MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 53/PUU-VI/2008
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PERSEROAN TERBATAS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN PEMERINTAH, DPR, SERTA SAKSI DAN AHLI DARI PEMOHON (IV)
JAKARTA SELASA, 3 FEBRUARI 2009
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 53/PUU-VI/2008
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang-Undang Dasar 1945. PEMOHON -
Muhammad Sulaiman Hidayat Erwin Aksa Farina Fahmi Idris
ACARA Mendengar Keterangan Pemerintah, DPR-RI, dan Ahli dari Pemohon (IV) Selasa, 3 Februari 2009, Pukul 10.00 – 13.04 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Prof. Dr. Moh. Mahfud, MD, S.H. Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. Dr. M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Maruarar Siahaan, S.H.
Alfius Ngatrin, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Kuasa Hukum Pemohon : -
Bambang Widjojanto, S.H., M.H. Jhon Pieter Nazar, S.H. M.H. Abdul Ficar Hadjar, S.H., M.H. Iskandar Sonhadji, S.H.
Pemohon : -
Febri Latif (PT. Lili Panma) Benny Soetrisno (PT. Apac Citra Centre Tex) Haryadi B Sukamdani (PT Lili Panma/Wakil Ketua Umum Kadin) Adi Taher (wakil Ketua Umum Kadin Indonesia) Dewi Motik (wakil Ketua Umum Kadin Indonesia) Emir Satar (wakil Ketua Umum Kadin Indonesia) Daniri (wakil Ketua Umum Kadin Indonesia) Utama Kayo (Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia) Ratna (Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia) Franky (Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia) Untung (Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia) Yohami Ilyas (Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia)
Saksi/Ahli : -
Maria R. Nindita (Direktur Program CSR Universitas Trisakti) Maria Dian Nurani (Mirror Committee on Social Responsibility) Professor Hikmahanto Juwana
Pemerintah : -
Ilyas As’ad (Deputi Penataan Lingkungan, KLH) Widodo, S.H., M.H. (Kepala Biro Hukum Dept Perdagangan) Vipin Rosa ratnawati (Asdep Penengakan Hukum, KLH) Qomaruddin (Direktur Litigasi, Dep Hukum dan HAM) Mualimin Abdi (Kabag Penyajian pada Sidang MK, Dep Hukum dan HAM)
DPR-RI : -
Pataniari Siahaan Patrialis Akbar Fariz Akbar
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB 1.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H.
Assalamualaikum wr. wb. Sidang Pleno untuk mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, serta mendengar keterangan atau mendengar penjelasan dari saksi atau ahli dari Pemohon untuk Perkara Nomor 53/PUU-VI/2008 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3 X Saya persilakan kepada Para Pemohon untuk memperkenalkan diri dan semua yang hadir bersama Pemohon sebagai pihak, silakan. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : JOHN PIETER NAZAR, S.H., M.H. Assalamualaikum wr. Wb. Ketua Majelis Hakim dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Kami Muliakan. Terima kasih atas kesempatan kepada kami untuk memperkenalkan diri selaku Pemohon dalam uji materil terhadap Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Yang Hadir selaku Kuasa Pemohon, Pemohon satu sampai enam pada hari sidang pertama ini adalah saya sendiri, John Pieter Nazar, S.H., M.H., Sebelah saya, Abdul Ficar Hadjar, S.H., M.H. Sebelah saya lagi, Bambang Widjojanto, S.H., M.H. Kemudian, Iskandar Sonhaji, S.H. Serta juga dihadiri oleh pemohon-pemohon asli dari permohonan ini yaitu pemohon asli dari PT. Lili Panma, yang diwakili oleh Febri Latif, paling ujung. Kemudian PT. Apac Citra Centre Tex, yang diwakili oleh Benny Soetrisno, nomor dua. Kemudian dari PT Lili Panma yang diwakili oleh Haryadi B sukamdani, juga nanti mewakili dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Umum Kadin. Kemudian dari Organisasi Kadin, Pemohon I adalah Muhammad Sulaiman Hidayat, yang tadi kami sampaikan telah diwakili oleh Haryadi Sukamdani, berhubung Ketua Umum Kadin saat ini sedang berangkat ke luar negeri bersama Wapres. Kemudian dari Hipmi yang diwakili oleh Erwin Aksa, yang saat ini diwaliki, kami belum melihat kehadirannya. Kemudian dari Iwapi yang diwakili oleh Farina Fahmi Idris, belum hadir juga. Kemudian juga beberapa orang pengurus dari Kadin Pusat, Kadin Indonesia. Apakah perlu kami perkenalkan satu persatu? Yaitu Wakil Ketua Umum, Saudara Adi Taher. Kemudian Wakil Ketua Umum juga, Ibu Dewi Motik. Kemudian Wakil Ketua Umum, Bapak Emir Satar. Kemudian Bapak Wakil Ketua Umum Pak Daniri. Kemudian beberapa Ketua Komite Tetap dari Kadin Indonesia, Ketua Komite Tetap, Pak Utama Kayo, kemudian Ibu Ratna, kemudian Pak Franky, kemudian Pak
3
Untung paling ujung. Kemudian Pak Yohami Ilyas. Di samping itu juga kami pada Sidang Pleno I ini juga menghadirkan saksi ahli yang hadir di sini adalah tiga orang, yaitu Ibu Maria R. Nindita selaku Direktur Program CSR Universitas Trisakti. Tolong berdiri, ya. Kemudian, sebelahnya Ibu Maria Dian Nurani mewakili Mirror Committe on Social Responsibility. Kemudian Professor Hikmahanto Juwana, dalam perjalanan yang nanti akan hadir selaku saksi ahli. Demikian kami sampaikan, Ketua Majelis, terima kasih. 3.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Terima Kasih. Selanjutnya, dari Pemerintah?
4.
PEMERINTAH DEPHUKHAM)
:
QOMARUDDIN
(DIREKTUR
LITIGASI
Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia, Yang Terhormat, kami dari
Pemerintah, mewakili Pemerintah. Hadir, saya sendiri Qomaruddin. Kemudian, sebelah kami Ibu Vipin dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan beberapa dari perwakilan Departemen Perdagangan dan Departemen Sosial. Dan kami laporkan bahwa Kuasa Subtitusi pada saat ini yang akan mewakili Kuasa akan membacakan opening statement-nya, pada saat ini Deputi dari LH masih dalam perjalanan yaitu Pak Ilyas As’ad. Kami mohon mungkin untuk menyampaikan keterangan nanti setelah dibel. Terima kasih, Assalamualaikum wr. Wb. 5.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. DPR?
6.
DPR : PATANIARI SIAHAAN Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Dari DPR kami ada delapan orang diberi kuasa, yang pertama Bapak Trimedya Panjaitan. Yang ke dua, Pataniari Siahaan. Yang ke tiga, Drs. Syamsudin. Yang ke empat, Drs. Agung Gunandjar Sudarsa. Yang ke lima, Bapak Lukman Hakim Saefuddin. Yang ke enam, Bapak Patrialis Akbar. Yang Ke tujuh, Ibu Nursyahbani Katjasungkana. Yang ke delapan, Pak Nur Syamsil Nurlan. Namun, oleh karena sekarang sedang berlangsung sidang Paripurna DPR untuk undang-undang yang bisa hadir saat ini adalah saya sendiri Pataniari Siahaan dan yang ke dua Bapak Patrialis Akbar. Kami akan bertindak atas nama DPR secara bersama-sama maupun secara sendiri. Sekian, terima kasih.
4
7.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik. Hari ini kita akan mendengar keterangan dari Pemerintah, dari DPR, serta Ahli. Meski begitu, agar kita fokus, saya persilakan kepada Pemohon dulu untuk dalam waktu sepuluh menit begitu mengemukakan kembali pokok-pokok permohonannya, silakan.
8.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Terima kasih Pak Ketua dan Anggota Majelis Hakim yang saya hormati, Teman-Teman dari Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat yang saya cintai. Saya akan memulai saja, Pak Ketua dan Majelis yang saya hormati, selain kami, kuasa, Pemohon Asli juga sudah menyiapkan semacam statement mengenai apa yang Pemohon Asli pikir mengapa penting permohonan ini diajukan, dan saya akan mengawali dengan apa yang dimaksud dengan permohonan dan sejumlah sengketa yang ada di dalamnya. Bagian pertama, soal Pendahuluan. Para Pemohon mengajukan permohonan untuk melakukan pengujian materil dan pengujian formil. Pasal yang hendak diuji atau di-review adalah Corporate Social Responsibility seperti tersebut di dalam pasal dan penjelasan pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, Perseroan Terbatas. Ada beberapa kata kunci di dalam pasal-pasal itu yang akan dipersoalkan secara lebih spesifik di dalam permohonan. Di dalam pasal 74 ayat 1, Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas, di situ ada kata-kata “Bahwa Perseroan di dalam menjalankan kegiatan usahanya, di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.” Kata-kata di situnya adalah “Wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.” Yang ke dua, tanggung jawab sosial dan lingkungan yang sebagaimana dimaksud dalam ayat satu itu merupakan, diulang lagi, “Kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Ayat (3) di Pasal 74, yang jadi kata kunci, yang ingin dipersoalkan, “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangan.” Inilah inti-inti dari pasal yang dipersoalkan. Mengenai filosofi dan paradigma dasar, tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah padanan kata yang digunakan di dalam UndangUndang 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas untuk penggunaan istilah corporate social responsibility, dalam konteks Indonesia terjadi transplantasi hukum, CSR dirumuskan dalam sistem hukum di Indonesia tanpa memahami filsafat dan paradigma dasar atau konsep CSR sehingga menimbulkan ketidakpastian, diskriminatif, dan melanggar efisiensi keadilan. Konsep ini berkembang tahun 80an, hingga 90an, hingga
5
sekarang ini, dan paradigma pembangunan yang menjadi dasar adalah tiga, economic growth, sustainability development, dan social responsibility yang kemudian tahun 2007 di Swiss melalui UN Global Compact, perusahaan diminta untuk menunjukkan penerapan dan pelaksanaan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang kemudian dikenal dengan CSR. Jadi CSR sebagai konsep ditujukan untuk meningkatkan perilaku etis, fairness, dan responsibility korporasi. Di dalam perkembangannya tidak hanya terbatas pada koorporasi tetapi juga para stakeholder dan komunitas atau masyarakat sekitar wilayah kerja dan operasinya. Ada nilai perusahaan yang dijadikan dasar di situ yang disebut dengan disebut dengan triple bottom lines tapi saya tidak akan kemukakan. Nah, saya ingin masuk saja di 3 sifat dasar yang menjadi faktor utama perkembangan CSR. Yang bagian pertama adalah sifat dari CSR adalah voluntarily, atau sukarela. Kedua, prinsip etis dan moral yang menjadi dasar utama penerapan CSR. Dan yang ketiga, sifat voluntarily itu mencakup semua sektor, badan yang publik atau privat. Jadi bukan hanya PT atau korporasi saja. Bagian kedua yang akan saya kemukakan adalah kepentingan-kepentingan dan alasan Pemohon dan permohonan. Yang pertama, CSR adalah prinsip yang bersifat etis dan moral yang dinormakan oleh pasal 74 Undang-Undang Perusahaan Terbatas menjadi legal obligation atau bersifat kewajiban dan memiliki sanksi bagi tidak yang menjalankan pasal tersebut. Rumusan pasal tersebut bertentangan dengan prinsip dasar CSR yang bersifat etis, moral, dan voluntarily. Atau biasa disebut sebagai beyond legal compliance. Konsep CSR merupakan tindakan hukum yang melebihi apa yang dipersyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku tadi sudah saya kemukakan di atas, beyond legal compliance. Bagian ke dua, tindakan penormaan itu yang menimbulkan kewajiban dan sanksi sesungguhnya menimbulkan ketidakpastian dan contradictio interminis karena menyebabkan terjadinya ketidakjelasan antara tanggung jawab yang di dasarkan atas karakter sosial, social responsibility yang bersifat voluntarily dengan legal obligation yang bersifat dan mempunyai daya memaksa. Perubahan CSR menjadi kewajiban hukum menyebabkan program CSR bersifat formalitas untuk pemenuhan suatu kewajiban dan membuat indonesia menjadi satusatunya negara di dunia yang mengatur CSR sebagai kewajiban hukum dengan pemberian sanksi. Bagian yang ketiga, ternyata terminologi tanggung jawab sosial itu berpijak pada filsafat dasar utilitarialism. Namun, pelanggaran atas pasal a quo dikenakan sanksi yang sesungguhnya bersifat paksaan dan legal obligation itu. Dari legal obligation itu yang kalau dilacak dia berpijak pada filsafat dasar kantianisme. Jadi ada perubahan dari filsafat dasar utilitarian sebagai konsep dalam konteks Indonesia menjadi kantianisme.
6
Rumusan dan penjelasan pasal 74 a quo memuat inkonsistensi di dalam paradigma filsafat yang digunakan. Dan pengertian antar tanggung jawab sosial dan tanggung jawab hukum dan bahkan telah terjadi contradictio interminis. Ada dua inkonsistensi di situ, ke satu terminologi tanggung jawab sosial sesungguhnya menunjuk pada tanggung jawab etis dan moral, tidak tepat diinterpretasi sebagai legal obligation dengan pemberian sanksi. Ke dua, ada kerancuan fundamental atas filsafat dasar yang dijadikan dasar rumusan antara filsafat utilitarian dan kantianisme. Bagian ke empat, pemberian norma dengan sifat wajib menimbulkan diskrimintif dan perlakuan yang tidak sama di muka hukum karena memberi beban kewajiban dan hanya ditujukan pada korporasi berbentuk perusahaan terbatas yang bergerak di bidang sumber daya alam atau yang berkaitan. Tetapi perusahaan-perusahaan lain yang tidak tunduk pada Undang-Undang PT, ada Koperasi, Firma, CV, usaha dagang, dan sebagainya, tidak diwajibkan. Padahal PT sudah menjalankan berbagai kewajiban lain yang berdasarkan Undang-Undang sektoral dan juga sudah menjalankan community development bagi kepentingan masyarakat dan daerah. Yang ke lima, kewajiban menganggarkan biaya tanggung jawab sosial dan lingkungan menimbulkan kerancuan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ada banyak kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang tidak menimbulkan konsekuensi biaya. Misalnya seperti upaya penghematan energi dan air, pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dalam lembaga keuangan mikro, karyawan yang diberlakukan dengan lebih manusiawi. Tanggung jawab sosial dan lingkungan dikualifikasi sebagai kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan, dapat dikualifikasi sebagai pemungutan ganda yang harus ditanggung perusahaan di samping pembayaran pajak. Ke enam, tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diwajibkan, potensial menciptakan penyelewengan atas sikap dan perilaku koruptif yang tidak hanya pada birokrasi tapi jauh lebih luas lagi dikalangan masyarakat umum karena tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya ditafsirkan secara sempit saja yaitu sebagai ganti kerugian. Nanti ini akan kami buktikan dengan adanya rancangan-rangcangan Perda dan surat-surat yang dikirim oleh beberapa departemen yang menggunakan alasan CSR atau tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jadi rumusan maksud dan tujuan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diwajibkan, dinilai tidak akan mencapai sasaran yang diharapkan bahkan potensial menciptakan ekses berupa potensi penyalahgunaan oleh para pelaksana kewajiban. Bagian yang ke tujuh, beberapa poin lagi, Majelis, pemahaman dan memaknai CSR sebagai bagian hukum dalam perspektif sematamata adanya peluang sumber daya financial yang diberikan perusahaan
7
untuk memenuhi kewajiban atas regulasi yang berlaku akan mereduksi makna hakiki yang fundamental dari CSR itu sendiri. Kewajiban a quo menjadi bersifat artificial, normatif, dan formal, karena pemenuhan prasyarat legal formal yang mengabaikan prasyarat terwujudnya makna dasar CSR. Yaitu sebagai pilihan dasar adanya kebebasan dan kemampuan bertindak. Bagian yang lain, yang ke delapan, negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengemban sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Secara substantif kemajuan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan kewajiban serta bagian dari fungsi negara. Tindakan dan atau pengaturan yang dirumuskan dalam pasal-pasal a quo dapat dikualifikasi sebagai penormaan tanggung jawab sosial dan lingkungan menjadi kewajiban dunia usaha dan dapat dimaknai sebagai privatisasi fungsi negara pada dunia usaha. Ke sembilan, Pasal 1 ini, Pasal 9, sampai seterusnya, lebih banyak bicara soal yang berkaitan dengan pengujian formil. Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang a quo menyatakan tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, tetapi Pasal 74 ayat (1) dan (2) Undang-Undang a quo merumuskannya menjadi kewajiban bagi perseroan untuk menganggarkan tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta wajib menganggarkan dan memperhitungkannya sebagai perseroan. Rumusan yang dimaksud menimbulkan inkonsistensi antar 1 pasal dengan pasal lainnya. Setidaknya, Pasal (1) Angka 3 UndangUndang a quo dengan Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2). Ke sepuluh, penjelasan Pasal 74 a quo dapat dikualifikasi sebagai pembuatan norma baru dari Pasal 74 Ayat (1) dan (2) a quo karena memperluas pasal a quo. Perseroan tidak hanya perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam tetapi juga perseroan yang kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Jadi penjelasan Pasal 74 dan Pasal 74, sebenarnya penjelasan itu kami kualifikasi membuat norma baru. Bagian yang hampir terakhir, sebelas, konsep tanggung jawab, sosial dan lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tidaklah tepat dan berlebihan, khususnya bagi pengusaha. Sesungguhnya, Undang-Undang Perseroan Terbatas seharusnya mengatur; ke satu, Badan Hukum Persekutuan Modal. Ke dua, mengenai pendirian anggaran dasar, pendaftaran, pemenuhan perseroan. Ke tiga, mengenai modal, saham. Sampai yang terakhir mengenai pemisahan perseroan, atau pembubaran, dan likuidasi. Itu sebabnya, tanggung jawab sosial yang sifatnya khusus tetapi kemudian diatur dalam UndangUndang PT yang sifatnya umum, tidaklah tepat dan agak berlebihan serta ada kesan dipaksakan. Yang ke dua belas, ketentuan dan tanggung jawab koperasi pada
8
masyarakat dan lingkungan, semacam tanggung jawab sosial, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sektoral. Ada beberapa undang-undang, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Lingkungan Hidup. Undang-Undang Sumber Daya Alam, Undang-Undang Sumber Daya Air, dan undang-undang lainnya. Ke tiga belas, bagian yang terakhir, Undang-Undang a quo adalah Undang-Undang yang mengatur mekanisme pendirian PT untuk menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. De facto, secara faktual pada hari ini, pemberian kewajiban ternyata tidak compatible dengan adanya krisis keuangan yang melanda dunia termasuk indonesia, sehingga kian memberatkan, korporasi. Itulah poin-poin penting yang menjadi dasar dari permohonan, sebelum masuk di petitum, ada satu bagian lain yang saya pikir juga penting untuk dikemukakan. Ternyata, perkembangan CSR di Eropa, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi berjudul Corporate Social Responsibility: A New Partnership. Itu tidak diatur di dalam undangundang. Perkembangan di Amerika dibuat Code of Conduct CSR yang mengatur mengenai lingkungan hidup. Itu pun tidak dibuat di dalam undang-undang yang mewajibkan korporasi. Begitu pun Australia dan Kanada. Bagian yang terakhir soal Petitum permohonan, secara prosedural dimaksudkannya ketentuan Pasal 74 ke dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 memperlihatkan tidak adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan serta melanggar azas kedayagunaan dan kehasilgunaan sehingga bertentangan dengan Pasal 22A Undang-Undang Nomor 45 Juncto Pasal 5 huruf C dan E Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Secara materil, ketentuan Pasal 74 ayat (1), (2) dan (3), beserta penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bertentangan, kami kualifikasi, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) mengenai persamaan di muka umum, Pasal 28I ayat (2) mengenai tidak bolehnya dilakukan diskriminasi, dan Pasal 33 ayat (4) mengenai efisiensi keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karenanya, kami memohon Pasal 74 ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) beserta penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Itulah pokok-pokok yang ingin disampaikan yang termaktub di dalam permohonan. Hal penting lainnya, Pak Ketua dan Majelis Hakim, kami yang mengajukan permohonan bukan saja yang memberi CSR tetapi sebagian dari Pemohon adalah yang menerima CSR yaitu nanti bisa didalami lebih lanjut, Pemohon III, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia, karena banyak anggota IWAPI itu terdiri dari pengusahapengusaha kecil dan menengah. Saya ingin akhiri, namun sebelum itu saya ingin..., saya pikir cukup, Pak Ketua dan Majelis Hakim, saya ingin tutup, dan saya mohon diperkenankan pada Pemohon Asli
9
mengemukakan beberapa pokok-pokok pikirannya. Terima kasih, Pak Ketua. 9.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Mungkin sudah cukup ya, kalau sama materinya? Sebab ini kan sudah jelas ada kerancuan filosofi, ada persoalan uji formalnya, ada riilnya yang dilawankan dengan Pasal 22A, 28C, 28I dan seterusnya.
10.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Saya usulkan Pak ketua, bagian-bagian yang sudah sama, itu tidak dibacakan lagi, tetapi ada bagian lain yang memang belum sama, itu yang disampaikan. Sehingga kemudian, kami tahu kita bisa lebih mengefisienkan waktu.
11.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya baik, mohon disingkat saja ya, Pak ya? Bisa lima menit, Pak?
12.
PEMOHON : HARIYADI SOEKAMDANI (KADIN INDONESIA) Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaikum wr. wb. Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi, Bapak Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Bapak Hakim Mahkamah Konstitusi, Panitera, dan Alat Kelengkapan Pejabat Negara yang mewakili pemerintah, Kuasa Hukum Yang Mewakili, DPR, Hadirin yang kami muliakan. Selamat pagi, dan salam sejahtera untuk kita semua, kami mencoba untuk dapat menyingkat, Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi, perkenankanlah kami mewakili Kamar Dagang dan Industri mengucapkan terima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang telah berkenan memeriksa permohonan KADIN Indonesia beserta pemohon lainnya yaitu Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia, PT. Lili Panma, PT. Apac Citra Centre Tex, dan PT Kreasi Tiga Pilar, untuk melakukan pengajuan materi atau judicial review di Pasal 74 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007. Bapak Ketua Mahkamah, Bapak, Ibu yang kami muliakan, Kadin Indonesia dan Para Pemohon lainnya, berharap bahwa Mahkamah Konstitusi berkenan untuk mengabulkan permohonan kami yaitu seperti apa yang telah disampaikan kepada dari Penasehat Hukum Kami yang pada intinya adalah pertama, terjadi kerancuan pemahaman antara tanggung jawab sosial dengan corporate social responsibility atau CSR. Sebagaimana diketahui masyarakat bahwa munculnya Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau TJSL dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah didasari antara lain oleh perkembangan pesat kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di indonesia, dan adanya
10
masalah pelanggaran lingkungan oleh perusahaan, atau perseroan, atau pihak tertentu, antara lain yang bergerak dibidang pertambangan umum dan Migas. Dari pemikiran untuk menegaskan hukum atas pelanggaran lingkungan tersebut, kemudian dikembangkan dan dikaitkan dengan kewajiban perusahaan atas TJSL dalam Undang-Undang PT. Padahal permasalahan ini jelas berbeda pengaturannya, jika yang dipermasalahkannya adalah pelanggaran lingkungan maka seharusnya yang ditegakkan adalah Undang-Undang Sektoral seperti contohnya Undang-Undang 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang telah mengatur secara jelas dan rinci hak serta kewajiban perusahaan atau perseroan disertai pasal mengenai sangsi hukumnya. Apabila kita cermati isi pasal tersebut, maka dapat dirasakan semangat legislator. Sebenarnya untuk menggandakan upaya penegakkan hukum sektoral. Namun, di sisi lain, upaya ini justru mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha pada umumnya dan bagi perseroan pada khususnya. Penegakan hukum sektoral adalah tugas pemerintah untuk melaksanakannya, bukan dengan menciptakan hukum baru yang justru mengakibatkan kerancuan hukum. Adapun kewajiban dasar perseroan telah diatur secara rinci di dalam Undang-Undang Sektoral berikut hak dan sangsinya. Sedangkan pengertian CSR yang diatur secara universal oleh negara-negara di dunia adalah partisipasi sukarela dari perusahaan atau perseroan dalam rangka turut serta memberi manfaat sosial, ekonomis, dan lingkungan, atau triple bottom lines kepada masyarakat melalui peningkatan kesejahteraan, pendidikan, pengetahuan, kesehatan, kualitas lingkungan, dan lain-lain yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Partisipasi secara suka rela dalam bentuk CSR ini, dilakukan seteah perusahaan melaksanakan kewajiban pokoknya sebagai suatu unit usaha yang terkait pada hukum dan peraturan yang mengatur lingkup usahanya atau hukum sektoral seperti perpajakan, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan lainlain. Berdasarkan penelitian dan referensi Kadin, tidak ada satu negara pun di dunia, kecuali Indonesia yang memasukkan CSR sebagai hukum formal dengan mewajibkan perusahaan atau perseroan untuk melaksanakan atau menganggarkannya serta memberi sangsi. Bahkan, dalam penyusunan ISO 26000 tentang pelaksanaan CSR, hanya dapat dirumuskan sebagai panduan atau guidance saja. Karena sulitnya mengukur standarisasi pelaksanaan CSR sebagai Universal, secara universal, atau internasional. Apalagi untuk mewajibkannya dan memasukkannya dalam hukum formal. Dalam pembahasan pada tingkat rancangan undang-undang, kami tidak melihat materi TJSL tersebut dalam daftar inventarisasi masalah atau DIM yang disampaikan kepada
11
kami pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pansus RUU PT, DPR, pada tanggal 16 Februari Tahun 2006. Sehingga pihak Kadin terkejut, mendapati pasal tersebut pada waktu pengesahan Undang-Undang PT? Yang menjadi pertanyaan kami adalah apakah pasal tersebut disertai kajian akademik? Kajian akademik sangat diperlukan legislator untuk merumuskan suatu dasar hukum baru, karena akan mengikat hak kewajiban serta sangsi bagi masyarakat. Apabila ada kajian akademik yang (...suara tidak terdengar) lahirnya pasal tersebut maka penyusun kajian akademik tersebut perlu kiranya dihadirkan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi ini karena kemampuannya melebihi kemampuan Komite Internasional ISO 26000 dalam merumuskan pedoman penerapan CSR. Namun, apabila tidak ada kajian akademik maka perlu dipertanyakan dan perlu dilakukan uji formil tentang prosedur penyusunan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tersebut. Uraian pokok-pokok keberatan Pemohon pada dasarnya, Pemohon menggaris bawahi yaitu pada ayat (1) yang tersebut bahwa “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan liingkungan.” Atas ayat (1) ini kami berkeberatan yaitu : a. Seperti telah kami sampaikan sebelumnya bahwa pengaturan mengenai hak dan kewajiban dan sanksi untuk setiap sektor usaha telah diatur dalam Undang-Undang Sektoral termasuk sektor usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam. Ayat ini mengakibatkan penggandaan atau dupikasi tanggung jawab perseroan atas kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan yaitu secara hukum korporasi atau Undang-Undang PT dan secara hukum sektoral seperti Undang-Undang Lingkungan Hidup, dan lain sebagainya. Kalimat ”wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan,” menjadikan ketidakpastian hukum karena akan ditanggapi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat bahwa di samping hukum sektoral yang sudah berlaku, terdapat kewajiban baru bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL yang dalam pengertian masyarakat luas adalah CSR. Sehingga akan terbit peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan permintaan masyarakat yang berlebihan dan mengganggu kegiatan usaha perseroan. Di samping hal tersebut maka kalimat ”wajib” tersebut bagi perseroan mengandung perlakuan diskriminatif. Bagaimana dengan pelaku usaha atau badan hukum lainnya seperti koperasi, yayasan, badan hukum pendidikan, serta anggota masyarakat lainnya. Apakah TJSL hanya kewajiban perseroan saja, sedangkan badan hukum atau anggota masyarakat lainnya tidak diwajibkan atas TJSL ini. b. dalam penjelasan ayat (1) yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak
12
memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Pengertian penjelasan ayat (1) ini juga akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan multitafsir karena berarti semua perseroan dapat dikategorikan seperti dalam penjelasan tersebut. Mengingat pengertian kegiatan usaha hanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam adalah sangat luas dan subyektif tergantung dari sudut mana menafsirkannya. Contoh, pengembang perumahan, pada sektor usaha ini dapat dikategorikan sebagai penjelasan tersebut karena pasti akan menggunakan lahan baru untuk membangun rumah yang dapat ditafsirkan akan mengurangi daya serap air yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Pada ayat (2) yaitu tanggung jawab sosial lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Atas ayat (2) ini keberatan Pemohon yaitu ini akan menimbulkan ketidakpastian sebagai berikut yaitu : a. Permasalahan Perpajakan Dengan memperhitungkan TJSL sebagai biaya perseroan apakah pihak Direktorat Jenderal Pajak akan dapat menerima? Mengingat luasnya cakupan TJSL atau CSR yang dilakukan oleh perseroan, maka pihak Pajak tentu akan keberatan menerima biaya TJSL atau CSR karena akan memperkecil laba dan pada akhirnya akan menurunkan perolehan pajak. Sebaliknya bila pajak tidak menerima biaya tersebut berarti akan menjadi beban tambahan bagi perseroan dan menjadikannya perseroan tidak efisien dan mengurangi dayasaingnya. b. Intervensi Pemerintah Ketidakpastian hukum akan muncul dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur, dan lain-lain dalam menafsirkan ayat ini karena banyak hal yang tidak jelas dalam menafsirkan besaran anggaran. Pihak siapa yang bertanggung jawab melaksanakan dan siapa yang mengawasi karena sudah termasuk dalam wilayah hukum formal. c. Permasalah Ketatanegaraan Ayat ini mengakibatkan terjadinya pelimpahan secara sistematis tugas negara untuk menyejahterakan masyarakat ke pihak perseroan.
13
d. Permasalahan Hukum Dengan Masyarakat Kalimat yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran akan menimbulkan polemik. Atas dasar apa kepatutan dan kewajaran suatu anggaran diukur? Hal ini adalah sangat subyektif. Masyarakat akan banyak menuntut dan menggugat perseroan atas dasar ayat ini, khususnya pada saat mereka mengajukan permintaan dana TJSL atau CSR yang menurut mereka secara undang-undang wajib dianggarkan. Pada ayat (3), perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atas dasar ayat (3) ini keberatan Pemohon yaitu : A. Ayat ini menegaskan ketidakpastian hukum yang terjadi pada Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 karena undang-undang sektoral telah mengatur secara rinci hak, kewajiban, dan sanksi, sehingga ayat ini dan seluruh Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tidak diperlukan karena hanya merupakan penegasan atas undang-undang sektoral yang berlaku. B. Ayat ini dapat digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menafsirkan yang lain sehingga akan lebih memperparah ketidakpastian hukum. Pada bagian ke tiga, dampak negatif Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 akan menimbulkan yaitu : a. menimbulkan ketidakpastian hukum b. menimbulkan perlakuan diskriminatif c. mengakibatkan perseroan menjadi tidak efisien, biaya bertambah tinggi dan mengurangi daya saing d. menurunkan minat investor e. potensi tingginya konflik antar perseroan dan masyarakat f. tidak terbangunnya kemitraan antara perseroan dan para pemangku kepentingan g. membatasi kreatifitas dan cakupan pelaksanaan CSR oleh perseroan yang sudah berjalan selama ini h. menurunkan kesadaran perseroan melaksanakan CSR atas dasar volunteer atau sukarela. Sehingga ciri khas CSR yang sukarela dan melibatkan masyarakat dan pemerintah akan berkurang. Adapun beberapa contoh dampak tersebut telah terjadi dan telah kami masukkan dalam daftar bukti Pemohon yang telah kami sampaikan dalam persidangan ini. Pada prinsipnya Kadin Indonesia mendukung penuh pelaksanaan CSR secara volunteer atau sukarela, sebagaimana yang diterapkan secara universal oleh negara-negara lain. Pelaksanaan CSR oleh perusahaan Kadin telah berjalan lama dan baik serta beberapa dari mereka akan menjadi saksi fakta pada
14
persidangan ini. Sebagai wujud komitmen dunia usaha atas hal tersebut, melalui Kadin Indonesia terdapat kepengurusan yang menangani masalah CSR dan corporate governance. Kadin Indonesia juga mendukung penuh upaya penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh perseroan. Namun, Kadin Indonesia menolak dengan tegas lahirnya hukum atau aturan baru yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dan membuat dunia usaha atau perseroan Indonesia menjadi tidak efisien, menurunkan daya saing, serta menimbulkan perlakuan diskriminatif yang pada akhirnya mengancam hak konstitusi kami seperti tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Undang-Undang Pasal 28D Ayat (1) yang menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.” Pasal 28I Ayat (2) yaitu, ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. Pasal 33 Ayat (4) yaitu, ”Perekonomian nasional diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi.” Berkaitan dengan terancamnya hak konstitusi kami tersebut, maka kami mohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini dan menyatakan Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3), serta Penjelasan Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bertentangan dengan Pasal 22A juncto Pasal 28D Ayat (1), juncto Pasal 28I Ayat (2), juncto Pasal 33 Ayat (4), frase efisiensi berkeadilan Undang-Undang Dasar 1945, serta menyatakan Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) beserta penjelasan Pasal 74 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian penjelasan kami, Bapak dan Ibu sekalian yang kami hormati, atas perhatian Majelis Yang Mulia, kami mengucapkan terima kasih.
Wa bilahitaufik wal hidayah, Wassalamualaikum wr. wb.
Kadin Indonesia, dibacakan oleh Hariyadi Soekamdani, Wakil Ketua Umum. 13.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, saya kira sudah cukup dari Pemohon karena juga dalam sidang-sidang pendahuluan juga sudah dikemukakan lalu sekarang dikemukakan lagi secara lebih tegas. Untuk itu, saya undang dari DPR, Pemerintah nanti belakangan, ya Pak, silakan. Boleh ke podium itu Pak, biar kelihatannya lebih gagah.
15
14.
DPR-RI : PATANIARI SIAHAAN
Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera sekalian.
Yang kami hormati, Bapak-Bapak Hakim Konstitusi, Para Pemohon, Rekan-Rekan dari Pemerintah dan DPR, serta Hadirin sekalian, perkenankan menyampaikan keterangan DPR terkait masalah gugatan terhadap Undang-Undang Perseroan Terbatas. Bapak-Bapak sekalian bahwa dalam Para Pemohon tidak menguraikan secara konkrit kerugian konstitusional yang nyata-nyata dialaminya tapi hanya merupakan perkiraan Para Pemohon yaitu setidaknya bersifat kerugian potensial yang dari Para Pemohon akibat berlakunya Pasal 74 dan Penjelasan 74 Undang-Undang PT. Perlu kami sampaikan juga sedikit bahwa ketentuan undangundang kita mengenai hierarki perundang-undangan disepakati bahwa urutannya adalah Undang-Undang Dasar kemudian undang-undang atau Perpu kemudian Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Jadi kita mengenal hierarki perundang-undangan dimana undang-undang harus tunduk pada ketentuan undang-undang di atasnya, dalam konteks ini tentunya semua undang-undang harus mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar. Perlu kita perhatikan juga bahwa Undang-Undang PT memulai pada bagian menimbang adalah mengutip dengan lengkap pada butir a ketentuan Undang-Undang Dasar Pasal 33 Ayat 4. Ini mempunyai landasan daripada turunannya yang kita dapati pada Pasal 74 sebelumnya. Bahwa seandainya benar akan terjadi kerugian secara konstitusional karena dikenai sanksi sebagai akibat tidak melaksanakan kewajiban Pasal 74 Undang-Undang PT, kerugian dimaksud tidak relevansinya dengan konsonan norma Pasal 74 karena norma Pasal 74 adalah sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar itu sendiri. Sebagaimana kami sampaikan tadi selain termuat pada Undang-Undang Dasar juga termuat pada bagian menimbang butir a pada undang-undang tersebut. Para Pemohon menyampaikan bahwa ketentuan tersebut bertentangan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I, ayat (2), Pasal 33 ayat (4). Oleh karena kerugian diperkirakan akan terjadi pada Pemohon yaitu: Pertama, akan menambah biaya produksi dan potensial mengurangi daya saing perusahaan sehingga tidak banyak perusahaan secara optimal. Ke dua, apabila kita melaksanakan kewajiban Pasal 74 UndangUndang PT, dikenai sanksi administratif, sanksi perdata, sanksi pidana, vide Undang-Undang Lingkungan Hidup. Kerugian ini jelas bukan kerugian konstitusional. Ke empat, DPR-RI tidak sependapat dengan Para Pemohon, yaitu bahwa sanksi di dalam Pasal 74 tentang PT menimbulkan inkonsistensi contradictio interminis, tumpang tindih, ketidakjelasan turunan yang melahirkan ketidakpastian hukum dan (suara tidak terdengar) karena sudah diatur dalam Undang-Undang Pengolahan Lingkungan Hidup
16
Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Sumber Daya Air, dan Undang-Undang Migas. Ialah bukan persoalan Konstitusional Undang-Undang PT terhadap dalil yang ini DPR-RI berpendapat bahwa pemberian sanksi pada Pasal 74 ini tidak merupakan inkonsistensi dan tidak menunjukkan adanya contradictio interminis dan tidak ada tumpang tindih karena jelas pengaturannya. Karena adalah merupakan satu norma yang tegas memberikan kepastian hukum sebagai bentuk tanggung jawab sosial lingkungan bagi semua permohonan a quo yang melalaikan kewajiban undang-undang. Artinya ini berlaku bagi yang melakukan kewajiban yang tidak menjalankan tentu tidak terkena sanksi dan bentuk sanksi ini disesuaikan dengan undang-undang terkait. Dengan demikian jelas bahwa soal kewajiban undang-undang dan pengenaan sanksi sebagai akibat melalaikan kewajiban undang-undang ini, yang mana bentuk sanksi adalah surat penerapan hukum bukan konstitusional norma dalam konstitusi. Bahwa karena itu, hak-hak Konstitusional Para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) yang dijadikan dasar Pemohon pengujian sama sekali tidak bertentangan dengan berlakunya ketentuan Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang PT. Karena tidak terdapat hubungan sebab akibat causal verband antara penerapan kewajiban undang-undang dan pemberian sanksi bagi semua persoalan yang melalaikan kewajiban undang-undang dengan hak-hak konstitusional sebagaimana didalilkan oleh Para Pemohon. Bahwa kerugian (suara tidak jelas) adalah kerugian perdata dan atau pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengolahan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Sumber Daya Air dan Undang-Undang Migas sebagai akibat melalaikan kewajiban undang-undang, perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad adalah lingkup kompetensi absolut dari pada peradilan umum bukan lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi. Bahwa oleh karena itu ketentuan Pasal 74 dan penjelasan Pasal 74 tidak merugikan hak konstitusional atau tidak berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional para pemohon karena sebagaimana kita sebut ketentuan Pasal a quo yang mengatur kewajiban dan sanksi bukan persoalan norma karena tidak ada causal verband antara ketentuan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian dengan hak konstitusional para Pemohon. Berdasarkan ketentuan ini DPR akan menyampaikan pendapat sebagai berikut: Bahwa landasan konstitusional dari pada Undang-Undang PT adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan ayat (1) “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,” kemudian ayat (2) “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
17
oleh negara” ayat (3) “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.” Sementara penyelenggaraannya diatur pada Pasal 33 ayat (4) “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, kami ulang sekali lagi bukan efisiensi dan berkeadilan tapi efisiensi berkeadilan satu terminologi baru mengenai efisiensi, jangan dipisahkan pengertian dan berkeadilan ini satu kesatuan nomenklatur dan satu maksud tujuan adalah efisiensi tapi berkeadilan bukan satu bagian dari pada efisiensi dan keadilan sebagaimana yang disampaikan Pemohon tadi. Kemudian berkelanjutan, kemudian berwawasan lingkungan kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan tersebut mewajibkan agar sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Haruslah dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat yang dapat menikmati generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan. Oleh karena itu penggunaan sumber daya alam haruslah selaras secara seimbang dengan fungsi lingkungan hidup guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Bahwa karena itu DPR-RI tidak sependapat dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan yang legal normatif dalam Pasal 74 dan Undang-Undang PT bertentangan dengan efisiensi berkeadilan vide permohonan a quo halaman 9. Terhadap dalil ini DPR berpandangan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan ekonomi nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pengelolahan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus berdasarkan pandangan hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat guna mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi di sini DPR berpandangan bahwa dasar sumber hukum kita dan norma undang-undang tersebut adalah mengacu sepenuhnya pada ketentuan konstitusi sesuai dengan hierarki ketentuan perundangundangan. Hal ini didasari bahwa sumber alam merupakan sumber daya alam yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia, hilangnya atau berkurangnya ketentuan sumber daya alam akan berdampak besar bagi kelangsungan hidup orang banyak masa ini. Kitapun mengetahui berbagai persoalan timbul sekarang oleh karena terjadinya climate change dan timbulnya berbagai kesengsaraan dan tidak kurang Bapak Ibu sekalian perlu kami sampaikan bahwa menjadi suatu yang ironis sekarang ini dengan terbitnya suatu buku yang berjudul resources discources. Menjadi keanehan di dunia saat ini justru daerah-daerah atau negara yang punya sumber alam malah menderita kutukan atau
18
kemelaratan, ini satu aspek dari pada penafsiran politik hukum DPR terkait dengan rumusan Pasal 33 tersebut. Oleh karena itu persoalan mendasar sehubungan sumber daya alam adalah bagaimana mengelola sumberdaya alam agar menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan tidak mengorbankan kelestarian sumber daya alam tersebut. Kita mengetahui berbagai sumber daya alam saat ini memang ada pengelolahan ada keuntungan perusahaan yang masuk dalam pajak tapi kita bisa melihat bahwa hubungan para perusahaan dengan lingkungannya saat ini tidak harmonis dan kita bisa melihat bagaimana akibat daripada pengolahan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keadaan lingkungan setempat. Ini yang dimaksud dengan ketentuan tersebut, sehingga maksudnya ketentuan ini bukan untuk menghukum tapi adalah untuk menegaskan agar tidak dilanggar. Bahwa ketentuan Pasal 33 tersebut menegaskan kerugian negara dan tugas pemerintah untuk melindungi sumber daya alam yang menguasai hajat orang banyak dalam lingkungan hidup guna mengajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketentuan a quo menentukan hak penguasaan negara atas sumber atas kerugian negara dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan bagi sebesar kemakmuran rakyat. Hak inilah yang diberikan oleh pemerintah kepada berbagai persoalan korporasi yang tentunya maksud tujuannya tidak boleh terlepas dari pada maksud tujuan sumber hukum yang tercantum pada konstitusi tersebut Bahwa DPR-RI tidak sependapat atas uraian Pemohon yang mengatakan pemberlakuan kewajiban dan perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial (suara tidak jelas) bahwa DPR-RI berpendapat justru pemberlakuan Pasal 74 tentang PT adalah kepastian hukum mengingat kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan dimaksudkan untuk mendukung terjadi hubungan persaudaraan yang serasi seimbang sesuai dengan lingkungan nilai norma dan masyarakat setempat dan tujuan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan guna meningkatkan proses kehidupan dan lingkungan manfaat bagi perusahaan tersebut dan masyarakat umumnya. Perlu kami tambahkan sekaligus menegaskan di sini adalah asas-asas hukum mengenai masalah kepastian hukum, dan asas manfaat pada masyarakat tersebut sekaligus tercakup melalui ketentuan yang ada pada Pasal 74 ini. Bahwa DPR-RI tidak sependapat dengan uraian Pemohon yang mengatakan pemberlakuan kewajiban dimaksud 74 dampaknya telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di mata hukum dan diskriminatif. Oleh karena perusahaan [sic] berdasarkan undang-undang sektoral, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan Undang-Undang Sumber Daya Air dibebankan juga kewajiban untuk menganggarkan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai pihak perseroan. Sedangkan perusahaan lain yang perusahaan yang tidak tunduk kepada Undang-Undang PT tidak diwajibkan untuk melaksanakan
19
tanggung jawab sosial dan lingkungan. perlu kami sampaikan kepada Hakim Mahkamah Konstitusi juga kita memahami bahwa undang-undang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahanperubahan mendasar tentu menimbulkan revisi kepada undang-undang yang telah dibuat sebelum menggunakan norma-norma dan masa tersebut. Bahwa DPR-RI berpandangan bahwa ketentuan dianggap diskriminatif jika pembatasan diskiriminasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu pada Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa ”diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pemilihan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam perbaikan individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum sosial budaya dan aspek lainnya. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ketentuan Pasal 74 dan penjelasan Pasal 74 tidak dapat diketegorikan sama sekali termasuk perlakuan diskriminatif sebagaimana yang telah kami kemukakan tadi tertulis atau termuat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahwa pemberlakuan sanksi Pasal 74 adalah untuk menegaskan bahwa persoalan dimaksud undangundang a quo tidak melaksanakan kewajiban melaksanakan hak asasi manusia dan lingkungan dapat dikenai sanksi dengan peraturan perundang-undangan yang berkait, adalah untuk kepastian bagi perseroan masyarakat dan lingkungannya untuk memperoleh perlindungan dan pelestarian dan pembangunan berkelanjutan guna mensejahterakan masyarakat seluruhnya, hal ini amanat yang ada pada Undang-Undang Dasar Pasal 33 alinea keempat, itu kita memahami alinea keempat Undang-Undang Dasar ”disusunlah kemerdekaan Indonesia yang melindungi segenap bangsa,” ini itu jelas apa yang dimaksudkan. Kemudian penjelasan Pasal 74 PT bukan merupakan penambahan norma baru, sebagaimana dimaksud oleh Para Pemohon. Akan tetapi merupakan penjabaran untuk memperjelas dan menghindari berbagai penafsiran yang berbeda, terkait dengan dampak fungsi lingkungan tersebut. Dengan demikian kami berpandangan bahwa Pasal 74 dan penjelasan Undang-Undang PT, tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara 1945. Bahwa berdasarkan dalil tersebut di atas DPR-RI memohon kiranya Ketua atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut;
20
1. menyatakan para Pemohon a quo tidak memiliki hukum atau legal standing sehingga permohonan aquo tidak dapat diterima niet on venkelijk verklaard 2. menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima, 3. menyatakan Pasal 74 dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Pasal 22A, Pasal 28D Ayat (1) Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, 4. menyatakan Pasal 74 dan penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Apabila Ketua Majelis Hakim berpensdapat lain kami mohon putusan yang seadil-adilnya Demikianlah Bapak dan Ibu sekalian keterangan DPR-RI yang akan dilengkapi nanti oleh rekan kami Bapak Patrialis Akbar terhadap berbagai pendapat mungkin Para Pemohon atau informasi kurang lengkap nanti akan dilengkapi oleh rekan kami Bapak Patrialis Akbar. Seizin Pimpinan Mahkamah Konstitusi kami persilakan mungkin Pak Patrialis bisa melanjutkan keterangan kami dengan ini kami akhiri keterangan tertulis DPR kami persilakan kepada rekan kami, kami persilakan. 15.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Itu yang dibawa lebih tebal tapi yang disampaikan lebih singkat ya? Karena ini tinggal mempertajam saja, silakan.
16.
DPR-RI : PATRIALIS AKBAR
Bissmillahirahmanirahim.
Assalamualaikum.
wr.wb.
Yang terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kemudian Para Pemohon dan Para Kuasa Hukumnya yang kami hormati, kemudian tim ahli serta pihak-pihak Pemerintah dan sidang yang kami hormati. Mudah-mudahan tidak setebal ini kami sampaikan Pak Ketua, kami ingin menambahkan beberapa hal sebagai bentuk penegasan yang telah disampaikan oleh rekan kami Pak Pataniari Siahaan tadi. Beberapa prinsip tadi sudah disampaikan latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 ini, antara lain selain yang telah disampaikan tadi bahwa ada Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas ini sesungguhnya juga merupakan undang-undang pro rakyat. Jadi undangundang yang juga tidak mengabaikan kepentingan-kepentingan rakyat yang berada di seluruh Indonesia terutama adalah perusahaanperusahaan yang ada kaitannya dengan sumber daya alam, dan tentunya juga tidak berarti mengabaikan kepentingan-kepentingan pengusaha. Jadi dalam undang-undang ini mencoba menserasikan baik itu kepentingan-kepentingan rakyat maupun kepentingan-kepentingan
21
pengusaha, bahkan kita mulai merubah paradigma cara berpikir bangsa Indonesia, bahkan kita menggiring jangan sampai aturan-aturan hukum yang ada itu bersifat liberal dan kapitalis, karena kita memahami betul bahwa beberapa prinsip-prinsip yang ada di beberapa negara di dunia ini tentu juga tidak memiliki persamaan-persamaan. Nah tentunya sebagai bangsa Indonesia kita harus memilih sistem yang bagaimana yang kita kehendaki. Kita boleh memperoleh referensi yang begitu banyak di negara-negara luar tetapi bangsa Indonesia telah memilih satu sistem tersendiri dimana semua usaha-usaha yang ada kaitannya dengan sumber daya alam itu harus memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan. Para sidang yang kami hormati, sekali lagi kami ingin menegaskan bahwa semua kegiatan-kegiatan apapun yang ada di Indonesia ini termasuk kegiatan-kegiatan para pengusaha, kegiatan-kegiatan perseroan harus tunduk pada nilai-nilai bangsa yang dimuat oleh bangsa Indonesia yang intinya ada di dalam norma-norma yang termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, tentu Indonesia berbeda dengan Amerika tentu Indonesia berbeda dengan negara-negara kapitalis atau liberalis yang lainnya. Tanggung jawab sosial memang sengaja dimasukkan di dalam undangundang ini dan tentu tanggung jawab ini tidak bermakna apapun kalau tidak diberikan dalam bentuk satu ketegasan dalam bentuk kewajiban. Dan semua kewajiban dalam undang-undang harus diberikan sanksi, ini adalah semacam satu penegasan agar keserasian antara pengusaha dan rakyat itu betul-betul bisa terlaksana. Dalam undang-undang ini diatur mengenai tanggungjawab sosial dan lingkungan antara lain bertujuan seperti kami katakan tadi adalah mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat baik bagi perseroan itu sendiri komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilainilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Maka ditentukan bahwa perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.Untuk melaksanakan tanggung jawab perseroan tersebut kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus di selenggarakan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Jadi masyarakat yang sebagai Pemohon dalam hal permohonan ini tidak usah terlalu khawatir akan dirugikan karena semua biaya-biaya dan pengeluaran-pengeluaran yang diberikan pada tanggung jawab sosial dan lingkungan itu dapat diperhitungkan dengan biaya-biaya pengeluaran perusahaan. Kemudian seperti apa yang khawatirkan oleh Saudara Pemohon asli tadi, ini juga berkaitan ada tiga hal, pertanyaan yang mendasar. Pertama berkenaan dengan perpajakan oleh karena undang-undang ini sudah menyatakan
22
semua pengeluaran-pengeluaran itu dapat di perhitungkan dengan biaya-biaya perseroan, maka tidak ada alasan bagi kantor pajak untuk dapat tidak menerima karena ini adalah kewajiban undang-undang yang diperintahkan oleh undang-undang. Yang kedua tentu dengan catatan semua pengeluaranpengeluaran, tanggung jawab sosial itu betul-betul bisa diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan apa adanya. Yang kedua, pertanyaan dari Pemohon asli tadi adalah dikhawatirkan timbulnya penafsiranpenafsiran yang berbeda-beda di daerah. Nah, tentunya penafsiran ini pada prinsipnya kita telah memiliki norma Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 kalau ada peraturan-peraturan di bawah peraturan perundang-undangan itu akan dapat dibatalkan. Kemudian pertanyaan yang ketiga adalah ada satu hal yang sangat memilukan kami dan agak memprihatinkan kita adalah pertanyaannya adalah kenapa negara menyerahkan kesejahteraan rakyat kepada suatu perseroan? Sesungguhnya tidaklah demikian. Kenapa? Karena di dalam UndangUndang Dasar kita semua tindakan-tindakan pelaku-pelaku perekonomian pada prinsipnya memang harus didasarkan pada asas kekeluargaan. Jadi kita memang betul-betul memang ingin menerapkan sistem asas kekeluargaan di negara tercinta ini. bahkan di dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar kita, itu tambahan baru di UndangUndang Dasar kita yaitu, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi”. Baru kali inilah kita mengetahui ada prinsip ekonomi di tengahtengah bangsa kita. Jadi ternyata demokrasi itu tidaklah hanya di bidang politik tetapi juga dalam bidang ekonomi yang salah satu prinsip di dalamnya adalah prinsip kebersamaan. Dengan demikian kalau sudah ada kebersamaan antara masyarakat dan perusahaan di suatu daerah tentu insya Allah akan terjadi kelanjutan-kelanjutan pembangunan perusahaan-perusahaan daerah sehingga rakyat di daerah tidak lagi hanya sekedar menonton, tetapi juga menikmati hasil-hasil sumber daya alam yang ada di daerah itu. Sekarang kita masih menyaksikan sangat naif hal yang luar biasa adalah di mana-mana, di daerah-daerah tertentu memiliki sumber daya alam yang begitu besar tetapi ternyata rakyatnya sangat miskin di daerah itu, ini sesuatu yang tidak bisa kita biarkan lagi. Oleh karena itu harus ada suatu tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada perusahaan-perusahaan yang mengolah sumber daya alam, inilah beberapa hal yang perlu kami tegaskan dari DPR kepada sidang yang kami hormati sehingga mudah-mudahan penjelasan ini dapat memberikan suatu pemahaman, pengertian yang sama diantara anakanak bangsa yang ada di Indonesia ini dan tentu juga termasuk temanteman kita, Saudara-Saudara kita yang berasal dari pengusaha. Demikian, wa billahi taufiq wah hidayah. Wassalamualaikum wr. wb.
23
17.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Terima kasih Pak Patrialis, berikutnya dari Pemerintah?
18.
PEMERINTAH : ILYAS AS’AD (DEPUTI PENATAAN LINGKUNGAN, KLH) Yang terhormat Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi, perkenankan saya atas nama pemerintah menyampaikan penjelasan singkat atau kita sebut sebagai opening statement sebagai berikut. Pokok permasalahan, satu, merujuk pada permohonan para Pemohon pada intinya para Pemohon menyatakan bahwa ketentuan Pasal 74 ayat (1), (2), (3) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI 1945 karena secara materil ketentuan a quo dianggap telah merugikan hak dan atau kewenangan konstitusionalnya atau setidak-tidaknya para Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dan dipastikan akan terjadi. Ke dua, bahwa menurut para Pemohon ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian dan contradiction interminis karena menyebabkan terjadinya ketidakjelasan antara tanggung jawab yang didasarkan atas karakter sosial (social responsibility) yang bersifat voluntary dengan kewajiban yang bersifat hukum (legal obligation) yang mempunyai daya memaksa. Tiga, bahwa menurut para Pemohon ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di muka hukum dan mempunyai tendensi yang bersifat diskriminatif karena perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam sudah menjalankan kewajibannya berdasarkan undang-undang sektoral. Ke empat, bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perseroan Terbatas dirumuskan dalam ketentuan a quo menjadi tanggung jawab yang bersifat wajib yaitu perusahaan wajib menganggarkan dan memperhitungkannya sebagai biaya perseroan sehingga menimbulkan kerancuan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan corporate social responsibility. Ke lima, bahwa undang-undang a quo merupakan ranah yang mengatur tentang mekanisme pemberian sebuah perseroan terbatas untuk menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif tetapi dengan mengatur tentang corporate social responsibility potensial menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif. Keenam, bahwa penjelasan tentang undang-undang a quo dapat dikualifikasi sebagai norma baru atau memperluas masalah hukum karena perseroan tersebut kegiatannya tidak hanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, tetapi juga kegiatan yang memiliki dampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
24
Singkatnya, menurut para Pemohon ketentuan di atas telah menghilangkan makna efisiensi yang berkeadilan, perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang diskriminatif dan karenanya menurut Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Tentang kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon. Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon baik yang bertindak untuk dan atas nama suatu organisasi yang dibentuk sebagai wadah pengusaha Indonesia maupun untuk kepentingan pengurus perseroan terbatas tertentu dan memperhatikan putusanputusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu maka pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi untuk menilainya, apakah para Pemohon mempunyai kedudukan hukum atau tidak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Yang Mulia Ketua, Majelis Hakim Konstitusi, bahwa terhadap anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 74 ayat (1), (2), (3) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1), 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut, satu, bahwa pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah berbeda dengan konsep corporate social responsibility sebagaimana dikenal dipahami dan dilaksanakan oleh kalangan dunia usaha selama ini. konsep CSR yang merupakan komitmen pelaku usaha untuk melaksanakan tanggung jawab sosial sehubungan dengan KTT Bumi di Rio de Janeiro Brazil pada tahun 1992 terkait dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) dalam kaitan tersebut antara lain menyepakati perubahan paradigma pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang kemudian pada tahun 2002 oleh para pemimpin di Johannesburg Afrika Selatan dirumuskan menjadi konsep CSR. Dua, bahwa konsep TJSL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 merupakan pelaksanaan dalam Pasal 33 ayat (4) yang berbunyi, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Norma konstitusional tersebut kemudian oleh ayat (5)-nya yang mengamanatkan untuk diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian pengaturan konsep TJSL dalam Pasal 74 tersebut semata-mata untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar RI
25
1945. Untuk itu menjadi sangat naif dan ironis jika hal tersebut oleh Pemohon dipertentangkan dengan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dua, bahwa sesuai ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi, ayat (1), “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Ayat (2), “tanggung jawab sosial lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat satu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan, kewajaran.” Ayat (3), “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.” Ketentuan lebih lanjut
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dan di dalam ketentuan tersebut di atas maka terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara konsep TJSL dan CSR sebagai berikut. Pertama, TJSL secara hukum hanya diwajibkan kepada perseroan yang melaksanakan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam dan atau yang berkaitan dengan sumber daya alam. Akan tetapi, CSR secara keseluruhan diwajibkan kepada semua perseroan. Ke dua, Biaya pelaksanaan TJSL dibebankan pada biaya operasional perseroan yang besarnya ditentukan berdasar kepatutan dan kewajaran. Sedangkan biaya pelaksanaan CSR diambil dari laba bersih perseroan. Ke tiga, pelanggaran terhadap TJSL dikenakan sanksi sesuai dengan sanksi-sanksi sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undang yang mengaturnya. Misalnya, perseroan yang melanggar ketentuan lingkungan hidup dikenakan sanksi yang berlaku yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup. Atau jika pelanggaran tersebut menyangkut ketentuan UndangUndang Nomor 44 Tahun 1999 ketentuan tentang Kehutanan maka sanksinya sesuai dengan ketentuan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sedangkan sanksi pelanggaran terhadap CSR hanya merupakan sanksi moral. Bahwa ketentuan a quo yang mengatur tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah di samping sebagai kewajiban hukum dalam rangka melaksanakan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga merupakan komitmen perseroan atau perusahaan untuk berperan serta dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi perseroan itu sendiri, komite setempat, dan masyarakat pada umumnya, Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas. Bahwa ketentuan a quo dimaksudkan pula untuk mendukung
26
terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Utamanya bagi perseroan atau perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam. Atau tegasnya, perseroan atau perusahaan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Bahwa Pemerintah menyadari bahwa pengertian tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan, Corporate Social Responsibility yang tercantum dalam Peraturan Perundang-undangan, belum terdapat keseragaman pengertian. Misalnya, pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang lebih menekankan TJSL sebagai upaya untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan dimana perusahaan tersebut beroperasi. Sedangkan TJSL menurut ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas justru merupakan tanggung jawab sosial yang wajib dilaksanakan oleh perseroan sebagai wujud tanggung jawab hukum perseroan terhadap komunitas dan lingkungan dimana perseroan melaksanakan usahanya. Di samping hal tersebut, pengaturan TJSL dalam Pasal 74 yang juga merupakan perwujudan komitmen perseroan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungannya. Dengan perkataan lain, TJSL-CSR merupakan komitmen perseroan terhadap para pemangku kepentingan, dalam arti yang luas. Ketimbang hanya untuk kepentingan perseroan atau perusahaan semata. Artinya, walaupun secara moral dan etik adalah baik, boleh dan dibenarkan sebuah perseroan atau perusahaan mencari, mengejar keuntungan sebesar-sebesarnya, tetapi bukan berarti perusahaan atau perseroan dibenarkan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tetapi mengenyampingkan dan mengorbankan kepentingan-kepentingan pihakpihak lain yang terkait. Misalnya, lingkungan sosial, budaya, dan masyarakat pada umumnya. Jika demikian halnya, menurut pemberita adalah tepat jika TJSL atau CSR tidak lagi dimaknai sebagai gerakan atau tuntutan moral. Tetapi dapat berkembang menjadi kewajiban, obligasi, obligation atau mandatory perseroan yang harus dilaksanakan. Bahwa kesadaran perseroan atau perusahaan untuk melaksanakan kewajiban TJSL atau CSR dapat memberikan makna bahwa perseroan bukan lagi sebagai kelompok atau entitas yang mementingkan dirinya sendiri. Berperilaku dan bercirikan eksklusifitas dari lingkungan masyarakatnya. Melainkan sebagai sebuah entitas yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya, sehingga dengan demikian menurut Pemerintah, merupakan hal yang tepat dan wajar jika TJSL atau CSR tidak lagi dimanipulasi hanya sekedar responsibility yang bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam pengertian liability. Dan karenanya jika perseroan atau
27
perusahaan tidak melaksanakan, wajib dikenakan sanksi Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Pemerintah, bahwa ketentuan Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), beserta penjelasannya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mengatur tentang lingkungan sosial, corporate social responsibility terhadap perseroan atau perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam. Atau tegasnya, perseroan atau perusahaan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam telah sesuai dengan amanat ketentuan pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Juga ketentuan a quo telah memberikan kepastian dan keadilan bagi perseroan atau perusahaan untuk berusaha dan mencari keuntungan maupun terhadap masyarakat dan lingkungannya untuk memperoleh perlindungan, kelestarian dan adanya pembangunan yang berkelanjutan guna kesejahteraan masyarakat sebesar-besarnya. Menurut Pemerintah, anggapan Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan a quo telah memberikan perlakuan yang diskriminatif terhadap Para Pemohon adalah tidak benar dan tidak tepat. Kecuali, ketentuan a quo telah memberikan perlakuan, pembatasan, dan perbedaan yang di dasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Maupun Pasal 2, International Governance on Civil and Political Rights. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 74 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3), beserta penjelasannya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak dan atau telah memberikan perilaku yang diskriminatif terhadap Para Pemohon. Justru ketentuan a quo telah memberikan jaminan kepastian dan perlakuan yang adil baik terhadap perseroan atau perusahaan, maupun terhadap masyarakat dan lingkungan sosialnya, guna terjalinnya interaksi dan harmonisasi menuju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan atau sustainability development. Dan karenanya pula, ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. juga tidak merugikan hak dan atau kewenangan konstitusional Para Pemohon. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi, berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan Pemohon pengujian constitutional review Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang-Undang Dasar
28
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi, keterangan Perintah tertulis secara lengkap akan disampaikan dalam waktu satu minggu ke depan. Melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi sebayak 12 eksemplar yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan keterangan lisan yang disampaikan Pemerintah, pada hari ini, hari Selasa, tanggal 3 Februari 2009. Demikian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi, atas segala perhatian, kami ucapkan terima kasih. Assalamualaikum wr. Wb. 19.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Terima kasih, Saudara Wakil Pemerintah. Saya kira sudah lengkap. Pemohon tadi sudah mengungkapkan secara jelas, lalu jawaban DPR dan Pemerintah juga sudah jelas. Berikutnya, mari kita dengarkan ini keterangan dari para ahli yang dihadirkan oleh Pemohon. Untuk itu, silakan dipandu saja, siapa yang akan lebih dulu, dan dalam fokus apa. Nah, untuk itu dipersilakan kepada para ahli yang hadir untuk maju untuk mengambil sumpah terlebih dahulu. Yang Islam dulu, silakan Pak Arsyad.
20.
HAKIM KONSTITUSI : Dr. M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.Hum Saudara ahli ikuti lafal sumpah yang Saudara ucapkan Bismillahirahmanirahim, demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, terima kasih
21.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. HIKMAHANTO
Bismillahirahmanirahim, demi Allah saya bersumpah sebagai ahli
akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. 22.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Terima kasih silakan duduk. Berikutnya yang beragama Kristen beda-beda? Katolik dulu, silakan maju, silakan Bu Maria.
29
23.
HAKIM KONTITUSI : Prof. Dr. MARIA FARIDA INDRATI, S.H., M.H. Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya semoga Tuhan menolong saya, terima kasih.
24.
AHLI DARI PEMOHON : MARIA. R. NINDITA RADYATI DAN MARIA DIAN NUARNI. Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya semoga Tuhan menolong saya.
25.
KETUA : Prof. dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Pemohon ini tidak ada saksi, ini ahli semua ya? Tidak ada saksi yang hadir hari ini. Baik silakan sekarang dimulai darimana dan dalam fokus apa, silakan.
26.
KUASA HUKUM PEMOHON : JHON PIETER NAZAR, S.H., M.H. Ahli yang kami majukan pada persidangan hari ini pertama Prof. Dr. Hikmahanto Juana sebagai ahli hukum perusahaan atau hukum bisnis.
27.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. HIKMAHANTO
Assalamualaikum wr.wb.
Kepada Yang Mulia, Para Hakim Konstitusi, mohon izin saya untuk menyampaikan keterangan ahli saya dalam bentuk presentase powerpoint dan ini kaitannya dengan apa yang disampaiakan oleh Pemohon. Kedua saya ingin juga menyampaikan bahwa meski saya dikenal dalam masyarakat luas sebagai ahli hukum internasional tapi pada kesempatan ini saya menyampaikan keahlian saya sebagimana disampaikan oleh Pemohon sebagai ahli hukum perusahaan saya juga mengajar di bidang itu dan juga hukum bisnis atau hukum ekonomi. Baik, Bapak Ibu Saudara-Saudara sekalian dengan seizin Hakim Konstitusi saya akan mencoba menyampaikan beberapa hal terkait dengan CSR. Bagi kita semua kita ketahui bahwa pelaku usaha dan ini kalau saya sampaikan sebagai pelaku usaha ini tidak terbatas pada perseroan terbatas, dalam konteks pelaku usaha di Indonesia kita mengenal berbagai pelaku usaha yang berbentuk badan hukum seperti BUMN, ada Perum kalau PT, perseronya tentu tunduk pada UndangUndang PT tetapi kalau perusahaan umum tentu dia tunduk pada Undang-Undang PT. Kemudian ada juga koperasi, bahkan universitas sekarang ada BHP dan lain sebagainya. Jadi Bapak Ibu sekalian
30
sekalipun kita berdebat dengan apa yang dimaksud dengan pelaku usaha namun demikian ada badan-badan hukum yang melakukan usaha dan usaha tersebut tentu tidak terbatas pada perseroan terbatas. Nah bagi pelaku usaha, CSR ini memang sering dilakukan dan kita telah menjadi komitmen para pelaku usaha termasuk menurut saya pelaku usaha di Indonesia. Bagi para pelaku usaha melaksanakan CSR ini akan menambah nilai tambah baginya di mata masyarakat, pemerintah maupun lingkungannya karena dengan dia melakukan CSR berarti dia tidak hanya memikir mengenai masalah keuntungan profit, tetapi yang dipikirkan juga mengenai masalah komitmen terhadap people— masyarakat di sekitar dan juga planet, lingkungan hidup dan ini memang 3P ini yang disebut-sebut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jadi ada profit, people dan ketiga adalah planet. Mohon CSR ini agar tidak dikerdilkan atau direduksi menjadi masalah lingkungan saja. Yang menjadi isu menurut saya dari sisi ahli saat ini adalah apakah CSR ini perlu diwajibkan oleh negara? Kenapa dikatakan perlu diwajibkan oleh negara karena mendapat pengaturan oleh undangundang dan yang sekarang ini di dalam Undang-Undang PT. Dalam berbagai literatur memang para ahli membicarakan berbagai masalah CSR ada pro dan kontranya tetapi mereka kelihatannya tidak menyentuh adanya keharusan bagi negara untuk memaksakan kepada swasta atau pelaku usaha, kalaupun ada kewajiban-kewajiban yang dilakukan itu kewajiban-kewajiban itu berada di berbagai peraturan perundangundangan. Ambil contoh terkait dengan people maka harus dilihat misalnya Undang-Undang Perburuhan, undang-undang sektoral yang terkait dengan masyarakat itu. Demikian juga kalau kita bicara mengenai planet lingkungan maka yang dilihat adalah sektor-sektor undang-undang di bidang sektor-sektor tertentu. CSR dari sisi pemerintah dalam berbagai literatur yang saya pahami lebih banyak berupa himbauan, demikian pula kalau kita lihat kita rujuk pada apa yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga sebenarnya menganjurkan CSR bagi pelaku usaha utamanya multinational corporation. Nah saya mencoba untuk mengkaji Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, maka menurut saya CSR ini sebenarnya bukan kewajiban yang dibebankan oleh negara itu pemahaman saya pada waktu membaca defnisi dari Undang-Undang PT tentang TJSL ini. Di sini dikatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan. Jadi ada kata-kata komitmen perseroan untuk berperan serta dengan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan meningkatkan kualitas kehidupan dan hubungan yang bermanfaat baik bagi perseroan sendiri komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Jadi ada kata-kata komitmen. Di definisi saya melihat ini bukan merupakan suatu kewajiban dan ini tentu sesuai dengan apa yang berkembang di masyarakat. Memang kemudian menjadi pertanyaan kalau bukan suatu kewajiban mengapa harus diatur di dalam undangundang? Nah namun demikian saya ingin stressing kata komitmen sama
31
sekali tidak mengindikasikan suatu kewajiban yang diharuskan oleh Negara. Pertanyaannya adalah mengapa kemudian diberi sanksi sebagaimana diatur di dalam Pasal 74 ayat (3) yang sanksinya itu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nah intinya adalah himbauan untuk perseroan terbatas ini sudah memadai sebenarnya kalaupun mau diatur tetapi tidak perlu dipaksakan melalui sanksi, bila sanksi yang dikedepankan maka negaralah, menurut saya memunculkan inefisiensi pada perekonomian nasional mengingat tidak kondusif bagi pelaku usaha, apalagi kalau misalnya sanksi ini memang dibuat sedemikian rupa sehingga Ambigu. Karena disebutkan di situ disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal yang kedua, yang menjadi pertanyaan adalah kalau CSR ini diberlakukan, apakah diberlakukan semua badan hukum yang berbentuk PT? Karena Undang-Undang PT ini mengatur mereka yang berbentuk PT. Jawaban dari saya adalah setelah menganalisis, sebenarnya CSR itu betul diberlakukan untuk semua badan hukum yang berbentuk PT. Meski ini yang tidak di intensikan oleh para pembentuk undang-undang, karena apa? Kalau kita perhatikan dalam definisi dan perumusan Pasal 74 ayat (1) TJSL hanya ditujukan untuk sektor tertentu yaitu kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam. Artinya hanya terbatas pada perseroan terbatas yang mempunyai kaitan dengan sumber daya alam. Tetapi kalau saya membaca penjelasannya, penjelasannya menjadi sangat luas karena di situ disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak mengelola sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Nah, jadi keinginan untuk mereduksi di dalam Undang-Undang PT ini, itu kemudian menjadi tidak tercapai, karena adanya penjelasan ini. Dan sepemahaman saya antara batang tubuh dan penjelasan seharusnya merupakan satu kesatuan. Nah, yang lebih merepotkan lagi adalah ketentuan di dalam pasal yang memperluas ini, itu mengakibatkan bahwa semua perseroan terbatas mungkin dari Sabang sampai Merauke, mohon maaf, itu yang memiliki kemampuan berbeda-beda, itu akan terkena semua ketentuannya. Menurut saya Indonesia ini tidak bisa diterjemahkan sebagai Jakarta atau tempat-tempat tertentu yang ada perusahaanperusahaan terbatas tertentu yang melakukan investasi besar-besaran yang terkait dengan masalah sumber daya alam. Karena undang-undang ini harus berlaku secara nasional sehingga bisa dipertanyakan bagaimana efektifitas dari Undang-Undag PT. Sebelumnya juga saya ingin mengatakan bahwa kalaupun CSR ini katakanlah diatur di dalam undangundang karena negara ingin mewajibkan mungkin saja pengaturan itu dilakukan pada undang-undang sektoral tidak di dalam Undang-Undang PT yang sebenarnya inti dari Undang-Undang PT itu mengatur badan
32
hukum perseroan terbatas mulai dari pembentukannya sampai kalau ada pembubaran atau likuidasinya. Jadi hal-hal seperti itu. Nah, yang menjadi permasalahannya juga apakah—pertanyaan berikutnya tentu ketentuan Pasal 74 ini tidak rentan untuk dijadikan dasar untuk melakukan pungutan. Melihat kenyataan pelaksanaan dari undang-undang di Indonesia kerap pelaksanaan di lapangan menggunakan pasal sekedar untuk melegitimasi tindakan yang mungkin dipersepsikan sebagai high cost economy. Kalau kemarin di ”Media Indonesia” itu ada berita yang mengatakan banyak tindakan koruptif yang dilegitimasi dengan peraturan perundang-undangan dan kemudian mengacu kepada undang-undang yang lebih tinggi. Ini yang diberitakan oleh ”Media Indonesia” yang terkait dengan penelahaan dari peraturan perundang-undangan oleh KPK. Nah, yang dikhawatirkan di sini adalah Pasal 74 ini dampak dari keberadaan itu adalah akan dijadikan dasar untuk melakukan berbagai pungutan yang sifatnya high cost economy. Meskipun tadi pemerintah mengatakan atau DPR mengatakan bahwa ini tidak akan merupakan suatu beban tambahan perseroan terbatas. Nah, ini tentu akan berbahaya menurut saya bagi iklim usaha dan tentu tidak sesuai dengan tujuan dari segi revisinya Undang-Undang PT, karena di dalam ketentuan menimbang dan apa yang saya alami dari berbagai media massa bahwa Undang-Undang PT ini sebenarnya hendak merespons pembentukan perseroan terbatas yang katakanlah yang tidak efisien menjadi lebih efisiensi sehingga bisa meningkatkan iklim usaha di indonesia. Oleh karenanya atas dasar itu saya khawatirkan bahwa kepastian hukumpun itu tidak akan terjamin. Itu kira-kira pokok-pokok pikiran yang saya ingin sampaikan dalam kesempatan ini di depan Majelis Hakim. Kurang lebihnya saya mohon maaf, terima kasih, assalamualaikum wr. wb. 28.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Terima kasih, kepada ahli Saudara Prof. Dr. Hikmahanto. Berikutnya ahli yang tadi juga sudah disumpah, silakan siapa yang duluan.
29.
KUASA HUKUM PEMOHON : JHON PIETER NAZAR, S.H., M.H. Yang berikutnya kami ajukan adalah Ahli Maria R. Nindita Radyanti Direktor Program CSR Universitas Trisakti
30.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Maria R. Nindita, oke silakan.
33
31.
AHLI DARI PEMOHON : MARIA. R. NINDITA Yang terhormat Ketua Majelis Hakim, yang terhormat anggota Majelis Hakim, kami mohon izin untuk menyampaikan kesaksian kami dalam lingkup overview dari pemahaman dari atau filosofi dari corporate social responsibility. Saya Maria R. Nindita Radyanti, saya adalah koordinator program dari program magister manajeman corporate social responsibility di Universitas Trisaksi yang kebetulan kami adalah program S-2 yang pertama di Indonesia dan pendirian dari program ini, itu kebetulan saya mendapatkan dana dari fund foundation untuk mendirikan program magister manajemen ini. Mohon izin untuk memberikan presentasi. Jadi pada pagi hari ini, saya mohon maaf bukan untuk bermaksud untuk mengajari Bapak Ibu sekalian Majelis Hakim yang terhormat, tetapi hanya memberikan sharing saja mengenai, sebetulnya apa filosofi dari CSR dan juga beberapa sharing yaitu apa yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris dan Eropa di dalam meng-encourage perusahaan-perusahaan untuk melakukan kegiatan CSR yang mereka juga tidak mempunyai suatu hukum formal untuk mengatur dan mewajibkan CSR itu. Di sini Bapak, Ibu, bisa lihat ada beberapa definisi dari CSR adalah, yang pertama didefinisikan oleh Pemerintah Inggris, di situ dikatakan ”Voluntary action that bussines can take over and above compliance with minimum requirement,” jadi di sini intinya adalah CSR itu harus dijalankan beyond compliance to law jadi melampui kepatuhan terhadap hukum. Jadi persyaratan perusahaan untuk melakukan CSR, itu pertama dia harus mematuhi semua hukum dan peraturan yang ada. Jadi misalnya hukum lingkungan hidup, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Ketenagakerjaan dan semuanya juga Amdal dan sebagainya itu harus sudah dipatuhi dulu. Baru dia bisa melakukan hal-hal yang di luar itu, itu dikatakan sebagai tanggung jawab sosial. Kemudian selanjtnya di sini juga ada definisi dari suatu organisasi non profit, tetapi itu di sini ada penelitian terakhir yang mengatakan bahwa pencarian definisi yang sama atas CSR itu sudah dilakukan selama 30 tahun. Jadi belum ada definisi satu yang baku mengenai tanggung jawab sosial dimana mereka semua disesuaikan dengan kondisi, kultur dan keadaan budaya dari negara yang bersangkutan. Selanjutnya, kita bisa lihat di sini bahwa di European Community atau Organisasi Ekonomi Eropa mendifinisikan bahwa CSR itu harus dilaksanakan secara sukarela, jadi European Community itu terdiri dari 27 negara. Mereka bersepakat untuk mendefinisikan bahwa CSR itu adalah sukarela. Maka intinya dari definisi di atas adalah perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungan, prinsipnya sukarela, lalu kegiatan bisnis dan interaksi dengan para pemangku kepentingan atau dengan para stakeholder harus memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan.
34
Jadi kalau ditarik dari semua definisi di atas maka saya merumuskan bahwa CSR itu adalah bagaimana keseluruhan operasi perusahaan. Jadi fungsi bisnis utama dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan para pemangku kepentingan serta masyarakat. Yang dimaksud dengan cort bussines function adalah termasuk diantaranya manajemen produksi, pemasaran, manajemen keuangan, pengadaan bahan baku, manajemen SDM, logistik dan lain-lainnya. Jadi bukan hanya sekedar donasi, filantrofi atau menyetorkan dana CSR. Jadi itu bukan arti dari CSR. Jadi CSR itu adalah mengikutisertakan semua bisnis inti perusahaan di dalam program CSR, ini adalah cort karakteristik dari CSR menurut penelitian terakhir tahun 2008. Yang pertama adalah sukarela, yang kedua internalizing or managing externality, maksudnya perusahaan itu menanggung dampak negatif yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut dan kemudian perusahaan harus memaksimalkan dampak positif yang dihasilkan dari bisnisnya. Yang ke tiga, CSR itu harus melibatkan seluruh stake holder secara aktif di dalam kegiatan CSR. Jadi tidak tepat kalau dikatakan bahwa CSR itu dilakukan oleh pihak lain. CSR perusahaan A dilakukan oleh pihak lain, itu bukan CSR namanya. Jadi harus ada partisipasi aktif dari stake holder. Kemudian, juga harus ada keseimbangan antara kegiatan bisnis dan nilai-nilai bisnis dan dia harus beyond filantrophy. Sebetulnya saya menyampaikan paper yang nantinya akan disampaikan kepada Majelis Hakim yang terhormat, di situ dijelaskan filantrophy itu adalah suatu kegiatan dari perusahaan untuk menolong pihak yang lebih lemah. Jadi CSR itu bukan untuk menolong pihak yang lebih lemah tapi merupakan strategi bisnis perusahaan. Mengapa perusahaan itu harus melakukan CSR? Di sini saya akan menjelaskan bahwa perusahaan itu adalah bagian dari kegiatan bisnis yang global. Maka pertama perusahaan itu dituntut untuk melakukan bisnis yang etis. Jadi, dia harus melakukan bisnis yang etis tetapi juga harus remain competitive. Kemudian juga adanya global warming, ini adalah fakta yang semua perusahaan di dunia harus mau tidak mau ikut serta. Kemudian juga adanya dorongan untuk melakukan tindakan-tindakan altruistik atau membantu pihak yang lemah, misalnya banyak milyuner di luar negeri maupun di dalam negeri yang memberikan bantuan kepada orang-orang miskin atau korban-korban bencana alam. Jadi adanya tindakan itu mendorong perusahaan itu juga ikut berpartisipasi. Kemudian juga adanya millenium development goals, saya akan singkat saja dan juga adanya Kyoto Protocol dimana mau tidak mau perusahaan harus ikut berpartisipasi. Dan selain itu juga ada public presure. Jadi meskipun tidak perlu diwajibkan dalam undang-undang, perusahaan itu akan dihukum sendiri oleh masyarakat apabila tidak melakukan kegiatan yang bertanggung jawab sosial. Contohnya di sini adalah perusahaan ”Nike.” Pada waktu itu mereka memesan bahan baku
35
itu dari India, dan dia tidak peduli apakah India itu para pemasoknya menggunakan child labour atau pekerja anak-anak atau tidak. Jadi dia hanya mengutamakan bisnis dengan biaya yang murah. Akhirnya, tertangkaplah oleh wartawan bahwa ada seorang anak di India dia sedang menjahit sepatu dan bola ”Nike” akhirnya difoto, dimasukkan ke dalam website disebarkan di dalam publikasi, akhirnya seluruh asosiasi konsumen di negara-negara barat itu memboikot untuk tidak membeli dari ”Nike”, hal ini membawa kerugian yang sangat besar bagi perusahaan tersebut. Jadi mereka pun akan dihukum sendiri oleh pasar apabila tidak melakukan tindakan yang bertanggung jawab sosial. Kemudian di sini saya akan mensharing-kan sedikit ada penelitian terakhir yang melakukan maping mengenai CSR. Berdasarkan kegiatankegiatan CSR yang selama ini sudah dilakukan oleh perusahaan. Yang pertama adalah teori instrumental, di sini memang mungkin bisa dilihat gambarnya pohon uang, perusahaan-perusahaan itu memang ada yang ingin melakukan CSR hanya motivasinya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kemudian ada juga yang motivasinya adalah untuk memanfaatkan social power yang dimiliki, jadi political theory. Tetapi bukan berati ini negatif juga, saya ingin menjelaskan bahwa instrumental teori itu menekankan bahwa esensi dari perusahaan itu berdiri tentu ingin mencari laba. Kalau tidak mencari laba maka dia tidak bisa memberi makan atau memberikan kesejahteraan at least pada internal stakeholder pada perusahaan tersebut. Apalagi memberikan kesejahteraan pada eksternal stakeholder. Jadi dia di sini diberikan saran-saran kegiatan apa saja sebaiknya perusahaan bisa melakukan CSR tapi tetap menguntungkan perusahaan. Misalnya dengan memberikan pengumuman atau melalui kegiatan marketing yang menjelaskan bahwa produk yang di jual itu aman dari animal testing ataupun aman bagi kesehatan manusia dan menggunakan bahan baku yang tidak membuat terjadinya obesitas dan sebagainya misalnya dilakukan oleh Mc Donald atau perusahaan makanan lainnya. Kemudian ini political theories di sini menekankan bahwa perusahaan itu melakukan CSR karena dia ingin mematuhi segala hukum yang berlaku. Jadi political theories kemudian integratif. Perusahaan melakukan CSR dengan motivasi untuk mengintegrasikan harapanharapan dari pada pemangku kepentingan. Dan yang terakhir, ini adalah ethical theory. Jadi, inilah suatu discourse yang sudah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan saat ini adalah yang berkaitan dengan sustainable development, jadi ethical theories. Jadi bisnis perusahaan harus etik, harus mempertimbangkan nilai-nilai moral, nilai-nilai yang benar dan salah. Jadi harus melakukan hal yang benar. Jadi di sini perusahaan melakukan CSR untuk sustainable development. Ini adalah konteks global mapping CSR. Lalu konteks kita seperti apa? Berdasarkan hasil diskusi kami dengan pelaku bisnis di Indonesia dan kebetulan kami juga anggota konsorsium CSR dan Ketua Bidang Edukasi, di situ kami menyadari betul bahwa perusahaan di
36
Indonesia itu menyadari bahwa konteks Indonesia CSR itu harus berkontribusi pada sustainable development atau pembangunan berkelanjutan. Apa yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan? Banyak definisi, tapi ini yang paling baik, jadi kita harus menyediakan kesempatan yang sama bagi generasi penerus untuk bisa menggunakan resource seperti kita sekarang ini. Kita harus memperhitungkan anak cucu kita nanti mau makan apa, apakah tanahnya sama suburnya seperti itu. Jadi sudah sejauh itu yang sudah dipahami oleh perusahaanperusahaan di Indonesia. Jadi ini saya mencoba gambarkan secara mudah CSR itu dimana jika dikaitkan dengan sustainable development dan sustainability. Jadi tujuan akhirnya itu adalah sustainability, lalu jalan ini adalah sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan. Dan CSR itu adalah tools untuk masuk ke dalam sustainable development ini untuk mencapai sustainability. Jalan ini bisa mulus atau jalannya bisa naik turun, mohon maaf saya tidak menemukan jalan yang lubang-lubang sebetulnya itu maksud saya. Jadi di sini maksudnya bisa mudah dan bisa lancar asal ada dukungan dari pihakpihak yang memang betul-betul tepat untuk mendukung perusahaan. Ini adalah satu contoh CSR pada manajemen perusahaan manufaktur. Saya tadi jelaskan bahwa rantai pemasok itu harus menjadi perhatian perusahaan supaya pemasoknya tidak mempergunakan child labour. Kemudian material yang dipergunakan jangan merusak kesehatan masyarakat, harus friendly, lalu dalam proses produksi, harus menjalankannya dengan cara yang baik yang memenuhi persyaratan healthy and safety working involvement . Kemudian weis-nya harus diolah, lalu packaging jangan yang mencemari lingkungan, jangan menggunakan stereo form misalnya. Kemudian marketingnya, kegiatan marketing contohnya untuk promosi yang mengeksploitasi anak maupun wanita. Itu adalah suatu strategi CSR, ini semua strategi CSR. Kemudian apabila produk sudah dijual, maka perusahaan itu sebaiknya seperti salah satu perusahaan air minum yang besar di Indonesia itu memberikan insentif bagi mereka yang mengembalikan produknya yang bekas. Bapak, Ibu bisa bayangkan apabila perusahaan itu memproduksi mainan, mainan itu paling umur ekonomisnya berapa minggu, setelah itu rusak, lalu diapakan, dibuang seharusnya perusahaan itu memberikan insentif kalau dia mengembalikan kepada perusahaan sehingga tidak perlu mengolah proses produksi dari nol, sehingga bisa menghemat biaya, jadi menjadi roommatery lagi. Itu adalah contoh salah satu CSR pada managemen operasional, ini baru salah satu. Bapak, Ibu dan ini adalah piramid dari penelitian yang dilakukan Carol yang sangat ngetop dia mengatakan untuk melakukan CSR perusahaan itu harus mempunyai economic resposibility terlebih dahulu. Jadi dia harus mensejahterakan dulu orang dalam istilahnya karyawannya you harus makan kenyang dahulu baru bisa kasih
37
makan orang lain, jangan karyawan you lapar terus kasih makan orang lain tidak mungkin. Yang ke dua, Anda harus mematuhi legal responsibility, yang ketiga Anda harus bertindak yang benar jangan yang salah ethical responsibility dan yang terakhir Anda harus doing good berbuat baik. Jadilah good citizenship sumbanglah kelebihan dana Anda itu kepada masyarakat yang membutuhkan. Jadi yang di atas ini adalah beeing good citizenship, jadi bagaimana menjadi masyarakat yang baik. Jadi di sini ada beberapa karakteristik good CSR programs itu pertama harus sesuai dengan core bisnis. Saya tidak membayangkan apabila undangundang ini berlaku dan pada suatu diskusi seminar yang pernah diadakan oleh JK itu kebetulan saya ikut menjadi di salah satu pembicaranya ada dua orang dari kementerian, saya tidak usah sebut beliau mengatakan bahwa harusnya pemerintah itu mempunyai satu lembaga tertentu yang menampung dana-dana CSR, jadi kemudian dana CSR dari seluruh perusahaan itu akan disalurkan untuk kepentingan masyarakat. Bagaimana dengan esensi dari CSR itu harus sesuai dengan core bussiness, harus melibatkan secara aktif stakeholder, kalau orang lain menjalankan itu tidak sesuai lagi core bussiness-nya itu satu. Yang ke dua, perusahaan itu bisa cuci tangan dia mengatakan saya sudah setor dana CSR saya tidak perlu melakukan CSR lagi saya sudah setor ke pemerintah dan yang ketiga adalah there will be a question of accountability siapa yang akan mengecek bahwa dana itu akan betul-betul dipergunakan sesuai dengan harapan para pemerintah. Lalu yang ke dua, harus sustainable program yang baik itu adalah sustainable artinya kalau perusahaan itu sudah tidak melakukan lagi kegiatan CSR disitu kegiatan CSR-nya itu masih jalan terus jadi mengapa? Karena dilanjutkan oleh masyarakat sekitar, misalnya ada satu perusahaan tambang di Kalimantan dia melakukan pembinaan kepada petani jeruk begitu selesai programnya petani itu tetap menjalankan bisnis jeruknya, semua infrastrukturnya sudah disediakan, jadi itu program CSR yang baik. Jadi sustainable berkelanjutan meskipun perusahaan sudah tidak mendukung lagi dan ini adalah satu contoh dari “Unilever”, dia melakukan kegiatan green and clean di Surabaya dia menghimbau masyarakat di Surabaya itu untuk menanam pohon dan membersihkan lingkungannya kemudian mengadakan lomba, setelah itu “Unilever” sudah berhenti mengadakan program itu tapi sampai sekarang program itu masih berjalan terus tanpa dukungan dari “Unilever.” Di sini ada beberapa model Pemerintah Eropa di dalam mendukung kegiatan CSR yang pertama itu adalah partnership diterapkan pada negara-negara, di sini kemudian bisnis in the comunity, pemerintah itu menganggap sektor swasta itu adalah partner di dalam menyejahterakan rakyat. Jadi mereka selalu mengajak ikut serta perusahaan dalam mendifinisikan CSR seperti proses yang terakhir yaitu Agora dan juga perusahaan memberikan insentif-insentif.
38
Saya lanjutkan di sini adalah pelaksanaan CSR di Eropa, pertama dia melakukan Pemerintah yang meng-encourage pemerintah, dia tidak membuat suatu aturan formal tetapi dia promoting CSR, yang kedua dia unsuring transparency dia menyediakan guiden-guiden pedomanpedoman, framework bahwa CSR itu sebaiknya begini membuat laporan sebaiknya begini. Contoh-contoh studi kasus itu seperti ini dan seterusnya. Jadi didukunglah swasta itu dan tentunya dengan partisipasi aktif dari mereka dari swasta maksud saya. Lalu kemudian ini ada panduan yang lain dan di sini Margareth Hotch [sic] itu adalah mantan Menteri CSR tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dia membuat suatu perubahan yang besar di sana mendukung perusahaan-perusahaan diantaranya bantuan kepada pihak swasta adalah memberikan insentif keringanan pajak dan ini juga penyediaan informasi, penyediaan informasi Bapak, Ibu bisa dilihat disini begitu banyak informasi yang bisa membantu perusahaan untuk menjalankan kegiatan CSRnya, jadi mereka semua senang dengan senang hati menjalankan CSR. Jadi conclution-nya CSR itu adalah investasi perusahaan, jadi bukan biaya, jadi bukan penganggaran biaya tapi investasi karena di jangka panjang itu akan memberikan keuntungan bagi perusahaan dan CSR itu adalah strategic planing yang melibatkan seluruh departemen dalam perusahaan. CSR itu harus sesuai dengan core bisnis perusahaan dan CSR itu bukan hanya PR (public relation) atau alat mark, terima kasih atas perhatiannya. 32.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Silakan Ibu Maria berikutnya, ada tiga Maria di sini. Kita itu bersidang biasanya selesai jam 12.00, tapi karena ini tinggal satu kita teruskan saja pokok-pokok sampai jam keseluruhan sidang ini akan berakhir sampai jam 12:30, silakan Bu Maria.
33.
AHLI DARI PEMOHON : MARIA DIAN NURANI Yang terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan yang terhormat anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Mohon izin Pak untuk kami menyampaikan persentasi. Saya Maria Dian Nurani pada saat ini saya menjadi saksi ahli dalam kapasitas saya sebagai anggota Miror Committee on Social Resposibility, ini adalah satu tim nasional yang dibentuk oleh badan standarisasi nasional untuk mengembangkan dan memberikan masukan dan turut membahas satu standard baru yaitu ISO 26000 sebuah standard internasional, khususnya mengenai tanggung jawab sosial dan saya juga merupakan anggota delegasi RI dalam pembahasan sidang pleno untuk membahas ISO 26000 ini khususnya di tiga negara Portugal, Australia, dan Viena dari tahun 2005 sampai 2008. Jadi yang ingin saya
39
persentasikan adalah bagaimana sejauh ini perkembangan social responsibility di seluruh dunia khususnya mengenai ISO 26000. Jadi sebelum adanya ISO 2600 ini tidak ada standard sama sekali tadi mungkin persentasi Ibu Maria Nindita dilihat sangat banyak definisi seringkali untuk beberapa orang khususnya orang awam ini akan sangat membingungkan walaupun kalau dilihat semua memiliki benang merah. Tapi pada akhirnya ketiadaan standard ini sebetulnya menguntungkan perusahaan karena mereka bebas melakukan apa saja yang mereka sukai, sehingga mudah mengklaim dan mempromosikan diri untuk apa yang disebut oleh Philip Kotler dan Dansilmy [sic] itu adalah manfaat pasar, yaitu meningkatnya niat baik masyarakat terhadap perusahaan itu sendiri kemudian munculnya brain preference atau kesukaan brand oleh masyarakat kemudian juga membangun brain positioning meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan penghargaan terhadap perusahaan dan juga sangat mudah membuat perusahaan membangun hubungan dengan pihak ekternal termasuk pemerintah dan LSM serta para pemasok mereka. Namun sayangnya, dengan ada tanpa adanya standard dan semua perusahaan bebas melakukan apapun berdasarkan interpretasi masing-masing pada kenyataannya program banyak yang tidak stategic artinya apa? Artinya bahwa program yang dilakukan sebenarnya tidak memahami dan tidak menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan yang ada, sehingga akibatnya perusahaan itu sendiri tidak memperoleh manfaat finansial karena terjadi pengurangan biaya operasi, kemudian juga tidak memperoleh insentif keuangan dari pemerintah dan juga tidak terjadi meningkatnya produktivitas karyawan dan pada akhirnya perusahaan itu sendiri akan kehilangan manfaat pasar dan relasi yang telah dibangunnya. Mengingat bahwa apa yang dilakukan tidak menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan maka masyarakat itu sendiri pada akhirnya tidak mendapat manfaat yang optimal dari program yang ada. Kemudian dunia internasional melihat bahwa CSR ini semakin berkembang tuntutan untuk melakukan CSR semakin tinggi sementara definisi yang ada begitu beragam, nah ISO sebagai satu lembaga internasional yang menyusun standard-standard yang bersifat volunteer ini tergerak untuk mengumpulkan sebanyak orang untuk membuat standard baru. Dan mengapa ISO 26000 ini sangat penting? Karena pertama dilihat dari kompetensi ISO sendiri. Sudah begitu banyak, mungkin ribuan standard yang dihasilkan dan bisa dikatakan bahwa standard yang dikeluarkan oleh ISO adalah standard yang paling banyak diacu oleh berbagai pihak di seluruh dunia. Dan pada penyusunannya ini untuk pertama kalinya bahwa standard internasional ini di susun secara multy-stakeholder yaitu melibatkan berbagai macam ahli di seluruh dunia yang mewakili lebih dari 80 negara maju dan berkembang dan terdiri dari 6 stakeholder mulai dari pemerintah sendiri, swasta, atau bisnis kemudian LSM, buruh,
40
konsumen dan lain-lain termasuk lembaga riset dan pelaku CSR sendiri. Dan juga ada 40 lembaga internasional yang selama ini berkecimpung di bidang CSR yang sudah mengeluarkan berbagai prinsip acuan dan standard ini juga dilibatkan dengan tujuan agar pada akhirnya pemahaman yang ada itu sama sehingga panduan atau standard yang ada di seluruh dunia mengenai tanggung jawab sosial ini adalah saling melengkapi. Dan pada akhirnya yang dicari sebetulnya adalah pemahaman yang sama di seluruh dunia mengenai tanggung jawab ini. Sehingga berbeda dengan standard ISO yang lain khusus mengenai ISO 26000 sampai saat ini belum untuk sertifikasi tetapi masih merupakan panduan. Nah yang sangat penting juga karena ini dalam waktu dekat akan diluncurkan yaitu 2010 sehingga setelah tahun 2010 seluruh dunia hanya akan mengenal satu definisi atau satu konsep CSR. Menurut ISO 26000 yang saat ini telah sampai ke komite draf definisi tanggung jawab sosial ini lebih ditekankan bagaimana organisasi bertanggung jawab atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan yang dilakukan melalui perilaku etis dan transparan yang tujuannya adalah untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan termasuk di dalamnya adalah kesehatan dan kesejahteraan masyarakat kemudian yang penting adalah menyertakan harapan dari stakeholder sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan perilaku norma internasional serta terintegrasi di seluruh organisasi dan dipraktekkan dalam relasi-relasinya. Ada dua catatan, yang pertama adalah yang dimaksud dengan aktivitas ini termasuk produk jasa dan proses, kemudian yang dimaksud dengan relasi ini merujuk kepada aktivitas organisasi dalam lingkungan lingkaran pengaruhnya. Mungkin setelah ini saya akan jabarkan pengertian dari definisi ini. Jadi pertama tujuan dari tanggung jawab sosial ini adalah kontribusi pembangunan berkelanjutan, tadi Ibu Mariani juga sudah sampaikan, tapi saya ingin melihat dari sisi lain bahwa apa yang diartikan dari pembangunan berkelanjutan. Jadi perbedaan pembangunan berkelanjutan dengan pembangunan konvensional adalah dalam pembangunan berkelanjutan kita melihat adanya saling ketergantungan antara semua aspek sehingga dalam membangun sesuatu kita tidak bisa hanya fokus pada satu titik tertentu, kita tidak bisa hanya melakukan pengembangan masyarakat tanpa memperhatikan juga profit dari perusahaan itu dan sebagainya. Jadi kalau misalnya kita mau melihat pelaksanaan CSR, ini mohon maaf di sisi panah nanti ada huruf S dan O kalau S itu artinya same atau sama artinya dua arah ini satu arah artinya pelaksanaan CSR yang semakin baik maka kualitas lingkungan juga akan semakin baik. Demikian juga produktivitas karyawan juga akan meningkat, kesejahteraan masyarakat akan meningkat, sementara pelaksanaan CSR sendiri sangat ditentukan oleh komitmen dari perusahaan itu sendiri,
41
kemudian dipengaruhi oleh dukungan dari pemerintah, partisipasi masyarakat dan juga dipengaruhi oleh profit. Tanpa adanya profit perusahaan tidak bisa melakukan CSR. Nah mengapa kualitas lingkungan perlu dijaga? Karena akan menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh perusahaan sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat terjadi, dan profit juga akan semakin terjamin. Demikian juga sebaliknya dengan adanya profit jaminan kelangsungan usaha semakin baik. Profit semakin tinggi, komitmen perusahaan juga akan semakin baik, sementara jaminan kelangsungan usaha juga akan memperkuat komitmen perusahaan, produktivitas karyawan juga sangat penting untuk menjamin kelangsungan usaha, sementara dari kesejahteraan masyarakat juga akan sangat menolong kualitas lingkungan karena kita tahu seringkali lingkungan dirusak karena masyarakat sendiri masih berada di bawah garis kemiskinan sehingga terpaksa mengeksploitasi lingkungan sedemikian rupa karena tidak ada pilihan yang lain. Sebaliknya dengan semakin baiknya kualitas lingkungan, kesejahteraan artinya kita akan semakin merasa senang melihat lingkungan yang indah, lingkungan yang tertata dengan baik. Kualitas lingkungan yang baik ini O itu artinya opposite, semakin baik kualitas lingkungan maka bencana alam akan semakin kecil, ini khususnya bencana alam yang diakibatkan oleh manusia atau perbuatan manusia. Semakin kecil bencana alam maka ketersediaan bahan baku juga akan semakin terjamin dan juga kualitas kesehatan akan semakin baik, dengan demikian akan menyumbangkan pada kesejahteraan masyarakat, juga dari bencana alam juga akan langsung terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Kemudian profit itu juga akan menyumbang kepada pajak, pajak akan membuat dukungan pemerintah juga akan semakin baik, di samping itu pajak juga akan sangat berguna bagi fasilitas umum dan fasilitas sosial yang nantinya akan menjamin kesejahteraan masyarakat juga, kesejahteraan masyarakat juga dengan partisipasi masyarakat terkait, juga dengan produktivitas karyawan karena kalau keluarga di rumah sehat, sejahtera, tentunya kepala keluarga atau ibu yang bekerja akan bekerja dengan lebih produktif. Dan masyarakat yang sejahtera juga akan mengurangi angka kriminalitas, demikian juga sebaliknya, dan kriminalitas juga akan semakin rendah, akan meningkatkan jaminan kelangsungan usaha. Jadi kita lihat bahwa semuanya terkait, dan ketika kita mengatakan ingin melakukan pembangunan berkelanjutan mencapai keberlanjutan bahwa semua komponen itu harus diperhatikan. Apa yang disebut mengikutsertakan harapan stakeholder? Perusahaan harus mendengarkan harapan dari stakeholder, mungkin di panah sebelah kanan, tapi semua aktivitas dan keputusan ini tetap ada di tangan organisasi. Organisasi harus memperhatikan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Apa yang disebut dengan sesuai hukum yang berlaku? Tanggung
42
jawab sosial harus memenuhi hukum yang berlaku. Ini memang adalah legal obligation yang sudah diatur oleh pemerintah, tetapi yang penting adalah yang di atas yaitu yang voluntary sifatnya yang orang sering menyebutnya beyond compliance, ini yang batas atasnya ini tidak terhingga karena sesuai dengan konteks perusahaan, kebutuhan perusahaan, dan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan dan juga interaksi yang ada dengan stakeholder sekitarnya sejauh mana. Nah sehingga ada komponen-komponen tanggung jawab sosial yang tidak bisa dilegalkan. Apa yang disebut dengan lingkaran pengaruh? Perusahaan dapat mengontrol apa yang ada di dalam perusahaan itu sendiri, tetapi sesungguhnya dia juga mempengaruhi banyak hal, mulai dari pemasoknya, kemudian konsumennya, masyarakat luas maupun lingkungan sendiri. Jadi semua ini harus masuk di dalam kegiatan atau kepedulian perusahaan. Nah dalam ISO 26000 ada panduan yang sangat rinci mengenai tanggung jawab sosial. Pertama, itu kolom di sebelah kiri, ini ada 7 prinsip, jadi dalam melakukan tanggung jawab sosial perusahaan harus melakukan 7 prinsip dalam setiap tahap dari tanggung jawab sosialnya yaitu akuntabilitas, transparansi, perilaku etis, menghargai kepentingan stakeholder, menghargai hukum yang berlaku, menghargai perilaku atau norma internasional dan juga menghargai hak asasi manusia. Di paling atas, ini sebelum perusahaan masuk ke dalam tanggung jawab sosial, ada dua hal penting yang perlu dipahami, yaitu pertama adalah memahami social responsibility sendiri yang terkait dengan perusahaan itu sendiri dan kemudian bagaimana perusahaan mengikutsertakan stakeholder setelah sebelumnya mengidentifikasi dulu stakeholder mana saja yang perlu dilibatkan. Dan ada 7 subyek inti, jadi bukan hanya terkait dengan pengembangan masyarakat atau pelibatan masyarakat sekitar seperti yang sering dianggap selama ini dan juga masuk dalam Pasal 74 Undang-Undang PT Nomor 40 tapi secara internasional diakui bahwa ada 7 core issue. Yang pertama, adalah organizational governance atau kalau di perusahaan lebih dikenal dengan istilah good corporate governance. Kemudian juga hak asasi manusia, praktik perburuhan, lingkungan hidup, praktik operasi yang adil atau fair, kemudian isu konsumen, dan di samping juga yang telah disebutkan yaitu pengembangan dan pelibatan masyarakat. ISO 26000 juga memberikan panduan bagaimana mengintegrasikan di dalam seluruh organisasinya. Mulai dari memahaminya kemudian bagaimana me-review, bagaimana memperbaiki, meningkatkan kredibilitas, sampai ke mengkomunikasikannya. Ada 7, ini sengaja digambarkan bulat di dalam ISO 26000 untuk menunjukkan bahwa ketujuh core subject ini adalah sesuatu yang satu, tidak bisa dipisah-pisah, tidak bisa dipilih, hanya mungkin kedalamannya masing-masing yang berbeda. Sementara kegiatan filantrophy yang lebih
43
sering dilakukan di dalam ISO 26000 diakui bahwa memberikan dampak positif namun tidak bisa digunakan oleh organisasi untuk menghindari penanganan dampaknya, artinya tetap fokusnya adalah untuk menangani dampak dari kegiatannya. Nah ini ada 2 aspek yang harus dipahami oleh perusahaan yaitu bagaimana segala aktivitasnya itu memiliki dampak dan mengidentifikasi isu apa saja yang terkait, kemudian juga harapan masyarakat terkait dengan isu-isu tersebut seperti apa, sehingga pada akhirnya bisa berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Semua isu berkaitan dan yang penting adalah pengkajian dari signifikansi dampak itu terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan, dan proses ini adalah proses berkesinambungan dan yang ditekankan adalah hasilnya dan peningkatan kinerja, dan yang sangat penting dalam ISO 26000 juga ditekankan bahwa ini berlaku juga untuk semua organisasi termasuk LSM, pemerintah, legislatif, perguruan tinggi, UKM, dan lain-lain. Dan alat yang paling efektif untuk mengintegrasikan semuanya adalah tata kelola organisasi atau di perusahaan dikenal dengan good corporate governance, karena di situlah sistem keputusan dibuat dan dijalankan. Demikian presentasi dari saya terima kasih atas perhatiannya. 34.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Baik, terima kasih. Jadi kita sudah mendengar 3 ahli dan saya atau kami mau memberi kesempatan kalau dari pemerintah maupun DPR ingin menanyakan atau menanggapi apa yang disampaikan ahli tadi. Kira-kira kita punya waktu 10 menit lagi, silakan! Ada dari DPR? Silakan, dari DPR!
35.
DPR-RI : PATANIARI SIAHAAN Terima kasih kepada Hakim Konstitusi yang telah memberikan kesempatan kepada kami. Kami ada beberapa catatan-catatan kecil saja terkait dengan pendapat DPR. Salah satu kata kunci sebetulnya apa yang tercantum pada menimbang butir A sebetulnya pokok persoalan kita yaitu yang ingin kami tanyakan apa sebetulnya beda Perseroan Terbatas di Amerika dan di Indonesia? Itu pokok persoalannya sebetulnya, sehingga dicapai kesimpulan pemerintah tentu tergantung daripada nilainilai, norma-norma, dan ketentuan konstitusi masing-masing negara dan bangsa tersebut, ini yang membuat apa yang tercantum pada menimbang butir A sebagai landasan daripada Undang-Undang Perseroan Terbatas yang kita gunakan saat ini bahwa tentu ada persamaan dengan negara-negara lain tapi tetap juga bersumber, berdasarkan kepada kepentingan dan realita norma bangsa kita sendiri. Yang kedua, terkait dengan pemahaman DPR mengenai masalah perkembangan internasional saat ini, memang ada satu kepentingankepentingan baru yang ingin melakukan integrasi vertikal, horisontal,
44
serta regulalisasi agar seluruh standard nilai dan pola bekerja di dunia menjadi sama. Dalam hal ini tentu kami dari DPR tidak jadi masalah, hal tersebut tidak layak untuk bangsa Indonesia karena kita tidak menghadapi level plan field yang sama dengan negara-negara lain sehingga dengan sendirinya tentu kita harus bersumber kepada cita-cita proklamasi, tidak semata-mata menggunakan ketentuan yang berlaku seperti kehendak daripada kelompok-kelompok besar melalui yang namanya soft power. Yang ketiga, kami ucapkan terima kasih kepada para Pemohon maupun para saksi ahli yang telah memberikan pengetahuan tambahan kepada kami dan sekaligus menggambarkan kepada kami bagaimana perkembangan pemikiran bangsa kita saat ini terhadap masa depan bangsa Indonesia. Sekian, terima kasih. Ada tambahan sedikit dari rekan kami, Pak Patrialis. 36.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Silakan!
37.
DPR-RI : PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Saya komentar terakhir Ibu Maria, yang terakhir. Maria yang kedua. Menarik sekali tadi beliau bilang bahwa pelaksanaan CSR itu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, jadi itu satu poin yang sangat luar biasa walaupun penjelasannya juga sangat bagus. Tapi poinnya adalah serahkan kepada hukum negara masingmasing. Pada Profesor Hikmayanto saya ingin tanya bagaimana kalau komitmen pertanggungjawaban sosial tadi itu tidak dilaksanakan? Tadi kan mengatakan bahwa komitmen yang diutamakan. Apakah tidak menjadi hampa? Kemudian Ibu Maria yang pertama, Ibu Maria Ningdita, saya ingin tanya apakah di dalam Undang-Undang Dasar di Inggris itu walaupun itu adalah negara yang tidak tertulis, apakah konsep-konsep dari CSR yang disampaikan tadi itu melandasi dari sistem kehidupan masyarakat mereka, karena kita mengutip adanya tanggung jawab sosial dan lingkungan di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas ini karena memang ada di dalam Undang-Undang Dasar kita. Jadi memang seyogianya kita saatnya bangsa Indonesia ini memahami juga apa yang termaksud dan terkandung di dalam konstitusi kita sendiri. Sesuai dengan ajaran dari Karl von Savigny dari mazhab sejarah kalau saya tidak salah dari Jerman seorang filosof dalam ajaran filsafat itu mengatakan bahwa hukum tumbuh dan berkembang bersama jiwa bangsa yaitu yang dinamakan dengan Folk Geist kalau saya tidak salah. Ada hal yang sangat dikhawatirkan tadi adalah kami khawatirkan tadi dikatakan bahwa pertanggungjawaban sosial itu tidak diatur di dalam undang-undang, begitu. Tapi masyarakatlah yang akan menghukum
45
perusahaan itu sendiri. Masyarakat dalam arti juga pasar akan menghukum, justru undang-undang kita ini menginginkan adanya satu ketenangan, ketentraman, kenyamanan bagi masyarakat, dan juga pengusaha ada satu kepastian jangan diganggu, karena sudah ada aturan hukum. Nah, kita tentu nilai-nilai sosial kemasyarakatan kita hari ini dimana-mana terjadi bakar membakar tentu kita tidak menginginkan seperti itu. Tapi kalau sudah ada aturan-aturan main ya tentu aturan itu yang kita kemukakan. Bagi mereka yang tidak suka dengan aturan itu di masyarakat tentu kita akan giring bahwa itu ada pertanggungjawaban tersendiri. Dan terakhir, mudah-mudahan kita menyadari, ini untuk kita semua, tidak dijajah oleh cara berpikir yang tidak sesuai dengan konstitusi kita. Terima kasih. 38.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Baik, silakan! Tadi ini ahli mendapat pertanyaan. Singkat-singkat saja. Ibu Maria.
39.
AHLI DARI PEMOHON : MARIA DIAN NURANI Terima kasih. Mungkin lebih ke sekedar menegaskan saja, bahwa memang CSR itu harus sesuai hukum yang berlaku karena dalam kenyataannya tidak hanya di Indonesia tapi banyak di negara lainpun banyak perusahaan yang sudah mengklaim telah melakukan CSR namun dalam beberapa hal belum memenuhi hukum yang berlaku. Tapi sebaliknya ada hal-hal dari CSR yang juga tidak bisa dinormakan. Tidak bisa, artinya hukum-hukum yang berlaku ini sudah jelas biasanya sudah diatur oleh undang-undang atau peraturan pelaksana yang lain dan perlu didorong lagi adalah sebetulnya justru yang di atas pemenuhan itu yang beyond compliance. Karena yang compliance-nya, pemenuhan hukum biasanya sudah ada penegakan hukum sendiri. Jadi di sini perlu dipahami juga bahwa CSR ini mengandung dua hal, ada yang dimandatkan ada yang tidak. Terima kasih.
40.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Silakan!
41.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. HIKMAHATO Baik, terima kasih. Saya akan mencoba menjawab dari pertanyaan tadi. Pertama yang ingin saya sampaikan di sini dan saya garisbawahi bahwa isu yang menjadi permasalahan dari sisi saya adalah kalau CSR
46
sendiri tadi sudah disampaikan bahwa ini sesuatu yang bagi perusahaan yang mampu memang harus dilakukan, tetapi yang menjadi permasalahan adalah apakah negara perlu melakukan intervensi kepada Perseroan Terbatas untuk melaksanakan CSR ini? Karena intervensi ini yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk kewajiban. Dari perspektif saya bahwa negara tidak perlu melakukan intervensi seperti itu. Karena apa? Satu, di berbagai undang-undang sektor itu sudah diatur mengenai masalah ketenagakerjaan, mengenai masalah kewajiban-kewajiban, dan lain sebagainya yang perseroan karena dia merupakan salah satu pelaku usaha akan tunduk kepada ketentuan tersebut. Hal yang ke dua, kalaupun CSR ini hendak dilakukan, mungkin perlu dilakukan di sektor-sektor tertentu, karena kalau misalnya tidak dilakukan di sektor-sektor tertentu akan terlihat diskriminatif. Mengapa Perseroan Terbatas harus wajib bahkan bisa dikenakan sanksi bila tidak melakukan CSR, sementara kalau misalnya badan usaha seperti perusahaan umum, koperasi, dan lain sebagainya tidak dilakukan. Artinya komitmen kita adalah komitmen untuk melakukan kepada semua yang bergerak di satu industri tertentu dan memenuhi kriteria-kriteria tertentu, tidak pada Undang-Undang Perseroan Terbatas. Ke tiga, pertanyaannya adalah kenapa kata-kata komitmen itu sudah ada, lalu bagaimana untuk meng-enforce-nya? Menurut saya seperti tadi yang sudah disampaikan oleh ahli yang lain bahwa komitmen itu sebenarnya terlihat dari pengawalan-pengawalan oleh publik, oleh lembaga swadaya masyarakat, dan lain sebagainya. Dan kalau itu diatur di dalam undang-undang sektor, maka undang-undang sektor itu. Kalau misalnya di dalam Undang-Undang PT menjadi pertanyaan besar apakah karena Undang-Undang PT ini biasanya dimunculkan dari Depkumham, apakah Depkumham akan melakukan pengawasan terhadap PT-PT yang tidak melakukan CSR ini? Tangan Depkumham itu sampai di mana? Karena mereka tidak “mengurusi” mengenai masalah CSR ini secara fokus. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa kalaupun CSR ini hendak diatur maka CSR itu diatur di dalam sektor-sektor tertentu, dan tentunya kembali lagi bahwa apa yang kami sampaikan di sini tentu kita tahu bahwa Indonesia memiliki kedaulatan dan kita memiliki Undang-Undang Dasar, tentu kita harus melihat konteks berlakunya di Indonesia. Saya khawatirkan banyak pembentuk undang-undang yang merasa bahwa sesuatu yang mungkin baik di luar, hendak ditransformasikan, ditransplantasikan di dalam konteks Indonesia di mana prasyaratprasyarat yang ada untuk diberlakukan aturan itu sebenarnya tidak ada. Oleh karena itu, saya berpikir bahwa CSR ini tentu harus dilakukan secara bertahap, kalau ini sesuatu yang baik bagi pelaku usaha tetapi tidak serta merta memasukkan di dalam sesuatu undang-undang, yang juga pertanyaan saya adalah apakah dipersiapkan dengan naskah
47
akademis yang baik bahwa CSR ini sudah dipotret kebutuhan bagi negeri ini. Saya rasa itu, terima kasih. 42.
merupakan suatu
AHLI DARI PEMOHON : MARIA. R. NINDITA RATYANTI Terima kasih, Majelis Hakim yang terhormat. Mungkin sebagian besar tadi pertanyaan sudah dijawab oleh Profesor Hikmanto karena di sini menyangkut hukum. Saya hanya memberikan penjelasan singkat tentunya yang berkaitan dengan keahlian saya lebih kepada segi ekonomi. Jadi untuk mengenai undang-undang di Inggris mohon maaf itu karena bukan keahlian saya jadi saya tidak mempelajari perbedaan antara undang-undang konstitusi di Inggris maupun di Indonesia. Kemudian untuk yang kedua pertanyaan mengenai untuk menjamin ketentraman masyarakat mungkin di sini juga secara sudut pandang ekonomi saya hanya melihat di sini yang merasa tenteram itu juga jangan lupa dipertimbangkan apakah sektor swasta di sini juga merasa tenteram dan nyaman dengan adanya Undang-Undang PT Pasal 74 ini. Karena kita ketahui bahwa dalam menjalankan bisnis saja untuk tetap perusahaan itu bisa survive apalagi sekarang dalam kondisi ekonomi yang sedang terpuruk itupun sudah suatu tantangan yang berat buat perusahaan untuk menghadapi internal stakeholder-nya sendiri, jadi karyawannya sendiri. Jadi CSR sekarang yang mungkin paling relevan itu sebetulnya yang paling berat dilakukan perusahaan itu adalah mencoba untuk tetap mempertahankan karyawan untuk tidak mem-PHK-kan karyawannya. Itu saja sudah berat sekali dilakukan oleh perusahaan. Jadi perusahaan harus istilahnya mendapatkan tadi dari penjelasan saya ada hukuman dari masyarakat dari market sendiri atau ancaman dari market sendiri kalau dia tidak bisa me-responds maka mohon jangan ditambahkan ancaman-ancaman dari pihak lain yang mungkin sebaiknya kita bisa belajar dari Eropa itu mendukung, justru mendukung perusahaan dan menganggap perusahaan itu adalah partner karena pada intinya kalau bisa mensejahterakan stakeholder internal itu tentu akan bisa mensejahterakan masyarakat luas. Dan kita juga tadi dijelaskan oleh Prof. Hikmanto bahwa pengawasan itu juga selama ini sudah dilakukan oleh NGO- NGO yang kita ketahui banyak bahwa dampak dari NGO itu sebenarnya lebih besar daripada dampak yang dilakukan oleh hukum sendiri, ya kita lihat hukuman dari masyarakat itu lebih seram, kita tahu peristiwa Newmont, dimana di situ ada Walhi meskipun kasusnya kita tahu berakhir bagaimana, tapi kita tahu bahwa masyarakat itu mengerti yang mengawasi itu siapa, ada Walhi, ada Jatam, ada asosiasi, ada masyarakat adat nusantara, ada yayasan lembaga konsumen dan sebagainya.
48
Jadi mungkin itu yang bisa saya jawab yang sebaiknya dipertimbangkan masak-masak oleh Majelis Hakim yang bijaksana. Terima kasih. 43.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Baik, saya kira pemeriksaan sudah cukup dan (...)
44.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Pak Ketua bisa tiga poin disampaikan? Satu menit.
45.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Silakan!
46.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Yang pertama ini Pak Ketua, ini soal tadi pernyataan dari pemerintah. Saya punya satu bukti, itu bisa dilihat dari bukti P.5b. Tadi seluruh kesimpulan yang saya tangkap dari pemerintah, tanggung jawab sosial lingkungan itu berbeda dengan CSR, tapi dalam dokumen yang saya punya disamakan ini. Saya sebut saja ini, saya bacakan setengah menit saja, ”menindaklanjuti diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 khususnya Pasal 74 yang berbunyi .”..... kami unit Asdep partisipasi masyarakat dan lembaga kemasyarakatan akan mengedepankan konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan (corporate responsibility)”, ini dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jadi kalau Bapak tadi mengatakan beda, mohon maaf Pak, dokumen yang saya punya itu tidak ada bedanya, konsep antara tanggung jawab sosial dengan CSR, itu yang pertama. Yang kedua, tadi dikatakan bahwa ini dari teman-teman kolega saya di DPR bahwa kita harus berpihak kepada konstitusi kita, fine setuju, tetapi saya membaca satu risalah Rapat Panitia Khusus pada saat itu, mohon maaf, dipimpin oleh M. Akil Mochtar di dalam berbagai pernyataannya di situ disebutkan salah satunya di sini : ”Tentang CSR sudah disetujui oleh Panja”. Memang di dalam Panja diberikan catatan Pemerintah seharusnya berkonsultasi dulu dengan ahli. Jadi itu artinya ada kesadaran konsep dasar filosofi paradigmatik harus belajar, jadi jangan mencampuradukkan ideologi ketika membicarakan hal-hal penting. Bagian yang ketiga atau terakhir, kalau saya baca dan saya tangkap dari seluruh ahli ternyata CSR betul-betul ingin mengejawantahkan pasal mengenai bab mengenai perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial karena di situ jelas ingin mendorong kesetaraan, kemitraan dan akhirnya sebenarnya kalau dalam konsep
49
Indonesia disebut ”kekeluargaan”. Jadi lagi-lagi sebenarnya jangan kalau kami mempersoalkan secara konstitusional dianggap inkonstitusional karena menggunakan semua argumen yang dikembangkan, memang CSR konsepnya tidak dari Indonesia, jadi jangan kemudian cari-cari sendiri yang akhirnya bisa salah kaprah ini yang saya sebut sudah salah faham, tidak faham, faham yang salahpun berkembang. Jadi mudahmudahan Mahkamah Konstitusi ini akan bisa meluruskan salah faham, faham yang salah dan yang tidak faham-faham. Terima kasih, Pak. 47.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Baik, masih ada dari Pak Hakim Arsyad Sanusi dulu, silakan!
48.
HAKIM KONSTITUSI : Dr. M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.Hum Mencermati permohonan Pemohon, termasuk alasan-alasan hukumnya mengapa Pasal 74 ayat (1), (2) dan (3) termasuk memori Van Toelichting-nya penjelasannya itu bias inkonsistensi, kontradiksi interminis, mengandung diskriminatif dan lain sebagainya. Kepada DPR dan Pemerintah kami ingin mempertanyakan sehubungan dengan penjelasan Ahli Prof. Hikmanto bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ini kalau kita cermati betul, di dalam bab I ketentuan umum angka 3, di situ dikatakan tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan. Kemudian perdebatan terjadi yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas ini dalam kaitannya corporate social responsibility dengan TJSL nya ini tentang adanya satu legal obligation, satu Rechtsplicht kewajiban hukum. Nah kami ingin pertanyakan kepada DPR, apa sebenarnya original meaning-nya makna kata-kata komitmen perseroan? Apakah komitmen ini merupakan tekad, kesepakatan, suatu janji moral daripada satu perusahaan? Jadi ingin kami tanyakan di sana apakah komitmen di sini ini merupakan suatu kewajiban atau hanya janji saja? Ini jelas-jelas di dalam ketentuan umum, tetapi di dalam penjelasan kemudian uraian norma Pasal 74, itu ada tanggung jawab sosial dan lingkungan, kemudian ayat duanya merupakan satu Rechtsplicht dan ayat tiganya dikenakan sanksi. Nah kalau tanggung jawab moral komitmen ya tentunya bagaimana itu pandangan daripada pemerintah? Apakah di sini tidak terjadi satu hal yang dikemukakan oleh Pemohon, kontradiksi interminis, mohon penjelasan. Terima kasih, Pak Ketua.
49.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Hakim Akil Mochtar, silakan!
50
50.
HAKIM KONSTITUSI : M. AKIL MOCHTAR, S.H., M.H. Saya ingin berdiskusi dengan ahli, sebenarnya di kita dalam praktek penyelenggaraan usaha-usaha swasta salah satu model daripada CSR ini juga sudah diwujudkan, seperti yang disebut dengan community development yang diwajibkan kepada perusahaan-perusahaan BUMN yang hanya diatur dengan Surat Keputusan Menteri BUMN, artinya dalam tatanan nilai dan sosial ekonomi tidak ada sebuah problem yang luar biasa walaupun kita tahu bahwa BUMN itu adalah bentuk negara dalam melakukan usaha-usaha swasta. Nah dalam konteks itu, dalam konteks Perundang-undangan Perseroan Terbatas yang kita perbaharui ini di dalam konsideran menimbang yaitu huruf C bahwa Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan, perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum, untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, artinya perundang-undangan ini adalah bersifat regulasi dalam memacu perkembangan ekonomi di Indonesia, salah satu pelaku ekonomi adalah Perseroan Terbatas. Dalam konteks perundang-undangan, Pasal 74 ini dengan belum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka menurut saya semua norma di sini tertangguhkan. Dia belum bisa berlaku. Kenapa? Karena diisyaratkan oleh Pasal 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah, nah persoalannya Peraturan Pemerintah ini sudah pernah ada atau belum. Karena apa, dari ayat-ayat 1 sampai ayat 3 ini memang satu norma yang sudah berlaku di dalam undang-undang ini, tetapi ketika dia akan dijalankan maka dia membutuhkan sebuah tindak lanjut, itulah moral obligation-nya dimana pemerintah dalam menyelenggarakan urusan ekonomi negara yang memikirkan apakah regulasi yang diberikan ini akan mematikan perseroan, apakah memberi manfaat bagi kepentingan masyarakat itulah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Jadi ayat (1), (2) dan (3) ini tidak bisa berlaku sebelum ada Peraturan Pemerintah. Oleh sebab itu benar apa yang dikatakan tadi oleh Pemohon bahwa pemerintah berdiskusi dulu kepada ahli dalam soal ini, oleh sebab itu menurut saya apakah ini dalam konteks pertanyaan saya Pak, Pak Hikmahanto ini dalam konteks perkembangan ekonomi kita, dalam rangka melakukan regulasi mendorong pertumbuhan ekonomi ya tentu kita kan berpikir bahwa kondisi kekinian seperti kita mengalami krisis ekonomi global, itulah yang dipikirkan oleh kita pada saat misalnya membentuk undang-undang ini diatur dengan Pasal 4 ini, kan tidak bisa memprediksi ke depan bahwa kita akan mengalami krisis ekonomi atau gempa bumi atau tsunami kita tidak bisa itu. Jadi apakah ini Ansicht langsung berlaku atau tidak dari sisi itu menurut saya tidak bisa berlaku, tetapi saya mohon pendapat. Yang ke dua tadi, bagaimana Community Development itu dari
51
sudut pelaku ekonomi, artinya negara melalui badan usahanya memberi tanggung jawab sosial juga salah satu bentuknya. Sebab kita memahami CSR itu luas sekali, oleh sebab itu nomenklaturnya bukan tanggung jawab sosial tetapi tanggung jawab sosial dan lingkungan dan yang mempunyai kewajiban itu adalah perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam dan Perseroan Terbatas yang berkaitan, jadi ada dua norma itu yang bergerak di bidang, dan berkaitan dengan. Jadi bagaimana pandangan soal itu. Tentu saya tidak berada pada posisi apa ya, kita ingin sebuah netralitas memandang ini secara jernih, tetapi konsepnya menurut saya norma ini belum bisa berlaku. Terima kasih, Pak. 51.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Baik, DPR silakan!
52.
DPR-RI : PATANIARI SIAHAAN Terima kasih kepada Pimpinan Mahkamah Konstitusi. Kami coba menjelaskan apa diminta keterangan tadi oleh Bapak Hakim Konstitusi Bapak Arsyad Sanusi terkait dengan pendapat Saksi/Ahli Prof. Hikmahanto mengenai ketentuan definisi ada pada butir 3 yaitu masalah komitmen apa hubungannya dengan norma kewajiban yang terdapat pada Pasal 74, begitu ya Pak ya kalau tidak salah. Pemahaman kami komitmen suatu hal yang harus ditaati, harus dijalankan sehingga menjadi kewajiban sebetulnya. Nah, kalau kita lihat ketentuan umum pada Pasal 1 memang yang lain itu menyangkut hanya masalah teknis PT yang menyangkut terkait dengan masalah internal PT yang ada hanya pada butir 3. Nah, sehingga pengertian kami dari DPR, komitmen adalah suatu wujud daripada suatu hal yang harus dilaksanakan, ditepati untuk itu perlu dijamin melalui ketentuan perumusan pada Pasal 74 tadi. Sekian, terima kasih.
53.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Pak Hikmahanto, atau Pemerintah mau juga? Silakan!
54.
PEMERINTAH : QOMARUDDIN HUKUM DAN HAM)
(DIREKTUR
LITIGASI
DEP
Maaf, terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Konstitusi tadi mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan komitmen dalam Pasal 1 ketika Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 itu, ketika dalam pembahasan RUU di DPR itu bahwa komitmen itu sengaja memang
52
merupakan keinginan yang kuat perusahaan untuk melaksanakan TJSL dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Kemudian ketika keinginan atau niat yang sangat kuat tersebut sebagai kaidah sosial atau sebagai norma sosial kemudian dijadikan norma hukum yang obligatory di dalam Pasal 74, itu ketika diskusi-diskusi dan ini salah satu pasal yang memang menyedot energi yang sangat banyak karena dari pending ke pending itu kemudian dari lobby ke lobby pada akhirnya putus terakhir loby yang dilaksanakan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM dengan pimpinan fraksi di DPR.Terima kasih. 55.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Silakan, Prof. Hikmahanto!
56.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. HIKMAHANTO Baik, terima kasih. Mungkin perdebatan bisa panjang ini mengenai masalah ini, tetapi pemahaman saya kalau saya melihat kata komitmen itu adalah sesuatu yang apa yang saya ingin lakukan dan apa yang harus saya lakukan. Komitmen saya menjadi dosen yang baik, komitmen saya sebagai ahli yang netral. Pertanyaan berikutnya adalah apakah pihak di luar bisa memaksakan saya untuk memenuhi komitmen tersebut. Kalau komitmen itu dikatakan bahwa komitmen pemerintah untuk mengharuskan PT menerapkan CSR saya bisa pahami. Tetapi ini kan permasalahannya adalah perseroan berkomitmen melaksanakan CSR, artinya di situ sub mengandung voluntary. Lalu kalau misalnya itu dikaitkan dengan Pasal 74 dimana dilekatkan sanksi dan lain sebagainya, itu yang menurut saya kurang tepat dari sisi perumusan dari atau konsistensi antara satu ayat dengan Pasal yang berikutnya. Itu pemahaman saya mengenai masalah komitmen. Tetapi mungkin bisa nanti bisa diperdalam lagi maksud dari komitmen. Yang pasti adalah jangan sampai Pasal 74 itu muncul karena sesuatu yang sangat responsif terhadap suatu peristiwa. Pemahaman saya pada waktu pemerintah memajukan RUU, saya mengikuti, itu memang tidak ada ketentuan mengenai masalah tanggung jawab sosial lingkungan ini. Ini yang tadi saya pertanyakan dari sisi naskah akademiknya apakah sudah diperdebatkan, di potret keadaan sehingga pemerintah hendak mewajibkan, pemerintah dan DPR hendak mewajibkan ketentuan tersebut. Hal yang kedua yang ingin saya sampaikan, ini terkait dengan pertanyaan dari Hakim Akil Mochtar, terkait dengan Community Development dan kemudian ada Surat Keputusan Menteri BUMN yang mengharuskan perusahaan-perusahaan BUMN untuk melakukan TJSL ini. Dapat saya sampaikan demikian Bapak Hakim, kalau Community Development di dalam undang-undang tertentu berarti sektoral. Menteri
53
BUMN bisa mengeluarkan surat keputusan mengenai masalah TJSL karena dia mempunyai power, punya control terhadap BUMN. Dan BUMN ini tidak hanya terbatas pada Perseroan Terbatas, karena kita juga harus tahu ada Perum bahkan BLU di dalam Undang-Undang BUMN diatur juga mengenai permasalahan itu. Nah, tetapi kalau Community Development ini diangkat dalam bentuk ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas menjadi pertanyaan kita, apakah sebuah Perseroan Terbatas di Sabang, di Marauke sana yang katakanlah karena keharusan mereka membuat PT akan dibebani juga dengan tanggung jawab TJSL ini yang kemampuannya mungkin tidak sama dengan mereka-mereka perusahaan-perusahaan besar. Hal yang ke dua, saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pemohon bahwa ada diskriminasi seolah-olah. Karena kalau Anda berbentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas maka Anda harus mempunyai tanggung jawab TJSL. Lalu yang ke tiga, karena domain dari Undang-Undang Perseroan Terbatas ini biasanya dibina oleh Departemen Teknis Depkumham, maka menjadi pertanyaan tadi yang sudah saya sampaikan terkait dengan pengawasan. Hal yang kedua, yang ingin saya sampaikan di sini terkait dengan kaidah hukum. Kaidah hukum ini ada yang bersifat memaksa, Dwingen Rechts, Undang Undang Pajak dan lain sebagainya. Ada yang bersifat anvoellen, boleh dilakukan boleh tidak. Kalau kita bicara tentang Dwingen Rechts menurut saya dalam hal yang terkait dengan masalah ekonomi, ini merupakan campur tangan keinginan dari pemerintah untuk melakukan sesuatu. Memang sesuatu itu pasti didasarkan pada suatu kebaikan. Undang-Undang perlindungan konsumen sebenarnya hubungan antara produsen dan konsumen, tetapi kenapa ada perlu Undang- Undang perlindungan konsumen? Karena konsumen kerap mempunyai posisi tawar yang rendah. Nah, yang menjadi permasalahan bagi saya adalah kalau misalnya TJSL ini dianggap sebagai suatu kaidah yang memaksa, pertanyaannya adalah apakah sudah di potret kondisi apabila ini dilaksanakan, meskipun tadi Pak Hakim Akil Mochtar mengatakan “selama ayat (4) itu tidak dijalankan maka TJSL ini tidak akan berlaku”. Yang saya khawatirkan pada saat ini banyak pemerintah daerah mungkin yang sudah menyiapkan aturan-aturan dan akan menggunakan Pasal 74. Karena apa? Karena PP yang kerap kali ditunggu itu, itu tidak keluar. Untuk Bapak Ibu ketahui, Undang-Undang Perseroan Terbatas mengatur tentang definisi dari karyawan, dan itu harus diatur dalam Peraturan Pemerintah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995. Sampai dengan tahun 2007 kemarin sampai dikeluarkan revisi Peraturan Pemerintah seperti itu apa yang dimaksud dengan karyawan, itu tidak ada. Padahal karyawan ini sangat penting, karena idenya pada waktu itu di DPR adalah kalau perusahaan akan menjual sahamnya maka dia harus menawarkan setelah pemegang saham tidak katakanlah
54
menggunakan haknya kepada karyawan, pertanyaannya karyawan itu siapa? Apakah satu karyawan, individu atau koperasinya, bagaimana kalau perusahaannya itu punya 2.000 karyawan, apakah ini nanti tidak menjadi perusahaan terbuka karena melebihi dari jumlah 300 karyawan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, menurut saya ketentuan tentang TJSL ini sebenarnya seperti Pak Hakim Akil Mochtar katakan bisa dilakukan di level Surat Keputusan Menteri Meneg BUMN, bisa dilakukan di level sektor, tidak perlu dilakukan di level Undang-Undang Perseroan Terbatas. Demikian jawaban saya, terima kasih. 57.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, dengan demikian (…)
58.
DPR-RI : PATRIALIS AKBAR Bisa tambah sedikit, Pak?
59.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Pertanyaan atau jawaban?
60.
DPR-RI : PATRIALIS AKBAR Pertama respon, yang kedua berkaitan dengan komitmen tadi, Pak. Terima kasih, Pak. Pertama, tadi ditanyakan mengenai apakah undang-undang ini mempunyai studi akademis. Nanti kita lampirkan, bahwa memang ini punya. Yang kedua, mengenai komitmen tadi, dikatakan oleh Bapak Arsyad Sanusi, ini adalah berkaitan dengan komitmen negara, ini bukan komitmen individual. Kalau memang komitmen negara itu memang harus diatur dengan peraturan perundang-undangan, sama halnya dengan keberadaan Pasal 31F ayat (4) Undang-Undang Dasar kita bahwa ada komitmen negara di situ memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan atau APBD. Ketika undangundang tidak memenuhi komitmen itu, karena itu adalah merupakan komitmen negara, maka tidak tanggung-tanggung sampai 3 kali Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang itu karena tidak dilaksanakan, padahal itu adalah komitmen, tidak ada satupun kalimat wajib di situ. Jadi kami hanya ingin mengingatkan bahwa ini adalah komitmen negara dan bukan komitmen individual. Terima kasih.
55
61.
PEMERINTAH : VIPIN ROSA RATNAWATI (ASDEP PENEGAKAN HUKUM KLH) Masih bisa punya kesempatan untuk pemerintah bertanya dan klarifikasi?
62.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Kalau klarifikasi saya kira nanti disampaikan dalam kesimpulan saja, jadi ini nanti sidang berikutnya kita akan vonis kecuali pemerintah dan DPR mau mengajukan ahli. Sebelum vonis itu, nanti masing-masing pihak ini diminta menyampaikan kesimpulan. Tetapi agar nanti menjadi tidak enak tidur, silakan saja deh, tapi sebentar.
63.
PEMERINTAH : VIPIN ROSA RATNAWATI (ASDEP PENEGAKAN HUKUM KLH) Terima kasih Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi yang terhormat, Bapak Majelis Hakim, dan Ibu. Ada beberapa pertanyaan yang akan kami sampaikan dari pemerintah kepada ahli yang tadi telah bagus sekali dan sangat informatif untuk memberikan keterangannya tentang CSR, akan tetapi ada beberapa hal, yang pertama kami ingin menanyakan kepada Ibu Maria. Yang pertama, tadi saya tertarik sekali dengan apa yang sudah disampaikan oleh Ibu Maria tentang bagaimana CSR itu dilaksanakan di suatu negara dan disesuaikan dengan kultur dari negara tersebut dalam pelaksanaan CSR dan dalam standard dan sebagainya. Kami ingin mengetahui kalau menurut Ibu Maria sebagai ahli dalam hal CSR, bagaimana menurut pendapat Ibu mengenai kultur yang ada di Indoneia? Karena tadi Ibu juga sampaikan bahwa untuk dilaksanakannya CSR sebetulnya yang pertama adalah ketaatan pada hukum yang juga harus dilakukan, baru setelah itu CSR dilakukan. Kalau menurut pandangan Ibu dengan situasi ketaatan pada peraturan perundangundangan dari para penanggungjawab kegiatan, pemegang usaha terutama terhadap masalah sosial dan lingkungan hidup, kemudian disesuaikan lagi dengan kultur yang ada di negara kita, apakah sudah bisa dilakukan CSR sesuai dengan apa yang Ibu jelaskan, itu yang pertama. Kemudian pertanyaan yang ke dua, kami tanyakan kepada ahli. Kami juga tertarik tadi bagaimana kedua Ibu Maria yang terhormat ini menjelaskan mengenai CSR panjang lebar. Kemudian pada hari ini kita membahas mengenai Pasal 74 Undang-Undang PT. Apakah menurut IbuIbu ahli ini CSR yang Ibu maksud itu adalah apa yang ada di dalam Pasal 74. Jadi kita sibuk bicara masalah CSR, kemana-mana dan sebagainya tapi apakah itu memang yang dimaksud CSR menurut Ibu yang ada di Pasal 74 itu, karena kita sibuk berdebat itu dan bilang, “Kalau CSR ya
56
jangan diwajibkan!” Tapi apakah itu konsepsi CSR di situ yang ada di Pasal 74? Mungkin itu dulu dari kami, Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi dan Majelis Hakim. Terima kasih. 64.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Ya, Ibu Maria masing-masing pertanyaannya sudah jelas.
65.
sebentar-sebentar
saja,
AHLI DARI PEMOHON : MARIA R. NINDITA RADYANTI Terima kasih, Yang Terhormat Ketua Majelis Hakim. Saya akan jawab singkat saja, untuk kajian kultur itu memang bukan bidang keahlian saya, itu harus bidang antropologi. Kemudian untuk pertanyaan yang lain, mengenai budaya di Indonesia itu kaitannya dengan pelaksanaan CSR yang harus voluntary di negara lain dan di negara Indonesia, kita tahu di negara lain itu law enforcement-nya sudah jelas. Tapi di Indonesia bagaimana law enforcement-nya? Apakah sudah jelas belum? Bagaimana law enforcement dari Undang-Undang PT ini kalau memang diberlakukan? Apakah akan menjamin keamanan atau tidak atau akan mendukung kelancaran bisnis atau tidak? Seperti yang sudah dijelaskan oleh Prof. Hik tadi di antaranya akan dikhawatirkan adanya Perda-Perda yang saya rasa mungkin di kesempatan lain akan disampaikan bukti-bukti dari saksi-saksi yang sebetulnya kami juga sudah mengetahui tapi mungkin ini bukan saatnya yang tepat untuk menyampaikan. Jadi di situ kami ada bukti-bukti juga, jadi mengenai kemungkinan dan law enforcement yang belum jelas itu, kemudian juga mengenai apakah bisa dilakukan CSR yang voluntary. Sebetulnya CSR itu sudah banyak dilakukan di Indonesia, hanya selama ini kita tahu kultur kita di antaranya ya kalau kita memberikan sedekah tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu. Tapi CSR itu tangan kanan memberi, tangan kiri mencatat dan mulut harus memberitahukan. Jadi harus ada pelaporan. Jadi selama ini memang tidak dilaporkan. Tapi kegiatan CSR yang bagus itu sudah banyak sekali dan mengikuti core business. Misalnya tidak usah contoh yang lain, contoh dari Universitas Trisaksi sendiri. Kami core business kami adalah edukasi, maka kami melakukan CSR yaitu dengan menyumbangkan edukasi kami kepada desa-desa binaan. Di antaranya desa binaan kami ada 3 desa di Pandeglang itu kami melakukan kegiatan CSR dengan melibatkan seluruh fakultas. Jadi Fakultas Kedokteran memberikan sumbangan keahlian, Fakultas Kedokteran Gigi juga, Fakultas Ekonomi juga memberikan pendampingan, sampai dengan kami menyalurkan kepada Pasar Induk, jadi produk-produk yang mereka hasilkan kami ajarkan bagaimana packaging yang baik dari Fakultas Desain. Kemudian bagaimana yang aman, dari Fakultas Kedokteran. Lalu bagaimana bisnis yang benar, dari
57
Fakultas Ekonomi dan seterusnya. Tapi kami tidak mengumumkan karena belum ada requirement atau bukan requirement tapi mungkin adalah dorongan dari encouragement dari pemerintah untuk melaporkan itu semua yang itu dilakukan di negara Eropa. Jadi saya yakin apabila pemerintah mendukung secara positif maka sebetulnya kami sudah banyak sekali perusahaan-perusahaan yang melakukan sesuai dengan core business. Juga ”Unilever” yang saya yakin nanti akan menjadi salah satu saksi pada kesempatan berikutnya. Terima kasih. 66.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Silakan, Ibu Maria!
67.
AHLI DARI PEMOHON : MARIA R. NINDITA RADYANTI Ya, terima kasih. Saya ingin menjawab pertanyan terakhir mengenai apakah CSR yang tadi kita bahas itu sama dengan PJSL. Memang dari setiap kita membahas Pasal 74 ini, yang pertama kita bahas memang betul, apakah PJSL sama denga CSR. Apakah kalau misalnya sama kenapa tidak PJS saja ya. Betul sekali dan sempat juga dalam pembahasan-pembahasan kita akhirnya menyimpulkan bahwa sepertinya ini bukan CSR. Tapi bagaimanapun juga, ini mohon maaf karena selain CSR saya juga mendalami ilmu komunikasi, yang perlu kita perhitungkan juga adalah persepsi dari masyarakat. Pesepsi masyarakat mengatakan bahwa TJSL ini adalah CSR. Jadi kalau memang ternyata karena kita akhirnya tidak bisa memahami, tidak bisa mengambil kesimpulan, kita merasa bahwa hanya yang membuatlah yang tahu benar apakah TJSL yang dimaksud ini sebetulnya CSR atau community Development atau apa? Kita tidak tahu tapi persepsi masyarakat TJSL adalah CSR. Sehingga dengan demikian, kami merasa, mengapa konsep CSR yang ditunjukkan untuk memperlihatkan bahwa kalau memang persepsi umum TJSL adalah CSR maka CSR yang sesungguhnya adalah ini, tidak bisa hanya berbicara Comdev. Kalau misalnya memang hanya Comdev, gunakan saja community development atau pemberdayaan masyarakat. Tapi begitu kita menggunakan atau istilah atau mengatakan CSR bahaslah seluruhnya secara komprehensif dan keseluruhan. Demikian jawaban dari saya, terima kasih.
68.
KETUA : Prof.Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Baik, saya tanya ke Pemerintah dan DPR. Apakah Pemerintah dan atau DPR mau mengajukan ahli tandingan atau bisa menyimpulkan dari ini tadi yang sudah disampaikan? Kalau sudah dianggap cukup kita jadwalkan nanti untuk sidang
58
berikutnya pengucapan putusan, sesudah kesimpulan sebelum sidang untuk(...) 69.
KUASA HUKUM PEMOHON : JHON PIETER NAZAR, S.H., M.H. Ketua Majelis, mohon maaf. Tadi Ketua Majelis kalau tidak salah akan sidang berikutnya adalah putusan. Perlu kami sampaikan bahwa ada 2 ahli lagi yang perlu kami hadirkan untuk sidang berikutnya, yang saat ini tidak bisa hadir. Kemudian ada 4 saksi fakta yang juga kami hadirkan dalam persidangan berikutnya. Terima kasih.
70.
KETUA : Prof.Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Baik, jadi Pemohon masih meminta sidang lagi, tentu kita setujui, jadi untuk ahli dan saksi. Kemudian Pemerintah?
71.
PEMERINTAH : ILYAS AS’AD (DEPUTI PENATAAN LINGKUNGAN, KLH) Yang Mulia, kami akan diskusi dengan pemegang kuasa lainnya untuk membicarakan apakah kita akan mengajukan ahli atau tidak.
72.
KETUA : Prof.Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Kalau begitu sidang berikutnya karena Pemohon masih mempunyai ahli dan saksi yang harus didengar maka sidang berikutnya tanggal 18 Februari dan sebelum itu kalau Pemerintah dan atau DPR juga ingin mengajukan saksi dan atau ahli supaya memberitahu ke kepaniteraan, agar nanti pengaturan jadwalnya bisa tepat begitu. Baik dengan demikian, (...)
73.
DPR-RI:PATANIARI SIAHAN Sebelumnya, maaf supaya jelas. Mohon maaf, kami memotong kepemimpinan dari Pak Mahfud. Dari DPR kami tidak mengajukan saksi/ahli, buat kami sudah cukup, menyerahkan sepenuhnya kepada kearifan dari para Hakim Konstitusi. Sekian, terima kasih.
59
74.
KETUA : Prof.Dr. MOH MAHFUD, MD, S.H. Tinggal pemerintah nanti. Silakan diberitahu kepada Kepaniteraan, tentu kalau bisa paling tidak 3 hari sebelum tanggal 18 itu, tetapi kita jadwalkan sidang pada tanggal 18 yang akan datang. Dengan demikian sidang hari ini dinyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 13.04 WIB
60