ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR 90 PK/PID/2008)
SKRIPSI Oleh : DIMAS SIGIT TANUGRAHA E1A009146
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR 90 PK/PID/2008)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh : DIMAS SIGIT TANUGRAHA E1A009146
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama
: DIMAS SIGIT TANUGRAHA
NIM
: E1A009146
Judul
: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 90 PK/PID/2008)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai ketentuan yang berlaku.
Purwokerto,
Agustus 2013
DIMAS SIGIT TANUGRAHA NIM. E1A009146
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang diberi judul : ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90 PK/PID/2008). Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Berbagai hambatan dan kesulitan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat ketegaran penulis serta bimbingan dan arahandari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat: 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh jajarannya; 2. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala bantuan, arahan, bimbingan, kesabaran, dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala bantuan, arahan, bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 4. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi 5. Sanyoto S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Acara
iv
6. Rochati S.H., M.Hum. , selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala arahan dan masukan yang telah diberikan selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 7. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 8. Bp. Andreas Suyud Digyo Saputro BSc.,S.H sebagai Ayah Kandung tercinta dari penulis 9. Ny. Sri Sundari sebagai Ibu Kandung tercinta dari penulis 10. Kakak Pertama (Mas Jodi), Kakak Kedua (Mas Wowo), Kakak Ketiga (Mas Bayu), Kakak Keempat (Mas Anja r), Kakak Kelima (Mas Gayuh) selaku Kakak Kandung penulis dan Ipar Pertama (Kak Henny), Ipar Kedua (Kak Erni) selaku Saudara Ipar penulis 11. Teman-Teman Angkatan 2009 Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi bantuan, saran serta doa demi kelancaran penulisan skripsi ini. Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Skripsi ini hanyalah hasil karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Purwokerto,
Agustus 2013
Penulis
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Pada page ini sebagai page pengingat, Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih terutama dan yang paling utama kepada Tuhan Yesus sebagai satu-satunya Tuhan yang ku percaya dan ku yakini. Serta mempersembahkan skripsi ini kepada Orang Tua kandung, saudara kandung (Kakak Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima) dan saudara ipar ku, yang telah banyak membantu dalam doa dan dana. Tak lupa sahabat karib ku Rizki Prabowo, Kekasih ku yang masih dirahasiakan Tuhan. Paman, Bibi, sepupu, Nenek yang membantu selama penulis menempuh kuliah di Purwokerto. Teman-teman seperjuangan, Raymon Fanal (kadang ngeselin, kadang ngangenin, bercita-cita jadi pengacara, lanjutin kuliah di Belanda, amin), Ateng (teman sma, manusia gajelas dialah orangnya), Ali (ce’es paling bijak dan berpengalaman soal cinta “macem pangeran tiengfeng/patkai”, tapi jadi paling sibuk dengan LKHS’nya, entahlah), Mukti (cita-cita dari awal ingin jadi pengacara, terwujud ga yah jadi pengacara? Semoga Tuhan, ini orang kadang nyolotin tapi tetap peduli ama gw) dan Rosi (adenya mukti ini yang kadang nyolotin, ga beda jauh sama kakanya, tp dia tetap baik), Redo (gw suka cara lo menyombongkan diri, belakangan ada hubungan special dengan Azi Bondan). Diperindah dengan kedatangan Tyas-ini COWO bukan CEWE (yang telah banyak membantu, apalagi keluarga lo yang rumahnya dekat dengan kontrakan gw dan Bude Pade yang suka kasih makan gratis), menyusul Aditya Pradana/Kopet (mendadak 1 semester hukum islam duduk jejeran terus), Danang (ini orang di duga homo sejati), SubiyanTHORo (di duga calon pengusaha ini), Dimas Pranowo (banyak gosip tak sedap menimpanya), Subkhan Tekkel semoga jadi hakim pengadilan agama. Diperlengkap dengan kedatangan sebagian Gengnya Melda, yaitu Acca (pokoke seneng pisan kalo liat acca senyum), Irma (paling enak diajakin ngegosip, thanks udha banyak bantu mae hahha), Indah (ga pernah lupa pas kumpul plkh perdata, sambil tertawa licik bilang “rekam aja omongan capung di hp”, diem gw), Deni (dari namanya gw kira dia cowo, maaf yaa). Ga lupa sama temen-temen gw yang lain yang mau temenan ama gw. Ga lupa sama teman SMA (LSM) yang selalu nemenin gw main DOTA. Serta anak-anak PMK FH yang mau ngajak gw gabung ke oraganisasi itu.
“I’m not a genius man, but I’m a diligent and lucky man”, satu lagi “Meninggi bukan untuk merendahkan”
vi
ABSTRAK
Penegakan hukum mempunyai 3 (tiga) pilar yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Peran Penyidik Polri sangat penting karena penyidik yang membuat berita acara penyidikan, mencari tersangka dan mencari identitas dari korban serta penyidik secara langsung ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dibandingkan jaksa dan hakim. Apabila pada tahap awal sudah terjadi rekayasa oleh penyidik kemudian jaksa dan hakim percaya begitu saja dengan data dari penyidik maka dapat terjadi yang namanya salah tangkap yang terjadi dalam putusan Pengadilan No. 49 PK/PID/2008. Dalam skripsi ini akan membahas mengenai 1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa dalam PutusanMahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008? 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error in persona) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008? Dalam pertimbangan hukum Hakim, dengan adanya PeninjauanKembali dari pelaku sebenarnya, dan adanya tes DNA yang membuktikan bahwa mayat yang menjadi korban pembunuhan bukan mayat yang dituduhkan penyidik kepada Terpidana. Atas dasar Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Hakim mengabulkan peninjauan kembali dari Permohon peninjauan kembali. Dengan adanya salah tangkap, maka penyidik yang melakukan penyidikan kasus tersebut terkena sanksi Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian. Dalam melakukan penyidikan, penyidik diharapkan dapat bertindak secara professional, teliti, dan tidak boleh menyimpang dari peraturan yang berlaku. Sehingga setiap kasus dapat terselesaikan dengan tepat, baik pelaku dan korban yang diajukan ke pengadilan merupakan orang yang tepat, sehingga putusan yang dijatuhkan Hakim tidak keliru.
Kata Kunci :Penegakan Hukum, Salah Tangkap, Penyidik
vii
ABSTRACT Law enforcement has three (3) pillars namely police, prosecutors and the Judiciary. Police Investigator role is very important because the investigator who made the news event investigation, looking for suspects and are looking for the identity of the victim and the investigator directly at the crime scene (TKP) compared to prosecutors and judges. If in the early stages has occurred investigators then engineered by prosecutors and judges believe it with the data from this investigation may have been no wrongful arrests that occurred in the Court's decision No..49 PK/PID/2008. In this paper will discuss the 1. How le gal reasoning the judge to acquit the defendant in the Supreme Court Decision. 90 PK/PID/2008? 2. How legal consequences for the investigator in the case of false arrest (error in persona) dalamPutusan Supreme Court. 90 PK/PID/2008? In consideration of the law judge, in the presence of a judicial review of the actual perpetrator, and a DNA test which proved that the bodies were victims of homicide investigators alleged corpse not to convict. On the basis of Article 191 paragraph (1) of Act 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure, the Judge granted a judicial review of plea reconsideration. With the false arrest, the investigators are investigating the case of sanctions of Article 21 paragraph (1) of Regulation No police chief. 14 Year 2011 About the Police Code. In conducting the investigation, the investigator is expected to act in a professional, thorough, and should not deviate from the regulations. So that each case can be resolved appropriately, both the perpetrator and victim are brought to justice is the right person, so the judge handed down the verdict was not erroneous.
Keywords: Law Enforcement, False Arrest, Investigators
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. ……………………………………………….…………… i HALAMAN PENGESAHAN……….…………………………………………... ii SURAT PERNYATAAN……………...………………………………………... iii KATA PENGANTAR……...…………...……………….……………………… iv HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………..……. vi ABSTRAK…………………………………………………...…………………. vii ABSTRACT..……………………………………………..……………………. viii DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ix BAB I PENDAHULUAN……………………………...………….……………. 1 A. Latar Belakang…………………………………….……...…………….. 3 B. Rumusan Masalah………………………………….…………………… 4 C. Tujuan Penelitian……………………………………...….…………….. 5 D. Kegunaan Penelitian…………………………………...….……………. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………...…………...……... 6 A. Penyidik Polri……………………………………..........………...……… 6 B. Pembuktian………………………………………………………..….… 12 C. Putusan Hakim………………………………………………………….. 23 D. Upaya Hukum………………………………………………………....... 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………….…….…. 29 A. Metode Pendekatan……………………………………….…………...... 29 B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………………… 30 C. Sumber Data…………………………………………………………….. 30 D. Metode Pengumpulan Data.....……………………………….…...….…. 31 a. Bahan Hukum Primer….…………………………..…….…..……..... 31 b. Bahan Hukum Sekunder…………………….……………………….. 31 E. Metode Penyajian Data…………………………….……...……...…….. 32 F. Metode Analisis Data………………………………………...…...…….. 32 BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………….....…........ 34 A. Hasil Penelitian…………………………………………….…..….……. 36 B. Pembahasan…………………………………………………...….…....... 61
ix
BAB V PENUTUP………………………………………………….....…….… 74 A. Simpulan…………………………………………………...……….…... 74 B. Saran………………………………………………………....………..... 75 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90 PK/PID/2008)
SKRIPSI
Oleh : DIMAS SIGIT TANUGRAHA E1A0091 46
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 201 3
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90 PK/PID/2008)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : DIMAS SIGIT TANUGRAHA E1A0091 46
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 201 3
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90 PK/PID/2008)
Oleh : DIMAS SIGIT TANUGRAHA E1A009146
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan Pada tanggal Agustus 2013
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya, Nama
: DIMAS SIGIT TANUGRAHA
NIM
: E1A009146
Judul Skripsi
: “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN
BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (Studi Kasus : Putusan Mahkaah Agung Nomor 90 PK/PID/2008)” Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purw okerto, 20 Agustus 2013
DIMAS SIGIT TANUGRAHA NIM. E1A009146
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang diberi judul : ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90 PK/PID/2008). Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Berbagai hambatan dan kesulitan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat ketegaran penulis serta bimbingan dan arahandari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada : 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman 2. Pranoto., S.H.M.H selaku Dosen Pembimbing I Skripsi 3. Handri Wirastuti Sawitri S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing II Skripsi 4. Dr. Hibnu Nugroho S.H.,M.H selaku Dosen Penguji Skripsi 5. Rochati S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik 6. Sanyoto S.H., M.Hum. selaku Kepala Bagian Acara 7. Seluruh dosen, staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman 8. Bp. Andreas Suyud Digyo Saputro BSc.,S.H sebagai Ayah Kandung tercinta dari penulis
9. Ny. Sri Sundari sebagai Ibu Kandung tercinta dari penulis 10. Kakak Pertama (Mas Jodi), Kakak Kedua (Mas Wowo), Kakak Ketiga (Mas Bayu), Kakak Keempat (Mas Anjar), Kakak Kelima (Mas Gayuh) selaku Kakak Kandung penulis dan Ipar Pertama (Kak Henny), Ipar Kedua (Kak Erni) selaku Saudara Ipar penulis 11. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman khususnya angkatan 2009 12. Semua pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu Semoga
amal
kebaikan
serta
bantuan
yang
telah
diberikan
mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Skripsi ini hanyalah hasil karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan.
Purwokerto,
Penulis
Agustus 2013
ABSTRAK
Penegakan hukum mempunyai 3 (tiga) pilar yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Peran Penyidik Polri sangat penting karena penyidik yang membuat berita acara penyidikan, mencari tersangka dan mencari identitas dari korban serta penyidik secara langsung ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dibandingkan jaksa dan hakim. Apabila pada tahap awal sudah terjadi rekayasa oleh penyidik kemudian jaksa dan hakim percaya begitu saja dengan data dari penyidik maka dapat terjadi yang namanya salah tangkap yang terjadi dalam putusan Pengadilan No. 49 PK/PID/2008. Dalam skripsi ini akan membahas mengenai 1.
Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa dalam PutusanMahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008?
2.
Bagaimanakah akibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error in persona) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008?
Dalam pertimbangan hukum Hakim, dengan adanya PeninjauanKembali dari pelaku sebenarnya, dan adanya tes DNA yang membuktikan bahwa mayat yang menjadi korban pembunuhan bukan mayat yang dituduhkan penyidik kepada Terpidana. Atas dasar Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Hakim mengabulkan peninjauan kembali dari Permohon peninjauan kembali. Dengan adanya salah tangkap, maka penyidik yang melakukan penyidikan kasus tersebut terkena sanksi Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian. Dalam melakukan penyidikan, penyidik diharapkan dapat bertindak secara professional, teliti, dan tidak boleh menyimpang dari peraturan yang berlaku. Sehingga setiap kasus dapat terselesaikan dengan tepat, baik pelaku dan korban yang diajukan ke pengadilan merupakan orang yang tepat, sehingga putusan yang dijatuhkan Hakim tidak keliru.
Kata Kunci :Penegakan Hukum, Salah Tangkap, Penyidik
ABSTRACT
Law enforcement has three (3) pillars namely police, prosecutors and the Judiciary. Police Investigator role is very important because the investigator who made the news event investigation, looking for suspects and are looking for the identity of the victim and the investigator directly at the crime scene (TKP) compared to prosecutors and judges. If in the early stages has occurred investigators then engineered by prosecutors and judges believe it with the data from this investigation may have been no wrongful arrests that occurred in the Court's decision No..49 PK/PID/2008. In this paper will discuss the 1. How legal reasoning the judge to acquit the defendant in the Supreme Court Decision. 90 PK/PID/2008? 2. How legal consequences for the investigator in the case of false arrest (error in persona) dalamPutusan Supreme Court. 90 PK/PID/2008? In consideration of the law judge, in the presence of a judicial review of the actual perpetrator, and a DNA test which proved that the bodies were victims of homicide investigators alleged corpse not to convict. On the basis of Article 191 paragraph (1) of Act 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure, the Judge granted a judicial review of plea reconsideration. With the false arrest, the investigators are investigating the case of sanctions of Article 21 paragraph (1) of Regulation No police chief. 14 Year 2011 About the Polic e Code. In conducting the investigation, the investigator is expected to act in a professional, thorough, and should not deviate from the regulations. So that each case can be resolved appropriately, both the perpetrator and victim are brought to justice is the right person, so the judge handed down the verdict was not erroneous.
Keywords: Law Enforcement, False Arrest, Investigators
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.…………………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN……….…………………………………………... ii SURAT PERNYATAAN……………...………………………………………... iii KATA PENGANTAR……...…………...……………….……………………… iv HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………. v DAFTAR ISI……………………………………………………………………. vi ABSTRAK…………………………………………………...…………………. vii ABSTRACT..……………………………………………..……………………. viii BAB I PENDAHULUAN……………………………...………….……………. 1 A. Latar Belakang…………………………………….……...…………….. 3 B. Rumusan Masalah………………………………….…………………… 4 C. Tujuan Penelitian……………………………………...….…………….. 5 D. Kegunaan Penelitian…………………………………...….……………. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………...…………………... 6 A. Penyidik Polri……………………………………....…………...……… 6 B. Pembuktian………………………………………………………..….… 12 C. Putusan Hakim………………………………………………………….. 23 D. Upaya Hukum………………………………………………………....... 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………….…. 29 A. Metode Pendekatan……………………………………….…………...... 29 B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………………… 30 C. Sumber Data…………………………………………………………….. 30 D. Metode Pengumpulan Data.....……………………………….…...….…. 31
a. Bahan Hukum Primer….………………………………………..... 31 b. Bahan Hukum Sekunder………………………………………….. 31 E. Metode Penyajian Data…………………………….…………...…….. 32 F. Metode Analisis Data…………………………………………...…….. 32 BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………………........ 34 A. Hasil Penelitian………………………………………………….……. 36 B. Pembahasan…………………………………………………….…....... 61 BAB V PENUTUP…………………………………………………...…….… 74 A. Kesimpulan………………………………………………….………... 74 B. Saran……………………………………………………….………..... 75 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
BAB I
A. Latar Belakang Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan perkataan lain baik secara preventif maupun represif. Sejauh ini peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam proses pidana pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sistem peradilan pidana adalah pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembagalembaga
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan
dan
pemasyarakatan
terpidana1.
Sementara itu Muladi menegaskan bahwa sistem peradilan pidana adalah jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formal, maupun hukum pelaksana pidana 2. Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana demi untuk mendapatkan kebenaran materiil yaitu kebenaran 1
yang
selengkap-lengkapnya
dari
suatu
perkara
pidana
dengan
O.C Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana, P.T Alumni. Bandung, hlm 4 2 Muladi, 2002, Kapita Selekta Hukum Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, hlm 5
2
menerapkan ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang tertuang dalam pasal demi pasal yang ada di dalam
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kebenaran materiil diatas maka hakim dalam mengemban tugas harus dijamin kemandiriannya guna menegakkan keadilan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa : “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” Menurut Yahya Harahap3, “Titik pangkal pemeriksaan di hadapan penyidik ialah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun seorang tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus diberlakukan asas akusatur. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat martabat” Dengan adanya asas “praduga tak bersalah” (persumption of innocent), Menurut Lilik Mulyadi4, bahwa tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana wajib dilindungi hak-haknya baik ketika di tingkat penyidikan sampai tingkat peradilan. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Menurut Djoko Prakoso5, memberikan ciri-ciri pengertian sistem akusatur: 1. Tentang kedudukan atau posisi tersangka/terdakwa 3
M.Yahya Harahap, 2004,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP; Sinar Grafika, Jakarta,hlm 134 4 Lilik Mulyadi, 2007,Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis, Praktik dan Permasalahannya,P.T Alumni,Bandung, hlm 51 5 Djoko Prakoso, 1985,Kedudukan Justisiabel Di Dalam KUHAP, Ghalia Indonesia,Jakarta, hlm 62
3
Tersangka atau penuntut umum mempunyai kedudukan yang sama. Kedua beah pihak saling berhadapan sebagai pihak yang sama haknya dalam melakukan pertarungan hukum di muka hakim yang tidak memihak. Jadi dalam sistem akusatur ada tiga subjek acara yaitu terdakwa, orang yang mendakwa dan hakim. 2. Sifat tugas Hakim yang pasif Dalam sisem akusatur pihak hakim hanya akan bertindak atau memulai tugasnya apabila telah diterima suatu pengaduan atau perkosaan hukum, atau dari petugas negara dalam soal kepidanaan. Hakim tidak memihak dan berada di atas kedua belah pihak. 3. Sifat pemeriksaan yang terbuka untuk umum Khalayak ramai harus diberi kesempatan untuk menyaksikan jalannya persidangan, sehingga mereka dapat mengawasi atau mengontrol jalannya persidangan atau pemeriksaan sehingga sifat kejujuran, kebebasan hakim dan putusan yang adil dari hakim dapat diawasi dengan sebaik-baiknya. 4. Campur tangan Pembela/Penasihat hukum Dalam pemeriksaan perkara pidana dengan mempergunakan sistem akusatoir, maka Pembela/Penasehat hukum sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap tersangka/terdakwa diperbolehkan menghubungi dan memberikan nasehat hukum kepadanya serta mendampinginya setiap pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa, baik di Kepolisian, Kejaksaan, mapun dalam sidang Pengadilan. Dalam kasus ini kesalahan yang dilakukan oleh P enyidik Polri bermula dari
proses
tindakan
penyidikan
penangkapan
dan terhadap
penangkapannya, DEP
dimana
meskipun
yang
penyidik
melakukan
bersangkutan
telah
menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkap bukanlah yang diduga sebagai pelaku namun penyidik tetap menangkapnya. Penyidik menduga bahwa DEP yang telah membunuh korban bernama MA yang dilakukan bersama dua orang rekannya. Namun setelah proses perkara dilimpahkan ke pengadilan dan telah diputus oleh hakim, belakangan diketahui bahwa korban pembunuhan atau mayat yang dinyatakan oleh polisi bernama MA itu ternyata bukan mayat MA melainkan mayat orang lain. Bagi terpidana dengan ditemukanya fakta baru ini dimana bahwa polisi telah melakukan kesalahan dalam penangkapannya, maka fakta ini
4
dapat digunakan sebagai bukti baru atau novum. Novum tersebut dapat dijadikan alasan kuat bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung agar segera dibebaskan. Sebab apabila bukti baru tersebut
diketahui
sebelum
putusan
majelis
hakim
dijatuhkan
maka
akan
mengubah isi dari putusan tersebut secara signifikan dan terpidana ini juga dapat menuntut Ganti kerugian Rehabilitasi. Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap tersebut seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkapnya saja, namum seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat semestinya juga ada akibat hukum dari polisi penyidiknya sendiri. Berdasarkan uraian tersebut diatas, melihat pentingnya dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan serta akibat hukum bagi penyidik yang salah tangkapmaka penulis tertarik memilih dan menetapkan judul untuk diteliti yaitu “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS KARENA Error In Persona (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung R.I.No. 90 PK/PID/2008) B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008? 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error in persona) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008? C. Tujuan Penelitian
5
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008 2. Untuk mengetahuiakibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error in persona) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008 D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Sebagai tambahan wacana, referensi dan acuan penelitian yang sejenis dari permasalahan yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memajukan perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan di bidang Hukum Acara Pidana pada khususnya. 2. Kegunaan Praktis Sebagai bahan pertimbangan bagi instansi terkait untuk perkembangan Hukum Acara Pidana Indonesia dan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan pembaca juga dapat penelitian serupa.
menjadi pedoman atau acuan bagi mereka yang melakukan
6
BAB II Tinjauan Pustaka A. Penyidik Polri 1. Pengertian Penyidik Pengertian Penyidik Polri terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan : “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan” Berdasarkan pasal tersebut, maka penyidik dapat melakukan penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan : “Penyidikan adaalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangka” Dalam hal ini, penyidik melakukan proses penyidikan yang dibantu oleh penyidik pembantu. Proses penyidikan yang dilakukan Penyidik Polri sangatlah penting untuk
menemukan
pelaku
kejahatan
yang
sesungguhnya.
Menurut
Yahya
Harahap6, “Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya”
6
M.Yahya Harahap, 2004,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP; Sinar Grafika, Jakarta, hlm 109
7
Berdasarkan
hal
tersebut,
Penyidik
Polri
yang
terpilih
untuk
melakukan
serangkaian tindakan penyidikan, maka haruslah professional dan mengetahui tugas dan wewenang Penyidik Polri, aturan hukum serta tata cara tindakan penyidikan yang berlaku di Indonesia. 2. Tugas Dan Wewenang Penyidik POLRI Penyidik Polri dalam melakukan serangkaian tindakan penyidikan harus mengetahui tugas dan wewenangnya dalam melakukan penyidikan, karena hal tersebut yang memberikan Penyidik Polri tata cara dan batasan yang dapat dilakukan Penyidik Polri dalam menentukan tersangka dalam suatu tindakan kejahatan. Tugas dan Wewenang Polri diatur dalam Pasal 13 sampai Pasal 19 Undang-Undang
No.2
Tahun
2002
Tentang
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia, menyebutkan : Pasal 13 Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatanmasyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum danperaturan perundang-undangan; d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
8
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani olehinstansi dan/atau pihak yang berwenang; k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalamlingkup tugas kepolisian; serta l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(1) a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
Pasal 15 Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: Menerima laporan dan/atau pengaduan; Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancampersatuan dan kesatuan bangsa; Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; Mencari keterangan dan barang bukti; Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan lainnya berwenang : a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
9
e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan; g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. (3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 16 (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
10
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia. Pasal 17 Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya diseluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yangbersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 18 (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalammelaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 19 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. Dari ketentuan Pasal 13 sampai Pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah jelas mengenai tugas dan wewenang menentukan
Penyidik seseorang
Polri
dalam
dijadikan
melakukan
tersangka
tindakan
dalam
penyidikan
tindakan
kejahatan
untuk yang
dilakukan. Tindakan Penyidik Polri inilah sebagai langkah awal dalam proses penegakan hukum. Menurut Andi Hamzah7, menyebutkan : “Penyidik pada waktu melakukan pemeriksaan pertama kali di tempat kejadian sedapat mungkin tidak mengubah, merusak keadaan di tempat kejadiaan agar bukti-bukti tidak hilang atau menjadi kabur. Hal ini terutama dimaksudkan agar sidik jari begitu pula bukti-bukti yang lain 7
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua, 126
Sinar Grafika, Jakarta, hlm
11
seperti jejak kaki, bercak darah, air mani, rambut, dan sebagainya tidak hapus atau hilang” Penyidik Polri dalam melakukan tindakan penyidikan tidak boleh mengabaikan ketentuan tersebut, karena apabila Penyidik Polri lalai dan melakukan kesalahan dalam proses penyidikan, yang mengakibatkan salah menentukan tersangka (Error in Persona) maka Penyidik Polri tersebut dapat terkena sanksi Kode Etik yang diatur di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian.
3. Sanksi Bagi Penyidik POLRI Dalam proses penegakan hukum diawali dengan kegiatan Penyidik Polri dalam menentukan tindakan kejahatan dan menangkap pelaku kejahatan yang sebenarnya. Dalam proses penyidikan oleh Penyidik Polri harus tepat dalam membuat terang suatu tindak kejahatan pidana, salah satu nya adalah menentukan seseorang menjadi tersangka. Apabila Penyidik Polri salah menentukan tersangka maka akan terjadi kasus salah tangkap. Dengan adanya salah tangkap maka harus ada akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan Penyidik Polri berupa sanksi yang tercantum di dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian, yang menyebutkan : Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi Pelanggaran KEPP berupa: a) P erilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela; b) Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan; c) Kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
12
d) Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun; e) Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun; f) Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau g) PTDH sebagai anggota Polri.
B. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Sejak berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana maka aspek pembuktian tampak diatur dalam ketentuan hukum pidana formal. Menurut Hibnu Nugroho8, Bahwa : “Tahap pembuktian dalam persidangan merupakan ‘jantungnya’ sebuah proses peradilan guna menemukan kebenaran materiil, sebagai tujuan adanya hukum acara pidana. Kebenaran materiil diartikan sebagai suatu kebenaran yang diupayakan mendekati kebenaran sesungguhnya atas tindak pidana yang telah terjadi” Pembuktian menurut Soedirjo9, “Dikaji secara umum pembuktian berasal dari kata ‘bukti’ yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan” Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukan benar atau salahnya terdakwa
8
Hibnu Nugroho, 2010,Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Universitas Negeri Diponegoro, Semarang, hlm 27 9 Soedirjo, 1985,Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana. CV Akademika Presindo, Jakarta, hlm 47
13
dalam sidang pengadilan10. Dilihat dari perspektif yuridis, menurut M. Yahya Harahap11, bahwa : “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuanyang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa” Pengertian hukum pembuktian menurut Bambang Poernomo adalah sebagai berikut12, “Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu kenyataan yang besar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana” Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara. 2. Alat Bukti Menurut KUHAP
10 Departemen Pendidikan Nasional RI, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Balai Pustaka, hlm 172 11 M.Yahya Harahap, 2005,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali; Sinar Grafika, Jakarta, hlm252 12 Bambang Poernomo, 1986, Pola Teori dan Azaz Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta, Liberty, hlm 39
14
Di dalam suatu putusan yang dijatuhkan hakim harus berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Menurut Hari Sasongko dan Lily Rosita13, ”Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untik menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian” Menurut Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril14, “Dengan pembuktian ini lah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalah yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian” Dalam rangka melakukan pembuktian di Persidangan, menurut Moch. Faisal Salam 15, maka hakim harus membuktikan, yaitu : 1. Apakah betul suatu peristiwa pidana itu telah terjadi; 2. Apakah peristiwa itu telah terjadi, maka harus dibuktikan bahwa peristiwa yang telah terjadi itu merupakan suatu tindak pidana; 3. Hakim harus membuktikan pula apa yang menjadi alasan atau yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut; 13
Hari Sasongko dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, hlm 10 14 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010,Hukum Acara Pidana, Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Kedua,Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 102 15 Moch Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, hlm 295
15
4. Di dalam peristiwa yang telah terjadi itu, harus diketahui pula siapa-siapa yang terlibat dalam peristiwa itu Dari ketentuan Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut dapat diketahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak didukung oleh sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah adanya alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, adalah a. b. c. d. e.
Keterangan saksi Keterangan ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa ad. a Keterangan Saksi Pengertiannya diatur dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu sebagai berikut, “Keterangan saksi salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa : “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”
16
Menurut Hibnu Nugroho16, “Proses mendapatkan alat bukti dimulai sejak pemeriksaan tahap penyidikan. penyidik mengumpulkan alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Salah satu alat bukti yang diperlukan adalah keterangan saksi. Pemeriksaan terhadap saksi harus dilakukan dalam keadaan bebas tanpa tekanan dari pihak mana pun. Keterangan saksi dicatat oleh penyidik dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Setelah pemeriksaan selesai, saksi diperkenankan untuk membaca keterangan yang telah dicatat oleh penyidik kemudian menandatangani (Pasal 118 KUHAP). Dalam tahap ini peran penyidik untuk dapat menggali keterangan para saksi dan terdakwa sangat diperlukan, sebab cara-cara yang dipergunakan tidaklah boleh melanggar ketentuan HAM” Di dalam praktek sering dijumpai adanya beberapa jenis saksi, yaitu : 1. Saksi A Charge (memberatkan terdakwa) dan Saksi A De Charge (meringankan terdakwa) Menurut sifat dan eksistensinya, keterangan saksi A Charge adalah keterangan seorang saksi dengan sifat memberatkan terdakwa dan lazimnya diajukan Jaksa/Penuntut Umum, sedangkan saksi A De Charge adalah keterangan saksi dengan sifat meringankan terdakwa dan lazim diajukan oleh tedakwa/Penasihat Hukum. Di dalam ketentun Pasal 160 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa : “Dalam hal ada saksi yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam suatu pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau Penasihat Hukum atau Penuntut Umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, Hakim Ketua Sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut” 2. Saksi Verbalisant Secara fundamental kata “verbalisant” adalah istilah yang lazim tumbuh dan berkembang di dalam praktik serta tidak diatur dalam KUHAP.
16
Hibnu Nugroho, 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Universitas Negeri Diponegoro, Semarang, hlm28
17
Menurut JCT Simorangkir, Edwin Rudy dan Prasetyo 17, bahwa “Verbalisant (Bld) adalah Petugas (Polisi atau seorang yang diberi tugas khusus) untuk menyusun, membuat atau mengarang proses verbal” saksi verbalisant ini tidak termasuk alat bukti sabagai mana dimaksud dalam Pasal 184 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Namun saksi verbalisant ini hanya untuk menambah keyakinan hakim ad. b. Keterangan Ahli Pasal 179 dan Pasal 180 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, bahwa hakim diberi wewenang untuk menghadirkan saksi ahli dan meminta di hadir bahan baru untuk menambah keyakinan hakim, ini berarti hakim dapat meminta tes DNA untuk mendapat keakuratan korban dan menambah keyakinan hakim. Menurut Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8
Tahun
1981
tentang
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana,
menyebutkan: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan” Akan tetapi, menurut penjelasan Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
disebutkan
bahwa
keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut 17
J.C.T Simorangkir, Edwin Rudy, dan Prasetyo JT, 1980, Akasa Abru, Jakarta,hlm 175
Kamus Hukum, Penerbit :
18
umum, maka pada pemeriksaan disidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Bukti keterangan ahli itu bukan apa yang oleh ahli diterangkan di muka penyidik atau penuntut umum walaupun dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan, tetapi berupa apa yang orang ahli nyatakan di sidang pengadilan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Menurut R. Soeparmono 18, bahwa “Keterangan ahli sangat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di siding pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidangbidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umun di sidang pengadilan” ad. c. Surat Dalam ketentuan Pasal 187 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyebutkan : “Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya” Menurut M Yahya Harahap, 19 nilai pembuktian surat sebagai berikut :
18
R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, hlm 3 19 M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika, Jakarta, hlm 309-310
19
a)
b)
Ditinjau dari segi formal Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Ditinjau dari segi materiil Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada diri alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, samasama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “bersifat bebas”.
ad. d. Petunjuk Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, “P etunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya” Pada prinsipnya, dalam praktik penerapan alat bukti petunjuk cukup rumit dan tidak semudah yang dibayangkan secara teoritik. ad. e. Keterangan Terdakwa Pasal 189 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, menyebutkan: 1)
2)
3)
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri
20
4)
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Menurut Lilik Mulyadi20, apabila ketentuan Psal 189 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dijabarkan lebih detail, dapatlah dikonklusikan bahwa: 1.
2.
3. 20
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Pada prinsipnya hanya keterangan terdakwa yang diterangkan di muka sidang atas pertanyaan hakim ketua sidang, hakim anggota; penuntut umum; terdakwa atau penasihat hukum yang dapat berupa pernyataan, pengakuan, ataupun penyangkalan dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk itu pernyataan, pengakuan ataupun penyangkalan tersebut haruslah terhadap perbuatan yang dilakukan dan diketahui sendiri oleh terdakwa serta juga tentang apa yang terdakwa alami sendiri khususnya terhadap tindak pidana yang bersangkutan. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Pada prinsipnya keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dan dapat dipergunakan untuk membantu menentukan bukti di sidang asal didukung suatu alat bukti sah lainnya. Dalam praktik peradilan lazimnya terhadap keterangan terdakwa ketika diperiksa penyidik kemudian keterangan tersebut dicatat dalam berita acara penyidikan dan ditandatangani oleh penyidik dan terdakwa. Konkret dan singkatnya keterangan terdakwa dalam BAP yang dibuat penyidik. Jika ditelaah lebih lanjut, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang harus didukung oleh suatu alat bukti lain yang sifatnya adalah limitative oleh karena jika judex facti mempermasalahkan terdakwa hanya berdasarkan keterangan terdakwa yang diberkan di luar sidang, tanpa diperkuat oleh alat bukti lain yang sah. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
Lilik Mulyadi, 2007, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia (Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya). Citra Aditya, Bandung, hlm 114-116
21
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Sesuai konteks ini maka secara teoretis keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan keterangan terdakwa tidak cukup untuk membuktikan tentang kesalahan terdakwa (Pasal 189 ayat (3), (4), dan (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam praktik, semenjak era KUHAP yang tidak mengejar “pengakuan terdakwa”, maka pada tahap pemeriksaan di depan persidangan terdakwa dijamin kebebasannya dalam memberi keterangannya (Pasal 52 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Begitupun sebaliknya, walupun keterangan terdakwa tersebut berisikan “pengakuan” tentang perbuatan yang ia lakukan, barulah mempunyai nilai pembuktian apabila didukung dan berkesesuaian dengan alat bukti lainnya (Pasal 184 ayat (1) huruf a, b, c, dan d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 3. Macam-Macam Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Teori
Sistem
Pembuktian berdasarkan praktek peradilan pidana,
dikenal ada empat macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim
di
pengadilan.
dalam
melakukan
pemeriksaan
terhadap
terdakwa
disidang
Di dalam bukunya, Menurut Andi Hamzah21, menyebutkan
bahwa : Terdapat beberapa sistem atau teori pembuktian untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian itu antara lain: a.
21
Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (conviction intime) Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim maka hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti
Muhammad Rusli, 2007, Bandung, hlm 186
Hukum Acara Pidan Kotemporer, P.T Citra Aditya Bakti,
22
berupa keyakinan hakim. Artinya jika pada pertimbangan hakim sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nuraninya menganggap terbukti suatu perbuatan yang dilakukan terdakwa maka terhadap diri terdakwa dapat dijatuhkan putusan pidana. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Perancis. b.
Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction Raisonnee). Sistem pembuktian ini adalah sistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan yang masuk akal atau rasional. Tegasnya, keyakinan hakim dalan teori ini harus dilandasi alasan-alasan yang dapat diterima, artinya keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar yang logis dan benar-benar dapat diterima akal, tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
c.
Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijk Bewijsheorie) Menurut teori ini, sistem pembuktian bergantung kepada sebagaimana disebutkan dalam undang-undang atau dengan kata lain undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.
d.
Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Stelsel) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan gabungan antara teori sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan system pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime) yaitu bahwa pembuktian selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative ini memiliki dua komponen, yaitu pertama bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan yang kedua bahwa pembuktian tersebut harus juga didasarkan pada
23
keyakinan hakim dan keyakinan tersebut harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang. Sistem pembuktian perkara pidana menurut Nicholas Simanjutak22, menganut prinsip bahwa yang harus dibuktikan adalah ditemukannya kebenaran materiil. Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakw alah yang bersalah melakukannya” Maka berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut nyatalah bahwa system pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undangundang secara negative. Dari ketentuan Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut dapat diketahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Sistem pembuktian yang dianut KUHAP sebagaimana telah
22
Nicholas Simanjutak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum , Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 18
24
disebutkan diatas adalah sistem pembuktian menurut undang-undang yang bersifat negatif (Negatief wettelijke stelsel) yaitu23: a. Disebut wettelijke atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian, undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada. b. Disebut negatif karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa, apabila jenis-jenis dan banyaknya alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada dirinya, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa menurut sistem pembuktian yang dianut KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum, sepenuhnya diserahkan pada majelis hakim. C. Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Putusan hakim pidana di dalam KUHAP telah diatur, sebagaimana dikatakan di dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana : “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal ini serta merta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan terdakwa dapat dipidana. Suatu proses peradilan berakhir 23
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 408-409
25
dengan
putusan
akhir
(vonnis).
Dalam
putusan
itu
hakim
menyatakan
pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan putusannya. Pengertian putusan menurut Leden Marpaung 24, “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan’. Demikian dimuat dalam buku Peristilahan Hukum dalam Praktik yang dikeluarkan Kejaksaan Agung RI 1985 halaman 221. Rumusan di atas terasa kurang tepat selanjutnya jika dibaca pada buku tersebut, ternyata ‘putusan’ dan ‘keputusan’ dicampuradukan. Ada juga yang mengartikan ‘Putusan’ (vonnis) sebagai ‘vons tetap’ (definitif) (Kamus istilah hukum Fockema Andrea). Rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa yang bukan ahli hukum. Sebaliknya dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah. Mengenai kata ‘Putusan’ yang diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut ‘Interlocutoir’ yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan seladan ‘preparatoire’ yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan ‘provosionel’ yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara” Sedangkan pengertian Putusan dalam Kamus Istilah Aneka Hukum, Putusan adalah hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara yang didasarkan pada pertimbangan yang menetapkan apa hukum25. Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan
merupakan
aspek
penting
dan
diperlukan
untuk
menyelesaikan
perkara pidana. Oleh karena itu, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperolehkepastian hukum (rechtszekerhelds) tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding, kasasi, melakukan grasi dan 24
Leden Marpaung, 1995, Proses Penanganan Perkara PidanaBagian Kedua, Sinar Grafika. Jakarta, hlm 406 25 C.S.T Kansil, 2009, Kamus Istilah Aneka Hukum. Jala Permata Aksara, Jakarta, hlm 371
26
sebagainya. Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili
perkara,
pencerminan
putusan
nilai-nilai
hakim
keadilan,
merupakan kebenaran
mahkota hakiki
hak
sekaligus
puncak
asasi
manusia,
penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan fakual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan 2. Jenis/Bentuk Putusan; Adapun macam-macam bentuk putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim dalam sidang pengadilan berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat dibagi atas tiga macam, yaitu: a.
Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.
b.
Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
27
terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. c.
Putusan yang mengandung suatu penghukuman terdakwa, Pasal 193 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.
D. Upaya Hukum 1. Pengertian Upaya Hukum Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal ini serta merta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi, dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan akhir dari proses
persidangan
pidana
untuk
tahap
pemeriksaan
di
Pengadilan
Negeri.Namun terhadap putusan hakim tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum. Pengertian upaya hukum menurut R. Atang Ranoemihardja, upaya hukum adalah suatu usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap suatu keputusanhakim yang dianggapnya kurang
28
adil
atau
kurang
tepat26.
Jadi
upaya
hukum
merupakan
bentuk
dari
ketidakpuasan yang merasa dirugikan secara langsung akibat adanya putusan hakim tersebut. Adanya upaya hukum ini juga merupakan bentuk pengujian terhadap keputusan hakim apakah putusan hakim tersebut sudah tepat atau belum, melanggar asas-asas atau peraturan perundangan atau tidak. 2. Macam-Macam Upaya Hukum Mengenai upaya hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu : a. Upaya hukum biasa yakni ; 1. Pelawanan/verzet Tahap ini adalah perlawanan yang belum masuk ke dalam pokok perkara 2. Banding Pemeriksaan banding merupakan suatu penilaian baru. Jadi, dapat diajukan saksi-saksi, ahli-ahli dan surat-surat baru. KUHAP tidak melarang hal demikian, khususnya Pasal 238 ayat (4) KUHAP menyebutkan : “Jika dipandang perlu, pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya” “Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara tau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka pengadilan tinggi dengan keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri” Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa acara pada pemeriksaan pertama tetap menjadi dsar pemeriksaan banding kecuali kalau ada penyimpangan-penyimpangan dan kekecualian-kekecualian.
26
R. Atang Ranoenimihardja, 1976, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, hlm 123
29
3. Kasasi Kasasi bertujuan menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau kekeliruan dalam
menerapkan
hukum.
Berdasarkan
alasan-alasan
atau
pertimbangan-
pertimbangan yang ditentukan oleh undang-undang yang menjadi dasar suatu putusan pengadilan yang kurang jelas. b. Upaya hukum luar biasa yakni : 1. Kasasi untuk kepentingan hukum Dalam peraturan lama kasasi demi kepentingan hukum ini telah diatur bersama kasasi biasa dalam satu pasal, yaitu Pasal 17 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1950, menyebutkan : “Kasasi dapat dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan atau atas permohonan Jaksa Agung karena jabatanya” Dengan pengertian bahwa kasasi atas permohonan Jaksa Agung hanya sematamata untuk kepentingan hukum dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Jadi, hanya dibedakan kasasi pihak dan kasasi karena jabatan Jaksa Agung. Kasasi jabatan inilah yang sama dengan kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa. 2. Peninjauan Kembali Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa apabila sudah mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap dan ditemukannya bukti baru atau novum. Hal ini untuk memberi kesempatan bila terjadi kesalahan di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan tingkat MA dengan disodorkannya bukti baru. 3. Upaya Hukum Peninjauan Kembali
30
Pada hakikatnya, putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya mempunyai tiga sifat yaitu pemidanaan apabila hakim/pengadilan berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan (Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana) kemudian putusan bebas apabila hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan (Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana) dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,). Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan : “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas” Upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a Undang-Undang
No.8
Tahun
1981
Tentang
Hukum
Acara
Pidana
yang
menyebutkan : “Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara ini diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan”
31
Keadaan baru sebagaimana dimaksud dalam pasal diatas adalah novum atau bukti baru. dimana novum
ini merupakan bukti yang dapat meringankan atau
membebaskan terdakwa dari tuduhan yang didakwakan kepadanya. Pasal 263 ayat (2) huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ini yang menjadikan dasar bagi Hakim Mahkamah Agung menerima atau menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali. Apabila hakim menolak permohonan peninjauan kembali, maka Hakim Mahkamah Agung akan
memberikan
alasan
penolakan
permohonan
peninjauan
kembali
yang
diajukan. Bagi terpidana dengan ditemukanya fakta baru ini dimana bahwa polisi telah
melakukan
kesalahan
dalam
penangkapannya,
maka
fakta
ini
dapat
digunakan sebagai bukti baru atau novum. Novum tersebut dapat dijadikan alasan kuat bagi terpidana ini untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung agar segera dibebaskan. Sebab apabila bukti baru tersebut
diketahui
sebelum
putusan
majelis
hakim
mengubah isi dari putusan tersebut secara signifikan.
dijatuhkan
maka
akan
32
BAB III Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
yuridis
(normatif)
metode
pendekatan
dengan
kasus
metode
(Case
pendekatan
Approach )
serta
perundang-undangan, metode
pendekatan
analitis.Penelitian hukum doktrinal (normatif) adalah penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji
penerapan
kaidah-kaidah
atau
norma-norma
dalam
hukum
positif.27 Pendekatan perundang-undangan (statute approach) di sini berarti peneliti
melihat
hukum
sebagai
system
tertutup
yang
memiliki
sifat-sifat
comprehensive (norma-norma hukum yang ada terkait satu dengan lainnya), all inclusive (norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada sehingga tidak ada kekurangan hukum) serta systematic ( di samping bertautan antara yang satu dengan yang lain, norma hukum tersebut harus tersusun secara hierarkis), sedangkan pendekatan kasus (Case Approach) di sini bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama kasus-kasus yang telah diputus oleh pengadilan. Kasus tersebut dapat dipelajari untuk mendapat gambaran tentang dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum.jelasin metode pendekatan perundang-undangan.
27
Johny Ibrahim, 2008,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, hlm 294.
33
Pendekatan analitis di sini berfungsi untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi Pendekatan
penelitian
yang
Perundang-Undangan
digunakan dimana
dalam
dalam
penelitian
ini
adalah
Perundang-Undangan
ini
terdapat tiga kegiatan pokok, yaitu; pertama, penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif dan norma-norma yang dianggap sebagai norma sosial (nonhukum). Selanjutnya adalah
melakukan
pengumpulan
norma-norma
yang
sudah
diidentifikasikan
sebagai norma hukum tersebut, dan akhirnya dilakukan pengorganisasian normanorma yang sudah diidentifikasikan dan dikumpulkan itu ke dalam suatu system yang komprehensif (menyeluruh).28Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa penelitian ini bersifat Preskriptif, dimana penelitian ini menganalisis persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum.29 3. Sumber Data Sumber bahan penulisan karya ilmiah ini adalah bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang 28
Rony Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 13 29 Peter Mahmud Marzuki, 2010,Penelitian Hukum, Kencara Media Group, Jakarta, hlm 22
34
sudah
tersedia
dalam
bentuk
buku-buku
atau
dokumentasi
yang
biasanya
disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi peneliti. Dari bahan hukum sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat.
Bahan hukum primer
terdiri atas peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi. 30 1. Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID B/2008 2. Putusan Negeri Jombang No. 49/PID B/2008/PN.JMB b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari pustaka dibidang ilmu hukum, penelitian di bidang ilmu hukum, jurnal hukum, artikel ilmiah, laporan hukum, berita dan semua publikasi baik dari media cetak maupun elektronik. 4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua metode, yaitu metode kepustakaan dan metode dokumenter. Metode kepustakaan di sini adalah suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, jurnal ilmiah, dan sebagainya), sedangkan metode dokumenter adalah suatu cara pengumpulan
30
Ibid., hlm. 141
35
bahan
dengan
menelaah
terhadap
dokumen-dokumen
pemerintah
maupun
nonpemerintah (putusan pengadilan, publikasi, dan sebagainya). 5. Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan penelitian. 6. Metode Analisis Data Dalam penelitian hukum doktrinal (normatif) ini yang digunakan adalah logika deduktif melalui metode analisis normatif kualitatif. Metode analisis normatif merupakan cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
36
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian A. Data Sekunder Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 90 PK/PID/2008 mengenai Putusan Bebas Karena Error in Persona dan dengan melakukan studi pustaka yang berhubungan dengan obyek penelitian maka dapat diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : 1. Duduk Perkara Memeriksa perkara pidana peninjauan kembali telah memutuskan dalam perkara Terpidana, tempat lahir Jombang, tanggal lahir 13 Desember 1988, umur 19 tahun, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Dusun Ngemplak, Desa Pagerwojo, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang, agama Islam, pekerjaan swasta. Pada awalnya ditemukan sesosok mayat yang ditemukan warga disekitar kebun
tebu
di
Dusun
Braan.
Berdasarkan
identifikasi
yang
dilakukan
penyidikTerdakwa mempunyai hubungan khusus (homo) dengan Sdr. IC als. Kemat, yang sebelumnya Sdr. IC als. Kemat sudah mempunyai hubungan khusus (homo) bersama korban MA dan hubungannya putus karena korban mempunyai cowok lagi yang lebih tampan dari Sdr. IC als. Kemat, selanjutnya pada hari dan tanggal tidak dapat diingat 3 hari sebelum kejadian di Salon Ayu Sdr. IC als. Kemat menyampaikan niatnya kepada Terdakwa untuk menghabisi korban MA, karena Sdr. IC als. Kemat sakit hati / cemburu dengan korban yang telah
37
mempunyai cowok lebih ganteng, dan niat tersebut disetujui oleh Terdakwa (pasangan homo Sdr. IC als. Kemat yang baru dan telah berjalan selama 3 bulan). Kemudian ditentukannya hari pelaksanaannya yaitu hari Sabtu malam Minggu tanggal 22 September 2007 ; kemudian Terdakwa bersama ICdengan membawa mobil mengajak korban untuk pulang bersama. Namun korban di bawa ke rumah kosong yang telah ditentukan.Sdr. IC als. Kemat. Di tempat itu Terdakwa dan rekannya memukul kepala MA hingga pingsan dan membawa MA ke kebun tebu di desa Braan selanjutnya Terdakwa bersama Sdr. IC als. Kemat membuang mayat di kebun tebu tersebut, selanjutnya Sdr. IC als. Kemat menusuk dan merobek perut korban hingga ususnya ke luar terburai dengan pisau untuk memastikan korban telah meninggal dunia kemudian Terdakwa mengambil oli bekas yang berada di mobil kemudian oli tersebut disiramkan oleh Sdr. IC als. Kemat ke muka korban dan menutupinya dengan daun tebu untuk menghilangkan identitas korban. Berdasarkan hal tersebut Terdakwa di Pidana 12 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang. Kemudian muncul pengakuan VIH alias Ryan yang mengaku membunuh MA dan membuang mayatnya di belakang rumah orang tua VIH. Berdasarkan hal tersebut dilakukan tes DNA yang sebelumnya tidak dilakukan penyidik. Kemudian terbukti bahwa mayat di kebun tebu bukanlah MA namun FS. Kemudian DEP mengajukan peninjauan kembali berdasarkan novum ke Mahkamah Agung. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum 1) Kesatu
38
Penuntut Umum mendakwa dengan bentuk dakwaan alternatif. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalamPasal 340 KUHP jo. 55 (1) ke-1 KUHP dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain yaitu korban. atau ; 2) Kedua Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP jo.Pasal 55 (1) ke -1 KUHP dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, yaitu korban. 3. Pembuktian Di dalam pembuktian di Pengadilan Negeri Jombang, yang dihadirkan Penuntut Umum di muka persidangan pada tingkat pertama yang terdiri dari H. IH, Syt, MJ, AW, Ksyn, BH, Spd, BS, AHS, H. Dj, AW, IC adalah sebagai saksi untuk memberikan keterangan terkait dengan berkas perkara tindak pidana pembunuhan berencana terhadap korban (yang ditemukan di kebun tebu Desa Braan, Kabupaten Jombang) dan tidak ada saksi fakta dalam perkara a quo, saksi yang diajukan adalah saksi De Auditu, saksi Verbalisen (saksi Polisi Pemeriksa Perkara / Penyidik) dan saksi mahkota, yaitu Terdakwa dan Sdr. Saksi IC yang dihadirkan sebagai saksi mahkota yang bertentangan dengan hukum pembuktian ; Penuntut Umum juga mengajukan keterangan ahli Dr. Rudy Prayudiya Ariyanto Dokter Bedah pada Rumah Sakit Umum Jombang dengan hasil pemeriksaan tanggal 1 Oktober 2007 jam 10.00 dengan hasil sebagai berikut : A. Pemeriksaan Luar :
39
Pakaian : Tanpa menggunakan pakaian ; Tinggi Badan : 160 Cm ; Kepala : Rambut hitam, gigi tonggos ; Leher : Tidak ada kelainan ; Perut : Ada robekan 5 (lima) Cm di atas pusar, 1 (satu) Cm dari garis tengah tubuh berbentuk ellips dengansudut tajam di kedua sudutnya dengan ukuran 2 Cm x 4 Cm, tidak didapatkan jembatan jaringan,didapatkan usus yang terburai dari lubang robekan dan terjadi pembusukan pada seluruh tubuh ; B. Pemeriksaan Dalam : Sebagian usus besar ke luar dari rongga perut lewat lubang (robekan) yang terdapat pada dinding perut dan sebagian besar organ dalam mengalami pembusukan ; C. Kesimpulan : Tidak dapat disangkal bahwa korban meninggal dunia karena pendarahan rongga perut , karena robekan dinding perut sebagai akibat persentuhan dengan benda tajam tanpa disertai denganalat bukti lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP ; Serta dalam persidangan, Penuntut Umum mengajukan barang bukti berupa : - 1 (satu) unit mobil Suzuki Cary warna biru No. Pol. L 1057 KD ; - 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah No. Pol. S 4088 WJ ; - 1 (satu) buah jaket parasit warna biru ; - 1 (satu) buah switer hitam bergaris putih ; - 1 (satu) buah celana jean warna hitam ; - 1 (satu) buah ikat pinggang warna hitam ; - 1 (satu) buah pisau dapur gagang kayu panjang 32 Cm ;
40
- 1 (satu) pasang sandal jepit warna biru ; - 1 (satu) buah sandal jepit sebelah kanan warna hitam ; - 1 (satu) buah batang kayu bekas bangunan ; - 1 (satu) buah helm warna hitam kaca riben ;
4. Tuntutan Penuntut Umum Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana terhadap Terdakwa, membaca tuntutan Jaksa Penuntut Umum tanggal 17 April 2008 yang isinya adalah sebagai berikut : 1) Menyatakan Terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana pembunuhan direncanakan
yang
dilakukan
bersama-sama
sebagaimana
diatur
dan
diancam pidana Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP dalam surat dakwaan Primair ; 2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan ;
5. Putusan Pengadilan Negeri Jombang Membaca
putusan
Pengadilan
Negeri
Jombang
No.
49/Pid.B/2008/-
PN.JMB.tanggal 8 Mei 2008 dengan menggunakan dakwaan primer, yang amar lengkapnya sebagai berikut : 1) Menyatakan Terdakwa, tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut serta melakukan pembunuhan berencana”;
41
2) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun ; 3) Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ; 4) Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan ; 5) Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil Suzuki Cery warna biru No. Pol. L 1057 KD, 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah No. Pol. S 4088 WJ, 1 (satu) buah jaket parasit warna biru, 1 (satu) buah switer hitam bergaris putih, 1 (satu) buah celana jean warna hitam, 1 (satu) buah ikat pinggang warna hitam, 1 (satu) buah pisau dapur gagang kayu panjang 32 Cm, 1 (satu) pasang sandal jepit warna biru, 1 (satu) buah sandal jepit sebelah kanan warna hitam, 1 (satu) buah batang kayu bekas bangunan, 1 (satu) buah helm warna hitam kaca riben ; Dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain ; Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
6. Peninjauan Kembali Membaca surat permohonan peninjauan kembali bertanggal 25 September 2008 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jombang pada tanggal 25 September 2008 dari Kuasa Terpidana, yang memohon agar putusan Pengadilan Negeri tersebut dapat ditinjau kembali, pada pokoknya sebagai berikut :
42
Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah diucapkan dengan hadirnya Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 8 Mei 2008, dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ; Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana pada pokoknya adalah sebagai berikut : 1). TERDAPAT KEADAAN BARU (NOVUM) ; Terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum ; Maksud keadaan baru dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP tersebut sesungguhnya bukan keadaannya yang baru, akan tetapi diketahuinya yang baru atau baru diketahui. Keadaan yang dimaksudkan itu sesungguhnya sudah ada pada saat perkara pokoknya diperiksa di Pengadilan ; Dari ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, pengertian keadaan baru dapat disimpulkan, ialah : suatu keadaan yang sesungguhnya (secara materiil) sudah ada, namun ketika perkara sedang diperiksa belumlah dibuktikan / diketahui tentang keberadaannya itu. Untuk membuktikan adanya keadaan itu haruslah dengan alat bukti, yang jika alat bukti itu diperiksa di muka persidangan maka terbuktilah tentang keadaan tersebut. Dengan telah terbuktinya adanya keadaan yang demikian, maka putusan terhadap perkara itu akan berbeda dengan putusan yang sekarang ; 1.1. Novum 1 : Pengakuan dari VIH alias Ryan yang mengaku telah membunuh korban yang berinisial MA ;
43
Keadaan baru yang pertama yang dijadikan dasar permohonan peninjauan kembali ini adalah pengakuan VIH alias Ryan pada tanggal 17 Agustus 2008 yang menyatakan bahwa mayat / korban ke 11 (sebelas) (yang saat itu belum diketahui identitasnya(disebut Mr. X) yang dikubur di pekarangan belakang rumah orang tuanya di Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Kecamatan Tembeleng, Kabupaten Jombang adalah bernama MAdan dibunuh sekitar bulan Oktober 2007 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2007. Jadi Novum I yang dimaksud adalah Pengakuan dari VIH alias Ryan yang mengaku telah membunuh MA ; Novum tersebut sangat bertentangan dengan kesimpulan Penyidik dan Penuntut Umum yang menyatakan pada tanggal 29 September 2007 telah ditemukan sesosok mayat / korban pembunuhan di kebun tebu di Desa Braan, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang, yang berdasarkan hasil penyelidikan aparat
Kepolisian
Polsek
Bandar
Kedungmulyo
terhadap
mayat
tersebut
diidentifikasi sebagai MA warga Desa Kalang Semanding, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang, kesimpulan aparat kepolisian ini diambil karenaadanya laporan orang hilang dengan Laporan Polisi No. Pol. : K/LP/26/IX/2007/Reskrim tanggal 27 September 2007 atas nama MA alias Aldo, berusia 21 (dua puluh satu) tahun, alamat Desa Kalang Semanding, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang ; Dengan adanya laporan orang hilang tersebut maka pada tanggal 29 September 2008 petugas dari Polsek Bandar Kedungmulyo bersama-sama dengan kakak kandung MA yang berinisial AW berangkat ke RSU Jombang untuk melihat korban dan kakak korban meyakini bahwa mayat tersebut adalah MA hanya berdasarkan ciri-ciri fisik antara lain : kaki kanan dibagian betisnya ada luka
44
bekas kena knalpot, kukunya panjang terawat, gigi tulang sebelah kiri agak ke luar, potongan rambut bagian samping kiri dan kanan tipis dan bagianbelakang tebal, sedangkan disekujur badan ada bekas oli, hidung ada luka bengkak, rahang gigi sudah lepas, tengkuk mengalami luka memar, perut luka terbuka dan usus terburai ke luar dan wajah korban sudah mengalami kerusakan dan sulit dikenali ; Setelah adanya pernyataan dari keluarga atas mayat tersebut Penyidik tanpa melakukan tes DNA guna dicocokkan dengan DNA keluarga MA dalam hal ini MJ (ayah kandung) dan DM (ibu kandung), Penyidik mengambil kesimpulan bahwa mayat di kebun tebu tersebut adalah MA ; Penyidik dari Kepolisian Resort Jombang menetapkan 3 (tiga) orang tersangka dalam perkara pembunuhan atas mayat di kebun tebu yang di yakini Kepolisian sebagai mayat MA antara lain : 1. Sdr. Saksi ICalias Kemat yang ditangkap pada tanggal 20 Oktober 2007 oleh Penyidik pada Polres Jombang, selanjutnya dilakukan penahanan pada tanggal 21 Oktober 2007 ; 2. Pemohon PK yang ditangkap pada tanggal 20 Oktober 2007 oleh Penyidik pada Polres Jombang, selanjutnya dilakukan penahanan pada tanggal 21 Oktober 2007 ; 3. Sdr. Saksi MS alias Sugik yang ditangkap pada tanggal 20 Oktober 2007 oleh Penyidik pada Polres Jombang selanjutnya dilakukan penahanan pada tanggal 21 Oktober 2007, MS alias Sugik sempat dibebaskan dan dipulangkan sesuai dengan Berita Acara Pemulangan tanggal 23 Oktober 2007 dan kemudian kembali ditangkap pada tanggal 7 Mei 2008dan ditahan pada 8 Mei 2008 ;
45
Ketiga
orang
tersebut
diduga telah melakukan tindak pidana pembunuhan
berencana yang terjadi pada bulan September 2007 di Dusun Braan Desa / Kec.Bandar Kedungmulyo dengan korban MA alias Aldo, ketiga orang tersebut disangka dengan Pasal 340 KUHP Sub.Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP ; Berdasarkan pernyataan yang dibuat IC alias Kemat tertanggal 10 Juni 2008, IC alias Kemat menyatakan bahwa dirinya dan MS tidak pernah membunuh MA, pengakuan yang dibuat dalam BAP dihadapan Penyidik POLRI bahwa dirinya dan MS telah membunuh MA dibuat semata-mata karena IC alias Kemat tidak tahan disiksa dan dipukuli oleh oknum anggota Polsek Bandar Kedungmulyo di pinggir sungai (foto copy bukti PK-1) demikian juga dengan Pemohon PK dalam pernyataannya yang dibuat pada tanggal 10 Juni 2008 menyatakan tidak tahu tentang pembunuhan MA dan benar-benar tidak melakukanpembunuhan tetapi karena dipukuli oleh oknum aparat Polsek Bandar Kedungmulyo akhirnya mengakui turut serta membunuh MA (foto copy Bukti PK-2) ; Proses persidangan di Pengadilan Negeri Jombang, IC alias Kemat dan Pemohon PK menerangkan MS alias Sugik terlibat dalam perbuatan pembunuhan berencana atas MA yang mayatnya ditemukan di kebun tebu Desa Braan, keterangan tersebut diberikan oleh kedua orang Terdakwa dalam kondisi tertekan baik fisik maupun psikis. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh IC alias Kemat dan Pemohon PK maka pada tanggal 7 Mei 2008 dilakukan penangkapan atas diri MS alias Sugik oleh Penyidik dari Kepolisian Resor Jombang dan pada tanggal 8 Mei 2008 dilakukan penahanan dan saat ini sedang disidangkan di Pengadilan Negeri
46
Jombang ; Pada saat perkara dengan tersangka MS Alias Sugik dinyatakan lengkap dan segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jombang, pada tanggal 17 Agustus 2008 muncul pengakuan dari VIH alias Ryan yang mengaku membunuh MA
alias Aldo pengakuan mana bertentangan dengan fakta dan putusan
Pengadilan dengan inisial IC yang telah menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Jombang atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap korban MA dengan vonis pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun, Pemohon PK yang telah menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Jombang atas tuduhan turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap korban MA dengan vonis pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun ; Terhadap pengakuan VIH alias Ryan yang merupakan Novum yang pertama, karena Pemohon Peninjauan Kembali belum mendapatkan BAP tersangka VIH alias Ryan, maka Pemohon Peninjauan Kembali ajukan bukti surat berupa berita dan pernyataan yang termuat di media massa antara lain : Koran Harian SURYA, Rabu tanggal 20 Agustus 2008dengan Judul " Ryan Pelaku, Orang lain Dibui " (foto copy Kliping koran terlampir bukti PK-3) dan Koran Harian SURYA, Kamis tanggal 21 Agustus 2008 dengan Judul” Ryan : Polisi Salah Tangkap " (foto copy Kliping Koran terlampir, bukti PK- 4) ; 1.2. Novum 2 : DNA Mr..X yang dikubur di belakang rumah orang tua VIH alias Ryan identik dengan dengan DNA MJ (ayah kandung MA) dan DM (ibu kandung MA) ; Setelah munculnya pengakuan VIH, pada
tanggal 21 Agustus 2008 pihak
Kepolisian langsung bertindak mengambilnya sample / contoh darah dari orang
47
tua MA (MJ dan DM) yang dilakukan oleh Kedokteran dan Kesehatan Polda Jatim yang kemudian dikirim tanggal 22 Agustus 2008 ke Mabes Polri untuk digunakan dalam uji DNA atau tes atas asal-usul seseorang secara genetika dan hasilnya dicocokkan dengan DNA Mr. X yang diketemukan di halaman belakang rumah VIH alias Riyan ; Berdasarkan
surat
hasil
tes
Laboratorium
DNA
No.
Pol.
:R/08012.D/DNA/VIII/2008/Biddokpol tanggal 27 Agustus 2008 oleh tim yang diketuai Drs. Putut T. Wibowo, DFM, Msi., perihal hasil pemeriksaan DNA salah satu korban pembunuhan yang dilakukan oleh VIH alias Ryan yang dikenal dengan Mr. X, disimpulkan bahwa dengan nilai kebenaran pemeriksaan DNA lebih dari 99,999% bahwa Mr. X yang dibunuh oleh VIH alias Ryan teridentifikasi sebagai MA alias Aldo ; Dengan terbukti mayat yang ditemukan di kebun tebu di Desa Braan, Desa / Kec. Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang pada tanggal 29 September 2007 bukanlah MA alias Aldo, dan oleh pihak Kepolisian mayat ini diberi nama Mr. XX (belakangan barudiketahui bahwa mayat yang ditemukan di kebun tebu Desa Braan adalah FS alias Antonius) ; Pemohon
Peninjauan
Kembali
telah
mengajukan
surat
permohonan
untuk
mendapatkan copy hasil pemeriksaan DNA dari pihak Mabes POLRI atas nama jenazah MA dan Mr. XX (yang belakangan diketahui bernama FS alias Antonius) dan telah ditindak lanjuti oleh pihak Mabes POLRI melalui surat kepada Pusdokkes POLRI (Bukti PK-5), akan tetapi karena sampai dengan memori Peninjauan Kembali ini Pemohon Peninjauan Kembali daftarkan copy hasil DNA
48
tersebut
belum
Pemohon
Peninjauan
Kembali
dapatkan,
maka
Pemohon
Peninjauan Kembali mengacu pada keterangan Kasatpidum Polda Jatim AKBP Susanto yang dimuat dalam media massa yaitu Koran Harian Pagi JAWA POS terbit tanggal 28 Agustus 2008 dengan judul "Asrori Korban ke-11 Ryan " (foto copy Kliping Koran Bukti PK-6) dan Koran Harian Pagi SURYA terbit Kamis tanggal 28 Agustus 2008 dengan Judul " Tragedi Sengkon Karta Terulang “(foto copy Kliping Koran Bukti PK-7) dan Koran Harian Pagi SURYA terbit Kamis tanggal 28 Agustus 2008 dengan Judul " 3 Orang Tak Bersalah Dibui" (foto copy Kliping Koran Bukti PK-8), yang pada intinya menegaskan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan DNA terhadap Mr. X menunjukkan bahwa Mr. X adalah MA ; Dengan demikian, jelas bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah dibebani pertanggungjawaban hukum atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya, oleh karena itu sudah sepantasnya apabila Pemohon PK dibebaskan dari segala bentuk pemidanaan terhadap dirinya. 1.3. Novum 3 : DNA Mr. XX yang ditemukan di Kebun tebu Desa Braan, Kabupaten Jombang identik dengan Ny. S selaku ibu kandung FS alias Antonius ; Setelah hasil test Laboratorium DNA No.Pol R/08012.D/DNA/VIII/2008/Biddokpol tanggal 27 Agustus 2008 menyimpulkan dengan nilai kebenaran pemeriksaan DNA lebih dari 99,999 % bahwa Mr. X yang dibunuh oleh VIH alias Riyan teridentifikasi sebagai MA alias Aldo, maka pihak Kepolisian menindaklanjuti dengan melakukan pembongkaran makam Mr. XX yang sebelumnya diyakini sebagai mayat MA di Dusun Kalangan, Desa Kalang Semanding, Kec. Perak,
49
Kab. Jombang yang dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2008 ;Bahwa kemudian terhadap mayat Mr. XX yang semula diyakini sebagai MA tersebut telah dilakukan tesDNA dengan pembanding DNA keluarga / orang tua FS yang mengakui telah kehilangan anak laki-laki yang berinisial FS sejak tahun 2007. Hasilnya pada tanggal 17 September 2008 Mabes POLRI melalui Kadiv Humas Polda Brigjen Pol. R. Abubakar Nataprawira, Direktur I Keamanan dan Trans Nasional Bareskrim Polda Brigjen Pol. Badrodin Haiti, dan Kabid Dokpol Pusdokkes Polri Kombes Pol Mussadeq Ishaq di Mabes Polda berdasarkan Surat Pemeriksaan
DNA
No.
R/08012.E/DNA/-
IX/2008/Biddokpol,
tanggal
16
September 2008 menyatakan bahwa hasil tes DNA mayat di kebun tebu (Mr. XX) di Desa Braan, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang adalah identik dengan keluarga FS alias Antonius artinya Mr. XX adalah anak Biologis Ny. S orang tua FS alias Antonius ; Terhadap hasil tes DNA yang menyatakan DNA Mr. XX (mayat di kebun tebu) identik dengan DNA keluarga / orang tua FS yang dilakukan oleh Mabes Polri tersebut di atas Kuasa Hukum Pemohon Peninjauan Kembali sudah melayangkan surat kepada Mabes POLRI pada tanggal 9 September 2008, untuk mendapatkan salinan resmi hasil pemeriksaan DNA Mr. XX / FS dari Mabes POLRI dan telah ditindaklanjuti oleh Mabes POLRI (Vide bukti PK-5) akan tetapi sampai dengan memori PK ini Pemohon Peninjauan Kembali daftarkan surat tersebut Pemohon Peninjauan Kembali belum terima ; Bukti lain yang menguatkan fakta bahwa Mr. XX adalah FS, adalah bukti baru / Novum berupa :
50
1. Berita Acara Penyerahan / Pengembalian Mayat (Jenazah) FS als. Antonius tertanggal 19 September 2008 (Bukti PK-9) dengan uraian singkat jalannya penyerahan / pengembalian (mayat) sebagai berikut : " Pada hari Kamis tanggal 28 Agustus 2008 Penyidik Ditreskrim Polda Jatim telah melakukan penggalian di makam Islam Desa Kalang Semanding, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang yang sebelumnya ditemukan di TKP Kebun Tebu Dusun Braan, Desa / Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang pada tanggal 29 September 2007 yang diduga merupakan korban pembunuhan. Kemudian setelah dilakukan identifikasi, otopsi atau pemeriksaan forensik guna kepentingan penyidikan oleh Penyidik Polda Jatim, maka diketahui identitas atau jati diri jenazah tersebut dan selanjutnya dimasukkan kedalam peti dan diserahkan / dikembalikan kepada pihak keluarga " ; 2. Berita Acara Pemakaman Mayat (Jenazah) dengan inisial FS als. Antonius tertanggal 19 September 2008 (IFRS 08.030) (Bukti PK-10) ; 3. Surat Keterangan Pemeriksaan Kematian (Form. B) Jenazah dengaan inisial FS tertanggal 19 September 2008 (Bukti PK-11) ; 4. Surat Keterangan Pemeriksaan Kematian (Form. A) Jenazah dengan inisial FS tertanggal 19 September 2008 (Bukti PK-12) ; Sehari sebelumnya, Kadiv Humas POLRI R. Abubakar Nataprawira bersamasama dengan Direktur I Keamanan dan Trans Nasional Bareskrim POLRI Brigjen Pol. Badrodin Haiti, dan Kabid Dokpol Pusdokkes POLRI Kombes Pol. Mussadeq Ishaq di Mabes POLRI melalui media massa juga mengumumkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan forensik terhadap Mr. XX diketahui FSu,
51
yang antara lain dikutip oleh Koran Harian Pagi JAWA POS terbit Kamis tanggal 18 September 2008 dengan judul " Tes DNA Pastikan Mr. XX Fauzin " (foto copy Kliping Koran Bukti PK- 13) dan Koran Harian Pagi SURYA, terbit Kamis tanggal 18 September 2008 dengan Judul " Mayat Kebun Tebu 100 % Fauzin " (foto copy Kliping Koran Bukti PK-14) ; Jelas bahwa mayat yang diketemukan di Desa Braan, Desa / Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang bukanlah mayat MA melainkan mayat FS, sehingga dengan adanya Novum ini sudah sewajarnya Pemohon PK dapat dibebaskan dari penjara, karena selama ini Pemohon PK telah dizalimi melalui suatu perangkap sistem peradilan yang sesat, tidak adil dan tidak berdasarkan hukum ; 2.) ADANYA KEKHILAFAN HAKIM ATAU SUATU KEKELIRUAN YANG NYATA ; 2.1. Putusan Pengadilan Negeri Jombang No. 48/Pid.B/2008/PN.JMB tanggal 8 Mei 2008 mengandung suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Dalam memutus perkara No. 48/Pid.B/2008/PN.JMB., Judex
Facti telah
melakukan
memberikan
kekhilafan
dan
kekeliruan
yang
nyata
dalam
pertimbangan hukumnya, sehingga putusan tersebut dalam pertimbangannya tidak sempurna (Onvoldoende Gemotiveerd), dan terdapat kekeliruan yang nyata dalam amar putusannya yang sangat merugikan Pemohon Peninjauan Kembali. Akan tetapi, sebelum mengemukakan alasan kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan hukum Judex Facti Pengadilan Negeri Jombang yang
52
mengakibatkan amar putusannya keliru pula, terlebih dahulu mengemukakan pengertian kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP. Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP tidak mengatur pengertian istilah kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata. Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP hanya mengatur mengenai rumusan umum dari salah satu dasar atau alasan pengajuan permohonan peninjauan kembali. Pengertian umum menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta pada halaman 504, " khilaf “ mempunyai pengertian " keliru / salah ", sedangkan " kekhilafan " mempunyai pengertian " kekeliruan / kesalahan ". Dan selanjutnya " kekhilafan " yang nyata diartikan dengan " kekeliruan / kesalahan " yang menyolok dan serius ; Pengertian
tersebut
kemudian
diintrodusir
ke
dalam
pengertian
kekhilafan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP, di mana pengertian " kekhilafan yang nyata " dalam praktek hukum dimaksudkan sebagai salah atau cacat dalam pertimbangan atau perbuatan (an error or defect of judgment or conduct). Atau, dengan kata lain, tidak sempurna pertimbangan putusan yang diambil (incomplete judgment). Atau juga diartikan bahwa putusan atau tindakan yang diambil atau diartikan atau dilakukan, menyimpang dari ketentuan yang semestinya (any deviation).Bahkan pertimbangan yang ringkas (shortcoming) yang tidak cermat dan menyeluruh, dikualifikasikan sebagai putusan yang mengandung kekhilafan. Oleh karena itu, kurang cermat dan kurang hati-hati mempertimbangkan semua faktor dan aspek yang relevan dan urgen dikualifikasikan sebagai kekhilafan yang mengabaikan fungsi mengadili (under
53
general liability principle of judiciary), kekhilafan adalah pelanggaran atas implementasi
hukum
yang
mesti
dipertimbangkan
dan
diterapkan
dalam
memberikan putusan dalam suatu perkara ; Berkaitan dengan kekhilafan yang dilakukan oleh Judex Facti dalam perkara a quo, hukum acara pidana yang merupakan undang-undang adalah bersifat imperatif atau memaksa, sehingga tidak dapatditafsirkan lain. Putusan Mahkamah Agung adalah merupakan suatu panutan untuk kepentingan peradilan di bawahnya. Apabila keputusan Judex Facti tersebut menyimpang, maka kepastian hukum yang ada akan menjadi rancu. Kekhilafan yang dilakukan oleh Judex Facti dalam perkara a quo adalah sebagai berikut : Tidak dipenuhinya batas minimal pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Tidak ada saksi fakta dalam perkara a quo, saksi yang diajukan adalah saksi De Auditu, saksi Verbalisen (saksi Polisi Pemeriksa Perkara / Penyidik) dan saksi mahkota yang bertentangan dengan hukum pembuktian. Saksi-saksi yang dihadirkan di muka persidangan pada tingkat pertama yang terdiri dari IH, S, MJ, AW, Ksyn, BH, Spd, BS, AHS, H. Dj, AW, ICadalah sebagai saksi untuk memberikan keterangan terkait dengan berkas perkara tindak pidana pembunuhan berencana terhadap korban MA (yang ditemukan di kebun tebu Desa Braan, Kabupaten Jombang). Apabila Judex Facti mencermati catatan sidang mengenai keterangan paras saksi tersebut di atas, jelas bahwa pengetahuan atas
pernyataan
pengetahuannya
yang sendiri
mereka (de
sampaikan
auditu),
tidak
di
atas
tidak
diperoleh
ada
saksi
fakta
yang
dari
mampu
menjelaskan cara kejahatan, waktu kejahatan dan tempat kejahatan yang tepat
54
dilakukan oleh Pemohon PK. Pengajuan saksi Verbalisen adalah dagelan gaya kampung yang dilakukan sekedaruntuk memenuhi syarat formil jumlah saksi, apalagi dalam perkara ini terungkap bahwa baik Pemohon Peninjauan Kembali maupun IC alias Kemat dalam perkara ini mengalami penyiksaan untukmengaku sebagai pelaku pembunuhan sampai muncul pemeriksaansaksi mahkota dengan memanfaatkan
kebingungan
dan
ketidaktahuan
hukum
dari
masing-masing
pelaku. Jelas bahwa Judex Facti telah melanggar ketentuan Pasal 1 ayat (26) tentang
Klasifikasi
Seorang
Saksi
sebagai orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri ; Keterangan saksi-saksi tersebut di atas juga tidak bersesuaian antara satu dengan lainnya sehingga apabila Judex Facti mengikuti sidang dengan cermat, maka Judex Facti tidak akan sampai pada kesimpulan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali bersalah dan akhirnya dihukum dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun. Dalam
menjatuhkan
48/Pid.B/2008/PN.JMB., Judex
putusan Facti
Majelis
Hakim
Perkara
No.
hanya mendasarkan pada keterangan
Terdakwa yang diberikan karena diintimidasi dan disiksa dan hasil Visum Et Repertum
Jenazah
atas
nama
MANo. 371/04/415.39/X/2007 tertanggal 25
Oktober 2007 oleh Dr. Rudy Prayudiya Ariyanto Dokter Bedah pada Rumah Sakit Umum Jombang dengan hasil pemeriksaan tanggal 1 Oktober 2007 jam 10.00 dengan hasil sebagai berikut :
55
A. Pemeriksaan Luar : Pakaian : Tanpa menggunakan pakaian ; Tinggi Badan : 160 Cm ; Kepala : Rambut hitam, gigi tonggos ; Leher : Tidak ada kelainan ; Perut : Ada robekan 5 (lima) Cm di atas pusar, 1 (satu) Cm dari garis tengah tubuh berbentuk ellips dengansudut tajam di kedua sudutnya dengan ukuran 2 Cm x 4 Cm, tidak didapatkan jembatan jaringan,didapatkan usus yang terburai dari lubang robekan dan terjadi pembusukan pada seluruh tubuh ; B. Pemeriksaan Dalam : Sebagian usus besar ke luar dari rongga perut lewat lubang (robekan) yang terdapat pada dinding perut dan sebagian besar organ dalam mengalami pembusukan ; C. Kesimpulan : Tidak dapat disangkal bahwa korban meninggal dunia karena pendarahan rongga perut , karena robekan dinding perut sebagai akibat persentuhan dengan benda tajam tanpa disertai denganalat bukti lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Hasil Visum Et Repertum tersebut terdapat beberapa ketidaksesuaian antara lain: Keterangan yang diberikan oleh kakak kandung MA yang berinisial AW yang mengatakan MA memiliki gigi tulang sebelah kiri agak keluar (gingsul) tetapi berdasarkan hasil Visum Et Repertum No. 371/04/415.39/X/2007 tertanggal 25 Oktober 2007oleh Dr. Rudy Prayudiya Ariyanto menyatakan hasil pemeriksaan
56
luar terhadap Kepala : gigi tonggos, adalah suatu pengetahun yang bersifat umum (notoir feiten) bahwa keadaan antara gigi tulang sebelah kiri agak keluar (gingsul) dan gigi tonggos adalah berbeda, tonggos adalah bentuk gigi yang cenderung maju ke depan, sedangkan gingsul adalah gigi tulang yang lebih menonjol dari gigi lainnya pada barisan depan gigi manusia. Terhadap
hasil
pemeriksaan
dipersidangan Pemohon Peninjauan Kembali
mengatakan MS memukul kepala korban bagian belakang dari arah samping korban yang mengakibatkan korban jatuh ke lantai tidak sadarkan diri tetapi berdasarkan hasil Visum Et Repertum No. 371/04/415.39/X/2007 tertanggal 25 Oktober
2007
oleh
Dr.
Rudy
Prayudiya
Ariyanto
menyatakan
hasil
pemeriksaan luar leher : tidak ada kelainan, terdapat pertentangan terhadap hasil Visum yang menyatakantidak ada kelainan dan fakta dipersidangan leher dipukul dengan balok kayu yang seharusnya akan timbul luka atau patah tulang terhadap leher tersebut sebagai akibat dipukul dengan balok kayu ; Terhadap hasil Visum Et Repertum pemeriksaan luar dinyatakan " pada bagian perut ada robekan 5 (lima) Cm di atas pusar, 1 (satu) Cm dari garis tengah tubuh berbentuk ellips dengan sudut tajam di kedua sudutnya dengan ukuran 2 Cm x 4 Cm .... dst ", apabila dikaitkan dengan barang bukti berupa pisau dapur yang disita dari rumah IC alias Kemat maka luka berbentuk ellips tersebut pada Visum Et Repertum adalah bukan karena ditusuk dengan pisau dapur yang memiliki satu sudut tajam, lebih-lebih terhadap pisau dapur yang dijadikan barang bukti tersebut tidak pernah diperiksa forensik apakah terdapat bekasbekas darah yang identik dengan darah korban ;
57
Dari fakta-fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil Visum Et Repertum No. 371/04/415.39/X/2007 tertanggal 25 Oktober 2007 oleh Dr. Rudy Prayudiya
Ariyanto
bertentangan
dengan
keterangan-keterangan
yang
disampaikan oleh saksi AW dan saksi IC alias Kemat, yang seharusnya dicermati oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara No. 49/Pid.B/2008/PN.JMB. sehingga dapat dipastikan. Jadi tidak satupun alat bukti yang diajukan dalam persidangan ini memiliki persesuaian satusama lain, sehingga kesimpulan Majelis Hakim
yang
menghukum
memeriksa Pemohon
perkara
Peninjauan
No.
49/Pid.B/2008/PN.JMB.
Kembali
adalah
keliru.
yang
telah
Perkara
No.
49/Pid.B/2008/PN.JMB telah diputus dengan tidak memenuhi batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
7. Putusan Mankamah Agung 1) Pertimbangan Hukum Hakim Alasan peninjauan kembali tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti (Pengadilan Negeri) salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Adanya bukti-bukti PK.4, PK.13 dan PK.14, yang menjelaskan bahwa korban mati yang digali dari kebun rumah VIH alias Riyan ternyata dari hasil sample darah adalah anak pasangan DM dan MJ yang berinisial MA; b. Korban yang di kebun tebu adalah anak dari pasangan Ny. S yang berinisial FS. c. Terdakwa didakwa telah melakukan pembunuhan terhadap MA sedangkan dalam kasus perkara itu kemudian ditemukan tersangka yang mengakui
58
bernama VIH alias Riyan adalah pelakunya, sebagaimana terangkum dalam bukti-bukti (PK.6, PK.7 dan PK.8) ; d. Sesuai bukti-bukti PK.9, PK.10, PK11 dan PK.12 ternyata mayat yang ditemukan
oleh
masyarakat
teridentifikasi
berinisial MA sebagai korban
pembunuhan VIH alias Riyan, sedangkan kemudian ternyata korban mati yang di kebun tebu adalah FS als. Antonius ” ; Dengan demikian jika Terpidana DEP telah diperiksa dan dihukum pidana serta berkekuatan hukum tetap sebagai “telah membunuh MA” padahal ternyata yang diketemukan di kebun tebu tersebut adalah mayat “ FS als. Antonius “ ; Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus a quo telah terjadi error in subyektif kesalahan Terdakwanya dan terjadi kesalahan menangkap ; Dengan adanya novum tersebut maka Terpidana harus dinyatakan tidak terbukti dan karenanya harus dibebaskan. Oleh karena alasan peninjauan kembali yang mendasarkan atas ada nya novum dapat dibenarkan maka pertimbangan tentang alasan peninjauan kembali selebihnya dipandang tidakrelevan lagi ; Alasan peninjauan kembali karena kekeliruan nyata dari Judex Facti (Pengadilan Negeri) adalah sebagai akibat dari alat-alat bukti yang ada dan diyakini cukup dapat dijadikan dasar pemidanaan maka harus dipandang alasan tersebut tidak dapat dibenarkan. Walaupun seolah-olah dengan adanya Novum tersebut, Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah salah menerapkan hukumpembuktian, karena Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah memeriksa dan mengadili perkara tersebut sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan khususnya hukum pembuktian.
59
Berdasarkan tersebut di atas, permohonan peninjauan kembali harus dinyatakan dapat dibenarkan, oleh karena itu berdasarkan Pasal 263 (2) jo. Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jombang No. 49/Pid.B/2008/PN.JMB.tanggal 8 Mei 2008 dan Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara tersebut dengan amar seperti yang akan disebutkan di bawah ini. Oleh karena permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dikabulkan dan Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dibebaskan dari segala dakwaan maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dibebankan kepada Negara. Memperhatikan pasal-pasal dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, UndangUndang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Peraturan Perundang-undangan lain yang bersangkutan.
2) Amar Putusan Mahkamah Agung MENGADILI Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana tersebut ; Membatalkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Jombang
PN.JMB.tanggal 8 Mei 2008.
ME N G A D I L I K E M B A L I
No.
49/Pid.B/2008/-
60
1. Menyatakan Terpidana tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Primair dan Subsidair ; 2. Membebaskan oleh karena itu kepada Terpidana dari segala dakwaan ; 3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ; 4. Memerintahkan agar Terpidana segera dikeluarkan dari tahanan, kecuali Terpidana ditahan karena perkara lain ; 5. Menyatakan barang bukti berupa : - 1 (satu) unit mobil Suzuki Cary warna biru No. Pol. L 1057 KD ; - 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah No. Pol. S 4088 WJ ; - 1 (satu) buah jaket parasit warna biru ; - 1 (satu) buah switer hitam bergaris putih ; - 1 (satu) buah celana jean warna hitam ; - 1 (satu) buah ikat pinggang warna hitam ; - 1 (satu) buah pisau dapur gagang kayu panjang 32 Cm ; - 1 (satu) pasang sandal jepit warna biru ; - 1 (satu) buah sandal jepit sebelah kanan warna hitam ; - 1 (satu) buah batang kayu bekas bangunan ; - 1 (satu) buah helm warna hitam kaca riben ; Dikembalikan dari mana barang bukti tersebut disita ; Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada Negara.
61
B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Pengadilan Negeri Jombang dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan dengan melakukan studi pustaka yang berhubungan dengan obyek penelitian penulis, maka dapat diperoleh analisis data sebagai berikut :
1. Pe rtimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa dalam Putusan Mahkamah AgungNo. 90 PK/PID/2008. Penegakan
hukum
merupakan
upaya
untuk
mendapatkan
kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan. Di dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008
pada pokoknya terdapat 2 (dua) dasar hukum yang dipakai Majelis
Hakim Mahkamah Agung dalam membebaskan terdakwa. 1. Adanya peninjauan kembali 2. Error in Persona
Ad. 1. Adanya Peninjauan Kembali
Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 hari sesudah penetapan/putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak diketemukan bukti adanya kebohongan/bukti baru, dan bila alasan Pemohon PK berdasarkan bukti baru (Novum), maka bukti baru tersebut dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berweenang. Mahkamah Agung merupakan badan peradilan yang fungsinya adalah menilai
suatu
penerapan
hukum
yang
diterapkan
peradilan
di
bawahnya.
62
Mahkamah Agung merupakan badan peradilan yang menerima upaya hukum yang berupa kasasi dan peninjauan kembali. Di dalam putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008 merupakan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh pemohon (Terdakwa DEP). Syarat peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan : “Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara ini diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan” Apabila dihubungkan dengan putusan Mahkamah Agung No.90 PK/PID/2008, bahwa syarat ada nya bukti baru sudah terpenuhi. Pemohon peninjauaan kembali mengajukan novum (bukti baru) berupa : 1. Adanya pengakuan VIH Bukti baru yang diajukan ini adalah pengakuan dari pelaku tindak pidana yang sebenarnya, dimana VIH mengakui telah membunuh MA dan mengubur mayatnya di belakang rumah orang tua VIH. Dari pengakuan itu bertentangan dengan dakwaan yang diajukan Penuntut Umum Pengadilan Negeri Jombang kepada Terdakwa DEP, yang mendakwa Terdakwa telah turut serta membunuh MA yang mayatnya dibuang di kebun tebu Desa Braan Jombang. Berdasarkan hal tersebut, maka pengakuan VIH tersebut dianggap bukti baru. 2. Tes DNA mayat yang dikubur di belakang rumah orang tua VIH
63
Bukti baru yang berupa pengakuan dari VIH itu menjadi dasar dilakukannya identifikasi mayat yang ada di belakang rumah orang tua VIH oleh kedokteran forensik untuk membuktikan kebenaran mayat tersebut adalah MA. Setelah dilakukan identifikasi, ternyata berdasarkan surat hasil tes DNA No. Pol. : R/08012.D/DNA/VIII/2008/Biddokpol tanggal 27 Agustus 2008 terbukti bahwa mayat yang ada di rumah orang tua VIH berinisial MA. 3. Tes DNA mayat yang ada di kebun tebu Desa Braan Jombang Berdasarkan tes DNA tersebut, maka mayat yang ada di kebun tebu Desa Braan Jombang bukan mayat MA berdasarkan surat pemeriksaan DNA No.
R/08012.E/DNA/-IX/2008/Biddokpol
tanggal
16
September
2008
bukan mayat MA namun mayat FS setelah dicocokan dengan keluarga FS yang kehilangan anaknya sejak tahun 2008
Ad. 2 . Error in Persona Putusan yang dijatuhkan hakim berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Dari ketentuan Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut dapat diketahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh
64
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak didukung oleh sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah adanya alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, adalah f. g. h. i. j.
Keterangan saksi Keterangan ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa Menurut Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril31, “Dengan pembuktian ini lah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian” Dengan adanya keterangan terdakwa, keterangan ahli berupa surat Visum
et Repertum dan saksi Verbalisant serta keyakinan hakim maka Hakim Pengadilan Negeri Jombang menjatuhkan putusan Pidana Penjara dengan dasar hukum Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka menjatuhkan pidana”
31
melakukan pengadilan
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010,Hukum Acara Pidana, Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Kedua,Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 102
65
Dalam kasus DEP yang merupakan korban salah tangkap. Adanya novum yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali dalam hal ini DEP. Hal terjadinya kasus salah tangkap, maka hakim memiliki dasar hukum untuk membebaskan korban salah tangkap. Rumusan itu dapat dilihat berdasarkan Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan : “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas” Rumusan Pasal inilah yang digunakan Majelis Hakim Mahkamah Agung yang yaitu memeriksa perkara No. 90 Pk/PID/2008. Setelah adanya bukti baru (novum), berupa pengakuan VIH, pemeriksaan mayat melalui tes DNA mayat yang ada di belakang rumah orang tua VIH, serta tes DNA mayat yang ada di kebun tebu. Bukti baru (novum) itu menguatkan keyakinan majelis hakim agar membebaskan DEP yang tidak bersalah.
2. Akibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error in persona) dalam putusan Mahkamah AgungNo. 90 PK/PID/2008. Berhubungan dengan adanya putusan bebas Mahkamah Agung tersebut, maka terdapat kesalahan di dalam proses penyidikan dan penangkapan yang dilakukan oleh team Penyidk Polri sehingga terjadi salah tangkap. Definisi korban salah tangkap dapat ditemukan dalam Pasal 95 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan: “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”
66
Menurut M.Yahya Harahap32, “Kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan” Sedangkan menurut Yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif. Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak, peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan. Bagi penyidik yang melakukan salah tangkap, maka penyidik dapat dikenai : 1. Sanksi pidana 2. Sanksi administrasi Ad.1. Sanksi Pidana Pasal yang dapat dipakai untuk menjerat penyidik yang melakukan tindakan tidak professional, dalam hal ini melakukan tindakan menyiksa atau menyakiti, yaitu ada 2 (dua) : 1) Pasal 351 Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana 2) Pasal 335 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana 32
M.Yahya Harahap, 2004, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Sinar Grafika, Jakarta, hlm45
67
Pertama, Sanksi pidana diberikan kepada penyidik bila dalam hal ini ada bukti yang dapat membuktikan bahwa penyidik pada saat melakukan pemeriksaan melakukan tindakan yang bersifat menganiaya, menyakiti atau dalam hal ini menerapkan sistem akusatur. Dalam Pasal 351 Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan : (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana Bila dihubungkan dengan kasus DEP, maka pasal di atas sangat lah jelas, bila memang terdapat tindakan penganiyaan terhadap DEP, maka penyidik yang melakukan tindakan penganiayaan dapat dijerat dengan pasal diatas. Sistem akusatur menempatkan tersangka sabagai objek, jadi penyidik menggunakan caracara kekerasan untuk mendapatkan pengakuan dari Tersangka. Dalam kasus DEP, di dalam putusan No. 90 PK/PID/2008, diakui oleh DEP mendapatkan tekanan baik fisik maupun psikis, karena tidak tahan dengan siksaan yang diberikan penyidik dan memanfaatkan ketidaktahuan hukum si tersangka, maka DEP terpaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Dalam hal tersebut maka penyidik yang melakukan kekerasan dapat dikenai Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan yang pada intinya penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Dan apabila membuat luka-luka diancam pidana lima tahun. Di dalam kasus DEP, penyidik yang memeriksa perkara
68
tersebut tidak mendapat tindakan sanksi pidana, karena belum ada bukti yang kuat untuk menjerat para penyidik. Kedua, penyidik dapat dijerat dengan Pasal 335 Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyebutkan : (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah ; 1. Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain 2. Barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis (2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas aduan orang yang terkena Bila dihubungkan dengan kasus yang menimpa DEP, maka penyidik dapat dikenakan pasal diatas. Karena apabila terbukti bahwa terdapat rekayasa, atau penyidik menekan DEP, menyuruh DEP untuk melakukan sesuatu dalam hal ini mengakui dengan cara paksa untuk melakukan tindakan pidana yang tidak diperbuat, maka perbuatan penyidik tersebut dapat disebut perbuatan yang memaksa orang lain melakukan sesuatu. Namun bila dilihat lagi pasal tersebut diatas. Ayat (2) dalam pasal 335 KUHP tersebut besifat pengaduan yang dapat diajukan oleh orang yang terkena, dalam hal ini DEP. Jadi apabila tidak diadukan maka penyidik tidak dapat dijerat Pasal 335 KUHP. Dalam kasus yang menimpa DEP. Korban salah tangkap, yaitu DEP tidak melakukan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 KUHP. Jadi penyidik yang memeriksa perkara DEP tidak dapat dijerat oleh PAsal 335 KUHP. Penyidik POLRI memang dalam bertugas ada aturan yang memberi keleluasan dalam bertindak, artinya polisi
69
dalam hal tertentu mempunyai alasan pembenar. Namun dalam kasus yang menimpa DEP, dimana sistem akusatur sudah tidak diutamakan, dan pengakuan terdakwa bukan lagi dalam urutan pertama di dalam KUHAP, namun sudah ada di dalam urutan kelima di dalam KUHAP. Hal itu berarti pengakuan atau keterangan terdakwa sudah tidak diutamakan lagi. Serta dengan adanya HAM, maka caracara kekerasan tidak dapat dibenarkan lagi, jadi tidak ada alasan pembenar di dalam tindakan penganiayaan yang dengan tujuan untuk memperoleh pengakuan dari pelaku tindak pidana semata. Bila dihubungkan dengan kasus DEP maka cara-cara yang dilakukan penyidik untuk memperoleh pengakuan yang diingkan penyidik dengan cara-cara penyiksaan tidak dapat dibenarkan.
Ad. 2. Sanksi Administratif Dalam Perkara Nomor 90 PK/PID B/2008, penyidik Polri telah melanggar Pasal 14 huruf g dan h Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, menyebutkan: 1. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya 2. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; Serta Penyidik telah mengabaikan P asal 15 ayat (1) huruf h dan j Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, menyebutkan: 1. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; 2. Mencari keterangan dan barang bukti;
70
Maksud ayat diatas yaitu penyidik mencari keterangan yang sebenarnya mengenai identitas pelaku dan juga identitas korban. Menurut Koesparmono Irsan dan Rony33, bahwa : “Menentukan identitas korban, seperti halnya menentukan identitas pelaku kejahatan merupakan bagian terpenting dari suatu penyidikan. Dengan ditentukannya didentitas mayat korban dengan tepat, dapat dihindari kekeliruan dalam proses peradilan (Error in Persona), atau salah tangkap” Oleh sebab itu penyidik pelanggar dapat dikenakan sanksi kode etik kepolisian. Suatu landasan rasional dimana pekerjaan investigasi disaat ini diletakan secara benar adalah dengan metode ilmiah. Penyidik tidak bisa hanya mengandalkan mata telanjang dan identifikasi yang bersifat sekunder saja. Sebagai seorang penyidik Kepolisiaan mempunyai wewenang, menurut Pasal 7 ayat (1) butir h Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan : ”Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara” Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan : “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya” Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan : “Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
33
Koesparnomo Irsan dan Rony, 2007,Ilmu Pembangunan Nasional “veteran”, Jakarta, hlm 82
kedokteran
Kehakiman,
Universitas
71
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat” Dengan kata lain, menurut pasal tersebut diatas, penyidik diberi kewenangan untuk
mengajukan
permintaan
keterangan
ahli
kepada
seorang
ahli
kedokterankehakiman atau dokter lainnya, misalnya ahli sidik jari (daktiloskopi), ahli kedokteran gigi (ontology), pathologi, ahli DNA atau ahli-ahli lainnya untuk kepentingan peradilan. Dalam hal pengidentifikasian terhadap mayat yang sudah dalam keadaan yang rusak berat harus dilakukan tes DNA oleh ahli forensik. Karena keakurasian tes DNA adalah mendekati 100%
34
. Pada akhirnya dapat
dipastikan siapakah sosok mayat tersebut. Dalam hal terjadi salah tangkap dikarenakan kurang berfungsinya Rule Of Law, yaitu Supremacy Of Law, Equality Before The Law, Due Process Of Law35. Dalam suatu Negara memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Supremacy Of Law merujuk pada adanya pengakuan normative dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. 2. Equality Before The Law mempersyaratkan mempersamakan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yaitu diakui secara normative dan dilaksanakan secara empiric. tidak boleh ada bentuk diskriminasi dalam bentuk apapun. 3. Due Process Of Law merupakan rambu yang mempersyaratkan seluruh organ dalam Negara termasuk pemerintahan bergerak atas perundang-undangan berlaku legalitas. Menurut Hibnu Nugroho,36 “Untuk dapat mencapai tujuan diketemukannya kebenaran materiil dalam suatu kasus maka sangat diperlukan adanya integralisasi dari masing34
Djaja S Atmaja, Evi Untoro, Peranan Analisis DNA Pada Penanganan Forensik. 2007,
FKUI,
35
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, hlm 22 36 Nugroho, Hibnu, 2010,Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Universitas Negeri Diponegoro, Semarang, hlm 27
72
masing sub sistem penegak hukum yang ada. Adanya komitmen yang selaras untuk melakukan penegakan hukum yang benar akan melahirkan suatu putusan yang tidak menciderai rasa keadilan masyarakat” Menurut Adami Chazawi37, “Kebenaran materiil dapat ditemukan apabila para aktor penegak hukum menjalankan fungsinya sesuai dengan asas-asas hukum dan norma hukum acara pidana” Dalam kasus salah tangkap pembunuhan Asrori, ketiga ciri utama Rule Of Law ini ternodai
karena
kesimpulan
yang
diperoleh
penyidik
saat
itu
hanya
dari
pengakuan tersangka, karena pengakuan tersebut diberi di bawah “tekanan” sehingga yang diduga sebagai pelaku terpaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Ini berarti asas akusatur yang dianut KUHAP telah dilanggar. Asas akusatur ini menempatkan seorang tersangka dipandang sebagai subjek sejajar dengan pemeriksa, yang mempunyai hak diam, atau hak menyangkal tuduhan penyidik38. Padahal asas praduga tak bersalah yang menempatkan seorang tersangka tetap dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap itu menjamin bahwa tersangka harus tetap dijaga nama baik dan hak-hak asasinya. Menurut Hibnu Nugroho39, Dalam tahap ini peran penyidik untuk dapat menggali keterangan para saksi dan terdakwa sangat diperlukan, sebab cara-cara yang dipergunakan tidaklah boleh melanggar ketentuan HAM”
37
Adami Chazawi, 2010,Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 137 38 Andi Hamzah, 2008,Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 67 39 Hibnu Nugroho, 2010,Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Universitas Negeri Diponegoro, Semarang, hlm28
73
Karena
lebih
baik
membebaskan
sepuluh
orang
yang
bersalah
daripada
menghukum satu orang yang tidak bersalah. Dengan adanya salah tangkap maka harus ada akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan Penyidik Polri berupa sanksi yang tercantum di dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian, yang menyebutkan : Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi Pelanggaran KEPP berupa: h) P erilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela; i) Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan; j) Kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan; k) Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun; l) Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun; m) Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau n) PTDH sebagai anggota Polri. Bila dihubungkan dengan kasus No. 90 PK/PID/2008, kelima belas penyidik di pindah tugaskan, namun tidak secara rinci dijelaskan sanksi tersebut. Serta atasannya dikenakan sanksi tidak boleh melakukan penyidikan selama 2 tahun dan dipindahtugaskan.
74
BAB V SIMPULAN DAN SARAN Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas, penulis mencoba merumuskan beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Simpulan [1] Bahwa
terhadap
pertimbangan
hukum
majelis
hakim
Mahkamah
Agung. Maka harus terdapat alas an peninjauan kembali yaitu berupa bukti baru (novum) serta adanya Error in Persona a. Berdasarkan
novum
DEPmengajukan
(bukti
upaya
baru)
hukum
tersebut
luar
biasa
maka berupa
terpidana peninjauan
kembali, mengingat Putusan Pengadilan Negeri Jombang telah berkekuatan hukum tetap. b.
Berdasarkan novum yang diajukan pemohon peninjauan kembali maka
Mahkamah
Agung
menerima
permohonan
peninjauan
kembali dan menjatuhkan putusan bebas Terpidana berdasarkan Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana . [2] Dalam
terjadi
salah
tangkap,
maka
penyidik
yang
melakukan
pemeriksaan terhadap kasus DEP dapat dikenakan sanksi, yaitu : a. Sanksi Pidana Pasal yang dikenakan kepada penyidik yang memeriksa perkara DEP dapat dijerat dengan Pasal 335 KUHP karena dengan memaksa menyuruh DEP untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukan
75
DEP dan Pasal 351 tentang penganiayaan yang dilakukan penyidik POLRI bila memang dapat dibuktikan unsur penganiayaan yang dilakukan penyidik. b. Sanksi Administratif Berdasarkan Error in Persona (salah tangkap) yang dilakukan Penyidik Polri karena telah mengabaikan perintah undang-undang, maka Penyidik Polri yang memeriksa perkara Terpidana dikenakan sanksi yang tercantum di dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian.
2. Saran Dari
uraian-uraian
yang
telah
dipaparkan
diatas,
meskipun
masih
sederhana. penulis mencoba merumuskan beberapa saran dengan harapan dapat memberikan masukan yang positif, antara lain : [1] Hakim dalam menetapkan putusan terhadap suatu perkara pidana harus lebih dulu mempunyai keyakinan akan keadaan yang sesungguhnya mengenai suatu perkara dan memperhatikan kebenaran alat bukti. Oleh karena itu faktor ketelitian, kehati-hatian, dan kecermatan diperlukan agar dapat memberikan suatu putusan pidana yang benar dari keadaan yang sesungguhnya. [2] Dalam proses penyidikan, kiranya Penyidik Polri bersikap professional dan menerapkan penyidikan berdasarkan peraturan yang berlaku dan hukum
acara
pidana
serta kode etik kepolisian. Penyidik tidak
76
memberikan tekanan kepada tersangka sehingga tersangka mengakui hal yang tidak dilakukannya. [3] Dalam proses pemeriksaan tersangka, kiranya perlu diperhatikan hakhak dari tersangka, bahwa ada asas praduga tak bersalah dan perlu didampingi penasihat hukum untuk menghindari penyidik melakukan sistem inkuisitur terhadap tersangka. [4] Perlunya kerjasama antar institusi penegak hukum dan sanksi bagi pelanggar
yang
melanggar
undangan yang berlaku.
kode
etik
atau
peraturan
perundang-
77
DAFTAR PUSTAKA Atmaja, Djaja S, Evi Untoro, 2007,Peranan Analisis DNA Pada Penanganan Forensik. FKUI. Chazawi, Adami, 2010,Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Jakarta, Sinar Grafika Harahap,M.Yahya,2004, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika. ________________, 2005,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali; Jakarta, Sinar Grafika Hamzah, Andi,2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua, Jakarta. Sinar Grafika Ibrahim, Johny, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayu Media Irsan, Koesparnomo dan Rony, 2007, Ilmu kedokteran Kehakiman, Jakarta, Universitas Pembangunan Nasional “veteran” Kaligis, O.C. 2006, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana,Bandung, P.T Alumni Kansil. C.S.T. 2009. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta. Jala Permata Aksara Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril, 2010, Hukum Acara Pidana, Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, Jakarta, Ghalia Indonesia Marpaung, Leden, 1995,Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua. Jakarta, Sinar Grafika. Marzuki, Peter Mahmud, 2010,Penelitian Hukum, Jakarta, Kencara Media Group Mulyadi, Lilik, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis,Praktik Dan Permasalahannya,Bandung, P.T Alumni Muladi, 2002, Kapita Selekta Hukum Peradilan Pidana,Semarang, UNDIP Nugroho,
Hibnu, 2010, Bunga Rampai Penegakan Indonesia,Semarang,Universitas Negeri Diponegoro
Hukum
Di
78
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Dan Yurisprudensi,Jakarta,Sinar Grafika Poernomo, Bambang, 1986, Pola Teori dan Azaz Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta, Liberty Prakoso, Djoko, 1985,Kedudukan Justisiabel Di Dalam KUHAP,Jakarta, Ghalia Indonesia Ranoenimihardja, R. Atang, 1976, Hukum Acara Pidana, Tarsito Bandung Rusli, Muhammad,2007, Hukum Acara Pidan Kotemporer, Jakarta, P.T Citra Aditya Bakti Salam, Moch Faisal, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju Sasongko, Hari dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,Bandung, Mandar Maju Nicholas Simanjutak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia Soedirjo, 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana,Jakarta,CV Akademika Presindo Soemitro, Rony Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian HukumDan Jurimetri, Jakarta,Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Bandung, Mandar Maju Peraturan Perundang -undangan : Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Wacana Intelektual ________, Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman _________, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia _________, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian
79
Lain-lain : Putusan Mahkamah Agung Nomor 49 PK/ PID B/ 2008 Putusan Pengadilan Negeri Jombang No 49/ PID B/ 2008/ PN.JMB Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 21 Oktober 1992 Departemen Pendidikan Nasional RI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Balai Pustaka.