4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fish Nugget Fish nugget adalah suatu produk olahan dari bahan dasar daging ikan yang digiling halus dan diberi bumbu-bumbu serta dicampur dengan bahan pengikat kemudian dicetak menjadi bentuk tertentu selanjutnya dicelupkan ke dalam batter, breading kemudian digoreng atau disimpan terlebih dahulu dalam ruang pembeku (freezer) sebelum digoreng. Daging giling berasal dari ikan segar yang telah dibuang kepala, sisik/kulit, sirip, isi perut dan insang serta setelah dipisahkan dari tulangnya (Mesra 1994). Pada dasarnya produk fish nugget sama seperti nugget ayam atau nugget udang. Perbedaannya hanya terletak pada bahan baku yang digunakan dan karakteristik yang dimiliki oleh bahan baku tersebut (Aswar 1995). Fish nugget juga dapat dibedakan antara bahan baku ikan laut dan ikan tawar. Fish nugget dengan bahan baku ikan laut memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan dengan bahan baku ikan tawar. Hal ini disebabkan oleh tekstur yang lebih kompak dan juga pengaruh adaptasi dari sistem osmoregulasi air laut (Rumaniah 2002).
2.1.1 Tahapan pembuatan fish nugget Dalam pembuatan fish nugget terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut (Rumaniah 2002) : a. Penyiangan dan Pencucian. Penyiangan adalah membuang bagian yang tidak diperlukan yaitu kepala, sisik/kulit, isi perut dan insang. Penyiangan dan pencucian dilakukan pada dasarnya adalah untuk menghilangkan segala kotoran, darah dan lendir dari ikan yang merupakan sumber bakteri pembusuk dan bakteri patogen. b. Filleting. Tahapan ini adalah tahapan memisahkan daging dari tulang ikan serta kulitnya, sehingga didapat daging bersih tanpa tulang dan kulit atau sisiknya. c. Pencucian. Pencucian terhadap fillet ini bertujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasma yang terdapat pada daging ikan tersebut. Selain itu,
5
pencucian bertujuan untuk mendapat tekstur yang kompak. Proses pencucian ini menghasilkan bahan baku berupa surimi. d. Penggilingan. Tahapan ini bertujuan untuk menghaluskan dan melembutkan surimi, sehingga memudahkan pencampuran dengan bahan tambahan lain untuk membentuk adonan. e. Pengadonan dan Pencetakan. Pengadonan merupakan proses pencampuran surimi yang telah digiling dengan bawang putih, gula, garam dan merica untuk memberikan rasa (seasoning). Bahan lain yang juga ditambahkan adalah tepung tapioka, telur serta karagenan. Setelah adonan homogen lalu dicetak dan diberikan tepung panir. f. Pengukusan. Adonan lalu dikukus selama 45 menit pada suhu 100 0C, agar teksturnya menjadi lebih padat. g. Penggorengan. Pada tahapan terakhir ini, bahan yang telah dikukus didinginkan terlebih dahulu untuk menurunkan suhunya, lalu digoreng pada suhu 180
0
C selama tiga menit. Tujuan penggorengan adalah untuk
mematangkan, meningkatkan cita rasa, mengeringkan, memberikan warna yang baik dan untuk membunuh mikroba yang tadinya terdapat dalam adonan.
2.1.2 Bahan pengikat Bahan pengikat merupakan bahan yang digunakan dalam industri makanan untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pengikat dalam makanan adalah tepung. Fungsi bahan pengikat adalah untuk memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberikan warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat dan menarik air dari adonan. Pembentukan adonan atau lebih tepatnya pengembangan adonan dipengaruhi kandungan protein dalam tepung terigu (Fennema 1996). Pembentukan adonan atau lebih tepatnya pengembangan adonan dipengaruhi kandungan protein dalam tepung terigu. Menurut Fennema (1996) protein dalam tepung terigu dapat dibedakan menjadi empat jenis berdasarkan kelarutannya, yaitu :
6
a. Glutenin, merupakan jenis protein yang tidak larut dalam air, garam maupun alkohol. b. Globulin, merupakan jenis protein yang mempunyai sifat larut dalam garam tapi tidak atau sedikit larut dalam air. c. Glindin, merupakan jenis protein yang bersifat larut dalam larutan alkohol 70-90%. d. Albumin, jenis protein yang larut dalam air.
2.1.3 Bumbu-bumbu Penambahan garam diperlukan untuk mendapat gel lumat yang baik. Garam yang ditambahkan pada daging ikan pada umumnya adalah berkisar 2-3 % dari berat daging ikan (Watanabe et al. 1974). Penggunaan garam pada konsentrasi 1 % hingga 2 % mengakibatkan produk daging ikan yang kurang kompak dan agak lunak. Hal ini disebabkan oleh protein miofibril dalam daging ikan yang belum sepenuhnya terkontraksi sehingga membentuk gel tidak sempurna. Pada penggunaan garam dengan konsentrasi 3 % hingga 4% didapat produk daging ikan yang kompak dan kenyal. Walaupun pada konsentrasi 4 % rasa dagingnya terlalu asin (Romadhonna 2000). Bawang putih (Allium sativa L.) berfungsi sebagai penambah aroma dan cita rasa produk yang dihasilkan. Bau yang khas pada bawang putih berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur. Karakteristik bawang putih muncul apabila terjadi pemotongan atau perusakan jaringan. Bawang putih sangat mudah dijumpai pada daerah-daerah tropis di sepanjang garis khatulistiwa. (Palungku dan Budiatri 1992). Lada atau merica (Piper nigrum) adalah bahan pangan yang biasa ditambahkan pada bahan makanan sebagai penyedap masakan. Lada digemari karena mempunyai sifat penting, yaitu rasanya yang pedas dan aroma yang khas. Rasa pedas pada lada yang dihasilkan berasal dari zat piperin dan piperinin serta khavisin yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan alkaloida. Merica sangat digemari oleh orang-orang yang tinggal di iklim sub-tropis karena dapat menghangatkan suhu badan (Rismunandar 1993).
7
2.1.4 Predusting, battering dan breading Predusting banyak digunakan untuk meningkatkan daya adhesi batter. Proses ini sangat penting untuk produk basah atau memiliki permukaan yang berminyak misalnya daging bagian dada dan drumstick. Predusting biasanya mengandung tepung atau campuran tepung batter dan kemungkinan bumbubumbu jika diinginkan (Sidiq 2005). Predusting biasanya diaplikasikan dengan menggunakan drum breader, tetapi metode ini lebih sesuai diaplikasikan untuk daging yang banyak mengandung otot sebagai akibat gaya mekanis yang terjadi pada drum breader. Metode lainnya adalah dengan menggunakan springkle applicator. Metode ini digunakan untuk produk cetakan karena tidak banyak mengalami tekanan mekanis (Sidiq 2005). Batter adalah campuran yang terdiri dari air, tepung pati dan bumbubumbu yang digunakan untuk mencelupkan produk setelah dimasak. Coating dapat digunakan untuk melindungi produk dari dehidrasi selama pemasakan dan penyimpanan. Ada dua jenis batter yang dapat digunakan yaitu jenis yang beragi dan yang tidak beragi. Jenis yang beragi digunakan untuk coating karena memiliki level viskositas yang tinggi, sehingga breading tidak perlu dilakukan. Batter yang beragi salah satunya adalah tempura. Sedangkan jenis yang tidak beragi biasa dikombinasikan prosesnya dengan breading dan tingkat viskositasnya dapat diatur (Fellow 1992). Breading adalah campuran tepung, pati dan bumbu berbentuk kasar dan diaplikasikan sebelum digoreng. Terdapat lima jenis utama breader yaitu American bread crumbs, Japanese bread crumbs, crackermeal, flour breaders, dan extruded crumbs (Fellow 1992). Fungsi utama dari batter dan breading secara keseluruhan adalah untuk memperbaiki penampakan dan memperbaiki karakteristik produk, misalnya kerenyahan tekstur maupun warna yang lebih menarik. Batter dan breading juga dapat meningkatkan nilai gizi dari suatu produk pangan dan menambah kenikmatan ketika mengkonsumsi produk tersebut. Batter dan breading juga bertujuan untuk menjaga kelembaban produk pangan. Tepung roti yang digunakan harus segar, berbau khas roti, tidak berbau tengik atau asam, berwarna cemerlang,
8
berbentuk serpihan yang rata dan tidak mengandung benda asing (Badan Standardisasi Nasional 1999).
2.2 Definisi Konsumen Menurut Kotler dan Armstrong (1997), konsumen terdiri dari seluruh individu rumah tangga yang membeli atau mendapatkan barang dan jasa untuk keperluan pribadi. Konsumen itu sendiri dapat digolongkan ke dalam kelompokkelompok yang berbeda berdasarkan usia, pendapatan, pendidikan, pola perpindahan tempat dan selera. Pengelompokan ini sangat bermanfaat bagi pemasaran dalam merencanakan strategi pemasaran. Sedangkan menurut UndangUndang Nomor 1999 tentang perlindungan konsumen, definisi konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Konsumen digolongkan menjadi dua jenis, yaitu konsumen individu dan konsumen organisasi. Konsumen individu membeli barang dan jasa untuk digunakan sendiri. Konsumen individu juga mungkin membeli barang dan jasa untuk teman, saudara atau orang lain. Dalam konteks barang dan jasa yang dibeli kemudian digunakan langsung oleh individu pemakainya disebut pemakai akhir atau konsumen akhir. Sedangkan konsumen organisasi meliputi organisasi bisnis, yayasan, lembaga sosial, kantor pemerintah dan lembaga lainnya (sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit). Semua organisasi ini harus membeli produk, peralatan, dan jasa lainnya untuk menjalankan seluruh kegiatan organisasinya (Suwarman 2003).
2.3 Perilaku Konsumen Perilaku konsumen adalah perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka (Sumarwan 2003). Sedangkan menurut Engel et al. (1995), perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat untuk mendapatkan, mengkonsumsikan dan
9
menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. Perilaku konsumen dapat disimpulkan yaitu semua kegiatan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan barang dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi. Perilaku konsumen dalam mengambil keputusan tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang nantinya akan membentuk perilaku proses keputusan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam mengambil keputusan antara lain : lingkungan, perbedaan individu dan proses psikologis (Suwarman 2003). Perilaku konsumen menurut Mowen (1995) adalah interaksi dinamis dari pengaruh, kesadaran, perilaku dan lingkungan dimana manusia melakukan pertukaran barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhannya. Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan dan hubungan sosial yang dilakukan oleh konsumen perorangan, kelompok maupun organisasi untuk menilai, memperoleh dan menggunakan barang dan jasa melalui proses pertukaran atau pembelian yang diawali dengan proses pengambilan keputusan yang menentukan tindakan tersebut.
2.4 Peran Pembelian Perilaku manusia dalam melakukan proses pembelian cukup sulit untuk didefinisikan. Hal ini disebabkan karena terlalu kompleksnya hal-hal yang mempengaruhi manusia untuk mengkonsumsi atau membeli suatu produk. Keputusan konsumen yang dilaksanakan dalam bentuk tindakan membeli tidak muncul begitu saja, tetapi melalui suatu tahapan tertentu. Secara khusus, pemasar harus mengidentifikasikan siapa yang membuat keputusan pembelian atau siapa yang berperan dalam pembelian dan langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pembelian tersebut. Suatu proses keputusan membeli bukan sekedar mengetahui berbagai faktor yang akan mempengaruhi pembelian tetapi berdasarkan peranan dalam pembelian dan keputusan untuk membeli (Kotler dan Armstrong 1997)
10
Terdapat lima peran yang terjadi dalam keputusan membeli, yaitu : a. Pemrakarsa (initiator) adalah orang yang pertama kali menyarankan untuk membeli suatu produk atau jasa tertentu. b. Pemberi pengaruh (influence) adalah orang yang pandangan atau nasihatnya memberi bobot dalam pengambilan keputusan. c. Pengambil keputusan (decider) adalah orang yang sangat menentukan sebagian atau keseluruhan keputusan pembelian. d. Pembeli (buyer) adalah orang yang melakukan pembelian yang nyata. e. Pemakai (user) adalah orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa yang bersangkutan.
2.5 Mekanisme Dalam Proses Keputusan Pembelian Keputusan konsumen yang dilaksanakan dalam bentuk tindakan membeli tidak dapat muncul begitu saja, melainkan melalui suatu tahapan tertentu. Seseorang konsumen yang hendak melakukan pilihan maka harus menentukan alternatif pilihan. Menurut Kotler dan Armstrong (1997) keputusan konsumen melewati lima tahapan. Yang pertama adalah pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan perilaku pasca pembelian.
2.5.1 Pengenalan kebutuhan Proses pembelian dimulai dengan pengenalan kebutuhan, dimana konsumen menyadari suatu masalah atau kebutuhan. Kebutuhan dapat dipicu oleh faktor internal ketika salah satu kebutuhan normal seseorang timbul pada tingkat yang cukup tinggi, sehingga terjadi dorongan. Kebutuhan juga dapat dipicu oleh faktor eksternal, misalnya contoh iklan-iklan atau pengaruh dari orang lain (Kamenetz 2006). Terkadang terdapat ketidaksesuaian yang ada di antara keadaan aktual dengan kondisi yang digunakan. Menurut Engel et al. (1995), pada saat ketidaksesuaian ini melebihi ambang tertentu, kebutuhan pun dikenali. Seandainya ketidaksesuaian itu berada di bawah tingkat ambang, maka pengenalan kebutuhan pun tidak terjadi. Penganalisaan kebutuhan dan keinginan ini menurut Swastha dan Handoko (2000) ditunjukkan terutama untuk mengetahui
11
adanya kebutuhan dan keinginan yang tidak terpuaskan, jika kebutuhan tersebut diketahui maka konsumen akan segera memahami adanya kebutuhan yang belum segera dipenuhi atau masih bisa ditunda pemenuhannya serta kebutuhan yang sama-sama harus segera dipenuhi. Adanya kebutuhan yang belum terpenuhi tersebut sering diketahui secara tiba-tiba pada saat konsumen sedang berjalanjalan ke toko atau sedang berbelanja atau pada saat memperoleh informasi dari sebuah iklan, media lain, tetangga ataupun dari teman.
2.5.2 Pencarian informasi Konsumen yang tertarik kepada suatu produk mungkin akan mencari lebih banyak informasi. Jika dorongan itu kuat dan produk memuaskan, maka konsumen tersebut akan membelinya lagi dikemudian hari. Jumlah pencarian informasi yang dilakukan bergantung pada kekuatan dorongan si konsumen, jumlah informasi yang dimulai, kemudahan memperoleh lebih banyak informasi, nilai yang ditempatkan pada informasi tambahan dan kepuasan yang didapat dari pencarian (Mankins 2005) Konsumen akan mencari informasi yang tersimpan dalam ingatannya (pencarian internal) atau melakukan pengambilan informasi dari lingkungan sekitarnya (lingkungan eksternal). Menurut Engel et al. (1995), pencarian informasi adalah suatu kegiatan termotivasi dan pengetahuan yang tersimpan di dalam ingatan konsumen dan pengumpulan informasi utama yang akan dicari konsumen. Menurut Kotler dan Armstrong (1997), sumber-sumber informasi yang diperoleh konsumen dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : a. Sumber pribadi
: keluarga, teman, kenalan
b. Sumber komersial
: iklan, wiraniaga, penyalur, kemasan
c. Sumber publik
: media massa, organisasi penilai konsumen
d. Sumber pengalaman
: penanganan, pengkajian dan pemakaian produk
Menurut Swastha dan Handoko (2000), pencarian informasi dapat bersifat aktif atau pasif, internal atau eksternal. Pencarian informasi yang bersifat aktif dapat berupa kunjungan terhadap beberapa toko untuk membuat perbandingan harga atau kualitas produk, sedangkan pencarian informasi pasif mungkin hanya dengan membaca suatu iklan di majalah atau surat kabar tanpa mempercayai
12
tujuan khusus dalam pikirannya tentang gambaran produk yang diinginkan. Pencarian informasi internal tentang sumber-sumber pembelian dapat berasal dari pelopor opini (opinion leader). Sedangkan informasi eksternal dapat berasal dari media massa (majalah, surat kabar, radio dan televisi) dan sumber-sumber informasi dari kegiatan pemasaran perusahaan (publikasi, iklan, informasi dari pedagang).
2.5.3 Evaluasi alternatif Evaluasi alternatif menurut Sumarwan (2003) adalah bagaimana seorang konsumen memproses informasi untuk sampai pada memilih suatu merek tertentu. Evaluasi alternatif bergantung pada pribadi konsumen dan situasi pembelian tertentu. Konsumen terkadang membuat keputusan pembelian sendiri, misalnya konsumen meminta nasihat pembelian dari teman, pemandu, wiraniaga atau orang lain yang terpercaya. Menurut Engel et al. (1995), evaluasi alternatif didefinisikan sebagai proses evaluasi suatu alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Terdapat empat komponen dasar dalam proses evaluasi alternatif, yaitu (1) Menentukan kriteria evaluasi yang akan digunakan untuk menilai alternatifalternatif, (2) Memutuskan alternatif yang akan dipertimbangkan, (3) Menilai kinerja dari alternatif yang dipertimbangkan dan (4) Memilih dan menerapkan kaidah keputusan untuk membuat keputusan akhir. Hasil akhir dari proses evaluasi alternatif pada keterlibatan tinggi adalah pembentukan sikap umum terhadap masing-masing alternatif. Sedangkan pada situasi keterlibatan rendah, proses evaluasi alternatif hanya melibatkan pembentukan sedikit kepercayaan kepada alternatif pilihan.
2.5.4 Keputusan membeli Setelah tahap evaluasi alternatif, konsumen menentukan peringkat merek dan membentuk niat pembelian. Pada umumnya, keputusan pembelian adalah tahap untuk membeli yang paling disukai oleh konsumen. Terdapat dua faktor yakni bisa berada di antara niat pembelian dan keputusan pembelian. Faktor pertama adalah sikap orang lain dimana faktor ini adalah faktor yang
13
mempengaruhi konsumen untuk segera membeli tanpa pikir panjang. Faktor yang kedua adalah faktor situasional yang tidak diharapkan. Konsumen mungkin membentuk niat pembelian berdasarkan aspek-aspek pendapatan, harga dan manfaat produk yang dibeli (Pruden et al. 2004) Keputusan untuk membeli di sini merupakan proses dalam pembelian yang nyata. Jadi setelah tahap-tahap di muka dilakukan, maka konsumen harus mengambil keputusan apakah membeli atau tidak, bila konsumen memutuskan untuk membeli, konsumen akan menjumpai serangkaian keputusan yang harus diambil menyangkut jenis produk, merek, penjual, kuantitas, waktu pembelian dan cara pembayarannya (Swastha dan Handoko 2000). Konsumen mungkin juga akan membentuk suatu maksud membeli dan cenderung membeli merek yang disukainya. Pada tahap ini konsumen harus mengambil keputusan mengenai kapan membeli, di mana membeli dan bagaimana membeli. Menurut Kotler dan Armstrong (1997), terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi maksud pembelian dan keputusan pembelian. Pertama adalah faktor sikap atau pendirian orang lain dan kedua adalah faktor situasi yang tidak diantisipasi atau tidak diinginkan. Faktor pertama, mempengaruhi alternatif yang disukai seseorang namun tergantung pada intensitas dari pendirian negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai konsumen dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain. Semakin kuat sikap negatif orang lain dan semakin menyesuaikan maksud pembeliannya. Sedangkan untuk faktor kedua, yang dapat mempengaruhi niat pembelian dan keputusan pembelian adalah faktor situasi yang tidak diantisipasi atau tidak diinginkan. Adanya faktor ini dapat mengubah rencana pembelian suatu produk yang akan dilakukan konsumen (Kotler dan Armstrong 1997)
2.5.5 Perilaku pasca pembelian Tahap ini adalah tahap yang dilakukan setelah konsumen melakukan pembelian. Tugas pemasar tidak berakhir saat produk dibeli, melainkan berlanjut hingga periode pasca pembelian. Setelah melakukan pembelian, maka konsumen akan mengevaluasi hasil pembelian yang dilakukannya. Hasil evaluasi pasca pembelian
dapat
berupa
kepuasan
atau
ketidakpuasan.
Kepuasan
dan
14
ketidakpuasan terhadap suatu produk akan mempengaruhi perilaku selanjutnya (Kotler dan Armstrong 1997). Kepuasan akan mendorong konsumen membeli dan mengkonsumsi ulang produk tersebut. Konsumen yang merasa puas akan memperlihatkan peluang membeli yang lebih tinggi dalam kesempatan berikutnya dan cenderung mengatakan sesuatu yang serba baik tentang produk yang akan bersangkutan terhadap orang lain. Sedangkan apabila konsumen dalam melakukan pembelian tidak merasa puas dengan produk yang telah dibelinya ada dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh konsumen. Pertama, dengan meninggalkan atau konsumen tidak mau melakukan pembelian ulang. Kedua, ia akan mencari informasi tambahan mengenai produk yang telah dibelinya untuk menguatkan pendiriannya mengapa ia memilih produk itu sehingga ketidakpuasan tersebut dapat dikurangi. Semakin besar kesenjangan antara ekspektasi dan kinerja, semakin besar pula ketidakpuasan konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa produsen hanya boleh menjanjikan apa yang dapat diberikan berupa produknya sehingga konsumen terpuaskan (Keller dan Berry 2003).
2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Proses keputusan konsumen untuk membeli suatu produk sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku konsumen adalah faktor-faktor kebudayaan, sosial, personal dan psikologi (Kotler dan Armstrong 1997). Peran faktor-faktor tersebut berbeda untuk produk yang berbeda pula. Dengan kata lain, adanya faktor yang dominan pada pembelian suatu produk sementara faktor lain kurang berpengaruh.
2.6.1 Faktor kebudayaan Kebudayaan adalah penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar. Menurut Engel et al. (1995), budaya mengacu kepada nilai, gagasan, sikap dan simbol lain yang membentuk individu untuk berkomunikasi, membuat tafsiran dan mengevaluasi sebagai anggota masyarakat. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, perilakunya dapat dipelajari dari lingkungan sekitarnya, sehingga nilai, persepsi, preferensi dan perilaku antara seseorang yang tinggal pada daerah
15
tertentu dapat berbeda dengan orang lain yang berada di lingkungan yang lain pula. Dalam perilaku konsumen, budaya mempengaruhi tiga faktor, yaitu : (1) konsumsi, (2) budaya mempengaruhi bagaimana individu dalam pengambilan keputusan dan (3) variabel utama dalam penciptaan dan komunikasi makna dari sebuah produk. Oleh karena itu, pemasar sangat berkepentingan untuk melihat pergeseran budaya tersebut agar dapat menyediakan produk-produk baru yang diinginkan konsumen. Masing-masing budaya memiliki sub-budaya yang lebih kecil atau kelompok orang yang berbagi sistem nilai berdasarkan pengalaman hidup dan situasi yang umum. Sub-budaya meliputi kebangsaan, agama, kelompok ras dan daerah geografis. Banyak sub-budaya membentuk segmen pasar yang penting dan pemasar sering merancang produk dan program pemasaran yang dibuat untuk kebutuhan mereka. Sebagai contoh sub-budaya yang ada di Amerika adalah kaum hispanik, Afrika-Amerika, Asia-Amerika dan konsumen dewasa (Russel 2005).
2.6.2 Faktor sosial Kelompok rujukan adalah kelompok yang dijadikan pembanding baik yang pernah ditemui atau tidak, yang mempengaruhi sikap seseorang. Seseorang sering dipengaruhi kelompok rujukan di mana ia tidak menjadi anggotanya. Pemasar dalam hal ini berupaya mengidentifikasikan kelompok rujukan untuk pasar sasarannya. Kelompok ini dapat mempengaruhi orang pada perilaku dan gaya hidup. Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan ia telah menjadi objek penelitian yang ekstensif (Kotler dan Armstrong 1997). Anggota keluarga pembeli dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap perilaku pembelian. Keluarga sangat penting di dalam studi perilaku konsumen karena dua alasan. Pertama, keluarga adalah unit pemakaian dan pembelian untuk banyak produk konsumen. Kedua, keluarga memberikan pengaruh utama pada sikap dan perilaku konsumen.
2.6.3 Faktor pribadi Seseorang akan mengubah keinginannya dalam membeli barang dan jas selama hidupnya. Kebutuhan dan selera seseorang akan berubah sesuai dengan
16
usia. Keinginan untuk membeli dipengaruhi oleh jenjang hidup seseorang di dalam keluarga, sehingga pemasar hendaknya memperhatikan perubahan yang terjadi, yang berhubungan dengan tingkat hidup seseorang. Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang dibelinya. Dengan demikian pemasar dapat mengidentifikasikan kelompok profesi yang mempengaruhi minat lebih terhadap produk mereka. Keadaan ekonomi sangat mempengaruhi pilihan produk. Pemasar yang produknya peka terhadap pendapatan dapat dengan seksama memperhatikan kecenderungan dalam pendapatan pribadi, tabungan dan tingkat bunga, sehingga indikator-indikator ekonomi tersebut menunjukkan adanya resisi, pemasar dapat mencari jalan untuk menetapkan posisi produknya (Keller dan Berry 2003).
2.6.4 Faktor psikologis Kebutuhan-kebutuhan yang ada tersebut tidak cukup untuk memotivasi seseorang untuk bertindak pada saat tertentu. Suatu kebutuhan akan berubah menjadi motif apabila kebutuhan itu telah mencapai tingkat tertentu. Motif adalah suatu kebutuhan yang cukup menekan seseorang untuk mengejar kepuasaan. Menurut Kotler dan Armstrong (1997) adalah proses bagaimana seseorang individu mengorganisasikan, memilih dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Seseorang yang termotivasi siap untuk bertindak. Bagaimana seseorang yang termotivasi bertindak akan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap rangsangan yang sama karena tiga proses persepsi yaitu selektif, distorsi selektif dan ingatan selektif.
2.7 Peranan Merek Menurut UU Merek No. 15 Tahun 2001 pasal 1 ayat 1, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna dan kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Tjiptono (2005) memberikan empat hal pokok yang harus diperhatikan dalam sebuah merek (brand), yaitu (1) recognition atau tingkat dikenalnya sebuah merek oleh konsumen, (2) reputation atau tingkat dan status yang cukup baik bagi sebuah merek karena telah terbukti mempunyai track-record yang baik, (3) affinity atau hubungan emosional yang
17
timbul antara sebuah merek dengan konsumennya dan (4) domain atau seberapa lebar scope dari produk yang mau menggunakan merek yang bersangkutan. Tjiptono (2005) mengemukakan bahwa terdapat empat konsep merek, pertama intangible product, yaitu merupakan basis pilihan konsumen yang rasional. Kedua adalah basic brand yang bertujuan untuk mewujudkan penjualan dalam lingkungan yang kompetitif. Basic brand adalah atribut-atribut
yang
mampu mengajak atau menstimulasi konsumen pertama kali untuk memilih produk pertama kali. Tjiptono (2005) lebih lanjut memberikan contoh basic brand bahwa produk harus dikemas dengan rapi dan menarik. Ketiga adalah augmented brand yang bertujuan untuk memperluas merek dalam meningkatkan nilainya. Keempat adalah potential brand yaitu menambahkan berbagai atribut tambahan yang berperan dalam membentuk prefrensi dan loyalitas pelanggan.
2.8 Uji Validitas Validitas menunjukkan suatu hasil dari sebuah alat pengukuran untuk melihat pengukuran yang ingin diukur (Umar 2003). Setelah kuesioner tersebut tersusun maka langkah awal yang dilakukan adalah menguji validitas kuesioner. Pengujian validitas terhadap kuesioner dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana suatu alat pengukur (instrumen) mengukur apa yang ingin diukur. Suatu alat ukur yang valid atau tingkat keabsahannya tinggi secara otomatis biasanya diandalkan (reliable). Namun sebaliknya, suatu pengukuran yang handal belum tentu memiliki keabsahan tinggi (Rangkuti 1997). Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan-pertanyaan yang ada saling berhubungan antara konsep dengan kenyataan empiris. Uji validitas dilakukan pada orang responden. Setelah kuesioner tersusun dan teruji validitasnya, dalam prakteknya belum tentu data yang dikumpulkan adalah data yang valid. Beberapa hal yang dapat mengurangi validitas data antara lain cara mewawancarai dan keadaan responden sewaktu wawancara dilakukan adalah hal-hal yang perlu diperhatikan (Umar 2003).
2.9 Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah suatu angka indeks yang menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Umar 2003). Setiap
18
alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang konsisten. Semakin kecil kesalahan pengukuran, maka semakin reliabel alat pengukur tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin besar kesalahan pengukuran, maka semakin tidak reliabel alat pengukuran tersebut. Besar kecilnya kesalahan pengukuran dapat diketahui antara lain dari indeks korelasi antara hasil pengukuran pertama dan kedua. Pada penelitian sosial, kemungkinan terjadinya kesalahan pengukuran cukup besar karena itu untuk mengetahui hasil pengukuran yang sebenarnya kesalahan pengukuran harus diperhitungkan. Instrumen yang baik tidak akan bersifat tendensius yang mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu (Umar 2003).