3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Metode Hidroakustik 2.1.1. Prinsip Kerja Metode Hidroakustik Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini mediumnya adalah air. Data hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration melalui proses pendeteksian bawah air, sehingga dalam akustik proses pembentukan gelombang suara dan sifat-sifat perambatannya dibatasi oleh air. Berdasarkan pemancaran gelombang suara, sistem akustik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu echosounder (sistem pancar vertikal) dan sonar (sistem pancar horizontal) (Burczynsky 1982). Proses pendeteksian bawah air adalah sebagai berikut: 1) Transmitter menghasilkan listrik dengan frekuensi tertentu, kemudian disalurkan ke transduser. 2) Transduser akan mengubah energi listrik menjadi suara, kemudian suara tersebut dalam berbentuk pulsa suara dipancarkan dengan satuan ping. 3) Suara yang dipancarkan tersebut akan mengenai objek, kemudian suara itu akan dipantulkan kembali oleh obyek dalam bentuk echo dan kemudian diterima kembali oleh tranduser. 4) Echo yang diperoleh tersebut diubah kembali menjadi energi listrik di transduser kemudian diteruskan ke receiver. 5) Pemrosesan sinyal echo dengan menggunakan metode echo integration. Echo yang diperoleh dapat mengestimasi beberapa data antara lain target
3
4
strength, scattering volume, densitas ikan, batimetri, panjang ikan, lapisan dasar perairan dan dapat diaplikasikan untuk kegiatan lainnya. Prinsip kerja metode hidroakustik menggunakan echosounder dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Prinsip kerja metode hidroakustik (MacLennan dan Simmonds 2005).
2.1.2. Split Beam System Split Beam System menggunakan receiving transducer yang dibagi dalam empat kuadran, yaitu fore, alf, port dan starboard transducer. Transmisi pulsa dilakukan oleh semua bagian transducer secara bersamaan. Proses penerimaan echo, jika nilai target yang terdeteksi terletak tepat pada pusat dari beam suara maka echo dari target akan dikembalikan dan diterima ke empat transduser secara bersamaan. Proses ini tidak berlaku jika nilai target yang terdeteksi tidak tepat pada pusat beam suara, maka echo yang kembali akan diterima terlebih dahulu oleh bagian transducer yang paling dekat.
5
Keempat kuadran transducer diberi label a sampai d. Sudut θ pada satu bidang diperoleh dari penjumlahan sinyal (a+c) dibandingkan dengan jumlah sinyal (b+d). Sedangkan sudut φ diperoleh dari beda fase antara (a+b) dan (c+d). Kedua sudut tersebut dapat membedakan arah target terhadap sumbu pusat dari pusat beam. Ilustrasi ini terlihat pada Gambar 2 (MacLennan dan Simmonds 2005).
Gambar 2. Bentuk split beam dan fullbeam transduser (MacLennan dan Simmonds 2005).
2.2. Progressive Threshold Threshold merupakan suatu ambang nilai yang berfungsi untuk membatasi atau menapis pantulan suara yang terekam pada echogram. Progressive threshold mirip dengan proses penyaringan, yaitu menyaring nilai nilai-nilai yang ingin ditampilkan. Penggunaan beberapa threshold juga berfungsi untuk menghilangkan reverberasi atau unwanted target. Jika ingin melihat ikan, maka yang termasuk reverberasi adalah plankton dan pertikel-partikel yang harus dihilangkan.
6
Menurut Ekcmann (1998) thresholding biasanya digunakan untuk menghilangkan kontribusi yang tidak diinginkan seperti noise pada integrator output. Sejak thresholding mendiskriminasikan target kecil, teknik ini tidak dapat digunakan untuk studi kuantitatif dari target kecil dalam cakupan yang lebih besar. Sehingga Ecmann melakukan pengalokasian untuk melihat kelimpahan target yang kecil. Ketika Sa diplotkan terhadap integrator threshold maka akan terlihat sebuah fungsi asymptotic Bertalanffy (Gambar 3). Jika kemiringan dari kurva yang dihasilkan menurun pada beberapa intermediate threshold level dan kemudian naik kembali sebelum dataran tinggi akhir tercapai, maka integrator output dapat dialokasikan untuk dua kelompok target sesuai dengan prinsip linearitas pada akustik. Nilai Sa maksimum untuk target yang lebih besar dan nilai Sa minimum utuk target yang lebih kecil (Ekcmann 1989).
Gambar 3. Fungsi integrator threshold pada tiga ukuran target yang berbeda (Ekcmann 1998).
7
2.3. Area Backscattering Coefficients (Sa) Area Backscattering Coefficients (Sa) adalah ukuran energi yang dikembalikan dari lapisan antara dua kedalaman pada kolom perairan (MacLennan dan Simmonds 1992). Sa didefinisikan sebagai integral dari Sv yang dihubungkan dengan kedalaman yang melewati lapisan. Sa merupakan parameter penting dalam akustik perikanan karena sebagian besar dari echo-integrators menyediakan data integrasi dengan satu atau lebih lapisan, karena Sa adalah hasil dari Sv dan jarak, maka Sa tidak berdimensi. Hal ini yang membuat Sa sulit untuk memperlihatkan nilai numerik dengan jelas saat faktor skala yang berbeda diterapkan. Satuan Internasional (SI) unit dasar untuk Sa harus ditulis sebagai (m2/m2) yang berarti integrasi σbs per meter kuadrat dari lapisan permukaan. Banyak versi dari Sa yang biasa digunakan, khususnya Nautical Area Scattering Coefficient (NASC) untuk simbol Sa. Walaupun Sa tidak berdimensi, sangat penting sekali untuk menunjukkan skala saat mengutip nilai numeric (McLennan dan Simmonds 2005). Area Backscattering Coefficient (ABC) dan Nautical Area Scattering Coefficient (NASC) adalah nilai scattering area pada scattering volume. Keduanya dihitung ketika mengintegrasikan suatu region, cell atau selection dan tersedia untuk eksport sebagai variabel analisis ketika diintegrasikan oleh region atau cell. NASC identik dengan sA seperti yang digunakan oleh Simrad dan Area Backscattering Coefficient (ABC) diskalakan dengan 4π dan 1 mil laut persegi (MacLennan et al. 2002). ABC (m2/m2) dihitung sebagai berikut:
8
dimana
Sv
…………………….. (1)
: Rata-rata volume backscattering strength dari domain yang terintegrasi (dB re 1 m2/m3).
T
: Rata-rata ketebalan dari domain yang terintegrasi (m)
NASC (m2/nmi2) dihitung sebagai berikut:
! "#$% %
! "#$
! "#$% ………………………..…… (2) dimana
4π
: Steradians dalam bola mengkonversi backscattering cross-section menjadi scattering cross-section.
1852
: Meter per mil laut (m/nmi)
Sv
: Volume hamburan balik kekuatan rata-rata dari domain yang terintegrasi (dB re1 m2/m3).
T
: Rata-rata ketebalan dari domain yang terintegrasi.
ABC : Luas hamburan balik Koefisien (m2/m2).
2.4. Volume backscattering strength (Sv) Volume backscattering strength (Sv) dalam bentuk linier diperlihatkan padapersamaan berikut : Sv = n.Ts ………………………………………………………… (3) dimana : Sv : Nilai linier dari backscttering volume n : Densitas Ts
: Target strength.
Jika kawanan ikan dikenai pancaran beam, Sv yang diperoleh untuk setiap 1
9
ping menggambarkan densitas dari kawanan ikan yang sebenarnya. Namun, untuk beberapa kawanan ikan yang berada dalam satu lintasan survei yang di kenai pancaran beam, Sv yang diperoleh tidak selalu menggambarkan secara langsung densitas beberapa kawanan ikan tersebut. Hal ini disebabkan karena didalam beam terdapat ruang kosong (tidak terdapat kawanan ikan) untuk menggambarkan kawanan besar ikan. Akibat ketidakmenentuan ini, Sv yang diperoleh setiap 1 ping sering disebut juga backscattering volume mentah (raw Sv) (Kang et al. 2002). Permasalahan ini dapat dikurangi dengan metode integrasi echo dimana setiap Sv beberapa kawanan ikan dirata-ratakan untuk mendapatkan mean volume backscattering strength (MVBS) atau rata-rata Sv . MVBS akan menggambarkan densitas rata-rata kawanan ikan dari beberapa kawanan besar ikan dalam bentuk integrasi sel (Kang et al. 2002).
2.5. Target Strenght Target strength (TS) merupakan faktor penting dalam pendugaan stok ikan dengan metode akustik. Menurut Kinsler et al. (2000) ketika sebuah gelombang akustik mengenai sebuah target dengan intensitas I (r), maka akan berhamburan ke segala arah, sebagian akan di kirim ke receiver. Sejauh receiver yang bersangkutan, target yang telah dihasilkan (walaupun oleh refleksi) oleh sinyal akustik dengan sumber kekuatan yang oleh ekstrapolasi sinyal yang tersebar kembali dengan jarak r' = 1 m dari pusat target akustik (Gambar 4). Target strength suatu objek ditentukan terutama oleh ukuran, bentuk, konstruksi, orientasi yang berkaitan dengan sumber dan penerima, serta frekuensi incident sound (Kinsler et al. 2000).
10
Gambar 4. Diagram untuk menurunkan ekspresi untuk target strength
TS didefinisikan sebagai rasio antara intensitas gelombang yang mengenai target (Ii ) dan intensitas gelombang yang dihamburbalikkan (Ir) pada jarak 1 meter (Sawada et al. 1999). TS dapat diformulasikan menjadi persamaan: Ti = Ir / Ii , r = 1 m ............................................................ (4) dimana
TSi
: Intensitas target strength (dB)
Ir
: Intensitas suara yang dipantulkan diukur pada jarak 1 meter dari target.
Ii
:
Intensitas suara yang dipancarkan mengenai target
Menurut MacLennan dan Simmonds (2005) TS merupakan backscattering crosssection dari target yang mengembalikan sinyal dan diformulasikan dalam persamaan: TS = 10 log10(σbs) = 10 log ( σps / 4π ) ..................................................... ..... (5) Setiap target yang dikenai sinyal akustik akan memberikan hamburan yang berbeda-beda, sehingga nilai TSnya juga berbeda. Menurut Mitson (1983) nilai
11
target strength dipengaruhi oleh ukuran, struktur dan anatomi, serta bentuk tubuh. Tabel 1 dan 2 serta Gambar 5 merupakan nilai target strength krill dari beberapa para penelitian.
Tabel 1. Target strength isada krill berdasarkan beberapa frekuensi. TSmax TShovering Frequensi (dB) (dB) 50 kHz -88,6 -96,4 120 kHz -74,7 -89,5 200 kHz -68,4 -88,5 Sumber: Miyashita et al. (1998).
TStotal (dB) -93,6 -83,3 -79,2
Tabel 2. Ukuran dan nilai TS beberapa jenis zooplankton berdasarkan pada frekuensi 200 kHz Spesies name L (mm) TS (dB) Ka Neocolamus cristatus 7,0 -75,0 0,49 Neomysis kadiakensis 18,5 -77,1 0,61 Heptacarpus stylus 20,2 -80,7 0,96 Cragon alba 15,1 -60,4 0,85 Sumber: Demer dan Martin (1995).
Gambar 5. Grafik target strength krill (Chu et al. 1993).
12
Berdasarkan penelitian Arnaya (2005) di Samudra Hindia khususnya di perairan Jawa, Bali dan Lombok, nilai target strength ikan pelagis berkisar antara -57 dB sampai -34 dB. Nilai target strength ikan pelagis di perairan Selat Sunda berkisar antara -50 dB sampai -32 dB (Moniharapon 2009).
2.6. Zooplankton Zooplankton merupakan konsumen pertama yang memanfaatkan produksi primer yang dihasilkan fitoplankton. Peranan zooplankton sebagai mata rantai antara produsen primer dengan karnivora besar dan kecil dapat mempengaruhi kompleksitas rantai makanan dalam ekosistem perairan. Zooplankton seperti halnya organisme lain hanya dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kondisi perairan yang sesuai seperti perairan laut. Dominansi zooplankton digolongkan menjadi 2, yaitu mikro zooplankton (40 – 200 µm) dan makro zooplankton (lebih dari 200 µm). Contoh mikro zooplankton adalah naupalus dan rotifer sedangkan contoh makro zooplankton adalah cladocera dan copepod. Cladocera mendominasi hampir 60% dari total zooplankton (Hwang dan Health 1999). Caleonoid copepod dan euphausid (krill) secara umum mendominasi produksi sekunder perairan laut di dunia (Martin 1998). Menurut Steel (1976) in Lytle dan Maxwell (1983) densitas numerik zooplankton umumnya terdistribusi tidak homogen dalam mediumnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Akibat tidak homogennya distribusi zooplankton inilah secara umum dikatakan sebagai bagian-bagian yang terpisah. Biomassa krill sebagian besar terkonsentrasi di atas 150 m. Miller dan Hampton (1989) in Hewitt dan Demer (1996) memperkirakan bahwa 40%
13
mungkin terkonsentrasi di 5 m teratas di malam hari.
2.7. Ikan Pelagis Ikan pelagis adalah organisme yang mampu berenang melawan arus di perairan terbuka. Pada umumnya ikan ini hidup bergerombol. Densitas ikan pelagis dekat permukaan lebih besar daripada di perairan yang lebih dalam, kecuali pada daerah yang kaya zat hara akibat upwelling (Amin at al 1989). Sebaran ikan pelagis dipengaruhi oleh lingkungan, ikan ini suka hidup di daerah yang masih mendapat sinar matahari (daerah eufotik) dengan kisaran suhu antara 28 oC – 30 oC. Jika intensitas cahaya tinggi (siang hari), ikan turun sampai kedalaman 12 – 22 m. Namun pada malam hari ikan menyebar merata di kolom air (Laevastu dan Hayes 1981). Ikan pelagis dibagi dalam dua kelompok, yaitu ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Jenis ikan pelagis besar yang terdapat di perairan Indonesia antara lain: mandidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), ikan pedang (Xipias gladius), ikan layaran (Istiophorus platyterus), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), dan lain-lain. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya neritik yang penyebarannya terutama di perairan dekat pantai, didaerah terjadinya proses upwelling dan poorly behaved karena makanan utamanya adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar sehingga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpa di perairan Indonesia. Penyebaran ikan pelagis kecil meliputi seluruh wilayah perairan Indonesia, namun dominasi ikan pelagis tertentu pada perairan tertentu
14
dapat terjadi (Mallawa 2006).
2.8. Kondisi Umum Laut Flores Laut Flores adalah laut yang terdapat di sebelah utara Pulau Flores. Laut ini juga menjadi batas alami antara Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelah utara Laut Flores terdapat gugusan pulaupulau kecil, diantaranya Kepulauan Bonerate dan Pulau Kalaotoa. Laut Flores memiliki kedalaman hingga 5.123 m. Laut Flores mencakup 93.000 mil persegi (240.000 km²) air di Indonesia. Potensi sumberdaya ikan di perairan Laut Flores cukup tinggi dan didominasi oleh potensi ikan pelagis kecil yaitu sekitar 65,12% dari perkiraan potensi yang ada (Mallawa 2006). Menurut Ilahude (1996) suhu permukaan Laut Flores saat MT (musim timur) di bawah 28°C, yaitu berkisar antara 26,8 – 27,5°C. Smax Laut Flores berkisar antara 34,6 – 34,66 psu pada kedalaman 80 – 150 m (Ilahude dan Gordon 1996).
2.9. ARLINDO di Laut Flores ARLINDO telah diketahui mengangkut massa dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati laut dan selat-selat peraira Indonesia (Gambar 6), bersama massa air tersebut terangkut pula massa air bersalinitas maksimum, bahang dan nutrient. Di laut angin musim mempengaruhi muka laut sehingga menghasilkan arus permukaan yang disebut Arus Musom Indonesia (ARMONDO). Massa air bersalinitas rendah saat musim barat dari Laut Jawa akan merambat ke arah timur sampai Laut Flores, sebaliknya massa air bersalinitas relatif tinggi dari arah timur Laut Banda (Wyrtki 1961; Hadikusumah
15
1988 in Hadikusumah 2009), Laut Flores merambat sampai ke Laut Jawa. Di Laut Jawa stratifikasi massa air parameter suhu dingin dan salinitas tinggi saat musim peraliha dua (MP-II) di poros tengah Laut Jawa hampir homogen dan ini diduga kuat salinitas besar dari Laut Flores. Dalam musin barat (MB) massa air melewati Laut Flores akan tersebar ke arah timur sampai Laut Banda. Bulan Mei 2005 di Laut Flores sudah menunjukkan musim peralihan satu (MP-I), yaitu pola angin peralihan dari pola angin musim barat bergerak ke musim timur. Kecepatan arus maksimum 90 cm/det, sedangkan arah arus di bagian permukaan sampai kedalaman 60 m dominan bergerak ke arah barat dan barat laut, antara 60 – 400 m di sebelah utara dominan ke arah barat daya dan sebelah selatan, arus dominan ke arah barat sampai barat laut. Rata-rata lapisan permukaan ~57 m, ketebalan termoklin antara ~57 m sampai 360 m (Hadikusumah 2009).
Gambar 6. Lintasan Arus Lintas Indonesia (Gordon 2005).
16
Karakteristik massa air di Laut Flores adalah massa air bersalinitas rendah di bagian permukaan (massa air lokal Laut Flores), massa air bersalinitas maksimum 34,5636 psu pada lapisan dangkal antara kedalaman 150 – 240 m (North Pasific Subtropical Water), massa air bersalinitas minimum 34, 4692 psu antara kedalaman 225 – 395 m (North Pasific Intermediae Water), massa air bersalinitas maksimum 34,6169 psu pada kedalaman ~430 - 4719 m (Antarctic Intermadiate Water). Rata-rata kedalaman (~60 m) dari nilai klorofil-a maksimum (Hadikusumah 2009).