i
© 2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali*
Katalog dalam Terbitan
Peranan Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global. Prosiding Seminar/Agung Kurniawan, Ni Kadek Erosi Undaharta, I Putu Agus Hendra Wibawa, I Gede Tirta, Wawan Sujarwo (Ed.). – Jakarta: LIPI Press, 2009. xx + 738 hlm.; 21 x 29,7 cm ISBN 978-979-799-447-1 1. Konservasi 2. Flora Indonesia
2. Keanekaragaman Hayati 4. Pemanasan Global
333.95
Penelaah
Setting dan Layout Desain Sampul Penerbit
: Bayu Adjie, Dedy Darnaedi, Sutrisno, Joko R. Witono, Pande Ketut Sutara, Eniek Kriswiyanti, Teguh Triyono, Ida Bagus Ketut Arinasa : I Putu Agus Hendra Wibawa : Gede Wawan Setiadi : LIPI Press, anggota Ikapi
*UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 Telp. : +62368 21273; Fax.: +62368 22051 E-mail: kebunrayabali.yahoo.com www.kebunrayabali.com
ii
PROSIDING
Seminar “Peranan Konservasi Flora Indonesia Dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global” Bali, 14 Juli 2009 ISBN : 978-979-799-447-1
Penelaah : Bayu Adjie Dedy Darnaedi Sutrisno Joko R. Witono Pande Ketut Sutara Enik Kriswiyanti Teguh Triyono Ida Bagus Ketut Arinasa
Penyunting : Agung Kurniawan Ni Kadek Erosi Undaharta I Putu Agus Hendra Wibawa I Gede Tirta Wawan Sujarwo
Penyelenggara : UPT BKT Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali - LIPI
bekerja sama dengan PTTI, FMIPA Universitas Udayana dan BLH Prov. Bali
xiv
Estimasi Sumbangan Karbon, Serasah, dan Hubungannya dengan Keberadaan Cacing Tanah pada Sistem Agroforestri Amir Hamzah dan Rossyda Priyadarshini ...............................................................
650
Persebaran dan Pemanfaatan Ketak [Lygodium circinnatum (Burm.f.) Sw.] di Gunung Pusuk, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. I Dewa Putu Darma dan Ida Bbagus Ketut Arinasa ................................................
658
Peranan Pertanian Organik dalam Mencegah Pemanasan Global Solikin .....................................................................................................................
664
Sistem Bertanam untuk Meningkatkan Penyerapan CO2 dan Cadangan Karbon : Kajian Pada Pekarangan Solikin .....................................................................................................................
670
Evaluasi Kualitas Visual Arsitektur Pohon untuk Desain Lansekap Dwi Setyanti dan Aris Munandar .............................................................................
675
Peranan Kawasan Hutan Mangrove Perapat Benoa sebagai Kawasan Konservasi Flora di Daerah Kota Denpasar A. A. Ketut Darmadi .................................................................................................
684
Penurunan Keragaman Pohon dan Nematoda Akibat Alih Guna Hutan Menjadi Lahan Pertanian Memacu Munculnya Masalah Nematoda I G. Swibawa, R. Evizal, F.K. Aini, F.X. Susilo, K. Hairiah dan D. Suprayogo .......
688
Could The Antagonistic Plants In Rubber Plantation Save The Natural Carbon Dioxide Sequestration? Joko Prasetyo and F.X. Susilo ..................................................................................
698
Jenis-jenis Lygodium dari Cagar Alam Bukit Bungkuk, Riau dan Pertumbuhannya di Kebun Raya Bogor Sri Hartini .................................................................................................................
702
Huperzia squarrosa (G. Forster) Trevisan: Potensi Pemanfaatan, Keberadaan di Alam dan Konservasinya di Kebun Raya Bogor Sri Hartini .................................................................................................................
707
Konservasi dan Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Lahan Kering I Gede Tirta ...............................................................................................................
711
Cadangan Karbon pada Sistem Penggunaan Lahan Kopi : Apakah Umur Tegakan Mempengaruhi Besarnya Karbon Tersimpan? Rossyda Priyadarshini, Titut Yulistyarini dan Enny Dyah Yuniwati .......................
716
Pelestarian Jenis-Jenis Tumbuhan Berguna Melalui Kearifan Lokal Di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali Nyoman Wijana ........................................................................................................
724
DAFTAR PESERTA ................................................................................................
732
688 ISBN 978-979-799-447-1
PENURUNAN KERAGAMAN POHON DAN NEMATODA AKIBAT ALIH GUNA HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN MEMACU MUNCULNYA MASALAH NEMATODA I G. Swibawa1, R. Evizal1, F.K. Aini2, F.X. Susilo1, K. Hairiah2 dan D. Suprayogo2) 1
Fakultas Pertanian Universitas Lampung, 2Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Email :
[email protected]
ABSTRAK - Banyaknya kasus bencana banjir dan angin puting beliung di Indonesia akhir-akhir ini disinyalir sebagai dampak perubahan iklim global. Banyak ilmuwan menuding bahwa salah satu penyebab perubahan iklim global adalah penurunan stok karbon atau biomassa pohon akibat alih guna hutan menjadi lahan pertanian. Dalam makalah ini diulas lebih mendalam dampak alih guna hutan menjadi lahan pertanian yang menyebabkan penurunan keragaman dan biomassa pohon serta keragaman nematoda yang dapat memacu munculnya masalah nematoda di lahan pertanian. Makalah ini merupakan laporan hasil survei pada berbagai tata guna lahan yaitu hutan alami, hutan terganggu, agroforestri kopi, kopi monokultur, semak/alang-alang, tanaman palawija, dan tanaman sayuran yang telah dilakukan pada tahun 2004 dan tahun 2007 di Sumberjaya, Lampung Barat. Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari dampak alih guna hutan menjadi lahan pertanian terhadap keragaman pohon, biomassa pohon serta keragaman dan komposisi komunitas nematoda setelah hutan dikonversi menjadi lahan pertanian. Hasil survei menunjukkan bahwa setelah hutan berubah menjadi lahan pertanian terjadi penurunan keragaman jenis pohon dari 39 jenis di hutan alami menjadi hanya 12 dan 5 jenis, masing-masing pada kopi monokultur dan lahan semak/alang-alang. Biomassa pohon turun dari sekitar 949 ton/ha di hutan alami menjadi hanya 10 ton/ha di kopi monokultur. Selain itu, alih guna hutan juga menurunkan keragaman nematoda, yaitu dari 60 genus di hutan alami menjadi sekitar 34 genus di kebun kopi. Komposisi komunitas nematoda berubah dari dominasi nematoda hidup bebas (free-living) di hutan alami menjadi dominasi nematoda parasit tumbuhan di lahan pertanian. Kelimpahan relatif nematoda hidup bebas tinggi ketika massa seresah tinggi, tetapi sebaliknya bagi nematoda parasit tumbuhan. Sistem penggunaan lahan berbasis sayuran memacu genus nematoda parasit tumbuhan Rotylenchulus menjadi sangat dominan yaitu sekitar 60 individu/100 nematoda contoh. Kelimpahan gulma yang tinggi dapat memacu peningkatan kelimpahan nematoda parasit tumbuhan. Sistem agroforestri pada tanaman kopi dapat menjadi metode alternatif yang efektif untuk pengendalian nematoda parasit tumbuhan karena selain dapat menekan gulma juga memiliki masukan seresah yang tinggi. Kata kunci: alih guna hutan, keragaman pohon dan nematoda
PENDAHULUAN Kasus alih guna hutan menjadi lahan pertanian banyak terjadi di Indonesia hingga saat ini. Salah satu contohnya adalah kawasan DAS Way Besai di Sumberjaya, Lampung Barat. Verbist et al. (2004) mengemukakan bahwa sejak tahun 1970 kawasan hutan di DAS ini telah dibuka untuk pengembangan berbagai sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, sehingga pada tahun 2000 kawasan hutan yang tersisa tinggal sekitar 30% saja, sedangkan sebagian besar lainnya telah berubah menjadi lahan pertanian, terutama kebun kopi. Berbagai dampak alih guna hutan menjadi lahan pertanian terhadap aspek hidrologi telah banyak diteliti di DAS Way Besai Sumberjaya, Lampung Barat. Berkurangnya luasan hutan telah dimaklumi
sebagai penyebab munculnya bencana banjir dan tanah longsor. Farida dan van Noordwijk (2004) telah berhasil membuktikan bahwa akibat berkurangnya luasan hutan menyebabkan peningkatan debit air sungai. Demikian juga Widianto et al. (2004) melaporkan bahwa alih guna hutan menjadi kebun kopi miningkatkan limpasan permukaan dan erosi. Konversi hutan menjadi lahan pertanian juga menyebabkan terjadinya penurunan keragaman vegetasi dan biomassa pohon. Hilangnya berbagai jenis kayu hutan dan turunnya biomassa pohon ikut andil dalam memacu perubahan iklim global. Pemanasan global merupakan akibat akumulasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfir, salah satunya adalah CO2 yang oleh tumbuhan dimanfaatkan untuk pembentukan C-organik penyusun tubuhnya yang
Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global
689 ISBN 978-979-799-447-1 dapat diestimasi dari biomassanya. Penurunan keragaman vegetasi juga berdampak terhadap keragaman biota dalam tanah. Menurut van Noordwijk dan Swift (1999), keragaman tumbuhan di atas tanah memiliki hubungan timbal balik yang erat dengan keragaman biota dalam tanah. Padahal, keragaman biota dalam tanah berperan penting dalam memberi layanan ekosistem pertanian, salah satunya adalah pencegah terjadinya eksplosi hama dan penyakit tanaman (van Noordwijk dan Swift, 1999). Pengaruh alih guna hutan menjadi lahan pertanian terhadap beberapa kelompok biota tanah di DAS Way Besai telah dilaporkan. Dewi et al. (2006) melaporkan bahwa alih guna hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan hilangnya cacing tanah kelompok epigeik sehingga cacing tanah kelompok endogeik menjadi dominan. Sementara Aini et al. (2006) melaporkan bahwa keragaman jenis rayap turun tajam akibat alih guna hutan menjadi kebun kopi. Menurut Purwanto et al. (2006), alih guna hutan menjadi lahan pertanian mempercepat laju nitrifikasi dan hilangnya N melalui pencucian ke lapisan tanah yang lebih dalam. Kasus-kasus munculnya masalah hama termasuk nematoda pada umumnya disebabkan oleh ekosistem pertanian yang disederhanakan. Nematoda tergolong mesofauna yang berperan penting dalam prosesproses ekologi yang menentukan kesehatan tanah. Makalah ini menccoba menjawab apakah perubahan keragaman dan biomassa pohon akibat alih guna hutan menjadi lahan pertanian yang disinyalir ikut andil dalam perubahan iklim global juga mempengaruhi keragaman dan komposisi komunitas nematoda dalam tanah sehingga dapat memunculkan masalah nematoda parasit tumbuhan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian Program Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Dalam Tanah (CSM-BGBD) Indonesia Universitas Lampung. Penelitian terdiri atas dua fase, yaitu (a) survei pada tahun 2004 (Fase I) untuk inventarisasi biota dalam tanah di tingkat kawasan dan (b) survei dan percobaan pada tahun 2007 (Fase II) untuk memahami proses-proses ekologi oleh biota tanah di tingkat lahan/plot. Survei dan percobaan di lakukan di kawasan DAS Way Besai Sumberjaya, Lampung Barat, Provinsi Lampung. Kawasan ini merupakan Benchmrak of CSM-BGBD Project Lampung, terletakpada posisi 4o64’ – 5o10’ LS dan 104o15’ – 104o20’ BT dan merupakan bagian dari jalur Pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian berkisar antara 600 – 1.718 m di atas permukaan laut dan kelerengan berkisar antara 16 – 45 %.
Secara umum kondisi iklim di kawasan ini dicirikan oleh curah hujan moderat merata sepanjang tahun, yaitu berkisar antara 2.426 – 3.366 mm/tahun dengan rata-rata 2.550 mm/tahun. Walaupun tidak ada perbedaan yang jelas antara periode kering dan periode basah, namun hujan lebih sering terjadi pada periode November – Mei. Pada periode kering curah hujan masih di atas 100 mm/bulan. Berdasarkan penggolongan Oldeman et al. (1979) cit. Afandi et al. (1999) iklim daerah ini termasuk ke dalam golongan B-1, karena memiliki 7 – 9 bulan basah (curah hujan > 200 mm/bulan) dan bulan kering kurang dari 2 bulan (curah hujan < 100 mm/bulan). Kelembaban udara relatif di daerah ini rata-rata 87% dan maksimum 99%, suhu udara rata-rata 22oC dan minimum 14,2oC (Afandi, 2004). Tanah di daerah Sumberjaya diklasifikasikan sebagai Oxic Dystrudept yang didominasi oleh fraksi liat dan bereaksi masam hingga agak masam dengan pH H2O tanah antara 4,0 – 5,0. Survei tingkat kawasan meliputi pengamatan vegetasi dan nematoda dilakukan pada Window seluas sekitar 1 km persegi yang mengandung 7 sistem penggunaan lahan (SPL) yaitu hutan alami (hutan primer), hutan terganggu (hutan sekunder), agroforestri kopi, kopi monokultur, semak/alangalang, palawija dan sayuran. Setiap SPL diulang sebanyak 5 kali. Penetapan titik contoh pada setiap SPL menggunakan metode stratified grid system. Pengamatan pohon di setiap SPL dilakukan pada titik pengamatan seluas 40 m x 5 m. dengan mendata semua jenis pohon yang ada menurut nama lokal yang diketahui. Biomassa pohon diestimasi dengan persamaan alometrik menurut Kattering et. al. (2000) cit. Hairiah et al. (2004). Dalam estimasi biomassa pohon dibutuhkan data diameter setinggi dada (DBH) pohon. Survei komunitas nematoda diulakukan pada titik contoh seluas 200 m2 dalam setiap SPL. Contoh tanah nematoda diambil dari 12 soil cores pada kedalaman 0 – 20 cm yang terletak di sekeliling monolit (untuk pengamatan makrofauna) menurut arah mata angin pada radius masing-masing 3 dan 6 m. Contoh tanah disimpan dalam kantong plastik untuk diproses di laboratorium. Ekstraksi dan isolasi nematoda dilakukan terhadap 300 cc contoh tanah menggunakan metode yang diuraikan oleh Huang dan Cares (2003) dengan sedikit modifikasi. Penghitungan nematoda dilakukan di bawah mikroskop bedah stereo dengan perbesaran 10 – 40 kali untuk setiap 3 ml dari 15 ml suspensi. Dari setiap contoh, 100 individu nematoda diambil secara acak untuk diindentifikasi sampai tingkat genus berdasarkan ciri morfologi yang teramati di bawah mikroskop majemuk dengan perbesaran 400 – 1000 kali menggunakan kunci identifikasi Goodey (1963),
Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global
690 ISBN 978-979-799-447-1 Mai dan Lyon (1975), Siddiqi (1986) serta referensi pendukung lainnya. Selanjutnya nematoda dipilah ke dalam nematoda hidup bebas dan nematoda parasit tumbuhan. Survei tingkat lahan dilakukan terhadap komunitas nematoda dan faktor lingkungan lainnya. Untuk tingkat lahan, survei dilakukan pada SPL berbasis kopi dengan tingkat umur berbeda, yaitu kopi monokultur umur 1 tahun, kopi monokultur umur 3 tahun, kopi bernaungan Gliricidia umur 3 tahun, agroforestri kopi multistrata kompleks umur > 5 tahun yang mengandung pisang dan agroforestri kopi multistrata kompleks umur > 5 tahun yang mengandung tanaman alpokat. Dalam setiap plot dipilih secara acak satu pasang pohon kopi dengan penaungnya yaitu kopi – kopi pada kopi monokultur, kopi – Gliricidia, kopi – pisang, dan kopi – alpokat. Pengukuran pada setiap pasang pohon diulang 3 kali pada lahan yang berbeda. Pada setiap pasangan pohon tersebut diambil contoh tanah untuk pengamatan nematoda pada kedalaman 0 – 30 cm. Ekstraksi dan isolasi nematoda dari tanah menggunakan metode yang sama dengan survei tingkat kawasan. Pada setiap titik contoh dilakukan pula pengambilan contoh gulma dan seresah permukaan pada kuadrat berukuran 0,5 m x 0,5 m. HASIL DAN PEMBAHASAN a.
Keragaman dan populasi pohon Hasil pencacahan terhadap jenis-jenis pohon yang terdapat pada titik pengamatan di setiap SPL menunjukkan bahwa keragaman pohon tertinggi terdapat di hutan alami yang mencapai 29 jenis, kemudian semakin berkurang pada hutan sekunder (23 jenis), SPL kopi monokultur (12 jenis) dan semak (2 jenis). Di SPL palawija dan sayuran bahkan tidak terdapat pohon (Tabel 2). Tampak jelas bahwa alih guna hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan keragaman pohon dan
hilangnya banyak jenis pohon. Walaupun keragaman jenis pohon di SPL kopi rendah, namun kerapatan pohonnya masih lebih tinggi daripada di kawasan hutan. SPL agroforestri kopi mengandung sekitar 2991 pohon/ha dan di SPL kopi monokultur sekitar 2078 pohon/ha, lebih banyak daripada di hutan alami (2067 pohon/ha) dan hutan sekunder (1400 pohon/ha) (Tabel 1). Hal ini terjadi karena tanaman kopi, pohon penaung, pohon buah-buahan dan jenis pohon terpilih lainnya sengaja ditanam petani dengan kerapatan yang dianjurkan, yaitu jarak tanak 2 m x 2,5 m untuk kopi dan 4 m x 6 m. untuk pohon penaung. Pada Tabel 2 terlihat bahwa banyak jenis pohon kayu yang terdapat di hutan alami menjadi berkurang setelah hutan terganggu, bahkan menjadi hilang setelah hutan berubah menjadi lahan pertanian seperti kebun kopi. Kayu medang (Cinnamomum porrectum), damar tanduk (Sorea multiflora), pasang (Quercus sundaica) dan meranti (Sorea leprosula) merupakan jenis pohon dominan di kawasan hutan alami yang tetap bertahan setelah hutan terganggu, tetapi menghilang setelah kawasan berubah menjadi lahan pertanian. Di lahan Agroforestri kopi, pohon yang dominan adalah kopi (temuan=100%), namun beberapa jenis pohon lain seperti gamal (Gliricidia sepium) dan pohon buah seperti duren (Durio cibetinus), jambu klutuk (Psidium guajava), nangka (Artocarpus heterophylus ) dan pisang (Musa paradisiaca) juga ditanam sebagai penaung. Pada kopi monoultur, pohon yang dominan adalah kopi dan pohon penaung gamal, sedangkan nangka, lamtoro dan pisang juga ditemukan dalam frekuensi yang rendah. Sedangkan di lahan semak/alang-alang, vegetasi yang dominan adalah tumbuhan semak atau perdu. SPL ini umumnya merupakan kebun kopi tua yang ditelantarkan, sehingga masih dapat ditemukan pohon kopi, gamal, dan petai dengan frekuensi temuan sekitar 7-21%.
Tabel 1. Populasi dan jenis pohon yang ditemukan pada berbagai sistem penggunaan lahan di Sumberjaya Sistem Penggunaan Lahan Hutan Alami Hutan Terganggu Agroforestri kopi Kopi Monokultur Semak/Alang-alang Palawija Sayuran Catatan : ttu = populasi pohon tidak terukur.
Populasi (bt/ha)
Jumlah Jenis
2067 1400 2991 2078 ttu 0 0
39 23 15 12 5 0 0
Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global
691 ISBN 978-979-799-447-1 Tabel 2. Frekuensi absolut vegetasi yang ditemukan pada setiap sistem penggunaan lahan di Sumberjaya I. Pohon Sistem Penggunaan Lahan Vegetasi No. (nama lokal) HA HT AF KM Shrubs PL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
aren balam bambu biola cemara cengkeh dahu damar damar tanduk duren fiscus gamal gelam jambu alas jambu jengkol juwet kayu Afrika kayu manis kayu(hutan ??) keluwih kemuning ketapang gunung kopi laban lada lamtoro lontar mangga manggis hutan manggis medang melinjo mentru meranti merawan merpat nangi nangka
0 21.43 0 14.29 21.43 0 35.71 21.43 64.29 0 7.14 0 35.71 14.29 0 0 28.57 0 28.57 14.29 0 7.14 14.29 0 14.29 0 0 14.29 7.14 21.43 14.29 71.43 0 28.57 50.00 28.57 7.14 35.71 0
0 28.57 0 35.71 0 0 64.29 7.14 7.14 7.14 0 0 21.43 0 0 0 14.29 0 0 0 14.29 14.29 0 0 14.29 0 0 0 0 28.57 28.57 92.86 0 21.43 64.29 21.43 0 57.14 0
14.29 0 14.29 0 0 14.29 0 0 0 14.29 0 85.71 0 0 14.29 7.14 0 7.14 0 0 0 0 0 100.00 0 7.14 0 0 7.14 0 0 0 7.14 0 0 0 0 0 14.29
0 0 0 0 0 14.29 0 0 0 0 0 35.71 0 0 0 0 0 7.14 0 0 0 0 0 100.00 0 14.29 7.14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 28.57
Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7.14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 21.43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
692 ISBN 978-979-799-447-1 40 nangkan 41 palem 42 pandan 43 pasang 44 petai 45 pinang 46 pisang 47 podocarpus 48 pokat 49 pule 50 rotan 51 salam 52 tembesu 53 tenam 54 terpus 55 waru gunung 56 wolak-walik II. Semak 57 anjuang 58 alang-alang 59 clibadia 60 karendong 61 kera duduk 62 merdekaan 63 nampongan 64 pakis 65 pakisan 66 putri malu 67 rerumputan 68 suplir
7.14 14.29 14.29 57.14 0 7.14 0 7.14 0 7.14 7.14 0 7.14 42.86 7.14 0 7.14
0 0 0 92.86 0 7.14 0 0 0 0 0 28.57 0 100.00 0 21.43 0
0 0 0 0 0 0 35.71 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 7.14 7.14 35.71 0 7.14 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 7.14 0 7.14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 7.14 0 0 0 7.14
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14.29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28.57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 85.71 14.29 42.86 14.29 7.14 42.86 0 50.00 14.29 21.43 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 50.00 0 66.67 0 0
35.71 28.57 0 7.14 0 28.57 14.29
39
23
15
12
13
2
5
III. Palawija & Sayuran 69 70 71 72 73 74 75
buncis cabai jagung kacang panjang singkong rampai terong Total Jenis
Keterangan: Frekuensi absolut adalah persentase temuan dari seluruh plot pengamatan, HA = hutan alami, HT = hutan terganggu, AF = kopi agroforestri, KM = kopi monokultur, Shrub = semak/alang-alang, PL = palawija, SY = sayuran Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global
693 ISBN 978-979-799-447-1 b. Biomassa pohon Alih guna hutan menjadi lahan pertanian menurunkan biomassa pohon. Ketika SPL masih dalam bentuk hutan alami biomassa pohon mencapai sekitar 948 ton/ha, namun turun menjadi sekitar 280 ton/ha setelah menjadi hutan terganggu. Penurunan yang tajam yaitu sekitar 99% terjadi setelah hutan berubah menjadi SPL kebun kopi. Biomassa pohon di kebun kopi agrofotrestri sekitar 17 ton/ha, sedangkan di kopi monokultur hanya sekitar 10 ton/ha (Gambar 1). Hal serupa juga pernah dilaporkan oleh Hairiah et al. (2004) yang menunjukkan bahwa biomassa pohon di hutan alami mencapai sekitar 435 ton/ha sedangkan di lahan kopi agroforestri hanya sekitar 51 ton/ha saja. Rendahnya biomassa pohon di kebun kopi dibandingkan dengan di kawasan hutan (meskipun kerapatan pohon di kebun kopi lebih tinggi daripada kawasan hutan) salah satunya disebabkan oleh ukuran pohon kopi (diameter batang) yang lebih kecil daripada pohonpohon yang terdapat di hutan. Menurut Aini et al., (2006) pohon-pohon di hutan memiliki volume ratarata lebih dari 100 m3/ha sedangkan di kebun kopi hanya sekitar 5,5 m3/ha.
Gambar 1. Biomassa pohon pada beberapa sistem penggunaan lahan di Sumberjaya (FLI = hutan alami, FI = hutan terganggu, AF = kopi agroforestri, dan = kopi monokultur). c. Komunitas nematoda Kawasan DAS Way Besai, Sumberjaya mengandung sekitar 113 genus nematoda yang tergolong ke dalam 8 ordo, yaitu Araeolaimida (7 genus), Dorylaimida (21), Enoplida (3), Monhysterida (4), Rhabditida (28), Teraocephalida (1) Mononchida (3), dan Tylenchida (46). Alih guna hutan menjadi lahan pertanian secara nyata menurunkan keragaman nematoda. Di hutan alami keragaman nematoda cukup tinggi mencapai sekitar 62 genus, sedangkan di SPL kopi tinggal 34 genus, di SPL palawija 46 genus dan di SPL sayuran 40 genus. Sebaliknya, alih guna hutan menjadi lahan
pertanian justru meningkatkan kelimpahan nematoda. Ketika SPL masih berupa hutan, kelimpahan nematoda sekitar 260 individu/300 cc tanah, tetapi setelah menjadi lahan pertanian meningkat lebih dari 3 kali lipat, yaitu 624 individu/300 cc tanah di SPL palawija dan 636 individu/300 cc tanah di lahan semak/alang-alang. Hal ini sesuai dengan pendapat Freckman and Ettema (1993) bahwa pada lahan yang dikelola secara intensif keragaman nematoda rendah tetapi kelimpahannya tinggi. Sementara itu Yeates (1996) melaporkan bahwa di Selandia Baru, SPL yang mencakup hutan, semak, dan padang rumput mengandung 44 genus dengan kelimpahan individu mencapai 1 – 4,2 juta /m2 terutama di hutan dan di padang rumput. Walaupun secara umum alih guna hutan menjadi lahan pertanian meningkatkan kelimpahan nematoda, tetapi bila kebun kopi dikelola dengan sistem agroforestri, kelimpahan nematoda justru menjadi rendah yaitu sekitar 190 individu/300 cc tanah (Gambar 2). Hal ini mengindikasikan bahwa sistem agroforestri kopi dapat mengendalikan kelimpahan nematoda, karena sistem agroforestri memiliki kondisi yang mirip dengan hutan yaitu keragaman vegetasinya dan masukan seresahnya tinggi.
Gambar 2. Kelimpahan dan keragaman (jumlah genus) nematoda pada berbagai sistem penggunaan lahan di Sumberjaya (FLI = hutan alami, FI = hutan terganggu, Shrub = semak/alang-alang, AF = kopi agroforestri, KM = kopi monokultur, PL = palawija, dan SY = sayuran). Komunitas nematoda yang ditemukan dapat dikelompokkan ke dalam nematoda hidup bebas (free-living) dan nematoda parasit tumbuhan. Dari aspek poduksi pertanian, nematoda parasit tumbuhan bersifat merugikan karena serangannya bisa sangat merusak tanaman dan menurunkan produksi. Sementara itu, nematoda hidup bebas yang terdiri dari nematoda pemakan bakteri, nematoda pemakan jamur, nematoda predator, dan nematoda omnivora bersifat menguntungkan. Nematoda hidup bebas
Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global
694 ISBN 978-979-799-447-1 terlibat dalam rantai makanan mikro perombakan bahan organik di dalam tanah (Wardle, 2002) sehingga keberadaannya dapat menentukan kesehatan tanah. Hasil survei menunjukkan bahwa alih guna hutan menjadi SPL pertanian mengubah komposisi komunitas nematoda. Ketika lahan masih dalam bentuk hutan alami, komunitas nematoda didominasi oleh nematoda yang menguntungkan (80%), sedangkan setelah lahan berubah menjadi SPL palawija komunitas nematoda didominasi oleh nematoda parasit tumbuhan (56%) (Gambar 3). Menurut Freckman dan Ettema (1993) nematoda tergolong biota yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan pertanian.
Gambar 3. Komposisi komunitas nematoda pada berbagai sistem penggunaan lahan di Sumerjaya Dari sekitar 25 genus nematoda parasit tumbuhan yang ditemukan tidak satupun yang berhasil menjadi kelompok dominan di kawasan hutan alami. Tetapi setelah hutan tersebut diubah menjadi lahan pertanian termasuk semak/alangalang, maka genus Croconemella dan Halicotylenchus berkembang menjadi kelompok dominan pada setiap SPL pertanian. Selain kedua genus tersebut, pada SPL kopi monokultur juga ditemukan Radopholus sebagai kelompok dominan. Genus yang disebut terkahir, khususnya spesies R. Similis, kerap dilaporkan menimbulkan masalah pada pertanaman kopi, lada dan pisang (Kalshonen, 1981). Pada SPL palawija dan sayuran, genus Rotylnechulus menjadi lebih dominan daripada genus lainnya. Bahkan di SPL sayuran kelimpahan relatif genus ini mencapai 60% (Tabel 3) dan berpotensi menjadi hama yang merugikan. Pengelolaan lahan yang kurang bijaksana akan memacu nematoda menjadi hama yang sangat merusak dan merugikan secara ekonomi. Menurut Taylor dan Sasser (1978) serangan nematoda dapat menurunkan produksi tanaman sampai 75 %. Kerusakan tanaman dapat
lebih parah bila terjadi interaksi serangan nematoda dengan patogen tanaman terbawa tanah lain seperti virus, bakteri, dan jamur (Khan, 1993). d. Faktor lingkungan Proses alih guna hutan menjadi kebun kopi di Sumberjaya dapat dipandang sebagai proses suksesi ekologi. Salah satu tahapan suksesi yang mungkin terjadi adalah SPL hutan alami berubah menjadi SPL hutan terganggu, kemudian diikuti semak/alangalang, kopi monokultur muda 1 tahun, kopi monokultur muda 3 tahun dan akhirnya menjadi kopi agroforestri multi-strata. Munculnya semak/alangalang karena lahan yang sudah tidak subur ditelantarkan setelah 2 - 3 tahun ditanami palawija atau sayuran. Hasil survei tingkat kawasan dan survei tingkat lahan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pada setiap SPL yang merupakan tahapan dalam pembentukan agroforestri kopi multistrata diikuti oleh perubahan karakteristik komunitas nematoda. Selain itu, alih guna hutan menjadi lahan pertanian dalam beberapa tahapan tersebut juga menyebabkan perubahan masukan seresah. Masukan seresah cenderung turun tajam yaitu sekitar 10 ton/ha di hutan, menjadi hanya 2 ton/ha di SPL kopi monokultur muda 1 tahun. Pada umumnya, petani di Sumberjaya menanam sayuran sebagai tanaman sela pada kopi muda sampai umur 3 tahun. Masukan seresah mulai meningkat seiring dengan bertambahnya umur kopi, yaitu sekitar 2 ton/ha pada kopi monokultur 3 tahun dan menjadi 6 ton/ha di SPL agroforestri multi-strata yang berumur > 5 th (Gambar 4). Dinamika masukan seresah akibat perubahan SPL dalam kasus alih guna hutan menjadi lahan pertanian diikuti pula oleh perubahan komposisi komunitas nematoda. Ketika masukan seresah tinggi di hutan, komunitas nematoda didominasi oleh kelompok nematoda hidup bebas, penurunan masukan seresah pada kopi monokultur muda juga diikuti oleh penurunan kelimpahan relatif nematoda tersebut, sehingga komunitas nematoda didominasi oleh nematoda parasit tumbuhan (Gambar 4). Pada Gambar 4 tampak bahwa salah satu penyebab kelimpahan relatif nematoda parasit tumbuhan menjadi tinggi karena masukan seresah rendah. Fenomena semacam ini banyak terjadi pada lahan pertanaian semusim seperti tanaman palawija dan sayuran. SPL tanaman semusim bersifat terbuka, pada umumnya sebagian besar biomassa tumbuhan diangkut keluar dan secara intensif pupuk anorganik ditambahkan ke lahan untuk memenuhi kebutuhan tanaman yang dibudidayakan. Pengelolaan lahan pertanian yang intensif semacam inilah yang menyebabkan munculnya permasalahan hama dan penyakit tanaman termasuk nematoda (Oka, 1995).
Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global
695 ISBN 978-979-799-447-1 Pada lahan yang kandungan bahan organiknya rendah perkembangan biota berguna, misalnya biota antagonis terhadap nematoda parasit tumbuhan, menjadi rendah, akibatnya tidak berjalan mekanisme pengendalian nematoda parasit tumbuhan secara alami.
tumbuhan, baik berupa tanaman inang utama yaitu tanaman yang dibudidayakan maupun inang alaternatif yaitu tumbuhan lain yang ada di sekitarnya. Dari hasil survei diketahui bahwa gulma yang melimpah akibat lahan terbuka memacu kelimpahan nematoda parasit tumbuhan khususnya genus Helicotylenchus (Gambar 5). Nematoda ini dapat bertahan dan berkembang sementara pada gulma, tetapi setelah tanaman utama ditanam maka ia akan beralih ke inang utama. Di Kintamani Bali, Helicotylenchus merupakan salah satu dari enam jenis nematoda penting yang menyerang kopi arabika (Sukanaya et al., 2001).
Gambar 4. Tahapan SPL dari hutan alami menjadi sistem kopi agroforestri multi-strata (I= hutan alami, II=hutan terganggu, III=semak/alang-alang, IV=kopi 1 th, V = kopi 3 th, dan VI = kopi agroforestri multistrata). Munculnya masalah hama nematoda, selain akibat musuh alami yang tidak berperan efektif, juga karena tersedianya sumber makanan yang melimpah. Sebagian besar jenis nematoda parasit tumbuhan bersifat polifagus. Nematoda memakan banyak jenis
Gambar 5. Hubungan kelimpahan nematoda parasit tumbuhan Helicotylenchus dengan kelimpahan gulma.
Tabel 3. Kelimpahan relatif nematoda parasit tumbuhan dominan yang ditemukan pada berbagai SPL lahan di Sumberjaya Sistem Penggunaan Lahan Genus Nematoda FLI FI Shrub AF KM PL SY .......................................... % ....................................................... 8.99 13.64 32.59 26.28 30.10 22.89 3.37 16.67 15.63 12.60 29.08 10.04 10.11 16.67 17.86 14.40 2.04 2.01 1.12 3.03 4.91 0 0 2.41 11.24 0 0 7.26 22.45 0 11.24 9.09 0 0 0 18.07 7.87 1.52 0.89 0.72 1.02 0.80 46.07 48.48 28.13 38.74 15.31 43.78
Criconemella 10.45 Helicotylenchus 4.58 Meloidogyne 0.92 Pratylenchus 1.10 Radopholus 0 Rotylenchulus 60.27 Xiphinema 0.37 Genus lain 22.30 Genus nematoda parasit 25 18 15 12 15 22 21 yang ditemukan Keterangan: FLI = hutan alami, FI = hutan terganggu, Shrub = semak/alang-alang, AF = kopi agroforestri, KM = kopi monokultur, PL = palawija, dan SY = sayuran).
Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global
696 ISBN 978-979-799-447-1 KESIMPULAN 1)
2)
3)
4)
Setelah hutan berubah menjadi lahan pertanian terjadi penurunan keragaman jenis pohon dari 39 jenis di hutan alami menjadi hanya 12 dan 5 jenis, masing-masing pada kopi monokultur dan lahan semak/alang-alang. Biomassa pohon turun dari sekitar 949 ton/ha di hutan alami menjadi hanya 10 ton/ha di kopi monokultur. Alih guna hutan menjadi lahan pertanian menurunkan keragaman nematoda, yaitu dari 60 genus di hutan alami menjadi sekitar 34 genus di kebun kopi. Komposisi komunitas nematoda berubah dari dominasi nematoda hidup bebas (free-living) di hutan alami menjadi dominasi nematoda parasit tumbuhan di lahan pertanian. Kelimpahan relatif nematoda hidup bebas tinggi ketika massa seresah tinggi, tetapi sebaliknya bagi nematoda parasit tumbuhan. Sistem penggunaan lahan berbasis sayuran memacu genus nematoda parasit tumbuhan Rotylenchulus menjadi sangat dominan, yaitu sekitar 60 individu/100 nematoda contoh. Kelimpahan gulma yang tinggi dapat memacu peningkatan kelimpahan nematoda parasit tumbuhan. Sistem agroforestri pada tanaman kopi dapat menjadi metode alternatif yang efektif untuk pengendalian nematoda parasit tumbuhan karena selain dapat menekan pertumbuhan gulma juga memiliki masukan seresah yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Afandi. 2004. Benchmark Description: Benchmark and Window Level Information. Progress Report CSM-BGBD Project, Universitas Lampung (unpublished). p.1-35. Aini, F.K., F.X. Susilo, B. Yanuwiadi, dan K. Hairiah. 2006. Meningkatnya potensi sebaran hama rayap Odontotermes spp. setelah alih guna hutan menjadi agroforestri berbasis kopi: apakah perubahan iklim mikro lebih mempengaruhi perubahan populasi daripada ketersediaan makanan?. Agrivita (28) 3: 221-227. Dewi, W.S., B. Yanuwiyadi, D. Suprayogo, dan K. Hairiah. 2006. Alih guna hutan menjadi lahan pertanian: Dapatkah sistem agroforetsri berbasis kopi mempertahankan diversitas cacing tanah. Agrivita (28) 3: 198-220 Farida dan M. van Noordwijk. 2004. Analisis debit sungai akibat alih guna lahan dan aplikasi model GenRiver pada DAS Way Besai, Sumberjaya. Agrivita 26 (1): 39-46.
Freckman, D.W. and C.H. Ettema, 1993. Assessing nematode communities in agroecosystems of varying human intervention. Agriculture Ecosystem and Environment 45: 239-261. Goodey, J.B. 1963. Soil and Freshwater Nematodes. Mathuen & Co Ltd., London., John Wiley & Sons, INC, New York. 544 p. Hairiah, K., D. Suprayoga, Widianto, Berlian, E. Suhara, A. Mardiastuning, R.H. Widodo, C. Prayoga, dan S. Rahayu. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan agroforestri berbasis kopi: Ketebalan serasah, populasi cacing tanah dan makroporositas tanah. Agrivita 26 (1): 68-80. Huang, S.P. and J.E. Cares. 2003. Methodology for Soil Nematode Diversity Evaluation. Department of Plant Pathology Universidade de Brasilia, (unpublished). 12 p. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crop in Indonesia (revised by Van der Laan). PT Ichtiar Baru - Van-Hoeve, Jakarta. 701 p. Khan, M.W. 1993. Mechanism of Interaction Between Nematodes and Other Plant Pathogens in M.W.Khan (ed.) Nematode Interaction. Chapman & Hall, London, Glasgow, New York, Tokyo, Melbourne, Madras. p. 55-79. Mai, W.F. 1985. Plant Parasitic Nematodes: Their Threat to Agriculture in J.N. Sasser and C.C. Carter (eds), An Edvanced Treeatise on Meloidogyne Volume I: Biology and Control. International Meloidogyne Project. North Caroline State University Graphic. USA. p. 1117 Oka, I N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 225 p. Purwanto, E. Handayanto, D. Suprayogo, dan K. Hairiah. 2006. Dampak alih guna hutan menjadi agroforestri kopi terhadap tingkat nitrifikasi: inventory dan aktivitas bakteri nitrifikasi. Agrivita 28 (3): 267-285. Siddiqi, M.R. 1986. Tylenchida Parasites of Plant and Insect. Commonwealth Institute of Parasitology, St. Albans United Kingdom. p. 1645. Sukanaya, W., M.G. Adipura, M. Sudana dan M. Sritamin. 2001. Populasi Nematoda Parasit pada Pencadangan Areal Kopi Arabika di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. FP UNUD Denpasar. 20 p. Taylor, A.L. and J.N. Sasser. 1978. Biology, Identification and Control of Root-Knot Nematodes (Meloidogyne species). International Meloidogyne Project. North Carolina State Univeristy Graphics. USA. 111 p. van Noordwijk, M. and M.J. Swift. 1999. Belowground biodiversity and sustainability of
Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global
697 ISBN 978-979-799-447-1 complex agroecosystem in A. Gafur, F.X. Susilo, M. Utomo, and M. van Noordwijk, (eds): Proceedings of Workshop Management of Agrobiodiversity in Indonesia for Sustainable Land Use and Global Environmental Benefit. Bogor, Aug 19-20, 1999. p. 8-27. Verbist, B., A. E. Putra, dan S. Budiharsono. 2004. Penyebab alih fungsi lahan dan akibatnya terhadap fungsi daerah aliran sungai (DAS) pada lansekap agroforestri berbasis kopi di Sumatera. Agrivita 16 (1): 29-38. Wardle, D.A. 2002. Ecosystem and Communities: Linking the Aboveground and Belowground
Component. Princeton University Press, Princeton and Oxford. 391p.. Widianto, D. Suprayogo, H. Noveras, R.H. Widodo, P. Purnomosidi dan M. van Noordwijk. 2004. Alih guna hutan menjadi lahan pertanian: Apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan sistem kopi monokultur? Agrivita (26) 1: 47-51. Yeates, G.W. 1996. Diversity of nematode fauna under three vegetation types on pallic soil in Otago, New Zealand. New Zealand Journal of Zoology 23: 401-407.
Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global