2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cadangan Karbon dan Metode Pendugaannya Keberadaan karbon merupakan bagian penting dari siklus kehidupan di bumi.
Ada empat reservoir karbon utama yaitu atmosfer, biosfer teresterial
(daratan), lautan, dan sedimen (Gambar 1). Beberapa dekade terakhir terjadi ketidakseimbangan neraca karbon global diakibatkan semakin bertambahnya populasi manusia.
Pemanenan karbon melalui perubahan penggunaan lahan,
pembakaran biomassa, penambangan bahan bakar fosil dan pencemaran di laut menyebabkan peningkatan jumlah karbon di atmosfer.
Bagian terbesar dari
karbon yang berada di atmosfer adalah gas karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan kloroflorokarbon (CFC merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang berperan dalam pemanasan global.
Ket : angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak termasuk ~70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen
Gambar 1.
Diagram dari Siklus Karbon Global ( Sumber : www. id.wikipedia.org, diunduh 22 Juni 2008).
Sebagai negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto maka Indonesia berhak menerima kontribusi dari negara-negara maju berupa kompensasi setara
7
dengan jumlah karbon yang mampu diperosotkan.
Mekanisme ini dapat
digunakan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan pelepasan gas rumah kaca di atmosfer.
Pada COP 13 di Bali tahun 2007
disepakati mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries). Mekanisme ini berfokus pada pengurangan penebangan hutan.
Hutan merupakan ekosistem terbesar dari berbagai keanekaragaman
vegetasi yang mampu mengendalikan besarnya emisi karbondioksida di atmosfer. Vegetasi hidup memerlukan karbondioksida dalam proses fotosintesis sehingga mampu mengurangi konsentrasi karbon di atmosfer dan menyimpannya dalam bentuk cadangan karbon biomassa sampai akhirnya mati dan terakumulasi menjadi bahan organik. Isu pemanasan global telah menjadikan potensi cadangan karbon pada suatu areal dapat digunakan dalam mekanisme perdagangan karbon. Permintaan pasar karbon global sekitar 800 juta ton CO2/tahun dan sekitar 125 juta yang dilakukan melalui Clean Development Mechanism (Murdiyarso 2003). Beberapa negara maju sudah menciptakan pasar CDM diantaranya Belanda dengan nama CERUPT yang memiliki dana sebesar 1 milyar Euro. Kemudian Bank Dunia juga menjadi fasilitator melalui skema Portfolio Carbon Fund, Community Development Carbon Fund dan Bio Carbon Fund. Peluang investasi ini bisa menguntungkan bagi negara berkembang seperti Indonesia apabila manajemen dan implementasinya dilakukan secara tepat. Cadangan karbon pada ekosistem teresterial (daratan) terbagi menjadi karbon diatas permukaan (above ground carbon) dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah (below ground carbon).
Karbon di atas permukaan tanah,
meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma), nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang sudah mati) dan serasah (bagian tanaman yang gugur berupa daun dan ranting). Karbon bawah permukaan, meliputi biomassa akar dan bahan organik tanah (sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi) serta gambut pada hamparan lahan gambut (Hairiah dan Rahayu 2007). Biomassa tanaman digunakan sebagai dasar untuk menduga karbon atas permukaan. Teknik untuk mengukur biomassa bisa dilakukan dengan metode
8
destruktif dan menggunakan persamaan alometrik. Penggunaan metode destruktif sangat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang terutama jika dilakukan terhadap vegetasi hutan.
Salah satu pemecahannya maka dapat
digunakan persamaan alometrik yang telah disusun dari tanaman yang sejenis. Persamaan ini menghubungkan biomassa tanaman dengan diameter dan tinggi tanaman (Pearson et al. 2007). Karbon atas permukaaan dapat diduga jika biomassa telah diketahui.
Beberapa tahun terakhir dengan berkembangnya
teknologi maka dikembangkan berbagai teknik pendugaan karbon atas permukaan menggunakan bantuan data penginderaan jauh menggunakan citra satelit resolusi tinggi, foto udara, citra radar dan laser (Gibbs et al. 2007). Sementara teknik pendugaan karbon bawah permukaan dilakukan dengan menganalisis C organik tanah dan C dari bahan organik yang berada dipermukaan tanah. Jenis tanah dan metode analisis harus diperhatikan dalam penentuan C bawah permukaan agar penilaiannya lebih akurat. 2.2 Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) dan Fungsi Ekologisnya Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) adalah jenis tanaman dari famili palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati. Pengelompokan berdasarkan warna buah yaitu (i) nigrrescent dengan buah berwarna ungu tua pada buah mentah dan memiliki “topi” coklat atau hitam pada buah masak, (ii) virescens dengan warna hijau pada buah mentah dan orange tua pada buah masak, dan (iii) albenscens yang tidak memiliki warna. Berdasarkan ketebalan cangkang, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura (tebal 2-8 mm), Pisifera (tidak bercangkang) dan Tenera (tebal 0.5-4 mm).
Buah sawit
bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang terdapat pada buah sawit yaitu eksoskarp adalah bagian kulit buah yang berwarna kemerahan dan licin, mesokarp adalah serabut buah dan endoskarp yang menjadi cangkang pelindung inti. Inti sawit sering disebut kernel merupakan endosperma dan
embrio
dengan
kandungan
minyak
inti
yang
berkualitas
tinggi
(Ditjenbun Deptan 2006). Pohon kelapa sawit berbentuk silinder berdiameter
25-75 cm yang
tumbuh tegak lurus dari bonggol. Tingginya bisa mencapai 20-30 m. Namun ada
9
juga jenis tertentu yang mempunyai ketinggian hanya 2 m. Memiliki akar serabut yang mengarah ke samping dan bawah. Akar primer berdiameter 6-10 mm, akar sekunder berdiameter 2-4 mm, sedangkan akar tersier dan kuarter membentuk ikatan pada 30 cm lapisan atas tanah pada radius 1.5-2 m dari pokok sawit. Daun sawit mempunyai panjang antar 5 sampai 9 m dengan jumlah anakan daun sekitar 125-200 helai dan panjang 1.2 m. Umumnya jumlah daun yang tumbuh adalah 20-30 daun setiap tahun. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna hijau muda. Pada setiap ketiak daun akan tumbuh bunga, baik jantan, betina maupun banci tetapi tidak semua menjadi buah karena sebagian akan gugur. Letak bunga jantan dan betina terpisah meskipun masih pada satu pohon (monoecious diclin) dengan waktu matang berbeda sehingga jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan berbentuk lancip dan panjang sedangkan bunga betina lebih besar dan mekar.
Bunga betina terdiri dari ribuan bunga apabila mengalami
penyerbukan akan menjadi tandan dengan buah sekitar 500-2000 buah. Perkembangbiakan kelapa sawit secara generatif. Jika buah sawit telah matang maka embrionya akan berkecambah dan menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar atau radikula (Hartley 1967). Hasil dari kelapa sawit berupa minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan emulsifier, margarine, miyak goreng, minyak makan merah, shortening, susu kental manis, es krim, yogurt. Sementara manfaatnya di bidang non pangan sebagai senyawa ester, lilin, kosmetik,f armasi, biodiesel, pelumas, asam lemak sawit, fatty alkohol bahkan pada industri baja. Produk sampingan (limbah) berupa tandan kosong sawit digunakan untuk pulp dan kertas, kompos, karbon dan rayon; cangkangnya digunakan untuk bahan bakar dan karbon ; serat sawit sebagai medium density atau fibre board dan bahan bakar; pelepah dan batang sawit untuk funitur, pulp dan kertas juga pakan ternak; bungkil inti sawit sebagai bahan pakan ternak; dan sludge untuk bahan pakan ternak dan pupuk organik (www.FitAgri.com, diunduh 27 April 2008). Sejak tingginya harga minyak bumi dan maraknya isu penekanan emisi karbon dari bahan bakar fosil (fossilfuel) maka pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati (biofuels) semakin meningkat.
10
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika. Pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor dan sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit Deli Dura. Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh dengan luas areal mencapai 5 123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran (terkenal sebagai AVROS dan sekarang menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit) kemudian didirikan di Marihat Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya (sekarang Malaysia) pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1911.
Hingga
menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940. Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak
berhasil
meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaysia. Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat
sebagai
energi
alternatif
(www.id.wikipedia.org,
diunduh
27 April 2008). Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan isu lingkungan meningkat yaitu perubahan dari pemanfaat minyak bumi menjadi minyak nabati (biofuel) maka kebutuhan minyak sawit dunia semakin meningkat. Pertumbuhan rata-rata konsumsi sekitar 7.72 % pertahun lebih besar dibandingkan penggunaan
11
minyak nabati lainnya hanya sekitar 4.5 %. Luas areal perkebunan kelapa sawit secara nasional tahun 2006 mencapai 6 075 ribu ha (Gambar 2). Selama beberapa dekade
terakhir
produksi
minyak
sawit
nasional
meningkat
mencapai
14 691 ribu ton, menjadi Indonesia sebagai eksportir terbesar kedua. Tahun 2006, pengusahaan perkebunan kelapa sawit masih didominasi oleh perusahaan besar swasta (PBS) sebesar 45.1 %, diikuti perkebunan rakyat (PR) sebesar 43.4 % dan terakhir oleh perkebunan besar negara (PBN) sebesar 11.5%.
Kondisi ini
merupakan dampak dari pembukaan lahan baru, rehabilitasi kebun inti rakyat dan penciptaan iklim investasi yang cukup kondusif (Ditjebun Deptan 2006). Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit (10 3 ha)
7000 6 000 5 000 4 000 3 000 2 000 1000 0 1979 1980 1990 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
Gambar 2. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Tahun 1979-2006 (diolah dari data Ditjenbun Deptan , 2006) Perkebunan kelapa sawit sangat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi negara. Pada tahun 2005, devisa yang diperoleh dari ekspor produk kelapa sawit di Indonesia mencapai US $ 4 513 (Ditjenbun Deptan 2006). Dari segi daya saing kelapa sawit cukup menjanjikan dilihat dari produktivitasnya yang tinggi dan merupakan tanaman yang tahan terhadap berbagai kondisi agroklimat. Selain itu didorong juga oleh adanya era otonomi daerah yang sehingga daerah tersebut berusaha meningkatkan pemberdayaan sumber daerahnya dengan pembukaan lahan sebagai perkebunan kelapa sawit. Melihat hal tersebut maka perkebunan
12
kelapa sawit memiliki prospek untuk terus dikembangkan. Terus meningkatnya luasan perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun maka fungsinya secara ekologis menjadi penting (Gambar 2). Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO2 dari udara dan akan melepas O2 ke udara. Proses ini akan terus berlansung selama pertumbuhan dan perkembangannya masih berjalan. Umur kelapa sawit mencapai lebih dari 25 tahun dengan pengelolaan yang baik. Berdasarkan data Ditjenbun, perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu menyerap CO2 sebanyak 430 juta ton. Kondisi ini ditunjukkan pula dengan data penelitian dari IOPRI (Indonesia Oil Palm Research Institute) bahwa fiksasi CO2 adalah 25.71 ton/ha/tahun (Htut 2004). Penelitian oleh Tjitrosemito dan Mawardi (2001) mengemukakan kandungan karbon kelapa sawit pada umur 19 tahun sekitar 40.28 ton/ha. Jika dilihat dari hasil tersebut maka diduga perkebunan kelapa sawit berada pada lahan mineral yang subur. Hasil penelitian lainnya oleh Htut (2004) menyatakan kandungan karbon di Salim Indoplantation Riau adalah 1.66 ton/ha/tahun. Penelitian serupa di Malaysia yang dilkakukan oleh Henson (1999) mengemukakan bahwa karbon biomassa meningkat dengan peningkatan umur. Kondisi maksimum pada umur 19-24 tahun dengan kandungan karbon sebesar 27.168 ton setiap hektarnya. Variasi nilai yang diperoleh tersebut sesuai dengan luasan lokasi penelitian dan umur kelapa sawit. Namun, pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan dan konversi lahan gambut menjadi perkebunan terbukti melepaskan CO2 sebesar 20–55 ton/ha/tahun (Hooijer et al. 2006).
Oleh karena itu, jika dilakukan
pengembangan perkebunan di lahan gambut maka harus dengan pengelolaan yang tepat untuk mencegah terjadinya degradasi terhadap lahan gambut. 2.3 Lahan Gambut dan Fungsi Penyimpanan Karbon Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan.
Menurut Andriesse (1988), gambut
sebagai jaringan tanaman dan organisme mati lainnya yang sebagian terkarbonisasi melalui suatu proses dekomposisi dalam keadaan basah.
13
Sementara petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya (Noor 2001). Beberapa peneliti lain dari berbagai negara mendefinisikan gambut atau umumnya disebut peat dengan berbagai nama. Peneliti dari Amerika utara Mitsch dan Gosselink (1993) menyebutnya fen, di Kanada menggunakan istilah musked, di Irlandia, Rusia dan Amerika disebut bog, di Finlandia disebut mire dan moor dikenal di Jerman.
Dengan timbulnya perbedaan tersebut maka memberikan
panduan dalam sistem taksonomi tanah.
Dalam kunci taksonomi tanah
(Soil Survey Staff 1999) maka gambut dikelaskan Order Histosol.
Gambut
merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut : 1)
Jenuh air < 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan mengandung > 20 % karbon organik, atau
2)
Jenuh air selama > 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan, tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai kandungan karbon organik sebesar : a)
18 % atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 % atau lebih, atau
b)
12 % atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau
c)
12 % atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya mengandung < 60 % liat.
Pada umumnya gambut terbentuk di daerah basah, beraerasi yang buruk, seperti di daerah danau-danau yang dangkal, kolam, rawa dan daerah berlumpur dan hasil akhir dari eutrofikasi alamiah. Eutrofikasi adalah proses yang terjadi di daerah danau dangkal dan kolam yang terjadi pengkayaan unsur-unsur hara kemudian terisi oleh tanaman dan sisa bahan tanaman.
Sisa-sisa tanaman
terakumulasi di dasar danau yang dangkal dan kolam yang beraerasi dan berdrainase buruk sehingga perombakan terjadi tidak berjalan sempurna Proses permulaan sehingga terbentuknya gambut dinamakan paludisasi , yaitu proses geogenik (bukan pedogenik), yang dalam hal ini berupa akumulasi bahan organik mencapai ketebalan lebih dari 40 cm. Pada keadaan akumulasi bahan organik tersebut dapat dianggap suatu proses pembentukan bahan induk tanah gambut.
14
Proses pembentukan dan perkembangan tanah gambut selanjutnya bahan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; kelembaban, susunan bahan organik, kemasaman, aktivitas jasad renik dan waktu (Hardjowigeno 1993). Hidrologi pada lahan gambut sangat berperan penting. Awal terbentuknya gambut tropik karena berada pada daerah yang selalu tergenang.
Kondisi
hidrologi pada lahan gambut merupakan fungsi dari : (i) keseimbangan antara air masuk dan air keluar, (ii) topografi tanah mineral yang menopang endapan gambut, dan (iii) keadaan musim yang dapat berpengaruh terhadap fluktuasi permukaan air genangan (Mitsch and Gosselink 1993). Apabila tidak terdapat kondisi anaerob yang menyebabkan lambatnya dekomposisi bahan organik maka tidak akan terbentuk gambut. Berdasarkan tempat akumulasinya maka gambut dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu pertama, gambut diendapkan pada daerah cekungan, yaitu di atas tanah tua (Pleistocene terrace) yang berkembang karena pengaruh air hujan atau air tawar dari sungai (ekosistem air tawar). Kedua, gambut pada daerah depresi (tanah alluvial) yang berkembang dalam pengaruh marin (ekosistem marin).
Ketiga, gambut yang diendapkan pada daerah di bawah
pengaruh antara lingkungan air tawar dan marin (ekosistem payau). Perbedaan tersebut mempengaruhi ketebalan gambut. Jika terdapat di ekosistem air tawar umumnya ketebalan gambut lebih dari 3 m. Sedangkan pada daerah payau atau marin mempunyai ketebalan kurang dari 3 m. Ketebalan gambut dalam suatu bentang lahan tidak menunjukkan permukaan datar. Berdasarkan pengukuran H. Idak, perbedaan tinggi antara permukaan bagian tengah dengan permukaan bagian tepinya sebesar 2.5 m (Sabiham 2006). Umumnya topografi lahan gambut memang membentuk kubah (dome). Peningkatan ketebalan menuju kubah kurang 1 m setiap jarak 1 m. Contohnya, penampang melintang antara sungai Sebangau dan Sungai Bulan di Kalimantan Tengah sepanjang 24.5 km serta puncak kubah berjarak 16.5 m. Peningkatan ketebalan mencapai 4 m pada jarak 1–3 km dari pinggir Sungai Sebangau dengan ketinggian mencapai 4 m di atas permukaan sungai. Wilayah transisi dari hutan rawa campuran ke hutan tiang, pada jarak 3–6 km mempunyai
15
ketebalan yang meningkat seiring peningkatan ketinggian permukaan dari sungai antara 6.25–9 m. Pada jarak 6–11 km yang merupakan wilayah hutan maka ketebalan gambut meningkat mencapai 10 m (Noor 2001) Luasan gambut di Indonesia adalah terluas di daerah tropik. Bahan gambut tropika berasal dari akumulasi pepohonan dari hutan tropik sehingga sangat sulit untuk didekompisisi mengakibatkan gambut yang terbentuk menjadi sangat tebal. Neuzil dalam Noor (2001) menyatakan bahwa laju penimbunan gambut dikawasan tropik lebih cepat 3 – 6 kali dibandingkan dengan gambut di kawasan subtropik. Adapun unsur utama yang menjadi komposisi bahan organik yaitu C, H dan O. Suhardjo dan Widjaja Adhi (1976 dalam Noor 2001) melaporkan bahwa kandungan C organik gambut meningkat setiap peningkatan ketebalan. Pada gambut yang sangat dalam (>3 m) mengandung C organik sebesar 54.11 %, sedangkan gambut dangkal (0.5–1 m) mengandung C organik sebesar 49.80 %. Gambut Kalimantan Tengah berkisar antara 53.1–57.8 % (Salampak 1999). Apabila terjadi dekomposisi bahan organik tersebut maka akan melepaskan CO2 dan H2O. Selama ribuan tahun lahan gambut telah berperan penting untuk menjaga iklim global terutama pada era holosin. Pada ekosistem lahan gambut tropika terjadi siklus C. Sekitar 50 % total C akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam proses fotosintesis. Sisa tanaman yang mati akan terdekomposisi kembali ke dalam sistem tanah menjadi sumber hara dan sebagian akan teremisi ke atmosfer dalam bentuk CO2. Dalam kondisi normal siklus ini selalu membentuk keseimbangan karbon di biosfer. Kemampuan gambut yang besar dalam pemendaman karbon akan sangat efektif untuk mengatasi laju emisi karbon. Menurut Gorham (1991), fraksi karbon di lahan gambut tropika mencapai 528 000 Mt. Wojick (1999) menyatakan C sequentration di lahan gambut dan lahan basah lainnya antara 0.1–0.7 Gt. Simpanan C bisa mencapai 70 Gt sedangkan kapasitas simpanan C mencapai
240-480
Gt
atau
sekitar
20
%
dari
total
secara
global
(Rieley et al. 1997b). Hasil penelitian cadangan karbon yang dilakukan pada gambut dalam di Malaysia oleh Melling et al (2008) yaitu sebesar 3 771 ton C/ha. Besarnya C yang terkandung pada lahan gambut menjadikannya sebagai sumber (source) dan penyimpan (sink) karbon teresterial terbesar.