3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Neraca energi 2.1.1 Radiasi Neto Energi yang sampai pada suatu permukaan harus sama dengan energi yang meninggalkan permukaan pada waktu yang sama, semua fluks energi harus dipertimbangkan ketika persamaan keseimbangan energi ditentukan (Allen, et al, 1998 diacu dalam Hermawan, 2005). Persamaan dari Neraca Energi permukaan dapat dituliskan sebagai : Rn=G+H+?E .........................................................(1) di mana : Rn
= Radiasi Netto ( Wm −2 )
G
= Fluks Pemanasan Tanah ( Wm −2 )
H
= Fluks Pemanasan Udara ( Wm −2 )
?E
= Fluks Pemanasan Uap Air ( Wm −2 )
Radiasi netto (Rn) merupakan selisih antara gelombang pendek matahari dan gelombang panjang yang datang ke permukaan dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang keluar (hilang). ↓
↑
↓
↑
Rn = R S − RS + R L − RL ............................................(2) di mana : = Radiasi netto ( Wm −2 )
Rn
Rs Rs
RL RL
↓
= Radiasi pendek yang datang ( Wm −2 )
↑
= Radiasi pendek yang keluar ( Wm −2 )
↓
= Radiasi panjang yang datang ( Wm −2 )
↑
= Radiasi panjang yang keluar ( Wm −2 ) ↑
Energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan ( RS ), dapat diduga dari sensor satelit yang menerima kisaran panjang gekombang pendek. Pada citra satelit Landsat kisaran panjang gelombang pendek diterima oleh kanal visible (1,2 dan 3).
4
2.1.2 Albedo Albedo ( a ) merupakan suatu perbandinga n dari radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang datang pada permukaan tersebut. α=
RS ↑ RS
↓
................................................................(3)
di mana : a Rs Rs
= Albedo permukaan ↑
= Radiasi pendek yang keluar ( Wm −2 )
↓
= Radiasi pendek yang datang ( Wm −2 )
2.2
Urban Heat Island Urban Heat Island (UHI) atau Pulau Panas Perkotaan merupakan sebuah
fenomena di mana suhu udara daerah perkotaan (urban ) yang padat bangunan, lebih tinggi 1-6°C dibandingkan daerah daerah sekitarnya daerah pinggiran/rural (Howard, diacu dalam Tursilowati 2008). PULAU PANAS PERPERKOTAAN
Desa Komersil Perumahan Perumahan dalam kota Daerah pinggir Pusat kota Taman
Perumahan daerah pinggir
Sumber: Howard (dalam Tursilowati 2004)
Gambar 2.1. Urban Heat Island (UHI) atau Pulau Panas Perkotaan
Menurut Landsberg (1981), pulau panas ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam pemakaian energi, penyerapan, penukaran bahang laten dan turbulen. Givoni (1989) menyatakan suhu yang tertinggi akan terdapat di pusat kota, dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai ke desa. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor berbeda yang tidak terikat satu sama lain sehingga menyebabkan pulau panas tersebut, antara lain ;
5
1. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi netto antara daerah perkotaan dengan daerah terbuka di sekitarnya. 2. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari dan dilepaskan pada malam hari. 3. Konsentrasi panas yang dihasilkan oleh aktivitas sepanjang tahun di kota (transportasi, industri dan sebagainya). 4. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi yang lebih rendah di daerah kota dibandingkan dengan daerah desa yang permukaanya lebih terbuka. Pulau panas perkotaan terbentuk jika permukaan vegetasi digantikan oleh aspal dan beton untuk jalan, bangunan, dan struktur lain yang diperlukan untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi manusia. Perubahan tersebut lebih banyak menyerap panas matahari dan juga lebih banyak memantulkannya, sehingga menyebabkan temperatur permukaan dan suhu lingkungan naik. (Wypych, et a l., 2003 diacu dalam Hermawan, 2005) mengungkapkan bahwa perubahan penutupan lahan di wilayah perkotaan mempengaruhi jumlah transfer panas (heat flux) dan jumlah energi radiasi yang dipantulkan dan energi radiasi yang diterima oleh suatu permukaan (neraca energi), penerimaan air di permukaan (neraca air) dan kesehatan terhadap manusia. Salah satu yang menyebabkan peningkatan suhu udara adalah transfer energi panas (heat flux). Dalam wilaya h perkotaan transfer panas ini, selain dipengaruhi oleh suhu permukaan juga dipengaruhi oleh adanya efek gedung yang tinggi, transfer panas dari transportasi dan transfer panas dari daerah industri. 2.3 Suhu Fluktuasi Suhu Harian Fluktuasi suhu harian sebagai akibat adanya neraca antara radiasi matahari yang diterima dan yang dilepaskan oleh Bumi. Sejak matahari terbit sampai kira-kira satu atau dua jam setelah tengah hari jumlah energi yang diterima oleh bumi lebih besar daripada yang hilang. Oleh karena itu, kurva suhu terus-menerus naik. Sebaliknya kira-kira pukul 13.00 sampai matahari terbit jumlah energi yang dilepaskan bumi lebih besar daripada yang diterima. Oleh karena itu, kurva temperatur harian turun. Perlu diingat temperatur maksimum selama sehari tidak bertepatan insolasi maksimum. Ketidaktepatan ini terjadi karena temperatur terus naik selama radiasi yang diterima bumi lebih besar daripada yang hilang. Kenyataannya
6
meskipun penerimaan energi matahari setelah tengah hari berkurang tetapi masih lebih besar daripada yang hilang. Penerimaan lebih kecil daripada yang hilang baru terjadi kira-kira pukul 13.00. Kadang-kadang hubungan antara naik-turunnya temperatur dengan isolasi itu kurang nampak. Hal ini karena beberapa faktor yang berpengaruh. Misalnya saja adanya awan yang menyebabkan gangguan terhadap radiasi yang diterima dan hilang dari permukaan bumi. Fluktuasi Temperatur Tahunan Fluktuasi temperatur tahunan berubah-rubah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Fluktuasi tersebut berhubungan erat dengan lintang bumi. Di katulistiwa fluktuasi ini kecil dan makin jauh dari katulistiwa makin besar untuk mempermudah pengertian fluktuasi temperatur ini, dapat dibedakan menjadi tiga pola fluktuasi: 1. Pola katulistiwa Pola katulistiwa ini fluktuasi temperatur tahunan kecil. Lebih kecil daripada fluktuasi temperatur harian. Pola katulistiwa ini mempunyai dua maksimum dan dua minimum yang terjadi berturut-turut pada saat matahari berada di daerah itu dan pada saat berada di garis balik 2. Pola daerah sedang Dalam pola ini menunjukkan fluktuasi temperatur yang besar. Fluktuasi ini akan diperbesar jika suatu daerah terletak di tengah benua, dan akan lebih kecil jika berdekatan dengan laut. Fluktuasi tahunan untuk pola sedang ini lebih besar daripada fluktuasi harian, untuk pola ini hanya ada satu maksimum dan satu minimum. 3. Pola daerah kutub Pola ini menunjukkan fluktuasi sangat besar. Dalam hal ini besarnya juga tergantung pada letaknya. Di tengah benua atau di dekat laut. Pola ini hanya mempunyai satu maksimum dan satu minimum. BMKG pada tahun 2009 menerbitkan Atlas Normal Iklim Di Indonesia Periode 1971-2000 meliputi Suhu Udara Maksimum, Suhu Udara Minimum dan Suhu Udara Maksimum Absolut. Wilayah Jabodetabek mempunyai normal suhu udara maksimum berkisar antara 27°-33°C. Distribusi suhu udara maksimum bervariasi dimana suhu udara maksimum terendah terjadi disekitar wilayah Bogor yang
7
mempunyai dataran lebih tinggi dan suhu udara maksimum terbesar
di wilayah
Jakarta, Tangerang dan Bekasi. 2.4
Awan Konvektif Awan konvektif jenis cumulus sering dijumpai di Indonesia. Beberapa jenis
awan ini tumbuh menjadi badai petir yang dapat menyebabkan petir dan kilat. Badai petir konvektif disebabkan oleh pemanasan permukaan akibat radiasi matahari. Badai ini ditandai oleh pertumbuhan vertikal yang cepat dan dapat menghasilkan hujan lebat lokal (shower), kadang-kadang menghasilkan hujan es. Indonesia merupakan benua maritim yang menerima radiasi matahari dalam jumlah besar, dan melepaskan panas laten kondensasi dalam jumlah yang besar pada saat pembentukan awan cumulus atau awan petir (Cumulonimbus). Proses yang menyebabkan formasi awan konvektif adalah konveksi gaya apung yang menyatakan konversi energi potensial menjadi energi kinetik (Tjasyono, 2008)
Gambar 2.2 Pembentukan awan konvektif
2.5
Presipitasi Presipitasi adalah nama umum dari uap yang mengkondensasi dan jatuh ke
tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi, jumlah presipitasi selalu dinyatakan dalam (mm). Derajat curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam suatu satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan. Biasanya satuan yang digunakan adalah mm/jam. Jadi intensitas curah hujan berarti jumlah presipitasi/curah hujan dalam waktu relatif singkat, biasanya dalam waktu 2 jam (Takeda, 1976).
8
Tabel 2. 1 Keadaan curah hujan dan intensitas curah hujan Keadaan curah hujan Intensitas curah hujan (mm) 1 jam 24 jam Hujan sangat ringan
<1
<5
Hujan ringan
1-5
5-20
Hujan sedang
2-10
20-50
Hujan lebat
10-20
50-100
>20
>100
Hujan sangat lebat
Sumber: Takeda (1976)
2.6
Ruang Terbuka Hijau Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tantang
Penataan Ruang, yang dimaksud Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka untuk tumbuh tanaman baik yang tumbuh secara alami maupun yang sengaja ditanam. Peranan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan sangat besar yaitu sebagai penyumbang ruang bernafas, keindahan visual, sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa, dan sebagai unsur pendidikan (Simons 1983. diacu dalam Agrissantika 2007). Keberadaan RTH di perkotaan juga memiliki pengaruh dalam meningkatkan kualitas suhu udara, dalam hal ini menurunkan suhu udara akibat efek rumah kaca yang mengakibatkan suhu udara naik, dimana terjadi pemanasan permukaan bumi oleh radiasi matahari yang sebagian diserap oleh atmosfer yang mengandung molekul CO2 dan sebagian lagi dipantulkan kembali ke Bumi sehingga menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi secara global Tanaman sebagai elemen utama RTH, mempunyai peran yang sangat pentingdalam kelangsungan hidup dari makluk hidup di dunia dan membantu mengurangi pengaruh dari efek rumah kaca di permukaan Bumi, dimana tanaman mengalami proses kimia yang penting bagi lingkungan sekitarnya (Prawinata et al, 1995 diacu dalam Agrissantika 2007) 2.7
Perubahan Ruang Terbuka Hijau Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau di Jabodetabek sangat mencolok sejak
Tahun 1991 hingga 2004 seperti penelitian Effendy (2007) akibat penggunaan lahan menjadi permukiman dan fasilitas lainnya. Terpantau tahun 1991 sebesar 61%, pada
9
tahun 1997 turun sebesar 4% menjadi 57% dan pada tahun 2004 kembali berkurang menjadi 50%. Dan bertambahnya Ruang Terbangun (RTB) di wilayah Jabodetabek yang diwakili pada Gambar 2. 3 yang merupakan perkembangan RTB pada tahun 1983, 1992, 2000 dan tahun 2005. Dan pada Tabel 2. 2 menunjukkan dinamika proporsi penutupan lahan kawasan Jabodetabek , dimana Ruang Terbangun meningkat dari 2%
ditahun 1972 hingga 29% ditahun 2005 dan RTH menurun dari 74% ditahun 1972 menjadi 63% ditahun 2005. Lebih rinci dinamika proporsi RTH kawasan Jabodetabek setiap wilayah administrasi ditunjukkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.2 Dinamika Proporsi Penutupan Lahan Kawasan Jabodetabek Proporsi Penutupan Lahan Kelas Penutupan Lahan 1972 1983 1992 2000 2005 Ruang Terbangun
2%
9%
11%
23%
29%
RTH
74%
73%
75%
62%
63%
Ladang/upland/bareland
23%
17%
11%
13%
6%
Badan Air
0%
0%
0%
0%
1%
Tambak
1%
2%
2%
2%
2%
Sumber: Agrissantika (2007)
Tabel 2.3 Dinamika Proporsi RTH Kawasan Jabodetabek Proporsi Ruang Terbuka Hijau KABUPATEN / KOTA 1972 1983 1992 2000 2005 Kab. Bogor
96%
95%
93%
82%
84%
Kota Bogor
92%
87%
71%
49%
43%
Kab. Bekasi
53%
49%
66%
57%
61%
Kota Bekasi
72%
70%
64%
40%
32%
Kota Depok
84%
90%
88%
65%
49%
Kab. Tangerang
55%
69%
73%
54%
59%
Kota Tangerang
54%
44%
46%
27%
21%
DKI Jakarta
51%
31%
28%
16%
11%
Sumber: Analisa Citra Lansat TM, Agrissantika (2007)
10
Tabel 2.4 Dinamika Proporsi Ruang Terbangun Kawasan Jabodetabek Proporsi Ruang Terbangun KABUPATEN / KOTA 1972 1983 1992 2000 2005 Kab. Bogor
0%
1%
2%
10%
12%
Kota Bogor
3%
11%
26%
49%
55%
Kab. Bekasi
0%
8%
2%
11%
11%
Kota Bekasi
1%
13%
24%
55%
65%
Kota Depok
0%
3%
10%
34%
49%
Kab. Tangerang
0%
6%
6%
21%
28%
Kota Tanger ang
3%
16%
36%
64%
74%
DKI Jakarta
20%
50%
64%
80%
86%
Sumber: Analisa Citra Lansat TM, Agrissantika (2007)
Stasiun Meteorologi
Sumber: Agrissantika 2007
Gambar 2.3 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 1983
11
Stasiun Meteorologi
Sumber: Agrissantika 2007
Gambar 2.4 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 1992
Stasiun Meteorologi
Sumber: Agrissantika 2007
Gambar 2.5 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 2000
12
Stasiun Meteorologi
Sumber: Agrissantika 2007
Gambar 2.6 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 2005
2.8
Penyebab perubahan iklim menurut IPCC IPCC (2001) menyatakan : jika kita ingin mengerti, mendeteksi dan akhirnya
memprediksi pengaruh manusia terhadap iklim, kita harus mengerti system yang menentukan iklim bumi dan proses yang memicu perubahan iklim. Iklim bumi secara keseluruhan bergantung pada faktor -faktor yang mempengaruhi keseimbangan radiasi, misalnya, komposisi atmosfer, radiasi matahari dan erupsi gunung api. Juga ditekankan bahwa iklim ditentukan oleh sirkulasi atmosfer dan interaksinya dengan arus laut skala besar, dan karakteristik daratan seperti albedo, vegetasi dan kelembapan tanah. Perubahan iklim sangat dikendalikan oleh aktivitas manusia. Hampir sebagian besar perhatian tertuju pada identifikasi pengaruh manusia pada perubahan iklim. Pengaruh manusia ini meliputi pembakaran bahan bakar, pembakaran biomassa, dan produksi gas-gas rumah kaca dan aerosol yang berdampak pada gaya radiasi. Perubahan tata guna lahan (pertanian, irigasi, pembukaan hutan, dan reforestasi) mempengaruhi property fisika dan biologi dari permukaan bumi, dan perkembangan kota-kota besar memicu pembentukan heat island dengan dampak yang sangat lokal.
13
Uap air ada lah gas rumah kaca yang terkuat, uap air adalah pusat iklim, variabilitasnya dan perubahannya. Jangan lupa juga bahwa variasi konsentrasi uap air tidak hanya bergantung pada peningkatan CO2, bisa juga bergantung pada banyak faktor, khususnya dinamika transfer (yang tidak disebutkan) Leroux M. (2005). 2.9
Perubahan Lingkungan Dan Perilaku Cuaca Meningkatnya populasi penduduk di Taipei setiap tahunnya merubah ruang
terbuka hijau menjadi berkurang sehingga kenaikan suhu permukaan kota tersebut tidak bisa dielakkan sejak tahun 1960 hingga 2005 seperti terlihat pada Gambar 3. serta mempengaruhi perilaku cuaca dengan peningkatan kejadian Thunderstorm dan juga perubahan profil suhu udara keatas menjadi meningkat.
Sumber: Chen. et al 2007
Gambar 2.7 Kenaikan Suhu Permukaan (T) seiring bertambahnya populasi penduduk Taipei
14
Sumber: Chen. et al 2007
Gambar 2.8 Kenaikan Suhu Udara Atas (T) lebih besar di permukaan dibanding lapisan di atasnya antara periode tahun 1973 -1988 dengan periode 1989 – 2005
Berkembangnya wilayah Jakarta dan sekitarnya mempunyai andil yang sangat besar berkurangnya ruang terbuka hijau sehingga dalam penelitia nnya Mas’at tahun 2008 menunjukan menaikan suhu rata-rata tahunan. Dalam 23 tahun terakhir secara rata-rata suhu udara di perkotaan mengalami laju kenaikan sebesar 0.17°C. Suhu perkotaan lebih besar kenaikannya dari pada di wilayah pinggiran (Cengkareng dan Halim Perdana Kusuma) yaitu sebesar ± 0.8°C.
Sumber: Mas’at A. 2008
a)
b)
Gambar 2.9 a) Profil Kenaikan Suhu Permukaan (T) di Jakarta b) Grafik perbandingan suhu di BMG Jakarta, Halim P.K. dan Cengkareng
15
2.10 Dampak El Nino Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Dalam tulisannya Mulyono dan N icholls (2002) EI Nino dari bahasa Spanyol yang artinya ’anak laki-laki' - karena dekat dengan perayaan natal bagi umat kristen di bulan Desember setiap tahun, perairan lepas pantai Peru agak menghangat. Ketika, setiap tiga hingga enam tahun, perairan tersebut menjadi hangat tidak seperti biasanya, EI Nino memberikan dua pertanda kepada penduduk disekitarnya; yaitu, turunnya hujan di daerah yang biasanya merupakan daerah agak gersang/kering sehingga menimbulkan kebanjiran yang meluas dan sangat menurunnya hasil tangkapan ikan anchovy. Air laut dalam yang naik kepermukaan (upwelling) yang kaya nutrisi merupakan makanan bagi populasi ikan; dan ketika upwelling terhenti mengakibatkan ikan-ikan mati. EI Nino sekarang merupakan sebagai istilah yang dipergunakan lebih luas dalam kaitannya dengan penghangatan suhu muka lautyangtidak wajar yang berakibat pada cuaca. EI Nino sering dipasangkan dengan 'Southern Oscillation/Osilasi Selatan' dengan singkatan ENSO. La Nina sekarang lebih terkenal untuk menyebut lawannya El Nino yang terjadi pada saat perairan di Pasifik bagian timur dingin secara tidak wajar. Episodaepisoda La Nina diasosiasikan dengan curah hujan yang lebih banyak di Indonesia bagian timur dan kemar au berkepanjangan di Peru. Sebagai indikator lemah kuatnya El Nino dilihat dari Indek Osilasi Selatan. Dimana Osilasi Selatan merupakan suatu 'sistim timbangan' tekanan udara antara wilayah Pasifik ekuator bagian timur dan wilayah Indonesia; yaitu, ketika tekanan udara permukaan di salah satu wilayah tersebut tinggi secara tidak wajar biasanya akan diimbangi dengan tekanan udara permukaan yang rendah secara tidak wajar di wilayah satunya. Osilasi tekanan udara yang bergerak lamban dan berskala besar ini mempengaruhi curah hujan di wilayah Indonesia bagian timur yang secara umum dipengaruhi oleh monsun austral. Namun demikian pengaruhnya akan dapat berbedabeda di suatu kepulauan dan pada waktu yang berbeda. Osilasi ini juga mempengaruhi bagian dunia lainnya (lihat Gambar 4). Secara umum, Osilasi Selatan dapat menyebabkan kekeringan di Indonesia, Aus tralia, India
16
dan beberapa bagian Afrika dan pada saat yang bersamaan menyebabkan banjir di Amerika Utara dan Selatan dan dikepulauan-keulauan Pasifik Tengah. Osilasi Selatan Timbul sebagai akibat dari hasil interaksi antara lautan dan atmosfer diwilayah Pasifik ekuator. Setiap kejadian El Nino tidak berdampak langsung terhadap wilayah Indonesia. Suhu perairan wilayah Indonesia berfungsi sebagai pengendali dari kekuatan El Ñino dalam menarik massa uap air dari wilayah Indonesia. Ketika El Nino aktif dan suhu muka laut diwilayah Indonesia masih hangat pengaruh berkurangnya curah hujan tidak besar. Dan sebaliknya ketika El Nino aktif di dukung suhu muka laut wilaya h perairan Indonesia dingin dampak kekeringan di Indonesia sangat besar seperti pada Tabel 2.5 dampak El Nino yang sangat kuat pada tahun 1997 dimana suhu muka laut di Pasifik Tengah cukup hangat (anomalinya +2,73,2°C) dan suhu muka laut di wilayah Indonesia dingin (anomalinya -0,2°C) Tabel 2.5. Kejadian El Nino dalam kurun waktu 1957 - 2009
Sumber: BMKG (2009)
17
a) Sumber: Mulyono dan Nicholls (2002)
b)
Gambar 2. 10 a)Osilasi selatan merupakan timbangan antara wilayah Indonesia dan Pasifik ekuator tumur b) Bagian dunia yang dipengaruhi ENSO
2.11 Cuaca Ekstrim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
dalam Peraturan KBMKG
Nomor: Kep. 009 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, Dan Diseminasi Inf ormasi Cuaca Ekstrim. Menetukan unsur-unsur cuaca yang dianggap ekstrim kejadian cuaca yang tidak normal, tidak lazim yang dapat mengakibatkan kerugian terutama keselamatan jiwa dan harta antara lain: •
Angin Kencang adalah angin dengan kecepatan diatas 25 (dua puluh lima) knots atau 45 (empat puluh lima) km/jam.
•
Angin Puting Beliung adalah angin kencang yang berputar yang keluar dari awan Cumulonimbus dengan kecepatan lebih dari 34,8 (tiga puluh empat koma delapan) knots atau 64,4 (enam puluh empat koma empat) kilometer (km)/jam dan terjadi dalam waktu singkat.
•
Hujan Lebat adalah hujan dengan intensitas paling rendah 50 (lima puluh) milimeter (mm)/24 (dua puluh empat) jam dan/atau 20 (dua puluh) milimeter (mm)/jam.
•
Hujan es adalah hujan yang berbentuk but iran es yang mempunyai garis tengah paling rendah 5 (lima) milimeter (mm) dan berasal dari awan Cumulonimbus.
18
•
Jarak Pandang Mendatar Ekstrim adalah jarak pandang mendatar kurang dari 1000 (seribu) meter.
•
Suhu Udara Ekstrim adalah kondisi suhu udara yang mencapai 3º C (tiga drajat celcius) atau lebih di atas nilai normal setempat.
•
Siklon tropis adalah sistem tekanan rendah dengan angin berputar siklonik yang terbentuk di lautan wilayah tropis dengan kecepatan angin minimal 34,8 (tiga puluh empat koma delapan) knots atau 64,4 (enam puluh empat koma empat) kilometer (km)/jam disekitar pusat pusaran.
•
Angin Puting Beliung di Lautan yang selanjutnya disebut Waterspout adalah angin kencang yang berputar yang keluar dari awan Cumulonimbus dengan kecepatan lebih dari 34,8 (tiga puluh empat koma delapan) knots atau 64,4 (enam puluh empat koma empat) kilometer (km)/jam dan terjadi di laut dalam waktu singkat .
•
Gelombang Laut Ekstrem adalah gelombang laut signifikan dengan ketinggian lebih besar dari atau sama dengan (=) 2 (dua) meter.
•
Gelombang Pasang (storm surge) adalah kenaikan permukaan air laut diatas normal akibat pengaruh angin kencang dan/atau penurunan tekanan atmosfer.