SKRIPSI NILAI RELIGIUSITAS PADA DUA PUISI KARYA ABDUL HADI W.M. (Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh Sri Sumiati NIM: 106013000718
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
ABSTRAK SRI SUMIATI: Nilai Religiusitas pada Dua Puisi Karya Abdul Hadi W.M. (Puisi Tuhan Kita Begitu dekat dan Puisi Meditasi) Skripsi. Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Puisi menjadi salah satu media yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan atau nilai-nilai dari suatu karya sastra. Dengan demikian, Abdul Hadi W.M banyak menyerukan nilai-nilai agama melalui media tulisan seperti puisi, terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang yang bernafaskan Islam. Salah satu karyanya yang terbaik adalah Puisi laut belum pasang (Tuhan Kita Begitu dekat) dan Meditasi puisi ini adalah bacaan yang bukan sekedar puisi belaka akan tetapi bisa menjadi motivasi hidup seorang muslim atau muslimah agar menjadi lebih baik dalam mengarungi kehidupan ini. Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi mengandung nilai agama yang kental. Dari karya sastra (puisi) kita dapat mempelajari banyak hal salah satunya religiusitas. Dewasa ini, banyak masyarakat yang jauh dari sifatsifat kemanusiaan, tidak mengerti ajaran agama yang benar, dan lupa terhadap kewajiban-kewajiban hidupnya. Maka melalui puisi yang berisi nilai religiusitas, diharapkan dapat digunakan untuk menyadarkan masyarakat (pembaca) untuk kembali ke jalan yang benar. Penelitian ini mengangkat judul “Nilai Religiusitas pada Dua Puisi Karya Abdul Hadi W.M. (Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi)” dengan rumusan masalah bagaimana nilai religiusitas dalam dua puisi karya Abdul Hadi W.M. Pada skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis dekriptif. Penelitian ini, bertujuan mengetahui lebih jauh mengenai nilai-nilai religiusitas yang terdapat dalam Puisi Tuhan Kita begitu Dekat dan Puisi Meditasi. Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data atau dokumen untuk memperkuat informasi seperti buku bacaan, internet, kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data yakni “Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi” dan diambil kesimpulannya. Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi berisi ajakan untuk kembali pada agama yang mulia dengan ajakan yang lembut dan penuh makna. Nilai-nilai religiusitas yang terdapat dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi dapat kita lihat pada struktur fisik puisi dan struktur batin puisi yang dibahas pada bab IV adapun struktur fisik puisi Abdul Hadi W.M. yakni perwajahan puisi (tipografi), diksi (pilihan kata), kata konkret, bahasa figuratif, versifikasi. Sedangkan struktur batin puisi Abdul Hadi W.M. terdiri dari: tema, perasaan (feeling), nada dan suasana, amanat, dan makna.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim Alhamdulillahi Rabbil‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala taufiq dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah berikan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabatNya, dan para pengikutNya sampai akhir zaman. Adapun penulisan skripsi ini diajukan untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menerima saran, petunjuk, bimbingan, dan masukkan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis menyelesaikan skripsi ini.
2.
Bapak Drs. E. Kusnadi sebagai Mantan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2005–2010 yang telah memberikan motivasi dan dukungannya.
3.
Ibu Mahmudah Fitriyah, M.Pd. sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu mengarahkan dan pemberi semangat.
4.
Ibu Rosida Erowati, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing yang dengan sabar telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan ilmunya kepada penulis.
5.
Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Khususnya dosendosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
6.
Teristimewa untuk Ibunda Mulyati dan Ayahandaku Subi Alwi, yang selalu menyanyangi aku sedari kecil, yang tak pernah lelah mengajariku banyak hal, yang tak berhenti berdo’a untukku, ketulusanmu dalam membimbing
vi
tak terbalaskan, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya, semoga aku bisa memberikan yang terbaik untukmu. 7.
Terimakasih untuk keluarga besar Bapak H. Slamet atas bantuan moril dan materil.
8.
Teman-teman PBSI seperjuanganku terima kasih yang telah bersama-sama ketika suka dan duka selama kuliah. Sahabatku tersayang Diyah (DC), Ruslah (Ucha), Ani (terima kasih atas bantuan dan motivasinya), dan untuk Rananda Septanta terima kasih atas kesediaaanya untuk menemani dan mensupport penulis dalam menyelesaikan skripsi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaannya.
9.
Teman-teman seperjuanganku Mu’min Soleh, Andi Awaluddin, Jefri Cecep Khaerudin, Syariful Lazi, Siti Romlah, Dewi Astuti, dan adiku Gita, terima kasih telah mensupport penulis dalam menyelesaikan skripsi Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri, semoga yang kita amalkan
mendapat Ridho-Nya. Amin ya Robbal ‘alamin. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi para pembaca, semua pihak yang memerlukan, dan khususnya kepada penulis sebagai calon guru.
Jakarta, 22 Juni 2011 Penulis,
Sri Sumiati
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ i LEMBAR UJI REFERENSI ..................................................................... ii ABSTRAK .................................................................................................. v KATA PENGANTAR ................................................................................ vi DAFTAR ISI ................................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 Pembatasan Masalah ............................................................................ 6 Perumusan Masalah ............................................................................. 6 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7 Metodologi Penelitian .......................................................................... 8 Tinjauan pustaka .................................................................................. 10 Sistematika Penulisan .......................................................................... 11
BAB II ACUAN TEORETIS A. Nilai dan Religiusitas ........................................................................... 13 1. Pengertian Nilai ............................................................................. 13 2. Pengertian Religiusitas ................................................................... 14 3. Religiusitas dalam Karya Sastra ..................................................... 14 4. Jenis dan Wujud Religiusitas ......................................................... 16 5. Pengalaman Religiusitas ................................................................ 17 6. Agama yang dilepaskan dari Religiositas ....................................... 19 B. Puisi .................................................................................................... 20 1. Pengertian Puisi ............................................................................. 20 2. Puisi Sebagai Genre Sastra ............................................................. 20 3. Ciri Puisi ....................................................................................... 21 4. Hakikat Puisi ................................................................................. 21 5. Wujud Puisi ................................................................................... 22 6. Unsur Puisi .................................................................................... 22 7. Proses Penciptaan .......................................................................... 23 8. Struktur Fisik Puisi ........................................................................ 24
9. Struktur Batin Puisi ........................................................................ 26 10. Fungsi Puisi ................................................................................... 27 11. Struktur Puisi dan Unsurnya .......................................................... 28 12. Lapis Bunyi dan Lapis Arti ............................................................ 29 13. Kiasan Bunyi dan Irama ................................................................. 30
BAB III PROFIL ABDUL HADI W.M. A. B. C. D. E.
Masa Kecil Abdul Hadi W.M. ............................................................. 32 Pendidikan Abdul Hadi W.M ............................................................... 32 Karier Abdul Hadi W.M. ..................................................................... 33 Karya Abdul Hadi W.M. ...................................................................... 34 Penghargaan ........................................................................................ 35
BAB IV HASIL PENELITIAN NILAI RELIGIUSITAS PADA DUA PUISI KARYA ABDUL HADI W.M. A. Analisis Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat ..................................................... 36 B. Analisis Puisi Meditasi .............................................................................. 47 BAB V KESIMPULAN A. Simpulan ................................................................................................... 70 B. Saran ......................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 80 LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya kehidupan manusia kompleks dengan berbagai masalah kehidupan. Dalam kehidupan yang kompleks tersebut terdapat beberapa permasalahan
kehidupan
yang
mencakup
hubungan
antarmasyarakat,
antarmanusia, manusia dengan Tuhannya, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Seorang pengarang yang peka terhadap permasalahanpermasalahan tersebut, dengan hasil perenungan, penghayatan, dan hasil imajinasinya, kemudian menuangkan gagasan atau idenya tersebut dalam karya sastra. Maka karya sastra adalah suatu hasil dari kegiatan kreatif untuk menciptakan sebuah karya seni. Selain sebagai karya seni, karya sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya fiksi. Warren beranggapan bahwa sastra dapat berfungsi sebagai fiksi dan berfungsi sebagai karya seni yang bisa digunakan sebagai sarana menghibur diri pembaca.1 Manusia perlu menghibur diri untuk membantu dirinya menemukan solusi permasalahannya, tidak jarang manusia mengalami kekosongan jiwa, kekosongan berpikir dan bahkan stress karena tidak mampu mengatasi masalah yang dialaminya. Dalam hal ini karya sastra dapat berperan untuk membatu sebagai pencerahan, serta sebagai sarana pembelajaran sehingga dapat diambil manfaat dan pelajaran dalam kehidupan Menurut The World Book Dictionary, kata religiousity berarti religious feeling or sentiment. Religi diartikan lebih luas dari pada agama, yaitu ikatan atau pengikatan diri. 2 sedangkan menurut Koentjaraningrat, religiusitas yaitu, aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan suatu getaran jiwa,
1
Burhan, Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. V, h. 3. 2 Sitanggang, Religiusitas dalam Tiga Novel Moderen, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), h. 1.
1
2
biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi tersebut dapat mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi.
3
Sebagai
suatu kritik, religiusitas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang beragama menjadi intens. Moelyanto dan Sunardi dalam Mangunwijaya menyatakan bahwa semakin religius, hidup orang itu semakin nyata atau semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri. Bagi orang yang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. 4 Seperti yang telah dipaparkan di atas, Jika dilacak dari berbagai sejarah manusia dalam upaya meraih dimensi terdalam dan paling eksistensial pada dirinya, religiusitas merupakan sesuatu yang (1) melintasi agama, (2) melintasi rasionalisasi, (3) menciptakan keterbukaan antarmanusia dan, (4) tidak identik dengn sikap fasisme. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa religiusitas pada dasarnya bersifat mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, dan resmi karena ia tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak), tetapi dalam pengalaman dan penghayatan yang mendahului analisis dan konseptualisasi. Dengan demikian, ia memperjelas bahwa religiusitas tidak berhubungan langsung dengan ketaatan ritual, yang hanya sebagai huruf, tetapi dengan yang lebih mendasar dalam diri manusia, yaitu roh, karena huruf membunuh sedangkan roh menghidupkan. 5 Religiusitas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak penuh misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa “du Coeur”, dalam arti pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Pada dasarnya religiusitas mengatasi, lebih dalam dari agama
3
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. VIII, h. 376. 4 Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religositas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), Cet. 1, h. 11—15. 5 Rina Ratih Sri Sudaryani, Religiusitas dalam Beberapa Prosa Indonesia (http://www.geocities.com), diakses pada Minggu Tgl 9 Januari 2011 pukul 10:41 WIB
3
yang tampak, formal, dan resmi. Religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang cirinya lebih intim.6 Adapun sikap religiusitas sesungguhnya merupakan suatu sikap atau tindakan manusia yang dilakukan secara terus menerus dalam upaya mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan itu tidak pernah dapat diperoleh karena ia hanya bayangan yang berkelebat saja di batin manusia. Dengan demikian, religiusitas lebih menunjuk ke suatu pengalaman, yaitu pengalaman religius, sehingga yang muncul adalah rasa rindu, rasa ingin bersatu, dan rasa ingin bersama dengan sesuatu yang abstrak.7 Pada mulanya, karya sastra adalah religius, bahkan setiap karya sastra yang berkualitas selalu berjiwa religius. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa dalam karya sastra terkandung nilai, norma, dan ajaran agama. Hal itu muncul karena penulis karya sastra adalah mahluk sosial sekaligus mahluk religius, yang tidak dapat dipungkiri pengalaman religiusnya akan mempengaruhi sastra yang dihasilkan.8 Adapun perkembangan sastra religius memang marak akhir-akhir ini. Hanya saja, ada yang perlu dipikirkan terkait dengan kualitas estetika dan pemahaman pada masalah religiusitasnya. Pandangan umum menangkap bahwa yang dinamakan sastra religius adalah sastra atau karya sastra yang mengusung lambang-lambang agama, baik itu Islam, Kristen, dan lainnya. Dengan begitu, penyebutan beberapa metafor dalam karya itu mengacu pada kekhasan dari sebuah agama. Kajian
tentang religiusitas dalam kesusastraan Indonesia
sebenarnya telah banyak dilakukan, tetapi kajian itu sering keliru dalam menafsirkan pengertian religiusitas. Agama biasanya terbatas pada ajaran-ajaran (doctrines), peraturanperaturan (law). Jika pengertian ini yang diterapkan, religiusitas yang dibicarakan dapat menjurus ke arah penyebaran agama (mission). Jelaslah bukan itu yang dimaksudkan. Yang dimaksud dengan perasaan keagamaan adalah segala
6
Mangunwijaya, Opcit., h. 11—12. Rina Ratih Sri Sudaryani, Religiusitas dalam Beberapa Prosa Indonesia (http://www.geocities.com), diakses pada Minggu tgl 9 Januari 2011 pukul 10:41 WIB 8 Sitanggang, Religiusitas dalam Tiga Novel Moderen, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), h. 1. 7
4
perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan. Perasaan dosa (guilt feeling), perasaan takut (fear to god), kebesaran tuhan (god’s glory) adalah beberapa contoh untuk menyebutkan sedikit saja. 9 Dalam hal ini persoalan agama dan sastra yakni ada dua masalah pokok, yaitu hubungan antara kritikus dengan sastra dan hubungan antara sastra dengan realitas pribadi, kebudayaan, atau kerohaniah yang diungkapkan dalam karya tersebut.10 Sesungguhnya pembicaraan mengenai religiusitas berkaitan dengan adanya kenyataan merosotnya kualitas penghayatan orang dalam beragama atau berkaitan dengan hilangnya dimensi kedalaman dan hakikat dasar yang universal dari religi. Jadi, religiusitas merupakan kritik terhadap kualitas keberagamaan seseorang di samping terhadap agama sebagai lembaga dan ajaran-Nya. Dari pendapat di atas, religiusitas sama pentingnya dengan ajaran agama, bahkan religiusitas lebih dari sekedar memeluk ajaran agama tertentu, religiusitas mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi, yaitu antara manusia dengan penciptanya dan dengan sesamanya di dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa ini, banyak muncul penyair yang menulis puisi yang berkaitan dengan religiusitas dalam karyanya, Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
11
Untuk mengapresiasikan sebuah puisi
langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembacaan teks sastra (puisi) itu sendiri, karena bahasa puisi bersifat sugestif (perayaan), asosiatif (pertalian), dan imajis (pembayangan) sehingga pembaca dapat menafsirkan makna dalam puisi tersebut.12 Pengalaman religi seorang penyair didasarkan atas pengalaman hidupnya secara konkret. Jika seorang penyair bukan seorang religius yang
9
Subijantoro, Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra , (Bandung: Sinar Baru, 1989), Cet. I, h. 123—124 10 Andre, Harjana, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985), Cet III, h. 81. 11 Rachmat, Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 2000), Cet. VII, h. 7. 12 Maman, S.Mahayana, 9 Jawaban Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik, (Jakarta: Bening Publishing, 2005), Cet. I, h. 264.
5
khusyuk, maka sulit diharapkan ia akan menghasilkan puisi bertema ketuhanan ataupun keagamaan yang mendalam.13 Dalam khasanah sastra Indonesia, spirit religius yang kental juga dapat dilihat pada karya-karya Ahmadun Yosi Herfanda,
Kuntowijoyo, A Mustofa
Bisri, Emha Ainun Nadjib, Jamal D Rahman, Rukmi Wisnu Wardhani, dan Din M Yanwari. Sedangkan dalam skripsi ini akan membahas puisi karya Abdul Hadi W.M. Melalui puisi tersebut kita dapat merasakan aspek religiusitas pada tiap larik-larik pada puisi tersebut sehingga kita dapat menafsirkan makna yang ingin disampaikan dalam puisi tersebut. Melalui karya sastra pembaca tidak hanya diajak untuk menikmati dan memahami ekspresi jiwa pengarang tetapi juga menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Nilai moral, didaktis, sosial, dan religius yang terdapat dalam sebuah karya sastra diharapkan akan memberikan masukan, contoh dan teladan bagi pembaca yang dapat diadaptasi dalam kehidupan sesuai dengan kondisi dan keadaan masingmasing. Karena itulah, menjadi penting untuk meneliti bagaimana sebuah karya sastra memberikan gambaran tentang nilai-nilai kepada para pembaca serta bagaimana pembaca dapat menarik pelajaran dari karya yang dibacanya. Membicarakan sastra dengan tema ketuhanan atau keagamaan biasanya akan menunjukkan pengalaman keberagamaan (Religious Experience) seorang sastrawan. Pengalaman religi didasarkan atas tingkat kedalaman iman seseorang terhadap agamanya atau yang lebih luas lagi terhadap tuhan atau kekuasaan gaib. Banyak karya sastra khususnya puisi yang menunjukkan pengalaman religi yang cukup meskipun tidak menunjukkan identitas agama tertentu. Dalam suasana demikian, manusia sastra termasuk penyair dapat mewakili semua manusia dalam mengatasi perbedaan agama, bangsa, suku atau warna kulit. Sastra pada akhirnya bersifat universal. Pentingnya membahas sastra religius untuk tahun-tahun mendatang dapat terjebak pada suatu asumsi menerka-nerka. Asumsi tanpa pendalaman sejarah sastra kontemporer lebih menjurus pada suatu gelandangan literer. Yang 13
Akhmad, Muzakki, Kesusastraan Arab Pengantar Teori dan Terapan, (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2006), Cet. 1, h. 99.
6
dimaksud sastra Indonesia kontemporer bukan dimulai dari Sutardji Calzoum Bachri atau Abdul Hadi W.M dalam puisi dan Arswendo Atmowiloto atau Danarto dalam cerpen. Namun harus dimulai dari Chairil Anwar untuk puisi dan Pramoedya Ananta Toer untuk cerpen ataupun novel.14 Dalam hal ini, Abdul Hadi W.M merupakan seorang penyair yang religius dalam perpuisian Indonesia yang mampu mengangkat tema-tema ketuhanan. Abdul Hadi W.M dewasa ini memiliki kedudukan penting dalam sastra Indonesia kontemporer. 1. Abdul Hadi merupakan salah satu putera Madura yang representatif dalam dunia perpuisian kita 2. Abdul Hadi dianggap berhasil mempertahankan kepenyairan liris dalam jejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sitor Situmorang 3. Adanya suatu eksperimen untuk mengkristalisir pengertian falsafi. Dan itu merupakan suatu pengantar yang baru pada beberapa sajaknya. Sajak-sajak Abdul Hadi ia membaurkan antara agama satu dengan agama lainnya. Ia bukannya mengarah pada sinkretisme, kecuali condong ke arah “dialog antaragama”. 15
A. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, peneliti membatasi penelitian ini pada masalah nilai religiustas pada Dua puisi Karya Abdul Hadi W.M. (Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi)
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah Abdul Hadi W.M menampilkan struktur fisik dan struktur batin pada Puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi”? 2. Bagaimanakah Abdul Hadi W.M menampilkan pemaknaan religiusitas dalam puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi”?
14 15
Atmosuwito, Op.Cit, h. 3. Ibid, h. 43.
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai religiusitas dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi Karya Abdul Hadi W.M. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran bahwa religiusitas menjadi sebuah hal yang penting untuk terus di tingkatkan ditengahtengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus menerus mengacu nilainilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di Sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. b. Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang religiusitas dalam sebuah karya, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan memandangnya dengan sudut pandang yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan menjadi calon pendidik. c. Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang puisi secara terstruktur dan mendalam. Dalam upaya mengungkapkan permasalahan yang ada maka penelitian menggunakan pendekatan secara kualitatif, Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang perilakunya
8
yang diamati.16 Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif yang dapat diartikan sebagai prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diselidiki (seseorang), lembaga, masyarakat, dan lain-lain, sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta aktual pada saat sekarang.17 Adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library research). Artinya, permasalahan dan pengumpulan data berasal dari tulisan-tulisan sebagai data utama (primer) dan sumber-sumber lainnya yang relevan dengan pembahasan sebagai data sekunder, baik itu berupa buku, majalah, hasil-hasil penelitian ataupun buletin yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini.
E. Metodologi Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan Desember 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian ini tidak terikat pada tempat tertentu karena bersifat penelitian kepustakaan. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian. Penelitian kualitatif juga bisa dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuantemuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Para
peneliti
yang menggunakan pendekatan ini harus mampu
menginterpretasikan segala fenomena dan tujuan melalui sebuah penjelasan. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang penting untuk memahami suatu 16
Nuraida dan Halid Alkaf, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Islamic Research Publishing, 2009), Cet 1,h. 35. 17 Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrument Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), h. 67.
9
fenomena sosial dan perspektif individu yang diteliti. Tujuan pokoknya adalah menggambarkan, mempelajari, dan menjelaskan fenomena itu. Pemahaman fenomena
ini
dapat
diperoleh
dengan
cara
mendeskripsikan
dan
mengeksplorasikannya dalam sebuah narasi.18 Dalam rangka penelitian sastra, baik fiksi maupun puisi, ada beberapa model pendekatan (teori kritik tertentu) yang dapat diterapkan; dan penerapan model itu sesuai dengan konsep serta tata kerjanya masing-masing. Abrams (1979), misalnya, telah membagi model pendekatan itu ke dalam empat kelompok besar; empat kelompok itu dapat dipandang sebagai model yang telah mencakupi keseluruhan situasi dan orientasi karya sastra. Diuraikan oleh Abrams bahwa
model yang menonjolkan kajiannya
terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra disebut ekspresif, yang menitikberatkan sorotannya terhadap peran pembaca sebagai penyambut dan penghayat sastra disebut pragmatik, yang lebih berorientasi pada aspek referensial dalam kaitannya dengan dunia nyata disebut mimetik, sedangkan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik disebut pendekatan objektif.19 Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan objektif. Seperti yang telah dikemukakan di atas pendekatan objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik. Perjalanan sejarah kritik sastra dewasa ini, baik di Barat maupun di Indonesia, keempat model pendekatan Abrams itu memliki konsepnya masingmasing sesuai dengan perkembangan ilmu sastra. 3. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi karya Abdul Hadi W.M. dan objek penelitian ini adalah aspek
18
Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. II, h. 73—74. 19 Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Jogjakarta: PT Hanindita Graha Widya, 2002), Cet. II, h. 53.
10
religiusitas yang terdapat dalam puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi”. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui pengumpulan dokumen-dokumen untuk memperkuat informasi. Teknik dokumentasi bisa disebut sebagai strategi yang digunakan dengan mengumpulkan data-data dari buku-buku, majalah, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. Penulis, dalam penelitian ini, meneliti segala buku dan sumber lainnya (seperti internet, artikel, dan sebagainya) yang berkaitan tentang nilai religiusitas dan puisi karya Abdul Hadi W.M. 5. Langkah-Langkah Pengumpulan Data Setelah mengumpulkan data-data dari hasil dokumentasi kemudian hasilnya diuraikan dan dijelaskan dalam deskripsi hasil penelitian. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan pola pendekatan analisis deskriptif maka data-data yang terkumpul dari hasil dokumentasi dijabarkan dengan memberikan analisis-analisis kemudian diambil kesimpulan akhir. Menurut Nyoman Kutha Ratna, metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis, deskripsi dan analisis
berarti menguraikan. Meskipun
demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’ = atas, ‘lyein’ = lepas, urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan penjelasan secukupnya.20 Pendekatan sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif. Pendekatan ini menitik beratkan pada struktur fisik puisi dan struktur batin puisi.
20
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. III, h. 53.
11
F. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang religiusitas telah dilakukan pada subyek novel, namun belum ada yang melakukan penelitian dengan topik sejenis pada puisi. Dari tinjauan penulis, penelitian seperti subyek novel banyak ditulis oleh mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Ada beberapa penelitian yang mengangkat tentang pesan dalam novel, misalnya skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Pesan Moral dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata,” yang ditulis oleh Siti Aminah, 104051001804. Berdasarkan tinjauan tersebut, tampaknya sangat memungkinkan bagi penulis untuk menulis skripsi dengan judul “Nilai Religiusitas pada Dua Puisi Karya Abdul Hadi W.M (Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi)”. Dalam penelitian mengenai “Nilai Religiusitas pada Dua Puisi Karya Abdul Hadi W.M. (Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi)”. Dalam hal ini, penulis menggunakan referensi buku bacaan yang terkait dengan bahasan tersebut. Di antaranya: Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi, Perihal Sastra dan Religiusitas, Berkenaan dengan Prosa Fiksi, Teori Pengkajian Fiksi, Ilmu, Filsafat, dan Agama, dan lain sebagainya.
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab memiliki subbahasan yaitu: Bab I. Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan. Bab II. Kajian Teoretis, yang mengungkap Pengertian Nilai, Pengertian Religiusitas, Religiusitas dalam Karya Sastra, Jenis dan Wujud Religiusitas, Pengalaman Religiusitas, Agama yang dilepaskan dari Religiositas, Pengertian Puisi, Puisi sebagai Genre Karya Sastra, Ciri Puisi, Hakikat Puisi Wujud Puisi, Unsur Puisi, Proses Penciptaan, Struktur Fisik Puisi, Struktur Batin Puisi, Fungsi Puisi, Struktur Puisi dan Unsurnya, Lapis Bunyi dan Lapis Arti, Kiasan Bunyi dan Irama.
12
Bab III. Metodologi Penelitian, yang terdiri dari Tempat dan Waktu Penelitian, Metode Penulisan, Fokus Penelitian, Prosedur, serta Profil Abdul Hadi W.M, Masa Kecil Abdul Hadi W.M, Pendidikan Abdul Hadi W.M, Karier Abdul Hadi W.M, Karya Abdul Hadi W.M, dan Penghargaan. Bab IV. Menjelaskan Hasil Penelitian dan Pembahasan, yaitu mengenai “Nilai Religiusitas pada Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi Karya Abdul Hadi W.M” Bab V. Penutup, yang terdiri dari Simpulan dan Saran, Bagian terakhir memuat Daftar Pustaka dan Lampiran-Lampiran .
BAB II ACUAN TEORETIS A. Nilai dan Religiusitas 1. Pengertian Nilai Menurut Desy Anwar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai memiliki arti “harga” dalam arti tafsiran; harga sesuatu; harga sesuatu; angka kedalaman; kadar mutu dan banyak sedikitnya mutu.1 Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai, berarti sesuatu itu berharga atau berguna.2 Lebih lanjut Schwartz juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadiankejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.3 Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan, atau prilaku.4 Nilai adalah sesuatu yang abstrak, tidak berupa barang kongkret. Nilai hanya bisa dipikirkan, dipahami, dan dihayati. Nilai berkaitan dengan cita-cita, keyakinan, harapan, dan hal-hal yang berkaitan dengan batiniah. Menilai berarti menimbang, mengukur, dan membandingkan, yakni kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk mengambil suatu keputusan.5 Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai, yaitu (1) suatu keyakinan, (2) berhubungan dengan cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu 1
Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya: Amelia, 2003), Cet. I, h. 290. 2 Http://uzey.blogspot.com/2009/09/pengertian-nilai.html, Uzy Ibni Muhammad, Pengertian Nilai, diakses pada hari Selasa, 26 Oktober 2010, pkl. 20.00 WIB. 3 Http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/nilai.html, Maria Antoinette, Belajar Psikologi “Bukan Hanya untuk Anda”, diakses pada hari Selasa, 26 Oktober 2010. pkl. 20.10 WIB. 4 Zakiah Daradjat, dkk., Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), Cet. X, h. 260. 5 Http://jalius12.wordpress.com/2010/10/01/pengertian-nilai/, Jalius H.R., Pengertian Nilai, diakses pada hari Selasa, 26 Oktober 2010, pkl. 20.30 WIB.
13
14
keyakinan mengenai cara bertingkah laku, tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.
2. Pengertian Religiusitas Mangunwijaya mengatakan religiusitas adalah konsep keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap religius. Religius merupakan bagian dari kebudayaan dan sistem dari suatu agama yang satu dengan agama yang lain memiliki sistem religi yang berbeda. Religius merupakan wujud seseorang berdoa untuk yakin dan percaya kepada Tuhan sehingga keadaan emosi mengalami ketenangan dan kedamaian. Keterkaitan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan dengan melakukan tindakan sesuai dengan ajaranajaran agama. Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama dalam argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang kebesaran Tuhan dalam arti mutlak, dan kebesaran manusia dalam arti relatif selaku makhluk. Religiusitas berbeda dengan keagamaan. Dalam pengertian di atas religiusitas mencakup keagamaan. Keagamaan itu sendiri merupakan sesuatu yang berhubungan dengan agama. Sikap-sikap yang ada dalam agama, yaitu berdiri khidmat, membungkuk, dan mencium tanah selaku ekspresi bakti kepada Tuhan, mengatupkan mata selaku konsentrasi diri pasrah sumarah dan setiap mendengarkan sabda illahi dalam hati. Semua itu seolah bahwa manusia religius yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya juga.6
3. Religiusitas dalam Karya Sastra Religiusitas dalam sastra Indonesia selalu hadir dalam konteks wacana (pembacaan maupun penciptaan) sekularisme dan materialisme yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai spiritualitasnya. Penghayatan yang intens terhadap Tuhan, menyoal aspek-aspek personalitas kebaktian makhluk kepada Tuhan, sedu6
54—55.
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), Cet. I, h.
15
sedannya di dalam suatu karya bukan hanya karena alasan untuk memperoleh pengetahuan tentang religiusitas, melainkan juga karena secara pragmatis sebagai suatu gerakan mencari dimensi yang hilang dari religi. Religiusitas menurut Rumi merupakan suatu yang dapat digunakan sebagai sarana pembinaan dan pendewasaan mental manusia. Sastra Indonesia dibatasi mulai dari zaman balai pustaka, yakni tahun 1917. Sebelumnya Commisie Voor de Volkslectuur, merupakan realisasi pemerintah Hindia- Belanda yang didirikan tahun 1908 sebagai akibat “Ethische Politiek” pemerintah Negeri Belanda. Agar tidak memberi kesan pengotakan agama pengarang, dijelaskan bahwa yang ditelaah adalah prasaan, keagamaan dalam karya sastra itu sendiri. Untuk puisi religius, karangan Amir Hamzah merupakan karya sastra keagamaan paling berbobot dari pujangga baru. 7 Dalam sebuah puisi memiliki aspek salah satunya ialah aspek religi yang menjadi pokok bahasan penulis dalam skripsi. Aspek religi adalah suatu ketentuan atau nilai nilai agama yang btertuang dalam bentuk karya sastra terutama puisi. Aspek religi ini memberikan pengaruh yang besar dalam suatu karya sastra, karena dalam aspek ini terkandung pesan pesan religi yang sangat sekali dibutuhkan oleh para pembaca untuk meningkatkan hubungan dengan tuhan, hubunganh dengan manusia lainnya. Konsep dasar religius berbeda dengan agama. Bila agama lebih mengacu pada keterkaitan seseorang dengan agama tertentu secara formalitas, maka religius adalah ikatan seseorang terhadap suatu religi bisa juga agama tertentu dari sisi informalnya. Seorang dapat dikatakan tidak memiliki religiusitas yang tinggi bila praktik batinnya kering terhadap suatu agama atau religi. Dalam hal ini religiusitas dapat dilihat dari ungkapan batin yang kemudian direfleksikan dalam tindakan yang terkait dengan suatu religi.
7
Subijantoro, Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1989), Cet. I, h. 138—139.
16
4. Jenis dan Wujud Religiusitas Tujuan mengapresiasikan puisi adalah untuk menemukan pesan yang ingin disampaikan pengarang. Jika suatu karya rekaan mengandung mengandung pesan religius, sebenarnya di situ terkandung lebih dari satu ajaran religius yang diamalkan. Jenis dan wujud religiusitas yang terdapat dalam karya sastra, bergantung pada keyakinan, minat pengarang, religiusitas dapat menyangkut masalah yang cukup luas, meliputi masalah hidup dan kehidupan menyangkut masalah harkat dan martabat manusia dan sebagainya. Masalah religiusitas yang akan dikaji dalam peneltian ini meliputi berbagai macam hubungan. Hubungan – hubungan tersebut meliputi ; 1. Hubungan manusia dengan tuhan Manusia sebagai mahluk ciptaan, pastilah sangat erat kaitannya dengan penciptanya, wujud dari hubungan itu bisa berupa doa–doa ataupun upacaraupacara. Doa dan upacara tersebut dilakukan oleh manusia, karena suatu kesadaran atau rasa sadar bahwa semua yang ada di alam raya ini ada yang menciptakan. 2. Hubungan manusia dengan masyarakat Nilai kehidupan dalam hubungan manusia dengan lingkungan dan masyarakatnya, menampilkan nilai nilai berikut 1). Gotong royong 2) musyawarah 3) kepatuhan kepada adab dan kebiasaan 4) cinta tanah kelahiran atau lingkungan tempat menjalani kehidupan. Keempat nilai itu memperhatikan bagaimana individu mengikatkan diri Dalam kelompoknya. Individu–individu akan selalu behubungan satu sama lainnya dalam suatu kelompok. Kelompok tersebut adalah masyarakat individu sebagai anggotanya akan selalu mematuhi dan menaati segala peraturan yang berlaku didalamnya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk segala aturan yang berlaku di dalamnya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk segala bentuk pengikatan diri dan sebagai sarana pengikatan diri. 3. Hubungan sesama manusia Manusia adalah mahluk sosial. Kehidupan manuisa dimuka bumi tidak akan pernah lepas dari manusia lainnya. Dalam hubungan sesame manusia, kedua belah pihak saling membutuhkan, saling berkerja sama, tolong–menolong, dan
17
menghargai. Walaupun sesama manusia dapat terjadi karena adanya benturan kepentingan atau perbedaan kepentingan diantara mereka. 4. Hubungan manusa dengan dirinya Selain sebagai mahluk sosial, manusia juga mahluk pribadi yang telah mengutamakan kepentingannya sendiri, sebagai mahluk pribadi, manusia mempunyai hak untuk menentukan sikap, pandangan hidup, perilaku sesuai kemampuannya dan itulah yang membedakannya dari manusia lainnya. Hak untuk menentukan keinginannya sendiri itulah yang mencerminkan hubungan manusia dengan hubungannya sendiri.8
5. Pengalaman Religius Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pengalaman religius itu, lebih dulu kita lihat apa arti pengalaman. Pengalaman berarti pengetahuan yang diperoleh berdasarkan hubungan langsung antara kesadaran dan sesuatu yang nyata yang datang pada kesadaran, entah kejadian, keadaan, hal, atau orang. Dengan pengalaman, orang menyadari sesuatu, dan oleh pengalaman itu terjadi perubahan pada diri, hati, budi, dan tubuhnya. Didalam pengalaman tercakup beberapa unsur. Subjek dan Ada subjek, manusia yang mengalami, objek yang dialami, perjumpaan antara subjek yang mengalami dan objek yang dialami, dan interaksi antara subjek dan objek dimana subjek menanggapi objek yang dialami. Kata religius berasal dari kata latin religious yang merupakan kata sifat dari kata benda religio. Asal-usul kata religious dan religio itu sulit dilacak. Orang menghubung-hubungkan kata itu dengan kerja re-eligere yang berarti memilih kembali atau re-ligare yang berarti memilih kembali. Atau, kata re-ligare yang berarti mengikat kembali. Atau, kata relegare yang berarti terus menerus berpaling kepada sesuatu. Akan tetapi, pencarian dan pemilihan asal kata itu lebih merupakan usaha untuk memberi pembenaran pada arti kata religio daripada pengungkapan arti yang sebenarnya. Dalam kata religio terkandung tiga unsur.
8 Muhammad Pujiono, Analisi Nilai-nilai Religius dalam Cerita Pendek Karya Mizawan Kenzi, Repository.usu.ac.id/bitstream, diakses pada Selasa Tanggal 28 Desember 2010, Pkl. 14.00 WIB.
18
1. Unsur memilih kembali ke sesuatu yang sudah ada tetapi dengan berjalannya waktu menjadi terlupakan. 2. Unsur mengikat diri kembali pada sesuatu yang dapat dipercaya dan diandalkan, yang sebelumnya sudah ada akan tetapi telah putus atau tidak disadari 3. Sesudah memilih kembali dan mengikatkan diri, manusia terus-menerus berpaling pada sesuatu itu. Dengan demikian, pengalaman religius adalah pengetahuan manusia akan “sesuatu” yang ada di luar dirinya, melebihi dan mengatasi dirinya, yang trasenden, yang Ilahi, yang diperoleh secara langsung melalui hubungan sadar antara dirinya dan “sesuatu” yang melebihi dirinya itu. Menurut Rudolf Otto, sewaktu mengalami yang Trasenden, manusia mengalami dua perasaan yang saling bertentangan. Di satu pihak manusia merasa tertarik karena yang trasenden itu fascinosum, penuh daya pesona. Akan tetapi di lain pihak, manusia juga mengalami perasaan takut-gemetar karena yang Trasenden itu tremendum, penuh daya yang memaksa orang menjadi takut.9 Manusia
mampu
mengetahui
Allah
melalui
pemikiran
dan
perenungannya.manusia juga dapat mengalami Allah melalui pengalaman religiusnya. Untuk dapat mengetahui Allah dan kehendaknya bagi umat manusia, maka mnusia perlu menggunakan akal budinya. Titik tolak untuk berpikir tentang Allah itu adalah alam raya beserta segala gejalanya. Manusia dapat memperdalam pengetahuannya mengenai allah itu dengan merenungkan asal-usulnya, hidup yang sedang dijalaninya, dan hidupnya dimasa depan. Pengetahuan mengenai Allah itu dapat diperdalam dengan mempelajari tradisi-tradisi keagamaan masyarakat tradisional dan kitab-kitab suci agama wahyu.10 Manusia tidak hanya dapat mengetahui Allah, melainkan juga dapat mengalaminya dalam hidup nyata. Untuk itu, manusia perlu mengembangkan kepekaan terhadap kehadiran Allah dalam peristiwa-peristiwa hidup yang dialaminya. Dengan demikian, pengetahuan dan pengalaman akan allah tidak 9
Agus M. Harjana, Religoisitas, Agama dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisuis, 2005), Cet 1, h. 29—30. 10 Ibid., 29—30.
19
terjadi dengan sendirinya, tetapi perlu usaha. Usaha itu tidak mudah dan tidak ringan, tetapi hasilnya sangat melimpah-limpah. Dari pengetahuan dan pengalaman akan Allah itu, manusia sampai pada keadaan di mana ia merasa dan sadar akan hubungan serta ikatannya kembali dengan allah. Perasaan dan kesadaran itu disebut religiositas, dan dari religiositas inilah lahir agama. Dengan demikian, religiositas merupakan sumber, pangkal, jiwa, semangat, dan roh agama. Dalam religiositas itu, agama mendapatkan semangat dan roh yang sebenarnya. Tanpa religiositas, agama menjadi kering kerontang seperti tanah tanpa air, sepi seperti rumah tanpa penghuni, kaku seperti batang pohon yang sudah mati, dan dingin seperti badan tanpa nyawa.11
6. Agama dilepaskan dari Religiositas Terpisahnya agama dari religiositas dengan kadar
yang berbeda-beda
dapat terjadi pada semua penganut dari agama apa pun dan di mana pun. Hal ini dikarenakan sumber penyebanya bukan ada pada agama itu sendiri, tetapi ada pada diri manusia yang menjadi pengaruhnya. Karena keterbatasannya, manusia mudah terjebak pada kepraktisan: yang penting dilaksanakan, apa maknanya itu urusan belakangan. Dari mental kepraktisan itu, manusia jatuh pada rutinitas. Pokoknya berbuat seperti yang sudah-sudah tanpa ambil pusing arti dan tujuannya. Hal ini tidak hanya terjadi pada kegiatan hidup sehari-hari, tetapi juga dalam penghayatan agama.12
11 12
Ibid., h. 47. Ibid., h. 61—62.
20
Maka tidak perlu heran melihat orang beragama mempunyai pengetahuan tentang dogma agamanya dengan sangat mendalam dan luas, tetapi ia tidak mengenal Allah, rajin mengikuti ibadat keagamaan, tatapi melaksanakan kehendak Allah, aktif dalam lembaga dan organisasi keagamaan, tetapi asing dengan urusan Allah. Karena itu, dalam penghayatan agama, manusia perlu setiap kali mengembalikan agama ke sumbernya, yaitu religiositas. Dengan cara itu, penghayatan agama mendapat makna dan dimensi yang sebenarnya dan mendatangkan dampak nyata bagi hidupnya sendiri, sesame, masyarakat dan bangsanya, bahkan dunia yang dihuninya.
B. Puisi 1. Pengertian Puisi Puisi merupakan suatu ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat, dimana kata-kata condong pada artinya yang kognitif itulah yang dimaksud dalam puisi. Menurut pendapat lain
puisi ialah hal mencari dan
melukiskan “yang diidamkan” (the Ideal).13 Ada pula yang mengatakan tentang puisi sebagai karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata imajinatif.14
2. Puisi sebagai Genre Sastra Puisi merupakan salah satu genre sastra yang memiliki bentuk yang khas, unik, dan lazim menggunakan bahasa yang relatif lebih padat dan lebih subtil dibandingkan genre sastra lainnya, seperti cerpen, novel, maupun drama. bahwa puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, yang digubah dalam wujud yang paling berkesan. Rachmat Djoko Pradopo (1990)
13
Putu Arya, Tirtawirya, Apresiasi Puisi dan Prosa, (Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah, 1983), Cet. IV, h. 9—10. 14 Herman J. Waluyo, Apresiasi Puisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. 1, h. 1.
21
Sebagai karya sastra, puisi memiliki dua fungsi utama seperti yang dikemukakan Horatius (Teeuw, 2003: 7), dulce et utile; sastra memiliki fungsi keindahan/kenikmatan dan kegunaan/bermanfaat bagi pembacanya. Sebuah puisi biasanya memiliki setidaknya satu dari dua fungsi tersebut. Ada puisi yang indah, seperti puisi-puisi lirik Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., dan Goenawan Mohamad, sehingga pembaca merasa nikmat membaca puisi itu, namun memerlukan proses yang cukup panjang untuk memahaminya.
3. Ciri Puisi Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud puisi tersebut. Bahasa puisi mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan wujud puisi terdiri dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan tidak mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan membedakannya dari bentuk prosa. Dengan demikian tujuan puisi bukanlah melukiskan kebenaran, melainkan memuja kebenaran dan “memberi jiwa” sesuatu gambaran yang lebih indah. Dalam puisi kita berhadapan dengan suatu cara pengungkapan yang menyirat, ungkapan tersebut tidak dapat kita uraikan atau analisa secara tuntas, penuh makna.
4. Hakikat Puisi Hakikat puisi bukan terletak pada bentuk formalnya meskipun bentuk tersebut itu penting. Hakikat puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu disebut puisi. Hakikat puisi terbagi menjadi tiga, yaitu sifat seni atau fungsi estetik, kepadatan, dan ekspresi tidak langsung. 1) Fungsi Estetik Puisi memiliki fungsi estetika dominan, yakni fungsi seninya yang berkuasa. Di dalamnya terdapat unsur-unsur estetik (keindahan) yang merupakan unsurunsur kepuitisan, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasa.
22
2) Kepadatan Bentuk puisi sangat padat, sebab puisi hanya mengemukakan inti masalah atau cerita. Dengan demikian, hubungan antarkaliamat bersifat implisit, tidak dinyatakan secara jelas dan lengkap. Dengan kata lain, puisi mengandung sedikit kata, tetapi mengungkapkan banyak hal.15 3) Ekspresi yang tidak Langsung Puisi merupakan ekspresi pengarang secara tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti yang dilakukan oleh pengarang itu sendiri, pengungkapan secara tidak langsung menyatakan suatu hal dengan arti yang lain.
5. Wujud Puisi Wujud puisi adalah wujud seni perkataan yang mesra dan mempunyai bentuk serta criteria puitis berdasarkan pada teori dan periodisasi tertentu. Adapun wujud puisi dalam perkembangan merupakan suatu bentuk karya liris mesra yang menuntut pada pencipta untuk mempertanggung jawabkan hasil karya puisinya.16 Hal ini sesuai dengan realitas yang ada dan menuntut pada ketegasan pendapatnya yang tertuang dalam karya puisi bersangkutan. Dengan demikian agar kita tetap kembali memahami proses penciptaan puisi sesuai dengan perkembangannya.
6. Unsur-unsur Puisi Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi. a. Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
15
Asul, Wiyanto, Kesusastraan Sekolah, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), Cet. 1, h. 29. 16 Abdul, Jalil, Daniel, Teori dan Periodisasi Puisi Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1984), Cet. 10, h. 14.
23
b. Waluyo mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang. c. Dick Hartoko dalam Waluyo, menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.17 Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).
7. Proses Penciptaan Dalam penciptaan sebuah puisi yang harus kita pahami terlebih dahulu adalah mengenai hidup dan kehidupan sosial. Karena dari sebuah karya puisi yang baik di dalamnya tercermin bagian dari bentuk serta proses hidup dan perikehidupan sosial dengan maksud menyampaikan segala aspirasi yang timbul.18 Bahan-bahan yang terangkum dalam dari peristiwa sosial itu merupakan bagian dari inspirasi yang memberikan jawaban bagi penilaian seorang penyair. Hal ini merupakan tahapan dari proses penciptaan puisi, disamping itu kita harus memahami pengertian puisi itu sendiri. Faktor penilaian terhadap suatu peristiwa sosial memerlukan kedewasaan dalam cara menilai. Penilaian yang lebih sempurna dapat terselusuri dari pengalaman hidup sendiri. Lebih jelas lagi kita pelajari hal-hal di bawah ini proses penciptaan puisi secara bertahap.
17
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987). Cet. IV, h,
27. 18
Daniel, Op.Cit., h. 16.
24
a. Pengalaman Pengalaman merupakan hal yang sangat penting bagi seorang penyair untuk mengetahui secara aktual setiap peristiwa yang berkaitan dengan apa yang akan di tuangkan dalam sebuah karya puisi. b. Penafsiran Pengertian penafsiran merupakan sebuah kebulatan pikiran yang sementara dan pandangan sementara pula terhadap suatu peristiwa atau terhadap suatu pengalaman yang mampu untuk di ungkapkan secara tertulis. c. Penilaian Dalam menilai suatu peristiwa tiap individu berbeda-beda, namun hakekatnya penilaian merupakan penentuan keyakinan benar atau tidaknya suatu peristiwa. d. Penghayatan Penghayatan mempunyai posisi yang sangat penting untuk mewujudkan sebuah karya puisi yang baik dan sesuai dengan perkembangannya. Dalam proses penghayatan adalah menegakkan keutuhan suatu peristiwa dengan sutuhnya. e. Memutuskan Dalam memutuskan gagasan atau idenya dalam karya puisi terletak pada peristiwa yang dihadapinya. f. Pencurahan Yang dimaksud dengan pencurahan yaitu bersatunya segala aspek dan terekrutnya segala proses yang telah bulat sehingga segala inspirasi dapat dituangkan ke dalam bentuk karya puisi. Pencurahan merupakan proses yang sangat menentukan hasil cipta karya puisi.19
19
Ibid., 18—23.
25
8. Struktur Fisik Puisi Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut. 1. Perwajahan puisi (tipografi) Perwajahan puisi (tipografi), disebut juga ukiran betuk. Dalam sebuah puisi diartikan sebgai tatanan larik, bait, kalimat, frasa, kata, dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa, dan suasana.20
2. Diksi Diksi yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secara cermat mungkin.21 Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 1987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami sembilan aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
3. Imaji Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji penglihatan (visual), imaji suara (auditif), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakanakan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.22
20
M. Atar, Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), Cet. 1, hal. 135. Waluyo, Op.Cit.,h. 68—69. 22 Waluyo, Op.Cit.,h. 10. 21
26
4. Kata konkret Kata konkret adalah penyair ingin mengembangkan sesuatu secara lebih konkret. Oleh karena itu, kata-kata diperkonkret. Bagi penyair mungkin dirasa lebih jelas karena lebih konkret, namun bagi pembaca sering lebih sulit ditafsirkan maknanya. 23
5. Bahasa figuratif Bahasa figuratif atau dapat disebut juga dengan bahasa kiasan, bahasa kiasan ini dapat menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain.24
6. Versifikasi Versifikasi yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92], dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
23
Waluyo, Op.Cit., h. 9. Rachmat Djoko, Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 2005). Cet. IX, h. 61—62. 24
27
9. Struktur Batin Puisi Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut. a. Tema atau makna (sense) Media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
b. Rasa (feeling) Rasa yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman
sosiologis
dan
psikologis,
dan
pengetahuan.
Kedalaman
pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
c. Nada (tone) Nada (tone) yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dan lain-lain.
d. Amanat atau tujuan atau maksud (itention) Sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
28
10. Fungsi Puisi Fungsi puisi adalah fungsi spiritual yang sifatnya tidak langsung bagi kehidupan fisikal yang praktis. Hal ini sesuai dengan hakikat puisi yang merupakan ekspresi tidak langsung. Kegunaan puisi ini berhubungan dengan kehidupan kebatianan dan kejiwaan manusia. Puisi mempengaruhi kehidupan manusia lewat kehidupan batin dan kejiwaannya. Lewat kehidupan kejiwaan ini puisi mempengaruhi aktivitas kehidupan fisik manusia. Karena puisi itu karya seni untuk menyampaikan gagasan, mka fungsi puisi adalah dulce (indah) dan utile (berguna, bermanfaat). Dulce berhubungan dengan ekspresi dan sarana ekspresinya, sedangkan utile, berhubungan dengan muatan yang dikandung puisi berupa ajaran, gagasan, atau pikiran. Puisi merangsang kepekaan terhadap keindahan dan terhadap rasa kemanusiaan. Karya seni itu, termasuk puisi, berupa mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang terkikis teknologi dan menyadarkan kembali manusia pada kedudukannya
sebagai
subjek
dalam
kehidupan
ini.
Puisi
berusaha
mengembalikan stabilitas, keselarasan, dan keutuhan dalam diri manusia.25
11. Struktur Puisi dan Unsur-unsurnya Karya sastra, termasuk puisi, adalah sebuah struktur. Sebuah struktur menyiratkan adanya unsur-unsur pembentuk. Puisi adalah sebuah struktur yang kompleks, yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berjalinan dengan erat. Unsur-unsur itu tidak berdiri sendiri-sendiri. Sebuah unsur hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya di dalam struktur itu dan kaitannya dengan keseluruhannya. Unsur struktur adalah unsur fungsional, yaitu mempunyai tugas (fungsi) tertentu dalam menyusun struktur. Puisi adalah struktur yang komplek. Oleh karena itu, untuk dipahami haruslah dianalisis. Akan tetapi, tidak semua analisis sama baiknya. Analisis yang
25
Rachmat Djoko, Pradopo, dkk, Puisi, (Universitas Terbuka, 2007), Cet. III, h. 1.44.
29
tidak benar hanya akan menghasilkan kumpulan fragmen atau koleksi fragmen. Unsur koleksi bukanlah bagian struktur yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dalam analisi haruslah dilihat hubungan antarbagian itu mengingat unsur struktur itu unsur yang fungsional. Sampai sekarang dikenal analisis dikotomis bentuk dan isi karya sastra. Analisis bentuk dan isi itu tidak menggambarkan wujud puisi yang sebenarnya karena bentuk dan isi puisi itu tidak dapat dipisahkan secara mutlak. Bentuk dan isi tersebut bercampur hingga mana yang bentuk dan mana yang isi itu tidak jelas. Untuk mengatasi masalah analisis bentuk dan isi itu ada usaha lain, yaitu analisis fenomenologis. Analisi fenomenologis itu dibuat oleh Roman Ingarden, seorang filsuf dan ahli seni Polandia. Karya sastra itu sesungguhnya merupakan struktur lapis norma karya sastra. Norma karya sastra itu adalah yang implicit dalam karya sastra sendiri, tidak berasal dari luar. Analisis Ingarden itu dikemukakan Rene Wellek dan Austin Warren sebagi berikut. Karya sastra itu terdiri atas lapis-lapis norma. Lapis norma yang diatas menimbulkan lapis di bawahnya. Begitu, seterusnya. Lapis norma yang pertama adalah lapis bunyi. Lapis bunyi menimbulkan lapis kedua, yaitu lapis arti. Lapis norma ketiga adalah lapis dunia pengarang. Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi, yang menurut Wellek dapat disatukan dengan lapis ketiga, lapis dunia pengarang. Analisis Ingarden ini adalah analisi yang sangat maju, tetapi ada kekurangannya karena tidak menghubungkan dengan penilaian. Unsur-unsur karya sastra tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai mengingat karya sastra adalah karya seni yang fungsi estetisnya dominan. Oleh karena itu, dalam menganalisis karya sastra, termasuk puisi, ditunjukkan satuansatuan estetis dari tiap-tiap lapis norma dan fungsinya dalam struktur tersebut.26 26
Ibid., h. 3.13—3.14.
30
12. Lapis Bunyi dan Lapis Arti Analisis lapis bunyi dan lapis arti itu sarana yang terpenting untuk memahami puisi. Hal ini disebabkan oleh puisi itu bersifat liris. Oleh karena itu, sarana ekspresinya yang utama berupa satuan bunyi dan satuan arti. Sebaliknya, prosa bersifat epis atau naratif, maka sarana utamanya satuan pencerita, lapis dunia pengarang. Satuan-satuan estetik bunyi adalah persajakan, kiasan bunyi, dan orkestrasi. Dalam puisi, satuan-satuan bunyi itu saling berjalinan untuk bunyi itu berjalin erat dengan satuan-satuan estetik lapis arti untuk mendapatkan nilai seni sebanyak-banyaknya. Di antara satuan estetik bunyi adalah sajak. Sajak adalah ulangan bunyi, bauk berupa asonansi, aliterasi, sajak awal, sajak dalam, sajak akhir, mauun sajak tengah. Dalam puisi lama ada pola sajak (sajak akhir) yang mengikat. Dalam puisi pujangga barumasih dipergunakan pola sajak akhir, tetapi tidak mengikat. Dalam arti boleh dibuat variasi pola-polanya. Dalam puisi periode berikutnya persajakan sebagai sarana kepuitisan, tetapi disesuaikan dengan fungsi eksprsivitasnya, tidak usah harus terpola. Bahkan, ada kecenderungan untuk tidak mempergunakan persajakan pada periode 1970—1990 karena sajak ditulis seperti bentuk formal prosa. Di samping persajakan, sarana kepuitisan bunyi berupa orkestrasi. Orkestrasi adalah bunyi musik pada puisi. Orkestrasi ini berupa penggabungan unsur-unsur kepuitisan bunyi yang menyebabkan merdu dan berirama. Orkestrasi bunyi yang merdu disebut efoni, sedangkan orkestrasi bunyi parau disebut kakofoni. Satuan-satuan estetik lapis arti di antaranya berupa diksi, bahasa kiasan, dan sarana retrotika. Diksi adalah pemilihan kata setepat–tepatnya. Pemilihan kata itu disesuaikan dengan ekspresi bunyi, ketetapan arti yang sesuai dengan gagasan sajak, konsep estetik, dan warna setempat (local colour). Bahasa kiasan ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang sebetulnya tidak sama. Bahasa kiasan itu berfungsi untuk memperjelas gambaran angan (citraan). Ada beberapa jenis bahasa kiasan: perumpamaan (simile), metafora, personifikasi, metomini, sinekdoki, perumpamaan epos (epic simile), dan alegori. Di samping bahasa kiasan, sarana kepuisian untuk mendapatkan nilai estetik
31
adalah sarana retotika (rhetorical device). Sarana retorika ini ialah muslihat pikiran; berupa pemanipulasian penggunaan bahasa untuk menarik perhatian dan membuat pembaca berkontemplasi. Sarana ini banyak jenis dan ragamnya. Diantaranya adalah pleonasme, tautology, paradox, enumerasi, pararelisme, silepsis, repetisi, dan sebagainya.27
13. Kiasan Bunyi dan Irama a. Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dalam puisi dimanfaatkan untuk 1. Peniruan bunyi atau onomatope 2. Lambang bunyi 3. Kiasan bunyi Onomatope adalah peniruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Peniruan bunyi ini dipilih penyair dengan harapan dapat memberikan gambaran suasana tertentu sesuai degan keinginannya. Lambang bunyi ialah bunyi yang dihubungkan dengan suasana hati. Bunyi-bunyi tersebut tampaknya memiliki kaitan yang erat dengan leksikalnya, dan mampu memberikan gambaran yang jelas atas suasana tertentu. Bahkan, kadang-kadang bunyi tersebut memiliki semacam karakter yang khas yang erat kaitannya dengan suasana tertentu Kiasan bunyi ialah suasana tertentu yang dikiaskan dengan bunyi-bunyi tertentu yang mirip dengan bunyi tiruan (onomatope)dan lambang bunyi yang ada. Dalam onomatope antara bunyi dan acuannya memiliki hubungan yang mengacu secara langsung, sedangkan dalam kiasan bunyi, bunyi yang memiliki acuan tersebut dikiaskan dengan bunyi lain yang mirip dengan bunyi tersebut untuk menggambarkan acuan yang sama 4. Rima adalah pengulangan bunyi baik yang berupa aliterasi, asonansi, maupun rima akhir. Rima ini merupakan unsure estetis dalam puisi dan
27
Ibid, h. 3. 47.
32
dimanfaatkan untuk memberikan kesan merdu indah dan dapat mendukung suasana yang dikehendaki penyair. 28
b.
Irama Pada umunya, irama sering disamakan dengan istilah ritme. Padahal,
irama sebetulnya ada dua macam, yaitu ritme dan metrum. Akan tetapi, karena metrum hanya ada dalam teori Barat yang sulit diaplikasikan pada puisi Indonesia, maka istilah irama dan ritme sering digunakan secara bergantian. Pengertian irama selalu memiliki ciri-ciri: (1) pengulangan bunyi, (2) pengertian kesatuan bunyidalam arus panjang pendek, dan (3) memiliki keteraturan. Ketiga cirri tersebut pada akhirnya membentuk suatu alunan merdu, indah, dan enak didengar. c.
Ritme ialah pengulangan bunyi abik pada suku kata, kata, frase, maupun
kalimat yang teratur, terus menerus, tidak terputus-putus, bagaikan air yang mengalir, sedangkan metrum ialah irama yang tetap. Artinya, pergantiannya sudah tetap dan mengikuti pola tertentu.29
28 29
Ibid., h. 4.28. Ibid., h. 4. 39.
32
BAB III PROFIL ABDUL HADI W.M
Data yang diperoleh penulis mengenai profil Abdul Hadi W.M. yakni dari ensiklopedi sastra Indonesia dan majalah horison tahun 2011.
A. Masa Kecil Abdul Hadi W.M. Abdul Hadi WM lahir di sumenep tanggal 24 Juni 1946, beliau dari garis keturunan saudagar Tionghoa yang hijrah dan menetap di Sumenep. Ayahnya, saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu Muthar menikah dengan putri keraton Solo bernama RA. Martiya. Anak sulung dari empat bersaudara (semua laki-laki) ini di masa kecilnya sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat dari pemikir-pemikir seperti Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal. Sejak kecil pula ia telah mencintai puisi dan dunia tulis menulis. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar Orang tuanya memiliki sebuah pesantren di kota kelahirannya, "Pesantren An-Naba", yang sampai saat ini masih dikelola Hadi. Pada tahun 1978 ia menikah dengan wartawati dan pelukis Tedjawati Koentjoro, dan dikarunia tiga orang putri Gayatri Wedotami, Dian Kuswandini dan Ayusha Ayutthaya. Dengan istrinya ia sering terlibat diskusi soal seni, dan sejak dini selalu membawa anak-anak mereka mengunjungi pameran-pameran kesenian, di mana Taman Ismail Marzuki mereka jadikan tempat berlibur di akhir pekan. Ia juga menyukai karya Bach, Beethoven, dan The Beatles.
B. Pendidikan Abdul Hadi W.M. Pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya diselesaikan di kota kelahirannya.
Ketika
memasuki
sekolah
menengah
atas,
Abdul
Hadi
meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke Surabaya untuk menuntut ilmu di kota itu. Ia kemudian menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hingga tingkat sarjana muda, lalu pindah ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral, namun tidak diselesaikannya. Ia
32
33
beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dan mengambil program studi Antropologi. Selama setahun sejak 1973—1974 Hadi bermukim di Iowa, Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di University of Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun untuk mendalami sastra dan filsafat. Pada tahun 1992 ia mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar master dan doktor Filsafat dari Universiti Sains Malaysia di Penang, Malaysia, di mana pada saat yang bersamaan ia menjadi dosen di universitas tersebut. Sekembalinya ke Indonesia, Hadi menerima tawaran dari teman lamanya Nurcholis Madjid untuk mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, universitas yang sama yang mengukuhkannya sebagai Guru Besar di tahun 2008.
C. Karier Abdul Hadi W.M. Keterlibatannya dalam dunia jurnalistik diawali sejak menjadi mahasiswa, di mana Hadi menjadi redaktur Gema Mahasiswa (1967—1968) dan redaktur Mahasiswa Indonesia (1969—1974). Kemudian ia menjadi Redaktur Pelaksana majalah Budaya Jaya (1977—1978), redaktur majalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) (1979—1981), redaktur Balai Pustaka (1981—1983) dan redaktur jurnal kebudayaan Ulumul Qur'an. Sejak 1979 sampai awal 1990-an ia menjabat sebagai redaktur kebudayaan harian Berita Buana. Tahun 1982 ia dilantik menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan ketika reformasi bergulir, dalam pemilu multi partai 1999, atas desakan rekannya Dr. H. Hamzah Haz, Abdul Hadi dipaksa maju sebagai wakil daerah wilayah pemilihan Jawa Timur dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tahun 2000 ia dilantik menjadi anggota Lembaga Sensor Film dan sampai saat ini dia menjabat Ketua Dewan Kurator Bayt Al-Qur'an dan Museum Istiqlal, Ketua Majlis Kebudayaan Muhammadiyah, anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan anggota Dewan Penasihat PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia).
34
Sebagai pengajar, saat ini tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Falsafah Universitas Paramadina, dosen luar biasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) London kampus Jakarta. Sebagai sastrawan, Hadi bersama sahabat-sahabatnya antara lain Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar dan Leon Agusta menggerakkan program Sastrawan Masuk Sekolah (SMS), di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional dan Yayasan Indonesia, dengan sponsor dari The Ford Foundation.
D. Karya Abdul Hadi W.M. Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Ia memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-karyanya kian kuat diwarnai oleh tasawuf Islam. Orang sering membandingkannya dengan sahabat karibnya Taufik Ismail, yang juga berpuisi religius. Namun ia membantah. “Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi moralistisnya”. Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan Abdul Hadi menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan pengikutnya. Tampak ia ikut menafasi kebudayaan dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami, ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler. Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah
35
karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Korea dan Spanyol. 1
E. Penghargaan Pada Tahun 1969 ia memperoleh hadian puisi terbaik II majalah sastra Horison, pada tahun 1978 menerima hadiah buku puisi terbaik dewan kesenian Jakarta. Tahun 1979 Abdul Hadi mendapatkan anugerah seni dari pemerintah republik Indonesia, dan pada Tahun 1985 SEA Write Award di Bangkok, Thailand. Pada tahun 2003 memperoleh hadiah mastera dari Kuala Lumpur. Banyak pertemuan penyair dan sastra dihadiri di Indonesia, Malaysia, Filipina, Jepang. Thailan, Korea Selatan, Rotterdam, London, Amerika serikat, Libya, Iraq, Iran, dan lain-lain. Puisi-puisinya telah diterjemahkan kedalam bahasa inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailad, Arab, Bengali, Urdu, Korea, dan Spanyol.2
1 2
Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu Bandung, 2004), Cet. 1, h. 10. Nur, Sutan, Iskandar, Horison Majalah sastra, Februari, 2011. Hal 36.
36
BAB IV HASIL PENELITIAN
NILAI RELIGIUSITAS PADA DUA PUISI KARYA ABDUL HADI W.M. (Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi)
A. Struktur Fisik Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat Tuhan Kita begitu dekat Sebagai api dengan panas Aku panas dalam apimu Tuhan Kita begitu dekat Seperti kain dengan kapas Aku kapas dalam kainmu Tuhan Kita begitu dekat Seperti angin dan arahnya Kita begitu dekat Dalam gelap Kini aku nyala Pada lampu padammu (Abdul Hadi W.M., 1977, Tergantung Pada Angin) 1. Perwajahan Puisi (tipografi) Puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” memiliki tifografi yang khas kerena puisi tersebut masih terikat dengan struktur fisik puisi yakni pada setiap bait terdiri dari empat baris yang dikenal sebagai kuatrin. Puisi yang diajukan oleh Abdul Hadi W.M yaitu penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, puisi tersebut tiap bait terdiri dari empat baris, serta keteraturan dalam hubungan manusai dengan tuhan, alam dan dengan dirinya sendiri. Sehingga puisi tersebut terasa indah maknanya.
36
37
2. Diksi Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey dalam Waluyo (dalam Waluyo, 1987:68-69), menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami sembilan aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok atau profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik). Seperti pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, dapat dilihat pada baris pertama sampai baris kedua. Tuhan. Kita Begitu Dekat, merupakan sapaan yang berarti yang diyakini, dipuja, yang disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa. “Kita” dalam hal ini mengacu pada “aku” dan “Tuhan”, “begitu dekat” berarti sangat dekat dan tidak terbatas. Hubungan antara “aku” dengan “Tuhan” yang sangat dekat dan tidak terbatas itu duimpamakan dengan majas perumpamaan yakni terlihat pada baris ketiga. “Seperti api dengan panas”. Api dan panas merupakan dua hal yang sangat sulit dipisahkan. Adanya panas karena adanya api, dan keberadaan api ditandai oleh panas, sehingga keduanya saling ketergantungan, hubungan antara “aku” dengan “Tuhan” yang sangat rapat atau bersatu dan dalam hubungan tersebut ada unsur yang saling ketergantungan. Gambaran mengenai hubungan aku dengan Tuhan pada baris pertama sampai baris ketiga, kemudian diperjelas lagi pada baris keempat. “Aku panas dalam apimu”. “aku” dikiaskan dengan panas. “aku” adalah “panas”, dan “panas” bersumber dari “apimu”. Metafora tersebut menimbulkan kejelasan sifat “aku”. Kata “panas” dan “apimu” dapat diinterpretasikan sebagai manusia dan Tuhan (Pencipta). Hubungan antara “aku” dengan “Tuhan” dalam hal ini sudah menyatu. Baris kelima sampai baris ketujuh. “Tuhan. Kita begitu dekat. Seperti kain dengan kapas”. Pada dasarnya mengandung makna yang sama dengan baris pertama dan kedua, hanya saja dalam konteks ini kedekatan hubungan antara “aku’ dengan “Tuhan” diumpamakan dengan majas perumpamaan pada baris ketiga. Perumpamaan “seperti kain dengan kapas” pada dasarnya sama dengan
38
perumpamaan sebelumnya. “kain” dan “kapas” merupakan dua benda yang secara aktual berbeda, namun secara esensial sama, karena kain terbuat dari kapas. Tanpa “kapas” kain tidak akan ada. Dalam hal ini “kapas” merupakan bahan dasar pembuatan kain, dan kain dapat berfungsi melindungi tubuh kita atau sebgai alat pelindung.
Hubungan tersebut mencerminkan kedekatan antara “aku”
dengan “Tuhan”, dan Tuhan sebagai pelindung si aku. Hubungan antara “aku” dengan “Tuhan”, kemudian dipertegas lagi pada baris kedelapan. “aku kapas dalam kainmu”. “aku” dikiaskan dengan “kapas”(metafora). Penggunaan metafora itu pada hakikatnya untuk memperjelas keterikatan antara Tuhan dengan manusia. Jadi, “aku” merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan dan keduanya menyatu. Seperti halnya dengan makna baris pertama sampai baris kesepuluh, baris kesebelas pun menggambarkan kedekatan hubungan antara “aku” dengan “Tuhan”. Baris kesepuluh sampai baris kebelas“Tuhan kita begitu dekat. Seperti angin dengan arahnya”. Hanya merupakan pengulangan dari baris sebelumnya dan sekaligus berfungsi menekankan makna kedekatan yang terkandung pada baris tersebut. Pada baris kesebelas kedekatan hubungan “aku” dengan “Tuhan” diumpamakan melalui majas perumpamaan yang menggunakan kata “angin” dan “arahnya”. Perumpamaan itu pada dsarnya sama dengan kedua perumpamaan yang telah dibahas di atas. “Angin” hanya dapat dipahami melalui arahnya dan sebaliknya, “arah” angin merupakan petunjuk adanya angin. Kata “angin” dan “arahnya” masing-masing ditujukan pada Manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini Tuhan hanya dapat dipahami, melalui mahluknya (manusia) dan manusia merupakan bukti adanya Tuhan. Gambaran kedekatan hubungan “aku” dan “Tuhan” yang terkandung pada baris pertama sampai baris kesebelas, kemudian dipertegas lagi pada baris kedua belas “Kita begitu dekat”. Masalah kedekatan
hubungan “aku” dan
“Tuhan” pada keenam kalimat di atas kemudian dipertegas pada baris ketiga belas sampai baris kelima belas. Kedekatan itu dapat dikatakan sebagai persatuan hamba dengan Tuhan yakni pada saat keadaan gelap tidak ada cahaya atau penerangan kemudian “kini aku nyala” berarti adanya cahaya atau mendapatkan
39
cahaya kemudian dipertegas lagi dengan “pada lampu padammu” merupakan ungkapan rasa syukur, bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas. Hal itu tergambar pada baris ketiga belas sampai baris kelima belas “dalam gelap kini aku nyala pada lampu padammu”. Dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bahasa puisi mengalami Sembilan aspek penyimpangan. Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, adapun aspek penyimpangan yang paling dominan pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, yakni terdapat pada penyimpangan semantis dapat kita lihat pada baris keempat “ aku panas dalam apimu”, baris kedelapan “Aku kapas dalam kainmu”, “dalam gelap”, “kini aku nyala”, “pada lampu padammu”.
3. Imaji Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, pengimajian yang digunakan oleh penyair yakni imaji penglihatan (imaji visual) dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Iamji pengliatan (imaji visual) dapat kita lihat pada baris ketiga belas sampai baris kelima belas “dalam gelap”, “kini aku nyala”, pada lampu padammu”. Kedekatan itu dapat dikatakan sebagai persatuan hamba dengan Tuhan yakni pada saat keadaan gelap tidak ada cahaya atau penerangan kemudian “kini aku nyala” berarti adanya cahaya atau mendapatkan cahaya kemudian dipertegas lagi dengan “pada lampu padammu” merupakan ungkapan rasa syukur, bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas. Sedangkan imaji peraba atau sentuh (imaji taktil) terdapat pada baris pertama yakni “Tuhan”, merupakan sapaan si aku terhadap Tuhan yang dipuja da diyakini kemudian dilanjutkan pada baris kedua “kita begitu dekat”, yakni kedekatan antara aku dengan Tuhan sangat dekat dan rapat sehingga si aku merasa sangat dekat, baris ketiga “seperti api dengan panas”, merupakan dua hal yang sulit dipisahkan, adanya panas karena adanya api dan keberadaan api ditandai oleh panas. Kata api berarti cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar atau nyala. Sedangkan kata panas berarti terasa seperti terbakar atau terasa dekat dengan api. Baris keempat “aku panas dalam apimu”, aku diumpamakan dengan panas dan
40
Tuhan diumpamakan dengan apimu hubungan antara aku dengan tuhan sangat melekat sebagaimana telah diumpamakan seperti api dengan panas, aku panas dalam apimu. Baris kelima “Tuhan”, pengulangan kata sama seperti baris pertama yakni si aku menyapa Tuhannya. Kemudian baris keenam “Kita begitu dekat”, baris ketujuh “seperti kain dengan kapas”, baris kedelapan “aku kapas dalam kainmu”, baris kesembilan “Tuhan”, baris kesepuluh, “kita begitu dekat”, baris kesebelas “seperti angin dan arahnya”. Pada baris kelima sampai baris kesebelas merupakan pengulanganpengulangan seperti pada baris pertama sampai baris kelima, namun perumpamaan yang digunakan berbeda yakni pada baris ketujuh “seperti kain dengan kapas”, kapas merupakan bahan untuk pembuatan kain sedangkan kain merupakan alat pelindung tubuh kita, dengan demikian keduanya saling berkaitan sehingga hubungan antara aku dengan Tuhan menjadi utuh. Kemudian perumpamaan “aku kapas dalam kainmu” dapat diartikan hubungan antara aku yang diumpamakan dengan kapas dan Tuhan diumpamakan dengan kainmu mencerminkan bahwa kedekatan hubungan manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan dan keduanya menyatu. Kemudian pad baris kedua belas “kita begitu dekat”, dalam konteks ini si aku menegaskan bahwa hubungan antara aku dengan Tuhan itu sangatlah dekat, pada baris kesebelas ini si aku menyakinkan bahwa aku dengan tuhan sangat dekat.
4. Kata Konkret Pada puisi Tuhan kita begitu dekat kata konkret terdapat pada baris ketiga “Sebagai api dengan panas”, pada kalimat tersebut menggambarkan kedekatan antara aku dengan Tuhan. Kemudian pada baris keempat Aku panas dalam apimu Merupakan hubungan aku dengan Tuhan sangat paralel dengan kaitan antara panas dan api dan keduanya tak terpisahkan. Pada baris ketujuh, seperti kain dengan kapas, baris kedelapan aku kapas dalam kainmu. Serta baris kesebelas Seperti angin dan arahnya. Pada dasarnya maknanya sama seperti baris sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan baris keempat belas sampai lima belas kini aku nyala pada lampu padammu dalam hal ini si aku mendapatkan cahaya
41
kemudian dipertegas lagi dengan “pada lampu padammu” merupakan ungkapan si aku atas rasa syukur, bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas.
5. Bahasa Figuratif Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat majas yang digunakan adalah: a. Majas Perbandingan, yakni pada baris ketiga sebagai api dengan panas, baris ketujuh seperti kain dengan kapas, dan baris kesebelas seperti angin dan arahnya. b. Metafora adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tetapi tidak menggunakan kata pembanding. Metafora dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris keempat aku panas dalam apimu, yakni aku dikiaskan dengan panas dan Tuhan dikiaskan dengan apimu dan baris kedelapan aku kapas dalam kainmu pada dasarnya mengiaskan antara aku (manusia) dengan Tuhan sama seperti baris keempat. c. Perumpamaan Epos, perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang yaitu bentuk dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat atau frase berturut-turut. Dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris keempat aku panas dalam apimu dan serta pada baris ketujuh aku kapas dalam kainmu. d. Personfikasi, kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya seperti manusia. Majas personifikasi pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris ketiga api dengan panas, baris ketujuh kain dengan kapas, serta baris kesebelas angin dan arahnya. Dalam hal ini penyair menyamakan manusia dengan Tuhan yang hubungannya sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya.
6. Versifikasi Verifikasi yaitu menyangkut rima, ritme, dna metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Irama (ritme) adalah pengulangan bunyi kata, frasa, dan kalimat. Sedangkan metrum adalah pengulangan tekanan kata yang tetap.
42
a. Rima (pengulangan bunyi), pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat pada tiap baris terdapat kesamaan bunyi [a], [i], [u], dan [e] yang muncul secara berulang.
Tuhan Kita begitu dekat Sebagai api dengan panas Aku panas dalam apimu Tuhan Kita begitu dekat Seperti kain dengan kapas Aku kapas dalam kainmu Tuhan Kita begitu dekat Seperti angin dan arahnya Kita begitu dekat Dalam gelap Kini aku nyala Pada lampu padammu Bunyi [a] terdapat pada baris pertama sampai keempat yakni “tuhan”, “kita”, “dekat”, “sebagai”, “dengan”, “Panas”, “aku”, “panas” , “dalam”, “apimu”. Kemudian pada baris kelima sampai kedelapan, “kita”, “dekat”, “dengan”, “kapas”, “aku” “kapas”, “dalam”. Baris kesembilan sampai baris kedua belas, “tuhan”, “kita”, “dekat”, “angin”, “arahnya”, “ kita”, “dekat”. kemudian dilanjutkan pada baris ketiga belas sampai baris kelima belas kata “dalam”, “gelap”, “aku”, “Nyala”. Dalam hal ini bunyi [a] merupakan bunyi yang sangat dominan pada puisi ini. Bunyi [a] cenderung lebih terbuka (lepas). Bunyi [i] terdapat pada baris pertama sampai baris keempat “kita”, “sebagai”, “api”. Baris keenam sampai baris ketujuh “kita”, “seperti”, “kain”. Kemudian pada baris kesepuluh sampai baris kedua belas “kita”, “seperti”, “angin”, “kita”. Dilanjutkan pada baris keempat belas “kini”. Bunyi [u] pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, terdapat pada baris pertama dan baris keempat “begitu”, “aku”, “apimu”. Baris kelima, keenam dan
43
kedelapan “begitu”, “aku”, “kainmu”. Baris kesembilan, sepuluh dna kedua belas “tuhan”, “begitu”, “begitu”. Kemudian pada baris keempat belas dan lima belas “aku”, “lampu”, “padammu”. Bunyi [e] terdapat pada baris kedua dan ketiga “begitu”,
“dekat”,
“seperti”, “dengan”. Baris keenam dan ketujuh sama sepeti baris kedua dan ketiga yakni “begitu”, “dekat”, “seperti”. Kemudian baris kesepuluh, sebelas , dua belas, dan tiga belas “begitu”, “dekat”, “seperti”, “begitu”, “dekat”, “gelap”. b. Irama (ritme) pengulangan bunyi kata, frasa, dan kalimat. Pada puisi ini terdapat pada baris pertama “Tuhan”, baris kedua “kita begitu dekat”, baris kelima dan keenam “Tuhan”, “kita begitu dekat”. kemudian pada baris kesembilan, sepuluh, dan dua belas “Tuhan”, “kita begitu dekat”, “kita begitu dekat”. c. Metrum adalah pengulangan tekanan kata yang tetap. Pengulangan kata tersebut pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, terdapat pada baris baris pertama “Tuhan”, baris kedua “kita begitu dekat”, baris kelima dan keenam “Tuhan”, “kita begitu dekat”. kemudian pada baris kesembilan, sepuluh, dan dua belas “Tuhan”, “kita begitu dekat”, “kita begitu dekat”. Hal ini menimbulkan tekanan irama yang mengalun ritmis, lembut, dan lebih terasa akrab.
B. Berdasarkan Struktur Batin Puisi 1. Tema Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, penyair menggunakan tema religius, yaitu tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan Tuhan, dan menghargai alam seisinya. Dalam hal ini penyair menggunakan tema ketuhanan (religius), karena terdapat pada beberapa baris penyair mengungkapkan kedekatannya degan Tuhan, dapat kita lihat pada bagian imaji puisi tersebut yakni sebagai berikut. Imaji peraba atau sentuh (imaji taktil) terdapat pada baris pertama yakni “Tuhan”, merupakan sapaan si aku terhadap Tuhan yang dipuja da diyakini kemudian dilanjutkan pada baris kedua “kita begitu dekat”, yakni kedekatan
44
antara aku dengan Tuhan sangat dekat dan rapat sehingga si aku merasa sangat dekat, baris ketiga “seperti api dengan panas”, merupakan dua hal yang sulit dipisahkan, adanya panas karena adanya api dan keberadaan api ditandai oleh panas. Baris keempat “aku panas dalam apimu”, aku diumpamakan dengan panas dan Tuhan diumpamakan dengan apimu hubungan antara aku dengan tuhan sangat melekat sebagaimana telah diumpamakan seperti api dengan panas, aku panas dalam apimu. Baris kelima “Tuhan”, pengulangan kata sama seperti baris pertama yakni si aku menyapa Tuhannya. Kemudian baris keenam “Kita begitu dekat”, baris ketujuh “seperti kain dengan kapas”, baris kedelapan “aku kapas dalam kainmu”, baris kesembilan “Tuhan”, baris kesepuluh, “kita begitu dekat”, baris kesebelas “seperti angin dan arahnya”. Pada baris kelima sampai baris kesebelas merupakan pengulanganpengulangan seperti pada baris pertama sampai baris kelima, namun perumpamaan yang digunakan berbeda yakni pada baris ketujuh “seperti kain dengan kapas”, kapas merupakan bahan untuk pembuatan kain sedangkan kain merupakan alat pelindung tubuh kita, dengan demikian keduanya saling berkaitan sehingga hubungan antara aku dengan Tuhan menjadi utuh. Kemudian perumpamaan “aku kapas dalam kainmu” dapat diartikan hubungan antara aku yang diumpamakan dengan kapas dan Tuhan diumpamakan dengan kainmu mencerminkan bahwa kedekatan hubungan manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan dan keduanya menyatu. Kemudian pad baris kedua belas “kita begitu dekat”, dalam konteks ini si aku menegaskan bahwa hubungan antara aku dengan Tuhan itu sangatlah dekat, pada baris kesebelas ini si aku menyakinkan bahwa aku dengan tuhan sangat dekat.
2. Perasaan (feeling) Dalam puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat”, perasaan yang diungkapkan oleh penyair yakni perasaan dekat karena dalam puisi ini penyair mengungkapkan perasaannya yamg menggambarkan kedekatannya kepda tuhan sehingga merasa lebih akrab, dengan alunan yang syahdu, lembut, dan lebih bersemangat untuk mendekati Tuhan.
45
3. Nada dan Suasana Disamping tema, puisi juga mengungkapkan nada dan suasana kejiwaan. Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca. Dari sikap itu dengan demikian terciptalah suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius (sungguh-sungguh), patriotik, belas kasih, takut, mecekam, kharismatik, filosofis, khusyuk dan sebagainya. Nada dalam puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat”, yakni terasa lebih halus, tidak memaksa dan mengajak secara liris untuk mengayati setiap baris dalam puisi tersebut. sedangkan suasana puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat”, pembaca merasa tersentuh karena penggunaan perumpamaan-perumpamaan yang sangat inderawi seperti pada baris ketiga, keempat, ketujuh, kedelapan, dan kesebelas. “Seperti api dengan panas”, “Aku panas dalam apimu” , “Seperti kain dengan kapas”, “Aku kapas dalam kainmu”, “Seperti angin dan arahnya”.
4. Amanat Amanat pada puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” bahwa hati manusia yang mencari Tuhannya akan menjadi terang apabila mendapat petunjuk dari yang ia tuju, yakni seperti pada baris ketiga belas, empat belas, dan kelima belas. “Dalam gelap”, “Kini aku nyala”, “Pada lampu padammu”.
5. Makna Makna puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” merupakan gambaran perasaan keakraban yang sangat dekat (aku atau manusia) terhadap Tuhan karena memperoleh cahaya Tuhan. Perasaan keakraban itu
sangat dekat dan rapat
bagaikan air yang mengalir lepas tanpa terputus sehingga si aku merasa sangat dekat sehingga menyebabkan aku dan Tuhan merasa bersatu dan tak terpisahkan. Kedekatan hubungan antara aku dengan Tuhan dapat kita lihat pada bagian pengimajian yakni (imaji taktil dan imaji visual), tema, perasaan (feeling), nada dan suasana,amanat (pesan). Dalam bagian-bagian tersebut yang menerangkan
46
kedekatan antara aku dengan Tuhan yang sulit dipisahkan antara satu dan yang lainnya. Ungkapan Tuhan Kita Begitu Dekat dapat dirujukkan pada QS AlBaqarah ayat 186 yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang aku, maka (jawablah)bahwasanya aku dekat”. Dan QS Qaaf ayat 16 yang artinya “kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”.
47
Puisi Meditasi Karya Abdul Hadi W.M. MEDITASI Bagian I Kupeluk sinar bulan. Tubuhku kedinginan. Di gerbang cahaya yang berkilauan akan segera Nampak di depan kita sebuah gereja tua. Ketika lonceng berbunyi beribu burung terbang ke sana hendak mensucikan diri. Sebab selalu ditempuhnya jalan yang sama, selalu dinyanyikannya lagu yang sama dan sesat di sarang yang sama. Lalu kita dengar paduan suaranya. Seperti deru angin di pantai. “demi jesus, pahala sorga dan kenikmatan, akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya,” begitu nyanyian mereka, “Tuhan, pujaan Ayub dan Yusuf, gembala Musa dan Muhammad—bentangkanlah pada kami jalan yang benar dari aroma bintang dan buah-buahan.” O, burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar? Yerussalem dan Mekkah tidak seluas hati dan jiwa ini Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu. Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang sore Bagian II Di sini semenjak lama aku adalah seorang rahib yang mengheningkan cipta dalam sebatang kayu. Kebenaran kudapat dari embun dan mawar. Abadi. Seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang Tapi perempuan tua ini selalu merayuku dan minta aku menyusu pula hingga kering dan mandul teteknya. Itulah dunia Bagian III Akupun sudah letih naik turun candi, ke luar masuk gereja dan mesjid. Tuhan makin sempit rasa kebangsaannya, “Musa! Musa! Akulah Tuhan orang Israel!” teriaknya. Di mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula” “Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab.” Aku termenung. Apa kekurangan orang jawa? Kunyanyikan Bach dalam tembang kinanti dan kupulas Budha jadi seorang dukun di Madura. Aku menemu sinar di mata kakekku yang sudah mati. Bila hari menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri di sebuah flat karena aku pun adalah rumah-Nya.
48
Bagian IV Bercakap-cakap dari pintu ke pintu. Bernyanyi dari pintu ke pintu. Mengetuknya berkali-kali. Sudah lama aku tak tahu di mana Dia sebenarnya, di mesjid, di kuil ataukah di gereja. Pernah aku percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari kemauanku sendri. Kata mereka, “Berbaiklah kepada semua orang dan berjalanlah Di jalan suci!” Bagai seekor keledai aku pun melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah gurun. Kafilah tidak bisa menunjukkan jalan lagi. Kami berpisah tengah malam. Bintang-bintang berloncatan gembira di langit yang tinggi. Tapi ditengah kelaparan dan panas aku pun menjelma seekor singa. Aku tak mau lagi mendengarkan khotbah dan nasehat. Sakramenku ialah ketiadaan. Sahabatku perobahan yang terus-menerus. Dan kota suciku ialah hati. Kalau di menara itu nanti kuteriakkan azan cacingcacing akan berkumpul mendatangiku di waktu magrib bersembahyang berzikir mendoakan ketentraman dunia yang baru. Bagian V Tidak. Sebaiknya kau datang saja di sore hari di saat aku bercermin. Tapi jangan lagi mewujud atau menjelma. Tuhan. Siapakah namaMu yang sebenarNya? Dari manakah asalMu? Apakah kebangsaanMu? Dan apa pula AgamaMu? Manusia begitu ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori tentang Aku dengan susah payah. Tapi siapa Aku yang sebenarnya Aku sendiri pun tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana dan sedang menuju ke mana. 1974 A. Analisis Struktur Fisik Puisi
1. Perwajahan Puisi Puisi Meditasi memiliki tipografi yang khas kerena puisi tersebut merupakan puisi yang panjang yakni terdiri dari lima bagian puisi yang disebut juga sebagai puisi prosais. Puisi ini tidak terikat dengan struktur fisik puisi yakni pada setiap bait terdiri dari empat baris yang dikenal sebagai kuatrin. Puisi yang klasik yang diajukan oleh Abdul Hadi W.M yaitu penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, keterikatan persajakan, jumlah suku kata dalam setiap baris, pemenggalan kalimat.
49
2. Diksi (pilihan kata) Dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bahasa puisi mengalami Sembilan aspek penyimpangan. Pada puisi Meditasi, adapun aspek penyimpangan pada puisi Meditasi, yakni terdapat pada penyimpangan semantis dan penyimpangan grafologi. adapun penyimpangan semantik dapat kita lihat sebagai berikut. Pada puisi Meditasi bagian 1, dapat dilihat pada baris pertama, Kupeluk sinar bulan. Tubuhku kedinginan. Dalam hal ini penyair menggambarkan penyatuan diri dengan alamnya. Disaat si aku merasa bersatu dengan Tuhan si aku merasa kedinginan. Kemudian pada baris kedua, “Di gerbang cahaya yang berkilauan akan segera Nampak di depan kita sebuah gereja tua”. Serta dilanjutkan pada baris ketiga, “Ketika lonceng berbunyi beribu burung terbang ke sana hendak mensucikan diri”. Baris keempat, “Sebab selalu ditempuhnya jalan yang sama, selalu dinyanyikannya lagu yang sama dan sesat di sarang yang sama”. Pada baris kelima, “Lalu kita dengar paduan suaranya. Seperti deru angin di pantai”. Penyair mengungkapkan dengan melihat tanda tuhan kita akan melihat rumah tuhan tersebut. Pada kalimat tersebut burung yang pergi ke gereja tersebut hendak mensucikan diri. Kata paduan suaranya. Seperti deru angin di pantai tersebut mengacu pada doa burung yang hendak pergi ke gereja tersebut. Kemudian dilanjutkan lagi pada baris keenam, “Demi jesus, pahala sorga dan kenikmatan, akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya, begitu nyanyian mereka”. Disambung dengan baris ketujuh sampai baris kedelapan, “Tuhan, pujaan Ayub dan Yusuf, gembala Musa dan Muhammad bentangkanlah pada kami jalan yang benar dari aroma bintang dan buah-buahan”. Dalam hal ini burung- burung bersumpah akan menghapuskan dosanya demi mendapat pahala,serta tuhan yang dituju pun berbeda. Baris kesembilan, “O, burung-burung sudahkah kau baca farid Attar?”. Kemudian baris kesepuluh, “Yerussalem dan mekkah tidak selus hati dan jiwa ini”. Dilanjutkan pada baris kesebelas, “Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu”. Baris kedua belas, “Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang
50
sore”. Si aku diperintahkan membaca buku tentang musyawarah burung-burung serta Si aku merasa bahwa hati itu tidak seluas kota yerussalem dan mekkah, kata pohon sebagi sesuatu yang tumbuh dalam hati si aku yang ingin menghapuskan atas segala dosa-dosa . Dalam hal ini doa diibaratkan dengan nyanyian yang harus dilakukan sepanjang pagi dan sore. Kemudian pada Meditasi bagian II, dapat kita lihat pada baris pertama dan kedua. “Di sini semenjak lama aku adalah seorang rahib yang mengheningkan cipta dalam sebatang kayu”. Kalimat tersebut terdapat metafora pada kata Rahib yang merupakan “aku” dan sebatang kayu merupakan sinekdoke dari alam. Jadi penyair melakukan semedi atau pemusatan pikiran pada alam. Kemudian dipertegas lagi pada baris ketiga, “Kebenaran kudapat dari embun dan mawar”. Yakni kebenaran itu didapat dari embun dan mawar, embun dan mawar merupakan sinekdoke dari alam. Jadi kebenaran yang di dapat si aku yakni kebenaran dari alam. Yang bersifat abadi tercermin pada baris keempat “Abadi”. Kemudian dilanjutkan pada baris kelima, “Seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang”. Kebenaran abadi itu dikiaskan dengan majas perumpamaan seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang. Baris keenam dan ketujuh, “Tapi perempuan tua ini selalu merayuku dan meminta aku menyusu pula hingga kering dan mandul teteknya”. Kalimat tersebut menggunakan majas perumpamaan bahwa perempuan tua diibaratkan bumi yang sudah tua itu selalu mengundang si aku untuk melakukan hal-hal yang diluar kemampuannya. Kemudian diperertegas lagi pada baris kedelapan “Itulah dunia”. Hal yang diungkapkan di atas merupakan gambaran dunia dengan segala isinya sehingga mengundang si aku untuk melakukan hal-hal diluar kemampuannya. Kemudian pada Meditasi bagian III, pada baris pertama, “Akupun sudah letih naik turun candi, ke luar masuk gereja dan mesjid”. Dalam hal ini si aku merasa ketidakberdayaannya menemukan Tuhan dalam berbagai rumah ibadah. Kemudian
dilanjutkan
pada
baris
kedua,
“Tuhan
makin
sempit
rasa
kebangsaannya”. Menggambarkan bahwa Tuhan itu tidak memiliki kebangsaan tertentu. Keberadaan Tuhan yang demikian itu dipertegas lagi pada baris ketiga, “Musa! Musa! Akulah Tuhan orang Israel!” teriaknya”. Baris keempat sampai
51
baris kelima, “Di mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula: “Akulah hadiah selruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab”. Dalam hal ini Tuhan orang Israel merupakan metafora dari “aku”, dan aku merupakan hadiah bagi seluruh dunia dan Tuhan adalah milik semua bangsa, dan semua umat manusia. Namun pada baris keenam “Aku termenung. Apa kekurangan orang Jawa?”. Merupakan perenungan listas budaya eropa, jawa, Budha, Madura, dan cina. Kemudian pada baris ketujuh dan kedelapan, “Kunyanyikan Bach dalam tembang kinanti dan Kupulas Budha jadi seorang dukun di Madura”. Kata tersebut merupakan persatuan listas budaya Eropa, Jawa, Budha, Madura, dan Cina. Kemudian pada baris kesembilan “Aku menemu sinar di mata kakekku yang sudah mati”. Si aku menemukan sinar atau tanda Tuhan di mata kakeknya yang sudah mati. Baris kesepuluh sampai baris ksebelas, “Bila hari menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri di sebuah flat karena aku pun adalah rumah-Nya”. Si aku ingin membuat kehidupan baru di suatu tempat karena si aku pun merupakan rumah Tuhan, karena Tuhan ada dalam dirinya. Pada Meditasi bagian IV, baris pertama sampai baris ketiga, “Bercakapcakap dari pintu ke pintu. Bernyanyi dari pintu ke pintu”. “Mengetuknya berkalikali. Sudah lama aku tak tahu di mana Dia sebenarnya, di mesjid, di kuil ataukah di gereja”. Si aku mencari keberadaan Tuhan yang tidak ada kepastian tempat Tuhan tersebut di mesjid, di kuil, ataukah di gereja. Kemudian pada baris keempat sampai baris kedelapan, “Pernah aku percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari kemauanku sendiri. Kata mereka, “Berbaiklah kepada semua orang dan berjalanlah di jalan suci!” Bagai seekor keledai akupun melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah gurun”. Si aku pernah pernah percaya terhadap pendapat orang lain, dan si aku hanya mengikuti kata mereka yaitu orang-orang yang di mesjid, di kuil, dan digereja, yang pada akhirnya si aku dinggap seperti seekor keledai yang memiliki sifat bodoh dan penurut. Kemudian pada baris kesembilan sampai baris kesepuluh, “ Kafilah tidak bisa menunjukkan jalan lagi. Kami berpisah tengah malam. Bintang-bintang berloncatan gembira di langit yang tinggi”. Kafilah (rombongan) itu tidak dapat melanjutkan perjalanan dalam mencapai Tuhan, kemudian
52
rombongan itu berpisah pada tengah malam dalam keadaan kesulitan, jadi dalam pencariannya si aku tidak berhasil menemukan Tuhan dan si aku akhirnya memisahkan diri dari rombongan tersebut, kemudian si aku akhirnya melihat tanda Tuhan. Setelah berpisah dengan kafilahnya, si aku berada dalam situasi kelaparan dan panas yakni tertera pada baris kesebelas, “Tapi di tengah kelaparan dan panas aku pun menjelma seekor singa”. Kemudian pada baris kedua belas sampai baris keenam belas, “Aku tak mau lagi mendengarkan khotbah dan nasehat. Sakramenku ialah ketiadaan. Sahabatku perobahan yang terus-menerus. Dan kota suciku ialah hati. Kalau di menara itu nanti kuteriakkan azan cacing-cacing akan berkumpul mendatangiku di
waktu magrib bersembahyang berzikir
mendoakan ketentraman dunia yang baru”. Dalam hal ini si aku menolak terhadap pandangan orang lain dan si aku menegaskan sikapnya terhadap kematian, sumpah tersebut harus ditepati atau dijalankan oleh orang yang mengucap sumpah itu, dan kematian adalah sesuatu yang pasti dialami oleh semua manusia. Ketidaktetapan kota yang menjadi tempat peribadatan dan hati merupakan organ bagian tubuh yang berfungsi untuk mengetahui sifat Tuhan dan melalui hati itulah manusia mengenal dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Kemudian si aku mempunyai keinginan untuk memanggil umatnya (yang diumpakan dengan cacing) untuk berdoa pada Tuhan dalam ragka membangun kehidupan yang baru. Kemudian
dalam Meditasi bagian V, baris pertama, “Tidak. Sebaiknya
kau datang saja di sore hari di saat aku bercermin”. Ungkapan “Tidak” merupakan penolakan terhadap waktu, namun terdapat pula permintaan untuk datang pada “kau” untuk datang pada sore hari saat si aku melakukan penyatuan diri dengan Tuhan, namun pada baris kedua “Tapi jangan lagi mewujud atau menjelma”. Bahwa Tuhan yang diharapkan itu adalah dalam bentuk yang sebenarnya. Dilanjtkan pada baris ketiga yakni, “Tuhan, siapakah namaMu yang sebenarNya? Dari manakah asalMu?”. Merupakan pertanyaan si aku tentang identitas Tuhan. Baris keempat, “Apakah kebangsaanMu? Dan apa pula agamaMu?”. Pada baris ketiga dan baris keempat merupakan pertanyaan si aku
53
tantang identitas Tuhan seperti nama, asal, bangsa, dan agama. Pertanyaan itu merupakan besarnya keinginan manusia untuk mengetahui identitas Tuhan. Baris kelima sampai baris kedelapan, “Manusia begitu ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori tentang aku dengan susah payah. Tapi siapa aku yang sebenarnya Aku sendiri pun tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana dan sedang menuju ke mana”. Dalam hal ini manusia merupakan mahluk luar biasa yang mampu membuat ratusan teori tentang Tuhan, padahal Tuhan sendiri tidak pernah mendefinisikan diri-Nya.
3. Imaji Pada puisi Meditasi, pengimajian yang digunakan oleh penyair yakni imaji penglihatan (imaji visual), imaji pendengaran (imaji auditif) imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Pada puisi Meditasi imaji penglihatan (imaji visual) dapat dilihat pada baris pertma, “Sinar dan Bulan”, baris kedua “Cahaya”, “berkilauan”, “Nampak”, dalam hal ini si aku melihat cahaya yang sedemikian rupa sehingga terlihat lebih bersinar atau berkilauan baris ketiga, “Gereja tua, burung”, hal tersebut kita dapat mengatakan bahwa gereja merupakan tempat ibadah orang yang beragama Kristen sedangkan burung diibaratkan jemaah yang hendak mendatangi tempat ibadah tersebut. baris kesebelas, “Baca”, yakni membaca menunjukkan buku atau al kitab namun yang dimaksud dalam puisi “Meditasi” yakni buku yang berjudul Musyawarah Burumg-burung karya Farid Attar. baris ketiga belas, “Pohonpohon”. Dalam puisi ini pohon merupakan media si aku melakukan proses meditasi atau pemusatan pikiran dengan alam. Pada Meditasi bagian II. Baris kedua,“Sebatang kayu”, pada “Meditasi” yakni menggambarkan seorang Budha yang sedang melakukan merenungkan pada sebatang kayu karena Budaha selalu membawa sebatang tongkat ketika saat melakukan doa atau saat meditasi baris ketiga, “Embun, mawar”, hal tersebut melambangkan suasana sejuk, damai, dari dan mawar menimbulkan suasana yang indah baris kelima, “Perempuan, bintangbintang”, perempuan yang mempunyai sifat lembut, sedangkan bintang-bintang menggambarkan suasana indah, dan keduanya masing-masing mempunyai pesona
54
yang khas. kemudian pada Meditasi bagian III, baris pertama, “Candi, gereja, mesjid”, ketiganya merupakan kumpulan atau persatuan agama, budaya yang ada di muka bumi ini. Baris kelima, “Sinarku”, dalam puisi “Meditasi” sinarku menunjukkan kepada si aku yakni si aku mempunyai karisma dalam dirinya. Baris kesembilan, “Sinar, mata”, sinar merupakan cahaya, sedangkan mata merupakan salah satu oragan tubuh manusia dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa mata mencerminkan sikap dari orang tersebut. Pada Meditasi bagian IV, baris pertama, “Pintu”, merupakan pembatas. Baris ketiga, “Mesjid, kuil, gereja”, seperti yang dijelaskan di atas terdapat “candi, Gereja, Mesjid” yakni menggambarkan kumpulan keyakinan, ideologi, dan agama. Baris keenam, “Keledai”, keledadi yakni binatang yang bisa digunakan dan dimanfaatkan tenaganya untuk menggarap dan mengangkut dan hewan tersebut tidak berontak dan tidak berontak dengan sikap tersebut dapat dikatakan hewan yang bodoh yang mau diperbudak. Kemudian pada baris kedelapan “Gurun”, menggambarkan suasana yang panas, gersang tidak ada tempat tinggal, atau pun penghuninya. Baris kesepuluh “Bintang-bintang, langit”, bintang dan langit merupakan kesempurnaan sehingga menjadi lebih indah karena adanya bintang. Baris kesebelas “Singa”, jika dibandingkan dengan seekor keledai yang seperti dikatakan di atas, yakni jauh berbeda karena singa merupakan hewan buas yang menakutkan jelas berbeda dengan si keledai yang bodoh yang mau diperalat atau diperbudak. Baris keempat belas, “Cacing-cacinga”, merupakan binatang yang menjijikan. kemudian pada Meditasi bagian V, baris pertama, “Bercermin”. Dalam hal ini dapat kita amati saat kita bercermin yakni kita dapat melihat gambaran diri kita. Berdasarkan sifatnya, imaji tersebut dapat dikategorikan kedalam dua sifat yakni yang kongkret dengan yang abstrak. Sifa kongkret tersebut dapat kita lihat pada baris pertama, “Sinar”, “Bulan”, kemudian baris kedua, “Cahaya”, “berkilauan”, “Nampak”. Baris ketiga, “gereja tua”, “burung”. Baris ketiga belas, “pohon-pohon”. Kemudian pada Meditasi bagan II terdapat pada baris kedua, “sebatang kayu”. Baris ketiga, “embun”, “mawar”. Baris kelima, “perempuan”, “bintang-bintang”. Kemudian pada meditasi bagian III, baris pertama, “candi”, “gereja”, “mesjid”. Baris kesembilan, “sinar”, “mata”. Pada Meditasi bagian IV,
55
baris pertama, “pintu”, baris ketiga, “mesjid”, “kuil”, “gereja”. Baris keenam, “keledai”. Baris kedelapan “gurun”. Baris kesepuluh, “bintang-bintang”, “langit”. Baris kesebelas, “singa”.baris keempat belas, “cacing-cacing”. Kemudian pada Meditasi bagian V, terdapat pada baris pertama, “bercermin”. Berdasarkan sifat tersebut kita dapat melihat dan mendeskripsikan apa yang kita lihat sehingga kita tahu seperti apa dan bagaimana bentuknya. Sedangkan sifat yang abstrak terdapat pada meditasi bagian I, baris kesebelas, “baca”. Pada meditasi bagian III, terdapat pada baris kelima, “sinarku”. Dalam hal ini sifat yang ditujukan yakni sifat yang abstrak atau yang tidak terlihat oleh kasat mata sehingga kita tidak dapat mendeskripsikan kita hanya dapat menerka-nerka. Adapun imaji pendengaran pada puisi Meditasi bagian I, dapat kita lihat baris, ketiga, “Lonceng, berbunyi”, seperti pada umumnya lonceng merupakan tanda sesuatu perintah dapat pula tanda ajakan, namun pada puisi “meditasi” lonceng berbunyi yakni ajakan untuk orang-orang agama Kristen menghadap Tuhan yang dituju. Baris kelima, “Dinyanyikannya, lagu”, yakni lagu yang dinyanyikan tersebut merupakan doa kepada Tuhanya. Sedangkan baris keenam, “Dengar, paduan suaranya, deru angin”, doa yang dipanjatkan atau yang ditujukan kepada tuhannya terdengar seperti deru angin di pantai yang bergemuruh bercampur dengan suara ombak karena yang memanjatkan doa tersebut bukan hanya satu orang yakni kumplan dari agama-agama yang telah dijelaskan di atas, dan Tuhan yang dituju pun berbeda. Baris kedelapan “Nyanyian”, merupakan doa seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Baris keempat belas, “Nyanyikanlah”. Menyuruh umatnya untuk memanjatkan doa. Kemudian pada Meditasi bagian ke II, baris keenam, “Merayuku”. Yakni ajakan seseorang kepada orang lain untuk melakukan sesuatu. Kemudian pada Meditasi bagian III, imaji pendengaran terdapat pada baris ketiga, “Teriaknya”, biasanya seseorang teriak itu cara seseorang memanggil orang lain dalam keadaan tertentu. Baris ketujuh, “Kunyanyikan, bach, tembang kinanti”. Nyanyian merupakan doa seperti yang telah dijelaskan di atas. Meditasi bagian IV, imaji pendengaran terdapat pada baris pertama, “Bercakap-cakap, bernyanyi”, yakni melakukan perbincangan seseorang dan brdo’a. baris kedua, “Mengetuknya, berkali-kali”,
56
menimbulkan suasana panik, tidak tenang. Kemudian baris kedua belas, “Mendengar khotbah, nasehat”, dalam hal ini dapat dikatakan menyimak ceramah atau seruan dan nasihat dari orang lain. Baris keempat belas, “Kuteriakkan, azan”, jadi si aku mengumandangkan azan bertanda waktu untuk menghadap kepada yang maha agung (bagi umat muslim). Baris kelima belas sampai keenambelas, “Bersembahyang, berdzikir, mendoakan”. Sedangkan imaji peraba dalam puisi Meditasi yakni terdapat pada bagian II, baris kelima,” Ciuman perempuan dan bintang-bintang”. Seperti telah dijelaskan di atas, berdasarkan sifatnya, imaji tersebut dapat dikategorikan kedalam dua sifat yakni yang kongkret dengan yang abstrak. Sifat kongkret tersebut pada imaji pendengaran dapat kita lihat pada Meditasi bagian I, baris ketiga, “lonceng”. Kemudian pada Meditasi bagian IV, terdapat pada baris kelima belas, “bersembahyang”. Adapun sifat yang abstrak dapat kita lihat pada Meditasi bagian I, baris ketiga yakni, “berbunyi”. Baris kelima, “dinyanyikannya”, “lagu”. Baris keenam, “dengar”, “paduan suaranya, “deru angin”. Baris kedelapan,
“nyanyian”.
Kemudian baris keempat belas, “Nyanyikanlah”. Pada Meditasi bagian II, baris keenam, “merayuku”. Kemudian pada Meditasi bagian III, sifat abstrak terdapat pada baris ketiga, “teriaknya”. Baris ketujuh, “kunyanyikan Bach”, “tembang kinanti”. Kemudian pada Meditasi bagain IV, sifat abstrak terdapat pada baris pertama, “bercakap-cakap”, “bernyanyi”. Baris kedua, “mengetuknya”. Kemudian baris kedua belas, “mendengar”. Baris keempat belas, “kuteriakkan”. Baris kelima belas, “berdzikir”, “mendoakan”. Sedangkan imaji peraba terdapat pada Meditasi bagian II yakni ciuman perempuan dan bintang-bintang. Serta pada meditasi bagian IV, yakni pada baris kedua, “mengetuknya”. Dalam hal ini sifat yang kongkret terdapat pada “mengetuknya”, serta “ciuman perempuan”, dan “bintangbintang”. Untuk mempermudah pembaca melihat imaji pada puisi “Meditasi”, penulis mengelompokkan masing-masing imaji tersebut kedalam tabel seperti di bawah ini.
57
Tabel Imaji Penglihatan Puisi “Meditasi” Meditasi Bagian I
Meditasi Bagian II
Meditasi Bagian III
Meditasi Bagian IV
Meditasi Bagian V
Baris
Imaji Penglihatan
1
Sinar dan Bulan
2
Cahaya, berkilauan, Nampak.
3
Gereja tua, burung
11
Baca
12
Pohon-pohon
2
Sebatang kayu
3
Embun, mawar
5
Perempuan, bintang-bintang
1
Candi, gereja, mesjid
4
Mesjid
5
Sinarku
9
Sinar, mata
1
Pintu
3
Mesjid, kuil, gereja
6
Keledai
7
Gurun
9
Bintang, Langit
10
Singa
13
Cacing
1
Bercermin
58
Tabel Imaji Pendengaran Puisi “Meditasi” Meditasi Bagian I
Baris
Imaji Pendengaran
3
Lonceng, berbunyi
5
Dinyanyikannya, lagu
6
Dengar, paduan suaranya, deru angin,
8
Nyanyian
14
Nyanyikanlah
Meditasi Bagian II
6
Merayuku
Meditasi Bagian III
3
Teriaknya
7
Kunyanyikan,bach, tembang kinanti
1
Bercakap-cakap, bernyanyi
2
Mengetuknya, berkali-kali
11
Mendengar khotbah, nasehat
13
Kuteriakkan, azan
Meditasi Bagian IV
Tabel Imaji Peraba Puisi “Meditasi” Meditasi Bagian II
Baris
Imaji Peraba
5
Ciuman perempuan dan bintang-bintang
Meditasi Bagian IV
2
mengetunya
59
Tabel Kata Kongkret Puisi “Meditasi” Meditasi bagian I
Meditasi bagian II
Meditasi bagian III
Baris
Kata Kongkret
1
Sinar bulan
2
Gerbang, cahaya
3
Gereja tua, lonceng, burung
10
Bintang, buah-buahan
11
Burung-burung
12
Yerussalem, Mekkah
13
Pohon-pohon
2
Sebatang kayu
3
Embun, mawar
5
Perempuan, bintang-bintang
6
Perempuan tua, menyusu
7
teteknya
1
Candi, gereja, mesjid
3
Orang israel
4
Mesjid
5
Arab
6
Orang Jawa
7-8
Budha, Dukun, Di Madura,
9-11
Sinar, mata, kakekku, kota, benua, rumahnya
Meditasi Bagian IV
1
Pintu
3
Di mesjid, di Kuil, di Gereja.
6-7
Seekor keledai, gurun
8-10
Jalan, tengah malam, bintang-bintang, di langit, panas, seekor singa
13
Di menara, cacing-cacing, bersembahyang
Meditasi Bagian V
1
Bercermin
60
4. Kata Kongkret Pada puisi Meditasi kata kongkret terdapat pada baris pertama, “sinar bulan”. Baris kedua, “gerbang”, “cahaya”. Kemudian baris ketiga “gereja tua”, “lonceng”, “burung”. Kemudian pada baris kesepuluh, “bintang”, “buah-buahan”. Baris kesebelas, “burung-burung”. Baris keduabelas “yerussalem”, “mekkah”. Baris ketigabelas, “pohon-pohon”. Kemudian pada Meditasi bagian II, yakni terdapat pada baris kedua, “sebatang kayu”. Baris ketiga, “embun”, “mawar”. Baris kelima, “perempuan”, “bintang-bintang”. Baris keenam, “perempuan tua”, “menyusu”. Baris ketujuh, “teteknya”. Sedangkan pada Meditasi bagian III, terdapat pada baris pertama, “candi”, “gereja”, “mesjid”. Baris ketiga, “orang Israel”. Baris keempat, “mesjid”. Baris kelima, “arab”. Baris keenam, “orang jawa”. Baris ketujuh sampai baris kedelapan, “Budha”, “dukun”, “di Madura”. Baris kesembilan hingga baris kesebelas, “sinar”, “mata”, “kakekku”, “kota”, “benua”, “rumahNya”. Sedangkan pada Meditasi bagian IV, kata kongkret terdapat pada baris, pertama, “pintu ke pintu”. Baris ketiga “di mesjid”, “di kuil”, “di gereja”. Kemudian pada baris keenam dan ketujuh, “seekor keledai”, “gurun”. Pada baris kedelapan hingga baris kesepuluh yakni, “jalan”, “Tengah malam”, “bintangbintang”, “di langit”, “panas”, “seekor singa”. Baris ketigabelas, “Di menara”, “Cacing-cacing”, “bersembahyang”. Kemudian pada Meditasi bagian V terdapat pada baris pertama yakni “bercermin”.
5. Bahsa Figuratif Baris pertama, “Kupeluk sinar bulan. Tubuhku kedinginan”. “Kupeluk” merupakan penyatuan diri dengan alam, sedangkan “sinar bulan” menggambarkan suasana tenang, syahdu, serta kelembutan. “Tubuhku kedinginan” merupkan proses awal dalam melakukan penyatuan diri si aku merasa kedinginan. Kemudian pada baris kedua sampai baris kelima, Kemudian pada baris kedua sampai baris kelima.” Di gerbang cahaya yang berkilauan akan segera Nampak di depan kita
61
sebuah gereja tua. Ketika lonceng berbunyi beribu burung terbang ke sana hendak mensucikan diri. Sebab selalu ditempuhnya jalan yang sama, selalu dinyanyikannya lagu yang sama dan sesat di sarang yang sama. Dalam hal ini, “kita” merupakan adanya pihak lain selain dari si aku, sedangkan “gereja tua” secara harfiah berarti tempat beribadah orang Kristen, sedangkan “Tua” menyatakan bahwa tempat beribadah tersebut sudah lama ada, namun jarang dikunjungi dan tidak terawat, sedangkan “burung” merupakan metafora dari manusia, dan “paduan suaranya” merupakan perumpamaan berdo’a. jadi kalimat tersebut bermakna melalui tanda Tuhan (Cahaya) kita akan melihat rumah Tuhan (Gereja Tua). Sedangkan “lonceng” merupakan alat yang digunakan di gereja untuk memberitahu umat Kristen agar mengingat Tuhan pada waktu tertentu. “burung” merupakan metafora dari manusia. Pengiasan manusia dengan burung lazim digunakan dalam sastra tasawuf, misalnya dalam karya Fariduddin bin Attar yang berjudul “Musyawarah Burung”. Kemudian “mensucikan diri” menunjukkan bahwa gereja tua itu merupakan tempat menyucikan diri sebelum bertemu Tuhan. Kalimat tersebut berarti bahwa burungburung yang menuju gereja tua itu bermaksud mensucikan diri. Namun, dalam perjalanannya untuk mencapai gereja itu, burung-burung itu mengalami hambatan yang sama. Hambatan yang dialami oleh burung itu tercermin pada ungkapan “sesat” yang berarti salah jalan atau kehilangan arah. Kemudian pada baris ketujuh sampai baris kesepuluh. “Demi jesus, pahala sorga dan kenikmatan, akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya, begitu nyanyian mereka, “tuhan, pujaan Ayub dan Yusuf, gembala Musa dan Muhammad bentangkanlah pada kami jalan yang benar dari aroma bintang dan buah-buahan. “aroma, bintang, dan buah-buahan” merupakan perumpamaan dari persatuan agama. Kemudian pada baris kesebelas sampai baris keempat belas, “O, burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar? Yerussalem dan Mekkah tidak seluas hati dan jiwa ini. Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu. Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang sore”. Farid Attar merupakan penulis buku yang berjudul musyawarah burungburung, dan hati itu lebih luas dari kota yerussalem dan mekkah, kata-kata
62
diumpamakan dengan kata “hati”, karena hati merupakan salah satu dari organ rohani manusia yakni untuk mengetahui sifat tuhan dan untuk mencintai tuhan, dan “pohon” sebagi sesuatu yang tumbuh dalam hati si aku yang ingin menghapuskan atas segala dosa-dosa . Dalam hal ini doa diibaratkan dengan nyanyian yang harus dilakukan sepanjang pagi dan sore. Kemudia pada Meditasi bagian II, baris pertama sampai baris kedua, “Di sini semenjak lama aku adalah seorang rahib yang mengheningkan cipta dalam sebatang kayu”. Dalam hal ini yang dimaksdu dengan Rahib adalah pertapa Kristen dan merupakan kiasan dari “aku” dan kata sebatang kayu merupakan sinekdoke dari alam, jadi kata tersebut berarti si aku melakukan semedi atau pemusatan pikiran pada alam kemudian kata tersebut dipertegas lagi pada baris ketiga,”Kebenaran kudapat dari embun dan mawar”. embun dan mawar merupakan perumpamaan dari alam. Yang bersifat abadi yakni tertera pada bais keempat “Abadi”. Kemudian dilanjutkan pada baris kelima sampai baris kedelapan, “Seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang. Tapi perempuan tua ini selalu merayuku dan meminta aku menyusu pula hingga kering dan mandul teteknya”. Kalimat tersebut menggunakan majas perumpamaan bahwa perempuan tua diibaratkan bumi yang sudah tua itu selalu mengundang si aku untuk melakukan hal-hal yang diluar kemampuannya. Pada Meditasi bagian III, pada baris kedua sampai baris ketiga, “Tuhan makin sempit rasa kebangsaannya, “Musa! Musa! Akulah Tuhan orang Israel!” teriaknya. Kemudian dilanjutkan dengan baris keempat sampai baris keenam, “Di mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula” “Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab”. Baris ketujuh sampai baris kedelapan, “Aku termenung. Apa kekurangan orang jawa? Kunyanyikan Bach dalam tembang kinanti dan kupulas Budha jadi seorang dukun di Madura. Penyair berusaha berusaha menyatukan antara lagu klasik dengan lagu jawa dan kupulas merupakan penyesuaian antara patung Budha dan Dukun Madura dalam mencari dan menemukan Tuhan. Pada baris kesembilan, “Aku menemu sinar di mata kakekku yang sudah mati”. Kemudian dilanjutkan pada baris kesepuluh sampai kesebelas, “Bila hari
63
menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri di sebuah flat karena aku pun adalah rumah-Nya. Kalimat tersebut berarti si aku akan membuat kehidupan baru di suatu tempat. Karena si aku juga merupakan tempat Tuhan karena Tuhan telah menyatu dalam dirinya. Baris keempat sampai baris kedelapan, pada Meditasi Bagian IV, “Pernah aku percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari kemauanku sendri. Kata mereka, “Berbaiklah kepada semua orang dan berjalanlah Di jalan suci!”. Bagai seekor keledai akupun melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah gurun”. Dalam kalimat tersebut, Si aku pernah percaya kepada orang lain untuk berbuat baik kepada semua orang namun si aku dianggap seekor keledai yang dapat dibodohi, kata tersebut merupakan majas perumpamaan bahwa si aku dianggap sebagi keledai yang memiliki sifat bodoh dan penurut. Kemudian pada baris kesembilan sampai baris kesepuluh, “Kafilah tidak bisa menunjukkan jalan lagi. Kami berpisah tengah malam. bintang-bintang berloncatan gembira di langit yang tinggi.” Kafilah (rombongan) itu tidak dapat melanjutkan perjalanan dalam mencapai Tuhan, kemudian rombongan itu berpisah pada tengah malam dalam keadaan kesulitan, jadi dalam pencariannya si aku tidak berhasil menemukan Tuhan dan si aku akhirnya memisahkan diri dari rombongan tersebut, kemudian si aku akhirnya melihat tanda Tuhan. Setelah si aku diumpamakan dengan seekor keledai yang mempunyai sifat bodoh dan penurut kini si aku berubah menjelma menjadi seekor singa dapat dilihat pada baris kesebelas, “Tapi ditengah kelaparan dan panas aku pun menjelma seekor singa”. Setelah berpisah dengan kafilahnya, si aku berada dalam situasi kelaparan dan panas yakni tertera pada baris kesebelas, “Tapi di tengah kelaparan dan panas aku pun menjelma seekor singa”. Kemudian pada baris kedua belas sampai baris keenam belas, “Aku tak mau lagi mendengarkan khotbah dan nasehat. Sakramenku ialah ketiadaan. Sahabatku perobahan yang terusmenerus. Dan kota suciku ialah hati. Kalau di menara itu nanti kuteriakkan azan cacing-cacing akan berkumpul mendatangiku di waktu magrib bersembahyang berzikir mendoakan ketentraman dunia yang baru”. Dalam hal ini si aku menolak
64
terhadap pandangan orang lain dan si aku menegaskan sikapnya terhadap kematian, sumpah tersebut harus ditepati atau dijalankan oleh orang yang mengucap sumpah itu, dan kematian adalah sesuatu yang pasti dialami oleh semua manusia. Ketidak tetapan kota yang menjadi tempat peribadatan dan hati merupakan organ bagiantubuh yang berfungsi untuk mengetahui sifat Tuhan dan melalui hati itulah manusia mengenal dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Kemudian si aku mempunyai keinginan untuk memanggil semua manuisa untuk berdoa pada Tuhan dalam ragka membangun kehidupan yang baru.
6. Versifikasi 1. Rima (Pengulangan bunyi) Rima dalam puisi “Meditasi” tidak menentu dikarenakan puisi “Meditasi” ini merupakan puisi bebas maka puisi ini iramanya tidak terikat 2. Ritme (pengulangan bunyi), kata, frasa dan kalimat pada puisi Pada puisi “Meditasi bagian I” baris kesepuluh,
terdapat ritme
(pengulangan bunyi) yakni: “Buah-buahan”, baris kesebelas, “Burung-burung”, baris ketiga belas “pohon-pohon”. Kemudian pada Meditasi bagian II, terdapat pada baris kelima yakni, “bintang-bintang” pada Meditasi bagian III, terdapat pada baris ketiga “Musa! Musa!”, Kemudian dapat kita lihat pada baris pertama pada Meditasi Bagian IV, “Bercakap-cakap”, dan “Pintu ke pintu”, dan pada baris kedua, “berkali-kali. Kemudian pada baris kesepuluh, “bintang-bintang, baris keempat belas sampai baris kelima belas, “cacing-cacing”.
B. Analisis Berdasarkan Struktur Batin 1. Tema Pada puisi Meditasi, penyair menggunakan tema pemusatan pikiran untuk mencapai Tuhan, karena terdapat pada beberapa bait sang penyair mengatakan pencapaian Tuhan. Seperti pada baris sebgai berikut. Pada baris pertama. Kupeluk sinar bulan. Tubuhku kedinginan. Kemudian baris ketiga pada meditasi bagian II, “Kebenaran kudapat dari embun dan mawar”. Serta pada baris kesembilan. “Aku menemu sinar dimata kakekku yang
65
sudah mati”. Kemudian baris kesepuluh hingga baris kesebelas, “Bila hari menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri di sebuah flat karena aku pun adalah rumahnya”.
2. Perasaan (Feeling) Persaan merupakan suasana perasaan sang penyair yang diekspresikan dan harus dihayati oleh pembaca. Pada puisi “Meditasi” sang penyair merasa untuk mencapai Tuhan itu tidak lah mudah, pasti ada rintangan-rintangan yang harus dihadapi, hal ini tercermin pada baris sebagai berikut: Baris kedua sampai baris kelima, “Di gerbang cahaya yang berkilauan akan segera Nampak di depan kita sebuah gereja tua. Ketika lonceng berbunyi beribu burung terbang ke sana hendak mensucikan diri. Sebab selalu ditempuhnya jalan yang sama, selalu dinyanyikannya lagu yang sama dan sesat di sarang yang sama. Kemudian pada baris pertama dan baris kedua pada Meditasi bagian II. Di sini semenjak lama aku adalah seorang rahib yang mengheningkan cipta pada sebatang kayu”. Pada baris pertama dalam Meditasi bagin III, “Akupun sudah letih naik turun candi, ke luar masuk gereja dan mesjid”. Baris kedua. “Tuhan makin sempit rasa kebangsaannya, baris ketiga. “Musa! Musa! Akulah Tuhan orang Israel!” teriaknya. Baris keempat. “Di mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula” kemudian pada baris kelima “Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab.” Kemudian pada baris keenam. “Aku termenung. Apa kekurangan orang jawa? Kemudian dinyanyikannya pada baris ketujuh sampai baris kedelapan. “Kunyanyikan Bach dalam tembang kinanti dan kupulas Budha jadi seorang dukun di Madura”. Pada Meditasi bagian IV, “Bercakap-cakap dari pintu ke pintu. Bernyanyi dari pintu ke pintu. Baris kedua sampai baris ketiga. “Mengetuknya berkali-kali. Sudah lama aku tak tahu di mana Dia sebenarnya, di mesjid, di kuil ataukah di gereja”. Kemudian pada baris keempat hingga baris kedelapan. “Pernah aku percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari kemauanku sendriri. Kata mereka, “Berbaiklah kepada semua orang dan berjalanlah Di jalan suci!”.
66
terdapat perumpamaan yakni dapat kita lihat pada kata “Bagai seekor keledai akupun melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah gurun” yakni si aku diumpamakan sebagai seekor keledai. Baris kesembilan sampai kesepuluh, “Kafilah tidak bisa menunjukkan jalan lagi. Kami berpisah tengah malam. Bintang-bintang berloncatan gembira di langit yang tinggi”. Namun pada baris kekesebelas, si aku menjelma seekor singa dapat dilihat pada kalimat “Tapi ditengah kelaparan dan panas aku pun menjelma seekor singa”. Kemudian Baris kedua belas sampai baris keenam belas, “Aku tak mau lagi mendengarkan khotbah dan nasehat. Sakramenku ialah ketiadaan. Sahabatku perobahan yang terus-menerus. Dan kota suciku ialah hati. Kalau di menara itu nanti kuteriakkan azan cacing-cacing akan berkumpul mendatangiku di waktu magrib bersembahyang berzikir mendoakan ketentraman dunia yang baru. Pada bagian terakhir merupakan bagian V baris pertama dapat kita lihat hingga baris kedelapan “Tuhan. Siapakah namaMu yang sebenarNya? Dari manakah asalMu? Apakah kebangsaanMu? Dan apa pula AgamaMu? Manusia begitu ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori tentang Aku dengan susah payah. Tapi siapa Aku yang sebenarnya Aku sendiri pun tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana dan sedang menuju ke mana”.
3. Nada dan Suasana Nada, sikap penyair terhadap pembaca. Pada puisi “Meditasi” yakni sikap penyair terhadap pembaca yaitu : mengajak untuk terus bertanya tentang diri sendiri.. Sedangkan suasana, keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi yaitu : merasaakan kerisauan atau keglauan si pengujar sehingga membuat si pembaca merenungkan bahwa untuk mencapai sebuah keimanan sangatlah sulit dan penuh liku. Seperti pada puisi ini terdapat pada
Meditasi bagian I. O, burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar? Yerussalem dan Mekkah tidak seluas hati dan jiwa ini Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu. Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang sore
67
Meditasi bagian II Seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang Tapi perempuan tua ini selalu merayuku dan minta aku menyusu pula hingga kering dan mandul teteknya. Itulah dunia Meditasi bagian IV Pernah aku percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari kemauanku sendriri. Kata mereka, “Berbaiklah kepada semua orang dan berjalanlah Di jalan suci!” Bagai seekor keledai aku pun melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah gurun. Meditasi bagian V Manusia begitu ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori tentang Aku dengan susah payah. Tapi siapa Aku yang sebenarnya Aku sendiri pun tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana dan sedang menuju ke mana. 4. Amanat (Pesan) Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Pada puisi “Meditasi”. Pada bagian ketiga dan keempat tergambar bagaimana Abdul Hadi WM dengan intens mencari sandaran keimanannya. Ia mencari dari satu teologi ke teologi lainnya. Sementara pada bagian kedua tergambar bagaimana ketergantungan penyair (manusia pada umumnya) pada dunia (alam semesta). Ia mengibaratkan wanita sebagai dunia yang seolah-olah mendorong agar terus dimanfaatkan dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Sebuah isyarat lain, bahwa pemanfaatan alam untuk kehidupan manusia tanpa diimbangi dengan upaya pelestarian akan membuat alam murka dan kehabisan sumber daya dan mandul.
68
5. Makna Puisi “Meditasi” menggambarkan proses pencarian Tuhan oleh aku. Pencarian Tuhan itu dilakukan melalui perjalanan rohani, melalui perasaan, atau perenungan (meditasi) yang berlangsung dalam proses yang panjang dan rumit. Perjalanan rohani aku itu terjadi dalam ruang (bersifat fisik dan nonfisik) dan dalam waktu tertentu serta melibatkan unsur fisik dan nonfisik (emosi atau perasaan). dapat kita lihat pada pembahasan struktur fisik puisi seperti perwajahan puisi, yakni puisi ini dapat dikatakan sebagai puisi bebas. Puisi yang diajukan oleh Abdul Hadi W.M, yakni penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, keterikatan persajakan, jumlah suku kata dalam setiap baris, dan pemenggalan kalimat. Dengan demikian puisi tersebut dikatakan puisi bebas. Kemudian diksi (pilihan kata), dalam hal ini pemilihan kata-kata sangatlah erat kaitannya dengan pemaknaan sehingga harus dipilih secara cermat. Imaji, dalam kaitannya
dengan
unsure
fisik
puisi
sangatlah
penting
karena
dapat
mengungkapkan pengelaman inderawi seperti, penglihatan, pendengaran, perasaan. Kata kongkret, yakni bagaimana si penyair menggambarkan sesuatu secara lebih konkret (bagi pnyair) sedangkan bagi pembaca akan terasa lebih sulit menafsirkan maknanya. Penggunaan bahasa figuratif, dalam hal ini dapat menimbulkan puisi menjadi lebih menarik dan indah, dan verifikasi yakni menyangkut rima, ritme. Rima dalam puisi ini tidak menentu dikerenakan puisi tersebut dapat dikatakan puisi bebas. Sednagkan ritme menyangkut pengulanganpegulangan bunyi. Pencarian Tuhan dilakukan melalui penghayatan atas hakikat alam semesta. Tuhan yang dicari aku adalah yang mengacu pada alam semesta dan yang trasenden. Dalam pencarian Tuhan itu aku berhasil menyatukan diri dengan Tuhan. Meskipun persatuan aku dengan Tuhan dalam sajak itu tercapai, aku berkesimpulan bahwa Tuhan itu adalah misteri, teka teki yang sulit dirumuskan dengan pasti karena memang tuhan tidak dapat dirumuskan. Sajak tersebut pada hakikatnya merupakan monolog aku, penyair tentang pengalaman rohaninya dalam mencari Tuhan.
69
Hal itu terlihat pada sikap aku yang tidak lagi mementingkan tempat seperti gereja, mesjid, kuil, dan candi. Sikap yang demikian mengandung makna prsatuan keagamaan, toleransi keagamaan, dan sekaligus sebagai pernyataan hakikat yang tinggi, yaitu mengutamakan ketuhanan. Pencarian Tuhan dalam puisi ini adalah untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Pencarian Tuhan dalam puisi “Meditasi” berlangsung dalam proses panjang yakni melalui cara tertentu dan penuh liku.
70
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” Puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi” adalah karya Abdul Hadi W.M. kedua puisi tersebut sarat dengan nilai-nilai religiusitas. Kedua puisi tersebut dapat berfungsi sebagai alat untuk meneguhkan dan mengukuhkan suasana batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya serta keyakinan atas keberadaan Tuhan.
Struktur Fisik Puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” 1. Perwajahan Puisi (tipografi) Puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” memiliki tifografi yang khas kerena puisi tersebut masih terikat dengan struktur fisik puisi yakni pada setiap bait terdiri dari empat baris yang dikenal sebagai kuatrin. Puisi yang diajukan oleh Abdul Hadi W.M yaitu penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, puisi tersebut tiap bait terdiri dari empat baris, serta keteraturan dalam hubungan manusia dengan tuhan, alam dan dengan dirinya sendiri. Sehingga puisi tersebut terasa indah maknanya.
2. Diksi Dalam “Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat” yakni masih terikat dengan struktur fisik puisi yakni setiap bait terdiri dari empat baris, penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, serta adanya keteraturan. Dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bahasa puisi mengalami Sembilan aspek penyimpangan. Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, adapun aspek penyimpangan yang paling dominan pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, yakni terdapat pada penyimpangan semantis.
70
71
3. Imaji Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, pengimajian yang digunakan oleh penyair yakni imaji penglihatan (imaji visual) dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil).
4. Kata Konkret Pada puisi Tuhan kita begitu dekat kata konkret terdapat pada baris ketiga “Sebagai api dengan panas”, pada kalimat tersebut menggambarkan kedekatan antara aku dengan Tuhan. Kemudian pada baris keempat Aku panas dalam apimu. Merupakan hubungan aku dengan Tuhan sangat paralel dengan kaitan antara panas dan api dan keduanya tak terpisahkan. Pada baris ketujuh, seperti kain dengan kapas, baris kedelapan aku kapas dalam kainmu. Serta baris kesebelas Seperti angin dan arahnya. Pada dasarnya maknanya sama seperti baris sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan baris keempat belas sampai lima belas kini aku nyala pada lampu padammu dalam hal ini si aku mendapatkan cahaya kemudian dipertegas lagi dengan “pada lampu padammu” merupakan ungkapan si aku atas rasa syukur, bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas.
5. Bahasa Figuratif Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat majas yang digunakan adalah: a. Majas Perbandingan, yakni pada baris ketiga sebagai api dengan panas, baris ketujuh seperti kain dengan kapas, dan baris kesebelas seperti angin dan arahnya. b. Metafora adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tetapi tidak menggunakan kata pembanding. Metafora dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris keempat aku panas dalam apimu, yakni aku dikiaskan dengan panas dan Tuhan dikiaskan dengan apimu dan baris kedelapan aku kapas dalam kainmu pada dasarnya mengiaskan antara aku (manusia) dengan Tuhan sama seperti baris keempat. c. Perumpamaan Epos, perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang yaitu bentuk dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih
72
lanjut dalam kalimat atau frase berturut-turut. Dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris keempat aku panas dalam apimu dan serta pada baris ketujuh aku kapas dalam kainmu. d. Personfikasi, kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya seperti manusia. Majas personifikasi pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris ketiga api dengan panas, baris ketujuh kain dengan kapas, serta baris kesebelas angin dan arahnya. Dalam hal ini penyair menyamakan manusia dengan Tuhan yang hubungannya sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya.
6. Versifikasi Versifikasi yaitu menyangkut rima, ritme, dna metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Irama (ritme) adalah pengulangan bunyi kata, frasa, dan kalimat. Sedangkan metrum adalah pengulangan tekanan kata yang tetap. a.
Adapun Rima (pengulangan bunyi), pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat pada
tiap baris terdapat kesamaan bunyi [a], [i], [u], dan [e]
yang muncul secara
berulang. b. Irama (ritme) pengulangan bunyi kata, frasa, dan kalimat. Pada puisi ini terdapat pada baris pertama “Tuhan”, baris kedua “kita begitu dekat”, baris kelima dan keenam “Tuhan”, “kita begitu dekat”. kemudian pada baris kesembilan, sepuluh, dan dua belas “Tuhan”, “kita begitu dekat”, “kita begitu dekat”. c. Metrum adalah pengulangan tekanan kata yang tetap. Pengulangan kata tersebut pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, terdapat pada baris baris pertama “Tuhan”, baris kedua “kita begitu dekat”, baris kelima dan keenam “Tuhan”, “kita begitu dekat”. kemudian pada baris kesembilan, sepuluh, dan dua belas “Tuhan”, “kita begitu dekat”, “kita begitu dekat”. Hal ini menimbulkan tekanan irama yang mengalun ritmis, lembut, dan lebih terasa akrab.
73
Struktur Batin Puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” 1. Tema Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, penyair menggunakan tema religius, yaitu tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan Tuhan, dan menghargai alam seisinya.
2. Perasaan (feeling) Dalam puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat”, perasaan yang diungkapkan oleh penyair yakni perasaan dekat karena dalam puisi ini penyair mengungkapkan perasaannya yamg menggambarkan kedekatannya kepda tuhan sehingga merasa lebih akrab, dengan alunan yang syahdu, lembut, dan lebih bersemangat untuk mendekati Tuhan.
3. Nada dan Suasana Dalam puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat”, yakni terasa lebih halus, tidak memaksa dan mengajak secara liris untuk mengayati setiap baris dalam puisi tersebut. sedangkan suasana puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat”, pembaca merasa tersentuh karena penggunaan perumpamaan-perumpamaan yang sangat inderawi seperti pada baris ketiga, keempat, ketujuh, kedelapan, dan kesebelas. “Seperti api dengan panas”, “Aku panas dalam apimu” , “Seperti kain dengan kapas”, “Aku kapas dalam kainmu”, “Seperti angin dan arahnya”.
4. Amanat Pada puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” bahwa hati manusia yang mencari Tuhannya akan menjadi terang apabila mendapat petunjuk dari yang ia tuju, yakni seperti pada baris ketiga belas, empat belas, dan kelima belas. “Dalam gelap”, “Kini aku nyala”, “Pada lampu padammu”.
74
5.
Makna Makna puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” merupakan gambaran perasaan
keakraban yang sangat dekat (aku atau manusia) terhadap Tuhan karena memperoleh cahaya Tuhan. Perasaan keakraban itu
sangat dekat dan rapat
bagaikan air yang mengalir lepas tanpa terputus sehingga si aku merasa sangat dekat sehingga menyebabkan aku dan Tuhan merasa bersatu dan tak terpisahkan. Kedekatan hubungan antara aku dengan Tuhan dapat kita lihat pada bagian pengimajian yakni (imaji taktil dan imaji visual), tema, perasaan (feeling), nada dan suasana,amanat (pesan). Dalam bagian-bagian tersebut yang menerangkan kedekatan antara aku dengan Tuhan yang sulit dipisahkan antara satu dan yang lainnya. Ungkapan Tuhan Kita Begitu Dekat dapat dirujukkan pada QS AlBaqarah ayat 186 yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang aku, maka (jawablah)bahwasanya aku dekat”. Dan QS Qaaf ayat 16 yang artinya “kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”.
Struktur Fisik Puisi “Meditasi” 1. Perwajahan Puisi Puisi Meditasi memiliki tipografi yang khas kerena puisi tersebut merupakan puisi yang panjang yakni terdiri dari lima bagian puisi yang disebut juga sebagai puisi prosais. Puisi ini tidak terikat dengan struktur fisik puisi yakni pada setiap bait terdiri dari empat baris yang dikenal sebagai kuatrin. Puisi yang klasik yang diajukan oleh Abdul Hadi W.M yaitu penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, keterikatan persajakan, jumlah suku kata dalam setiap baris, pemenggalan kalimat.
2. Diksi Pada puisi Meditasi, yakni terdapat pada penyimpangan semantis dan penyimpangan grafologi.
75
3. Imaji Pada puisi Meditasi, pengimajian yang digunakan oleh penyair yakni imaji penglihatan (imaji visual), imaji pendengaran (imaji auditif) imaji raba atau sentuh (imaji taktil).
4. Kata Konkret Pada puisi Meditasi kata kongkret terdapat pada baris pertama, “sinar bulan”. Baris kedua, “gerbang”, “cahaya”. Kemudian baris ketiga “gereja tua”, “lonceng”, “burung”. Kemudian pada baris kesepuluh, “bintang”, “buah-buahan”. Baris kesebelas, “burung-burung”. Baris keduabelas “yerussalem”, “mekkah”. Baris ketigabelas, “pohon-pohon”. Kemudian pada Meditasi bagian II, yakni terdapat pada baris kedua, “sebatang kayu”. Baris ketiga, “embun”, “mawar”. Baris kelima, “perempuan”, “bintang-bintang”. Baris keenam, “perempuan tua”, “menyusu”. Baris ketujuh, “teteknya”. Sedangkan pada Meditasi bagian III, terdapat pada baris pertama, “candi”, “gereja”, “mesjid”. Baris ketiga, “orang Israel”. Baris keempat, “mesjid”. Baris kelima, “arab”. Baris keenam, “orang jawa”. Baris ketujuh sampai baris kedelapan, “Budha”, “dukun”, “di Madura”. Baris kesembilan hingga baris kesebelas, “sinar”, “mata”, “kakekku”, “kota”, “benua”, “rumahNya”. Sedangkan pada Meditasi bagian IV, kata kongkret terdapat pada baris, pertama, “pintu ke pintu”. Baris ketiga “di mesjid”, “di kuil”, “di gereja”. Kemudian pada baris keenam dan ketujuh, “seekor keledai”, “gurun”. Pada baris kedelapan hingga baris kesepuluh yakni, “jalan”, “Tengah malam”, “bintangbintang”, “di langit”, “panas”, “seekor singa”. Baris ketigabelas, “Di menara”, “Cacing-cacing”, “bersembahyang”. Kemudian pada Meditasi bagian V terdapat pada baris pertama yakni “bercermin”.
76
5. Bahasa figuratif Dalam puisi “Meditasi” banyak menggunakan bahasa kiasan sehingga menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa
kiasan
tersebut
mempertalikan
sesuatu
dengan
cara
menghubungkannya dengan sesuatu yang lain.
6. Versifikasi 1. Rima (Pengulangan bunyi) Rima dalam puisi “Meditasi” tidak menentu dikarenakan puisi “Meditasi” ini merupakan puisi bebas maka puisi ini iramanya tidak terikat 2. Ritme (pengulangan bunyi), kata, frase dan kalimat pada puisi Pada puisi “Meditasi bagian I” baris kesepuluh,
terdapat ritme
(pengulangan bunyi) yakni: “Buah-buahan”, baris kesebelas, “Burung-burung”, baris ketiga belas “pohon-pohon”. Kemudian pada Meditasi bagian II, terdapat pada baris kelima yakni, “bintang-bintang” pada Meditasi bagian III, terdapat pada baris ketiga “Musa! Musa!”, Kemudian dapat kita lihat pada baris pertama pada Meditasi Bagian IV, “Bercakap-cakap”, dan “Pintu ke pintu”, dan pada baris kedua, “berkali-kali. Kemudian pada baris kesepuluh, “bintang-bintang, baris keempat belas sampai baris kelima belas, “cacing-cacing”.
Struktur Batin Puisi “Meditasi” 1. Tema Pada puisi Meditasi, penyair menggunakan tema pemusatan pikiran untuk mencapai Tuhan, karena terdapat pada beberapa bait sang penyair mengatakan pencapaian Tuhan.
77
2. Perasaan (Feeling) Persaan merupakan suasana perasaan sang penyair yang diekspresikan dan harus dihayati oleh pembaca. Pada puisi “Meditasi” sang penyair merasa untuk mencapai Tuhan itu tidak lah mudah, pasti ada rintangan-rintangan yang harus dihadapi.
3. Nada dan Suasana Nada, sikap penyair terhadap pembaca. Pada puisi “Meditasi” yakni sikap penyair terhadap pembaca yaitu : mengajak untuk terus bertanya tentang diri sendiri.. Sedangkan suasana, keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi yaitu : merasaakan kerisauan atau keglauan si pengujar sehingga membuat si pembaca merenungkan bahwa untuk mencapai sebuah keimanan sangatlah sulit dan penuh liku.
4. Amanat (Pesan) Pada puisi “Meditasi”. Pada bagian ketiga dan keempat tergambar bagaimana Abdul Hadi WM dengan intens mencari sandaran keimanannya. Ia mencari dari satu teologi ke teologi lainnya. Sementara pada bagian kedua tergambar bagaimana ketergantungan penyair (manusia pada umumnya) pada dunia (alam semesta). Ia mengibaratkan wanita sebagai dunia yang seolah-olah mendorong agar terus dimanfaatkan dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Sebuah isyarat lain, bahwa pemanfaatan alam untuk kehidupan manusia tanpa diimbangi dengan upaya pelestarian akan membuat alam murka dan kehabisan sumber daya dan mandul.
5. Makna Puisi “Meditasi” menggambarkan proses pencarian Tuhan oleh aku. Pencarian Tuhan itu dilakukan melalui perjalanan rohani, melalui perasaan, atau perenungan (meditasi) yang berlangsung dalam proses yang panjang dan rumit. Perjalanan rohani aku itu terjadi dalam ruang (bersifat fisik dan nonfisik) dan dalam waktu tertentu serta melibatkan unsur fisik dan nonfisik (emosi atau
78
perasaan). dapat kita lihat pada pembahasan struktur fisik puisi seperti perwajahan puisi, yakni puisi ini dapat dikatakan sebagai puisi bebas. Puisi yang diajukan oleh Abdul Hadi W.M, yakni penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, keterikatan persajakan, jumlah suku kata dalam setiap baris, dan pemenggalan kalimat. Dengan demikian puisi tersebut dikatakan puisi bebas. Kemudian diksi (pilihan kata), dalam hal ini pemilihan kata-kata sangatlah erat kaitannya dengan pemaknaan sehingga harus dipilih secara cermat. Imaji, dalam kaitannya
dengan
unsure
fisik
puisi
sangatlah
penting
karena
dapat
mengungkapkan pengelaman inderawi seperti, penglihatan, pendengaran, perasaan. Kata kongkret, yakni bagaimana si penyair menggambarkan sesuatu secara lebih konkret (bagi penyair) sedangkan bagi pembaca akan terasa lebih sulit menafsirkan maknanya. Penggunaan bahasa figuratif, dalam hal ini dapat menimbulkan puisi menjadi lebih menarik dan indah, dan verifikasi yakni menyangkut rima, ritme. Rima dalam puisi ini tidak menentu dikerenakan puisi tersebut dapat dikatakan puisi bebas. Sednagkan ritme menyangkut pengulanganpegulangan bunyi. Pencarian Tuhan dilakukan melalui penghayatan atas hakikat alam semesta. Tuhan yang dicari aku adalah yang mengacu pada alam semesta dan yang trasenden. Dalam pencarian Tuhan itu aku berhasil menyatukan diri dengan Tuhan. Meskipun persatuan aku dengan Tuhan dalam sajak itu tercapai, aku berkesimpulan bahwa Tuhan itu adalah misteri, teka teki yang sulit dirumuskan dengan pasti karena memang tuhan tidak dapat dirumuskan. Sajak tersebut pada hakikatnya merupakan monolog aku, penyair tentang pengalaman rohaninya dalam mencari Tuhan. Hal itu terlihat pada sikap aku yang tidak lagi mementingkan tempat seperti gereja, mesjid, kuil, dan candi. Sikap yang demikian mengandung makna prsatuan keagamaan, toleransi keagamaan, dan sekaligus sebagai pernyataan hakikat yang tinggi, yaitu mengutamakan ketuhanan. Pencarian Tuhan dalam puisi ini adalah untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Pencarian Tuhan dalam puisi “Meditasi” berlangsung dalam proses panjang yakni melalui cara tertentu dan penuh liku.
79
B. Saran Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa saran kepada: 1. Guru Agar mampu megajarkan metode pembelajaran kepada siswa/I di sekolah sehingga pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan Kurukulum yang di tetapkan. 2. Siswa Siswa dapat menganalisis puisi secara terstruktur dan mendalam. Serta siswa mampu mengapresiasikannya. 3. Sekolah Agar menerapkan kurikulum berdasarkan ketentuan yang berlaku. 4. Penulis Sebagi calon pendidik, penulis memperoleh pemahaman tentang puisi secara terstruktur dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosuwito, Subijantoro. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra. Bandung: Sinar Baru, 1989, Cet. I, h. 123. Hadari Nawawi dan Martini Hadari, instrument penelitian Bidang sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992, h. 67. Harjana, Andre, Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1985, Cet III, h. 81. Hardjana, Agus M, Religiusitas, Agama dan Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, 2005, Cet. 1, h. 61—62. Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, Jogjakarta: PT Hanindita Graha Widya, 2002, Cet. II, h. 53. Jalil, Daniel Abdul. Teori dan Periodisasi Puisi Indonesia, Bandung: Angkasa, 1984, Cet. 10, h. 14. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet. VIII, h. 376. Mahayana, Maman, S. 9 Jawaban Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik, Jakarta: Bening Publishing, 2005, Cet. I, h. 264 Mangunwijaya, Y.B. Sastra dan Religositas. Jakarta: Sinar Harapan, 1982, Cet. 1, h. 11—15. Muhammad Pujiono, Analisi Nilai-nilai Religius dalam Cerita Pendek Karya Mizwan Kenzi,Repository.usu.ac.id/bitstream, diakses pada Selasa Tanggal 28 Desember 2010, Pkl. 14.00 WIB Muzakki, Akhmad, kesusastraan Arab pengantar Teori dan Terapan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2006, Cet. 1, h. 99. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, Cet. V, h. 3. Nuraida dan Halid Alkaf, Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: Islamic Research Publishing, 2009, Cet 1,h. 35. Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, Cet. III, h. 53.
Ofm, Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1988, Cet. 1, h. 29—30. Pradopo, Rachmat, Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 2000, Cet. VII, h. 7. Pradopo, Rachmat Djoko, dkk, Puisi, Universitas Terbuka, 2007, Cet, III, h. 1.44. Ribut Wijoto, Mari, Bicara Kritik Sastra,Wijoto.blogspot.com diakses pada senin 14 Maret 2011, Pkl. 14.00 WIB. Rina Ratih Sri Sudaryani, Religiusitas dalam Beberapa Prosa Indonesia (http://www.geocities.com), diakses pada Minggu Tgl 9 Januari 2011 pukul 10:41 WIB. Sitanggang. Religiusitas dalam tiga novelmoderen. Jakarta: Pusat Bahasa, 2003, h. 1. Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. II, h. 73—74. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003. Tirtawirya, Putu Arya. Apresiasi Puisi dan Prosa, Ende-Flores: Penerbit nusa indah, 1983, Cet. IV, h. 9-10. Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, Cet. 1, h. 1. Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta: Erlangga, 1987, h, 27. Wiyanto, Asul Kesusastraan Sekolah, Jakarta: PT Gramedia Indonesia, 2005, Cet. 1, h. 29.
.
Widiasarana