MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 6/PUU-VI/2008 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN BUOL, KABUPATEN MOROWALI, DAN KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH (PASAL 11) TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ACARA MENDENGAR KETERANGAN AHLI DARI PEMOHON DAN AHLI DARI PIHAK TERKAIT (IV)
JAKARTA
SELASA, 8 APRIL 2008
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 6/PUU-VI/2008 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol Kabupaten Morowali Dan Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah (Pasal 11) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 PEMOHON Moch Chair Amir, dkk. ACARA Mendengar Keterangan Ahli dari Pemohon dan Ahli dari Pihak Terkait (IV) Selasa, 8 April 2008, Pukul 10.00 – 12.13 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5)
Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. Dr. Harjono, S.H., M.CL Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M. Prof. H.M. Mahfud, M.D.
Eddy Purwanto, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon : -
Alwi Daeng Liwang, S.H. Muhammad Tanjung Rizal Arwi Hamseng. B. Kuat
Kuasa Hukum Pemohon : -
Arifin Musa, S.H. Dachlan H. Dani, S.H. Damrah Mamang, S.H., M.H. A.H. Wakil Kamal, S.H..
Pemda Prov Sulteng : -
Rais Lamangkona (Asisten 1 Pemerintahan dan Pembangunan) Syahrial Labelo, S.H., M.Si (Ka. Biro Hukum Perundang-undangangan) Drs. Wimbo Haryono (Kepala Bagian Otonomi Daerah, Biro Pemerintahan)
Pemda Kab. Banggai : -
Ismail Muid, S.H., M.Si (Sekretaris Daerah, Pemda Kab. Banggai)
DPRD Kab. Banggai : -
Drs. Syamsul Rijal Poma (Sekretaris Dewan)
Pemda Kab. Banggai Kepulauan : -
Drs. Irianto Malinggo, M.M. (Bupati Banggai Kepulauan)
DPRD Kab. Banggai Kepulauan : -
Hinra Husain (Ketua DPRD Kab. Banggai Kepulauan) Sulaeman Husen, S.H., M.H. (Wakil Ketua DPRD Kab. Banggai Kepulauan) Syahroni, S.Pd ((Wakil Ketua DPRD Kab. Banggai Kepulauan) Rahman Hi. Makmur (Anggota DPRD Kab. Banggai Kepulauan) Melki (Sekretaris DPRD Kab. Banggai Kepulauan
2
Pihak Terkait : -
Herman. Taher. S.H. (Kuasa Hukum) Zainudin Soti, S.H. (Kuasa Hukum)
Ahli dari Pemohon : -
Prof. Dr. Muin Fahmal, S.H., M.H. Haliadi, S.S. M.Hum (Ahli Budaya Adat)
Ahli dari Pihak Terkait : -
Dr. Rasyid Thalib, S.H., M.Hum
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Sidang panel atau sidang panel plus Mahkamah Konstitusi dengan ini dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Sebagaimana dikemukakan status sidang ini adalah sidang panel
plus, sebagaimana lazimnya dalam sidang panel plus perkara nomor 6/PUU-VI/2008. Pertama-tama Pemohon atau memperkenalkan diri dan mengemukakan identitasnya
2.
kuasanya
KUASA HUKUM PEMOHON : ARIFIN MUSA, S.H.
Assalamu'alaikum wr.wb
Selamat Siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Ketua Majelis Anggota sidang Mahkamah Konstitusi, sidang panel plus Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pihak terkait dari pemerintah provinsi yang hadir yang kami lihat. Pihak terkait dari Pemerintah Kabupaten Banggai dan pihak terkait dari Pemerintah Kabupaten Banggai kepulauan. Pertama-tama patut kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan YME karena (...) 3.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara diminta untuk memperkenalkan diri, mengemukakan identitas, itu saja dahulu.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON : ARIFIN MUSA, S.H. Terima kasih majelis untuk memenuhi (...)
5.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Dan siapa-siapa yang hadir?
6.
KUASA HUKUM PEMOHON : ARIFIN MUSA, S.H. Pada persidangan plus hari ini tanggal 8 April 2008 pihak Kuasa Pemohon dihadiri oleh saya sendiri Arifin Musa.
4
7.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Ya, siap lagi?
8.
KUASA HUKUM PEMOHON : ARIFIN MUSA, S.H. Saudara Damrah Mamang, Saudara Dahlan H. Dani S.H, Saudara Wakil Kamal S.H. Selain Kuasa Pemohon persidangan hari ini juga hadir ahli dari Pemohon pertama Saudara Dr. Muin Fahmal, S.H. M.H, yang kedua dari ahli budaya adat Saudara Haliadi Sadi, S.S, M.Hum. Prinsipal kami selanjutnya Pemohon perorangan Saudara Alwi Daeng Liwang, S.H Pemohon pertama, Muhammad Tanjung dan Rizal Arwi dari Pemohon perorangan. Yang mewakili lembaga adat hadir pada persidangan hari ini Hamseng B. Kuat unsur yang ada dalam lembaga musyawarah adat. Barangkali untuk sementara itu yang dapat kami perkenalkan pada Majelis, terima kasih, assalamu'alaikum wr.wb .
9.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Selanjutnya pihak-pihak terkait yang hadir pada sidang panel plus pada pagi hari ini diminta memperkenalkan identitasnya.
10.
PEMDA KAB. BANGGAI : ISMAIL MUID, S.H., M.Si (SEKDA KAB. BANGGAI)
Assalamu'alaikum wr.wb
Terima kasih pada Pimpinan Majelis, saya perkenalkan nama saya Ismail Muid S.H., M.Si, kuasa dari Bupati Banggai dan di samping kiri saya adalah Drs. Syamsul Rijal Poma kuasa dari DPRD Kab. Banggai, demikian terima kasih. 11.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara pihak terkait lainnya.
12.
PEMDA PROVINSI SULTENG : RAIS LAMANGKONA (ASISTEN 1 PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN, PEMDA SULTENG)
Assalamu'alaikum wr.wb,
Salam sejahtera untuk kita semua, selamat pagi. Kami kuasa hukum dari Gubernur Sulawesi Tengah masingmasing saya Drs Rais Lamangkona, ST, jabatan Asisten Pemerintah dan pembangunan, Pemda Sulteng. Di samping kanan saya Syahrial Labelo S.H., M. Si Kepala Biro Hukum Perundang-undangan Sekda Provinsi Sulawesi Tengah, di paling ujung Drs. Wimbo Haryono Soenoko dari
5
Kepala Bagian Otononi Daerah, Biro Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah, demikian Majelis Konstitusi yang kami hormati. 13.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara pihak terkait lainnya, silakan.
14.
PEMDA KAB BANGGAI KEPULAUAN : Drs. IRIANTO MALINGGO, M.M. (BUPATI BANGGAI KEPULAUAN) Perkenankan saya memperkenalkan diri, saya Iryanto Malingo Bupati Banggai Kepulauan. kemudian sebelah kiri saya Hinra Husain Ketua DPRD Banggai Kepulauan selanjutnya Sulaiman Husen, Wakil Ketua DPRD Kab. Banggai Kepulauan kemudian dibelakang saya Syahroni S.Pd Wakil Ketua DPRD Banggai Kepulauan dan Saudara Rahman Makmur Anggota DPRD Kab. Banggai Kepulauan. Kemudian yang terakhir saudara Melki Sekretaris DPRD Kab. Banggai Kepulauan, demikian dari Pemerintah Kabupaten Banggai Kepululauan. Terima kasih Pak.
15.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara Pemohon atau kuasanya sebagaimana lazimnya Saudara diminta mengemukakan pokok-pokok permohonan. Permohonan pengujian Saudara, pokok-pokoknya saja Saudara kareana risalah itu sudah ada pada para terkait.
16.
KUASA HUKUM PEMOHON : DAHLAN. H. DANI, S.H.
Assalamu'alaikum wr.wb
Terima kasih Yang Mulia, pada permohonan pengujian undangundang ini adalah merupakan pengujian Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kab. Buol, Kab. Morowali dan Kab. Banggai Kepulauan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3900. Bahwa pasal yang diuji. Pasal 11 undang-undang tersebut berbunyi “selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak peresmian Kab. Banggai Kepulauan kedudukan ibukota dipindahkan ke Salakan. Pasal ini menurut hemat Pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena dalam struktur teknik perundang-undangan susunan pasal ini tidak wajar dan tidak lazim karena menurut hemat Pemohon pasal ini adalah pasal yang normal yang diselundupkan. Berdasarkan teknik penyusunan perundangundangan seharusnya Pasal 11 ini tidak ada, oleh karena berdasarkan
6
penyusunan perundang-undangan tidak wajar maka dapat kita cari, kita telusuri dalam sejarah pembentukan Pasal 11 ini. Ternyata Pasal 11 ini baik dalam aspek filosofis tidak mempunyai dasar, jadi Pasal 11 ini tidak mempunyai akar filosofis karena pada hakekatnya tidak didasarkan pada kebenaran dan keadilan. Juga Pasal 11 ini tidak punya akar yuridis karena sama sekali Pasal 11 didasarkan kepada perubahan perundang-undangan yang berlaku, karena proses pengusulannya ini Pasal 11 tidak ada dalam proses pengusulan baik dari masyarakat Banggai yang tertuang dalam masyarakat adat Banggai yang kemudian secara politis, aspirasi tersebut melalui DPRD Kabupaten Banggai dan kemudian telah diputuskan bahwa pemekaran Kabupaten Kepulauan Banggai beribukota di Banggai. Kemudian demikian juga DPRD Provinsi Sulawesi Tengah juga memutuskan pemekarannya dengan ibukota Banggai dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan departemen dalam negeri melalui studi kelayakan menunjuk dan merekomendasikan Kabupaten Banggai. Dengan demikian secara filosofis, yuridis, politik dan sosial budaya ekonomi pasal ini tidak punya ruh sehingga dengan demikian tidak absah secara yuridis berdasarkan atas rechmatig. Kemudian setelah berjalan pasal ini lebih dari lima tahun selambat-lambatnya dalam jangka lima tahun lebih diperparah lagi yang mulia. Setelah lima tahun pasal ini sudah menjadi mayat, sudah tidak mempunyai nilai, dia tidak laku, efikasi. Kenapa? Karena selama lima tahun ini juga pasal ini. Kemudian setelah tujuh tahun pasal ini dicoba diterapkan atas nama undang-undang, Bupati Banggai Kepulauan mencoba memindahkan ibukota Banggai Kepulauan dari Banggai ke Salakan. Walaupun sampai hari ini ternyata bupati juga dalam keputusan-keputusannya masih secara administratif menunjuk Banggai sebagai ibukota Banggai Kepulauan. Begitulah yang mulia, jadi selambatlambatnya dalam jangka waktu lima tahun ini juga sudah tidak berlaku. Dengan demikian jelas-jelas pasal ini adalah pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1) yaitu kepastian hukum yang adil, sehingga bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945. Oleh karenanya mohon pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena saya yakin bahwa putusan Mahkamah ini adalah solusi tidak menimbulkan huru-hara sebagaimana telah terbukti Pasal 11 ini telah menimbulkan huru-hara karena tidak menjamin kepastian hukum yang adil itu. Terima kasih yang mulia. 17.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Sebelum mendengar keterangan ahli yang bakal didengar, pertama-tama akan disumpah. Dan saya lihat pihak terkait juga dikandung maksud untuk mengajukan ahli, siapa itu?
7
18.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : ZAINUDDIN SOTI, S.H. Terima kasih Majelis yang mulia. Tadi sebenarnya kami Kuasa dari pihak terkait tapi tidak diberikan kesempatan untuk memperkenalkan diri. Pada kesempatan ini kami memperkenalkan diri, saya Zainuddin Soti, S.H., kuasa dari pihak terkait, sebelah kanan saya Herman Taher, S.H., Kuasa dari pihak terkait dan sebelah kiri saya, ahli dari kami yaitu Dr. Rasyid Talib, S.H., M.Hum. Sebenarnya dari kami ada dua ahli yang kami ajukan yaitu Prof. Dr. Sapri Nugraha, S.H., tetapi beliau ada kepentingan di luar negeri, beliau tidak bisa hadir pada hari ini tapi ada memberikan keterangan pendapat hukum secara tertulis, mungkin akan kami bacakan nanti. Terima kasih yang mulia.
19.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Sebelum itu, sidang panel khusus akan mengemukakan bahwa pihak DPR dan pihak Pemerintah tidak hadir pada sidang ini. Tapi telah memasukkan keterangan tertulis. Saudara-Saudara Ahli yang bakal didengar harap tampil ke depan. Semuanya beragama Islam? Silakan. Penyumpahan akan dipandu oleh Hakim Konstitusi Prof. Natabaya.
20.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. Ikuti lafal sumpah yang saya ucapkan. “Demi Allah, saya bersumpah sebagai ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
21.
AHLI : Prof. Dr. MUIN FAHMAL, S.H., HALIADI, S.S., M. Hum., Dr. RASYID THALIB, S.H., M. Hum “Demi Allah, saya bersumpah sebagai ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
22.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : ZAINUDDIN SOTI, S.H. Mohon maaf yang mulia, kami sesungguhnya juga dalam pengajuan ahli dari awal juga sudah mengajukan Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.H., dan kali ini juga hadir yang mulia. Apakah diizinkan untuk memberikan juga supaya lebih lengkap kita karena memang kami sudah ajukan beberapa kali curriculum vitae-nya ke Panitera
23.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Persidangan pleno memutuskan sebaiknya dua ahli saja.
8
Baiklah, Saudara Pemohon atau kuasanya yang bakal mengajukan ahli supaya menuntun pertanyaannya. Apa-apa saja yang bakal diajukan oleh ahli guna meyakinkan sidang panel—Ahli dari Pemohon. Saudara ahli diminta kalau bisa silakan juga menggunakan podium, berdiri di podium kalau mau. 24.
KUASA HUKUM PEMOHON : ARIFIN MUSA, S.H. Majelis yang mulia, karena ada dua saksi maka mohon kami minta perkenan Majelis yang mana yang kami (...)
25.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara bukan saksi dan bukan saksi ahli. Tatkala beracara di Mahkamah Konstitusi Saudara adalah ahli saja.
26.
KUASA HUKUM PEMOHON : ARIFIN MUSA, S.H. Kami mohon perkenan ada ahli dari adat yang kami (...)
27.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Silakan.
28.
AHLI DARI PEMOHON : HALIADI, S.S., M. Hum Sidang panel khusus yang kami muliakan, Yang Mulia yang saya hormati. Kesaksian masyarakat adat Banggai atas munculnya Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1999. Masyarakat adat Banggai dan perangkat adat sejak abad XI hingga abad XX ini diakui kebenarannya dan eksis sampai sekarang dan memiliki wilayah adat, pelaku adat, aturan-aturan adat yang disepakati oleh masyarakat di dalam dewan adat yang di Banggai disebut Basalo Sangkap. Berdasarkan kenyataan sejarah yang saya sampaikan dari abad XI sampai abad XX, kenyataan membuktikan bahwa ibukota Banggai sebagai pusat peradaban dan kebudayaan. Pusat peradaban adalah menuju kepada sistem cipta rasa dan karsa masyarakat Banggai. Kebudayaan menunjuk kepada wujud cipta, rasa dan karsa masyarakat Banggai yang bisa kita lihat di seluruh wilayah adat Banggai. Dengan munculnya Pasal 11 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999, kebudayaan masyarakat Banggai mengalami kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hak-hak tradisionalnya dan melanggar kesepakatan bersama masyarakat adat dan pemerintah sewaktu
9
perjuangan pemekaran Banggai Kepulauan yang meminta ibukota di Kota Banggai. Sejak dulu masa kerajaan hingga masa Hindia Belanda saya mengutip masa Hindia Belanda, bahwa posisi kota Banggai sebagai wilayah pemerintahan kota praja atau kotamadya yang kita kenal sekarang ini. Dan wali raja, kedudukan wali raja atau kedudukan Ibukota daerah kabupaten yang kita kenal sekarang. Hal ini berlaku sampai 1908 kemudian waktu masa zaman Jepang dipindahkan ke Luwuk, tetapi waktu dipindahkan ke Luwuk, Banggai tetap diakui sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Banggai terutama Dewan Adat Basalo Sangkat. Dewan Adat Basalo Sangkat yang memiliki wilayah adat telah ada aturan adat serta ketua adat ini diakui oleh Dr. J.J Dormer dalam bukunya ”mengais adat rech,” saya bawa buku ini ada enam jilid yang membuat Dr. J.J Dormer ini menjadi seorang dokter yang profesional di bidang adat, ini masih bahasa Belanda dan bukunya ”Khasmundika” yang baru terbit kemarin, ini juga saya bawa. Banggai Darussalam mengatakan bahwa “Adat Basalo Sangkat sejak berdiri kerajaan Banggai sampai sekarang masih diakui, kemudian catatan makalah saya yang saya sampaikan pada seminar di Banggai awal Desember 2007. Ibukota Banggai yang berkedudukan di Pulau Banggai pada masa Jepang dipindahkan ke Luwuk tetapi kemudian rakyat Banggai Kepulauan berjuang sejak tahun 1963 atau sejak perjuangan kemerdekaan hingga tahun 1999 mengenai daerah-daerah otonomi Banggai Kepulauan sebagai kabupaten dengan ibukota di Banggai dan baru terkabul sejak munculnya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999. Namun di dalam undang-undang itu muncul bahwa ibukota peradaban atau ibukota Kabupaten Banggai dipindahkan ke Salakan sebagai ibukota Kabupaten. Dengan demikian peradaban dan kebudayaan yang dikembangkan oleh dewan adat yang memiliki wilayah adat, pelaku adat, peraturan adat semakin dikatakan agak menurun statusnya sebagai pusat peradaban. Padahal negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dengan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang. Jadi munculnya Pasal 11 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 ada indikasi perlakuan tidak mengakui dan menghormati hak tradisional masyarakat Banggai sebagai suatu masyarakat adat yang diakui dari Banggai hingga ke negeri Belanda. Kerugian hak tradisional antara lain kelihatan pada : Pertama, adanya perlakuan tidak mengakui dan menghormati sistem peradaban dan masyarakat Banggai yang berpusat di kota Banggai karena secara sosial kultural dan historis maupun adat istiadat kebanggaian. Bentuk tradisi tanah Belukan tidak lagi mendapat pengakuan hak tradisional sebagai satu sumber falsafah hidup maupun sumber etos kerja Masyarakat Banggai dalam perspektif budaya, sebagaimana yang berlaku selama ini secara turun temurun sejak abad
10
ke-11 hingga kini. Kemudian simbol peradaban dan kebudayaan seperti adat bersendi sara, bersendi adat, ini adalah simbol dari sejak Banggai berdiri sampai sekarang sebagai sebuah dan atau satu-satunya simbol identitas kultural dan adat istiadat tidak diperhatikan lagi sebagai hak tradisional masyarakat Banggai oleh Pasal 11 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tersebut. Selanjutnya perbedaan nama-nama pulau, perbedaan suku yang ada di Banggai yang kurang lebih delapan atau lebih disatukan oleh istilah-istilah adat yang selama ini diagungagungkan oleh masyarakat Banggai. Tanah Bukuno atau tanah tumbuno yang berarti yang empunya tanah. Jadi siapa masyarakat yang tinggal di Banggai mengakui bahwa dirinya adalah yang empunya tanah dan menjadi pewaris peradaban dan kebudayaan Banggai. Bagi semua masyarakat Banggai juga tidak seperti masa lalu cemerlang yang terbukti dengan munculnya kasus terbunuhnya 4 orang anak Banggai pada tragedy 28 Februari 2007 sebagai akibat pemindahan ibukota. Kedua, wujud kebudayaan yang berpusat di Banggai yang mencerminkan identitas budaya masyarakat Banggai dan hak tradisionalnya yang dihormati selaras dengan perkembangan zaman. Hal ini kelihatan pada tidak dikembangkannya struktur kerajaan sebagai wujud kebudayaan dan manifestasi struktur pemikiran masyarakat Banggai, yang mulia, yang saya hormati. Struktur adat Banggai terdiri dari Basalo Sangkat kemudian Temundo atau Nian Tungku sebagai raja, kemudian ada Kale, kemudian ada Komisi Ampa yang terdiri dari Jogogotua dan Kapitan Lau, Nian tuku yang terdiri dari Basa’an liang Pala Batu dan Likuadino, Imam Baginsa sebagai kepala imam, Gimalaha, Babasal sebagai wilayah adat. Basalo yang terdiri dari wilayah Tinangkung Bulage, ini Balanta ini yang mulia adalah sudah berada di Kabupaten Induk, Kabupaten Banggai sekarang ini. Dan Bosanyo Luwuk Kinto Buta yang berada di kabupaten Induk. Tetapi mereka masih mengakui bahwa pusat peradaban Banggai itu adalah berada di Kota Banggai. Harus menjadi sumber inspirasi etos kerja masyarakat Banggai. Padahal dalam struktur menurut perspektif budaya selalu menjadi sumber inspirasi sebuah peradaban dan kebudayaan atau dikenal dengan the saint of kongkrit. Ilmu pengetahuan praktis yang diperoleh dari perspektif budaya untuk kepentingan aspek budaya, ekonomi, sosial, kebudayaan dan politik. Sekali lagi termasuk politik yang menjadi semacam kopkiu, kekuatan sosio kultural atau kekuatan sosio, daya masyarakat Banggai yang harus dipelihara dan dikembang-kembangkan. Terakhir implikasi dipindahkannya ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke salakan sebagaimana Undang-ndang Nomor Thun 1999 Pasal 11 berdampak pada adanya konflik komunal dan kekerasan kolektif. Menurut perspektif budaya antropologi termasuk kajian sejarah konflik komunal menunjuk kepada perbedaan-perbedaan sistem dan cara berpikir dan bertindak dalam melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Termasuk kegiatan sosial, kegiatan budaya, kegiatan ekonomi dan termasuk kegiatan politik. Kekerasan kolektif menunjuk
11
kepada tindakan-tindakan destruktif dan kriminal dalam masyarakat sebagai contoh penembakan beberapa orang aktivis. Akibat dari keadaan itu Dewan Adat banggai atau Basalo Sangkap dan atau Lembaga Masyarakat Adat Banggai kehilangan kesempatan untuk mengembangkan sistem peradaban dan perwujudan kebudayaan masyarakat Banggai Adanya indikasi adanya perlakuan bersifat tidak mengakui hak-hak tradisional sesuai dengan perkembangan masyarakat atas dasar sosio kultural pada masyarakat adat Banggai di kota Banggai sebagai pusat dewan adat yang disebut Basalo Sangkap yang berlaku sebagai pusat peradaban kebudayaan masyarakat Banggai dari masakemasa. Terima kasih yang mulia 29.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Sebelum mengajukan pertanyaan kepada ahli pertama sebaiknya kita mendengar juga keterangan ahli yang kedua yang diajukan Pemohon setelah itu diajukan pertanyaan, silakan.
30.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. MUIN FAHMAL, S.H.
Bismillahirrahmanirahim, assalamu’alaikum wr.wb.
Majelis sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang dimuliakan oleh Allah SWT. Sesuai dengan surat Mahkamah Konstitusi nomor 175.6/MK/III/2006, hal persidangan pleno mendengar keterangan ahli atas Perkara Nomor 6/PUU-VI/2008 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 atas perkenaan Majelis Hakim Yang Mulia, izinkanlah sejenak memperkenalkan diri saya. Nama saya semula A. Muin Fahmal, kemudian menjadi Prof. Dr. A Muin Fahmal, S.H., M.H. Pekerjaan adalah guru besar dalam bidang hukum tata negara dan hukum administrasi negara pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makasar, alamat Jalan Resin Center Blok A3 Nomor 4 Kompleks Mustika Mulia Makasar. Mengawali pandangan hukum kami ini, akan diuraikan beberapa hal yang pertama kasus posisi, tadi telah dikemukakan oleh Pemohon untuk kesempatan ini saya tidak baca meskipun sudah saya tulis untuk diserahkan sebentar. Akan tetapi isu hukum pertama dalam kasus ini adalah konflik norma yaitu pertentangan antar norma Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 Undang-Undang A quo, ataukah dengan kata lain perencanaan pemindahan ibukota kabupaten Banggai dari Banggai ke Salakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan isu hukum ini disusun pendapat, pendapat hukum sebagai berikut: Perihal dasar hukum, nyata dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Pasal 28I ayat
12
(3) UUD 1945, Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 yang berkaitan dengan persoalan Konstitusi. Kemudian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 pada Pasal 10 ayat (3) ibukota kabupaten Banggai Kepulauan berkedudukan di Banggai ibukota Banggai Kepulauan berkaitan erat dengan konsideran menyumbang sebagai wujud dan landasan filosofi dan sosiologis pada huruf A dan B yaitu memperhatikan aspirasi masyarakat. Luas wilayah, potensi ekonomi dan budaya sosio politik dipandang perlu membentuk Kabupaten Banggai Kepulauan sebagai perkembangan dari Kabupaten Banggai. Pada Pasal 24 ketentuan lebih lanjut diatur sebagai pelaksanaan undang-undang ini diatur sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Majelis yang mulia, saya ingin mengemukakan ketentuan tersebut di atas berarti harus ada ketentuan lain selain daripada UndangUndang A quo, namun daripada ketentuan lain dimaksud sampai dewasa ini belum pernah ada dengan demikian ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan yang sah sampai dewasa ini adalah Banggai. Hal-hal tersebut berarti pula adalah banggai adalah segala upaya atau perbuatan nyata, pemindahan ibukota Banggai Kepulauan dari Banggai adalah melanggar hukum yang berati pula dilanggarnya hak konstitusional Pemohon. Satu-satunya dalil yang digunakan Bupati Banggai adalah pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang A quo karena itu menurut pendapat hukum kami adalah satu-satunya cara untuk memulihkan hak konstitusional Pemohon yang dijamin UUD 1945 dan dilanggar atas dasar Pasal 11 Undang-Undang A quo, Mahkamah Konstitusi harus membatalkan Pasal 11 Undang-Undang A quo. Yang berikutnya, yang ketiga adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dicabut dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 5 dinyatakan ayat (3) dinyatakan “perubahan atas yang tidak mengakibatkan suatu daerah perubahan nama daerah serta perubahan nama dan pemindahan ibukota daerah serta ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Hal inipun belum pernah kita mendengar adanya peraturan pemerintah tentang hal ini. Kemudian Pasal 5 ayat (1), ayat (3), ayat (4). Dalam Pasal 2 dikatakan harus untuk pembentukan daerah harus dengan persetujuan DPRD, kemudian dalam ayat (3) dikatakan syarat teknis syarat dimaksud pada ayat (1) meliputi adalah sosial politik dan keamanan. l Ayat (5) bahwa syarat fisik meliputi paling sedikit 5 kecamatan dan untuk pembentukan kabupaten, lokasi calon ibukota sarana dan prasarana pemerintahan. Majelis yang terhormat, saya ingin mengemukakan pandangan saya bahwa persetujuan DPR sebagaimana ayat (3) tersebut di atas berarti kalimat itu adalah fotografi yang artinya tidak dapat diubah kecuali DPR itu sendiri. Selanjutnya pada kata sosio dan politik pada ayat (3) sudah pasti dapat dimengerti oleh pembentuk Undang-Undang A quo bahwa
13
penetapan Pasal 11 Undang-Undang A quo menimbulkan ketidak amanan, perpecahan dalam masyarakat. Hal mana justru pertentangan dengan kearifan budaya yang terpelihara di Banggai Kepulauan melalui lembaga adat. Dengan demikian sangat nyata merugikan hak konstitusional Masyarakat Adat Banggai. Demikian pula kata syarat lokasi calon ibukota sebagaimana termaktub di dalam ayat (5) tersebut di atas juga bermakna hukum bahwa tidak dapat diubah sedangkan kata syarat, sarana dan prasarana pemerintahan harus dimaknai secara hukum bahwa norma tersebut adalah hak konstitusional rakyat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh DPR, sebagaimana upaya untuk menentukan kesejahteraan masyarakat melalui upaya efisiensi, karena di sana telah tersedia berbagai sarana untuk itu. Kemudian pada Pasal 6 perihal asas perundang-undangan, asas isi disebutkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mengandung asas antara lain pengayoman, kesamaan, kedudukan, dalam hukum, ketertiban dan kepastian hukum. Majelis Hakim yang mulia, kata pengayoman tersebut di atas bermakna yuridis bahwa menumbuhkembangkan penilaian yang tumbuh di masyarakat dalam hal ini lembaga adat yang dijamin oleh UUD 1945 hal mana nyata-nyata dilanggar oleh ketentuan Undang-Undang A quo khususnya pada Pasal 11 Undang-Undang A quo. Sedangkan kata ketertiban dan kepastian hukum menunjukkan bahwa keadaan tersebut menjadi lawan daripada ketertiban, bahkan menimbulkan ketidakpastian hukum yang sesungguhnya menjadi kewajiban pembentuk undang-undang dalam hal ini pembentuk UndangUndang Nomor 51 Tahun 1959 khususnya Pasal 11 Undang-Undang A quo. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 sebagaimana dirubah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, juga telah mempertegas maksud pada ayat (7) telah mempertegas maksud di atas. Kemudian pada Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (2) menyatakan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya satu ibukota. Bapak-Bapak sekalian surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banggai telah nyata-nyata menyebutkan mempertimbangkan bahwa berdasarkan pendapat adat dan pada akhirnya menetapkan bahwa Banggai sebagai ibukota. Atas dasar norma di atas maka sungguhsungguh adalah pengakuan masyarakat Banggai Kepulauan terhadap lembaga Adat Banggai Kepulauan karena itu siapapun tidak dapat mendelegitimasi keberadaan lembaga adat tersebut sebab lembaga adat tersebut adalah legal dan legitim serta diakui dan dijamin keberadaannya pada Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 28A sampai Pasal 28I khususnya pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Kemudian Keputusan DPRD Kabupaten Banggai juga secara nyata-nyata menyebut ibukota adalah Banggai, keputusan DPR Kabupaten Banggai juga secara nyata-nyata menyebut Ibukota adalah
14
Banggai, Keputusan DPR Propinsi Sulawesi Tengah juga nyata-nyata mengusulkan dan menetapkan Banggai sebagai ibukota, kemudian surat Gubernur juga nyata-nyata menyebutkan Banggai sebagai Ibukota, surat lembaga adat memberi dukungan kepada Pemerintah dan menganggap bahwa usulan-usulan sungguh-sungguh adalah usulan yang sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat. Mencermati rangkaian proses hukum yang akurat dari komponen yang kompeten sebagai syarat administratif untuk pemekaran suatu wilayah kabupaten dan penentuan ibukota kabupaten, kabupaten baru Kabupaten Banggai menjadi Kabupaten Banggai Kepulauan sebagaimana tampak pada poin satu dan sampai poin 10 yang terurai di atas tersebut maka tidak boleh tidak harus dimaknai bahwa ketentuan Pasal 11 Undang-Undang A quo sungguh tidak aspiratif bertentangan dengan Undang_Undang Dasar Negara RI 1945 khususnya Pasal 1 ayat (2) Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Dalam perspektif format maka norma Pasal 11 Undang-Undang A quo bukanlah substansi pasal undang-undang. Jika seandainya norma tersebut adalah norma normal, maaf jadi saya menganggap tidak normal. Norma normal maka tempatnya adalah ayat, setidaknya adalah ayat (4) dari Pasal 10 Undang-Undang A quo ataukah ditetapkan pada ketentuan peralihan, dengan demikian semakin nyatalah bahwa Pasal 11 Undang-Undang A quo tersebut adalah Pasal “kutu loncat” yaitu pasal yang tidak diminta dan tidak dibutuhkan oleh yang berwenang dalam hal ini masyarakat Banggai Kepulauan secara menyeluruh melalui lembaga adatnya, perwakilan konstitusionalnya dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah atas nama seluruh rakyat Kabupaten Banggai dan atas nama seluruh rakyat Kabupaten Banggai dan atas nama seluruh rakyat Sulawesi Tengah melalui DPR dan melalui Kabupaten DPRD dan Provinsi Sulawesi Tengah. Substansi norma pada Pasal 11 Undang-Undang A quo sesungguhnya tidak diturunkan dari falsafah pada konsideran UndangUndang A quo akibat daripada itu, maka pemuatan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang A quo tersebut mencederai Masyarakat Adat Banggai Kepulauan berupa kerugian inmateriil dalam bentuk tekanan psikologis. Uraian di atas diturunkan dari isu hukum yaitu isu hukum, kemudian kami uraikan kembali dalam bentuk analisa. Ada tiga isu hukum yang saya sampaikan, yang pertama, apakah ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan yang berkedudukan di Banggai dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1959 menyalahi atau mengabaikan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan junto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kedua, apakah konflik norma antara ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang A quo bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo. Pasal 5, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan sendirinya bertentangan
15
dengan pula dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1), Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Jo. Pasal 18, Pasal 18B ayat (2) Pasal 28I ayat (3) UUD Negara RI 1945 dan merupakan kewenangan Konstitusi Mahkamah Konstitusi. Kemudian isu hukum yang ketiga, apakah hubungan antara perpindahan ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke tempat lain ke Salakan bertentangan dengan atau merugikan hak-hak tradisional masyarakat adat Banggai Kepulauan yang diakui dan dihormati oleh negara sebagai hak konstitusional menurut Pasal 18B ayat (2) jo. dengan Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Analisis dari empat isu hukum tersebut di atas terhadap isu pertama hendaknya dicermati konsideran menimbang huruf b dan c Undang-Undang 51 Tahun 1999 dengan merujuk dasar hukum tersebut di atas berarti jelas bahwa ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan adalah di Banggai sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (3) undang-undang a quo, tidak menyalahi atau tidak bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Dengan Pasal 5 Undang-Undang 32 Tahun 2004 jo. dengan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004. Yang kedua terhadap itu yang kedua. Dengan berpegang pada asas referensi lex speciali lex apriori generalis derogat priperi yang berarti bahwa dalam hal ini ketentuan yang lahir kemudian yang generalis tidak mengalahkan ketentuan yang lahir sebelumnya. Dalam perspektif ini maka Pasal 11 undang-undang a quo harus dipahami sebagai pasal general dan Pasal 10 ayat (3) harus dipahami sebagai pasal khusus yang berlaku secara normatif. Majelis Hakim yang terhormat Ketentuan Pasal 10 ayat (3) undang-undang a quo justru telah mengatur ketentuan hukum secara tegas sebagai norma khusus lex specialis bahwa ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan adalah berkedudukan di Banggai maka untuk menyelesaikan konflik norma khususnya yang berkaitan dengan pemindahan ibukota dikaitkan dengan ketentuan Pasal 11 undang-undang a quo lex generale maka Pasal 11 undang-undang a quo menjadi gugur atau tidak diterapkan karena norma Pasal 10 undang-undang a quo jelas-jelas menegaskan bahwa ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan berkedudukan di Banggai atau dengan kata lain Pasal 11 undang-undang a quo hanya bisa dinyatakan berlaku sepanjang tidak diatur secara tegas pada Pasal 10 ayat (3) undang-undang a quo. Jadi menurut pandangan hukum kami ketentuan Pasal 11 undang-undang a quo yang didalihkan menjadi gugur atau tidak ditetapkan karena norma Pasal 11 undang-undang a quo hanya berlaku sepanjang tidak diatur secara tegas ibukota Kabupaten Banggai di Banggai. Dengan ketentuan tersebut, jelas bahwa pengaturan tentang ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan berarti pelaksanaan undangundang tersebut tunduk pada Pasal 10 ayat (3) undang-undang a quo karena itu dasar yang terkandung di dalam Pasal 10 ayat (3) undangundang a quo adalah ide yang diturunkan dari Pasal 1 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18B ayat (3), Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
16
Dengan demikian pelaksanaan pemindahan penetapan Pasal 11 undang-undang a quo tanpa memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) undang-undang a quo dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang ketiga, terhadap isu yang ketiga karena keberadaan dan pelaksanaan materi Pasal 11 undang-undang a quo dipaksakan oleh Pemerintah maka jelas Pemerintah melanggar pengakuan dan penghormatan hak tradisional masyarakat termasuk masyarakat adat Banggai dan dengan sendirinya bertentangan pula dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 18I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Majelis Hakim yang terhormat, Hak-hak tradisional yang menjadi ide dasar disepakatinya Banggai sebagai ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan maka masyarakat adat Banggai Kepulauan mengalami kerugian nyata khususnya dalam aspek fisikologis. Kami mengakhiri pandangan ini, pandangan hukum ini sambil menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan konstitusionalnya sebagai penjaga Konstitusi adalah sangat berwenang melindungi hak konstitusional in casu hak konstitusional masyarakat adat Banggai akibat dari perbuatan pembentukan undang-undang a quo yang bertentangan dengan prinsip masyarakat. Implikasinya merugikan hak konstitusional masyarakat yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 sebagai terurai pada poin 1 sampai 10 di atas. Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih memperkuat prinsip konstitusionalisme, demokrasi dan penghargaan kepada hak-hak asasi manusia karena memang pengadilan di Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan hukum dan politik, untuk itu menurut pandangan hukum kami adalah hak konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa perbuatan legislatif yang secara potensil akan menimbulkan kerawanan politik dan kerawanan sosial sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan demikian pula bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pendapat hukum kami semoga ada manfaatnya, wa
billahi taufiq wal hidayah. Wassamu’alaikum wr. wb.
31.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara Pemohon, saya ingin pendapat Saudara apakah tidak sebaiknya sebelum mendengar kedua ahli yang diajukan Saudara kita juga memberi kesempatan kepada ahli dari pihak terkait sehingga berjalan efektif. Baiklah, Saudara Kuasa dari pihak terkait Saudara dipersilakan naik pentas. Silakan. Ahlinya, ahlinya!
17
32.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT : Dr. RASYID THALIB, S.H., M.Hum
Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamu'alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera, Yang terhormat Bapak hujjatul ‘ilm seluruh Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Dengan tidak mengurangi ucapan syukur kehadirat Allah SWT bahwa saya pada hari ini diberi kesempatan di depan Majelis Hakim untuk memberi keterangan ahli saya di dalam melihat hak uji terhadap Undang-Undang Nomor 51. Pertama-tama atas nama Allah SWT saya memberi beberapa keterangan ahli, saya memperkenalkan diri saya. Saya adalah Dr. Rasyid Thalib, S.H., M.H. mantan anggota Komisi Konstitusi MPR sekaligus sekarang menjadi anggota pusat lembaga kajian Konstitusi yang diketuai oleh Pak Srie Soemantri. Kemudian juga saya staf khusus Gubernur Sulawesi Tengah bidang otonomi daerah, pemberantasan korupsi, dan pemberantasan hukum. Itu adalah background saya, saya adalah dosen tetap di Universitas Tadualako. Baiklah, kurang lebih ada tujuh poin untuk melihat UndangUndang 51, saya hanya menggiring diri saya khususnya berdasarkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi, satu adalah menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, jadi saya hanya melihat ke situ saja. Kemudian yang kedua saya tidak mau menggiring ke wilayah walaupun Mahkamah Konstitusi punya kewenangan untuk menilai wilayah politik, tapi juga bisa menggiring wilayah politik menjadi wilayah hukum. Pertama izinkanlah saya berdasarkan di Undang-Undang Dasar 1945 ketika mengkaji Undang-Undang Dasar 1945, ada dua hubungan kedaulatan dan di situ sudah muncul dalam putusan-putusan di Mahkamah Konstitusi. Jadi dengan adanya Mahkamah Konstitusi sudah jelas rekonsiliasi tentang apa sih perbedaan antara lembaga negara, lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan organ konstitusi yang selama ini tidak bisa dibenahi di dalam sistem di perguruan tinggi maupun di dalam level-level disiplin ilmu. Baik ilmu disiplin perbatasan di luar ilmu hukum yaitu ilmu pemerintahan maupun di dalam sistem hukum itu sendiri. Karena kami lihat di Mahkamah Konstitusi hampir semua hakimnya saya lihat penulis, begitu juga Bapak Prof. Dr. Mahfud M.D. yang baru bertugas saya ucapkan selamat datang di Republik Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal. Di mana Mahkamah Konstitusi sudah membangun opini pertama bahwa Mahkamah Konstitusi itu adalah pengawal Konstitusi. Pertanyaannya sekarang ketika Undang-Undang Dasar 1945 kami kaji di Komisi Konstitusi dulu ternyata yang mau dibenahi itu adalah ada semacam rekonstruksi atau direkayasa kembali yang disebut dengan lembaga negara dengan organ Konstitusi. Dulu organ Konstitusi tidak dipisahkan, semua disebut dengan lembaga
18
negara. Sekarang parameternya dimana organ konstitusi dengan lembaga negara organ pemerintah? Karena di dalam literatur yang kita baca selama ini, itu tidak jelas nampak di situ. Kalau kita lihat parameternya cuma satu. Ada hubungan kedaulatan dan ada hubungan kerja. Kalau semua dipilih rakyat dan semua mewakili rakyat, itu adalah hubungan kedaulatan. DPR dipilih oleh rakyat, DPD dipilih oleh rakyat, Presiden dipilih oleh rakyat. Pemerintah daerah yang terdiri dari gubernur dan DPR-nya dipilih oleh rakyat. Mahkamah Konstitusi tidak dipilih oleh rakyat. Di dalam konsep Negara Jerman (...) 33.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara Ahli, dengan tidak mengurangi penghormatan saya kepada Anda, Anda kembali kepada pokok masalah atau pokok persoalannya.
34.
AHLI PIHAK TERKAIT : Dr. RASYID THALIB, S.H., M.Hum Terima kasih Bapak Ketua. Jadi sebelum masuk kenapa, karena di situ ada unsur pemerintah daerah maksudnya, jadi penjelasan bahwa ada namanya organ Konstitusi yaitu pemerintah daerah, bagian dari organ, tapi buka lembaga negara. Jadi organ Konstitusi adalah DPR, DPD, Presiden, kemudian pemerintah daerah dan Mahkamah Konstitusi. Tapi empat itu menjadi lembaga negara tapi satu tidak menjadi lembaga negara, tetap bergeser sebagai organ Konstitusi. Karena DPRD, pemerintah daerah yang dipilih langsung oleh rakyat juga dia punya hak hubungan kedaulatan. Jadi parameter melihat untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar hanya satu yaitu hubungan kedaulatan, bukan hubungan kerja, itu prinsip saya. Kemudian yang kedua, saya berangkat dari wewenang Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 50 ayat (3) bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengatur tentang proses dan prosedur undang-undang dan kedua yaitu berkait dengan isi pasal dan bab. Kala kita bedah dari legal drafting di Undang-Undang Dasar 1945, karena saya tidak mau menyamping menguji undang-undang terhadap undang-undang yang lain saya tidak mengiring ke sana Mahkamah Konstitusi itu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 di dalam Pasal 5, Pasal 18, dan Pasal 20 itu hanya mengatur tentang bentuk, mengatur proses, dan prosedur membuat undang-undang kemudian bentuk dan susunan undang-undang tidak diatur secara detail. Diberi kewenangan kepada DPR. Sedangkan metode dan isinya itu tidak diberi, diatur di dalam Undang-Undang Dasar. Diberi kepada DPR dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan lain, itu yang kedua. Kemudian kalau kita lihat di dalam legal drafting, sebenarnya di Undang-Undang Nomor 51, di undang-undang bisa kita lihat ada draft
19
yang disebut dengan alasan menimbang, dengan alasan mengingat. Itu secara teoritis yang saya temukan di ajaran-ajaran dan guru besar yang mengajar saya termasuk lima Hakim Konstitusi yang ada di hadapan saya. Alasan menimbang itu adalah alasan politis, sedangkan alasan mengingat itu adalah alasan hukum. Alasan politis itu berkait dengan delictmatig, tujuan yang dicapai, sedangkan alasan mengingat itu berkait dengan rechtmatig dan wetmatig-nya, sah dan sesuai dengan undangundang. Itu dua. Di dalam legal drafting Undang-Undang Nomor 51 sudah mencantumkan hal itu alasan politis sudah tercermin dan alasan hukum sudah tercermin. Alasan politis di dalam konsep dia mengikat itu adalah kekuatan rilnya, sedangkan hukum yang mengikat adalah normanya. Kalau hukum tidak punya norma berarti hukum itu tidak ada artinya. Makanya di Undang-Undang 51. Kemudian berkait dengan alasan meninggal (menimbang-red) di Undang-Undang 51, kalau kita mau bedah di legal drafting-nya. Kemudian karena di dalam hukum ada namanya ilmu perundangan, teknik perundangan dan praktisnya, orang bilang teoritisnya, ilmunya dengan alatnya. Alat hukum sekarang yang kita mau bedah, yaitu yang namanya undang-undang. Di dalam Pasal 51, di Undang-Undang 51 sudah jelas judulnya. Itu judulnya adalah UndangUndang Pembentukan Kabupaten Morowali, Banggai Kepulauan, Buol. Jadi undang-undang pembentukan, bukan undang-undang tentang pemindahan. Karena baru mau dibentuk harus jelas normanya. Norma yang dimuat di dalam Pasal 10 dengan norma di Pasal 11 itu sudah jelas normanya adalah norma tertutup. Tidak bisa ditafsir oleh ilmu tafsir dan tidak bisa diinterpretasi oleh ilmu interpretasi. Ilmu tafsir lebih banyak tunduk ke hukum-hukum logika dan hukum bahasa, sedangkan ilmu interpretasi lebih banyak tunduk ke hukum-hukum bahasa. Kalau di Undang-Undang Nomor 51 Pasal 10 ke 11 dalam legal drafting tidak ada norma penghubung di situ. Dicantumkan di Bab II pembentukan dan ibukota kabupaten, itu Bab II Undang-Undang 51, bukan mengatur tentang pemindahan. Karena pembentukan normanya makanya tidak bisa ditafsirkan, karena di dalam hukum disebut dengan closed norm. Kalau Profesor Laica bilang closed norm, kalau Profesor Mukthie Fadjar bilang closed norm, norma tertutup yang tidak bisa ditafsir dan tidak bisa diinterpretasi. Kalau kita misalnya saya mencoba menggunakan interpretasi logika Bollean tidak ada norma penghubung antara norma Pasal 10 dengan nomor 11, tidak ada norma penghubung. Dalam legal drafting kalau menentukan suatu perubahan harus ada norma penghubung, tapi tidak norma penghubung. Kalau kita menggunakan logika proposisi. Di dalam logika proposisi, di dalam ilmu intepretasi maupun ilmu tafsir yang tunduk ke hukum-hukum bahasa dan ilmu-ilmu agama misalnya itu sudah jelas antara norma Pasal 10 Ibukota Banggai Kepulauan dalam waktu lima tahun harus dipindahkan ke Salakan itu adalah norma tertutup. Kalau kita menggunakan logika proposisi. Proposisi ibukota
20
Banggai adalah Banggai. Dalam waktu lima tahun harus dipindahkan ke Salakan. Normanya konkret tidak menimbulkan tafsir dan interpretasi baik dari ilmu apapun, itu yang ketiga. Kemudian yang lebih tajam sebenarnya di dalam penjelasan itu pun dikatakan sudah jelas. Kemudian yang keempat, Mahkamah Konstitusi dan legal drafting hanya menguji tentang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat suatu undang-undang, bukan tidak mempunyai kekuatan berlaku. Kalau di dalam ilmu perundangan dan filsafat perundangan bahwa kekuatan mengikat itu ketika kita lihat undang-undang itu dimuat di lembaran negara. Dan kekuatan berlaku ketika dimuat di dalam tambahan lembaran negara. Kalau dulu tidak dipermasalahkan antara perbedaan lembaran negara dengan tambahan lembaran negara. Tapi setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 10 dimana pergeseran perundangan berada di Menteri Hukum dan Perundangan, maka sifat pengundangan itu tidak berkait sifat administratif saja tetapi berkait dengan kekuatan mengikat dan kekuatan berlaku karena undang-undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi yang kekuatannya bersifat mengikat tapi masih tetap mempunyai kekuatan berlaku. Ini yang perlu di dalam legal drafting. Kemudian yang ketiga, yaitu masalah pemahaman tentang hakhak tradisional. Ketika Pemohon mengajukan sebelas mengacu kepada ada aturan di Undang-Undang Dasar yang dilanggar, yaitu tentang hakhak tradisional. Di Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya ada tiga hak yang muncul di situ, kalau dulu cuma satu hak asasi manusia. Kalau di Undang- Undang Dasar 1945 ada empat tahap perubahan, ada tiga hak pertama adalah indigenous people, hak-hak tradisional yang diatur dalam Pasal 18, hak-hak tradisional. Yang kedua di Pasal 28 sampai 28J, di situ diatur tentang fundamental right hak-hak dasar dengan human right hak-hak asasi manusia. Munculnya Pasal 10 dengan Pasal 11 itu sebenarnya tidak ada hak-hak yang dilanggar di Undang-Undang Dasar 1945. Hak-hak tradisional yang dimunculkan di situ adalah hak-hak masyarakat tradisional, tapi bukan dalam bidang penentuan norma pemerintahan. Karena sampai hari ini pun semua masyarakat tidak merasa terugikan walaupun ada sepihak, sama ketika Yogya dan Solo tidak dimunculkan sebagai ibukota provinsi misalnya Solo dan Yogya banyak hak-hak tradisional yang tidak hilang tetapi pemerintahannya normanya tetap tunduk ke Undang-Undang Nomor 32 bagi Solo, sedangkan Yogya tunduk ke Undang-Undang Istimewa tersendiri. Jadi yang tidak dilanggar adalah hak-hak tradisional, indigeneous-indigenous people tidak dilanggar, jangan dicampuradukkan antara pengertian hak. Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa dia melanggar hak-hak asasi. Kalau misalnya anggota Dewan ketika dia bekerja tidak memperoleh hak-hak asasi sebenarnya bukan hak-hak asasi, karena di Undang-Undang Dasar 1945 di situ disebut ada dengan hak-hak person misalnya tidak menerima gaji. Itu adalah hak-hak person sebagai
21
jabatan, tetapi bukan fundamental right, hak-hak dasar seperti kalau misalnya di negara lain dia bedakan antara human right dengan hak, saya yakin semua Hakim Konstitusi lebih menguasai dari saya seorang ahli yang masih awam dalam ini. Kemudian yang ketiga tentang kekuatan yang mengikat dari Mahkamah Konstitusi itu. Kalau misalnya dalam praktik karena saya kebetulan ketika ada perdamaian di Banggai Kepulauan, saya mendampingi gubernur bersama asisten satu saya Pak Rais itu sebagai juru konsep antara tim dari Banggai dengan tim dari yang pro dengan Pasal 11 ada yang tidak, kemudian maka di naskah perjanjian itu kita cantumkan, pertama, kalau bisa disosialisasikan Undang-Undang Nomor 51. Kemudian yang kedua, tetap konsisten terhadap pelaksanaan Pasal 51 karena ada aspek, karena dengan adanya pengadilan tata usaha negara, pengadilan Mahkamah Konstitusi ada terkait dengan perbuatan bupati yang dipilih langsung oleh rakyat, dimana ketika dia membuat keputusan bukan di wilayah ibukota, itu akan mungkin putusan itu dikatakan tidak sah menurut hukum. Karena sama dengan ketika Presiden RI misalnya membuat keputusan di Amerika, tidak akan mungkin ditulis Amerika tanggal sekian. Tetap harus ditulis di Indonesia, Jakarta. Karena kenapa perlu penentuan ibukota menentukan status ketatakelolaannya, status hukum administrasinya, status hukum tata negaranya, karena akan diuji di Mahkamah Konstitusi dan diuji di PTUN sehingga langkah yang ditempuh oleh bupati berkantor dan membuat semua keputusan harus di ibukota Banggai. Kalau tidak menurut hukum adalah tidak sah, karena dia sama dengan ketika Presiden membuat suatu keputusan ditulis Amerika atau misalnya di Kabupaten Banggai mengambil keputusan tetap harus di ibukota provinsi tidak boleh memindahkan di tempat lain. Karena adanya resiko muncul ada namanya pengawal Konstitusi yaitu mengawal hubungan kedaulatan, karena ketika legal drafting di Undang-Undang Nomor 51 dibentuk itu adalah hubungan kedaulatan, dimana dibahas oleh masyarakat di aspirasi oleh DPR induk kemudian dimasukkan di DPR Provinsi kemudian dimasukkan ke DPR melalui jalur politis yaitu jalur langsung ke fraksi bukan jalur menteri dalam negeri. Nah, di dalam PP Nomor 129 tentang pembentukan pemekaran dia itu ada undang-undang tentang pembentukan bukan undang-undang tentang pemindahan ibukota. Karena di Undang-Undang Nomor 22 dan Undang-Undang Nomor 32 diatur batas ini tentang pemindahan ibukota. Artinya kalau sudah ada ibukotanya baru dipindahkan. Nah, ini belum ada, ibukotanya baru mau dibentuk tetapi sekaligus undang-undang itu mengatur. Pertanyaan yang timbul apakah ini asas hukum, kaidah hukum, norma hukum, atau adagium hukum? Karena inilah karena dengan adanya Mahkamah Konstitusi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi ketika kami ada perbedaan-perbedaan kaidah, ada perbedaan asas, apa yang dimaksud ada perbedaan? Kalau misalkan dibilang Undang-Undang Nomor 51 itu adagium berarti bukan asas. Karena
22
kaidah itu lebih umum sifatnya, asas itu adalah proses kontralisasi, sedangkan norma itu adalah keluaran, output dari kaidah. Itu yang selama ini tidak terkena, kalau kita baca hukum lama kaidah kadangkadang ditafsirkan dengan norma sama, karena orang barat menulis norm, kebetulan ditulis orang Islam di Indonesia menjadi kaidah juga. Ketika diambil redaktur bahasa Arab kaidah diambil orang menjadi norm juga, norma. Jadi kacau pengertian ini. Nah, padahal ketika Mahkamah Konstitusi ada Undang-Undang PTUN, Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya semua hakim saya lihat sudah jeli dan cermat menempatkan mana yang asas, mana yang namanya adagium hukum, mana namanya kaidah dan mana namanya norma. Kemudian juga Mahkamah Konstitusi dalam putusannya saya lihat sudah tajam, dimana Mahkamah Konstitusi itu mengawal Konstitusi dengan aspek hukum. Boleh wilayah politik tetapi di baju hukumkan di dalam bentuk putusan hukum. Itu kira-kira sebagai Mahkamah Konstitusi. Terima kasih.
Wa billahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum wr. wb.
35.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Baiklah, Saudara Pemohon atau kuasanya (…)
36.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : ZAINUDDIN SOTI, S.H. Yang Mulia, mohon maaf Yang Mulia kami memotong, kami akan membacakan pendapat dari ahli kami yang saat ini tidak bisa dapat hadir pada persidangan ini.
37.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Boleh-boleh.
38.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : ZAINUDDIN SOTI, S.H.
Di tempat duduk saja Yang Mulia, Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Pendapat hukum tentang Ibukota Banggai Kepulauan oleh Prof. Dr. Sapri Nugraha, S.H. L.L.M. Pengantar, kepada saya dimintakan keterangan ahli tentang keabsahan hukum perpindahan Ibukota Banggai Kepulauan dari Banggai ke Salakan yang didasarkan kepada UndangUndang Pembentukan Banggai Kepulauan Nomor 51 Tahun 1999 ditinjau dari sisi hukum administrasi negara. Saya akan memberikan pendapat hukum saya sebagai berikut: 1. kedudukan dan fungsi ibukota suatu level pemerintahan,
23
Secara yuridis ibukota merupakan pusat kedudukan suatu level pemerintahan atau center of government. Baik itu provinsi, kabupaten, kecamatan, dan lain sebagainya. Baik yang diatur menurut ketentuan perundang-undangan atau ditentukan menurut tradisi/sejarah. Sebagai contoh, Jakarta adalah ibukota negara yang ditentukan menurut sejarah yang kemudian kedudukannya sebagai ibukota negara yang diperkuat dengan undang-undang yang khusus mengatur tentang kedudukan DKI Jakarta dengan sebagai ibukota negara. Beberapa daerah juga mempunyai tradisi historis seperti Jakarta, seperti Surabaya, dan Yogyakarta. Sedangkan kota-kota yang lainnya menjadi ibukota karena ditentukan oleh undang-undang pembentukan suatu provinsi atau kabupaten sebagai ibukota provinsi atau kabupaten tersebut. Seperti contoh, kota Serang sebagai Ibukota Kota Provinsi Banten, Manokwari sebagai Ibukota Provinsi Papua Barat, Bangka sebagai Ibukota Provinsi Bangka Belitung, dan lain sebagainya. Ada juga beberapa ibukota kabupaten yang dipindahkan dari tempatnya yang lama ke tempat yang baru karena berbagai pertimbangan teknis seperti Ibukota Kabupaten Bogor dari Bogor dipindahkan ke Cibinong, Ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari kota Bandung ke Soreang, Ibukota Kabupaten Tegal dipindahkan dari kota Tegal ke Slawi, dan lain sebagainya. Selain itu Republik Indonesia juga pernah dipindahkan ibukotanya dari Jakarta ke Yogyakarta atas dasar pertimbangan perjuangan politik pada saat itu. Sebelum akhirnya dipindahkan lagi ke Jakarta, di luar negeri Ibukota Jepang juga dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo atas dasar pertimbanganpertimbangan tertentu. Terakhir Negara Kazakhstan dan Myanmar juga memindahkan ibukotanya ke daerah yang baru dan atas dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu. Secara fungsional ibukota juga berfungsi sebagai pusat pertumbuhan bagi daerah-daerah sekitarnya. Seperti contoh pada saat ini Jakarta selain pusat pemerintahan RI juga berfungsi sebagai kota bisnis, kota perdagangan, kota pendididkan, dan kota pariwisata. Dengan kedudukan dan fungsi seperti sekarang ini Jakarta telah menjadi pusat pertumbuhan sosial ekonomi bagi daerahdaerah sekitarnya yang dikenal dengan sebutan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau Jabodetabek. Sebagai perbandingan di negeri Belanda secara Konstitusi Ibukota Belanda adalah Amsterdam, namun pusat pemerintahan bagi kabinet atau parlemen dan Mahkamah Agung ditempatkan di Den Haag. Dari sisi hukum administrasi negara ibukota adalah domisili hukum permanen sebagai pusat dari seluruh aktivitas yang dilaksanakan oleh birokrasi atau administrasi negara pada suatu level pemerintahan tertentu. Dimana keputusan hukum yang berkaitan dengan pusat administrasi negara dirumuskan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang untuk kepentingan para stakeholder. 2. Perpindahan ibukota. Perpindahan ibukota merupakan hal yang sudah sering terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Untuk level provinsi dan
24
kabupaten di Indonesia perpindahan suatu ibukota merupakan materi yang berkaitan dengan otonomi daerah yang merupakan bagian dari hukum administrasi negara (HAN). HAN sebagai suatu hukum yang bersifat dinamis membahas dan mengatur perpindahan ibukota yang menjadi pusat pemerintahan dan pusat pelayanan dari administrasi negara. Hukum Administrasi Negara memandang bahwa ibukota pemerintahan merupakan tempat yang bersifat dinamis dan tidak bersifat statis dalam arti mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Sebagai suatu wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan bagi daerah-daerah di sekitarnya ibukota wajib bersifat dinamis dalam merespons perkembangan dan kemajuan di berbagai sektor kehidupan yang ada di wilayahnya. Kestatisan suatu ibukota justru akan menghambat perkembangan dan kemajuan aktivitas pemerintahan yang ada seperti contoh di atas. Beberapa ibukota kabupaten provinsi bahkan juga beberapa ibukota negara telah dipindahkan karena alasan-alasan teknis tertentu. Kedudukan suatu wilayah sebagai ibukota juga wajib menyesuaikan diri dengan perkembangan di berbagai sektor kehidupan yang ada seperti sektor pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya dan sebagainya. Sebagai contoh, beberapa perpindahan ibukota kabupaten di Indonesia justru menghasilkan dua kota, ibukota yang lama dan ibukota yang baru yang sama-sama memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan daerah-daerah yang ada di sekitarnya. Seperti Soreang, sebagai ibukota Kabupaten Bandung yang baru juga mampu menyamai kemajuan yang dimiliki oleh Kota Bandung, sebagai ibukota kabupaten yang lama. Dalam arti kedua kota telah menjadi kota yang menjadi pusat pertumbuhan di daerah-daerah di sekitarnya. Hal yang sama juga terjadi pada Cibinong dan Kota Bogor sebagai ibukota yang baru dan lama di Kabupaten Bogor, serta Slawi dan Tegal sebagai ibukota baru dan lama di Kabupaten Tegal. Secara nyata perpindahan beberapa ibukota kabupaten tersebut selalu memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat baik di ibukota yang lama maupun yang baru dan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang ada. Dari pengamatan saya bagi kalangan masyarakat adat di kabupatenkabupaten tersebut perpindahan ibukota yang terjadi tidak merugikan kepentingan mereka dalam melaksanakan hukum adatnya sehari-hari. Karena letak ibukota memang tidak berpengaruh langsung pada pelaksanaan hukum adat mereka. Hukum adat tumbuh dan berkembang di masyarakat setempat dan bukan tergantung pada letak ibukota suatu wilayah bahkan sesungguhnya mereka mendapatkan keuntungan dari perpindahan ibukota tersebut karena masyarakat hukum adat yang ada mendapatkan dua pusat pertumbuhan bagi hukum adat di ibukota yang lama dan ibukota yang baru. Penentuan dan perpindahan ibukota suatu level pemerintahan merupakan kewenangan dan otoritas pemerintah pusat yang diatur dalam undang-undang yang khusus dibuat untuk itu. Secara bijak undang-undang yang mengatur penetapan dan perpindahan
25
ibukota juga diatur berdasarkan usulan dan partisipasi masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Menurut hukum administrasi negara pemerintah pusat berdasarkan usulan dan partisipasi masyarakat tersebut mempunyai kewenangan dan otoritas penuh untuk menentukan letak ibukota dan memindahkannya apabila dianggap perlu untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, menyeluruh, dan untuk mengantisipasi perkembangan dinamika yang terjadi di masa depan. 3. Penutup a. pada dasarnya pemindahan suatu ibukota adalah hal yang biasa terjadi di berbagai daerah dan negara. Hal tersebut didasarkan antara lain adanya perkembangan dan dinamika pada berbagai sektor kehidupan yang terjadi di daerah dan negara tersebut. Penetapan dan pemindahan ibukota terjadi karena pertimbangan teknis dan secara yuridis penetapan dan pemindahan ibukota tersebut merupakan kewenangan dan otoritas penuh dari pemerintah pusat yang diatur dengan undang-undang. Secara umum pemindahan ibukota terjadi karena adanya pertimbangan teknis dan untuk mengantisipasi perkembangan dan dinamika di masa depan. b. selain itu pemindahan ibukota biasanya dilakukan secara bertahap dan tidak seketika karena pemindahan ibukota merupakan pekerjaan yang besar dan tidak mudah dilakukan. Kegiatan pemindahan ibukota juga dilakukan dengan bertahap karena menyesuaikan dengan kemampuan keuangan negara atau daerah. c. pemilihan ibukota juga dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan pengembangan seluruh masyarakat dan stakeholder secara menyeluruh sehingga tidak merugikan kepentingan masyarakat yang ada. Hal-hal tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta pemindahan ibukota baik yang terjadi di Indonesia maupun negara lainnya yang telah dilakukan selama ini. Sekian. Depok, 31 Maret 2008 Sapri Nugraha, ttd Terima kasih. 39.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Baiklah kini diberikan kesempatan kepada Pemohon atau kuasanya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan tidaklah boleh kiranya mengulangi suatu pertanyaan yang sudah diajukan oleh penanya terdahulu. Silakan.
26
40.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Terima kasih Yang Mulia.
41.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Kepada ahli ya!
42.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Kepada Ahli Pemohon Bapak Haliadi, S.S., M.Hum. Kami mengajukan satu pertanyaan Yang Mulia, yang berkenaan dengan pemaparan pandangan-pandangan sebagai ahli budaya masyarakat Banggai Kepulauan. Yang ingin kami tanyakan kepada ahli adalah apa peran yang bisa kita harapkan dari kesatuan masyarakat adat Banggai untuk memulihkan keadaan pasca pemindahan ibukota Kabupaten Banggai dari Banggai ke Salakan, tatkala permohonan Pemohon ini dikabulkan sehingga keadaan itu bisa kembali dari Salakan atau ibukota Salakan ke Banggai ini untuk menyikapi karena ada kesan bahwa kalau ibukota Salakan itu dikembalikan lagi ke Banggai (...)
43.
PIHAK TERKAIT : Majelis Hakim yang mulia.
44.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Dari hasil putusan ini maka apakah keadaan itu akan terjamin pulih atau menjadi kontraproduksi kembali? Yang ingin kami tegaskan di sini adalah kira-kira apa peran yang bisa dimainkan oleh kesatuan masyarakat adat Banggai supaya kondisi ini bisa tetap kondusif tatkala ibukota Salakan itu dikembalikan lagi ke Banggai, itu satu Pak. Untuk Ahli Pemohon kami yang kedua Profesor kami yang terhormat, Profesor Muin. Dari perspektif ilmu dan teori perundangundangan kami ingin mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan terbuka apakah benar bahwa di dalam sistem perundang-undangan kita ini mengenal ada yang disebut dengan teori atau penafsiran yang tertutup? Kalau memang benar ada norma di dalam ranah hukum nasional ada norma yang bersifat tertutup dan tidak bisa ditafsirkan dari perspektif apapun, pertanyaan kita lalu apa fungsinya Mahkamah Konstitusi yang didirikan dan diadakan untuk menguji dan menafsirkan suatu norma yang berlaku dalam sistem perundang-undangan kita? Kami mohon penjelasan dari teori perundang-undangan apakah benar memang ada di dalam norma hukum kita ini ada yang besifat tertutup dan apa makna tertutup itu? Sebab untuk apa kita menghadirkan atau
27
secara konsensus politik kita melahirkan sebuah lembaga baru yang mulia yang bernama Mahkamah Konstitusi salah satu fungsinya adalah melakukan judicial review, baik secara formil maupun materil terhadap suatu norma yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi. Ini kami mohon dari teori perspektif ahli menurut teori dan perundang-undangan ini untuk mendapatkan gambaran dan penjelasan dalam persidangan yang mulia ini. 45.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Silakan menjawab.
46.
AHLI DARI PEMOHON : HALIADI. S.S M. Hum. Terima kasih Yang Mulia yang saya hormati Menurut perspektif budaya, perubahan atau pemindahan ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke Salakan adalah suatu perubahan. Dalam perspektif antropologi perubahan ada dua, perubahan secara evolusioner dan perubahan secara revolusioner. Menurut saya pemindahan itu adalah pemindahan secara revolusioner. Di dalam catatan antropologi sadar atau tidak, perubahan revolusioner berakibat pada adanya perubahan masyarakat yang tidak teratasi secara politik maupun secara budaya. Tetapi perspektif budaya juga menyatakan bahwa perubahan itu bisa dilakukan secara evolusioner atau dengan manajemen budaya tertentu. Artinya perubahan pada wilayah Banggai atau perubahan ibukota dari Banggai ke Salakan ini adalah perubahan wilayah inti menurut perspektif budaya peradaban budaya Banggai dari hintlander di pulau Banggai sebagai pusat kekuatan budaya dan menjadi perubahan ke wilayah tepi atau rantlander di pulau lain selain pulau Banggai. Secara sosiologis akibat perubahan ini berakibat pada individual society atau menjadi mass society. Maksudnya adalah mass society itu akan terjadi dengan ciri-ciri yang pertama adalah bertambahnya jumlah tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Ibukota yang tadinya di Banggai ketika pegawai negeri dipindahkan ke Salakan maka tuntutan dan kebutuhan itu akan membengkak dan tidak teratasi dengan gaji pegawai negeri untuk sekarang ini. Yang kedua bertambahnya aneka ragam kebutuhan dan tuntutan termasuk anak-anak yang dipindahkan. Apakah ada sekolah di sana? Apakah ada infrastruktur permainan? Dan lain sebagainya. Ketiga bertambahnya tuntutan akan kebebasan dengan akibat-akibatnya. Di Banggai pemerintahan yang berkedudukan di sana sudah bebas menentukan kreativitas dirinya karena posisinya sudah tahu sementara wilayah yang baru belum tahu dimana tempat rekreasi dan sebagainya. Yang keempat bertambahnya intensifnya polarisasi kekuasaan di tangan eksekutif, jadi polarisasi di tangan eksekutif itu akan bertambah polarisasi kekuasaan. Ini terbukti bahwa di DPRD Banggai itu sudah
28
terpolarisasi, ada yang ke Salakan ada yang tidak. Bertambahnya spesialisasi dengan akibat bertambahnya kebutuhan akan organisasiorganisasi. Inilah keuntungan perubahan dalam perubahan kota, karena membutuhkan spesialisasi baru tetapi pertanyaannya adalah apakah masyarakat Banggai sudah siap dengan spesialisasi baru yang dibutuhkan oleh sebuah kota? Enam, bertambahnya jurang antara yang diperintah dan yang memerintah, jurang antara yang berspesialisasi dan yang tidak. Kemudian yang ketujuh yang paling penting adalah hilangnya keseimbangan equilibrium peradaban dan kebudayaan, termasuk hilangnya keseimbangan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial dengan titik berat pada eksekutif. Ini saya kutip dari buku Asri S. Susanto Perubahan Sosial judul bukunya, dikarang 1977 sampai 1979 dicetak kembali. Kalau ditanyakan apakah kalau dipindahkan dari Salakan ke Banggai, apakah keadaan pulih atau justru menambah—menurut istilah akan menambah persoalan baru dengan adanya konflik komunal dan kekerasan kolektif—jawaban saya adalah kalau dari perspektif budaya aspek keseimbangan ini yang kita lihat, equilibrium. Sebab dalam teori sosiologi, antropologi, maupun teori politik ketika kita paham tentang keseimbangan suatu kota, maka kita wajib menggunakan aspek-aspek peradaban maupun kebudayaan sebagai design of concrete atau ilmu pengetahuan praktis yang diciptakan melalui peradaban dan kebudayaan melalui sistem kebudayaan Banggai dan wujud kebudayaan Banggai. Ketika design of concrete kita gunakan termasuk mengembangkan struktur kerajaan, struktur Adat Basalo Sangkap maka keseimbangan akan tercipta dan saya meyakini bahwa keadaan akan pulih tidak seperti pemindahan karena ketika pemindahan muncul kelompok-kelompok baru. Tetapi ketika dikembalikan dewan adat akan dikembangkan secara bersama-sama oleh masyarakat maupun pemerintah dengan demikian maka kelompok-kelompok yang terbentuk hanya karena keberpihakan kepada ini dan kepada itu dia akan turun stagnasinya, sehingga dewan adat berfungsi secara baik. Ketika struktur dewan adat berfungsi secara baik maka Kabupaten Banggai Kepulauan itu akan mengalami keseimbangan yang sangat stabil kemudian termasuk kabupaten induk, karena wilayah adat berada di kabupaten induk, ini yang dilupakan. Kemudian yang terakhir adalah perlu ada pemahaman yang mendalam mengenai sejarah kota sebenarnya supaya kota-kota yang dipindahkan, kota yang dipertahankan itu tetap aman dari konflik komunal maupun kekerasan kolektif. Studi mengenai kota bukan hanya sebatas wilayah geografi tertentu. Studi tentang kota bukan hanya masalah pemindahan lokasi ke lokasi lain, bukan hanya geografi atau place saja tetapi juga kegiatan-kegiatan—work, dinamika penduduk bahkan simbol-simbol peradaban dan kebudayaan. Menurut pakar perkotaan, ini menurut pakar sejarah kota Hadi Sabari Yunus menyatakan bahwa ditinjau dari aspek kesejarahan historikal perspektif kota, kota dapat berfungsi sebagai motor perkembangan ekonomi,
29
sosial, kultural, dan politik. Sekali lagi bukan hanya politik, namun dari kota juga muncul suatu kemerosotan suatu bangsa, saya tanda petik Majelis yang mulia, “kemerosotan suatu bangsa”—Hadi Sabari Yunus halaman 6 tahun 2005. Dengan ini perlu pemikiran yang jelas mengenai pemikiran-pemikiran yang cemerlang mengenai penataan kota. Bagi Banggai Kepulauan yang baru terbentuk apakah kota yang sudah ada telah dirancang sesuai kecenderungan dengan keadaan kota yang sesungguhnya? Saya sebagai peneliti di Sulawesi Tengah terus terang Pak Hakim saya ini adalah Sekretaris Pusat Penelitian Sejarah di Universitas Tadulako dan concern terhadap konflik komunal dan kekerasan kolektif di kota dan kabupaten. Apakah kota yang sudah ada telah dirancang sesuai kecenderungan dengan keadaan kota yang sesungguhnya? Untuk Banggai Kepulauan belum ada studi tentang kota, yang ada adalah yang dilakukan Mendagri tentang salah satu survei untuk perkotaan, tetapi hasil survei itu menyatakan Banggai layak untuk menjadi kota. Kota yang ada belum dimaksimalkan sudah mau dipindahkan untuk membentuk kota baru yang baru dirancang awal dan belum jelas perkembangannya. Menurut ahli perkotaan dari Belanda Frig Colombin dan kawan-kawan, 2005 Sejarah Kota Lama dan Kota Baru bukunya tebal sekali, dinyatakan bahwa seharusnya di daerah-daerah di Indonesia harus melakukan studi awal kota mana yang pantas lebih dulu dipakai untuk pemekaran kabupaten, karena syarat sebuah kota harus 10.000 jiwa penduduknya baru dikatakan dia berhak menjadi kota. Tetapi kalau penduduknya masih kurang dia belum berhak menjadi kota, tetapi kalau penduduk belum jelas dia membutuhkan dana yang lebih besar, APBD maupun APBN untuk pembangunan infrastruktur kota. Dengan demikian maka saya sarankan perlu penelitian yang mendalam mengenai kota Banggai Kepulauan untuk kebijakan pengembangan kota. Saran saya adalah ketika kota Salakan dipindahkan sekarang ke kota Banggai maka aspek-aspek keseimbangan perkotaan maupun ekologi maupun perbedaan-perbedaan pendapat itu akan teratasi. Terima kasih. 47.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Ya, silakan.
48.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. MUIN FAHMAL, S.H. Terima kasih Majelis yang terhormat, Saudara penanya, saya takut mengemukakan persoalan ini di hadapan para guru besar, soal apakah ada norma tertutup apakah norma terbuka. Rasanya tidak begitu relevan untuk saya memberi kuliah di tempat ini hal seperti ini. Karena pokok persoalan kita ialah apakah kehadiran Pasal 11 itu adalah bertentangan dengan hak konstitusional
30
Pemohon atau tidak dan itu tadi saya sudah jelaskan arahnya bahwa kehadiran Pasal 11 itu misterius. Tidak tahu asbabun nuzul-nya. Saya katakan kalau seandainya norma itu normal, maka tidak di situ tempatnya dia tempatnya adalah bagian dari Pasal 10 atau setidaknya menjadi ketentuan peralihan. Tidak logis ada ketentuan eenmalig yang berlaku sekali itu menjadi norma dan bukan di situ tempatnya semesti berada di bawah bab lain. Dalam pada itulah sehingga saya mengatakan ini darimana? Penelusuran kita telusuri memang tidak ada, dalam konteks itu maka dari situlah sehingga kelihatan bahwa ada implikasiimplikasi yang muncul dari itu yang dan yang muncul itu sesuatu yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar sehingga menurut pandangan hukum saya bahwa untu mengakhiri ke hal-hal itu dan kemungkinan itu maka ketentuan itu dikembalikan pada proporsi sebenarnya bahwa ketentuan itu tidak ada. Saya kira itu Saudara penanya terima kasih. 49.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Saya lanjutkan Yang Mulia pertanyaannya Yang Mulia. Yang ingin saya tanyakan kepada ahli kami yang kedua Profesor Muin, tadi dikatakan Pasal 11 ini tidak jelas asbabun nuzulnya kalau kita lihat dari perspektif politik hukum kita kenal teori hukum itu sendiri, ada norma otonom atau norma responsif atau norma konservatif dan norma ortodoks. Jadi dilihat dari kacamata teori ini Pasal 11 ini karena mumpung ada guru besar kami ini, Bapak Profesor Mahfud. Menurut kami karena ini tidak aspiratif tidak didasarkan pada aspirasi masyarakat yang kemudian dilembagakan dalam putusan, keputusan DPRD Kabupaten Banggai yang kemudian juga dikuatkan oleh keputusan (...)
50.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Eh, pertanyaan Saudara?
51.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Pertanyaan saya adalah apakah Pasal 11 ini termasuk pasal yang norma yang otonom atau responsif atau norma yang konservatif atau ortodoks?
52.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. MUIN FAHMAL, S.H. Terima kasih. Jadi tidak di situ jawabannya. Yang pasti norma ini tidak aspiratif. Darimana tidak aspiratifnya? Kalau ditelusuri dari tahun 1964 proses ini ada 33 surat menyurat yang berkaitan dengan itu dan 29 di antaranya menyebut Banggai sebagai ibukota. Tidak ada yang menyebut Salakan. Dua di antaranya hanya dukungan keinginan usulan pemerintah daerah
31
ke pemerintah pusat. 33, 29 di antaranya yang menyebut secara tegas ibukota di Banggai dan tak satupun menyebut Salakan. Itu ada dokumen di sini. Jadi di sini letaknya. Jadi kalau berbicara tentang politik hukum mohon maaf saya ini adalah murid, jangan saya sebut. Hmm, begini, jadi politik hukum ada dua macam. Ada yang aspiratif ada yang tidak aspiratif. Kalau aspiratif dia akan memakan tuannya. Bagaimana politik hukum yang aspiratif? Adalah politik hukum yang diisi dengan tata nilai yang tumbuh di masyarakat. Nilai apa yang tumbuh di masyarakat? Itu yang harus dinormakan. Oleh karena itu tadi saya katakan bahwa sebenarnya kalau kita lihat dalam konteks tataran hukum administrasi meskipun DPR adalah lembaga politik. Tetapi sebenarnya DPR dalam tataran menerima usulan atau tidak menerima usulan. Sekarang dia membuat norma yang tidak aspiratif, baik masyarakat maupun pemerintah. Oleh karena itu saya katakan, tindakan meletakkan Pasal 11 ini sebagai norma adalah mendelegitimasi kembali kedudukan DPR, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, bupati, tokoh masyarakat itu menurut pandangan saya. Yang bisa dilakukan diterima atau tidak diterima ini. Mungkin boleh kita katakan ini adalah dalam tataran teori tetapi sebuah teori yang bermakna adalah yang bisa didukung dengan fakta dan fakta menunjukkan bahwa ada masalah di lapangan. Jadi begitu jawaban saya. Singkat, sama sekali tidak aspiratif. Terima kasih. 53.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Iya artinya ketika tidak aspiratif maka sudah masuk bahwa Pasal 11 itu masuk dalam norma yang ortodoks atau konservatif yang tentunya dilahirkan secara tidak demokratis sehingga bertentangan dengan Konstitusi. Saya ingin menjelaskan dari Undang-Undang 51 ini Yang Mulia. Kemudian nanti akan dilanjutkan dengan pertanyaan. Pada halaman tiga dalam penjelasan undang-undang yang dimaksud sebagai tafsir otentik dari Undang-Undang 51 dinyatakan bahwa berdasarkan hal tersebut dan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat sejak tahun 1957 dan selanjutnya secara formal dituangkan dalam Keputusan DPRD Sulawesi Tengah tanggal 17 Juni 1999 nomor 12/PIMP/DPRD/1999 tentang dukungan terhadap Pemekaran daerah Tingkat II Buol berkedudukan di Buol kabupaten Daerah Tingkat II Banggai Kepulauan berkedudukan di Banggai. Jadi secara formal dan ini ada tafsir otentik dalam Penjelasan Undang-Undang 51 ini dalam penjelasan. Kemudian dalam penjelasan (...)
54.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara pertanyaannya?
32
55.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Iya, artinya saya melihat Pasal 11 ini Yang Mulia selambatlambatnya dalam waktu lima tahun terhitung sejak keputusan Kabupaten Banggai kedudukan dipindahkan ke Salakan. Tadi dijelaskan oleh profesor Muin, bahwa Salakan baik dalam proses pembentukan penjaringan aspirasi dan naskah akademik maupun dalam naskah otentik yang ada dalam Undang-Undang 51 tidak dijelaskan di mana itu Salakan? Karena tidak ada ini tidak ada kepastian hukum. Komentar Profesor bagaimana?
56.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. MUIN FAHMAL, S.H. Jadi yang saya kemukakan tadi begini. Jadi bukan Salakan tidak ada, ada Salakan tapi disebut sebagai salah satu kecamatan dari kecamatan yang akan ada di dalam Kabupaten Banggai Kepulauan. Tetapi menyebut sebagai ibukota sama sekali tidak ada. 29 menyebut Banggai sebagai ibukota, empat lainnya tidak menyebut hanya sekedar dukungan terhadap pemerintah daerah atas keinginannya untuk mengusulkan pembentukan kabupaten baru. Itu yang ada. Saya ingin jelaskan sekali lagi, karena begini saya berulang-ulang katakan bukan di sini tempatnya. Saya istilahkan tadi kutu loncat. Artinya tidak ada yang meminta-minta ini pasal kenapa tiba-tiba ada? Lain halnya dengan kabupaten yang satu itu, dia di tempat juga sifatnya sementara. Tapi ditempatkan di bawah bab ketentuan peralihan dan otentik ibukotanya seperti, tiga kabupaten itu otentik ibukotanya diatur masing-masing pada Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) itu adalah yang definitif ibukota. Salah satunya saya tidak hapal karena saya bukan dari sana. Salah satu di antaranya ditaruh di Pasal 11, di bawahnya. Sedangkan yang lain ditaruh di norma peralihan dan memang normanya untuk sementara. Ibukota kabupaten anu itu berada di sini dulu sampai ada kesiapan untuk melaksanakan yang disebut Pasal 10 itu. jadi memang sifatnya sementara. Ini adalah norma di Pasal 10, tiga ayat dan tiga kabupaten di situ adalah normanya mengikat. Ya kalau ada istilah lain saya kira bisa kita diskusikan karena kalau ketika kita berbicara tentang norma, kaidah, filsafat akan panjang ceritanya. Tapi mudah dimengerti dalam forum yang terhormat ini. Terima kasih Majelis.
57.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara Pemohon dan para pihak terkait biasanya sidang pada siang hari itu sampai pukul dua belas tetapi tokh diberi kesempatan bagaimana kalau sebelum Hakim Konstitusi diberi kesempatan kita memberi kesempatan juga kepada pihak terkait untuk mengajukan
33
pertanyaan, bisa diajukan kepada ahlinya, bisa diajukan kepada ahli dari Pemohon. Silakan. Saudara, pertanyaan yang sudah dikemukakan tidak boleh diulang-ulang. 58.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HERMAN. TAHER, S.H. Saya ingin sedikit mengomentari apa yang disampaikan oleh para ahli dari pihak Pemohon tadi. Yaitu kita menurut hemat saya keterangan Ahli tadi (...)
59.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Yang Mulia, saya kira mengomentari tapi bertanya.
60.
Kuasa
Hukum
tadi
bukan
untuk
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HERMAN. TAHER, S.H. Saya menerangkan bahwa keterangan Ahli bukan Ahli lagi, bukan ilmu tetapi langsung menusuk kepada praktik. Hal-hal yang terjadi sekarang ini terjadi. Oleh sebab itu saya pikir itu adalah hak, tapi saya hanya ingin memberikan (…)
61.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Hal yang dimaksud biar Majelis yang bakal menilai.
62.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HERMAN. TAHER, S.H. Ya.
63.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara diminta mengajukan pertanyaan kepada Ahlinya dan boleh juga kepada Ahli Pemohon. Silakan Saudara.
64.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HERMAN. TAHER, S.H. Terima kasih Majelis yang mulia. Saya hanya ingin menjelaskan bahwa masalah Pasal 11 dikatakan sebagai suatu pasal tidak aspiratif. Sebenarnya pada saat pembentukan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 itu ada enam undang-undang. Satu, Provinsi Irian Jaya Barat dengan ibukota sementara di Sorong. Kedua, Provinsi Maluku Utara denagn ibukota (...)
34
65.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara Kuasa, saya minta Saudara mengajukan pertanyaan secara langsung. Saudara diminta mengajukan pertanyaan kepada Ahli Saudara dan Ahli Pemohon. Silakan Saudara dengan tidak mengurangi penghormatan Sidang Panel kepada Saudara.
66.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HERMAN. TAHER, S.H. Terima kasih. Jadi yang ingin kami tanyakan bahwa mengenai Ahli hukum adat dari para Pemohon tadi ada satu benturan bahwa menurut Ahli bahwa ketentuan ibukota harus sinergis dengan kebijakan ketentuan Pemerintah. Jadi di satu sisi kepentingan norma adat harus sama dengan norma kepentingan Pemerintah. Bagaimana ini pendapat para Ahli menyamakan sedangkan kedua hal ini adalah dua hal yang berbeda dari segi kepentingannya? Ini saya minta penjelasan lebih lanjut kepada Ahli adat tadi sehingga dapat membedakannya.
67.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Pertanyaan kepada siapa?
68.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HERMAN. TAHER, S.H. Kepada ahli hukum adat yang dari pihak Pemohon.
69.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Silakan.
70.
AHLI DARI PEMOHON : HALIADI, S.S., M.Hum. Saya klarifikasi bukan hukum adat, tetapi dewan adat. Benturan, saya tidak pernah menyatakan bahwa harus dibenturkan ketentuan ibukota dengan sinergi dan kepentingan Pemerintah. Tetapi saya menyatakan bahwa secara historis maupun secara sosiologis pusat peradaban dan kebudayaan Banggai berada di ibukota Banggai. Dengan demikian tidak salah kebijakan-kebijakan Pemerintah atau siapa pun atau DPR atau ilmuwan harus belajar tentang bagaimanan keseimbangan sistem peradaban dan kebudayaan. Sekali lagi saya selalu bicara peradaban saya dahulukan di samping kebudayaan. Karena sistem peradaban itu menunjuk kepada yang ada di kepala Basalo Sangkap, pelaku adat. Selama ini tidak pernah dipikirkan, tidak pernah dijadikan sebagai pertimbangan. Seba, dewan adat atau
35
penuntutan pemekaran termasuk penentuan ibukota dewan adat sudah melakukan rapat untuk menentukan bahwa Banggai Laut atau Banggai Kepulauan harus dimekarkan menjadi satu kabupaten dari kabupaten induk Banggai. Dengan demikian maka hasil yang disampaikan oleh Seba harusnya dipegang teguh oleh pelaksana-pelaksana pemerintah maupun siapapun karena itu adalah aspirasi masyarakat yang diputuskan di dalam Seba. Karena Seba ini adalah keputusan tertinggi Dewan Adat Banggai. Dan Seba Banggai sudah dilakukan tiga kali, terakhir tahun 2006. Tahun 1964 kalau kita lihat secara historis memang dewan adat belum dikodifikasi secara hukum. Bahwa hukum adat ditetapkan sebagai hukum nasional, belum dikodifikasi. Tetapi dalam kenyataan kemasyarakatan sistem adat maupun (..) 71.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Dapatkah Saudara memadatkan jawaban Saudara?
72.
AHLI DARI PEMOHON : HALIADI, S.S., M.Hum. Jawaban saya adalah hasil yang disampaikan Seba untuk penentuan pemekaran dan penentuan ibukota kabupaten harus dijadikan sebagai aspirasi yang mendalam tentang penataan Banggai Kepulauan. Terima kasih.
73.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Apakah masih ada pertanyaannya, karena nanti giliran Hakim Konstitusi? Silakan.
74.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HERMAN. TAHER, S.H. Jadi kami sudah tangkap apa yang disampaikan. Ingin saya ulas sedikit tambahannya. Pada saat DPR maupun Pemerintah memutuskan lain dari apa yang dicapai oleh adat, apakah secara hukum nasional ketatanegaraan bertentangan tidak? Pada saat Pemerintah maupun DPR memutuskan tidak sama dengan apa yang diaspirasikan oleh adat, kemudian menentukan kebijakan itu berdasarkan kepentingan Pemerintah, apakah menurut skup hukum tata negara, ini bertentangan atau tidak? Ini yang ingin saya minta tanggapan dari Bapak ahli adat untuk menjelaskannya lebih rinci lagi. Terima kasih.
36
75.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Kepada siapa pertanyaan itu diajukan?
76.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HERMAN. TAHER, S.H. Untuk menyambung pertanyaan yang pertama tadi Pak. Kepada Bapak Ahli adat dari Pemohon tadi.
77.
AHLI DARI PEMOHON : HALIADI, S.S., M.Hum. Majelis yang saya muliakan, saya bukan ahli adat, hukum adat, tetapi saya ahli sejarah dan sosiologi dan antropologi. Terima kasih.
78.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Baiklah, saya kira kalau sudah cukup ya Saudara. Sekarang giliran Hakim Konstitusi untuk mengajukan pertanyaan yang sifatnya klarifikasi.
79.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Mohon izin Yang Mulia. Supaya ada equal treatment Kuasa Hukum Pihak Terkait menanyakan kepada Ahli Pemohon, apakah diizinkan sekali, karena Ahli Pihak Terkait belum ditanya. Saya mohon satu pertanyaan.
80.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Satu pertanyaan.
81.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Tadi Ahli dari Pihak Terkait mengatakan bahwa berkaitan dengan Pasal 10 dan 11 ini didasarkan kepada pikiran-pikiran dulmatigheid, ada asas tujuan. Tujuan kegunaan dari Pasal 11 itu apa? Pertanyaan saya adalah apakah karena bagaimana pun Pasal 11 mau dilaksanakan telah menjadi kerusuhan dalam hukum Islam yaitu dalam asas hukum Islam itu karena dia tadi menyinggung hukum Islam ada kaidah atau asas fikih yang menyebabkan menarik kemaslahatan dan menolak kemungkaran. Karena Pasal 11 ketika mau dilaksanakan ternyata jadi huru-hara. Kalau kita lihat dari perspektif yuridis, filosofis, dan sebagainya bahkan menurut laporan akhir dari studi kelayakan ini Banggai itu mendapatkan nilai 0,55 sedangkan Salakan hanya empat koma sekian. Lantas
37
pertanyaan saya lebih besar mana manfaatnya kalau ibukota di Banggai atau Salakan berdasarkan asas kemanfaatan tadi? Terima kasih. 82.
AHLI PIHAK TERKAIT : Dr. RASYID THALIB, S.H., H.Hum Terima kasih
Assalamu’alaikum wr. wb.
Jadi saya terangkan tadi dari legal drafting karena Mahkamah Konstitusi hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, bukan undang-undang ke samping. Jadi sebenarnya di dalam maksud saya dulmatig itu di dalam legal drafting dilihat di alasan menimbang. Menimbang itu alasan politis, maka di situ aspirasi DPR dimuat di alasan menimbang. Alasan mengingat adalah alasan hukum, kemudian terkait dengan di situ instrumennya apa? kalau Dulmatig meninggalkan diskresi, ada pasal-pasal diskresi, ada tafsir boleh di situ. Kalau rechmatig itu tidak boleh muncul karena dia norma-norma konkret mengenai pasal. Ini memang tadi ada pertanyaan bagaimana yang dimaksud dengan norma tertutup itu? Sebenarnya norma tertutup bisa diuji, tetapi bukan di forum Mahkamah Konstitusi, dia melalui legislative review di DPR lagi, diuji undang-undang ini, diubah undang-undang itu. Jadi itu sebenarnya. Jadi kemudian kalau pernyataannya bahwa manfaatnya sebenarnya saya tidak melihat rechtmatig itu tetapi saya lihat dulmatig-nya itu. Rechtmatig-nya sudah jelas norma Pasal 10 itu menentukan ibukota, jadi Banggai itu ibukota, norma. Kemudian Pasal 11 ada norma pemindahan, itu berpisah itu. Jadi normanya pemindahan dengan syarat harus ada peresmian. Jadi ada instrumen, ada namanya logika proposisi disyaratkan kepada Pasal 11 untuk dilaksanakan norma nomor 11 tadi itu. Proposisi itu disebut peresmian, peresmian sudah dilakukan oleh menteri dalam negeri melalui gubernur, norma itu yang dilaksanakan. Baru kemudian norma bagi kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat dia harus laksanakan itu. Dia baik rechtmatig-nya maupun dulmatig-nya. Jangan dianggap kalau ketika rusuh juga itu dijadikan alasan untuk itu karena kalau kami baca di Undang-Undang Nomor 51 itu ada kok itu, baik asbabun nuzul-nya maupun sababun nuzul-nya; sejarah turunnya dan sebab munculnya pasal ini. Jadi jangan dianggap di undang-undang ini mungkin dari DPR mungkin bisa melihatkan kalau tidak salah di risalah buku nomor dua tidak salah, saya tidak tahu apakah betul atau tidak di risalah buku di DPR itu Undang-Undang Nomor 51 itu mengatur tentang sababun nuzul-nya maupun asbabun nuzul-nya itu. Kira-kira itulah pengertian norma yang dimaksud. Terima kasih.
38
83.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Ya.
84.
KUASA HUKUM PEMOHON : DAMRAH MAMANG, S.H Bisa kami lanjutkan Yang Mulia, untuk pertanyaan kepada Ahli terkait satu saja?
85.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Sebenarnya sudah sampai jadwalnya ya. Barangkali apa yang tadi dipertanyakan sudah pengulangan barangkali. Sekarang kesempatan kepada Hakim Konstitusi. Silakan.
86.
KUASA HUKUM PEMOHON : DAMRAH MAMANG, S.H Ya, terima kasih. Jadi satu pertanyaan untuk,
87.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Singkat ya!
88.
KUASA HUKUM PEMOHON : DAMRAH MAMANG, S.H Iya. Pertanyaan kami adalah dimana di dalam konstruksi UndangUndang Nomor 51 ini kedudukan daripada Salakan secara yuridis, sebab di dalam penjelasan tidak ada, dimana itu Salakan? Sedangkan Pasal 10 ayat (3) itu jelas ibukota dari masing-masing kabupaten. Begitu Pasal 11 itu tidak menjelaskan, ini kami mohon apakah ini tidak menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kedududukan Salakan sebagai ibukota? Terima kasih.
89.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Silakan saudara, singkat.
90.
AHLI PIHAK TERKAIT : Dr. RASYID THALIB, S.H., H.Hum Jadi sebenarnya dalam legal drafting, penyebutan ibukota tidak boleh dimunculkan dua kalimat, di situ sudah jelas bahwa Ibukota Kabupaten Banggai berkedudukan di Banggai. Itu normanya jelas, konkret itu. Makanya interpretasi agak susah karena dia, makanya di dalam hukum disebut dia empirik, empirik itu adalah fakta dan
39
kenyataan. Kalau dunia sosiologi itu adalah fakta berbeda dengan kenyataan. Hukum mengatakan empiris, dunia fakta dan dunia kenyataan, fakta belum tentu nyata. Nah, nyata juga belum tentu fakta di dalam hukum. Kemudian sudah jelas selambat-lambatnya jangka waktu lima tahun terhitung sejak peresmian kedudukan ibukota dipindahkan ke Salakan, jadi tidak perlu disebutkan secara in concreto ibukota itu karena norma ibukotanya dipindahkan ke norma Salakan. Jadi kalau di legal drafting, tidak boleh mengulangi norma baik di dalam penjelasan maupun di dalam undang-undang itu. Kalaupun mau dijelaskan ada pasal penghubung norma, misalnya dipasang pasal butir 4, misalnya Pasal 10 ada ayat (4) ada penghubung, karena di legal drafting penentuan sub ke bawah itu ada norma penghubung atau norma pemancing menutup norma itu. Nah, Pasal 10 dan 11 sudah jelas normanya konkret kalau istilahnya dalam legal drafting. Kalau istilahnya Ibu Maria itu dikatakanlah closed norm—norma tertutup, bisa diuji dibuka melalui legislative review di DPR bukan lagi di Mahkamah Konstitusi. Terima kasih Prof. 91.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Selanjutnya memberi kesempatan kepada Hakim Konstitusi untuk mengajukan pertanyaan atau meminta klarifikasi. Prof. Natabaya, silakan.
92.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M Ini Ahli Pemohon ya, ahli tata negara ini. Ini di dalam permohonan ini kita menguji Undang-Undang Nomor 51 Pasal 11. Dan Pasal 11 ini didalilkan oleh Pemohon bertentangan dengan beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945. Dan pasal Undang-Undang Dasar 1945 ini menyangkut mengenai masalah hak konstitusional daripada Pemohon antara lain Pasal 1 ayat (3) ini di dalam permohonan ya? Yang mengatur Negara Indonesia adalah negara hukum, apa kaitannya dengan Pemohon ini, pasal ini? Seolah-olah Pasal 11 ini melanggar. Lantas Pasal 18 ayat (1), ayat (2). Ini ada kaitannya dengan ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi bla, bla. Ayat (2) pemerintah daerah provinsi daerah kabupaten, ini, apa kaitannya dengan hak konstitusional Pemohon? Ketiga, Pasal 18B, “Negara mengakui norma kesatuan Pemda bersifat khusus, bersifat istimewa”. Apakah kaitannya ini dengan Pasal 11? Lantas ayat (2) selanjutnya (Pasal) 22D, “setiap orang berhak untuk bekerja”, apa kaitannya dengan pemindahan kota ini? Pasal 28E, “setiap orang bebas memeluk agama”, apa kaitannya dengan memeluk agama ini? Semua ini didasarkan ini adalah hak konstitusional dari para Pemohon itu yang dilanggar dengan pindahnya ibukota ini Pasal 11. Lantas ini adalah
40
pemindahan, penentuan ibukota menurut Undang-Undang Nomor 51 diatur Pasal 10 ini ibukota daripada Kabupaten Banggai Kepulauan itu adalah Banggai. Pasal 11 selambat-lambatnya lima tahun setelah diresmikan dipindahkan ke Salakan itu katanya. Nah, sekarang pemindahan ini, ini norma yang demikian ini, inikan biasa mengatur mengenai itu. Lantas Ahli mengatakan, “seandainya ini diatur di dalam aturan peralihan maka menurut Ahli ini konstitusional”. Karena sesuai dengan perundang-undangan. Jadi pertanyaannya apakah dengan Salakan kalau diatur ini menjadikan Salakan itu menjadi inkonstitusional? Karena Saudara menguji undang-undang ini, seolah-olah ya, menguji di dalam mengenai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Jadi ada beberapa masalah itu yang menjadi persoalan di dalam permohonan ini. Jadi kalau ahli jelaskan tadi itu tidak ada kaitannya dengan pengujian Undang-Undang Dasar tetapi pengujian dengan beberapa teori, beberapa masalah ini. Lantas apakah memang benar? Sebab undang-undang ini sudah lama Pak, tahun 1999. Artinya keinginan untuk pindahnya, pengaturan mengenai Pasal 11 itu sudah tahun 1999, Undang-Undang Nomor 51 itu. Tentu kalau sekarang umpamanya Anda tidak setuju, ya bisa-bisa saja bukan? Ini karena sudah berapa tahun, sudah sembilan tahun bisa saja. Lantas umpamanya saja kepada yang Ahli yang adat tadi, kalau umpamanya Ibukota RI ini pindah dari Jakarta ke Palangkaraya, apakah adat orang Sunda ini jadi berubah? Inikan pertanyaan. Itu saja Pak. 93.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Pertanyaan permintaan klarifikasi dari Hakim belum mencerminkan substansi putusan dan memang Hakim Konstitusi harus meminta klarifikasi dikejar terus. Saudara Sidang Panel plus ini berkesimpulan bahwa sidang pada pagi dan siang hari ini dipandang sudah cukup, sehingga untuk sidang berikutnya adalah pembacaan putusan. Saudara sebagaimana lazimnya menjelang putusan maka saudara diminta menyampaikan kesimpulan-kesimpulan. Kesimpulan tertulis yang diajukan sebelum persidangan pembacaan putusan yang bakal diberitahu oleh Kepaniteraan, tapi sudah siap-siap sekarang mengajukan kesimpulan dalam bentuk tertulis dan harap kiranya para ahli, keterangan ahli pada siang hari ini dapat diajukan secara tertulis dan itu menjadi beban daripada Pemohon dan ahli dari terkait menjadi beban terkait. Jadi harap kiranya itu, saya kira itulah jadi keputusan dari Mahkamah Konstitusi ini diharapkan menjadi solusi. Apakah ada lagi yang bakal dikemukakan atau sudah cukup? Oh ya begini Suadara Pemohon biasanya selain kesimpulan tertulis pada persidangan panel plus pada hari ini Saudara dipersilakan juga kalau ada dan kalau sudah siap mengemukakan kesimpulan lisan, sudah siap? atau semua nanti bakal tertulis.
41
94.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. MUIN FAHMAL, S.H. Apakah Majelis Hakim Prof Natabaya tadi tidak meminta dijawab pertanyaannya?
95.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Bagaimana kalau dijawab secara tertulis saja, dicatat baik-baik ya.
Nah baiklah jika demikian halnya menjelang ditutupnya persidangan ini
dari panelis dalam Sidang Panel Plus ini dengan ini menyatakan apresiasinya penghargaan kepada para ahli yang diajukan pada hari ini, yang pada saat ini beracara di Mahkamah Konstitusi. Baiklah sidang Panel Plus dengan ini dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.13 WIB
42