2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Penyakit Deman Berdarah Dengue Penyakit Demam Berdarah (DB) dan Deman Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk A. aegypti dan A. albopictus (Gubler 1998). Deman dengue sudah dikenal sejak abad 18 terutama di daerah tropis dan sub tropis. Penyakit ini ditemukan pertama kali di Manila (Filipina) pada tahun 1950 dan meluas ke beberapa negara di Asia Tenggara. Di Thailand terjadi pada tahun 1958, kemudian masuk ke India pada tahun 1963, di Indonesia tahun 1969, Myanmar pada tahun 1970, tahun 1971 penyakit ini meluas ke Pasifik Barat seperti Melanesia, Polinesia dan Papua Nugini pada tahun 1972-1973 (Prasittisuk et al. 1998). Kasus DBD mewabah di Indonesia pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada tahun 2011, tercatat kasus penyakit deman berdarah terjadi di seluruh Indonesia berjumlah 49.868 kasus (IR 21 per 100.000 penduduk), menurun cukup jauh (66,43%) jika dibandingkan dengan kejadian pada tahun 2010 di mana terdapat 148.560 kasus (IR 62.5 per 100.000 penduduk). Sementara untuk angka kematian (CFR) akibat penyakit DBD hanya terdapat sedikit penurunan, yaitu di tahun 2010 sebesar 0,87% dan di tahun 2011 sebesar 0,80% (Kemeskes 2012). Kasus DBD tertinggi terjadi di propinsi Jawa Timur (3.152 kasus), di ikuti propinsi Jawa Tengah (2.345 kasus), Sumatera Utara, DKI Jakarta dan Bali, dengan angka kesakitan (IR) terjadi di propinsi Bali (56,16), di ikuti propinsi DI Aceh (31,90), DKI Jakarta, DI Yogyakata dan Sumatera Utara (Gambar 1). Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk famili genus Flavivirus (famili Flaviviridea) dimana sekitar 70 jenis virus termasuk di dalamnya. Lebih dari 50% Flavivirus berhubungan dengan penyakit manusia dan beberapa diantaranya sangat penting antara lain virus dengue (DEN) type 1-4, virus yellow fever (YF), virus japanese encephalitis (JE) dan virus tick borne encephalitis (TBE). Virus dengue dewasa terdiri dari genom single standard RNA yang dikelilingi oleh suatu ikosahedral atau isometrik nukleokapsid dengan diameter sekitar 30 nm. Nukleokapsid diselubungi oleh sebuah selubung lemak
3, 1
52
3,500
45
2,500
49 1, 4
19
2,000
1, 9
1, 9
54
2, 0
66
2, 3
1,500
1,000
GORONTALO
12
18
BABEL
19
39
KALSEL
SULTRA
42
KALBAR
98
45
KALTENG
RIAU
JAMBI
13 8
14 5
SULUT
BENGKULU
17 1
19 8
SULTENG
20 3
N.T.B
N.T.T.
D.I. YOGYA
D.I. ACEH
BALI
DKI JKT
SUMUT
JATENG
JATIM
-
KALTIM
SULSEL
32 7
37 3
SUMBAR
500
35 3
47 8
42 5
BANTEN
LAMPUNG
49 5
66 0
JUMLAH KASUS DBD
3,000
PROVINSI
(a)
ANGKA KESAKITAN (IR)
60
. 56
16
50 40 . 31
90
30 . 23
18 . 19
20
14 . 15
88 . 10
16
10
8.9
6
8.7
0
8.3
2
7.7
8
7.1
4
7.1
3
6.8
6
6.1
2
5.9
0
5.3
2
4.8
9 3.3
0
2.5
4
2.1
7
1.6
3
1.3
1
1.0
3
0.9
9
0.9
1
SULTRA
KALBAR
KALSEL
GORONTALO
BABEL
KALTENG
RIAU
JAMBI
SULSEL
BANTEN
KALTIM
SULUT
N.T.T
LAMPUNG
JATENG
SULTENG
JATIM
N.T.B
SUMBAR
SUMUT
BENGKULU
DKI JKT
D.I. YOGYA
BALI
D.I. ACEH
-
PROVINSI
(b) Gambar 1. Jumlah kasus demam berdarah dengue (a) dan angka kesakitan (Insidens Rate = IR) (b) di Indonesia tahun 2011 Sumber : Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL Kemenkes (2012)
dengan ketebalan sekitar 10 nm, sehingga seluruh virion adalah sekitar 50 nm (Henchal and Putnak 1990). Virus dengue merupakan virus RNA untai tunggal, terdiri dari empat jenis serotipe, yakni DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 (Jawetz 1982). Struktur antigen keempat serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain,
namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan perlindungan silang. Variasi genetik yang berbeda pada keempat serotipe ini tidak hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga di dalam serotipe itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Keempat serotipe tersebut dapat ditemukan di berbagai daerah Indonesia. Di Indonesia pengamatan virus dangue ini dilakukan sejak tahun 1975 dan di beberapa rumah sakit menunjukkan keempat serotipe ini bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe yang dominan adalah serotipe 3. Orang yang tinggal di daerah endemik dapat tertular oleh empat jenis virus sepanjang waktu. Infeksi dengan satu serotipe virus akan menghasilkan reaksi kekebalan yang lama terhadap virus itu, tetapi tidak terhadap serotipe yang lain (Hadi 2011). Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan gejala klinis yang bervariasi, yakni pada serangan pertama menyebabkan panas (Dengue Fever), serangan berikutnya bisa menyebabkan panas disertai pendarahan (Dengue Haemorrhagic Fever) atau gejala yang disertai shock (Dengue shock syndrome) (WHO 1986). Sampai saat ini mekanisme respons imun pada infeksi oleh virus dengue masih belum jelas, karena banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue.
Faktor-faktor tersebut diantaranya :
inang (host),
lingkungan
(environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host adalah
kerentanan
(susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) adalah kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, dan musim); serta kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, dan sosial ekonomi penduduk).
2.2
Nyamuk Aedes Nyamuk Aedes tergolong kedalam filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo
Diptera dan famili Culicidae. Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa telah ditemukan 11 sub genera diantara sub genus tersebut yang paling penting adalah sub genus Stegomyia, karena pada sub genus tersebut terdapat spesies A. aegypti dan A. albopictus (vektor sekunder) yang merupakan vektor penyakit demam berdarah (Ramalingan 1974). Di Bantul, Sleman (Yogyakarta) dan Pontianak A. albopictus berperan sebagai vektor (Gubler el al. 1978).
Nyamuk A. aegypti selain menularkan penyakit demam berdarah juga sebagai vektor penyakit Chikungunya. Penyakit Chikingunya ini pada tahun 1982 menjadi kasus KLB di beberapa propinsi di Indonesia. Penyakit ini mewabah lagi pada tahun 2001 sampai dengan Februari 2003 mencapai 3.918 kasus tanpa kematian (Kusriastuti 2003). Menurut Oda et al. (1983) nyamuk A. aegypti yang di koleksi dari Utan Kayu Utara Jakarta berdasarkan hasil pengamatan ternyata ada yang mengandung virus Chikungunya. A. aegypti bersifat antropofilik (senang sekali kepada manusia) dan hanya nyamuk betina yang menggigit (Gambar 2). Nyamuk betina biasanya menggigit di dalam rumah, kadang-kadang di luar rumah dan di tempat yang agak gelap. Pada malam hari nyamuk beristirahat dalam rumah pada benda-benda yang digantung, seperti pakaian, pada dinding rumah dan sebagainya. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biter), yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dan dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena nyamuk A. aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini sangat dapat berkembang biak secara propagatif agar dapat menjadi infektif (masa tunas ekstrinsik). Kemudian nyamuk akan tetap infektif selama hidupnya. Nyamuk betina dapat terbang sejauh 2 kilometer, tetapi kemampuan normalnya adalah kira-kira 50 meter (Horsfall 1955). Virus dengue dapat ditularkan secara transovarial dari nyamuk betina A. aegypti melalui telur hingga keturunannya (Rosen et al. 1983).
Gambar 2. Nyamuk A.aegypti (kiri) dan A. albopictus (kanan) Sumber : Hadi dan Koesharto (2006)
Penentuan nyamuk Aedes sebagai vektor dapat dilihat dari frekuensi kontak dengan manusia, kepadatan yang tinggi, mobilitas yang tinggi, inang
spesifik pada manusia dan umur yang panjang (Part et al. 1987). Nyamuk Aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya, oleh karenanya nyamuk Aedes yang telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya (Depkes RI 2005). Infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk A. aegypti ditunjukkan pada Gambar 3, dimana komponen pada siklus transmisi adalah : -
Inang vertebrata mengembangkan tingkat infeksi yang menyediakan sumber infeksi kepada vektor.
-
Inang antropoda atau vektor mampu melakukan transmisi.
-
Satu atau lebih inang vertebrata terinfeksi setelah digigit vektor. Manusia Belum terinfeksi
terinfeksi
Manusia sebagai inang dan sumber
Nyamuk Ae. aegypti
Terinfeksi pada vektor Nyamuk Ae. aegypti Inkubasi ekstrinsik
Terinfeksi pada vektor Manusia
Transmisi vektor
Manusia sebagai inang dan sumber
Gambar 3. Infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk A. aegypti Sumber : Mullen and Vurden (2002)
Untuk dapat memberantas nyamuk A. aegypti secara efektif terdapat 3 perilaku nyamuk yang perlu diketahui, yaitu : perilaku mencari darah, istirahat dan berkembang biak. Perilaku mencari darah dilakukan pada saat setelah kawin di mana nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali dan pada pagi hari sampai dengan sore, lebih disukai pada jam 08.00 - 12.00 dan 15.00 - 17.00. Untuk memperoleh
darah yang cukup nyamuk betina lebih sering menggigit lebih dari 1 orang. Perilaku istirahat nyamuk A. aegypti adalah setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu beristirahat 2-3 hari untuk mematangkan telurnya. Tempat istirahat yang paling disukai adalah tempat-tempat yang lembab, dan kurang terang seperti kamar mandi, WC, dapur, di dalam rumah seperti baju yang digantung, kelambu dan tirai, di luar rumah seperti pada tanaman hias di halaman rumah. Penyebaran A. aegypti yang kosmopolit dan menjangkau daerah yang sangat luas erat kaitannya dengan perkembangan sistem transportasi dan perkembangan
pemukiman penduduk akibat didirikannya rumah-rumah baru
yang dilengkapi dengan sarana pengadaan air untuk keperluan sehari-hari. Penyebaran spesies nyamuk ini di Indonesia bermula dari kota-kota pelabuhan ke kota-kota di pedalaman termasuk ke desa-desa, diakibatkan oleh transportasi yang mengangkut tempat-tempat penampungan air hujan seperti drum, kaleng, ban bekas, dan benda-benda lainnya yang mengandung larva Ae. aegypti. Untuk berkembang biak, nyamuk dewasa bertelur di air dengan meletakan telurnya di dinding tempat air, hari 1-2 telur menjadi jentik, dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6-8 hari, dan berubah menjadi pupa (kepompong). Pupa nyamuk berbentuk seperti komo dan dalam waktu kurang lebih dua hari, dari pupa akan muncullah nyamuk dewasa (Hadi dan Koesharto 2006). Jadi total siklus hidup bisa diselesaikan dalam waktu 9-12 hari (Gambar 4). Kajian ilmiah terkini mendapatkan bahwa nyamuk A. aegypti dewasa yang bertelur akan menurunkan virusnya secara langsung kepada keturunannya. Apabila dewasa kelak, ia tidak perlu menggigit manusia yang ada terinfeksi virus untuk menjadi pembawa virus dengue. Masalah lain yang mengkhawatirkan bahwa telur A. aegypti dapat bertahan hingga enam bulan lamanya sekalipun berada di tempat yang kering dan bukannya di dalam air. Apabila telur tersebut terkena air dalam waktu tertentu, ia tetap akan membiak menjadi jentik-jentik (Widodo 2007).
Gambar 4. Siklus hidup nyamuk A. aegypti Sumber : Hadi dan Koesharto (2006)
2.3
Insektisida Nabati Insektisida nabati yaitu insektisida yang didapatkan dari tanaman.
Beberapa insektisida nabati yang umum dan masih digunakan yaitu piretrum, nikotin, rotenon, limonene atau d-limonene dan azadirachtin. 2.3.1 Piretrum Insektisida nabati yang masih dipakai diantaranya piretrum merupakan yang terbesar untuk mengendalikan berbagai serangga hama permukiman. Piretrum berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariaefolium. Bubuk bunga tersebut pertama kali digunakan manusia pada awal abad 19 untuk mengendalikan tuma (kutu) manusia semasa Perang Napoleon. Piretrum bekerja dengan melumpuhkan (knockdown) serangga secara cepat dan sifat ini sangat dikenal pada industri aerosol insektisida rumah tangga. Piretrin adalah insektisida kontak dan nyaris tidak meninggalkan residu pada permukaan terbuka, karena piretrin cepat terurai jika terpapar cahaya. Namun demikian, dalam ruangan yang tertutup dan gelap, residu piretrin mampu bertahan hingga 2 mingguan. Piretrin juga dikenal mempunyai koefisien suhu negatif, seperti halnya DDT, yang artinya semakin aktif pada suhu rendah. Dalam melumpuhkan serangga, piretrin membuat serangga teriritasi dan menjadi aktif yang membuat serangga keluar dari persembunyiannya (flushing action).
Di Indonesia sebelum maraknya penggunaan piretroid, piretrin digunakan sebagai bahan aktif lingkaran anti nyamuk. Bahkan ampas dari sisa ekstraksi tanaman, yang dikenal sebagai pyrethrum marc, hingga kini masih digunakan sebagai campuran anti nyamuk bakar karena memberikan aroma harum yang khas dan disukai konsumen. Alasan pengusaha berpaling dari piretrin adalah karena harganya yang relatif mahal dibandingkan insektisida sintetik organik, seperti piretroid. Proses ”peracunan” piretrin terjadi dalam dua tahap, yaitu eksitasi (excitation) dan kemudian blokade saraf. Eksitasi mengakibatknan terjadinya knockdown pada serangga. Beberapa serangga mampu pulih setelah ”terkena” knockdown karena mereka mampu mendetoksifikasi piretrin secara cepat untuk mencegah terjadinya tahap blokade saraf. Jika piretrin tidak didetoksifikasi oleh serangga, piretrin akan larut dalam lapisan lemak di sekitar serabut saraf dan mengakibatkan blokade saraf dan akhirnya mati. Piretrin adalah racun akson seperti pada DDT dan piretroid yang mempengaruhi sistem saraf pusat dan saraf tepi serangga. Awalnya merangsang sel saraf untuk terjadinya pelepasan berulang (repetitive discharge) yang membuat serangga lumpuh/paralisis. Pengaruh ini disebabkan oleh kerja piretrum dalam celah natrium (Na) yang merupakan celah sempit untuk masuknya ion-ion natrium (Na) ke akson yang mengakibatkan eksitasi. Hal ini terjadi pada tali saraf serangga yang terdiri atas ganglia dan sinaps. 2.3.2 Nikotin Nikotin adalah suatu alkaloid yang berasal dari ekstrak tanaman tembakau. Alkaloid adalah suatu senyawa heterosiklik yang mengandung nitrogen dan mempunyai sifat-sifat fisiologi yang menarik. Contoh alkaloid yang lain adalah kafein (kopi dan teh), morfin (opium), kokain (daun koka), dan kuinin (kina). Nikotin sebagai insektisida adalah racun kontak yang baik karena kemampuannya untuk menembus integumen serangga bertubuh lunak seperti aphid dan ulat (Lepidoptera). Nikotin lebih banyak dipakai di industri pertanian. Nikotin bekerja dengan mimik/meniru asetilkholin pada persimpangan neuromuskular binatang yang mengakibatkan kejang, konvulsi dan kematian
secara cepat. Pada serangga kejadiannya sama, namun hanya terjadi di ganglia pada sistem saraf pusat. 2.3.3 Rotenon Rotenon dihasilkan dari akar/rhizome dari dua genus tanaman legume (kacang-kacangan) yaitu Derris elliptica dari Asia Tenggara dan Lonchocarpus spp dari Amerika Selatan. Orang awam mengenal rotenon sebagai racun ikan dan di Indonesia ada satu produk yaitu Fishfree® 5 WP untuk mengendalikan ikan liar (mujair, kerapu dan bandeng) pada tambak udang. Rotenon
biasa
digunakan
untuk
reklamasi kolam
untuk
kolam
pemancingan atau taman burung, yaitu dengan mengendalikan ikan yang ada, kemudian digantikan dengan spesies ikan yang dikehendaki. Pada dosis yang disarankan (misalnya 0.5 ppm), rotenon merupakan peptisida yang selektif untuk membunuh ikan, namun tidak toksik terhadap organisme makanan ikan yang ada serta terurai secara cepat. Sebagai insektisida, rotenon adalah racun kontak dan perut, yang membunuh serangga secara perlahan yang diikuti dengan aktifitas berhenti makan (stop feeding action). Rotenon banyak digunakan untuk pengendalian serangga di taman dan kebun di sekitar rumah. Rotenon bekerja dengan menghambat enzim pernafasan, bekerja antara NAD+ (suatu koenzim yang terlibat dalam oksidasi dan reduksi dalam proses metabolisme) dan koenzim Q (suatu koenzim pernafasan yang bertanggung jawab untuk membawa elektron pada rantai transportasi elektron) yang mengakibatkan kegagalan pada fungsi-fungsi pernafasan. 2.3.4. Limonene atau d-Limonene Senyawa ini termasuk anggota baru dalam insektisida nabati. Limonene (d-limonene) digolongkan dalam minyak esensial tanaman atau dikenal juga sebagai floral atau scented plant chemical, yang diekstrak dari kulit jeruk dan efektif untuk mengendalikan hama pada hewan piaraan termasuk tungau, pinjal, dan caplak tetapi tidak toksik terhadap hewan berdarah panas. Pada minyak jeruk (citrus oil) terkandung beberapa bahan yang bersifat insektisida, namun limonene (d-limonene) merupakan yang terpenting dan bagian terbesar dalam minyak kulit jeruk. Limonene (d-limonene) bekerja mirip dengan piretrin, yaitu bekerja pada sistem saraf tepi namun tidak menghambat enzim kholinesterase.
2.3.5. Azadirachtin Ekstraksi biji tanaman mimba (Azadirachta indica) menghasilkan minyak neem yang mengandung bahan aktif azadirachtin. Azadirachtin bekerja baik sebagai insektisida, fungisida, bakterisida ataupun sebagai zat pengatur tumbuh serangga. Azadirachtin bekerja dengan mengganggu pergantian kulit dengan menghambat metabolisme atau biosintesis ekdison, suatu hormon yang berperan dalam proses ganti kulit serangga.
2.4.
Larvasida Kimia Untuk Nyamuk Larvasida yang digunakan untuk membunuh atau mengganggu habitat
pertumbuhan larva nyamuk pada umumnya berupa bahan kimia. Larvasida digunakan dengan tujuan untuk mengurangi populasi nyamuk di daerah sekitarnya. Larvasida digunakan ketika musim nyamuk bertelur. Larvasida biasa digunakan pada penampungan air dimana airnya digunakan bagi kebutuhan sehari-hari terutama untuk minum dan masak. Oleh sebab itu, larvisida yang digunakan harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : efektif pada dosis rendah, tidak bersifat racun bagi manusia, tidak menyebabkan perubahan rasa, warna dan bau pada air yang diperlakukan, dan efektivitasnya lama. Beberapa larvasida dengan kriteria seperti tersebut di atas, sebagian telah digunakan secara luas (operasional) dan sebagian lainnya masih dalam tahap uji laboratorium atau uji lapangan skala kecil. Berikut ini beberapa jenis larvasida yang beredar di pasaran (Suwasono 1997). 2.4.1 Temephos/Abate (C16H20O6P2S3) Temephos terbukti efektif terhadap larva A. aegypti dan daya racunnya rendah terhadap mamalia. Pada program penanggulangan vektor DBD di Indonesia, temephos sudah digunakan sejak 1976 dalam bentuk (formulasi) butiran pasir (sand granules) dengan dosis 1 ppm. Menurut US Environmental protection, temephos tidak digunakan dalam air yang diminum, karena dapat menginhibisi cholinesterase pada manusia. 2.4.2 Methoprene (C19H34O3) Larvasida ini termasuk jenis penghambat tumbuh serangga (insect growth regulator). Methoprene bekerja dengan menghambat proses metamorphosis
serangga. Pada uji lapangan terbukti berhasil menekan kepadatan nyamuk Aedes aegypti selama sebulan. Methoprene dapat digunakan pada air yang di minum dengan dosis tidak boleh lebih dari 1 mg/l (WHO 1986). 2.4.3 Diflubenzuron (C14H9ClF2N2O2) Larvasida jenis ini memiliki sifat toksik yang rendah pada manusia, namun pada hewan uji diflubenzuron berpengaruh pada haemoglobin. Larvasida jenis ini dapat digunakan pada air minum.
2.5
Tanaman Kamandrah (Croton tiglium L.) Klasifikasi dari tanaman C. tiglium adalah divisi Spermatophyta, kelas
Dicotyledoneae, bangsa Euphorbiales, suku Euphorbiaceae, marga Croton, jenis C. tiglium, sedangkan nama umum/dagang adalah cerakin. Tanaman kamandrah merupakan salah satu tanaman obat yang banyak terdapat di wilayah Indonesia, sehingga tanaman ini ada yang menamakannya simalakian (Sumatera Barat), ceraken (Jawa), roengkok (Sumatera Utara), semoeki (Ternate), dan kowe (Tidore). Di daerah Kalimantan, biji tanaman kamandrah banyak dimanfaatkan masyarakat, karena dipercaya mempunyai khasiat sebagai pencahar. Dengan memakan bijinya, maka biasanya akan cepat buang air besar, akan tetapi kelebihannya tidak menimbulkan mules pada perut (Saputera 2008). Di daerah Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Pulau Komodo, serbuk dari biji kamandrah biasa digunakan nelayan untuk meracuni ikan di perairan, sehingga ikan mudah ditangkap tetapi masih dapat di konsumsi (Pet 1997). Tanaman kamandrah berupa tanaman semak dengan tinggi tanaman sekitar 2-3 m. Bentuk batang tegak, bulat, berambut dan berwarna hijau, dengan daun tunggal, berseling dan lojong. Bentuk tepi daun bergerigi dengan ujung yang runcing. Panjang daun sekitar 3-5 cm, dengan lebar daun sekitar 1-4 cm. Bentuk tangkai silindris dengan panjang 2-3 cm, bentuk pertulangan menyirip dan berwarna hijau. Bunga tanaman kamandrah majemuk dengan bentuk bulir, berada di ujung batang dengan klopak membulat, memiliki banyak benang sari dengan mahkota berbentuk corong. Buah tanaman kamandrah berbentuk bulat dengan diameter sekitar 0,5 cm dan berwarna hijau, akar tanaman kamandrah adalah akar tunggang (Gambar 5).
Gambar 5. Profil tanaman kamandrah Sumber : Koleksi kotak pamer Balittro Bogor
Minyak kamandrah dapat dihasilkan dari biji kamandrah melalui proses ekstraksi dengan menggunakan mesin pengepres minyak. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui kadar lemak yang terdapat pada biji kamandrah adalah lemak 40,01%, protein 26,69%, serat 8,45%, abu 3,14% dan karbohidrat 15,51% (Saputera et al 2006). Dzulkarnain (1989) melaporkan bahwa biji C. tiglium dari famili Euphorbiaceae mengandung minyak yang sangat berbahaya, setetes minyak (0,05 gram) dapat menyebabkan diare, sedangkan dosis lebih besar sedikit lagi fatal bagi manusia. Bijinya juga mengandung crotin yang merupakan suatu fitotoksin protein, fraksi resinnya mengakibatkan radang kulit. Di sekitar Maluku dan Sulawesi Selatan, bahan ini pernah diberitakan digunakan sebagai obat KB, tetapi
sebenarnya yang terjadi adalah abortus atau bila digunakan pada masa implantasi maka kerjanya sebagai anti implantasi, karena adanya kontraksi yang kuat pada usus dan juga uterus. Lectin dari C. tiglium dapat menginhibisi haemaglutination dan haemolysis sel darah merah pada kelinci (Kalyan and Sen 1983). Yuningsih dan Laba (2007) melaporkan telah melakukan uji efek toksik dari beberapa tanaman beracun di antaranya daun lelatang (Acalypha indica), biji karet (Ficus elastica), biji kapok (Ceiba petandra), biji jarak (Ricinus communis), daun tembakau (Nicotiana tabacum), daun Strychnuos nux vomica, akar/batang tuba (Derris eliptica), daun tikusan (Clauseva exavata), umbi gadung, kulit batang ceremai, batang kipahit (Pierasma javanica ), biji kamandrah (C. tiglium) dan biji picung (Pangium edule). Dari berbagai ekstrak tanaman yang diuji, ekstrak yang paling toksik adalah ekstrak biji kamandrah dan ekstrak biji picung. Secara patologi anatomis ekstrak tanaman beracun tersebut menyebabkan pembendungan dan perdarahan umum pada paru-paru, jantung dan hati dan sebagian besar dari area mukosa lambung hanya berupa selaput tipis yang berwarna transparan karena mengalami atrofi (Yuningsih 2007). Salatino et al. (2007) melaporkan bahwa tanaman dari genus
croton
memiliki
bioaktifitas
anti-hypertensive,
anti-inflammatory,
antimalarial, antimicrobial, antispas-modic, antiulcer, antiviral dan myorelaxant. Adapun penggunaan secara tradisional dan efek farmakologi dari bagian tanaman dari beberapa spesies Croton dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penggunaan tradisional dan efek farmakologi beberapa spesies Croton Spesies
Penggunaan Tradisional
Croton arboreous Croton cajucara
Anti-inflamasi
Croton celtidifolius
Peradangan, leukemia, bisul, rematik
Diabetes, hiperkolesterole mia, pencernaan gangguan, gangguan hati, penurunan berat badan
Bagian Tanaman Yang Berpegaruh dan Komponen Terisolasi Four sesquiterpenes → Anti-inflamasi Minyak volatil kulit → penyembuhan usus lambung a, b) ; anti-leishmanial c); ekstrak kulit dengan air → penurunan berat badan dan sensitivitas yang lebih tinggi dari adiposit untuk isoprenalin dan adrenalind); trans-crotonin, trans – asam dehydrocrotonin, aleuritolic asetil → dan efek hipoglikemik hipolipidemik e, f) ; transdehydrocrotonin → anti-estrogen, antikanker g) ; linalool → anti-bakteri dan anti jamur h) Kulit → anti-inflamasi dan anti-oksidan
Rujukan Aguilar-Guadarrama et al. 2004 a) Hiruma-Lima et al 1999 b) Hiruma-Lima et al. 2002 c) Rosa et al. 2003 d) Grassi-Kassisse et al. 2003 e) Maciel et al. 2000 f) Barbosa et al. 2004 g) Grynberg et al. 1999 h) Alviano et al. 2005
Nardi et al. 2003
Tabel 1. Lanjutan Spesies Croton eluteria Croton kongensis Croton lechleri
Croton celtidifolius Croton eluteria
Penggunaan Tradisional Bronkitis, demam, malaria, pencernaan, hipertension Dismenore Hemostatik, penyembuhan luka, pencahar
Peradangan, leukemia, bisul, rematik Bronkitis, demam, malaria, pencernaan, hipertension Dismenore
Bagian Tanaman Yang Berpegaruh dan Komponen Terisolasi Ekstrak kulit kayu → stimulasi sekreksi lambung Diterpenes Secokaurane → sitotoksik, Anti-mikobakteri dan anti-malarial Getah merah → anti-inflamasia), antivirus b,c) antibakteri, anti-leukemiad) ; SP-303 → anti virus: RSVe) , lesi genital dan dubur elamin simpleksf)
Kulit → anti-inflamasi dan anti-oksidan
Rujukan Appendino et al. 2003
Thongtan et al. 2003 a)
Risco et al. 2003 Ubillas. 1994 c) Jones. 2003 d) Rossi. 2003 e) Barnard et al. 1993 f) Orozco-Topete et al. 1997 Nardi et al. 2003 b)
Ekstrak kulit kayu → stimulasi sekreksi lambung
Appendino et al. 2003
Thongtan et al. 2003
Hemostatik, penyembuhan luka, pencahar
Diterpenes Secokaurane → sitotoksik, Anti-mikobakteri dan anti-malarial Getah merah → anti-inflamasia), antivirus b,c) antibakteri, anti-leukemiad) ; SP-303 → anti virus: RSVe) , lesi genital dan dubur elamin simpleksf)
Croton macrostachys
Pencahar, diabetes
Biji dan akar → pencahar
Croton malambo
Ekstrak kulit → antinociceptive, antiinflamasi
Suárez et al. 2003
Croton nepetaefoilius
Nyeri, rematik, peradangan, diare, diabetes, usus lambung Stomachic, perut kembung, kolik usus
Minyak volatil → antispasmodica,b,c) cineole, methyleugenol → myorelaxant dan antispasmodicd)
a)
Croton oblongifolius
Pembesaran hati, demam dan cacing
Tembak ekstrak → anti-hepatotoksik a); diterpenes → cytotoxicb,c,d)
a)
Croton palanostigma
Usus inflamasi, lukapenyembuhan, usus lambung
Taspine → cytotoxica,b)
Croton schiedeanus
Hipertensi
Ekstrak etanol dan air a,b) quercetin-3,7dimetil eter → vasorelaxant dan antihipertensic)
a)
Croton tonkinensis
Perut sakit, dispepsia, lambung dan usus duodenum, lepra, psoriasis, urtikaria Anthelmintik dan masalah dermatologi
Sitotoksik diterpenes
Giang et al. 2005
Plaunotol → anti-usus peptikum a,b); antikankerc); anti bakterid)
a)
Croton kongensis Croton lechleri
Croton sublyratus
a)
Risco et al. 2003 Ubillas. 1994 c) Jones. 2003 d) Rossi. 2003 e) Barnard et al. 1993 f) Orozco-Topete et al. 1997 Mazzanti et al. 1987 b)
Magalhães et al. 1998 Magalhães et al. 2003 c) Magalhães et al. 2004 d) Magalhães et al. 2003 b)
Ahmed et al. 2002 Sommit et al. 2003 c) Roengsumran et al. 1999 d) Roengsumran et al. 2004 a) Itokawa et al. 1991 b) Chen et al. 1994 b)
Guerrero et al. 2001 Lahlou et al. 1999 c) Guerrero et al. 2002 b)
Ushiyama et al. 1987 Koga et al. 2002 c) Kawai et al. 2005 d) Matsumoto et al. 1998 b)
Tabel 1. Lanjutan Bagian Tanaman Yang Berpegaruh dan Komponen Terisolasi Getah kulit merah → anti-diarea) ; antijamurb); catechin, aleuritolic asetil asam → antibakteric) ; asam asetil aleuritolic → analgesikd)
Spesies
Penggunaan Tradisional
Croton urucurana
Nyeri pereda, peradangan, luka infeksi, penyembuhan luka, kanker
Croton zambesicus
Demam, malaria, kejang, hipertensi, infeksi mikroba, disentri Gangguan saraf, anorexia, gangguan pencernaan, pemanis
Daun → sitotoksisitas; trachylobane diterpen → cytotoxic
Block et al. 2002
Minyak volatile → relaksan otot ususa,b) ; depressor sentral efek c) ; antinociceptived) ;anethole dan estragole → relaksan otot ususe); anethole → anti-carcinogenicf)
a)
Insektisida
Minyak volatile insektisida
Coelho-de-Souza et al. 1997 Coelho-de-Souza et al. 1998 c) Lazarini et al. 2000 d) Oliveira et al. 2001 e) Coelho-de-Souza et al. 1997 f) Chainy et al. 2000 Perez-Amador et al.2003
Insektisida Larvasida
Minyak volatile insektisida Alkaloid larvasida
Perez-Amador et al.2003 Jeeshna et al. 2010
Croton zehntneri
Croton pseudoniveus Croton suberous Croton bonplandianum
Rujukan a)
Gurgel et al. 2001 b) Gurgel et al. 2005 c) Peres et al. 1997 d) Peres et al. 1998
b)
Sumber : Salatino et al (2007)
2.6
Ekstraksi Metode Pengempaan Ekstraksi minyak dan lemak adalah proses pemisahan minyak dan lemak
dari bahan-bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak (Bailey 1950). Ekstraksi dapat dilakukan dengan cara rendering, mekanis, atau menggunakan pelarut (Khan and Hanna 1983; Hui 1996; Fasina and Ajibola 1990; Owolarafe et al. 2003). Pengempaan mekanis dengan tekanan hidrolik atau screw press telah umum dilakukan dalam memproduksi minyak secara modern. Bagaimanapun, secara umum pengempaan hidrolik banyak dipakai dalam pengolahan skala kecil karena tidak padat modal dalam kaitannya dengan biaya awal dan pemeliharaan (Adeeko and Ajibola 1990; Owolarafe et al. 2002). Alat pengempaan hidrolik saat ini tersedia dalam beberapa versi, namun efisiensinya kurang dari 70 %. Beberapa upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi alat pengempaan hidrolik (Babatunde et al. 1988; Badmus 1991). Hasil pengamatan di Nigeria, alat pengempaan hidrolik tersedia dalam berbagai ukuran (diameter dan ukuran pori penampang bahan) tanpa standar (Owolarafe and Jeje 2006). Menurut Khan dan Hanna (1983), ukuran partikel, suhu pemanasan, waktu pemanasan, kadar air, besarnya tekanan dan waktu penekanan akan mempengaruhi rendemen lemak/minyak selama pengempaan berlangsung. Untuk memaksi-
mumkan recovery minyak dan residu minyak yang terdapat dalam ceke diperlukan upaya untuk mengendalikan faktor-faktor selama proses pengempaan minyak/lemak. Ketidakmampuan dalam mengendalikan faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam mendapatkan hasil yang tinggi dan mutu lemak/minyak yang baik selama pengempaan. Minyak yang dihasilkan akan meningkat dengan semakin meningkatannya suhu pemanasan yaitu 60, 90 dan 120oC (Adekola 1992). Peningkatan suhu pengempaan akan menurunkan viskositas minyak dan meningkatkan aliran minyak. Adeeko and Ajibola (1990) melaporkan bahwa pengempaan pada suhu 120oC, dengan lama waktu pemanasan lebih dari 15 menit terutama pada saat pemanasan 25 menit mengakibatkan rendemen minyak yang hilang sekitar 12,3%. Rendemen minyak biji kacang tanah meningkat dengan peningkatan
suhu dan waktu pemanasan. Peningkatan suhu pemanasan
akan meningkatkan rendemen sampel selama pemanasan 15 dan 25 menit. Untuk sampel yang dipanaskan selama 35 dan 45 menit, tidak terdapat perbedaan rendemen minyak yang signifikan dari sampel dipanaskan pada temperatur yang berbeda. Rendemen minyak tertinggi dihasilkan dari pemanasan pada suhu 135oC selama 15 menit dan peningkatan waktu pemanasan akan menurunkan rendemen lemak/minyak. Ketika waktu pemanasan meningkat 15-25 menit, sampel yang dipanaskan pada 160oC akan meningkat rendemen dari 33% menjadi 37%. Peningkatan waktu pemanasan lebih lanjut menyebabkan terjadinya penurunan rendemen. Hasil penelitian yang dilakukan pada kernel bunga matahari menunjukkan bahwa kernel bunga matahari yang tidak dipanaskan menghasilkan rendemen minyak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan mengkondisikan sampel dan dipanaskan (Southwell et al. 1992). Hasil investigasi yang dilakukan terhadap pengempaan mekanik minyak kacang conophor (Tetracarpidium conophorum) menunjukkan bahwa rendemen minyak kacang conophor akan meningkat pada suhu pemanasan antara 50-65oC tetapi akan menurun dengan peningkatan suhu pemanasan sampai 110oC (Fasina and Ajibola 1990). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sampel menjadi lebih keras dengan peningkatan perlakuan panas, sehingga memberikan peningkatan resistensi aplikasi tekanan selama pengempaan, sehingga menurunkan rendemen minyak.
Tabel 2. Rendemen minyak dari beberapa biji-bijian pada berbagai kondisi proses pengempaan No 1
2
Bahan Biji Rosella
Biji kelapa sawit
• • • • • •
Perlakuan Kadar air sampel halus 4,4, 6,4 dan 8,4% wb Kadar air sampel kasar 5,14, 7,14 dan 9,14 % wb Suhu pemanasan 80, 90, 100 dan 110oC Lama pemanasan 15, 20, 25 dan 30 menit Tekanan kempa 15, 22,5 dan 33,7 Mpa Lama kempa 10, 20, 30 dan 40 menit
• • •
Kadar air : 4,5, 5,9, 10,4 dan 15,2% (b/b) Lama pemanggangan : 5, 10, 15 dan 20 menit Suhu pemanggangan : 70, 90, 110 dan 130oC
• • • • • • •
3
Biji kelapa sawit
• • •
Diameter tabung alat pengempa (D) : 80, 120, 150 mm Diameter pori tabung alat pengempa (H) : 4, 6, 10 mm Tekanan pengempaan (P) : 0,5, 1, 1,5 Mpa
• • •
4
Biji kacang mete
Kadar air 4, 6 dan 8% Suhu pemanasan 70, 85, 100 dan 115 oC Lama pemanasan 15, 25, 35 dan 45 menit
•
Hasil Rendemen minyak meningkat dari 5-6% dengan peningkatan tekanan sampai 30 Mpa, suhu sampai 100oC dan selanjutnya menurun. Rendemen minyak meningkat dari 7-8% dengan peningkatan kadar air. Sampel yang digiling halus menghasilkan rendemen minyak lebih tinggi dari pada yang digiling kasar Rendemen minyak terus menurun dengan meningkatnya kadar air. Peningkatan lama dan suhu pemanggangan akan meningkatkan rendemen minyak. Rendemen minyak maksimum 47% dicapai pada kadar air 4,5%, lama pemanggangan 5 menit, dan lama pemanggangan 130OC Rerata rendemen minyak 25,8%
Referensi Banghoye and Adejumo 2011
Akinoso et al. 2006
Rendemen minyak meningkat dengan peningkatan diameter tabung alat pengempa 80-120 mm, setelah itu menurun dengan diameter tabung press menjadi 150 mm. Rendemen dan aliran volumetri minyak meningkat dengan peningkatan diameter tabung alat pengempa 4-6 mm dan menurun pada ukuran pori menjadi 10 mm. Peningkatan tekanan pengempaan 0,5-1,5 Mpa akan meningkatkan rendemen minyak.
Owalarafe et al. 2007
Dari hasil obserfasi menunjukkan bahwa nilai tekanan minyak menurun secara signifikan dengan peningkatan kadar air, suhu pemanasan dan waktu pemanasan.
Ogunsina et al. 2008
Tabel 2 Lanjutan No
Bahan
Perlakuan •
•
5
Kacang tanah
• • •
Dilution ratio 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 ml Temperatur air 20, 40, 60, 80, dan 100oC Lama pengempaan 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit
• •
•
Hasil Titik terendah dari nilai tekanan minyak adalah 0,1572 Mpa (untuk mendapatkan agregat biji kacang mete yang baik pada kadar air 4%, suhu pemanasan 115oC selama 45 menit) dan 0,1664 Mpa (untuk perlakuan agregat biji kacang mete pada kadar air 6%, suhu 100oC selama 45 menit). Untuk kedua ukuran partikel > dari 8 % dan suhu pemanasan > 100oC bobot mati tekanan pengempaan cukup memudahkan minyak keluar dari dinding sel. Peningkatan rendemen minyak dengan meningkatnya nilai delution ratio dari 2–14 ml dan kemudian menurun ketika nilai delution ratio meningkat dari 14-40 ml air. Pada awalnya rendemen minyak menurun dengan meningkatnya suhu dari 20- 40, kemudian meningkat pada suhu 40-80oC. Pada akhirnya terjadi penurunan ketika suhu meningkat dari 80-100oC, juga rendemen minyak meningtak secara progresif dengan meningkatnya lama waktu pengempaan dari 5-30 menit pada semua level suhu. Nilai delution ratio optimum dan temperatur air optimum untuk menghasilkan rendemen minyak maksimum adalah 14 ml dan 80oC.
Referensi
Aloge et al. 2003
Tabel 3. Rendemen minyak dari beberapa biji-bijian satu famili Euphorbiaceae pada berbagai kondisi proses pengempaan No 1
Genus Croton
Spesies Croton tiglium L.
Perlakuan Biji disangrai selama 30 menit, kemudian dikempa pada suhu 60oC tekanan 10 Ton Biji dioven suhu 100-105oC selama 30 menit, kemudian dikempa pada suhu 60oC tekanan 10 Ton Biji dikempa pada suhu 80oC Tekanan 10 Ton selama 30 menit
Rendemen Minyak Kamandrah (%) 16.00 19,89 21,22
Referensi Iswantini et al. 2008
Tabel 3. Lanjutan No
Genus
2
Jatropha
3
Aleurites
Spesies Jatropha curcus L.
Aleurites trisperma
Perlakuan Biji dikempa pada suhu 60oC Tekanan 10 Ton Biji dikempa pada suhu 60oC Tekanan 20 Ton Biji dikempa pada suhu 60oC lama pengempaan 15 menit Biji dikempa pada suhu 60oC lama pengempaan 20 menit Biji dikempa pada suhu 80oC lama pengempaan 15 menit Biji dikempa pada suhu 80oC lama pengempaan 20 menit Biji dioven suhu 50oC selama 1 jam, kemudian dikempa suhu 60oC lama 15 menit Biji dioven suhu 50oC selama 1 jam, kemudian dikempa suhu 60oC lama 20 menit Biji dioven suhu 50oC selama 1 jam, kemudian dikempa suhu 80oC lama 15 menit Biji dioven suhu 50oC selama 1 jam, kemudian dikempa suhu 80oC lama 20 menit Biji dikempa suhu 80oC lama pengempaan 10 menit tekanan 5 Ton Biji dikempa suhu 50oC Tekanan 18 Ton Biji dikempa suhu 55oC Tekanan 18 Ton Biji dikempa suhu 60oC Tekanan 18 Ton Biji dikempa suhu 50oC Tekanan 20 Ton Biji dikempa suhu 55oC Tekanan 20 Ton Biji dikempa suhu 60oC Tekanan 20 Ton Biji dioven suhu 80oC selama 1 jam suhu kempa 60OC Biji dioven suhu 80oC selama 1 jam suhu kempa 60OC Biji dioven suhu 80oC selama 1 jam suhu kempa 60OC Biji utuh dikempa suhu 30oC tekanan 100 kg/cm2 selama 10 menit Biji serbuk dikempa suhu 30oC tekanan 100 kg/cm2 selama 10 menit Biji utuh dikempa suhu 60oC tekanan 100 kg/cm2 selama 10 menit Biji serbuk dikempa suhu 60oC tekanan 100 kg/cm2 selama 10 menit Biji utuh dikempa suhu 90oC tekanan 100 kg/cm2 selama 10 menit Biji serbuk dikempa suhu 90oC tekanan 100 kg/cm2 selama 10 menit
Rendemen Minyak Kamandrah (%) 29,3 46,8 41,50 45,75 46,25 48,50 43,50 45,50 48,63 48,75 25,46 33,16 39,35 43,62 34,10 39,50 45,76 35 39,14 35,07 10 12 11 16 15 22
Referensi Sudrajat et al. 2005 Wibowo et al. 2007
Wibowo et al. 2007
Agustina 2005 Berry 2008
Darmawan 2006
Arlene et al. 2010
Besarnya rendemen minyak yang diperoleh dari sampel yang dipanaskan pada suhu 65, 80 dan 95oC dengan waktu pemanasan 20 dan 28 menit menunjukkan bahwa rendemen minyak yang tertinggi yaitu sebesar 39,6% diperoleh dari hasil pemanasan pada suhu 65
o
C selama 28 menit. Fasina and Singh (1985)
melaporkan bahwa recovery minyak secara maksimum diperoleh ketika biji bunga matahari dikempa pada kadar air 6% dan peningkatan kadar air sampai 14% akan menurunkan recovery minyak menjadi 16%. Hasil penelitian mengenai rendemen minyak dari biji-bijian pada berbagai kondisi antara lain kadar air, suhu pemanasan, lama pemanasan, tekanan pengempaan, lama pengempaan disajikan pada Tabel 2. Pemanfaatan bahan aktif dari tanaman C.tiglium L. telah banyak dilakukan. Hasil penelitian mengenai rendemen minyak dari tanaman yang masih satu famili dengan Croton yaitu Euphorbiaceae disajikan pada Tabel 3. Tabel 4 menunjukkan hasil penelitian ekstraksi buah Croton tiglium L. dengan penggunaan berbagai jenis pelarut, metode ekstraksi dan berbagai kondisi percobaan. Di antaranya adalah metode ekstraksi dengan maserasi (Ying et al. 2002; Riyaldi 2008; Saputera et al. 2008), ekstraksi dengan tekanan rendah (Wu et al. 2007), jenis pelarut, lama waktu maserasi dan perbandingan bahan dan pelarut. Tabel 4. Rendemen ekstrak biji Croton tiglium L. Pada berbagai perlakuan ekstraksi No Perlakuan Ekstraksi 1 Sampel : petrolium eter = 1 : 2 Lama maserasi 1 hari 2 Biji : air = 1 : 7 Lama maserasi 5-6 hari dalam lemari pendingin (5oC) 3 Biji : etanol = 1 : 7 Lama maserasi 5-6 hari pada suhu kamar (25-30 oC) 4 Ekstraksi dengan etanol bertekanan rendah 5 Biji : etanol = 1 : 3 Lama maserasi 24 jam
Rendemen 11,2
Referensi Ying et al. 2002
5,21-5,46
Riyaldi 2008
4,52-8,77
12,67%
Wu et al. 2007
18,6%
Saputera et al. 2008
2.7
Metode Permukaan Respon (Response Surface Methodology) Response surface Methodology (RSM) merupakan teknik statistik empiris
yang digunakan pada analisis regresi berganda dengan menggunakan data kuantitatif yang didapatkan dari percobaan-percobaan yang telah didesain dengan baik untuk menyelesaikan persamaan multi peubah secara simultan. Menurut Montgomery (1997), RSM adalah metode statistik yang menggunakan data kuantitatif dari desain penelitian
yang sesuai untuk menentukan
dan
menyelesaikan persamaan multivariabel secara simultan. Persamaan persamaan ini dapat ditampilkan secara grafis sebagai respon permukaan yang dapat digunakan dalam tiga cara, yaitu 1) untuk menggambarkan bagaimana faktor dapat mempengaruhi respon; 2) untuk menentukan hubungan inter-relasi antar faktor; dan 3) untuk menggambarkan efek gabungan dari respon seluruh faktor. Box et al. (1978) menyatakan bahwa RSM memiliki beberapa sifat menarik, diantaranya: (a) RSM merupakan suatu pendekatan sequensial. Hasil dari setiap tahapan akan memandu percobaan yang perlu dilakukan pada tahap berikutnya. Setiap tahapan pengulangan (iterasi) hanya memerlukan sejumlah kecil percobaan, sehingga menjamin peneliti terhindar dari percobaan yang tidak produktif; (b) RSM mengantarkan fokus penelitian dalam bentuk geometri yang dapat segara dipahami dengan mudah. Hasil RSM berupa ringkasan grafik dan plot-plot kontur merupakan suatu bentuk penyajian yang paling efektif dan mudah dicerna dibandingkan dengan persamaan-persamaan matematis; (c) RSM dapat diaplikasikan pada berbagai peubah. Box dan Draper (1987) menambahkan bahwa RSM telah terbukti sangat berguna dalam penyelesaian sejumlah besar problem dan dapat diaplikasikan dalam : (a) pemetaan permukaan dalam wilayah yang terbatas; (b) pemilihan kondisi operasi untuk mendapatkan spesifikasi yang diinginkan; dan (c) pencarian kondisi-kondisi yang optimal. Tampilan persamaan-persamaan ini dalam bentuk grafik disebut sebagai permukaan respon. Permukaan respon adalah bentuk geometri yang didapatkan jika suatu peubah respon diproyeksikan sebagai fungsi dari satu atau beberapa peubah kuantitatif (Mason et al.1989). Plot kontur adalah suatu seri garis atau kurva yang mengidentifikasi nilai-nilai peubah uji pada respon yang konstan. Plot-plot kontur ini dapat dibuat dengan beberapa cara. Jika fungsi respon cukup
rumit, maka penyelesaiannya secara langsung dapat dilakukan dengan menghitung nilai-nilai respon pada jaringan nilai-nilai dari dua peubah uji. Sebagai ganti memproyeksikan titik-titik, nilai nilai numerik respon dapat diproyeksikan pada suatu grafik sebagai fungsi dari dua peubah; yaitu kedua aksis yang mempresentasikan nilai peubah uji dan nilai numerik respon yang dihitung pada titik potong kedua nilai peubah yang digunakan. Selanjutnya kontur dapat diperkirakan dengan menginterpolasikan antar nilai-nilai peubah respon. Suatu model permukaan respon menggambarkan bentuk funsional suatu permukaan respon. Model-model permukaan respon dapat didasarkan pada pertimbangan teoritis atau empiris. Jika suatu model teoritis tidak dapat dinyatakan secara spesifik dalam suatu percobaan, maka model-model polinomial sering digunakan untuk memperkirakan permukaan respon tersebut. Polinomial kuadratik dapat memberikan perkiraan yang berguna untuk berbagai aplikasi. Model-model permukaan respon dan model-model regresi pada umumnya dapat disesuaikan dengan dua tipe data yakni data pengamatan dan data yang diperoleh dari percobaan yang terancang baik. Penyesuaian data pengamatan dengan model permukaan respon memiliki beberapa kelemahan potensial, antara lain : (a) umumnya terdapat problem yang berkaitan dengan kolinearitas antar peubah uji, (b) pengaruh peubah uji yang penting mungkin tidak dijumpai karena bervariasi dalam kisaran yang sangat sempit, (c) meskipun pengaruh yang signifikan teridentifikasi, namun penyebabnya tidak dapat dikonfirmasi karena peubah uji yang nyata dapat menjadi pengganti bagi peubah-peubah yang tidak diamati atau dikendalikan, (d) perlu upaya yang berlebihan berkaitan dengan galat data kasar, nilai-nilai yang hilang, dan periode pengumpulan data yang tidak konsisten. Sebagian problem yang berkaitan dengan data pengamatan diuraikan di atas untuk menekankan pentingnya rancangan secara statistik untuk memenuhi kriteria tujuan, pengaruh faktor, ketepatan, efisiensi, dan keteracakan. Sementara itu data yang diperoleh dari percobaan yang dirancang menggunakan rancangan komposit pusat dapat digunakan secara efisien dan memenuhi model permukaan kuadratik penuh.
RSM juga merupakan metode yang mengeksplorasi hubungan dari masing-masing unsur dalam penelitian misalnya hubungan suatu hasil penelitian dengan sejumlah peubah yang diduga dapat mempengaruhi hasil tersebut. Teknik optimasi RSM bekerja didasarkan pada proses atau siklus: pengetahuan, gagasan, analisis desain dan percobaan berulang. Jadi RSM merupakan teknik optimasi yang sangat berguna untuk investigasi proses yang kompleks. Adapun kegunaan teknik optimasi RSM adalah: 1. Dapat menentukan kombinasi optimum dari faktor (peubah bebas) yang akan menghasilkan respon (peubah tidak bebas) yang diinginkan dan dapat menggambarkan bahwa respon mendekati optimum. 2. Dapat menentukan bagaimana suatu pengukuran respon tertentu dipengaruhi oleh perubahan faktor-faktor pada level tertentu. 3. Dapat menentukan level faktor yang akan menghasilkan sekumpulan spesifikasi yang diinginkan secara simultan. Response surface methodology (RSM) adalah kumpulan teknik matematik dan statistik yang digunakan untuk membentuk model dan menganalisis masalah dalam suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa peubah dan bertujuan untuk mengoptimalisasi respon ini (Box et al. 1978). Dalam banyak masalah RSM, bentuk hubungan antara respon dan peubah bebas tidak diketahui. Jadi langkah pertama adalah mendapatkan suatu pendugaan yang cocok untuk fungsi yang sebenarnya antara y dan himpunan bebasnya. Untuk pendugaan ini biasanya digunakan suatu polinomial orde rendah. Jika respon telah dimodelkan dengan baik oleh fungsi linier dari peubah bebasnya, maka fungsi yang diduga adalah model ordo pertama. Y = β0 + βiXi + β2X2 + …….+ βkXk + ε ……………..………(14) Jika ada lengkungan dalam sistem, maka polinomial dengan orde yang lebih tinggi harus digunakan, seperti pada model orde kedua. Y = β0 + ∑βiXi + ∑β2X2 + …….+ ∑βkXk + ε …………………(15) i= 1
i= 1
i< 1
Hampir semua persoalan RSM menggunakan salahsatu dari kedua model ini. Memang model polinomial ini bukan satu-satunya model untuk menduga hubungan fungsi sebenarnya, tetapi untuk wilayah yang relatif kecil, maka model
ini dapat digunakan dengan baik. Metode kuadrat terkecil juga dapat digunakan untuk menduga parameter dalam pendugaan polinomial. Analisis permukaan respon
kemudian
dibentuk
menggunakan
pengepasan
permukaan.
Jika
pengepasan permukaan merupakan suatu pendugaan yang memadai dari fungsi respon yang sebenarnya, maka analisis dari pengepasan permukaan kira-kira sama dengan analisis sistem yang sebenarnya (Mongomery 1997). Analisis untuk menduga fungsi respon sering disebut sebagai analisis permukaan respon yang pada dasarnya mirip dengan analisis regresi yaitu menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode kuadrat terkecil (least square method), hanya saja dalam analisis permukaan respon diperluas dengan menerapkan teknik-teknik matematik untuk menentukan titik-titik optimum agar dapat ditemukan respon yang optimum. Penentuan kondisi operasi optimum diperlukan fungsi respon orde kedua dengan menggunakan rancangan komposit terpusat dalam mengumpulkan data percobaan. Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam melakukan optimasi antara lain dalam pengujian model pada teknik optimasi untuk mengetahui ketepatan model didasarkan atas uji penyimpangan model (lack of fit), koefisien determinasi (R2), uji signifikan model, dan uji asumsi residual. Ketepatan model yang dianggap tepat jika uji simpangan model bersifat tidak nyata secara statistik. Sebaliknya, jika bersifat nyata maka suatu model dianggap tidak cocok untuk menerangkan fenomena sistem yang dipelajari; walaupun kriteria lain cukup baik (Box and Drapper 1987). Nilai R2 merupakan ukuran kesesuain model dalam kemampuannya untuk menerangkan keragaman nilai peubah Y. Uji signifikasi model dan uji asumsi residual dilakukan untuk mengetahui pengaruh peubah bebas terhadap respon. Model dikatakan tepat jika uji asumsi residual menunjukkan plot residual menyebar acak disekitar nol dan mendekati garis lurus sehingga terdistribusi normal (Rigas et al. 2001).
2.8
Pengembangan Teknologi Proses Produksi Larvasida
2.8.1 Perancangan Proses Perancangan merupakan salah satu kegiatan utama seorang rekayasawan dan melihat kegiatan kreatif. Oleh karena itu perancangan proses adalah kegiatan
kreatif untuk mereka atau menciptakan gagasan dan menterjemahkan ke dalam peralatan dan proses untuk menghasilkan bahan baru atau meningkatkan nilai tambah suatu bahan. Agar didapatkan hasil sesuai dengan tujuan penelitian ini diperlukan perancangan teknologi proses, yang diharapkan dapat mengungkapkan fenomena dari tanaman kamandrah menjadi larvasida nabati. Menurut Seider et al. (1999) tujuan rekayasa adalah menciptakan produk baru yang dalam lingkup rekayasa proses, tujuan tersebut diterjemahkan melalui perubahan kimiawi (atau biokimiawi) dan/atau pemisahan bahan. Ciri utama perancangan adalah berawal dari masalah yang tak terdefinisikan dan diupayakan menjadi pernyataan yang jelas.
2.8.2 Metode Perancangan Proses 2.8.2.1 Sintesis Proses Pola kegiatan yang berurutan dan terpadu untuk memasok kesenjangan informasi diperlukan beberapa asumsi yang berkaitan dengan jenis satuan proses yang digunakan dan rangkaian satuan-satuan, serta kondisi proses yang akan diterapkan. Pola kegiatan yang berurutan dan terpadu inilah yang merupakan suatu sintesis (Seider et al. 1999). Menurut Rudd and Watson (1973), sintesis proses yang dikemukan meliputi lima tahapan yaitu (1) pemilihan jalur reaksi atau proses, (2) alokasi bahan atau pereaksi, (3) pertimbangan teknik pemisahan atau proses hilir, (4) pemilihan operasi pemisahan, dan (5) pemaduan atau integrasi rancangan. Setiap proses sintesis sebaiknya diikuti dengan analisis yang tidak hanya mendapatkan suatu model fungsi, melainkan juga mengevaluasi sehingga mendapatkan kondisi sistem yang optimum. Menurut Hartmann and Kaplick (1990) sintesis sistem adalah pengubahan input yang ada menjadi output yang merupakan perancangan elemen komplek, interkoneksi dan model fungsi, sedangkan sintesis proses meliputi jalur proses, makro/unit proses, kolom distilasi, sub atau parsial proses, elemen volume/mikro proses, dan proses elementer. Dalam melakukan sintesis proses metode yang dapat digunakan adalah metode kuantitatif (algoritma atau prosedural) dan kualitatif yaitu dengan
menggunakan heuristik (pengalaman). Beberapa kasus dapat mengikuti kaidah umum (heuristik) untuk mengurangi pilihan proses tertentu untuk pertimbangan lebih lanjut. Menurut Douglas (1988) ada lima langkah heuristik untuk perancangan proses yaitu (1) penentuan proses curah (batch) atau sinambung (continous), (2) penentuan struktur masukan dan keluaran untuk penyusunan digram alir proses, (3) pertimbangan adanya struktur daur ulang (recycle) pada diagram alir, (4) penyusunan struktur sistem pemisahan (sistem pemisahan fase uap dan sistem pemisahan fase cair), dan (5) penyusunan jaringan penukar panas. Menurut Seider et al. (1999) teknik heuristik untuk perancangan proses terdiri dari lima tahapan yaitu (1) pengurangan perbedaan jenis molekul bahan atau pemilihan jalur reaksi/proses, (2) pembagian pereksi atau bahan dengan cara mempertemukan sumber dan tujuan proses, (3) pengurangan perbedaan komposisi, yang antara lain dilakukan dengan penerapan sistem pemisahan, (4) pengurangan perbedaan suhu, tekanan dan fase, (5) pemaduan tahapan, yakni menggabungkan kegiatan operasi ke dalam satuan-satuan proses. Tiap tahapan heuristik senantiasa merupakan hasil pilihan terbaik dari beberapa pilihan yang dicanangkan. Oleh karena itu pengambilan keputusan secara heuristik dalam perancangan proses dapat digambarkan sebagai pohon sintesis. Hasil akhir dari sintesis adalah tersusun rancangan awal digaram alir proses yang menunjukkan proses yang akan dikembangkan serta penentuan satuan operasi serta proses (kimia) yang diperlukan. 2.8.2.2 Simulasi Proses Metode simulasi proses adalah suatu metode simulasi yang tertujuan untuk mempermudah perancangan proses yang akan dikembangkan. Simulasi proses dapat dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan sofware HYSYS (Hyprotech, Ltd.), ASPEN PLUS dan DYNAPLUS (Aspen Technology, Inc.) PRO/II (Simulation Science, Inc.) dan CHEMCAD (Chem Stations, Inc.), kemudian dianalisis dari output yang dihasilkan (Seider et al. 1999). Untuk menduga kelayakan dari perancangan teknologi proses perlu diamati keseluruhan tahapana simulasi proses. Prosedur untuk menentukan simulasi proses meliputi penentuan senyawa kimia, pemilihan metode yang digunakan, aplikasi produk, penentuan kapasitas
produk dan pemilihan unit operasi proses yang sesuai, serta penentuan kondisi input yang diinginkan (Zhang et al. 2003). Dalam menduga kelayakan komersial dari suatu proses, diperlukan simulasi proses yang lengkap agar hasil yang diperoleh lebih akurat. Meskipun terdapat beberapa perbedaan antara hasil pendugaan simulasi proses dan kenyataan operasi proses yang dilakukan tetapi hasil simulasi menggunakan software komputer dalam suatu proses operasi informasinya lebih dapat dipercaya, sebab secara keseluruhan proses dikemas dalam termodinamika, yang banyak memuat komponen pustaka dan teknik perhitungan yang baik (Zhang et al. 2003).
2.8.3 Kelayakan Teknis dan Ekonomi Rancangan Proses Agar supaya rancangan proses untuk mengetahui kelayakan produk yang dihasilkan dapat dilakukan tingkat kelayakannya untuk dikembangkan dan diterapkan lebih jauh, diperlukan analisis evaluasi kelayakan teknis dan ekonomi rancangan proses yang dihasilkan. Analisis evaluasi kelayakan yang umumnya dilakukan terhadap pengembangan proses adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost ratio (Net B/C), Payback Period (PBP), BEP (Break Even Point), dan analisis sensitivitas yang memberi nilai tambah dari produk yang dikaji (Gittingger 1986). Adapun perhitungan dilakukan sebagai berikut :
Net Present Value (NPV) NPV merupakan aliran kas (net cash flow) dimasa akan datang yang didiskontokan menjadi nilai sekarang dengan tingkat suku bunga tertentu. Adapun kriteria keputusan yang digunakan untuk investasi yang independen, layak jika NPV > 0 (positif), sedangkan untuk inventasi yang bersifat mutually exclusive dipilih yang terbesar. Dihitung menggunakan rumus :
dengan :
Bt Ct
: benefit bruto pada tahun ke-t : biaya bruto proyek pada tahun ke-t
i t
: tingkat suku bunga : lama investasi (t = 0, 1, 2, ..., n)
Internal Rate of Return (IRR) IRR merupakan tingkat suku bunga (i) yang menyebabkan nilai NPV sama dengan nol, sehingga nilai sekarang (present value) dari aliran uang tunai yang sama dengan nilai aliran tunai yang keluar. Dihitung menggunakan rumus :
Dengan :
NPV1 : nilai NPV yang positif NPV2 : nilai NPV yang negatif i : IRR (%)
Net Benefit Cost ratio (Net B/C) Net B/C adalah perbandingan antara nilai total sekarang dan pendapatan bersih pada periode saat pendapatan bersih bernilai positif dengan nilai total sekarang pendapatan bersih pada periode saat pendapatan bersih negatif. Jika nilai Net B/C lebih besar dari satu maka proyek atau industri dinyatakan layak. Dihitung menggunakan rumus : n −
Net B/C =
∑B -
=
Bt
∑ (1 + i) t =1 n
t
Ct
∑ C ∑ (1 + i) t =1
t
dimana : Bt = Penerimaan kotor pada tahun t Ct = Biaya kotor pada tahun t i = Tingkat suku bunga (%) n = Umur ekonomis proyek
Payback Period (PBP) PBP adalah periode yang menunjukkan waktu yang diperlukan untuk mengembalikan biaya investasi yang telah dikeluarkan dari penerimaan. PBP tidak memperhitungkan faktor nilai uang terhadap waktu. Dihitung menggunakan rumus :
dengan :
Rk Ek I
: penerimaan pada tahun ke k : pengeluaran pada tahun ke k : investasi
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui kondisi industri, jika pendapatan menurun, biaya operasional untuk eksploitasi meningkat dan biaya investasi meningkat akibat dari meningkatnya nilai tukar US$ terhadap rupiah.