Redaksi Penanggung Jawab Rudy Lumuru Dewan Redaksi Rudy Lumuru, Abet Nego Tarigan, NA Surambo, Edi Sutrisno, Norman Jiwan. Pemimpin Redaksi NA Surambo Redaktur Pelaksana Jefri Saragih Redaksi Jefri Saragih, Elsa Susanti, Kartini, Yan Yan Hadiyana, Eep Safullah, Norman Jiwan, Djauhari. Sekretariat Redaksi Vinna Distribusi dan Pelayanan Komplain Eep Saifullah Keuangan Tina, Supapan dan Sukardi Penerbit Perkumpulan Sawit Watch Alamat Redaksi Jl. Sempur Kaler No.28, Bogor. Telp: 0251 8352171 Fax: 0251 8352047
[email protected] www.sawitwatch.or.id
DARI PEMBACA hutan, masyarakat terpencil pemilik hutan, Negara pengelola hutan, jangan ngadangada hutan adat ada, yang ada hutan lindung, hutan cagar alam dan hutan yg dikategorikan dgn UU No 41 (Website:sawitwatch.or.id) Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kamu buat repot UU Hutan Adat. Hutan adat aja. (Saboar) kagak ade karna hutan ngak ikut pesta adat, dan tidak Ketidaktahuan. Kalau terkait adat. Hutan hanya hutan adat, ya hutan adat, tempat hidup masyarakat jangan diinterpretasikan terpencil aja yg bisa disebut berbeda. Baca dikit teori habitat. negara biar matang memHutan ya hutan adat ya berikan komentar. Negara adat itu aja repot, kalau ini didirikan bukan milik pemilikan hutan ya ada pribadi tetapi sejumlah etnis masyarakat modern pemilik dengan adatnya. Kalau tidak
DUNIA MENYOROT SAWIT PERBATASAN
1
2
Satu solusi...
Laporan Khusus
12
13
..Sejarah Berulang
Pekebun
10
Oil Palm Malaysia Down. Sepertinya oil palm malaysia akan terkejar oleh produksi oil palm indon, dengan segenap cara isu perluasan areal, kebakaran, green piece maka ha; itu hambat indon. (Mohaned Noor Badawi)
2 Kasus Lubuk Jering...
15 ...Tek Niman, Presiden Buruh...
20
...penyangga Danau Sentarum...
Sumber foto: Sawit Watch TandanSawit
mau menghargai adat bubar aja negara ini. (Roy) Sebenarnya bukan tidak tahu tapi tidak mau tahu, kalo kita pernah hidup bermasyarakat pasti tahu ADAT itu apa? sebelum memberi komentar pelajari dulu isi threatnya, jadilah manusia yang bijak sekalikali napa????? (Bangai)
22
Sawit Perbatasan
EDITORIAL
FREE, PRIOR, AND INFORMED CONSENT
SATU SOLUSI
KEMELUT SAWIT P
erkebunan sawit semakin tahun semakin meluas. Target pemerintah hingga 2009 akan membuka lahan hutan untuk sawit di Papua seluas 5 juta hektar, yang dalam rentang dua tahun belakangan ini total laju perluasan nasional kebun sawit sudah mencapai 800 ribu hektar per tahun.
nal dengan sebutan FPIC adalah salah satu pendekatan internasional berbasis hak dasar manusia dalam menerima informasi yang benar tentang suatu pembangunan, yang dampaknya agar subyek pembangunan tersebut dapat mengambil keputusan “iya atau tidak” terhadap pelaksanaan pembangunan tertentu secara bebas tanpa paksaan.
pun swasta) tidak kunjung terselesaikan. Bahkan dengan kebutuhan perluasan akibat dinamika ekonomi-politik Internasional, tingkat kejadian
“FPIC sudah diterapkan sejak lama di sektor kesehatan atau kedokteran, yaitu mengenai aturan atau etika pengobatan (atau tindakan medis tertentu) berkenaan dengan hak pasien dan keluarganya untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya sehingga pasien atau keluarganya dapat memberikan keputusan ‘iya atau tidak’ atas tindakan medis yang akan Sejalan dengan perluasdilakukan dokter FPIC sebagai bentuk an areal kebun sawit napendekatan kognitif (pesional tersebut, persoalan atau rumah sakit” perkebunan sawit semakin meluas dan hampir berada dalam berbagai perspektif konflik, sosial, budaya, ekonomi, dan ligkungan. Sejak minyak sawit menjadi komoditas andalan Indonesia dari masa Kolonial Belanda hingga sekarang, kemelut lahan yang terjadi antara perusahaan perkebunan (milik negara mau-
nyadaran pikiran atau pemahaman) adalah pendekatan jalan tengah yang sedang diupayakan oleh banyak pihak untuk menjadi alat mempermudah penyelesaian konflik di sektor perkebunan sawit. Dalam edisi Tandan Sawit Kali ini, akan dipaparkan sedikit tentang sejarah FPIC di Indonesia. FPIC sudah diterapkan sejak lama
konflik dalam setiap tahunnya bertambah. Ditengarai sejak diberlakukannya UU No.18/2004 tentang Perkebunan, dari 164 kejadian konflik perkebunan dalam masa dua tahun ber-tambah menjadi 513 kejadian konflik. Free, prior, and informed consent atau yang lebih dike1
di sektor kesehatan atau kedokteran, yaitu mengenai aturan atau etika pengobatan (atau tindakan medis tertentu) berkenaan dengan hak pasien dan keluarganya untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya sehingga pasien atau keluarganya dapat memberikan keputusan “iya atau tidak”
atas tindakan medis yang akan dilakukan dokter atau rumah sakit. Di Era Kolonial Belanda, Hukum Negara berbenturan dengan Hukum Adat setempat sehingga, ada ruang Middle Ground yang menjadi peluang penyelesaian benturan ini, FPIC adalah bentuk middle ground. Kasus Lubuk Jering, Riau menjadi uji coba FPIC untuk mencari solusi kemelut sawit. (Redaksi) 10
Edisi II/Sept’08 - SW
MEDIASI KONFLIK PERKEBUNAN SAWIT
WIN WIN SOLUTION DI LUBUK JERING, RIAU Pembangunan perkebunan sawit sering tersandung permasalahan penggunaan dan alih fungsi lahan. Konflik antara perusahaan dengan masyarakat lokal (adat) lebih banyak karena hal ini. Dan dari sejarah penyelesaiannya, tidak satupun terselesaikan dengan saling menguntungkan. Kasus Lubuk Jering, menjadi pengalaman berharga dalam mencari model penyelesaian konflik di perkebunan sawit.
H
atini dan Kartasapoetra (1992) menyebutkan, konflik adalah cara untuk mencapai tujuan dengan melemahkan pihak lawan, tanpa menghiraukan norma dan nilai yang berlaku. Dalam pandangan keduanya, konflik tidak semata-mata menyangkut kepentingan fisik, materialistik ataupun kebendaan, namun juga berkaitan dengan penghargaan yaitu martabat, harga diri, dan prestise (gengsi). Potensi konflik yang muncul dalam setiap interaksi sosial, tidak hanya
TandanSawit
Proses penandatanganan nota kesepakatan (MoU-Memorandum of Understanding) antara kedua belah pihak disaksikan mediator. Dan setelahnya, mediator memantau perkembangannya.(dok.Scale Up)
disebabkan adanya perjuangan untuk mempertahankan hidup dengan keterbatasan ruang atau sumberdaya, tetapi juga dikarenakan adanya insting agresif dan kompetitif yang dimiliki manusia (innate instinct). Teori sosial klasik masih membagi jenis konflik menjadi dua, yaitu yang sudah muncul ke permukaan (manifest) dan yang masih di bawah permukaan (latent). Kedua pembagian ini, merupakan muara dari ketimpangan struktur sosial-ekonomi-politik antara 2
kelas mayoritas yang lemah (proletar) dari segi akses, kekuasaan dan pengetahuan dengan kelas elit/pemilik modal/tuan tanah (aristokrat/borjuis) yang mengusai akses, memiliki kekuasaan besar dan pengetahuan yang berdampak langsung bagi kelangsungan hidup kelas mayoritas. Pada 2007 teridendifikasi konflik antara perkebunan sawit dengan masyarakat lokal (adat) di Propinsi Riau sebanyak 35 konflik, artinya lebih dari 2 konflik naik ke permukaan setiap
LAPORAN KHUSUS
TAHAPAN MEDIASI KONFLIK KEBUN DI LUBUK JERING Pra Kondisi Saling Percaya Ini merupakan kegiatan pra kondisi menuju negosiasi. Tahap ini sangat menentukan proses selanjutnya, karena konflik yang sudah berlangsung biasanya membuat keduabelah pihak untuk saling mencuriga (saling membenci dan menyerang). Kelemahan mediasi yang dilakukan pemerintah selama, tidak memberikan ruang untuk negosiasi antara para pihak yang bertikai pada tahap ini. Kelembagaan Komunitas Adanya kelembagaan untuk membicarakan segala tuntutan dan mengevaluasi capaian serta sebagai perwakilan dalam forum negosiasi sangat penting . Wadah komunitas ini dibutuhkan agar delegasi masyarakat tidak mudah putus asa terhadap capaian dan proses negosiasi yang membosankan dan berlikuliku. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, biasanya mediator menempatkan seorang transformator di komunitas/desa, dengan agenda utama menjawab kemungkinan yang bisa menyebabkan proses negosiasi tidak efektif.
Tim Ahli Independen Dalam mediasi penyelesaian konflik dibutuhkan Dewan Pakar yang sudah punya komitmen untuk bekerja secara independen menurut keahliannya masing-masing. Kedua belah pihak perlu menentukan Tim Ahli Independen ini. Dan jika dirasakan kurang mendapat persetujuan atas orang-orang yang ditawarkan, mediator dapat membuka usulan dari keduabelah pihak dengan syarat, Tim Ahli yang akan ditunjuk keduanya harus independen dan profesional. Pendapat para ahli ini sangat dibutuhkan manakala dalam negosiasi nanti terdapat perbedaan pengertian yang bersifat substantif, yang bisa menyebabkan negosiasi terhenti (deadlock). Kesepakatan menjadikan pendapat ahli sebagai data/fakta bersama yang akan digunakan dalam negosiasi di tahap awal dan perlu disepakati dalam aturan tata laksana negosiasi (code of conduct). Pertemuan Silang Memulai pertemuan dengan keduabelah yang berkonflik secara silang dilakukan oleh mediator untuk mendapatkan gambaran sejauhmana perbedaan kepentingan keduabelah pihak dan unsur-unsur yang menjadi dasar bertahan masing-masing pihak. Melalui tahapan ini kebutuhan-kebutuhan dan gambaran proses beri-
bulannya. Konflik-konflik ini sebagian besar telah dibahas secara tripartit antara 2 pihak yang berkonflik (masyarakat dan perusahaan) dan pemerintah (eksekutif dan legislatif), namun ratarata harus terhenti tanpa penyelesaian yang tuntas, kalaupun ada tetapi cenderung menyebabkan ketidakpuasan di satu pihak, terutama biasanya terjadi di pihak masyarakat. Kondisi ideal yang sering menjadi tujuan penyelesaian konflik perkebunan sawit dimana pun (termasuk di
kutnya dapat dirumuskan sehingga mediator sudah memiliki rancangan untuk di tawarkan. Pertemuan silang bisa dilakukan berulangulang jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih sempurna.
mengundang tenaga terampil. Penggambaran harus dilakukan bersama dengan menunjuk perwakilan, lalu kemudian disahkan secara bersama-sama pula dengan disaksikan/diketahui oleh mediator dan pemerintah setempat. (b) Pemetaan sosial ekonomi untuk meneTahapan Penting mukan peluang kerjasama/ Ini menjadi bagian dari kemitraan antara keduabecapaian pertemuan silang atau dicapai melalui perte- lah pihak sebagai gambaran muan perdana keduabelah penyelesaian atas konflik lahan. Pemetaan ini harus pihak. Mediator sebaiknya menawarkan tahapan-taha- dibuat keterkaitan langsung dengan areal konflik yang pan kepada keduabelah sudah dipetakan. Karena itu pihak berdasarkan hasil penjajakan kebutuhan awal keberadaan tim ahli yang yang sudah dilakukan, jan- sudah disepakati bersama gan membuatnya menjadi sebelumnya sangat penting bola liar (kondisi tidak pasti). dalam pekerjaan ini. Jika konfliknya menyangkut tumpang tindih pengeTitik Temu Kesepakatan lolaan (pemanfaatan dan Untuk memasuki proses penguasaan) lahan, maka ini hubungan keduabelah langkah awal yang selalu pihak sudah harus konpenting untuk dilakukan dusif, sudah memiliki adalah; (a) Memperjelas pemahaman yang baik batas klaim masing-masing tentang proses negosiasi, pihak melalui pemetaan sudah mengenali persoapartisipatif yang dilakukan lan dan tuntutan tim gabungan masyarakat, masing-masing dengan perusahaan, dan mediator baik, dan sudah memiliki serta pihak pemerintah (seb- data tentang objek konflik agai saksi). Pengambilan titik serta gambaran tentang koordinat harus dilakukan peluang-peluang kerjasama bersama dengan satu alat yang bisa dibangun sesuai (GPS/Global Positioning Sys- potensi yang dimiliki mastem) atau masing-masing ing-masing pihak. Artinya pihak memegang GPS seb- disini keduabelah pihak agai pembanding. Sebelum telah siap berperang tapi survey keduabelah pihak ha- tidak dengan senjata (emosi rus mendapat pengetahuan dan ego) tetapi dengan standar pemetaan melalui kesadaran menyelesaikan peatihan kecil yang dilaku- konflik dalam pantauan mekan oleh mediator dengan diator dan pemerintah.
Riau) meliputi adanya kepastian hukum (formal/informal), kenyamanan berusaha dan, keberlanjutan usaha. Ketiga hal tersebut berlaku terutama untuk masyarakat dan perusahaan yang berkonflik, tapi sangat penting juga bagi pemerintah sebagai jaminan untuk masuknya investasi, peningkatan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan, serta peningkatan devisa negara. Sejak tata kelola perusahaan yang baik (corporate good governance) menjadi prasyarat perbaikan kualitas dalam 3
bisnis sumberdaya alam, banyak pihak mendorong pelaku usaha sektor perkebunan sawit untuk melakukan pembenahan dalam menghadapi penyelesaian konflik yang “win win solution”, menguntungkan semua pihak. Dialog dan negosiasi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan yang berkonflik telah diterjemahkan dalam prinsip dan kriteria minyak sawit berkelanjutan oleh forum meja bundar untuk minyak sawit berkelanjutan (Rountable on Sustaineble Palm Oil-RSPO), yang akan 10
Edisi II/Sept’08 - SW
Dalam proses-proses perundingan menuju penyelesaian konflik perkebunan sawit, semua pihak perlu dilibatkan. Kasus Lubuk Jering di Riau juga melibatkan Babinsa (dari unsur polisi dan tentara yang ditugaskan di desa), seperti terlihat di gambar. (dok.Scale Up)
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan audit terhadap perkebunan sawit perusahaan maupun kebun sawit rakyat (smallholders). Pengalaman di Riau Negosiasi sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat, walaupun dalam ruang lingkup yang sederhana seperti melalui transaksi jual-beli maupun dalam musyawarah untuk menentukan perencanaan pembangunan tingkat kampung, dan dalam lingkup terkecil keluarga (rumah tangga). Namun negosiasi dengan pihak luar dalam penyelesaian konflik sumber daya alam yang menyangkut kepentingan publik tentu berbeda dengan cara negosiasi sederhana yang sering dilakukan masyarakat. Karena itu diperlukan pra kondisi sebelum negosiasi utama dilakukan. Pra kondisi bisa diisi dengan kegiatan pelatihan simulasi negosiasi dan pengenalan secara partisipatif mengenai persoalan mereka sendiri dan wawasan TandanSawit
“Namun yang perlu diingat, dengan proses negosiasi yang panjang terkadang ada pihak yang tidak bisa menghindar dari rasa jenuh. Rasa jenuh akan diikuti penurunan sema-ngat dan menurunnya rasa percaya diri dari delegasi negosiasi ketika harus menghadapi pertanyaan dari anggota masyarakat lain atau perusahaan. Kecurigaan terhadap delegasi negosiasi karena proses yang berlarut-larut bisa membuat anggota delegasi mengalami krisis legitimasi.” tentang posisi hukum mereka dan perusahaan serta kewajiban pemerintah. Pra kondisi tersebut akan membantu masyarakat untuk tidak mengutamakan emosi dan ego, tetapi mengajak mereka berpikir strategis jangka panjang. Dalam kasus penyelesaian konflik antara masyarakat Desa Lubuk Jering 4
dengan PT. Riaupulp menunjukkan adanya perubahan cara pandang yang signifikan setelah proses pra kondisi, masyarakat mulai menerima kehadiran perusahaan dalam musyawarah desa, begitu juga sebaliknya perusahaan lebih terbuka atas kedatangan masyarakat di kantor perusahaan. Namun yang perlu diingat, dengan proses negosiasi yang panjang terkadang ada pihak yang tidak bisa menghindar dari rasa jenuh. Rasa jenuh akan diikuti penurunan semangat dan menurunnya rasa percaya diri dari delegasi negosiasi ketika harus menghadapi pertanyaan dari anggota masyarakat lain atau perusahaan. Kecurigaan terhadap delegasi negosiasi karena proses yang berlarut-larut bisa membuat anggota delegasi mengalami krisis legitimasi. Nah, di sini lah peran seorang transformator untuk memberikan motivasi pada anggota delegasi dan memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat lain, serta menegaskan bahwa tim delegasi sudah
Proses pengalihan kebun plasma dari PT. Riaupulp kepada masyarakat desa Lubuk Jering di lapangan. Dan tahap ini, adalah tahap penyelesian konflik dari keduanya yang kemudian diatur dalam MoU atau MoA. (dok.Scale Up)
bekerja maksimal dan perlu mendapat dukungan dari anggota masyarakat yang lain. Karenanya mekanisme pertanggungjawaban dari tim delegasi ke anggota masyarakat perlu dirumuskan sejak awal penentuan anggota delegasi, sehingga seorang transformator bisa selalu mengajak masyarakat untuk kembali pada aturan main yang sudah ada. Krisis legitimasi juga bisa terjadi terhadap tim delegasi perusahaan, karena setiap saat harus memberikan laporan pertanggungjawaban kepada pimpinannya. Anggota delegasi biasanya akan mendapat tekanan dari pimpinannya (terutama dari bagian departemen produksi) untuk secepat mungkin menyelesaikan konflik. Karena itu, komunikasi yang baik antara mediator dengan pimpinan perusahaan akan bisa membantu supaya tim delegasi perusahaan tidak mendapatkan “sanksi” dari pimpinannya. Pengalaman Kasus Lubuk Jering menunjukkan pentingnya komunikasi yang baik antara pimpinan
Ahmad Zazali, anggota Sawit Watch yang pernah memediasi penyelesaian konflik perkebunan di Lubuk Jering, Riau. Saat ini ia membawahi organisasi yang bergerak dalam resolusi konflik perkebunan, Scale Up di Riau.
perusahaan dan masyarakat akan sangat membantu keberlanjutan negosiasi. Poin refleksi penting lainnya terjadi ketika negosiasi telah menghasilkan kesepakatan yang telah dituangkan dalam dokumen nota kesepahaman (MoUMemorandum of Understanding) atau 5
nota perjanjian (MoA-Memorandum of Agreement). Fungsi transformator penting dalam membantu tim delegasi menjelaskan arti pasal demi pasal isi kesepahaman/perjanjian. Pemaknaan yang berbeda dari anggota masyarakat akan memberi peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran dan akan membuat nota kesepahaman/ perjanjian menjadi kehilangan kekuatan. Karena itu, mediator (atau tim independen lain) tetap bekerja melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi dari kesepakatan yang telah dicapai, dan mediator juga mengeluarkan laporan perkembangan pasca kesepakatan untuk keduabelah pihak. Ini penting untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh salah satu pihak yang bisa berakibat pada konflik lanjutan yang mennyebabkan renegosiasi ulang, tentu hal ini tidak diinginkan, karena akan memakan biaya dan energi sia-sia serta mengulang kesalahan masa lalu.(Az) 10
Edisi II/Sept’08 - SW
FREE, PRIOR, AND INFORMED CONSENT
“TITIK TEMU HUKUM ADAT DAN NEGARA” “Adat dan Negara selalu dipertentangkan sejak lama. Indonesia menjadi obyek pertentangan Adat-Negara sedari masa Kolonial Belanda. Karena pengaruh politik perubahan hukum tradisi ke hukum modern dalam praktik model pemerintahan di daerah jajahan (koloni), asimilasi menimbulkan ketidakjelasan. Hukum modern yang dibawa bentuk negara modern (demokrasi barat atau Eropa) telah menyeret hukum adat dalam penggerusan. Middle Ground dari FPICFree, Prior and Informed Consent menjadi alternatif menemukan titik temu Adat-Negara. ”
I
ndonesia pernah menjadi negara serikat yang dibentuk pada tahun 1940-an. Dari berbagai dokumen peninggalan Kolonial Belanda, Indonesia Serikat adalah upaya mencari titik temu (Middle Ground) antara pemerintahan adat dan modern yang memiliki sejarah beragam. Belanda memerintah Indonesia lewat campuran antara pemerintahan langsung dan tak langsung. Di Jawa, mereka mengatur masalah-masalah setempat sampai ke tingkat desa, namun di sebagian besar daerah yang tercakup dalam ‘Outer Islands’ (luar Jawa), mereka mengakui pemerintahan adat setempat, meskipun pengaruh kekuasaannya atas wilayah hutan pedalaman seperti di Borneo amat lemah, dan baru kemudian perlahan-lahan berupaya memformalkan penerapan undangundang adat. TandanSawit
Pimpinan masyarakat adat, adalah wakil warga dalam proses perundingan dengan pihak luar mengenai implementasi dari free, prior, and informed consent. (dok.SW)
Pemerintah kolonial Belanda juga memerintah lewat dualisme hukum: masalah-masalah masyarakat Eropa (sebagian besar masalah komersial) diatur menurut hukum kolonial yang dikembangkan dari hukum Romawi-Belanda, dan masalah-masalah masyarakat pribumi diatur menurut pengadilan pribumi, yang berdasarkan hukum adat. Upaya mencari titik temu (Middle Ground) yang ditawarkan oleh pengakuan penguasa adat dan hukum adat ini semakin kuat seiring dengan menguatnya cengkraman pemerintah Belanda. Pengadilan pribumi semakin lama semakin tunduk di bawah pengadilan regional yang diketuai oleh hakim Belanda yang ahli versi formal hukum adat dan banding dapat diajukan ke pengadilan banding yang dijalankan oleh ahli hukum pribumi professional 6
dengan hanya sedikit keterkaitan dengan hukum adat yang dianut masyarakat bersangkutan. Meskipun demikian, di luar Jawa, prinsip bahwa masyarakat adat memiliki hak yang disebut sebagai ‘hak alokasi’ atas tanahnya masih tetap diakui selama pemerintahan kolonial Belanda. Adat menjadi simbol identitas Indonesia yang baru merdeka dan, seiring perkembangan era gerakan nasional, dinyatakan sebagai penolakan atas pemerintahan Belanda. Dengan demikian, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945, konstitusi baru mengkukuhkan adat dan mengakui hak kelompok masyarakat adat ini (self-governing communities). Meskipun adanya pengakuan, Negara secara progresif mulai mengurangi otonomi masyarakat dan cakupan adat. Pengadilan adat di daerah per-
LAPORAN KHUSUS
Pembangunan perkebunan sawit yang tanpa melalui proses free, prior, and informed consent selalu menuai protes warga baik dari masyarakat lokal atau adat yang wilayah hidupnya terkena pembangunan. Banyak kasus konflik lahan perkebunan sawit hal ini sering terjadi. (dok.SW)
lahan-lahan dihilangkan pada 1960an dan 1970-an. Pada tahun 1979, di bawah pemerintahan Soeharto, sebuah UU Pemerintahan Daerah dikeluarkan, yang memaksakan sistem pemerintahan yang seragam sampai ke tingkat desa, yang dengan demikian melumpuhkan lembaga-lembaga adat. UU tersebut ditarik pada tahun 1999, namun kerusakan yang ditimbulkannya terhadap lembaga adat sudah terlampau besar. Pengakuan hak adat yang efektif atas tanah telah digusur habis-habisan. UU Pokok Agraria sungguh-sungguh mengakui prinsip hak adat atas tanah dan mengatur tentang penguasaan tanah secara kolektif namun hal ini dipandang hanya sebagai bentuk hak penguasaan (usufruct) yang lemah. Di samping itu, penguasaan tanah ini tergantung nyaris mutlak pada kepentingan negara. Lebih lanjut lagi, peraturan yang diperlukan untuk mengakui hak penguasaan kolektif ini belum pernah dikembangkan, jadi pengakuan, pemberian status dan pendaftaran hak kolektif secara formal belum pernah dilakukan. Di atas segalanya, lebih dari
70% wilayah Indonesia telah digolongkan ke dalam ‘kawasan hutan’ dan dengan demikian tunduk pada UU Pokok Kehutanan (UU No.5 tahun1967). Menurut UU tersebut, wilayah yang didefinisikan sebagai ‘hutan negara’, dimana adat diakui, tidak mengenal bentuk hak kepemilikan. UU ini juga membatasi pengakuan pemanfaatan dan akses tradisional. Namun, proses pengukuhan kawasan hutan menurut UU Kehutanan tersebut berjalan cacat, yang berarti bahwa sedikit hak telah benar-benar dihapuskan lewat jurisdiksi Departemen Kehutanan. Seiring dengan jatuhnya Soeharto, terjadi gerakan masyarakat adat yang kuat di Indonesia, yang menuntut pengakuan hak dan lembaga adat – yang notabene sebenarnya menyerukan pemulihan yang telah dihancurkan oleh pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Pada tahun 1999 dalam sebuah pernyataan kepada pers, gerakan masyarakat adat tersebut mengeluarkan sebuah tantangan kepada pemerintah yang baru: ‘jika negara tidak mengakui kami, kami juga tidak akan mengakui negara’. 7
Dalam tanggapannya atas tantangan tersebut dan juga tekanan-tekanan dari masyarakat sipil, pemerintahan baru yang reformis mengambil beberapa langkah untuk memperbesar otonomi daerah dan mengakui hak adat. Langkah-langkah ini meliputi pemberlakuan sejumlah UU yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten dan menciptakan peluang bagi pengakuan bentuk pemerintahan daerah yang baru yang berdasarkan adat. Amandemen UU mengakui hak kelompok masyarakat adat (self-governing communities). TAP MPR IX/2001 memandatkan DPR untuk merumuskan sebuah UU baru yang mengakui hak adat atas tanah. Para analis hukum menyatakan bahwa lewat UU Lingkungan Hidup, UU Keluarga dan Penduduk Miskin dan lewat upaya meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Biologi dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, berarti Indonesia juga telah menerima prinsip free, prior, and informed consent-FPIC (persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan). Meskipun adanya kemajuan-kemajuan ini, di 10
Edisi II/Sept’08 - SW
tingkat pemerintah pusat, pemerintah masih lamban dalam memberlakukan UU dan peraturan yang mendorong reformasi ini, namun sejumlah daerah telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengakui lembaga adat, membentuk hutan masyarakat dan mendukung hak masyarakat atas tanah. Pada tahun 2000, sebuah investigasi bersama yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), the World Agroforestry Centre (ICRAF) dan the Forest Peoples Programme (FPP) lewat dialog di tingkat masyarakat memeriksa hambatanhambatan dan solusi atas masalah-masalah perwakilan, pe-ngakuan lembaga adat dan oleh karenanya ekspresi FPIC secara memadai. Kesimpulan dari investigasi ini dan sebuah studi yang dilakukan sesudahnya yang meninjau
TP3K, SATGAS dan SATLAK wajib terlebih dahulu membebaskan lahan yang akan dibangun’.
Protes warga dan pengambilalihan kembali lahan kebun saat perayaan 17 Agustus, di perbatasan Indonesia-Malaysia. (dok.SW)
“Middle Ground
Langkah ke Depan Menjalankan KBDD (keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan) sangat membutuhkan komitmen berbagai pihak. Dengan tanpa mengurangi makna “penemuan jalan tengah” penyelesaian konflik hukum adat dan negara, perlu perhatian khusus dalam pemaknaan Middle Ground dari fungsi FPIC. Middle Ground bukanlah sebuah tempat nyaman. Middle Ground adalah zona pendukung (buffer zone) yang legal, administratif dan konseptual antara berbagai budaya yang amat berbeda. Pemerintah yang menolak Middle
bukanlah sebuah tempat nyaman. Middle Ground adalah zona pendukung (buffer zone) yang legal, administratif dan konseptual antara berbagai budaya yang amat berbeda. Pemerintah yang menolak Middle Ground harus mundur dari daerah dimaksud dan membiarkan masyarahambatan dan kemungkinan dalam Ground harus mundur dari daerah dikat adat tetap sertifikasi kayu di Indonesia, FPIC maksud dan membiarkan masyarakat dibutuhkan secara hukum di Indonesia adat tetap berdaulat. Konsekwensi berdaulat.” dan sementara lembaga adat tetap kuat dan dapat diidentifikasi di beberapa daerah (dan lemah di daerah lainnya), hal yang terakhir ini tidak diakui dan tidak dijamin secara memadai dalam undang-undang. Kese-pakatan yang mengikat secara hukum antara sektor swasta dan masyarakat dapat dicapai lewat para notaris namun agar prosesnya dapat menjadi lebih umum dan dapat diterima reformasi hukum mutlak dibutuhkan:
- Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan pasal 9 Ayat 2 menyatakan ‘dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih TandanSawit
ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pasal (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya’ - Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau No. 3 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Perkebunan Kelapa Sawit Pola Kemitraan pasal 4 ayat 6 menyatakan ‘sebelum melaksanakan aktifitas pembangunan, perusahaan/investor dan atau masyarakat pemilik lahan dibantu 8
buruk dari model penolakan yang digunakan proyek-proyek pembangunan ini telah banyak didokumentasikan sehingga tidak perlu diulangi di sini. Sama halnya, masyarakat adat yang menolak Middle Ground harus menolak pemerintah yang berusaha menguasai mereka, atau menerima asimilasi ke dalam masyarakat bangsa yang berdasarkan norma-norma yang bukan milik mereka. Middle Ground memberikan sebuah proses negosiasi alternatif dimana kedua belah pihak menolak untuk memaksakan keinginannya sendiri lewat tindakan kekerasan dan meyepakati kebutuhan untuk memelihara hubungan yang ada sesuai dengan proses dan norma-norma bersama. (NJ, dari berbagai sumber)
OPINI
TAHU ADAT
TAHU DIRINYA ADA
NA Surambo, Sosiolog Pedesaan, Aktivis Sawit Watch.
pa jadinya bila anda dinyatakan tidak beradat. Anda pasti malu, tidak senang, bahkan anda akan berupaya secepatnya membela diri, tuduhan itu tidak pas dan tidak berdasar dijatuhkan kepada anda. Apakah makna yang dibanyangkan, dari kata ‘adat’? Apakah prolog tadi mewakili bayangan khalayak? Bagaimana kalau adat dilekati dengan kata ‘kaum’, yakni kaum adat. Pastinya, bayangan kita akan mengarah ke masa lalu, yakni tentang Perang Padri. Perang Padri terjadi di Sumatra Barat, lewat intrik Kolonial Belanda yang menempatkan dua kubu yang saling berhadapan antara Kaum Padri (Imam Bonjol sebagai salah satu pemimpinnya) dengan Kaum Adat. Kolonial Belanda segaris dengan Kaum Adat. Karena perang ini berbarengan dengan Perang Jawa, dimana Pangeran
A
dimana terkait banyak hal cerita tentang Kaum Adat. Saat ini, adat banyak dikaitkan ataupun dilekati dengan kata masyarakat yakni Masyarakat Adat. Apa itu masyarakat adat? Banyak versi yang mendefinisikan hal itu. Definisi tersebut antara lain versi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yakni kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai ideologi, ekonomi, politik, budaya sosial, dan wilayah sendiri (Kongres I AMAN, 1999). Selain itu, terdapat pula versi ILO (international labour organization). Dalam versi AMAN, terdapat ciri-ciri masyarakat adat perlu mempunyai suatu wilayah yang diklaim sebagai wilayah adat, dan mempunyai anggota yang mendiami wilayah tersebut, serta mempunyai aturanaturan yang khas (bisa dibedakan dengan wilayah lain) dimana biasanya aturan-aturan tersebut dinamai sebagai hukum adat. Dan biasanya masyarakat adat tersebut mempunyai institusi kelembagaan yang mengatur penggunaan hukum adat tersebut. AMAN adalah suatu aliansi yang merupakan persekutuan dari komunitas-komunitas
Diponegoro sebagai salah satu pihak yang menantang Belanda, dihentikan dahulu. Pendek cerita, akhirnya kaum adat ‘sadar diri’ siapa sebenarnya yang patut dimusuhi, maka Kaum Adat berbalik arah melawan Kolonial Belanda. Waktu itu, Kolonial Belanda bernama VOC, suatu perusahaan transnasional yang diberi tugas oleh Pemerintah Belanda untuk berdagang di Asia Tenggara. Di jaman Pergerakan Nasional, walau tidak secara clear, terkesan tertangkap makna bahwa adat bukanlah termasuk barisan revolusioner, bahkan adat adalah obyek dari revolusioner. Beberapa suara kaum adat waktu itu lebih banyak berada di pihakpihak yang menyuarakan perlunya negara federasi (Republik Indonesia Serikat - RIS). Bagi beberapa pihak, beberapa kaum adat dinilai pernah ‘selingkuh’ dengan pihak Kolonial Belanda dalam menggolkan proyek negara federasi. Bagi kaum ‘pengagum’ Negara Kesatuan Republik Indonesia, adat adalah pihak yang perlu diwaspadai. Jadi, adat dinilai mempunyai beban karena ‘perselingkuhan’ itu. Velde (1987) dalam buku Surat-surat dari Sumatra banyak bercerita tentang posisi Pemerintah Belanda 9
Masyarakat Adat se-Nusantara dimana dideklarasikan tahun 1999. Jadi, adat bukanlah tunggal maknanya, beragam makna yang dibayangkan berkenaan dengan kata adat. Beragam di sini, tercakup berbagai aspek, misalnya tujuan, bentuk organisasi, bidang lingkup, bahkan sampai beban sejarah di atas. Murray Li (2002) menyatakan, adat adalah suatu kata yang mempunyai sejarah legal dan politik yang panjang dan rumit. Adat biasanya meliputi segala sesuatu yang berupa acaraacara ritual tertentu dan ciri berbagai interaksi seharihari hingga denda-mendenda yang dikembangkan raja-raja pra-kolonial untuk menghindari terjadinya konflik dan meningkatkan kekuasaan mereka sendiri. Artinya adat memiliki arti sangat bervariasi menyangkut peristiwa sehari-hari, tetapi tidak seorang pun yang sama sekali berada diluar ataupun tanpa adat. Akhirnya, adalah sangat wajar sekali apabila anda membela diri ketika anda dinyatakan tidak tahu adat. Karena bila anda dinyatakan tidak beradat maka dapat dinyatakan, eksistensi anda sudah tiada karena tak seorang pun yang sama sekali berada di luar ataupun tanpa adat. (NAS) 10
Edisi II/Sept’08 - SW
KEBUN SAWIT BESAR JADI PENYANGGA DANAU SENTARUM (?)
S
ejak 1999, danau Sentarum diresmikan sebagai Taman Nasional berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 34/Kpts-II/ 1999 dengan luas kawasan mencapai 132.000 hektar. Danau yang terbentuk sejak zaman es atau Periode Pleistosen ini memiliki kekayaan flora dan fauna yang luar biasa, yang tak dimiliki daerah lain. Tumbuhannya saja ada 510 spesies dan 33 spesies di antaranya endemik TNDS (Taman Nasional Danau Sentarum), termasuk 10 spesies di antaranya merupakan spesies baru.
TandanSawit
Selain itu, hewan mamalia di TNDS ada 141 spesies. Sekitar 29 spesies di antaranya spesies endemik, dan 64 persen hewan mamalia itu endemik Borneo. Terdapat 266 spesies ikan, sekitar 78 persen di antaranya merupakan endemik air tawar Borneo.Tak cuma itu keunikan TNDS. Di danau ini terdapat reptil sebanyak 26 spesies dan burung 310 spesies, sekitar 13 spesies di antaranya merupakan burung endemik. Tak heran, dengan berbagai keunikan tersebut TNDS ditetapkan sebagai warisan kekayaan dunia yang tak 10
ternilai harganya. Walaupun banyak terdapat lahan gambut di Kalimantan Barat (Kalbar), namun sebagian besar berusia muda sekitar 2.000-7.000 tahun, sedangkan yang tertua satu-satunya hanya TNDS. Boleh dikatakan Taman Nasional Danau Sentarum merupakan perwakilan ekosistem lahan basah danau, hutan rawa air tawar dan hutan hujan tropik di Kalimantan. Demi menjaga keunikan dan kekayaan ekosistem di wilayah tersebut, pemerintah kabupaten Kapuas Hulu melalui Surat Keputusan Bupati No. 144 tahun 2003
LINGKUNGAN
Patok penanda batas areal HGU perkebunan sawit di sekitar Danau Sentarum. Batas ini bukti Kawasan Danau Sentarum terancam akan dikonversi ke lahan sawit. (dok.SW)
tentang Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Bahkan melalui konvensi UNESCO, TNDS ditetapkan sebagai kawasan lindung lahan basah (ramsar site). Fenomena alam atau lebih tepatnya keajaiban Danau Sentarum dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh banyak orang, terutama penduduk Kalbar yang hidup di tepian Sungai Kapuas. Saat musim hujan tiba, luapan air dari tujuh sumber air di hulu sungai Kapuas akan “ditangkap” oleh Danau Sentaraum, agar bagian hilir sungai tidak dilanda banjir bandang. Namun ketika musim kemarau tiba, danau itu akan melepaskan airnya ke aliran sungai Kapuas, untuk menghidupi ekosistem yang ada di enam kabupaten dan satu kota. Boleh dikatakan Danau Sentarum merupakan “bendungan alam” yang memang ada untuk mempertahankan kehidupan mahluk hidup. Ekonomi Danau Sentarum Selain aspek lingkungan, bagi penduduk yang hidup di dalam dan sekitar kawasan itu, Danau Sentarum memberikan sumber penghidupan utama mereka yang berprofesi sebagai ne-
layan dan penangkar ikan arwana, juga jenis ikan lainnya. Selain itu, penduduk lokal juga bisa memanfaatkan madu hutan dan kerajinan tangan seperti rotan sebagai penghasilan tambahannya. Sebagai penyangga air sungai Kapuas yang mengaliri berbagai kabupaten sepanjang 700 km dan bermuara di laut China Selatan, keberadaan TNDS tidak hanya menguntungkan sekitar 9 ribu jiwa penduduk di sekitar kawasan tersebut, juga sebagian besar penduduk propinsi Kalimantan Barat. “ Danau Sentarum merupakan berkah Ilahi buat kami masyarakat tempatan (baca: lokal) yang sebagian besar merupakan nelayan tradisional. Selain memberikan ikan untuk laukpauk dan sebagian bisa besar hasil tangkapan juga bisa untuk dijual,” kata Ade, penduduk desa Suhaid, dengan baik. Keterangan Ade tadi ditimpali seorang tokoh masyarakat Suhaid. “Di daerah kami, ada banyak miliader. Rata-rata mereka berprofesi sebagai penangkar ikan Arwana dengan tujuan pasar ekspor. Jadi alangkah naifnya pemerintah bila mengatakan daerah ini miskin dan untuk memakmurkannya mesti dibangunkan kebun sawit. Lha...ini bagaimana?” Kebun Sawit , Penyangga TNDS Namun sejak tahun 2007, dikhawatirkan oleh praktisi lingkungan dan Balai TNDS, keberadaan ekositem di kawasan TNDS dan keberlanjutan kehidupan manusia di sekitar taman nasional itu , juga di sepanjang aliran sungai Kapuas, mulai teracam kerena adanya kebijakan pemerintah memberikan ijin bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar di kawasan penyangga TNDS. Berdasarkan Surat Keterangan Kepala Balai Taman Nasional Danau Sentarum No.S.65/BTNDS.1/BKP/2008, saat ini ada 18 perusahaan kelapa sawit yang letaknya tersebar mengelilingi kawasan TNDS (zona penyangga) dengan luas total 384.394,883 ha. 11
Sebagai taman nasional baru, Kawasan Danau Sentarum masih memiliki pohonpohon besar. Dalam gambar, masyarakat menemukan tanda merah di batang pohon yang akan ditebang perusahan pengembang sawit. (dok.SW)
Perusahaan-perusahaan tersebut telah mendapat ijin prinsip dari Bupati Kapuas Hulu, namun belum mendapat ijin AMDAL dari Bapedalda setempat. Ditambahkan pula, ada 6 perusahaan sawit yang konsesinya langsung berbatasan dengan kawasan TNDS. Dus ada 2 perusahaan sawit, PT Duta Nusa Lestari dan PT Kartika Prima Cipta yang jaraknya hanya 12 km dari TNDS, telah melakukan pembibitan di lahan seluas 400 ha. Di bagian penutup surat Kepala Balai TNDS tersebut dinyatakan, Balai TNDS bekerja sama dengan LSM mengadakan sosialisasi kepala masyarakat di dalam dan di sekitar TNDS tentang dampak limbah kelapa sawit. Kekhawatiran para aktifis LSM dan pengelola Taman Nasional serta kebingungan penduduk lokal terhadap masa depan Danau Sentarum yang terdesak perluasan perkebunan sawit memang sangat beralasan. Untuk itu dibutuhkan langkah arif pemerintah dan para pemangku kebijakan untuk menjaga fungsi dan keunikan Danau Sentarum. Bagaimana jawaban pemerintah atas soal ini? (Jeff., Dari Berbagai Sumber) 10
Edisi II/Sept’08 - SW
REVITALISASI PERKEBUNAN
SEJARAH YANG BERULANG
Program revitalisasi pertanian pemerintah terfokus kepada pengembangan perkebunan sawit. Revitalisasi termasuk program peremajaan kebun-kebun sawit yang sudah tidak produktif. Dipandang dari sisi kepentingan petani kebun sawit, revitalisasi kebun tetap tidak menguntungkan petani. ”Saya sudah 22 tahun menjadi petani kelapa sawit. Sudah hapal bener cara menanam, merawat, memamen sampai menghitung modal dan untung dari kebun sawit. Tapi kenapa pemerintah lewat program revitalisasi perkebunan, khususnya di sektor perkebunan sawit, masih memperlakukan saya dan ribuan petani sawit lainnya seperti anak kecil yang belum tahu apaapa.”, keluh Suprapto H.S, penduduk desa Kendarum, kecamatan Kuaro, kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Pria berusia 59 tahun asal Purwokerto yang ikut program PIRTRANS tahun 1987 itu gundah, setelah mengikuti sosialisasi program revitalisasi perkebunan yang dilakukan pemerintah kabupaten Paser dan PTPN XIII. Ada dua persoalan pokok TandanSawit
yang dirasa akan memberatkan petani peserta program pemerintah tersebut. Pertama plafon kredit peremajaan kebun sebesar Rp 23.485.000 (bunga 5 tahun pertama sebesar 10% per tahun dan di tahun ke-6 sampai hutang petani lunas dikenai bunga 16% per tahun) yang ditetapkan oleh PTPN XIII yang mendapat dukungan pendanaan dari 5 sindikasi bank pemerintah. Kedua sistem manajemen satu atap oleh PTPN XIII. Niat baik pemerintah melalui departemen pertanian meluncurkan program revitalisasi perkebunan yang didasarkan pada Permentan No. 33 tahun 2006 tentang pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan, SK Direktur Jendral Perkebunan No: 03/Kpts/ RC.110/1/ 12
2007 Tentang Satuan Biaya Maksimum Pembangunan Peserta Program Revitalisasi Perkebunan, dan mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/pmk 06/2006 tentang kredit pengembangan energi nabati dan Revitalisasi perkebunan antara lain bertujuan untuk mempercepat pembangunan sektor perkebunan dan pengembangan perkebunan sawit rakyat demi peningkatan kesejahteraan petani plasma. Ironisnya niat baik pemerintah tadi malah ditanggapin dingin oleh petani. Menurut hitungan petani yang telah berpengalaman puluhan tahun menjadi pekebun, untuk biaya peremajaan kebun sawit yang telah berusia 20-an tahun hanya membutuhkan biaya Rp
KEBIJAKAN
10-13 juta. Jadi plafon kredit yang ditawarkan kepada petani jelas-jelas tidak masuk akal dan PTPN XIII salah satu perusahaan yang ditunjuk pemerintah menjadi pelaksana program revitalisasi perkebunan dinilai hanya ingin mengeruk keuntungan besar belaka tanpa mempedulikan nasib petani. Selain terbebani utang yang dirasakan cukup mencekik, program revitalisasi perkebunan untuk daerah pengembangan dan peremajaan kebun sawit, PTPN XIII juga menetapkan sistem pengelolaan kebun satu atap. Artinya sejak pembukaan lahan atau penggantian tanaman tua, penanaman, perawatan, memanen, penentuan harga sampai proses produksi tandan buah segar (tbs) menjadi minyak sawit mentah dimonopoli oleh pihak perusahaan (contract farming). Petani hanya akan menjadi penonton yang ”digaji” setiap bulan oleh PTPN XIII berdasarkan berat
tbs yang dihasilkan dari kebun sawit miliknyanya. Bisa dipastikan gaji petani sawit akan sangat kecil dibandingkan apabila kebun sawit dikelola sendiri oleh petani. Pola manajemen kebun satu atap pada akhirnya akan memaksa petani menjadi buruh di kebun sendiri untuk menambah penghasilannya. Apabila dicermati Program Revitalisasi Perkebunan pemerintahan SBY ini (khususnya di sektor perkebunan sawit ) tak berbeda dengan Program PIR-Trans dan PIR-Bun pada masa pemerintahan Suharto dan Pola KKPA sewaktu krisis moneter melanda Indonesia. Dimana nasib petani plasma (smallholder) hanya manis di atas kertas dan tingkat ketergantungannya terhadap perusahaan induk dirancang sedemikian rupa tetap tinggi agar mudah dikontrol demi kepentingan ekonomi dan politik penguasa. Pemerintah melalui Program Revitalisasi Perkebunan sebenarnya tak perlu repot-repot menentukan 13
perusahaan pelaksana untuk peremajaan kebun sawit. Apalagi sampai menentukan angka kredit dan sistem pengelolaan kebun sawit satu atap. Cukup berikan saja hutang berupa bibit, pupuk, pestisida kepada petani plasma. Mengaktifkan para petugas penyuluh pertanian (PPL) untuk membimbing petani dalam pengelolaan kebun sawit. Juga membuka pasar yang kompetitif tempat penampungan tbs hasil panen petani plasma. Pengalaman puluhan tahun menjadi petani sawit membuat Suprapto H.S. dan ribuan petani plasma lainnya sudah cukup cerdas dan tangguh dalam mengelola kebun sawit. Kesejahteraan hidup juga bisa mereka perjuangkan sendiri. Campur tangan pemerintah sampai ke hal-hal teknis manajemen kebun hanya memiskinan petani plasma. (Abetnego Tarigan, tulisan ini telah diterbitkan di Majalah Tempo Edisi 10-16 Mret 2008) 10
Edisi II/Sept’08 - SW
MASYARAKAT ADAT
KONFLIK PERKEBUNAN SAWIT SUMSEL
NURSIHA PUN JADI TERPIDANA uni lalu, 22 orang perempuan dari 11 propinsi berkumpul untuk membahas masalah seputar perkebunan kelapa sawit dan perempuan. Berbeda dengan tahun lalu, pertemuan para perempuan korban sawit kali ini tidak dapat dihadiri oleh beberapa peserta sebelumnya. Ada beberapa ibu yang tidak hadir karena terhalang berbagai alasan. Salah satunya Ibu Nursiha. Ibu muda berusia 36 tahun asal Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, tidak dapat menghadiri acara perempuan korban sawit tersebut. Ia terpaksa harus mendekam di penjara selama 2 tahun karena didakwa sebagai provokator dan melakukan tindakan tidak menyenangkan bagi salah satu perusahaan kebun sawit skala besar, PT. Persada Sawit Mas (PSM). Ketidakhadiran Nursiha tersebut telah mengingatkan sebuah peristiwa yang terjadi pada 25 Juni 2006 lalu. Istri dari Ependi (45 tahun) ini ditangkap polisi atas tuduhan sebagai provokator kerusuhan yang menyebabkan matinya seorang preman bayaran PT PSM. Saat ditangkap, Nursiha sedang menggendong Novia, anak keempatnya yang baru berumur 2,5 tahun. Sengketa lahan (HGU) Hak Guna Usaha milik PT PSM dengan masyarakat di 27 desa di 3 kecamatan di Ogan Komering Ilir sudah berlangsung setahun lebih. Penetapan ijin HGU bernomor 460/1503/BPN/26-07/2005 dengan luas 45.000 ha telah menggusur tanah milik masyarakat. Lahan millik keluarga Nursiha ikut tergusur.
J
TandanSawit
Nursiha bersama putri bungsunya, Novia yang baru berumur kurang dari 2 tahun.
“ Semua masyarakat tidak menyukai Darman karena ulah premannya yang selalu menakutnakuti masyarakat, tetapi tidak mungkin aku ingin membunuh Darman yang juga masih keluarga dekatku. “ Namun dengan semangat menuntut keadilan, Nursiha bersama sebagian besar warga lainnya tetap gigih mempertahankan tanah miliknya demi keberlangsungan penghidupan warga di 3 kecamatan tersebut. Warga sudah berupaya dialog dan menyurati Bupati maupun DPRD OKI, tapi tidak pernah digubris. Akhirnya, terjadi unjuk rasa. Nursiha, ibu rumah tangga biasa yang telah melahirkan empat orang anak ini tak takut ber14
juang. Saat PT PSM mulai membabat hutan di atas tanah milik warga OKI, Ia berdiri tegak menghadang sebuah traktor. Bahkan perempuan yang kini menjalani tahanan kejaksaan selama 2 tahun ini naik ke atas traktor dan menyuruh pengemudinya turun. Nursiha ditangkap atas dakwaan karena telah menyebabkan matinya seorang mandor (preman bayaran) saat unjuk rasa warga berlangsung. Ia didakwa telah memimpin pengeroyokan terhadap Mandor Darman hingga tewas. Tanpa didampingi seorang pengacara handal, ketok palu hakim Pengadilan Negeri OKI telah menyeretnya mendekam di penjara selama 2 tahun. Nursiha dipaksa pisah dengan Novia (2,5 tahun) atas kejahatan yang belum tentu benar dilakukannya. “Semua masyarakat tidak menyukai Darman karena ulah premannya yang selalu menakut-nakuti masyarakat, tetapi tidak mungkin aku ingin membunuh Darman yang juga masih keluarga dekatku, “ ujar Nursiha sambil berlinang airmata saat mendengarkan putusan hakim saat persidangan kasus bentrok warga OKI dengan PT PSM. Tanpa kehadiran Nursiha dalam kegiatan workshop perempuan yang meriah di Juni lalu, menyebabkan para peserta hikmat dalam renungan malam dan doa bersama. Terselip doa untuk ibu Nursiha, ”Semoga Ibu Nursiha tetap diberikan kekuatan dalam menjalani hidup, perjuangannya tidak pernah sia-sia, Ibu Nursiha menjadi inspirasi dan sumber motivasi bagi kita semua.” (Chica dan Elis)
BURUH
PRESIDEN BURUH PERKEBUNAN SAWIT
TEK NIMAN MINTA OPERASI MATA Apa yang ada di benak anda membaca judul tulisan di atas? Presiden para buruhkah atau yang menjadi presiden seorang buruh? Sebut saja Niman, memang seorang presiden yang bekerja di buruh perkebunan sawit. Hanya rakyatnya, adalah anggota keluarganya, dia adalah presiden di rumahnya dan sekaligus di kebun dimana ia dan keluarganya memburuh. aya mengenal ibu Niman sewaktu dia mengikuti pertemuan perempuan Juni 2008 yang lalu. Yaitu pertemuan “Para Perempuan Korban Sawit” yang diselenggarakan Sawit Watch tahun ini. Utusan dari propinsi Sumatra Barat, Ibu Niman. Namun agar akrab mengenalnya, dia meminta kami memanggilnya Tek Niman (bibi dalam bahasa Minang). Perawakannya yang gemuk tidak melukiskan kepedihan hidupnya di kampung. Tek Niman bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit PT AMP (Agro Masang Perkasa) di Pasaman Barat, Sumatra Barat. Beliau telah bekerja sejak 14 tahun lalu. Sekarang beliau berusia 44 tahun, berarti sejak beliau berusia 30 tahun. Entah mengapa dia seorang diri dalam membesarkan anaknya-anaknya, menurut penuturan beliau sang suami tidak sanggup hidup dalam kemiskinan karena ti-
S
dak memiliki pekerjaan dan hanya mengandalkan gaji Tek Niman sebagai buruh perkebunan. Gaji yang diperoleh untuk menghidupi 4 anak, ibu serta adiknya yang ikut bersamanya. Dengan nada bergurau Tek Niman mengatakan bahwa kalo boleh dibilang dialah presiden di rumahnya, dia yang mengatur segala keperluan rumah tangganya, jika tidak ada presiden, semua penduduk rumah kocar-kacir, katanya sambil tertawa. Kehidupan Tek Niman amat sederhana. Dengan gaji 40 ribu rupiah sehari, gaji pokok 32 ribu ditambah premi dan susu sebesar 8 ribu, buruh seperti Tek Niman harus melakukan pekerjaan semuanya seperti merambah dan meracun. Penghasilan Tek Niman harus mencukupi beras untuk 1 bulan 60 kg, minyak tanah yang hanya 5 liter dihemat agar cukup sampai sebulan. Rumahnya tidak berlistrik hanya pakai pelita untuk
penerangan. Untuk memasak Tek Niman terkadang menggunakan buah sawit yang terbuang untuk bahan bakar pengganti kayu. Dan menurutnya, jika kebutuhan melebihi pendapatan, ia terpaksa berhutang dan akan dibayarkan dengan gaji bulan depannya. Tek Niman dan temantemannya mulai bekerja dari jam 8.00 -13.30, dan biasanya setelah pulang dari bekerja, karena hari belum terlalu sore biasanya Tek Niman menawarkan diri untuk bekerja di kebun orang lain untuk menambah penghasilan. Dengan mendapat 30 ribu rupiah, ia menyemprot 1 liter racun roundap ke ilalang dan belukar di sekitar pokok-pokok sawit. Sambil menunjuk ke mata kanannya ia berkata, “mata saya ini rusak dan berlemak, dan ini karena racun roundap yang terbawa angin dan masuk ke mata saat menyemprot”. Cacat karena terancun roundap 15
Tek Niman, presiden buruh.
seperti Tek Niman tak pernah jadi perhatian perusahaan. Perusahaan tidak memberikan layanan dan jaminan kesehatan. Puskesmas perusahaan hanya mengobati buruh yang sakit pinggang, sakit kepala, dan sakit ringan lainnya. Padahal ada jamsostek untuk buruh seperti Tek Niman. Sewaktu Tek Niman akan kembali ke kampungnya, beliau sempat diwawancarai oleh seorang aktivis lsm dari Korea, Bojo. Ketika ditanya apa yang Tek Niman mau sampaikan ke pada perusahaan atau pemerintah yang selama ini mengabaikan hak-haknya sebagai buruh. Sambil terkekeh-kekeh, Tek Niman menjawab, ia meminta pemerintah dan perusahaan mengoperasi mata kanannya supaya masih bisa terus bekerja dan anaknya tetap bisa sekolah. Bojo pun hanya bisa menggeleng sambil tersenyum ketir dan nampak matanya berkacakaca. (Chica) 10
Edisi II/Sept’08 - SW
PEKEBUN
KONVERSI KEBUN
PETANI MEMPEROLEH KEBUN YANG LAYAK
M Darto, pendamping petani SPKS-Kaltim
“Konversi kebun, tahap penting dalam pola kemitraan di perkebunan sawit. Tahap ini, petani plasma harus hati-hati, banyak kebun plasma tak layak diberikan kepada petani.” (Darto, pendamping SPKS)
P
lasma, areal perkebunan sawit untuk rakyat yang dibangun oleh perusahaan (inti). Petani mendapatkan plasma biasanya pada tahun ke 4 setelah konversi lahan. Sementara yang dimaksud konversi (kebun) adalah proses persiapan dokumen pengalihan lahan (HGU-hak guna usaha), penetapan petani peserta, penilaian kebun, sertifikasi lahan hingga ke akad kredit. Konversi kebun, proses awal petani memperoleh plasma yang sudah dibangun dan disiapkan perusahaan inti. Plasma adalah kebun berisi tanaman menghasilkan buah tandan sawit. TandanSawit
Penerapan pola kemitraan Inti-Plasma perlu komitmen serius dari semua pihak, terutama perusahaan (Inti). Kewajiban utama Inti memberikan kebun plasma layak produksi kepada petani. Kebun plasma layak berproduksi di umur tanam 4-5 tahun, seperti terlihat pada gambar. (dok.SW) Pola kemitraan inti-plasma dalam perkebunan sawit tersebut akan menentukan kelanjutan usaha petani. Kewajiban perusahaan inti mengembangkan plasma pada tahun 4 atau 5 adalah titik penentu keseriusan perusahaan. Plasma berisi Tanaman Menghasilkan pada tahun ke-4, yang kemudian petani bisa menikmatinya hingga 25 tahun masa HGU. Proses Konversi Kebun Sebelum terjadi pengalihan kebun plasma dari perusahaan kepada petani, perusahaan inti memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban perusahaan inti 16
terhadap petani plasma meliputi penyelesaian pengurusan sertifikat hak milik, mengusulkan pengalihan kebun plasma, menyelesaikan penilaian fisik kebun, dan melakukan akad kredit. Tahapan proses yang menjadi tanggung jawab perusahaan inti tersebut sering terlanggar perusahaan. Tanpa kontrol yang ketat, beban ini akhirnya menimbulkan persoalan di masa datang. Semisal, perusahaan hanya mengembangkan kebun inti, kebun plasma terbengkalai. Petani plasma mengeluarkan pembiayaan tinggi dan kebun plasma gagal panen, panen tidak serempak dengan kebun inti.
lnti rnengenai penetapan petani peserta yang diketahui oleh petugas yang ditunjuk oleb Direktur Jenderal Perkebunan; 2). Perjanjian kerjasama antara Perusahaan lnti dengan Bank, mengenai pembelian hasil panen serta pelunasan kredit petani peserta. 3). Arus Tunai (Cash Flow) rata1. Penyelesaian pengurusan rata dari kebun plasma sertifikat hak milik. yang akan dialihkan. Pengurusan sertifikat Hak b. Bank yang bersangkutan Milik atas nama petani setelah menerima usupeserta mulai dilakukan lan pengalihan kebun 18 bulan sebelum beraplasma dari Perusahaan khirnya masa tenggang, lnti, segera mengadakan dan harus sudah selesai penelitian dan penilaian 2 bulan sebelum berakhatas usulan tersebut beirnya masa tenggang. serta dokumen keleng2. Usul Pengalihan Kebun kapannya dan menyelePlasma saikannya dalam waktu 1 a. Perusahaan lnti sebagai (satu) bulan. mitra petani plasma yang c. Apabila dokumen kelengmembangun kebun plaskapan usulan Perusahaan ma dalam hal ini, menlnti tidak lengkap jelas, gajukan usul pengalihan Bank segera mengembakebun plasma kepada likannya kepada PerusaBank 6 bulan sebelum haan Inti, dengan temberakhirnya masa tengbusan kepada Direktorat gang dan pengusulan Jenderal Perkebunan. itu terdapat tembusan d. Peusahaan Inti segera kepada Direktur Jenderal melengkapi/memperjelas Perkebunan, dilampiri dokumen sesuai dengan dengan dokumen yang permintaan Bank, dan lengkap meliputi: 1). Surat mngembalikannya keKeputusan Perusahaan
KEWAJIBAN PERUSHAAN INTI DALAM PROSES KONVERSI KEBUN
e.
3. a.
b.
c.
pada Bank paling lambat sendiri oleh Direktorat dalam waktu 1 (satu) Jenderal Perkebunan. bulan. d. Hasil penilaian teknis Bank setelah menerima baik yang dilakukan pengembalian dokumen bersama-sama atau yang segera mengadakan dilakukan sendiri oleh Dipenelitian dan penilaian rektorat Jenderal Perkesesuai huruf b. bunan sebagaimana Penilaian Fisik Kebun dimaksud pada huruf c, Perusahaan lnti sudah dituangkan dalam satu harus mengajukan perBerita Acara yang mengimohonan penilaian fisik kat kedua belah pihak. kebun plasma yang akan e. seluruh proses penilaian dialihkan kepada petani teknis harus sudah disepeserta kepada Direklesaikan selambat-lamtorat Jenderal Perkebubatnya 2 (dua) bulan senan 6 bulan sebelum belum berakhirnya masa berakhirnya masa tengtenggang. gang dengan tembusan 4. Penadatanganan akad kepada Bank. kredit. Selambat-lambatnya 14 Apabila semua perhari setelah diterimanya syaratan untuk ditandapermohonan tersebut tanganinya akad kredit pada huruf a, Direktur oleh petani peserta telah Jenderal Perkebunan dipenuhi seluruhnya, sudah harus meminta yaitu berupa :Surat Kepukonfirmasi kepada Bank tusan Perusahaan Inti apakah penilaian teknis mengenai penetapan akan dilakukan bersama petani peserta, Perjanjian atau diserahkan sepenuhKerjasama antara Perunya kepada Direktorat sahaan Inti dengan Bank, Jenderal Perkebunan. ArusTunai (Cash Flow) Dalam hal Bank menyrata-rata dari kebun plaserahkan sepenuhnya pema yang akan diserahnilaian teknis dilakukan kan, Sertifikat Hak Milik oleh Direktorat Jenderal atas nama petani peserta, Perkebunan, maka peBerita Acara Penilaian nilaian teknis dilakukan Teknis Kebun Plasma.
Sumber: Laporan SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit), Kalimantan Timur
Biang Masalah Konversi Konversi kebun tidak berjalan mulus, biasanya terhambat oleh ketidakkonsistenan pihak pengembang (perusahaan pemegang HGU). Kebun plasma berproduksi (panen) tidak optimal. Situasi ini, akhirnya bergantung kepada keseriusan perusahaan inti, dan Pemerintah (pusat dan daerah). Ketidak kosistenan perusahaan untuk membangun kebun plasma yang baik, juga tergambar dari tidak transparannya saat pemberian (akad) kredit bagi petani. Perusahaan biasanya hanya memberikan halaman belakang
perjanjian (form yang ditandatangani oleh petani). Dokumen perjanjian (isi utuh) tidak diketahui oleh petani yang seharusnya dipahami petani sejak pembangunan kebun plasma. Dokumen perjanjian untuk akad kredit merupakan dokumen biaya pembangunan kebun plasma tentang besaran yang harus dibayar oleh petani. Dokumen ini dijadikan oleh pihak perusahaan sebagai dokumen petunjuk kepada pihak bank bahwa petani bersedia membayar kredit. Dalam pembangunan kebun plasma yang baik, (calon) petani pola inti17
plasma harus terlibat langsung dalam penghitungan biaya pembangunan kebun plasma. Selain sebagai syarat akuntabilitas perusahaan inti, ini akan memberikan manfaat jelas dikemudian hari, ada kejelasan besaran dan lama masa waktu pengembalian kredit. Konsolidasi kebun-kebun plasma sebelum dialihkan kepada petani harus memenuhi standar teknis yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagian kewajiban perusahaan inti ini sering kali terjadi, semisal pengalaman petani di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Kebun plasma petani di Paser 10
Edisi II/Sept’08 - SW
Contoh: Penilaian Kebun Petani di KKPA Desa Bekoso, Kabupaten Paser*
No 1.
2.
3.
4.
5
Faktor yang Dinilai Kondis tanaman 1. Jumlah Pohon 2. Pohon yang berbunga 3. Pohon yang berbuah 4. Berat TBS Kondisi penutup tanah 1. Tidak ada lalang 2. 30% kacangan Sistem Pengawetan Tanah 1. Lahan datar 2. Miring a. Ada teras (3) b. Parit, sirip ikan (2) c. Parit Buang (3) Jangka Struktur A. Jln produksi 1 koleksi 1. Lebar jalan produksi 6 m koleksi 4.5 m 2. Diperkeras 3. Parit Kiri dan kanan 4. Tanjakan dapat dilalui truk 5. Gorong-gorong jembatan B. TPH C. Jalan panen/ pikul D. Piringan Kesan umum Kebersihan, keseragaman dan HPT
Jumlah
Bobot
Nilai Dasar
Lapangan
128 108.5 89.6 89.6
126 58 60 21
19.7 5.3 10.04 3.5
128
2 0
2 0
1 2
1 2
3
3 1
3 1
3 2 3 2 1 2 2 4
1 2 2 2 1 0 1 1
1 2 2 2 1 0 1 1
20 10 15 15 6 4
Hasil
Keterangan
8
100
57.54
Kualifikasi Nilai Kebun: D Hasil Rekomendasi: Tidak dapat dikonversi
Keterangan: * Penilaian Kebun milik petani plasma PTPN13, Armansyah Embu. Kebun yang dinilai sudah berusia tanam 5 tahun dan sudah dikonversi. Penilaian kebun ini sesuai dengan panduan teknis Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perkebunan tahun 2006.
TandanSawit
18
Proses Konversi Kebun Petani Plasma di Kabupaten Paser Kondisi kebun petani pasca konversi
Kebun plasma diberikan kepada petani, namun tidak sesuai dengan standar teknis perkebunan yang ditetapkan pemerintah. Kebun yang berusia Tanaman Menghasilkan (TM). yang berusia tanam 4-5 tahun, masih berisi banyak alang-alang (tidak terawat), infrastruktur jalan tidak ada, pokok sawit tidak lengkap dan lain-lain. Saat itu pula, petani plasma memprotes dan berjanji akan memperbaiki kebun plasma setelah konversi kebun dilakukan atau sesudah petani menandatangani akad kredit. Kondisi ini akan mempengaruhi percepatan pelunansan kredit petani dan produktifitas sawit.
Transparansi dokumen konversi
Dokumen-dokumen terkait konversi kebun plasma tidak diberikan, disampaikan, diinformasikan atau menjadi arsip petani. Petani tidak memiliki salinan dokumen konversi. Semua arsip-arsip konversi kebun tidak pernah dipegang oleh petani. Banyak juga petani yang tidak mendapatkan isi perjanjian akad kredit. Petani hanya diberikan secarik kertas untuk ditandatangani (form penandatanganan kredit), sementara isi perjanjiannya tidak diberikan secara terbuka kepada petani.
Penanaman baru tanpa ganti rugi
Kebun-kebun dengan pokok sawit yang tidak lengkap dialihkan kepada petani dan penanaman kembali pokok sawit baru oleh petani tanpa bantuan dari pihak mitra (perusahaan). Tanggungan biayanya tidak pula mendapatkan potongan angsuran kredit. Pihak mitra (inti) seharusnya masih memiliki kewajiban untuk membantu penanaman kembali, memberikan petunjuk, memberikan bibit atau melakukan penundaan pengalihan kebun untuk diperbaiki kembali. Pengembalian kebun plasma kepada mitra (inti) jika penilaian kebun tidak layak dan pembiayaan perbaikan ditanggung sepenuhnya oleh inti tanpa harus membebani biaya kredit petani.
Tanda tangan akad kredit
Petani dipaksa untuk menandatangani akad kredit. Hal ini dilakukan setelah perusahaan perkebunan membangun kebun untuk petani baik untuk plasma maupun untuk KKPA. Di Kabupaten Paser, hampir di setiap kampung transmigran mengalami pemaksaan dari pihak perusahaan untuk menandatangani akad kredit. Petani pernah melakukan penolakan, namun usaha petani tersebut diancam oleh perusahaan untuk mengalihkan kebun tersebut kepada pihak lain. Petani transmigran yang tidak memiliki tanah dan usaha kebun, dengan terpaksa menerima dan menandatangani akad kredit tersebut. Hal ini terjadi pada petani plasma pada tahun 1980-an. Namun berulang kembali pada tahun 2007, dimana kebun KKPA di 12 koperasi mengalami hal yang sama dengan perusahaan negara yang sama yakni PTPN 13.
Transparansi dan tanggungjawab pemerintah untuk menilai kebun petani
Pemerintah melalui dirjenbun, membentuk tim penilaian kebun sebelum dilakukan proses pengalihan kepada petani plasma. Yang akan dinilai adalah kelengkapan-kelengkapan kebun yang sudah ditentukan standarnya oleh pemerintah. Kebun yang akan dinilai adalah kebun petani. Namun, dalam proses penilaian kebun ini, tidak ada keterbukaan kepada petani tentang berapa penilaiannya, berapa hasilnya, berita acara penilaian, bagaimana metode penilaiannya dan kebun siapa yang dinilai.
Ketiadaan akses petani dalam tim penilaian kebun
Tim yang dibentuk pemerintah untuk menilai kebun sebelum dilakukan proses konversi tidak dapat diakses oleh petani plasma. Hal ini mengakibatkan tidak adanya proses akuntabilitas, transparansi dan legalitas penilaian tersebut.
Dampak dari konversi kebun yang tidak layak
Dampaknya bagi petani sangat besar antara lain adalah produktifitas rendah, karena tidak terawat kebunnya, serangan hama penyakit, terlambat masa berbuah, berat tandan yang tidak sesuai, dan menyulitkan petani ketika panen karena menyangkut infrastruktur.
diperoleh tidak sesuai standar. Kebun berisi pokok sawit yang jumlahnya kurang, kebun dipenuhi alang-alang dan kurang terawat dan lambat berbuah. Pemerintah baik pusat dan daerah (dirjenbun dan disbun) memiliki peran penting dalam proses pengalihan kebun plasma. Dalam Penilaian atas dipenuhinya standar fisik pembangunan plasma dilakukan setiap tahun oleh Direktur Jenderal Perkebunan dengan tidak mengurangi wewenangnya dengan memberikan teguran diantara waktu penilaian apabila ternyata standar fisik tidak dipenuhi. Terkait dengan penilaian oleh pemerintah bahwa kebun tersebut tidak sesuai dengan stándar pemerintah maka tugas pemerintah
adalah: menetapkan penundaan penyerahan kebun plasma kepada petani peserta dan diwajibkan perusahaan inti untuk memperbaiki kebun atas beban sendiri. Masalahnya dalam peran sentral pemerintah ini seringkali bermain bersama pihak perusahaan dengan tidak menjalankan penilaian kebun dengan baik dan tidak dilakukan secara terbuka atau bersama petani/calon petani. Sehingga petani seringkali mendapatkan dampak dari kinerja pemerintah ketika tidak melakukan penilaian kebun dengan baik. Kelemahan pemerintah juga dalam hal regulasi dalam penilaian kebun yakni hanya menilai 1 ha untuk mewakili 200 ha. Pemerintah dalam menilai kebun, dengan membentuk 19
tim penilaian kebun. Sayangnya, tim ini tidak melibatkan petani dalam proses penilaian kebun.
Peluang petani dalam proses ini untuk mengembalikan kebun plasma yang tidak layak adalah petani harus menilai kebunnya dengan bekerjasama dengan pihak lain yang independen dan haslnya direkomendasikan kepada pemerintah atau pihak perusahaan agar diperbaiki kembali. Serta pengawasan atau keterlibatan langsung petani dalam menilai kebun bersama pemerintah. Penilaian kebun yang partispatif tersbut sebagai jalan petani plasma untuk memperoleh kebun yang layak, agar tidak rugi dikemudian hari. (MD) 10
Edisi II/Sept’08 - SW
KEBIJAKAN
SAWIT PERBATASAN “TAK SEORANG PUN MAU DINILAI BODOH!”
dok.SW
Beberapa perangkat hukum dan aturan internasional, baik yang berupa konvensi atau deklarasi sering kali dibaikan oleh banyak pihak, termasuk oleh pemerintah daerah. CERD, atau Convenan Elemination on Rasial and Discrimination adalah perangkat aturan internasional yang memungkin adanya jaminan pengamanan hak hidupnya atas rauang. Dan sayangnya, Pemerintah di daerah kurang mengenal CERD.
P
embangunan perkebunan kelapa sawit skala besar itu bagi masyarakat adat seperti revolusi (perubahan kondisi sosial budaya secara cepat), dimana masyarakat adat dengan kondisi kebijakan dan implementasi sering kali didiskriminasi dan dimarjinalkan. Proses diskriminasi dan marjinalisasi inilah yang sedang terjadi pada sekitar 1 juta-an masyarakat adat pada perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan demikian ungkapan Abet Nego Tarigan, Perkumpulan Sawit TandanSawit
Watch, dalam Semiloka Tindaklanjut Submission CERD (convenan elimination on rasial and discrimination) di Pontianak, 14 – 15 Agustus 2008. Wahyu Wagiman, narasumber lain, peneliti di Elsam (Lembaga Studi Advokasi dan Hukum) menambahkan pelanggaran ham yang menonjol dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan masuknya kebun sawit, kesejahteraan masyarakat adat menjadi menurun. 20
Tahun 2005 lalu, Pemerintah Indonesia merencanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit di sepanjang perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan sepanjang 850 km (Govt plans world’s largest oil palm plantations, the Jakarta Post, 18 Juli 2005 atau Kunjungan Presiden ke China: China Investasi US$7,5 Miliar, Media Indonesia, 30 Juni 2005). Dari pembangunan perkebunan sawit ini, nantinya, akan menyediakan tenaga kerja lebih dari setengah juta jiwa dan akan meningkatkan
produksi tandan buah segar tiap tahunnya sampai dengan 2,7 juta ton tandan buah segar. Proyek ini dipercayai akan menurunkan tingkat kesenjangan ekonomi di wilayah perbatasan dimana telah terjadi kegiatan ekonomi illegal salah satunya illegal logging. Selain itu, di wilayah perbatasan ini juga terjadi keterisolasian dan keterbatasan dalam pengawasan sehingga kesan tidak terurus nampak sekali. Pembangunan kelapa sawit di perbatasan ini adalah bagian kompensasi dibukanya pintu masuk ke Malaysia, berapa banyak kayu yang bisa diambil? Wilayah ini sebenarnya daerah tangkapan air yang perlu dilindungi, ungkap Syaban Setiawan, Eksekutif Daerah Walhi Kalbar. Semendawai, Koordinator PIL-Net (Public Interest Lawyer Network) menyatakan beberapa Ornop yang tergabung dalam Tim Advokasi Perbatasan melakukan Submission CERD dilakukan karena tidak adanya jalan yang efektif ditingkat nasional sedangkan situasi yang dihadapi “membutuhkan perhatian segera untuk mencegah atau membatasi skala atau jumlah pelanggaran serius, dan untuk mengurangi ancaman semakin memburuknya diskriminasi rasial. Bila dilihat lebih dalam masyarakat adat terkena dua hal, pertama kebijakan-kebijakan yang ada mendiskriminasi keberadaan masyarakat adat, kedua, praktek pembangunan sistem perkebunan kelapa sawit mengusur dan merusak ekosistem hutan-hutan masyarakat adat. Dikarenakan tekanan tingkat nasional kurang mempan maka tekanan masyarakat internasional dicoba agar pembangunan perkebunan kelapa sawit ini agar dihentikan. Muasal diskriminasi ini bersumber kepada Konstitusi UUD 1945 Pasal 18B ( ‘ … Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang…’ ), yang akhirnya
Jalan baru menuju perbatasan IndonesiaMalaysia melalui 1, 8 juta hekar Sawit Perbatasan”. (dok.SW)
diturunkan pada UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU N0 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Bahwa keberadaan masyarakat adat ditentukan oleh beberapa syarat dimana adanya pengakuan pemerintah memegang peranan penting. Hutan adat ditentukan oleh selembar sertifikat kepemilikan tanah yang dikeluarkan pemerintah sedangkan model penguasaan tanah adat bukanlah demikian. Akibatnya model penguasaan tanah atau hutan adat seringkali tidak diakui inilah diskriminasinya. Hal inilah pokok-pokok hal yang diungkapkan oleh Sulistiono, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman). Submission CERD ini direspon oleh Komisi CERD dengan mengeluarkan rekomendasi untuk proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit pada perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan agar Pemerintah Indonesia: - Mengingatkan prinsip tanah, air dan sumberdaya alam harus dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesarbesarnya untuk kepentingan terbesar bagi masyarakat. Ini juga dilakukan konsisten terhadap masyarakat adat 21
- Memastikan UU No 18 Tahun 2004 dalam penafsiran dan implementasinya menghormati hakhak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan menggunakan lahan komunalnya - Mengamankan hak menguasai dan kepemilikan dari komunitaskomunitas lokal (masyarakat adat) sebelum melanjutkan lebih jauh dengan Rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan - Memastikan adanya konsultasi bermakna dengan komunitas lokal (masyarakat adat) dengan sudut pandang untuk mendapatkan persetujuan dan partisipasi berkaitan pembangunan perkebunan kelapa sawit perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan Fakta lapang menunjukkan lain, wacana pembangunan perkebunan kelapa sawit pada perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan boleh berhenti, tetapi praktek pembangunan kelapa sawit tetap berjalan bahkan massif. Akibatnya, kehancuran masyarakat adat sejalan dengan rusaknya hutan adat mereka. Ada hal yang menarik bila dihubungkan dengan rekomendasi-rekomendasi Komisi CERD, bahwa Pemerintah mempunyai struktur sampai ke bawah, rekomendasi tersebut sudah lebih dari satu tahun, dan sudah pernah dilakukan pertemuan antar departemen yang melibatkan pemerintah daerah. Kecil peluangnya, bila rekomendasi-rekomendasi Komisi CERD tidak sampai ke Pemda-pemda tersebut. Jikalau beberapa hal didepan benar adanya, memang rekomendasirekomendasi Komisi CERD diacuhkan dan secara sadar Pemerintah Daerah ikut berkontribusi dalam diskriminasi dan marjinalisasi Masyarakat adat di Perbatasan. Walaupun ada peluang lain dimana Pemda-pemda tidak memahami tentang mekanisme ini, tetapi hal ini seperti mengecilkan kecerdasan Pemda-Pemda, tidak ada seorang pun mau dinilai ‘bodoh’. (NAS) 10
Edisi II/Sept’08 - SW