BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI LEASING
A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing Berdasarkan KEPMENKEU No. 1169/ 1991 tentang kegiatan usaha leasing, yang dimaksud leasing atau sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dan hak opsi (finance lease) atau hak guna usaha tanpa opsi ( operating lease) untuk digunakan oleh leasing selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala ( Pasal 1 huruf a KEPMENKEU Nomor 1169 / 1991).4 Berdasarkan pada Pasal 1 surat keputusan bersama Tiga Menteri; Menteri Keuangan,
Menteri
Perdagangan,
Menteri
Perindustrian
No
KEP.122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974 dan No. 30/Kpb/1974 tanggal 7 Februari 1974, menyebutkan bahwa leasing itu adalah : “ Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan Hak Plih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk memberi barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama “. Equipment Leasing Association di London yang merupakan Asosiasi perusahaan-perusahaan leasing di Inggris memberikan definisi sebagai berikut :
4
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169 tahun 1991
Universitas Sumatera Utara
”Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak kepemilikan atas barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lesse hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu”. 5 Didalam perjanjian leasing pada dasarnya ada tiga pihak yaitu Lessor (perusahaan leasing), Lesse (perusahaan/nasabah) dan supplier (penjual barang). Selanjutnya didefinisikan oleh Frank Tiara Supit sebagai: “Company financing in the form of providding Capital Goods wish the user making periodical payments. User would have options to buy the Capital Goods or to prolog the leasing period of the remainding value”. Dapat diartikan bahwa leasing adalah: “Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barangbarang modal tersebut dan dapat dinilai atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa”. 6 Selanjutnya menurut keputusan Menteri Keuangan RI Nomor.1169/KMK 01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha (leasing), yang dimaksud dengan leasing adalah:
5
Herwastoeti, Aspek Yuridis Dalam Perjanjian Leasing dan Akibat Hukumnya Dalam Hal Terjadinya Wanprestasi, Malang: Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Maklang. Hal 5 6 Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Leasing, Jakarta : Penerbit PT. Rineka Cipta. Hal 7-8
Universitas Sumatera Utara
“Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik dengan cara sewa guna usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease) maupun sewa guna usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease) untuk dipergunakan Lesse selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara berkala. 7 Menurut Financial Accounting Standard Board ( FASB 13) leasing adalah suatu perjanjian penyediaan barang modal yang digunakan untuk jangka waktu tertentu. 8 Dasar Hukum Leasing Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada. Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan obligatory atau bersifat memaksa. Sumber hukum yang lebih luas dan mendalam yang melandasi dan mendasari kegiatan leasing dewasa ini di Indonesia antara lain :
7
Munir Fuadi Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung:penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 9 8 Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: Penerbit Salemba empat,1999) hal 129
Universitas Sumatera Utara
1. Umum (General) a. Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan UndangUndang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata
yang berlaku
bagi penduduk eropa b. Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta asasasas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak betentangan dengan Undang-Undang,kepentingan atau kebijaksanaan umum. c. Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata(Buku III sampai dengan Buku IV), yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang tidak ada dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini membahas hak dan kewajiban lessee. 2.
Khusus a. Surat
Keputusan
Perindustrian
Bersama(SKB) dan
Menteri
Menteri
Keuangan,
Perdagangan
RI
Menteri No.
KEP.122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing. b. Surat
Keputusan
(SK)
Menteri
Keuangan
RI
No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan usaha leasing
Universitas Sumatera Utara
c. Surat
Keputusan
(SK)
Menteri
Keuangan
RI
No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha leasing. d. Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL 7/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang: 1. Tata cara perizinan 2. Pembatasan usaha 3. Pembukaan 4. Tingkat suku bunga 5. Perpajakan 6. Pengawasan dan Pembinaan e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34/KP/II/B1980 tertanggal 1 Februari 1980, mengenai lisensi/perizinan untuk kegiatan usaha sewa-beli (hire purchase), jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan sewa-menyewa f. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga negara asing pada perusahaan leasing. g. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1 September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor cabang dan kantor perwakilan perusahaan leasing
Universitas Sumatera Utara
h. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742/MK.011/1984 tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing. i. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing. j. Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut diatas, kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang negara kita, dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yurisprudensi- yurisprudensi yang ada dan atau yang dituruti di Indonesia serta praktek-praktek bisnis yang telah berkembang dan lazim menjadi kebiasaan di negeri ini.
B. Ketentuan Mengenai Penyelesaian Hutang / Tunggakan dalam Perjanjian Fidusia Dalam pengertian eksekusi menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang Lingkup permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, memberikan pengertian sebagai berikut : “Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan
Universitas Sumatera Utara
dan tata lanjutan dalam proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada berkesinambungan dari seluruh proses hukum acara perdata”. Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditur melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitur. Sedangkan yang dimaksud perjanjian fidusia adalah perjanjian utang piutang kreditur kepada debitur yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditur (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. 9 Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikkan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di Pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan. Menurut pendapat penulis, adalah syah
9
Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Universitas Sumatera Utara
asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di desa-desa atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang. Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditur bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditur. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian. 10 Lembaga
pembiayaan
yang
tidak
mendaftarkan
jaminan
fidusia
sebenarnya dapat merugikan lembaga itu sendiri, karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat
10
Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat. Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditur sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan. Dalam proses eksekusi kita mengetahui bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya (diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata), tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang memenuhi prosedur hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materil yang dikandungnya.
Universitas Sumatera Utara
Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.
C. Pengertian Debt collector dan Ketentuan Hukumnya Sesuai Hukum di Indonesia Korporasi paling dominan yang menggunakan jasa debt collector adalah perusahaan leasing. Saat ini sangat mudah untuk membeli benda bergerak, misalnya, mobil dan sepeda motor baik dengan cara kredit maupun secara cash/ tunai. Tetapi pada saat ini semua leasing pasti akan menggiring konsumennya untuk membeli kendaraan secara kredit. Di samping keuntungan akan bertambah, tentu dengan strategi ini leasing tidak akan menemui banyak masalah. Hukum fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda yang dapat difidusiakan tersebut berdasarkan kepercayaan yang penguasaannya tetap dilakukan oleh si pemilik benda tersebut. Biasanya hal itu terjadi karena pemilik benda tersebut (debitur) membutuhkan sejumlah uang dan sebagai jaminan atas pelunasan utangnya tersebut si debitur menyerahkan secara kepercayaan hak kepemilikannya atas suatu benda bergerak atau benda yang tidak termasuk dalam
Universitas Sumatera Utara
lingkup Undang-undang No 4 tahun 1996 kepada krediturnya, dan hak tersebut juga dapat dialihkan kepada pihak lain. Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dari suatu peminjaman pokok sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 6huruf B UU No 42 tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang disebut sebagai akta Jaminan Fidusia. Secara umum definisi Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, Penagihan tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia. Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP Tahun 2005 Bab IV angka 1 dan 2 yang isinya berbunyi sebagai berikut : 1. Apabila dalam menyelenggarakan kegiatan penyaluran kredit Penerbit dan/atau Financial Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut, seperti kerjasama dalam kegiatan marketing, penagihan, dan/atau pengoperasian sistem, Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila kegiatan tersebut dilakukan oleh Penerbit dan/atau Financial Acquirer itu sendiri. Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, Penagihan tersebut hanya
Universitas Sumatera Utara
dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia. 2. Dalam hal Penerbit menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit, maka a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas tagihan
Kartu
Kredit
dimaksud
telah
termasuk
dalam
kategori
kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas yang digunakan oleh industri Kartu Kredit di Indonesia, dan b. Penerbit wajib menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada angka 1, juga wajib dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.” Jika penunggak ini tetap tidak mampu melunasi tagihan kartunya, debt collector yang diperintah oleh bank penerbit kartu kredit akan mengambil sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Jika penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan. Jika tidak, tentu saja barang itu lenyap nilai barang yang diambil setara dengan jumlah tunggakan. 1. Mengarah ke Pidana Perilaku debt collector saat ini masih menjadi masalah serius yang belum ada penanganannya. Di satu sisi konsumen merasa terganggu dengan ulah penagih utang tersebut. Di sisi lain debt collector sebagai utusan bank dan lembaga-
Universitas Sumatera Utara
lembaga pembiayaan bertanggung jawab atas tunggakan-tunggakan hutang yang bisa merugikan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan lain. Masalahnya, belum ada batasan dan aturan yang jelas tentang tata cara penagihan oleh seorang debt collector . Saat ini yang ada hanya sebatas pada aturan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan masing-masing. Yang terjadi di lapangan, debt collector melakukan hal-hal di luar kesepakatan antara bank dan agen. Perlakuan debt collector sudah pada tahap yang memperihatinkan. Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah pada tindakan pidana. Misalnya, membuat onar, meneror baik secara langsung maupun telepon, bahkan sampai mengancam akan membunuh si nasabah. Secara hukum, cara penagihan oleh debt collector yang disertai dengan ancaman, cacian, serta teror tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut bertentangan dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4E, yang menyebutkan bahwa: "konsumen berhak mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut". Ancaman, cacian, serta teror bukan merupakan upaya penyelesaian sengketa yang patut. Yang lebih ironis, ketika konsumen meminta penyelesaian langsung lewat manajemen bank dan lembaga-lembaga pembiayaan yang bersangkutan, justru ditolak dengan alasan persoalan tersebut telah dilimpahkan kepada pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah debt collector. 11
11
Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
2. Penyelesaian secara patut Filosofi yang menyatakan bahwa "utang akan dibawa mati" tetap berlaku dalam penyelesaian kredit macet, yang berarti tanggung jawab debitur untuk menyelesaikan pembayaran tunggakan harus tetap dipenuhi. Penyelesaian kredit macet seharusnya lebih terfokus pada pihak bank dan lembaga pembiayaan seperti leasing beserta konsumen yang bersangkutan secara langsung karena pada waktu aplikasi kedua pihak tersebut yang bertindak sebagai subyek hukum. Terkait 7/7/PBI/2005
dengan 12
hal
tersebut,
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah menyatakan bahwa
bank berkewajiban menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis mengenai penerimaan pengaduan, penanganan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan penyelesaian pengaduan. Bank juga berkewajiban melaporkan penanganan dan penyelesaian pengaduan secara triwulan kepada Bank Indonesia. Bentuk penyelesaian yang dapat ditawarkan misalnya penjadwalan ulang pembayaran sesuai dengan batas kemampuan bank dan konsumen. Selama proses pembayaran, hendaknya praktek bunga berbunga dihentikan. Sebab, kalau bunga dipaksakan tetap berlaku, beban konsumen justru semakin berat dan kemampuan membayar pun semakin rendah, sehingga pokok permasalahan tidak akan terjawab. Apabila penyelesaian secara mufakat di antara kedua belah pihak tidak tercapai, perlu dipikirkan gagasan tentang perlu adanya lembaga atau biro
12
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian sengketa perbankan. Lembaga ini dimaksudkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan yang punya keputusan mengikat, mengingat penyelesaian lewat pengadilan sering terasa tidak efektif. Selain itu, dari sisi konsumen, terkadang konsumen merasa tidak berdaya ketika harus menghadapi ancaman dari debt collector dan tak jarang pula berakibat pula kepada kematian seperti kasus kematian Irjen Okta di Jakarta baru-baru ini. Bank Indonesia selaku regulator tentunya punya kendali yang cukup untuk merealisasi gagasan tentang pembentukan biro penyelesaian sengketa perbankan tersebut. Dari sisi upaya preventif, amanat Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/30/PBI/2005, yang mengatur soal kewajiban penerapan manajemen risiko kredit yang mencakup beberapa hal yang wajib diterapkan sebelum persetujuan aplikasi kartu kredit, seharusnya dilakukan secara konsisten oleh bank penyelenggara. Harapan yang muncul adalah agar persetujuan permohonan aplikasi tidak mudah terjual. 13 Peraturan dari Bank Indonesia ini diharapkan juga dapat diberlakukan secara konsisten kepada lembaga-lembaga pembiayaan lain, dalam hal ini juga termasuk tidak mudah mengeluarkan perjanjian leasing tanpa melakukan peninjauan (survey) yang mendalam terhadap calon debitur.
13
Ibid
Universitas Sumatera Utara