KONSEP DASAR NEGARA (STUDI ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN SOEKARNO) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Oleh : AJAT SUDRAJAT 203033202172
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M / 1428 H
KONSEP DASAR NEGARA (STUDI ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN SOEKARNO) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Oleh : AJAT SUDRAJAT 203033202172
Di bawah bimbingan :
Drs. Nawiruddin, M.A NIP. 150317965
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M / 1428 H
Skripsi yang berjudul Konsep Dasar Negara (Studi Analisis Terhadap Pemikiran Soekarno), telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 28 Mei 2007. Skripsi ini telah di terima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata satu ( S 1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam.
Sidang munaqasyah Jakarta, 28 Mei 2007 Ketua merangkap anggota
Sekretaris merangkap anggota
Drs. Harun Rasyid, MA NIP. 150 232 921
Suzanti Ikhlas, A.Md NIP. 150 286 874 Anggota,
Penguji I
Penguji II
Dr. Sirajuddin Aly, MA NIP. 150 318 684
Drs. Masri Mansoer, MA NIP. 150 224 493 Pembimbing,
Drs. Nawiruddin, MA NIP. 150 317 965
Kata Pengantar
Alhamdulillah, atas segala keterbatasan dan kekurangan, akhirnya penulis berhasil menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa Strata Satu (S1) di program studi Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai rintangan dan hambatan penulis hadapi dengan penuh kesabaran. Keberhasilan penulis dalam menyandang predikat sarjana bukan sebuah kebetulan atau kewajaran, tetapi ini adalah sebuh upaya perjalanan dalam meniti intelektualitas yang penuh duka. Penulis masih merasakan betapa pahitnya untuk meraih semua ini (sarjana), jika saja baju yang bersimbah keringat, air hujan yang mengguyur sekujur tubuh dan letih karena perjalanan ke kampus yang sangat jauh, bisa bercerita kepada semua orang, maka semua itu akan bercerita tentang pengalaman pahit yang penulis jalani selama ini. Semua ini penulis lakukan demi sebuah intelektualitas. Tanpa perjalanan ini, penulis tidak akan bisa disebut seorang sarjana. Atas izin-Nyalah, penulis telah menyelesaikan sebuah skripsi dengan judul Konsep Dasar Negara: Studi Analisis Pemikiran Soekarno. Judul ini sengaja penulis angkat mengingat masalah ini memiliki daya tarik tersendiri bagi penulis, apalagi ketika penulis hubungkan dengan sosok penggali dari dasar negara Indonesia, yaitu Soekarno. Peranan Soekarno sebagai ploklamator, tokoh nasionalis, bapak bangsa, sang revolusioner dan bahkan ada juga yang menyebut diri-nya (Soekarno) sebagai diktator. Inilah yang menyebabkan kepopuleran kharismanya serta pengaruh
pemikiran Soekarno, menurut penulis, hingga saat ini di Indoesia belum ada yang menandingi. Disamping itu, ada beberapa alasan lain yang membuat penulis tetap mengangkat tema tersebut (Konsep Dasar Negara...). yakni, pertama, sependek pengetahuan penulis, di lingkungan UIN Jakarta tema ini belum ada yang mencoba menggarapnya. Kedua, pembuatan skripsi ini dilaksanakan pada bulan Mei, mudahmudahan bermanfaat karena bulan Mei memiliki nilai historis bagi bangsa Indonesia dalam perumusan dasar negara (Indonesia) melalui BPUPKI. Dalam skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. 2. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat bapak Amin Nurddin, MA. 3. Ketua program non reguler dan seluruh dosen pemikiran politik Islam. 4. Bapak Drs. Nawiruddin, MA selaku pembimbing. 5. Kedua orang tua penulis. 6. Kawan-kawan seperjuangan, Margono, Suhadi, Kosasih dan Abadul Syukur. Kepada mereka penulis ingin katakan: belajarlah yang rajin dan maaf jika penulis selalu terdepan dari kalian. 7. Tak lupa kepada keluarga besar yayasan pesantren Baitussalam, pak Heri Hermansyah, Ibu Een Yuparni ( Bu Yuyu), penulis tidak akan pernah melupa-kan segala budi-baik yang telah penulis rasakan. 8. Kepada adik-adik penulis, janganlah kalian membuat kecewa. Hidup kita penuh perjuangan, maka teruslah belajar, karena orang yang cerdas ialah bukan orang
yang berfikir untuk saat ini, tetapi ia berfikir untuk waktu yang akan datang (future tense). 9. Kawan-kawan seide dan sepemikiran, ceria dan duka, mereka ialah yang masuk di dapur intelektualitas HMI dan IMM cab. Ciputat. 10. Terakhir, kepada seseorang yang telah tulus mendo’akan penulis siang malam, yang memberi inspirasi, semangat dan harapan masa depan, karena dia adalah mata air bagi penulis. Walau dalam perjalanan, penulis dan dia seringkali terjadi salah paham, tetapi semua itu bukan menjadi penghalang. Dia adalah seorang wanita berkerudung merah jambu. Retno Septiyani namanya. Akhirul kalam, semoga skripsi ini bisa bermanfaat. Atas segala kekurangan dan kelemahan skripsi ini, semuanya kembali kepada penulis sendiri. Oleh karena itu, tegur sapa dan saran atas perbaikan skripsi ini penulis sangat mengharapkan.
Bogor, 1 Juni 2007
Penulis
Belajar Berkreasi, ya…hanya Belajar Berkreasi Aku tidak pandai dalam tulis menulis, apalagi bahan yang bagus untuk disajikan kepada para pembaca, modalku pas-pasan, bahkan bisa tergolong seret. Tetapi, keinginanlah yang mengantarkanku memberanikan diri untuk menulis, padahal wawasan keilmuan aku tidak ubahnya bagai anak jalanan, yang mencari sesuap nasi untuk kelangsungan hidup. Bukan materi, bukan populeritas yang aku dambakan, aku ingin berbagi, aku ingin mengobrol dengan para pembaca. Ketika aku harus memilih, apakah aku diam tanpa seutas karya dalam hidup ini atau memilih menulis dengan segala keterbatasan ? Hingga akhirnya aku memilih menulis, karena lebih baik tulisan buruk dengan maksud yang baik, dari pada aku diam tanpa karya dan upaya. Aku ingin membebaskan segala imajinatifku, biarlah pikiranku melayang, aku tidak bermaksud untuk melukai orang, jika ternyata tulisanku menyinggung, tapi apa yang kulihat itulah yang kutulis dengan tenang, akan tetapi idealismeku tetap tertanam dalam raga ini, hingga akhirnya aku tidak mau asal menulis, melainkan bagaimana memperbaiki kondisi sosial masyarakat yang sepertinya, makin hari semakin tidak menentu. Aku ingin berkontemplasi atas masa lalu dan sekaligus melakukan meditasi tentang masa depan. Mudah-mudahan kedepan, dengan tulisan, mengingatkan kepada kita semua akan makna yang lebih hakiki. Ada sebuah ungkapan yang perlu kita renungi lebih dalam, yaitu: “Pikiran itu punya kaki”. Oleh karena itu, pikiran mampu kemana saja sesuai dengan kehendak dirinya dan tentunya bagi mereka yang gemar berfikir. Bagaimana fikiran itu bisa
berjalan ? Untuk mengetahui fikiran itu bisa berjalan kita harus tahu tentang alur huruf demi haruf, kata demi kata yang kemudian terbentuklah kalimat. Dengan kalimat (Baca: tulisan) itulah bisa berjalan dari satu tujuan menuju tujuan lain. Sebuah pristiwa sehari-hari adalah ilham yang tak akan habis diekplorasi, walau kulambat menyadari, tapi bukan alasan untuk tidak berkreasi. Adanya kesedihan, keceriaan membuka diri untuk saling membagi. Sejalan pengalaman dan sederet pristiwa yang kualami, aku refleksikan melalui untaian kata. Apa yang terjadi pada hari ini, aku ukir dengan sebuah kejujuran sanubari. Sepert inilah keseharian aku jalani, desisan-desisan hati takkan henti bergumam sendiri. Dalam renungan keseharian, aku bertanya-tanya atas makna kehidupan ini, apa sebenarnya keinginan Sang Kreasi ini ? Celah-celah perjalanan tak pernah lupa kupapasi dan ternyata semua hampa tak berarti. Penyesalankah ungkapan ini atau aksi protes kepada Dia ? jawabku tidak ! Bahkan kuingin katakan kepada Dia
“Ya…Allah, jangan Kau jadikan
kebodoh-anku sebagai bulan-bulanaan orang-orang yang tidak suka padaku, tapi jadikan kebodohanku sebagai kekuatan agar aku terus belajar”. Akhirnya, kepada Allah jualah kuserahkan segala urusan. Semoga Allah meridhai apa yang aku lakukan selama penyelesaian karya ini. Amin.
“Ya…Allah, berikan kesanggupan pada diriku untuk berusaha dalam kegagalan, bersabar dalam keputusasaan, berjalan kedepan tanpa teman, jihad tanpa senjata, amal tanpa pamrih, perjuangan dalam kesunyiaan, keagungan tanpa kemahsyuran, iman tanpa pengaruh riya, kebajikan tanpa unsur kemunafikan, keberaniann yang matang, kesendirian tanpa manusia, dan cinta tanpa kenal kekasih”.
Ketahuilah bahwa dengan kepergianmu pikiran dan keyakinanku telah terlucuti. Hatiku yang lemah ini tak lagi punya kesabaran dan ketetapan hati. Jangan tanya daku tentang wajahku yang lesu, hatiku yang risau atau kebakaran dalam jiwaku. Datang dan lihatlah dengan matamu sendiri, karena kekuatan kata-kata tak dapat menjelaskan semua ini! Wajahku berubah menjadi seperti panggangan roti dalam baramu. Kini aku remuk bagai roti basi dan terhambur. (Rumi)
Tangisan Sebuah Tulisan Tulisan ini bukan untuk dibaca tapi untuk dimengerti, kutulis kata hatiku dalam sebilah pulpen dengan sobekan-sobekan kertas yang berserakan. Jangan ditanya apa istimewanya tulisan ini, karena sulit untuk dicari. Apa lagi tulisan ini, hanya untuk mengenang segala kehampaan, emosi, yang berklindan dalam diri. Kejadian demi kejadian tak lalai untuk kutulis dalam catatan harian. Banyak persoalan yang kupendam dalam-dalam, kutulis dengan bahasa sindiran. Bukan karena aku orang pengecut, tapi kuingin ajak mereka berfikir, bergulat dalam alam perenungan. Aku bukan seorang filosof atau seorang kreasi dipertapaan. Aku tak indahnya seekor kutu perjalanan, yang sulit mencapai puncak sana atau barangkali pula hanya seperti angin bertiup sepoi yang tak kuasa mengeringkan setetes air dibebatuan. Aku hanya ingin mengungkapkan kebenaran, sebuah awal kehidupan, yang ditandai dengan akhir riwayat kehidupan. Biarlah aku gagal menjalani tepi, tapi jangan terputus harapan-harapan kedepan. Aku membaca setiap malam, berfikir setiap malam dan aku sudah bangun lagi setiap jam tiga pagi. Aku bukan manusia tanpa dosa, bayak sekali kesalahankesalahan yang pernah kulakukan. Aku selalu mengejar cita-cita, hidupku penuh dengan keseriusan, sehingga orang menganggapku bukan seorang yang humoris. Aku selalu mencoba menundukan keadaan atau menciptakan keadaan. Akibatnya tidak sedikit persoalan yang kuhadapi, bahkan sampai menusuk sanubari.
“…dengarlah setitik suara hatiku” Rasa nyeri tak kurasakan dalam luka. Rasa nyeri di dada, lebih terasa. Hatiku tergores jauh lebih dalam. Perih…, seperti disobek-sobek trisula. Aku memang bukan kesatria. Apa lagi penguasa, seperti paduka Aku hanya lelaki jelata yang penuh duka yang hanya bermimpi dengan buaian cita-cita Aku sekedar ingin mencicipi ilmu dalam mahligai paduka Dan kemudian kubaktikan demi kaumku para jelata Tak sedikitpun kuberharap sebagai pahlawan si pembela Berdosakah seorang jelata memiliki cita-cita ? Sayang, aku tidak memiliki kedudukan istimewa seperti paduka Yang selalu menjadi pemeran utama Layaknya jelata, aku harus tetap terpendam, sementara paduka berdiri jauh diatas sana Aku sadar akhirnya, cita-citaku terlalu tinggi menggantung dilangit maya Mana bisa rakyat jelata menerobos begitu saja Apa lagi kuhadir tanpa nama, seperti paduka terpuji bahasa dan tata Dibanding paduka, aku tentu bukan apa-apa Inilah suara hati sang jelata Entah kapan paduka melihat alam nyata. Berpihak kepada rakyat jelata dan duka Para jelata... nasib bukan akhir dari catatan kata
# Akhir Penantian # Setapak telah terlewati untuk berganti tahun Embun-embun pagi berceceran Bagai sorak porai berlindan dari kegelapan Kurenungi hari demi hari mencapai puncak tahun Tubuhku gemetar, teringat tahun terlewati dengan sampan Hikayatku salah dalam perjalanan Babad demi babad telah kulalui dengan penyesalan Inikah kenyataan ? Perjalanan yang sesak, beribu manusia yang berduyun Namun, oh…ternyata merpati berkicau di perbukitan Para pendusta berkhutbah dengan keangkuhan Mengusungkan lengan Sambil berkomat-kamit inilah kebenaran Oh..pendusta, kau raih sesuatu demi keuntungan Kau tak mau rugi, tapi mengaku dermawan Sadarilah ini akhir penantian Rambut tumbuh beruban Hari gelap, tanda sang maut datang membawa persoalan Jangan sampai menyesal dihari depan. Karena itu kehinaan Jadikanlah pengorbanan Sebagai bekal di jalan yang panjang
Alam Badut Sebenarnya, tidak ada alam badut dalam permukaan alam ini. Tapi, karena penghuni alam itu terdiri dari para badut, maka alam itu diberi nama alam badut. Sebelumnya, alam badut itu tampak penuh kedamaian, keharmonisan, toleransi dan bahu-membahu dalam banyak persoalan, tetapi entah apa yang terjadi beberapa saat kemudian suasana alam badut dicekam oleh langit yang selalu redup dan gelap. Berhari-hari sang surya tak muncul diperlangitan. Hujan, halilintar, badai dan topan terus menyambar para sang badut, sesungguhnya semua itu bukan alam badut yang tak lagi bersahabat, melainkan para badut yang tak mengerti akan arti sebuah ikatan kebersamaan. Sehingga udara lembap, senyap dan gerah. Nyaris, tak ada lagi badut yang bisa tertawa terbahak-bahak. Padahal pekerjaan para badut selalu berkaitan dengan canda tawa. Presiden badut yang hobinya tersenyum, kini hanya bisa mondar-mandir kebingungan, karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Namanya juga alam badut, system kekuasaan dan strukturnya lucu dan amburadul tak perlu lagi kebenaran, yang penting saya senang itulah motto dan harapan para badut. Badut lupa akan canda dan tawa. Siapa yang berani melawan lelucon presiden badut, maka sang presiden badut tak segan-segan menyingkirkan dari pentas kekuasaannya. Entah sampai kapan semua bisa berjalan seperti semula, biarlah sang waktu yang menjawab semua itu. Namun yang pasti, tak pernah ada sesuatu yang diam, semua akan tetap bergerak, dinamis dan terus berputar.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR ISI..................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah....................................................
1
B. Perumusan Masalah ..........................................................
10
C. Tujuan Penelitian .............................................................
10
D. Metode Penelitian .............................................................
10
E. Sistematika Penulisan ......................................................
11
BIOGRAFI SOEKARNO.....................................................
13
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan.........................................
13
B. Aktivitas dan Karir Politik ................................................
19
BAB II
C. Ideologi dan Konsep Dasar Pemikiran Politik
BAB III
Soekarno (NASAKOM)....................................................
23
KONSEP DASAR NEGARA ..............................................
30
A. Pengertian Konsep Dasar Negara......................................
30
B. Sejarah Kelahiran dan Perumusan Pancasila ....................
31
C. Soekarno dan Perumusan Dasar Negara ...........................
41
BAB IV
NILAI-NILAI DASAR NEGARA DALAM PERSPEKTIF SOEKARNO ...............................
47
A. Konsep Ketuhanan ............................................................
48
B. Kemanusiaan .....................................................................
54
C. Persatuan ...........................................................................
56
D. Kerakyatan dan Demokrasi ...............................................
60
E. Keadilan ............................................................................
64
PENUTUP..............................................................................
68
A. Kesimpulan .......................................................................
68
B. Saran-Saran .......................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
71
BAB V
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Proses awal pembentukan Negara Indonesia yang paling fundamental dan krusial ialah bagaimana menyepakati dan komitmen terhadap dasar Negara. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), paling tidak ada empat persoalan pokok yang menjadi sorotan, yaitu : Pertama, persoalan bentuk negara. Kedua, batas geografis negara. Ketiga, dasar filsafat negara dan keempat, persoalan yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Empat persoalan tersebut berjalan dengan lancar, kecuali tentang persoalan dasar negara. Ketika dasar negara mulai disinggung, iklim politik pun menjadi hangat. Di tengah arus dinamika politik dan nuansa pencarian jati diri bangsa, saat bendera kemerdekaan berkibar, Indonesia sangat berpotensi melahirkan konflik, baik konflik karena SARA, kepentingan, dan bahkan idiologi. Proses pembentukan dan mempertahankan kedaulatan negara baru, seperti Indonesia, telah menimbulkan pertarungan kepentingan dari berbagai kelompok yang saling bersaing memperebutkan kekuasaan dan pengaruh. Persaingan ini pada gilirannya melibatkan pertarungan
kelompok ideologi utama yang tumbuh sejak zaman pergerakan (kemerdekaan, peny), yaitu kelompok Islam, Nasionalisme Sekuler dan Komunisme.1 Untuk perumusan pembentukan dasar negara, ketika itu para wakil rakyat Indonesia dapat dibagi atas dua kelompok besar, yakni mereka yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara dan mereka yang mengajukan agar negara Indonesia berdasarkan kebangsaan, termasuk golongan komunis2 mendukung dasar kebangsaan, tanpa harus terkait dengan agama (Baca: sekuler). Kelompok ini diwakili oleh para tokoh, seperti Dr. Radjiman, Soekarno, Mohammad Hatta, Profesor Supomo, Mohammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso dan Dr. Buntaran Martoatmodjo, semua tokoh ini adalah hasil didikan Barat. Dari kelompok pembela dasar Islam diwakili oleh tokoh terkemuka, seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH. Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar dan KH. A. Wachid Hasjim.3 Kalangan agamis meyakini bahwa agama (Islam) dan politik tidak dapat dipisahkan (integral), seperti yang diungkapkan dalam pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo pada tanggal, 31 Mei 1945, mengatakan: “…Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia raya dan merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, 1
Yusril Iza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 67. 2 Komunisme hanya terlibat dalam waktu yang sangat singkat, karena peristiwa pemberontakan yang pernah dilakukannya, yaitu pada tahun 1926 di jawa Barat dan tahun 1927 di Sumatra. Dengan peristiwa tersebut, maka dialog idiologis selanjutnya hanya melibatkan dua kelompok, yakni kelompok Islamis dan kelompok sekuler. 3 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno versus Natsir, (Jakarta: Teraju, 2001), h. viii.
saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam...”4 Sementara Soekarno dari kalangan nasionalis berpendapat, bahwa agama harus dipisahkan dari negara, karena untuk menjaga kemurnian, kesucian dan keilahi-an Islam dari tabiat manusia yang rusak budi pekertinya. Ketidak setujuan Soekarno dalam mengintegrasikan agama dan negara bukan untuk mendurhakai Islam tetapi justru agar Islam dapat lepas dari belenggu yang menghalangi kemajuannya: “…maka kemerdekaan agama dari ikatan negara itu berarti djuga, kemerdekaan negara dari ikatan anggapan-anggapan agama jang djumud, jakni kemerdekaan negara dari hukum-hukum tradisi dan faham-faham Islam kolot jang sebenernja bertentangan dengan djiwa Islam sedjati, tetapi njata selalu mendjadi rintangan bagi gerak-geriknja negara kearah kemadjuan dan kemoderenan. Islam dipisahkan dari negara, agar supaja Islam mendjadi merdeka, dan negarapun mendjadi merdeka. Agar supaja Islam berdjalan sendiri. Agar supaja Islam subur, dan negarapun subur pula…”5 Menanggapi pendapat Soekarno, Natsir mengatakan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dengan negara. Lebih lanjut, Natsir berkata; kemajuan adalah berhimpunnya kejayaan dunia dan kemenangan akhirat dan hidup duniawi dengan hidup rohani tidak bisa dipisah dalam idelogi Islam,6 walaupun demikian, Soekarno tetap teguh pada pendapatnya. Dengan kerenggangan yang terjadi ketika itu, sungguh gagasan yang cerdas bagi Soekarno sebagai founding father memberi sebuah solusi pengikat sosial politik yang dapat menjadi faktor kohesi yang mampu memberi ruang terhadap identitas 4
Iman Totok Rahardjo dan Herdianto WK (ed), Bung Karno Wacana Konstitusi dan Demokrasi: Kenangan 100 tahun Bung Karno, (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h.15. 5 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Djakarta: Gunung Agung, 1965), h. 405. 6 Badri Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 154.
nasional sekaligus melanggengkan entitas Indonesia. Faktor kohesi yang diistilahkan oleh Robert Bellah adalah sebagai “civil religion”. Jika idiom dari Bellah ini kita tarik ke dalam perspektif keindonesiaan, akan tertuju pada perekat sosial yang kita kenal sebagai Pancasila. Soekarno adalah seorang pemimpin bangsa yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan intelektual tinggi, dengan ijtihad politiknya Soekarno menggali dari berbagai arus pemikiran besar dari nasionalisme, sosialisme, kapitalisme dan paham keagamaan, yang disintesiskan menjadi apa yang disebut Pancasila.7 Ia melakukan ini dengan penuh semangat, mengungkapkan gagasan-gagasan yang merupakan inti dari pemikiran politiknya selama 20 tahun, yang dikemukakannya dengan beberapa tambahan dan beberapa tekanan baru, dalam bentuk lima prinsip dasar, Pancasila. Pecetusan ide Pancasila berawal dari idenya tentang persatuan bangsa yang memiliki banyak aliran pemikiran, suku, agama dan keanekaragaman masyarakat. Ia sangat yakin Pancasila sebagai landasan filosofi negara akan mampu merangkul semua aliran yang berbeda-beda dan memungkinkan terwujudnya persatuan, yang begitu ia dambakan. Sehingga ia (Soekarno) ingin menetapkan asas bersama, agar dengan asas tersebut bangsa Indonesia dapat bersatu dan menerimanya. Soekarno mengatakan dalam pidatonya: “…kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita harus bersama-sama mencari persatuan philoshopisce grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju ! yang saudara Yamin setuju, yang Ki Bagoes setuju, yang Ki Hadjar setuju, yang saudara Sanoesi setuju, yang saudara Abikoesno setuju, yang saudara Lim 7
Musa Asy’arie, NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan, (Yogyakarta, LESFI, 2005), h. 43.
Koen Hian setuju, pendeknya kita semua mencari satu modus…”8
Berkali-kali Soekarno mengupayakan pengembangan sebuah idiologi, termasuk juga apa yang dinamakan Marhaenisme, sebuah nama seorang petani yang pernah ia ketemukan sekitar tahun 1930-an, yang kemudian oleh Soekarno di jadikan ideologi perjuangan atau sebagai counter ideology terhadap ideologi reaksioner yang direpresentasikan oleh imperialisme Belanda ketika itu. Lebih dari itu, bahwa cita-cita marhaenisme bukan sekedar untuk mengusir penjajah Belanda, tetapi adalah untuk mengenyahkan ideologi kapitalisme. Walaupun kemudian pemikirannya hanya menjadi suatu rumusan politik yang tidak menentu. Sebab ideologi marhaenisme disyaratkan menjadi pembebas dan penebus segala kesengsaraan rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh imperialisme Belanda. Sekalipun memang, Marhaenisme pernah diterima secara resmi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai idiologinya. Untuk kesempatan yang berbeda dalam sidang konstituante, Soekarno dalam pidatonya mengatakan: “,…tetapi saya persoonalijk ada mempunyai doa kepada Allah swt., mogamoga konstituante menerima pancasila sebagai dasar kekal dan abadi daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab saudara-saudara, sebagai tadi saya katakan, saya tidak melihat jalan lain untuk mempersatukan bangsa Indonesia ini diatas dasar lain dari pada pancasila…”.9
Istilah Pancasila ditukil dari bahasa Sansekerta, yaitu; Panca artinya lima dan Sila artinya prinsip. Sebelum dibakukan sebagai dasar idiologi negara, Pancasila 8 9
Rahardjo dan Herdianto WK (ed), Bung Karno Wacana Konstitusi dan Demokrasi, h. 25. Soekarno, Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, (Jakarta: Media Prasindo, 2006), h. 89.
mengundang kontroversi seputar tentang siapa yang sesungguhnya merumuskan, karena sebelum Soekarno pidato pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Mumammad Yamin (1903-1962) pada sidang pertama BPUPKI lebih dahulu, tepatnya tanggal 29 Mei 1945, menawarkan lima prinsip untuk digunakan sebagai dasar negara, yaitu; Prikebangsaan, Prikemanusiaan, Priketuhanan, Prikerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. Sementara Soekarno, dalam pidatonya,10 menyampaikan prinsip-prinsip yang tidak jauh berbeda dari konsep Yamin, hanya saja yang membedakan penyusunan atau urutan dari prinsip-prinsip tersebut. Prinsip tersebut menurut Soekarno ialah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Prikemanusiaan, Kesejahteraan Sosial, jauh setelah empat prinsip tersebut dikemukakan secara panjang lebar, kemudian di susul dengan prinsip Ketuhanan. Seperti dalam pidatonya Soekarno mengatakan: “saudara-saudara, apakah prinsip kelima ? Saya telah mengemukakan empat prinsip:… Prinsip kelima hendaknya:… Prinsip Ketuhanan ! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri.,… Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain…”.11
Menanggapi tentang siapa yang pertama menggagas ide tersebut (Pancasila), 10
Pidato tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian tanggal tersebut diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. 11 Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)--Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Ghalia Indonesia 1995), h. 80-81. Keterangan ini juga dapat di lihat: Wawan Tunggal Alam, Bung Karno: Menggali Pancasila “kumpulan pidato”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 28-29.
Bung Hatta, Ir. Rooseno, Baswedan, KH Masjkur, Ahmad Subardjo, AA Maramis, Sayuti Melik dan Sunario. Para bapak negara-bangsa itu semua menyatakan bahwa Pancasila itu dari Bung Karno.12 Bahkan dengan kebesaran hatinya, Muhammad Yamin mengakui bahwa Pancasila adalah hasil galian Soekarno yang mendalam dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.13 Soekarno yakin, bangsa Indonesia akan besar dan maju jika kekuatankekuatan idiologi di Indonesia mau bersatu, seperti gagasan yang telah ditulis dalam bukunya, Dibawah Bendera Revolusi, “…Partai Boedi Oetomo, “marhum” Nationaal Indische Partj jang kini masih “hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banjak partai-partai lain…itu masing-masing mempunjai roch Nasionalisme, roch Islamisme, atau roch Marxisme adanja. Dapatkah roch-roch ini dalam politik djadjahan bekerdja bersama-sama mendjadi satu roch jang besar, roch persatuan ?...”14 Pancasila dalam Pemikiran politik Soekarno pada tataran praksis belum sepenuhnya dipahami dan diterima masyarakat. Sehingga yang sering muncul dipermukaan adalah sikap eksklusifisme. Sikap inilah yang sangat rentan konflik yang kemudian mengakibatkan runtuhnya rasa persatuan, kebersamaan dan keharmonisan bangsa Indonesia. Persoalannya sekarang adalah seberapa jauh kesungguhan kita terhadap konsensus yang telah kita sepakati dalam Pancasila sebagai “kontrak sosial” yang 12
Slamet Soetrisno, Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006), h. 3. 13 Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, dikutif dari M. Abdul Karim, “Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam”, (Yogyakarta: Surya Raya, 2004), h. 9. 14 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 3.
telah menginspirasi lahirnya Bangsa Indonesia ? Pancasila sebagai identitas kebangsaan membawa nilai integratif atau dalam istilah Soekarno, semua untuk semua. Perdebatan mengenai penerapan dasar negara, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah berkesudahan. Selain perdebatan yang terjadi sejak BPUPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, persoalan ini muncul kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD 1945, yang bergulir pada sidang tahunan MPR. Dua fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) dan fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) bersikeras untuk memasukan tujuh kata seperti apa yang pernah tertera dalam Piagam Jakarta. Selain itu, Pancasila sebagai dasar negara mengalami kemerosotan selama era reformasi. Hal ini menarik untuk ditanggapi, apalagi Otonomi Daerah telah bergulir, seperti fenomena Aceh dengan Otonomi Khusus-nya, ini pun tidak menutup kemungkinan akan muncul fenomena politik yang memanipulasi sentimen kedaerahan kesukuan dan aliran keagamaan untuk kepentingan segelintir atau sekelompok tertentu. Hal yang tidak menutup kemungkinan terjadi, Pancasila akan turut lengser dan hanya akan menjadi catatan sejarah bangsa Indonesia, karena beberapa pengamat menilai kecenderungan-kecendrungan politik akhir-akhir ini serta proses globalisasi yang melanda Indonesia menimbulkan pertanyaan serius tentang daya tahan (resistance) Pancasila sebagai dasar negara. Menurut pengamat politik, Arbi Sanit
menilai Pancasila tidak akan mampu bertahan menghadapi gempuran zaman.15 Jika dilihat fenomena sekarang ini, tidak terlalu salah jika Sanit berpendapat seperti itu, apa lagi ketika Orde Baru lengser, era reformasi bergulir, meniscayakan munculnya kebebasan. Melalui kebebasan itulah, memungkinkan ideologi-ideologi yang pernah di penjarakan oleh Orde Baru akan bebas berkeliaran mengguncang eksistensi Pancasila, yang menurut Din Syamsuddin sudah final. Sebuah negara tidak bisa membiarkan perjalanan bangsa ke depan tanpa dasar negara yang kuat. Apalagi di sini Indonesia, sebuah negara yang paling heterogen di dunia. Oleh karena itu, ancaman disintegrasi selalu merupakan ancamap baik rill maupun potensial, sehingga mau tak mau membicarakan konsep dasar negara Indonesia dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara sangat relevan, agar dasar negara (Pancasila) tidak lagi menjadi slogan kosong dan alat legitimasi kekuasaan sang rezim. Atas dasar latar belakang tersebut di atas, dalam sekripsi ini penulis ingin melihat lebih dalam tentang relevansi konsep dasar negara (pancasila), dengan pendekatan pemikiran Soekarno.
15
Ahmad Suhelmi, dalam kata pengantar, Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S.M. Kartosoewirjo, (tanpa kota: Darul Falah, 1999), h. xii.
B. Perumusan Masalah Agar terarahnya pemaparan masalah ini, penulis merumuskan pada dua sub masalah: 1. Bagaimana konsep Soekarno tentang Dasar Negara ? 2. Bagaimana nilai-nilai kandungan Dasar Negara dalam pandangan Soekarno.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian skripsi (penulis) ini ialah: 1. Untuk menguraikan dan menjelaskan konsep Soekarno tentang Dasar Negara. 2. Untuk menguraikan dan menjelaskan nilai-nilai kandungan Dasar Negara dalam pandangan Soekarno. 3. Memenuhi khazanah keilmuan di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
D. Metode Penelitian Untuk dapat memaparkan persoalan-persoalan yang akan dimunculkan dalam skripsi ini. Penulis menggunakan metode library rescarch, yaitu penelitian dengan mengumpulkan data-data dan informasi lainnya dengan cara membaca dan menganalisis buku-buku, jurnal-jurnal dan dokumen serta bahan-bahan informasi tertulis lainnya yang masih berkaitan dengan masalah yang diangkat. Sehingga jenis penelitian ini adalah kualitatif.
Dalam pengolahan data skripsi ini penulis menggunakan deskriftif-analitis, yakni menggambarkan dan menjelaskan pemikiran tokoh (Soekarno) yang penulis angkat, kemudian penulis melakukan analisis terhadap pemikirannya. Adapun untuk teknis penulisan mengacu pada buku pedoman skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan Dalam penulisan, penulis mencatat atas lima bab, setiap bab terdiri dari subsub. Hal ini diperuntukan bagi penulis agar memudahkan jalannya penulisan, sistematik, dan menarik intisari dari akhir pembahasan, tetapi sebelum itu pemakalah melakukan analisis pada sub-sub pembahasan. Bab pertama, didahului oleh pendahuluan, dalam bab ini juga menguraikan sub-sub, seperti latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian dan sitematika penulisan. Bab kedua, yaitu biografi politik Soekarno yang terdiri dari riwayat hidup dan pendidikan, aktivitas dan karir politik, ideologi dan konsep dasar pemikiran politik Soekarno (NASAKOM). Bab ketiga, yaitu pengertian konsep dasar negara, sejarah kelahiran dan perumusan pancasila, soekarno dan perumusan dasar negara. Bab keempat, inti dari sekripsi ini ialah nilai-nilai dasar negara (Pancasila), dalam perspektif Soekarno, konsep ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan demokrasi, keadilan.
Bab kelima, adalah bab akhir sekaligus bab penutup. Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan dari masalah yang diangkat, sesuai dengan metode penelitian yang penulis pakai dan terakhir tak lupa pula penulis lengkapi dengan saran-saran.
BAB II BIOGRAFI SOEKARNO
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan Soekarno, dilahirkan pada saat fajar kebangkitan Bangsa Indonesia mulai menyingsing, yaitu di masa permulaan era kebangkitan dan pergerakan nasional mulai terpupuk. Tepatnya pada kamis pon tanggal 18 Sapar 1831 tahun Saka, bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1901 di Lawang Seketeng, Surabaya. Ia adalah anak kedua dari kandungan Ibu Idayu Nyoman Ray. Ayahnya bernama R. Soekemi Sosrodiharjo, sedangkan kakaknya bernama Soekarmini.16 Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodiharjo, satu dari delapan orang anak Raden Hardjodikromo, adalah anggota golongan bangsawan Jawa kelas priyayi, seperti ditunjukan oleh gelar “Raden” itu. Lahir di tahun 1869, Soekemi menerima unsur pendidikan Belanda pada sekolah Pendidikan Guru Pertama di ibu kota Kabupaten Probolinggo di Jawa Timur.17 Di Singaraja Raden Soekemi Sosrodihardjo bertemu Idayu Nyoman Rai, yang menurut Soekarno adalah putri salah satu keluarga Bali dari kelas Brahmana. Perkawinan mereka (orang tua Soekarno), masih menurut Soekarno, mengalami kesulitan. Soekemi adalah orang Jawa yang agama resminya Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Perkawinan mereka tidak direstui oleh orang tua Idayu dan akhirnya, mereka memutuskan untuk menjalankan perkawinan lari. 16
Badri Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
17
John D. Leggi, Sukarno Biografi Politik, cet IV (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), h. 27.
h. 5.
Setelah menikah, Soekemi dan istrinya tetap tinggal di Singaraja sampai anak pertamanya lahir (Soekarmini). Dua tahun setelah kakak Soekarno lahir, Soekemi pindah ke Surabaya dan di sanalah Soekarno dilahirkan. Hari kelahiran Soekarno ditandai oleh angka serba enam, yaitu tanggal enam bulan enam. Hal ini tergambar dalam pengakuannya, yang ditulis oleh Cindy Adams: “…Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka memaafkan, akan tetapi aku pun seorang yang keras kepala. Aku menjebloskan musuh-musuh negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar...”18 Soekarno seorang sosok yang sangat kompleks. Kekomplekan tersebut erat kaitannya dengan persoalan bangsa Indonesia itu sendiri, sehingga ada sekelompok orang yang melihat Soekarno sebagai figur revolusi, bapak proklamator dan penggali Pancasila serta pemimpin bangsa Indonesia. Sebelumnya, Soekarno diberi nama Keosno Sosro Soekarno.19 Tetapi ketika ia masih kanak-kanak kedua nama pertama itu dibuang dan selanjutnya sesuai dengan kebiasaan Jawa, ia (hanya) bernama Soekarno.20 Dalam masa kanak-kanak ia (Soekarno) hidup sebagai anak yang berpenyakitan, ia pernah menderita malaria, disentri dan penyakit lainnya. Itulah sebabnya orang tuanya memindahkan Soekarno 18
. Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cet VII (Jakarta: Ketut Masagung Corporation, 2001), h. 25. 19 . Sumber lain menjelaskan, menurut pengakuan Soekarno, nama kelahirannya adalah Kusno, yang kemudian diganti oleh ayahnya dengan nama Karna. Sebuah nama yang terinspirasi oleh seorang pahlawan dari cerita klasik Mahabarata. Lihat Adams, Bung Karno, h. 32. 20 Leggi, Sukarno Biografi Politik, h. 28.
ke kota Tulung Agung, mengikuti kakeknya yang notabene ahli ilmu hikmah dan pandai mengobati penyakit. Sebagai seorang cucu, Soekarno sangat disayang dan bahkan seringkali dimanjakan. Oleh karena itu, inilah salah satu faktor penyebab Soekarno menjadi anak yang keras kepala. Masa usia enam tahun, kegemaran ayahnya nonton wayang kulit, sudah mulai menurun kepadanya dan bahkan seringkali ia menonton wayang kulit sampai larut malam. Sebagai sosok yang kompleks, Soekarno banyak dipengaruhi oleh orangorang di sekelilingnya, selain didikan kedua orang tuanya, Sarinah, seorang pembantu keluarga dan yang juga ikut membesarkannya, ikut mewarnai corak kepribadiannya. Nama Sarinah, yang kemudian hari dipuja sebagai lambang wanita Indonesia; khususnya sebagai wakil “rakyat kecil” yang membentuk sebagian besar negeri ini.21 Soekarno mengakui, akan pengaruh tunggal paling besar terhadap sosok Sarinah. “Dialah yang mengajariku untuk mengenal cinta-kasih, mencintai rakyat jelata (common people, peny)”.22 Di samping itu, Wagiman seorang petani miskin yang tinggal di dekat Mojokerto, seringkali di datangi Soekarno hanya untuk mendengarkan cerita-cerita wayang, tentang Kumbakarna, Arjuna, Gatotkaca, Kresna, Semar yang lucu namun perkasa dan masih banyak lagi yang lainnya, semua itu lengkap dengan keunggulannya dan wataknya masing-masing. Hal yang perlu digarisbawahi akan keterpengaruhannya dengan wayang ialah ia sering mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh
21 22
Leggi, Sukarno Biografi Politik, h. 29. Adams, h. 35, juga dapat dilihat Leggi, Soekarno Biografi h. 29.
Bima. Sifat dari Bima yang seringkali dijadikan rujukannya ialah tentang keberanian, kejujuran, galak yang tak kenal kompromi, kasar, meremehkan otoritas yang mapan dan siap membantah. Pendidikan formal Soekarno, pertama kalinya diperoleh di Sekolah Dasar di Tulung Agung. Dalam lingkungan keluarga yang memang melek pendidikan, sehingga mengantarkan Soekarno dalam kalangan masyarakat papan atas, seperti pendapat Badri Yatim yang mengatakan: “Salah satu hal yang menentukan dan menempatkan Soekarno dalam kalangan masyarakat-atas di Indonesia adalah pendidikan”.23 Sangat memungkinkan bagi Soekarno menjadi anak yang cerdas, melalui bimbingan tambahan pendidikan dari seorang ayah, yang kebetulan ia seorang guru. Soekarno dipaksa untuk terus belajar, meskipun ia telah belajar berjamjam, namun tetap dipaksa untuk terus belajar membaca dan menulis. Setamatnya dari Sekolah Dasar, ia kemudian melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) tahun 1915 dan lulus pada 11 Juni 192124. Melalui jasa baik seorang teman, yang juga tinggal di Surabaya, yaitu Oemar Said Tjokroaminoto, Soekarno berhasil diterima sebagai murid HBS sampai tamat. Tidak hanya itu, Soekarno pun tinggal dirumahnya untuk beberapa lama. Dengan
mondoknya Soekarno di rumah tokoh sekaliber
Tjokroaminoto, kelak akan membawa arti yang menentukan untuk masa depannya, karena Tjokroaminoto yang menjabat ketua Organisasi Massa Nasionalis Sarekat
23
. Badri Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, h. 8. . Bernhard Dahm yang dikutif oleh Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno versus Natsir, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 19. 24
Islam adalah tokoh pusat nasionalisme Indonesia pada waktu itu dan Surabaya merupakan tungku (dapur, peny) pemikiran dan aksi nasionalis.25 Mondoknya Soekarno dirumah Tjokro, merupakan kesempatan baik untuk mendengar, berdialog mengenai banyak hal yang berkaitan dengan politik, karena setiap saat rumah Tjokro tak pernah sepi dari kunjungan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Bahkan setelah Soekarno resmi menjadi menantu Tjokroaminoto dengan mengawini putrinya, Oetari, ia mendapatkan kesempatan kemanapun untuk mengikuti Tjokro pergi dalam pertemuan-pertemuan. Ketika, Tjokro berpidato, Soekarno dengan serius memperhatikan semua isi pidato Tjokro yang berkharisma itu. Makanya, tidak heran bila Soekarno mengatakan bahwa Tjokroaminoto sangat mempengaruhi hidupnya, bahkan dialah orang yang mengubah seluruh hidupnya. Dari Djokroamonoto pula, Soekarno mendapat banyak pengetahuan tentang konsep politik Islam. Setelah tamat dari HBS pada tahun 1921, sebenarnya Soekarno dapat langsung terjun ke masyarakat, semisal menjadi elit politik, karena bekal yang didapat sudah cukup kuat. Akan tetapi, ia lebih memilih melanjutkan studinya di Technische Hogere School (THS), yang sekarang ITB (Institut Tekhnologi Bandung). Masa-masa ia menjadi mahasiswa hampir seluruh waktunya dipergunakan untuk membaca buku mengenai nasionalisme, marxisme, persoalan-persoalan internasional
25
Leggi, Sukarno Biografi Politik, h. 40.
dan sejarah yang tidak dapat diperoleh dari bangku kuliah.26 Dalam mengarungi kegiatannya itu (membaca), Soekarno merasa seakan bertemu dan berdialog secara langsung dengan banyak tokoh, seperti: Gladston, Beatrice Webb, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Beuer, Karl Marx, Frederich Engels, Lenin, Jean Jacquas Rousseau, Jean Jaures, Danton dan Voltaire.27 Walau keadaannya serba kekurangan (miskin), namun hasratnya untuk belajar dan membaca
mendapatkan dukungan dari
lingkungan tempat ia tinggal, karena ia berada dirumah seorang “raja yang tidak dinobatkan” H.O.S. Tjokroaminoto, termasuk istri Tjokro sangat memperhatikan disiplin pelajar-pelajar yang tinggal di rumahnya. Berkaitan dengan keberagamaan Soekarno, sejak kecil ia sangat dipengaruhi oleh latar belakang keagamaan kedua orang tuanya, dalam konteks agama Jawa, oleh Clifford Geertz dapat dimasukan dalam kategori “varian abangan”: “…sistema keagamaan desa lazimnya terdiri dari suatu integrasi yang berimbang antara unsur-unsur animisme, Hindu dan Islam…”28 Ketiga unsur tersebut diatas diistilahkan dengan sinkritisme. Dalam kebudayaan jawa sinkritisme ketika itu sangat menonjol. Dengan sifat sinkritisme itulah memungkinkan Soekarno terpengaruh, selain orang tuanya juga lingkungannya, yang memadukan apa yang baik dari dalam dirinya sendiri dengan apa yang dianggapnya baik dari luar. Pemahamannya terhadap Islam lebih banyak melalui buku-buku yang
26
Ong Hok Ham, Sukarno: Mitos dan Realitas, dalam Yanto Bashri dan Retno Suffanti (ed), “Sejarah Tokoh Bangsa”, h.7 27 Adams, Bung Karno, h. 21. 28 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 6.
dibaca, disamping itu ia pun acapkali berdialog atau diskusi tentang keislaman oleh tokoh-tokoh Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan dan bahkan ketika ia belajar di Bandung, ia bertemu dan berkenalan dengan A. Hassan, seorang tokoh pemikir Islam dan pendiri organisasi Persatuan Islam (Persis). Dari perkenalan itulah kerapkali terjadi percakapan dan dialog mengenai berbagai masalah, termasuk menyoal tentang Islam.
B. Aktivitas dan Karir Politik Di THS atau Institut Tekhnologi Bandung (ITB), Soekarno adalah seorang dari sebelas mahasiswa yang berasal dari anak bumiputra. Sebagai mahasiswa ia sangat aktif dan rajin belajar. Sekitar tahun 1923-an ia ikut mengubah nama “Jong java” menjadi “Jong Indonesia”, dan pernah pula menjadi anggota organisasi kepanduan di Bandung.29 Ketika masih di Surabaya, Soekarno telah mendirikan perkumpulan politik yang diberimana Trikoro Darmo, yang berarti tiga tujuan suci dan melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial. Organisasi ini berlandaskan pada kebangsaan, yang kegiatannya diprioritaskan untuk masalahmasalah sosial. Disamping itu, ia juga aktif di studie club, sebuah kelompok semacam perkumpulan diskusi. Dalam studie club inilah Soekarno untuk pertama kalinya berpidato. Pidatonya itu, berawal dari ketidaksetujuannya terhadap pidato ketua studie clube yang intinya mengatakan bahwa keharusan menguasai bahasa Belanda bagi generasi muda. Mendengar pidato tersebut, Soekarno langsung berdiri dan 29
Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, h.12.
berpidato, yang menghimbau seluruh pemuda untuk bersatu dan mengembangkan bahasa Melayu. Setelah lulus sebagai seorang sarjana, tentu peluang-peluang di depan sudah menanti. Tetapi atas dasar pertimbangan dari beberapa peluang yang ia dapat, akhirnya ia menceburkan dirinya sebagai guru pada Sekolah Yayasan Ksatrya. Tetapi ia mengajar tidak lama, menurut penuturan ia, gayanya (Soekarno) mengajar sejarah yang bersifat menghasut menyebabkannya bertentangan dengan seorang Inspektur Belanda dari Departemen Pendidikan yang datang berkunjung, yang akhirnya membawa ia keluar dari pekerjaan itu. Disamping itu, pada tahun 1927 Soekarno bersama Ishaq Tjokrohadisurjo, dr. Tjipto Mangunkusumo, Budiarto dan Sunario mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, yang selanjutnya pada bulan Mei 1928 dirubah menjadi sebuah partai politik (PNI). Akibat aktivitas politik dan pergerakan perjuangannya, maka pada tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap bersama Mangkupradja, Maskun dan Supriadinata oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, ia (Soekarno) diadili sekitar tanggal 22 Desember 1930, dengan keputusan hukuman 4 tahun. Dalam sidang tersebut oleh Soekarno diucapkan pledoi pembelaan, yang kemudian diabadikan sebagai dokumen sejarah yang diberi judul “Indonesia Menggugat”. Soekarno pun dibebaskan setelah Gubernur Jendral De Graeff, berakhir masa jabatannya. Akan tetapi, bulan Juli 1933 Soekarno kembali ditangkap dengan tuduhan melakukan makar atau anti pemerintah Hindia Belanda. Dari hukuman ini ia diasing-
kan ke Endeh (flores), selain itu ia kemudian dipindahkan ke Bengkulu pada tahun 1937.30 Pada waktu api pemikiran nasionalisme membara, ditengah-tengah inilah Soekarno bergerak, dari penahanan dirinya ia bertambah semangat dan terus melakukan propaganda, hingga ia pun berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan, Douwes Dakker (Setiabudi), Dr. Tjipto Mangkusuma dan Ki. Hadjar Dewantoro (Soewardi Soerjaningrat). Selain itu, tokoh lain yang mempengaruhi alam cakrawala pemikiran Soekarno waktu itu ialah Tan Malaka.31 Melalui pengaruh-pengaruh tokoh tersebutlah pemikiran politik Soekarno mulai tersusun secara teratur. Bacaannya mengenai sejarah sosialisme Eropa dan pengalamannya di Surabaya telah memberikan kepadanya pengertian terhadap bahayanya perpecahan suatu bangsa. Oleh karena itu, pemikirannya dipusatkan pada masalah terjaminnya persatuan dan kesatuan. Hal ini dapat dilihat ketika ia mendasarkan konsep bangsa pada teori Renan, yang mengatakan bahwa; “…Bangsa itu menurut pudjngga ini adalah suatu njawa, suatu azas akal, jang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakjat itu dulunja harus bersama-sama mendjalani satu riwajat: kedua rakjat itu sekarang harus mempunjai kemauan, keinginan hidup mendjadi satu. Bukanja djenis (ras), bukanja bahasa, bukanja
30
Lebih lengkap lihat Yulianto Sigit Wibowo, Marhainisme Ideologi Perjuangan Soekarno, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005), h. 28. 31 Tan malaka ialah putra seorang kepala negeri di Minangkabau, belajar di negeri Belanda sejak tahun 1913, ia kembali ke Sumatra tahun 1919, pindah ke Jawa tahun 1921, bergabung dalam PKI yang baru berdiri, kemudian menjadi ketua untuk priode pendek, ditangkap karena peranannya dalam pemogokan pegawai pegadaian tahun 1922 dan akhirnya dibuang. Untuk mengenal atau mengetahui aksi-aksi Tan Malaka lebih lanjut, baca: Tan Malaka, Aksi Massa, (Jakarta: Aliansi Press, 2000) atau Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka: Kajian terhadap Perjuangan “sang Kiri Nasionalis”, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
agama, bukanja persamaan butuh, bukanja pula batas-batas negeri jang mendjadi “Bangsa” itu...”32 Dari teori Renan tersebut di atas, oleh Soekarno dijadikan sebagai konsep nasionalisme, dalam artian luas. Bukan nasionalisme sempit. Secara subtansial nasionalisme Soekarno berangkat dari suatu bangsa, yaitu rakyat. Pengertian rakyat di sini adalah sekumpulan manusia yang secara histories mempunyai kesamaan riwayat, kemauan dan keinginan untuk menjadi satu,33 melepaskan dan memerdeka-kan diri dari cengkraman penjajah. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno bersama Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang selanjutnya kedua tokoh tersebut dipilih sebagai presiden dan wakil presiden, Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden, yang secara resmi dilantik pada tanggal 16 Desember 1949. Searas perputaran waktu, maka tanggal 17 Agustus 1959, presiden Soekarno menyampaikan pidato tahunan. Pidato itu diberinama Manifesto Politik (MANIPOL). Soekarno mengingatkan kepada Lahirnya Pancasila, ia juga berbicara tentang gotong-royong dalam Pancasila. Atas dasar itulah ia memberikan kebijakan pemerintahannya, yang dikenal dengan istilah USDEK, singkatan dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Keperibadian Indonesia. MANIPOL-USDEK oleh Soekarno dinyatakan sebagai pelaksanaan Pancasila. 32
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Djakarta: Gunung Agung, 1965), h. 3, lihat juga pada Soekarno, Panca Azimat Revolusi: Nasakom, Pancasila, Manipol Usdek, Trisakti Tavip, Berdikari, (Ciputat: Totalitas, 2002), h. 12-13. 33 Wibowo, Marhainisme Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 37.
C. Ideologi dan Konsep Dasar Pemikiran Politik Soekarno (NASAKOM) Atas dasar konsep kebangsaannya, Soekarno sering disebut manusia sintesa, karena ia merupakan personifikasi dari tiga aliran idiologi yang berkembang di Indonesia ketika itu: Nasionalisme, Islam dan Komunisme.34 Menurut Hatta dan Sjahrir, idiologi Soekarno bersifat “Soekarnois”. Sementara yang menjadi dasar pemikiran politiknya yaitu berangkat dari penentangannya terhadap kapitalisme dan imperialisme. Kebencian ini dapat dilihat melalui kritikannya, menurut ia kapitalisme adalah: “…sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi…kapitalisme timbul dari cara priduksi yang tidak sampai ketangan kaum buruh, melainkan jatuh didalam tangan kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi kapital, sentralisasi capital. Kapitalisme mempunyai arah kepada verelending…”35 (pemiskinan). Kritik selanjutnya juga menghujani imperialisme, karena ia melihat bahaya imperialisme yang menyebabkan terjadinya segala kesengsaraan bangsa, pemiskinan dan bahkan ruang lingkup kebebasan maupun pembangunan di Indonesia sangat dibatasi. Ia mengidentikan imperialisme dengan kolonialisme, menurutnya, “imperialisme juga suatu faham, imperialisme juga suatu pengerian. Ia (imperialisme, peny) bukan B B (pejabat), bukan pemerintah, bukan gezag (penguasa), bukan badan apapun juga. Ia adalah satu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi
34
Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, h. 48 Soekarno, Indonesia Menggugat: Pledoi Bung Karno dihadapan Pengadilan Kolonial Belanda, (Jakarta: DPP Pakorba, 2001), h. 7-8. 35
ekonomi bangsa atau negeri”.36 Pandangan hidupnya selalu untuk perjuangan mempersatukan bangsa. Oleh karena itu, upaya memerangi kapitalisme dan imprealisme, Soekarno mencoba mengawinkan tiga entitas idelogis yang berkembang ketika itu, yakni Nasionalisme, Islam dan Komunisme atau yang kemudian lebih dikenal istilah NASAKOM. Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa oleh Badri Yatim, dibagi menjadi dua pengertian, yakni: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis.37 Bangsa dalam pengertian politis inilah yang kemudian oleh Soekarno dijadikan sebagai konsep dasar nasionalisme. Untuk merumuskan konsepnya (nasionalisme), Soekarno mengutip pendapat Renan, bahwa syarat bangsa ialah kehendak akan bersatu, orang-orang merasa diri bersatu dan mau bersatu; menurut Otto Bauer, bangsa adalah satu kesatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib; dan menurut Ki Bagus Hadikusumo, bangsa adalah persatuan antara orang dan tempat.38 Dari ketiga pendapat tersebut, oleh Soekarno dipadu menjadi satu pengertian, sehingga diakuinya sebagai konsepnya, bahwa nasionalisme ialah rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib serta persatuan antara orang dan tempat. Konsep Islamisme yang dimaksudkan Soekarno dapat dilihat dari pemaparannya, sebagai berikut:
36
Soekarno, Indonesia Menggugat, h. 8. Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, h. 57. 38 Semua ini telah terangkum dalam Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, h. 60. 37
“Islam jang sedjati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam jang sedjati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme jang luas-budi dan marxisme jang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri diatas Sirothol Mustaqim;… kita sama sekali tidak mengatakan jang Islam itu setudju pada Materalisme atau perbendaan…. Kita hanja mengatakan, bahwa Islam jang sedjati itu mengandung tabiat-tabiat jang sosialistis…”.39 Islam yang dipahami Soekarno lebih bercorak rasional-liberal, gagasan rasionalisasi Islamnya timbul karena banyak mempelajari karya-karya orientalis pada waktu pembuangannya di Ende. Soekarno mulai berani melakukan reinterprestasi nilai-nilai dalam Islam, sehingga pemahamannya sangat berbeda dari tokoh Islam lainnya. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai marxisme juga dikandung dalam Islam, seperti prinsip-prinsip kesamarataan, demokrasi, baik dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Akibat cara pandang yang berbeda, Soekarno selanjutnya mendapat kritikan yang sangat tajam oleh Abdul Qahhar Mudzakkir dalam sebuah karyanya yang diberi judul, Revolusi Ketatanegaraan Indonesia Menudju Persaudaraan Manusia, Mudzakkir mengatakan: “Soekarno memang tidak mengenal Agama (Islam, peny), sebab Agama hanja diteropong oleh Soekarno dari djauh, dan Agama hanja didjadikan “topeng politik” oleh Soekarno…”40 Lebih pedas lagi, Mudzakkir berkata tentang Soekarno: “Soekarno tidak mengenal baik Islam Soekarno hanja melihat Islam dari luar Soekarno hanja mengenal kulitnja Islam Soekarno hanja mengenal nama Islam, menjebabkan Soekarno tidak tahu Nasionalisme sedjati…”.41 39
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 10. Abdul Qahhar Mudzakkir, Revolusi Ketatanegaraan Indonesia Menudju Persaudaraan Manusia, (Sulawesi Selatan: toACCAe Publishing, 2005), h. 65. 40
Kritikan tersebut sebetulnya tidak ada persoalan yang signifikan, cuma persoalannya terletak pada cara dan pendekatan dalam rangka memahami Islam. Soekarno lebih mendekatkan pada rasio dalam memahami Islam. Seperti, oleh Soekarno teori marxisme sudah dimodifikasi dalam bentuk yang lebih realistis dan toleran, marxisme yang ada di Indonesia adalah marxisme yang mempercayai keberadaan Tuhan, karena ia menggunakan teori marxisme hanya sebagai alat pergerakan perjuangan melepas rakyat dari penderitaan belenggu feodal. Munculnya ide pengawinan tiga ideologi ini, juga berawal dari rasa kekecewaan Soekarno atas terjadinya perpecahan di tubuh SI (Syarikat Islam), yang berakhir dengan berdirinya Partai Komunis Indonesia. Jika dipotret secara kritis, kondisi objektif pada waktu itu menunjukan bahwa ideologi komunisme42 merupakan ideologi yang memiliki kekuatan paling nyata di dunia dalam mendobrak belenggu rezim kapitalisme dunia. Menyaksikan situasi internal dari tokoh pergerakan yang sedang dilanda konflik, karena masalah-masalah ideologi Soekarno mengingatkan: “…pergerakan marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatja kepada pergerakan jang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan jang berazas keIslam-an. Malah beberapa tahun jang lalu, keinginan ini sudah mendjadi suatu pertengkaran perselisihan faham dan pertengkaran sikap, mendjadi pertengkaran saudara… bahwa dalam pertengkaran jang demikian itulah letaknja kekalahan kita…”.43 41
Qahhar Mudzakkir, Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, h. 65. Di Indonesia ajaran komunisme mulai masuk sekitar tahun 1913, tepatnya menjelang perpecahan perang Dunia I, yang dibawa oleh H.J.F.M. Sneevliet. ia adalah seorang Belanda yang sebelumnya pemimpin organisasi Buruh angkatan dan anggota Social Democratische Arbeiders (SDAP) yang berhaluan marxisme. 43 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 17. 42
Atas dasar itulah, Soekarno mencoba memberikan tawaran alternatif baru bagi wadah pergerakan perjuangan nasional Indonesia, dengan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tanggal 4 Juli 1927 yang berideologikan Marhaenisme.44 Soekarno mengidentifikasikan marhaenisme sebagai marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Maka, ternyata ia terjebak pada kesulitan berfikir secara konsisten dalam alur pikir marxisme, akibatnya teori marhaenisme menjadi utopis dan kehilangan arah.45 Hal tersebut berawal dari sebuah perbedaan subtansial masing-masing konsep, seperti marxisme akan melahirkan masyarakat sosialis dan pada tahap berikutnya akan menjadi masyarakat komunis, maka meniscayakan negara akan lenyap. Berbeda dari konsep marhaenisme Soekarno, negara sangat diperlukan. Hal ini pernah tertuang dalam amanat Pemuda Marhaenisme, pada 20 Desember 1966; “…,bahwa negara nasional adalah mutlak perlu bagi wadah, …negara adalah wadah. Negara apapun, negara adalah wadah…”.46 Apalagi jika dilihat dari kacamata sosiologis, marhaenisme versi Soekarno tidak sesuai yang dicita-citakan sosialisme. Seorang Marhaen dari keterangan Soekano, bukanlah seseorang yang tidak memiliki alat-alat produksi tetapi dalam ukuran serba kecil, tanah kecil, modal kecil. Seorang marhaen sulit dinamakan
44
Marhaenisme adalah nama seorang petani miskin yang diketemukan oleh Soekarno pada waktu ia masih studi di Bandung. Lebih lengkap baca: Adams, Bung Karno, h. 87. 45 Wibowo, Marhainisme Ideologi, h. 78. 46 Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, Bung Karno; Gerakan Massa dan Mahasiswa [Kenangan 100 Tahun Bung Karno], (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 86.
seorang sosialis dan lebih tepat masuk kedalam Petit Gourgeoisie atau berjuasi kecil.47 Walaupun demikian, bukan berarti konsep Marhaenisme merupakan sebuah konsep pemikiran semu yang tak berarti sebab dalam perkembangan selanjutnya prinsip-prinsip marhaenisme juga terangkum dalam Pancasila. Karena ide sentral dari marhaenisme yang mencakup aspek dari demokrasi politik dan ekonomi ialah partisipasi rakyat. Dengan begitu, dalam demokrasi politik dituntut tersedianya ruang bagi setiap rakyat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam system politik, begitu halnya dengan demokrasi ekonomi, setiap orang memiliki hak yang sama atas kerja yang sama. Di sini, Soekarno memberi penegasan terhadap konsep sosionasionalisme dan sosio-demokrasi, yakni untuk membebaskan seluruh rakyat dari belenggu kemiskinan dan kesengsaraan. Hal ini diungkapkan oleh Soekarno yang dikutip oleh Yulianto Sigit Wibowo. Dalam pernyataannya, Soekarno mengatakan: “sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen dan menolak tiap bentuk borjuasi yang menjadi sebabnya kepincangan ekonomi masyarakat. Sosionasionalisme adalah suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki”.48
Disamping itu, konsep marhaenisme telah diterima oleh kader-kader PNI yang didirikan Soekarno sebagai ideologi. Soekarno menjelaskan keadaan masyarakat Indonesia dan kenyataan yang terjadi, bahwa masyarakat Indonesia seringkali tertindas dan dihisap oleh kapitalistik, imprealisme dan kolonialisme. Oleh sebab itu,
47 48
Ignas Kleden, Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 238. Wibowo, Marhainisme Ideologi, h. 66.
menurut Soekarno salah satu alat yang paling epektif untuk mendobrak penindasan tersebut ialah dengan menggunakan teori yang diidentikan dengan teori marxisme. Sebab marhaenisme menolak segala bentuk borjuasi yang merupakan produk masyarakat kapitalis. Penolakan terhadap bentuk borjuasi ini disebabkan oleh kecenderungan dari borjuisme dalam menciptakan kesenjangan masyarakat, yang dalam istilah Soekarno disebut sebagai kepincangan masyarakat.
BAB III KONSEP DASAR NEGARA
A. Pengertian Konsep Dasar Negara Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep ialah ide atau pengertian yang diabstrakan dari pristiwa-pristiwa konkret.49 Lebih spesifik lagi, menurut B.N. Marbun dalam karyanya Kamus Politik, konsep yaitu pokok pertama yang mendasari seluruh pemikiran.50 Sedangkan Dasar Negara ialah asas, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya tentang landasan suatu negara. Pendapat ini sesuai dengan pidato Soekarno, yang mengatakan: “…philosofische grondslag (Dasar Filoshofi Negara, peny) itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi…”.51 Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik benang merahnya bahwa Konsep Dasar Negara adalah ide, pokok utama tentang sebuah rumusan fundamen dan suatu format awal dalam mencapai kesepakatan-kesepakatan tentang landasan suatu negara merdeka demi menuju terwujudnya masa depan negara yang menjadi cita-cita bersama. 49
P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed- 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 588. B.N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 345. 51 Wawan Tunggal Alam, Bung Karno: Menggali Pancasila “kumpulan pidato”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 2. hal senada juga bisa dilihat pada, Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK (ed), Bung Karno dan Tata Dunia Baru; Kenangan 100 Tahun Bung Karno, (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 7. 50
Pancasila sering disebut dasar falsafah, philosofische grondslag, dan ideologi negara Indonesia. Dalam pengertian ini, Pancasila merupakan dasar negara atau dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara, Pancasila sering disebut weltanschaunng, yang berarti ideologi atau pandangan hidup. Sementara, pengertian Pancasila sebagai dasar negara dapat dilihat melalui bunyi Pembukaan UUD 1945. Karena dilihat dari sisi morfologi bahasa Indonesia kata “berdasar” berasal dari kata dasar, yang berawal ber menjadi berdasar. Seperti yang secara tegas berbunyi: “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:…”52 Dengan demikian, sebagai dasar negara Pancasila dituntut untuk tetap konsisten, koheren dan koresponden, termasuk juga, Pancasila harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horizontal, yakni antar masyarakat dengan masyarakat lainnya dan vertikal adalah antara pemerintah dan masyarakat bawah.
B. Sejarah Kelahiran dan Perumusan Pancasila Rumusan dasar negara Indonesia berawal dari sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai,53 yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni
52
Rumusan resmi Pancasila, lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Repulik Indonesia (1945-1959), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 161. 53 Badan ini didirikan oleh pemerintah Jepang pada tanggal 28 April 1945, karena sebelumnya, sekitar Oktober 1944, Perdana Mentri Kuniaki Kaiso mengumumkan bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan dalam waktu dekat. Lebih lengkap lihat, George McTurnan Kahin, Refleksi
1945, Badan tersebut membahas prinsip-prinsip dasar negara yang akan didirikan. Ada pertanyaan fundamental dari dr. Radjiman, yang kebetulan pada waktu itu ia sebagai ketua dari badan tersebut. Pertanyaan tersebut dilontarkan dalam pidato pembukaan sidang, yaitu apakah dasar negara yang akan dibentuk itu ? Ternyata pertanyaan tersebut mendapat respon positif, sehingga para anggota sidang dengan jumlah 60 orang, selain ketua dan wakil ketua, ikut berpartisipasi dalam merumuskannya. Ternyata perbedaan pendapat pun tidak bisa dielakan, seluruh perwakilan seperti para golongan priyayi Jawa, pedagang Sumatera, golongan Petani, kelompok Islam dan nasionalis. Semua kelompok mempunyai gagasan sendiri-sendiri yang sulit untuk dipertemukan. Namun paling tidak, terdapat dua kelompok besar yang saling berbeda paham ketika itu dan tetap bersikokoh mempertahankan landasan negara yang mereka usung, yakni kelompok Islam; yang menginginkan Islam menjadi dasar dan rujukan dalam sebuah negara Indonesia. Kelompok lain, yaitu kelompok sekuler menghendaki dasar negara ialah kebangsaan. Sekitar tiga hari perdebatan tajam itu terus berhujam, maka pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan gagasan dalam pidatonya, yang kemudian menjadi amanat terkenal dengan sebutan Lahirnya Pancasila. Soekarno menawarkan lima prinsip sebagai jalan keluar: Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, tetapi negara yang berdasarkan Pancasila.54 Menurut Kahin, Soekarno
Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, cet. II, (tanpa kota: UNS Press, 1995), h. 145. 54 Eka Darma Putra, Pancasila: Identitas dan Modernitas; Tunjauan Etis dan Budaya, cet. VI, (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), h. 105.
menggali lima prinsip dasar, Pantja Sila, yang dirasakan akan membimbing dan memenuhi syarat sebagai dasar filsafat suatu Indonesia yang merdeka.55 Pidato Soekarno dalam dokumen (risalah) BUPKI dan PPKI : “…Saudara-Saudara ! “Dasar-Dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Darma ? Bukan ! nama Panca Darma tidak tepat disini. Darma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apa lagi yang lima bilangannya ?... sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ke-Tuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa-namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia kekal dan abadi...”.56
Kelima dari dasar Pancasila, menurut Soekarno bisa diperas menjadi tiga prinsip (tri sila). Dua prinsip pertama, yaitu nasionalisme dan internasionalisme atau peri kemanusiaan, menurut Soekarno bisa diperas menjadi satu prinsip, yakni sosionasionalisme. Begitupun selanjutnya, dua prinsip berikutnya demokrasi atau permusyawaratan dan keadilan social dapat diperas menjadi satu prinsip ialah prinsip sosio-demokrasi. Hiangga yang ada kini menjadi tiga perinsip adalah sosionasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi, ketiga perinsip (tri sila) ini masih bisa diperas menjadi satu perinsip (eka sila), yaitu perinsip “Gotong royong”. Seperti yang pernah diungkapkannya:
55
Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, h. 154-155. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)--Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Ghalia Indonesia 1995), h. 61. 56
“…Jika saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong royong ! alangkah hebatnya ! negara gotong royong...”57 Untuk mengungkapkan istilah ini (gotong royong), Soekarno melanjutkankan pidatonya dengan mengatakan: “Gotong royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara. Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, satu amal, satu pekerjaan,… Gotong royong adalah membanting tulang bersama, memeras keringat bersama, pekerjaan Bantu-membantu bersama. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama ! itulah prinsip gotong royong ! Prinsip gotong royong diantara yang kaya dan yang miskin, antara Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia…”.58 Pidato tersebut ternyata mendapat respon yang hangat dan positif oleh para anggota, Soekarno berhasil memberi jalan keluar dari kebuntuan, polemik dan desakan waktu yang amat dekat ketika itu. Dalam pernyataan itu, maka usaha-usaha Soekarno telah mencapai klimaks-nya dalam bentuk nyata. Dipotret dari sisi intelektualitas, sesungguhnya pidato Soekarno tidak jauh berbeda dengan pemikiranpemikiran sebelumnya, yakni nasionalisme, Islam dan marxisme, tetapi dengan tambahan pada penekanan pentingnya keadilan sosial dan kepercayaan kepada Tuhan sebagai prinsip dasar.
57
Dikutif dari Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 17. juga dapat dilihat Leggi, Sukarno Biografi Politik, h. 216. 58 Dikutif dari Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin, Subversi Politik Luar Negeri, h. 159-160. Dapat juga dilihat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), h. 82.
Segera setelah pidato Soekarno di depan para anggota badan penyelidik yang menjadi cikal bakal kelahiran pancasila, membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang.59 Tugas panitia ini adalah merumuskan kembali pancasila (berdasarkan pidato Soekarno) dan mempergunakan teks tersebut untuk memproklamirkan Indonesia Merdeka. Setelah melalui pembicaraan serius, akhirnya panitia kecil ini berhasil membentuk sebuah rumusan yang kemudian terwujud dalam istilah Muhammad Yamin dengan sebutan “the Jakarta Charter” (Piagam Jakarta), sedangkan Soekiman menyebutnya sebagai Gentlemen Agreement (semacam perjanjian luhur) yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Segera setelah Piagam Jakarta terbentuk, pada tanggal 10 Juli 1945 dalam sidang paripurna BPUPKI, Soekarno menyampaikan hasil dari pembicaraan panitia sembilan itu: “…dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.60 Adapun rancangan preambul yang diperuntukan untuk memproklamasikan Indonesia telah disetujui sebulat-bulatnya oleh panitia sembilan. Isi preambul ini yang kelak akan diumumkan pada 17 Agustus 1945 sebagai wujud bahwa kemerdekaan Indonesia semuanya tidak terlepas atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa. Preambul yang berisikan empat alinea ini disebutkan adanya dorongan yang
59
Panitia kecil tersebut nama-namanya ialah: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejono, Abdul Kahar Muzzakir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasjim dan Muhammad Yamin. 60 Dikutip dari Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 30.
penuh, agar supaya bangsa Indonesia merdeka. Dengan tujuan bahwa bangsa Indonesia menjadi sebuah pemerintahan yang membentuk dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kemudian mensejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Akhir dari alinea inilah sebuah rumusan dasar negara Indonesia yang dikenal Pancasila. Namun saja, Pancasila dalam preambul ini belum sepenuhnya dijadikan hasil kesepakatan untuk dijadikan dasar negara Indonesia. dikarenakan, dalam Piagam Jakarta terdapat tujuh kata sakral bagi umat Islam, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, tujuh kata inilah yang menjadi bahan sorotan, baik golongan non Islam maupun golongan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, pembahasan banyak terpusat pada kata-kata itu. Sehari setelah ada kesepakatan terhadap kata tersebut, yakni pada 11 Juli 1945, Latuharhari, seorang protestan dan anggota Badan Penyelidik, menyatakan keberatannya atas tujuh kata sacral bagi umat Islam, “Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain”.61 Disamping itu, tujuh kata tersebut tidak dilengkapi dengan pemaparan yang lebih luas dan lengkap, sehingga menimbulkan persoalan lain selain yang dimaksud Latuharhari, seperti pertanyaan Legge misalnya, apakah kewajiban ini berlaku hanya untuk orang Islam yang shaleh atau bagi semua yang namanya saja penganut Islam ? Apakah pelaksanaan kewajiban ini dilaksanakan oleh orang Islam secara perorangan
61
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 32.
ataukah harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang negara ?62 lebih lanjut tendas Legge, apakah ini berarti di sebuah negara ada undang-undang yang terpisah untuk orang Islam dan non Islam. Cukup disayangkan, persoalan ini tidak diselesaikan secara signifikan. Terdapat lima rumusan resmi dasar negara dalam sejarah Indonesia, sejak Piagam Jakarta sampai kepada Pembukaan Undang-Undang Dasar. Yakni Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembukaan yang mencantumkan isi Pancasila resmi itu, dijadikan sebagai landasan kuat sebuah ideologi bangsa. Pencantuman yang bertuliskan empat alinea ini tidak lain adalah isi dari Piagam Jakarta. Tetapi yang membedakannya ialah dengan menghapus tujuh kata sakral “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dan penambahan kata “Yang Maha Esa”, setelah kata “Ketuhanan”. Asas Pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 itulah yang dianggap resmi hingga sekarang,63 walaupun dalam perjalanannya mengalami berbagai persoalan yang fundamental. Seperti halnya yang terjadi pada konstitusi RIS. Didalam Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) dan Mukadimah UUDS
62
John D. Leggi, Sukarno Biografi Politik, cet. IV (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), h. 219. Yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 63
1950, Pancasila dirumuskan dengan kalimat: Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, sementara Mukadimah UUDS 1950 sebenarnya berasal dari Pembukaan UUD 1945. Namun asas ini hanya sebatas catatan sejarah yang memang memberikan ide-ide dasar tersebut, oleh karena ini tidak berlangsung sampai satu tahun, karena terjadi demonstrasi massa yang menginginkan agar negaranegara bagian segera bergabung dengan Republik Indonesia. Maka pada tanggal 17 Agustus 1950, menjadi satu negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatasi oleh M. Natsir tampil dengan mengajukan mosinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Federal (parlemen RIS) pada tanggal 3 April 1950.64 Mosi tersebut kemudian dikenal dengan “mosi integral Natsir”. Lima tahu setelah itu, bangsa Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) pertama kalinya yang dilaksanakan pada tahun 1955, dan pada tanggal 10 Nopember 1956 konstituante memulai persidangannya yang pertama, akan tetapi cukup disayangkan sidang konstitusi ini tidak berjalan lancar. Persoalan yang dihadapi anggota konstituante masih tetap pada persoalan dasar negara. Apakah Indonesia akan berdasarkan Pancasila atau Islam ? Pemilu itu ternyata tidak bisa mengantarkan kedua kelompok (pro Pancasila-pro Islam) mencapai puncak sebagai penentu dari dasar negara, oleh karena keduanya tidak berhasil meraih 2/3 suara yang diperlukan. Hingga pada akhirnya, para anggota konstituante menemukan jalan
64
Mosi tersebut ditandatangani oleh M. Natsir, Subandio Sastrosatono, Hamid Algadri, Sakiman, Ki Werdojo, A.M. Tambunan, N. Hardjosubroto, B. Sahetapy Engkel, Tjokronegoro, M. Tauchid, Amelz dan Sirajuddin Abbas. Mereka adalah perwakilan aliran-aliran politik terbesar didalam DPR. Lihat Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 122.
kebuntuan yang tidak terlihat titik akhir dari perdebatan. Menghadapi situasi seperti ini, perdebatan konstituante selama dua setengah tahun tidak terlihat recover, maka pada tanggal 5 Juli 1959, di depan istana merdeka Jakarta presiden Soekarno mengumumkan “Dekrit Kembali ke UUD 1945”, yang berbunyi sebagai berikut:
“DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PENGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG, Dengan ini menyatakan dengan khidmat: Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagaian besar anggotaanggota Sidang Pembukaan Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya; Bahwa yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelematkan negara proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut; Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG, Menetapkan pembubaran konstituante; Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Juli 1959. Atas nama rakyat Indonesia Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Soekarno”65. Walaupun sebagian orang mengatakan, bahwa dekrit tersebut adalah sebuah tindakan yang tidak demokratis ternyata mendapat dukungan luas. Beberapa pertimbangan dari dukungan tersebut ialah. Pertama, oleh karena ternyata badan itu gagal untuk mencapai mufakat. Kedua, oleh karena perdebatan yang terjadi itu dirasakan atau paling sedikit dikuatirkan akan mengganggu kesatuan dan keserasian di dalam kehidupan bangsa.66 Pertarungan yang bersifat ideologis itu, menurut Sartono Kartodirdjo, adalah karena: “Struktur masyarakat Indonesia sejak masa pergerakan nasional sudah menunjukan kecenderungan kearah faksionalisme atau penggolonganpenggolongan berdasar factor-faktor etnis, religius, ideologi, sosio cultural 65
Dikutif dari Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 110-112. Eka Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya, cet VI (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), h. 112. 66
dan lain sebagainya. Dalam masyarakat yang pluralistis itu hampir setiap perubahan atau pembaharuan mudah membangkitkan konflik, tidak lain karena posisi sosial dengan kepentingan menentukan sikap dan kelakuan politiknya”.67 Konflik itu tidak saja mengakibatkan terjadinya perpecahan dikalangan masyarakat tetapi akan menyebabkan terhambatnya pembangunan bangsa dan negara. Dengan demikian, Pancasila secara fungsional berakar pada etos yang dominan di dalam masyarakat Indonesia yang semua itu didasari oleh kesatuan bangsa.
C. Soekarno dan Perumusan Dasar Negara Pelajaran dan pengalaman dari sejarah dimasa lampau, serta realitas kondisi sosial masyarakat Indonesia, hampir tidak lepas dari perhatian dan pertimbangan Soekarno. Sehingga rumusan Pancasila, merupakan refleksi dari kepribadian dirinya. Salah satu kekuatan Pancasila yang tak ternilai adalah berakar dalam dinamika kebangsaan Indonesia.68 Maka, secara tegas Soekarno menawarkan Pancasila yang dinilainya mampu menjadi ruang konsolidasi nasional yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan kompleksitas etnik dan budaya. Bukan saja persatuan secara geografis yang menjadi perhatian , tetapi ia juga mengupayakan perdamaian di antara berbagai kelompok keagamaan di Indonesia dan keserasian ideologis. Soekarno tidak merasa yakin pada masa pascarevolusi untuk
67
Dikutif dari Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 95. 68 Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Pancasila; Pertemuan Ideologi yang Menguntungkan, dalam kata pengantar M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Surya Raya, 2004), h. xii.
mencapai kosensus politik yang melebihi prinsip-prinsip dasar Pancasila. Menurut Soekarno, pemerintahan yang harus bisa mencerminkan kebersamaan yang harmonis antara aliran ideologi yang ada di Indonesia dan saling menghargai di antara para penganutnya. Seperti apa yang dikatakan Benedict Anderson dalam karyanya “The Idea of Power in Javanese Culture”, yang dikutif oleh Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin, kekuasaan pemimpin bergantung pada “kemampuan untuk mengatakan perbedaan dan merangkul para pengikutnya”.69 Begitupun juga, sebuah pemerintahan yang kuat dan efektif diperlukan untuk mengatasi dan merangkul aliran-aliran utama dalam negeri. Menurut Soekarno, Pancasila memiliki dua landasan fundamental, yaitu landasan politik dan landasan etika. Konsep nasionalisme merupakan landasan dari politik, sementara prinsip Ketuhanan basis etikanya. Makanya tak heran Soekarno meletakan prinsip nasionalisme pada urutan pertama, selain prinsip internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Soekarno tidak menghendaki negara Indonesia berdasarkan agama, termasuk Islam. Walaupun demikian, bukan berarti ia mengebiri eksistensi ideologi yang yang berbasiskan pada ajaran-ajaran agama (Islam). Karena situasi dan kondisi ketika itulah yang mengharuskan Soekarno bersikap tegas dalam menegakan Pancasila. Hal
69
Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin, Subversi Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, cet II, (Jakarta: PT Temprint, 2001), h. 50.
ini juga pernah disampaikan, Letnan Jendral H. Soedirman, seorang Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI), dalam tulisannya: “karena keadaan situasi dan kondisi tanah air masih didalam mara bahaya, dimana sekutu sudah mengelilingi kita, akan mengembalikan kolonialisme Belanda/NICA untuk menjajah kembali negara kita…”.70 Itulah sebabnya segala kepentingan ideologi dan perdebatan-perdebatan prinsipprinsip falsafah negara dikesampingkan lebih dahulu. Meskipun, jauh setelah UUD 18 Agustus 1945 ditetapkan, perdebatan tentang dasar negara dalam masa 1950 – 1955
terjadi di dewan konstituante, terutama ketika Soekarno menyampaikan
pernyataan yang penuh kontraversi di Amuntai, Kalimantan Selatan, ia berkata: “Negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia, kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya Maluku, Bali, Flores, Timor, Kai, dan juga Irian Barat yang belum masuk wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik”.71 Dari pidatonya itu, Soekarno banyak mendapat kritik dari kalangan Islam. A. Dahlan Ranuwihardjo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, salah satunya, yang kemudian mengirim surat kepada Soekarno selaku presiden pada tanggal 13 April 1953. Dalam surat tersebut ada tiga buah probleemstelling (persoalan) yang dipertanyakan oleh Ranuwihardjo, satu diantaranya ialah mengenai hubungan antara ideologi Pancasila dan ideologi Islam.72 Untuk menjawab semua itu,
70
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 65. Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 68. 72 Lebih lengkap lihat, Soekarno, Negara Nasional dan Cita-Cita Islam, (kuliah umum Presiden Soekarno), (Jakarta: Pusat Data Indikator, 1999), h. 5-9. 71
Soekarno memaparkan melalui kuliah umum pada tanggal 7 Mei 1953 di Universitas Indonesia dengan mengutif pendapat Natsir, menurutnya: “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa menyatakan lebih daripada itu dan mensitir (mengutif) Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohd. Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain, bahkan sama satu sama lain”.73 Kemudian dari akhir pidatonya, Soekarno kembali mengutif pendapat Natsir: “Pakistan is Moslem country. So is my country Indonesia. But though we recognize Islam to be the faith of the Indonesia people, we have not made an expressed mention of it in our Contitution. Nor have we excluded religion from our national life Indonesia has expressed its creed in the Pancasila, or the five principles, which have been adopted as the spiritual, moral, and ethical foundation of our nation and our state…”.74 (Pakistan adalah sebuah negeri muslim. Begitupun Indonesia. Walaupun kami mengakui Islam sebagai agama rakyat Indonesia, tapi kami tidak menyatakan hal itu secara tegas dalam konstitusi kami. Akan tetapi, kami tidak menafikan agama dari kehidupan nasional kami. Indonesia telah menyatakan keyakinanya yang tertuang dalam lima prinsip dasar Pancasila yang telah kami ambil sebagai dasar spiritual, moral dan etis bangsa…) Berkaitan dengan persoalan pemisahan agama dari negara, maka menurutnya (Soekarno) bukan berarti ajaran Islam dikesampingkan, sebab rakyat dapat memperjuangkan ajaran Islam kedalam kebijakan negara melalui DPR. Oleh sebab itu, Soekarno meyakini demokrasi sebagai alternatif bentuk dari negara Indonesia. Sehingga negara yang menganut demokrasi, semua kelompok keagamaan dituntut menguasai parlemen, dengan begitu, menguasai lembaga berarti menguasai negara
73 74
Soekarno, Negara Nasional, h. 60. Soekarno, Negara Nasional, h. 61.
dan pada akhirnya keinginan luhur para elit (tokoh Islam) dapat terlaksana. Hal ini seperti yang digambarkan Soekarno: “Lagi pula, disesuatu negeri jang ada demokrasi jang ada perwakilan rakjat jang benar-benar mewakili rakjat, di negeri jang demikian itu, rakjatnja toch dapat memasukan segala matjam “keagamaan” kedalam tiap-tiap tindakan negara, kedalam tiap-tiap politik jang dilakukan oleh negara, walaupun disitu agama dipisahkan dari negara. Asal sebagian besar dari anggauta-anggauta parlemen politik agama, maka semua putusan-putusan parlemen itu politiknja politik Islam, maka tidak akan dapat berdjalanlah satu usul djuapun jang tidak bersifat Islam…”.75 Untuk lebih meyakinkan tentang konsepsi politiknya, Soekarno dengan semangat mengatakan:
“…Gerakanlah Tuan punja propaganda dikalangan rakjat Tuan itu dengan tjara jang sehaibat-haibatnya, supaya rakjat Tuan itu mengirim sebanjak mungkin wakil-wakil Islam dikalangan rakjat Tuan… dan badan-perwakilan itu akan dibandjiri dengan utusan-utusan jang politiknja Islam, hatinja Islam… Maka negara itu dengan sendirinja menjadilah bersifat negara Islam…”.76
Walaupun perhatian sesungguhnya terpusat pada keinginan terwujudnya suatu kesepakatan yang merangkul semua golongan yang ada ketika itu. Akan tetapi dalam kenyataannya Soekarno tidak menginginkan golongan Islam berada dalam posisi kuat (Islam sebagai dasar negara). Hal ini terlihat dari keterus-terangannya yang mengatakan: “sebenarnya Indonesia bukanlah sebuah negara Islam”. “kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah….berapa persen (umat Islam, peny) memberikan suaranya kepada Islam…Bagi saya, hal itu adalah suatu
75 76
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Djakarta: Gunung Agung, 1965), h. 407. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 452.
bukti bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat”.77 Bagaimana pun kesimpulan Soekarno, nampaknya alasan yang cukup sehat dan rasional. Akan tetapi, pernyataannya merupakan suatu tantangan dan kritikan yang tajam bagi umat Islam itu sendiri, walau pada kenyataan bahwa sintesisnya (baca: Nasakom, 1926) bukanlah bersifat merangkul, tetapi jelas bersifat memihak. Dalam hal ini ialah kepentingannya sendiri.
77
Leggi, Sukarno Biografi Politi , h. 218.
BAB IV NILAI-NILAI DASAR NEGARA DALAM PERSPEKTIF SOEKARNO
Sejak awal kelahirannya, Pancasila telah berfungsi sebagai kompromi politik atau “Payung Politik” yang cukup lebar untuk menaungi orientasi politik yang berbeda-beda. seperti yang dikatakan Alisjahbana, yang dikutif oleh Eka Darmaputra, mengatakan bahwa: “…Pancasila adalah sebuah kompromi, sebuah kesepakatan pada saat yang kritis di dalam sejarah kita sebagai bangsa yang menuntut kita bekerja cepat dan efisien. Dan kita harus bersyukur karenanya, sebab sebagai kompromi Pancasila telah mampu menolong kita pada saat yang paling menentukan didalam sejarah kita”.78 Pancasila juga bagaikan mahluk yang arif dan bijaksana dalam memberi ruang kepada ideologi-ideologi untuk terlibat didalam proses dialogis politis antara satu dengan yang lainya. Hal ini menandakan bahwa segala pemikiran mempunyai ruang di dalam tubuh Pancasila. Dengan kata lain, bahwa Pancasila merupakan pilihan
terbaik dari pilihan lainnya yang tersedia di tubuh bangsa Indonesia. la telah membuktikan mampu mempersatukan bangsa Indonesia dengan tetap berpegang pada kultur masa lalu yang sangat kaya dan beraneka-ragam, serta secara efektif telah mampu mengatasi masalah-masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia. Bahkan Pancasila telah berhasil memberikan jalan kepada 78
Eka Darmaputra, Pancasila: Identitas dan Modernitas; Tinjauan Etis dan Budaya, (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), h. 136.
bangsa, satu kerangka nasional dalam mewujudkan cita-cita bersama (baca: Nasional). Setiap selompok aliran bisa menafsirkan sendiri-sendiri, namun demikian bukan berarti harus menghilangkan identitasnya. Dalam artian, penafsiran tunggal tidaklah mungkin, karena jika itu dilakukan, maka sudah pasti akan terjadi ketegangan dan konflik terulang kembali. Atas dasar itulah, Soekarno sebagai penggali Pancasila memberikan sebuah rumusan diantara butir-butir yang terkandung dalamnya. Hal yang perlu digarisbawahi mengenai susunan atau urutan Pancasila resmi, tidak sama dengan urutan yang dikemukakan dalam pidato Soekarno. Urutan tersebut baginya bukan hal yang prinsip, tetapi yang lebih utama ialah subtansi masing-masing sila.
F. Konsep Ketuhanan Dalam Pancasila mengandung konsep Ketuhanan, seperti tergambar dari sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, berasal dari kata Tuhan, Sang Pencipta segala sesuatu yang ada di alam raya ini. Yang Maha Esa berarti Maha Tunggal, tidak sekutu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Sila pertama ini merupakan karakteristik dari bangsa Indonesia itu sendiri, karena sejak dulu bangsa Indonesia beratus-ratus tahun lamanya sudah mengenal sang pencipta. Karena pada hakekatnya manusia adalah mahluk religius. Butir ini sebelumnya berada pada urutan kelima dalam pidato Soekarno. Dalam pidatonya ia mengatakan:
“Marilah kita menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan tetapi bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan , tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya tiap-tiap orang menyembah Tuhannya secara leluasa. Marilah kita amalkan, jalankan agama dengan cara berkeadabaan. Apakah cara yang berkeadabaan itu ? ialah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan hormat menghormati satu sama lain”.79 Dalam kesempatan lain, Soekarno mengatakan: “Nabi Muhammad saw., telah memberikan bukti yang cukup tentang verdraagzaamhcid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukan verdraagzaamhcid, itu ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”.80 Ia menginginkan seluruh bangsa Indonesia memiliki keyakinan (beragama). Dengan itu, bangsa akan hidup dalam keadaan harmonis, kondusif, toleransi dan saling bahu-membahu satu dengan yang lainnya. Maka tak salah jika Soekarno memasukan sila ini ke dalam Pancasila. Karena yang membuat Pancasila ini unik dan khas adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Disinilah letak dari ruh Pancasila, yang menggambarkan dari kemajemukan keberagamaan di Indonesia. Oleh karena itu, bila menjalankan agamanya masing-masing dan toleransi dijunjung tinggi niscaya sila-sila lain dapat terwujud dengan baik. Tentang keberagamaan masyarakat secara umum, melalui pendekatan sosiologis, Soekarno membentangkan tingkat keberagamaan masyarakat menjadi lima fase. Yaitu fase pertama, Tuhan manusia (polytheisme, peny) menurutnya Tuhan
79
Dikutif dari Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cet. VII, (Jakarta: Ketut Masagung Corporation, 2001), h. 331. 80 Soekarno, Pancasila Azimat Revolusi: Nasakom, Pancasila, Manipol Usdek, Trisakti Tavip berdikari, (Ciputat: Totalitas, tanpa tahun), h. 50.
digambarkan, seperti “Tuhan guntur”, “Tuhan air sungai”, “Tuhan angin”. Manusia pada fase ini hanya sebatas merasakan apa yang terjadi pada fenomena alam. Melangkah fase kedua, manusia hidup dari peternakan (totonisme, peny), karena masyarakat ketika itu berpendapat ia dapat melangsungkan hidupnya disebabkan oleh binatang, yang telah memberi susu, daging dan lain sebagainya. Fase ketiga, manusia hidup dari pertanian. Masa ini pertanian merupakan, istilah Soekarno onzekere factor, tergantung dari iklim. Masyarakat ini dapat dicirikan, ketika sudah menanam tanaman kemudian mereka (masyarakat) memohon dengan memberi sesaji. Inilah corak masyarakat agraris. Pada masa fase ini pula, “Tuhan” diwujudkan seperti manusia. Dalam ilmu pengetahuan, menurut Soekarno dinamakan anthropomorph81, yang berarti bentuk manusia. Selanjutnya, Soekarno menggambarkan fase keempat, dalam fase ini masyarakat sudah mulai kreatif, mereka sudah dapat membuat jarum, sabit, bajak walaupun masih sangat primitif. Dengan keadaan seperti itu, ada kegalauan dalam diri masyarakat, dibalik semua ini siapa penentu dari alam ini, merekapun menemukan jawabnnya yaitu akal. Oleh karena akallah yang menjadi penentu hidup mereka. “Tuhan” di fase ini tidak lagi berwujud. Dan fase terakhir, fase kelima industrialisme, zamanpun sudah modern segala sesuatu untuk kebutuhan hidup terdapat alat-alat canggih, komunikasi jarak jauh tanpa harus bertemu orangnya, membuat petir sampai menundukan bulan. Apa yang tidak bisa dilakukan manusia
81
h. 137.
Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, (Yogyakarta: Media Perssindo, 2006),
pada fase ini. Sehingga dalam fase ini seperti yang dikatakan Nietzsche “Tuhan telah mati”. Maka tak heran jika gambaran masyarakat yang dipaparkan Soekarno ini, “Tuhan ialah diri manusia itu sendiri”. Walaupun ia sendiri menolak pendapat ini. Seperti yang digambarkan Soekarno di atas, sebelum manusia mengenal agama, mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Jika demikian tingkat keberagamaan masyarakat yang dibentangkan Soekarno, lalu bagaimana dengan keberagamaan Masyarakat Indonesia ? Menurutnya: “…pada garis besarnya percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan yang gaib. Sebagian kecil yang telah hidup di dalam alam industrialisme,…tetapi itu bukan lagi corak daripada keseluruhan tingkat masyarakat kita. Tingkat masyarakat kita pada saat sekarang ini, terutama sekali ialah agraris, sebagian nejverheid, dan baru melangkah ke alam industrialisme”.82 Tampaknya konsep ketuhanan yang dimaksud Soekarno bukanlah ketuhanan dalam perspektif Islam. Tuhan dalam konsepnya lebih bersifat sosiologis, sehingga konsep Tuhan disini sangat relatif. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan lahir interpretasi-interpretasi lain yang beragam. Hal yang perlu digarisbawahi ialah Soekarno tidak mengatakan refleksi keagamaan atau begrip mereka (masyarakat) salah atau tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, seperti halnya muslim lainya. Soekarno hanya menitik-tekankan bahwa masyarakat Indonesia seluruhnya mengakui 82
Soekarno, Filsafat Pancasila, h. 141.
adanya “Tuhan”. Bagi Soekarno yang membedakan corak keberagamaan masyarakat atau fase-fase tersebut diatas hanyalah begrip manusia yang berbeda-beda, Tuhan tetapTuhan. Sementara Soekarno sendiri meyakini bahwa agama yang dapat diterima oleh akalnya ialah Islam. Sebagaimana dalam suratnya yang disampaikan kepada A. Hassan, seorang tokoh pendiri Persatuan Islam (Persis). “Tidak ada agama yang lebih rasional dan simplistis dari pada Islam”.83 Sekalipun Soekarno menolak Islam sebagai dasar negara, akan tetapi ia berusaha mengakomudir pikiran-pikiran yang berkembang dikalangan umat Islam. ia pun meyakini bahwa Tuhan itu Esa, Tuhan yang tidak bisa didefinisikan dan tidak berwujud. Oleh karena kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama, maka Ketuhanan Yang Maha Esa merupakah keharusan masuk dalam Pancasila sebagai dasar negara. Sebagaimana pidatonya mengatakan: “pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini… kalau kita tidak memasukan sila ini, maka kehilangan salah satu leistar yang utama. Sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini, …itulah sebabnya maka di dalam Pancasila, elemen Ketuhanan ini dimasukan nyata dan tegas”.84 Meskipun Endang Saifuddin Anshari mengatakan, bahwa prinsip Ketuhanan Soekarno itu didapat dari-atau sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari
83
Soekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh”, dalam Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Djakarta: Gunung Agung, 1965), h. 327. 84 Soekarno, Filsafat Pancasila, h. 144-145.
pemikir Islam yang bericara mendahului Soekarno dalam Badan Penyelidik itu.85 Maka dengan demikian jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan “prima causa” atau sebab pertama itu, sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidu’sshifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia.86 Hal senada juga pernah disampaikan Cak Nur (Nurcholish Madjid) dalam bukunya “Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi” memandang Pancasila, melalui kias atau analogi sebagai “kalimat persamaan” (kalimah sawa). Pancasila, sebagai social contract, dan aturan main yang merupakan kesepakatan yang mengikat seluruh masyarakat, antar golongan, untuk mendirikan sebuah negara, membangun masyarakat politik bersama.87 Demikian, menurut Azyumardi Azra bahwa. Semua sila yang terkandung di dalam Pancasila serasi dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan manusia untuk hanya percaya kepada satu Tuhan, seperti yang biasa dengan gambelang terlihat pada kalimat syahadat. Islam juga mendesak pemeluknya untuk bersatu, untuk saling mengasihi, dan bermusyawarah dalam urusan social dan politik. Disamping itu, Islam sangat menekankan tegaknya keadilan social.88
85
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Repulik Indonesia (1945-1959), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 23. 86 Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 23. 87 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan wakaf Paramadina, 1999), h. 75. 88 Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), h. 82.
Dari struktur Pancasila, sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menempati posisi yang paling tinggi. Oleh karena itu, tak heran jika Bung Hatta mengatakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa “menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain”.89 Dengan demikian, sila pertama ini mempunyai hubungan organik dan tidak bisa dipisah-pisah dengan sila-sila lainnya. G. Kemanusiaan Kemanusiaan yang adil dan beradab, berasal dari kata manusia, yakni mahluk berbudi yang memiliki potensi berpikir, rasa, karsa dan cipta. Menurut Soekarno, kemanusiaan itu sejak dulu sudah ada, walaupun dalam jumlah yang relatif sedikit. Terlepas dari pengaruh Islam, bahwa semua golongan berasal dari nenek moyang yang sama, yakni Adam dan Hawa. Walaupun kemudian tumbuh dan berkembang sampai pada tingkat berbangsa-bangsa. Oleh karena itu, Soekarno menendaskan, satu mahluk masyarakat dan manusia ialah satu homo socius atau dalam pengertian lain bangsa hanyalah dapat hidup didalam interaksi umat manusia, meskipun pada mulanya tidak ada yang dinamakan bangsa. Sila Kemanusiaan masuk dalam butir kedua dalam Pancasila, yang juga tercetus dari pidato Soekarno, antara lain ia mengatakan: “Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada keluarga bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua, inilah pilosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan yang boleh saya namakan “internationlaisme”. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme bukanlah saya bermaksud 89
Dikutif dari Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang PrinsipPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Prenanda Media, 2003), h. 198.
kosmopolitisme, yang tidak mau adanya bangsa, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dibuminya nasionalisme”.90 Sila kedua ini oleh Soekarno disebut internasionalisme. Tetapi internasionalisme itu sendiri perlu dibedakan dari kosmpolitanisme yang tidak mengakui lagi adanya nasionalisme. Sebaliknya, menurut Soekarno, internasionalisme harus berakar di dalam bumi nasionalisme. Namun sila kedua ini oleh Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) disebut dengan kemanusiaan yang intinya ialah menunjukan pada persamaan derajat manusia diseluruh dunia, sementara penambahan kata “adil” dan “beradab” adalah penegasan tentang kata kemanusiaan (human dignity). Dengan kata lain, kemanusiaan manusia akan lahir manakala manusia itu di bingkai oleh sifat adil dan beradab, karena sila kedua ini ingin menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan. Soekarno kemudian menghubungkan antara kemanusiaan dan prikemanusiaan. Menurutnya, kemanusiaan adalah alam manusia de mensheid. Prikemanusiaan adalah jiwa yang merasa bahwa antara manusia dengan manusia dengan hubungannya, yaitu yang hendak mengangkat membedakan jiwa manusia itu lebih tinggi dari pada jiwa bintang.91 Lebih jauh Soekarno mengatakan, kemanusiaan adalah alam itu
90
Dikutif dari M. Abdul Karim, Menggali Pancasila dalam Perspektif Islam, (Jokjakarta: Surya Raya bekerjasama dengan Sunan Kalijaga press, 2004), h. 55. lihat juga, George McTurnam Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, cet II, (TK: UNS Press), h. 156. 91 Soekarno, Filsafat Pancasila, h. 194.
sendiri, sedangkan prikemanusiaan, merupakan sebuah proses pertumbuhan rohani, perkembangan kebudayaan. Dengan kata lain, perikemanusiaan adalah hasil dari sebuah proses evolusi di dalam diri manusia itu sendiri. Berbeda dengan kemanusiaan sejak dulu sudah ada meskipun dalam jumlah yang masih terbatas. Mengenai peri kemanusiaan, Soekarno menggambarkan masyarakat dulu hidup dalam alam yang masih tingkat rendah, baik dari sisi ekonomi maupun sisi keberadabaannya. Hidupya belum berhukum, belum beraturan. Belum ada yang dinamakan perkawinan, hidup sebagai suami-isteri seperti sekarang ini. Sehingga, menurut Soekarno, laki-laki dan perempuan ketika itu tak indahnya seperti binatang. Tetapi, seiring perputaran waktu tingkat pemikiran akal sudah matang, nilai-nilai kemanusiaan pun mulai terwujud. Didalam sila kedua ini pula tercermin suatu sikap yang tegas bangsa Indonesia, yaitu anti penjajahan, karena penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Oleh karena itu, sila ini di dalamnya terkandung nilai-nilai universal yang diakui oleh masyarakat internasional. Mereka sama-sama memiliki martabat kemanusiaan yang tinggi. Mereka harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti apa yang dimaksudkan Soekarno, bahwa sila ke dua ini tersimpul cita-cita kemanusiaan yang memenuhi seluruh hakikat manusia. Dengan demikian, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama terhadap undang-undang negara, mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Maka dari itu, setiap warga negara dijamin haknya serta kebebasannya yang menyangkut hubungan dengan Tuhan, dengan sesama warga negara, dengan negara,
dengan masyarakat dan menyangkut pula kemerdekaan menyatakan pendapat dan mencapai kehidupan yang layak.
H. Persatuan Persatuan Indonesia mengandung pengertian utuh tidak terpecah belah; bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Oleh karena itu, persatuan nasional akan terancam, jelas Soekarno, apabila satu ideologi eklusif, khususnya di sini Islam jika tetap mempertahankan sebagai dasar negara bagi totalitas penduduk. Dalam hal ini KH. Wahid Hasyim mengakui adanya kepedulian kaum nasionalis untuk menjaga kesatuan negara Indonesia dan sepakat bahwa demi persatuan Republik Indonesia, Islam tidak perlu mendapat perlakuan istimewa. Bagi Hasyim, pertanyaan yang paling urgen bagi umat Islam bukan “bagaimana tempat dan posisi umat Islam dalam negara ?”, tetapi “dengan istrumen apa umat Islam bisa menjamin posisi semua agama dalam Indonesia merdeka ?”.92 Kemudian untuk merumuskan sila persatuan ini Soekarno masih berpijak kepada pemikiran Renan dan Otto Bauer, baik sila yang sebelumnya maupun sila ketiga ini. Walaupun demikian, kedua pemikir tersebut menurut Soekarno masih memiliki kekurangan. Keduanya tidak mempertimbangkan syarat lain yakni;
92
M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Surya Raya, 2004), h. 30.
“persatuan antara manusia dan tanah”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Indonesia adalah negeri kita, Indonesia yang bulat…”93 Pada tangal 1 Juni 1945 di depan Badan Penyelidik, dengan semangat Soekarno mengatakan: “menurut geopolitik, maka Indonesia tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatra saja, atau bukan Borneo sata …, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah swt., menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudra, itulah tanah air kita ! Maka jikalau ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah defenisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu…,”94 Sebagai penegasan dari kata-kata sebelumnya, Soekarno mengatakan, yang dikutip oleh Abdul Karim dalam karyanya, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam: “Telah saya disebutkan bahwa bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika terdiri dari atas jutaan manusia dan mendiami ribuan pulau yang merupakan kesatuan.karena itu, tidak dapat dipecah-pecah, ia adalah satu kebulatan”.95 Dari pendapat Soekarno tersebut diatas dapat dipahami, Indonesia mengandung dua pengertian, yakni pengertian geografis yang berarti sebagian bumi yang membentang dari bujur timur, lintang utara sampai lintang selatan dan pengertian politis, yaitu sebuah bangsa yang hidup di dalam wilayah sebuah negara. Jadi persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia.
93
Kahin, RefleksiPergumulan Lahirnya Republik, h. 156. Wawan Tunggal Alam, Bung Karno: Menggali Pancasila “kumpulan pidato”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 17. 95 Karim, Menggali Pancasila, h. 56. 94
Persatuan ini karena didorong untuk mencapai kehidupan yang bebas-merdeka dan berdaulat. Disamping itu, cita-cita luhur dalam sila ini ialah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Untuk lebih memahami sila ini (sila ke III) oleh Soekarno diperingatkan, jangan memahaminya secara chauvinisme, atau menganggap bangsa selain Indonesia seluruhnya hina. Karena menganggap Indonesialah yang terbaik dan termulia. Ia melihat persatuan Indonesia berdasarkan abad-abad yang lalu, pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedua kerajaan tersebut, merupakan negara-negara yang berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara. Terlihat dengan jelas buah pemikirannya berupaya mengembalikan rasa berbangsa satu, yaitu sifat nasionalisme yang positif, yaitu terdiri dari rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib serta persatuan antara orang dan tempat.96 Konsep persatuan yang disampaikan Soekarno tersebut, sebenarnya bukanlah untuk pertamakalinya, ia menyampaikan konsep persatuan Indonesia dalam wujud nasionalisme. Pada tahun 1926, ia sudah menegaskan dalam karyanya, yang mengatakan: “Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnja tentang faham “bangsa” itu. “Bangsa” itu menurut ini ada suatu njawa, suatu azas-akal, jang terdjadi dari dua hal: pertama-tama rakjat itu dulunja haus bersama-sama mendjalani satu riwajat. Kedua, rakjat itu sekarang harus mempunjai kemauan, keinginan hidup bersatu. Buknja djenis (ras), bukanja bahasa,
96
Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 60.
bukannja agama, bukannja persamaan butuh, bukannja batas–batas negeri jang mendjadikan “bangsa” itu.97
Telah disinggung sebelumnya, konsep kedua tokoh (Renan-Bauer) memiliki kekurangan, dari itulah oleh Soekarno ditambah unsur hubungan orang dan tempat, dengan bahasa lainnya ialah apa yang disebut “patriotisme”. Istilah ini Soekarno mengatakan, karena kecintaan yang didasarkan kepada hubungan gaib antara manusia dengan bumi. Dalam perspektif sejarah, persatuan dan kesatuan bukan semata-mata merupakan hasil atau penalaran murni Soekarno, karena berangkat dari sebuah kesadaran bangsa Indonesia bisa bersatu. Seperti, kesadaran kebangsaan yang dipelopori oleh tokoh-tokoh, semisal R.A. Kartini yang memperjungkan emansipasi dan pendidikan kaum wanita, Budi Utomo, 1908 yang memperjungkan kemandirian, martabat bangsa dan kesadaran nasional. Berdirinya Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam, 1911 yang memperjuangkan persamaan derajat, kemandirian, solidaritas dan perkembangan sosial-ekonomi dengan bertumpu pada agama dan perdagangan. Begitupun kesadaran politik, semisal: berdirinya Indische Partij, yang dipimpin Douwes Dekker, 1912 yang memperjuangkan kemerdekaan dan membangun semangat patriotisme, berdirinya Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon dan bahkan partai-partai politik, termasuk disini PNI, dari kesadaran itulah memudahkan Soekarno, mewujudkan cita-cita sila persatuan dalam Pancasila, yang ketika itu (sebelum terwujudnya Pancasila) dikemas dengan istilah nasionalisme.
97
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 3.
Dengan kata lain, adanya nasionalisme berawal dari rasa ingin bersatu, karena persamaan-persamaan nasib, yang pada akhirnya menimbulkan suatu kepercayaan diri untuk mempertahankan dan memperjuangkan bangsa yang mengalahkan. Selain itu, adanya penjajahan memungkinkan seluruh masyarakat sama-sama tertekan dan tertindas.
I. Kerakyatan dan Demokrasi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Prinsip ini yang diistilahkan oleh Soekarno dengan istilah perwakilan atau permusyawaratan, yang dapat diartikan suatu tata cara khas keperibadian bangsa Indonesia, yakni kerjasama, persamaan, musyawarah dan kekeluargaan atau dalam istilah Soekarno, “gotong-royong”, untuk merumuskan atau memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak bersama. Begitupun kata kerakyatan yang disebut juga kedaulatan rakyat atau demokrasi. Untuk perumusan sebuah negara Soekarno berdalih, bahwa syarat yang harus dimiliki untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Prinsip ini menurut ia, sesungguhnya sudah terkandung oleh rakyat Indonesia jauh berabad-abad lamanya. Dengan kata lain, tradisi musyawarah dan mupakat sudah bagian dalam kehidupan bangsa ini. Oleh karena itu, menurutnya tidak mungkin membentuk negara hanya untuk kepentingan
satu orang atau satu golongan, melainkan “semua untuk semua, satu untuk semua, semua untuk satu”.98 Dengan adanya perwakilan, maka masing-masing politisi, masyarakat atau golongan keagamaan dituntut untuk berjuang dan bekerja sehebat-sehebatnya agar badan perwakilan rakyat dapat didominasi, maka dengan demikian apa yang menjadi cita-cita masing-masing golongan dapat tercapai. Begitupun ketika bangsa yang sedang diselimuti awan konflik tentang dasar negara, seperti golongan Islam yang menghendaki agar negara Indonesia berdasarkan suatu negara Islam, undang-undang Islam. Menjelaskan semua itu, Soekarno mengatakan: “Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang dirasakan perlu bagi perbaikan. Jikalau kita memang rakyat Islam, mari kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar dari kursikursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusanutusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobarkobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakan segenap rakyat itu,… Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat itu, hukum Islam pula”.99
Demokrasi yang menurut asal kata berart “rakyat berkuasa” atau government or
rule the people”. (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratien berarti
kekuasaan / berkuasa”.100 Walaupun demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila, masih dalam tarap perkembangan, tetapi yang tidak dapat 98
Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cet VII (Jakarta: Ketut Masagung Corporation, 2001), h. 310. 99 Risalah BPUPKI – PPKI 28 Mei 1945—22 Agustus 1945, cet II (Jakarta: Sekretarian Negara RI, 1993), h. 77. 100 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. XlX (Jakarta: PT Gramedia, 1998), h. 50.
disangkal lagi ialah apa yang tersirat di dalam UUD 1945, yakni “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Menurut Hazairin, demokrasi Pancasila pada dasarnya adalah “demokrasi sebagaimana yang telah dipraktekan oleh pihak-pihak bangsa Indonesia semenjak dahulu kala dan masih dijumpai sekarang ini dalam praktek hidup masyarakat-masyarakat hukum adat, seperti desa, kuria, marga, negari dan wanua…”.101 Pandangan Soekarno tentang demokrasi yang ada di Indonesia mengandung tiga unsur pokok, seperti yang ditulis oleh R Soekarjoto, Soekarno dalam pernyataannya mengatakan: “Bagi kami bangsa Indonesia, Demokrasi mengandung tiga unsur yang pokok, yaitu: Demokrasi mengandung pertama-tama, prinsip yang kami sebut “mufakat”, yaitu: kebulatan pendapat. Kedua, demokrasi mengandung prinsip perwakilan. Akhirnya, demokrasi bagi kami mengandung prinsip musyawarah. Jadi demokrasi Indonesia mengandung prinsip: mupakat, perwakilan dan musyawarah antar wakil-wakil…”.102 Kebulatan pendapat mengandung makna kesepakatan bersama dengan segala konsekwensinya. Prinsip mupakat, perwakilan dan musyawarah merupakan prinsip yang sangat penting. Akan tetapi, prinsip-prinsip itu harus di tunjang oleh prinsipprinsip lainnya, semisal keadilan, persamaan dan kebebasan. Karena ada hubungan erat diantara prinsip-prinsip tersebut, maka implementasinya dapat dilihat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara. Akan tetapi, Bung Hatta dalam risalahnya, Demokrasi Kita, pernah memperingatkan: “kebebasan tanpa batas hanya akan
101
Azhary, Negara Hukum, h. 201. R. Soemarjoto, Bung Karno seorang Pujangga Besar, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2001), h. 129. 102
mengandung lawannya, yaitu penindasan”,103 sebab, dalam situasi kacau akan menjadi landasan pembenaran bagi tampilnya orang kuat (rezim). Sejalan dengan itu, perkembangan demokrasi yang dianut oleh Indonesia telah mengalami pasang-surut. Sejak berdirinya Republik Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana membangun masyarakat yang beranekaragam pola budaya, ideologi dan social ekonomi dapat membina suatu kehidupan sosial politik yang demokratis. Perkembangan selanjutnya, dalam sejarah Indonesia, demokrasi oleh Miriam Budiardjo dibagi menjadi tiga masa,104 yaitu: a. Masa (1945-1959, peny) Republik I, yaitu masa demokrasi (konstitusionil) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi parlemen. b. Masa (1959-1965, peny) Republik II, yaitu masa demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusionil yang secara formil merupakan landasannya dan menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat. c. Masa (1965-, peny) Republik III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusionil yang menonjolkan sistem presidensiil.
J. Keadilan
103
Dikutif dari Nurcholish Madjid, Kebebasan, Kepartaian dan Demokrasi, dalam Abu Zahra (ed), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 383. 104 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 69.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima ini menandakan, bahwa keadilan yang berlaku dalam masyarakat terdapat disegala bidang kehidupan, baik material maupun spiritual. Untuk mewujudkan keadilan atau kesejahteraan sosial, Soekarno bertanya, Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kapitalisnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera. Pertanyaan itu sebenarnya mengingatkan untuk segenap bangsa yang telah lama berharap akan datangnya RatuAdil, yaitu akan datangnya keadilan sosial. Dalam obsesinya, Soekarno tidak hanya menghendaki persamaan politik, tetapi diatas lapangan ekonomi ia pun menginginkan kesejahteraan bersama. Artinya, kesejahteraan yang sebaik-baiknya ialah terwujudnya demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi. Karena menurutnya, banyak negara-negara Barat lebih mengutamakan demokrasi sosial (politik) akan tetapi kapitalistiknya sangat menjamur di negara tersebut. Dalam kenyataannya, sistem ekonomi kapitalis selalu mengutamakan kepentingan modal mereka, dengan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, apa lagi industrisasi tumbuh subur, maka tak heran apabila kapitalisme menjamur pula. Bahkan Soekarno pun pernah berkata, pada masa demokrasi terpimpin: “…alam industrialisme yang ada didalam saat belakang kita yang dekat ini, dikuasai oleh paham kapitalisme,…paham kapitalisme menguasai industrialisme ini. Mempergunakan industrialisme ini untuk membuat kayanya satu bagian daripada manusia dan membuat sengsara sebagian besar daripada manusia. Sistem eksploitasi daripada kepitalisme mempergunakan industrialisme ini”.105
105
Soekarno, Filsafat Pancasila, h. 294.
Dari pidato tersebut, muncul pertanyaan: apakah didalam keadilan sosial tidak perlu
industrialisme
?
Menjawab
pertanyaan
ini,
Soekarno
mengatakan,
industrialisme perlu adanya, jangan berasumsi bahwa keadilan sosial mempergunakan alat-alat yang serba kelasik dan kuno. Oleh karena itu, Soekarno menambahkan, keadilan sosial ialah satu masyarakat yang adil dan makmur dengan mempergunakan alat-alat yang serba canggih (modern), boleh mencintai dan menyenangi industrialisme modern, asal tidak dikuasai oleh sistem kapitalisme, melainkan sebaga alat-alat modern, mesin modern tendas Soekarno, harus dipergunakan untuk kepentingan umum. Untuk mewujudkan semua itu, Soekarno mengatakan bahwa demokrasi politik tidak menjamin demokrasi ekonomi, Soekarno dengan menyitir pendapat seorang sosialis Revisionis, Jean Jaures mengatakan: “Saudara-saudara saya usulkan: kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politieke economishe democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial ! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu-Adil ? yang dimaksud dengan faham ratu-adil ialah sociale rechtvaardigheid, rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang didalamnya ada keadilan, dibawah pimpinan ratu-adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid (keadilan social, peny), yaitu ukan saja persamaan politik, saudara-saudara tetapi pun diatas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan… Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politik demokrasi saja, tetapi badan yang bersama-sama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid…”106 106
Risalah BPUPKI – PPKI, h. 79-80.
Adapun masyarakat yang adil dan sejahtera, dalam artian yang seluas-luasnya, sebagai gambaran tersebut diatas ialah sosialisme politik, sosialisme-ekonomi, sosialisme kultural, sosialisme-keagamaan, sosialisme dalam arti kata, kata hidup bahagia, kita hidup tanpa “exploitation del’home perl’home”107 Mengenai masyarakat yang dicita-citakan Soekarno, menurut Roeslan yang dikutif oleh Badri Yatim ialah:
“Panjang punjung, panjang pocapane, punjung keibawane” (Negara begitu termahsyur sehingga diceritakan orang panjang lebar sampai keluar negeri dan negeri itu berwibawa tinggi sekali)
Keadaan Ekonominya: “Hapasir hawukir ngadep segara kebandaran, hanengenake pasibanan. Bebek ayam rajakaya, enjang medaling pangonan, surup bail ing kandange dewe-dewe. Wong kang lumaku dagang rinten dalu tan won-ten pedote, labet saking tan wonten sangsajaning margi” (negaranya penuh dengan bandar-bandar, sawah-sawah dan begitu makmurnya hingga tidak ada pencuri-pencuri. Itik ayam, ternak pagi-pagi keluar sendiri ke tempat angon, kalau sudah maghrib pulang sendiri kekandangnya. Orang berjalan dagang siang dan malam tidak ada putusnya. Karena tidak ada gangguan di jalan).
Susunan sosial-kemasyarakatan: “Tata tentrem, kerta raharja, gema ripah, lohjinawi” (Negaranya teratur, tentram, orang bekerja aman, orangnya ramah-ramah, berjiwa kekeluargaan dan tanahnya subur).108 Demikianlah gambaran negara dan masyarakat yang diharapkan Soekarno, walaupun semua itu terkesan sangat utopis, tetapi semua ini dapat terwujud apabila 107 108
Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, h. 100. Yatim, Soekarno, h. 100-101.
masyarakat menyadari dan komitmen kepada Pancasila. Sesungguhnya sila ini pula, membatasi penggunaan milik pribadi. Oleh karena itu, sesuai dengan gambaran masyarakat ideal tersebut diatas, pengendalian dan pembatasan itu seyogyanya tumbuh dari dalam diri, jadi penggunaan milik pribadi harus diukur dengan, dalam istilah Islam, kemaslahatan bersama. Telah di jelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa pemikiran Soekarno didasari dari satu central point, yaitu kebenciannya terhadap kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Persoalan masa lalu, yaitu perdebatan ideologis (nasionalis-agamis) jika dilihat secara kritis, sesungguhnya terletak bukan pada subtansi yang terkandung dalam Pancasila, melainkan banyaknya kepentingan politik dan cara pandang yang berbeda-beda. Walaupun, Islam sebagai agama dan Pancasila adalah ideologi (dasar) negara, tetapi keduanya tidak bertentangan. Pancasila dengan pendekatan politik jauh lebih memberikan harapan bagi upaya memobilisasi seluruh kekuatan lintas etnik, budaya, agama atau ideologi negara, serta berpartisipasi memecahkan permasalahan, tantangan dan mencapai cita-cita nasional. Sesuai dengan pengakuan Soekarno, bahwa Pancasila merupakan hasil galian yang terpendam dalam tradisi bangsa dan bumi Indonesia. Pancasila bukanlah rumusan teoritis, karena Pancasila merupakan hasil interaksi dari masyarakat yang hidup dibumi Indonesia selama berabad-abad lamanya. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah menjadi kepribadian bangsa itu sendiri. Meskipun memang, nilai-nilai yang terkandung tidak secara bersamaan muncul dalam kesadaran berbangsa, kesadaran politis dan kesadaran ideologis.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dengan kemampuan intelektualnya, Soekarno mampu menghasilkan ijtihad politiknya dengan menjadikan Pancasila sebagai wujud ideologi bersama yang secara konsesual bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang etnis, kultural, maupun keagamaan. Oleh karena itu, dalam kesimpulan ini penulis ingin mengatakan:
1. Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau dalam istilah Soekarno, nasionalisme, internasionalisme atau peri kemanusiaan, demokrasi atau permusyawaratan dan keadilan sosial dan kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Nilai-nilai yang kandungan dalam Pancasila, merupakan sebuah identitas kebangsaan yang membawa nilai integratif atau istilah Soekarno, semua buat semua. Disamping itu, Pancasila mampu memperekat berbagai kompleksitas, etnik, suku, budaya, agama dan bahkan ideologi.
B. Saran-Saran Berdasarkan pemaparan yang telah penulis lakukan dalam skripsi ini dan sudah barang tentu penelitian inipun sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga melalui inilah penulis mengajukan beberapa saran. Dengan saran-saran ini penulis berharap dapat memberi kontribusi bagi perkembangan intelektual, secara khusus bagi penulis dan umumnya bagi pemerhati Pancasila atau yang melanjutkan penelitian ini: 1. Pancasila, disampirig keunggulan dan keampuhannya dalam memberikan suatu identitas bagi masyarakat Indonesia, yang digali oleh Soekarno dari sumber nilainilai tradisionalis (klasik), maka mampukah Pancasila yang menjadi dasar negara, mendorong bangsa dan negara mencapai modernitas. Oleh karena itu, bagi para peneliti, khususnya Pancasila, mencoba mengarahkan penelitiannya untuk menjawab
dan
menjelaskan
kemampuan
Pancasila
dalam
mewujudkan
modernitas bangsa dan negara. Dengan kata lain, bagaimana membangun masyarakat modern, dengan tetap berpegang kepada berkepribadian (nilai-nilai) bangsa Indonesia. 2. Pancasila sebagai dasar negara mengalami kemerosotan selama era reformasi. Ini pun tidak menutup kemungkinan akan muncul fenomena politik yang memanipulasi sentimen kedaerahan kesukuan dan aliran keagamaan untuk kepentingan segelintir atau sekelompok tertentu. Oleh karena itu, kepada mereka yang tidak setuju atau bahkan benci terhadap Pancasila, mencobalah membuka
diri (inklusif), karena nilai-nilai kandungan Pancasila dapat mengakomudir setiap kepentingan politik. 3. Mengalami kesulitan mendapatkan buku-buku di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, karena terbatasnya bahan-bahan (buku-buku) tentang pemikiran politik Soekarno, maka dengan ini bagi pihak perpustakaan diharapkan penambahan buku yang berkaitan dengan pemikiran atau studi politik Soekarno.