2 PERKEMBANGAN TEKNIK POST PROCESSING MODEL CUACA NUMERIK Model cuaca numerik NWP Model cuaca numerik yang dimaksud adalah NWP yang dikeluarkan oleh beberapa institusi seperti Japan Meteorological Agency (JMA), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ECMWF dan lain-lain. NWP menggunakan model-model matematika atmosfer dan laut untuk memprediksi cuaca berdasarkan kondisi cuaca saat ini. Beberapa institusi prakiraan global maupun regional menjalankan model dalam berbagai bentuk menggunakan pengamatan cuaca permukaan, radiosonde, radar dan satelit. Ide tentang NWP pertama kali dicetuskan oleh Vilhelm Bjerknes pada tahun 1904. Bjerknes mendiskusikan penerapan hukum fisika untuk memecahkan masalah prakiraan cuaca. Beberapa dekade sesudahnya, Lewis Fry Richardson pada tahun 1922 menjelaskan tahapan-tahapan yang diperlukan dalam pengumpulan dan pengolahan data serta mendiseminasikan prakiraan. Prakiraan dengan timestep 6-jam dihitung, namun masih mengindikasikan kegagalan (Shuman, 1989). Pengolahan NWP untuk menyelesaikan persamaan atmosfer menggunakan kalkulator diperlukan sekitar 64.000 orang yang bekerja bersama untuk memperoleh prakiraan cuaca numerik. Hasil yang diperoleh belum memuaskan, karena untuk menghitung prediksi 6 jam ke depan diperlukan waktu sekitar 6 minggu dan hasil ramalannya tidak sesuai dengan hasil pengamatan yaitu adanya perubahan tekanan sebesar 145 hPa dalam waktu 6 jam (Shuman 1989). Tahun 1946, ahli fisika dan matematika John von Neumann menyarankan untuk memulai dengan model yang paling sederhana, yaitu persamaan barotropis dari gerakan atmosfer, dimana evolusi aliran dijelaskan oleh efek konservasi vortisitas absolut dari parsel udara. Dikarenakan semua pendekatan memerlukan komputer untuk mengolah dan tersedia, maka model barotropis dibuat dan berhasil sukses, prakiraan 2 – 3 hari ke depan dengan tingkat keterandalan yang tinggi. Bahkan, perkembangannya mulai melihat kemungkinan menggunakan model barokklinik. Sejak tahun 1950-an, dengan perkembangan komputer yang cepat, beberapa negara telah memulai untuk mengoperasionalkan NWP pada level 500 mb untuk tiga hari ke depan menggunakan model barotropik (WMO 1999). Tahun 1950-an, usaha lebih besar dari beberapa negara mengeksplorasi sifat baroklinik dari atmosfer. Beberapa model quasi-geostropis didisain menggunakan komputer untuk menghitung ketinggian geopotensial, angin dan suhu diturunkan sebagai turunan spasial. Perhitungan ini menyertakan model pemanasan dari bawah, friksi dan faktor orografi. Pada tahun 1960-an, mulai dikembangkan model baroklinik quasi-geostropis untuk memprakirakan hanya sampai 1 – 2 hari ke depan. Sedangkan untuk prakiraan jangka lebih panjang masih digunakan model barotropik. Sampai selanjutnya dikembangkan model persamaan primitif (PE) (WMO 1999). Perkembangan NWP selanjutnya adalah menggunakan model PE. Model ini merubah dalam pemodelan prakiraan angin, suhu dan kelembapan dengan menggunakan persamaan gerak. Parameterisasi fisik seperti proses konveksi, yang
8 sulit untuk ditangani dalam model kuasi-geostropis, mudah untuk dimasukkan dalam model, sehingga domain prakiraan dapat dikembangkan ke seluruh wilayah global. Model persamaan PE pertama kali diimplementasikan pada tahun 1966, dengan ukuran grid 300-km dan enam lapisan vertikal. Selama tahun 1970 dan 1980-an, beberapa model PE lainnya diimplementasikan pada level belahan bumi, global atau bahkan model area terbatas (LAM) dengan resolusi tinggi pada area yang lebih sempit (WMO 1999). Pusat penelitian meteorologi yang berbeda mengembangkan dan mengoperasikan berbagai model NWP. Karena aplikasi dan keterbatasan komputasi, berbagai macam teknik numerik dan penyederhanaan persamaan atmosfir yang digunakan. Tabel 2.1 menunjukkan berbagai model yang digunakan diseluruh dunia (BMG 2007). Tabel 2.1. Beberapa model NWP dari berbagai institusi dilihat dari segi substansi dan metodologi Pusat Penelitian
ECMWF UK (UKMO) USA (NCEP) Canada (CMC) France (Meteo France)
Germany (DWD) Japan (JMA) China (CMA) HKO
Tipe model NWP
Global Global Regional Global Regional Global
spectral grid point grid point spectral grid point grid point
Global Regional Global Regional Global Regional Global Regional Regional
spectral spectral grid point grid point spectral spectral spectral grid point spectral
Resolusi
40 km 55 km 12 km 60 km 12 km 24 km over North America 20 km over France 9 km 60 km 7 km 60 km 10 km 60 km 30 km 20 km
Model Output Statistik (MOS) Metoda prakiraan cuaca obyektif dapat dikategorikan menjadi dua yaitu metoda dinamis dan statistik. Perkembangannya menunjukkan bahwa metoda stokastik-dinamik mulai dieksplorasi dan menjanjikan untuk dapat dioperasionalkan di masa yang akan datang (Epstein 1969; Flemming 1971). Metoda prakiraan cuaca obyektif dinamik atau sering dikenal dengan NWP adalah model yang memprakirakan parameter cuaca, namun model ini tidak dapat memprakirakan semua parameter cuaca secara lengkap dan masih menyisakan kesalahan atau ketidakakuratan. Ada dua metoda yang dapat digunakan dalam meramal parameter cuaca yang tidak dapat secara langsung dihasilkan dari sebuah model numerik. Pertama,
9 perfect prog method, metoda ini mencari hubungan antara peubah yang diduga dengan peubah yang dapat diramal oleh model dinamis (Klein et al. 1959). Hubungan kedua peubah tersebut diterapkan pada output model numerik pada proyeksi waktu ke depan (misal 36 jam ke depan) untuk menduga prediktan 36 jam ke depan setelah model dijalankan. Metoda yang kedua adalah MOS, metoda ini menentukan hubungan statistik antara prediktan dan peubah dari model numerik pada beberapa proyeksi waktu. Teknik MOS menentukan hubungan statistik antara cuaca sebenarnya dengan model numeris. Sebagai contoh, dapat diketahui berapa kali terjadi hujan jika hasil prediksi kelembapan udara dari model sebesar 80% (Glahn dan Dale 1972). MOS merupakan model yang meghubungkan antara peubah penjelas y (observasi stasiun cuaca, seperti temperatur minimum, temperatur maksimum, kecepatan angin dan sebagainya) dan peubah prediktor x (parameter NWP, seperti temperatur, angin dan sebagainya pada berbagai grid dan level). Di samping itu peubah prediktor dapat juga berupa parameter geografi seperti lintang, bujur dan waktu (t). Tipe data peubah prediktor dapat digunakan beberapa tipe, diantaranya kontiyu (seperti temperatur), diskret (seperti klasifikasi awan: 0=cerah, 1= tersebar (scattered), 2=patah-patah (broken), dan 3=mendung), binary (seperti 1=terjadi presipitasi, 0= tidak terjadi presipitasi) dan diskontinyu. MOS direpresentasikan dalam bentuk regresi berganda:
= +
+ ,
= 1,2, … ,
(2.1 )
dimana, β0 adalah konstanta regresi, βi koefisien regresi peubah prediktor x ke-i , k adalah banyaknya peubah prediktor, dan n adalah banyaknya pengamatan. Pendugaan parameter regresi yang seringkali digunakan adalah metode kuadrat terkecil (ordinary least square). Di samping itu digunakan generalized additive models (Vislocky dan Fritch, 1995a), regresi logistik untuk meramalkan fenomena diskrit (Glahn et al. 1991; Hamill et al. 2004), dan jaringan syaraf tiruan (Marzban 2003). MOS mempunyai dua fungsi utama, yaitu: (1) teknik MOS menghasilkan ramalan cuaca kuantitatif ke depan dan mungkin juga tidak secara eksplisit di peroleh dari model. Seperti ramalan tipe presipitasi dan ramalan peluang presipitasi, thunder, fog dan sebagainya, (2) MOS mereduksi rataan sisaan dari ramalan raw model (NWP) dengan memperkecil bias dan pengkoreksian model secara statistik (Neilley dan Hanson 2004). Pengkoreksian yang dimaksud digunakan jika terdapat sisaan yang sistematik pada luaran model NWP, seperti ramalan temperatur pada kondisi terlalu dingin pada hari mendung dan terlalu panas pada hari cerah. Perbandingan pendekatan Klasik, Perfect Prognosis dan MOS Seperti diuraikan di atas bahwa beberapa metode yang seringkali digunakan pemprosesan NWP adalah pendekatan klasik, perfect prognosis dan MOS. Perbedaan yang nyata pada ketiga pendekatan adalah dalam penggunaan prediktor dan time lag yang digunakan baik pada pembangunan model maupun
10 implementasi model. Gambar perbandingan ketiga pendekatan.
2.1
adalah
diagram
yang
menunjukkan
Gambar 2.1. Perbandingan pendekatan Klasik, Perfect Prognosis dan MOS (dikembangkan dari Wilks, 1995) Pendekatan Klasik Penjelas pada beberapa waktu yang akan datang, t, dijelaskan dalam fungsi regresi fc menggunakan vektor (atau multiple) prediktor xo, dengan persamaan :
௧
(2.2 )
subscript 0 pada prediktor menyatakan bahwa nilai-nilainya merupakan pengamatan pada saat atau sebelum waktu ramalan, yaitu waktu sebelum t (waktu ramalan). Persamaan ini menekankan bahwa time lag dari ramalan dimasukkan dalam membangun persamaan regresi. Persamaan di atas digunakan pada tahap pembangunan model dan implementasi. Pendekatan Perfect Prognosis (PP) Pendekatan PP menggunakan persamaan yang berbeda pada tahap pembangunan dan implementasi. Persamaan tahap pembangunan sebagai berikut :
dan persamaan tahap implementasi sebagai berikut :
(2.3 )
11
= ( )
(2.4 )
Fungsi regresi PP, fpp, sama dalam kedua kasus, tetapi dibangun berdasarkan data observasi tanpa lag waktu. Pada tahap implementasi digunakan nilai-nilai ramalan dari prediktor pada waktu ke t, sebagaimana diperoleh dari NWP. Pendekatan MOS Pendekatan MOS menggunakan persamaan yang sama pada tahap pembangunan dan implementasi,
= ( )
(2.5 )
Persamaan diturunkan dari prediktor ramalan NWP xt, lag waktu terbawa oleh ramalan NWP, bukan pada persamaan regresi (Wilks 1995). Perkembangan dan pemanfaatan model MOS MOS dengan metode regresi stepwise diaplikasikan untuk meramal angin permukaan, peluang hujan, suhu maksimum, jumlah awan, peluang bersyarat hujan es. Data yang digunakan adalah output dari Subsynoptic Advection Model (SAM) dan PE yang diproduk oleh National Weather Service (Amerika). Sebagai prediktan digunakan data pengamatan angin permukaan, peluang hujan, suhu maksimum, jumlah awan, peluang bersyarat hujan. Metoda yang digunakan meliputi metoda regresi stepwise (screening) digunakan untuk membuat model persamaan, root mean square error (RMSE) untuk mengevaluasi hasil prakiraan dan regression estimation of event probability (REEP) atau fungsi prognosis aproksimasi dengan regresi linier digunakan untuk menghitung peluang kejadian untuk peubah biner (0,1). Range dipotong pada <0,1> untuk menghindari peluang di bawah 0 dan di atas 1 (Glahn dan Dale 1972). Persamaan yang digunakan adalah persamaan regresi musiman (musim kemarau : April-Sept, dingin:Okt-Maret) diupdate dua kali setahun. Prediktan yang digunakan adalah kejadian hujan harian yang didefinisikan jika curah hujan >= 0.01 inch, sedangkan sebagai prediktor digunakan data biner yang diturunkan dari kelembapan lapisan permukaan sampai 400mb, saturation deficit, jumlah hujan dan tekanan permukaan laut. Persamaan dibuat pada dua periode 6-jam yaitu 12-18 dan 18-24 dan periode 12-jam pada jam 12-24 dari hasil running jam 07. Hasil validasi prakiraan terhadap observasi lokal (stasiun) menunjukkan bahwa prakiraan MOS lebih baik daripada lokal pada pengamatan 15 bulan pertama, namun sebaliknya untuk 21 bulan berikutnya. Secara rata-rata, prakiraan MOS lebih baik dari hasil yang dikeluarkan NMC selama 24 bulan (Glahn dan Dale 1972). Maini et al. (2003) melakukan prakiraan suhu maksimum dan minimum menggunakan interpretasi statistik dari model output prediksi cuaca numeris. Dalam penelitiannya, Maini et al. (2003) menyatakan bahwa keterbatasan model sirkulasi umum (GCM) dalam memprediksi parameter cuaca permukaan secara akurat memerlukan interpretasi statistik terhadap produk NWP. Sistem untuk memprediksi suhu maksimum dan minimum di 12 lokasi di India telah
12 dikembangkan dengan pendekatan metoda perfect prognosis (PPM). Untuk menganalisis data ECMWF selama periode 6 tahun (1985 – 1990) digunakan persamaan model PPM. Prediksi suhu maksimum dan minimum harian diperoleh dari persamaan tersebut dengan menggunakan output model T-80. Untuk menguji skill dan kualitas prediksi suhu, dilakukan verifikasi dengan menggunakan distribusi kondisional dan marginal. Menurut Benestad, 2004 dua pendekatan yang digunakan untuk memanfaatkan GCM dalam pembuatan informasi iklim skala lokal adalah metode dynamical downsaling dan statistical downscaling (SD). MOS merupakan salah satu metode dalam SD. Menurut Zorita dan Storch (1999) SD adalah sebuah teknik analisis menggunakan metoda statsitik yang menghubungkan data iklim dalam skala spasial yang besar (grid) dengan data dalam skala lokal. Hubungan statistik ini selanjutnya digunakan untuk memprakirakan iklim di skala lokal. Maini et al. (2003) membangun persamaan regresi menggunakan data TOGA berukuran 2,5×2,5o tahun 1985 – 1990 sebagai prediktor dan pengamatan suhu sebagai prediktan. Pada tahap awal ditentukan prediktor yang mungkin dapat digunakan. Untuk menentukan hasil kombinasi linier terbaik dari nilai-nilai prediktor di sembilan grid sekitar lokasi stasiun, dihitung korelasi kanonik antara prediktan (Tmaks dan Tmin) di stasiun dengan prediktor di sembilan grid. Kombinasi linier terbaik yang dihasilkan mempunyai korelasi maksimum dengan prediktan. Untuk mengeliminasi prediktor yang mempunyai informasi redundance digunakan regresi stepwise. Prediktor yang menjelaskan seluruh varian dipilih sebagai prediktor. Hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan prediktor adalah referensi waktu pengamatan prediktan dan waktu prediktor. Gambar 2.2 menunjukkan waktu terjadinya suhu minimum dan maksimum selama 24 jam dengan dasar tanggal kalender. Berdasarkan gambar tersebut, maka penentuan prediktor untuk suhu minimum dipilih suhu minimum model numeris pada jam 00 UTC dan suhu maksimum dipilih pada jam 12 UTC. Selain referensi waktu, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemilihan grid dari data model numerik (Maini et al. 2003). Tapp et al. (1986) dalam Maini (2003) menggunakan sembilan grid yang melingkupi stasiun. Untuk memperoleh kombinasi linier terbaik dari sembilan grid tersebut, Rousseau (1982) dalam Maini et al. (2003) menggunakan korelasi kanonik antara prediktan (suhu minimum dan maksimum) dengan prediktor di sembilan grid tersebut. Yuval dan Hsieh (2003) menggunakan skema neural network (NN) untuk membuat model nonlinier MOS dalam memprakirakan hujan berdasarkan pada NWP. Sampel data beberapa minggu terakhir cukup untuk membangun inisialisasi MOS, yang kemudian akan beradaptasi dengan sendirinya jika terjadi perubahan dan modifikasi NWP. Tiga model eksperimen numeris menggunakan data reanalisis NCEP. Kinerja model dibandingkan dengan model NN konvensional berbasis skema non-adaptive. Ketika metoda adaptive diterapkan, degradasi keakuratan prakiraan akibat perubahan model NWP menjadi lebih kecil dan jauh lebih kecil dibandingkan dengan degradasi model skema non-adaptive.
13
Gambar 2.2. Referensi waktu yang digunakan untuk menentukan prediktor dan prediktan (sumber : Maini et al. 2003)
MOS adalah sebuah proses dimana hubungan statistik antara luaran model NWP dengan pengamatan dibangun untuk meningkatkan prakiraan cuaca. Proses ini sering kali digunakan untuk menjawab permasalahan prakiraan jika peubah tertentu tidak diproduk oleh model NWP, atau untuk downscaling jika resolusi spasial dari NWP sangat kasar. Permukaan tanah kasar, jarangnya lokasi pengamatan, dan kurangnya pengetahuan tentang proses fisik merupakan permasalahan lainnya yang dapat mengurangi performance model NWP dan memerlukan proses tambahan yaitu MOS (Yuval dan Hsieh 2003). Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan model MOS adalah adanya modifikasi model NWP. Perbaikan di dalam skema dinamik dan asimilasi data, perubahan dalam sistem pengamatan dan penghalusan resolusi temporal dan spasial berkontribusi dalam perubahan karakteristik model NWP. Sistem cuaca sendiri juga selalu berubah dalam skala waktu yang bervariasi. Tidak ada keraguan bahwa hubungan antara luaran NWP dengan peubah-peubah cuaca misalnya hujan harus berubah pula, dan dengan kata lain skema prakiraan MOS yang dapat beradaptasi dengan sendirinya. Wilson dan Vallee (2002) menjelaskan updateable MOS yang diterapkan Badan Meteorologi Kanada. Sistem ini didasarkan pada updating set data yang digunakan dalam membangun hubungan empiris MOS linier. Estimasi langsung dan pembaharuan parameter-parameter dari hubungan MOS linier dari data series dapat dilakukan dengan Kalman filter (Grewal dan Angus 1993). Penulis tidak memperhitungkan teknik hubungan non-linier. Metoda alternatif prakiraan hujan non-linier dikenalkan oleh Xia dan Chen (1999). Skema dinamik model output mereka didasarkan pada modifikasi dari model vertical velocity dengan syarat pengamatan hujan terakhir. Yuval dan Hsieh (2003) memperkenalkan proses NN-based MOS (MOS berbasis Neural Network) yang dapat beradaptasi secara kontinyu. Pada setiap titik waktu, NN dilatih untuk membentuk hubungan antara hujan kumulatif 6-jam pada satu set stasiun-stasiun pengamatan dengan prakiraan NWP yang valid untuk
14 waktu yang bersesuaian. Model NN merupakan modifikasi dari sebuah model referensi dilatih menggunakan semua data, di semua stasiun selama periode waktu yang singkat beberapa waktu sebelum waktu yang diprakirakan. Model terupdate dibangun ke model yang tepat dengan data observasi terbaru dan menggunakan prediktor yang mungkin dari model NWP. Wilks dan Hamill (2007) mengajukan metode post processing ensemble forecast berdasarkan karakteritik kesalahan historis atau yang disebut dengan metode ensemble-model output statistics. Metode regresi logistik dan regresi Gauss nonhomogen lebih cocok untuk prakiraan suhu harian, suhu skala menengah (6-10 hari dan 8-14 hari) dan hujan. Vannitsem (2008) melakukan koreksi terhadap luaran ECMWF menggunakan MOS di Belgia. Dari hasil prakiraan suhu udara ECMWF menunjukkan bahwa kesalahan yang timbul akibat dari ketidakpastian pada kondisi awal mendominasi kesalahan dari atmosfer bebas, dan suhu udara pada ketinggian 2 meter dapat dikoreksi dengan menggunakan teknik linier MOS. Sokol (2003) menggunakan dua model statistik, regresi linier berganda dan regresi logistik untuk memproduk prakiraan jumlah hujan dan peluang hujan berdasarkan luaran NWP Aire Limite´e Adaptation Dynamique De´veloppement International/Limited Area Modelling in Central Europe (ALADIN/LACE). Interpretasi statistik ini berhasil meningkatkan performance prakiraan. RMSE dari prakiraan jumlah curah hujan berhasil diturunkan sekitar 10% - 30%. Cheng dan Steenburgh (2007) menggunakan tiga teknik untuk meningkatkan akurasi prakiraan suhu udara pada ketinggian 2 meter, suhu titik embun pada ketinggian 2 meter dan angin ketinggian 10 meter luaran model Eta/North American meso (NAM). Ketiga model tersebut adalah traditional model output statistics (ETAMOS), Kalman filter (ETAKF) dan 7-day running mean bias removal (ETA7DBR). ETAMOS menghasilkan akurasi terbaik memprakirakan suhu udara, suhu titik embun dan angin; kemudian disusul dengan ETAKAF dan ETA7DBR. Vislocky dan Fritsch (1995b) menerapkan consensus forecasts dengan cara merata-ratakan beberapa hasil MOS yang didasarkan pada fine-mesh model (LFM) dan nested grid model (NGM) pada periode 1990-1992. Uji model dilakukan terhadap hasil prakiraan suhu maksimum dan minimum, kecepatan angin, peluang jumlah awan dan peluang hujan pada proyeksi empat waktu di 250-350 stasiun. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa concensus MOS dapat meningkatkan keakuratan MOS baik untuk LFM maupun NGM. Juneng et al. (2010) membandingkan keakuratan empat pendekatan untuk memprakirakan hujan pada lead-time satu bulan. Dua pendekatan pertama adalah teknik SD dari model ensemble. Pendekatan ketiga adalah metode ensemble dari luaran GCM tanpa downscaling, dan pendekatan keempat adalah metoda statistik sederhana berdasarkan prediktor suhu muka laut. Hasilnya menunjukkan bahwa teknik downscaling dan ensemble dapat meningkatkan keakuratan prakiraan.