II. TINJAUAN PUSTAKA
Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang mencakup semua komponen yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut termasuk tanah, batuan induk, topografi, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang (Brinkman dan Smyth, 1973; Vink, 1975; dan FAO, 1976 dalam Juhadi, 2007). Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Juhadi, 2007). Meningkatnya kegiatan yang memanfaatkan lahan maupun sumber daya alam lainnya yang tak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah, sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kerusakan tanah didefinisikan sebagai tanah yang saat ini tidak produktif karena pengelolaan dan penggunaan tanah yang kurang memperhatikan kemampan tanah sehingga menyebabkan kerusakan sifat fisik dan kimia tanah (Wirasoedarmo, dkk. (2007) dalam Perbataksuma dan Kaprawi, 2011). Dalam Permen LH No.7 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomasa, kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah. Degradasi tanah atau kerusakan tanah pada umumnya disebabkan karena dua hal yaitu faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Degradasi tanah dan lingkungan, baik oleh manusia maupun gangguan alam, semakin lama semakin meningkat. Degradasi tanah disebabkan karena faktor alami meliputi erosi,
4
5
sedimentasi, akumulasi garam/basa, dan pH yang terlalu rendah. Degradasi tanah disebabkan
karena
campur
tangan
manusia
diantaranya
penambangan,
penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dan pencemaran limbah anorganik (Arsyad, 2010). Pada Peraturan Pemerintah No. 150 tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomasa, dijelaskan bahwa status kerusakan tanah adalah kondisi tanah di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah. 2.1 Potensi Kerusakan Tanah Potensi kerusakan tanah diduga dengan melakukan pengelompokan terhadap akumulasi skor pembobotan yaitu hasil kali nilai skor dengan bobot masing-masing peta tematik. Penilaian potensi ini dilakukan terhadap poligon yang dihasilkan melalui proses overlay. Nilai skoring atau skor pembobotan potensi kerusakan tanah didapat dari hasil perkalian nilai rating yaitu nilai potensi masing-masing unsur peta tematik terhadap terjadinya kerusakan tanah dengan nilai bobot masing-masing peta tematik yaitu peta ordo tanah, peta lereng, dan peta penggunaan lahan. Nilai rating ditetapkan berkisar dari 1 sampai dengan 5. Peta penggunaan lahan dan peta ordo tanah diberi nilai bobot; dua (2) dan peta kelerengan diberi bobot tiga (3). Semakin tinggi nilai skoring pembobotan yang didapat, semakin tinggi pula potensi wilayah tersebut mengalami kerusakan tanah (Kemen LH, 2009). 1.
Ordo tanah Peta tanah diperlukan sebagai bahan untuk penilaian potensi kerusakan
tanah, informasi yang diambil dari peta tanah ini adalah ordo tanah. Dalam
6
menduga potensi kerusakan, tanah-tanah dikelompokan ke dalam 5 (lima) kelas potensi kerusakan tanah, sebagaimana yang telah diajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Ordo Tanah (Tingkat Ordo) Potensi kerusakan Tanah
Tanah
Simbol
Rating
Skor pembobotan (rating x bobot)
Vertisol Sangat ringan A1 1 2 Oxisol Ringan A2 2 4 Alfisol, Molisol, Sedang A3 3 6 Ultisol Inceptisol, Tinggi A4 4 8 Entisol, dan Histosol Spodosol dan Andisol Sangat tinggi A5 5 10 Sumber : Pedoman Teknis Penyusunan Peta Kerusakan Tanah Untuk Biomasa (2009)
a.
Vertisol Vertisol merupakan ordo tanah yang berwarna abu-abu gelap hingga
kehitaman, bertekstur liat, mempunyai slickenside, dan rekahan yang secara periodik dapat membuka dan menutup (Prasetyo dan Sudiadikarta, 2007). Menurut Mukanda dan Mapiki (2001) dalam Nurdin, dkk. (2009) bahwa kendala utama dalam pengelolaan Vertisol lebih dominan terdapat pada sifat fisik tanah, yakni berupa tekstur liat yang berat, sifat mengembang dan mengkerut, kecepatan infiltrasi yang rendah dan drainase air yang lambat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hardjowigeno (2003) yang menyatakan bahwa adanya kandungan mineral liat mudah mengembang dan mengkerut yang tinggi menjadi masalah utama pengelolaan tanah ini, terutama dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pada sifat kimia Vertisol tergolong tanah yang relatif kaya akan hara karena
7
mempunyai cadangan sumber hara yang tinggi, dengan kapasitas tukar kation tinggi dan pH netral hingga alkali (Deckers, dkk., 2001 dalam Prasetyo, 2007). b.
Oxisol Oxisol merupakan salah satu tanah marjinal yang telah mengalami
pelapukan lanjut dan tua. Oxisol memiliki tingkat kesuburan alami yang tergolong rendah karena sedikit kandungan bahan organik, tingginya kelarutan mineral besi (Fe3+) dan Aluminium (Al3+), pH relatif masam (Hardjowigeno, 2003). Menurut Winarna, dkk. (2002) Oxisol memiliki mineral liat yang dominan yaitu mineral liat tipe 1:1, khususnya kaolinit umumnya rendah, kapasitas tukar kation (KTK) umumnya rendah c.
Alfisol Alfisol merupakan tanah yang mempunyai kandungan liat tinggi di
horison B. Alfisol memiliki mineral primer yang mudah lapuk, mineral kristalin dan kaya unsur hara. Tanah ini mempunyai kejenuhan basa tinggi (>35%), KTK dan cadangan unsur hara tinggi (Hardjowigeno, 2003). Edwe dan Joned (2012) menyatakan bahwa Alfisol memiliki reaksi tanah (pH) netral yaitu 6,5. d.
Mollisol Mollisol adalah tanah-tanah yang mempunyai epipedon molik, yaitu
epipedon yang mempunyai warna gelap dengan kandungan C organik >2,5% (Edwen dan Joned, 2012). Mollisol mempunyai kejenuhan basa >50 % dengan sedikit pencucian sehingga Mollisol tergolong dalam tanah yang subur (Hardjowigeno 2003).
8
e.
Ultisol Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa <35%, beberapa ordo
tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation <16 cmol/kg liat, pH tanah pada Ultisol umumnya masam hingga sangat masam yakni pH 5-3,10 (Prasetyo, 2006). Pernyataan tersebut sejalan dengan (Hardjowigeno, 2003) bahwa reaksi tanah pada Ultisol cenderung masam, kejenuhan basa rendah, kadar Al tinggi, kandungan unsur hara yang rendah merupakan penghambat untama dalam pertanian. f.
Inceptisol Inceptisol merupakan tanah yang bertekstur agak kasar, mempunyai
kandungan bahan organik sedikit dan nilai kapasitas tukar kation (KTK) rendah. Rendahnya kandungan unsur N serta unsur hara lain dapat terjadi pada tanah yang memiliki tingkat kemasaman tinggi yaitu pH 5.5 (Nariratih, dkk, (2013). Menurut (Munir, 1995) Inceptisol adalah tanah muda dan mulai berkembang, biasanya mempunyai tekstur yang beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini tergantung pada tingkat pelapukan induknya. g.
Entisol Entisol merupakan tanah yang relatif kurang menguntungkan untuk
pertumbuhan tanaman, tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah (Nuryani dan Handayani, 2003). Menurut Zulkarnain, dkk. (2013) menyatakan bahwa Entisol biasanya bertekstur pasir atau pasir berlempung, sehingga daya menahan airnya rendah dan kandungan bahan organiknya sangat rendah. Struktur tanah, tekstur, dan ruang pori merupakan faktor yang mempengaruhi daya
9
menahan air. Entisol memiliki kandungan C-organik yang tinggi (Nariratih, dkk. (2013). h.
Histosol Histosol merupakan tanah yang memiliki pH tanah rendah, kejenuhan basa
rendah, KTK tinggi, rasio C/N tinggi, sehingga ketersediaan hara makro dan mikro bagi tanaman rendah. Aktivitas mikroba rendah, adanya pengaruh intrusi garam dan lapisan sulfat masam, drainase yang buruk, dan berbagai faktor-faktor penghambat lainnya seperti keberadaan asam organik yang bersifat toksik. Kondisi demikian tidak menunjang terciptanya laju penyediaan hara yang memadai bagi tanaman. (Rachim, 1995 dalam Nurhayati, 2011). i.
Spodosol Spodosol dicirikan oleh adanya lapisan pasir masam berwarna putih abu-
abu (horizon albik) di atas lapisan lempung berpasir berwarna gelap. Proses pembentukan tanah yang utama adalah podsolisasi, yaitu kumpulan dari beberapa proses yang menghasilkan translokasi bahan organik, besi, alumunium, dan sedikit P dari lapisan tanah atas ke lapisan tanah bawah, karena pengaruh ion H + dan senyawa organik (Hardjowigeno, 2003). Spodosol banyak digunakan sebagai hutan, produktivitas Spodosol sangat rendah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai tanah pertanian (Munir, 1995). j.
Andisol Andisol merupakan tanah yang memiliki kemampuan menyerap fosfat
yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan tanah ini kaya akan bahan mineral amorf khususnya alofan yang sangat reaktif (Sukmawati, 2011). Andisol mempunyai
10
kejenuhan basa yang tidak tetap, kapasitas tukar kation yang tinggi, dan pH tanah yang bervariasi (Munir, 1995). 2.
Kemiringan lereng Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal)
suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dalam persen (%). Dalam kaitannya dengan kerusakan tanah, tingkat kemiringan lereng mempengaruhi besarnya erosi dan kemampuan tanah menyimpan air hujan. Semakin besar kemiringan lereng akan menyebabkan kerusakan tanah yang semakin tinggi. Dalam menduga potensi kerusakan tanah berdasarkan kondisi lereng, tanah dikelompokan ke dalam 5 (lima) kelas potensi kerusakan tanah (Tabel 2.2). Tabel 2.2 Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Kemiringan Lereng Lereng 1-8 % 9-15 % 16-25 % 26-40 % >40 %
Potensi Kerusakan Tanah Sangat Ringan Ringan Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Simbol
Rating
A1 A2 A3 A4 A5
1 2 3 4 5
Skor Pembobotan (rating x bobot) 3 6 9 12 15
Sumber : Pedoman Teknis Penyusunan Peta Kerusakan Tanah Untuk Biomasa (2009)
3.
Penggunaan lahan Penilaian potensi kerusakan tanah berdasarkan penggunaan lahan dideteksi
dengan mengacu pada koefisien tanaman. Berdasarkan pendekatan tersebut, jenisjenis penggunaan lahan (baik penggunaan lahan di daerah pertanian maupun vegetasi alami) dikelompokan ke dalam 5 kelas potensi kerusakan tanah sebagaimana disajikan pada Tabel 2.3.
11
Tabel 2.3 Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Jenis Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Hutan, Sawah, Alang-alang murni subur Kebun campuran, Semak belukar, Padang rumput Hutan produksi, Perladangan Tegalan (tanaman semusim) Tanah terbuka
Potensi Kerusakan Tanah sangat rendah
Simbol
Rating
A1
1
Skor Pembobotan (rating x bobot ) 2
rendah
A2
2
4
sedang
A3
3
6
tinggi
A4
4
8
sangat tinggi
A5
5
10
Sumber : Pedoman Teknis Penyusunan Peta Kerusakan Tanah Untuk Biomasa (2009)
Berdasarkan akumulasi skor tersebut, seluruh tanah yang akan dinilai dikelompokan ke dalam 5 kelas potensi kerusakan tanah yaitu tanah yang berpotensi sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Pada prinsipnya semakin tinggi nilai skor yang diberikan, semakin tinggi pula potensi wilayah tersebut mengalami kerusakan tanah. Kriteria pengelompokan potensi kerusakan tanah ini disajikan dalam 2.4. Tabel 2.4 Kriteria Pembagian Kelas Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Nilai Skor Simbol PR.I PR.II PR.III PR.IV PR.V
Potensi Kerusakan Tanah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Skor Pembobotan <15 15 - 24 25 - 34 35 - 44 45 - 50
Sumber : Pedoman Teknis Penyusunan Peta Kerusakan Tanah Untuk Biomasa (2009)
12
2.2 Status Kerusakan Tanah Status kerusakan tanah adalah kondisi tanah di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000. Tujuan dilakukannya status kerusakan tanah yaitu
untuk mengetahui kondisi tanah terkini yang dihitung sesuai dengan
peraturan tersebut berdasarkan parameter yang telah ditetapkan. 2.2.1 Parameter Kerusakan Tanah Parameter yang digunakan dalam kriteria baku kerusakan tanah dapat ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah nomor 150 tahun 2000. Parameterparameter tersebut meliputi sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Namun yang paling dominan adalah sifat fisik tanah. Kriteria baku kerusakan tanah dibagi menjadi 2 golongan, yaitu kriteria baku kerusakan untuk lahan basah dan kriteria baku kerusakan untuk lahan kering. Parameter-parameter pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk lahan kering yaitu meliputi kedalaman solum, kebatuan permukaan, komposisi fraksi atau tekstur tanah, berat isi, porositas tanah, derajat pelulusan air atau permeabilitas tanah, pH tanah, daya hantar listrik (DHL), dan jumlah mikroba. 1.
Sifat Fisik Tanah Parameter-parameter sifat fisik tanah yang dipantau dalam Peraturan
Pemerintah No. 150 Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa, adalah sebagai berikut : a. Ketebalan Solum Ketebalan solum atau lebih umum disebut sebagai kedalaman atau ketebalan horison atau lapisan. Diukur mulai permukaan tanah sebagai
13
nilai awal (nol) ke arah bawah yang dicatat dalam satuan centimeter (cm). Kedalaman
solum
atau
kedalaman
tanah
sangat
mempengaruhi
perkembangan perakaran tanaman. Pada daerah yang mempunyai kedalaman solum dangkal merupakan daerah yang kurang subur karena area perakaran sangat terbatas. Tanah yang mempunyai kedalaman solum dangkal biasanya disebut dengan nama tanah Litosol atau lithic (Sutanto, 2005 dalam Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, 2013). Dalam Permen LH No. 7 Tahun 2006, ketebalan solum adalah jarak vertikal dari permukaan tanah sampai ke lapisan yang membatasi kelulusan perkembangan sistem perakaran. Dalam Peraturan Pemerintah 150 tahun 2000 bahwa tingkat kekritisan parameter ketebalan solum adalah <20 cm, hal ini didasarkan pada kebutuhan ruang minimal akar tanaman untuk berkembang dan menguatkan batang tanaman. b. Kebatuan Permukaan Dalam Permen LH No 7 tahun 2006, kebatuan permukaan adalah persentase tutupan batu dipermukaan tanah. Batu adalah semua material kasar yang berukuran diameter >2 mm. Kebatuan permukaan memegang peranan yang penting alam mendukung pertumbuhan tanaman kemudahan dalam pengelolaan tanah. Tanah yang memiliki kebatuan permukaan tinggi akan mengakibatkan penurunan jumlah tanaman, sehingga penutupan lahan juga semakin berkurang.
14
c.
Komposisi Fraksi (Tekstur Tanah) Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah
yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat (Hanafiah, 2008). Tekstur tanah sangat menentukan kecepatan infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air. Tanah yang didominasi oleh fraksi pasir mempunyai infiltrasi yang tinggi tetapi kemampuan mengikat air yang rendah. Kandungan liat yang sedikit, menyebabkan tanah mempunyai kemantapan agregat yang kurang baik sehingga sering kehilangan unsur hara lewat pelindihan dan erosi. Secara tidak langsung tekstur tanah juga menentukan struktur tanah yang penting bagi gerakan udara, air, dan zatzat hara di dalam tanah, dan juga berpengaruh terhadap kegiatan makro dan mikroorganisme tanah (Arifin, 2011). d.
Berat Isi Berat isi (berat volume) adalah berat tanah kering per satuan
volume tanah (termasuk pori-pori tanah). Berat isi biasanya dinyatakan dalam satuan g/cm3 (Hardjowigeno, 2003). Menurut Permen LH No 7 Tahun 2006 berat isi adalah perbandingan antara berat bongkah tanah dengan isi/volume total tanah. Tanah dikatakan bermasalah bila berat isi tanah tersebut >1,4 g/cm³ dimana akar sulit menembus tanah tersebut. Pada suatu tanah yang memiliki berat isi >1.4 gr/cm3 maka akar tanaman untuk menembus tanah tersebut akan sulit, sehingga akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Berat isi yang terlalu tinggi juga akan mengganggu kapasitas infiltrasi air hujan, sehingga tanah akan rentan
15
terhadap erosi, selain itu berat isi yang terlalu tinggi akan memperkecil pori-pori antar zarah tanah sehingga akan mengurangi kemampuan tanah untuk mengikat air dan hara (Pusarpedal KLH, 2011). e.
Porositas Total Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang
terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah (Hanafiah, 2008). Menurut Hardjowigeno (2003) dinyatakan bahwa, porositas tanah adalah bagian tanah yang tidak berisi bahan padat tanah (terisi oleh udara dan air). Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur tanah, dan tekstur tanah. Porositas tanah tinggi apabila kandungan bahan organik juga tinggi. Tanah-tanah dengan struktur granuler atau remah, mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan struktur massife (pejal). Tanah dengan tekstur pasir banyak mempunyai
pori-pori
makro sehingga sulit
untuk menahan
air
(Hardjowigeno, 2007). f.
Derajat Pelulusan Air (Permeabilitas) Permeabilitas adalah kualitas tanah untuk meloloskan air yang
diukur berdasarkan besarnya aliran melalui satuan tanah yang telah dijenuhi terlebih dahulu per satuan waktu tertentu (cm/jam) (Susanto, 1994 dalam Siregar, 2013). Permen LH No 7 tahun 2006 dikatakan derajat pelulusan air atau permeabilitas tanah adalah kecepatan air melewati tubuh tanah secara vertikal dengan satuan cm/jam. Derajat pelulusan air sangat
16
dipengaruhi oleh berat isi, porositas dan komposisi fraksi. Menurut kriteria tingkat kerusakan tanah pada Peraturan Pemerintah No 150 tahun 2000 derajat pelulusan air antara <0,7 cm/jam dan >8,0 cm/jam merupakan faktor pembatas yang membatasi pertumbuhan tanaman untuk produksi biomassa. 2.
Sifat Kimia Tanah a.
Reaksi Tanah (pH tanah) Reaksi tanha (pH tanah) adalah tingkat keasaman tanah yang
dicerminkan oleh konsentrasi H+ dalam tanah (Prasetyo, 2013). pH tanah tidak hanya menunjukkan sifat kemasaman atau kebasaan suatu tanah, melainkan juga berkaitan dengan sifat kimia tanah lainnya, misalnya ketersediaan unsur hara fosfat, tahanan kation-kation basa dan lain-lain (Hanudin, 2000 dalam Arifin, 2011). Pengukuran pH tanah dapat memberi keterangan tentang hal-hal berikut : kebutuhan kapur, respon tanah terhadap pemupukan, proses kimia yang mungkin berlangsung dalam proses pembentukan tanah, dan lain-lain (Hardjowigeno, 2003). Menurut kriteria tingkat kerusakan tanah pada Peraturan Pemerintah No. 150 tahun 2000 bahwa faktor pembatas untuk pH tanah yaitu kurang dari 4,5 dan lebih dari 8,5. b.
Daya Hantar Listrik (DHL) Daya hantar listrik (DHL) atau electrical conductivity (EC),
didefinisikan sebagai kadar garam terlarut dalam air atau larutan tanah (Arabia, 2012). Dalam Permen LH No. 7 Tahun 2006, nilai DHL adalah pendekatan kualitatif dari kadar ion yang ada di dalam larutan tanah, di
17
luar kompleks serapan tanah. Semakin besar kadar ionik larutan akan semakin besar DHL-nya. DHL dinilai dengan satuan mS/cm atau μS/cm, pada suhu 25º C. Nilai DHL > 4mS/cm mengkibatkan akar membusuk karena terjadi plasmolisis. DHL akan mengalami peningkatan jika terjadi penguapan yang lebih tinggi dari hujan, sehingga akan terjadi pengendapan natrium. Pengukuran DHL dilakukan dengan melihat tahanan listrik di dalam larutan tanah, menggunakan alat ukur Electrical Conductivity meter (EC-meter). Nilai daya hantar listrik (DHL) lebih 4,0 mS/cm merupakan pembatas bagi produksi biomassa (PP No. 150 Tahun 2000). 3.
Sifat Biologi Tanah a.
Jumlah Mikroba Tanah Jumlah mikroba dalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan
tanah tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, karena pada tanah subur jumlah mikrobanya tinggi. Populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup ditambah temperatur yang sesuai, ketersediaan air cukup, dan kondisi ekologi lain yang mendukung (Anas, 1989 dalam Hanafiah, 2008). Keberadaan mikroba di dalam tanah secara alami mempunyai peranan untuk menjaga fungsi tanah dan mengendalikan produktivitasnya, karena sebagai kunci dalam berbagai proses kehidupan tanah, seperti pembentukan struktur tanah, dekomposisi bahan organik, mengubah zat racun, siklus C, N, P dan S (Van Elsas dan Trevors, 1997 dalam Prihastuti,
18
2011). Dalam Permen LH No. 7 Tahun 2006, jumlah mikroba tanah adalah total populasi mikroba di dalam tanah yang diukur dengan colony counter. Pada umumnya jumlah mikroba normal adalah 107 cfu/g tanah. Tanah dikatakan rusak bila jumlah mikroba < 102 cfu/g tanah baik untuk di lahan kering maupun di lahan basah.