9
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemekaran Daerah Pemekaran daerah menurut Gabrielle Ferrazi (2007) dapat dilihat sebagai bagian dari proses penataan daerah atau territorial reform atau administrative reform, yaitu ―management the size, shape, and hierarchy of local government units for the purpose of achieving political and administrative goals‖. Penataan daerah umunya mencakup pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah. Ferrazi berpendapat bahwa grand strategy otonomi daerah yang optimal tidak berhenti pada menentukan berapa jumlah daerah otonom yang ideal di suatu negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya hakikat otonomi daerah di negara yang bersangkutan. Baru setelah itu mencari ―jawaban‖ untuk tujuan apa sebenarnya pemekaran daerah (dalam konteks territorial reform) tersebut. Dari sudut pandang desentralisasi, pemekaran daerah merupakan implementasi azas desentralisasi, tepatnya desentralisasi teritorial. Desentralisasi teritorial menurut salah satu pendapat merupakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah kepada suatu badan umum seperti suatu persekutuan yang berpemerintahan sendiri, untuk membina keseluruhan kepentingan yang saling berkaitan dari golongan-golongan penduduk dalam suatu wilayah tertentu (Koeswara, 2001). Selain desentralisasi teritorial, juga dikenal desentralisasi fungsional dan desentralisasi administratif. Desentralisasi fungsional adalah pelimpahan sebagain fungsi pemerintahan kepada organ atau badan asli yang khusus dibentuk untuk itu. Sedangkan desentralisasi administratif adalah pelimpahan wewenang yang semula dipusatkan pada penguasa pusat, kepada pejabat-pejabat bawahannya. Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi dapat dianggap sebagai modifikasi atau ―penghalusan‖ dari sentralisasi. Alasan pemekaran daerah tidak pernah tunggal, bahkan seringkali tumpang tindih antara alasan yang bersifat sosial, politik, maupun ekonomi. Alasan pertama yang sering disampaikan dalam usulan pemekaran daerah adalah kondisi georgrafis yang terlalu luas yang berdampak pada kualitas layanan publik. Dalam kajian Bappenas dan UNDP (2008) disebutkan pula bahwa salah satu argumen yang mendukung pemekaran, yaitu antara lain karena adanya kebutuhan untuk mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat. Rentang kendali yang lebih pendek dan alokasi fiskal yang lebih merata seyogyanya menjadi modal dasar bagi peningkatan pelayanan di setiap daerah, khususnya daerah pemekaran. Tidak efektif dan efisiennya pelayanan kepada masyarakat akibat wilayah yang tidak dimekarkan misalnya terjadi pada kasus pelayanan administrasi perijinan yang mengharuskan warga yang jauh dari ibukota harus mengeluarkan biaya dan waktu lebih banyak untuk pengurusan SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial yang lain juga menyebabkan tidak efektif dan efisiennya pelayanan kepada masyarakat. Alasan kedua yang sering dikemukakan adalah masyarakat di suatu daerah merasakan adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan antara daerah yang satu
10 dengan yang lain dalam satu wilayah pemerintahan daerah. Daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan (ibukota) cenderung lebih mendapatkan perhatian daripada daerah yang jauh dari pusat kekuasaan. sehingga daerah tersebut merasakan adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan dari pemangku kekuasaan. Apalagi ketika kelompok tersebut memiliki ciri-ciri sosial yang sama seperti etnisitas, agama, kesejarahan dan tingkat kohesivitas yang tinggi maka kecenderungan untuk menuntut pembentukan pemerintahan daerah sendiri cenderung amat tinggi. Kelompok warga tersebut beranggapan bahwa ketika mereka memiliki pemerintahan daerah sendiri maka mereka akan mengelola kepentingan mereka menjadi lebih efektif dan responsif sehingga kemakmuran warganya juga akan menjadi semakin baik. Pembentukan daerah baru dianggap dapat menjadi solusi terhadap ketidakadilan dalam hubungan antar kelompok tetapi juga dapat memperkuat indentitas kelompok dan daerah. Alasan ketimpangan dan ketidakadilan ini misalnya mencuat dalam pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN, 2005). Alasan ketiga yang turut melatarbelakangi keinginan untuk pemekaran daerah adalah adanya perbedaan sosio-kultural atau etnis. Sebagai misal: masyarakat Bangka Belitung merasa berbeda dengan masyarakat Sumatera Selatan, kemudian masyarakat Gorontalo merasa berbeda dengan masyarakat Sulawesi Utara. Demikian pula penduduk Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan penduduk Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Selatan. Dalam bentuk lain, ada juga masyarakat yang mengajukan pemekaran merasa sebagai komunitas budaya tersendiri yang berbeda dengan komunitas budaya daerah induk. Sebagai contoh: masyarakat Banten merasa secara budaya berbeda dengan masyarakat Jawa Barat. Demikian pula dengan yang terjadi dalam banyak pemekaran kabupaten di Provinsi Papua. Alasan keempat adalah alasan politik. Alasan ini memang tidak pernah pernah secara eksplisit disampaikan sebagai alasan pemekaran suatu daerah. Namun nuansa motif politik dalam pengusulan pemekaran suatu daerah akan terasa jika melihat elit dan kekuatan politik yang terlihat begitu besar perannya dalam proses pengusulan pemekaran daerah. Sudah menjadi rahasia umum jika alasan dilakukannya pemekaran adalah keinginan sekelompok elit politik untuk memperoleh posisi kekuasaan baru di daerah yang dimekarkan. Hal ini karena keberadaan daerah otonomi baru hasil pemekaran daerah membuka peluang dibentuk aparat pemerintah daerah baru. Di samping itu, adanya daerah pemekaran baru juga membuka peluang partai-partai politik menambah ―alokasi‖ penempatan elit-elitnya untuk menduduki jabatan politik. Daerah pemekaran baru juga berpeluang mengkonsentrasikan dan mengkonsolidasikan basis dukungan atau konstituen tradisional yang dimiliki sebuah kekuatan politik di suatu daerah. Dikemukakan oleh Tri Ratnawati dan Robert E. Jaweng (2005) bahwa ada kecurigaan dari sebagian kalangan bahwa merebaknya jumlah pemekaran kabupaten/kota baru di Indonesia pada dekade 2000-an merupakan strategi divide and rule (memecah belah dan menguasai) dari pemerintahan pusat yang bertujuan mempermudah pengendalian daerah-daerah dan elit-elit yang telah terpecah. Motif lainnya adalah untuk pemenangan pemilu dengan cara melakukan pembelahan daerah pemilihan secara politik (gerrymander). Ini terjadi pada kasus
11 pemekaran Papua di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (yang berasal dari PDIP) dalam rangka memecah suara Partai Golkar di sana. Alasan kelima yang mendorong dilakukannya pemekaran adalah adanya keinginan mengambil keuntungan (rent seeking) dari insentif fiskal yang diberikan pemerintah pusat dan daerah induk. Sama seperti alasan sebelumnya, alasan insentif fiskal ini juga tidak pernah secara eksplisit disampaikan. Insentif fiskal tersebut antara lain adanya anggaran tersendiri dari pemerintah pusat yang terpisah dari pemerintah daerah induk. Sebagaimana diketahui, daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK). Fitrani, Hofman dan Kai (2005) menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. 2.1.1. Mekanisme Pembentukan Daerah Baru Secara yuridis formal, mekanisme pembentukan daerah baru diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. PP tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Setelah dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 8 Tahun 1999 dengan ditetapkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mekanisme pembentukan daerah baru diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2007. Secara garis besar tidak terdapat perbedaan besar pada prosedur pembentukan dan pemekaran wilayah yang diatur dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 maupun PP Nomor 78 Tahun 2007. Mekanisme dilakukan melalui beberapa tahap secara berjenjang dari bawah. Perbedaan pokoknya hanya terletak pada detail dalam proses penjaringan aspirasi dari bawah. Sedangkan teknis penyampaian usulan dan persyaratan administrasinya relatif tidak berbeda. Setelah melalui proses penjaringan aspirasi dan persetujuan dari kepala daerah dan DPRD, usulan pemekaran disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur yang dilampiri dengan: dokumen aspirasi masyarakat, hasil kajian daerah, dan persetujuan dari Bupati dan DPRD Kab/Kota serta Gubernur dan DPRD Provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan usulan tersebut, Menteri Dalam Negeri kemudian menugaskan tim observasi yang hasilnya akan menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Selanjutnya, DPOD melakukan kajian lebih lanjut hingga dapat dihasilkan keputusan terhadap usulan pemekaran daerah tersebut. Jika disetujui, Menteri Dalam Negeri yang sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan DPOD dapat mengajukan usul pemekaran daerah tersebut beserta rancangan undangundangnya kepada Presiden. Rancangan undang-undang tersebut kemudian disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan1. Dalam perjalanannya, prosedur pengusulan pemekaran wilayah sebagaimana diatur dalam PP tersebut dianggap terlalu memakan waktu lama di tengah tingginya aspirasi dan keinginan masyarakat untuk mengusulkan pemekaran 1
Lihat PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, Pasal 2 dan Pasal 17-21
12 daerah. Oleh karena itu dengan dasar bahwa pembentukan daerah baru harus ditetapkan melalui UU—sementara perancangan UU juga dapat diajukan melalui mekanisme Hak Inisiatif DPR—maka prosedur pemekaran daerah baru pun dapat dilakukan melalui jalur Hak Inisiatif DPR. Adanya dua mekanisme dalam pengusulan pembentukan daerah pemekaran ini menjadikan lingkaran persoalan terkait daerah pemekaran semakin kompleks. Belum lagi dengan wacana keinginan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang juga ingin mengambil kewenangan DPR dalam usulan daerah pemekaran. Kalangan DPD berargumentasi bahwa persoalan pemekaran daerah merupakan ranah wewenang mereka. Situasi ini menyebabkan usulan pemekaran daerah tidak hanya masuk dari satu pintu, tetapi dari banyak pintu. Tentunya masing-masing pintu memiliki pendekatan dan asumsi penilaian yang berbeda. Kondisi inilah yang menyebabkan kebijakan Moratorium Pemekaran Daerah yang diberlakukan pemerintah pusat tahun 2007 dan 2010 tidak pernah efektif. Argumentasi pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, tentang perlunya dirumuskan Desain Besar Pemerintah Daerah sebelum melanjutkan kembali kebijakan pemekran wilayah tidak mendapat sambutan positif dari pihak DPR dan DPD. Pihak DPR dan DPD beralasan bahwa tindakan menutup aspirasi masyarakat untuk memekarkan wilayah merupakan tindakan yang tidak demokratis dan tidak sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang menganut otonomi daerah. 2.1.2. Problematika Pemekaran Daerah Pemekaran daerah kadang dianggap sebagai sesuatu yang bermasalah. Beberapa contoh permasalahan muncul dari daerah yang dikaji Pamungkas (2007) dari LIPI antara lain: 1. Konflik dengan kekerasan. Salah satu contoh kasusnya adalah Kabupaten Polewali-Mamasa yang dimekarkan pada tahun 2002 menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat. Konflik juga terjadi dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. Bahkan, konflik juga terjadi dalam usulan pembentukan Provinsi Tapanuli pada tahun 2009 yang berujung pada kematian Ketua DPRD Sumatera Utara. 2. Menurunnya jumlah penduduk dan PAD secara dramatis. Contoh: Kabupaten Aceh Utara sebelum dimekarkan penduduknya berjumlah 970.000 jiwa, setelah dimekarkan menjadi Kota Bireun, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten Aceh Utara, penduduknya tinggal 420.000 jiwa. Contoh lain, pembentukan Kota Singkawang menyebabkan Kabupaten Bengkayang banyak kehilangan penduduknya karena bermigrasi ke Kota Singkawang. Selain itu, Bengkayang juga menderita karena PAD-nya menurun secara drastis pasca ditinggalkan Singkawang. 3. Menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk. Kabupaten Halmahera Barat yang setelah pemekaran wilayahnya menyempit secara drastis, saat ini dibebani oleh pembiayaan daerah-daerah baru di Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera Selatan, dan Kepulauan Sula. 4. Perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran. Kasus ini terjadi misalnya antara Pemda Kabupaten Kampar dengan Pemda kabupaten Rokan Hulu yang memperebutkan 3 desa, yaitu: Tandung, Aliantan, dan Kabun. Konflik
13 perebutan wilayah juga terjadi dalam kasus Kabupaten Banggai di Provinsi Sulawesi Tengah. 5. Perebutan aset. Kasus ini pernah terjadi di Kabupaten Nunukan yang dimekarkan tahun 1999 yang kemudian berebut gedung dan peralatan dengan kabupaten induknya, yakni Kabupaten Bulungan. Masalah serupa juga terjadi antara Kota Lhokseumawe dengan Kabupaten Lhoksukon. Adriansyah (2009) dari Kementerian Keuangan RI mengidentifikasi beberapa masalah dalam pemekaran daerah. Menurutnya, berpindahnya daerah penghasil dari daerah induk ke daerah pemekaran dapat menimbulkan potensi masalah pada munculnya pengakuan sebagai daerah penghasil. Misalkan: Kabupaten Ogan Komering Ulu dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagai daerah penghasil migas, Kabupaten Natuna dengan Kabupaten Anambas sebagai daerah penghasil migas, Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan Kabupaten Balangan sebagai daerah penghasil pertambangan umum), serta Kabupaten Konawe dengan Kabupaten Konawe Utara sebagai daerah penghasil kehutanan. Munculnya daerah baru sebagai daerah penghasil dalam realisasi penerimaan, padahal daerah tersebut tidak ditetapkan sebagai daerah penghasil dalam SK Menteri ESDM, dapat mengakibatkan penundaan penyaluran kepada daerah yang bersangkutan karena harus terlebih dahulu merubah dokumen anggaran. Tinjauan yang lain dikemukakan oleh Koespramoedyo (2009) dari Bappenas yang mengungkapkan beberapa persoalan dalam pemekaran daerah terjadi karena: 1. Pada saat melakukan proses pemekaran daerah tidak dihitung kebutuhan kawasan budidaya yang bisa dikembangkan sehingga daerah yang dimekarkan sebagian besar merupakan kawasan hutan lindung. Alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan akhirnya dilakukan karena kurangnya kebutuhan kawasan budidaya, meski hal ini melanggar UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 2. Pemekaran wilayah tidak diikuti dengan pemenuhan kebutuhan akan SDM yang memadai sehingga menyebabkan tidak konsistennya penyelenggaraan penataan ruang daerah. Daerah pemekaran belum memiliki rencana tata ruang sehingga mengacu pada tata ruang daerah induknya yang belum tentu sesuai dengan aspirasi daerah. 3. Adanya pemekaran yang tidak memperhatikan batas-batas administrasi akan berpotensi menimbulkan sengketa pertanahan. Arsip tanah yang belum terkelola dengan baik di daerah induk berpotensi menyebabkan permasalahan pembangunan di daerah. Belanja Pemerintah Belanja pemerintah merupakan instrumen untuk mengukur besarnya peran pemerintah maupun peran pihak swasta. Selain itu pengeluaran pemerintah dapat digunakan sebagai penentu jumlah pengeluaran agregat maupun penentu pertumbuhan PDB riil dalam jangka pendek. Pengeluaran pemerintah atas barang maupun jasa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu konsumsi pemerintah dan investasi pemerintah. Yang termasuk dalam golongan yang pertama (konsumsi pemerintah) adalah pembelian ke atas barang dan jasa yang akan dikonsumsikan, seperti membayar gaji guru sekolah, membeli alat-alat tulis dan kertas untuk digunakan dan membeli bensin untuk kendaraan pemerintah. 2.2.
14 Sedangkan investasi pemerintah meliputi pengeluaran untuk membangun prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit dan irigasi (Soekirno, 2006). Dalam konsep keuangan negara, pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak, akan digunakan untuk mendanai belanja pemerintah. Dalam klasifikasi ekonomi (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara), belanja pemerintah terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Sedangkan, dalam teori ekonomi makro, belanja pemerintah dikelompokkan dalam belanja konsumsi (Government Consumption Expenditure = GC) dan investasi pemerintah (Government Investment Expenditure = GI). Oleh karena itu, penggunaan terminologi belanja menurut klasifikasi ekonomi dan menurut ekonomi makro tidak 100 (seratus) persen paralel. Sejalan itu, terminologi belanja modal tidak dapat digunakan untuk merepresentasikan belanja investasi, atau sebaliknya (Direktorat Jenderal Anggaran, 2013). Selanjutnya, dalam APBD, perkembangan pengeluaran investasi yang sebetulnya tercermin dalam berbagai komponen APBD, sering ditafsirkan secara lebih sempit sehingga diidentikkan sebagai belanja modal. Sesuai dengan karakternya, belanja modal dalam APBD diterjemahkan sebagai belanja yang dilakukan dalam rangka pemupukan modal dalam aset fisik, seperti tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik lainnya. Padahal, belanja tersebut tidak hanya dilakukan pada belanja modal, tetapi juga dilakukan dalam belanja barang dan bantuan sosial. Oleh karena itu, dalam konteks ekonomi makro penggunaan terminologi tersebut sebagai belanja modal menjadi terlalu sempit, dan lebih cocok untuk menggunakan pengeluaran investasi Pemerintah. Terlepas dari problematika terminologi di atas, agar tidak terjadi kerancuan maka dalam kajian ini tidak dibedakan pengertian antara belanja konsumsi dengan belanja investasi. Lingkup pengertian belanja pemerintah daerah yang digunakan adalah mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004. Dalam UU tersebut, belanja daerah didefinisikan sebagai semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pengertian tersebut selaras dengan pengertian belanja daerah dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, dimana belanja daerah diartikan sebagai semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja terdiri dari: 1. Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh: gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lainlain sejenis.
15 2.
Belanja barang dan jasa adalah digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Contoh: pembelian barang dan jasa keperluan kantor, jasa pemeliharaan, ongkos perjalanan dinas. 3. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/ pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan, dan hewan. 4. Belanja lain-lain (bunga; subsidi; hibah; bantuan sosial; belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan belanja tidak terduga). Dari kacamata definisi lain, belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Secara empirik, belanja pemerintah dianggap sebagai implementasi dari peran atau campur tangan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ada beberapa teori yang menunjukkan bahwa perkembangan peran pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan ekonomi tidak pernah bisa dihilangkan. Bahkan, teori-teori tersebut justru mengemukakan bahwa peran pemerintah malah akan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya kondisi perekonomian. Teori-teori tersebut antara lain: 2.2.1. Model Rostow dan Musgrave Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk
16 aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. (Mangkoesoebroto, 2008) 2.2.2. Hukum Wagner Hukum Wagner dikenal dengan ―The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Adolf Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Menurut Wagner, ketika ekonomi menjadi industri, hubungan antar pasar dan agen dalam pasar menjadi semakin kompleks. Situasi ini memerlukan peraturan perdagangan dan sistem hukum untuk mengaturnya. Eksternalitas akibat urbanisasi juga membutuhkan intervensi dan peraturan sektor publik. Dari pengamatan itu Wagner kemudian mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. (Mangkoesoebroto, 2008) 2.2.3. Teori Peacock dan Wiseman Peacock dan Wiseman mengemukakan teori yang didasarkan pada pandangan masyarakat bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar tersebut. Masyarakat mempunyai suatu toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai aktivitas pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah, sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak (Mangkoesoebroto, 2008). Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. 2.3.
Infrastruktur Infrastruktur dapat diartikan sebagai kemudahan dasar dalam berbagai instalasi terutama dalam sistem komunikasi, transportasi, listrik, dan air yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam menunjang aktivitasnya baik itu untuk usaha dalam bentuk industri maupun perdagangan serta untuk mendukung kelancaran
17 arus orang, barang dan jasa dari suatu tempat ke tempat lain. Stone dalam Kodoatie (2003) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial. Bank Dunia (1994) mengkategorikan infrastruktur ke dalam 3 kelompok. Pertama, infrastruktur ekonomi, yakni aset fisik dalam menyediakan jasa dan digunakan dalam produksi dan konsumsi final, meliputi: public utilities (telekomunikasi, air minum, sanitasi, dan gas), public works (jalan, bendungan, saluran irigasi, dan drainase), serta sektor transportasi (jalan kereta api, angkutan pelabuhan, dan lapangan terbang). Kedua, infrastruktur sosial, yaitu merupakan aset dalam mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi: pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), serta untuk rekreasi (taman, museum, dan sejenisnya). Ketiga, infrastruktur administrasi/ institusi, meliputi: penegakan hukum, pertahanan keamanan, kontrol administrasi dan koordinasi, serta kebudayaan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, dipaparkan ragam jenis infrastruktur yang penyediaannya diatur pemerintah, yakni: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, serta infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Jenis infrastruktur tersebut di atas seringkali disebut sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat sehingga pengadaan dan pengelolaannya perlu diatur oleh pemerintah. 2.3.1. Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Kesadaran akan pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi telah disampaikan oleh Adam Smith pada tahun 1776 dalam karyanya yang terkenal ―The Wealth of Nation‖. Adam Smith menyatakan: ―Good roads, canals, and navigable rivers, by diminishing the expense of carriage, put the remote parts or the country more nearly upon a level with those in the neighboring town. They are upon that account greatest of all improvements.‖ Ketersediaan infrasturktur menghasilkan eksternalitas positif karena dapat meningkatkan produktifitas dan pelaku usaha dengan berkurangnya beban usaha yang harus ditanggung. Studi yang pernah dilakukan Bank Dunia menunjukkan betapa pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi. Studi tersebut menyimpulkan bahwa faktor utama yang menyebabkan percepatan pertumbuhan ekonomi dunia abad ke-20 dibandingkan beberapa abad sebelumnya adalah karena kemajuan teknologi dan pertumbuhan pembangunan infrastruktur. Dalam stadium general di ITB, Kwik Kian Gie (2002) pernah menyampaikan bahwa peran infrastruktur dalam pembangunan dapat dilihat dari sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kontribusinya terhadap peningkatan kualitas hidup. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, Sedang dalam tingkat ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Kontribusi infrastruktur terhadap peningkatan kualitas hidup dapat ditunjukkan oleh terciptanya amenities
18 dalam lingkungan fisik, terjadinya peningkatan kesejahteraan, (peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata), terwujudnya stabilisasi makro ekonomi (keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja). 2.3.2. Otonomi Daerah dan Kondisi Infrastruktur di Indonesia Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, masalah infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bisa digambarkan, misalkan, apabila jalan-jalan (baik jalan biasa maupun jalan tol) tersedia dengan baik maka akan membantu berkembangnya masyarakat di suatu wilayah. Kegiatan usaha, baik berupa pertukaran maupun distribusi barang, di suatu wilayah akan dapat berjalan baik bila didukung infrastruktur jalan yang memudahkan akses keluar-masuk wilayah tersebut. Begitu pula jenis-jenis infrastruktur lain, seperti: pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, jaringan tenaga listrik, penyediaan air minum, infrastruktur persampahan, dan juga infrastruktur telekomunikasi. Melihat pentingnya ketersediaan infrastruktur mengharuskan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab menyediakan infrastruktur untuk mengalokasi dana yang sangat besar untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Sayangnya, kemampuan keuangan pemerintah sangat terbatas sehingga tidak mampu menyediakan infrastruktur yang memadai. Selain persoalan pendanaan, penyediaan infrastruktur juga kerap terkendala oleh buruknya kinerja pemerintahan di daerah. Sejak berlakunya otonomi daerah, penyediaan infrastruktur terkesan bukan lagi prioritas utama pembangunan Padahal, tujuan otonomi daerah adalah memberikan pelayanan publik yang lebih intensif dan nyata kepada masyarakat, termasuk penyediaaan infrastruktur dasar. Ketersediaan infrastruktur sangat penting bagi kemajuan pembangunan serta peningkatan ekonomi daerah. Sebelum otonomi daerah, dana pembangunan jalan daerah diatur oleh pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden (Inpres) Jalan Provinsi atau Inpres Jalan Kabupaten. Setelah otonomi daerah, alokasi diserahkan pada setiap daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini menjadikan daerah memiliki wewenang penuh dalam pelaksanaan pembangunan jalan. Dalam upaya peningkatan ekonomi, tentunya setiap daerah akan berusaha untuk menarik minat investor. Upaya yang harus dilakukan diantaranya adalah menyiapkan ketersediaan fasilitas dan infrastruktur daerah. Sayangnya, hasil di lapangan masih belum sebagaimana diharapkan. Mengacu Global Competitiveness Report 2008-2009, inefisiensi birokrasi menempati urutan pertama faktor penghambat investasi di Indonesia. Sedangkan keburukan infrastruktur menempati urutan kedua. Sementara itu, hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) untuk iklim investasi 2007 menunjukkan lemahnya manajemen infrastruktur pemerintah daerah menjadi kendala utama investasi. Pemerintah bukan berarti tidak berupaya meningkatkan alokasi dana untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Data Kementerian Keuangan, misalnya, menunjukkan bahwa belanja di sektor jalan terus meningkat sejak era otonomi daerah. Rata-rata anggaran belanja pemerintah daerah untuk
19 pembangunan infrastruktur telah mencapai 11%-13% dari total APBD. Namun, di tengah peningkatan anggaran tersebut, porsi jalan rusak justru bertambah besar. Data BPS menyebutkan, panjang jalan kabupaten/kota dengan kualitas rusakparah sebesar 24,9% pada 2007, dan meningkat menjadi 44% pada 2010. Alokasi anggaran untuk infrastruktur di pos APBD terus meningkat. Namun temuan studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2012 memperlihatkan bahwa peningkatan anggaran tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas infrastruktur. Korupsi dipandang sebagai biang keladi dari ketidaksinkronan antara peningkatan anggaran dengan kualitas infrastrukur. Kenyataan lain bahwa selama ini ketersediaan infrastruktur justru masih menjadi kendala utama bagi aktiftas usaha di Indonesia (Ratnawati, 2012). Di sisi lain, peran swasta dalam pembiayaan infrastruktur dituntut melalui berbagai skema. Sayangnya ada sejumlah daerah yang mengalihkan tanggung jawab penyediaan infrastruktur tersebut kepada pihak swasta (melalui Peraturan Daerah) dengan alasan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan usaha. Namun sayang pengalihan tanggung jawab tersebut tidak diikuti kompensasi terhadap swasta yang menyediakan kontribusi yang sudah diberikan, malahan justru sanksi bila pihak swasta tidak sanggup melaksanakannya. Tenaga Kerja Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan tenaga kerja sebagai seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksikan barang dan jasa. Sebelum tahun 2000, Indonesia menggunakan dasar kriteria seluruh penduduk berusia 10 tahun ke atas. Selanjutnya mulai Sensus Penduduk 2000 dan sesuai dengan ketentuan secara internasional, tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih. Kriteria ini menjadi indikator yang digunakan dalam pembuat kebijakan perencanaan ketenagakerjaan, baik di daerah maupun nasional. Indikator ini juga digunakan untuk mengetahui berapa banyak tenaga kerja atau penduduk usia kerja potensial yang dapat memproduksikan barang dan jasa. Secara ringkas, tenaga kerja terdiri atas angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah bagian dari tenaga kerja yang terlibat atau masih berusaha uantuk terlibat dalam kegiatan produktif yang menghasilkan barang dan jasa. Menurut Suparmoko (2002) angkatan kerja adalah penduduk yang belum bekerja namun siap untuk bekerja atau sedang mencari pekerjaan pada tingkat upah yang berlaku. Angkatan kerja terdiri atas golongan yang bekerja, dan golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan. Sedangkan yang dimaksud dengan bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih sekolah, golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Jika yang digunakan sebagai satuan hitung tenaga kerja adalah orang, maka disini dianggap bahwa semua orang mempunyai kemampuan dan produktifitas kerja yang sama dan lama waktu kerja yang dianggap sama. Dalam statistik ketenagakerjaan di Indonesia, selain istilah angkatan kerja juga terdapat istilah kesempatan kerja. BPS mendefinisikan kesempatan kerja sebagai jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama. Sedangkan yang dimaksud lapangan pekerjaan utama itu adalah pekerjaan pada 9 sektor sebagai berikut: a. Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan
2.4.
20 b. Pertambangan dan Penggalian c. Industri d. Listrik, Gas dan Air e. Konstruksi f. Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi g. Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi h. Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan i. Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan Kesempatan kerja merupakan terjemahan bagi employment yang berarti sebagai jumlah orang yang bekerja tanpa memperhitungkan berapa banyak pekerjaan yang dimiliki tiap orang, pendapatan dan jam kerja mereka. Kesempatan kerja juga dapat dimaknai sebagai permintaan tenaga kerja (demand for labor), yaitu suatu keadaan yang menggambarkan tersedianya lapangan kerja yang siap diisi para pencari kerja. Besarnya kesempatan kerja tergantung pada beberapa faktor, di antaranya: pertumbuhan output, tingkat upah dan harga-harga dari faktor produksi lainnya. Dikemukakan Tambunan (2001) bahwa hubungan antara pertumbuhan output dengan peningkatan jumlah kesempatan kerja dapat digambarkan lewat hubungan antara pasar barang dengan pasar tenaga kerja, di mana melalui mekanisme pasar terjadi pertemuan antara permintaan dan penawaran. Di pasar tenaga kerja, rumah tangga menawarkan jasanya dan mendapatkan harga (gaji). Apabila permintaan konsumsi rumah tangga di pasar barang meningkat, maka produksi dari sisi penawaran pasar barang meningkat dan terjadilah pertumbuhan output. Apabila di semua pasar terjadi peningkatan output, maka secara agregat terjadi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan mendorong adanya pertumbuhan kesempatan kerja. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka akan semakin tinggi pula pertumbuhan kesempatan kerja. Tenaga kerja yang berkualitas yang mempunyai ketrampilan dan kemampuan yang semakin tinggi juga telah mendorong adanya peningkatan dalam upah tenaga kerja. Tenaga kerja yang berkualitas dan mempunyai kemampuan serta ketrampilan yang tinggi ini telah mendorong peningkatan produktivitas yang akhirnya mendorong peningkatan output. Oleh karena itu, walaupun sisi penawaran lebih besar daripada sisi permintaan, namun upah selalu mengami peningkatan dari tahun ke tahun. 2.5.
Pertumbuhan Ekonomi Kemajuan ekonomi suatu daerah menunjukkan keberhasilan suatu pembangunan meskipun bukan merupakan satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan (Todaro, Smith, 2006). Ada tiga macam ukuran untuk menilai pertumbuhan ekonomi yaitu pertumbuhan output, pertumbuhan output per pekerja, dan pertumbuhan output per kapita. Pertumbuhan output digunakan untuk menilai pertumbuhan kapasitas produksi yang dipengaruhi oleh adanya peningkatan tenaga kerja dan modal di wilayah tersebut. Pertumbuhan output per tenaga kerja sering digunakan sebagai indikator adanya perubahan daya saing wilayah tersebut (melalui pertumbuhan produktivitas). Sedangkan pertumbuhan output per kapita digunakan sebagai indikator perubahan kesejahteraan ekonomi. Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan seperti yang diuraikan sebagai berikut:
21 2.5.1. Teori Harrod-Domar Teori ini dikembangkan oleh Sir Henry Roy Forbes Harrod dan Evsey David Domar. Teori ini merupakan perkembangan dari teori pertumbuhan yang disampaikan oleh John Maynard Keynes. Dengan dasar pemikiran bahwa analisis yang dilakukan oleh Keynes dianggap kurang lengkap karena tidak membicarakan masalah-masalah ekonomi jangka panjang, Harrod-Domar kemudian mencoba untuk menganalisis syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian dapat tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang dengan mantap (steady growth). Steady growth sendiri dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang selalu akan memunculkan penggunaan sepenuhnya peralatan modal dalam siklus perekonomian. Ada beberapa asumsi yang digunakan Harrod-Domar dalam menjelaskan teorinya, antara lain: a. Perekonomian dalam keadaan seluruh barang modal dan tenaga kerja telah seluruhnya digunakan (full employment). b. Perekonomian hanya terdiri dari dua sektor, yaitu: rumah tangga (household) dan perusahaan (firm). Tidak ada pemerintah (government) dan trade with rest of the world. c. Besarnya private saving adalah proporsional dengan national income. d. Marginal propensity to save (MPS), capital-output ratio (COR) dan incremental capital-output ratio (ICOR) dianggap konstan/tetap. Berdasarkan pada asumsi di atas dapat diasumsikan bahwa tabungan harus sama dengan total investasi (S = I), dimana tabungan merupakan suatu proporsi dari output total (S = s.Y). Sedangkan investasi didefinisikan sebagai perubahan stok kapital (dilambangkan dengan I = ∆K). Karena kapital (K) memiliki hubungan langsung dengan output total (Y) yang ditunjukkan melalui COR (k), maka dapat dituliskan k = ∆K/∆Y atau K = k.Y. Dari persamaan tersebut dapat dituliskan identitas dari tabungan yang sama dengan investasi (S = I )sebagai berikut: S = s.Y = k.∆Y = ∆K = I atau s.Y = k.∆Y atau ∆Y/Y = s/k Persamaan Harrod-Domar ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan output secara positif berhubungan dengan rasio tabungan. Makin tinggi tabungan diinvestasikan, makin tinggi pula output. Hubungan antara COR dengan tingkat pertumbuhan output adalah negatif, yaitu makin tinggi nilai COR maka makin rendah tingkat pertumbuhan output. Oleh karena itu, jika ingin tumbuh, perekonomian harus menabung dan menginvestasikan suatu proporsi tertentu dari output totalnya. Dengan kata lain, semakin banyak porsi PDB yang ditabung akan menambah capital stock sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 2.5.2. Teori Solow Model Solow sebagai salah satu model pertumbuhan ekonomi memberikan analisis statis bagaimana keterkaitan antara akumulasi modal, pertumbuhan populasi penduduk, dan perkembangan teknologi serta pengaruh ketiganya terhadap tingkat produksi output. Teori yang dicetuskan oleh Robert Solow ini
22 memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa perekonomian di suatu negara bisa tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi di negara lain. Model pertumbuhan Solow menggunakan dua buah faktor produksi utama, yakni: modal dan tenaga kerja, serta sebuah unsur baru yakni teknologi. Modal dan tenaga kerja dapat saling mensubtitusi satu sama lain. Solow mengasumsikan bahwa setiap faktor produksi akan mengalami diminishing return, yakni jika input ditambahkan terus menerus maka output akan bertambah tetapi dengan tingkat pertambahan yang semakin mengecil. Oleh karena itu investasi yang terusmenerus belum tentu akan dapat memberikan pertumbuhan yang permanen. Dengan demikian kemajuan teknologi akan sangat menentukan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Bentuk model Solow didasarkan pada fungsi produksi sederhana dari Output (Y), Kapital (K) dan tenaga kerja (L) serta teknologi (T) sebagaimana tampak pada persamaan berikut: Y = f (K,L,T) Dalam pandangan Solow, teknologi merupakan faktor eksogen. Dampak dari kemajuan teknologi adalah dapat memunculkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan karena teknologi dapat mengoptimalkan efisiensi tenaga kerja yang terus tumbuh. Menurut teori Solow ada beberapa hal yang dilakukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Pertama, meningkatkan porsi tabungan akan meningkatkan akumulasi modal dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kedua, meningkatkan investasi yang sesuai dalam perekonomian baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Ketiga, mendorong kemajuan teknologi dapat meningkatkan pendapatan per tenaga kerja sehingga pemberian kesempatan untuk berinovasi pada sektor swasta akan berpengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi. 2.5.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB merupakan penjumlahan dari semua harga dan jasa akhir atau semua nilai tambah yang dihasilkan oleh daerah dalam periode waktu tertentu (1 tahun). Untuk menghitung nilai seluruh produksi yang dihasilkan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu dapat digunakan 3 cara penghitungan (Soekirno, 1994). Ketiga cara tersebut adalah 1. Cara Pengeluaran. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung dengan menjumlah pengeluaran ke atas barang-barang dan jasa yang diproduksikan dalam negara tersebut. Menurut cara ini pendapatan nasional adalah jumlah nilai pengeluaran rumah tangga konsumsi, rumah tangga produksi dan pengeluaran pemerintah serta pendapatan ekspor dikurangi dengan pengeluaran untuk barang-barang impor. 2. Cara Produksi atau cara produk netto. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung dengan menjumlahkan nilai produksi barang atau jasa yang diwujudkan oleh berbagai sektor (lapangan usaha) dalam perekonomian. Dalam menghitung pendapatan nasional dengan cara produksi yang dijumlahkan hanyalah nilai produksi tambahan atau value added yang diciptakan.
23 3. Cara Pendapatan. Dalam penghitungan ini pendapatan nasional diperoleh dengan cara menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan untuk mewujudkan pendapatan nasional. Adapun manfaat penghitungan nilai PDRB adalah : 1. Mengetahui dan menelaah struktur atau susunan perekonomian. Dari perhitungan PDRB dapat diketahui apakah suatu daerah termasuk daerah industri, pertanian atau jasa dan berapakah besar sumbangan masing-masing sektornya. 2. Membandingkan perekonomian dari waktu ke waktu. Oleh karena nilai PDRB dicatat tiap tahun, maka akan di dapat catatan angka dari tahun ke tahun. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh keterangan kenaikan atau penurunan apakah ada perubahan atau pengurangan kemakmuran material atau tidak. 2.6.
Penelitian Sebelumnya Belum banyak penelitian sebelumnya yang dilakukan terkait dengan belanja pemerintah, infrastruktur, tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi di daerah hasil pemekaran. Namun ada beberapa penelitian yang relevan yang bisa disebutkan, antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Mailendra (2009) tentang dampak pemekaran wilayah dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di Provinsi Jawa Barat selama periode 2002-2006. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perkembangan IPM Jabar sebelum dan setelah adanya pemekaran. Selain itu juga dianalisis dampak pemekaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia Jabar sehingga didapatkan rekomendasi kebijakan guna mewujudkan visi IPM Jabar sebesar 80 pada 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IPM seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat mengalami peningkatan. Daerah baru hasil pemekaran memiliki IPM lebih tinggi dari daerah induk. Selain daerah baru, wilayah kota memiliki nilai IPM yang relatif lebih tinggi dibanding kabupaten. Laju pertumbuhan IPM sebelum pemekaran memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan setelah pemekaran. Pemekaran wilayah di Jawa Barat ternyata membuat ketimpangan antar daerah baru dan induk semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sebagian besar potensi daerah induk berada di daerah baru yang dimekarkan. 2. Penelitian yang dilakukan Yuliadi (2012) tentang kesenjangan investasi dan evaluasi kebijakan pemekaran wilayah di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk melihat implikasi kebijakan pemekaran Provinsi Gorontalo, sejak provinsi tersebut berpisah dari Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2001, terhadap kesenjangan investasi di provinsi tersebut. Peneliti menemukan bahwa nilai rasio kesenjangan investasi penanaman modal asing (PMA) di Gorontalo dalam konteks analisis kesenjangan investasi di kawasan timur Indonesia (KATIMIN) sebelum diterapkannya kebijakan pemekaran wilayah pada tahun 2000 sebesar 94223,20174. Pada tahun 2001 nilai r turun menjadi 1397685,323 artinya bahwa kebijakan pemekaran wilayah provinsi Gorontalo dari provinsi Sulawesi Utara mengalami penurunan kesenjangan investasi PMA. Keadaan ini terus mengalami fluktuasi sampai tahun 2003 dan pada tahun 2004 nilai r turun tajam menjadi 21260,04107. Kemudian pada tahun verikutnya yaitu dari 2005 mengalami peningkatan sangat tajam menjadi
24 10457,22061. Hasil penelitian ini menyiratkan bahwa dampak dari kebijakan pemekaran wilayah provinsi Gorontalo dari provinsi Sulawesi Utara dalam jangka pendek relatif belum menunjukkan pengaruh yang berarti namun dalam jangka menengah dan panjang berpengaruh cukup besar terhadap kesenjangan investasi PMA dalam konteks perekonomian di kawasan timur Indonesia (KATIMIN). 3. Penelitian yang dilakukan Mubaroq, et al. (2013) tentang pengaruh investasi pemerintah, tenaga kerja, desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten di Indonesia. Penelitian ini mencoba menganalisis pengaruh investasi pemerintah, tenaga kerja, dan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada 395 kabupaten yang ada di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 2007-2010. Penelitian ini menemukan bahwa investasi pemerintah, jumlah tenaga kerja dan desentralisasi fiskal kabupaten di Indonesia pada periode 2007-2010 memiliki pengaruh positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi pada taraf α = 1 persen. Untuk setiap kenaikan 1 persen rasio belanja modal terhadap PDRB berlaku akan memberikan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,035 persen. Untuk setiap kenaikan 1.000 orang tenaga kerja di kabupaten di Indonesia akan memberikan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,004 persen. Desentralisasi fiskal yang diproksi dengan tingkat kemandirian daerah berupa rasio antar Pendapatan Asli Daerah terhadap Pendapatan Daerah juga akan memberikan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,069 persen untuk kenaikan setiap 1 persen tingkat kemandirian daerah. 4. Penelitian yang dilakukan Candra (2012) tentang peranan pengeluaran pemerintah, tenaga kerja dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur tahun 2001-2010. Hasil dari penelitian menunjukkan pengeluaran pemerintah, tenaga kerja dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketiga variabel di atas berpengaruh positif dan signifikan, kecuali variabel penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.