: Mahkota, tt), h. 108. 27
Muhammad Abdul Qodir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 184-185.
36
penguasa/
pemimpin
yang
memenuhi
syariat
dan
memperhatikan
kepentingan masyarakat. Imam Al-Mawardi menjelaskan apabila Imam atau pemimpin tidak dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik atau terdapat cacat pada keadilannya dan cacat pada badannya (Fasiq), maka imam atau pemimpin tersebut harus diberhentikan. Namun jumhur fuqaha berpendaat bahwa Imam dapat diberhentikan apabila dia itu fasiq dan sebab-sebab lain seperti: tidak memperhatikan keadaan kaum muslimin dan masalah-masalah agama, sebab jelas jabatan imam adalah untuk kemaslahatan kaum muslimin dan mendirikan serta meninggikan agama.28 Maka hal ini dapat disimpulkan bahwa pemimpin, imam, atau kepala negara dalam Islam dapat diberhentikan dengan alasan: 1. Apabila dia melaggar Al-Quran dan As-Sunnah 2. Tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh umat dalam mengurus negara. Sejalan dengan penjelasan di atas,
Abdul Rashid
Moten29
mengungkapkan bahwa di dalam Al-Quran dan Sunnah tidak pernah diatur mengenai mekanisme impeachment terhadap khalifah/pemimpin. Namun Moten menyebutkan adanya prinsip-prinsip dasar yang digariskan dalam
28
A. Djazuli, Fiqih Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu -Rambu Syariah, Cet.III, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 115. 29
Abdul Rashid Moten adalah seorang cendekiawan muslim dari Internasional Islamic University Malaysia. Beberapa karyanya menyangkut tentang studi politik islam dan banyak diangkat dan dikaji oleh banyak ulama, salah satu bukunya adalah “Inroduction to Political Science”
37
Al-Quran dan Sunnah di dalam otoritas melakukan impeachment terhadap kepala negara30 , yakni: 1. Diwan al-Nadzhar wa al-Madzhalim (dewan pengawas) yang biasa menangani kasus-kasus kegagalan keadilan dan tindakan-tindakan tiranik yang dilakukan oleh para elit penguasa, termasuk kepala negara. 2. Faqih atau Dewan Pimpinan yang terdiri atas Fuqaha. 3. Majlis al-Syura (Majelis Permusyawaratan ahl halli wa al-aqdhi).31
30
Setidaknya para pemikir politik Islam mengajukan tiga lembaga yang memiliki otoritas untuk melakukan impeachment terhadap kepala negara/Presiden. 31
Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, Penerjemah A.Mu’in & Widyawati, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2001), h. 142-147. Lihat juga: Khamami Zada, dkk, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), h. 183-184
BAB III PROSES IMPEACHMENT DI INDONESIA DAN IRAN A. Impeachment di Negara Indonesia 1. Mekanisme Impeachment di Negara Indonesia Konstitusi atau UUD adalah suatu keharusan dalam suatu negara, karena sebagaimana pernyataan E.C.S Wade yang dikutip oleh Sulardi menyatakan bahwa UUD merupakan suatu dokumen atau kerangka dasar yang menampilkan sanksi hukum khusus dan prinsip dari fungsi lembaga-lembaga pemerintahan negara dan menyatakan pula prinsip-prinsip yang mengatur cara kerja lembaga yang lain.1 Konstitusi atau UUD memiliki makna yang mengandung makna politis, sosiologis dan yuridis dari suatu negara yang tampak dari klasifikasi konstitusi, menurut Herman Heller, yaitu pertama, konstitusi mencerminkan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan, kedua, konstitusi merupakan suatu kaidah hidup dalam masyarakat, ketiga, konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi dalam suatu negara. 2 Konstitusi atau UUD juga merupakan instrumen yang mengatur tentang pembagian kekuasaan negara berdasarkan Trias Politica yang berfungsi untuk mengawasi dan mengontrol lembaga negara supaya tidak terjadi kesewenangwenangan.
1
Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, (Malang: Setara Press, 2012),
h. 55 2
Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, h. 55-56
38
39
Konstitusi negara tentunya memiliki tujuan yang mulia, termasuk Konstitusi Indonesia dan Iran, namun dalam pelaksanaannya dapat ditemukan beberapa permasalahan yang salah satunya adalah berkaitan dengan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya sejarah yang mencatat bahwa telah terjadi pemberhentian terhadap Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid di Indonesia dan Pemecatan Abol Hasan Bani Sadr di Iran oleh pemimpin Agung pada saat itu yaitu Imam Khumaini dengan proses mekanisme impeachment yang memiliki corak berbeda sesuai dengan konstitusi negara masing- masing. Terdapat dua perspektif hukum ketatanegaraan (Constitutional Law) dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pertama, dengan cara pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dan kedua dengan cara melalui mekanisme peradilan khusus (special legal proceeding) atau “forum preveligiatum” yaitu forum yang diadakan khusus untuk melaksanakan hal tersebut.3 Impeachment “pemberhentian”.
Presiden
di
Indonesia
menggunakan
istilah
Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
merupakan alat bagi lembaga legislatif untuk mengontrol lembaga eksekutif ketika pemerintahannya berjalan. Adakalanya terjadi penyimpangan dalam menjalankan
praktek
kenegaraan
dan
penyalahgunaan
wewenang
yang
3 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) h. 24
40
dilakukan oleh pejabat negara yang dalam hal ini adalah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Hal ini menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh Indonesia
karena
menerapkan
sistem
Presidensiil
dalam
praktek
ketatanegaraannya yang menempatkan Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. a. Sebelum Amandemen UUD 1945 UUD 1945 (sebelum diubah) adalah UUD yang dikategorikan dalam sistem pemerintahan Presidensiil, namun UUD 1945 (sebelum diubah) tidak mengatur secara eksplisit dan detail mengenai mekanisme pemberhentian. Pasal 8
UUD
1945
(sebelum diubah)
hanya mengatur
mengenai
penggantian kekuasaan dari Presiden kepada Wakil Presiden jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.
Hal
ini
yang
disebut
masa
kekosongan
konstitusi
(constitutionale vacuum) tentang mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945.4 Pada masa sebelum amandemen UUD 1945 terdapat konstitusi yang berlaku yaitu: a. UUD 1945 yang berlaku pada 2 periode (18 Agustus 1945- 27 Desember 1945 dan 5 Juli 1959 hingga amandemen tahun 1999-2000); b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949- 17 Agustus 1950);
4 Winarno Yudho, dkk, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ,
(Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung dan Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), h. 42
41
Konstitusi RIS merupakan hasil capaian kompromi politik melalui Konferensi Meja Bundar5 yang diselenggarakan di Belanda pada tahun 1949 usai Belanda melakukan agresi militer di Indonesia. Naskah konstitusi RIS disusun bersama antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi
Bijeenkomst
voor
Federal
Overleg
(BFO).
Setelah
mendapatkan persetujuan Komite Nasional Pusat (selaku lembaga perwakilan rakyat Republik Indonesia) pada 14 Desember 1949, Konstitusi RIS resmi diberlakukan mulai 27 Desember 1949. 6 c. Undang-Undang Sementara Tahun 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959); UUD Sementara adalah sebagai akibat dari munculnya aspirasi dari negara-negara bagian dalam Negara RIS yang ingin kembali membentuk Negara Kesatuan Republik menganut
bentuk
negara
kesatuan
Indonesia.
dengan
sistem
UUDS
1950
pemerintahan
kombinasi Presidensiil-Parlementer.7
5 Konferensi Meja Bundar yang berlangsung pada 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag, Belanda, tersebut berhasil menyepakaiti tiga hal: (1) mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat; (2) penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) yang b erisi tig hal: (a). piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (b). status uni (c). persetujuan perpindahan; (3) mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda. Lihat: Jimly Ashshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 45 6
Jimly Ashshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 45 7
Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 menyatakan: Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan; Pasal 1 ayat (2) UUDS 1950 menyatakan: Kedaulatan Republik Indonesia adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
42
Perubahan konstitusi tersebut disebabkan oleh adanya dinamika dalam sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia, yang mana selain menganut sistem Presidensiil Indonesia juga pernah menerapkan sistem parlementer dan dalam kostitusi yang berlaku terdapat
mekanisme
pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berbedabeda pula. UUD 1945 sebelum amandemen tidak terdapat pasal tertentu yang khusus mengatur mekanisme
pemberhetian Presiden dan/atau
Wakil
Presiden dalam masa jabatannya. Hal ini karena dalam rapat perumusan UUD 1945 di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI)
maupun
dalam
rapat-rapat
Panitia
Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tidak membahas mengenai hal tersebut dan lebih fokus pada menentukan bentuk negara antara monarki dan atau republik, hingga akhirnya melalui voting ditentukan bahwa Indonesia menganut bentuk negara republik.8 Indonesia merupakan negara yang menganut bentuk negara republik yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, dalam hal ini rakyatlah yang memegang kekuasaan tinggi dalam suatu negara. Kedaulatan rakyat inilah yang diwujudkan dalam sistem demokrasi perwakilan yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia. MPR memegang kekuasaan tertinggi negara karena kedaulatan yang ada di tangan rakyat oleh UUD 1945 sebelum 8
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2011), h. 84
43
perubahan diserahkan sepenuhnya kepada MPR. MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat memiliki kewenangan menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.9 Presiden yang dipilih oleh MPR diposisikan sebagai mandataris MPR. Hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR, dan Presiden merupakan mandatarisnya yang dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh MPR. Oleh karena itu maka Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR termasuk harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan MPR. Gagasan mengenai posisi Presiden sebagai mandataris MPR berasal dari pandangan Soepomo selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang menyatakan bahwa Presiden merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari.10 Kekuasaan dan tanggung jawab sepenuhnya
dalam menjalankan pemerintahan negara berada pada
Presiden, sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah MPR.
9 Lihat ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pas al 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan. 10 Hamdan
Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 85
44
Presiden dan DPR dalam menjalankan pemerintahan negara harus saling bekerja sama karena posisi Presiden dengan DPR neben atau sejajar. Presiden tidak mempertanggungjawabkan jabatannya kepada DPR, oleh karena itu kedudukan Presiden juga tidak bergantung pada DPR atau sebaliknya.11 Winarno
Yudho
mengatakan
bahwa
pada
masa
sebelum
amandemen UUD 1945 tidak mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, sehingga Winarno Yudho mengatakan bahwa hal tersebut sebagai kekosongan konstitusi (constitutionale vacum) mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.12 Sejarah
ketatanegaraan
Indonesia
mencatat
beberapa
penyelewenagan kekuasaan negara yang dilakukan oleh Presiden sebagai kepala eksekutif negara, baik pada Orde Lama maupun pada Orde Baru. Bukti sejarah mencatat bahwa telah terjadi dua kali pemberhentian yang dilakukan terhadap Presiden di Indonesia yaitu Presiden Soekarno pada masa Orde Lama dan Presiden Abdurrahman Wahid pada masa Reformasi. 1) Proses Pemberhentian Presiden Soekarno Awal mula terjadinya proses pemberhentian terhadap Presiden Soekarno adalah karena situasi dan kondisi politik negara yang
11
Kedua lembaga tersebut, yakni Presiden dan DPR pada sebelum amandemen UUD 1945 kedudukannya sama kuat yang tidak sapat saling membubarkan satu sama lainnya. Keberadaan DPR bertujuan untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintah oleh Presiden serta membatasi kekuasaan Presiden dalam menjalankan pemerintahan negara. 12
Winarno Yudho, dkk, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, h. 42
45
mengalami instabilitas
nasional
yang
disebabkan
karena
adanya
peristiwa G.30SPKI,
disusul kemudian terjadinya krisis ekonomi
nasional yang disebabkan karena tidak menentunya sistem politik negara, ditambah dengan krisis moralitas masyarakat yang terjadi dengan maraknya kriminalitas hampir di seluruh wilayah negara Indonesia. Kekacauan situasi dan kondisi negara seperti itu memicu perseteruan antara Presiden Soekarno dengan MPRS yang pada akhirnya memunculkan pertanggungjawaban Presiden Soekarno
di
hadapan sidang MPRS dengan sebutan “Pidato Nawaksara” yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1965. 13 Penyampaian
laporan
pertanggungjawaban
tersebut
adalah
permintaan Presiden Soekarno bukan atas dasar desakan dari MPRS. Adapun pokok yag menjadi isi Pidato Nawaksara tersebut adalah sebagai berikut: a) Ajakan melakukan retrospeksi tentang posisi Presiden sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Mandataris MPRS serta Presiden seumur hidup; b) Laporan
pertanggungjawaban
Presiden
Soekarno
mengenai
pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang terkandung dalam ketetapan MPRS No.1 dan 2 Tahun 1960 yaitu tentang pelaksanaan Trisakti, yang berdaulat, dan bebas dalam
13
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h 93
46
politik,
kepribadian
dalam kebudayaan dan
berdikari dalam
ekonomi; c) Pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan pembangunan politik dan pembangunan ekonomi; d) Penjelasan lainnya tentang Demokrasi Terpimpin,
pelaksanaan
GBHN yang akan dibicarakan di DPR, rencana pemurnian pelaksanaan UUD 1945 dan terkait dengan tugas MPR/MPRS serta kedudukan Presiden dan wakil Presiden.14 MPRS mengeluarkan keputusan No.5/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966, guna menanggapi pidato Nawaksara Presiden Soekarno yang pada intinya meminta kepada Presiden Soekarno supaya melengkapi laporan pertanggungjawabannya kepada MPRS khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G.30S/PKI beserta epilognya dan kemunduran ekonomi beserta kemerosotan akhlak bangsa. Dasar keputusan itulah pimpinan MPRS pada tanggal 22 Oktober 1966 menyampaikan surat kepda Presiden Soekarno agar Presiden benarbenar memperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang kelengkapan laporan
pertanggungjawaban
mengenai
sebab-sebab
terjadinya
peristiwa G.30S/PKI beserta epilognya dan kemunduran ekonomi beserta kemerosotan akhlak bangsa. Pada tanggal 10 januari 1967, terhadap surat pimpinan MPRS tersebut, Surat Presiden No.01/Pres/67.
14
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 93
47
Presiden Soekarno menanggapi keputusan MPRS yang dikenal dengan “Pelengkap Nawaksara” yang pada intinya berisi: a) Ajakan sekuat tenaga bersama-sama untuk meniadakan “suatu konflik” demi menyelamatkan revolusi, membangun persatuan dan kesatuan, menekankan kewaspadaan istimewa terhadap kekuatan kontra-revolusi, karena situasi politik di tanah air sudah gawat. b) Peristiwa G.30S/PKI adalah satu complete overrompeling. c) Telah mengutuk Gestok (Gerakan Satu Oktober) pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1966. d) Yang
bersalah
harus
dihukum
karena
itu
telah
dibentuk
MAHMILUB (Mahkamah Militer Luar Biasa). e) Terjadinya peristiwa G.30S/PKI karena tiga sebab yaitu keblingeran pimpinan PKI, kelihaian subversi nekolin, dan memang adanya oknum-oknum yang tidak benar. f) Masalah kemerosotan ekonomi bukanlah disebabkan oleh satu orang saja tetapi satu resultante dari pada proses faktor-faktor objektif dan tindakan dari keseluruhan aparatur pemerintahan dan masyarakat. g) Masalah kemerosotan akhlak adalah hasil perkembangan daripada proses kesadaran dan laku-tindak masyarakat dalam keseluruhannya yang tidak mungkin oleh satu orang saja. 15
15
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h 94- 95
48
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR), dalam gagasannya
mengangap
bahwa
Presiden
setidak-tidaknya
telah
melanggar haluan negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 dengan dasar bahan-bahan dan fakta-fakta yang terungkap. Berdasarkan pertimbangan itulah DPR GR meminta MPRS untuk menetapkan penyelenggaraan pertimbangan
Sidang MPRS
Istimewa dengan
MPRS
Keputusan
dengan
berbagai
Pimpinan
MPRS
No.13/b/1967. Menolak Pidato Pelengkap Nawaksara dengan alasanalasan pokok sebagai berikut: a) Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional sebagaimana layaknya seorang mandataris terhadap MPRS. b) Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS, sebagaimana layaknya seorang mandataris terhadap MPRS.16 Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka dalam Sidang Istimewa
MPRS
XXXIII/MPRS/1967
mengeluarkan tentang
ketetapan
Pencabutan
MPRS
Kekuasaan
No.
Pemerintah
Negara dari Presiden Soekarno dengan alsan-alasan sebagaimana tercantum dalam pertimbangan antara lain:
16
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 95
49
a) Pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara tidak memenuhi harapan rakyat pada umumnya dan anggota MPRS pada khususnya karena tidak memuat secara jelas pertanggungjawaban tentang kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra revolusi G.30S/PKI
beserta
epilognya,
kemunduran
ekonomi
dan
kemerosotan akhlak bangsa. b) Pengumuman penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tanggal 20 Februari 1967. c) Adanya
petunjuk-petunjuk
melakukan
gerakan
bahwa
politik
Presiden
yang
Soekarno
secara
tidak
telah
langsung
menguntungkan G.30S/PKI sesuai laporan tertulis Panglima Operasi Keamanan dan Ketertiban tanggal 1 Februari 1967 dan dilengkapi pidato laporan di hadapan Sidang Istimewa MPRS. 17 Berdasarkan ketentuan TAP
MPRS tersebut,
dengan
demikian telah mencabut kekuasaan pemerintahan negara
dari
Presiden Soekarno dan MPRS juga menetapkan Jenderal Soeharto sebagai
pejabat
Presiden
Republik
Indonesia.
Dari
sejarah
diberhentikannya Presiden Soekarno inilah, pengaturan mengenai mekanisme
pemberhentian
belum
memiliki
kejelasan
secara
konstitusional karena pemberhentian terhadap Presiden Soekarno lebih disebabkan oleh alasan subjektivitas mayoritas anggota MPRS yang tidak menerima pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno. 17
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 95
50
2) Proses Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid Sidang umum MPR 1999 melangsungkan rapat paripurna ke-13 yang berlangsung Rabu, 20 Oktober 1999 menghasilkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia dan keesokan harinya, Kamis, 21 Oktober 1999 pada Rapat Paripurna ke 15 menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. 18 Kepemimpinan Abdurrahman
Wahid
tidak
berjalan
mulus
karena beragam peristiwa politik muncul yang pada akhirnya menyeret Presiden Abdurrahman Wahid ke dalam proses pemberhentian yang menjatuhkannya dari “kursi” Presiden. Hal ini berawal dari hubungan antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri mengalami keretakan akibat digantinya “kabinet pelangi” yang awalnya terdiri dari beragam kekuatan partai politik akhirnya hanya diisi oleh orang-orang terdekat Presiden saja. Dalam hal ini Megawati Soekarnoputri merasa kecewa, diwujudkan
dengan
ketidakhadirannya
bentuk
saat
acara
kekecewaannya pengumuman
kabinet.19 Maraknya polemik di media massa mengenai dana Yanatera Bulog, pada 28 Agustus 2000, tepat lima hari setelah diumumkannya kabinet baru, DPR melakukan voting yang pada akhirnya mayoritas 18
Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jejak Langkah MPR dalam Era Reformasi. Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MPR RI Periode 1999-2004, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004), h. 9-18 19
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: Mizan, 2007), h. 244
51
setuju untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang bertugas menyelidiki dugaan penarikan dana Yanatera Bulog secara tidak sah oleh tukang pijat Presiden Abdurrahman Wahid sebesar Rp. 35 miliar dan penggelapan dana hibah Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei Darussalam sebesar 2 juta USD.20 Hal ini yang kemudian memicu 236 anggota DPR untuk mengajukan usul penggunaan hak mengadakan penyelidikan terhadap kedua kasus tersebut. Pansus yang dibentuk pada 5 September 2000 akhirnya memulai pekerjaannya pada 5 Januari 2001, dan memaparkan beberapa kesimpulan yaitu: a) Dalam kasus dana Yanatera Bulog, Pansus berpendapat: “patut diduga bahwa Presiden Abdurrahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog”; b) Dalam kasus dana bantuan Sultan Brunei Darussalam, Pansus berpendapat:
“adanya
inkonsistensi
pernyataan
Presiden
Abdurrahman Wahid tentang masalah bantuan Sultan Brunei, menunjukkan bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada masyarakat”.21 Atas kesimpulan tersebut, pada 1 Februari 2001, Paripurna DPR RI memutuskan:
20 21
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h 99
Kasus ini dikenal dengan sebutan Buloggate dan Bruneigate. Lihat: Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 100
52
a) Menerima
dan
menyetujui laporan
memutuskan
untuk
Memorandum
untuk
hasil kerja
ditindaklanjuti mengingatkan
dengan bahwa
Pansus
dan
menyampaikan
Presiden
K.
H.
Abdurrahman Wahid sungguh melanggar haluan negara, yaitu: 1) melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan, dan 2) melanggar
Ketetapan
MPR
RI
No.
XI/MPR/1998
tentang
penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; b) Hal-hal yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran hukum, menyerahkan persoalan ini untuk diproses berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.22 Badan Pekerja MPR harus mempersiapkan Sidang Istimewa setidaknya dalam waktu dua bulan setelah surat peringatan kedua disampaikan kepada Presiden, hal ini berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2000 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, sehingga jadwal Sidang Istimewa direncanakan berlangsung pada 1-7 Agustus 2001.23 Sidang Istimewa belum dilaksanakan, namun sudah terjadi konflik baru yang dipicu oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan mengangkat Chaerudin Ismail sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri)
menggantikan
Jenderal
22
Bimantoro.
DPR
Keputusan ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya keputusan DPR RI No. 33/DPRRI/III/2000-2001 tentang Penetapan Memorandum DPR RI kepada Presiden K. H. Abdurrahman Wahid. (Memorandum pertama). Lihat: Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 100 . 23
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h 102
53
menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid telah melanggar Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mensyaratkan adanya persetujuan DPR ketika Presiden mengangkat dan memberhentikan Kapolri.
Presiden Abdurrahman
Wahid berdalih bahwa Ketetapan tersebut belum berlaku efektif karena harus diatur lebih jauh dengan undang-undang, namun Pasal 12 Ketetapan tersebut menyatakan bahwa Ketetapan berlaku efektif sejak disahkan.
Munculnya
konflik
baru
ini
memicu
percepatan
penyelenggaraan Sidang Istimewa yang akhirnya berlangsung pada 2123 September 2001.24 Presiden
Abdurrahman
Wahid
dalam menanggapi
Sidang
Istimewa tersebut justru beranggapan bahwa forum tersebut adalah ilegal karena pelaksanaannya yang semakin dipercepat. Berdasarkan alasan inilah Presiden Abdurrahman Wahid menolak untuk hadir dan memberikan laporan pertanggungjawabannya dalam Sidang Istimewa tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid malah melakukan hal sebaliknya yaitu mengumumkan keadaan darurat sipil dalam bentuk sebuah maklumat Presiden yang menyatakan: a) Membubarkan MPR dan DPR Republik Indonesia;
24
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h 103
54
b) Mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dan membentuk Komisi Pemilihan Umum untuk mempersiapkan Pemilu dalam waktu satu tahun; dan c) Menyelamatkan gerakan reformasi total dari fraksi Orde Baru dengan cara membubarkan Partai Golkar sementara menunggu keputusan Mahkamah Agung.25 Atas maklumat tersebut, DPR meminta fatwa
dari Mahkamah
Agung yang kemudian menyatakan maklumat itu karena,
antara
lain,
Presiden
tidak
memiliki
inkonstitusional
kekuasaan
untuk
membubarkan MPR dan DPR; penyelenggaraan Pemilu adalah urusan lembaga
pembuat
undang-undang;
dan
kemungkinan
untuk
membubarkan Golkar adalah urusan pengadilan. 26 Pada 23 Juli 2001 MPR melakukan voting
untuk menolak
keabsahan maklumat Presiden Abdurrahman Wahid tersebut, dengan hasil 599 suara mendukung, 2 abstain, dan tidak ada satupun yang menolak. Selain persoalan maklumat, MPR juga memakai alasan ketidakhadiran Presiden Abdurrahman Wahid dalam Sidang Istimewa sebagai bentuk pelanggaran Haluan Negara, sehingga hal ini dipakai sebagai dasar hukum untuk meng-impeach Presiden Abdurrahman
25 26
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, antara Mitos dan Pembongkaran, h. 250
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, antara Mitos dan Pembongkaran, h. 251 lihat juga: Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h 102-103
55
Wahid. Keputusan ini dikukuhkan dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid.27 b. Setelah Amandemen UUD 1945 Mekanisme pemberhentian
terhadap
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden di tengah masa jabatannya telah diatur setelah amandemen UUD 1945. Pengaturan mengenai pemberhentian ini merupakan agenda untuk menyempurnakan
UUD
1945
sebelum
perubahan
atas
mekanisme
pemberhentian yang sarat akan kepentingan politik. UUD 1945 setelah perubahan mengatur bahwa sebelum Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan, terlebih dahulu harus dibawa kepada Mahkamah Konstitusi dalam upaya penegakan hukum dan purifikasi keputusan politik di DPR. Selanjutnya, MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 28 Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya apabila telah terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Setelah perubahan ketiga UUD 1945, MPR tidak lagi mengikuti doktrin supremasi parlemen yang menduduki MPR sebagai perwakilan 27 28
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, antara Mitos dan Pembongkaran, h.251
Muhammad Bahrul Ulum, Mekanisme Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945, (e-Jurnal Konstitusi Vol. 7), (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 141
56
seluruh rakyat Indonesia, yaitu supremasi konstitusi yang menjadikan konstitusi sebagai institusi tertinggi di Indonesia. MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. MPR bersidang sedikitnya dalam lima tahun di Ibu kota negara. Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak sementara itu, wewenang MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. 29 MPR dalam hal ini memiliki tugas yaitu menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR yang sebelumnya telah diajukan terebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi guna memutus pendapat DPR apakah Presiden melakukan pelanggaran hukum sebagaimana tercantum pada Pasal 7A dan Pasal 7B. Pengajuan ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Mahkamah Konstitusi wajib memutuskan pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permohonan DPR itu diajukan. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
29
Presiden
melakukan
pelanggaran
hukum,
maka
DPR
Harjono dan Maruar Siahaan, Mekanisme Impechment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, cet. I, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), h. 24
57
menyelenggarakan sidang
paripurna
kembali untuk
meneruskan
usul
pemberhentian ke MPR. Berkaitan dengan hal tersebut, MPR harus segera memutuskan melalui sidang paling lambat tiga puluh hari sejak usul tersebut diterima. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurangya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Secara ringkas proses pemberhentian di MPR dapat digambarkan sebagai berikut: a) MPR menggelar Sidang Paripurna untuk membahas Putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima putusan. b) Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan keterangan. c) Rapat paripurna MPR dengan kuorum sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dapat mengambil keputusan, yang mungkin berupa: 1) Ditolak, yang berarti Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diberhentikan dari jabatannya, atau
58
2) Diterima, dengan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, yang berarti Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir.30 2. Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Proses Pemberhentian Presiden di Indonesia Sebelum
perubahan
UUD
1945,
Pengaturan
tentang
pemberhentian Presiden tidak dibahas secara eksplisit dalam pasalpasalnya, baik mengenai lembaga negara mana yang berhak untuk melakukannya,
alasan-alasannya,
maupun
mengenai mekanismenya.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah terjadi dua kali proses pemberhentian Presiden, yaitu terhadap Presiden Soekarno (1967) dan Presiden Abdurrahman Wahid (2001).31 Dalam dua kali proses pemberhentian tersebut,
terdapat
beberapa hal yang dapat dikemukakan, diantaranya: 1. Dasar hukumnya adalah UUD 1945, khususnya penjelasan UUD 1945 juncto Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara; 2. Lembaga yang berwenang melakukan pemberhentian adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang meminta Majelis Permusyawaratan
30 Ahmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 186-187 31
Abdul Mukhtie Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 233
59
Rakyat (MPR) menyeleggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban
Presiden,
setelah
melalui
mekanisme
memorandum I dan II; 3. Lembaga yang berwenang memberhentikan Presiden adalah MPR dengan argumentasi bahwa MPR telah memilih Presiden, dan Presiden bertanggungjawab terhadap MPR; 4. Alasan untuk pemberhentian Presiden lebih bersifat politis, karena pertanggungjawaban mengenai pelaksanaan haluan negara dan ketetapan-ketetapan MPR ditolak; 5. Pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid masih menimbulkan pro dan kontra, karena ketidakjelasan pengkaidahan
dalam
UUD
1945
dan
instrumen
hukum
ketatanegaraan lainnya.32 Pasal-pasal ini tidak terdapat pernyataan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ketika perumusan Undang-Undang Dasar, namun hal ini bukan berarti Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan. Posisi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara pada saat itu dan Presiden merupakan mandataris MPR, maka Presiden yang dipilih oleh MPR harus tunduk patuh dan bertanggung jawab kepada MPR, sehingga dapat difahami bahwa MPR dapat meng-impeach Presiden setiap saat manakala Presiden tidak dapat
32
Abdul Mukhtie Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, h. 234-235
60
melaporkan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan pemerintahan negara di hadapan MPR. Mekanisme
pemberhentian
Presiden
yang
terdapat
dalam
ketetapan MPR tersebut diawali dari tugas DPR dalam mengawasi tindakan Presiden dalam melaksanakan haluan negara. Jika DPR menganggap Presiden telah melanggar haluan negara sebagaimana yang ditetapkan Undang-Undang Dasar maupun Ketetapan MPR, DPR dapat menyampaikan
memorandum
kepada
Presiden
atas
pelanggaran
tersebut. Dan bila Presiden tidak mengindahkan memorandum DPR tersebut, maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.33 Hubungan Presiden dengan MPR dengan posisi yang demikian, Presiden bergantung pada MPR. Hal inilah yang menjadi pemicu ketidakstabilan politik ketatanegaraan Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, yaitu seluruh persoalan dikembalikan kepada kekuasaan MPR yang memiliki kekuasaan tidak terbatas sehingga bagi seorang Presiden yang hendak mempertahankan kekuasaan, cukup dengan mempengaruhi dan diberhentikan
dan
menguasai MPR dilanggengkan
secara
politik
kekuasaannya,
agar
tidak
begitupun
sebaliknya.34
33
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.
34
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, h. 88-89
86
61
Berbeda dengan sebelum perubahan UUD 1945, mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diatur secara rinci dalam UUD NRI 1945. UUD mekanisme pemberhetian
NRI 1945 mengatur tentang
Presiden yang mengatur bahwa sebelum
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhetikan, terlebih dahulu harus dibawa kepada Mahkamah Konstitusi dalam upaya penegakan hukum dan
purifikasi
keputusan
politik
di
DPR.
Selanjutnya,
MPR
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 35 Setelah perubahan ketiga UUD 1945, MPR tidak lagi mengikuti doktrin supremasi palemen yang menduduki MPR sebagai perwakilan seluruh rakyat Indonesia, yaitu supremasi konstitusi yang menjadikan konstitusi sebagai institusi tertinggi di Indonesia. MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
MPR bersidang
sedikitnya dalam lima tahun di Ibu kota negara. Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak sementara itu, wewenang MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan memberhentikan
35
Muhammad Bahrul Ulum, Mekanisme Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut UUD 1945 (E-Journal Konstitusi Vol. 7), (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 141
62
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.36 MPR dalam hal ini memiliki tugas yaitu menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR yang sebelumnya telah diajukan terlebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi guna memutus pendapat DPR apakah Presiden melakukan pelanggaran hukum sebagaimana tercantum pada Pasal 7A dan dan Pasal 7b. Pengajuan ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Mahkamah Konstitusi wajib memutus pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permohonan DPR itu diajukan. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden
melakukan
pelanggaran
hukum,
maka
DPR
menyelenggarakan sidang paripurna kembali untuk meneruskan usul pemberhentian ke MPR. Berkaitan dengan hal tersebut, MPR harus segera memutuskan melalui sidang paling lambat tiga puluh hari sejak usul tersebut diterima. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurangya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir, setelah presiden
36
Harjono dan Maruar Siahaan, Mekanisme Impechment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, cet. I, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), h. 24
63
diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.37 Secara ringkas proses pemberhentian Presiden di MPR dapat digambarkan sebagai berikut: 1. MPR menggelar Sidang Paripurna untuk
membahas Putusan
Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR, selambatlambatnya 30 hari setelah menerima putusan. 2. Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan keterangan. 3. Rapat paripurna MPR dengan kuorum sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dapat mengambil keputusan, yang mungkin berupa: a. Ditolak, yang berarti Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diberhentikan dari jabatannya, atau b. Diterima, dengan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, yang berarti Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya sebelummasa jabatannya berakhir.38 B. Impeachment di Republik Islam Iran 1. Mekanisme Impeachment di Republik Islam Iran
37 Harjono dan Maruar Siahaan, Mekanisme Impechment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, h. 24 38
Ahmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 186-187
64
Imam Khumaini memperhatikan bahwa ada tiga fase perkembangan dalam sejarah Iran modern, yaitu: 1. Fase pertama adalah fase dimana yang berkuasa adalah dua orang Syah, yaitu Reza Syah Pahlevi dan Mohammed Reza Syah Pahlevi, terutama yang telah terjadi sebelum tahun 1963. Dalam kurun waktu ini telah terjadi suatu proses sekularisasi, karena kedua penguasa itu berusaha keras untuk mengadakan modernisasi di Iran dengan mempergunakan paradigma Barat. Apa yang dilakukan Khumaini saat itu adalah mengembangkan sikap oposisi terhadap proses sekularisasi itu dan menuntut agar para
ulama atau
Fuqaha
dikembalikan
kepada
kedudukan mereka sebagai orang-orang yang mengawasi apa yang terjadi di dalam majelis (parlemen) sesuai dengan Pasal 2 Konstitusi 1906-1909. Semua lembaga budaya yang terdapat di Iran harus berada di bawah pengawasan kaum Fuqaha itu. 2. Fase kedua terjadi ketika sedang hebat-hebatnya dilaksanakan Revolusi Putih itu antara 1963 dan 1979. Salah satu tujuan kebijakan Syah di kurun
waktu
ini
adalah
mengkonsolidasikan
kekuasaannya, terutama disintegrasi. makin
memperhebat
kampanyenya
pengaruh
Sebagai akibatnya, dalam menentang
dan
Khumaini perubahan-
perubahan sosial yang dilakukan Syah. Sebagai akibatnya dia ditahan, sedangkan para pengikutnya di berbagai kota besar ditindas dengan kejam. Para ulama menuntut agar Khumaini dibebaskan, sehingga pada akhirnya
dia
dibebaskan
kembali,
Akan
tetapi,
kebebasan
ini
65
menjadikan Khumaini lebih bersemangat dalam menentang pemerintah. Terutama, ketika itu, Syah memberikan kekebalan hukum kepada warga negara Amerika Serikat, sehingga oleh Khumaini hal ini dianggap merendahkan kedaulatan Iran. Karena kritikan itu, dia ditangkap kembali Oktober 1964. Dia dibuang ke luar negeri, mula-mulanya ke Turki, kemudian ke Irak. Dalam kurun waktu ini, Khumaini semakin khawatir melihat kian mantapnya kekuasaan pihak eksekutif dalam memerintah Iran yang Islam itu.
39
3. Fase ketiga adalah munculnya kekuasaan mutlak dari wilayatul faqih itu. Perkembangan di dalam negeri Iran yang penuh tantangan, telah menjadikan Khumaini meminta kekuasaan yang lebih mutlak lagi, sehingga tidak perlu lagi meminta persetujuan para ulama yang lain, tidak memerlukan referendum untuk menentukan persetujuan rakyat, dan juga bahkan tidak boleh ikut atau dihambat oleh konstitusi manapun. Kekuasaan tertinggi di Republik Islam Iran berada di tangan Imam/pemimpin spiritual. Semasa hidupnya, Ayatullah Khumaini selain berkedudukan sebagai Imam/pemimpin spiritual, juga sebagai wilayatul faqih atau vilayat-i faqih. Kekuasaan pemimpin tidak diperoleh melalui suatu pemilihan umum, tetapi melalui suatu aklamasi dari rakyat (popular acclamation). Ayatullah Khumaini, misalnya muncul sebagai penguasa
39
A. Rahman Zainuddin, Afadlal, dkk, Syi’ah dan Politik di Indonesia sebuah penelitian , Cet ke-1, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 2000), h.48
66
tertinggi
karena
dinilai
berhasil
memimpin
revolusi
Islam
yang
menggulingkan monarki Syah Iran dan membentuk sebuah republik Islam, sehingga Ayatullah Khumaini juga mendapat gelar sebagai “pemimpin Revolusi Islam Iran”.40 Dalam pasal 113 disebutkan, Presiden bertanggung jawab dalam penerapan UUD, pengaturan ketiga cabang kekuasaan negara,
dan
memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab Imam. Hal ini menunjukkan bahwa setelah imam atau pemimpin Revolusi Islam atau Dewan Pimpinan, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan Presiden. Presiden, berdasarkan pasal 114, dipilih untuk masa jabatan empat tahun, dan dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lagi secara berurutan.41 Secara teoritis, kandidat-kandidat presiden yang dicalonkan di Iran haruslah
terlebih
dahulu
disaring
oleh
rahbar
dan
majelis
mudarrisin sebelum nama mereka disiarkan oleh Dewan Pelindung Konstitusi.
Seorang
kandidat
presiden
harus
memenuhi
beberapa
persyaratan yang ditetapkan oleh konstitusi Iran seperti asli Iran, warga Negara
Iran,
memiliki kemampuan
administrasi dan
kepemimpinan,
memiliki masa lalu yang baik, beriman, dan teguh pada landasan Republik
40 Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 82 41
Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, h. 83.
67
Islam Iran dan mazhab resmi Negara. Setelah lulus seleksi, maka diumumkanlah kandidat dan ditetapkan sebagai calon presiden.42 Kemudian diadakanlah pemilihan umum yang diikuti oleh seluruh rakyat Iran untuk memilih presiden dari calon-calon tersebut. Calon yang mendapatkan suara mayoritas rakyat, maka ditetapkan sebagai presiden untuk masa jabatan empat tahun. Dan jika masa jabatannya telah habis, ia diperbolehkan mengikuti pemilihan presiden sekali lagi. Hal-hal tersebut di atas disebutkan secara eksplisit di dalam UUD Iran : “Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Dia secara berturut-turut diperbolehkan mengikuti mengikuti pemilihan kembali sekali lagi.” (UUD RII Pasal 114) “Presiden harus dipilih di antara tokoh agama dan politisi yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: asli Iran, warga negara Iran, memiliki kapasitas administrasi dan kepemimpinan, memiliki masa lalu yang baik, jujur, bertakwa, beriman, dan berpegang teguh pada landasan Republik Islam Iran dan mazhab resmi Negara.” (UUD RII Pasal 115) “Kandidat presiden akan secara resmi mengumumkan pencalonan mereka sebelum pergelaran pemilihan. Perlengkapan yang berhubungan dengan kebutuhan pemilihan presiden ditetapkan sesuai peraturan yang berlaku. (pasal 116)43
42
Candiki Repantu “Wilayah Al-Faqih Dalam Konstitusi Iran”. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari: https://abuthalib.wordpress.com/page/11/, Lihat UUD RII, Pasal 113 sebagai berikut : “Next to the Leader, the President shall be the highest official State authority who is responsible for the implementation of the Constitution and, as the Chief Executive, for the exercise of the executive powers, with the exception of those matters that directly relate to the Leader. (Pasal 113) 43
Candiki Repantu “Wilayah Al-Faqih Dalam Konstitusi Iran”. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari: https://abuthalib.wordpress.com/page/11/, Lihat UUD RII, Pasal 114 sebagai berikut : The President shall be elected by the direct vote of the people for a four-year term of office. His consecutive re-election shall be allowed only for one term. (Pasal 114). Dan lihat juga: Pasal 117 UUD Iran menyebutkan : “The President shall be elected by an absolute majority of votes cast. However, if in the first round none of the candidates secures such majority, a second round of elections shall be held on the Friday of the following week. Only two of the candidates, who secure the highest number of votes in the first round, shall participate in the second round. But in case one or more of such candidates wish to withdraw from the elections, two candidates from among the rest, who secured the highest number of votes in the first round, shall be introduced for election.” (Pasal 117).
68
Proses pemilihan umum yang dilangsungkan untuk menetapkan Presiden melalui suara terbanyak merupakan elemen penting demokrasi. Jika dalam putaran pertama tidak ada kandidat yang mendapatkan suara mayoritas, maka diadakan pemilihan putaran kedua. Hanya dua kandidat yang memiliki suara terbanyak pada putaran pertama yang berhak mengikuti pemilihan pada putaran kedua. Dan siapa yang memperoleh suara mayoritas maka ialah yang terpilih dan ditetapkan sebagai presiden. Sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, Presiden lazimnya bertanggung jawab kepada rakyat, yakni kepada parlemen yang juga dipilih rakyat. Akan tetapi, menurut pemahaman para bapak revolusi Islam Iran, di dalam sistem kepemimpinan Islam wewenang parlemen untuk meminta pertanggungjawaban Presiden bukan tidak terbatas. Pada akhirnya Presiden harus bertanggung jawab kepada imam, atau yang di dalam sistem ini disebut sebagai Wali faqih. Wali faqih, melalui Dewan Wali dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, bukan saja memiliki wewenang untuk mengesahkan atau tidak
mengesahkan calon Presiden,
ia sekaligus
berwenang untuk memecat Presiden dalam hal Presiden dianggap tidak kapabel, setelah mendapatkan rekomendasi Mahkamah Agung. Kekuasaan wali faqih dalam hal seperti ini pernah ditetapkan oleh Ayatullah Khumaini ketika ia memecat Abol Hasan Bani Sadr, Presiden saat itu. 44
44
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, Cet.1, (Bandung: Mizan, 2002), h.130
69
Abol Hassan Bani Sadr adalah Presiden Iran pertama yang dipilih oleh rakyat pasca Revolusi Islam Iran. Ia lahir di Tehran yang merupakan Ibu Kota Iran pada tanggal 22 Maret 1933. Aboul Hassan Bani Sadr atau dengan nama singkatnya Bani Sadr bekerjasama dengan Imam Khumaini dalam mendirikan Pemerintahan Islam Iran pasca Revolusi Iran tahun 1979 dan setelah tumbangnya Dinasti Pahlevi. Pada 1980 ia membentuk pemerintahan koalisi untuk memerintah Iran.45 Terjadi hal yang menarik pada saat perang antara Iran dan Irak pasca revolusi 1979, yaitu telah terjadi skandal antara para petinggi Amerika Serikat dan Iran, yang dalam skandal ini memuat perjanjian pertukaran sandera dan senjata, dan tetap menyandera sisanya selama pemilu berlangsung untuk merendahkan Carter dan memenangkan Reagan ketika itu, akhirnya sandera dibebaskan pada 20 Januari 1981, hari dimana pelantikan Reagan berlangsung.46 Bani Sadr memulai masa jabatannya pada 4 Februari 1980, 47 kemenangannya dalam pemilihan umum yang secara langsung dipilih langsung oleh rakyat Iran, namun Imam Khumaini dan beberapa ulama dari awal tidak memilih kepada Bani Sadr. Bahkan dalam keterangannnya
45
Wikipedia Bahasa Indonesia. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Abolhassan_Banisadr. 46 47
Amy Goodman & David Goodman, Perang Demi Uang, (Bandung, Mizan, 2005), h. 20
Wikipedia Bahasa Indonesia. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Abolhassan_Banisadr.
70
terhadap kawannya
Imam Khumaini mengatakan bahwa ia sudah salah
karena Ia telah melantiknya sebagai Presiden. 48 Bani Sadr dalam menjalankan jabatannya sebagai Presiden
tidak
berjalan dengan mulus, pasalnya masa jabatannya ditandai dengan krisis terhadap Amerika Serikat dan serangan Irak ke Iran. Bani Sadr mendapat dakwaan pada 21 Juni 1981 oleh Parlemen Iran karena gerakannya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemecatan/ impeachment terhadap Presiden Bani Sadr oleh Imam Khumaini sebagai Pemimpin Tertinggi Iran. Pemecatan secara langsung oleh Imam Khumaini terhadap Presiden Bani Sadr, karena berbagai dakwaan yang dituduhkan kepada Presiden Bani Sadr, yaitu: 1) Bani Sadr merupakan seorang pengkhianat di Iran karena telah bersekutu dengan Amerika Serikat 2) Tidak mendengarkan ucapan dan nasihat imam Khumaini untuk memisahkan kelompok yang fasid dengan kaum mujahidin Iran. 3) Tidak memberikan senjata kepada para pembela Islam. 4) Bani Sadr dianggap melakukan perlawanan terhadap para ulama. 5) Telah melakukan kebohongan besar. 49
48
Abi Tanah Bumbu Batulicin. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari: http://dpdabitanahbumbu.blogspot.co.id/2014/10/menelisik-sikap-imam-khomeini-terhadap.html. Lihat pula sumber aslinya: Penuturan Almarhum Hujjatul Islam Sayid Ahmad Khomeini, anak Imam Khomeini ra, Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, Cet. 6, (Tehran: Moasseseh Nashr-e Panjereh, 1387), dan lihat juga: http://indonesian.irib.ir/islam/hikayat/item/85077-menelisik-sikap-imam-khomeini-terhadap-banisadr 49 Abi Tanah Bumbu Batulicin. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari: http://dpdabitanahbumbu.blogspot.co.id/2014/10/menelisik-sikap-imam-khomeini-terhadap.html. Lihat pula sumber aslinya: Penuturan Almarhum Hujjatul Islam Sayid Ahmad Khomeini, anak
71
Berdasarkan hal tersebut di atas, Imam Khumaini memecatnya dari jabatan sebagai Panglima tertinggi seluruh angkatan bersenjata
lalu
menandatangani keputusan parlemen. 2. Kewenangan Wilayatul Faqih dalam Proses Impeachment di Iran Kepemimpinan tertinggi di negara Iran dipegang oleh seorang Wali Faqih atau ulama yang memiliki kriteria tertentu, diantaranya; memiliki integritas dan kesucian akhlak yang dibutuhkan untuk memimpin umat Islam, memiliki keilmuan yang mampu memberikan fatwa dalam urusan agama, memiliki visi politik dan sosial, kebijaksanaan dan keberanian, kemampuan administrasi dan kemampuan yang memadai. 50 Republik Islam Iran memiliki sistem pemerintahan yang berasaskan konstitusi yang dinamakan dengan “Qanun-e Asasi”(Undang-Undang Dasar). Republik Islam Iran sebagaimana yang tercantum dalam konstitusinya adalah negara Syiah modern karena konstitusinya mengacu pada konsep wilayah alfaqih Imam Khumaini. Pada bagian Mukaddimah konstitusi tersebut tertulis bahwa “rencana pemerintahan Islam yang berdasarkan wilayah al-faqih yang disarankan oleh Imam Khumaini” dan dinyatakan bahwa:
Imam Khomeini ra, Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, Cet. 6, (Tehran: Moasseseh Nashr-e Panjereh, 1387), dan lihat juga: http://indonesian.irib.ir/islam/hikayat/item/85077-menelisik-sikap-imam-khomeini-terhadap-banisadr
50
A. Rahman Zainuddin, Afadlal, dkk, Syi’ah dan Politik di Indonesia sebuah penelitian, Cet ke-1, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 2000), h. 62, lihat pula Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, terjemahan Muhammad Anis Maulachela, Cet ke-1, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), 56
72
“Berdasarkan prinsip-prinsip wilayah al-amr dan kepemimpinan yang terus-menerus (Imamah). Konstitusi tersebut harus mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan bagi seorang Faqih yang memenuhi persyaratan dan diakui sebagai pemimpin oleh rakyat”. Rumusan tersebut menyatakan bahwa peran ulama yang memegang tampuk
kekuasaan
diidentifikasi sebagai
wilayah
al-amr
dan
jabatan
tertingginya sebagai “kepemimpinan”.51 Sebagai suatu aturan umum, seseorang agar bisa terpilih untuk memegang kedudukan ini, dan untuk menjadi representasi tertinggi dari pemerintahan Islam, semestinya mempunyai syarat-syarat berikut52 : a.
Ia harus orang yang saleh dan mempunyai berbagai kualitas penting untuk menjadi mujtahid mutlak, yakni seorang mujtahid peringkat pertama yang sepenuhnya berkompeten untuk menguraikan hukum secara terperinci, dan sampai kepada keputusan-keputusan mandiri dalam persoalan ini.
b.
Kecenderungan pemikirannya seperti yang diturunkan dari tulisan-tulisan dan
diskusi-diskusinya,
haruslah
menampakkan
bahwa
ia
memiliki
keyakinan yang kokoh terhadap pemerintahan Islam dan menyadari pentingnya membela pemerintahan Islam. c.
Otoritas keagamaannya harus diterima dan diakui sesuai dengan tradisitradisi Syi’ah sepanjang sejarah.
51
Didin Saefuddin, Biografi Intelektual 17 Tokoh Pemikiran Modern dan Posmodern Islam, (Jakarta: Grasindo, 2003), h. 124-126 52 Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Lentera, 2001), Cet ke-1, h. 106-109.
73
d.
Dia harus memberi dukungan kepada mayortitas anggota-anggota dewan konsultatif wilayatul faqih. Di samping itu, sejumlah “para pelayan agama” (religious workers) yang jumlahnya ditentukan dalam konstitusi, seperti para ulama, pelajar-pelajar pusat keagamaan, imam shalat berjamaah, para khatib,
dan
pemikir-pemikir
Islam
harus
mendukung
syarat-syarat
keterpilihannya. e.
Sebagaimana
telah
disebutkan
sebelumnya,
orang-orang
tersebut
merupakan para wakil yang sah dari pemerintahan Islam. Secara hukum, mereka mempunyai hak-hak yang sama dalam persoalan ini. Setiap individu mempunyai hak memilih dan mengambil bagian dalam berbagai aktivitas politik.
Mereka
juga
bebas
menjalankan
upacara-upacara
kegamaan mereka. Adalah tugas pemerintah guna memberikan kebebasan yang serupa kepada penduduk non-Muslim yang setia kepada pemerintah, dan bekerja sama dengannya dalam kerangka doktrin yang umum. 53 Dewan pimpinan yang terdiri dari para Fuqaha (bentuk jamak dari Faqih) yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas akan memegang tanggung jawab itu. Sementara dalam pasal 107 disebutkan jika seseorang ahli agama memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal 5 sebagaimana halnya otoritas keagamaan yang menonjol (Marja’i) dan pemimpin Revolusi Ayatullah
53 Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, h. 106-109. Lihat pula: Humas Kedutaan Besar Republik Islam Iran Undang-Undang Republik Islam Iran, (Jakarta: Humas Keduataan Besar RII, tt), h. 62, di dalamnya menjelaskan tentang Persyaratan dan kualifikasi utama pemimpin: a) Keilmuan, sebagaimana yang dituntut bagi tugas -tugas mufti (pemeberi fatwa) dalam berbagai bidang fiqih. b) Adil, fatwa, sebagaimana yang dituntut bagi kepemimpinan Umat Islam. c) Berwawasan politik dan sosial, bijaksana, berani, mampu dalam pemerintahan, dan ca kap dalam kepemimpinan.
74
al-‘Uzma Imam Khumaini. Pemimpin ini berkedudukan wilayatul faqih apabila tidak demikian halnya maka tiga atau lima Marja’i yang memenuhi syaratsyarat kepemimpinan akan dipilih untuk jabatan anggota dewan pimpinan dan akan diperkenalkan kepada rakyat.54 Syarat tersebut terdapat dalam pasal 109. Setelah imam atau pemimpin Revolusi Islam atau Dewan Pimpinan, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan Presiden. Dalam pasal 113 disebutkan, Presiden bertanggung jawab dalam penerapan UUD, pengaturan ketiga cabang kekuasaan negara, dan memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab Imam. Presiden, berdasarkan pasal 114, dipilih untuk masa jabatan empat tahun, dan dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lagi secara berurutan. 55 Sebagai pemimpin
yang
dipilih
oleh
rakyat,
Presiden
lazimnya
bertanggung jawab kepada rakyat, yakni kepada parlemen yang juga dipilih rakyat. Akan tetapi, menurut pemahaman para bapak Revolusi Islam Iran, di dalam sistem kepemimpinan Islam wewenang parlemen untuk
meminta
pertanggungjawaban Presiden bukan tidak terbatas. Pada akhirnya Presiden harus bertanggung jawab kepada imam, atau yang di dalam sistem ini disebut sebagai Wali faqih.
Wali faqih,
melalui Dewan
Wali dalam sistem
pemerintahan Republik Islam Iran, bukan saja memiliki wewenang untuk
54 Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khumaini, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 81 55
Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khumaini, h. 83
75
mengesahkan atau tidak mengesahkan calon presiden, ia sekaligus berwenang untuk memecat Presiden dalam hal Presiden dianggap tidak kapabel, setelah mendapatkan rekomendasi Mahkamah Agung. Kekuasaan Wali Faqih dalam hal seperti ini pernah ditetapkan oleh Ayatullah Khumaini ketika ia memecat Abol Hasan Bani Sadr, p#residen saat itu.56 Sistem ketatanegaraan Iran memang unik. Letak keunikannya terutama pada peran yang dibuat Ayatullah Khumaini untuk dirinya sendiri. Ia menjadikan dirinya di puncak piramida politik sebagai faqih atau pemimpin tertinggi. Dia berdiri di atas segala bentuk ketegangan politik, sebagai arbitrase final di mana ucapannya adalah hukum. Khumaini telah membangun doktrin mengenai pemerintahan faqih (ahli hukum) bertahun-tahun sebelum revolusi dalam kuliah-kuliah dan tulisan-tulisan seminarnya. Jika tidak ada penguasa yang adil, atau imam, doktrin Syi’ah mengajarkan bahwa masyarakat Muslim dibimbing oleh hukum Islam melalui para ahlinya, yaitu faqih. Khumaini berkata, “Kami tidak mengatakan bahwa pemerintahan harus diserahkan ke tangan faqih, tetapi bahwa pemerintahan harus diselenggarakan sesuai hukum Allah karena kesejahteraan negara dan rakyat membutuhkannya, dan itu tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan pengawasan para pemimpin agama.” Namun,
tambah Khumaini “adalah fakta yang tak
terbantahkan bahwa Faqih lebih berwenang daripada penguasa” kekuasaan sentralistik Faqih yang tak lain adalah Khumaini sendiri, diabadikan dalam
56
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khumaini Filsafat Politik Islam, Cet. Ke-1, (Bandung:
Mizan, 2002), h. 130
76
konstitusi Iran. Faqih akan dibantu oleh Dewan Pelindung (Council of Guardians) beranggotakan dua belas ahli hukum, enam dipilih Khumaini dan lainnya parlemen.57 Dewan ini bertugas mengawasi pemilihan Presiden dan parlemen, menafsirkan konstitusi, dan memastikan kesesuaian antara setiap perundangundangan dengan hukum dan konstitusi Islam. Wewenangnya termuat dalam konstitusi Iran pasal 96, yang menyatakan Dewan Pelindung mempunyai hak veto atas semua undang-undang yang lolos dari parlemen. Tentu, sistem ketatanegaraan seperti ini menguntungkan kubu konservatif, karena mereka mendominasi Dewan ini.58 Wilayatul faqih menurut pasal 110 konstitusi 1979 memberi tugas dan kekuasaan
untuk
merujuk
fuqaha
pada
Dewan
Perwalian,
wewenang
pengadilan yang tertinggi, untuk mengangkat dan memberhentikan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan pasukan pengawal Revolusi Islam, untuk menyatakan keadaan perang dan damai, untuk menyetujui kelayakan caloncalon Presiden dan untuk memberhentikan Presiden Republik Islam Iran berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara.
59
Penjelasan di atas menjelaskan bahwa Wilayatul Faqih memiliki kewenangan tertinggi untuk
mengangkat
dan
memberhentikan
Presiden,
57
Mun’im A. Sirry, Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim dalam Transisi Indonesia, Cet-ke-1, (Bekasi: Gugus Press, 2002), h. 65 58 Humas Kedutaan Besar RII, Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran,(Jakarta: Humas Keduataan Besar RII), h. 56 59
Humas Kedutaan Besar RII, Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran, h. 62
77
bahkan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan pasukan pengawal Revolusi Islam, namun berdasarkan konstitusi dan kepentingan negara bukan karena kesewenang-wenangan. Presiden diberhentikan dan/atau dipecat oleh Wali Faqih bukan tanpa dasar dan alasan, namun sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 131 UndangUndang Republik Islam Iran yaitu: “Dalam hal kematian, pemecatan, pengunduran diri, tidak adanya, atau penyakit yang berlangsung lebih dari dua bulan Presiden, atau ketika masa jabatannya telah berakhir dan presiden baru belum terpilih karena beberapa hambatan, atau keadaan lain yang serupa, pertama wakil akan berasumsi, dengan persetujuan Pemimpin, kewenangan dan fungsi Presiden. Dewan, yang terdiri dari Ketua Majelis Permusyawaratan Islam, kepala, dari kekuasaan kehakiman, dan wakil pertama dari Presiden, wajib mengatur presiden baru yang terpilih dalam jangka waktu maksimum lima puluh hari. Dalam hal kematian dari wakil pertama kepada Presiden, atau hal - hal lain yang mencegah dia untuk melakukan tugasnya, atau ketika Presiden tidak memiliki wakil pertama, Pemimpin harus menunjuk orang lain menggantikan dia.” (UUD RII Pasal 115) Selain Pasal 131 dijelaskan pula pada Pasal 115 dan Pasal 140 yang berbunyi: “Presiden harus dipilih di antara tokoh agama dan politisi yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: asli Iran, warga negara Iran, memiliki kapasitas administrasi dan kepemimpinan, memiliki masa lalu yang baik, jujur, bertakwa, beriman, dan berpegang teguh pada landasan Republik Islam Iran dan mazhab resmi Negara.” (UUD RII Pasal 115) “Tuduhan kejahatan umum terhadap Presiden, wakilnya, dan para menteri akan diselidiki di pengadilan umum dari keadilan dengan pengetahuan 'Majelis Permusy awaratan Islam.” (UUD RII Pasal 140) Hal ini menjelaskan bahwa jika Presiden telah tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden, Presiden diharuskan untuk mengundurkan diri dan atau diberhentikan langsung oleh Wali Fakih melalui pengadilan umum yang diketahui oleh majelis Permusywaratan Islam.
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KETENTUAN IMPEACHMENT TERHADAP PRESIDEN DI INDONESIA DAN IRAN A. Alasan yang Dijadikan Dasar Impeachment Presiden Di Indonesia dan Iran Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa terdapat berbagai alasan yang menyebabkan Presiden diberhentikan atau Presiden mengalami proses impeachment baik di Indonesia maupun di Iran. Mengenai alasan-alasan yang terdapat dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 7A yang digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dari jabatannya adalah: 1. Presiden melakukan peanggaran hukum berupa: a. Melakukan penghianatan terhadap negara b. Melakukan praktek korupsi c. Melakukan penyuapan d. Melakukan Tindak pidana berat lainnya, atau e. Melakukan Perbuatan tercela 2. Presiden terbukti telah tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden. Penjelasan mengenai pelanggaran hukum tersebut sejalan dengan pasal (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran hukum tersebut adalah 1. Penghianatan terhadap negara adalah tindak pidana terrhadap keamanan negara sebagaimana yang diatur dalam undang-undang
78
79
2. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang 3. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih 4. Perbuatan tercela adalah perbuaatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden 5. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UUD NRI. Adapun alasan-alasan yang dapat memberhentikan Presiden di Iran adalah Presiden telah melanggar Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran dan telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden sebagaimana yang tercantum dalam beberapa Pasal diantaranya adalah Pasal 115, Pasal 121, Pasal 132, dan Pasal 140. Pasal 115 menjelaskan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang Presiden di Iran diantaranya Presiden adalah orang yang memiliki kepribadian agama dan politik yang baik, harus berasal dari negara Iran; harus berkebangsaan Iran; memiliki kapasitas administratif dan akal yang sehat; memiliki latar belakang baik pada masa lalu (catatan; kepercayaan dan kesalehan; keyakinan terhadap prinsip- prinsip mendasar dari Republik Islam Iran dan madzhab resmi negara). Selain itu,
Presiden tidak
boleh melanggar
sumpah
jabatannya
sebagaimana yang telah diucapkan di hadapan Majelis Permusyawaratan Islam, kepala kekuasaan kehakiman dan anggota Dewan Garda. Adapun isi
80
sumpahnya terdapat dalam Pasal 121 yang mencakup tugas untuk terus menjaga agama resmi negara, mengabdikan diri untuk melayani rakyat, menghormati negara, melakukan penyebaran agama Islam
dan menjaga moralitas umat,
mendukung kepada kebenaran dan keadilan, menahan
diri dari setiap jenis
perilaku sewenang-wenang, dan tidak melakukan kemusyrikan dalam menjaga perbatasan dan kemerdekaan politik, ekonomi, dan budaya.
B. Lembaga yang Berwenang Melakukan Impeachment Di Indonesia dan Iran 1. Lembaga yang Berwenang di Indonesia Di
Indonesia,
lembaga
yang
berwenang
dalam
proses
pemberhentian Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. a. Dewan Perwakilan Rakyat Dewan perwakilan rakyat adalah lembaga perrwakilan yang anggotanya
dipilih
melalui
kekuasaan membentuk
pemilihan
undang-undang.
umum. Setiap
DPR
memegang
rancangan undang-
undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Selain itu, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan menyampaikan usul dan Pendapat serta hak
81
imunitas. Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undangundang.1 b. Mahkamah Konstitusi Eksistensi Mahkamah Konstitusi di Indonesia dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.2 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.3 Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden. Hakim mahkamah konstitusi harus memiliki integritas
1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012), h. 136-140. 2 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, h. 151. 3
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, h. 152.
82
dan kepribadian tidak
tercela, adil,
negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.4 c. Majelis Permusyawaratan Rakyat Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melelui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota negara, segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. Sementara itu, wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, melantik dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. 5 Tugas DPR, Mahkamah Konstitusi dan MPR dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 7B bahwa MPR dalam hal ini memiliki tugas yaitu menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR yang sebelumnya telah diajukan terlebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi guna memutus pendapat DPR apakah Presiden melakukan pelanggaran hukum sebagaimana tercantum pada Pasal 7A dan Pasal 7B. Pengajuan ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan
4 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, h. 152. 5
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, h. 118-119.
83
sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Mahkamah Konstitusi wajib memutuskan pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permohonan DPR itu diajukan. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden
melakukan
menyelenggarakan sidang
pelanggaran
paripurna
hukum,
kembali untuk
maka
DPR
meneruskan
usul
pemberhentian ke MPR. Berkaitan dengan hal tersebut, MPR harus segera memutuskan melalui sidang paling lambat tiga puluh hari sejak usul tersebut diterima. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurangya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Kapanpun Presiden dan/atau Wakil Presiden Indonesia dapat diberhentikan apabila sudah tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dan terbukti telah melanggar Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan undang-undang di bawah Konstitusi. Namun sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum, penulis melihat keputusan final berada di tangan MPR bukan berada pada Mahkamah konstitusi. hal inilah yang menyebabkan kerancuan mengapa Indonesia mengatasnamakan negara hukum namun dalam hal mengambil keputusan akhir dalam memberhentikan Presiden/dan atau Wakil Presiden berada di tangan MPR
84
yang jelas-jelas memiliki unsur politis. Jika Indonesia memang menerapkan sepenuhnya prinsip negara hukum yang salah satunya adalah memegang teguh supremasi hukum maka hukumlah yang lebih kuat bukan unsur politik, dan independensi hakim Mahkamah Konstitusilah yang menjadi acuan dalam memutuskan apakah Presiden/dan atau Wakil Presiden layak diberhentikan atau tidak. 2. Lembaga yang Berwenang di Iran Adapun
lembaga
yang
berwenang
di
Iran
dalam
proses
pemberhentian Presiden adalah Parlemen, pengadilan umum yang dalam hal ini adalah Mahkamah Agung, Majelis Permusyawaratan Islam dan Wali Faqih. 1. Wilayatul Faqih Wilayatul Faqih menurut pasal 110 konstitusi 1979 memberi tugas dan kekuasaan untuk merujuk fuqaha pada Dewan Perwalian, wewenang
pengadilan
yang
tertinggi,
untuk
mengangkat
dan
memberhentikan panglima tertinggi angkatan bersenjata dan pasukan pengawal revolusi Islam, untuk menyatakan keadaan perang dan damai, untuk
menyetujui
kelayakan
calon-calon
presiden
dan
untuk
memberhentikan Presiden Republik Islam Iran berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara.
6
6
Humas Kedutaan Besar RII, Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran, h. 62.
85
Singkatnya wilayatul faqih adalah konsep pemerintahan Imam Khumaini yang dipimpin oleh seorang faqih untuk mengurusi umat baik dalam permasalahan keagamaan
maupun sosial-politik
di tengah
ghaibnya imam kedua belas. Struktur politik negara harus di bawah faqih, selebihnya jabatan yang diserahkan kepada ahlinya, tetap fuqaha menjadi pertimbangan, meskipun nilainya bergantung pada seberapa besar jabatan tersebut berhubungan dengan keperluan penafsiran syariah.7 2. Mahkamah Agung Mahkamah pelaksanaan
Agung
hukum-hukum
dibentuk oleh
untuk
pengadilan,
tujuan
mengawasi
dan
memastikan
keseragaman prosedur peradilan, dan memenuhi setiap tanggung jawab lain yang ditugaskan oleh hukum, berdasarkan peraturan yang akan ditetapkan oleh kepala dari cabang yudisial. Kepala Mahkamah Agung dan Jaksa Agung harus merupakan seorang mujtahid berpengalaman dalam urusan peradilan. Mereka akan dicalonkan oleh kepala cabang peradilan untuk jangka waktu lima tahun, melalui konsultasi
dengan
para hakim dari Mahkamah Agung. 8
7
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, h. 118.
8
Pasal 162 sampai dengan Pasal 75 UUD Republik Islam Iran tentang Mahkamah Agung
86
3. Majelis Permusyawaratan Islam Majelis konsultatif Islam dibentuk oleh wakil rakyat dipilih secara langsung melalui pemilihan rahasia. Kualifikasi pemilih dan kandidat, serta sifat pemilu, akan ditentukan oleh hukum. Ada dua ratus tujuh puluh anggota Majelis Permusyawaratan Islam. Cara pemilihan Ketua dan Dewan Ketua Majelis, jumlah komite dan masa jabatannya, dan hal yang terkait dengan melakukan diskusi dan mempertahankan kedisiplinan Majelis akan ditentukan oleh kode prosedur Majelis.9
Penjelasan ini sesuai dengan bunyi Pasal 140 dan Pasal 113. Wali faqih, melalui Dewan Wali dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, bukan
saja
memiliki
wewenang
untuk
mengesahkan
atau
tidak
mengesahkan calon Presiden, ia sekaligus berwenang untuk memecat Presiden dalam hal Presiden dianggap tidak kapabel, setelah mendapatkan rekomendasi Mahkamah Agung. C. Persamaan dan Perbedaan Mekanisme Impeachment Pembahasan mengenai ketentuan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden harus berpijak pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya supaya dapat ditemukan dasar hukum yang kuat. Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia dan Iran sangatlah berbeda, meski dari sejarah ketatanegaraan masing-masing pernah mencatat ada
9
Pasal 62 sampai dengan Pasal 70 UUD Republik Islam Iran tentang Majelis Permusyawaratan Islam.
87
kesamaan. Namun, jika dilihat dari sistem pemerintahan Indonesia dengan Iran sangatlah jauh berbeda. Indonesia menerapkan sistem presidensiil dan Iran menerapkan sistem parlementer. Indonesia menempatkan Presiden sebagai kepala negara (Head of State) dan sekaligus kepala pemerintahan, namun Iran menempatkan Wali Faqih yaitu imam tertinggi di Iran sebagai kepala negara dan menempatkan Presiden yaitu Panglima Tertinggi seluruh Angkatan Bersenjata sebagai kepala pemerintahan (Head of Government) yang diatur dalam mekanisme check and balances system. Sesuai dengan kewenangannya Presiden Indonesia dan Presiden di Iran memiliki kewenangan dan kedudukan yang berbeda. Presiden di Indonesia dalam hal ini yaitu setelah amandemen UUD 1945 memiliki posisi yang sejajar dengan MPR, DPR dan lembaga yudikatif yaitu MA dan MK. Maka berdasarkan hal inilah Presiden tidak berhak diturunkan oleh MPR secara langsung karena Presiden bukanlah sebagai mandataris MPR sebagaimana kedudukan Presiden pada masa Soekarno, melainkan Presiden memiliki kedudukan sejajar dengan MPR. Maka dalam proses pengangkatannyapun Presiden dipilih melalui pemilihan umum dan penurunannya
diwakilkan
melalui DPR yang diajukan ke MK lalu berakhir keputusannya di tangan MPR sebagaimana yang telah dibahas dalam bab sebelumnya. Berbeda dengan Iran, Presiden di Iran memiliki kedudukan di bawah Wali Faqih yang mana kedudukan Wali Faqih merupakan Imam tertinggi di negara Iran yang memiliki kekuasaan penuh untuk menurunkan Presiden dari jabatannya. Meski dalam pemilihannya Presiden dipilih langsung
oleh rakyat
88
Iran, namun yang menentukan kriteria Presiden adalah konstitusi Iran yang disusun oleh Ulama terdahulu dalam menyusun konstitusi Republik Islam Iran Pasca Revolusi 1979. Selain itu, Imam tertinggi yang dalam hal ini adalah Wali Faqih memiliki wewenang untuk memecat secara langsung Presiden apabila telah menyalahi aturan yang berlaku dalam hal ini adalah Konstitusi Republik Islam Iran. 1. Persamaan Mekanisme impeachment Indonesia dan Iran Pada dasarnya kedua negara ini memiliki persamaan dan perbedaan dalam konsep impeachment. persamaannya adalah: a. Pengaturan mekanisme impeachment terdapat dalam konstitusi negara. pengaturan impeachment di Indonesia terdapat dalam Pasal 7A dan 7B adapun pengaturan mengenai impeachment di Iran terdapat dalam Pasal 140. b. Berdasarkan
pengalaman
kedua
negara
tersebut
terdapat
unsur
kesadaran diantara para politisi bahwa impeachment merupakan alat sekaligus mekanisme untuk mengontrol terhadap kekuasaan eksekutif negara agar tidak bertindak sewenang-wenang. c. Proses impeachment yang dilangsungkan baik yang terjadi kepada Presiden Soekarno, Presiden Abdurrahman Wahid di Indonesia maupun Presiden Aboul Hasan Bani Sadr di Iran, terdapat sebuah kesimpulan bahwa proses impeachment selalu diliputi oleh persaingan dan perselisihan politik diantara para politisi dengan penguasa eksekutif.
89
Dalam persamaan di atas hal yang paling mendasar adalah alasan politiklah yang dapat dianalogikan sebagai alasan hukum untuk melakukan impeachment terhadap Presiden. 2. Perbedaan Mekanisme impeachment Indonesia dan Iran Indonesia dan Iran memiliki poin perbedaan dalam mekanisme impeachment, diantaranya: a. Konstitusi Indonesia atau UUD 1945 dalam penyusunannya disusun dalam kondisi darurat. Karenanya UUD 1945 merupakan konstitusi terpendek dari negara-negara lain meskipun sudah mengalami empat kali perubahan. UUD 1945 menyatakan bentuk negaranya adalah Republik yang menganut sistem demokrasi yang dijabarkan pada pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 tentang kedaulatan berada di tangan rakyat. b. Konstitusi Iran atau UUD RII dalam penyusunannya mengalami perdebatan panjang karena antara Imam Khumaini dan para ulama lain yang mendukung demokrasi berselisih faham pada penamaan negara dan ajaran yang dianutnya. Iran dalam konstitusinya menyatakan bahwa bentuk negaranya adalah Republik Islam Iran, mengakui kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan dan memadu-padankan antara keduanya. c. UUD 1945 Mengatur secara rinci bagaimana proses impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dicantumkan secara eksplisit dalam Pasal 7A dan Pasal 7B meskipun demikian terdapat ketidakjelasan konsep impeachment dalam UUD 1945 menimbulkan perdebatan
penafsiran
yang
secara
mudah
dimanipulasi
untuk
90
kepentingan
politik
kelompok
atau
individu
tertentu.
sedangkan
Konstitusi Iran hanya menyebutkan bahwa kewenangan Wali Faqih adalah memecat Presiden jika Presiden terbukti melanggar konstitusi namun dalam hal ini Wali Faqih melakukan pemecatan apabila sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Agung setelah melalui pengadilan umum yang diketahui oleh Majelis Permusyawaratan Islam.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dengan penjabaran yang telah penulis paparkan pada babbab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut: 1. Mekanisme impeachment di Indonesia memiliki beberapa perbedaan sebelum dan sesudah amandemen yang disesuaikan dengan kedudukan dan kewenangan Presiden pada masa itu, yakni sebelum perubahan UUD 1945 dan sesudah perubahan UUD 1945. Mekanisme impeachment pada masa sebelum perubahan UUD 1945 tidak diatur secara rinci dalam UUD namun berkaitan dengan kedudukan Presiden sebagai mandataris MPR, maka MPR berhak untuk menurunkan Presiden berdasarkan Sidang Istimewa dengan alasan Presiden telah melanggar Haluan Negara. Setelah perubahan UUD 1945 yaitu amandemen keempat, mekanisme impeachment diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 yaitu terdapat dalam Pasal 7A dan 7B. Adapun mekanisme impeachment di Iran yaitu setelah adanya Revolusi besarbesaran tahun 1979,
Imam Khumaini dengan para ulama
lainnya
merumuskan konstitusi negara Iran yang memuat didalamnya kewenangan Wali Faqih sebagai Pemimpin tertinggi negara Iran memiliki kewenangan untuk memecat atau meng-impeach Presiden apabila Presiden terbukti melanggar konstitusi dan ajaran Islam. 2. Secara ringkas proses impeachment di MPR dapat digambarkan sebagai berikut: a). MPR menggelar Sidang Paripurna untuk membahas Putusan
91
92
Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR,
selambat-
lambatnya 30 hari setelah menerima putusan. b). Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan keterangan. c). Rapat paripurna MPR dengan kuorum sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dapat mengambil keputusan, yang mungkin berupa: Ditolak, yang berarti Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diberhentikan dari jabatannya, atau Diterima, dengan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, yang berarti Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir. Adapun kewenangan Wali Faqih dalam mekanisme impeachment Presiden di Iran memang tidak disebutkan secara rinci di dalam konstitusi namun menurut pasal 110 konstitusi 1979 memberi tugas dan kekuasaan untuk merujuk fuqaha pada Dewan Perwalian, wewenang pengadilan yang tertinggi, untuk mengangkat dan memberhentikan panglima tertinggi angkatan bersenjata dan pasukan pengawal Revolusi Islam, untuk menyatakan keadaan perang dan damai, untuk
menyetujui
kelayakan
calon-calon
presiden
dan
untuk
memberhentikan presiden Republik Islam Iran berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara. 3. Pada dasarnya kedua negara ini memiliki persamaan dan perbedaan dalam konsep impeachment. Persamaannya adalah: a). Pengaturan mekanisme impeachment terdapat dalam konstitusi negara. b). Berdasarkan pengalaman kedua negara tersebut terdapat unsur kesadaran diantara para politisi bahwa impeachment merupakan alat sekaligus mekanisme untuk mengontrol
93
terhadap kekuasaan eksekutif negara. c). Proses impeachment yang dilangsungkan baik yang terjadi kepada Presiden Soekarno, Presiden Abdurrahman Wahid di Indonesia maupun Presiden Abol Hasan Bani Sadr di Iran, terdapat sebuah kesimpulan bahwa proses impeachment selalu diliputi oleh persaingan dan perselisihan politik diantara para politisi dengan penguasa eksekutif. Hal yang paling mendasar dalam persamaan di atas adalah alasan politiklah yang dapat dianalogikan sebagai alasan hukum untuk mengimpeach seorang Presiden. Indonesia dan Iran memiliki poin perbedaan dalam mekanisme impeachment, diantaranya: a). Konstitusi Indonesia atau UUD 1945 dalam penyusunannya disusun dalam kondisi darurat. Karenanya UUD 1945 merupakan konstitusi terpendek dari negara-negara lain meskipun sudah mengalami empat kali perubahan. UUD menyatakan bentuk negara nya adalah Republik yang menganut sistem demokrasi yang dijabarkan pada pasal tentang kedaulatan rakyat. b). Konstitusi Iran dalam penyusunannya mengalami perdebatan panjang karena antara Imam Khumaini dan para ulama lain yang mendukung demokrasi berselisih faham pada penamaan negara dan ajaran yang dianutnya. Iran dalam konstitusinya menyatakan bahwa bentuk negaranya adalah Republik Islam Iran, mengakui kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan dan memadu-padankan antara keduanya. c). UUD 1945 Mengatur secara rinci bagaimana proses impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dicantumkan secara eksplisit dalam
94
Pasal 7A dan Pasal 7B meskipun demikian terdapat ketidakjelasan konsep impeachment dalam UUD 1945 menimbulkan perdebatan penafsiran yang secara mudah dimanipulasi untuk kepentingan politik kelompok atau individu tertentu. sedangkan Konstitusi Iran hanya menyebutkan bahwa kewenangan Wali Faqih adalah memecat Presiden jika Presiden terbukti melanggar konstitusi.
B. Saran-Saran Dari penjabaran kesimpulan yang penulis paparkan, ada beberapa saran yang penulis harap bisa menjadi masukan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu: 1. Penelitian
dan
kajian
seputar
impeachment
dan
perbandingan
mekanismenya antara satu negara dengan negara lain masih jarang ditemukan dalam lingkup akademik di Indonesia, khususnya dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi. Mengingat nilai pentingnya, perlu kiranya dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai mekanisme
impeachment
berbagai negara. 2.
Di tengah problem politik di saat ini, penelitian dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi bagi partai politik yang ingin menjadi pileg atau pilpres dalam memenuhi syarat sebagai penguasa, mengingat pentingnya syarat-syarat pemimpin baik di Indonesia maupun di Iran.
95
3.
Skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi bagi praktik perpolitikan di Indonesia dan Iran. Terlebih dalam mekanisme impeachment government.
dengan
mewujudkan
good
governance
and
clean
DAFTAR PUSTAKA A. Buku A. Djazuli, Fiqih Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, Cet.III, Jakarta: Kencana, 2007. Amirudin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. An-Naisabury, Muslim, Shahih Muslim Syarah an-Nawawy, Cet III, Jilid XII, Beirut: Darul Fikri, 1978. Ash-Shadr, Sayyid Muhammad Baqir, Sistem Politik Islam, Cet ke-1, Jakarta: Lentera, 2001. Ashshiddiqie, Jimly, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, Azhary, Tahir, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam (Menyambut 73 Tahun Prof. Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, SH.), Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Esposito, John L., Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, Penerjemah Rahmani Astuti, Bandung: Mizan anggota IKAPI, 1996. Fajar, Abdul Mukhtie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: Konstitusi Press, 2006. Faris, Muhammad Abdul Qodir Abu, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press, 1999. Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Bandung: Refika Aditama, 2009 Ghoffar, Abdul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana, 2009. Goodman, Amy & David Goodman, Perang Demi Uang, Bandung, Mizan, 2005. Harjono dan Maruar Siahaan, Mekanisme Impechment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, cet. I, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005. Indonesia, Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik, Jejak Langkah MPR dalam Era Reformasi. Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MPR RI Periode 1999-2004, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004. Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945, antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007.
95
96
Ismail, Yahya, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah Muhammad Anis Maulachela, Cet ke-1, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002. Al-Mawardy, Al- Ahkam AL-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah,Mesir: Musthafa al-‘Arabi al-Halabi, tt. Manggalatung, A. Salman dan Nurrohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, Bandung: Fajar Media Bandung, 2013. Moten, Abdul Rasyid, Ilmu Politik Islam, Penerjemah Bandung: Penerbit Pustaka, 2001.
A.Mu’in & Widyawati,
Riri Nazriyah, MPR RI: Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, Yogyakarta: FH UII Press, 2007. Roestandi, Ahmad, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006 Saefuddin, Didin Biografi Intelektual 17 Tokoh Pemikiran Modern dan Posmodern Islam, (Jakarta: Grasindo, 2003. Saleh, M. dan Mukhlish, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, (Sebuah Tinjauan Konstitusional), Surabaya: Bina Ilmu, 2010. Sihbudi, Riza, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Sirry, Mun’im A., Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim dalam Transisi Indonesia, Cet-ke-1, Bekasi: Gugus Press, 2002. Soimin, Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2009. Sukardja, Ahmad Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012 Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, Malang: Setara Press, 2012. Thalib, Abdul Rasyid, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006. Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, Cet. Ke-1, Bandung: Mizan, 2002. Yudho, Winarno, dkk, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung dan Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005.
97
Zada, Khamami, dkk, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008. Zainuddin, A. Rahman Afadlal, dkk, Syi’ah dan Politik di Indonesia sebuah penelitian, Cet ke-1, Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 2000. Zakaria, Muhyiddin Abi, Riyadus Solihin, Penerjemah Muslich Shabir, Surabaya: Mahkota, tt. Zoelva,
Hamdan, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
------------------------, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
B. Internet Indonesia, Wikipedia Bahasa, Artikel diakses pada 06 Juni 2016 dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Abolhassan_Banisadr. Centre, National Constitution, The Constitution of The United States. E-Pdf, Diakses Pada 30 Mei 2016 dari: http://constitutioncenter.org/media/files/constitution.pdf. Batulicin, Abi Tanah Bumbu, Artikel diakses pada 06 Juni 2016 dari: http://dpdabitanahbumbu.blogspot.co.id/2014/10/menelisik-sikap-imamkhomeini-terhadap.html. Repantu, Candiki, “Wilayah Al-Faqih Dalam Konstitusi Iran”. Artikel diakses pada 06 Juni 2016 dari: https://abuthalib.wordpress.com/page/11/.
98
C. Jurnal Ulum, Muhammad Bahrul Mekanisme Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut UUD 1945 (E-Journal Konstitusi Vol. 7), Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010.
D. UUD RII, Humas Kedutaan Besar, Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran, Jakarta: Humas Keduataan Besar RII, tt. Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012.