RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: .../P/M.KOMINFO/.../2009 TENTANG RENCANA DASAR TEKNIK PENYIARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan Pasal 32 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik, Pasal 12 dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, Pasal 8 dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, Pasal 8 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Rencana Dasar Teknik Penyiaran.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881); 2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252); 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik; 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (Lembaran Negara Tahun 2005 No. 127, Tambahan Lembaran Negara No. 4566); 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2005
DRAFT-3 RDTP
tentang Penyelenggaraan Komunitas
Penyiaran
Lembaga
Penyiaran
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan 7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia; 8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementrian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2005; 9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 31/P Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Menteri Negara dan Kabinet Indonesia Bersatu;
MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA TENTANG RENCANA DASAR TEKNIK PENYIARAN.
Pasal 1 Menetapkan Rencana Dasar Teknik Penyiaran sebagaimanana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Rencana Dasar Teknik Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan panduan teknis dan pedoman untuk perencanaan, pembangunan, dan pengoperasian penyiaran yang wajib dipedomani oleh setiap lembaga penyiaran di Indonesia.
DRAFT-3 RDTP
Pasal 3 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam peraturan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal: .................................... MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
MOHAMMAD NUH Salinan Peraturan Menteri ini disampaikan kepada Yth: 1. Presiden RI; 2. Wakil Presiden RI; 3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu; 4. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia; 5. Para Eselon I di lingkungan Departemen Komunikasi dan Informatika;
DRAFT-3 RDTP
RENCANA DASAR TEKNIK PENYIARAN NASIONAL
Jakarta, Juni 2009. Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi. Departemen Komunikasi dan Informatika.
DRAFT-3 RDTP
DAFTAR ISI BAB I
PENDAHULUAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
BAB II
PENGGELARAN INFRASTRUKTUR. 1 2 3 4 5 6
BAB III
UMUM PROPAGASI MAKSIMUM PENGEMBANGAN WILAYAH JANGKAUAN PENYIARAN PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO
PEDOMAN DAFTAR UJI PEMERIKSAAN SENDIRI. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
RDTP
KETENTUAN UMUM STANDAR TEKNOLOGI PENYIARAN WILAYAH JANGKAUAN SIARAN MODEL STASIUN JARINGAN INFRASTRUKTUR MINIMAL SISTEM PENYIARAN LPP, LPS DAN LPK INFRASTRUKTUR MINIMAL SISTEM PENYIARAN LPB
PEDOMAN PERENCANAAN TEKNIK PENYIARAN 1 2 3 4
BAB IV
KETENTUAN UMUM MAKSUD & TUJUAN LATAR BELAKANG FORMAT DAN JENIS RDTP RUANG LINGKUP RDTP LEMBAGA PENYIARAN ARAH KEBIJAKAN PENYIARAN ANTISIPASI DAN ASUMSI KONDISI LINGKUNGAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI BARU PENGGUNAAN ISTILAH YANG SPESIFIK GARIS BESAR RDTP 2009 REFERENSI
UMUM SIGNAL AUDIO SIGNAL VIDEO KEDALAMAN MODULASI DAYA EFEKTIP (EFFECTIVE POWER) PERBANDINGAN DAYA EFEKTIP DENGAN DAYA PUNCAK PERUBAHAN DAYA (REGULATION OUTPUT POWER) TANGGAPAN FREKUENSI VIDEO PERUBAHAN PENGUATAN (DIFFERENTIAL GAIN VIDEO) PERUBAHAN FASA (DIFFERENTIAL PHASE VIDEO) FREKUENSI RENDAH TIDAK LINIER (LF NON LINEARITY) DISTORSI WAVEFORM SIGNAL VIDEO NOISE BERKALA (PERIODIC NOISE, VIDEO) NOISE ACAK (RANDOM NOISE, VIDEO) SIMPANGAN FREKUENSI AUDIO TANGGAPAN FREKUENSI AUDIO DISTORSI HARMONIK (HARMONIC DISTORTION) NOISE FREKUENSI MODULASI (FM NOISE, AUDIO)
19 20 21 22 23 24 25
BAB V
PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN 1 2 3 4 5 6
RDTP
NOISE MODULASI AMPLITUDO (AM NOISE, AUDIO) INTERMODULASI (VIDEO) CROSSTALK CHANNEL SEPARATION ENVELOPE DELAY (VIDEO) VOLTAGE STANDINGWAVE RATIO (VSWR) FIELDSTRENGTH
MENARA RADIASI GELOMBANG ELEKTRO MAGNETIK SPURIOUS RADIASI PENTANAHAN LISTRIK PENGAMANAN PERANGKAT TEKNIK
BAB I PENDAHULUAN
RDTP
BAB I
RDTP
PENDAHULUAN 1
KETENTUAN UMUM
I-1
2
MAKSUD & TUJUAN
I-1
3
LATAR BELAKANG
I-1
4
FORMAT DAN JENIS RDTP
I-2
5
RUANG LINGKUP RDTP
I-3
6
LEMBAGA PENYIARAN
I-3
7
ARAH KEBIJAKAN PENYIARAN
I-5
8
ANTISIPASI DAN ASUMSI KONDISI LINGKUNGAN
I-8
9
PEMANFAATAN TEKNOLOGI BARU
I-8
10 PENGGUNAAN ISTILAH YANG SPESIFIK
I-11
11 GARIS BESAR RDTP NASIONAL
I-12
12 REFERENSI
I-12
BAB I
PENDAHULUAN
1
KETENTUAN UMUM Rencana Dasar Teknik Penyiaran adalah pedoman bagi penyelenggara penyiaran agar masyarakat memperoleh kualitas layanan siaran yang layak, mempermudah operasional antar lembaga penyiaran, mendorong penggelaran infrastuktur penyiaran yang layak (reasonable), ekonomis, serta tidak membahayakan keselamatan dan keamanan.
2
TUJUAN
2.1
Ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia menyebutkan bahwa penetapan kebijaksanaan dan pengaturan sektor penyiaran dilakukan oleh Pemerintah. Maka dalam menjalankan fungsi pemerintah sebagai pengatur bidang Penyiaran, Departemen Komunikasi dan Informatika cq Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi menerbitkan Rencana Dasar Teknik Penyiaran (RDTP), sebagai sarana untuk mewujudkan perumusan kebijaksanaan regulasi teknik untuk sektor penyiaran di Indonesia. RDTP dimaksudkan untuk digunakan sebagai acuan dasar (pedoman) bagi para Lembaga Penyiaran dalam menyusun rencana teknik.
2. 2
Deregulasi bidang penyiaran di Indonesia sedang memasuki tahap baru dimana pelaku-pelaku baru akan mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam penyelenggaraan siaran dalam lingkungan kompetisi yang lebih adil. Jasa penyiaran terdiri atas dua jenis, yaitu jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi, yang dalam penyelenggaraannya dikategorisasikan dalam beberapa jenis lembaga penyiaran, dijelaskan pada Bab I, Sub Bab 1.6. Rencana Dasar Teknik Penyiaran (RDTP) diterbitkan tahun 2009, selanjutnya disebut RDTP 2009, yang tujuannya untuk memberikan pengaturan semudah-mudahnya dan secukupnya berdasarkan kebutuhan minimal, agar siaran dapat terselenggara sebagaimana mestinya.
3
LATAR BELAKANG.
3.1
Sektor penyiaran diyakini memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan).
3.2
Arus globalisasi, deregulasi dunia, serta perkembangan teknologi penyiaran menyebabkan perubahan yang cukup mendasar pada sektor penyiaran di Indonesia. Untuk dapat menyesuaikan dan mengantisipasi kondisi serta kebutuhan yang baru tersebut, beberapa langkah penyesuaian telah diambil, salah satu diantaranya adalah penerbitan Undang-Undang No 32
DRAFT RDTP
I/1
Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang memberikan peluang bagi tampilnya pelaku-pelaku baru dan memberikan ruang gerak yang lebih adil untuk berkompetisi diantara lembaga penyiaran. 3.3
Sebagai tindak lanjut dari kebijakan Pemerintah tersebut di atas, telah dikeluarkan ketetapan pelaksanaannya yang dituangkan dalam : - Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik; - Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI; - Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik TVRI; - Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing; - Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta; - Peraturan Pemerintah Nomor 51 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas; - Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Berlangganan; - Peraturan Menteri Kominfo No.17 /P/M.KOMINFO/6/2006 tentang Tata Cara Penyesuaian Izin Penyelenggaraan Penyiaran; - Peraturan Menteri Kominfo No.28/P/M.KOMINFO/9/2008 tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran; - Peraturan Menteri Kominfo No.39/P./M.KOMINFO/12/2008 tentang Daerah Ekonomi Maju dan Daerah Ekonomi Kurang Maju Dalam Penyelenggaraan Penyiaran; - Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 02/SE/M.KOMINFO/3/2006 tentang Pelaporan Keberadaan LPP, LPS, LPK dan LPB.
4
FORMAT DAN JENIS RDTP 2009
4.1
RDTP adalah suatu pedoman perencanaan teknik yang bersifat komprehensif dan antisipatif dalam merumuskan dan mengiventarisasi keadaan fasilitas tehnik penyiaran untuk setiap Lembaga Penyiaran.
4.2
RDTP 2009 tidak mengatur segala sesuatu sangat rinci. Maka dari itu, untuk keperluan operasinya, setiap lembaga penyiaran harus membuat RDTP nya sendiri. Dengan demikian ada dua tingkat RDTP, yaitu tingkat pertama adalah RDTP 2009 Nasional yang merupakan RDTP regulasi untuk seluruh Lembaga Penyiaran di Indonesia, dan tingkat kedua adalah RDTP dari setiap Lembaga Penyiaran yang merupakan RDTP yang berlaku terbatas pada Lembaga Penyiaran yang bersangkutan. Walaupun demikian, RDTP operasi harus konsisten dengan RDTP regulasi.
4.3
Ketetapan-ketetapan teknis yang terdapat dalam RDTP 2009 pada dasarnya mengacu kepada rekomendasi-rekomendasi ITU-T dan ITU-R dan ITU-BS dan ITU-BT.
DRAFT RDTP
I/2
5
RUANG LINGKUP RDTP 2009 Sebagai instrumen regulasi, RDTP 2009 mengacu kepada lingkup tugas regulasi, yang antara lain meliputi : a) Perlindungan kepentingan masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran yang menjamin bahwa: -
-
setiap penempatan dan pembangunan fasilitas dan/atau perangkat siaran selalu memperhatikan aspek-aspek perijinan yang sah dan memperhatikan faktor keselamatan lingkungan; untuk mengakses berbagai jenis siaran (analog/digital), perangkat pelanggan dapat digunakan untuk menerima siaran dari penyelenggara penyiaran lainnya tanpa kesulitan yang berarti.
b) Pemakaian sumber daya telekomunikasi yang terbatas, seperti : -
-
spectrum frekuensi radio, yang tidak hanya penggunaannya yang harus diatur untuk mencegah interferensi antara lembaga penyiaran dan agar sesuai dengan peruntukannya, tetapi juga harus dioptimalkan pemanfaatannya dan jangan sampai terjadi pemborosan dalam pemakaiannya; posisi orbit satelit, yang pemakaiannya harus diatur dan dioptimalkan, serta harus dijaga jangan sampai menyebabkan saling mengganggu.
c) Penentuan standar spesifikasi peralatan teknik penyiaran nasional yang harus ditaati oleh semua lembaga penyiaran. d) Mendorong industri, inovasi, dan rekayasa teknologi penyiaran nasional. Sehubungan dengan itu RDTP 2009 dititikberatkan pada pengaturan yang berkaitan dengan fasilitas dan peralatan penyiaran intra lembaga penyelenggara penyiaran. Sedangkan hal-hal yang sifatnya siaran berjaringan hanya dibuat pedoman umum saja, karena diharapkan akan menjadi fokus dari RDTP operasi yang dibuat oleh Lembaga-lembaga Penyiaran yang terlibat dalam suatu siaran berjaringan.
6
LEMBAGA PENYIARAN Berdasarkan ijin penyelenggaraannya, lembaga penyiaran, baik radio maupun televisi di Indonesia dikategorisasikan menjadi:
6.1
Lembaga Penyiaran Publik Lembaga Penyiaran Publik atau disingkat LPP adalah lembaga penyiaran yang berbadan hukum yang didirikan oleh Negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
DRAFT RDTP
I/3
LPP terdiri atas Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara Republik Indonesia. RRI dan TVRI memiliki cakupan wilayah siaran nasional. Dalam rangka mencakup wilayah siaran nasional tersebut, baik RRI maupun TVRI memiliki stasiun-stasiun relai di kabupaten-kabupaten dan kota-kota, yang menerima siaran stasiun pusatnya melalui satelit atau teresterial. LPP lokal dapat didirikan di ibukota provinsi, kabupaten atau kota. LPP lokal tingkat provinsi stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota provinsi dan dapat memiliki stasiun-stasiun relai di kabupaten-kabupaten dan kotakota di dalam wilayah provinsi yang bersangkutan, yang menerima siaran stasiun pusatnya melalui satelit atau teresterial. 6.2
Lembaga Penyiaran Swasta. Lembaga Penyiaran Swasta atau disingkat LPS adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. LPS jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan (1) satu saluran siaran pada 1 (satu) wilayah cakupan siaran. LPS dapat menyelenggarakan sistem stasiun berjaringan dengan 1 (satu) LPS yang berdomisili di ibukota provinsi bertindak sebagai stasiun induk jaringan dengan LPS-LPS yang berdomisili di wilayah cakupan yang lain dengan wilayah cakupan siaran stasiun induk jaringan sebagai stasiun anggota jaringan. Stasiun induk jaringan dan/atau stasiun anggota jaringan yang berdomisili di ibukota provinsi dapat memancarluaskan siaran berjaringan ke seluruh wilayah provinsi masing-masing melalui stasiun relai, kecuali provinsi DKI Jakarta dan Yogyakarta.
6.3
Lembaga Penyiaran Komunitas Lembaga Penyiaran Komunitas atau disingkat LPK adalah lembaga penyiaran yang berbadan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen dan tidak bersifat komersial, dengan daya pancar rendah, luas cakupan wilayah siaran terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.
6.4
Lembaga Penyiaran Berlangganan
6.4.1
Lembaga Penyiaran Berlangganan atau disingkat LPB adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan.
6.4.2
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan menyebutkan bahwa Lembaga Penyiaran Berlangganan diselenggarakan berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:
DRAFT RDTP
I/4
a. Penyiaran Berlangganan melalui satelit; b. Penyiaran Berlangganan melalui kabel; c. Penyiaran Berlangganan melalui terrestrial; Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan klsasifikasi diatas menyalurkan multichannel program untuk pelanggannya. Masing-masing mengadopsi teknologi Digital Video Broadcasting (DVB) yaitu DVB-S, DVB-C dan DVB-T. 6.4.2
Lembaga Penyiaran Berlangganan memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan dapat menggunakan media radio, televisi, multimedia, atau media informasi elektronik lainnya.
6.4.3
Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit memiliki jangkauan siaran yang dapat diterima di wilayah Negara Republik Indonesia, memiliki stasiun pengendali siaran yang berlokasi di Indonesia, memilki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia, dan menggunakan satelit yang memiliki footprint di Indonesia, menjamin siarannya hanya dapat diterima oleh pelanggan.
6.4.4
LPB melalui teresterial dan kabel memilki jangkauan siaran yang meliputi wilayah layanan sesuai dengan izin yang diberikan dan menjamin siarannya hanya dapat diterima oleh pelanggan.
7
ARAH KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN
7.1
KETENTUAN UMUM Bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dengan demikian, kemerdekaan atau kebebasan dalam penyiaran harus dijamin oleh negara. Dalam kaitan ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui, menjamin dan melindungi hak tersebut. Namun, sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka kemerdekaan tersebut harus bermanfaat bagi upaya bangsa Indonesia dalam menjaga integrasi nasional, menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral, dan tata susila, serta memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kebebasan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, termasuk penyiaran di
DRAFT RDTP
I/5
Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam mengembangkan alam demokrasi di negara kita. Penyiaran telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan pemerintah. Perkembangan tersebut telah menyebabkan landasan hukum pengaturan penyiaran yang ada selama ini menjadi tidak memadai. Peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan sebagian tugas-tugas umum pemerintahan, khususnya di bidang penyelenggaraan penyiaran, tidaklah terlepas dari kaidah-kaidah umum penyelenggaraan telekomunikasi yang berlaku secara universal. Atas dasar tersebut perlu dilakukan pengaturan kembali mengenai, penyiaran. Rencana Dasar Teknik Penyiaran ini disusun agar penyelenggara penyiaran dapat mengantisipasi hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, dan perkembangan ekonomi, sosial, budaya, serta kondisi lingkungan, agar penyelenggaraan penyiaran dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. 7.2
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENYIARAN Perkembangan teknologi penyiaran memungkinkan siaran televisi dan radio dapat diterima bukan lagi oleh pesawat penerima tetap yang berada di rumah-rumah tetapi juga dapat diterima oleh pesawat penerima bergerak yang berada di kendaraan atau pesawat penerima celluler. Selain itu, perkembangan tekonologi yang berkaitan dengan penyelenggaran penyiaran juga menghasilkan alat penerima siaran dan perangkatperangkat penyiaran yang semakin murah dan menghasilkan kualitas hasil siaran yang semakin baik. Penyelenggara penyiaran wajib mengetahui dan mengikuti perkembangan teknologi penyiaran, sehingga perencanaan teknik penyiaran dapat tersusun dengan mengoptimalkan faktor-faktor biaya, kualitas teknik siaran, jangkauan pemirsa, serta jangkauan wilayah penyiaran tanpa melampaui batas maksimal yang telah ditetapkan.
7.3
KECENDERUNGAN PERMINTAAN PASAR Banyaknya penonton suatu siaran dari suatu lembaga penyiaran menunjukkan efektifitas lembaga penyiaran yang bersangkutan dalam menyelenggarakan penyiarannya. Semakin efektif suatu lembaga penyiaran, maka semakin besar manfaat pemberian ijin kepada lembaga penyiaran tersebut. Lembaga penyiaran secara terus menerus harus memantau kecenderungan pasar, agar siarannya diminati dan ditonton masyarakat. Dengan mengetahui kecenderungan pasar, maka selanjutnya lembaga penyiaran akan mampu menyusun rencana penyiarannya dengan lebih efektif pula.
DRAFT RDTP
I/6
7.4
EKONOMI, SOSIAL, BUDAYA DAN KONDISI LINGKUNGAN Dalam menyelenggarakan siarannya, suatu lembaga penyiaran tidak semata-mata harus menghasilkan siaran yang efektif sebagaimana dimaksud dalam poin 6.2 di atas, tetapi juga harus memperhatikan faktorfaktor ekonomi masyarakat/negara, kondisi sosial dan budaya masyarakat, serta kondisi lingkungan. Untuk itu, dalam menyelenggarakan siarannya, setiap lembaga penyiaran harus:
7.4.1
Menjaga keutuhan wilayah NKRI yang berbatasan dengan negara tetangga, kebutuhan untuk menjaga dampak dari peluberan informasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya dari negara tetangga guna keutuhan wilayah NKRI.
7.4.2
Mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi.
7.4.3
Mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran.
7.4.4
Memperhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, juga harus mempertimbangkan penyiaran sebagai lembaga ekonomi yang penting dan strategis, baik dalam skala nasional maupun internasional.
7.4.5
Menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup.
7.4.6
Menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Penyiaran dimaksudkan untuk mewakili nilai-nilai masyarakat Indonesia tentang kesopanan dan budi yang luhur, yang pada akhirnya akan memajukan kebudayaan nasional
7.4.7
Berperan dalam pembangunan karakter bangsa, sebagai sumber informasi publik, sebagai pengungkap identitas budaya nasional serta sebagai sarana penghubung masyarakat yang berbeda-beda atau yang terpencil.
7.4.8
Mampu mengekspresikan budaya dan berkemampuan dalam mempertahankan, memelihara, dan melestarikan keanekaragaman budaya di masyarakat Indonesia.
7.4.9
Meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional serta memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial dan berpartisipasi dalam memajukan penyiaran nasional. .
DRAFT RDTP
I/7
8
ANTISIPASI DAN ASUMSI KONDISI LINGKUNGAN
8.1
RDTP akan diimplementasikan dalam kondisi lingkungan yang berbeda dari kondisi lingkungan sebelum UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran diaplikasikan sepenuhnya. Perubahan yang mendasar antara lain: a) Perubahan dari lingkungan monopoli atau oligopoli ke lingkungan yang mengarah ke persaingan yang lebih bebas dan adil. Semua lembaga penyiaran sejenis secara hukum mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Terbuka kesempatan bagi pelaku-pelaku baru untuk berkompetisi penuh pada penyelenggaraan siaran di tingkat lokal, maupun di tingkat regional/nasional melalui siaran berjaringan. b) Perubahan dari lingkungan sentralistik ke desentralistik, baik dalam hal pusat kegiatan maupun bisnis. Pembatasan wilayah cakupan siaran lembaga penyiaran swasta memicu tumbuhnya lembaga-lembaga penyiaran swasta di tingkat lokal, yang selanjutnya diikuti oleh pusatpusat kegiatan dan bisnis pendukungnya. c) Rencana migrasi dari sistem analog menuju sistem digital (DVB atau DAB).
8.2
Undang-undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran maupun peraturan pemerintah yang mendukungnya tidak memberikan indikasi tentang jumlah dan jenis ijin penyelenggaraan yang akan dikeluarkan. Untuk mengoptimalkan sumber daya alam yang sifatnya terbatas, dibuat beberapa asumsi sebagai berikut: a) Jumlah lembaga penyiaran dalam setiap cakupan wilayah siaran akan dibatasi secara alamiah oleh keterbatasan permintaan (demand) dan ketersediaan kanal. b) Suatu lembaga penyiaran yang berorientasi ekonomi yang ingin memperluas cakupan wilayah siarannya ke wilayah lain yang secara ekonomis tidak menguntungkan lagi untuk mendirikan lembaga penyiaran baru, secara alamiah akan memilih bekerja sama melalui siaran berjaringan dengan lembaga penyiaran yang telah ada di sana.
9
PEMANFAATAN TEKNOLOGI BARU Teknologi penyiaran selalu berkembang, bahkan beberapa perangkat tertentu sangat pesat perkembangan teknologinya. Dunia industri perangkat teknik secara global bersaing memasarkan produknya menggunakan teknologi mutakhir. Gencarnya issu teknologi baru diperkenalkan pada produk-produk perangkat teknik, utamanya perangkat penyiaran tentu membawa dampak positif disamping pula dam-pak negatif timbul pula. Lembaga Penyiaran seyogyanya selalu mengkaji terlebih dahulu setiap perangkat berteknologi baru yang akan digunakan sebagai perangkat bagian dari sistem perangkat penyiarannya.
DRAFT RDTP
I/8
Lembaga Penyiaran memang mempunyai hak preogatif pada pilihan perangkat berteknologi baru, namun tetap harus memperhatikan hal-hal berikut:
Aspek teknis (quality, reliabilty, compatibility, user’s features) Interfacing /integrasi dengan perangkat yang ada Dampak ke masyarakat pendengar/pemirsa Kecenderungan global Nilai ekonomis Rekomendasi ITU dan organisasi turunannya (i.e ABU) Regulasi di Indonesia Ketersediaan SDM yang mampu mengoperasikan
Beberapa kecenderungan perkembangan teknologi yang berkaitan dengan penyiaran, antara lain: 9.1
TEKNOLOGI KOMPRESI DIGITAL Kompresi MPEG2 dan MPEG4 untuk signal video; MP3 untuk signal audio, dapat meningkatkan efisiensi “data storage” dalam server dan memungkinkan pengurangan band width yang dibutuhkan pada saat proses transmisi ataupun pemancaran bahkan pemancaran streaming ke celluler phone.
9.2
TEKNOLOGI PENYIARAN MELALUI SATELIT
9.2.1
Radio Satelit Radio Satelit menggunakan S band pada 2.3 Ghz. Radio Satelit masuk kedalam kategori Direct Broadcast Satelit (DBS) dengan menggunakan sinyal radio digital. Sinyal satelit cukup kuat sehingga Radio Satelit tidak membutuhkan parabola atau satellite dish untuk menerima sinyalnya. Lengkung permukaan bumi membatasi pencapaian sinyal, tetapi dengan orbit satelit yang sangat tinggi, dua atau tiga satelit pada umumnya dapat mencakup coverage untuk satu benua. Dengan demikian Radio Satelit memiliki coverage area yang jauh lebih besar dibandingkan dengan radio terestrial. Antena penerima Radio Satelit harus berada pada tempat yang terbuka atau bebas hambatan dengan satelit. Di tempat – tempat dimana terdapat gedung tinggi, jembatan ataupun jembatan yang menghalangi sinyal, dibutuhkan repeater untuk membantu penerimaan. Pada umumnya Radio Satelit adalah siaran berlangganan, sehingga dipesawat penerimanya terdapat decoder, dengan memasukkan nomor seri pesawat penerima, pelanggan dapat menikmati konten-nya. Setiap pesawat penerima mempunyai Electronic Serial Number (ESN) Radio ID (identitas pesawat penerima) untuk mengidentifikasi. Apabila suatu unit penerima diaktivasi dengan kode pelanggan, maka suatu digital stream yang dikirim dari satelit akan mengenalnya dan membuka akses bagi pelanggan. Radio Satelit mempunyai sifat portability yang tinggi.
DRAFT RDTP
I/9
9.2.2
Radio Televisi Digital (Digital Television Radio/DTR) DTR adalah sinyal audio yang ditumpangkan pada Penyiaran Berlangganan melalui satelit. Dengan teknologi DVB-S maka sebagian kecil dari bandwith digunakan bagi konten radio. Sebagaimana setasiun lokal ditumpangkan melalui Penyiaran Berlangganan, maka DTR juga menggunakan modus yang sama. Tidak ada siaran khusus dalam hal ini, baik konten maupun siaran komersil-nya sama dengan free to air melalui terestrial. Dibandingkan dengan Radio Satelit, DTR tidak memiliki sifat portabiliti karena sinyal yang diterima harus melalui IRD atau Set Top Box. DTR dapat disebutkan sebagai Siaran Radio Melalui Satelit.
9.2.3
Siaran Televisi Melalui Satelit Selain Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit dan penggunaan jasa Satelit Link untuk kebutuhan point to point, masih ada siaran televisi melalui satelit yang tidak termasuk kategori diatas, baik diselenggarakan didalam negeri maupun diluar negeri. Siaran ini menggunakan teknologi DVB-S dan terbuka untuk umum. Publik dapat menerima siaran ini dengan menggunakan digital receiver yang dijual dipasar bebas. Siaran ini tidak diatur oleh pemerintah.
9.3
TEKNOLOGI PENYIARAN MELALUI KABEL
9.3.1
Siaran Radio Melalui Kabel Pada awalnya, ketika Community Antenna Television (CATV) berkembang di Amerika, maka siaran radio melalui modulasi FM ikut ditransmisikan melalui kabel ke rumah-rumah. Seiring dengan waktu dan berkembangnya Penyiaran Berlangganan melalui kabel, maka nilai komersil dari Siaran Radio Melalui Kabel menjadi jauh berkurang. Sekarang Siaran Radio Melalui Kabel hanya menumpang pada Penyiaran Berlangganan melalui Kabel dan menjadi komplemen bagi pelanggannya.
9.3.2
Siaran Televisi Melalui Kabel Pada awalnya Community Antena Television (CATV) atau juga disebut Master Antena Television (MATV) diadakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang wilayahnya tidak terjangkau oleh siaran televisi baik karena remote maupun terhalang oleh gunung atau bukit. CATV telah berkembang menjadi Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel. Adapun masih terdapat sejumlah besar tempat atau lokasi yang tidak dapat menerima langsung siaran Televisi baik secara langsung terrestrial maupun melalui satelit. Sebagian besar adalah bangunan – bangunan properti seperti apartemen maupun hotel. Pada umumnya pihak pengelola property tidak membolehkan komunitas yang menempati atau menyewa bangunan – bangunan ini untuk memasang berbagi antenna penerima, baik terrestrial maupun satelit untuk kepentingan keindahan. Tetapi baik di hotel maupun apartemen, pihak pengelola menyediakan suatu sistim CATV atau MATV terbatas bagi komunitasnya berupa jaringan kabel ketempat penyewa agar dapat menerima siaran Televisi. Pengelola bekerja sama dengan Lembaga Penyiaran melalui satelit atau kabel dan menyalurkannya kepada penyewa
DRAFT RDTP
I/10
property. Siaran televisi lokal juga didistribusikan ketempat penyewa. Bagi property yang berukuran ekonomi kecil, pengelola menyediakan siaran – siaran Televisi melalui satelit yang banyak terdapat. Siaran ini lebih dinilai sebagai usaha merelay dan mendistribusikannya melalui kabel. Pada prinsipnya terdapat sebuah kompon terdiri dari antenna satelit dan antenna terrestrial untuk menerima program. Kemudian suatu pusat peralatan (Head End) terdiri dari banyak converter kanal (channel converter) dan penguat kanal (channel amplifier) untuk didistribusikan ke tempat penyewa. 9.4
TEKNOLOGI PENYIARAN MELALUI INTERNET Perkembangan teknologi memungkinkan penyiaran melalui jaringan internet antara lain IPTV (Internet Protocol Television) dimana siaran televisi di salurkan melalui jaringan broadband internet dan diterima oleh pesawat penerima yang menggunakan teknologi ber basis komputer.
9.5
Teknologi pemancar dengan sistem modulasi digital, memungkinkan transmisi signal video dan audio bebas dari noise, dan dengan menggunakan daya pancar yang relatif rendah dapat melayani wilayah layanan yang luas.
9.6
Teknologi multiplexing adalah teknik penggabungan signal audio, video atau data yang di konversi dalam format digital. Dengan teknologi multiplexing beberapa program siaran video, audio dan data dapat ditransmisikan dalam satu kanal.
9.7
Teknologi propagasi gelombang Single Frequency Network (SFN), dimungkinkan penggunaan satu kanal (satu alokasi frekuensi radio) untuk kebutuhan beberapa perangkat pemancar dengan program siaran yang berbeda melayani satu wilayah layanan. Penggunaan teknologi SFN hanya dimungkinkan pada transmisi terestrial dengan menggunakan modulasi digital (DVB), dimana jarak antara frekuensi yang sama ditentukan oleh guard interval dari sistem yang digunakan.
10
PENGGUNAAN ISTILAH YANG SPESIFIK Untuk menjaga konsistensi, istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang digunakan dalam UU No. 32, PP 11, PP 50, PP 51, dan PP 52 sedapat mungkin akan diakomodasikan dalam RDTP ini. Disamping itu, beberapa istilah/pengertian spesifik yang sudah umum dipakai di lingkungan penyiaran nasional maupun internasional, akan juga digunakan dalam RDTP ini. Jika terdapat pengertian yang belum jelas dalam UU dan PP di atas atau terdapat perbedaan pengertian antara istilah yang digunakan dalam UU atau PP di atas dengan istilah yang sudah umum dipakai di lingkungan
DRAFT RDTP
I/11
penyiaran, maka akan digunakan istilah yang biasa digunakan di lingkungan penyiaran dengan mengupayakan penjelasan yang menyeluruh.
11
GARIS BESAR RDTP 2009 RDTP 2009 terdiri dari 5 bab, dengan rincian sebagai berikut : BAB I
12
Pendahuluan
Menjabarkan tujuan, latar belakang, konsep dan sistimatika RDTP.
BAB II Penggelaran Infrastuktur
Menyajikan model-model penggelararan infrastrukur dalam perencanaan jaringan transmisi yang berkaitan dengan sistem penyiaran.
BAB III Pedoman Perencanaan Teknik Penyiaran
Menyajikan parameter-parameter propagasi maksimum, pengembangan wilayah jangkauan siaran, penggunaan spektrum frekuensi radio, pemanfaatan teknologi baru dan penggelaran infrastruktur.
BAB IV Pedoman Daftar Uji Pemeriksaan Sendiri
Menyajikan pedoman untuk melakukan uji pemeriksaan sendiri terhadap perangkat penyiaran yang harus memberikan hasil/ukuran tertentu sesuai dengan standar teknik yang disyaratkan.
BAB V Pengamanan dan Perlindungan
Menyajikan pedoman pengamanan dan perlindungan terhadap peralatan dan lingkungan sekitar dari gangguan radiasi gelombang elektro magnetik dan gangguan lain yang dapat menyebabkan terganggunya proses penyiaran.
REFERENSI Rencana Dasar Teknik Penyiaran (RDTP) mengacu kepada ketentuanketentuan dan peraturan-peraturan sebagai berikut: a) b) c) d) e)
DRAFT RDTP
Undang-Undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Orbit Satelit. Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik.
I/12
f) g) h) i)
j) k)
l) m) n) o) p)
DRAFT RDTP
Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas. Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. ITU-T/R/BS/BT, suatu Badan dunia (ITU) dibawah PBB yang menerbitkan aturan-aturan teknik telekomunikasi, antara lain teknik perangkat Penyiaran. ( T= untuk telekomunikasi ; R = untuk frekwensi radio ; BS= untuk siaran radio ; BT= untuk siaran TV). Keputusan Menteri Perhubungan nomor 15 tahun 2003 tentang Rencana Induk Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk keperluan Radio Siaran Frequency Modulation (FM). Keputusan Menteri Perhubungan nomor 76 tahun 2003 tentang Rencana Induk Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk keperluan Televisi Siaran Analog pada pita Ultra High Frequency (UHF). Rekomendasi ITU-R (Rec 417-2) median field strength. Rekomendasi ITU-R (Rec 412-4), minimum usable field strength dalam perencanaan pemancar untuk siaran radio pada band II radio siaran FM. Rekomendasi ITU-R (Rec 450-1) Report 944 penggunaan Regular Lattice Network (RLN). Rekomendasi ITU-R (Rec 418-3) co-channel D/U ratio. Rekomendasi ITU-R P 1546
I/13
BAB II PENGGELARAN INFRASTRUKTUR
RDTP
BAB II
PENGGELARAN INFRASTRUKTUR 1 KETENTUAN UMUM
II-1
2 STANDAR TEKNOLOGI PENYIARAN
II-2
3 WILAYAH JANGKAUAN SIARAN
II-3
4 MODEL STASIUN JARINGAN
II-4
5 INFRASTRUKTUR MINIMAL SISTEM PENYIARAN LPP, LPS DAN LPK 6 INFRASTRUKTUR MINIMAL SISTEM PENYIARAN LPB
RDTP
II-7 II-9
BAB II
PENGGELARAN INFRASTRUKTUR
1
KETENTUAN UMUM Pedoman Penggelaran Infrastruktur adalah pedoman perencanaan penggelaran perangkat teknik penyiaran yang harus dipenuhi oleh Lembaga Penyiaran Radio dan Televisi dalam suatu perencanaan siaran. Lembaga Penyiaran harus memiliki domisili dengan infrastruktur teknik penyiaran yang memenuhi ketentuan minimal sebagaimana ditetapkan dalam RDTP. Infrastruktur digelar sesuai dengan regulasi dan kaidah-kaidah universal masing-masing subsistem infrastruktur itu sendiri dan sesuai pula dengan regulasi dan kaidah khusus penyiaran, yang mencakup: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k)
Bangunan sipil penyiaran. Bangunan menara. Bangunan jalan, taman dan lingkungan. Instalasi ME (Mekanikal Elektrikal) untuk bangunan sipil dan menara. Instalasi Fire alarm dan Fire Extinguisher. Instalasi catu daya (Electric Power Generator) pengganti. Instalasi catu daya darurat instan, UPS (Uninterruptible Power System). Instalasi telekomunikasi. Instalasi penangkal petir dan pentanahan. Wilayah jangkauan Siaran. Konfigurasi stasiun penyiaran.
Setiap lembaga penyiaran wajib menjamin bahwa infrastruktur yang digunakannya akan berfungsi dengan baik selama jam siaran yang direncanakan. Kerusakan pada bagian infrastruktur yang mengakibatkan terhentinya siaran wajib segera diperbaiki oleh Lembaga Penyiaran dalam kurun waktu tidak lebih dari 1 x 24 jam. Terhentinya siaran selama lebih dari 1 jam dalam waktu siaran yang telah direncanakan harus dilaporkan kepada Departemen Kominfo cq. Dit.Jend. SKDI. Menteri Kominfo dapat membekukan atau mencabut ijin siaran suatu lembaga penyiaran yang berhenti siaran selama lebih dari 3 x 24 jam dalam satu bulan. Beberapa pengertian umum yang berkaitan dengan perangkat penyiaran adalah: a) Stasiun Lokal Adalah sebuah Lembaga Penyiaran Publik Lokal atau Lembaga Penyiaran Swasta lokal yang didirikan di lokasi tertentu di di Indonesia dengan wilayah jangkauan kota atau kabupaten, yang memiliki fasilitas penyiaran dan program acara sendiri.
DRAFT RDTP
II/1
Sebuah stasiun lokal dapat merupakan anggota dari suatu stasiun jaringan. Stasiun lokal dapat menyebarluaskan siarannya melalui stasiun relai di kota/kabupaten lain pada provinsi yang sama. b) Stasiun Relai Adalah suatu stasiun yang merupakan bagian dari stasiun jaringan yang berfungsi hanya memancarluaskan siaran stasiun jaringan saja. c) Stasiun Jaringan Stasiun jaringan adalah kelompok beberapa stasiun lokal dengan atau tanpa stasiun relai, atau sebuah stasiun lokal dengan beberapa stasiun relai, yang bertujuan menyiarkan siaran yang sama secara tetap dalam suatu wilayah jangkauan siaran tertentu (jaringan siaran). d) Induk Stasiun Jaringan Adalah sebuah Lembaga Penyiaran Publik atau Lembaga Penyiaran Swasta yang berdomisili di ibukota negara Republik Indonesia atau ibukota provinsi, memiliki fasilitas penyiaran dan program acara sendiri, yang merupakan pusat penyiaran dari Stasiun Jaringan. e) Anggota Stasiun Jaringan Adalah sebuah Lembaga Penyiaran Publik atau Lembaga Penyiaran Swasta yang berdomisili di ibukota provinsi atau kabupaten/ kota, memiliki fasilitas dan program acara sendiri, tetapi juga memancarluaskan siaran Induk Stasiun Jaringan pada waktu-waktu tertentu. Anggota Stasiun Jaringan hanya diijinkan berjaringan siaran dengan satu Induk Stasiun Jaringan.
2
STANDAR TEKNOLOGI PENYIARAN Teknologi yang digunakan lembaga penyiaran di Indonesia mengikuti standar sebagai berikut:
2.1
Penyiaran pada band SW/MW: • Siaran radio analog dengan modulasi AM
2.2
Penyiaran pada band II VHF: • Siaran radio analog dengan modulasi FM • Siaran radio digital.
2.3
Penyiaran pada band III VHF: • Siaran televisi analog (PAL-B) • Siaran radio digital
DRAFT RDTP
II/2
2.4
Penyiaran pada band IV & V UHF: a. Band IV.1 • Siaran televisi analog (PAL-G) • Siaran televisi digital untuk siaran televisi dengan penerima telepon seluler b. Band IV.2 • Siaran televisi analog (PAL-G) • Siaran televisi digital c. Band V.I • Siaran televisi digital d. Band V.2 • Siaran televisi analog (PAL-G)
2.5
Penyiaran melalui satelit: • Siaran televisi digital
2.6
Penyiaran melalui kabel: • Siaran televisi digital • Siaran televisi analog
3
WILAYAH JANGKAUAN SIARAN Wilayah Jangkauan Siaran atau area yang dapat menerima siaran suatu stasiun penyiaran harus sesuai dengan izin yang diberikan oleh Pemerintah cq Dit. Jend. Postel, yaitu:
3.1
Televisi Siaran Analog pada pita Ultra High Frequency (UHF) Mengikuti KM No76 tahun 2003 tentang Rencana Induk Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus dan Permen Kominfo No.12 tahun 2009 tentang perubahan atas KM 76 tahun 2003.
3.2
Radio FM yang beroperasi pada pita frekuensi band II VHF Mengikuti ketentuan KM No15 tahun 2003.
3.3
Penyiaran melalui satelit Wilayah Jangkauan Penyiaran-nya seluruh wilayah NKRI
3.4
Penyiaran melalui kabel Wilayah Jangkauan Penyiarannya dibatasi meliputi satu wilayah/ daerah layanan sesuai dengan izin yang diberikan.
DRAFT RDTP
II/3
4.
MODEL JARINGAN SIARAN
4.1
JARINGAN REGIONAL Jaringan regional adalah jaringan siaran dengan wilayah jangkauan siaran dalam satu provinsi provinsi tertentu, dimana Induk Stasiun Jaringannya berdomisili di ibukota provinsi dan Anggota Stasiun Jaringannya berdomisili di kota/kabupaten dalam provinsi dimana Induk Stasiun Jaringan berada. Jaringan Regional bisa berbentuk:
4.1.1
Model 1 Konfigurasi “jaringan” model 1, menggambarkan sebuah stasiun lokal yang menyebarluaskan siarannya melalui stasiun relai di kota/kabupaten lain dalam satu provinsi yang sama. Walaupun secara teknis konfigurasi model 1 ini disebut jaringan, tetapi dipandang dari sisi regulasi, konfigurasi model 1 tidak dianggap sebagai sebuah jaringan
4.1.2
Model 2 Dalam model 2 jaringan regional, semua anggota stasiun jaringannya berbentuk stasiun lokal atau sebahagian anggota stasiun jaringannya berbentuk stasiun lokal dan sebahagiannya lagi berbentuk stasiun relai.
DRAFT RDTP
II/4
Induk Stasiun Jaringan Regional dan Anggota Stasiun Jaringan sebagaimana digambarkan oleh model 2, tidak bisa menjadi Induk atau Anggota Stasiun Jaringan lainnya.
4.2
JARINGAN NASIONAL Adalah jaringan siaran dengan wilayah jangkauan siaran di beberapa provinsi tertentu atau seluruh wilayah Indonesia, dimana Induk Stasiun Jaringannya berdomisili di ibukota provinsi dan memiliki Anggota Stasiun Jaringan berbentuk Stasiun Lokal di ibukota provinsi lain atau kota/kabupaten di Indonesia. Jumlah Anggota Stasiun Jaringan mengikuti ketentuan yang mengatur hal tersebut.
DRAFT RDTP
II/5
4.3
JARINGAN INTERNASIONAL. Jaringan Internasional hanya dapat dibentuk oleh TVRI dan RRI, dimana salah satu atau beberapa Anggota Stasiun Jaringan-nya merupakan perwakilan TVRI atau RRI di luar negeri.
DRAFT RDTP
II/6
5
INFRASTRUKTUR MINIMAL SISTEM PENYIARAN LPP, LPS DAN LPK
5.1
KONFIGURASI MINIMAL
5.1.1
LPP & LPS Yang Tidak Berjaringan Serta LPK
ANT Sumber Sinyal
Master Control
Tx
Tower
5.1.2
LPP & LPS Yang Berjaringan
5.1.2.1
Induk Stasiun Jaringan
Up Link
Sumber Sinyal
5.1.2.2
Master Control
Tx
Anggota Stasiun Jaringan
Sumber Sinyal
Master Control
Tx
Down Link
5.1.2.3
Stasiun Lokal yang memiliki stasiun relay
Up Link
Sumber Sinyal
DRAFT RDTP
Master Control
Tx
II/7
5.1.2.4
Stasiun Relai
Down Link Tx
Stasiun hanya memiliki satu fasilitas/perangkat penerima sumber sinyal untuk menerima sinyal siaran berjaringan. 5.2
SUBSISTEM PENYIARAN MINIMAL UNTUK LPP, LPS DAN LPK Sebuah stasiun pemancar, sesuai dengan jenisnya (LPP, LPS, atau LPK) sekurang-kurangnya memiliki subsistem (penerima) sumber sinyal, Master Control, Transmiter, dan Antena.
5.2.1
Sumber Sinyal Sumber sinyal dapat berupa studio siaran langsung, video/audio player, OB Van, playout server, atau penerima radio (TVRO, Microwave, Radio Link, dll.) Agar siaran dapat berlangsung secara berkesinambungan, tanpa jeda, maka setiap: a) LPP dan LPS yang tidak berjaringan, serta LPK harus memiliki sebuah sumber sinyal stastion ID dan minimal 2 (dua) fasilitas/perangkat sumber sinyal program acara sendiri yang siap pakai. Kedua peralatan sumber sinyal tersebut dapat sejenis atau berbeda jenisnya. b) LPP dan LPS yang juga merupakan Stasiun Anggota Jaringan, selain harus memenuhi ketentuan dalam poin 5.2.1.a di atas, juga harus memiliki fasilitas penerima radio untuk menerima program acara dari Induk Stasiun Jaringannya. c) Stasiun Relai hanya memiliki satu perangkat sumber sinyal berupa perangkat penerima radio untuk menerima program acara dari Induk Stasiun Jaringan Regional. Setiap lembaga penyiaran wajib menyertakan station ID (logo stasiun) dalam setiap penyiarannya. Khusus untuk siaran jaringan, maka ID yang harus disertakan dalam siaran jaringan adalah Network ID dan station ID dimana siaran tersebut dapat diterima. Sinyal program acara yang akan ditransmisikan harus memenuhi spesifikasi yang ditentukan dalam PTPP.
DRAFT RDTP
II/8
5.2.2
Master Control Untuk menjaga kesinambungan program-program acara dan menjaga kualitas sinyal masuk dan yang akan disiarkan, setiap LPP, LPS, dan LPK harus memiliki fasilitas master control (MC). Sesuai dengan tujuannya, maka setiap MC yang dimiliki lembaga penyiaran harus mampu melakukan fungsi menjaga kesinambungan program acara dan menjaga kualitas sinyal yang masuk maupun yang keluar dari MC.
5.2.3
Transmisi (Pemancar , Antena, dan UpLink) Sistem transmisi yang dimiliki stasiun penyiaran, harus mampu melayani ketentuan minimal dan maksimal wilayah layanan yang telah ditetapkan oleh Ditjen Postel dan tidak melampauinya, serta spesifikasi lainnya yang ditetapkan dalam PTPP.
6
INFRASTRUKTUR MINIMAL SISTEM PENYIARAN LPB
6.1
KONFIGURASI MINIMAL
UP LINK SUMBER PROGRAM DARI PROGRAM PROVIDER
DVB-S MODULATOR
TOWER & ANTENA SUMBER PROGRAM DARI TV LOKAL
DVB-T MODULATOR
SUMBER PROGRAM MATERI LOKAL CABLE NETWORK SUMBER SINYAL
6.2
MPEG ENCODER
MULTIPLEXER +CA
DVB-C MODULATOR
SUBSISTEM PENYIARAN MINIMAL Lembaga Penyiaran Berlangganan pada dasarnya mempunyai konsep yang sama yaitu mendistribusikan multi kanal (multi channels) dimana setiap kanal mengandung beberapa program, sehingga berbagai teknologi,
DRAFT RDTP
II/9
fasilitas, infrasuktur dan istilah teknik mempunyai beberapa kesamaan, sebagai berikut: 6.2.1
Head End Head End adalah infrastruktur utama LPB yang terdiri dari berbagai fasilitas/sub-sistem, yaitu sumber sinyal, encoder, multiplexer dan modulator.
6.2.2
Sumber Sinyal Dalam LPB sumber sinyal dapat berupa perangkat untuk menerima berbagai sinyal Televisi yang mengandung program yang berasal dari: a) Program Provider Sumber sinyal yang menyalurkan program yang diterima dari program provider umumnya berupa perangkat down link. b) Program TV Lokal Sumber sinyal yang menyalurkan program yang diterima dari siaran TV lokal dapat berupa antena penerima siaran televisi biasa. c) Program Sendiri Sumber sinyal yang menyalurkan program sendiri umumnya berupa play-out server, walaupun dapat juga berupa beberapa player ditambah dengan video switcher.
6.2.3
Encoder Berbagai format audio dan video yang diterima diubah dengan Encoder dalam waktu bersamaan (real time) menjadi format kompresi digital tertentu. Format kompresi digital keluaran encoder minimal memiliki kualitas setara dengan kompresi MPEG-4 (video) dan MP3 (audio).
6.2.4
Multiplexer Multiplexer atau Mux berfungsi menggabungkan tanpa mencampur sinyalsinyal keluaran Encoder agar dapat ditransmisikan dalam satu kanal. Multiplexer yang digunakan LPB wajib memenuhi spesifikasi teknis yang ditetapkan dalam PTPP.
6.2.5
Modulator Modulator memodulasi sinyal keluaran multiplexer sesuai dengan standar teknologi penyiaran yang digunakan oleh LPB (DVB-S untuk penyiaran melalui satelit, DVB-C untuk penyiaran melalui kabel, atau DVB-T untuk penyiaran melalui teresterial). Modulator yang digunakan LPB wajib memenuhi spesifikasi teknis yang ditetapkan dalam PTPP.
6.2.6
Conditional Access (CA) Setiap LPB wajib menjaga agar siarannya hanya dapat diterima oleh pelanggannya yang sah, untuk itu setiap LPB wajib menggunakan
DRAFT RDTP
II/10
Conditional Access dan menjaga kerahasiaan serta keamanan Conditional Access yang digunakannya. Di sisi lain, LPB juga wajib menjamin bahwa pelanggannya dapat mengakses siaran yang menjadi hak pelanggan. 6.2.7
Subscriber Management System (SMS) Subscriber Management System yang digunakan LPB harus mampu memberikan pelayanan yang baik bagi bagi pelanggannya dan mampu berkomunikasi dengan Conditional Access dengan baik, sehingga LPB dapat: a. Memberikan data yang akurat atas data pribadi pelanggan b. Memberikan data yang akurat atas data paket langganan setiap pelanggan c. Memberikan data yang akurat atas data tagihan pelanggan LPB wajib menjaga kerahasiaan data pelanggan dari pihak-pihak, baik di dalam LPB maupun di luar LPB, yang tidak berkepentingan. Tidak diperkenankan bagi LPB, maupun karyawannya untuk memberikan data pelanggan kepada pihak lain tanpa persetujuan pelanggan.
6.2.8
Decoder atau Set Top Box (STB) Setiap LPB wajib menjamin ketersediaan Decoder atau Set Top Box bagi pelanggannya.
DRAFT RDTP
II/11
BAB III PEDOMAN PERENCANAAN TEKNIK PENYIARAN
RDTP
BAB III
RDTP
PEDOMAN PERENCANAAN TEKNIK PENYIARAN 1. UMUM
III-1
2. PROPAGASI MAKSIMUM
III-2
3. PENGEMBANGAN WILAYAH JANGKAUAN PENYIARAN
III-4
4. PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO
III-12
BAB III
PEDOMAN PERENCANAAN TEKNIK PENYIARAN
1
KETENTUAN UMUM Rekomendasi “ITU-R” untuk perencanaan jaringan transmisi pada “band” I, III, IV dan V dalam menentukan kuat medan minimum bertujuan untuk mendapatkan kualitas signal informasi yang baik dapat dilihat pada tabel 1, besarnya kuat medan minimum akan berubah sesuai dengan pengaruh noise lingkungan; di daerah perkotaan dan di daerah industri memerlukan kuat medan listrik yang lebih besar dibandingkan daerah pedesaan. Dalam keadaan penerimaan pada input antenna penerima tanpa interferensi dari pemancar televisi yang lain maupun dari noise yang dibuat oleh manusia (man made noise), dapat ditentukan besarnya usable field strength seperti pada tabel 1, besaran nilai ini akan memberikan kualitas penerimaan informasi yang baik untuk siaran TV analog. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan cara perhitungan usable field strength minimum (bebas dari interferensi) yang dibutuhkan pesawat penerima tv analog untuk mendapatkan kualitas signal informasi yang baik. BAND Input resistance (75 Ohm), thermal noise dB(uV) Noise figure (dB) Radio frequency S/N (dB) Minimum Rx voltage dB(uV) Dipole conversion factor and mismatch allowance (dB) Antenna gain (dB) Cable loss (dB) Minimum usable field strength dB(uV/m)
I 1,5
III 1,5
IV 1,5
V 1,5
9,5 36 47 2
8,5 36 46 13
11 36 48,5 20,5
12 36 49,5 25
3 1 47
7,5 1,5 53
10 3 62
12 4,5 67
Tabel 1: Minimum usable field strength dB(uV/m) untuk band I, band III, band IV dan band V Tabel 2 dibawah ini adalah rekomendasi ITU-R (Rec 417-2), memperlihatkan besarnya Minimum median field strength yang sudah menambahkan besarnya noise yang diakibatkan oleh lingkungan.
Band Minimum median field strength dB (uV/m)
I
III
IV
V
+48
+55
+65
+70
Tabel 2: Rekomendasi ITU-R (Rec 417-2) median field strength pemancar TV analog diukur 10 meter dari permukaan tanah. Rekomendasi ITU-R (Rec 412-4), minimum usable field strength dalam perencanaan pemancar untuk siaran radio pada band II radio siaran FM sebagai berikut:
DRAFT RDTP
III/1
Siaran FM Mono 48 dB (uV/m) untuk rural area 60 dB (uV/m) untuk urban area 70 dB (uV/m) untuk kota besar (luas) Siaran FM stereo 54 dB (uV/m) untuk rural area 66 dB (uV/m) untuk urban area 74 dB (uV/m) untuk kota besar (luas) Di Indonesia, usable field strength ditentukan di dalam Keputusan Menteri Perhubungan 15 Tahun 2003 dan aturan-aturan perubahannya. Rekomendasi ITU-R (Rec 450-1): Maksimum frekuensi deviasi (±75 kHz atau ±50 kHz) Negara-negara Indonesia, USSR, dan sebagian Eropa menggunakan ±75 kHz, sementara negara-negara USA & Eropa Barat menggunakan ±50 kHz.
2
PROPAGASI MAKSIMUM Sesuai KM 76 Tahun 2003 propagasi maksimum dalam satu wilayah layanan siaran dibatasi oleh garis contour terluar wilayah jangkauan dari group kanal frekuensi, besarnya nilai median field strength (dBuV/m) diukur menggunakan antenna dengan ketinggian 10 meter dari permukaan tanah, hasil pengukuran tidak boleh lebih besar dari tabel 2. Aturan ini dibuat untuk mencegah interferensi dengan wilayah layanan siaran yang bersebelahan. Untuk mencegah interferensi dari wilayah layanan yang bersebelahan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : a) Membatasi ERP (daya radiasi efektip) yaitu besarnya daya pemancar (dBw) ditambah dengan gain antenna (dB). b) Merencanakan pola radiasi (horizontal dan vertical) dengan benar, hal ini akan menentukan besarnya gain directivity (perolehan terarah) sesuai dengan wilayah layanan. c) Merencanakan sudut beam tilt antenna pemancar dengan benar, yang dapat dilakukan dengan cara elektrik atau mekanik. d) Merencanakan ketinggian antenna pemancar dengan benar; hal ini akan menentukan jarak maksimun propagasi yang dapat dicapai. Dari tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa dibutuhkan kuat medan listrik jalur “UHF” lebih besar daripada jalur “VHF”, ini disebabkan karena adanya perbedaan pada : a) Redaman ruang bebas (“free space loss”), Lo. b) Tegangan masukan pada pesawat penerima, Vin. Untuk lebih jelasnya kedua perbedaan tersebut dapat diterangkan sebagai berikut : Redaman ruang bebas, Lo.
DRAFT RDTP
III/2
Lo
= 10 log 16 π2 d2 / λ2 = 20 log ( 4 π d / λ) = 20 log 4 π + 20 log d - 20 log λ
------------(dB) ------------(dB) ------------(dB)
Dimana :
d = jarak antenna pemancar dengan antenna penerima (m). λ = panjang gelombang (m)
Misalkan :
d = 50 km f1 = 189,25 Mhz (kanal 6 jalur “vhf”) f2 = 807,25 Mhz (kanal 70, jalur “uhf”)
Diperoleh : Lo vhf
= 21,984 dB + 20 log 50.103 – 20 log 1,58 = 21,984 dB + 93,97 dB – 4 dB = 111,95 dB
Lo uhf
= 21,984 dB + 93,97 dB – 20 log 0,37 = 21,984 dB + 93,97 dB + 8,59 dB = 124,54 dB
Tegangan masukan pada pesawat penerima Vin. Vin = E x (λ/π) x √(50 ohm/73ohm)x√(gt/L) Dimana : E = kuat medan listrik λ / π = panjang efektif antenna (mtr) gt = gain antenna L = redaman “feeder line” 50 ohm = impedansi “feeder line” 73 ohm = impedansi antenna λ/2 Persamaan dapat diubah ke dalam besaran decibel sebagai berikut : Vin = 10 log E(dBu)+10log (λ/π) +10log √(50 ohm/73ohm)+10 log √(gt/L) Misalkan : E = 70 dBu f1 = 189,25 Mhz, λ = 1,58 meter f2 = 807,25 Mhz, λ = 0,37 meter gt = 6,3 kali L= 2 dB = 1,58 kali Diperoleh : Vin vhf = 70dBu + 10 log(1.58/ π ) + 10 log √(50/73) + 10 log√(6.3/1.58) = 70 dBu – 2,98 dB – 0,82 dB + 3 dB = 69,2 dB Vin uhf = 70 dB + 10 log(0.37/ π) – 0.82 dB + 3 dB = 70 dB – 9.29 dB – 0.82 dB + 3 dB = 62.8 dB Dari kedua perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa :
DRAFT RDTP
III/3
1. Redaman band UHF lebih besar daripada band VHF, dapat dituliskan bahwa semakin tinggi frekuensi akan semakin besar redaman. 2. Tegangan masukan (Vin) pada input terminal penerima UHF lebih kecil daripada terminal penerima VHF walaupun keduanya menerima field strength yang sama besarnya.
3
PENGEMBANGAN WILAYAH JANGKAUAN PENYIARAN
3.1
UMUM Dengan mempertimbangkan beberapa aspek diantaranya: perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya, dan kondisi lingkungan lainnya, pengembangan wilayah jangkauan wilayah siaran dapat dilakukan dengan tetap mengacu kepada Keputusan Menteri Perhubungan No: KM. 76 tahun 2003, tentang Rencana Induk (master plan) frekuensi radio penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan televisi siaran analog pada pita ultra high frekuensy (UHF).
3.2
PERENCANAAN JARINGAN TRANSMISI Pengertian umum jaringan transmisi (stasiun relai) adalah kombinasi dua atau lebih pemancar stasiun relai tv/radio yang membentuk suatu jaringan untuk mentransmisikan program yang sama, dalam suatu wilayah jangkauan terbatas. Jaringan transmisi stasiun relai yang terdiri dari beberapa pemancar dapat terhubung menggunakan : microwave link, fiber optic, demodulator/transposer dll, untuk membentuk jaringan transmisi ITU-R Report 944 merekomendasikan penggunaan Regular Lattice Network (RLN) dapat dijadikan acuan untuk memenuhi standar internasional dalam merencanakan jaringan transmisi yang efisien dalam penggunaan frekuensi, band width (9 kHz untuk siaran AM, 100 atau 200 kHz untuk siaran audio FM, 7 atau 8 MHz untuk siaran TV). Dalam membentuk sebuah jaringan transmisi diperlukan beberapa persyaratan teknik agar diperoleh kualitas jaringan yang memenuhi standar internasional, antara lain :
3.2.1
PROTECTION RATIO ITU-R merekomendasikan perbandingan wanted to unwanted atau perbandingan desired to undesired (D/U) untuk kanal yang sama (cochannel) >45 dB ; untuk kanal yang bersebelahan (adjacent channel) dibutuhkan D/U >6 dB. Terdapat beberapa metode untuk mendapatkan D/U>45dB dalam perencanaan jaringan transmisi yang menggunakan kanal yang sama (cochannel) dalam satu wilayah jangkauan siaran, yaitu: a) Menggunakan tapis “RF” (30 dB), dengan menambahkan rangkaian RF filter pada perangkat penerima (translator).
DRAFT RDTP
III/4
b) Antenna “diversity” (15 dB), dengan menyusun 2 atau lebih antenna penerima (translator) secara vertical. c) Antenna “directivity” (16 dB), dengan menambah elemen pengarah pada antenna penerima (translator). d) “Cross polarization” (10 dB), dengan menggunakan polarisasi yang berbeda (vertikal atau horizontal) pada sisi pemancar. 3.2.2
SIGNAL to NOISE RATIO Signal to Noise ratio adalah perbandingan tegangan peak to peak dari signal video dengan tegangan average noise. {S (p – p) / N (rms)}. Karakteristik VSB (vestigial side band) akan dikoreksi pada rangkaian demodulator, peak to peak signal video menjadi 62,5% dari √2 visual carrier. S(p-p) = V - ½.√2.0,625 S(p-p) = V - 20 log (½.√2.0,625) S(p-p) = V - 20 .( log½+log√2+log0,625) S(p-p) = V - 20 . ( -0.301 +0.15 -0.204 ) S(p-p) = V dBuv - 7 dB
(volt) (dBv) (dBv) (dBv) (dBuv)……..
(1)
Average noise voltage pada input terminal translator adalah: N(w) = KTBF (watt) Dimana : N(w) = besarnya noise dalam watt pada input terminal tv translator K = konstanta (1.38 x 10²³) T = 30º C = 303º k = 273º + 30º B = band width (5 MHz untuk system B&G) F = noise figure N(dBw)
= 10 log (1.38 x 10²³ x 303 x 5000.000) + F = -136.8 + F (dBw)…….. (2)
Hubungan antara tegangan (v) dan daya (w) pada impedance 50 ohm input terminal adalah: N(w)
= N²(v)/50
N(dBw)
= 10 log [N²(v) x (1/50)] = NdBuv – 137
(dBw)…….
(3)
Dari persamaan (2) dan (3) tegangan input voltage tv translator adalah : NdBuv ≈ F
(dBuv)……
(4)
(dB)………
(5)
Dari persamaan (1) dan (4), S/N. diperoleh : S(p-p) / N(rms) = VdBuv – 7 – F
Hubungan antara input voltage penerima dengan Field strength: V = ½ E . λ/ π . √G . √(R/73). 1/L (V)………. (6) = 20 log½ E . 20 log (300.10²/F. π) + 10 log G . (R/73) + 20 log (1/L) DRAFT RDTP
III/5
= -6 +20 log E + 39.6 – 20 log F + GdB – 1.64 – LdB ≈ 20 log E – 20 log F(MHz) + G dB – LdB + 32 V(dBuv) ≈ E(dBuv/m) – 20logF(MHz) + G dB – L (dB) + 32 (dBuv) …(7) Dimana:
V = receiving input voltage E = receiving input field strength λ = panjang gelombang G = gain antenna penerima R = antenna impedance 50 ohm L = loss kabel
Hubungan antara Field strength dengan S/N diperoleh dari distribusi persamaan (7) dan (5), diperoleh: S(p-p) / N(rms) = E(dBuv/m)–20logF(MHz)+G dB–L(dB)–F+25 (dBuv).....(8) 3.2.3
INTERFERENSI Interferensi adalah signal yang tidak diinginkan (Undesired) mengganggu signal yang diinginkan (Desired), gangguan ini akan mengurangi kualitas reproduksi signal informasi. Pada dasarnya ada empat macam interferensi yaitu : a) Interferensi kanal yang sama (co-channel) dan kanal bersebelahan (adjacent channel), pemakaian kanal yang sama atau bersebelahan oleh dua buah pemancar dapat menyebabkan gangguan, gangguan ini akan tampak pada layar tv sebagai bentuk pola yang bergerak mendatar. b) Interferensi “RF”, disebabkan oleh kelipatan frekuensi dari suatu pemancar yang masuk ke kanal televisi, gangguan ini akan tampak sebagai pola yang tidak beraturan. c) “Man the impulsive interference”, Interferensi yang ditimbulkan oleh loncatan listrik, misalnya pengapian dalam suatu sistem kendaraan bermotor, kontak listrik, dll. Akan tampak pada layar televisi berupa bintik– bintik putih. d) “Atmospheric noise interference”, Interferensi yang ditimbulkan oleh NOISE RF akibat dari petir, akan tampak pada layar televisi berupa bintik– bintik putih. Dalam perencanaan suatu jaringan transmisi apabila terjadi interferensi yang tidak dapat dihindari harus diusahakan pengaruh yang timbul sekecil mungkin dengan menerapkan perbandingan proteksi signal yang diinginkan terhadap signal yang tidak diinginkan lebih, dikenal dengan “desired undesired “ (“D/U Protection Ratio”).
3.2.4
REGULAR LATTICE NETWORK ITU-R Report 944 merekomendasikan penggunaan Regular Lattice Network (RLN) untuk keperluan perencanaan alokasi frekuensi, dalam meng-implementasikan Regular Lattice Network (RLN) harus diasumsikan bahwa perencanaan perangkat pemancar dalam satu jaringan harus
DRAFT RDTP
III/6
identik yaitu mempunyai daya pancar (ERP) yang sama, oleh karena itu harus di asumsikan mempunyai ketinggian lokasi yang sama, tetapi dalam implementasinya dan kenyataanya permukaan bumi tidak rata disebabkan oleh perbedaan contour permukaan tanah, apabila diasumsikan daya pancar (ERP) harus identik akan menyebabkan perbedaan jangkauan pancaran dari masing-masing pemancar dalam satu jaringan yang akan mengakibatkan interferensi, hal ini dapat diatasi dengan menurunkan daya pancar (ERP) sesuai dengan kebutuhan jangkauan siaran apabila lokasi pemancar berada di daerah yang contour permukaan tanahnya tinggi.
Gambar 1: Lokasi dan jangkauan siaran pemancar dalam regular network Dapat dilihat pada gambar 1 bahwa titik a,b,c merupakan pusat lingkaran yang me-representasikan jangkauan siaran, masing-masing lingkaran terbagi dalam 6 segmen yang identik dengan jajaran genjang (rhombic) abcd. Gambar berikutnya merupakan penjelasan untuk menentukan jumlah kanal yang digunakan dalam sebuah grup jaringan transmisi, sumbu x dan y dengan perbandingan panjang 4 : 3 membentuk sudut 60º di titik O, panjang diagonal D = √37 = N (jumlah kanal). Gambar 2 adalah contoh perencanaan kanal, untuk menentukan N (jumlah kanal) = 13, kita sebut modulo 13 = (2,4,6,8,10,12,1,3,5,7,9,11,0), dalam perencanaan perhitungan tersebut kita harus merencanakan penggunaan alokasi frekuensi yang minimum untuk meradiasi satu wilayah dan serendah mungkin terjadinya interferensi yaitu dengan memperhitungkan cochannel protection ratio, dengan demikian diawal perencanaan kita harus sudah menentukan channel spacing = 2 kanal, dan re-used channel. Panjang diagonal D atau jarak OD adalah jarak terjauh untuk menggunakan frekuensi yang sama (co-channel), dengan memperhitungkan interferensi paling rendah.
DRAFT RDTP
III/7
Gambar 2: Contoh Regular lattice untuk 13 kanal (Modulo 13)
Dari persamaan:
a² + a.b + b² = N a² + a.b + b² = 13 3² + 3.1 + 1² = 13
dapat ditulis: Dari persamaan
(dimana N=13) (diperoleh : a = 3, b = 1)
b.p + a.q = k.N 1.p + 3.q = 2.13 1.11 + 3.5 = 26
(k = bilangan integer =2) (diperoleh : p = 11, q = 5)
dimana : p = sumbu x, q = sumbu y. Nilai p dan q adalah channel spacing pada arah sumbu x dan y, untuk sumbu y diperoleh (0,5,10,2,7,12,4,9,1,6,11,3,8,0,dst), untuk sumbu x diperoleh (0,11,9,7,5,3,1,12,10,8,6,4,2,dst). Untuk memudahkan perhitungan mencari nilai a dan b (disebut bilangan rhombic) dengan menggunakan table 4 berikut:
a b 1 2 3 4 5 6
DRAFT RDTP
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
3 -----------
7 -----------
13 19 ---------
21 --37 -------
31 39 49 61 -----
43 ------91 ---
57 67 79 93 109 127
73 --97 --129 ---
91 103 --133 151 ---
111 --139 -------
133 147 ---------
157 -----------
III/8
Table 4: Bilangan rhombic Kita tentukan terlebih dahulu jumlah frekuensi (N) untuk jaringan transmisi yang direncanakan (N = 21) kemudian di tarik vertical diperoleh (a = 4), horizontal diperoleh (b = 1), nilai p dan q dapat diperoleh menggunakan persamaan b.p + a.q = k.N (k = bilangan integer =2), yaitu (p = 2), (q = 10). Pada gambar 2.3 menunjukan contoh jaringan dengan jumlah kana 26, untuk nilai N=26, keadaan seperti ini dimana 26 adalah bukan rhombic number, dapat dilihat jarak terdekat untuk co-channel adalah sisi sejajar terpendek = 4,358 (nilai ini mendekati √26 = 5,099), panjang untuk jarak cochannel berikutnya adalah sisi sejajar terpanjang atau diagonal terpendek adalah 5,291 dan 6,082.
Gambar 3: Contoh Regular lattice untuk 26 & 31 kanal.
3.2.5
JARINGAN TRANSMISI MENGGUNAKAN TRANSPOSER (TRANSLATOR) Terdapat banyak cara untuk membentuk jaringan transmisi diantaranya adalah menggunakan: fiber optic, cable carrier, microwave link, transposer (translator),dsb. Menggunakan transposer (stasiun pengulang) adalah cara termudah dan cukup efisien untuk low & medium power transmitter, hal ini sudah dilakukan di banyak negara termasuk Jepang (NHK) dan Indonesia (TVRI).
DRAFT RDTP
III/9
Cara kerja transposer sangat sederhana yaitu menerima frekuensi carrier signal dari stasiun pemancar induk kemudian frekuensi di turunkan hanya sampai tingkat IF (33,4 s/d 38,9 MHz) dan kemudian di campurkan dengan local osilator untuk mendapatkan frekuesi carrier yang baru. Kualitas informasi (gambar & suara) sangat ditentukan oleh besarnya signal to noise ratio (S/N) yang diterima oleh stasiun penerima, untuk menghasilkan kualitas informasi yang sempurna dibutuhkan S/N = >40 dB, untuk itu tv jaringan transposer dibatasi hanya 3 lintasan. Pada dasarnya ada 2 macam stasiun pengulang yaitu : 1) Pemancar pengulang tanpa frekuensi menengah 2) Pemancar pengulang dengan frekuensi menengah Dimana : Fr = Frekuensi penerima Ft = Frekuensi pemancar Fo = Frekuensi local osilator = (Fr – Ft) atau (Ft – Fr). Kekurangan pemancar pengulang tanpa sistem frekuensi menengah dalam meneruskan signal warna akan mengalami distorsi “Group delay” akibat pemotongan band frekuensi pada rangkaian band pass filter masukan dan output. Pada gambar 3.4 memperlihatkan pemancar pengulang dengan frekuensi menengah, distorsi “Group delay” dapat diatasi dengan menambahkan rangkaian kompensasi pada bagian frekuensi menengah yang bekerja pada daerah frekuensi 33,4 Mhz s/d 38,9 Mhz.
Gambar 4: Blok diagram Translator
3.2.6
SIGNAL to NOISE RATIO (S/N) Perhitungan S/N untuk multi hop translator dapat dihitung dengan persamaan : -----------------------------------------(9)
DRAFT RDTP
III/10
Stasiun induk
TLR 1
TLR 2
TLR n
(S/N)0
(S/N) 1
(S/N) 2
(S/N) n
(S/N)t
Gambar 5.a: Multi hop translator Total S/N dihitung dengan menggunakan persamaan: (S/N)t = 1/n (S/N) = (S/N) - 10 log(dB) ------------------------------------(10) Contoh perhitungan: Vi = 65 dBuv Noise figure (F) = 8 dB Stn induk 0
(S/N)=50dB
Vi = 63 dBuv F = 8 Db
TLR 1 1
Vi = 58 dBuv F = 8 dB
TLR 2 2
(S/N)t1
TLR 3 3
(S/N)t2
(S/N)t3
Gambar 5.b: Multi hop translator Menggunakan persamaan (11) dihitung individual S/N = V dBuV – 7 - F -------------------------------------TLR1 = (S/N)1 = 65-7-8 = 50 dB TLR2 = (S/N)2 = 63-7-8 = 48 dB
(11)
TLR3 = (S/N)3 = 58-7-8 = 43 dB Menggunakan persamaan dibawah ini dihitung total S/N
(
)t1
t2
(
DRAFT RDTP
)t3
=
=
=
=
= 50 dB – 10 log 2 = 47dB
=
= 48 dB – 10 log 2.26 = 44.5dB
=
= 44.5 dB – 10 log 2.41 = 40.7dB
III/11
4
PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO Ditjen Postel adalah Lembaga Pengelola Spektrum Frekuensi Radio yang terdaftar pada Organisasi Internasional (ITU) sebagai Administrasi Telekomunikasi, mewakili negara dalam forum internasional dan regional untuk bidang pengelolaan spektrum frekuensi radio. Sesuai dengan KM No. 76 Tahun 2003 dan KM No 15 Tahun 2003 telah diatur penggunaan pita frekuensi untuk siaran televisi pada jalur UHF Band IV dan Band V , jalur VHF band I, II dan band III, serta alokasi frekuensi untuk siaran radio AM sesuai dengan ITU-R sebagai berikut: Short Wave : Penggunaan untuk Siaran Radio AM Batas Frekuensi bawah (kHz)
Batas Frekuensi atas (kHz)
2300 3200 3900 4750 5730 6890 7100 9250 11500 13570 15030 17480 18900 21450 25670
2495 3400 4000 5060 6295 6990 7600 9900 12160 13870 15800 17900 19020 21750 26100
Medium Wave : Penggunaan untuk Siaran Radio AM Batas Frekuensi Bawah (kHz)
Batas Frekuensi atas (kHz)
520
1710
Keterangan
Band I : Penggunaan untuk Siaran televisi Nomor Kanal 2
Batas Frekuensi Bawah (MHz) 47
Batas Frekuensi atas (MHz)
3
54
61
4
61
68
54
Band II : Penggunaan untuk Siaran Radio FM Batas Frekuensi Bawah (MHz) 88
Batas Frekuensi atas (MHz)
Keterangan
108
Band III : Penggunaan untuk Siaran televisi Nomor
DRAFT RDTP
Batas Frekuensi Bawah
Batas Frekuensi atas (MHz)
Keterangan
III/12
Kanal
(MHz)
5
174
181
6
181
188
7
188
195
8
195
202
9
202
209
10
209
216
11
216
223
12
223
230
Band IV : Penggunaan untuk siaran televisi Nomor Kanal 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Batas Frekuensi (MHz) 478-486 486-494 494-502 502-510 510-518 518-526 526-534 534-542 542-550 550-558 558-566 566-574 574-582 582-590 590-598 598-606
Frekuensi Carrier Video (MHz) 479.25 487.25 495.25 503.25 511.25 519.25 527.25 535.25 543.25 551.25 559.25 567.25 575.25 583.25 591.25 599.25
Band V : Penggunaan untuk siaran televisi Nomor Batas Frekuensi Carrier Kanal Frekuensi Video (MHz) (MHz) 38 606-614 607.25 39 614-622 615.25 40 622-630 623.25 41 630-638 631.25 42 638-646 639.25 43 646-654 647.25 44 654-662 655.25 45 662-670 663.25 46 670-678 671.25
DRAFT RDTP
Frekuensi Carrier Audio (MHz)
Keterangan
484.75 492.75 500.75 508.75 516.75 524.75 532.75 540.75 548.75 556.75 564.75 572.75 580.75 588.75 596.75 604.75
Frekuensi Carrier Audio (MHz) 612.75 620.75 628.75 636.75 644.75 652.75 660.75 668.75 676.75
Keterangan
III/13
47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
DRAFT RDTP
678-686 686-694 694-702 702-710 710-718 718-726 726-734 734-742 742-750 750-758 758-766 766-774 774-782 782-790 790-798 798-806
679.25 687.25 695.25 703.25 711.25 719.25 727.25 735.25 743.25 751.25 759.25 767.25 775.25 783.25 791.25 799.25
684.75 692.75 700.75 708.75 716.75 724.75 732.75 740.75 748.75 756.75 764.75 772.75 780.75 788.75 796.75 804.75
III/14
BAB IV PEDOMAN DAFTAR UJI PEMERIKSAAN SENDIRI
RDTP
BAB IV
RDTP
PEDOMAN DAFTAR UJI PEMERIKSAAN SENDIRI 1
UMUM
IV-1
2
SIGNAL AUDIO
IV-1
3
SIGNAL VIDEO
IV-2
4
KEDALAMAN MODULASI
IV-4
5
DAYA EFEKTIP (EFFECTIVE POWER)
IV-4
6
PERBANDINGAN DAYA EFEKTIP DENGAN DAYA PUNCAK IV-6
7
PERUBAHAN DAYA (REGULATION OUTPUT POWER)
IV-6
8
TANGGAPAN FREKUENSI (FREQUENCY RESPONSE)
IV-7
9
PERUBAHAN PENGUATAN (DIFFERENTIAL GAIN)
IV-7
10 PERUBAHAN FASA (DIFFERENTIAL PHASE)
IV-9
11 FREKUENSI RENDAH TIDAK LINIER (LF NON LINEARITY)
IV-10
12 DISTORSI WAVEFORM SIGNAL VIDEO
IV-10
13 NOISE BERKALA (PERIODIC NOISE)
IV-14
14 NOISE ACAK (RANDOM NOISE)
IV-15
15 SIMPANGAN FREKUENSI AUDIO (AUDIO DEVIATION)
IV-16
16 TANGGAPAN FREKUENSI AUDIO
IV-19
17 DISTORSI HARMONIK (HARMONIC DISTORTION)
IV-20
18 NOISE FREKUENSI MODULASI (FM NOISE)
IV-21
19 NOISE MODULASI AMPLITUDO (AM NOISE)
IV-21
20 INTERMODULASI
IV-22
21 CROSSTALK
IV-23
22 CHANNEL SEPARATION
IV-24
23 ENVELOPE DELAY
IV-24
24 VOLTAGE STANDINGWAVE RATIO (VSWR)
IV-28
25 FIELDSTRENGTH
IV-29
BAB IV
PEDOMAN DAFTAR UJI PEMERIKSAAN SENDIRI
1
KETENTUAN UMUM Uji Pemeriksaan Sendiri adalah suatu kegiatan yang harus dilaksanakan sendiri atau pun dengan dibantu pihak lain mengenai parameter tehnik dengan hasil norma atau ukuran kinerjanya di setiap sub-sistem ataupun sistem perangkat penyiaran yang digunakan Lembaga Penyiaran. Uji Pemeriksaan Sendiri semata-mata dimaksudkan untuk menjamin dan memelihara masyarakat penerima siaran mendapatkan signal siaran yang sebaik-baiknya. Lembaga Penyiaran menyusun Laporan Uji Pemeriksaan Sendiri yang meliputi atau memuat ; periode kegiatan, waktu uji, parameter uji dan norma acuan, norma hasil uji, instrumen uji yang digunakan. Jika terdapat beberapa kesamaan parameter pengukuran untuk penyiaran radio (audio) dan televisi (audio dan video), maka cara pengukuran dilakukan dengan cara yang sama.
2
SIGNAL AUDIO (Pengukuran Untuk Penyiaran Radio dan Televisi) Tujuan pengukuran adalah untuk mengukur besarnya level audio untuk keperluan peyiaran. Signal Audio mengandung pengertian teknik sebagai : Suatu gelombang elektris yang perubahan ukuran-ukurannya merepresentasikan keadaan ukuran suara akustis. Lembaga Penyiaran radio atau televisi memproses signal audio ini dengan se- baik-baiknya sampai ke masyarakat penerima siaran. Ukuran atau kriteria signal audio yang baik diawali dengan batas maksimal dan minimal intensitas dari periode per detik. Kisi-kisi ukuran signal audio dalam tampilan grafis sebagai berikut : Sumbu mendatar merepresentasikan waktu dengan satuan detik, sumbu tegak merepresentasikan ukuran intensitas /kekuatan dengan satuan dB atau Volt. Signal Audio untuk testing pra-operasional siaran disebut Tone 1 KHz. Berbentuk sinusoida berdurasi 1milidetik dan intensitas 6 dBm atau 1,5 V rms.
DRAFT RDTP
IV/1
Gambar : Kisi-kisi Signal Audio 3
SIGNAL VIDEO (Pengukuran Untuk Penyiaran Televisi) Tujuan pengukuran adalah untuk mengukur besarnya level audio untuk keperluan peyiaran. Signal Video mengandung pengertian tehnik sebagai : Suatu gelombang elektris yang peruba han ukuran-ukurannya merepresentasikan keadaan ukuran gambar optis. Lembaga Penyiaran televisi memproses signal video ini dengan sebaikbaiknya sampai kepada masyarakat penerima siaran. Ukuran atau kriteria signal video yang baik diawali dengan batas maksimal dan minimal intensitas dari periode per detik, ditambah dengan kondisi signal bantu (sinkronisasi) yang berfungsi mengendalikan setiap intensitas video pada posisi yang benar. Kisi kisi ukuran sigal video dalam tampilan grafis sebagai berikut : Sumbu mendatar merepresentasikan waktu dengan satuan detik, sumbu tegak merepresentasikan ukuran intensitas /kekuatan dengan satuan Volt.
DRAFT RDTP
IV/2
0,7 volt =max putih
Signal Video 0,15
0 volt 0,15 hitam
0,3 volt
blackburst = 0,3V horisontal sync atau SYNC = 0,3 V
Gambar : Kisi-kisi Signal Video
Signal Video untuk testing pra-operasional siaran disebut Colorbar dengan ukuran 100 % hitam putih dan 75 % saturasi warna, disingkat Colorbar100/75. COLORBAR VIDEO SIGNAL 100/75 0,7 volt =max putih 0,64 0,57 0,53 0,45
0,07
0,1
0,15
0,02
hitam
h
0 volt blackburst atau burst= 0,3V
horisontal sync atau SYNC = 0,3 V
Wh
Y
Cy
G
Mg
R
B
0,15
0,3 volt
Bk
FRAME TV PICTURE Aspect Ratio = 4 : 3
3
4
Wh = white Y = Yellow Cy = Cyan G = Green Mg = Magenta R = Red B = Blue Bk = Black.
COLORBAR 100/75 : Test signal televisi berupa balok-balok warna, putih dan hitam dengan kekuatan /level 100 % putih - hitam sedangkan warna adalah 75 % saturation.
DRAFT RDTP
IV/3
4
KEDALAMAN MODULASI (Pengukuran Untuk Televisi) Tujuan pengukuran ini adalah mengukur kedalaman modulasi menggunakan signal “saw tooth” pada signal selubung (“Envelope signal”), spesifikasi teknik untuk kedalaman modulasi adalah 10% s/d 12,5%. Signal masukan adalah video dengan level 1 v p-p terdiri dari 0,7 volt untuk video dan 0,3 volt untuk pulsa sinkronisasi.
Gambar 4.3: Kedalaman Modulasi Kedalaman modulasi harus dijaga 10% s/d 12,5%, apabila modulasi menyentuh carrier zero (over modulasi) berarti pada saat tersebut signal carrier yang dipancarkan mengalami distorsi, akibatnya adalah informasi (video dan audio) akan mengalami distorsi (distorsi), akibat lain adalah spourius radiasi akan menyebar ke seluruh kanal disebelahnya menyebabkan interferensi. Alat pengukuran dapat menggunakan Envelope demodulator yang dilengkapi dengan Quench pulse.
5
DAYA EFEKTIP (EFFECTIVE POWER)
5.1
Pengukuran Untuk Televisi
Osciloscope
atau
Tujuan pengukuran adalah untuk mengukur besarnya daya pemancar untuk keperluan peyiaran. Enerji yang dibutuhkan untuk menaikkan temperature 10 pada 1 cc air adalah 4,18 watt/detik, apabila diubah menjadi besaran kilo watt/menit sebagai berikut : (4,18 x 10-3) / 60 = 0,0698.10-3
DRAFT RDTP
IV/4
Volume air pendingin yang melewati beban adalah dalam litter per menit,maka : 0,0698.10-3 = 0,0698 Daya efektif (Kilo Watt) = 0,0698.T.Q Dimana :
Input signal black level (pulsa sikronisasi 0,3 volt) T = Perbedaan temperature air yang masuk dengan air yang keluar (Derajat Celcius) Q = Volume air yang melewati beban (liter per menit)
Gambar 4.4: Daya efektif 5.2
Pengukuran Untuk Radio FM dan Televisi Tujuan pengukuran adalah untuk mengukur besarnya daya pemancar untuk keperluan peyiaran. Pemancar
Linier detector
Dummy load
Power meter
Pemancar di operasikan dengan beban menggunakan power meter sebagai berikut:
dummy
load,
alat
ukur
Hasil pengukuran (average): pembacaan meter (dBm) - Linier detector (60dB)
DRAFT RDTP
IV/5
6
PERBANDINGAN DAYA EFEKTIP DENGAN DAYA PUNCAK (Pengukuran Televisi) Pengukuran dilakukan dengan “Envelope Osciloscope”, untuk menghitung daya puncak sebagai berikut : Frekuensi horizontal = 15.625 Khz Waktu yang diperlukan adalah = 1 / 15.625 Khz = 64 Mikro detik. 0,08 horisontal = 5.12 Mikro det.
Amplitudo Periode level daya Periode level Blanking
Level daya
Waktu
2
100 75
(1) .100 = 100 ( 0,75 )2. 100 = 56
0,08 H 0,92 H
Daya efektip 100 x 0,08 =8 56 x 0,92 = 51,52
Total daya efekt ip
59,52
Perbandingan antara daya puncak dengan daya efektip adalah : (Daya puncak) / (Daya efektip) = (100 / 59.52) = 1.68
7
PERUBAHAN DAYA (REGULATION OUTPUT POWER) (Pengukuran Televisi) Tujuan pengukuran ini adalah mengukur perubahan daya output apabila signal masukan berubah ubah dari level hitam ke level putih atau sebaliknya, spesifikasi teknik yang direkomendasikan adalah 2%. Perubahan level daya output (P) adalah : P = (( X – Y) / ½ (X + Y)) x 100% Perubahan level “Blanking” (Q) adalah : Q = ((A – B)) / ½ (A + B) x 100%
Gambar 4.5: Perubahan daya
DRAFT RDTP
IV/6
8
TANGGAPAN FREKUENSI (FREQUENCY RESPONSE) (Pengukuran Televisi) Tujuan pengukuran ini adalah untuk mengukur lebar bidang kanal video pemancar dalam bentuk “Vestigial Side Band”, signal masukan adalah frekuensi yang berubah – ubah dari 0 s/d 10 Mhz dengan level tetap 0,7 volt dan pulsa sinkronisasi 0,3 volt. Signal ini dinamakan “Sweep Signal” yang diperoleh dari output “Test Video Generator”. Pemancar dioperasikan dan dibebani dengan beban 50 ohm, signal output berupa signal “RF” yang termodulasi oleh “Sweep Signal” setelah diredam oleh “directional coupler” dimasukkan ke alat ukur “Side band Adaptor” yang akan mendeteksi signal masukan. Signal output dari alat ukur adalah signal vertical dan signal horizontal, merupakan input osiloskop untuk mengukur bentuk “Vestigial Side Band” dari pemancar yang diukur. Spesifikasi teknik yang direkomendasikan oleh “ITU-R” untuk sistem B&G dapat dilihat pada gambar 4.6.
Gambar 4.6: Video Frekuensi Response
9
PERUBAHAN PENGUATAN (DIFF GAIN) (Pengukuran Televisi) Tujuan pengukuran adalah mengukur linieritas rangkaian penguat pada daerah frekuensi sub carrier 4.43 MHz, perubahan level signal sub carrier 4,43 MHz, akan menyebabkan berubahnya warna yang diakibatkan oleh berubahnya level dan phase chrominance.
DRAFT RDTP
IV/7
Signal video input pengukuran adalah superimpose 4.43 MHz dengan video stair step, video composite ini dinamakan “Stair Step With Sub Carrier” yang diperoleh dari output “Test Video Generator”.Pengamatan menggunakan wave form monitor pada posisi “diff gain”.yang diukur setelah proses penguatan pada perangkat pemancar, perubahan penguatan (diff gain) dinyatakan dalam % dengan menghitung perbedaan amplitudo terbesar dengan terkecil. Perubahan penguatan yang di ijinkan pada daerah sub carrier warna 4,43 Mhz, lebih kecil dari 5%.
Gambar 4.7: Video Stair step dengan Sub Carrier 4,43 MHz
Gambar 4.8: Perubahan Penguatan (Diff Gain)
DRAFT RDTP
IV/8
10
PERUBAHAN FASE (DIFF PHASE) ( PengukuranTelevisi) Tujuan pengukuran adalah mengukur pergeseran phase frekuensi sub carrier 4.43 MHz yang di sebabkan oleh pemotongan amplitude sub carrier band frekuensi pada rangkaian inductance dan capacitance, perubahan phase akan mengakibatkan perubahan “hue” pada daerah terang dan gelap objek video. Diff phase akan timbul apabila signal sub carrier melewati rangkaian tidak linier dan mengalami pemotongan, Signal video input pengukuran adalah superimpose 4.43 MHz dengan video stair step, pengamatan menggunakan “Vector Scope” pada posisi “diff phase”, alat ukur akan membaca pergeseran phase dengan membandingkan phase superimpose 4.43 MHz dengan phase sub carrier 4.43, pergeseran phase dinyatakan dalam derajat (º) spesifikasi teknik yang di rekomendaikan adalah lebih kecil dari 50.
Gambar 4.9: Perubahan Fase (Diff Phase)
Gambar 4.10: Pemotongan sub carrier
DRAFT RDTP
IV/9
11
FREKUENSI RENDAH TIDAK LINIER (LF NON LINEARITY) (Pengukuran Televisi) Tujuan pengukuran ini adalah mengukur perubahan penguatan pada daerah frekuensi rendah (signal luminan), perubahan penguatan ini akan mengakibatkan berubahnya ketajaman video pada pesawat penerima, spesifikasi teknik yang direkomendasikan lebih kecil dari 5%. Pengamatan menggunakan wave form monitor pada posisi “LF non linier”.
Gambar 4.11: Perubahan Penguatan pada Frekuensi rendah (Non linier distortion)
12
DISTORSI WAVEFORM SIGNAL VIDEO (Pengukuran Televisi) Tujuan pengukuran adalah mengukur distorsi bentuk gelombang video dapat diukur mengggunakan signal square wave; 50Hz, 15 KHz, dan 250 KHz untuk mengukur frekuensi response pada daerah frekuensi rendah, pulsa sin square (sin²) ; ½ T, T, dan 2T untuk mengukur frekuensi response pada daerah frekuensi tinggi, pulsal sin square (sin²) 20T untuk mengukur delay chrominance inequality dan frekuensi response pada daerah 500 KHz, T adalah waktu selama ½ durasi amplitude lazimnya disebut Half Amplitudo Duration (HAD) dimana T = 100 nS. Menggunakan formula f = 1/ T dapat dihitung frekuensi dari sin square (sin²) ; Pulsa ½ T ; f = 1 / (½ T) = 1 / 50 ns = 20 MHz. Pulsa T ; f = 1 / ( T) = 1 / 100 ns = 10 MHz. Pulsa 2 T ; f = 1 / (2 T) = 1 / 200 ns = 5 MHz. Pulsa 20 T ; f = 1 / (½ T) = 1 / 2000 ns = 500 KHz. Spektrum frekuensi dari masing-masing pulsa akan membentuk frekuensi response pada daerah frekuensi response video, dengan demikian distorsi
DRAFT RDTP
IV/10
dan penurunan amplitude pada bentuk gelombang sin² menunjukan distorsi pada frekuensi-frekuensi tersebut diatas. Pembacaan hasil pengukuran menggunakan skala graticule mask waveform monitor, besaran K-faktor yang dinyatakan dalam % menentukan besarnya distorsi. Spesifikasi teknik K-faktor rating < 2%.
Gambar 4.12: Graticule untuk square wave 50 Hz
Gambar 4.13: Graticule untuk square wave 250 Hz
DRAFT RDTP
IV/11
Gambar 4.14: Pembacaan transient response untuk square wave 250 Hz.
Gambar 4.15: Pembacaan transient response untuk square wave 250 Hz
DRAFT RDTP
IV/12
dan pulsa 2T
Gambar 4.16: Signal Video Pulse & Bar.
DRAFT RDTP
IV/13
Gambar 4.17: Distorsi Pulsa 20 T
13
NOISE BERKALA (PERIODIC NOISE) (Pengukuran Televisi) Tujuan pengukuran ini adalah untuk mengukur noise video pada daerah frekuensi dibawah 10 Khz, signal masukan adalah signal video komplit 1 volt p-p dari “Test video generator”. Pemancar dioperasikan dan dibebani dengan beban 50 ohm, signal output berupa signal RF termodulasi dilewatkan pada “Linier detector” yang akan mendeteksi komponen frekuensi daerah rendah yaitu signal video komplit, signal output dimasukkan ke osiloskop setelah melewati “Capasitor Bypass” 0,01 uf untuk membuang frekuensi diatas 10 Khz. Spesifikasi teknik yang direkomendasikan untuk komponen “hum” dan “sync” lebih besar dari -50 dB.
DRAFT RDTP
IV/14
14
NOISE ACAK (RANDOM NOISE) (Pengukuran Televisi) Tujuan pengukuran ini adalah untuk mengukur noise signal video pada daerah frekuensi diatas 10 Khz, cara pengukuran sama seperti mengukur noise berkala tetapi “Capasitor Bypass” dilepas. Spesifikasi teknik lebih besar dari -40 dB.
Gambar 4.18: Pengukuran Periodic dan Random Noise
DRAFT RDTP
IV/15
15
SIMPANGAN FREKUENSI AUDIO (AUDIO DEVIATION) (Pengukuran Radio FM dan Televisi) Tujuan pengukuran adalah mengukur simpangan carrier audio akibat modulasi frekuensi. Pengukuran simpangan frekuensi ialah dengan mengukur spectrum signal masukan yang dimodulasikan dengan : Frekuensi modulasi”, dipilih 1 Khz, 3 Khz, 5 Khz dan 7,5 Khz. Pemancar dioperasikan dan dibebani dengan beban 50 ohm signal output adalah RF termodulasi dimasukkan ke alat ukur “spectrum analyzer”. Pada layar akan tampak signal carrier dengan jalur sisi, simpangan frekuensi akan diukur dengan menaikkan level signal masukan sampai jalur sisi yang pertama hilang, maka besarnya simpangan modulasi adalah : fd = fm x Mf, dimana : fm = Frekuensi signal masukan (Khz) Mf = Indeks modulasi Simpangan frekuensi +50 Khz untuk 100% modulasi. Untuk memudahkan pengukuran dapat menggunakan table Bessel’s sebagai berikut : Tabel “BESSEL’S FUNCTION” Jo(X) = 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
J1(X) = 0
Jo(X) = J1(X) X = 1.4347
X = 2.40484 X = 3.8317 X = 5.5201 X = 7.0156 X = 8.6535 X = 10.1735 X = 11.7915 X = 13.3237 X = 14.9301
Tabel Deviasi untuk Frekuensi 100 kHz, 300 kHz
Jo(X)=J1(X), X = 1.4347 Jo = 0 CARRIER ZERO
DRAFT RDTP
MODULASI (kHz) 100 kHz deviasi 300 kHz deviasin 69.701 kHz 209.103 kHz
1 st X=2.40484
41.583 kHz
124.748 kHz
2 nd X=5.5201 3 rd X=8.6535 4 th X=11.7915 5 th X=14.9301
18.116 kHz
54.347 kHz
11.556 kHz
34.668 kHz
8.4807 kHz
25.442 kHz
6.6978 kHz
20.093 kHz
IV/16
Gambar 4.19: Index Modulasi ketika carrier ditekan hingga menghilang
DRAFT RDTP
Frekuensi carrier di tekan
Index modulasi (RAD)
0 1
0 2.40
2 3 4
5.52 8.65 11.79
5.52 8.65 11.79
16.56 25.95 35.37
27.60 43.25 58.95
41.40 64.88 88.43
5 6 7 8
14.93 18.07 21.21 24.35
14.93 18.07 21.21 24.35
44.79 54.21 63.63 73.05
74.65 90.35 106.05 121.75
111.98 135.53 159.08 182.63
9 10
27.49 30.04
27.49 30.04
82.47 90.12
137.45 150.20
206.18 225.30
FREKUENSI DEVIASI (kHz) Modulasi Modulasi Modulasi Modulasi 1 kHz 3 kHz 5 kHz 7.5 kHz 0 0 0 0 2.40 7.20 12.0 18.0
IV/17
Gambar 4.20: Index Modulasi ketika Side band pertama ditekan hingga menghilang
DRAFT RDTP
Frekuensi carrier di tekan 0 1
Index modulasi (RAD) 0 3.83
Modulasi 1 kHz 0 3.83
2 3 4 5
7.02 10.17 13.32 16.47
7.02 10.17 13.32 16.47
21.06 30.51 39.96 49.41
35.10 50.85 66.60 82.35
52.65 76.28 99.90 123.53
6 7 8
19.62 22.76 25.90
19.62 22.76 25.90
58.86 68.28 77.70
98.10 113.80 129.50
147.15 170.70 194.25
9 10
29.05 32.19
29.05 32.19
87.15 96.57
145.25 160.95
217.88 241.43
FREKUENSI DEVIASI (kHz) Modulasi Modulasi Modulasi 3 kHz 5 kHz 7.5 kHz 0 0 0 11.49 19.15 28.73
IV/18
Contoh Pengukuran Frekuensi deviasi, Oscilator output = +10dBm, Tx input = osc o/p – ATT 1 kHz Frek Dev (kHz) 36.2 2.41 32.0 3.83
3 kHz ATT Frek (dB) Dev (kHz) 2.91 7.25 25.1 11.50
5 kHz Frek Dev (kHz) 27.4 12.01 23.3 19.16
7.5 kHz ATT Frek (dB) Dev (kHz) 26.6 18.02 22.5 28.73
29.0 26.9 25.0 23.7
5.52 7.00 8.65 10.17
22.0 19.8 18.0 16.6
16.55 21.06 25.95 30.51
20.2 18.1 16.2 14.8
27.66 35.08 43.27 50.87
19.3 17.3 15.4 14.0
22.4 21.4 20.4
11.79 13.32 14.93
15.3 14.3 13.3
35.37 39.96 44.79
13.6 12.5
58.96 66.62 74.66
88.43 99.90 111.98
19.5 18.8
16.47 18.02
12.4 11.6
49.41 54.21
82.35 90.96
123.53 135.53
ATT (dB)
ATT (dB)
41.40 52.65 64.88 76.27
Gambar 4.21: Contoh Pengukuran Deviasi
16
TANGGAPAN FREKUENSI AUDIO (Pengukuran Radio FM dan Televisi) Tujuan pengukuran ini adalah untuk mengukur tanggapan frekuensi antara 30 Hz s/d 15 Khz, pengukuran ini sama dengan mengukur kurva “Pre emphasis”. Signal masukan adalah frekuensi 30 Hz, 200 Hz, 1 Khz, 2 Khz, 5 Khz, 7,5 Khz, 10 Khz, 12,5 Khz dan 15 Khz, dengan frekuensi 400 Hz dipakai sebagai standard pengukuran.
DRAFT RDTP
IV/19
Signal output berupa RF termodulasi dengan simpangan frekuensi sebesar 25 Khz (50% modulasi) dimasukkan ke alat ukur “Audio demodulator” dengan posisi “De empasis off”, signal output diukur memakai “level & Distortion meter”. Spesifikasi teknik sesuai dengan kurva “Pre empasis” gambar 4.22
Gambar 4.22: Kurva Pre Emphasis.
Rangkaian pre emphasis ditempatkan pada pemancar untuk memperbaiki signal to noise ratio (S/N) pada daerah frekuensi tinggi audio signal, sedangkan rangkaian de emphasis di tempatkan pada pesawat penerima, Indonesia mengikuti standar ITU-R; time constant untuk pre emphasis dan de emphasis adalah 50 u detik.
17
DISTORSI HARMONIK (HARMONIC DISTORTION) (Pengukuran Radio FM dan Televisi) Tujuan pengukuran ini adalah mengukur distorsi pada signal audio, signal masukan dan cara pengukuran sama dengan mengukur tanggapan frekuensi tetapi simpangan frekuensi diatur sebesar 50 Khz dan posisi “De empasis on”. Spesifikasi teknik sebagai berikut : 30 Hz s/d 100 Hz 100 Hz s/d 10 Khz 10 Khz s/d 15 Khz
DRAFT RDTP
= < 1,5 % = < 1,0 % = < 1,5 %
IV/20
Gambar 4.23: Contoh pengukuran distorsi harmonic
18
NOISE FREKUENSI MODULASI (FM NOISE) (Pengukuran Radio FM dan Televisi) Tujuan pengukuran adalah mengukur distorsi FM pada audio signal. Simpangan frekuensi diatur sebesar 50 Khz, signal masukan frekuensi 400 Hz, signal output berupa RF termodulasi dimasukan kealat ukur “FM linier detector”. Kemudian signal masukan dilepas diganti dengan terminator 600 ohm. Signal output dari “FM linier detector” dimasukan ke alat ukur “Audio demodulator” yang outputnya dinasukkan ke alat ukur “Level & distortion meter”. Besarnya NOISE FM = ( level (dB) pada 400 Hz ) – ( level NOISE (dB) pada jalur 30 Hz s/d 15 khz ). Spesifikasi teknik sebesar -60 dB relative terhadap 100% modulasi pada 400 Hz.
19
NOISE MODULASI AMPLITUDO (AM NOISE) (Pengukuran Radio FM dan Televisi) Tujuan pengukuran adalah mengukur distorsi AM pada audio signal. Pemancar dioperasikan sesuai dengan daya output normal tanpa signal audio modulasi (terminal audio input ditutup dengan penahan terminator 600 ohm), input RF “AM detector” dihubungkan dengan “Directional coupler”, AM detector yang mempunyai dua output yaitu AC dan DC. Output DC dimasukan ke “VTVM” dan “RF attenuator” diatur untuk mendapatkan level 0,775 volt pada “VTVM”, output AC dimasukkan ke alat ukur “Level & distortion meter”, diatur input impedance sebesar 10 k Ohm.
DRAFT RDTP
IV/21
Menggunakan formula : AM NOISE (dB rms) = (20 Log (Pembacaan DC/Pembacaan Noise p-p) + 20 Log 2√2 Besarnya spesifikasi teknik adalah < 50 dB di bawah level carrier.
20
INTER MODULASI
20.1
PENGUKURAN TELEVISI Tujuan pengukuran adalah mengukur product carrier pada band video, keberadaan product carrier di akibatkan oleh rangkaian penguat (amplifier) yang tidak linier menyalurkan multi carrier. Video input pemancar berupa signal video superimpose dengan frekuensi sub carrier 4,43 MHz dengan level 1 volt p-p, pengukuran dilakukan menggunakan spectrum analyzer, pemancar dibebani dengan dummy load 50 ohm yang sesuai dengan daya output pemancar, input spectrum analyzer dihubungkan dengan terminal directional coupler pemancar yang mempunyai redaman 60 db, hasil pengukuran dapat dibaca pada spectrum analyzer seperti gambar (4.24 a). Frekuensi Inter modulasi, F Im = Fv + (Fa –Fsc) = Fv + 1.07 MHz
Gambar 4.24 a: Pengukuran level carrier dan product carrier
20.2
(PENGUKURAN RADIO FM STEREO) Tujuan pengukuran adalah mengukur spektral emisi output dari stereo encoder. Signal input encoder channel (L) dan channel (R) adalah audio tone di 30 hz s/d 15 kHz dengan level +10dBm, signal output encoder dihubungkan ke alat ukut spectum analyzer.
DRAFT RDTP
IV/22
Gambar 4.24 b: Pengukuran level pilot carrier dan Spectral emission
21
CROSSTALK (Pengukuran Radio FM Stereo) Tujuan pengukuran adalah untuk mengukur seberapa besar terjadi cosstalk diantara channel L dan channel R, crosstalk adalah distorsi yang disebabkan sebagian signal audio channel L atau channel R saling mengganggu. Signal input encoder channel (L) dan channel (R) adalah audio tone di 30 hz s/d 15 kHz dengan level +10dBm, signal output decoder channel (L) dan channel (R) dihubungkan ke alat ukut DFM (distortion factor meter).
Encoder
Decoder
DFM
Non Linear Cross talk f(kHz) 15 10 7 5 2 1 0,8 0,2 0,05 0,03
DRAFT RDTP
NLC for L on R % dB 0,05 -66 0,05 -66 0,05 -66 0,05 -66 0,05 -66 0,048 -66,4 0,042 -67,5 0,042 -67,5 0,04 -68 0,04 -68
NLC for R on L % dB 0,42 -67,5 0,048 -66,4 0,044 -67 0,04 -68 0,037 -68,6 0,035 -69 0,034 -69,4 0,034 -69,4 0,034 -69,4 0,034 -69,4
IV/23
Linear Cross talk f(kHz) 15 10 7 5 2 1 0,8 0,2 0,05 0,03
22
LC for L on R % dB 0,707 -43 0,223 -53 0,223 -53 0,223 -53 0,177 -55 0,177 -55 0,177 -55 0,158 -56 0,199 -54 0,177 -55
LC for R on L % dB 0,199 -54 0,63 -44 0,562 -45 0,501 -46 0,281 -51 0,199 -54 0,199 -54 0,158 -56 0,177 -55 0,177 -55
CHANNEL SEPARATION (Pengukuran Radio FM stereo) Tujuan pengukuran adalah mengukur separasi (pemisahan) antara channel (L) dengan channel (R). Pengukuran dilakukan dengan cara: input signal adalah audio sweep 20Hz s/d 20kHz dengan level 10dBm, dimasukan ke input stereo encoder, output stereo encoder dihubungkan ke input stereo decoder, output stereo decoder dihubungkan ke alat ukur pengukuran stereocoder. Hasil pengukuran akan berupa spectrum audio frekuensi sweep 20Hz s/d 20kHz, spesifikasi teknik yang di ijinkan adalah: 30Hz s/d 10kHz < -43dB 10kHz s/d 15kHz < -40dB
23
ENVELOPE DELAY (Pengukuran Televisi) Tujuan pengukuran adalah mengukur keterlambatan (delay). Perubahan kecepatan phase terhadap frekuensi. Envelope delay dinyatakan dalam dθ/dω, dimana θ = phase dan ω = frekuensi. Seperti diketahui signal video menggunakan spectrum frekuensi 0 s/d 5 MHz, oleh karena itu pengukuran envelope delay pada daerah spectrum video biasa disebut pengukuran “group delay”, keterlambatan phase terhadap frekuensi disebabkan oleh rangkaian filter yang memotong sebagian band frekuensi, keterlambatan akan terjadi pada daerah pemotongan tersebut. Pada perangkat pemancar rangkaian filter yang menyebabkan group delay adalah : a) Low pass filter (LPF), melewati 0 s/d 5 MHz. b) CIN Diplexer (Constant impedance notch diplexer), memotong band frekuensi 5.5 MHz. c) Vestigial side band filter (VSBF), memotong band frekuensi –1.25 MHz. d) Band pass filter (BPF), memotong band frekuensi daerah dibawah dan diatas channel frekuensi.
DRAFT RDTP
IV/24
Pada perangkat penerima rangkaian filter yang menyebabkan group delay adalah : a) Niquist filter. b) Sound notch filter. Untuk memperbaiki distorsi group delay, pada perangkat pemancar dilengkapi dengan rangkaian compensator (Tx Equalizer), sedangkan distorsi group delay pada sisi penerima dengan menempatkan rangkaian compensator (Rx Equalizer) di perangkat pemancar, pertimbangannya akan lebih murah dan efisien memasang satu buah compensator di sisi pemancar dibandingkan dengan memasang di sisi penerima.
Gambar 4.25: Envelope delay dan Phase delay Hubungan antara Phase delay dengan Envelope delay dapat di jelaskan sebagai berikut, apabila pada daerah frekuensi video (ω) ditempatkan sub carrier amplitude modulasi akan diperoleh: ω + Δ ω = ω1 ω - Δ ω = ω2 Ketika signal tersebut diatas melewati rangkaian yang mempunyai phase delay (θ) akan diperoleh: A cos ω (t - θ/ω).cos Δ ω (t - dθ/dω), dimana A = amplitude θ/ω = phase delay dθ/dω = envelope delay Rangkaian Tx-Equalizer terdiri dari 5 rangkaian kompensator yang terhubung secara cascade untuk memperbaiki distorsi envelope delay yang disebabkan oleh rangkaian filter di perangkat pemancar dan CIN Diplexer. Rangkaian Rx-Equalizer terdiri dari 5 rangkaian kompensator yang terhubung secara cascade, ditempatkan pada perangkat pemancar untuk memperbaiki distorsi envelope delay di sisi penerima yang disebabkan oleh
DRAFT RDTP
IV/25
rangkaian niquist slope dan sound nocth, sehingga hasil perpaduan TxEqualizer dan Rx-Equalizer akan menghasilkan output signal demodulator sesuai standar group delay karakteristik.
Gambar 4.26: Distorsi phase pada perangkat pemancar.
DRAFT RDTP
IV/26
Gambar 4.27: Distorsi phase pada perangkat penerima.
Gambar 4.28: Standar envelope delay
Gambar 4.29: EBU Standar envelope delay demodulator
DRAFT RDTP
IV/27
Tabel Toleransi envelope delay demodulator
24
VOLTAGE STANDING WAVE RATIO (VSWR) Pengukuran FM radio dan Televisi Tujuan pengukuran adalah mengukur perbandingan daya yang disalurkan ke antenna dengan daya yang dikembalikan, pengukuran menggunakan spectrum analyzer yang dilengkapi dengan tracking generator dan VSWR bridge, besarnya perbandingan tegangan atau daya dinyatakan dalam rumus sebagai berikut: VSWR = (1 + √(PR/PF)) / (1 - √(PR/PF)) = (1 + | Γ | ²) / (1 - | Γ | ²), Dimana:
DRAFT RDTP
PF= daya yang disalurkan PR= daya yang dikembalikan | Γ |= fakor refleksi (nilai mutlak)
IV/28
25
FIELD STRENGTH
25.1
TUJUAN PENGUKURAN Menentukan kuat medan dalam wilayah layanan. a) Menentukan pengaruh signal interferensi. b) Mengobservasi phenomena propagasi gelombang radio. c) Mengukur kekuatan radiasi yang tidak diinginkan dalam semua bentuk gelombang dari peralatan yang menghasilkan gelombang elektro magnetik.
25.2
ANTENA PENGUKURAN Untuk pengukuran Field strength dapat menggunakan antenna model apapun, tetapi pada umumnya untuk frekuensi di bawah 30MHz menggunakan antenna loop atau antenna rod, untuk VHF dan UHF menggunakan antenna dipole setengah lamda dengan tambahan beberapa elemen director dan reflector.
25.3
PENGARUH LINGKUNGAN Pengukuran Field strength sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti: gedung, bukit, pohon dsb, faktor-faktor ini tidak dapat dihindari, dalam menentukan titik lokasi pengukuran beberapa faktor yang perlu diingat bahwa: a) Frekuensi radio band VHF dan UHF sangat dipengaruhi oleh tumbuhan yang tinggi, bangunan terbuat dari beton akan berfungsi sebagai konduktor yang menyebabkan pemantulan dan disperse. Polarisasi vertical pada band VHF dan UHF sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah. b) Frekuensi radio pada seluruh band akan dipengaruhi oleh kabel listrik (Overhead wires). c) Pada frekuensi dibawah 2 MHz akan dipengaruhi oleh kabel listrik di bawah tanah.
25.4
SATUAN PENGUKURAN Field strength diukur dalam satuan Volt per meter atau lebih umum dalam sub unit uV/meter, satuan ini digunakan untuk mengukur komponen listrik dari gelombang elektro magnetic, tetapi juga dipakai untuk mengekpresikan pengukuran komponen magnetic terutama untuk radiasi gelombang ruang (free space) dimana energi komponen listrik dan magnetic adalah sama. Untuk frekuensi diatas 1 GHz , daya flux-density (field intensity) diukur dalam Watt/m² atau dalam sub unitnya..
25.5
PERANGKAT PENGUKURAN Perangkat pengukuran field strength meter harus mampu mengukur kurang dari 1 microvolt/meter sampai dengan 10 volt/meter, dilengkapi dengan kemampuan mengukur dalam skala linier/logaritmik, dan fasilitas untuk mengkalibrasi peralatan itu sendiri.
DRAFT RDTP
IV/29
25.6
PARAMETER PENGUKURAN Terdapat beberapa tipe pengukuran field strength antara lain (average, peak, quasi-peak, r.m.s, average log, dll), dalam kaitan dengan penyiaran sering di gunakan pengukuran average dan peak. Nilai rata-rata (average value), dapat terukur apabila envelope linier detector terdapat dalam perangkat, adalah mengukur rata-rata tegangan output detector selama interval waktu yang cukup panjang untuk suatu variasi perubahan tengangan yang cepat, pengukuran nilai rata-rata umumnya dilakukan untuk mengukur emisi termodulasi termasuk amplitude & frekuensi modulated telephony (A3 dan F3) dan telegrafi (A1 atau A2). Nilai puncak (peak value), pengukuran nilai puncak pengukuran ini sangat cocok untuk mengukur signal-signal yang rendah seperti impulsive interference.
DRAFT RDTP
IV/30
BAB V PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN
RDTP
BAB V
RDTP
PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN 1 MENARA
V-1
2 RADIASI GELOMBANG ELEKTRO MAGNETIK
V-2
3 SPURIOUS RADIASI
V-2
4 PENTANAHAN
V-3
5 LISTRIK
V-3
6 PENGAMANAN PERANGKAT TEKNIK
V-4
BAB V
PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN
Bab ini merupakan pedoman untuk melakukan perencanaan pengamanan dan perlindungan terhadap perangkat penyiaran dan lingkungan sekitar dari pengaruh luar yang dapat mengakibatkan terganggunya proses penyiaran dan/atau perangkat penyiaran menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitar. Pedoman ini akan membatasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan subsistem perangkat teknis penyiaran dalam sistem konfigurasi perangkat penyiaran minimal.
1
MENARA Menara adalah salah satu sub sistem dari perangkat penyiaran, keberadaannya sangat diperlukan untuk menempatkan suatu sistem antena untuk kebutuhan pemancaran. Hal-hal yang harus diperhatikan pada menara yang berkaitan dengan keamanan dan perlindungan adalah: a) Tinggi Menara Berkaitan dengan keamanan lalu-lintas penerbangan terutama, maka dalam perencanaan lokasi dan tinggi menara yang berdekatan dengan bandara, diperlukan koordinasi dengan instansi terkait yaitu Departemen Perhubungan Udara. Untuk keperluan ini Departemen Perhubungan Udara akan memberikan rekomendasi ketinggian maksimum menara di lokasi tersebut. b) Lampu Suar Berkaitan dengan keamanan lalu-lintas penerbangan pada malam hari, lampu suar mutlak sangat diperlukan. Warna, kekuatan cahaya dan penempatan lampu suar pada menara diatur agar pada malam hari dan siang hari berkabut dapat terlihat jelas. c) Penangkal Petir Berkaitan dengan keamanan sekitar, penangkal petir mutlak sangat diperlukan. Model dan sistem penangkal petir sangat beragam tergantung dari jenis menara dan kondisi tanah sekitar. Untuk itu diperlukan koordinasi dengan konsultan. Jenis yang tidak disarankan adalah penangkal petir menggunakan radio aktif.
DRAFT RDTP
V/1
d) Warna Menara Tidak ada aturan khusus untuk warna menara, tetapi hal yang sudah baku dilakukan adalah kombinasi warna merah dan putih untuk menara konstruksi besi/baja. e) Sway Kontruksi menara di buat untuk bertahan pada kecepatan angin 120km/jam, dan kelenturan (sway) dijaga <1 dimaksudkan agar beam tilt vertical pattern tidak lebih dari 1 .
2
RADIASI GELOMBANG ELEKTRO MAGNETIK Radiasi gelombang elektro magnetik pada dosis tertentu sangat berbahaya bagi lingkungan sekitar, pada kenyataannya radiasi gelombang elektro magnetik yang terukur dipancarkan oleh pemancar terestrial tidak pernah mencapai dosis yang membahayakan Satuan digunakan untuk mengukur radiasi adalah unit “rem” (atau sievert), 1 sievert = 100 rem, yang menyatakan jumlah (dosis) radiasi, alat ukur yang digunakan adalah Gauss meter. 0 - 10 rem yang diterima dalam waktu yang singkat atau lama adalah aman. 10 - 100 rem yang diterima dalam waktu yang singkat atau lama adalah tidak aman, dosis diatas 10 rem akan mengakibatkan kemungkinan terkena kanker lebih besar, 50 rem akan mengakibatkan jumlah sel darah menjadi berkurang, tetapi akan segera kembali normal jika teradiasi hanya dalam waktu singkat. 100 - 500 rem yang diterima dalam waktu yang singkat atau lama adalah tidak aman, dosis diatas 100 rem akan menyebabkan kesakitan, dosis diatas 200 rem dalam waktu lama akan menyebabkan kanker perhatian medis harus segera dilakukan. 500 >10000 rem yang diterima dalam waktu yang singkat atau lama adalah tidak aman, akan menyebabkan kematian dalam beberapa jam. Radiasi gelombang elektro magnetik dari gelombang micro dibatasi agar tidak mengganggu kesehatan lingkungan, yaitu tidak lebih besar dari 1mWatt/cm².
3
SPURIOUS RADIASI Spurious radiasi adalah radiasi yang tidak diinginkan yang timbul akibat enerji dari pemancar tidak tersalurkan dengan benar ke antena. Gangguan yang ditimbulkan akan mempengaruhi kenyamanan lingkungan dalam penggunaan peralatan elektronik.
DRAFT RDTP
V/2
Hal ini dapat dihindari dengan melakukan instalasi pemancar dan antena dengan benar mengikuti persyaratan teknik sesuai standar yang berlaku yaitu spurious radiasi terukur < 60 dB di bawah radiasi yang diinginkan .
4
PENTANAHAN Sistem pentanahan yang benar akan menjamin keamanan perangkat penyiaran dari akibat petir, kelebihan tegangan dsb, model dan sistem pentanahan sangat beragam tergantung dari jenis dan kondisi tanah sekitar, untuk itu diperlukan koordinasi dengan konsultan. Persyaratan teknik sesuai standar yang berlaku yaitu pentanahan < 1 Ohm.
5.
LISTRIK Sumber energi Lembaga Penyiaran untuk memfungsikan seluruh perangkat siaran menggunakan enegrgi listrik. Hal demikian membuat keadaan fasilitas fisik di Lembaga Penyiaran dipasang instalasi listrik yang mencatu daya dengan menarik jalur jaringan ke setiap perangkat siaran. Daya yang tidak sesuai dan jalur jaringan yang tidak baik akan membahayakan, yaitu meningkatkan risiko terjadi kebakaran. Oleh karena itu Lembaga Penyiaran dalam merencanakan fasilitas tehnik siarannya wajib menginventarisasi kebutuhan catu daya listrik beserta sebaran per-letakannya, kemudian jalur-jalur instalasi yang dibutuhkan. Listrik menjadi suatu rencana yang komprehensif dan aman digunakannya, bila Lembaga Penyiaran mengikuti /mengacu kepada pedoman dan peraturan tentang Instalasi Listrik yang diterbitkan oleh Institusi yang kompeten. Keberadaan satu sumber catu daya listrik dapat saja secara tiba-tiba dan kapan saja tanpa rencana hilang untuk sementara waktu, sehingga penyelenggaran siaran terhenti, hal ini menjadikan usaha pelayanan siaran terhenti juga dan ma-syarakat penerima cemas atau minimal meninggalkannya. Untuk mengatasi dan mengantisipasi hal ini, Lembaga Penyiaran dapat menyediakan sumber catu daya listrik cadangan (kedua) dengan berbagai metoda operasional sedemikian rupa sehingga siaran berlangsung tanpa terhenti. Bila Lembaga Penyiaran membutuhkan sumber catu daya listrik kedua /cadangan, Lembaga Penyiaran dapat memilih metoda-metoda operasional ; Manual berjeda, Otomatis berjeda, Menggunakan sistem baterai (catu daya tersimpan) sehingga metoda manual maupun otomatis tanpa jeda disebut UPS (Uninterruptible Power Supply). Instalasi kelistrikan mengikuti standar PLN (PUIL), dengan menambahkan rangkaian arrestor pada jalur jalur listrik dalam panel listrik (Panel Distribution Box) akan sangat membantu pencegahan kerusakan perangkat penyiaran yang disebabkan kelebihan tegangan akibat petir.
DRAFT RDTP
V/3
6
PENGAMANAN PERANGKAT TEKNIK Perangkat teknik (pemancar) biasanya sudah dilengkapi dengan sistem keamanan untuk mengamankan peralatan itu sendiri atau operator/teknisi yang bekerja dilingkungan tersebut, sistem keamanan dapat bersifat optional yang akan dilengkapi jika diminta. Sistem pengaman sebagai berikut:
DRAFT RDTP
•
Door interlock : Untuk pengamanan operator/teknisi pada saat memperbaiki rangkaian listrik bertegangan tinggi.
•
Switch frame interlock: Untuk pengamanan perangkat pemancar pada saat pemindahan sistem antenna.
•
Crowbar: Untuk pengamanan perangkat pemancar pada saat terjadi over load (kelebihan beban).
•
Automatic shut down: Untuk pengamanan perangkat pemancar pada saat terjadi mismatch pada antenna.
V/4
LAMPIRAN
RDTP
Lampiran 1
Figure 1, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 2
Figure 2, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 3
Figure 3, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 4
Figure 4, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 5
Figure 5, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 6
Figure 6, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 7
Figure 7, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 8
Figure 8, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 9
Figure 9, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 10
Figure 10, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 11
Figure 11, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 12
Figure 12, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 13
Figure 13, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 14
Figure 14, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 15
Figure 15, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 16
Figure 16, Rec P 1546
RDTP
Lampiran 17 Stasiun Radio DAB (digital) Terestrial
RDTP
Lampiran 18 Stasiun Televisi DVB (digital) Terestrial
RDTP
Lampiran 19 Headend Siaran Radio FM (analog) Terestrial
RDTP
Lampiran 20 Headend Siaran Radio DAB digital terestrial
i/p program 1
Network provider
ASI
ASI
Content provider (Optional)
Enc 1 ASI
O/P PROGRAM 1 O/P PROGRAM 2
i/p program 6
O/P PROGRAM 4
MUX1
TO I/P TX1
MUX2
TO I/P TX2
ASI
ASI
O/P PROGRAM 3
Enc 6
O/P PROGRAM 5
Enc 12
O/P PROGRAM 13
O/P PROGRAM 15
i/p program 13
MUX3 Enc 18
ASI
MUX1 i/p program 24
O/P PROGRAM 22
ASI
ASI
O/P PROGRAM 21
TO I/P TX4
O/P PROGRAM 24
O/P PROGRAM 31
i/p program 31
ASI
O/P PROGRAM 33
ASI
O/P PROGRAM 32
ASI
Enc 31
O/P PROGRAM 34 O/P PROGRAM 35
MUX3 i/p program 36 TX O/P MON
RDTP
ASI
ASI
O/P PROGRAM 36
Enc 36
TO I/P TX6
Tx6
RF
TO I/P TX5
Enc 30
ASI
O/P PROGRAM 30
MUX2 i/p program 30
ASI
O/P PROGRAM 29
Enc 29
ASI
O/P PROGRAM 28
PROGRAM INPUT/ OUTPUT MONITORING
ASI
O/P PROGRAM 27
ASI
ASI
i/p program 29
O/P PROGRAM 26
Tx5
RF
ASI
Enc 24
O/P PROGRAM 23
O/P PROGRAM 25
Tx4
RF
Enc 19
O/P PROGRAM 19 O/P PROGRAM 20
Tx3
(F.OPTIC, M.W LINK, DEMOD) ASI
i/p program 19
(F.OPTIC, M.W LINK, MODEM)
ASI
ASI
TX O/P MON
TO I/P TX3
ASI
i/p program 18
I/P SIGNAL DAB RECEIVING SYSTEMS (F.OPTIC, TVRO, M.W LINK)
ASI
ASI
O/P PROGRAM 18
RF & Antenna system VHF1 (odd channel)
RF
O/P PROGRAM 17
ASI
ASI
Enc 13
O/P PROGRAM 16
Tx2
ASI
ASI
O/P PROGRAM 14
Tx1
RF
ASI
i/p program 12
O/P PROGRAM 12
ASI
O/P PROGRAM 11
Enc 7
ASI
O/P PROGRAM 10
PROGRAM INPUT/ OUTPUT MONITORING
ASI
O/P PROGRAM 9
RF
i/p program 7
O/P PROGRAM 8
ASI
ASI
O/P PROGRAM 7
ASI
O/P PROGRAM 6
RF & Antenna system VHF2 (even channel)
Lampiran 21 Headend Siaran Televisi DVB digital terestrial
RDTP
RDTP