2. Tinjauan Pustaka
2.1 Polimer Polimer dapat didefinisikan sebagai molekul besar (makromolekul) yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Berdasarkan proses pembentukannya, ada dua macam polimer yaitu polimer alam dan polimer sintetik[1]. Salah satu jenis polimer alam adalah poli(3-hidroksibutirat) dan contoh dari polimer sintetik adalah polistiren. Panjang rantai dari polimer terukur dari jumlah unit ulang yang terdapat pada rantai, biasanya dikenal sebagai derajat polimerisasi dan ditulis DPn. Panjang rantai dari suatu polimer dapat berbeda-beda. Ini terjadi karena perbedaan pertumbuhan dari rantai selama reaksi polimerisasi. Oleh karena itu, berat molekul suatu polimer tidak dapat ditentukan secara pasti seperti molekul biasa. Berat molekul dari polimer biasanya diambil berdasarkan berat molekul rata-rata berat ( M w ) atau berat molekul rata-rata jumlah ( M n ). Berat molekul dari polimer akan sangat mempengaruhi sifat-sifat polimer[8]. Distribusi berat molekul merupakan satu karakteristik polimer yang penting karena seperti juga berat molekul, distribusi berat molekul sangat mempengaruhi sifat-sifat polimer. Polistiren dengan berat molekul rendah memperlihatkan sifat-sifat yang berbeda dengan polistiren dengan berat molekul tinggi, dan suatu sampel polistiren yang memiliki daerah berat molekul yang sempit akan memiliki sifat-sifat yang berbeda dari polistiren yang memiliki daerah berat molekul yang lebar, meskipun berat molekul rata-rata dari kedua sampel tersebut sama. Polimer dengan distribusi berat molekul lebar sering disebut sebagai polimer dengan polidispersitas yang tinggi[9]. Pengaturan rantai dari suatu polimer dapat teratur atau acak. Polimer yang susunan rantainya teratur satu sama lain disebabkan oleh adanya ikatan antar rantai yang kuat dan dikenal sebagai polimer kristalin. Sedangkan polimer yang susunan rantainya acak sebagai akibat tidak ada interaksi antar rantai yang cukup kuat dikenal sebagai polimer amorf, fasa amorf dan kristalin dari polimer dapat dilihat pada Gambar 2.1. Biasanya polimer yang terbentuk memiliki struktur semikristalin, dan nilai kristalinitas dari polimer tersebut biasanya dapat ditentukan dengan menggunakan analisis difraksi sinar-X[1]. Kristalinitas polimer akan sangat menentukan sifat polimer, polimer dengan jenis yang sama jika yang satu bersifat
kritalin sedangkan yang lainnya bersifat amorf maka sifat yang dimiliki kedua polimer tersebut akan sangat berbeda. Bagian Kristalin
Bagian Amorf
Gambar 2.1 Struktur Polimer
2.2 Polistiren Polistiren merupakan jenis polimer vinil yang terbuat dari monomer stiren. Stiren pertama kali diisolasi oleh Newman melalui distilasi minyak Amber yang mengandung asam sinamat, pembentukan stiren terjadi melalui reaksi dekarboksilasi. Pada tahun 1831, M Bonastre berhasil mengekstrak stiren dari minyak balsem. Polistiren dikembangkan secara komersial pertama kali pada tahun 1930 oleh suatu perusahaan dari Jerman yang bernama I.G. Farben yang dipelopori oleh Katz[1]. Berdasarkan reaksi polimerisasinya, polistiren digolongkan sebagai polimer adisi. Pada saat reaksi polimerisasi, stiren yang mempunyai ikatan rangkap C=C akan mengalami adisi menjadi ikatan tunggal C–C. Reaksi polimerisasinya secara umum adalah:
inisiator
X HC
CH2
Stiren
2.2.1
HC
CH 2
X
Polistiren
Struktur dan Morfologi Polistiren
Dari reaksi polimerisasi stiren, dapat dilihat struktur rantai polistiren. Gugus fenil dari polistiren merupakan gugus yang relatif besar ukurannya bila dibandingkan terhadap rantai utama. Adanya gugus fenil tersebut mengakibatkan molekul polistiren sulit tersusun secara 4
kompak. Oleh karena itu polistiren pada umumnya memiliki struktur yang amorf sehingga tidak mempunyai nilai Tm (temperatur pelelehan)[2]. Berdasarkan kedudukan gugus fenil pada bidang rantai, terdapat tiga jenis polistiren, yaitu: 1.
Polistiren isotaktik, yaitu bila semua gugus fenil berada pada posisi satu arah relatif terhadap rantai utama.
2.
Polistiren sindiotaktik, yaitu bila posisi gugus fenil tersusun secara bergantian arahnya relatif terhadap rantai utama
3.
Polistiren ataktik, yaitu bila semua gugus fenil tersusun secara acak arahnya relatif terhadap rantai utama.
Ketiga jenis taksisitas dari polistiren dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Taktisitas Polimer Polistiren yang diproduksi secara komersial adalah polistiren tipe ataktik. Polistiren ataktik lebih mudah diproduksi daripada jenis isotaktik dan sindiotaktik[8]. Produksi polistiren isotaktik dan sindiotaktik lebih mahal dari jenis polimer lainnya dan polimer tersebut mempunyai beberapa keunggulan bila dibandingkan polimer yang ataktik. Polistiren sindiotaktik dan isotaktik memiliki kristalinitas yang tinggi sehingga lebih kuat dan tahan terhadap panas dan zat-zat kimia[2].
5
2.2.2
Sifat dan Aplikasi Polistiren
Polistiren termasuk polimer termoplastik sehingga mudah diproses, akan tetapi kekurangannya polistiren bersifat getas[10]. Polistiren yang biasa ada di pasaran adalah polistiren ataktik. Polistiren tipe ini biasa digunakan untuk peralatan rumah tangga, peralatan listrik, mainan anak-anak, kemasan dan lain-lain[5]. Bila kita melihat pada Gambar 2.2, maka kita dapat membandingkan polistiren ataktik yang tidak teratur dengan polistiren sindiotaktik atau isotaktik yang teratur. Rantai polistiren sindiotaktik dan isotaktik memiliki keteraturan rantai yang tinggi sehingga mempunyai kristalinitas tinggi, lebih kuat dan lebih tahan terhadap panas dan zat kimia.
2.2.3
Sintesis Polistiren
Polistiren termasuk jenis polimer adisi. Salah satu reaksi polimerisasi untuk pembentukan polistiren adalah reaksi polimerisasi radikal. Polimer adisi dapat dikenali dari unit ulangnya yang selalu mirip dengan monomer yang dipakai untuk membuat polimer. Untuk polistiren, monomernya adalah stiren. Untuk reaksi polimerisasi secara radikal, polimerisasi berlangsung dengan suatu inisiator yang dapat menghasilkan radikal bebas, seperti benzoil peroksida (BPO), DCP dan lain-lain. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:
6
Polimer hasil polimerisasi radikal merupakan polistiren ataktik, karena reaksi polimerisasi radikal tidak dapat dikontrol. Polistiren hasil polimerisasi radikal bersifat amorf.
2.3 Polihidroksibutirat (PHB) Polihidroksibutirat (PHB) pertama kali ditemukan oleh Lemoigne. Pada tahun 1982 perusahan kimia di Inggris, Imperial Chemical Industry (ICI), mulai memproduksi PHB secara komersial dengan menggunakan bakteri Alcaligenes eutrophus yang ditumbuhkan dalam
glukosa. Bakteri A. eutrophus mampu berkembang biak dalam media yang mengandung mineral sederhana, gas hidrogen, CO2 dan O2. Beberapa bakteri A. eutrophus mampu memproduksi PHB dari lingkungan yang mengandung gas H2 dan CO2, yang kemudian akan dipergunakan sebagai sumber energi saat bakteri tersebut kekurangan sumber karbon[7]. PHB termasuk polimer jenis poliester termoplastik yang dapat terdegradasi oleh mikroorganisme. Berbagai macam organisme prokariotik dapat mensintesis PHB, termasuk beberapa bakteri heterotrop dan autotrop, bakteri anaerobik,
actynomycetes sp,
cyanobacteria, dan lain-lain. PHB berperan sebagai sumber karbon dan energi cadangan yang terakumulasi sebagai granula interselular dan berperan penting pada sitoplasma dan dinding sel[11].
7
2.3.1
Struktur dan Biosintesis PHB
Struktur dari polihidroksibutirat adalah sebagai berikut: CH3 HC
O CH2
C
O
n
PHB
Terdapat dua jenis PHB yaitu PHB hasil dari biosintesis dan PHB hasil dari sintesis secara kimia. Bakteri akan mensintesis polihidroksibutirat saat bakteri tersebut dibiakkan dalam media yang kaya sumber karbon tetapi kekurangan salah satu unsur esensial seperti nitrogen ataupun fosfor. Pada keadaan tersebut PHB akan disintesis sebagai cadangan sumber karbon yang sewaktu-waktu akan digunakan oleh bakteri tersebut saat tidak ada sumber karbon[10]. PHB dijadikan sebagai sumber karbon untuk kebutuhan perkembangbiakan bakteri tersebut. Berikut ini adalah jalur biosintesis PHB:
Gambar 2.3 Biosintesis Polihidroksibutirat Biosintesis P(3HB) berlangsung dalam 3 tahap reaksi enzimatik, yaitu 3-ketothiolase mengkatalisis reaksi kondensasi dari 2 molekul asetil coenzim A (CoA) membentuk asetoasetil-CoA, kemudian asetoasetil-CoA direduksi oleh asetoasetil-CoA reduktase menjadi 3-hidroksibutiril CoA dan selanjutnya terbentuk polihidroksibutirat lewat polimerisasi (R)-3-hidroksibutiril-CoA dengan P(3HB) polymerase (synthetase)[12]. Perbedaan cara produksi menghasilkan produk yang mempunyai sifat yang berbeda pula. PHB dari hasil biosintesis mempunyai struktur rantai yang isotaktik dengan 100% konfigurasi R[7] dimana semua atom C yang mengikat gugus metil mempunyai putaran optis ke arah kanan. Karena strukturnya yang sangat teratur membuat polihidroksibutirat memiliki kristalinitas yang sangat tinggi. Berbeda dengan PHB yang dihasilkan dari sintesis secara 8
kimia, dimana tidak pernah dihasilkan PHB yang 100% isotaktik R. Struktur dari PHB yang dihasilkan tergantung dari beberapa faktor seperti jenis katalis yang digunakan, jenis dan kemurnian monomer, serta kondisi polimerisasi.
2.3.2
Sifat dan Aplikasi PHB
PHB yang berasal dari biosintesis dapat terdegradasi sepenuhnya oleh mikroorganisme. Kristalinitas yang tinggi menyebabkan PHB biosintesis mempunyai ketahanan cukup tinggi terhadap pelarut. PHB yang diproduksi melalui biosintesis dalam bakteri merupakan PHB murni yang memiliki berat molekul antara 350.000 – 400.000. Titik leleh dari PHB biosintesis dapat mencapai 173-180 °C dengan temperatur transisi gelas 5 - 9 °C[7]. Karena kristalinitasnya sangat tinggi menyebabkan polihidroksibutirat memiliki sifat mekanik yang rendah dan mudah patah. Sedangkan PHB hasil sintesis secara kimia, pada umumnya mempunyai sifat fisik yang lebih rendah dari PHB biosintesis. Polihidrokbutirat merupakan polimer termoplastik yang bersifat biodegradable dan biocompatible, sehingga cocok untuk aplikasi dalam biomedis. Contoh penggunaan di bidang biomedis antara lain; organ buatan (artificial organ), pelepasan obat terkontrol (controlled drug delivery) dan alat-alat biomedis (bone plate dan screw)[12].
2.4 Benzoil Peroksida Benzoil peroksida adalah salah satu jenis senyawa peroksida yang biasa digunakan sebagai inisiator dalam polimerisasi secara radikal. Benzoil peroksida digunakan juga sebagai katalis dalam reaksi oksidasi dan sulfonasi. Selain itu benzoil peroksida digunakan untuk pemutih, disinfektan, pengering, dan agen pembersih[2]. Struktur molekul dari benzoil peroksida adalah sebagai berikut: O O O O
Benzoil peroksida mempunyai dua gugus fenil yang terhubung oleh rantai peroksida, seperti terlihat di atas. Benzoil peroksida merupakan sumber radikal bebas yang kuat. Waktu paruhnya 10 jam (untuk 73 ºC), 1 jam (untuk 92 ºC), dan 1 menit (untuk 131 ºC). Jika benzoil peroksida dipanaskan melebihi suhu lelehnya maka benzoil peroksida akan terdekomposisi dengan cepat, sehingga terjadi pembakaran dan bahaya ledakan[13].
9
2.5 Kopolimer Reaksi polimerisasi adisi pada umumnya menggunakan satu jenis monomer dan hasil reaksinya dikenal sebagai polimer atau homopolimer. Bila reaksi polimerisasi tersebut menggunakan lebih dari satu jenis monomer, maka reaksi disebut kopolimerisasi dan hasil reaksinya disebut kopolimer. Jika monomer A dan B dipolimerisasi bersama, maka ada empat jenis susunan komonomer yang mungkin terbentuk dalam struktur polimer tersebut. Jika dua unit monomer terikat berselang-seling dalam rantai polimer, maka produknya disebut kopolimer alterasi, sedangkan jika distribusinya acak maka dikenal sebagai kopolimer acak. Susunan unit ulang yang ketiga adalah jika terbentuk blok A dan blok B bersama, disebut sebagai kopolimer blok. Jika satu unit ulang tercangkok dengan rantai utama hanya mengandung satu macam kesatuan berulang, maka kopolimer ini disebut kopolimer cangkok[1]. Keempat jenis kopolimer tersebut dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2.4. –A–B–A–B–A–B–A–B– –A–A–A–B–A–B–A–A– –A–A–A–A–B–B–B–B– –A–A–A–A–A–A–A–A–
Kopolimer Alterasi Kopolimer Acak Kopolimer Blok Kopolimer Cangkok
B B–B–B–B Gambar 2.4 Jenis-jenis Kopolimer Seperti halnya polimerisasi biasa, mekanisme kopolimerisasi dapat berlangsung melalui reaksi radikal bebas, penggunaan inisiator ionik (kopolimerisasi anionik atau kationik) dan kopolimerisasi dengan menggunakan katalis koordinasi seperti katalis Ziegler-Natta[15]. Mekanisme kopolimerisasi melalui reaksi radikal bebas pertama kali digambarkan oleh Dostal pada tahun 1936[9]. Dostal mengasumsikan bahwa kecepatan pertumbuhan rantai radikal hanya bergantung pada jenis gugus ujung radikal. Jika terdapat dua jenis monomer M1 dan M2
yang merupakan sumber radikal M1. dan M2., maka terdapat empat cara
penambahan monomer dalam suatu rantai polimer yaitu: Reaksi
Laju reaksi
M 1 . + M1 Æ M 1 .
k11[M1.] [M1]
M 1 . + M2 Æ M 2 .
k12[M1.] [M2]
M 2 . + M1 Æ M 1 .
k21[M2.] [M1]
10
M 1 . + M2 Æ M 2 .
k22[M1.] [M2]
Dalam keadaan steady-state, diasumsikan bahwa: k12[M1.] [M2] = k21[M2.] [M1]
........................................................................... (2.1)
Laju pengurangan kedua monomer adalah sebagai berikut:
−
d [M 1 ] = k 11 [M 1 ⋅][M 1 ] + k 21 [M 2 ⋅][M 1 ] dt
................................................. (2.2)
−
d [M 2 ] = k 12 [M 1 ⋅][M 2 ] + k 22 [M 2 ⋅][M 2 ] dt
................................................. (2.3)
Jika r1 = k11/ k12 dan r2 = k22/ k21, kombinasi kedua persamaan laju pengurangan monomer di atas adalah:
d [M 1 ] [M 1 ] r1 [M 1 ] + [M 2 ] = d [M 2 ] [M 2 ] [M 1 ] + r2 [M 1 ]
................................................. (2.4)
Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan kopolimerisasi. Dengan r merupakan rasio antara laju penambahan radikal monomer pada monomer sejenis terhadap laju penambahan radikal monomer pada monomer tak sejenis. Jika r > 1 maka radikal monomer lebih memilih untuk bereaksi dengan monomer sejenis. Tetapi jika r < 1, maka fenomena yang terjadi adalah sebaliknya. Kopolimerisasi dikatakan ideal jika r1 = 1/r2 atau r1r2 = 1. Dalam hal ini, kedua jenis radikal memiliki kecenderungan yang sama untuk bereaksi dengan kedua jenis monomer. Jenis kopolimerisasi ini biasanya menghasilkan kopolimer acak. Kopolimerisasi alterasi terjadi jika: r1 = r2 = 0 dan d[M1]/d[M2] = 1, hal ini terjadi ketika jenis radikal monomer tidak bereaksi dengan monomer sejenis. Jika r = ∼, maka yang terbentuk adalah homopolimer sedangkan kopolimer tidak terbentuk[1].
2.6 Karakterisasi Polimer Tujuan dari karakterisasi polimer adalah untuk mendapatkan informasi mengenai sifat-sifat dari polimer, baik sifat fisik maupun kimia. Untuk menganalisis gugus fungsi digunakan peralatan Fourier Transform Infra Red (FTIR), penentuan berat molekul dari polimer dengan GPC (Gel Permeation Chromatography), analisis sifat termal menggunakan peralatan Differential Thermal Analysis (DTA) dan Thermo Gravimetry Analysis (TGA), kekuatan mekanik menggunakan alat uji mekanik, dan derajat kristalinitas menggunakan alat difraksi sinar-X.
11
2.6.1
Analisis Gugus Fungsi
Analisis dengan menggunakan spektroskopi infra merah didasarkan pada ikatan kimia yang mempunyai frekuensi yang spesifik dimana ikatan tersebut bervibrasi sesuai energi yang dimiliki. Supaya aktif terhadap IR, maka molekul harus mengalami perubahan dipol. Setiap ikatan kimia mempunyai frekuensi vibrasi yang khas sehingga kita dapat membedakan ikatan-ikatan yang ada pada suatu molekul dari frekuensi vibrasinya. Terdapat enam macam vibrasi yaitu stretching simetris dan asimetris, scissoring, rocking, wagging dan twisting[14]. Untuk menganalisis suatu sampel, sinar infra merah dipandu oleh interferometer kemudian dilewatkan melalui sampel sehingga muncul sinyal pada interferogram. Dengan menggunakan operasi matematis tranformasi Fourier, maka akan diperoleh kurva spektrum FTIR. Dengan menganalisis kurva tersebut maka dapat diperoleh informasi mengenai ikatan apa saja yang terdapat pada molekul yang dianalisis. Untuk analisis secara kualitatif, spektroskopi infra merah dapat digunakan untuk mengetahui struktur dari suatu polimer dengan cara membandingan dengan spektrum yang diperoleh dari literatur. Sedangkan untuk analisis secara kuantitatif, besarnya intensitas serapan dapat menunjukkan kekuatan interaksi antara sinar inframerah dengan vibrasi molekul tersebut.
2.6.2
Analisis Berat Molekul
Gel Permeation Chromatography (GPC) merupakan metode yang digunakan untuk menentukan distribusi berat molekul. Sebagai suatu teknik kromatografi kolom, pemisahan dikerjakan dalam suatu kolom yang diisi dengan bahan (resin) yang memiliki porositas, yang berfungsi untuk memisahkan molekul-molekul polimer menurut ukurannya. Resin yang digunakan pada umumnya merupakan butiran-butiran halus setengah lunak dari polistiren yang berikatan dengan divinilbenzena. Molekul-molekul yang berukuran kecil akan terpenetrasi ke dalam pori resin sehingga lambat melewati kolom. Sebaliknya, molekul yang ukurannya lebih besar akan terelusi lebih cepat dan keluar lebih dulu[1], [8], [9]. Deteksi fraksi-fraksi polimer dalam pengelusi umum dikerjakan oleh detektor indeks refraktif atau spektroskopik (UV dan IR). Instrumen-instrumen yang tersedia dalam rangkaian GPC, yaitu penginjeksian sampel dan pengumpulan fraksi secara otomatis, pengaliran larutan yang cepat dilakukan oleh pompa bertekanan tinggi, dan pengolahan data dibantu komputer. Masalah utama penggunaan GPC adalah penggunaan molekul standar yang relatif mahal, contohnya polistiren. Polistiren memiliki polidispersitas mendekati satu tersedia dalam daerah berat molekul yang luas (600 – 2,5 juta), merupakan polimer yang paling sering 12
digunakan sebagai standar. Penggunaan molekul referensi lain dapat menyebabkan kesalahan perhitungan berat molekul dan untuk menghindari kesulitan ini digunakan metode kalibrasi universal. Kalibrasi universal didasarkan atas observasi-observasi viskositas (bilangan viskositas pembatas) dan berat molekul tidak bergantung pada tipe polimer. Bilangan pembatas viskositas ini adalah [η]M yang merupakan parameter kalibrasi universal. Beberapa polimer yang memiliki viskositas pembatas ini adalah polistiren linier, polistiren sisir, polistiren bintang, poli(metilmetakrilat), poli(vinilklorida), poli(viniloksan), polibutadiena dan kopolimer cangkok stirena-metilmetakrilat. Aluran nilai log ([η]M) polimer-polimer ini terhadap volume elusi dengan tetrahidrofuran (THF) sebagai pelarut, merupakan kurva tunggal yang berbentuk linier. Kurva kalibrasi yang didapat kemudian dipakai untuk penentuan massa molekul relatif rata-rata jumlah ( M n ) dan massa molekul relatif rata-rata berat ( M w ) suatu polimer. Indeks polidispersitas (I) merupakan parameter yang menyatakan distribusi berat molekul suatu polimer. Indeks polidispersitas (I) dinyatakan sebagai rasio antara molekul relatif ratarata berat terhadap massa molekul relatif rata-rata jumlah ( I = M w / M n )[1]. i
Mn =
∑ Ni M i i =1
i
∑N i =1
i
i
∑ Hi = H ∑ Mi i
Mw =
∑N M i =1 i
i
2 i
∑N M i =1
i
= i
∑H M ∑H i
i
.................................... (2.5)
i
M n adalah massa molekul relatif rata-rata jumlah, M w adalah massa molekul relatif ratarata berat, Ni adalah jumlah molekul yang mempunyai DP = i. Dalam kromatogram, Ni diasumsikan sebagai perbandingan tinggi puncak kromatogram terhadap berat molekul polimer.
2.6.3
Analisis Termal
Untuk analisis termal pada umumnya ada tiga teknik analisis yaitu Differential Scanning Calorimetry (DSC), Differential Thermal Analysis (DTA) dan Thermo Gravimetry Analysis (TGA). Prinsip dasar dari TGA adalah pengukuran berat dari sampel sebagai fungsi dari suhu. Banyak perubahan termal pada material yang tidak melibatkan perubahan berat. Pada DTA, pengukuran ditekankan pada perbedaan suhu antara sampel dan reference sebagai fungsi suhu. Ketika sampel mengalami perubahan fisik atau kimia maka, kenaikan temperatur antara sampel dan reference akan berbeda sehingga akan muncul puncak pada
13
sinyal DTA. DTA/TGA digunakan untuk pengukuran sifat fisika dan kimia sebagai fungsi suhu. TGA (Thermo Gravimetric Analysis), merekam perubahan berat (ΔW) sebagai fungsi suhu (T) atau waktu (t), faktor yang mempengaruhi pengukuran TGA, yaitu: laju pemanasan, ukuran partikel padatan dan lingkungan atmosfer. DTA (Differential Thermal Analysis), mengukur cuplikan dan material inert sebagai fungsi T (mengukur perubahan kandungan panas)[15]. Analisis termal material padatan dengan menggunakan DTA lebih disukai dibandingkan analisis dengan TGA, karena analisis dengan TGA hanya mengukur perubahan berat material saja. Sedangkan dengan DTA dapat juga mendeteksi transisi polimorfik yang terjadi selama perubahan panas berlangsung[15].
2.6.4
Analisis Uji Mekanik
Analisis uji mekanik bertujuan untuk mengetahui sifat mekanik dari suatu zat. Alat yang biasa digunakan adalah autograf. Parameter yang biasa digunakan untuk analisis ini adalah kekuatan tarik (tensile strength), regangan putus (elongation at break), dan Modulus Young. Kekuatan tarik menggambarkan kekuatan akhir dari polimer saat polimer tersebut putus. Nilai kekuatan tarik dapat diperoleh dari rumus berikut:
σ= Dengan;
F .............................................................. (2.6) A
σ = kekuatan tarik (Mpa) F = beban pada saat putus (Kgf) A = luas penampang (mm2)
Regangan menggambarkan perpanjangan dari suatu zat ketika diberi beban sampai mengalami pemutusan. Rumus yang digunakan adalah:
ε= Dengan;
(l − l0 ) ×100% ..................................................... (2.7) l0
ε = % regangan l = panjang akhir (mm) l0 = panjang awal (mm)
Modulus Young merupakan ukuran kekakuan dari suatu material. Nilai modulus Young diperoleh dari rumus berikut:
E=
σ .............................................................. (2.8) ε 14
Dengan;
E = modulus Young (MPa) ε = % regangan σ = kekuatan tarik (Mpa)
2.6.5
Analisis Kristalinitas
Metode difraksi sinar-X merupakan alat yang digunakan untuk memeriksa keteraturan atom atau molekul melalui interaksi radiasi elektromagnet yang menghasilkan efek interferensi. Jika strukturnya teratur maka interferensinya akan tajam sehingga radiasi akan terhambur atau terdifraksi. Pengetahuan tentang ini akan memberikan informasi mengenai geometri dari struktur bahan yang terdifraksi. Bila suatu sampel dikenai sinar-X maka dapat diamati dua jenis hamburan[2],[15], yaitu: 1.
Jika atom-atom tersusun secara teratur maka sinar-X akan dihamburkan secara koheren. Pada proses ini tidak terjadi perubahan panjang gelombang atau fasa antara sinar-sinar yang datang dengan sinar yang dihamburkan.
2.
Jika atom-atom tidak tersusun secara teratur maka sinar-X akan dihamburkan secara tidak koheren. Pada proses ini terjadi perubahan panjang gelombang dan perubahan fasa antara sinar yang datang dan yang dihamburkan.
Derajat kristalinitas dari polimer dapat ditentukan dari kurva difraksi sinar-X. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan membandingkan luas kurva fasa kristalin terhadap luas kurva keseluruhan. Rumus yang digunakan untuk menentukan derajat kristalinitas adalah:
%X = Dengan, %X
I kristalin × 100 I kristalin + Iamorf
................................................. (2.9)
= derajat kristalinitas
Ikristalin = intensitas fasa kristalin Iamorf
= intensitas fasa amorf
Fasa kristalin pada difraktogram dinyatakan sebagai luas puncak yang relatif tajam dengan intensitas yang kuat, sedangkan fasa amorf dinyatakan dengan daerah di bawah puncak yang landai dan memiliki intensitas puncak yang kecil[2].
15