Andree
Dunia Palsu dan Rekonstruksi Budaya Tinjauan Filosofis Akar Masalah Budaya Indonesia di Era Global Dunia Palsu dan Rekonstruksi Budaya Tinjauan Filosofis Akar Masalah Budaya Indonesia di Era Global Andree, S.IP.,M.A.
Globalization is not merely a broad connection among international actors on our Earth. The sophisticated technology of transportation and communication in this era tend to set the world to an ambiguous condition. The global connection lead people to „flip‟ the world in some models an or dimensions, i.e.: flipping of language, flipping of space, flipping of social and flipping of spiritual. Each and every kind of those flipping bring some consequences, simulacra and appropriation for instance, which decrease the dignity of social and cultural life. This paper traces the “world flipping” phenomena and reveals some jeopardy effects come with it, especially in the realm of socio-cultural. Pendahuluan Dunia palsu, dunia yang dilipat Jika ada penyair yang mengumandangkan puisi tentang dunia yang penuh kepalsuan, tak pelak lagi, ia pasti sedang membicarakan tentang dunia kita saat ini. Selain membawa berbagai kemajuan, dunia yang telah menjadi global village akibat teknologi transportasi dan komunikasi yang luar biasa, juga membawa kerancuan. Mari berangan-angan dengan pengandaian ala Yasraf Piliang (2004) tentang sebuah “dunia yang dilipat”. Mari membayangkan bahwa dunia ini adalah selembar kertas. Lalu datanglah seorang ahli origami, ia lipat kertas itu menjadi dua, empat, delapan, enam belas, tiga puluh dua, dan selanjutnya. Hingga di satu titik, kertas itu menemui keterbatasan struktur fisiknya, tidak bisa dilipat lagi. Tentu saja, lipatan selanjutnya masih saja bisa diupayakan, namun ini adalah lipatan yang menyakitkan. Lipatan yang melampaui batas-batas struktur, karakteristik, dan sifat kertas yang harusnya tidak dilewati. Tindakan memaksa, memadatkan, memampatkan, menekan, dan mengkerdilkan (miniaturisasi) dapat merusak dan mengoyak kertas. Itulah yang terjadi pada dunia kita saat ini; shattered world. Dunia yang terkoyak karena berbagai macam pelipatan dunia yang terlalu dipaksakan. Bagaimana dunia dilipat? Piliang (2004: 48) menyebutkan bahwa kata „melipat‟ terkait dengan sebuah proses perubahan keadaan (state), khususnya perubahan pada ukuran/luas (teritorial), jarak (ruang-waktu), kecepatan (perseptual), dimensi (bidang-ruang), dan kompleksitas (sosial, budaya). Maka dalam kaitannya, melipat dunia berarti mengandung fenomena pemampatan (ruang-waktu), peringkasan (jarak), pemadatan (kata, bahasa, informasi), reduksionisme (eksistensi) dan pensimulasian (realitas, sosial). Jika melipat selembar kertas berarti mengubah ukurannya menjadi lebih kecil sekaligus menambah ukuran ketebalannya, maka melipat aspek-aspek dunia juga sama. „Melipat bahasa‟ berarti mengurangi jumlah kata sehingga menjadi lebih padat dan ringkas, tetapi sekaligus meningkatkan entropi atau ketidakpastian maknanya. Fenomena „bahasa SMS‟ atau adalah sebuah contoh mudah. „Melipat ruang‟ artinya memperpendek waktu yang digunakan untuk menempuh jarak ruang, tapi sekaligus mempersempit ruang relasi fisik dan sosial di dalamnya. Saat ini semua orang bisa berkomunikasi kapan dan di mana saja (real time), namun tidak dengan komunikasi yang leluasa secara fisik dan sosial layaknya tatap muka. „Melipat waktu‟ artinya memampatkan waktu, yakni memperkecil waktu yang diperlukan untuk melakukan pergerakan/perpindahan (movement), namun pada saat yang sama mempersempit waktu refleksi dan perenungan di dalamnya. „Melipat sosial‟ bermakna meredusir sistem, dimensi dan relasi sosial yang kompleks menjadi relasi dengan dimensi yang lebih ringkas (misalnya dimensi citra/imej) namun sekaligus “membunuh” relasi sosial yang nyata. Contoh mudahnya, facebook, twitter, instagram atau berbagai jejaring sosial lainnya. „Melipat spiritual‟ adalah meredusir dimensi-dimensi spiritual yang kompleks menjadi dimensi tanda dan gaya (sekadar lifestyle), dengan melenyapkan dimensi-dimensi kedalaman dan transedentalnya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Abdurrab Pekanbaru, Kandidat doktor Sosiologi & Antropologi di Kulliyah of Islamic Revealed Knowledge and Humand Sciences, International Islamic University Malaysia
15 International Society
Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru
Andree
Dunia Palsu dan Rekonstruksi Budaya Tinjauan Filosofis Akar Masalah Budaya Indonesia di Era Global Lihatlah fenomena labelisasi „spiritual‟ atau ‟Islami‟ dan embel-embel keagamaan lainnya pada bermacam konten yang terkadang tidak sejalan –bahkan bertentangan- dengan nilai-nilai agama yang esensial.
Model Pelipatan Dunia Ada beberapa model pelipatan dunia. Dalam “Dunia Yang Dilipat” (2004; 50) diidentifikasi lima model utama, yakni: 1. Pelipatan ruang-waktu (time-space compression). Melipat waktu yakni memperpendek jarak waktu (chronos) dengan meningkatkan kecepatan (velocity) atau memperpendek durasi. Sedang melipat ruang artinya memperkecil jarak ruang (spatial) dengan cara memperpendek waktu tempuh dalam ruang itu. Tapi melipat ruang dan melipat waktu adalah dua sisi mata uang, melipat satu berarti yang sekaligus melipat yang lain. Lewat penemuan mutakhir, perkembangan teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi telah membuat bola dunia menjadi semakin kecil. 2. Pemadatan waktu-tindakan (time-action condensation), yakni meringkas sebuah proses dengan melipatgandakan tindakan dalam ruang dan waktu yang sama (multiply of action). Jika dahulu orang melakukan satu hal dalam satu satuan ruang-waktu; memasak, makan, menyetir, dan lainnya, maka kini manusia bisa melakukan banyak hal dalam waktu yang sama; menyetir sambil makan sambil menelepon sambil mendengarkan musik sekaligus berbicara. Terjadilah efisiensi waktu; banyak tindakan berkumpul dalam waktu yang amat sedikit. Zaman ini orang „terpaksa‟ meminimalkan kualitas tindakan dengan memadatkan waktu tindakan. Efeknya, tindakan dan perbuatan manusia kehilangan maknanya yang mendalam, minim penghayatan dan sublimasi. Orang bsenantiasa berada dalam kepanikan, ketergesaan dan histeria, seolah-olah selalu diburu waktu (takut kehilangan waktu). 3. Miniaturisasi ruang-waktu (time-space miniaturisation). Dalam pengertian ini, ruang dan waktu dikerdilkan, diredusir ke dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan wujud. Adanya malih rupa ke berbagai wujud yang lebih ringlkas daripada aslinya. Inilah ruang representasi; ruang maya yang memiliki hukum ruang-waktunya sendiri. Maka gambar, fotografi, televisi, film, video dan internet telah menjadi dunia sendiri. Dunia simulasi yang terkadang mengambil alih peran dunia nyata. Maka banyak orang mengalami gangguan kehidupan nyata karena ambiguitas kesadarannya yang ter-split antara simulasi dan kenyataan. Lihatlah betapa tidak sehatnya hubungan sosial nyata anak-anak yang menghabiskan sebagian umurnya dalam interaksi simulasi di depan pesawat televisi dan berbagai gadget lainnya. 4. Pemadatan ruang-waktu simbolik (symbolic time-space compression). Simbol-simbol dalam interaksi yang sebenarnya merupakan penanda dunia nyata, pun tidak luput dari peringkasan. Ada berbagai mekanisme dalam bahasa, misalnya, untuk menjadikan suatu simbol dapat dipotong dan dikompresi sedemikian rupa, namun pesan dan makna masih bisa sampai. Tapi pada sau titik, pelipatan simbolik ini akan melampaui kemampuan bahasa dalam mengungkapkan makna, sehingga sampai pada suatu titik, di mana pesan dan makna tidak lagi penting. Yang ada hanya permainan kata-kata semata. Lihatlah saat ini betapa banyak orang yang tidak paham akan perkataannya sendiri, berapa banyak pemerkosaan kata-kata dan permainan kalimat (silat-lidah) yang tidak lagi mengandung makna. Akhirnya bahasa mengalami kematian, ia tidak lagi efektif sebagai penyampai pesan. 5. Peringkasan ruang-waktu psikis (psychical time-space condensation). Empat model yang telah disebutkan sebelumnya secara langsung ataupun tidak, menimbulkan pengaruh ke dalam ranah psikis. Time-space compression mengubah persepsi tentang jauh dan dekat. Suatu yang jauh dapat terasa amat dekat, sementara sesuatu yang dekat bisa menjadi amat jauh secara psikis. Berapa banyak orang yang punya teman „curhat‟ yang sangat intim (kendati belum pernah bertemu dan seringkali berinteraksi dengan identitas palsu) di belahan dunia lain lewat internet, sementara ia tidak kenal dengan tetangganya sendiri? Time-space miniaturisation membuat manusia mengalami kerancuan pikir tentang yang nyata dan fantasi, tentang yang asli dan palsu1, realitas dan simulasi. kondensasi simbol dan bahasa juga telah merubah persepsi soal makna. kini manusia berbahasa semata-mata untuk pelampiasan hasrat akan perbedaan, bukan lagi sebaga alat penyampai makna. Padahal bahasa adalah tiang utama penyangga budaya. 1
lebih jauh soal ini silahkan rujuk The Globalization of Nothing karya sosiolog George Ritzer
16 International Society
Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru
Andree
Dunia Palsu dan Rekonstruksi Budaya Tinjauan Filosofis Akar Masalah Budaya Indonesia di Era Global
Peran objek dalam masyarakat kapitalis dari objek sebagai nilai guna (use value) menjadi nilai tanda (sign value). Baudrillard mengistilahkan zaman ini sebagai zaman kelimpahan. Maka merk dan produk tertentu mengalami estetisasi dan dianggap mewakili etika tertentu. Hal ini yang kemudian melahirkan konsep barang budaya, yang oleh UNESCO diterjemahkan sebagai: “….barang-barang konsumen yang dapat menyampaikan gagasan, simbol, dan pandangan hidup. Barang ini memberikan informasi atau hiburan, membantu pembentukan identitas kelompok, dan mempengaruhi praktek-praktek budaya. Sebagai hasil daya cipta perorangan atau kelompok –dengan demikian memiliki hak cipta- barang-barang budaya diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses industri dan ditribusi global. Buku, majalah, produk multimedia, perangkat lunak, rekaman, film, video, program audiovisual, barang-barang kerajinan dan rancang busana merupakan tawaran-tawaran budaya yang beraneka ragam bagi masyarakat luas.” (Cano, 2005; hal 17-18) Akhirnya, sistem referensi tradisional telah digantikan oleh sistem nilai modern yang lintas batas. Referensi budaya seseorang tidak lagi pada kultur tradisinya, tapi berkiblat pada kultur yang tercipta dari komoditi estetis yang ditampilkan di dalam televisi. (Abdullah, 2007; hal 55-59) Tren global ini kemudian menimbulkan apa yang disebut Baudrillard sebagai budaya konsumsi. Baudrillard mengatakan bahwa zaman ini telah menjadi era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya, namun karena gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan da mode lewat televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, ajang kompetisi bintang, gaya hidup selebriti, dan sebagainya. Yang ditawarkan saat ini bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya (Baudrillard, 2006). Lebih jauh, ia menambahkan: “Kita menjadi tak pernah terpuaskan. Kita lalu menjadi pemboros agung, mengonsumsi tanpa henti, rakus dan serakah. Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan ktidakpuasan. Kita menjadi teralienasi karena prilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu. Seakanakan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan makmur padahal miskin”. (Baudrillard, 2006; hal 33) „Kehausan‟ terhadap konsumsi berbasis gaya hidup tersebut, membuat orang berusaha memenuhi „kebutuhan‟-nya dengan berbagai cara. Karena yang diperlukan adalah simbol, bukan utulity itu sendiri, maka sebagian kalangan menengah dan menengah ke bawah pun melakukan konsumsi simbolis, yakni mengkonsumsi tidak langsung pada barangnya, namun pada barang lain yang disimbolkan pada barang dengan kelas tertentu (Gerke dalam Damsar, 2002). Inilah kemudian yang menimbulkan pembajakan dan pengimitasian. Saya lebih suka menyebut situasi semacam ini sebagai hantaman „era konsumsi global‟. Era konsumsi merupakan konsepsi yang peneliti turunkan dari terminologi masyarakat konsumsi (le sociẻtẻ de consommation) yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard, yang merujuk kepada suatu tatanan masyarakat yang hidup di era kelimpahruahan. Kelimpahan tersebut meliputi barang, jasa, bahkan budaya, yang mengkondisikan setiap manusia untuk terusmenerus mengkonsumsi sekalipun tidak membutuhkan (Ritzer, Pengantar dalam Baudrillard, 2004: xxxvii). Era konsumsi ini sepadan dengan apa yang disebut Baudrillard dengan tahap perkembangan masyarakat pada fase fraktal (viral). Dalam fase ini, tidak ada yang disebut titik referensi, nilai-nilai memancar ke segala arah, menulari dan mengontaminasi setiap sudut kehidupan dengan sangat cepat, kemudian menghilang dan akhirnya dilupakan (Piliang, 2004: 165). Apropriasi dan Simulakra Appropriation dalam bahasa Inggris berkaitan dengan kata approval (penerimaan) dan appropriateness (kepantasan). Tindakan apropriasi, oleh karena itu, secara semantik dapat diterjemahkan sebagai upaya memantaskan diri terhadap suatu konteks (kondisi, ruang, waktu, objek atau lainnya) agar mendapatkan penerimaan yang layak. Nilai-nilai global yang dianggap sebagai referensi yang megandung „kebenaran‟, membuat manusia melakukan upaya memantas-mantaskan diri terhadapnya. Namun upaya pemantasan terebut tentu berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Di titik keterbatasan diri dalam melakukan pemantasan itulah kita menemui konsep Baudrilard tentang simulakra. Simulakra kurang lebih diartikan sebagai konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial (Baudrillard, dalam Ritzer, 2008). Kamus Oxford menerjemahkan kata simulacrum (bentuk tunggal dari simulacra) sebagai “a thing resembling or made to resemble something” (1995;1102). Secara lebih spesifik, Baudrillard memberikan penjelasan sebagai berikut:
17 International Society
Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru
Andree
Dunia Palsu dan Rekonstruksi Budaya Tinjauan Filosofis Akar Masalah Budaya Indonesia di Era Global “So it is with simulation, insofar as it is opposed to representation. Representation starts from the principle that the sign and the real are equivalent (even if this equivalence is Utopian, it is a fundamental ax~om). Conversely, simulation starts from the Utopia of this principle of equivalence, from the radical negation of the sign as value, from the sign as reversion and death sentence of every reference. Whereas representation tries to absorb simulation by interpreting it as false representation, simulation envelops the whole edifice of representation as itself a simulacrum.” (Baudrillard, 1988: 169)
Jadi, manipulasi kenyataan yang menenggelamkan representasi ke dalam simulasi yang mereduksi ekuivalensi antara citra dan realitas (kendati sifat ekuivalen ini pun dianggap semu), itulah yang disebut simulakra. Inilah zaman di mana segala sesuatu diimitasikan, ditiru dan dipalsukan. Bahkan Cina sebagai sebuah negara raksasa telah “mencari makan” lewat geger budaya global ini dengan memproduksi dan memperdagangkan benda-benda imitasi. Baudrillard memandang zaman globalisasi ini telah menjadi era simulasi, di mana hiperrealitas menjadi bagian dari fase citraan. Fase citraan tersebut, bisa diurutkan sebagai berikut: (1) citraan sebagai refleksi dasar realitas, (2) citraan yang menyelewengkan dasar realitas (3) citraan menutupi ketiadaan dasar realitas, dan (4) sampai akhirnya ia melahirkan dissinkronisasi terhadap realitas apapun, hingga yang ada adalah simulakrum itu sendiri, an sich.2 Merumuskan kembali budaya Indonesia Dalam kompilasi tulisan Lifestyle Ecstasy (2004), Sapardi Djoko Damono bertanya dengan serentetan pertanyaan yang agak sulit dijawab: apakah kebudayaan Indonesia itu? Sudah adakah kebudayaan Indonesia itu? Apakah ia merupakan kumpulan puncak-puncak kebudayaan yang ada di Indonesia atau sesuatu yang sama sekali baru yang diciptakan tanpa mempedulikan masa lampau dan yang sudah ada sebelumnya? Apakah ia khas atau sama saja dengan kebudayaan bangsa lain? Dalam tulisan yang sama ia kemudian mulai membicarakan soal ancaman “kebudayaan asing”, namun apalah arti kebudayaan asing, jika kita telah mengalami kerancuan tentang mana yang asing dan mana yang tidak? Di tengah kegegeran budaya ini, kita mesti melakukan dua hal. Pertama, meluruskan kembali pemahaman soal budaya dan melacak pada level mana perbaikan akan diadakan. Kedua, mengenali racun budaya utama, sembari menanamkan sistem imun terhadapnya. Ketiga, mengembangkan sikap mental yang positif terkait dengan interaksi budaya. Koentjaraningrat (1993; 5) melihat budaya setidaknya terdiri dari tiga wujud: 1. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lainnya 2. sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat 3. sebagai benda-benda hasil karya manusia. Pandangan sebagian orang yang mereduksi budaya hanya sampai tataran ketiga saja (yang sebenarnya hanya korteks, kulit luar), bahkan menganggap kebudayaan hanya setakat kesenian dan koleksi benda-benda, adalah pandangan sesat yang membuat kita tak kujung bisa merefleksikan keagungan nilai budaya. Begitu pula jika kebudayaan hanya disambungkan sanad-nya pada komleksitas pola kelakuan (adat), ia juga tak akan menemukan kesejatiannya. Maka kebudayaan haruslah berakar dari jiwa. Kebudayaan bersumber dari ide dan gagasan. kini, saat Indonesia mengalami kegamangan jiwa, kerancuan identitas, maka kegamangan dan kerancuan budaya jelas merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan. Budaya kita, pada ketiga levelnya, telah menjadi sekadar budaya massa. Adapun aneka sendratari, kerajinan, dan rupa-rupa kesenian daerah, hanyalah basa-basi dan gerak-laku yang kehilangan makna. Damono 2
“These would be the successive phases of the image:(1) It is the reflection of a basic reality.(2) It masks and perverts a basic reality.(3) It masks the absence of a basic reality.(4) It bears no relation to any reality whatever: it is its own pure simulacrum.” In the first case, the image is a good appearance: the representation is of the order of sacrament. In the second, it is an evil appearance: of the order of malefice. In the third, it plays at being an appearance: it is of the order of sorcery. In the fourth, it is no longer in the order of appearance at all, but of simulation.” (Baudrillard, 1988: 170)
18 International Society
Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru
Andree
Dunia Palsu dan Rekonstruksi Budaya Tinjauan Filosofis Akar Masalah Budaya Indonesia di Era Global
dalam Ibrahim (ed. 2004; 5) memberikan pengertian budaya massa kurang lebih sebagai „budaya rendah‟. Mass culture beranjak dari kata Jerman, masse dan kultur, yang merupakan lawan dari high culture. Mass atau masse menunjuk kepada masyarakat Eropa mayoritas (pada fase tersebut), yang berasal dari golongan menengah bawah, buruh dan kaum miskin yang tidak terpelajar dan non-aristokratik. Massa juga mengacu pada pengertian kelompok manusia yang tidak bisa dipilah, mirip kerumunan. Tidak ada individu dengan segala atribut dan keunikannya. Kebudayaan massa diciptakan dan hanya compatible dengan masyarakat serupa itu. Tapi saat ini, dengan segala model lipatan dunia yang kita telah bicarakan sebelumnya, budaya massa ini menggurita, tidak hanya pada kalangan tertentu, tapi pada „kita‟ semua. Tidak ada solusi yang lebih tepat kecuali mengembangkan sikap mental yang tepat dalam menghadapi ini semua. Mungkin solusi yang ditawarkan, tidak dapat disebut „solusi langsung‟ karena memang tidak menyinggung hal-hal teknis. Tapi saya ragu, adakah langkah-langkah linier yang bisa memecahkan masalah yang bermunculan secara lateral bahkan viral/fraktal. Rasa-rasanya naif jika kita merumuskannya dalam program kerja atau time-schedule yang rigid, karena ini adalah masalah kejiwaan yang amat abstrak. Pada saat yang sama, kita juga mesti arif bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berkembang. Unitunit budaya yang berbentur, bergesek, atau berbaur dengan budaya lain akan menghasilkan sebuah paduan baru yang memperkaya khasanah. Tidak mesti anti dengan budaya luar, lantas bersikap parokial. Tetapi pola adapt dan adopt selalu mesti dibarengi dengan prasyara yang ketat berbasis kebenaran dan moralitas bangsa. Rekayasa Budaya Elit Di bagian akhir inilah saya ingin menyajikan apa yang disebut sebagai „solusi‟ tadi. Rasanya tawarantawaran Kuntowijoyo menjadi sangat rasional untuk diperhitungkan. Kuntowijoyo terlebih dahulu mendedahkan perbedaan karakter budaya massa dan antonimnya, budaya elit. Budaya massa, menurut Kunto, adalah anak kandung massifikasi. Budaya massa adalah hasil perselingkuhan dari kebudayaan dengan industrialisasi dan komersialisasi, dalam hubungannya yang negatif (sebab ada kalanya industrialisasi dan komersialisasi berefek baik bagi perkembangan budaya). Budaya massa berciri pada tiga hal (Kuntowijoyo dalam Ibrahim, 2004: 19) : 1. Objektivikasi; di mana pemilik budaya hanya akan menjadi objek; penderita yang tidak mempunyai peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya. Adakah para pemudi tanggung yang bercelana hipster turut mengkonstruksi mode? Tidak pernah. Mereka menjiplak habis-habisan idolanya dari video dan televisi tanpa pernah punya ruang untuk bertukar ide dan informasi, bahkan tanpa tahu alasan kenapa harus berdandan demikian rupa? Pemilik budaya massa hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi dan tidak boleh berkreasi dalam bentuk apa pun. 2. Alienasi; pemilik budaya massa akan terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Selanjutnya ia juga akan kehilangan dirinya sendiri dan larut dalam kenyataan yang ditawarkan produk budaya. 3. Pembodohan; yang terjadi karena waktu dan effort yang terbuang tanpa ada pengalaman baru yang dipetik dari praktik budaya sebagai bekal kehidupan selanjutnya. Sementara budaya elit merupakan budaya tinggi. Ia juga berciri pada tiga hal yang berlawanan dengan ciri budaya massa: 1. Pemilik tetap menjadi pelaku (subjek budaya). Pemilik budaya tetap menjadi pribadi yang utuh, ttdak larut dan tenggelam dalam budaya. Ia tetap menjadi dirinya sendiri dan amat merdeka untuk menafsirkan apa yang dialaminya; 2. Oleh karenanya, pemilik budaya elite tidak mengalami alienasi. Ini disebabkan budaya elite menampilkan realitas tanpa polesan. 3. Konsekuensi logisnya, pelaku mengalami pencerdasan. Ia akan melalui berbagai pengalaman budaya dan belajar secara mandiri untuk menafsirkannya dalam kehidupan, sehingga mendapatkan kebijaksanaan. ia kemudian menjadi lebih pandai dan bijak dari sebelumnya. Tentu selain mengadopsi budaya elite, ada daya dukung lain yang mesti diusahakan untuk mempercepat laju perubahan keadaan. Kuntowijoyo menawarkan dua cara mengatasi massifikasi, yang menurut hemat saya akan cukup sukses pula mengatasi semua pola fraktal dalam interaksi budaya di sebuah dunia yang tengah mengalami lipatan yang tidak karuan. Dua hal ini terkait dengan perilaku simbolik. Pertama adalah privatisasi. Segala bentuk kegiatan yang menekankan pada kepemilikan pribadi yang khas ataupun keunikan yang tidak dimiliki orang lain, patut dikembangkan. Tapi mesti hati-hati, karena industri juga semakin cerdik. hal-hal yang sebelumnya sangat privat, juga dikomodifikasi menjadi produk massa. Kedua, spiritualitas, yakni
19 International Society
Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru
Andree
Dunia Palsu dan Rekonstruksi Budaya Tinjauan Filosofis Akar Masalah Budaya Indonesia di Era Global
adopsi budaya spiritual ke dalam kehidupan individu atau kelompok. Kata kuntowijoyo, “Dengan menyesal, atribut-atribut yang melambangkan kealiman terpaksa dimasukkan di sini”. Di kota-kota besar, hal ini mulai menemukan relevansinya. Segala macam kegiatan keagamaan-bahkan yang aneh dan tidak masuk akal sekalipun- diminati banyak orang. Lantas bagaimana soal pertanyaan Sapardi Djoko di atas yang belum sempat dijawab? Harap dimaklumi bahwa tulisan ringkas ini hadir hanya sebagai avant-propose, pra wacana. Diskusi-diskusi bagi dan atasnya lah yang akan menjawab itu semua.
Daftar Pustaka : Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Andree. 2009. Konstruksi Simulakra Pedagang. Tesis pascasarjana Universitas Gadjah Mada, tidak dipublikasikan. Baudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi. Terjemahan Wahyunto. Yogyakarta: Kreasi Wacana. _______________. 1988. “Simulacra and Simulation”, in Selected Writings. ed. Mark Poster. Stanford: Stanford University Press. Cano, Alonso Guiomar, et.all. 2005. Kebudayaan, Perdagangan dan Globalisasi. Terjemahan PeMad. Yogyakarta: Kanisius. Damono, Sapardi Djoko. “Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil”, dalam Ibrahim, Idi Subandy (ed.). 2004. Lifestyle ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Koentjaraningrat. 1993. buga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kuntowijoyo. “Budaya Elite dan Budaya Massa”, dalam Ibrahim, Idi Subandy (ed.). 2004. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Nasikun. 2007. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada Oxford Dictionary Team. (1995). Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of Current English. Oxford: Oxford University Press. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
20 International Society
Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru