187 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
PERBEDAAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN METAKOGNISI SISWA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR YANG MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN CTL DAN KONVENSIONAL DI SMPN 2 DEWANTARA KABUPATEN ACEH UTARA Nuraini, Dian Armanto, Bornok Sinaga Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam, Universitas Negeri Medan (UNIMED), 20221 Medan, Sumatera Utara, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang model pembelajarannya menerapkan CTL dan konvensional; perbedaan kemampuan metakognisi siswa yang model pembelajarannya menerapkan CTL dan konvensional; interaksi antara pembelajaran CTL dan gaya belajar (VAK) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa; interaksi antara pembelajaran konvensional dan gaya belajar (VAK) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa; interaksi antara pembelajaran CTL terhadap kemampuan metakognisi siswa; interaksi antara pembelajaran konvensional dan gaya belajar (VAK) terhadap kemampuan metakognisi siswa; mendeskripsikan kadar aktivitas aktif siswa selama proses pembelajaran CTL dan mendeskripsikan tingkat kemampuan guru mengelola pembelajaran dengan CTL. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen. Populasi penelitian ini siswa VII SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis inferensial. Analisis inferensial data untuk melihat perbedaan dilakukan dengan analisis kovarians (ANAKOVA) dan ANOVA 2 jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang diberi pembelajaran CTL dengan konvensional, sedangkan ditinjau dari gaya belajar (VAK) kemampuan komunikasi matematis antara ketiga gaya belajar tidak terdapat perbedaan; terdapat perbedaan kemampuan metakognisi antara siswa yang diberi pembelajaran CTL dengan konvensional, sedangkan jika ditinjau dari gaya belajar (VAK) kemampuan metakognisi siswa tidak terdapat perbedaan. Sedangkan untuk melihat interaksi antara faktor pembelajaran dan gaya belajar digunakan ANAVA satu jalur. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran CTL dan gaya belajar (VAK) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa; tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran konvensional dan gaya belajar (VAK) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa; tidak terdapat interaksi antara pembelajaran CTL dan gaya belajar (VAK) terhadap kemampuan metakognisi siswa; terdapat interaksi antara pembelajaran konvensional dan gaya belajar (VAK) tetapi tidak signifikan. Kadar aktivitas aktif siswa dengan pembelajaran CTL berada pada batas toleransi persentase waktu ideal.. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan CTL berada dalam kriteria baik. Kata Kunci : Pembelajaran CTL, Kemampuan komunikasi matematis dan metakognisi siswa
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
188 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
Abstract This study aimed at determining differences in mathematical communication abilities of students learning models using CTL and conventional model; the differences of metacognitive abilities of students by using CTL and conventional learning model; the interaction between CTL model and students’ learning styles (VAK) on the ability of students’ mathematical communication; the interaction between conventional teaching and learning styles (VAK) of the students' mathematical communication abilities; the interaction between CTL teaching and learning styles (VAK) on the ability of students’ metacognition; the interaction between conventional teaching and learning styles (VAK) on the ability of students' metacognition; to describe the level of active student activity during the learning process using CTL model; to describe the level of teacher's ability to manage the teaching learning process using CTL. This study is a quasi-experimental study. The population of this study were students of class VII of SMPN 2 Dewantara, North Aceh. The data in this study were analyzed using descriptive statistics and inferential analysis. Inferential analysis of the data to see the difference made by analysis of covariance (Anacova) and ANOVA 2 ways. The results showed that there was difference between the mathematical communication skills of students who learned using CTL compared with conventional model, whereas in terms of learning styles (VAK) mathematical communication ability between learning styles, there was no difference; there was any difference between students' metacognitive skills using CTL compared with conventional learning model, whereas if viewed from learning styles (VAK) metacognitive abilities of students there was no difference. While to look at the interaction between factors of learning and learning styles used ANOVA one way. The results showed that there was no interaction between the factors and the CTL learning learning styles (VAK) of the students’ mathematical communication skills; there was no interaction between the factors of conventional teaching and learning styles (VAK) of the students' mathematical communication skills; there was no interaction between CTL and learning styles of learning (VAK) on the ability of students' metacognition; there was any interaction between conventional teaching and learning styles (VAK) but not significant. The level of activity of active students by using CTL model was on the limit of tolerance the percentage of ideal time. Key Word: CTL, the ability of students’ mathematical communication and the ability of students’ metacognition
PENDAHULUAN Upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan penting untuk dilakukan. Hal ini dipandang perlu mengingat pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas SDM suatu bangsa. Harapan-harapan yang diharapkan dari upaya pembaharuan pendidikan tentu saja sesuai dengan visi dan misi dari pendidikan nasional itu sendiri yaitu meningkatkan pemerataan dan perluasan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan yang bersamaan dengan peningkatan mutu, mengembangkan wawasan persaingan dan keunggulan Bangsa Indonesia sehingga dapat bersaing secara global, memperkuat keterkaitan pendidikan agar sepadan dengan kebutuhan pembangunan, mendorong terciptanya masyarakat belajar, merupakan sarana untuk menyiapkan generasi masa kini sekaligus masa depan dan merupakan sarana untuk memperkuat jati diri dalam proses industrialisasi dan mendorong terjadinya perubahan
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
189 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
masyarakat Indonesia dalam memasuki era globalisasi di abad ke21 (Muslich, 2007:1). Meninjau visi dan misi dari pendidikan nasional ini maka proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah harus mempunyai tujuan yang jelas sehingga harapan-harapan dari visi dan misi pendidikan nasional dapat terwujud. Segala sesuatu yang dilakukan oleh guru dan siswa mengarah pada pencapaian tersebut, kemudian proses belajar mengajar tidak boleh mengesampingkan proses belajar, suasana belajar dan pembelajaran diarahkan untuk mengembangkan potensi anak didik, hal ini berarti bahwa proses pendidikan itu haruslah berorientasi kepada siswa dan akhir dari proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan intelektual serta pengembangan ketrampilan anak sesuai dengan kebutuhan, sehingga diharapkan mampu mempersiapkan SDM berkualitas, yang mampu bersikap kritis, logis, mengkomunikasikan gagasan dan sistematis dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan bersikap kritis, logis, mengkomunikasikan gagasan dan inovatif dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika, karena kemampuan-kemampuan tersebut tidak lain adalah merupakan tujuan dari pelajaran matematika itu sendiri sebagaimana yang dinyatakan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas (2003:3) bahwa mata pelajaran matematika menumbuhkembangkan kemampuan menalar, yaitu berpikir sistematis, logis, kritis,
mengkomunikasikan gagasan atau dalam pemecahan masalah. Meninjau tujuan pelajaran matematika di atas maka dalam proses pembelajaran matematika, guru haruslah memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar secara aktif. Aktif di sini bermakna siswa yang aktif dalam melakukan investigasi dan eksplorasi terhadap konsep-konsep matematika. Siswa mendapatkan pengalaman belajar yang menarik, menyenangkan dan bermakna. Siswa dapat melihat dan mengalami sendiri kegunaan matematika dalam kehidupan nyata, serta memberikan kesempatan pada siswa agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai aktifitas seperti pemecahan masalah, penalaran, berkomunikasi dan lain-lain yang mengarah pada berpikir kritis dan kreatif. Hal ini senada dengan pendapat Sulivan (Ansari, 2009:3) mengatakan bahwa peran dan tugas guru sekarang adalah memberi kesempatan belajar maksimal pada siswa dengan jalan melibatkannya secara aktif dalam mengeksplorasi matematika, mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang telah ada pada mereka, mendorong agar mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi, mendorong agar berani mengambil resiko dalam menyelesaikan soal dan memberi kebebasan berkomunikasi untuk menjelaskan idenya dan mendengarkan ide temannya. Dalam NCTM (1991:96) juga dikatakan bahwa komunikasi adalah wahana antara guru dan siswa untuk saling menghargai ketika proses pemecahan masalah dan penalaran terjadi. Tetapi komunikasi dengan sendirinya juga menjadi penting,
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
190 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
karena siswa harus belajar untuk mendeskripsikan fenomena atau masalah melalui berbagai cara, baik tulisan, lisan dan bentuk-bentuk visual lainnya dalam pembelajaran matematika. Dalam kutipan ini tersirat bahwa komunikasi dalam pembelajaran biasanya hanya terlihat ketika proses pemecahan masalah dan penalaran dilakukan, padahal jika dikaji lebih jauh komunikasi memang memegang peranan penting dalam pembelajaran matematika. Selain memberikan kebebasan berkomunikasi kepada siswa, dalam proses pembelajaran matematika guru harus mampu mengoptimalkan potensi belajar siswa yaitu dengan cara mengaktifkan kemampuan metakognisinya. Metakognisi adalah suatu kemampuan siswa untuk menyadari, mengetahui proses kognitif yang terjadi pada diri sendiri yang terdiri atas tiga tahapan yaitu perencanaan mengenai apa yang harus dipelajari, pemantauan terhadap proses belajar yang dilakukan, serta evaluasi terhadap apa yang telah direncanakan, dilakukan dan hasil yang diperoleh dari proses tersebut. Metakognisi juga biasa disebut sebagai aktivitas berpikir tingkat tinggi. Dengan kemampuan metakognisi siswa akan mampu mengontrol aktivitas berpikir yang terjadi pada dirinya sendiri. Aktivitas berpikir seperti ini akan mampu membuat siswa belajar lebih terarah dan memperoleh hasil belajar yang optimal. Hal ini dapat terjadi karena pada saat siswa mampu mengontrol aktivitas kognitifnya akan mencari strategi-strategi yang tepat untuk menyelesaikan sebuah masalah, sehingga belajar akan lebih efektif
dan efisien. Siswa pada tahap ini memiliki dialog dalam dirinya mengenai apa yang dapat ia lakukan dan apa yang paling efektif dalam situasi ini. Soedjadi (2007:22) mengatakan bahwa kemampuan metakognisi sama halnya dengan berpikir reflektif yang ditunjukkan dengan pertanyaan-pertanyaan terhadap diri sendiri seperti, “apakah yang telah aku lakukan/pikirkan?”, “apakah yang aku lakukan/pikirkan benar?”, “adakah kelemahan langkah yang telah aku lakukan?” Melalui dialog-dialog inilah siswa mengontrol aktivitas kognitifnya mulai dari merencanakan, melaksanakan sampai evaluasi terhadap hasil yang diperoleh. Hal lain yang patut menjadi perhatian dalam proses pembelajaran adalah kepekaan guru untuk mengenali kecenderungan gaya belajar yang dimiliki siswa. Gaya belajar adalah kecenderungan seseorang dalam menerima, menyerap dan memproses informasi. Setiap siswa memiliki latar belakang yang berbeda-beda, ada yang lebih senang belajar dengan mendengarkan penjelasan dari orang lain, ada juga siswa yang senang belajar dengan melihat gambar-gambar, bahkan ada pula yang senang belajar dengan melakukan aktivitas menggerakkan anggota tubuh. Ketika guru mampu mengenali gaya belajar siswa, akan lebih mudah untuk mengarahkan siswa dalam belajar. Guru akan melakukan pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam membimbing siswa, misalnya ketika memberikan scaffolding saat siswa kesulitan memahami masalah matematika yang diberikan. Siswa yang mengenali kecenderungan gaya belajarnya sendiri akan sangat
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
191 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
membantu dalam proses belajar. Siswa akan memilih cara-cara efektif yang memudahkannya dalam menerima, menyerap dan memproses informasi. Terkait dengan tujuan-tujuan pembelajaran matematika di atas dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, ternyata tidak bersesuaian dengan kondisi yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kondisi ini dibuktikan dengan beberapa laporan antara lain, The Third International Mathematic and Science Study (TIMSS) pada tahun 2007, Indonesia berada di posisi ke-36 dari 48 negara yang mengikutinya. Selain itu laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2003, yang menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke38, sementara untuk bidang matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat ke39. Jika dibandingkan dengan Korea Selatan, peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA menempati peringkat ke-8, membaca peringkat ke-7 dan matematika peringkat ke-3 (Kunandar, 2009:1). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari TIMSS dan PISA dapatlah diambil kesimpulan bahwa prestasi belajar matematika siswa di Indonesia masih rendah. Selain itu fakta di lapangan menunjukkan rendahnya hasil belajar matematika siswa juga ditunjukkan oleh rendahnya kemampuan komunikasi matematis. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar dan kemampuan komunikasi matematis siswa adalah model pembelajaran yang dilakukan oleh
guru yang belum tepat sasaran dan bermakna. Tidak tepat sasaran artinya pembelajaran yang dilakukan masih bersifat konvensional, tidak sesuai dengan karakteristik siswa dan materi matematika yang sifatnya abstrak. Dalam pembelajaran konvensional guru senantiasa menjadi pusat perhatian karena harus mendemonstrasikan matematika yang sudah siap saji dan dipandang sebagai ilmu yang sangat ketat. Model pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih dipandang tak bermakna oleh siswa artinya belum dikaitkan dengan cerita kontekstual atau kurang terkait dengan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari. Ketika siswa ditanyakan aplikasi suatu konsep terhadap hal-hal yang ada dalam kehidupan nyata siswa belum bisa memberikan jawaban. Ini menjadi masalah sebagaimana yang dikatakan oleh Sanjaya (2006:1) bahwa dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ? Ketika anak didik kita lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis tetapi miskin aplikasi. Kemudian dalam proses pembelajaran guru belum berusaha untuk mengaktifkan kemampuan metakognisi siswa. Padahal kemampuan metakognisi ini dimiliki oleh semua orang, tinggal bagaimana memanfaatkannya saja. Hal ini
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
192 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
diperkuat oleh pernyataan Mulbar (2008) bahwa saat ini, guru dalam mengevaluasi pencapaian hasil belajar hanya memberikan penekanan pada tujuan kognitif tanpa memperhatikan dimensi proses kognitifnya, khususnya pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif. Akibatnya upayaupaya untuk memperkenalkan metakognisi dalam menyelesaikan masalah matematika kepada siswa sangat kurang atau bahkan cenderung diabaikan. Memperhatikan kondisi yang terjadi di atas perlulah untuk diadakan pembaharuan, inovasi ataupun gerakan perubahan mind set ke arah pencapaian tujuan pendidikan di atas. Pembelajaran matematika hendaknya menggunakan model yang bervariasi guna mengoptimalkan potensi siswa. Upaya – upaya guru dalam mengatur dan memberdayakan berbagai variabel pembelajaran, merupakan bagian penting dalam keberhasilan siswa mencapai tujuan yang direncanakan. Karena itu pemilihan metode, strategi dan pendekatan dalam mendesain model pembelajaran guna tercapainya iklim pembelajaran aktif yang bermakna adalah tuntutan yang mesti dipenuhi bagi para guru. Hal ini sesuai dengan pendapat Suherman dkk. (2001: 60) yang menyatakan bahwa “Guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi, pendekatan, metode dan tehnik yang banyak melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik mau pun sosial”. Salah satu alternatif pembelajaran memungkinkan mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa
adalah Contextual Teaching and Learning (CTL). CTL memiliki karakteristik yang memungkinkan terciptanya pertukaran ide secara terbuka dan melibatkan aktivitas siswa dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematikanya. Nurhadi dan Senduk (2003:4) juga mengatakan bahwa “pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”. Disamping model pembelajaran, seorang guru diharapkan juga harus mampu mengenali kecenderungan gaya belajar siswanya. Masing-masing siswa mempunyai kecenderungan gaya belajar berbeda-beda. Dengan kecenderungan gaya belajar yang berbeda maka proses penyerapan dan pemrosesan informasi siswa juga akan berbeda. Jika guru mampu mengenali kecenderungan gaya belajar siswanya, maka guru akan lebih mudah membantu siswa dalam menyerap informasi sesuai dengan kecenderungan gaya belajarnya masing-masing. Dengan begitu siswa akan belajar menyenangkan dan mudah untuk berkomunikasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh DePorter dan Hernacki (1999:110) bahwa gaya belajar anda adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah dan situasi-situasi antar-pribadi. Ketika anda menyadari bagaimana dan orang lain menyerap dan mengolah informasi, anda dapat menjadikan
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
193 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
belajar dan berkomunikasi lebih pembelajaran konvensional, mudah dengan gaya anda sendiri. kemudian masing-masing diberi Berdasarkan hal tersebut di pretes dan postes (O). atas, maka permasalahan yang akan Populasi dalam penelitian ini diungkap dan dicari penyelesaiannya adalah seluruh siswa SMP Negeri 2 adalah “Apakah terdapat perbedaan Dewantara Aceh Utara yang terdiri kemampuan komunikasi matematis atas 5 kelas. Adapun yang menjadi dan kemampuan metakognisi siswa sampel penelitian ini adalah 4 kelas, ditinjau dari gaya belajar yang 2 kelas diberikan perlakuan dengan menerapkan model pembelajaran CTL dan 2 yang lainnya dengan CTL dan konvensional?” pembelajaran konvensional. Data Untuk menjawab berupa skor yang diperoleh dari tes permasalahan tersebut jenis kemampuan komunikasi matematis penelitian yang digunakan adalah dan metakognisi siswa. kuasi eksperimen. Adapun desain yang dipilih adalah desain kelompok Hasil dan Bahasan Penelitian kontrol pretes-postes. Pada desain Secara deskriptif hasil ini, pengelompokkan subjek penelitian yang berkenaan dengan penelitian dilakukan secara kelas perbedaan kemampuan komunikasi acak. Kelompok eksperimen diberi matematis siswa terlihat seperti pada perlakuan pembelajaran CTL (X). tabel 1 Kelompok kontrol dengan . Tabel 1. Rekapitulasi Ketuntasan Hasil Kemampuan Komunikasi Matematis Kelompok Jenis Tes No Aspek Kontrol Eksperimen 1 Proporsi skor uji awal 7,69 8,37 Kemampuan 2 Proporsi skor uji akhir 8,17 15,59 Komunikasi 3 Jumlah siswa yang tuntas 5 26 Matematis 4 % Ketuntasan 11,90 63,41 Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat kemampuan komunikasi matematis siswa, rata-rata proporsi skor uji awal dan uji akhir siswa kelas kontrol adalah 7,69 dan 8,17. Bila diperhatikan rata-rata proporsi skor uji akhir terjadi peningkatan rata-rata proporsi skor sebesar 0,48. Sedangkan kelompok eksperimen 8,37 dan 15,59 terjadi peningkatan rata-rata proporsi skor sebesar 7,22. Selisih proporsi uji awal dan uji akhir kelompok eksperimen lebih besar dari selisih proporsi skor uji awal dan uji akhir untuk kelas kontrol. Hal ini memberi petunjuk
bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran CTL lebih tinggi dibanding siswa dengan pembelajaran konvensional. Menurut data pada Tabel 1, berdasarkan kriteria ketuntasan belajar untuk kemampuan komunikasi matematis banyaknya siswa kelas kontrol yang tuntas belajar adalah 5 siswa dari 42 siswa atau 11,90%; sedangkan di kelas eksperimen ada sebanyak 26 siswa dari 41 siswa atau 63,41%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran dengan CTL memiliki
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
194 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
keunggulan dibanding konvensional jika dilihat dari ketuntasan siswa. Secara deskriptif hasil penelitian yang berkenaan dengan perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa terlihat seperti pada tabel 2. Pada Tabel 2 dapat dilihat kemampuan metakognisi, rata-rata proporsi skor uji awal dan uji akhir siswa kelas kontrol adalah 6,31 dan 10,36. Bila diperhatikan rata-rata proporsi skor pada tes akhir terjadi kenaikan ratarata proporsi skor sebesar 4,29. Sedangkan kelompok eksperimen 8,15 dan 14,66 terjadi peningkatan rata-rata proporsi skor sebesar 6,51. Selisih proporsi uji awal dan uji
akhir kelompok eksperimen lebih besar dari selisih proporsi skor uji awal dan uji akhir untuk kelas kontrol. Hal ini memberi petunjuk bahwa pembelajaran dengan CTL lebih baik daripada pembelajaran dengan konvensional. Menurut data pada Tabel 2, berdasarkan kriteria ketuntasan belajar untuk kemampuan metakognisi siswa banyaknya siswa kelas kontrol yang tuntas belajar hanya 6 orang, sedangkan di kelas eksperimen ada sebanyak 15 siswa dari 41 siswa atau 36,58% dari jumlah siswa. Hasil tersebut lagi-lagi menunjukkan bahwa pembelajaran dengan CTL lebih baik dibanding konvensional.
Tabel 2. Rekapitulasi Ketuntasan Hasil Kemampuan Metakognisi Siswa Kelompok Jenis Tes No Aspek Kontrol Eksperimen 1 Proporsi skor uji awal 6,31 8,15 Kemampuan 2 Proporsi skor uji akhir 10,36 14,66 Koneksi 3 Jumlah siswa yang tuntas 6 15 Matematis 4 % Ketuntasan 14,28 36,58 Secara deskriptif kadar aktivitas siswa selama pembelajaran CTL dapat dilihat pada tabel 3. Dari Tabel 3. semua kegiatan yang diamati selama proses pembelajaran masih berada pada batas toleransi persentase waktu indikator atau PWI. Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa persentase untuk aspek (1) Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru 14,85%; (2) Membaca/memahami masalah kontekstual dalam LAS 11.2%; (3) menyelesaikan masalah dan menemukan penyelesaian 15.85%; (4)
menuliskan penyelesaian masalah, merangkum dan menyimpulkan prosedur penyelesaian masalah 10.15%; (5) mengajukan pertannyaan 10.4%; (6) berdiskusi dengan teman dan guru 10.45%; (7) memperagakan hasil atau presentasi 10.25%; (8) mencatat hal-hal yang relevan dengan proses belajar mengajar 11.2 %; dan (9) perilaku siswa yang tidak relevan dengan kegiatan belajar mengajar 4.1%.
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
195 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
Tabel 3. Kadar Aktivitas Aktif Siswa Selama Pembelajaran dengan Pembelajaran CTL No
1 2 3 4
5 6 7 8 9
Aspek Yang Diamati
Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru Membaca/memahami masalah kontekstual dalam LAS Menyelesaikan masalah dan menemukan penyelesaian Menuliskan penyelesaian masalah, merangkum dan menyimpulkan prosedur penyelesaian masalah Mengajukan pertanyaan. Berdiskusi dengan teman dan guru Memperagakan hasil atau presentasi Mencatat hal-hal yang relevan dengan proses belajar mengajar Perilaku siswa yang tidak relevan dengan kegiatan belajar mengajar.
Persentase Aktivitas Siswa dalam KBM 1 2 3 4 10.8
10.4
20.4
Rata-rata
Batas Toleransi (%)
17.8
14.85
10% ≤ PWI ≤ 20%
11.2
10.8
12.8
10
11.2
10 % ≤ PWI ≤ 20%
13.8
17.2
15.8
16.6
15.85
5 % ≤ PWI ≤ 15%
10.6 11 14
11.2 9.2 10.2
10.2 10.4 8.2
8.6 11 9.4
10.15 10.4 10.45
0% ≤ PWI ≤ 10% 0 % ≤ PWI ≤ 10% 0 % ≤ PWI ≤ 10%
10.7
10.21
10.42
9.69
10.25
10% ≤ PWI≤20%
10.6
18.6
4.8
10.8
11.2
5 % ≤ PWI ≤ 15%
4.6
3.4
5
3.4
4.1
0 % ≤ PWI ≤ 10%
Sedangkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran secara deskriptif didapatkan bahwa bahwa nilai rata-rata untuk masingmasing kategori pengamatan dengan nilai maksimum adalah lima, diperoleh nilai kategori yang meliputi kegiatan fase-1. membuka pelajaran (3.75); fase-2 kembangkan pemikiran siswa/konstruktivisme (3.91); fase-3 laksanakan inquiri (4.1); fase-4 kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya (3.94); fase-5 ciptakan masyarakat belajar (4.21); fase-6 hadirkan model sebagai contoh pembelajaran (4.21); fase-7 refleksi (4.38); fase-8 penilaian autentik (4.26) dan fase-9 menutup pelajaran (4.32). Dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan yaitu pengelolaan pembelajaran dikatakan efektif jika nilai rata-rata setiap pembelajaran CTL untuk empat kali pertemuan sebesar 4. Oleh karena nilai rata-rata kategori kemampuan guru mengelola pembelajaran CTL untuk setiap fase
pembelajaran lebih besar dari 4, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran memenuhi kriteria keefektifan yang ditetapkan yaitu berada pada kriteria baik. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran CTL dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan bentuk aljabar. Hasil pengisian angket yang diberikan kepada siswa sebelum proses pembelajaran yang dilakukan baik dengan CTL dan konvensional memberikan informasi tentang kecenderungan gaya belajar yang dimiliki siswa. Angket gaya belajar terdiri atas 70 pernyataan yang dibuat sesuai dengan indikator kecenderungan gaya belajar visual, auditorial dan kinestetik. Hasil perhitungan kecenderungan gaya belajar siswa selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4 dan 5. Berdasarkan tabel 4 ditunjukkan bahwa rata-rata kemampuan awal komunikasi
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
196 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
matematis dengan gaya belajar visual untuk kelas CTL dan konvensional masing-masing adalah 8.83 dan 8.207, gaya belajar auditorial untuk kelas CTL dan konvensional
masing-masing adalah 9 dan 5.286 sedangkan gaya belajar kinestetik untuk kelas CTL dan konvensional masing-masing adalah 7.429 dan 5.5.
Gaya Belaj ar
Tabel 4. Rangkuman Hasil Perhitungan Rata-Rata Tes Awal dan Tes Akhir Kemampuan Komunikasi Matematis Pada Kelas Eksperimen dan Kontrol Pembelajaran CTL Konvensional Pretest Postest Pretest Postest Visual 8.833 15.5 8.207 9.069 Auditorial 9 14.25 5.286 8.571 Kinestetik 7.429 16.71 5.5 8.833 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rata-rata kemampuan untuk gaya belajar visual tidak jauh berbeda, sedangkan untuk gaya belajar auditorial dan kinestetik terlihat berbeda. Rata-rata kemampuan akhir komunikasi matematis dengan gaya belajar visual untuk kelas CTL dan konvensional masing-masing adalah 15.5 dan 9.069, gaya belajar
auditorial untuk kelas CTL dan kovensional masing-masing adalah 14.25 dan 8.571 sedangkan gaya belajar kinestetik untuk kelas CTL dan konvensional masing-masing adalah 16.71 dan 8.833. Berdasarkan data ini terlihat bahwa rata-rata kemampuan akhir komunikasi matematis siswa untuk semua gaya belajar pada kelas CTL lebih tinggi daripada kelas konvensional.
Gaya Belaj ar
Tabel 5. Rangkuman Hasil Perhitungan Rata-Rata Tes Awal dan Tes Akhir Kemampuan Metakognisi Pada Kelas Eksperimen dan Kontrol Kemampuan Pembelajaran metakognisi CTL Konvensional Pretest Postest Pretest Postest Visual 8.3 14 7.318 11.72 Auditorial 8.5 15.25 3.714 6.286 Kinestetik 7.286 16 5.3 8.5 Berdasarkan Tabel 5 ditunjukkan bahwa rata-rata kemampuan awal metakognisi siswa dengan gaya belajar visual untuk kelas CTL dan konvensional masing-masing adalah 8.3 dan 7.318, gaya belajar auditorial untuk kelas CTL dan konvensional masing-masing adalah 8.5 dan 3.714 sedangkan gaya belajar
kinestetik untuk kelas CTL dan konvensional masing-masing adalah 7.286 dan 5.3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rata-rata kemampuan untuk gaya belajar visual tidak jauh berbeda, sedangkan untuk gaya belajar auditorial dan kinestetik terlihat berbeda. Rata-rata kemampuan akhir metakognisi siswa
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
197 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
dengan gaya belajar visual untuk kelas CTL dan konvensional masingmasing adalah 14 dan 11.72, gaya belajar auditorial untuk kelas CTL dan kovensional masing-masing adalah 15.25 dan 6.286 sedangkan gaya belajar kinestetik untuk kelas CTL dan konvensional masingmasing adalah 16 dan 8.5. Berdasarkan data ini terlihat bahwa rata-rata kemampuan akhir metakognisi siswa untuk semua gaya
belajar pada kelas CTL lebih tinggi daripada kelas konvensional. Untuk menguji signifikansi kebenaran kesimpulan di atas perlu dilakukan perhitungan dan pengujian statistic. Pengujian statistik terhadap hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis kovarians. Adapun hasil uji ANAKOVA untuk melihat perbedaan kemampuan komunikasi matematis disajikan pada tabel 6 dan 7.
. Tabel 6. Analisis Kovarians untuk Rancangan Lengkap Kemampuan Komunikasi Matematis Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Postes Type III Sum of Mean Source Squares df Square Corrected Model 1351.681a 2 675.841 Intercept 822.887 1 822.887 Pretes 774.199 1 774.199 Pembelajaran 376.886 1 376.886 Error 954.728 80 11.934 Total 16152.000 83 Corrected Total 2306.410 82 a. R Squared = .586 (Adjusted R Squared = .576)
Berdasarkan Tabel 6 di atas pada kolom sig-pembelajaran nilai sig (0.000) <0.05 sehingga Ho ditolak, .
Partial Eta Sig. Squared .000 .586 .000 .463 .000 .448 .000 .283
F 56.631 68.953 64.873 31.581
jadi terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara pembelajaran CTL dan Konvensional
Tabel 7 Parameter Estimates Kemampuan Komunikasi Matematis Parameter Estimates Dependent Variable:Postes_kom 95% Confidence Interval Std. Error
Intercept
4.787
.868
5.512
.000
3.059
6.515
.275
[Pembelajaran=1.00]
4.315
.768
5.620
.000
2.787
5.842
.283
[Pembelajaran=2.00]
a
.
.
.
.
.
.
.753
.094
8.054
.000
.567
.939
.448
0
Sig.
Lower Bound
Partial Eta Squared
B
Pretes_kom
t
Upper Bound
Parameter
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
198 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
Dari Tabel 7, kolom B terlihat nilai 4.315. angka ini menunjukkan bahwa siswa yang diajar di kelas kontrol memiliki nilai lebih tinggi 4.315 dibanding siswa di kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi siswa yang diajar dengan
pembelajaran dengan CTL lebih tinggi 4.315 dibanding siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional. Sedangkan hasil uji ANAKOVA untuk melihat perbedaan Kemampuan metakognisi siswa disajikan dalam Tabel 8 dan 9.
Tabel 8. Analisis Kovarians untuk Rancangan Lengkap Kemampuan Metakognisi Siswa Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Postes Source
Type III Sum of Squares
Corrected Model
df
Mean Square
Pretes Pembelajaran
2
645.110
35.580
.000
.471
1213.707
1
1213.707
66.940
.000
.456
906.360
1
906.360
49.989
.000
.385
9.608
.003
.107
174.211
1
174.211
Error
1450.503
80
18.131
Total
15672.000
83
2740.723
82
Corrected Total
Partial Eta Squared
Sig.
a
1290.220
Intercept
F
a. R Squared = .471 (Adjusted R Squared = .458)
Pada tabel tests of betweennilai Sig (0.03) < α (0,05) maka Ho subjects effects, digunakan untuk ditolak, yang artinya terdapat melihat pengaruh pembelajaran perbedaan kemampuan metakognisi terhadap peningkatan hasil belajar. siswa baik dengan pembelajaran Karena pada baris pembelajaran dengan CTL maupun konvensional . Tabel 9. Parameter Estimates Kemampuan Metakognisi Siswa Parameter Estimates Dependent Variable:Postes_Metakognisi 95% Confidence Interval
Intercept
5.739
.926
6.195
.000
3.896
7.583
.324
[Pembelajaran=1.00]
2.957
.954
3.100
.003
1.059
4.856
.107
a
.
.
.
.
.
.
.732
.104
7.070
.000
.526
.938
.385
Pretes_Metakognisi
0
t
Sig.
Partial Eta Squared
B
[Pembelajaran=2.00]
Std. Error
Lower Bound
Parameter
Upper Bound
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
Dari Tabel 9, kolom B terlihat nilai 2,957. Angka ini menunjukkan bahwa siswa yang diajar di kelas kontrol memiliki nilai lebih rendah 2,957 dibanding siswa di kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
metakognisi siswa yang diajar dengan pembelajaran dengan CTL lebih tinggi 2,957 dibanding siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional. Sedangkan untuk melihat perbedaan kemampuan komunikasi
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
199 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
matematis dan metakognisi siswa ditinjau dari gaya belajar (VAK) digunakan ANAVA 2 jalur. Adapun hasil uji ANAVA 2 jalur untuk kemampuan komunikasi dan metakognisi disajikan pada Tabel 10 dan 11. Berdasarkan Tabel 10 diperoleh nilai signifikan untuk .
pembelajaran yaitu 0.000 yang lebih kecil dari α (0,05). Ini berarti tolak Ho, artinya terdapat perbedaan ratarata kemampuan komunikasi matematis siswa baik yang pembelajaran CTL dan konvensional.
Tabel 10 Rangkuman Uji Anava Dua Jalur Kemampuan Komunikasi Matematis Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Postes Komunikasi Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares a
Mean Square
df
930.562
5 186.112
6907.263
1
F
Sig.
Partial Eta Squared
8.632
.000
.359
6907.26 320.38 3 0
.000
.806
Pembelajaran
518.857
1 518.857 24.066
.000
.238
Gaya_Belajar
10.787
2
5.394
.250
.779
.006
7.860
2
3.930
.182
.834
.005
Error
1660.088
77
21.560
Total
15003.000
83
2590.651
82
Pembelajaran * Gaya_Belajar
Corrected Total
a. R Squared = .359 (Adjusted R Squared = .318)
Sedangkan nilai signifikan untuk gaya belajar adalah 0.779 yang lebih besar dari α (0,05). Ini berarti terima Ho yang artinya menunjukkan
tidak ada perbedaan rata kemampuan komunikasi matematis siswa dari ketiga jenis gaya belajar.
Tabel 11. Rangkuman Uji Anava Dua Jalur Kemampuan Metakognisi Siswa Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Postes Metakognisi
Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Partial Eta Squared
Corrected Model
692.334
a
5
138.467
5.800
.000
.274
Intercept
6708.490
1
6708.490
280.993
.000
.785
Pembelajaran
465.432
1
465.432
19.495
.000
.202
Gaya_Belajar
4.731
2
2.366
.099
.906
.003
11.341
2
5.671
.238
.789
.006
Pembelajaran * Gaya_Belajar
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
200 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
Error
1838.317
77
Total
14031.000
83
2530.651
82
Corrected Total
23.874
a. R Squared = .274 (Adjusted R Squared = .226)
Berdasarkan Tabel 11 di atas menunjukkan tidak ada perbedaan diperoleh nilai signifikan untuk rata-rata kemampuan metakognisi pembelajaran adalah 0.000 yang siswa pada ketiga jenis gaya belajar (VAK). lebih kecil dari = 0,05. Ini berarti Untuk menguji interaksi tolak Ho yang menunjukkan ada antara masing-masing pembelajaran perbedaan rata-rata kemampuan dengan gaya belajar (VAK) metakognisi siswa baik pada digunakan ANAVA 1 jalur melalui pembelajaran CTL dan uji Post Hoc jenis LSD. Adapun hasil konvensional. Sedangkan nilai uji interaksi dengan uji statistic signifikan untuk gaya belajar adalah tersebut disajikan pada Tabel 12, 13, 0.906 yang lebih besar dari = 0,05, 14 dan 15 Ini artinya terima Ho yang . Tabel 12. Rangkuman Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis Untuk Gaya Belajar (VAK) Dengan CTL
Berdasarkan Tabel 12 dengan uji LSD diperlihatkan nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata visual dan auditorial adalah 0.626 lebih besar dari 0.05. Ini menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata kedua gaya belajar tersebut. Nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata visual dan kinestetik adalah 0.548 lebih besar dari 0.05. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata kedua
gaya belajar tersebut. Dan nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata auditorial dan kinestetik adalah 0.415 lebih besar dari 0.05. Ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata kedua gaya belajar tersebut. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi antara gaya belajar terhadap CTL, artinya gaya belajar visual, auditorial dan
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
201 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
kinestetik tidak ada yang lebih efektif menggunakan CTL. Berdasarkan uji Post Hoc dengan LSD yang ditunjukkan oleh Tabel 13 didapatkan bahwa nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata visual dan auditorial adalah 0.795 lebih besar dari 0.05. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata antara
gaya belajar visual dan auditorial dengan pembelajaran konvensional. Nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata visual dan kinestetik adalah 0.908 lebih besar dari 0.05. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata antara kedua gaya belajar tersebut.
Tabel 13. Rangkuman Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis Untuk Gaya Belajar (VAK) Dengan Pembelajaran Konvensional
Sedangkan nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata antara auditorial dan kinestetik adalah 0.917 lebih besar dari 0.05. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata antara kedua gaya belajar pada kelas konvensional. Berdasar data yang ditunjukkan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata antara ketiga macam gaya belajar tersebut pada kelas konvensional yang artinya masing-masing gaya belajar tidak ada yang lebih baik atau lebih sesuai dengan menggunakan pembelajaran konvensional , dengan kata lain tidak ada interaksi. Berdasarkan hasil Uji Post Hoc dengan LSD pada Tabel 14 menunjukkan bahwa nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata visual dan auditorial adalah 0.735 lebih besar
dari 0.05. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata kemampuan metakognisi antara gaya belajar visual dan auditorial di kelas CTL. Nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata visual dan kinestetik adalah 0.483. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata antara kedua gaya belajar tersebut pada kelas CTL. Sedangkan nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata antara auditorial dan kinestetik adalah 0.854. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata antara kedua gaya belajar tersebut. Sehingga berdasarkan perbandingan nilai signifikansi perbedaan rata-rata di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada ada interaksi. Berdasarkan hasil Uji Post Hoc dengan LSD yang
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
202 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
ditunjukkan pada Tabel 15 didapatkan nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata visual dan auditorial 0.02 lebih kecil dari 0.05. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata kemampuan metakognisi antara kedua macam gaya belajar visual dan auditorial. Nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata visual dan kinestetik adalah
0.185 lebih besar dari 0.05. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata kemampuan metakognisi pada kelas konvensional untuk kedua macam gaya belajar tersebut. Sedangkan nilai signifikan untuk perbedaan rata-rata antara auditorial dan kinestetik adalah 0.459 lebih besar dari 0.05.
Tabel 14. Rangkuman Perbedaan Kemampuan Metakognisi Untuk Gaya Belajar (VAK) Dengan CTL
Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata antara kedua macam gaya belajar tersebut. Berdasarkan uji LSD dapat ditarik
kesimpulan bahwa gaya belajar visual lebih sesuai untuk pembelajaran CTL dalam mengukur kemampuan metakognisi siswa.
Tabel 15. Rangkuman Perbedaan Rata-Rata Kemampuan Komunikasi Matematis Untuk Gaya Belajar (VAK) Dengan Pembelajaran Konvensional
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
202 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
Secara teoritis pembelajaran CTL memiliki kelebihan dibandingkan pembelajaran konvensional. Pembelajaran CTL memiliki tujuh karakteristik yaitu: (1) kontrukstivisme (contructivism) ,(2) bertanya (questioning), (3) inkuiri (inquiry), (4) masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan (modeling), (6) refleksi (reflection) dan (7) penilaian autentik (authentic assement). Sebagian besar dari karakteristik di atas tidak ditemukan pada pembelajaran konvensional, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran CTL lebih baik dari pada pembelajaran konvensional. Melalui pembelajaran CTL menghasilkan perubahan yang lebih baik, belajar lebih bermakna dan mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saragih (2007) yang menunjukkan bahwa dengan pendekatan matematika realistik sebagai salah salah pembelajaran kontekstual pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Darhim yaitu bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada yang diajarkan dengan pembelajaran biasa. Dalam pembelajaran CTL guru berperan sebagai fasilitator, yaitu membimbing siswa bagaimana siswa belajar dan memberikan arahan agar materi yang dipelajari dipahami dan dimaknai oleh siswa. Kendala yang dihadapi guru dalam
memfasilitasi dan mengakomodasi siswa dalam menyelesaikan masalah adalah keheterogenan kemampuan matematika siswa dan bervariasinya kecenderungan gaya belajar siswa (VAK) dalam kelas. Karena kemampuan siswa relatif bervariasi, maka tingkat kesulitan yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan LAS akan beragam pula. Kesulitan guru dalam membelajarkan siswa dengan kecerdasan yang heterogen dapat diminimalkan dengan cara siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri dari lima sampai enam orang. Bervariasinya gaya belajar yang dimiliki siswa mengakibatkan guru harus lebih kreatif dalam memberikan pengarahan kepada siswa agar lebih mudah menyerap, memproses dan menghasilkan kesimpulan terhadap masalahmasalah yang diberikan. SIMPULAN Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran CTL dan konvensional. Sedangkan kemampuan komunikasi matematis siswa yang ditinjau dari gaya belajar (VAK) tidak terdapat perbedaan. Terdapat perbedaan kemampuan metakognisi siswa yang pembelajarannya menerapkan CTL dan konvensional. Sedangkan kemampuan metakognisi siswa yang ditinjau dari gaya belajar (VAK) tidak terdapat perbedaan. Tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran CTL dan kecenderungan gaya belajar (VAK) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
203 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
konvensional dan kecenderungan gaya belajar (VAK) siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran CTL dan kecenderungan gaya belajar (VAK) terhadap kemampuan metakognisi siswa. Terdapat interaksi antara faktor pembelajaran konvensional dengan gaya belajar siswa (VAK), gaya belajar visual lebih efektif. Kadar aktivitas aktif siswa selama pembelajaran, untuk berada pada batas toleransi Persentasi Waktu Ideal (PWI). Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan menggunakan CTL berada pada kriteria baik. memenuhi kriteria keefektifan yang ditetapkan yaitu pada kriteria baik. DAFTAR PUSTAKA Bansu I. Ansari. 2009. Komunikasi Matematik (Konsep dan Aplikasi). Banda Aceh. Yayasan Pena. Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. DePorter, B. & Hernacki, M., 1999. Quantum Learning (Membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan) terjemahan. Dell Publishing :New York. Kunandar.2009. Guru Profesional:Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru. Jakarta:Rajawali Pers.
Mulbar, Usman. 2010. Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika. http://www.vilila.com/2010/09/ metakognisi-siswa-dalammenyelesaikan.html. diakses 8 februari 2012 Muslich, Masnur. 2007. KTSP, Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual (Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah). Jakarta. Bumi Aksara. NCTM. 1991. Professional Standards for Teaching Mathematics.Virginia. The National Council of Theachers of Mathematics, Inc. Nurhadi dan Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK cetakan ke-1. Malang. UMPRESS. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Edisi 1, cetakan ke-6. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Saragih, S. (2007), Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. Bandung:UPI.
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara
204 Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 187-204
Soedjadi, R. 1991. Kiat Belajar Matematika di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICAUPI
TIMSS (Trends in Mathematics Science Study). 2009. Tersedia online. http://nces.ed.gov/timss/tables0 3.asp (diakses 10 Oktober 2009).
Nuraini, Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Metakognisi Siswa Ditinjau dari Gaya Belajar yang Menerapkan Model Pembelajaran CTL dan Konvensional di SMPN 2 Dewantara Kabupaten Aceh Utara