UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: Tidak Efisien dan Tidak Efektif Oleh: Imam Nasima
UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ditetapkan dalam Rapat Paripurna pada tanggal 26 Mei 2009 dan disahkan oleh Presiden pada tanggal 22 Juni 2009. Peraturan ini adalah pengembangan dari UU No. 14/1992. Dan pengembangan ini cukup besar, dari yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal. Meskipun begitu, dalam penjelasan tidak terlihat secara jelas bagian apa yang dikembangan dari peraturan sebelumnya – tidak tergambar perbandingan antara peraturan saat ini dan peraturan sebelumnya. Tujuan nyata yang kerap disuarakan sebagai dasar adanya peraturan baru tersebut adalah usaha untuk menekan angka kecelakaan atau dengan kata lain usaha peningkatan keamanan dan keselamatan pengguna jalan. Namun demikian, apabila kita amati lebih jauh lagi, peraturan tersebut sebenarnya memiliki latar belakang yang lebih kompleks dari sekedar menyusun peraturan untuk menjamin keamanan dan keselamatan pengguna jalan. Sehingga, wajar apabila aturan itu sendiri kemudian menjadi begitu kompleks, meskipun adanya ketidakefisienan pengaturan di sana sini menambah kerumitan yang sebenarnya tidak perlu. Yang juga perlu diperhatikan, UU No. 22/2009 banyak menuai kritik dari penyelenggara jalan sendiri, karena dianggap tidak disertai perhitungan mengenai implementasi dari peraturan tersebut, termasuk hubungan antara penyiapan sarana dan prasarana dengan ketersediaan anggaran. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menunjukkan sikap menolak, khususnya menyangkut pasal-pasal pemidanaan penyelenggara jalan apabila tidak melakukan pemeliharaan jalan. 1 Hal ini sebenarnya berhubungan dengan penguasaan masalah hukum menyangkut pemidanaan yang tidak dipahami dengan baik oleh perancang. Beberapa permasalahan dan ketidakefisienan akan diuraikan lagi di bawah ini. Mengenai efektivitas aturan tersebut, mempertimbangkan kesiapan pemerintah sendiri, juga diragukan oleh banyak pihak.
UU No. 14/1992 Bab I Ketentuan Umum Bab II Asas dan Tujuan Bab III Pembinaan Bab IV Prasarana Bab V Kendaraan
UU No. 22/2009 Bab I Ketentuan Umum Bab II Asas dan Tujuan Bab III Ruang Lingkup Keberlakuan Undang-Undang Bab IV Pembinaan Bab V Penyelenggaraan
“PU Tolak Jika Dipidanakan”, www.kompas.com, 12-01-2010. Kementerian PU mempermasalahkan pasal pemidanaan penyelenggara jalan yang memang secara hukum tidak berdasarkan konsep yang kuat. Fungsi pemerintahan, termasuk penyelenggaraan jalan, pada prinsipnya adalah pelaksanaan undangundang. Wajarkah aturan perundangan yang memidanakan pelaksana undang-undang? 1
Bab VI Pengemudi Bab VII Lalu Lintas
Bab VI Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab VII Kendaraan
Bab VIII Angkutan
Bab VIII Pengemudi
Bab IX Lalu Lintas dan Angkutan bagi Penderita Cacat Bab X Dampak Lingkungan
Bab IX Lalu Lintas
Bab XI Penyerahan Urusan
Bab XI Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab XII Dampak Lingkungan
Bab XII Penyidikan Bab XIII Ketentuan Pidana
Bab XIV Ketentuan Lain-Lain Bab XV Ketentuan Peralihan
Bab XVI Ketentuan Penutup
Bab X Angkutan
Bab XIII Pengembangan Industri dan Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab XIV Kecelakaan Lalu Lintas Bab XV Perlakuan Khusus bagi Penyandang Cacat, Manusia Usia Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil, dan Orang Sakit Bab XVI Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab XVII Sumber Daya Manusia Bab XVIII Peran Serta Masyarakat Bab XIX Penyidikan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab XX Ketentuan Pidana Bab XXI Ketentuan Peralihan Bab XXII Ketentuan Penutup
Pembinaan dan Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Salah satu isi peraturan yang menunjukkan kompleksitas pengaturan lalu lintas dan angkutan jalan adalah diaturnya pembagian kewenangan pembinaan dan penyelenggaraan. Aturan mengenai pembinaan dan penyelenggaraan ini, dulunya didelegasikan untuk diatur dengan peraturan pemerintah. 2 Selain mengatur mengenai pembagian kewenangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat (pada prinsipnya pengaturan mengenai jalan/angkutan provinsi/kabupaten/kota dapat diserahkan kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota),3 diatur pula pembagian kewenangan di tingkat pusat meliputi hal-hal berikut:4
Pasal 5 UU No. 14/1992. Pasal 6 UU No. 22/2009. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota tersebut hanya ada apabila diserahkan oleh pemerintah pusat. 4 Pasal 5 UU No. 22/2009. 2 3
1. Urusan pemerintahan di bidang prasarana Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang Jalan; 2. Urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 3. Urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang industri; 4. Urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang teknologi; dan 5. Urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Delegasi kewenangan tersebut juga menyudahi perdebatan mengenai kewenangan pengurusan SIM dan STNK antara Departemen Perhubungan dan Kepolisian. Pengurusan SIM dan STNK telah ditegaskan menjadi kewenangan Kepolisian. Adanya kewenangan yang jelas barangkali memang dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya suatu fungsi tertentu, termasuk dalam hal pengaturan aspek-aspek yang berhubungan dengan lalu lintas dan angkutan jalan, tetapi adanya pembagian kewenangan pelaksanaan fungsi tersebut ke beberapa instansi tentu membutuhkan adanya koordinasi yang terpadu. Dalam hal ini UU No. 22/2009 mengatur khusus tentang forum lalu lintas.5 Forum lalu lintas sudah harus dibentuk dalam waktu satu tahun. 6 Bagaimana persisnya forum tersebut, masih akan diatur lagi dengan peraturan pemerintah. 7 Dengan kata lain, pada akhirnya, masalah kewenangan pembinaan dan penyelenggaraan akan diatur dalam peraturan pemerintah. Tidak dapatkah ketentuan-ketentuan baru tersebut diatur dalam peraturan pemerintah? Kalau melihat delegasinya yang pada akhirnya dikuasakan kepada pemerintah, maka sebenarnya tidak ada perubahan berarti dengan pengaturan dalam peraturan sebelumnya (UU No. 14/1992).
Pengembangan Industri dan Teknologi Selain masalah kewenangan pembinaan dan penyelenggaraan, hal baru yang diatur dalam UU No. 22/2009 (yang sebenarnya masih berhubungan dengan delegasi kewenangan baru) adalah masalah pengembangan industri dan teknologi.8 Hal ini cukup menarik untuk digarisbawahi, karena tidak cukup jelas mengapa harus ada pengaturan tersendiri dalam UU Lalu Lintas dan Jalan Raya menyangkut sektor industri dan pengembangan teknologi. Kalaupun ditujukan untuk melakukan standarisasi dalam rangka menjamin keamanan dan keselamatan pengguna jalan, ataupun untuk memastikan adanya prasarana penunjang, bukankah itu sudah masuk ke dalam lingkup kerja urusan registrasi dan identifikasi (untuk standarisasi) dan urusan prasarana (untuk prasarana penunjang)? Pasal 13 UU No. 22/2009. Pasal 321 UU No. 22/2009. 7 Pasal 13 ayat (5) UU No. 22/2009. 8 Bab XIII UU No. 22/2009. 5 6
Terlebih lagi, hal-hal yang diatur juga sebenarnya cenderung abstrak dan umum, dalam arti tidak menunjukkan satu kebijakan tertentu. Pengaturan seperti ini jelas tidak efisien, karena tidak secara konkrit ditujukan untuk memecahkan atau mengantisipasi suatu masalah tertentu.
Perubahan Norma Peraturan Norma-norma peraturan yang berubah, dapat berupa revisi atau merupakan penambahan. Perubahan dilakukan baik berupa norma pengaturan, maupun norma larangan (peraturan lalu lintas). Dari beberapa norma peraturan yang ditambahkan ke dalam UU No. 22/2009, beberapa sebenarnya berasal dari peraturan pemerintah pelaksanan peraturan UU No. 14/1992. Salah satu contoh dari aturan seperti ini adalah aturan mengenai klasifikasi kelas jalan.9 Klasifikasi tersebut sebelumnya sudah diatur dalam PP No. 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan sebagai peraturan pelaksana UU No. 14/1992. 10 Secara umum tidak banyak perubahan klasifikasi yang ditentukan, kecuali pencantuman ukuran tinggi maksimal kendaraan yang boleh melewati jalan tersebut, serta tambahan klasifikasi jalan khusus. Menariknya, ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus diatur lagi dengan peraturan pemerintah. Sehingga, wajar apabila kemudian timbul kembali pertanyaan: apa dasar pemindahan pengaturan tersebut ke dalam undangundang? Bukankah pengaturan mengenai kelas jalan tersebut dapat diatur dengan peraturan pemerintah?11 Tidak jelas apa alasan pemindahan materi peraturan pemerintah ke dalam undang-undang, meskipun telah disertai beberapa perubahan, sehingga pada akhirnya langkah tersebut hanya membuat menimbulkan ketidakefisienan. Dasar yang lebih kuat untuk menarik peraturan yang sebelumnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah ke dalam undang-undang, mungkin dapat kita temui dalam hal pengaturan mengenai syarat-syarat untuk memperoleh izin mengemudi.12 Sebelumnya, hal ini diatur sangat sederhana dalam Pasal 18-19 UU No. 14/1992 dan didelegasikan untuk diatur dalam peraturan pemerintah (kemudian timbul PP No. 44/1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi yang mengatur hal tersebut). Pengaturan mengenai syarat-syarat mengemudi memang harus diatur dalam undang-undang, karena menyangkut hak dan kewajiban warga negara. Sehingga, keputusan perancang UU No. 22/2009, dalam hal ini, sudah tepat. Meskipun demikian, permasalahan yang kemudian diatur dalam aturan undang-undang, ternyata bukan hanya masalah syarat-syaratnya saja, namun juga mengenai penggolongan surat izin mengemudi yang sebenarnya cukup diatur dalam peraturan pelaksana saja. 13 Hal ini Pasal 19 ayat (2) UU No. 22/2009. Pasal 11 PP No. 43/1993. 11 Kalau kita tilik norma terkait hal ini, pada dasarnya materi yang harus diatur dalam undang-undang adalah: (1) materi menyangkut HAM, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara; (2) diperintahkan suatu undang-undang. Memang tidak menutup kemungkinan pembuat peraturan mengatur hal yang tidak diharuskan ke dalam undang-undang. Namun, pertanyaannya tetap: untuk apa? 12 Lihat Pasal 83 UU No. 22/2009. 13 Lihat Pasal 82 UU No. 22/2009. 9
10
jelas tidak efisien dan mengaburkan materi peraturan perundang-undangan. Ketidakefisienan akan lebih nyata lagi, apabila kita cermati peraturan mengenai fungsi surat izin mengemudi yang sebenarnya tidak menunjukkan konsekuensi yuridis sama sekali.14 Aturan baru sehubungan dengan norma berlalulintas yang cukup banyak menarik perhatian, antara lain menyangkut aturan mengenai belok kiri dan kewajiban menyalakan lampu di siang hari.15 Mengenai aturan belok kiri, setidaknya akan membutuhkan adanya sosialisasi yang intensif, mengingat ketentuan bahwa ketentuan belok kiri berbeda dengan ketentuan sebelumnya. 16 Sementara itu, kewajiban untuk menyalakan lampu di siang hari menuai protes dari beberapa kalangan pengendara sepeda motor, karena dianggap tidak didasari dengan alasan yang kuat. Menurut mereka yang mempertanyakan, tidak ada relevansi antara menyalakan lampu di siang hari dengan tingkat keselamatan pengguna jalan. Karena tidak didasari kebutuhan yang mendesak, maka kewajiban tersebut pada akhirnya justru memboroskan energi dan tidak ramah lingkungan. Apabila diperhatikan aturan-aturan yang selama ini melahirkan perdebatan, barangkali masih ada aturan penting yang masih luput dari pengamatan, yaitu menyangkut kewenangan penyitaan. Menurut UU No. 14/1992, kewenangan penyitaan kendaraan bermotor dan/atau surat tanda nomor kendaraan bermotor (STNK) diatur secara limitatif, yaitu hanya boleh dilakukan dalam hal kendaraan bermotor diduga merupakan hasil tindak pidana atau digunakan untuk melakukan tindak pidana, pelanggaran mengakibatkan meninggalnya orang, pengemudi tidak dapat menunjukkan tanda bukti lulus uji kendaraan bermotor, pengemudi tidak dapat menunjukkan STNK, atau pengemudi tidak dapat menunjukkan surat izin mengemudi (SIM).17 Pengaturan kewenangan penyitaan ini dalam UU No. 22/2009 dirumuskan dengan lebih umum, yaitu bahwa penyidik kepolisian dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana berwenang menyita SIM, kendaraan bermotor, muatan, STNK, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji.18 Kewenangan ini tidak disertai dengan batasan (kriteria) penggunaan kewenangan yang jelas yang mengakibatkan timbulnya penggunaan kewenangan penyitaan tidak pada tempatnya. Seharusnya, perancang memperhatikan ketentuan sebelumnya (Pasal 52 UU No. 14/1992) yang jelas ditujukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang penyitaan.
Perubahan Ancaman Hukuman Selain perubahan norma peraturan, hal yang juga perlu diketahui dari peraturan lalu lintas yang baru adalah menyangkut ancaman hukuman (maksimal) yang dijatuhkan. Lihat Pasal 86 UU No. 22/2009. Ketentuan mengenai larangan berbelok kiri langsung diatur dalam Pasal 112 ayat (3) dan mengenai kewajiban pengemudi sepeda motor menyalakan lampu utama pada siang hari dalam Pasal 107 ayat (2). 16 Lihat Pasal 59 PP No. 43/1993. Bila sebelumnya diatur bahwa pada prinsipnya belok kiri boleh langsung, kecuali ditentukan sebaliknya, maka pada aturan baru ditentukan bahwa pada persimpangan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas, belok kiri pada prinsipnya tidak boleh langsung, kecuali ditentukan sebaliknya. 17 Pasal 52 UU No. 14/1992. 18 Pasal 260 ayat (1) huruf d. 14 15
Secara umum, ancaman hukuman (maksimal) yang diatur lebih ringan daripada ancaman hukuman (maksimal) yang diatur dalam peraturan sebelumnya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini yang membandingkan beberapa jenis pelanggaran yang diatur dalam UU No. 14/1992 dan UU No. 22/2009. Dengan memperhitungkan juga turunnya nilai uang, maka pada tahun 1992 ancaman hukuman denda (maksimal) yang diatur, jauh lebih berat dari saat ini. Hal ini tentu merupakan bentuk perubahan positif dari peraturan sebelumnya yang mengandung kelemahan, antara lain, ancaman hukumannya yang sangat tidak masuk akal.
JENIS PELANGGARAN Kelengkapan Teknis (Roda 2) Rambu dan Marka Jalan Kewajiban Menunjukkan STNK Kewajiban Menunjukkan SIM Tidak Memiliki SIM Tidak Memakai Helm Stándar
UU NO. 22/2009 285
KURUNGAN
DENDA
KURUNGAN
DENDA
250 ribu
UU NO. 14/1992 54
1 bulan
3 bulan
3 juta
287
2 bulan
500 ribu
61
1 bulan
1 juta
288
2 bulan
500 ribu
57
2 bulan
2 juta
288
1 bulan
250 ribu
59
2 bulan
2 juta
281 291
4 bulan 1 bulan
1 juta 250 ribu
59 61
6 bulan 1 bulan
6 juta 1 juta
Namun demikian, perubahan inipun menuai kritik dari banyak pihak, karena dianggap masih memuat ancaman hukuman (maksimal) yang terlampau berat jika dibandingkan dengan pendapatan minimum masyarakat saat ini. Pada kenyataannya, ancaman hukuman (maksimal) lebih merupakan angka perhitungan di atas kertas saja, karena prakteknya di lapangan jauh lebih rendah daripada angka yang ditetapkan.19 Masalahnya, kebijakan meringankan aturan tersebut, didasari adanya kesenjangan antara aturan tertulis dan praktek di lapangan di bawah UU No. 14/1992. Apabila penyesuaian tersebut tidak dilandasi dengan memperhitungkan pendapatan minimal (UMR), maka pelaksanaan UU No. 22/2009 akan mengalami nasib yang sama dengan UU No. 14/1992. Lalu untuk apa ada perubahan seperti ini?
Kecelakaan Lalu Lintas Sebagai alasan mendasar disusunnya UU No. 22/2009, yaitu untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan pengguna, kecelakaan lalu lintas menjadi topik yang mendapat perhatian khusus dari pembuat undang-undang. Kecelakaan lalu lintas Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) bahkan menyebutkan bahwa selama ini telah ada kesepakatan di pengadilan antara hakim, polisi, dan pengemudi yang terkena tilang, mengenai denda maksimal yang dikenakan sebesar 50 ribu rupiah (http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/14913/Organda-Bawa-UULLAJ-Anyar-ke-MahkamahKonstitusi). Besar kemungkinan praktek ini dilandasi Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Pada tahun 1993, Mahkamah Agung (MA) memang mengeluarkan surat edaran (SEMA No. 4/1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu) yang melimpahkan kewenangan penentuan uang titipan maksimal kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi di wilayah hukumnya masing-masing. SEMA tersebut ketika itu merupakan hasil kesepakatan Ketua MA, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kapolri. 19
diatur sebagai bab tersendiri dalam undang-undang tersebut. Bab ini terdiri dari empat bagian, yaitu pencegahan kecelakaan lalu lintas, penanganan kecelakaan lalu lintas, kewajiban dan tanggung jawab, dan hak korban. Tujuannya adalah memastikan tertanganinya kecelakaan lalu lintas dengan baik. Meskipun demikian, lagi-lagi, pembuat undang-undang melakukan beberapa pengaturan yang tidak perlu. Untuk beberapa hal malah justru dapat menimbulkan pertanyaan dan ketidakjelasan pada tataran implementasi. Peraturan yang berlebihan, misalnya, aturan yang mewajibkan aparat kepolisian untuk melakukan penanganan kecelakaan lalu lintas.20 Apakah tindakan yang harus diambil oleh aparat kepolisian tersebut harus diatur dalam undang-undang? Benarkah selama ini aparat kepolisian tidak melaksanakan tugasnya sehingga perlu diatur kewajiban ini dalam peraturan perundangan? Hal ini sebenarnya tidak perlu diatur menjadi norma undang-undang. Pengaturan tidak perlu juga bisa ketemui dalam penggolongan kecelakaan lalu lintas menjadi kecelakaan ringan, sedang, dan berat. 21 Penggolongan tersebut sebenarnya tidak diperlukan. Kalaupun hal tersebut dibutuhkan untuk pendataan (mendapatkan angka kecelakaan yang terjadi berdasarkan akibat yang ditimbulkannya), maka hal tersebut dapat langsung dilakukan dalam praktek pendataan, karena tidak akan membawa akibat hukum apa-apa, apalagi menyangkut hak dan kewajiban warga negara. Sedangkan peraturan yang selain berlebihan, juga akan menimbulkan permasalahan pada tataran implementasi, dapat kita temui dalam pengaturan mengenai pertanggungjawaban pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum, atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi. 22 Aturan baru ini juga menarik perhatian karena dianggap menegaskan aturan mengenai pertanggungjawaban tanggung renteng. 23 Pertanyaannya kemudian: dengan cara apa pertanggungjawaban tersebut mesti dituntut? Tanggung jawab seperti ini memang tidak menutup kemungkinan untuk diatur, tetapi seharusnya ditegaskan pula bahwa hal tersebut adalah menyangkut pertanggungjawaban perdata, sehingga jelas pula media yang digunakan oleh korban untuk menuntut pemulihan haknya. Terlebih lagi, dalam praktek sekalipun, pertanggungjawaban kualitatif pengusaha (dalam hal pengemudinya menyebabkan terjadinya kecelakaan) telah diatur (Pasal 1365 jo. 1367 KUH Perdata). Sehingga, sebenarnya tidak mendesak untuk diatur lagi.
Legislasi Turunan Setelah memperhatikan beberapa ketentuan yang diatur dalam UU No. 22/2009 yang dimaksudkan untuk merinci aturan-aturan menyangkut lalu lintas dan angkutan jalan, ternyata peraturan yang ada begitu rumit dan menunjukkan ketidakefisienan di sana sini. Meskipun demikian, bukan berarti pengaturan yang ada sudah cukup. Jika diperhatikan peraturan-peraturan yang masih harus dibuat sebagai turunan dari UU No. 22/2009, ternyata masih ada 73 aturan turunan yang harus dibuat (43 PP, 2 Perpres, Pasal 227 UU No. 22/2009. Pasal 229 UU No. 22/2009. 22 Pasal 234 UU No. 22/2009. 23 “UU Lalu Lintas 2009 Pertegas Konsep Tanggung Renteng”, www.hukumonline.com, 15-07-2009. 20 21
11 Permen, 12 Peraturan Kapolri, 1 Peraturan Panglima TNI, 2 Perda Provinsi, 2 Perda Kabupaten/Kota). Dari peraturan-peraturan yang dibutuhkan, perlu diperhatikan bahwa porsi pengaturan di bawah lembaga Kepolisian yang sedikit lebih banyak dari Kementerian/Departemen. Hal ini menunjukkan adanya indikasi besarnya peran lembaga Kepolisian dalam pengaturan masalah lalu lintas dan jalan raya. Materi Yang Masih Harus Diatur Forum lalu lintas dan angkutan jalan Rencana induk jaringan dan angkutan jalan Jalan kelas khusus Pengelompokan kelas jalan dan tata cara penetapan kelas jalan Batas kecepatan Perlengkapan jalan Pemasangan perlengkapan jalan Fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal Pengguna jasa fasilitas parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan parkir untuk umum Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Persyaratan teknis dan laik jalan Uji tipe (kendaraan) dan unit pelaksananya Modifikasi dan uji tipe (kendaraan) Uji berkala (kendaraan) Perlengkapan kendaraan bermotor Persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene Tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum Persyaratan keselamatan Kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif pelanggaran persyaratan dan pengujian teknis laik jalan Kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif dalam pemberlakuan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian pengemudi kendaraan umum Pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas Kekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan Manajemen kebutuhan Lalu Lintas Kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sehubungan dengan analisis dampak lalu lintas dan penggunaan jalan selain untuk kegiatan lalu lintas
Jumlah 43
Jenis Peraturan Peraturan Pemerintah
Materi Yang Masih Harus Diatur Mobil barang yang digunakan untuk angkutan orang Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek Angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh izin penyelenggaraannya Pengawasan muatan angkutan barang Pemberian subsidi angkutan penumpang umum tarif kelas ekonomi Besaran ganti kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan Besaran ganti kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan Standar pelayanan dan persaingan yang sehat menyangkut industri jasa angkutan umum Penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan Bermotor Tata cara dan kriteria pengenaan sanksi administratif kewajiban perusahaan umum untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit Kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sehubungan dengan kewajiban perusahaan umum untuk memberikan perlakuan khusus Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Organisasi dan tata kerja Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan Persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem
Jumlah
Jenis Peraturan
2
Peraturan Presiden
Materi Yang Masih Harus Diatur Administrasi Manunggal Satu Atap Standar pelayanan minimal angkutan orang Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek Ketersediaan angkutan masal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan Perkotaan Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek Tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek Tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan barang khusus dan alat berat Tarif penumpang untuk angkutan orang dalam trayek Tanggung jawab penyelenggara angkutan umum Kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sehubungan dengan pelaksanaan jasa angkutan Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu (untuk jalan nasional) Registrasi Kendaraan Bermotor (sebagai pelaksanaan sistem administrasi manunggal satu atap) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor Registrasi Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia Registrasi Kendaraan Bermotor perwakilan negara asing dan lembaga internasional Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Pemberian tanda atau data pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi Tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif pelanggaran petugas polri dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas peraturan Menteri penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas
Jumlah
Jenis Peraturan
11
Peraturan Menteri
12
Peraturan Kapolri
Materi Yang Masih Harus Diatur Penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia Jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor lintas kabupaten/kota Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu (untuk jalan provinsi) Jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu (untuk jalan desa/kabupaten/kota)
Jumlah
Jenis Peraturan
1
Peraturan Panglima TNI
2
Peraturan Daerah Provinsi
2
Peraturan Daerah Kota/Kabupaten