KontraS
Salam dari Borobudur
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Salam dari Borobudur
dibentuk untuk menangani persoalan
Pada akhir tahun 2006, tepatnya tanggal 7 Desember, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat putusan mengejutkan. Putusan itu ialah pembatalan diduga berhubungan dengan kegiatan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. politik yang mereka lakukan. Dalam penculikan beberapa aktivis yang
perjalanannya KontraS tidak hanya
Putusan MK ini menutup salah satu peluang legal penyelesaian pelanggaran berat HAM menangani masalah penculikan dan diluar mekanisme pengadilan. Artinya korban dan keluarganya atas pelanggaran HAM tersebut kembali hanya dapat berharap dengan mekanisme pengadilan HAM ad hoc penghilangan orang secara paksa tapi sebagaimana yang diatur UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, mekanisme juga diminta oleh masyarakat korban hukum ini bukan suatu yang mudah. Hambatan politik di parlemen dan keengganan pemerintah (Jaksa Agung) membuat mimpi tentang proses hukum selalu terpinggirkan. untuk menangani berbagai bentuk Artikel lengkap tentang putusan ini menjadi berita utama edisi akhir tahun 2006 ini. kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi
Pada edisi ini, kami menyajikan secara ringkas catatan akhir tahun 2006 KontraS. Sedang berita daerah, masih tentang konflik Poso yang seakan tak berujung, agenda HAM di Aceh paska pilkada, kasus perebutan tanah di Rumpin dan Runtu, serta pembubaran paksa sejumlah pertemuan dan diskusi yang diadakan di Bandung, Surabaya oleh ormas yang didukung sikap pembiaran polisi.
organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan
Sementara berita perkembangan kasus penghilangan paksa, peringatan hari HAM, kasus Semanggi menjadi bagian dari beberapa artikel yang kami tuang di rubrik rempahrempah. Pada bagian Kabar dari Seberang, kami menyajikan mengenai hukuman mati Saddam Husain, dan kematian Pinochet mantan penguasa Cile yang masih dalam status tersangka atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan selama berkuasa.
kekuasaan.
Tahun 2006 menjadi tahun yang begitu kelabu bagi perkembangan kasus sang pejuang hak asasi manusia Munir. Dengan remisi yang diberikan kepada Polly terkait perayaan KontraS diprakarsai oleh beberapa Natal oleh Menteri Hukum dan HAM, Polly-pun melenggang bebas. Perjuangan untuk organisasi non pemerintah dan satu mengungkap kasus ini kian berat. Tapi, siapapun dia dan dimanapun dia, kebenaran organisasi mahasiswa, yakni: AJI, dan keadilan itu pasti menang. Namun kita masih akan terus berutang untuk keadilan. CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, Karenanya, kita akan tetap menuntut dituntaskannya konspirasi pembunuhan ini. YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Gian, Nining, Abu, Victor, Sinung, Ori, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras: Mouvty dan Bustami. Asiyah (Aceh), Oslan Purba (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar,Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits dan Mufti Makaarim. Design layout: BHOR_14 Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau
[email protected]
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
2
BERITA UTAMA
Pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kembali membuat putusan mengejutkan dengan membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada Kamis (7/12). Dalam putusan sidang uji materi (judicial review) terhadap undang-undang itu, hanya ada satu pendapat berbeda (dissenting opinion) yang diajukan dari delapan hakim MK. Sebelumnya pihak pemohon hanya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji sejumlah pasal dari UU tadi, yang dinilai bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.
berdamai. Padahal, dalam Pasal 29 Ayat 1, KKR dikatakan “wajib” memutuskan rekomendasi amnesti. UU KKR juga dinilai melanggar aturan hukum internasional, dimana pemberian amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM berat tidak diperbolehkan.
Para pemohon yang terdiri dari Kontras, Elsam, SNB, Imparsial, LPKROB, LPKP serta sejumlah korban pelanggaran Lebih lanjut Majelis hakim MK mengatakan, semua fakta HAM meminta MK menguji Pasal 27 dan Pasal 1 Ayat 9, dan keadaan, menyebabkan tidak adanya kepastian keduanya soal pemberian amnesti, serta Pasal 44 tentang hak hukum, baik dalam rumusan normanya maupun korban menempuh jalur hukum. Sementara Pemohon kedua, kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang Arukat Djaswadi dan KH, M Yusuf Hasyim diharapkan. “Mahkamah berpendapat, dengan kuasa hukum Sumali, meminta MK asas dan tujuan KKR sebagaimana Dalam menguji Pasal 1 ayat 1, 2, dan Ayat 5 terkait termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 UU cara rekonsiliasi. pertimbangannya, KKR, secara keseluruhan bertentangan kedelapan anggota dengan UUD 1945 sehingga harus “Dari putusan itu kita bisa lihat betapa Majelis Hakim MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan buruknya kualitas DPR membuat UU. menilai telah terjadi hukum mengikat, “ kata Ketua MK Jimly Mereka, DPR dan juga pemerintah, kontradiksi dan Asshidiqie. seharusnya malu, dan harus minta maaf pencampuradukan kepada masyarakat yang juga pembayar Dikatakan Jimly, dengan dinyatakan UU pajak karena mereka telah menghabiskan aturan pasal-pasal KKR tidak memiliki kekuatan hukum uang puluhan miliar untuk membuat UU, dalam UU itu mengikat secara keseluruhan, tidak yang belakangan dibatalkan karena berarti mahkamah menutup upaya dianggap bertentangan dengan UUD 1945 penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui seperti sekarang, “ ujar Asmara Nababan. upaya rekonsiliasi. Menurut majelis hakim MK, banyak Menurut Asmara, putusan MK tersebut tetap akan cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan berdampak mengecewakan bagi para korban pelanggaran mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum HAM masa lalu. Dengan dibatalkannya aturan UU tentang yang lebih serasi dengan instrumen HAM yang berlaku KKR, mereka terpaksa kembali menunggu aturan baru secara universal atau dengan melakukan rekonsiliasi terbentuk. Akan tetapi, tidak sepenuhnya membuat pelaku melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum. pelanggaran HAM berpesta pora. Sebab, pelaku pelanggaran HAM bisa diadili dengan UU Peradilan HAM. Selain itu, kata Asmara, Tap MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional mewajibkan DPR dan pemerintah untuk membuat UU untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM, sesuai dengan UUD 1945. “Apalagi dalam amar putusan MK, mewajibkan DPR dan pemerintah untuk membuat UU baru yang lebih sesuai, “ kata Asmara. Dalam pertimbangannya, kedelapan anggota Majelis Hakim MK menilai telah terjadi kontradiksi dan pencampuradukan aturan pasal-pasal dalam UU itu. Ketidakpastian dan ketidakkosistenan hukum itu terjadi salah satunya terkait Pasal 28 Ayat 1, yang menyebutkan KKR “dapat” memberi rekomendasi kepada Presiden untuk memberi amnesti ketika di antara para pelaku dan korban saling memaafkan dan
3
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Pendapat berbeda Dari sembilan hakim MK itu, salah satu hakim memberikan pendapat berbeda (disseting opinion) dalam putusan tersebut, yakni I Dewa Gede Palguna. Ia berpendapat, konstitusionalitas Pasal 1 angka 9 UU KKR tidak bertentangan dengan UUD 1945, bukan saja karena wewenang untuk memberikan amnesti, melainkan juga karena pemberian amnesti dalam konteks keseluruhan ketentuan UU KKR adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yakni persatuan nasional. Menurut Palguna, Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 namun bukan sepenuhnya karena alasan sebagaimana didalilkan pemohon, melainkan karena ketentuan Pasal 27 UU KKR dimaksud tidak memberikan
BERITA UTAMA
kepastian hukum dan keadilan baik kepada korban maupun pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
metode penyelesaian di Afrika Selatan semacam islah di Indonesia. Dengan pembatalan UU KKR, islah tersebut harus melewati pengadilan.
Ketentuan Pasal 27 UU KKR, tambah Palguna, tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti sebab amnesti adalah jelas kewenangan presiden setelah mendengar keputusan DPR.
Hal senada dikatakan oleh anggota DPR dari Partai Golkar, Andi Mattalata, bahwa sebagai konsekuensi pencabutan UU KKR, semua penanganan masalah pelanggaran hak asasi manusia berat dan keputusannya akan lewat pengadilan. “Jika kasusnya berlaku surut keputusannya kembali ke DPR, “ ujarnya.
Putusan MK itu diambil berdasarkan permohonan uji materiil UU KKR terhadap pasal 27, pasal 44 dan pasal 1 angka 9 UU KKR. Pasal 27 UU KKR berbunyi, “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. “ Pasal 1 angka UU KKR berbunyi, “Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR.” Sedangkan Pasal 44 KKR berbunyi “Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM.”
Sedang Wakil ketua Komisi Hukum DPR Almuzamil Yusuf mengusulkan DPR segera meninjau kembali kewenangan MK. Sebab menurutnya, jangan sampai undang-undang yang dihasilkan DPR bisa dibatalkan begitu saja oleh MK.
Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD 1945.
Negara tetap bertanggung jawab Sementara itu, untuk kembali mengingatkan, penyusunan mekanisme KKR ini memang sudah menunjukkan upaya-upaya untuk memangkas hak-hak korban dan keluarga korban serta lebih menitikberatkan pada proses rekonsiliasi. Karenanya, sejak awal dengan tegas korban pelanggaran HAM menolak UU ini, seperti yang disampaikan kepada Pansus RUU maupun kepada publik.
Alasan lainnya, karena bagian terpenting dari upaya penyelesaian masa lalu adalah pengungkapan kebenaran (truth), perwujudan keadilan (justice) yang bermakna Dok.Kontras menghentikan praktek impunitas Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dan pemulihan hak-hak korban (reparation) yang meliputi rehabilitasi, restitusi dan kompensasi dan jaminan tidak berulangnya kembali peristiwa tersebut di masa depan. Hak-hak fundamental ini Pasal 27 UU KKR, kata pemohon, bertentangan dengan bersifat mutlak dan harus dijamin oleh Negara, dalam bentuk Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal 28 1 atau mekanisme apapun. ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). Sedangkan Pasal 44 UU KKR dinilai oleh pemohon bertentangan dengan pasal 28 Terlebih kondisi tersebut juga didukung sepenuhnya oleh D ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 1 Ayat (2) dan pasal 28 1 mekanisme hukum internasional dan universal, hak-hak Ayat (4) UUD 1945. korban ini bersifat mutlak. Tak bisa ditawar-tawar apalagi dipertukarkan. Tanpa adanya jaminan dan pemenuhan hakPenanganan lewat pengadilan hak korban ini maka rekonsiliasi hanya menjadi rekonsiliasi semu dan hanya menjadi alat politik kekuasaan yang Menanggapi pencabutan UU KKR ini, Wakil Presiden Jusuf ditegakkan diatas genangan darah korban. Kalla, mengatakan, bahwa hal tersebut secara otomatis mengubah cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM Karenanya, meski UU KKR ini dibatalkan MK, tak berarti berat. “Penyelesaianya lewat pengadilan, “ ujar Wapres mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tertutup. Negara tetap harus bertanggungjawab atas (14/12). pemenuhan hak-hak korban. Tidak ada lagi alasan bagi Menurut Wapres, KKR adalah upaya meniru metode seluruh aparat negara untuk mengalihkan kasus ini melalui penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Afrika Selatan. mekanisme KKR maupun menunda-nunda proses “to forgive not to forget.” Wapres lebih lanjut mengatakan, penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM ini.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
4
BERITA UTAMA Pembatalan itu merupakan peluang bagi munculnya mekanisme luar biasa. Misalnya, negara harus segera membentuk komisi reparasi untuk korban pelanggaran HAM. Pemerintah juga harus segera melakukan terobosanterobosan yang dapat menjamin keadilan dan pemenuhan hak-hak korban. Penuntasan kasus-kasus ini harus dilakukan secara khusus dan luar biasa. Pengalaman pengadilan HAM Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura yang membebaskan para pelaku serta tidak memberikan reparasi bagi korban harus menjadi alat koreksi mekanisme pengadilan HAM agar ke depan dapat bekerja secara efektif dengan didukung dengan komitmen politik yang penuh dari
seluruh aparatus negara. Selain itu, tidak ada alasan lain bagi Kejaksaan Agung untuk tidak melakukan penyidikan atas kasus Trisakti Semanggi I dan II, Mei 1998, Penculikan Aktivis 97/98, Wasior dan Wamena. Sementara Komnas HAM harus membuka kebenaran atas apa yang terjadi sesungguhnya pada peristiwa 65. Korban pelanggaran HAM juga menggugat komitmen politik Presiden RI dan pemerintah atas penyelesaian kasus-kasus HAM sesuai janjinya. Pemerintah harus menjadikan hal ini sebagai agenda penting bagi proses pelurusan sejarah. Maka keterlibatan masyarakat luas, akademisi, kelompok agama menjadi hal yang penting.***
Jangan Tunda Pengadilan HAM Ad Hoc Pembatalan UU KKR Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi, malah mendorong keluarga korban kekerasan politik dan penghilangan paska serta korban kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Semanggi menuntut pemerintah membentuk pengadilan ad hoc. Apalagi, pengungkapan kebenaran, pemulihan hak korban, dan keadilan adalah bentuk yang mutlak diberikan kepada korban dan keluarganya. “Selain itu, pemenuhan hak korban itu tak bisa ditawar-tawar, apalagi dipertukarkan, “ tutur Sumarsih, ibu Wawan, korban tragedi Semanggi. Sedang bagi Ruminah, yang kehilangan Gunawan anak ketiganya pada kerusuhan di kawasan Klender, Jakarta Timur pada 14 Mei 1998, mengungkapkan, hadirnya pengadilan ad hoc menjadi penting bagi mereka. Apalagi hingga saat ini berbagai kasus pelanggaran HAM yang sudah disidik dan diperiksa justru macet di Kejaksaan Agung. Keluarga korban juga mengatakan bahwa prosedur penanganan pelanggaran HAM di negara ini dinilai belum berpihak kepada korban dan keluarganya. Ho Kim Ngo, ibunda Yun Hap yang tewas pada kerusuhan di Semanggi, menuturkan, DPR dan Jaksa Agung selalu saling melempar tanggung jawab kasus pelanggaran HAM itu. “ Jaksa Agung tampak tak berpihak pada perjuangan pembelaan HAM. Saat peringatan hari HAM, ia tak ikut turun ke jalan, tetapi saat kampanye antikorupsi ia turun ke jalan. Jaksa Agung tidak pernah fokus pada perkara pelanggaran HAM, “ungkap Ho Kim Ngo. Keinginan korban atau keluarga korban pelanggaran HAm agar pemerintah membentuk pengadilan ad hoc untuk menangani kasus pelanggaran HAM, menurut Enny Soeparto adalah wajar. Bahkan, langkah itu menurut UU No.26/200 tentang Pengadilan HAM adalah yang paling sesuai. “Apalagi, setelah mekanisme ekstrajudisial tak bisa dilakukan dan pengadilan umum biasa tidak bisa melakukanya, “ kata Enny. Sementara menurut Komisioner Komnas HAM Roeswiyati Surya Saputra, tidak terlalu sulit menyelesaikan pelanggaran HAM melalui pengadilan ad hoc HAM.
5
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Kejaksaan Agung tinggal membentuk tim penyidik menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM. Sedangkan DPR merekomendasikan pembentukan peradilan ad hoc HAM.
Peraturan Pengganti Kontras menilai, untuk mengatasi kekosongan hukum ini, penting dibentuk peraturan untuk mengganti UU nomor 27/2004 tentang KKR yang telah dibatalkan tersebut. Pengantinya bisa berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau peraturan presiden. Perpu harus dibuat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu yang lebih komprehensif. Namun peraturan itu tidak boleh melanggar konstitusi. Bila tidak segera dikeluarkan Perpu atau Perpres, jelas bahwa pemerintah saat ini adalah bagian dari pemerintah masa lalu yang justru melindungi para pelaku pelanggaran HAM. Bahkan pemerintahan ini diduga sebagai bagian dari para pelaku pelanggaran HAM itu sendiri. Putusan MK yang membatalkan UU tentang KKR menunjukkan bahwa tidak ada sinkronisasi di antara institusi negara di Indonesia. Karena ada sejumlah UU yang mendapat imbas dari putusan MK tersebut yaitu UU No.22/200 tentang Pengadilan HAM, UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, dan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dampaknya juga akan berpengaruh pada perkembangan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dan Papua yang menggantungkan pembentukannya pada mekanisme nasional. Sehingga apapun bentuk aturannya, hal itu tetap harus disandarkan pada prinsip internasional dan konsitusi yang mengharuskan negara menjamin dan menjalankan kewajiban konsitusionalnya untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran Hak Asasi Manusia berupa kebenaran, keadilan dan pemuliha, terhadap apa yang telah dialami ***
OPINI
Agenda Keadilan Paska Putusan MK, Lalu Apa? Oleh: Haris Azhar*
Banyak kalangan sibuk menempatkan dirinya dalam posisi menolak atau menerima putusan pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Terutama pihak DPR yang menyayangkan putusan MK atas pembatalan UU KKR. Bahkan sebagaian dari kalangan DPR, mempertanyakan kewenangan MK dimasa depan. Sesungguhnya, apa yang menjadi masalah dinegeri ini? Lalu bagiamana menjawab tantangan ini paska putusan Mahkamah Konstitusi?
Kegagalan atau Tantangan
penyidikan atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM, sudah sepatutnya Presiden mengeluarkan ide-ide yang mampu menjawab kebutuhan para korban dan hutang atas kebenaran terhadap bangsa ini.
Munculnya komitmen politik Presiden bisa memunculkan sikap atau respon dari kekuatan-kekuatan politik dinegeri ini terhadap penuntasan kejahatan rezim represif. Sekaligus bisa memperlihatkan sejauhmana keterlibatan kekuatankekuatan politik tersebut. Atau, sejauhmana relasi-relasi para kelompok yang merespon dengan rezim lama yang represif. Sebaliknya, KKR hanyalah cara untuk jika Presiden pasif membiarkan mengupayakan keadilan kejahatan masa lalu sama artinya dimasa transisi politik bahwa Presiden membiarkan korban paska konflik atau paska dan keluarga korban hidup dengan rezim represif disebuah luka dan ketidak jelasan serta meninak bobokan pelaku ditengah angin puyuh Negara. KKR bukan tujuan keresahan bangsa akan kebenaran. utama. Yang menjadi Seperti apa komitmen politik tujuan utama adalah pemerintah harus dibangun?
Secara konstitusional, putusan MK menunjukkan bahwa UU KKR tidak memenuhi standar HAM sebagaimana yang telah dijamin dalam UU D 1945. Selain itu, kekecewaan DPR atas putusan MK menunjukkan bahwa seolah perumusan UU KKR hanya menjadi domain kerja kalangan politisi di DPR. Pula, menunjukkan bahwa proses perumusan UU KKR tidak melibatkan mengupayakan keadilan, para korban secara egaliter. Terbukti mengungkap kebenaran Keadilan Transitional hanya kelompok-kelompok korban yang terorganisir yang bisa diundang ke KKR hanyalah cara untuk senayan. Itupun hanya 1 kali. Artinya, mengupayakan keadilan dimasa Perumusan penyelesaian kejahatan transisi politik paska konflik atau rezim represif masa lalu di Indonesia direduksi dalam paska rezim represif disebuah Negara. KKR bukan tujuan sebuah mekanisme pembuatan UU semata. utama. Yang menjadi tujuan utama adalah mengupayakan Terlepas dari kegagalan sistem negara untuk mewujudkan keadilan, mengungkap kebenaran pelurusan sejarah bangsa hak-hak korban atas keadilan dan hak masyarakat secara dan perbaikan kondisi bangsa, terutama para korban luas atas kebenaran sejarah bangsa, faktanya kasus-kasus kejahatan rezim penguasa serta jaminan tidak berulangnya pelanggaran berat HAM masih belum tuntas. Bahkan kejahatan-kejahatan tersebut saat ini dan dimasa depan. Oleh kejahatan dan kekerasan masih terjadi dimana-mana karenanya, mekanisme dalam perwujudan keadilan dimasa dimuka bumi negeri ini. Oleh karenanya dibutuhkan transisi dianggap sebagai sebuah tindakan ekstra judisial. moralitas politik dimana masyarakat dan kebutuhannya Hal ini tidak semata-mata sebagai tindakan politis, akan tetapi sebagai harapan akan hasil yang luar biasa, yang diutamakan. mampu menggambarkan pola-pola kejahatan dan dampakTidak penting untuk terus menerus mempermasalahkan dampaknya terhadap korban, keluarga korban pelanggaran putusan MK. Yang penting segera dilakukan adalah HAM serta bagi bangsa. Lalu bagaimana mengupayakannya? meminta Presiden menunjukkan komitmen politiknya untuk menuntaskan pelanggaran berat HAM masa lalu. Pertama, melalui dasar moral politik. Harus ada kesadaran Ketika DPR gagal mengaspirasikan tuntutan keadilan dan dan kemauan politik dari penguasa dimasa transisi. Hal ini kebenaran bagi korban dalam rumusan UU KKR yang harus ditunjukkan dengan menjadikan penuntasan problem sesuai UUD 1945, seharusnya Presiden menunjukkan sikap masa lalu sebagai agenda utama sebuah pemerintahan. negarawan-nya. Setelah MK membatalkan UU KKR, Aceh Alasannya, sederhana saja, jika dimasa depan kita sebagai melakukan Pilkada, Papua makin terakumulasi dengan bangsa tidak mau terjerumus dalam kekerasan, sebagaimana kekerasan dan para korban peristiwa 1965 makin tua, dan dimasa lalu, maka wajib hukumnya untuk mengetahui Kejaksaan Agung menolak melaksanakan tugas kesalahan sistem berbangsa di masa lalu.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
6
OPINI
Kedua, melalui upaya yang egaliterian. Pemerintahan transisi harus melibatkan masyarakat seluas mungkin, terutama para korban dan keluarga korban kejahatan rezim represif, dalam perumusan mengupayakan keadilan, pengungkapan kebenaran dan pelurusan sejarah bangsa. Oleh karenanya dibutuhkan sensitifitas penguasa terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Selain itu, mengajak masyarakat untuk berbicara merupakan bagian dari healing kewarganegaraan terhadap mereka yang trauma dan dipaksa bungkam terhadap penguasa. Ketiga, melalui upaya yang konstitutional. Karena sifatnya yang mendasar, sebuah konstitusi biasanya tidak bisa merekomendasikan secara eksplisit penuntasan sebuah kejahatan rezim represif. Akan tetapi konstitusi, baik dimasa rezim yang represif maupun sesudahnya, harusnya menjamin HAM setiap warganegara dan setiap penduduk
yang ada diyurisdiksi konstitusi tersebut. Dan, selanjutnya konstitusi ini digunakan dalam pembentukan penyusunan aturan-aturan hukum guna penuntasan kejahatan rezim represif. Pada akhirnya upaya penuntasan kejahatan dimasa lalu dan upaya menghadirkan keadilan bagi para korban dan kebenaran bagi bangsa menjadi keharusan. Baik secara politis, sosial dan konstitusional. Disisi lain, setelah tindakan-tindakan diatas dilakukan, akan menempatkan pelaku pada posisi yang terpojok. Akan tetapi juga tidak semena-mena karena semua elemen bangsa, baik korban dan pelaku serta negara dalam posisi sejajar dihadapan hukum. Kebenaran yang didapat secara akuntabel melalui hukum yang menghormati HAM akan menjadi hakim atas kesalahan para pelaku.
* Ka.Div. Pemantauan Impunitas dan Reformasi Institusi
Bila anda tertarik soal kasus kasus pelanggaran HAM termasuk perkembangan kasus pembunuhan Munir anda dapat mengunjungi www.kontras.org Anda juga dapat mendownload terbitan kami seperti buletin, buku-buku, serta sejumlah data dan peraturan nasional, internasional terkait dengan Hak Asasi Manusia Web ini juga bisa dimanfaatkan untuk para peneliti yang tengah mendalami isue seputar HAM dan demokrasi di Indonesia Bagi mereka yang suka "nakal" atau memantau kami, melalui web ini akan memudahkan anda mengenal lebih dalam tentang KontraS Selamat berkunjung!
7
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
JEJAK SANG PEJUANG
Pollycarpus Bebas! Akhir Desember 2006, tepatnya pada (25/12), Pollycarpus bebas setelah mendapat remisi sejumlah tiga bulan. Pollycarpus-pun segera meninggalkan LP Cipinang pada pukul 09.00 WIB setelah surat remisi untuknya diterima 45 menit sebelumnya. Ia ditahan di LP Cipinang sejak 3 November lalu. Pada 3 Oktober lalu, Pollycarpus dinyatakan tidak terbukti terlibat dalam pembunuhan Munir oleh MA. Padahal, sebelumnya ia dinyatakan terbukti ikut membunuh Munir dan dihukum 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (20/12/2005). Akan tetapi, MA kemudian menyatakan ia hanya terbukti menggunakan surat palsu sehingga hukumannya diubah menjadi dua tahun. Dan kini ia dapat melenggang bebas sebelum masa hukumnya selesai lantaran remisi yang ia terima. “Pollycarpus sebenarnya baru akan bebas 19 Maret 2007. Dia bisa bebas pada tanggal 25 ini karena mendapat dua kali remisi, remisi Natal selama satu bulan dan remisi umum susulan selama dua bulan,” ujar Kepala Bidang Pembinaan Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Abdul Aris. Kepala Humas Dirjen Pemasyarakatan Akbar Hadiprabowo menjelaskan, remisi umum susulan didasarkan pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM tanggal 22 Mei 2006. Remisi ini diberikan kepada narapidana yang perkaranya pertanggal 17 Agustus sudah mendapat putusan pengadilan dan sudah menjalani masa penahanan, tetapi belum menerima keputusan hukum. “Ini sudah bukan dadakan, “ ujar Aris. Pemberian remisi ini tentu membuahkan kekecewaan Suciwati serta KASUM. Suci dan KASUM menilai pemerintah sangat tidak peka terhadap rasa keadilan masyarakat, sekaligus memicu pertanyaan terhadap komitmen pemerintah menangani kasus ini. “Sejak awal dia (Pollycarpus) dijatuhi hukuman akibat pemalsuan dokumen saja saya sudah sangat kecewa. Sekarang Menteri Hukum dan HAM malah memberinya remisi. Saya menilai Presiden memang akal-akalan saja menuntaskan kasus ini. Walaupun demikian saya tidak putus asa, “ tegas Suciwati. Sementara Romo Sandyawan mengungkapkan pemberian remisi terhadap Pollycarpus terkait dengan Perayaan Natal adalah bentuk pelecehan terhadap subtansi perayaan kelahiran Isa Al Masih. “Pengampunan adalah untuk kemanusiaan, bukan dalam bentuk impunitas yang justru merendahkan pesan Natal,” tambahnya. Dengan pemberian impunitas tersebut justru terlihat jelas peran negara yang berusaha menenggelamkan kasus Munir dalam kompleksitas permasalahan. Sedang menurut Usman Hamid, dirinya sangat menyesalkan sikap pemerintah yang tidak serius
menangani perkara pembunuhan Munir. “Kalau Pollycarpus bebas saat ini, maka pemerintah harus dengan serius membuktikan bahwa ada pihak lain yang berperan dalam pembunuhan Munir. Jadi, buktikan itu siapa, “ ucap Usman. Usman menuturkan, pemberian remisi yang berujung pada pembebasan Pollycarpus kian menunjukkan politik HAM Yudhoyono masih sebatas retorika dan belum merujuk pada aksi. “Presiden berkali-kali menyatakan akan mengusut tuntas pembunuhan Munir, tetapi di sisi lain Pollycarpus diberi remisi tiga bulan. Padahal, perilaku Pollycarpus selama penyidikan dan penyelidikan tak koopratif. Kebijakan yang tidak jelas ini memperburuk upaya penegakan HAM di masa mendatang serta akan menguatkan serangan pada korban HAM yang menuntut pada keadilan” ucapnya. Usman Hamid juga mendesak Kepala Kepolisian Jenderal (Pol) Sutanto untuk menjelaskan secara rinci kepada publik dan DPR tentang perkembangan penyelidikan kasus pembunuhan Munir. Penjelasan itu untuk meyakinkan bahwa saat ini proses penyelidikan masih terus berjalan. Bagi Usman, penjelasan itu langkah mutlak sebagai prasyarat menuju langkah baru pasca remisi Pollycarpus. “Pernyataan Kepala Polri, bahwa polisi masih jalan-jalan menyelidiki kasus itu, biasa-biasa saja. Padahal, yang diperlukan bukan sekadar rencana atau penjelasan normatif, tapi harus menyodorkan kerja Polri yang signifikan, “ kata Usman. Usman juga menyinggung kinerja Kejaksaan Agung. Ia menyatakan memang memalukan bila sampai dua tahun kasus Minur tetap tidak jelas. Untuk itu Jaksa Agung memang punya kewajiban untuk segera membuka misteri kasus ini. “Yang perlu dilakukan Jaksa Agung adalah menjelaskan siapa dan atas perintah siapa orang yang membunuh Munir itu. Ini yang samapai sekarang tidak ketemu. Kami terus bertanya kenapa tidak ada kemajuan berarti sampai saat ini, “ ujar Usman. Di sebuah harian Ibukota, secara terpisah, Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto memastikan bahwa kasus Munir tidak akan diabaikan begitu saja meski Pollycarpus telah benarbenar bebas dari lembaga pemasyarakat. “Polisi tidak akan pernah membiarkan kasus ini. Kita lanjutkan terus penyelidikannya, “ ujar Sutanto. Sedang menurut Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Anton Bahrul Alam, beberapa penyidik masih ada yang di Belanda dan Singapura. Sebagian telah kembali ke Jakarta, tetapi masih ada yang belum kembali. “Jadi belum bisa disampaikan. Tunggu yang lain (penyidik) kembali, “
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
8
JEJAK SANG PEJUANG kata Anton saat ditanya apakah penyidik sudah berhasil menemukan perkembangan yang signifikan. Selain mencari bukti-bukti baru, penyidik juga berusaha mencari saksi-saksi tambahan baru.
Jaksa Agung yakin Munir dibunuh Sementara itu Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yakin bahwa Munir memang benar dibunuh. “Pollycarpus boleh saja bilang ia yakin Munir tidak dibunuh. Kejaksaan Agung yakin sebaliknya. Munir dibunuh, dia diracun, “ ujar Jaksa Agung. Dirinya menyatakan keyakinan bahwa Munir dibunuh itu didasarkan hasil forensik dokter di Belanda. Data tersebut menyatakan ada racun dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kematian. Dalam kasus Munir, Jaksa Agung menilai banyak hal-hal yang tidak logis. Untuk itu pihaknya bersama Kepolisian telah memiliki komitmen yang sama untuk menyelesaikan perkara tersebut. “Kita akan kejar terus. Sekarang tim sedang di Amerika meneliti SMS-SMS yang berjalan, “ katanya. Sebagai contoh kejanggalan itu, Jaksa Agung menyebutkan diantaranya pada kasus telepon Pollycarpus kepada isteri Munir, Suciwati, yang menanyakan jadwal penerbangan Munir. Tawaran Pollycarpus untuk bertukar tempat duduk ini jelas butir pertanyaan tersendiri. Tempat penginapan yang diaku sebagai tempat Pollycarpus menginap pun setelah di cek ternyata juga tak tercantum nama Pollycarpus. “Banyak cerita dengan big question. Perkara Munir ini adalah perkara besar yang memalukan kalau tidak terbongkar, “ tegas Abdul Rahman. Di tempat terpisah, Wakapolri Komjen Makbul Padmanegara juga melemparkan pernyataan serupa. Ia menegaskan, di depan polisi ketika penyelidikan berlangsung Pollycarpus adalah tersangka. Dengan status tersebut, maka Pollycarpus memang bisa berkata apa saja. Ini berbeda jika posisinya sebagai saksi, yang di muka pengadilan harus mengatakan hal sebenarnya. Meski tak mau berpolemik tentang putusan MA, Makbul menolak keyakinan Pollycarpus. “Polisi berkeyakinan Munir dibunuh. Keyakinan itu berdasarkan hasil investigasi kriminal secara ilmiah, termasuk penelitian hasil forensik yang melibatkan beberapa negara, “ ujarnya.
Penangangan kasus tetap jalan Pollycarpus boleh saja bebas, namun penanganan kasus terbunuhnya Munir tetap harus jalan. “Lepasnya Pollycarpus tidak menghilangkan kewajiban negara untuk mengungkap kasus Munir. Bahkan remisi itu merupakan pelecut bagi MA untuk mengungkap kasus yang ada, “ ungkap Direktur LBH Jakarta, Asfinawati. Remisi yang diberikan kepada Pollycarpus, menurut Asfin adalah subjektif. Karena syarat-syarat pemberian remisi, seperti berkelakuan baik, sangat normatif bagi mereka yang dipenjara. remisi itu dapat diberikan kepada siapa saja.
9
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
“Bagaimana mungkin mereka dipenjara tidak berkelakuan baik? Mereka berada dalam pengawasan. Apakah mereka yang memberi sumbangan dapat dinilai sebagai berkelakuan baik? Jika seperti itu, maka mereka yang kaya yang akan dinilai berkelakuan baik, “ ujarnya. Namun, Asfin menegaskan bahwa proses hukum kasus Munir harus terus jalan karena hal tersebut merupakan kewajiban dari pihak kepolisian. Jika tugas tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum. Pengungkapan kasus Munir tetap harus terus dilakukan, karena dari penemuan TPF kasus Munir, Pollycarpus hanyalah salah satu dari pelaku lapangan yang menghilangkan nyawa Munir. “Masih ada pelaku lain serta dalang kasus itu, dimana kalau Polri serius pasti diseret semuanya ke muka hukum, “ ujar Direktur Eksekutif Demos Asmara Nababan. Menurut Asmara, kunci untuk menuntaskan kasus Munir, tergantung dari komitmen politik dari Presiden SBY. “Saudara Presiden pada bulan Oktober 2006 merevitalisasi tim kasus Munir di Mabes Polri. Mana kerja tim itu? “ ujar Asmara. Bagi Asmara, tim baru yang dibentuk dan disebut Presiden sebagai tim yang sudah direvitalisasi merupakan tim yang kerjanya buruk. Dikatakan buruk karena tim tersebut dipimpin oleh Brigjen Polisi Surya Dharma yang sebelumnya memang telah terbukti kegagalannya dalam menangani kasus Munir. Asmara juga mengakui, dengan bebasnya Pollycarpus pengusutan kasus Munir agak sulit, namun bukan berarti tidak bisa. Banyak sekali bukti, fakta, arah atau petunjuk untuk bisa mengungkap tuntas kasus Munir. “Kalau Polri benar-benar menggunakan data yang dimilki TPF, maka kasus ini cepat terungkap, “ kata Asmara. Namun Asmara menegaskan, ia dan teman-teman aktifis penegak HAM, baik yang berada di Indonesia maupun yang berada di negara-negara lain, akan terus menagih janji pemerintah untuk menuntaskan kasus ini. “Presiden jangan main-main, kita tidak tinggal diam, “ ujarnya.
Pollycarpus dipecat Sementara ditengah berita bebasnya Pollycarpus, Manajemen PT Garuda Indonesia memecat Pollycarpus BP sebagai pilot. “Dia (Pollycarpus) per-1 November dikenai PHK, “ujar pelaksana Harian juru bicara Garuda, Singgih Handoyo. Menurut Singgih, alasan pemecatan itu berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan dan Perjanjian Kerja Bersama antara Manajemen Garuda dan Serikat Karyawan Garuda. Dia menjelaskan pasal 160 Undangundang Ketenagakerjaan yang ditegaskan dalam Pasal 38 Perjanjian Kerja Bersama menyatakan bahwa seorang
JEJAK SANG PEJUANG
karyawan bisa dipecat jika ditahan lebih dari enam bulan karena tersangkut kasus.
melakukan tindakan efektif dalam menuntaskan kasus kematian pejuang HAM Munir.
Mungkin Pollycarpus bisa bebas “dulu” kini. Tapi perjuangan untuk tetap meneruskan kasus terbunuhnya Munir dan menyeret semua pihak yang terlibat dalam konspirasi pembunuhan ini tak bisa dihentikan. Karena bila tidak, sampai kapanpun kita akan masih terus “berhutang” pada Munir dan “berhutang” pada hukum dan kebenaran itu sendiri.
ltu belum termasuk dukungan organisasi non pemerintah dunia, seperti perwakilan LSM perempuan sedunia (15/12/ 05), Yayasan Northcote Parkinson Fund (4/10/05) berupa penghargaan “Civil Courage Prize” atau Keberanian Sipil, yang juga diberikan pada Min Ko Naing (aktifis oposisi Birma) dan Anna Politkovskaya (jumalis Rusia yang diduga keras diracun oleh Agen Rahasia Rusia) dan Times Asia Magazine kepada Suciwati, istri Munir melalui penghargaan sebagai salah satu Asia’s Heroes 2005 (5/10/05). Dan terakhir, penerimaan penghargaan HAM untuk Almarhum Munir dan Suciwati oleh organisasi HAM AS (Human Rights First) di New York (16/ 10/06).
Dukungan Internasional Ketidakseriusan pemerintah, khususnya Presiden SBY juga tampak dalam ketidakseriusan menanggapi tawaran bantuan dari pihak lain untuk membantu menuntaskan kasus ini. Padahal, penghormatan, dukungan hingga pada tawaran untuk membantu penegakan keadilan atas kasus ini begitu kasat mata. Delegasi Parlemen Eropa yang berkunjung ke Indonesia, mempertanyakan kelambanan pengusutan kasus Munir pada Komisi I DPR, 26 Juli 2005. Kongres AS, termasuk mantan kandidat Presiden AS Denis Kucinich dan Patrick J. Kennedy (keponakan Mantan Presiden AS John F . Kennedy) melalui surat bersama, mendesak Presiden SBY segera menuntaskan kasus Munir (27/10/05). Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM Mrs. Hina Jilani dan Pelapor Khusus PBB untuk Kemandirian Pengacara dan Hakim Mr. Leandro Despouy menyurati Pemerintah Indonesia, pada 23 November 2005. Dukungan Uni Eropa secara langsung disampaikan oleh Presiden Komisi UE Jose Manuel Barroso yang menanyakan langsung perkembangan penuntasan kasus Munir pada Presiden SBY pada 11 September 2006. Sebelumnya, pada 28 Juni-5 Juli 2006, masyarakat Eropa kembali menegaskan komitmennya. Saat itu pemerintah dan parlemen Belanda menjanjikan keterbukaan dalam tawaran kerjasama penyelidikan maupun konsistensi untuk memantau perkembangan kasus. Sementara, Parlemen Eropa menjanjikan berkunjung kembali ke Indonesia. Dukungan masyarakat ASEAN juga penuh, terutama saat kampanye perlindungan pembela HAM bersama yang diwakili oleh kunjungan Kun Angkhana, istri mendiang aktivis Thailand Selatan yang hilang, Somchai Neelaphaichit ke Jakarta (24-26/7/06). Pada 16-20 Oktober 2006, perhatian masyarakat, pemerintah dan kongres AS bahkan PBB tetap mengalir. Seperti kesediaan para anggota Kongres dan Senator AS untuk kembali menyurati pemerintah RI mengenai pentingnya penuntasan kasus Munir bagi kedua negara. Kesediaan Pemerintah AS yang ditegaskan oleh Acting Secretary of State AS Scott Marciel untuk mendesak Pemerintah RI mengusut kasus Munir sampai tuntas. Kesediaan Special Rapporteur PBB untuk Extra Judicial Executions Profesor Philips Alston di New York, (20/10) untuk dilibatkan dalam investigasi kasus Munir, termasuk berkunjung ke Indonesia. Hal ini akan diawali dengan menyurati pemerintah Republik Indobesia untuk segera
Harusnya semua penghormatan dan simpati dunia terhadap Almarhum Munir serta perjuangan untuk menuntaskan kasusnya merupakan investasi moral bagi penegakan hukum di Indonesia. Dan seharusnya pula perhatian ini menumbuhan kesadaran dan komitmen penegakan hukum di Indonesia, untuk memastikan Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat diantara bangsa-bangsa di dunia. Namun, mengapa hingga kini pemerintah terkesan memang tak peduli meski dukungan internasional tersebut terus mengalair?
Internasionalisasi kasus Munir sah Sementara itu, meski Pemerintah seakan tak serius menangani kasus ini, namun perjuangan yang tak henti dalam mengungkap kasus terbunuhnya perjuang HAM ini terus dilakukan, termasuk dengan mencari dukungan dari pihak luar yang sedari awal memang telah memberikan simpati dan perhatian yang besar terhadap kasus ini. Direktur Eksekutif Human Right Watch Group Rafendi Djamin menilai upaya kalangan aktivis hukum dan hak asasi manusia meminta bantuan internasional untuk mengungkap pembunuhan pejuang HAM Munir merupakan hal yang sah dari segi hukum dan hubungan internasional. Hal itu sama sekali tidak melanggar kedaulatan hukum sebagaimana digembar-gemborkan sejumlah pejabat. “Logika berpikirnya jangan dibalik. Justru ketika aparat pemerintah sendiri tidak mampu mengungkap kasus tersebut, maka pemerintah harus membuka diri terhadap bantuan dari negara lain. Tidak ada kedaulatan yang dilanggar karena kita juga sudah meratifikasi kovenan hak sipil dan politik. Apalagi kita juga menjadi anggota Dewan HAM PBB, “tegas Rafendi, Rabu (8/11). Mandeknya, penuntasan kasus ini justru menjadikan Indonesia terpuruk di mata internasional sebagai negara pelanggar HAM berat. Ia meminta pemerintah tidak picik, melihat upaya internasional-memberikan bantuan maupun tekanan kepada Indonesia untuk menuntaskan kasus tersebut. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertema “Kasus Munir dalam Hukum Internasional” yang digelar pada (8/11) oleh Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM)
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
10
JEJAK SANG PEJUANG
dan Human Rights Working Group (HRWG). Diskusi ini mengungkapkan bahwa pemerintah dan sejumlah pihak diminta tidak bersifat “arlegi” terhadap upaya yang dilakukan keluarga korban bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat atau LSM untuk terus menjajaki upaya lain di luar mekanisme dan sistem hukum Indonesia dalam menuntaskan dan mengungkap kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir. Upaya menempuh jalur internasional, seperti melalui mekanisme pelapor khusus (spesial rapporteur) Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Mahkamah Pidana Internasional, justru disebabkan berbagai faktor internal dalam negeri yang selama ini dirasakan menghambat penegakan hukum. “Mengapa sampai perlu mengupayakan jalur hukum internasional? Hal itu karena seluruh upaya hukum yang kami tempuh di dalam negeri sudah mentok, “ujar Usman Hamid.
DPR. Meski kini sudah ada wacana agar DPR menggunakan hak interpelasinya, namun saya meragukan hak tersebut mampu mendorong pengusutan kasus ini, “ujar Benny. Sikap yang sama, juga ditunjukkan oleh Presiden SBY. Menurutnya, pemerintah bukannya tidak mampu mengusut kasus itu, melainkan memang tidak ada keinginan. “Kepolisian kita memiliki kemampuan. Bagi saya, sudah sangat jelas jejak-jejak kasus ini mengarah kepada siapa saja. Tapi memang tidak ada political will untuk menyelidiki orang-orang yang terindikasi terlibat sesuai dengan jejak yang sudah ada, “ungkap Benny.
Demokrat Menang Kabar lainnya dari di akhir tahun 2006 ini, kemenangan Partai Demokrat dalam pemilihan anggota DPR, Senat dan gubernur negara bagian di Amerika Serikat, akan membawa pengaruh yang positif kepada dunia. Karena partai ini dikenal mempunyai konsentrasi lebih pada soal HAM.
Hal itu, menurut Usman, menjadi tanda Dok. Kontras tanya besar karena di dalam dakwaan kasus pembunuhan itu disebut sebagai tindak pidana pembunuhan berencana, namun “ S e k a r a n g pengadilan dan aparat pelanggaran HAM penegak hukum tidak terjadi dimana-mana, pernah mengungkap karena kebijakan siapa perencana, Partai Republik pembunuh, dan pihakbersama Presiden AS pihak yang terlibat. George W Bush, “ tegas Usman menambahkan, Usman, yang baru saja upaya mencari kembali dari AS untuk keadilan lewat bertemu anggota mekanisme hukum Kongres AS. internasional yang dilakukannya tidak Usman Hamid juga Aksi mengenang mendiang Munir di Bunderan HI bermaksud untuk m e n g a t a k a n , mendiskreditkan kemenangan Partai Indonesia dengan Demokrat juga membawa dampak yang positif kepada mengundang campur tangan asing dalam penegakan hukum Indonesia, yakni AS akan terus meminta pemerintah ataupun alasan politis lain. Indonesia untuk menegakkan HAM. “Kita boleh menaruh Sementara itu, Benny K Harman mengatakan, Indonesia tidak harapan ke depan, AS akan terus mendukung dalam bisa dan tidak boleh menolak adanya upaya hukum menegakkan HAM terutama penuntasan kasus Munir, “ internasional atas kasus-kasus di Indonesia. Penolakan seperti ujar Usman. Yang terpenting, Kongres Amerika Serikat itu menunjukkan sikap kontradiktif komitmen pemerintahan juga telah melayangkan surat kepada Presiden SBY terkait untuk menegakkan HAM. “Saya ingat pernyataan Kepala dengan kasus pembunuhan Munir. Surat tersebut sudah Polri bahwa kasus Munir masuk kategori kasus gelap (dark dikirim pada 3 November lalu. case). Harusnya ini bisa menjadi pintu masuk bagi upaya hukum internasional untuk membantu, “ ujar Benny. Benny juga mengakui bahwa menurutnya anggota DPR tidak menaruh perhatian terhadap kasus kematian aktifis hak asasi manusia (HAM) Munir. Dia juga persimistis kasus tersebut akan ditanggapi serius. “Setelah melihat konfigurasi di DPR, saya melihat tidak ada anggota DPR yang betul-betul peduli dengan kasus Munir karena kasus ini tidak eye catching buat
11
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Dalam surat yang ditandatangani empat anggota Kongres itu, mereka meminta Pemerintah Indonesia melakukan investigasi atas kasus pembunuhan Munir. Selain itu, mereka meminta kesediaan untuk menuntaskan kasus tersebut. Dalam surat dua lembar itu, mereka juga menagih janji Presiden yang menyatakan kasus Munir merupakan salah satu indikator perubahan Indonesia menjadi lebih
JEJAK SANG PEJUANG demokratis serta menyebutkan hukum tidak bisa diintervensi oleh politik dan kekuasaan.
rekomendasi yang dihasilkan oleh TPF. Rekomendasi ini kemudian ditindaklanjuti oleh tim berikutnya.
Keempat anggota Kongres yang menandatangani surat tersebut adalah Tom Lantos, Frank R.Wolf, Jim McDermott, dan Mark Steven Kirk. Surat itu juga ditembuskan ke Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Sudjadnan Parnohadiningrat. “Ini bukti pemerintah tidak bisa mainmain dengan kasus Munir, “ ujar Usman.
Sedang Wakil Ketua Komisi III DPR Al Muzzammil Yusuf dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera juga mempertanyakan mengapa Polri memilih bekerja sama dengan FBI, bukan Interpol negara lain, misalnya Belanda. “Itu kan lebih efektif, “ katanya.
Surat ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan anggota Kongres Amerika dengan Suciwati dan Usman pada tanggal 14-20 Oktober lalu, saat mereka berdua berkunjung ke Amerika untuk bertemu dengan Dewan HAM PBB dan Kongres Amerika. Tujuannya untuk membicarakan penanganan kasus Munir. Upaya ini dilakukan setelah MA dalam putusan kasasi 3 Oktober lalu membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan berencana terhadap Munir.
Bantuan dari FBI Niat baik, atau sebuah keinginan baik akhirnya datang dari pihak kepolisian kita. Polisi berencana mengandeng pasukan kepolisian federal Amerika Serikat, Federal Bureau of Investigation (FBI), untuk membantu menuntaskan kasus kematian Munir. Sebelumnya menurut Kapolri Jenderal Sutanto kerjasama dengan FBI kerap dilakukan Mabes Polri atas berbagai kasus. Hasil kerja sama terakhir adalah penangkapan buron pengemplang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Davis Nusa Wijaya.
Sementara itu, diluar kerjasama dengan pihak AS yang akan dilakukan, pihak Polri optimistis kasus pembunuhan Munir akan terungkap. “Optimistis sekali. Sebab, teorinya, tidak ada satu kejahatan yang terjadi sempurna. Pasti ada tidak sempurnanya. Dari titik tidak sempurnanya kejahatan inilah polisi masuk, “ kata Kepala Divisi Dok. Kontras Humas Polri Irjen Sisno Adi Winoto. Selain meminta bantuan FBI dalam upaya menemukan novum sebagai pijakan baru penyidikan, menyusul putusan Mahkamah Agung yang menyatakan Pollycarpus tidak terbukti ikut membunuh Munir, Kapolri Jenderal Susanto mengaku, Polri terus berupaya mencari kesaksian-kesaksian lain. Ia menjanjikan upaya maksimal untuk mengungkap kasus yang masih gelap ini.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia(Kapolri) mengakui, satu petunjuk penting terkait dengan kematian Munir yang sejauh ini belum diungkap secara menyeluruh, yakni pembicaraan via telepon seluler antara Pollycarpus dengan salah seorang penting di BIN. Aksi menuntut penuntasan kasus Munir Komunikasi via telepon itu Anggota Komisi III (tiga) dari penting untuk ditelusuri secara Fraksi Kebangkitan Bangsa, Nursyahbani Katjasungkana, menyeluruh karena hal itu terjadi sebelum kematian Munir. mempertanyakan fokus dari kerja sama Polri-FBI dalam mengungkap kasus Munir. Pasalnya, dalam rapat kerja “Makanya kita minta bantuan FBI yang memiliki peralatan Komisi III dengan Polri beberapa bulan lalu, pihak Polri yang lebih canggih untuk membuka seluruh isi pembicaraan pun pernah mengatakan telah bekerja sama dengan FBI itu. Karena yang kita dapat selama ini baru sepotong-potong, guna mengusut pesan pendek (SMS) antara penjabat BIN belum utuh, “ ucap Kapolri. dan Pollycarpus. “Jadi kalau Polri akan kerja sama lagi Penjelasan Kapolri itu sejalan dengan harapan Suciwati. Ia dengan FBI dari segi apa,” ucapnya. berharap kerja sama itu tidak perlu mulai dari nol lagi, tinggal Meski demikian ia menyetujui kerjasama Polri-FBI, melanjutkan rekomendasi TPF. “Jika mulai dari nol lagi akan asalkan bisa mengungkap kasus tersebut. Menurutnya, sia-sia atas penanganan yang telah dilakukan sebelumnya tak ada masalah legalitas dalam bantuan FBI. Bahkan oleh Tim Pencari Fakta, “ ucap Suciwati. bantuan tadi tak bisa dianggap sebagai intervensi karena sudah ada ratifikasi undang-undang tentang hak sipil. Menurut dia, langkah yang harus dilakukan untuk Tapi menurut Nursyahbani, yang terpenting saat ini melanjutkan rekomendasi TPF itu berupa pemeriksaan adalah Presiden mengumumkan secara terbuka terhadap saksi-saksi yang telah diajukan sebelumnya. Berita
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
12
JEJAK SANG PEJUANG
acara pemeriksaan (BAP) dan masalah forensiknya tidak perlu dilakukan kembali hasilnya karena sudah jelas. “Saat ini, Polri tinggal melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang direkomendasikan oleh TFP,” kata Suciwati.
Presiden mengumumkan temuan Tim Pencari Fakta Kasus Munir untuk menunjukkan keseriusan Presiden mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengungkapan kasus kematian almarhum Munir.
Tidak terbuka
Tim Kasus Munir DPR juga merekomendasikan kepada Presiden agar menjadikan temuan TPF sebagai bukti awal mengungkap para pembunuh dan motifnya; untuk memperlihatkan komitmen, kesungguhan, serta keseriusan pemerintah dan penegak hukum. Pemerintah juga diminta membentuk Tim Penyidik Independen yang berada di bawah supervisi Kepala Kepolisian Negara RI dan bertanggung jawab penuh kepada Presiden.
Di awal Desember, Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik bersama dengan Todung Mulya Lubis mendampingi para ahli hukum dari Internasional Commission of Jurists (ICJ) seperti ahli hukum dari Thailand Vitit Muntarbhorn dan Hakim Agung dari Argetina E.Raul Zaffaroni, setelah menemui Wapres Jusuf Kalla (6/12) menyatakan bahwa Presiden SBY tidak serius dalam pengungkapan kasus Munir. Hal itu terlihat lantaran Indonesia tidak mengundang pelapor khusus HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) hadir dalam acara public hearing di Indonesia untuk masalah HAM. Kalau pemerintah serius, menurutnya, pemerintah harus terbuka kepada lembaga yang lebih profesional dan kredibel seperti PBB. Lebih lanjut menurut Rachland, kita dapat melaporkan kasus pembunuhan Munir ke Komisi HAM PBB karena pemerintah tidak mengundang pelapor khusus HAM PBB. Lagipula, acara public hearing itu tidak secara khusus membicarakan kematian Munir. Pelapor khusus HAM PBB, tidak bisa datang sendiri ke Indonesia tanpa diundang secara resmi Pemerintah Indonesia.
“Kita tdapat melaporkan kasus pembunuhan Munir ke Komisi HAM PBB karena pemerintah tidak mengundang pelapor khusus HAM PBB. Lagipula, acara public hearing itu tidak secara khusus membicarakan kematian Munir. Pelapor khusus HAM PBB, tidak bisa datang sendiri ke Indonesia tanpa diundang secara resmi Pemerintah Indonesia”, ujar Rachland Nasidhik.
Rachland juga melihat pemerintah Indonesia khawatir kasus Munir ini diinternasionalisasi. Padahal, keterlibatan lembaga internasional dan profesional seperti PBB sangat penting untuk mengungkapkan tabir kegelapan kasus pembunuhan Munir. Kalau mengandalkan pemerintah Indonesia sendiri dan tanpa keterlibatan lembaga seperti itu, kasus kematian Munir sulit terungkap.
Meskipun Presiden SBY sering mengatakan bahwa dia serius mengungkapkan kasus Munir, tetapi komitmen itu sama sekali belum terbukti. Karena Presiden SBY justru menyerahkan kembali pengusutan kasus ini kepada aparat kepolisian. Padahal, lembaga itu terbukti tidak serius membongkar kasus tersebut. “Tetapi ini harus dicermati, apakah ini merupakan pelimpahan tugas ataukah upaya untuk tidak mau menyelesaikan kasus ini,” ujarnya.
Paripurna DPR desak Presiden Sementara itu, setelah mendengarkan laporan Tim Kasus Munir yang dibacakan Ketua Tim Taufiqurrahman Saleh (Fraksi Kebangkitan Bangsa), rapat Paripurna DPR (7/12) mendukung rekomendasi Tim Kasus Munir. DPR meminta
13
Bila ditemukan hambatan teknis terkait dengan hal-hal bersifat internasional, DPR meminta Kepala Polri berkoordinasi dengan menteri terkait dan meminta bantuan lembaga hak asasi manusia internasional sebagai wujud komitmen Presiden memajukan HAM baik pada level nasional maupun internasional.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Keterlibatan lembaga HAM internasional, dinilainya bukan merupakan intervensi. “Perspektifnya harus dipahami. Ini bukan intervensi, tapi masalah kemanusiaan adalah universal, melewati batas-batas negara, “ ujarnya.
Paripurna DPR juga mendukung kesimpulan dan rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir DPR yang meminta Presiden mengumumkan kepada masyarakat hasil temuan TPF Kasus Munir. Pengumuman ini, lanjut Taufik, menjadi indikator komitmen dan keseriusan pemerintah untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang transparan dan akuntable dalam pengungkapan kasus ini. Sementara Pastor Saut Hasibuan dari Fraksi Partai Damai Sejahtera juga mengusulkan ke Rapat Paripurna agar menyiapkan tanda jasa bagi Munir yang banyak berjuang untuk HAM. Direktur Eksekutif Perkumpulan Demos Asmara Nababan menyambut baik rekomendasi sidang paripurna DPR itu. Namun, Asmara menilai isi rekomendasi tersebut sebenarnya bukan hal baru mengingat TPF kasus pembunuhan Munir terdahulu juga mengeluarkan rekomendasi serupa, membentuk satu tim supervisi bagi penyelidikan Polri. Asmara mengatakan, rekomendasi itu cukup bagus diberikan sepanjang mandat yang diberikan tidak seperti pada TPF Munir yang dibentuk beberapa waktu lalu. Pada
JEJAK SANG PEJUANG Tim Pencari Fakta (TPF) Munir sebelumnya tim sekadar diberi wewenang untuk membantu kepolisian.
dilaksanakan atau tidak oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono , “ ujar Usman.
Sedangkan Isteri Munir, Suciwati yang didampingi Usman Hamid menyambut baik rekomendasi resmi Dewan Perwakilan Rakyat ini. Mereka meminta pemerintah menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Usman mengharapkan DPR mengawasi dan mendesak pemerintah segera menjalankan semua rekomendasi itu. Baik berupa pembentukan tim penyidik independen maupun cara kerja lembaga internasionak lain demi terungkapnya kasus tersebut. “Kita mengapresikan kerja Tim Kasus Munir DPR , namum kita berharap ada langkah lebih lanjut untuk memastikan rekomendasi itu
“Optimisme kami sebenarnya sulit untuk dibangun, bila melihat kinerja kepolisian saat ini. Kami mendukung rekomendasi ini yang mendorong dibentuknya tim investigasi independen. Tapi kita berharap ada keseriusan yang lebih kongkret dari anggota dewan, “ tambah Usman. Usman menyebut optimisme atas sikap politik DPR, terganjal oleh sikap para anggota DPR itu sendiri. “Kita lihat pada paripurna ini, belum terlihat ada antusiasme yang sangat besar dari anggota dewan dari sisi kehadiran, juga apresiasi terhadap rekomendasi tim itu sendiri, “ tutur Usman.
Sidang Gugatan Suciwati kepada Garuda : Upaya Mediasi Gagal Sementara itu pengacara Suciwati saat menghadiri sidang mediasi gugatan perdata terhadap Garuda Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (8/11), memutuskan untuk terus berupaya mencari keadilan. Suciwati menggugat secara perdata manajemen Garuda serta sebelas pejabat dan karyawannya, serta enam awak pesawat Garuda GA-974 rute JakartaSingapura yang ditumpangi Munir (06/08/2004).
poin itu adalah ganti rugi uang, permohonan maaf, dan audit kerja PT Garuda Indonesia. Dalam persidangan yang berlangsung tertutup selama lima menit PT Garuda mengelak bertanggung jawab terhadap kematian Munir. Asfin menjelaskan, penolakan yang disampaikan pengacara Garuda terhadap poin tawaran mediasi merupakan representasi sikap PT GI yang tidak beriktikad untuk menyelesaikan masalah dan tidak bertanggung jawab atas keselamatan penumpangnya.
Titik tekan pihak Suciwati adalah audit kerja PT GI secara Para tergugat keseluruhan, terutama audit diminta membayar kerja saat kejadian. Itu ditujukan kerugian yang agar kasus tersebut bisa terkuak. dialami Suciwati “Ini sebenarnya tidak sulit. Tapi, sebesar Rp.14 miliar, Dok. Kontras ternyata mereka tidak mau, yang terdiri atas “tambahnya. Karena kerugian immaterial Sidang Gugatan terhadap Garuda tawarannya ditolak PT GI, tidak sebesar Rp.9,07 ada jalan lain bagi pihak miliar sesuai nomor penerbangan GA-974. Kerugian materiil sebesar Rp 4,028 Suciwati untuk tetap meneruskan kasus tersebut. miliar, serta jasa pengacara sebesar Rp1,3 miliar. Meski demikian dalam gugatan terbarunya, para pengacara Asfinawati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mengajukan satu tergugat baru yaitu Sabur M Taufik, pilot Jakarta, mengemukakan bahwa gugatan perdata pesawat GA-974 rute Jakarta-Singapura pada 6 Septemebr terhadap manajemen Garuda Indonesia ditujukan untuk 2004 yang ditumpangi Munir yang saat itu akan menuju membongkar dugaan keterlibatan para pejabat Garuda Amstredam, Belanda. Menurut Asfinawati, ada konspirasi dalam konspirasi pembunuhan Munir. “Mekanisme dari pihak Garuda. Hal ini terlihat dari retentan peristiwa gugatan ini sebenarnya ditujukan sebagai cara untuk sebelum terbunuhnya Munir. Misalnya, pemindahan membongkar dugaan konspirasi dari penjabat senior tempat duduk Munir dari kelas ekonomi ke kelas bisnis yang Garuda yang belum tersentuh oleh pihak kepolisian, “ dapat digolongkan sebagai kesengajaan. tuturnya. Selain itu, ada kelalaian Garuda yang lebih mendekati Sedang dalam sidang mediasi di Pengadilan Negeri (PN) kesengajaan yaitu memberikan makanan atau minuman Jakarta Pusat (20/11) PT Garuda Indonesia menolak yang mengandung racun arsenik yang oleh Institut Forensik tawaran damai dari pihak Suci. Tawaran yang berisi tiga Belanda disebutkan menjadi sebab tewasnya Munir..***.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
14
TUTUR
“Ibu, Jangan Diam Saja. Tolong Ibu Cari Keadilan” Nama saya Sumartini, ibunda Sigit Prasetyo yang meninggal ditembak TNI tanggal 13 November 1998 jam 04.45 WIB. Sigit lahir pada 16 Juli 1980. Inilah curahan hati saya. Saya mendengar kabar dari tetangga lewat telepon kalau Sigit ada (mendapat) kecelakaan. Saya tidak langsung pergi ketempat Sigit dirawat di RSCM, tapi mampir ketempat Sigit kuliah yaitu di Jurusan Teknik Sipil, YAI (Yayasan Administrasi Indonesia). Disana saya diterima dan ketemu teman-teman, dosen dan Pureknya (Pembantu Rektor) juga. Mereka bilang saya disuruh sabar, tenang dan saya dikasih minum sama mereka. Saya merasa sudah nggak sabar untuk melihat Sigit. “Lukanya serius apa nggak?” Kok Perasaan saya nggak enak banget.
senjata, boro-boro senjata, pentungan saja nggak ada. Semua mahasiswa menyuarakan minta perubahan negara. Sampai detik ini tentara nggak ada jenuhnya menembaki bangsanya sendiri. Terakhir, setelah Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden di Aceh ada dipentungin, ditembakin juga. Saya bisa bicara begini karena dulunya saya sangat nggak suka nonton berita, tapi membaca sangat suka. Tetapi setelah Sigit tidak ada, saya tidak mau ketinggalan untuk nonton berita apapun.
Setelah Sigit meninggal, 2 bulan kemudian orang KontraS datang ke rumah. Namanya Viktor (Viktor Da Costa), bersama temannya. Seminggu kemudian ada orang-orang dari TRK (Tim Relawan Kemanusiaan) juga pada datang untuk bergabung mencari keadilan, pengakuan dan kebenaran termasuk mengupayakan pengadilan internasional. Ternyata Aksi memperingati tragedi Semanggi I pertemuan-pertemuan tersebut terus berlanjut dan terus banyak keluarga Pada waktu itu Soeharto sudah lengser, Habibie naik menjadi korban yang lainnya bergabung. Dari kasus 65, sampai Presiden. Pangab pada saat itu adalah Wiranto, maka-nya penggusuran. (menurut saya) dia punya tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus Semanggi I dan II ini, harusnya diakui Banyak sudah yang didatangi untuk mencari keadilan. oleh Wiranto. Partai-partai semuanya menjanjikan, mereka bilang, “Iya, akan saya tampung dan saya sampaikan.” Semua instansi Saya sebagai ibunya Sigit, korban kejahatan kemanusiaan, sudah kami datangi. Ternyata mereka hanya mengatakan, sangat sedih karena nyawa tidak bisa dibeli dengan apapun. “Ya, saya ikut berduka cita dan prihatin.” Bahkan Megawti Bayangkan, mengandung selama 9 bulan, kesana-kemari dan Gus Dur juga didatangi, DPR sampai membentuk dibawa-bawa, melahirkan, meyusui selama dua tahun. Pansus. Ternyata anggota DPR dari Golkar seolah-olah dia Sangat susah payah membesarkan sampai menyekolahkan yang menentukan Kasus Semanggi merupakan ke perguruan tinggi, lah kok malah ditembak sama tentara. pelanggaran HAM atau bukan. Padahal jelas-jelas bukan Kalau anak saya lagi nyolong itu mungkin masuk akal-lah., ini DPR yang menentukan itu pelanggaran HAM atau bukan. kan lagi minta perubahan negara. Saya sangat sedih sekali kalau sedang ingat kenangan Sigit Pada waktu itu tepatnya tahun 1998 sedang rame-ramenya masih hidup. Anaknya baik, sopan, tidak pernah bikin mahasiswa se-Indonesia berdemontrasi. Kalau nggak salah onar, rendah hati, ramah, supel banget. Teman-teman itu tentara kerjaannya kan untuk mengurusi perang, eh malah sampai sekarang masih selalu mengunjungi saya dan perang sama bangsanya sendiri. Anak-anak lagi nggak bawa makamnya. Maka saya langsung bertanya, “Ngomong-ngomong sebetulnya ada apa sih nyuruh sabar-tenang. Ada apa sebenarnya?” Lalu ada yang menjawab, “Ibu tenang, ya. Ibu maafkan kami. Kami tidak bisa menjaga anak ibu.” Saya kembali bicara, “Sekali lagi, ini ada apa?” Mereka menjelaskan, “Ibu, anak ibu telah meninggal di depan Atmajaya tepatnya (di jalan) Semanggi, saat dia sedang demontrasi meminta perubahan negara.”
15
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Dok.Kontras
TUTUR
Kalau saya sedang sendirian saya ingat Sigit. Seandainya Sigit nggak ditembak tentara, pasti sudah punya gelar insinyur, mungkin juga sudah kerja. Ya, gitu saya suka berkhayal. Senang rasanya apalagi kalau lihat temantemannya yang seumurnya sudah ada yang kawin, punya anak, saya ketawa sendirian jadinya. Saya buru-buru ke makam ngobrol sama Sigit, tapi yang diajak ngobrol diam saja, rasanya Sigit sedang sakit ditembak sama tentara. Kadang saya mendengar, “Ibu, jangan diam saja. Tolong Ibu cari keadilan.” Hal ini membuat saya semangat mencari keadilan bersama-sama dengan korban yang lain. Saya yakin jika korban bersatu tidak bisa dikalahkan. Yang saya heran adalah Jaksa Agung dan Komnas HAM saling lempar, mereka tidak punya naluri atau takut nggak punya kerjaan. “Takut dipecat sama Presiden, apa ya? Nggak di DPR, nggak penjabatnya, semuanya pada takut sama Presiden.” Padahal Presiden itu kan manusia seperti kita.
masih punya saudara, makanya saya tidak mau terulang kembali pelanggaran HAM terhadap siapapun. Sayangnya perjuangan ini masih belum diakui, termasuk belum diakui oleh Wiranto. Sebaiknya Wiranto matanya dibuka lebar-lebar dan kupingnya dipasang baik-baik dan dengarkan, “Kalau tidak ada rencana penembakan mahasiswa, mana mungkin anakku bisa mati?” Bahkan bukan hanya Sigit, tapi juga Wawan, Engkus dan masih banyak yang lainnya yang jadi korban kekerasan negara. Dan Wiranto, dengan seenaknya ngomong bukan pelanggaran berat HAM. Yah, saya hanya manusia biasa, cuma berdoa semoga pengadilan akherat yang menentukan.
Kalau dipikir saya berbuat begini untuk apa sih? Saya cuma masih punya hati untuk lingkungan kecil saya. Saya masih punya saudara, makanya saya tidak mau terulang kembali pelanggaran HAM terhadap siapapun. Sayangnya perjuangan ini masih belum diakui, termasuk belum diakui oleh Wiranto.
Apa memang negeri kita tidak mau tentram, saya ini nggak pernah minta sumbangan sama orang-orang itu. Tapi kenapa rakyatnya yang dibikin susah. Sudah harga semakin mahal-mahal, saya mau makan kudu ‘meras keringat’ dulu, kalau sudah capai baru bisa makan. Itupun Senin-Kamis. Tapi, fasilitas-fasilitas para penjabat-penjabat, Presiden, waduh enaknya. Semua gratis, listrik, telepon, semua tetekbengeknya gratis. Sementara rakyat kecil semua harus bekerja. Pendidikan mahal, apa-apa mahal. Sementara orang-orang yang diatas menari diatas penderitaan rakyat kecil, seperti saya. Mana sekarang, makamnya Sigit naik pajaknya. Kadangkadang saya kesal dengan kondisi ini. Punya Presiden cuma diam dan memperkaya diri sendiri. Enaknya nggak usah punya Presiden aja kali ya? Karena semua orang hanya mementingkan diri-sendiri. Bahkan orang-orang seperti saya nggak pernah digubris untuk mencari keadilan. Dengan adanya Presiden baru karena dia dari tentara juga, jadi jangan ge-er (gede rasa) dulu-lah. Ipar saya juga tentara, tetapi tidak berlaku demikian. Tetapi sejak 1998 sampai 2004 kalau saya lihat tentara sama polisi rasanya marah banget. Maunya saya tentara sama polisi untuk mengamankan negara atau berani dengan Amerika, jangan nembakin bangsa sendiri. Malu dilihat negara lain, kayaknya nyawa manusia di Indonesia tidak ada harganya. Kalau dipikir saya berbuat begini untuk apa sih? Saya cuma masih punya hati untuk lingkungan kecil saya. Saya
Untungnya, walaupun dalam konvensi Partai Golkar Wiranto menang tapi dalam pemilihan presiden dia kalah. Sebab seandainya dia menang maak dunia akan kiamat. Syukurlah Wiranto nggak jadi apa-apa. Harusnya, hal ini disadari oleh Wiranto bahwa orang dzalim pasti terkalahkan.
Demikian juga dengan SBY, selama tidak mau peduli dengan pelanggaran HAM berat yang ada di Indonesia yang harus diadili dan diselesaikan secara tuntas, secara ksatria, SBY belum tentu akan lama jadi Presiden. Kalau negara merasa mengakui kebenarannya dan mengadili orang-orang yang terlibat pelanggaran HAM berat tak perlu takut-takut dengan jenderal atau bekas presiden karena mereka juga manusia biasa seperti kita. Jadi untuk ini mari kita secara bersama bergandeng tangan untuk mencari keadilan demi keutuhan korban dan stop kekerasan. Oleh karena itu, meskipun selama ini saya keluarga korban belum pernah meminta apapun pada pemerintah baik yang bersifat moril maupun meteril. Tapi kali ini saya keluarga korban khususnya almarhum Sigit meminta kepada pemerintah supaya kasus ini diusut tuntas sesuai prosedur hukum yang berlaku. Saya tidak meminta banyak, bagi kami pemberian hukuman yang adil kepada pelaku itu merupakan sebuah bentuk keberpihakan pemerintahan SBY-JK kepada rakyat kecil. Padahal kami keluarga korban menaruh harapan besar pada rezim SBY untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM sesuai apa yang dijanjikan ketika berkampanye. Yang pasti, saya sebagai ibunya merasa berdosa sekali kalau tidak berbuat sesuatu untuk ketenangan arwah anak saya. Saya sering mengucap dalam hati, “Semoga Sigit diterima Allah dan diterima di surga yang terbaik untukmu, Git. Ibu tetap akan mencari keadilan sampai titik darah penghabisan.”
Ditulis dan diringkas dari Buku “Melawan Pengingkaran”, Terbitan Kontras, 2006
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
16
BERITA DAERAH
Komunisme Dalih Larangan Kebebasan Berekspresi Polisi membiarkan sejumlah massa melampiaskan kehendak membubarkan paksa sejumlah kegiatan diskusi mahasiswa di Bandung dan Surabaya. Dengan dalil ketakutannya terhadap penyebaran ajaran komunime sejumlah massa merasa berhak meneror dan merampas kebebasan orang lain. Sedang aparat kepolisian berdiri di belakang dengan dalil dan ketakutan yang sama Diskusi ini digelar dan digagas oleh Toko Buku Ultimus Bandung, Komunitas Rumah Kiri Bandung dan Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pasundan Bandung, yang bertema “Gerakan Marxist Internasional Kontemporer, Perkembangan dan Masa Depan Gerakan Marxist di Dunia, dan Sekilas Tentang Organisasi dan Gerakan Buruh di Kanada”, dengan menghadirkan Marhaen Soeprato (WNI Tinggal di Kanada). Acara yang dihadiri oleh sekitar 50 orang yang sebagian besar adalah mahasiswa. Acara ini berlangsung pada 14 Desember lalu.
mengaku dari bagian “Urusan Imigrasi” menanyakan tentang status kewarganegaraan Marhaen Soeprapto.
Acara baru berlangsung sekitar 20 menit sejak pukul 19.00 WIB. Tiba-tiba sekitar 30 orang berbaju loreng dan kuning, yang menamakan diri Persatuan Masyarakat Antikomunis (Permak) memasuki ruangan. Mereka memaksa panitia untuk membubarkan diskusi tersebut.
Semenjak Minggu, (10/12) Ultimus juga menerima banyak telepon gelap yang menanyakan tentang diskusi tersebut, padahal sosialisasi diskusi tersebut baru dilakukan Selasa, (12/12) secara terbuka, sebelumnya hanya melalui milist. Beberapa kali ULTIMUS didatangi oleh orang bertubuh tegap, dengan usia separuh baya, mendatangi ULTIMUS dengan menanyakan bagian buku-buku berbau kiri dimana ULTIMUS memproduksi dan menjual buku-buku tersebut.
Para peserta diskusi tidak mau membubarkan diri, sementara Massa Permak tetap memaksakan kehendaknya. Kemudian terjadilah aksi kejar-kejarlah. Massa mengejar pembicara dan peserta diskusi yang lari menyelamatkan diri ke arah kampus Universitas Pasundan yang berada di depan Toko Buku Ultimus. Massa menangkap ketua panitia dan pembicara. Kedua orang ini setelah dipukuli, dipaksa masuk ke kendaraan milik Permak dan dibawa ke Satuan Intelijen Polwiltabes Bandung. Terlihat jelas bahwa polisi membiarkan peristiwa itu terjadi. Sejumlah peserta diskusi juga digelandang ke kantor polisi, sebanyak 11 orang dari mereka terus diperiksa. Pada akhirnya, setelah menjalani sejumlah pemeriksaan, Kapolwil Bandung Kombes Edmon Ilyas mengakui pihaknya belum menemukan adanya indikasi pengajaran komunis dalam diskusi itu. Pembubaran diskusi oleh ormas dan polisi hanya didasari oleh laporan ormas yang tidak suka dengan kegiatan tersebut. “Ini adalah temuan masyarakat. Ada sekelompok masyarakat yang tidak suka, maka Polsek Bandung Tengah membubarkan diskusi itu, “ ujar Edmon Ilyas. Sebelumnya, pihak Intel Polwiltabes Bandung (11/12) telah mendatangi toko buku Ultimus dan menanyakan izin kegiatan tersebut. Selanjutnya untuk mengantisipasi maka pihak panitia memasukkan surat pemberitahuan yang dialamatkan kepada KaPolwiltabes Bandung mengenai diadakannya acara tersebut. Esoknya, kembali pihak Intel Polwiltabes Bandung mendatangi Toko Buku Ultimus. Mereka
17
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Esok harinya (13/12) kembali pihak Intel Polwiltabes Bandung mendatangi Toko Buku Ultimus dan meminta Sadikin (ketua panitia) untuk menemui Waka Intel Polwiltabes Bandung untuk dimintai keterangan berkaitan dengan diskusi tersebut. Pihak Intel Polwiltabes juga melakukan kontak telepon ke Kantor ULTIMUS, ke telpon gengam Bilven (Dir. Ultimus) dan Sadikin.
Pembubaran dan intimadasi hari HAM dan Anti Traficking di Surabaya Acara ini digagas oleh Jaringan HAM di Surabaya (KPI Jatim, Pusham UNAIR, FA Jatim, LBH Surabaya, LSKBH, Wahana Visi Indonesia, LPMGKJW, Damar Alit, KTPDHAM Jatim, Pekerja Budaya Surabaya, Indonesia ACT, GB Senopati dll) melakukan kegiatan lomba majalah dinding dan poster, pemutaran film dokemunter HAM (Marsinah, Shadow Play, Batas Panggung, Garuda Deadly Upgrade, Mimpi yang Terkoyak) dan pentas seni. Pada saat acara berlangsung (15/12) sekitar 100 orang massa Front Anti Komunis yang membawa atribut Front Pembela Islam berteriak-teriak dan membubarkan acara, mengambil secara paksa film-film HAM yang akan diputar karena diduga akan mendeskriditkan TNI dan Islam serta mengancam membunuh panitia jika permintaannya tidak dituruti. Menyikapi hal tersebut, panitia mengajukan negosiasi, namun negosiasi berlangsung alot karena massa sangat banyak dan tetap pada pendiriannya. Massa tetap meminta panitia untuk tidak memutarkan film Shadow Play dan Stage Limit. Akibatnya peserta peringatan Hari HAM pulang karena ketakutan. Pagi saat dimulainya acara, aparat kepolisian Polsek Genteng hanya memberitahukan kepada panitia bahwa
BERITA DAERAH
ada massa aksi dari Forum Ulama yang sedang melakukan aksi di DPRD dengan mengusung issue Tolak Komunisme dan Pembubaran Film Shadow play. Namun polisi tidak melakukan tindakan pencegahan serta tidak melakukan tindakan apa-apa saat pembubaran berlangsung.
Terjebak isu komunisme Kasus-kasus di atas memperlihatkan bagaimana aparat polisi maupun ormas-ormas dan kelompok terorganisir masih terjebak dengan isu-isu komunisme, di tengah arus kebebasan dan keterbukaan atas segala informasi. Namun, dapat muncul juga pertanyaan lain, adakah aksi-aksi serupa merupakan agenda tersembunyi dari aparat TNI/Polri atau intelejen sendiri, untuk menghadaphadapkan antar kelompok masyarakat. Hal ini jelas mengancam proses demokratisasi.
Pembiaran dan tidak adanya tindakan yang tegas dari aparat kepolisian semakin menguatkan fenomena kesewenangwenangan kelompok terorganisir dalam melakukan aksi-aksi kekerasannya. Pada tahun 2006 ini, fenomena kekerasan oleh kelompok-kelompok terorganisir atas nama agama maupun nasionalisme yang melakukan tindakan kekerasan di berbagai daerah semakin menguat. Hal itu tampak pada pembubaran pertemuan korban 65 di Bandung, penyegelan kantor Fahmina di Cirebon pembubaran peringatan HARI HAM di Surabaya, serta beredarnya spanduk-spanduk ancaman komunis dan marxisme di sudut-sudut kota. Hingga saat ini tidak ada penyelidikan terhadap berbagai tindak pidana yang terjadi.
Dok. Veronica
Aparat juga membiarkan beredarnya anjuran untuk berhati-hati terhadap ancaman komunisme, bahkan ikut terjebak dengan melarang kegiatan-kegiatan yang dianggap berbau komunis. Tindakan ini sungguh sangat meresahkan, karena sama sekali tidak berdasar serta mengancam rasa saling percaya antar masyarakat.
Negara semestinya menjamin hak-hak warganegaranya untuk bebas mengeluarkan pendapat dan KontraS juga sangat menyesalkan dengan berekspresi yang jelas lambannya proses mendapat jaminan penanganan kepolisian konstitusi. Sementara Spanduk tentang ancaman komunisme kepada pihak Ultimus aparat penegak hukum yang tengah menjadi harus menjalankan korban dari intimidasi tugasnya secara kelompok-kelompok yang terorganisir atas dalih penyebaran profesional dengan melindungi hak-hak warga negara ajaran komunis tersebut. Apalagi, kepolisian sempat serta menindak kelompok-kelompok terorganisir yang menetapkan beberapa orang sebagai tersangka, dengan meresahkan masyarakat. tuduhan berdasarkan UU No. 27 tahun 1999 tentang Dalam hal ini Kontras mendesak aparat penegak hukum perubahan KUHP tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Sementara itu, tidak ada proses hukum atas Pemuda untuk mengambil langkah-langkah aktif dalam Panca Marga dan Forum Masyarakat Anti Komunis yang menghentikan perlakuan sewenang-wenang dari melakukan yang melakukan kekerasan pada aktivis Ultimus. berbagai kelompok terorganisir yang melakukan tindakan-tindakan premanisme. Akhir-akhir ini, perilaku Kontras mendapatkan pengaduan terhadap kasus-kasus ini semakin mengkhawatirkan dengan dalih komunisme, semacam ini, baik di Jakarta, Surabaya maupun Bandung. sebuah alasan usang yang digunakan pemerintah Orde Korban-korban dituduh menyebarkan paham-paham Baru dalam meredam dan membungkam kebebasan komunisme dan marxisme dalam menjalankan aktivitasnya.*** berekspresi masyarakat.
“Setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat: hak ini meliputi kebebasan untuk mencari menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran, terlepas dari pembatasanpembatasan secara lisan, tertulis atau cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang dipilihnya”. (Pasal 19 (2) Konvensi Hak Sipil dan Politik )
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
18
BERITA DAERAH
Komnas HAM Kembali Ke Poso Komnas HAM membentuk tim untuk ketiga kalinya bagi konflik Poso, sementara pemerintah juga membentuk Tim Pencari Fakta Poso. Khusus untuk 29 DPOKomnas meminta polisi tidak melanggar hukum dalam melakukan penangkapan. Nyatanya sejumlah pelanggaran masih terjadi. Pada akhirnya, setelah menuaikan kritik atas kinerja Komisi kasus kekerasan yang berpotensi melanggar HAM di bekas Nasional Hak Asasi Manusia pada kasus Poso, (Komnas HAM) daerah konflik Poso. “yang jelas respon Komnas HAM melakukan penyidikan atas rentetan konflik yang telah dalam bnetuk rekomendasi harus melalui penyelidikan terjadi selama di Poso. Tim yang di pimpin oleh Zumrotin K terlebih dahulu. Komnas HAM tidak mungkin bersikap Susilo bertugas menyelidiki kasus bentrok anggota Brimob tanpa penyelidikan, “ Kata Zumrotin menegaskan. Polri dengan warga tanah Runtu, kelurahan Gebangrejo, Kota menurut Zumrotin, selain payung Poso, 22-23 Oktober 2006. Bentrokan itu hukum yang mengatur Komnas HAM mengakibatkan seorang warga sipil belum memberi ruang untuk bekerja tewas tertembak dan beberapa lainnya maksimal, apresiasi pemerintah cedera. Tim bentukan Komnas khususnya kejaksaan dalam HAM kali ini merupakan Tim bentukan Komnas HAM kali ini menindaklanjuti rekomendasi Komnas tim ketiga yang merupakan tim ketiga yang HAM juga rendah. diterjunkan ke Poso diterjunkan ke Poso pescakonflik 1998. Saat ini, lanjutnya ada tujuh kasus Sebelumnya, tim yang dipimpin BN pescakonflik 1998. yang direkomendasikan Komnas HAM Marbun (2000) dan tim pimpinan Sebelumnya, tim yang ke Kejaksaan Agung tidak Ahmad Ali (2004) dipimpin BN Marbun ditindaklanjuti. Kasus tersebut yakni; (2000) dan tim pimpinan Sementara itu, TPF Poso bentukan Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Ahmad Ali (2004) pemerintah yang dipimpin Deputi Waimenas dan Wasior (Papua), Keamanan Nasional Budi Utomo sudah Tragedi Mei 98, dan kasus orang hilang. menyelidiki kasus Tanah Runtuh, Poso. Zumrotin dan timnya akan menemui Meski demikian Komnas HAM tidak langsung saksi dari warga sipil dan akan terusik dengan temuan TPF kasus Poso bentukan Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik, polisi yang berada di lokasi kejadian, termasuk sejumlah pemuka agama dan tokoh masyarakat setempat. Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam). “Sekalipun terjadi perbedaan dari hasil penyelidikan masingmasing tidak ada masalah. Apa pun hasil yang dikeluarkan Komnas HAM berangkat dari fakta lapangan yang ada, “kata Zumrotin. Lebih lanjut Zumrotin menjelaskan produk akhir dari hasil penyelidikan Komnas HAM hanya dalam bentuk rekomendasi yang akan diteruskan kepada pemerintah guna ditindaklanjuti. “Memang aturannya baru sebatas itu kewenangan Komnas HAM, “ujarnya. Selain menyelidiki kasus Tanah Runtu, Zumrotin dan tim Komnas HAM juga akan mengumpulkan informasi kasus kekerasan lain, seperti penembakan Pendeta Irianto serta penanganan kasus keperdataan para korban kerusuhan di Poso. Dimana, hak keperdataan warga Poso dari kedua kelompok, muslim dan kristiani, banyak yang hilang setelah konflik. Contohnya, kebun, rumah, dan sawah yang tak kembali kepada pemiliknya.
Respon lamban Zumrotin tidak menampik adanya penilaian sebagian masyarakat bahwa Komnas HAM lamban merpon kasus-
19
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Tim ini baru sebatas melakukan penyelidikan biasa, dan jika ditemukan fakta adanya pelanggaran HAM berat dalam bentrokan tersebut, Komnas HAM akan meningkatkan penyelidikan projustisia. Menurut dia, pemantauan dilakukan mulai dari prose penangkapan hingga pemeriksaan penyidik. Polisi mesti memperlihatkan surat penangkapan saat membekuk tersangka, serta menjamin hak-hak asasi mereka selama dalam proses pemeriksaan. “Komnas HAM mendukung penegakan hukum, tapi tidak menoleransi adanya pelanggaran hak asasi manusia dengan mengatasnamakan penegakan hukum, “ ujarnya. Penyataan ini terkait dengan penangkapan terhadap 29 orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Empat orang menyerahkan diri Menurutnya, Komnas HAM bakal melindungi hak 29 orang tersangka kasus Poso yang menjadi buron. Jangan sampai polisi melawan hukum dalam penangkapan. “Boleh menangkap, tapi hak-hak tersangka harus dihormati, “ tegas Zumrotin.
BERITA DAERAH
Sementara itu Iskandar alias Marjo dan Nasir, dua di antara 29 orang pada DPO Sulawesi Tengah, Selasa (28/11) menyerahkan diri ke Kepolisian Resor Poso. Keduanya diduga perampokan dan peledakan bom di Poso. Ateng dan Nasir yang didampingi keluarga langsung diterbangkan ke Palu dengan pesawat milik Polri dan dalam penjagaan ketat. Penjagaan ketat dilakukan di Bandara Mutiara Palu. Wartawan dilarang masuk ke halaman ruang VIP.
sebuah jaket ia langsung dibawa ke ruang pemeriksaan didampingi Ketua TPM Sulteg Asludin Latjani.
Dok.Kontras
Menurut Wakadiv Humas Polri Bridjen Anton Bachrul Alam, Sahrir Lakita diduga terkait dengan kasus perampokan uang kas milik Pemerintah Kabupaten Poso bernilai ratusan pada April 2005 lalu. Hasil perampokan diduga untuk membiayai aksi kekerasan di Poso. Dengan penyerahan diri Sahris, sudah empat orang dari 29 DPO yang menyerahkan diri. ketiga DPO sebelumnya yang menyerahkan diri yakni Andi Bocor alias Andi Lalu, Ateng Marjo dan Muhammad Nasir.
Aksi menuntut penuntasan konflik Poso
Setiba di Palu, mereka langsung dibawa ke Markas Polda Sulteg, ke ruangan Direktur Reserse Kriminal Polda Sulteg Komisaris Besar I Nyoman Suryasta. Wartawan dilarang mewawancarai mereka. Sementara, seorang DPO lain yakni Sahrir Lakita (21), juga menyerahkan diri ke Polres Poso(06/12), Ia didampingi pengacaranya dari Tim Pembela Muslim (TPM) Abdul Manan Abbas. Ia kemudian di bawa ke Polda Sulteng di Jalan Sam Ratulangi, Kota Palu. Dengan wajah ditutup
Penahanan ketiganya ditangguhkan karena selama pemeriksaan dianggap menunjukkan sikap kooperatif. Sahrir Lakita terdaftar nomor 19 DPO Poso. Ateng Marjo nomor 15 dan Nasir nomor 14 DPO Poso. Pemulangan terhadap mereka yang telah di masukkan dalam DPO ini, dapat menimbulkan pertanyaan soal standar penetapan seseorang sebagai DPO atau ada agenda tersembunyi yang hendak dimainkan oleh polisi? ***
Pelaku Mutilasi Poso Bertemu Keluarga Korban Pelaku mutilasi tiga siswi Poso mengaku aksi yang mereka lakukan di Poso, murni sebagai bentuk akumulasi kekecewaan, karena belum terungkapnya dalang kerusuhan di Poso. mereka mengaku tidak memiliki pemimpin yang meminta melakukan pembunuhan tersebut.
analisisnya peristiwa yang satu dengan yang lainnya saling memiliki keterkaitan. Ia juga ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Poso sehingga mengakibatkan konflik yang berkepanjangan. Masyarakat Poso pastinya memiliki tuntutan yang sama dengan dirinya, yaitu mengetahui siapa dalang kerusuhan Poso.
Demikian dikatakan salah seorang pelaku pembunuhan mutilasi tiga siswi Poso pada Oktober 2005 silam, Hasunuddin, kepada wartawan usai meminta maaf terhadap keluarga almarhum tiga siswi Poso di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta (19/11). Pertemuan yang difasilitasi pihak kepolisian tersebut bertujuan untuk meredakan konflik di Poso, yang sudah berlangsung delapan tahun ini. Meski berat, pihak keluarga mengaku bisa menerima permintaan maaf para tersangka.
“Ini bukan sebuah strukturisasi atau terencana. namun merupakan sebagaimana yang saya sampaikan dalam eksepsi saya, yaitu sebuah akmulasi kekecewaan yang sudah menumpuk luar biasa, “ ujar Hasanuddin. Karenanya, ia berharap kepada Polri dapat bekerja secara profesional untuk mengungkap dalang konflik Poso. Karena jika dibiarkan maka masyarakat Poso akan selalu mengalami ketakutan dan konflik dapat terjadi lagi.
Hasanuddin menjelaskan, apa yang mereka lakukan sama sekali tidak terencana dan tidak memiliki strukturisasi. Menurutnya, apa yang ia lakukan bersama dua rekannya, yaitu Irwanto Irano dan Haris murni sebagai bentuk kekecewaan yang menumpuk. Karena dalang atau otak kerusuhan Poso yang berlangsung sejak delapan tahun lalu hingga kini belum terungkap. Hasanuddin memandang kerusuhan atau konflik di Poso tidak terjadi secara tiba-tiba. Karena menurut
Sementara itu, Hasanuddin sendiri kasusnya tengah disidangkan di pengadilan Negeri Jakarta Pusat bersama dengan dua orang rekan lainnya, yaitu Haris dan Irwanto Irano. Mereka didakwa karena membunuh dan memutilasi tiga siswi Poso pada Oktober 2005 silam di mesjid Al Firdaus Tanah Runtuh Gebangrejo, Poso. Tiga siswi Poso tersebut antara lain, Alm. Alfita Poliwo, Theresia Morangki, Yarni Sambue dan salah seorang siswi lainnya, yaitu Noviana Malewa menderita bacokan di pipi sebelah kanan.***
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
20
BERITA DAERAH
Penuntasan Kasus Runtu Digantung Keperpihakan pemda yang didukung oleh aparat keamanan terhadap pihak pengusaha menjadi sisi lain wajah ketidakadilan negeri ini. Atas nama pembangunan, pemerintah kerap “menutup mata dan telinganya” atas derita dan suara rakyat kecil. Getiran ini juga dirasakan oleh masyarakat Runtu, Kalimantan Tengah. Hingga kini tidak ada niat baik Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah, khususnya Kabupaten Kotawaringin Barat untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah antara PT.MMS (Mitra Mendawai Sejahtera), dengan masyarakat Runtu Kecamatan Arut Selatan Kota Waringin Barat. Di sisi lain, penyelesaian kasus yang terus terkatung-katung ini memperihatkan pula upaya sistematis pengusaha yang melibatkan aparat keamanan dan aparat pemerintah lokal dalam mempertahankan penguasaan sumber ekonomi. Kasus ini sendiri terjadi sejak tahun 2004 bermula saat PT. MMS melakukan usaha pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Pihak perusahaan melakukan okupasi terhadap lahan perkebunan yang dimiliki masyarakat tanpa adanya proses yang jelas utamanya tentang pengalihan hak kepemilikan yang dikuasai oleh masyarakat tersebut.
Pada Juni 2005, salah seorang anggota DPD RI utusan Kalimantan Tengah yang ditugaskan memantau kasus ini telah mencoba menyuap salah seorang petani yang juga ketua Badan Perwakilan Desa, Bapak H. Hamihan dengan tujuan agar para petani tidak melanjutkan kasus ini.
Para petani dan pendamping telah melaporkan kasus ini ke Kapolri, DPRD Propinsi Kalteng dan Komnas HAM pada periode Mei-Juni 2005. Mabes Polri telah mengeluarkan surat kepada Polda Kasus ini sendiri Kalteng untuk melakukan penyelidikan atas keterlibatan aparat. Namun, hingga saat ini terjadi sejak tahun penyelesaian kasus ini seakan terhenti.
2004 bermula saat PT. Mitra Mendawai Sejahtera melakukan usaha pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
Puncaknya, pada 26 Mei 2005 masyarakat menuntut pihak perusahaan menarik buldoser yang menghancurkan lahan perkebunan dan menggarap lahan mereka. Sebelum melakukan aksi, masyarakat sempat meminta restu dari Ujang Iskandar (saat ini Bupati Kota Waringin Barat) dan Camat Arut Selatan, Praptiniwati tentang tindakan apa yang harus dilakukan terhadap buldoser milik perusahaan yang menggarap lahan tersebut. Atas restu kedua orang tersebut, masyarakat lalu menyandera kedua buldoser tersebut. Aparat Brimob dan preman perusahaan melakukan penyerangan kepada masyarakat dengan masyarakat setempat. Akibatnya, satu orang warga meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka terkena tembakan dan pemukulan yang dilakukan aparat Brimob sehingga harus dibawa ke rumah sakit. 50 orang warga ditahan tanpa melalui proses hukum di Polres Kobar. Seluruh akses keluarga untuk menjenguk ke rumah sakit maupun tahanan tidak didapat. Keluarga baru dapat bertemu setelah korban keluar dari rumah sakit dan dibebaskan dari tahanan.
Esoknya, Muspida Kotawaringin Barat dan masyarakat menyepakati agar warga yang ditahan dilepaskan. Muspida juga harus memberikan peringatan pada PT MMS untuk tidak mengintimidasi warga serta tidak melakukan kegiatan atau menggarap lahan yang dipertahankan oleh warga sampai ada kesepakatan dari warga serta mengeluarkan semua alat-alat PT MMS dari tanah warga. Namun, kesepakatan itu tidak dijalankan sepenuhnya. Aktivitas perusahaan terus berlangsung. Bahkan perusahaan kembali melakukan cara-cara kekerasan dan tidak menghargai hak asasi manusia berupa pembakaran, intimidasi dan pengambil alihan tanah milik masyarakat secara paksa. Termasuk mengintimidasi dan meneror aktivis yang giat melakukan pendampingan terhadap kasus ini.
21
Mencoba menyuap
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Para petani dan pendamping dari Walhi, Betang Borneo, Solidamor 26 dan Kontras telah melakukan pertemuan dengan Divpropam Mabes Polri dan Komnas HAM pada 14 Nopember dan ke Dewan Perwakilan Daearah (DPD) pada 15 Nopember 2006 lalu.
Dari pertemuan tersebut, Divpropam menginformasikan bahwa telah melimpahkan penanganan kasus dari Mabes Polri ke Polda Kalteng, sebagaimana tertuang dalam Surat Kadiv propam Polri No Pol : R/YD-408/VII/2005/Divpropam. Mereka menjanjikan akan mengirimkan tim supervisi pada 612 Desember 2006 ke Polda Kalteng. Komnas HAM akan memberikan jaminan perlindungan kepada para pelapor, akan membuat surat kepada instansi yang terkait dan akan turun ke lapangan. DPD juga menjanjikan hal serupa. Namun, Kontras menengarai bahwa terkatung-katungnya kasus ini merupakan upaya yang sistematis yang juga melibatkan aparat keamanan dan aparat pemerintahan lokal. Polda Kalimantan Tengah melakukan pembangkangan kepada Mabes Polri dengan belum melaporkan hasil penyelidikannya. Ujang Iskandar yang yang awalnya mendukung petani dan saat ini menjadi Bupati tidak mendukung penuntasan kasus ini. Sementara Utusan Dewan Perwakilan Daerah yang seharusnya membantu masyarakat untuk menyelesaikan kasus ini, juga ikut bermain dan memihak kepada perusahaan. Untuk itu, Kontras mendesak pemerintah pusat mengambil alih penyelesaian kasus ini, serta menghentikan kekerasan berupa intimidasi dan pencaplokan lahan yang masih terus berlanjut hingga saat ini. Sementara , Kapolri dan Komnas HAM harus segera menindaklanjuti laporan yang telah disampaikan. Para petani tidak dapat lagi menggantungkan harapan kepada pemerintah daerah karena keberpihakan aparat pemerintah daerah maupun aparat keamanan dengan pengusaha dalam kasus ini sudah semakin dalam.***
BERITA DAERAH
TNI-AU Caplok Tanah Warga Rumpin Dengan dalih membangun Water Traning, TNI-AU dari Landasan Udara Atang Sandjaja (Lanud ATS) mengambil paksa tanah warga kampung Cibitung, Desa Sukamulya kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor. Warga yang sebagian besar petani dan hidup miskin ini harus kehilangan sawah produktifnya dengan alasan kepentingan negara. Dulu dirampas penjajah, kini TNI AU Klaim atas tanah warga ini bukanlah cerita baru bagi warga desa Sukamulya. Cerita bermula saat Belanda di kalahkan oleh tentara Jepang, maka di tahun 1943 di Desa Sukamulya, Bogor, Jawa Barat, tentara Jepang membuat lapangan terbang Nordin diatas tanah warga dari 19 orang pemilik penggarap yang luasnya mencapai 7 Ha dari sebelah barat dari perkebunan karet, dan lebih kurang 11 Ha dari sebelah timur. Panjang landasan 1.800 Meter dan Lebar 100 Meter. Saat itu pembuatan landasan kapal menggunakan tenaga sekitar (Romusha). Tanah warga yang dipakai lapangan oleh tentara Jepang di bayar dengan menggunakan cek yang harus di cairkan di kantor pos pusat Gambir Betawi (Jakarta). Namun cek ini ternyata tidak berlaku. Dari sinilah cerita tentang bagaimana warga ingin mempertahankan hak milik dan hak hidupnya terus diperjuangkan hingga hampir 50 tahun lamanya. Pada tahun 1960 diadakan musyawarah oleh Bupati Bogor, Departemen Agraria, DPRD, Kodim, Polres, Korem, TNI AU dan Dan Lanud Atang Sanjaya Kol. Soetoepo dengan tokoh masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dari pertemuan ini dihasilkan keputusan, yang dikatakan langsung oleh Kolonel Soetoepo bahwa tanah yang menjadi hak TNI AU hanya lapangan terbang Nordin yang panjangnya 1800 meter dan lebar 100 m, serta minta tanah eks perkebunan karet PT. Cikoleang selebar 50 meter sepanjang landasan lapangan terbang Nordin. Total luasnya 27 Ha. Selebihnya dan diluar dari itu silahkan di miliki oleh masyarakat. Namun tahun 1991 dengan gencar TNI Angkatan Udara kembali mengklaim tanah seluas 1000 Ha tersebut. Di Pendopo PEMDA Kabupaten Bogor (02/05/1991) diadakan pembahasan masalah tersebut, yang dihadiri oleh Bupati Bogor, Edi Yoso Martadipura, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bogor, WADAN LANUD Atang Sanjaya Kolonel Tatang. Pada pertemuan tersebut kepala desa H. Amsari menunjukan tanda bukti kepemilikan tanah masyarakat berupa kikitir/girik dan surat hak milik (sertifikat) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bogor. Di tahun 2003, turunlah SK Bupati Bogor Nomor 591/194/KPTS/HUK/2003 (12/Juni/2003) tentang penetapan pembagian/pengalokasian atas tanah Eks HGU PT. Cikoleang seluas 90 Ha dan seterusnya. Namun SK Bupati tersebut dimohonkan oleh TNI AU Atang Sanjaya agar di cabut. SK Tersebut diatas di tolak oleh Bupati Bogor.
4 helikopter halau demo warga Di awal September 2005 TNI AU mendatangi tanah lokasi PEMDA, Desa dan Kavling Masyarakat dan merusak patok batas tanah, kemudian TNI AU memasang plang yang bertuliskan ini tanah milik TNI AU. Pada (14/11) warga melakukan aksi lagi berupa penutupan (pemblokiran) jalan yang menuju lokasi TNI AU dengan patok
dan besi Cor. Aksi ini dikawal ketat oleh TNI AU yang datang dengan senjata laras panjang mereka. Pada 25 Nopember 2006, ratusan warga datang memprotes proyek tersebut dan meminta TNI AU untuk keluar dari lokasi. Demo tersebut disaksikan pula oleh Pjs Kepala Desa Sukamulya, Ketua BPD Sukamulya, Sumber: id.wikipedia.org Camat Rumpin, Koramil, dan Kapolsek Rumpin. Namun, demo warga ini malah di halau oleh 4 helikopter TNI AU yang terbang pendek (kl. 4m) diatas warga. Pada sore harinya, datang pasukan baret kuning sebanyak 130 aparat TNI AU. Pada 5 Desember 2006 Warga kembali berdemo menuntut hak miliknya dan mereka melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPRD Bogor. Saat itu warga meminta Bupati dan DPRD menghentikan pembangunan proyek Water Training oleh TNI AU yang merampas sawah milik warga yang merupakan lahan produktif. Memang tak peduli dengan jeritan warga, TNI AU terus menggali tanah warga setiap harinya hingga mencapai luas 2 Ha. Sedang warga-pun terus berjuang, pada (14/12) Wakil warga mendatangi Badan Pertanahan Nasional Pusat. Di akhir bulan Desember TNI AU semakin menjadi-jadi dengan menurunkan Beko ke sawah warga, dengan tujuan membuat galian baru dengan dikawal oleh TNI AU bersenjatakan laras panjang yang ditodongkan kedepan. Dengan spontan ibu-ibu warga masyarakat turun untuk menghalau beko yang sudah turun kesawah, sambil menangis, dan mengejar memburu beko yang sedang menggali tanah sawah. Bagaimana rakyat tidak menjerit karena tanah sawah warga yang di gali TNI AU adalah tanah pertanian produktif atau. Setahunnya 3 kali panen padi. Setiap panen per hektar menghasilkan sekitar 6 ton gabah kering giling. Dalam setahun berarti sawah tersebut menghasilkan 18 ton gabah. Selain padi selingan ditanami tanaman lain seperti palawija, ketimun yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan kehidupan warga. Untuk itulah Persatuan Warga Tani Sukamulya Desa Sukamulya Kecamatan Rumpin menuntut Presiden Republik Indonesia agar memerintahkan TNI AU Untuk menarik pasukan TNI AU dari lokasi proyek di Desa Sukamulya Kecamatan Rumpin Bogor. Menuntun untuk menghentikan pengerukan tanah milik petani untuk dijadikan lahan Water Training dengan pola pengerjaan galian pasir. Menuntut agar mencabut Pernyataan TNI AU atas klaimnya seluas 1000 Ha atas tanah milik masyarakat. Warga juga ingin kebenaran dan keadilan ditegakkan dengan mengusut sampai tuntas sekandal yang memotori kasus penyerobotan/ perampasan tanah sawah Masyarakat.***
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
22
BERITA DAERAH
Motor Terserempet, Anggota TNI Pukul Warga “Merasa paling berkuasa”. Barangkali inilah ungkapan yang paling pantas diberikan atas perilaku anggota TNI yang menganiaya warga sipil, Emung (28) sampai korban mengalami pendarahan dan luka serius pada bagian kepala dan wajahnya. Bukan kali ini saja kita mengetahui peristiwa tersebut. Sebuah perilaku diri yang merasa paling benar dan merasa berhak menggunakan jalan kekerasan. Peristiwa ini terjadi pada hari ini, Rabu, tanggal 22 November 2005 sekitar pukul 08.00 Wib. Bermula ketika sepeda motor yang dikendarai sdr. Emung (28) secara tidak sengaja menyenggol sepeda motor yang dikendarai pelaku. Pelaku yang merupakan aparat TNI seketika marah dan turun dari sepeda motor. Hanya sesaat setelah memarahi korban, pelaku memukuli korban bertubi-tubi, dengan menggunakan tangan dan helm. Akibatnya korban mengalami luka-luka pada bagian kepala dan wajah. Korban berusaha mengajak pelaku menyelesaikan permasalahan ini secara baik-baik di kantor kepolisian. Tapi pelaku menolak dan malah menunjukkan jaket dan pangkat yang melekat di seragam TNI yang dikenakannya. Korban berusaha membela diri, namun kesulitan karena postur badan korban yang tak sebanding. Peristiwa pemukulan ini baru berakhir setelah dilerai oleh seorang aktivis Kontras bemama Irta Sumirta yang kebetulan
sedang melintas di Jalan Pramuka menuju kantor Kontras di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Setelah kejadian tersebut, Irta Sumirta mendampingi korban melaporkan kejadian ini ke kantor Polsek Matraman Jakarta Timur. Namun petugas polsek menolak untuk menerima laporan tersebut. Alasannya, masalah itu berada di luar kewenangan institusi Polri. Selanjutnya korban bersama Irta Sumirta meninggalkan kantor polisi. Tiba di kantor Kontras pada pukul 08.38 Wib menemui Usman Hamid dan Ori Rahman untuk membuat kronologis peristiwa secara tertulis. Staf Kontras memotret Iuka-Iuka kondisi korban yang luka-Iuka sebagai bukti yang diperIukan. Usai membuat kronoIogis di kantor Kontras, aktivis Kontras membawa korban ke rumah sakit untuk pembuatan catatan medis (medical records). Setelah dari rumah sakit, korban masih didampingi aktivis Kontras melaporkan peristiwa ini ke Polisi Militer. KontraS mendesak aparat penegak hukum segera mengusut kasus ini, menangkap pelaku dan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku. Perilaku arogan dan militeristik seperti ini harus segera dihentikan dan tidak boleh dibiarkan, apalagi ditoleransi. Terlebih berlindung dibalik baju dan posisinya sebagai aparat militer.***
Kematian Hardi Yang Misterius Seorang terdakwa kasus penembakan yang menewaskan dua warga negara Amerika Serikat di Timika, Hardi Tsugumol (26 thn) meningal dunia di dalam tahanan Mabes Polri (01/12). Hardi yang yang merupakan warga Timika menjadi salah satu terdakwa dalam kasus yang terkenal dengan istilah Mile 62-63 Timika (2002), ditangkap dan ditahan di rutan Bareskrim Mabes Polri sejak 10 Januari 2006. Hardi Tsugumol didakwa turut serta dalam pembunuhan warga Amerika bersama terdakwa lainnya yakni Ishak Onawame, Esau Onamawe, dan Yairus Kiwak, telah divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 1,5 tahun penjara. Mereka berempat dinilai memberi sarana bahan makanan dan tenda dalam pembunuhan berencana dan pembiayaan. Dimana dalam perkara yang sama, Antonius Wamang divonis penjara seumur hidup, dan Agustinus Anggaibak dan Julianmus Deikme divonis tujuh tahun penjara. Pengacara para terpidana kasus penembakan warga AS di Papua, Johson Panjaitan menduga jaksa dalam kasus tersebut melalaikan penetapan hakim yang berujung kematian Hardi, karena sakit yang dideritanya. Padahal sebelumnya, ketika proses persidangan masih berlangsung, ketua majelis hakim, Andriani Nurdin, menetapkan agar
23
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
perawatan Hardi dipindah dari Rumah Sakit Polri Kramat Jati ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Keluarga almarhum Hardi dan Warga Papua yang sebagian besar berasal dari Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat Eksekutif Nasional Konsulat Indonesia menuntut negara bertanggungjawab atas meninggalnya Hardi, lewat penyataan sikap yang dilakukan di depan Kejaksaan Agung, Jakarta (13/12). Massa juga menuntut Kejari Jakarta Pusat mengotopsi jenazah Hardi untuk mengetahui penyebab kematiannya. Sebelumnya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga menyatakan bahwa kematian Hardi bukan tanggungjawab kejaksaan. pasalnya, ia meninggal saat mejelis hakim sudah memutuskan perkaranya. “Kalau perkaranya sudah dilimpahkan ke pengadilan menjadi tanggung jawab pengadilan. Hardi meninggal kan sesudah putusan, “ ujar Rintongga. Rintongga juga membantah penyataan keluarga bahwa jaksa mengabaikan surat perintah hakim agar membawa Hardi Ke RS Harapan Kita, Jakarta. Menurut dia, tidak pernah ada surat perintah hakim yang memerintahkan jaksa membawa Hardi Ke RS Harapan Kita.***
BERITA DAERAH
Pengadilan HAM untuk Aceh Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Nanggroe Aceh Darussalam langsung menempatkan pasangan Irwandi YusufMuhammad Nazar sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh. Sementara Persiden SBY memberi suara positif, menerima hasil pemilihan Aceh sebagai komitmennya atas perdamaian. Sedang di sebuah acara Partai Golkar, Wakil Presiden Yusuf Kalla juga menyambut positif dan menggarisbawahi pentingnya pemimpin baru Aceh melanjutkan pembangunan.
partisipasi korban di tingkat pengambilan kebijakan maupun pelaksanaan di lapangan. Ketiga, melakukan perubahan dan pembenahan BRA, di antaranya mencakup aspek legalitas mandat yang kuat, program reparasi, restrukturisasi Forum Bersama dan Badan pelaksana BRA dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki intergritas HAM dan partisipasi korban, serta menjamin akuntabilitas dan transparansi keuangan BRA.
Respons positif kedua petinggi pemerintahan itu sangat diperlukan. Selain meredam suara-suara minor yang paranoid akan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), juga menyatakan kesiapan untuk bekerja sama dengan pemimpin baru Aceh guna melanjutkan nota perdamaian, memperbaiki nasib rakyat Aceh agar sejahtera.
Keempat, akan menolak semua kebijakan militeristik atau kebijakan darurat apa pun yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM pada masa mendatang. Kelima, mendorong reformasi kepolisian, sebagai polisi sipil yang profesional dan tanpa pandang bulu dalam menjalankan fungsinya. Keenam, mendorong reformasi TNI yang berfungsi sebagai alat pertahanan negara semata dan tunduk di bawah otoritas pemerintahan sipil. teori,
Tanggal 29 November lalu, saat Usman Hamid Koordinator KontraS menghadiri pertemuan para korban konflik Aceh. Seorang korban, Hasan, bercerita bahwa anaknya telah hilang diculik (20/10/2000). Saat kejadian, tempat berjualannya-pun digerebek. Kini, Hasan tak punya modal untuk membiayai hidup keluarga. PaskaNota Kesepahaman Damai RI-GAM, Hasan membuat proposal dan mengirimnya ke Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Ia berusaha mencari tahu apakah proposalnya disetujui dan dicairkan agar bisa berjualan kembali. Akan tetapi, entah mengapa, hingga kini BRA tidak meresponnya.
“Secara penyelidikan bisa saja dilakukan. tetapi, kapan akan selesai karena kasusnya banyak dan sebagian barang bukti sudah hilang, “ kata Saafroedin
Dari cerita itu, Usman menuturkan bahwa pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu masih relevan. Apalagi Hasan tidak sendirian. Ia berkumpul dengan para perwakilan korban dari Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Besar, Lhok Seumawe, Aceh Barat Daya, Bener Meriah, Aceh Tengah, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Gayoe Lues, dan Pidie. Hari itu, para kandidat yang semula berjanji hadir, ternyata tak muncul. Gazali Abbas mencoba untuk berbicara lewat telepon, sementara pasangan Irwandi dan Nazar mengirim utusan.
Enam butir kontrak Meskipun demikian, korban bersepakat untuk bisa bertemu para calon kepala pemerintahan Aceh. Ada 6 butir kontrak politik yang ingin diajukan. Menurut Usman, yang pertama adalah, kepala pemerintahan Aceh memastikan terbentuknya lembaga-lembaga negara yang menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap HAM di Aceh, yaitu membentuk Pengadilan HAM di Aceh untuk mengadili pelanggaran HAM masa lalu membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan memperkuat keberadaan Komnas HAM perwakilan Aceh dengan mandat setingkat Komisi Nasional HAM. Kedua, melaksanakan program pemulihan (reparasi) terhadap masyarakat korban pelanggaran HAM atas seluruh penderitaan yang mereka alami, dengan melibatkan
Untuk tuntutan pertama dan kedua, korban memberi bats waktu selama dua tahun. Sementara untuk tuntutan ketiga, diberi batas waktu selama dua tahun.
Perlu KKR
Pada akhirnya Usman mengusulkan kepala pemerintahan Aceh perlu mencari terobosan, khususnya untuk mengusut kasus-kasus masa lalu. “Misalnya, bila ingin menempuh pengadilan HAM, ia harus mampu menyakinkan DPR untuk mengusulkan pengadilan ad hoc. Sesuai UUPA, DPR tidak bisa menolak begitu saja, tetapi diwajibkan UUPA berkonsultasi dengan legeslatif Aceh, “ ungkap Usman. Sedang bila ingin membentuk KKR Aceh pasca putusan MK, mereka ditantang mampu merumuskan formula yang tepat sesuai dengan perangkat hukum yang ada. Mulai dari UUPA, regulasi Qanun, hingga Keputusan Presiden. Di Negeria, Chad, dan Cile, yang membentuk KKR adalah presiden, tidak lewat undangundang. Hal senada diungkapkan oleh anggota Komnas HAM, Saafroedin Bahar, mengakui, lembaganya kesulitan menyelidiki sejumlah pelanggaran HAM di Aceh. Padahal, penyelidikan dibutuhkan jika kasus akan diselesaikan di pengadilan HAM. “Secara teori, penyelidikan bisa saja dilakukan. tetapi, kapan akan selesai karena kasusnya banyak dan sebagian barang bukti sudah hilang, “ kata Saafroedin. Dirinya menuturkan, penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh rencananya akan diselesaikan melalui KKR. Namun, rencana ini kini sulit terlaksana karena MK membatalkan UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR. Sesuai dengan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, jalan yang tersisa hanya Pengadilan HAM. Namun tetap ada jalan lain, menurut Usman, bisa merujuk pengalaman Sierra Leone dan El Salvador yang membentuk KKR sebagai hasil perundingan damai. Ini semua mensyaratkan adanya kemauan kedua pihak, tanpa melupakan korban sebagai pihak ketiga, Karena, korban telah menjadikan pengalaman masa lalu yang traumatik sebagai guru yang berharga. mereka tak ingin ada lagi pelanggaran HAM.***
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
24
BERITA DAERAH
Gusur dan Pukul, Itulah Satpol PP Hak asasi manusia bagi wong cilik kini terus digilas kepentingan modal. Lihat saja, beberapa pemerintah daerah dalam mengatasi masalah kemiskinan di kotanya kerap kali kini melakukannya dengan pendekatan represif. Permukiman kaum miskin yang kumuh dianggap penyakit dan merusak gemerlapnya kota. Dengan dasar Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, pemerintah daerah Ibukota Jakarta mengusir kaum miskin. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum semakin melegalkan penggusuran paksa. Di sisi lain, persoalan pokok rakyat (terutama rakyat kecil), yakni kebutuhan hak atas tempat tinggal dan akses ekonomi, tidak pernah menjadi persoalan yang diperhatikan serius. Justru sebaliknya, penggusuran paksa di Indonesia, khususnya Jakarta, telah mencapai level cukup gawat. Dari catatan bulan September- Desember 2006, tercatat tujuh tempat penggusuran dilakukan. Dengan ratusan korban keluarga yang tidak bisa lagi mendapatkan akses ekonomi dan tempat tinggal.
Kewenangan Pol PP Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 120 yaitu yang mengatur tentang keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Adapun penjabaran tugas dari Satpol PP ini adalah, pertama, membina ketenteraman ketertiban masyarakat (tramtibmas), kedua, memberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan tramtibmas. Sedangkan yang terakhir adalah tugas yang disandang Satpol PP adalah penegakan peraturan daerah (perda) yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Dari ketiga tugas tersebut terlihat jelas bahwa Satpol PP memiliki wilayah tugas dari mulai pendekatan pengayoman, pencegahan hingga penindakan bagi pelanggaran perda. Dalam praktiknya, Satpol PP justru melakukan aksi-aksinya dengan menampakkan brutalitasnya. Berbagai aksi kekerasan semacam pemukulan, intimidasi, bahkan peristiwa ini juga kadang memakan korban jiwa. Sementara itu, dalam hal tugas penindakan ternyata tidak ada “kewenangan prosedural” yang jelas dan terukur. Banyak
terjadi distorsi kewenangan serta benturan dengan masyarakat. kebijakan tentang Satpol PP cenderung tidak “manusiawi”, dimana dia dibenturkan dengan masyarakat tanpa dibekali dengan pengaturan tehnis maupun wawasan tentang hukum dan HAM. Akibatnya, demi tugas, mereka akan melakukan tugasnya sewenangwenang tanpa menyadari bahwa apa yang dilakukannya telah melanggar HAM dan hukum.
Bentrokan di sejumlah daerah Pada (22/11), bentrokan terjadi antara warga kapal sandar (lorong eks bank Pinaesaan) Jl Samratulangi- Manado dengan petugas Polisi Pamong Praja. Bentrokan ini dipicu karena penertiban yg dilakukan Pol PP terhadap salah satu grobak. Akibat tindakan yang sewenang-wenang ini, membuat warga emosi. Warga merasa bahwa Pol PP terlihat sangat arogan, meski grobak tersebut berada di halaman (dalam kintal) tapi Pol PP tetap terus mengobrakabrik barang tersebut. Saat ditegur salah seorang warga agar lebih arif bertindak, namun, Pol PP menanggapi teguran dengan emosi. Akibatanya bentrokan tak terhindari. Terjadi lempar batu antara warga dan Pol PP. Di Medan, Sumatera Utara. Sekitar 50 orang Satpol PP menyerang kantor Pos Medan (8/12). Peristiwa berawal ketika anggota satpol PP menertibkan pedagang kaki lima yang berjualan di depan kantor pos. Bukan hanya menertibkan, namun Pol PP juga memukuli para pedagang tersebut. Kemudian, para pedagang yang dipukuli lari ke kantor pos. Meski pegawai kantor pos berusaha melerai, namun para pendagang ini malah kembali dipukuli. Akibat peristiwa ini Sri Wahyuni, (25) pejaga stan kantor pos dan Pardi, (35) satpam mengalami luka. Sementara itu satu mobil milik kantor pos besar Medan rusak serta kaca-kaca kantor pos hancur. Atas nama ketertiban umum dan entah atas nama apa lagi, Satpol PP bertindak diluar kewenangannya. Mereka kerap melakukan tindakan keras bahkan penganiayaan bila melakukan tugasnya. Sebaliknya rakyat kecil disalahkan dan dituding sebab dari persoalan.
Kekerasan Sat Pol PP Periode Januari - Desember 2006
Sumber:Litbang Kontras
25
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
REMPAH-REMPAH
Jaksa Agung Tolak Sidik Penghilangan Aktifis Setelah menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM atas kasus Trisakti dan Semanggi serta Tragedi Mei 1998, sikap serupa kembali ditunjukkan Jaksa Agung dalam kasus penghilangan orang secara paksa yang terjadi 1997-1998 (18/11). Dalihnya sama harus ada keputusan politik DPR RI. Sebelumnya (8/11/2006), rapat pleno Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti yang cukup terjadinya pelanggaran HAM yang berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus Penghilangan Paksa 1997/1998. Komnas HAM menyatakan, terjadi tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk perampasan kemerdekaan, penyiksaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa dan pembunuhan atas 24 orang yang diduga melibatkan 27 orang pelaku. Komnas HAM meminta agar laporan ini ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung, DPR RI dan Presiden ke Pengadilan HAM dan kepada korban dan keluarga korban diupayakan rehabilitasi, kompensasi dan restitusi.
Keppres hanya bermakna bila ada konfirmasi dari penyidikan Kejagung atas bukti-bukti pelanggaran HAM hasil penyelidikan Komnas HAM. Baik putusan DPR ataupun Keppres harus mengatur suatu kenyataan, fakta dan Sumber: www.physorg.com persoalan yang sedang dan akan dihadapi, bukan untuk mengatur sesuatu yang diandaikan ada. Apalagi, DPR berada dalam domain politik dan tidak memiliki wewenang dalam wilayah hukum.
Kesimpulan Komnas HAM jelaslah bukan sekedar kertas laporan yang tak memiliki makna dan konsekuensi. Maknanya jelas, aparat negara telah menghilangkan sejumlah warganya dengan cara paksa, untuk tujuan politik. Ini melanggar hukum universal HAM dan hukum positif nasional, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan Jangan jadikan hambatan hukum (crimes against humanity). Konsekuensinya negara harus Dalam kasus TSS, putusan DPR memang bertanggungjawab, mengakui adanya lebih dahulu dari penyelidikan. Hal ini bisa warganegara yang telah dihilangkan Kesimpulan Komnas HAM terjadi karena Panitia Khusus DPR sekaligus menjelaskan nasib dan jelaslah bukan sekedar kertas dibentuk sebelum lahirnya UU 26/2000. keberadaan mereka saat ini. laporan yang tak memiliki Yakni pada pertengahan 2000. Sehingga makna dan konsekuensi. Ironisnya, Jaksa Agung bersikeras tidak yang seharusnya dilakukan adalah Maknanya jelas, aparat akan menindaklanjuti laporan dari pencabutan rekomendasi DPR tersebut atas negara telah menghilangkan Komnas HAM dengan argumen belum dasar tertib hukum, bukan kemudian sejumlah warganya dengan ada pengadilan HAM ad hoc. Kondisi ini dijadikan seolah-olah hambatan hukum. cara paksa, untuk tujuan merupakan penafsiran sepihak yang politik. Saat ini, meski mentok di tingkat pimpinan keliru dan tidak masuk akal. Jaksa Agung dan baru dalam skala fraksi, DPR periode merujuk Pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan HAM No. 26/2000. Yakni, Pengadilan HAM ad hoc dibentuk 2004-2009 telah menyetujui agenda pencabutan rekomendasi atas usul DPR dan dengan Keputusan Presiden. Interpretasi DPR periode 1999-2004 yang menyatakan kasus TSS bukan atas pasal tersebut mengandaikan rekomendasi DPR lebih pelanggaran HAM berat (15/06/06). Terakhir kali, urgensi penyidikan oleh Kejagung ditegaskan oleh anggota Komisi III dulu ketimbang penyidikan Kejagung. DPR RI, Gayus Lumbuun (21/11/06). Padahal, jika putusan DPR lahir sebelum penyelidikan atau Keppres tentang pembentukan pengadilan HAM itu Malah, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh semasa menjadi ada sebelum penyidikan, maka putusan DPR maupun Hakim Agung pernah menegaskan betapa powerless-nya Keppres tersebut menjadi sangat pretensius karena telah rekomendasi DPR tanpa penyidikan Kejagung. Sementara mendahului proses hukum (penyelidikan, penyidikan dan pada (4/9/2001) keluarga korban kasus TSS beraudiensi ke Mahkamah Agung dan diterima oleh beberapa Hakim Agung. penuntutan). Sehingga, proses penyelidikan dan Saat itu, bersama dengan M. Taufik, Laica Marzuki dan Said penyidikan menjadi tidak bermakna. Harahap, Hakim Agung menyatakan rekomendasi DPR atas kasus TSS tidak mengikat, tidak berkekuatan hukum, karena Harusnya, penafsiran yang ideal untuk Pasal 43 ayat 2 itu diabaikan saja. UU 26/2000 adalah usulan tersebut diajukan oleh DPR setelah didahului penyelidikan (oleh Komnas HAM) dan Jika demikian, ada apa dengan Jaksa Agung saat ini? Mengapa penyidikan (oleh Kejagung). Putusan DPR maupun terus menerus menolak?
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
26
REMPAH-REMPAH
Konvensi Anti Penghilangan Paksa Mandat Negara untuk Ungkap Kasus Penculikan Tepat pukul 10.00 waktu New York, tanggal 20 Desember 2006, Konvensi Internasional untuk Perlindungan Setiap Orang dari tindakan Penghilangan Secara Paksa disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB. Sebelumnya Konvensi ini telah disahkan oleh Dewan HAM PBB pada bulan Juni 2006. Selanjutnya, Konvesi ini akan terbuka untuk ratifikasi, dan berlaku secara aktif (enter into force) 30 hari setelah 20 negara meratifikasinya. Paling tidak 20 negara akan melakukan ratifikasi secara terbuka pada tanggal 7 Pebruari 2007 di Paris, Perancis. Sebagai anggota AFAD (Asian Federation and Enforced or Involuntary Disappearance), KontraS dan IKOHI telah cukup lama terlibat dan melakukan lobby-lobby baik ditingkat nasional dan internasional atas proses pembahasan draft Konvensi hingga Konvensi disahkan. Konvensi ini merupakan mekanisme hukum internasional yang mengikat setiap negara yang telah meratifikasinya untuk penyelidikan dan penuntutan atas terjadinya kasus penghilangan paksa. Upaya ini bisa dilakukan oleh Badan Pelaksana Konvensi yang bernama Komite Penghilangan Paksa yang terdiri dari 10 orang. Komite inilah yang akan memastikan bahwa setiap negara peratifikasi (state parties) patuh pada aturan-aturan yang disebutkan dalam Konvensi. Keluarga korban juga memiliki akses langsung
ke Komite ini dengan melaporkan kasus yang telah terjadi pada anggota keluarga mereka. Ditingkat nasional, Konvensi ini menjadi sangat relevan karena pemerintah memiliki hutang pada keluarga korban dalam bentuk proses penyelidikan dan penuntutan oleh Jaksa Agung melalui Pengadilan HAM atas kasus Penghilangan Paksa 1997-1998. Pengesahan Konvensi harus dijadikan momentum bagi pemerintah untuk tidak mementahkan hasil penyelidikan Komnas HAM. Sikap positif delegasi Indonesia di PBB dalam memberikan dukungan pada pengesahan Rancangan Konvensi di Sidang Dewan HAM bulan Juni 2006 lalu, dan pada Sidang Komite III Majelis Umum PBB harus segera direalisasikan oleh instansi Jaksa Agung dengan melakukan penyelidikan dan penuntutan atas kasus penghilangan paksa 1997-1998. Untuk membuktikan komitmennya, Pemerintah Indonesia juga harus menjadi bagian dari negara-negara yang akan melakukan ratifikasi terbuka pada tanggal 7 Pebruari di Paris. Semua ini penting dilakukan karena seruan internasional yang muncul dari Konvensi tersebut adalah untuk melindungi hak semua orang untuk tidak dihilangkan secara paksa. ***
“ Setiap tindakan penghilangan orang dengan paksa merupakan suatu tindak pidana terhadap martabat manusia. Tindakan ini dinyatakan sebagai pengingkaran terhadap tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sebagai suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kebebasankebebasan dasar yang serius dan nyata, yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan ditegaskan kembali dan dikembangkan dalam instrumen-instrumen internasional dalam bidang ini”. Pasal 1 (1) Deklarasi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan secara Paksa
“Tidak satu pun negara dapat melaksanakan, mengijinkan, atau mentolerir penghilangan orang dengan paksa”. Pasal 2 (1) Deklarasi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan secara Paksa
“ Setiap negara harus menjamin dilarangnya setiap perintah atau instruksi yang mengarahkan, memberi wewenang, atau menyarankan penghilangan orang dengan paksa”. Pasal 6 (2) Deklarasi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan secara Paksa
27
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
REMPAH-REMPAH
Peringatan Semanggi I
DPR Harus Berani Buat Terobosan Kasus TSS Keluarga Korban Trisakti, Semanggi I dan II, korban dan keluarga korban kekerasan orde baru, aktivis mahasiswa dan sejumlah LSM dalam momentum peringatan peristiwa Semanggi I, kembali meminta DPR menggunakan kewenangannya mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc atas kasus TSS.
pula pemasangan/pameran photo-photo dari tragedi ini. Tak lupa dilakukan tabur bunga tepat di lokasi terbunuhnya Wawan. Yang dilanjutkan dengan mimbar bebas dan pernyataan sikap bersama dari jaringan yang terlibat dalam penuntasan kasus TSS. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan ziarah ke makam BR Norma Irmawan (Wawan) di TPU Joglo dan makam Sigit Presatyo di TPU Tanah Kusir.
Tuntutan ini kembali digulirkan, karena hingga kini DPR masih setengah hati, penuh keraguan dan cenderung mengabaikan penuntasan kasus TSS. Sikap DPR ini jelas terlihat dari tidak adanya kemajuan langkah politis yang ditempuh setelah Komisi III (Juni 2005), meminta DPR agar dalam sidang Paripurnanya mereka mencabut rekomendasi DPR periode 1999-2004 yang menyatakan kasus Trisakti Semanggi I dan II (TSS) sebagai bukan pelanggaran HAM berat.
Saat malam menjelang, acara dilanjutkan dengan kegiatan misa di rumah ibu Sumarsih. Setelah itu korban dan keluarga korban mengisi acara “Republik Mimpi” di stasiun Metro TV. Dok. Kontras Kegiatan-kegiatan ini dimaksudkan untuk bersama menjaga agar memory colletive mahasiswa dan masyarakat luas bahwa kasus Trisakti Semanggi belum dituntaskan. Termasuk merangkul masyarakat luas agar m e m b e r i k a n dukungannya bagi penuntasan kasus ini. Yang terpenting menjaga konsistensi gerakan mahasiswa dan pemuda untuk terus memperjuangkan keadilan bagi peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Keengganan DPR untuk membahas kasus ini juga terlihat dari Aksi Peringatan Semanggi I pernyataan yang berulangkali, disampaikan oleh Ketua DPR Agung Laksono (Fraksi Golkar) yang mengatakan DPR tidak akan membahas kasus TSS. Pada akhirnya bola panas kasus ini dikembalikan lagi ke Komisi III DPR (akhir Februari 2006). Perjalanan kasus ini di DPR menggambarkan dimensi politis kasus ini yang begitu kental bagi kalangan elit politik. Dipimpongnya kasus TSS ini lebih menggambarkan bagaimana elit partai, pemerintah dan para pelaku (TNI/Polri) masih memiliki relasi yang kuat untuk mempertahankan impunity.
Momentum peringatan Sementara itu, momentum peringatan Semanggi I (13/11) diperingati dengan serangkaian acara. Persis di depan Kampus Universitas Atmajaya, yang menjadi saksi bisu peristiwa ini, dilakukan pembukaan posko TSS, pemasangan spanduk dukungan tandatangan. Diadakan
Keesokan harinya (14/11), kegiatan dilanjutkan dengan aksi ke DPR, MA, dan Istana Presiden. Aksi diikuti sekitar 200-an orang dari jaringan penuntasan kasus TSS. Dalam aksinya di gedung DPR disuarakan agar DPR segera mencabut rekomendasi Pansus 2001 yang menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran berat HAM dan segera membawa hasil kajian komisi III ke sidang paripurna DPR. Sedangkan di MA, peserta aksi meminta MA mengeluarkan fatwa bahwa putusan Paripurna DPR pada pertengahan 2001 yang mengatakan tidak adanya pelanggaran berat HAM pada kasus TSS bukanlah putusan hukum karena DPR bukanlah lembaga yudikatif. Sedang saat melakukan aksinya di depan Istana Merdeka, mereka menuntut Presiden mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk TSS, termasuk meminta Kejagung melakukan penyidikan. Aksi diakhiri dengan pembacaan statement bersama yang berisi tuntutan penuntasan kasus TSS, dan pemenuhan hak-hak korban.***
“ Takutlah pada rasa takut itu sendiri, karena rasa takut itu bisa membunuh inteligensi dan kecerdasan kita”
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
28
REMPAH-REMPAH
Peradilan Umum Berlaku Bagi Militer Setelah sekian lama mengalami kebuntuan akibat silang pendapat mengenai yurisdiksi Peradilan Militer, pembahasan RUU Peradilan Militer agaknya akan bisa dilanjutkan oleh Pansus Peradilan Militer setelah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan setuju bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum akan diadili di peradilan umum. Peryataan SBY yang disampaikan melalui Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin tersebut mencairkan kebuntuan pembahasan RUU ini. Karena sebelumnya oleh Menteri Pertahanan Yuwono Sudarsono, yang ngotot menolak jurisdiksi peradilan umum amanat UU no.34 tahun 2004 tentang TNI. Juwono menawarkan keberadaan Hakim dan Jaksa sipil dalam Peradilan Militer sudah cukup sebagai implementasi UU No 34 Tentang TNI perihal jurisdiksi peradilan umum untuk TNI. Lebih jauh, Juwono menyatakan perlunya dilakukan perubahan KUHAPM sebagai konsekwensi untuk melakukan perubahan kewenangan Peradilan Militer.
Suasana peradilan umum
Pernyataan ini juga menjadi sebuah langkah mundur terkait dengan reformasi TNI sebagai bagian dari agenda transisi demokrasi di Indonesia, dan merupakan counter terhadap prinsip peradilan dan penegakan hukum yang akuntabel bagi anggota TNI berbasis yurisdiksi kejahatan. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai praktek impunitas dan upaya untuk mempertahan keistimewaan TNI. Padahal, seharusnya TNI memiliki status yang sama dengan warga sipil di muka hukum. Karenanya Pernyatan SBY sekaligus menjadi klarifikasi dari pemerintah bahwa pemerintah tetap menghormati substansi yang ada dalam TAP MPR VII/MPR tahun 2000 tentang TNI dan Polri serta UU nomor 34 tentang TNI yang secara tegas menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Reformasi sektor keamanan Dengan demikian sesuai dengan harapan banyak orang, dalam waktu dekat RUU tersebut sudah bisa diselesaikan
dan diundangkan, sehingga kita bisa memasuki satu babak baru dalam proses demokratisasi dan reformasi sektor keamanan di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, substansi dari RUU Peradilan Militer ini merupakan salah satu ukuran sejauh mana kita sebagai bangsa mampu dan Dok. Kontras berkehendak untuk menjunjung tinggi prinsip equality before the law, serta k o n s i s t e n m e m b a n g u n supremasi sipil dalam kehidupan politik dan hukum kita. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, maka Pokja RUU Peradilan Militer m e n y a t a k a n menyambut baik sikap pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY untuk mempertegas jurisdiksi peradilan militer terbatas pada tindak pidana militer. Sikap tersebut harus dimanifestasikan secara tertulis sebagai sebuah kebijakan resmi dari pemerintah, sehingga segera dapat ditindaklanjuti oleh semua pihak yang berkaitan dengan proses reformasi sektor keamanan umumya, dan reformasi peradilan militer khususnya. Sementara itu DPR harus segera beranjak pada pembahasan substansi-substansi berikutnya dalam RUU ini, seperti hubungan dengan peradilan umum, jenis-jenis tindak pidana/kejahatan militer, eksistensi peradilan militer di masa damai, dan lain-lain. Disamping itu harus segera disusun langkah-langkah persiapan bagi proses transisi perubahan jurisdiksi peradilan militer ini. Baik persiapan aparat peradilan umum untuk mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum, maupun persiapan prajurit TNI untuk diadili di peradilan umum ketika melakukan tindak pidana umum.***
“ Semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun”
(Pasal 26 Kovenan Hak Sipil dan Politik)
29
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
REMPAH-REMPAH
DPR Harus Prioritaskan RUU KMIP Proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Sementara pasal 24-27 mengatur kewenangan Dewan rahasia Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) Negara antara lain untuk memperpanjang masa retensi, terkesan berjalan lambat dan tanpa target jelas. Padahal menolak memberikan informasi yang dikategorikan rahasia sudah 6 tahun RUU KMIP dinantikan oleh publik guna dan menyatakan bocornya rahasia negara. mendorong reformaasi birokrasi, pemberdayaan masyarakat sipil, peningkatan kinerja pemberantasan Hal lainya, pemerintah mulai serius memperjuangkan RUU korupsi dan peningkatan pelayanan publik. Dengan kata Rahasia Negara setelah ke1uarnya Amanat Presiden tentang RUU KMIP bulan Februari 2006. Ini lain, RUU KMIP merupakan perangkat menunjukkan bahwa pemerintah phobia dan penting untuk menuntaskan agenda tidak paham tentang keterbukaan informasi, Informasi publik demokratisasi dan perwujudan serta menonjolkan dalil-dalil keamanan kekuasaan yang bersih dan akuntabel. memperkuat partisipasi nasional sebagai kedok untuk menutuppublik dalam pembuatan Sayangnya, kesadaran publik akan nutupi wajah birokrasi yang korup. keputusan. Tanpa pentingnya keterbukaan informasi informasi tidak ada tersebut tidak mendapat tanggapan Salah kaprah komunikasi. dan positif dari DPR dan pemerintah. Proses kebebasan informasi Hal senanda terungkap dalam diskusi di pembahasan RUU KMIP tidak membangun tingkat DPR, Dr. Edy Prasetyono dari CSIS memperlihatkan adanya keseriusan dan kepercayaan publik menyatakan bahwa ada salah kaprah dalam terkesan berjalan tanpa arah. Banyak memahami kebebasan memperoleh kepada pemerintah. kesempatan yang diagendakan untuk informasi. Hal tersebut sangat pembahasan RUU KMIP dibatalkan memprihatinkan. Ini terutama yang tanpa alasan jelas. Akibatnya, pembahasan RUU KMIP yang dimulai sejak bulan Mei 2006 dikatakan Wapres Jusuf Kalla bahwa kebebasan informasi hingga kini baru memasuki Daftar Isian Masalah no.134. mendorong kebebasan dari Barat, lalu kebebasan informasi Itu berarti, masih tersisa 200 DIM yang harus dibahas oleh menjadikan negara telanjang dan bahkan keutuhan NKRI terancam. “Sekarang kita tidak banyak tahu apa yang DPR dan pemerintah. dilakukan oleh pemimpin kita. Lalu ada juga pandangan Pembahasan DIM yang tersisa membutuhkan keseriusan bahwa kebebasan informasi berpotensi menganggu DPR dan pemerintah. Apalagi masih banyak persoalan ketertiban dan keamanan masyarakat,” ujar Prasetyono. krusial yang akan diperdebatkan dalam Panitia Kerja antara DPR dan pemerintah. Itu berarti, tanpa ada Sementara Roman Lendong dari Visi Anak Bangsa keseriusan DPR dan pemerintah dengan mengatakan, harusnya pemerintah menyadari bahwa yang menempatkannya RUU KMIP sebagai prioritas, maka didorong dalam RUU KMIP ini adalah masalah informasi pengesahan RUU KMIP masih belum pasti dan publik. UU KMIP diperlukan antara lain karena sebagai tuntutan demokrasi bahwa informasi bagian dari kebebasan memerlukan waktu panjang. HAM. Persoalan lain yang menghadang RUU KMIP adalah kemunculan RUU Rahasia Negara (RN). Meski RUU RN Informasi publik memperkuat partisipasi publik dalam baru masuk ke DPR, namun sudah tersiar kabar bahwa pembuatan keputusan. Tanpa informasi tidak ada DPR akan segera membahasnya. Hal ini memperlihatkan komunikasi. dan kebebasan informasi membangun tingkat bahwa DPR setengah hati atau bersikap standar ganda kepercayaan publik kepada pemerintah. terhadap RUU KMIP. Di satu sisi DPR memberi perhatian terhadap legislasi RUU KMIP, namun di sisi lain DPR Terkait persoalan tersebut, Yayasan Visi Anak Bangsa, KontraS dan Koalisi Kebebasan Informasi menuntut DPR dan memperjuangkan RUU Rahasia Negara. pemerintah harus memprioritaskan pembahasan RUU KMIP Jika dicermati, kemunculan RUU Rahasia Negara agar bisa segera disahkan menjadi UU KMIP sebagai merupakan bentuk resistensi negara terhadap RUU KMIP. pedoman penting dalam mewujudkan demokrasi dan good Hal itu bisa dilihat dari dua hal. Yakni, secara substansi, governance. RUU RN mengandung pasal-pasal yang berpotensi mengabaikan kebebasan infomasi. Pasal 1 ayat 10 RUU DPR hendaknya menolak RUU RN karena karakternya yang RN menegaskan bahwa instansi adalah pemilik dan cenderung mengabaikan kebebasan informasi dan pembuat rahasia negara. Demikian pula pasal 4 mengancam keselamatan masyarakat sipil. Sedangkan menyebutkan 7 ruang lingkup rahasia negara meliputi masayarakat sipil yang pro-demokrasi hendaknya hubungan luar negeri, pertahanan, intelijen, ketahanan mengambil inisiatif untuk memobilisasi kekuatan ekonomi nasional, proses penegakan hukum, persandian perlawanan terhadap agenda-agenda yang dimaksud dan pengamanan aset vital negara. memperkuat negara dengan mengorbankan masyarakat.***
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
30
REMPAH-REMPAH
Seleksi Hakim Agung Peraturan dan Standar Yang Tak Jelas M a h k a m a h Konstitusi (MK) dalam putusan perkara No. 005/ PUU-IV/2006 yang diajukan oleh 39 Hakim Agung, pasal-pasal yang berkenaan dengan ketentuan prosedur pengawasan hakim. Aksi depan gedung Mahkamah Agung Dalam putusan ini, obyek pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung dinilai tidak bertentangan dengan pasal 24B (1) UUD 1945. Namun bagi hakim konstitusi, MK membatalkan ketentuan (pasal 1 angka 5 UU KY) yang menyatakan hakim konstitusi sebagai obyek pengawasan dari Komisi Yudisial. Dalam pertimbangan putusan tersebut MK beralasan bahwa hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hal ini berbeda dengan hakim hakim agung yang pada dasarnya adalah hakim. Disamping itu, agar tidak menimbulkan conflict of interest dalam menyelesaikan sengketa kewenangan, maka hakim konstitusi diawasi oleh Majelis Kehormatan; Dalam konsep cheks and balances yang lebih tepat KY hanya lembaga supporling element dari lembaga (tinggi). Oleh karena itu, tugas dan fungsi KY adalah untuk menunjang peran Mahkamah Agung dalam hubungan yang bersifat kemitraan (parlnership); KY tidak bisa mengawasi hal-hal yang bersifat teknis administratif dan judicial (putusan). UU KY tidak rinci mengatur prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrument apa yang digunakan serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Sehingga ketentuan menjadi kabur dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Selanjutnya MK merekomendasikan agar dilakukan revisi secara menyeluruh terhadap UU KY, UU MA, UU KK dan UU MK. Lantaran kondisi tersebut diatas Kontras meminta pemerintah segara mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Komisi Yudisial, dengan mendasarkan perumusannya, utamanya pertimbangan hukum yang telah dimuat dalam Putusan MK.
Standar Penilaian KY diragukan Sementara itu, sebelumnya (6 /11) KY telah meloloskan enam nama calon hakim Agung yang telah diajukan ke DPR RI. Proses seleksi ini sendiri berlangsung panjang dan memakan biaya sekitar Rp 2 miliar. Namun yang sangat disayangkan,
31
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
temyata KY masih meloloskan calon-calon yang secara kualitas, integritas, dan visi dan misi dalam melakukan reformasi di MA masih diragukan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa standar penilaian yang dilakukan oleh KY menjadi patut dipertanyakan. Masih lolosnya calon-calon yang antara lain berstatus tersangka korupsi, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, menerima dana muspida, dan melakukan perbuatan tercela menunjukkan bahwa KY menerapkan standar yang rendah untuk menilai integritas seorang calon. Hal lain juga menunjukkan bahwa KY telah bersikap kompromis terhadap tidak berintegritasnya dan tidak bermartabatnya seorang calon. Untuk memilih hakim yang benar-benar agung maka penilaian mengenai integritas dari calon haruslah menjadi prioritas utama. Karena yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan MA termasuk membersihkan mafia peradilan saat ini adalah hakim agung yang tidak memiliki cacat dari sisi integritas. Bagaimana mungkin bisa berharap agar calon hakim agung mampu melakukan perubahan di MA jika dari sisi integritasnya sendiri diragukan. Tidak hanya dari soal integritas, patut juga dipertanyakan mengenai standar penilaian KY terhadap kualitas dari calon. Dari hasil proses seleksi wawancara yang dilakukan oleh KY juga terlihat bahwa sebagian besar dari calon memiliki persoalan secara kualitas. Sebagian besar calon hakim agung temyata tidak cukup menguasai secara baik mengenai teori dan atau praktek hukum. Namun lagi-Iagi kelemahan ini tetap ditolerir oleh KY dan selanjutnya meloloskan para calon. Bagimana mungkin orang-orang tersebut diharapkan mampu memberikan putusan yang berkualitas jika orang tersebut tidak memillik kualitas. Sebab putusan pengadilan yang berkualitas hanya lahir dari seorang hakim yang berkualitas. Oleh karena itu, maka KontraS mendesak KY melakukan evaluasi dan memperbaiki seleksi calon hakim agung dengan menetapkan standar penilaian yang tinggi, khususnya terhadap aspek integritas, kualitas, profesionalitas seorang hakim agung. Sementara untuk DPR RI khususnya Komis III DPR RI harus secara aktif melakukan investigasi terhadap calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial dan mendorong masyarakat untuk aktif memberikan masukan mengenai track record calon. Disamping menerapkan standar penilaian yang tinggi dan hanya memilih calon hakim agung yang benar-benar bersih, berintegritas, berkualitas, profesional, serta memiliki visi dan misi melakukan reformasi di MA. ***
REMPAH-REMPAH
Respon Pembentukan UPK3R Perdebatan tentang keberadaan Unit kerja Presiden untuk Pengelolan Program dan Reformasi (UPK3R) terus berjalan. Meski demikian pada akhirnya Presiden SBY tetap mempertahankan pembentukan UPK3R melalui keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2006. Sikap untuk mempertahankan UKP3R itu dijelaskan oleh Presiden SBY (9/11). Presiden mengatakan, pembentukan UKP3R dengan lima tugasnya adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai Kepala Pemerintahan untuk memenuhi janji perubahan kepada rakyat. Lima tugas UPK3R adalah pembaikan iklim usaha/investasi dan sistem pendukungnya, pelaksanaan reformasi adminitrasi pemerintahan, peningkatan kinerja BUMN, perluasan peranan usaha kecil menengah, dan perbaikan penegakan hukum. Atas kondisi diatas, sejumlah lembaga masyarakat dan individu yang bergerak di lapangan hukum dan hak-hak asasi manusia, diantaranya yang mewakili mereka, Teten Masduki (Indonesian Corruption Watch), Gadis Arivia Effendi (Jurnal Perempuan), Usman Hamid (Kontras), Rachland Nashidik (Imparsial), Bambang Widodo Umar (dosen UI), Asvi Warman Adam (LIPI), dan Raffendi Djamin (HRWG), mengajak masyarakat dan semua pihak, terutama partai politik untuk memberikan kesempatan kepada sejumlah orang yang tergabung dalam UPK3R untuk bekerja. “Kami memandang setiap inisiatif untuk mengatasi kemacetan reformasi, khususnya dalam bidang hukum, sebagai hal yang positif. Dengan perspektif inilah kami menilai pembentukan UKP3R, yang salah satu tugasnya membantu kelancaran penegakan hukum, dapat dilaksanakan terlebih dulu, “ ujar Hendardi (PBHI). Sikap bersama ini dinyatakan secara tertulis oleh mereka karena reformasi hukum sebagai bagian fundamental dari mandat reformasi demokratik di Indonesia masih mengalami kemacetan substansial, lantaran terus menerus mengalami ganjalan dan tantangan. Kondisi ini menunjukkan kesenjangan yang lebar di antara komitmen penegakan hukum yang berkali-kali disampaikan Presiden dengan hasil-hasil yang dicapai pada tingkat
implementasi. “Pengungkapan kasus Munir yang berjalan ke arah yang berbalikan dari kehendak Presiden adalah contohnya, “tegas Usman. Mereka juga menghargai polemik yang menanggapi pembentukan UKP3R sebagai salah satu bentuk merayakan kebebasan berpendapat. Namun mereka menentang keras penggunaan isu-isu keagamaan dan sentimen kulural yang picik di dalamnya, yang ditujukan untuk menghalangi atau menyeleksi figur-figur yang ditunjuk oleh presiden bagi unit kerja kepresidenan tersebut. Terhadap wakil Presiden, mereka mengingatkan, etika politik konstitusional mengharuskannya menghargai dan melaksanakan keputusan yang telah diambil Presiden. Bukan justru sebaliknya Presiden berkewajiban mendapatkan persetujuan wakil Presiden terlebih dahulu. Hiruk pikuk suara Golkar-Jusuf Kalla yang menentang inisiatif presiden mempercepat pelaksanaan reformasi lewat pembentukan UKP3R mengingatkan publik pada tindak tanduk Golkar-lama yang anti reformasi dan haus kekuasaan. Ini adalah suatu ironi yang luar biasa bagi partai Golkar sendiri, yang di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung telah bersusah payah membentuk Partai Golkar baru yang menyatakan komitmen pada reformasi. Transformasi dari Golkar lama ke Partai Golkar ini hanya berarti Golkar lama telah dibubarkan dan adalah kewajiban bagi setiap anggota Partai Golkar baru untuk mengubur ciri dan tradisi Golkar lama yang haus kekuasaan semata. Kita memandang setiap inisiatif untuk mengatasi kemacetan reformasi demokratik, khususnya dalam bidang hukum, sebagai hal yang positif. Dengan perspektif inilah pembentukan UKP3R yang salah satu tugasnya adalah membantu kelancaran penegakan hukum, perlu diberikan kesempatan untuk bekerja lebih dahulu.***
Buku ini merupakan kumpulan cerita di sekitar perjuangan gerakan mahasiswa tahun 1998-1999, khususnya berisi perasaan dan kesaksian orang tua yang kehilangan anak-anaknya akibat serangan pasukan bersenjata dalam tragedi Trisakti Mei 1998, Semanggi I November 1998 dan semanggi II September 1999. Buku ini bisa di dapatkan di Kontras Jalan Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat. 10320
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
32
REMPAH-REMPAH
Dari Peringatan Hari HAM Sedunia Ke -58
Tahun Dimana Pemerintah Harus Malu! Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun ini kembali diperingati dalam usia yang ke-58, tepatnya pada 10 Desember 2006 lalu. Hari ini tidak hanya orang-orang mengulang-ngulang ritual tahunan, namun di hari ini setiap manusia yang merdeka akan terus mengulang-ngulang seruan kecaman bagi negara-negara yang masih juga mengabaikan hak-hak rakyatnya. Di hari ini pula korban pelanggaran HAM mempertanyakan komitmen setiap pejabat negaranya atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi setiap warga manusia yang hidup di tanah Indonesia ini.
negara mengusung prinsip penegakan hukum tanpa menghukum pelaku penjahat. Keenganan negara ini mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif, jelas nampak pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan mereka yang berkuasa. Kasus pembunuhan Munir, penembakan mahasiswa TSS, tragedi Mei ’98, Penghilangan Paksa Para Aktivis, kasus Talang Sari Lampung, Tanjung Priok, Timor Timur ’99, kasus pelanggaran HAM ’65, kasus-kasus Dok. Kontras pelanggaran HAM di Aceh, Papua, hingga yang saat ini semakin parah terjadi di Poso-Palu. Satu-satunya obat yang negara tawarkan kepada korban adalah melupakan masa lalu. Sesuatu yang mustahil!
Peringatan Hari HAM Sedunia hari ini merupakan momentum paling cocok Mempermanis diri bagi rakyat Indonesia untuk mengingatkan kembali tanggung Kita juga mempertanyakan motif Aksi memperingati hari HAM jawab negara terhadap pemenuhan ratifikasi Kovenan Sipol dan Kovenan hak-hak asasi warganya. Di awal Ekosob, apakah untuk mempermanis tahun ini Pemerintah RI telah diri di muka komunitas internasional meratifikasi dua instrumen HAM induk; Kovenan Hak-Hak atau menjadi komitmen politik negara kepada rakyatnya. Sipil-Politik dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Sungguh janggal pada saat bersamaan Pemerintah RI Budaya. Di tahun ini pula Indonesia menjadi anggota Dewan meratifikasinya, ribuan jemaat Ahmadiyah dan kelompokHAM dan Dewan Keamanan PBB. Dua posisi ini tidak bisa kelompok agama, kepercayaan, atau minoritas lainnya menjadi sekedar kebanggaan negara, tapi juga menjadi beban dieksekusi di mana-mana. Mereka tidak hanya gagal lebih tanggung jawabnya terhadap publik domestik. Suatu dilindungi negara namun juga menjadi sasaran empuk kontradiksi bila suatu negara yang mau aktif dalam persoalan premanisme kelompok sipil. Ini adalah cermin bagaimana internasional tetapi tidak becus mengatasi persoalan fundamen berbangsa di negeri ini mulai dilupakan negara. domestiknya. Prinsip dan norma pluralitas dan kebangsaan segera Sungguh suatu keprihatian, merayakan Hari HAM Sedunia hanya ditemui di teks-teks buku sekolah ketika sentimendengan masih melihat bagaimana negara tidak juga sentimen agama, etnis menjadi entitas kebijakan politik. menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warganya. Reformasi berjalan saat ini hanya membawa perubahan sangat minim bagi urusan HAM, itu pun hanya ditingkat formalitas belaka. Norma-norma HAM hanya sekedar tertulis dalam dokumen-dokumen negara, namun rakyat biasa tidak juga bisa menikmatinya. Sekian daftar panjang masalah pelanggaran hak asasi manusia hingga kini tidak juga bisa dijawab oleh negara. Persoalan kesejahteraan dan kualitas hidup tidak juga bisa secara meyakinkan ditingkatkan oleh negara; pendidikan dan kesehatan masih jadi kemewahan bagi orang miskin, pengangguran dan PHK jadi gejala lazim keseharian, petani kecil masih juga menghadapi persoalan klasik mereka, biaya produksi yang mahal. Pemerintah masih juga menerapkan kebijakan neo-liberalisme yang tidak pernah sukses diterapkan oleh negara-negara berkembang. Sementara itu di sektor lingkungan hidup kita menyaksikan dampak besar yang ditimbulkan dari Kasus Lapindo, yang jelas bencana karena ulah manusia, membuat kita berfikir apakah benar negara adalah pelayan publik. Di bidang lain,
33
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Karena itu seluruh komponen bangsa yang merdeka kembali menyerukan negara untuk segera memenuhi konstitusionalnya sebagaimana yang sudah menjadi komitmennya di hadapan komunitas internasional. Merombak secara radikal kebijakan ekonomi dari yang pro-pasar menjadi pro-publik dengan penguatan ekonomi kelompok bawah, khususnya para pengangguran, petani miskin dan para buruh. Sementara penegakan hukum tidak boleh diskriminatif, pandang bulu, dan selektif. Dimana, kasus-kasus pelanggaran HAM berat harus segera dituntaskan. Negara juga harus segera memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga korban, dan menghukum siapapun pelakunya. Terakhir, dan ada kata lain, negara harus kembali kepada cita-cita mulia yang jadi pilar negara ini, pengakuan atas pluralisme dan keberagaman Indonesia. Negara juga harus menghapus segera kebijakan negara yang masih berlawan arah atas prinsip ini.***
REMPAH-REMPAH
Kilas Balik Kondisi HAM 2006
Hak Asasi Manusia Belum Jadi Etika & Peradaban Politik Tahun ini menjadi tahun yang kelabu bagi korban. Hari ini kita berduka dan harus rela kehilangan satu lagi kerabat tercinta, Bapak Enus Yunus, orangtua Hafidhin Royan, mahasiswa yang tewas dalam unjuk rasa damai di Trisakti, 12 Mei 1998. Kita juga kian prihatin dengan kondisi hukum dan keadilan di tanah air, yang gagal menghukum pelaku-pelaku pembunuh Munir. Menyedihkan. Pada tahun ini, ada beberapa arena HAM yang mengalami kemajuan. Di tingkat PBB, setelah Dewan HAM, Indonesia kini meduduki Dewan Keamanan. Indonesia mendukung Pengesahan Konvensi Orang Hilang dan Deklarasi Indigenous People. Di ASEAN, Indonesia cukup aktif mempromosi demokratisasi di Burma, dan pembentukan mekanisme HAM regional. Pada di tingkat nasional, perdamaian Aceh bahkan berhasil menggelar pemilihan kepala daerah langsung. Pelanggaran HAM menurun, dengan pengawasan Aceh Monitoring Mission (AMM). Keadaan ini membuat terjadinya trust building antara RI dan GAM. Namun hingga kini, Pemerintah dan AMM belum mampu menangani kasuskasus kekerasan dan pelanggaran HAM pasca MoU.
konflik Aceh guna memperoleh keadilan. Penanganan masalah Papua masih berputar-putar di permukaan. Polemik PT Freeport dalam kasus-kasus pembayaran jasa keamanan ilegal, pencemaran lingkungan hingga penembakan warga sipil luput dari perhatian. Rencana Pemerintah merevisi Otsus malah mengundang kecurigaan untuk menghapuskan pasal-pasal krusial dalam UU Otsus, mulai dari soal pembentukan partai lokal yang tak kunjung terealisasi, Pengadilan HAM dan KKR.
Tahun Impunitas & Hilangnya Wibawa Hukum. Tahun ini menjadi tahun gagalnya Pemerintah SBY untuk mengadili mantan Presiden Soeharto atas dugaan kasus korupsi yayasan dan kejahatan lainnya. Keputusan Jaksa Agung mengeluarkan SKP3 dan dalih kemanusiaan elite politik yang mendukungnya, telah menihilkan seluruh nilai moral dan politik dari reformasi mahasiswa. Negara membuat kejahatan masa lalu tak memiliki arti, hilang dan tak terdefinisikan. Agenda reformasi untuk adili Soeharto dimatikan.
Penghentian kasus Soeharto menyempurnakan ketiadaan hukuman atas sejumlah kasus pelanggaran HAM Dok. Kontras masa lalu, antara lain peristiwa 1965Aksi menuntut penuntasan 1968, peristiwa Tanjung Priok 1984, kasus pelanggaran HAM Talangsari 1989, lalu penculikan aktivis, penembakan mahasiswa, kerusuhan Untuk keamanan dan penegakan hukum, Polri mulai mau politik, dan lain-lain. Jaksa Agung bersikap konservatif dan menertibkan senjata api. RUU Anti Pornoaksi dan tidak berpihak pada korban. Mahkamah Agung Pornografi batal disahkan pada Juni 2006. Presiden menggugurkan semua harapan korban akan keadilan dan bersikap atas merebaknya kekerasan di masyarakat resisten terhadap upaya pembaharuan peradilan. melalui pewacanaan nilai instrinsik Pancasila. Hubungan antar agama membaik, berkat dialog lintas agama dari Di akhir tahun, Presiden SBY memberi remisi untuk sejumlah organisasi sosial keagamaan, dan juga organisasi Pollycarpus (bebas) pada 25 Desember. Sebelumnya (3/11), perempuan yang mempromosikan kebhinekaan bangsa Mahkamah Agung (MA) membatalkan vonis bersalah Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan Pengadilan Negeri (PN) atas Pollycarpus pada pembunuhan Munir, menghukumnya dua tahun penjara atas penggunaan pasal karet soal penghinaan presiden. surat palsu. Tak satupun pelaku diadili atas tewasnya aktivis Meskipun ada kemajuan, ada banyak yang belum berubah, HAM Munir. malah mengalami kemunduran. Refleksi akhir tahun KontraS menyimpulkan, HAM telah memasuki tahap Institusi Reformasi Penopang HAM diserang genting. HAM diserang dari segala penjuru. Bukan hanya nilai, norma dan aturannya, tapi juga institusi penopang Tahun ini juga tahun pembusukan institusi-institusi tegaknya HAM. HAM seharusnya memiliki peran utama reformasi. Berbagai komisi independen diserang wibawa dan dalam politik, ekonomi dan hukum; tapi pada tahun ini keberadaaannya. Komisi HAM terus didelegitimasi dan HAM dipinggirkan oleh cara pandang dan kepentingan makin tidak efektif, terakhir saat Jaksa Agung menolak penyelidikan kasus penculikan aktivis 1997-1998. Komisi elite penguasa. Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diaborsi. Komisi Politik Presiden bukan politik HAM sejati. Proses Penyiaran Independen (KPI) dibayangi Depkominfo. Komisi perdamaian Aceh cenderung menolak partisipasi korban Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lagi punya Pengadilan
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
34
REMPAH-REMPAH
Tipikor. Kewenangan Komisi Yudisial (KY) dipangkas. Komisi Ombudsman (KON) diacuhkan. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan diabaikan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) jadi sasaran tembak. Terakhir, pembentukan UKP3R “diendapkan”. DPR gagal membahas RUU KMIP. Presiden tak tegas menarik RUU Rahasia Negara, termasuk RUU Intelijen Negara. Presiden juga ragu-ragu RUU Revisi UU Peradilan Militer. Hampir semua legislasi yang telah ada maupun akan disahkan, lemah dari segi legitimasi korban. Keberpihakan Mahkamah Konstitusi pada UUD 1945 seperti tampak pada putusan pembatalan UU Tipikor dan KKR.
HAM diserang Wacana Anti Komunis Banyak petinggi militer militer dan intelijen melemparkan wacana bahaya komunisme, menuding/mencurigai aktifitas korban, buruh dan masyarakat miskin kota sebagai kebangkitan PKI. Tudingan ini dilakukan dengan cara membuat deklarasi /posko, demonstrasi hingga aksi sepihak membubarkan pertemuan korban-korban diskriminasi Orde Baru sebagai kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini menodai kebebasan, memicu prasangka bahkan pertikaian horizontal. Bukan lagi melukai integritas personal warga, tetapi ingin merusak fundamen kenegarankewargaan. Terjadi juga serangan atas kebebasan sipil lainnya. Contoh, serangan terhadap rumah ibadah jemaah Ahmadiyah di Loe Ujung Bulukumba atau contoh lainnya, kriminalisasi terhadap pers. Termasuk, pembubaran paksa acara-acara seminar, diskusi, dan pemutaran film tentang HAM yang terjadi pada kasus diskusi toko buku Ultimus di Bandung, atau acara Pusham UNAIR di Balai Pemuda Surabaya. Kelompok-kelompok ini mengatasnamakan ormas, para militer dan front anti komunis. Negara bukan hanya membiarkan kekerasan ini terjadi, bahkan terlibat langsung di dalamnya. Pelaku yang menjadi korban umumnya adalah para jurnalis, aktivis HAM, atau korban pelanggaran HAM yang sedang menjalankan hak-haknya tersebut secara damai. Padahal kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu modal mendasar dalam reformasi.
Tahun Kemunduran Intelijen Sementara, Badan Intelijen semakin mengalami kemunduran. Badan intelijen gagal mencegah dan mendeteksi aksi teror secara dini. Di tengah kegagalan itu, intelijen menjadikan isu terorisme dan komunisme sebagai komoditas politik untuk mendapat exesive power dan sebagai pemasung kebebasan. Intelijen hanya bisa menuding tanpa bukti kongkrit, melakukan propaganda untuk pengalihan perhatian. Intelijen gagal bertindak secara profesional dengan tetap mengedepankan HAM. Gejala ini merupakan pola lama, yakni propoganda intelijen untuk mengalihkan perhatian, dengan selubung ideologi dan doktrin kedaulatan negara sebagai tameng perlindungan. Hal
35
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
ini jelas ingin mengembalikan perilaku rezim Orde Baru, untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingan politik tertentu. Ideologi komunis dijadikan sarana untuk melancarkan tujuan, termasuk membenarkan proyek pembentukan komunitas intelijen daerah (Kominda). Apalagi dengan kondisi saat ini, ormas mudah terprovokasi tentang bahaya komunis.
Tahun Kegagalan Polri Bangun Kepercayaan Kinerja Polri belum berubah. Penanganan Polri dalam menyelidiki dan menyidik kasus-kasus pidana juga jauh dari maksimal. Faktor penyebabnya beragam, dari ketidakjelasan penyidikan di tingkat kepemimpinan, pengaruh eksternal hingga minimnya anggaran untuk Penyelidikan dan Penyidikan. Contoh mengenai buruknya kinerja Polri terlihat dalam penanganan kasus Munir, yang jelas terkesan lambat, dan mencari-cari alasan teknis untuk menunda penyidikan. Parahnya lagi, ketika hasil kerja Polri berakhir dengan putusan Mahkamah Agung dan pemberian remisi bagi Pollycarpus, yang diyakini POLRI terlibat. Sepanjang tahun 2006, Kontras mencatat 92 kasus yang melibatkan aparat Polri. Keterlibatannya dari pelaku tunggal hingga berkelompok. Kasus menonjol adalah penganiayaan 36 Kasus dan penembakan 18 kasus. Penembakan terhadap pelaku kriminal sejumlah 26 kasus. Kasus lainnya adalah perkelahian antara aparat Polri dan TNI. Sepanjang tahun 2006, terdapat 12 kasus. Sebab terjadinya aksi ini adalah ada pihak merasa intitusinya lebih tinggi dari institusi lain, atau terkadang masalah pribadi melibatkan intitusi, rasa bangga yang berlebihan terhadap intitusi. Kultur militerisme juga belum hilang. Kontras mencatat tindak kekerasan, pemukulan, penembakan, penyalahgunaan senjata api, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang hingga penggunaan metode penyiksaan oleh aparat Polri. Perilaku ini muncul saat menghadapi pelaku kriminal, warga sipil, rekan sesama Polri dan TNI. Perkelahian antar satuan Polri dan TNI masih terjadi di tahun 2006. Keadaan ini mencerminkan bahwa Polri belum membangun jati dirinya, apalagi membangun “trust”. Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan dalam negeri belum optimal mengelola potensi keamanan yang yang ada. Akuntabilitas Polri tidak jelas. Disamping sentralisasi masih dipertahankan. Koordinasi kerja antar kesatuan Polri (Mabes, Polda, Polres) dalam operasi rutin juga tidak jelas.
HAM rakyat bawah diserang kepentingan ekonomi elite Penguasaan akses ekonomi memicu militerisme aparat pemerintah daerah. Aksi-aksi ini dilakukan saat menggusur pasar tradisional, para pengusaha informal,
REMPAH-REMPAH
pemukim marjinal di perkotaan, hingga merampas tanah milik penduduk. Pemerintah gagal menggunakan patokan prosedur damai dan masih mempertahankan metode represif. Tindakan ini merupakan hilangnya akal pemerintah dalam mengidentifikasi akar persoalannya, yaitu masalah kemiskinan. Penyelesaiannya, bukan dengan cara menaikkan upah buruh, menyediakan tempat untuk pedukung kaki lima, menyediakan rumah murah bagi penduduk, tapi justru dengan pendekatan kekerasan yang membawa mereka semakin terjerembab dalam jurang kemiskinan.
penembakan, peledakan dan penemuan bom, ancaman atau hasutan, penangkapan atau penahanan, serta penganiayaan meningkat.Ketegangan konflik terus berupa dipicu, dengan menunjukkan simbol-simbol agama atau hasutan dan ancaman mengatasnamakan agama, walau jelas terlihat bahwa yang terjadi bukanlah konflik agama. Negara telah membiarkan keterlibatan aparat semakin dalam.
Telah terjadi 19 kali pemboman serta 6 buah bom ditemukan walau tidak meledak. Ancaman dan hasutan serta pembakaran dan pengrusakan fasilitas publik juga menguat. Korban meninggal mencapai 7 orang, akibat pemboman, TNI Otonom dari Kontrol Politik dan Hukum penembakan maupun pembunuhan. Salah seorang pendeta dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah ditembak orang tak dikenal di tempat publik. Sedangkan Tahun 2006 profesionalitas TNI tidak bentrok massa dengan aparat Polisi/TNI menunjukkan perubahan signifikan. Selain tetap sebanyak 6 peristiwa, yang Di samping itu, tak tersentuh oleh akuntabilitas HAM dalam menyebabkan 2 orang meninggal dan 1 keterlibatan aparat kasus pelanggaran HAM, anggota TNI kerap orang luka-luka. militer tampak dalam terlibat sejumlah kasus penembakan, kasus yang cukup penganiayaan, penculikan dan penangkapan Sementara, pemerintah masih menyita perhatian, sewenang-wenang. Pada kasus kriminalitas menggunakan cara-cara parsial untuk yaitu penggunaan banyak didapati anggota TNI terlibat narkoba menyelesaikan konflik yang terjadi sejak dan skandal senjata. Catatan buruk ini senjata api untuk 1998. Dilalui dengan pro dan kontra, mempersulit reformasi TNI. perampasan, pencurian hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu – secara kasar. Dalam catatan KontraS, terdapat 27 peristiwa yang dianggap dalang dari konflik 1998dengan rincian sekitar 45 bentuk kasus akhirnya dilaksanakan. Padahal, selain kekerasan yang dilakukan aparat TNI. Kasus ini tersebar melanggar hak mendasar manusia, hukuman mati terhadap di 11 provinsi di Indonesia. Bentuk-bentuk kekerasan yang Tibo dkk justru menutup kemungkinan diadakannya paling sering terjadi adalah penganiayaan dan penyelidikan atas aktor-aktor yang terlibat saat awal konflik penembakan, beberapa diantaranya berakibat kematian 1998. Seperti yang tampak dari terhentinya proses pada korban, termasuk perempuan dan anak-anak. Aparat pemeriksaan atas 11 nama yang dinsebutkan Tibo dkk dalam militer juga terlibat dalam 36 peristiwa kriminal di persidangan. Hukuman mati terhadap Tibo juga terbukti berbagai wilayah. Bentuk yang paling menonjol adalah tidak menghentikan teror dan kekerasan di Poso. Narkoba, pencurian, perampokan atau perampasan. Isu terorisme menjadi komoditas politik. Minimnya gagasan Di samping itu, keterlibatan aparat militer tampak dalam komprehensif bagi penyelesaian Poso juga dilakukan melalui kasus yang cukup menyita perhatian, yaitu penggunaan penangkapan-penangkapan secara sembarangan terhadap senjata api untuk perampasan, pencurian secara kasar. pihak-pihak yang dituduh, melalui penggunaan UU Anti Aparat militer juga terlibat dalam jaringan pencurian Terorisme. Tercatat telah terjadi 3 peristiwa penangkapan mobil, illegal logging serta penggunaan narkoba dan miras sewenang-wenang yang menyebabkan 7 orang luka-luka. Namun pelaku dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. yang memicu anggota TNI melakukan kekerasan. Pelanggengan isu teroris ini terus dikembangkan dengan Bentrokan atau permusuhan sesaat dengan satuan-satuan pengumuman 29 orang nama sebagai DPO. Penyederhanaan Polri masih terus terjadi. Tercatat 12 kali peristiwa isu Poso menjadi isu teroris ini menjadi model bagi wilayah bentrokan ini terjadi mengakibatkan 4 korban meninggal pemberantasan teroris di Indonesia. dunia dan 13 orang luka-luka. Tahun ini ditandai pula dengan penyimpanan senjata api diluar batas normal. Dalam catatan KontraS sepanjang 2006 terdapat kasuskasus terkait kepemilikan senjata api. Baik itu yang dimiliki secara illegal, diperjualbelikan secara tidak sah, atau setidak-tidaknya ditemukan dan tidak diketahui kepemilikannya.
Tahun Penuh Teror bagi masyarakat Poso Tahun 2006 merupakan tahun yang terberat bagi masyarakat Poso. Teror terus menghantui dalam berbagai bentuk. Berbagai peristiwa kekerasan seperti
Sepanjang tahun 2006, isu-isu HAM berkembang pada ruang publik yang terbatas. Pada bidang kehidupan institusiinstitusi formal, HAM dibatasi pada wacana dan retorika institusi politik negara yang formalistik. HAM gagal dijalankan sebagai agenda politik kenegaraan. Akibatnya, politik negara dikalahkan oleh kekuasaan ekonomi modal, dan dirusak oleh tindakan sekelompok orang yang ingin membangun klaim kekuasaan ideologis sektarian. Sementara itu, relasi-relasi kuasa masa lalu menghasilkan situasi impunitas de facto dan de jure. Karena itu, Kontras menuntut lembaga-lembaga tinggi negara untuk menghentikan praktek-praktek politik yang dapat menghambat penegakan HAM.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
36
KABAR DARI SEBERANG
Eksekusi Saddam Hussein Di penghujung tutup tahun 2006 ini, ditandai sebuah eksekusi mati terhadap seorang tokoh internasional penting. Saddam Hussein, mantan penguasa Irak, dieksekusi dengan digantung pada sekitar pukul enam pagi waktu Baghdad, 30 Desember 2006, di saat umat Muslim merayakan Idul Adha. Saddam Hussein divonis mati pada tanggal 5 November 2006 setelah pengadilan (the Supreme Iraqi Criminal Tribunal/SICT) menyatakan ia bersalah atas pembunuhan terhadap 148 orang dari desa al-Dujail setelah upaya percobaan pembunuhan yang gagal terhadap dirinya di tahun 1982.
menemukan banyak cacat prinsipil dan prosedural. Sejak awal proses persidangan bagi Saddam Hussein yang dituduh bertanggung jawab atas praktek kejahatan terhadap kemanusiaan/crimes against humanity sudah menimbulkan kontroversi yang pekat. Mantan ditaktor Irak ini dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan massal 148 orang dari Kota al-Dujail pada tahun 1982 setelah ada upaya percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Sejak awal badan-badan PBB sudah menyatakan bahwa invasi pimpinan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 merupakan tindakan yang ilegal. Pembentukan SICT juga merupakan tindakan sepihak yang melanggar standar HAM universal. Seharusnya untuk dakwaan seserius yang dituduhkan terhadap Saddam Hussein harus diadili oleh mekanisme Tribunal HAM internasional, sama seperti untuk kasus bekas negara-negara di Yugoslavia (ICTY) dan di Rwanda (ICTR).
Persidangan terhadap Saddam Hussein dimulai pada Oktober 2005, hampir dua tahun setelah ia ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat dan persidangan tersebut berakhir pada Juli 2006. Pengadilan Banding/Tinggi Irak kemudian memperkuat putusan pertama pada 26 Desember 2006 dan memerintahkan pelaksanaan eksekusi dalam kurun waktu 30 Penyimpangan lainnya adalah hari. Dua rekan Saddam Hussein meskipun SICT didisain mirip lainnya, Barzan Ibrahim al-Tikriti, saudara tirinya yang pernah dengan Tribunal HAM menjabat sebagai Kepala Badan internasional namun SICT Intelejen Irak, dan Awad al Bandar, menerapkan hukuman mati, mantan Hakim Ketua pada sementara ICTY dan ICTR -yang Pengadilan Revolusioner Irak. dibentuk atas resolusi Dewan Mereka divonis mati dengan dakwaan yang sama dengan Keamanan PBB 808 (1993) dan Saddam. Eksekusi mereka belum 955 (1994)- sudah tidak ditentukan secara pasti, namun memperbolehkannya. Sejak awal tenggatnya tetap 30 hari setelah SICT penuh dengan intervensi putusan banding, 26 Desember dari lawan politk Saddam 2006.
Unfair trial dari SICT terlihat dari kegagalannya untuk menunjuk perangkat pengadilan yang imparsial dan independen. Pemerintah AS mendukung pihak penuntut dengan mengeluarkan ratusan ribu dollar AS untuk mencari bukti yang memberatkan, sementara tim pembela Saddam Hussein bekerja secara voluntaristik dan sering mendapat tekanan. Kegagalan lainnya adalah ketiadaan perlindungan terhadap saksi dan pembela hukum. Sejak dimulainya persidangan sudah tiga pembela hukum Saddam Hussein yang dibunuh. Monitoring organisasi HAM internasional juga menunjukkan bahwa Saddam Hussein tidak mendapatkan akses yang penuh terhadap pembela hukumnya pada tahun pertama setelah ia ditangkap. Praktek persidangan yang tidak independen dan jujur ini merupakan preseden yang buruk bagi reformasi institusi peradilan di Irak yang sedang menjalani proses transisi.***
Hussein dan kepentingan Pemerintahan Bush.
Eksekusi Saddam Hussein ini menimbulkan berbagai reaksi keras dari banyak perwakilan negara, khususnya dari komunitas Uni Eropa, beberapa Pelapor Khusus PBB, dan organisasiorganisasi HAM internasional. Eksekusi Saddam tidak hanya melanggar prinsip hak atas hidup yang tidak mentolerir praktek hukuman mati, namun juga eksekusi ini lahir lewat sebuah proses peradilan yang tidak jujur dan mandiri (unfair trial). Pelapor Khusus PBB tentang Kemandirian Pengadilan, Leandro Despouy menilai persidangan Saddam Hussein dan terdakwa lainnya tidak memenuhi standar dan prinsip universal akan pengadilan yang independen/mandiri dan mereka tidak mendapatkan hak-haknya sebagai terdakwa secara memadai. Beberapa organisasi HAM internasional –seperti Human Rights Watch- yang memantau pengadilan Saddam Hussein
37
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Penyimpangan lainnya adalah meskipun SICT didisain mirip dengan Tribunal HAM internasional namun SICT menerapkan hukuman mati, sementara ICTY dan ICTR -yang dibentuk atas resolusi Dewan Keamanan PBB 808 (1993) dan 955 (1994)sudah tidak memperbolehkannya. Sejak awal SICT penuh dengan intervensi dari lawan politk Saddam Hussein dan kepentingan Pemerintahan Bush.
KABAR DARI SEBERANG
Organisasi Regional Melawan Penghilangan Orang secara Paksa Asian Federation against enforced or involuntary disappearance (AFAD) hadir ketika maraknya kasus pengilangan secara paksa terjadi di beberapa wilayah Asia seperti Indonesia, Philipina, Srilanka, Thailand, Khasmir, Pakistan, India, Nepal dan lainnya. sebagai sebuah organisasi yang berpayung federasi, AFAD membangun komunikasi dengan beberapa organisasi keluarga korban penghilangan paksa di Amerika Latin-FEDEFAM, di Uni Eropa-Belarus serta Afrika-RADIF.
bagi perjuangan AFAD khususnya korban dan keluarga korban orang hilang. Perjuangan AFAD kemudian tidak hanya untuk menuntut penyelesaian pertanggungjawaban kasus-kasus penghilangan Paksa tetapi juga upaya untuk mencegah terjadi berulangulangnya atas kasuskasus serupa (repetance). Dok. Veronica Upaya tersebut tercermin lewat agenda AFAD yang sejak awal mengusung perjuangan draft Konvensi Perlindungan Setiap Orang terhadap Tindakan Penghilangan secara Paksa, sejak awal draft itu muncul.
Seperti halnya beberapa organisasi korban penghilangan paksa di beberapa wilayah lainnya, AFAD memiliki fokus keanggotaan di wilayah Asia Dalam prakteknya, diantaranya Indonesia, agenda draft Konvensi Srilanka, Thailand, itu diperjuangkan AFAD Khasmir, Pakistan dan di dua level, national Nepal (yang baru saja maupun internasional. bergabung menjadi Lobby-lobby yang anggota pada pertemuan sangat intens dan massif Peserta Seminar Konvensi AFAD bulan Desember dilakukan oleh masingPenghilangan orang secara paksa di Manila, 2006 2006 lalu di Khatmandumasing jaringan yang Nepal). Awalnya AFAD konsern dengan isu terdiri dari organisasi kumpulan keluarga korban penghilangan paksa seperti FEDEFAM, FIDH, Linking penghilangan paksa, tetapi berjalan kemudian kelompok Solidarity, RADIF. Lobby nasional masing-masing dilakukan korban didampingi oleh para pendampingnya dalam di perwakilan anggota AFAD dengan mengunjungi beberapa melakukan penuntutan kepada institusi negara. Akhirnya kedutaan. anggota AFAD juga terdiri dari organisasi yang bukan saja kumpulan keluarga korban penghilangan paksa tetapi juga Akhirnya, draft tersebut disahkan menjadi Konvensi oleh organisasi pendamping dari keluarga korban seperti Sidang Majelis Umum PBB pada 20 Desember 2006 setelah kontraS (Indonesia) dan Advocacy Forum (Nepal). melalui proses yang cukup panjang. Tetapi, perjuangan belum selesai, masih ada PR yang harus dilanjutkan yaitu Dalam perjalanannya, AFAD mencoba berperan lebih jauh implementasi isi konvensi untuk masuk dalam ranah hukum untuk memperjuangkan kasus penghilangan paksa yang nasional dengan proses ratifikasi lebih dahulu. terjadi di Asia untuk dibawa ke tingkat internasional diantaranya melalui Sidang Umum PBB setiap tahunnya, Keberadaan AFAD sebagai organisasi yang mesinergiskan Kelompok kerja PBB untuk Penghilangan secara paksa dan menyatukan perjuangan korban dan keluarga korban (UNWGEID). Berbagi pengalaman serta membangun penghilangan paksa telah membuka mata hati keluarga solidaritas dengan beberapa organisasi orang hilang di korban khususnya bahwa fenomena penghilangan paksa negara lain menjadi satu motivasi yang cukup penting merupakan fenomena dunia.
Tidak seorang pun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman keji. tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas. (Pasal 7 Konvensi Hak Sipil dan Politik)
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
38
KABAR DARI SEBERANG
Augusto Jose Ramon Pinochet Ugarte Setelah berpuluh-puluhan tahun menjadi subjek perbincangan, diskusi, dan perdebatan di tingkat internasional, mantan penguasa Cile, Augusto Jose Ramon Pinochet Ugarte meninggal pada usia 91 tahun. Kematian Pinochet sendiri kemudian masih mewarisi diskusi dan debat tersebut, tidak hanya untuk publik Cile, namun juga bagi publik Amerika Latin dan bahkan di tingkat dunia. Paling tidak bagi masyarakat dunia ketiga yang memiliki pengalaman peradaban yang mirip dengan problem eksperimentasi model Cile-Pinochet.
Pinochet sebenarnya tidak lebih kejam dibanding para diktator terkenal dunia ketiga lainnya yang berkuasa dalam kurun waktu cukup lama; Soeharto, Marcos, Idi Amin, dan lainnya. Di lihat dari jumlah korban, kejahatan Pinochet tidak melebihi penjahat besar HAM lainnya. Namun, Pinochet menyumbang suatu metode pelanggaran HAM keji baru pasca era Hitler, yaitu penghilangan paksa dan penyiksaan. Uniknya cerita kekejaman Pinochet juga mewarisi pelajaran yang sangat berharga bagi perkembangan mekanisme perlindungan HAM yang baru.
Model ini merepresentasikan karakter rezim militerotoritarian-represif yang berorientasi pada patronase kebijakan pasar bebas yang inisiatif awalnya sangat ditopang oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam konteks era Perang Dingin. Kudeta Pinochet pada 11 September 1973 –lewat operasi militer bernama Operasi Jakarta- tidak hanya membuka periode teror bagi rakyat Cile, namun juga menjadi perintis bagi kudeta-kudeta berdarah –disponsori pemerintah Amerika Serikat- lainnya di seantero kawasan Amerika Latin, yang dikenal sebagai periode “Perang Kotor/ Dirty War”.
Berkat pengakuan, dokumentasi narasi para korbannya (termasuk juga di negeri-negeri lain), dan advokasi yang tak kenal lelah, berbagai ahli HAM internasional menyusun instrumen-instrumen dan institusi HAM baru yang lebih maju. Konvensi Anti Penyiksaan, PrinsipPrinsip Hak-hak Korban, Komisi Kebenaran, dan yang terakhir baru saja disahkan PBB, Konvensi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Pinochet sendiri selama berkuasa (1973-1990) bertanggung jawab atas 2.600 orang yang tewas atau ‘menghilang’ dan 28.000 korban penyiksaan, termasuk Michelle Bachelet, Presiden Cile saat ini. Pasca jatuhnya Pinochet dari struktur politik tertinggi di Cile, ia masih menikmati serangkaian status istimewa, termasuk imunitas/kekebalan dari segala tuntutan hukum. Pengumuman kematian Pinochet direspon secara beragam oleh rakyat Cile. Sebagian kecil –dari strata kelas atas yang diuntungkan oleh proyek neoliberalisme Pinochet- menangis meratapi patronnya, sementara sebagian besar rakyat Cile berpesta pora hingga ada laporan toko-toko kehabisan champagne. Ada juga sebagian komunitas korban yang merasa tidak puas melihat Pinochet mati sebelum dihukum. Hingga detik akhir hidupnya, Pinochet masih berstatus tersangka – dan menjalani penahanan rumah- atas berbagai kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Imunitasnya sudah dilucuti oleh institusi peradilan dan pengadilan menilai Pinochet masih cukup sehat untuk bisa duduk di kursi terdakwa. Pemakamannya juga tidak disertai upacara resmi kenegaraan dan hanya ditandai pengibaran bendera setengah tiang di setiap barak dan gedung militer, menandai hanya institusi inilah yang paling konservatif di Cile. Sebagian dari mereka yang berpesta pora mungkin menganggap Chile sudah berada dalam jalur yang benar dalam meruntuhkan tembok impunitas. Pengadilan Chile telah memvonis 109 mantan personil militer dan polisi atas pelanggaran HAM yang terjadi di masa rezim Pinochet berkuasa. Tiga puluh lima mantan jendral dari angkatan darat, laut, udara, dan kepolisian telah dihukum atau sedang proses persidangan terhadap pelanggaran HAM di masa lalu.
39
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
‘Sumbangan berharga’ Pinochet lainnya terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu, Pinochet ditahan di London oleh perintah Pengadilan Inggris, setelah ada permintaan ekstradisi dari Pengadilan Spanyol untuk mengadili Pinochet di sana. Permintaan ekstradisi ini berasal dari pengaduan para korban Pinochet yang memiliki kewarganegaraan Spanyol. Pinochet dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) selama berkuasa. Putusan Pengadilan Inggris ini menandai suatu terobosan bagi penanganan pelanggaran berat HAM di dunia. Prinsip juridiksi universal ini memperbolehkan suatu negara untuk melakukan penuntutan atau peradilan tanpa mempertimbangkan tempat kejadian dan status kewarganegaraan si pelaku. Meski akhirnya Pinochet tidak jadi dideportasi ke Spanyol, namun putusan Pengadilan Inggris menjadi preseden bagi suatu alternatif strategi hukum bagi para penjahat HAM yang sulit dituntut di kandang sendiri. Sejak saat itu prinsip juridiksi universal mulai dikembangkan dengan satu target, tidak ada surga di muka bumi (no safe heaven) bagi pelaku kejahatan serius HAM. Preseden Pinochet menjadi pintu pembuka bagi upaya penuntutan atas penjahat kelas kakap HAM lainnya: Hissène Habré, mantan diktator Chad yang dikenal sebagai “Pinochet Afrika” sedang diburu di seluruh Afrika; Charles Taylor, mantan diktator Liberia telah diserahkan oleh pemerintah Nigeria kepada Pengadilan HAM Hibrid Sierra Leone; dan mekanisme ini semakin menakutkan bagi penjahat HAM ketika Mahkamah Pidana Internasional/ICC (International Criminal Court) segera mulai bekerja, untuk menyelesaikan semua kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah terjadi pada masa lalu.