LBPPR PELAJAR
BABAK PENYISIHAN
Abdul Hadi WM NYANYIAN SEORANG PETANI Berilah kiranya yang terbaik bagiku tanah berlumpur dan kerbau pilihan bajak dan cangkul biji padi yang manis Berilah kiranya yang terbaik angin mengalir hujan menyerbu tanah air bila masanya buahnya kupetik ranumnya kupetik rahmatMu kuraih 1965 (Abdul Hadi WM. 1982. Meditasi. Jakarta: Balai Pustaka)
Chairil Anwar DIPONOEGORO
Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu Sekali berarti Sudah itu mati MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api Panah di atas menghamba Binasa di atas ditindas Sungguhpun dalam ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai. Maju. Serbu. Serang. Terjang.
Februari 1943 (Chairil Anwar. 2011. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia) Kriapur
SAJAK BUAT NEGARAKU
di tubuh semesta tercinta buku-buku negeriku tersimpan setiap gunung-gunung dan batunya padang-padang dan hutan semua punya suara semua terhampar biru di bawah langitnya tapi hujan selalu tertahan dalam topan hingga bintang-bintang liar mengembara dan terjaga di setiap tikungan kota-kota di antara gebalau dan keramaian tak bertuan pada hari-hari sebelum catatan akhir musim telah merontokkan daun-daun semua akan menangis semua akan menangis laut akan berteriak dengan gemuruhnya rumput akan mencambuk dengan desaunya siang akan meledak dengan mataharinya dan musim-musim dari kuburan akan bangkit semua akan bersujud berhenti untuk keheningan pada yang bernama keheningan semua akan berlabuh bangsaku, bangsa dari segala bangsa rakyatku siap dengan tombaknya siap dengan kapaknya bayi-bayi dengan pisau di mulut tapi aku hanya siap dengan puisi dengan puisi bulan terguncang menetes darah hitam dari luka lama Solo, 1983 (Kriapur. Mengenang Kriapur (1959-1987). 1988. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta)
Nenden Lilis A. KITA MEMBANGUN HIDUP kita membangun hidup untuk dihancurkan mendiami wilayah untuk dijadikan puing kita biarkan jiwa-jiwa kurus dan kumal berjalan-jalan muram, termangu-mangu murung sementara, ada yang kita bariskan dalam iring-iringan pengungsi, menuju waktu dan daerah-daerah tak pasti tubuh-tubuh mengisi dusun, kota, dan negeri berganti-ganti; ketika penghuni lama pergi pendatang mendudukinya untuk meninggalkan riwayat berulang 1996 (Nenden Lilis A. 2006. Negeri Sihir. Bandung: Pustaka Latifah)
Saini KM SURAT BERTANGGAL 17 AGUSTUS 1946 Kami sambut fajar kami dengan cara tersendiri: Tenggorok perunggu serak memaki-maki angkasa hitam yang gemetar atas bumi karat dan rongsokan tempat tulang-tulang abad lampau rapuh oleh asin air mata Hari ini pemuda-pemuda mengganti hati mereka dengan baja Agar bisa tidur berbantal batu dan berselimut angin Sedang bagi gadis-gadis kami hadiahkan mawar api Kembang di ujung senapan, bau mesiu alangkah wangi! Dengar! lidah-lidah api memanggil di malam sepi, berdentam, berdesing! Kami pun ke luar, membajak tanah air dengan sangkur telanjang Menyiramnya dengan darah, memupuknya dengan serpihan daging, karena langit hanya menghujankan api dan besi, api dan besi. 1965 (Saini KM. 2000. Nyanyian Tanah Air. Jakarta: Grasindo)
Sapardi Djoko Damono
SELAMAT PAGI INDONESIA selamat pagi, indonesia, seekor burung mungil mengangguk dan menyanyi kecil buatmu aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu, dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam kerja yang sederhana; bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal. selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah, di mata para perempuan yang sabar, di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan; kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu. pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu agar tak sia-sia kau melahirkanku. seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya. aku pun pergi bekerja, menakulukan kejemuan, merubuhkan kesangsian, dan menyusun batu–demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah, biarkan aku memandang ke timur untuk mengenangmu wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat, para perempuan menyalakan api, dan di telapak tangan para lelaki yang tabah telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura. selamat pagi, indonesia, seekor burung kecil memberi salam kepada si anak kecil; terasa benar : aku tak lain milikmu.. (Sapardi Djoko Damono. 1983. Perahu Kertas. Jakarta: Balai Pustaka)
Subagio Sastrowardoyo
PIDATO DI KUBUR ORANG Ia terlalu baik buat dunia ini. Ketika gerombolan mendobrak pintu Dan menjarah miliknya Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan Ketika gerombolan memukul muka Dan mendopak dadanya Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan. Ketika gerombolan menculik istri Dan memperkosan anak gadisnya Ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian Ketika gerombolan membakar rumahnya Dan menembak kepalanya Ia tinggal diam dan tidak mengucap penyesalan Ia terlalu baik buat dunia ini (Subagio Sastrowardoyo. 1970. Daerah Perbatasan. Jakarta: Budaja Djaja)
Sutardji Calzoum Bachri TANAH AIRMATA Tanah aiarmata tanah tumpah dukaku Mata air airmata kami Airmata tanah air kami Di sinilah kami berdiri Menyanyikan airamata kami Di balik gembur subur tanahmu Kami simpan perih kami Di balik etalase megah gedunggedungmu Kami coba sembunyikan derita kami Kami coba simpan nestapa Kami coba kuburkan dukalara Tapi perih tak bisa sembunyi Ia merebak ke mana-mana Bumi memang tak sebatas pandang Dan udara luas menunggu namun kalian takkan bisa menyingkir ke mana pun melangkah kalian pijak airmata kami ke mana pun terbang kalian kan hinggap di airmata kami ke mana pun berlayar kalian arungi airmata kami kalian sudah terkepung takkan bisa mengelak takkan bisa ke mana pergi menyerahlah pada kedalaman airmata kami (Sutardji Calzoum Bachri. 2008. Atau Ngit cari Agar. Depok: Yayasan Panggung Melayu)
Taufik Ismail BUKIT BIRU, BUKIT KELU Adalah hujan dalam kabut yang ungu Turun sepanjang gunung dan bukit biru Ketika kota cahaya dan di mana bertemu Awan putih yang menghinggapi cemaraku Adalah kemarau dalam sengangar berdebu Turun sepanjang gunung dan bukit kelu Ketika kota tak bicara dan terpaku Gunung api dan hama di ladang-ladangku Lereng-lereng senja Pernah menyinar merah kesumba Pada ilalang dan bukit membatu Tanah airku. 1965 (Taufik Ismail. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda)
Wiji Thukul NYANYIAN AKAR RUMPUT jalan raya dilebarkan kami terusir mendirikan kampung digusur kami pindah-pindah menempel di tembok-tembok dicabut terbuang kami rumput butuh tanah dengar! ayo gabung ke kami biar jadi mimpi buruk presiden! Juli 88 (Wiji Thukul. 2014. Nyanyian Akar Rumput. Jakarta: Gramedia)
W.S. Rendra AKU MENDENGAR SUARA Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka Ada orang memanah rembulan Ada anak burung terjatuh dari sarangnya Orang-orang harus dibangunkan Kesaksian harus diberikan Agar kehidupan bisa terjaga Yogyakarta, 1974
W.S. Rendra PEMANDANGAN SENJAKALA Senjakala yang basah meredakan hutan yang terbakar. Kelelawar-kelelawar raksasa datang dari langit kelabu tua. Bau mesiu di udara. Bau mayat. Bau kotoran kuda. Sekelompok anjing liar memakan beratusribu tubuh manusia yang mati dan yang setengah mati. Dan di antara kayu-kayu hutan yang hangus, genangan darah menjadi satu danau. Luas dan tenang. Agak jingga merahnya. Duapuluh malaekat turun dari sorga mensucikan yang sedang sekarat tapi di bumi mereka disergap kelelawar-kelelawar raksasa yang lalu memperkosa mereka. Angin yang sejuk bertiup sepoi-sepoi basa menggerakan rambut mayat-mayat membuat lingkaran-lingkaran di permukaan danau darah dan menggairahkan syahwat para malaekat dan kelelawar. Ya, saudara-saudaraku, aku tahu inilah pemandangan yang memuaskan hatimu Kerna begitu asyik kau telah menciptakannya. (W.S. Rendra. 1996. Blues untuk Bonnie. Bandung: Pustaka Jaya)
W.S. Rendra SAGU AMBON Ombak beralun, o, mamae. Pohon-pohon pala di bukit sakit. Burung-burung nuri menjerit. Daripada membakar masjid daripada membakar gereja lebih baik kita bakar sagu saja. Pohon-pohon kelapa berdansa. Gitar dan tifa. Dan suaraku yang merdu. O, ikan, O, taman karang yang bercahaya. O, saudara-saudaraku, lihat, mama kita berjongkok di depan kota yang terbakar. Tanpa kusadari laguku jadi sedih, mamae. Air mata kita menjadi tinta sejarah yang kejam. Laut sepi tanpa kapal layar. Bumi meratap dan terluka. Di mana nyanyian anak-anak sekolah? Di mana selendangmu, nonae? Di dalam api unggun aku membakar sagu. Aku lihat permusuhan antara saudara itu percuma. Luka saudara lukaku juga. 9 Mei 2002 Camoe-camoe, Jakarta (W.S. Rendra. 2013. Doa Untuk Anak Cucu. Yogyakarta: Bentang Pustaka)
W.S. Rendra SAJAK MATAHARI Matahari bangkit dari sanubariku. Menyentuh permukaan samodra raya. Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala. Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin! Kakimu terbenam di dalam lumpur. Kamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu. Satu juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari. Mata mereka menyala tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia. Matahari adalah cakra jingga yang dilepas tangan Sang Khrisna. Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia! Yogya, 5 Mei 1976 (W.S. Rendra. 2013. Potret Pembangunan Dalam Puisi. Bandung: Pustaka Jaya)
W.S. Rendra TENTANG MATA Mata kejora! Mata kejora! Mata kekasih dalam dekapan malam. Dalam kehidupan yang penuh mata bisul hatiku meronta ditawan rangkaian mata rantai. Sawah gersang tanpa mata bajak. Mata gergaji merajalela di rimba raya. Mata badik memburu mata uang. Mata kail termangu tanpa umpan. Mata sangkur! Mata sangkur! Mata sangkur menghunjam ke mata batin. Mata kejora! Mata kejora! Mata kekasih dalam dekapan malam. Padang rumput termakan mata api. Tetapi, kekasihku, di dalam kalbuku yang murung ini engkaulah mata air pengharapanku! Cipayung Jaya, 6 November 1998 (W.S. Rendra. 2013. Doa Untuk Anak Cucu. Yogyakarta: Bentang Pustaka)
BABAK FINAL
W.S. Rendra SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. Kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak sedih para petani-buruh yang terpacak di atas tanah gembur namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Para tani-buruh bekerja, berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil yang berlimpah dan makmur, namun hidup mereka sendiri sengsara. Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah. Keringat mereka menjelma menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan, para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. Penderitaan mengalir dari parit-parit wajah rakyatku. Dari pagi sampai sore, rakyat negeriku bergerak dengan lunglai, menggapai-gapai, menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, di dalam usaha tak menentu. Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah, dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai, dan sukmanya berubah menjadi burung kondor. Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor, bergerak menuju ke gunung tinggi, dan di sana mendapat hiburan dari sepi. Karena hanya sepi mampu menghisap dendam dan sakit hati. Burung-burung kondor menjerit. Di dalam marah menjerit.
Tersingkir ke tempat-tempat yang sepi. Burung-burung kondor menjerit, di batu-batu gunung menjerit, bergema di tempat-tempat yang sepi. Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu, mematuki batu-batu, mematuki udara, dan di kota orang-orang bersiap menembaknya. Yogya, 1973 (W.S. Rendra. 1996. Potret Pembangunan Dalam Puisi. Bandung: Pustaka Jaya)
W.S. Rendra PENJAJA Gayanya, Mama, gayanya! Si bocah sendiri saja di jalan. Dan betapa terpencil nyanyinya jeladri lembaga nestapa. Serabi! Serabi! Serabi! Betapa terpencil nyanyinya bau kesturi bagi malam yang tidur tanpa indra tiada pingsan. Hati pengembara dahaga mengetuki pintu-pintu, jendela-jendela. Oi! Gayanya melangkah! Berhitungan satu-dua! Dan betapa menyayat keriaannya o, tatapan bolakaca-bolakaca! Serabi! Serabi, Mas serabi! Malam khali dan ia tengadah ke langit. Bulan letih oleh mabuknya dan bintang keluar semua. Ia berkata. Bukan pada siapa. Tiada siapa. Tiada juga apa. Gayanya, Mama, gayanya! Si bocah sendiri saja di jalan. Dan betapa terpencil nyanyinya jeladri lembaga nestapa. (W.S. Rendra. 2016. Empat Kumpulan Sajak. Bandung: Pustaka Jaya)