142 Jurnal Baca Edisi Vol. VIII No. III Juli - September 2015
KOMUNIKASI MASSA MEDIA TELEVISI DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN DAN KRITIKKAN A. Saharuddin Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan ( STIKP ) Muhammadiyah Enrekang Abstrak Tulisan ini mengankat tentang komunikasi massa sebagai media penyiaran televisi merupakan media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan informasi serta pendidikan yang dalam bentuk suara dan gambar secara umum, namun, tampaknya kebebasan yang ada sekarang ini tak membuat media televisi menunjukkan pertanggungjawabannya dalam usaha mencerdaskan bangsa melalui tayangan-tayangan yang ada. Menyikapi fenomena yang demikian, kita sebagai masyarakat diminta untuk menjadi masyarakat yang berfikir kritis sehingga kita dapat menyeleksi mana tayangan yang layak kita tonton dan mana tayangan yang seharusnya kita tidak tonton. Menyikapi fenomena yang demikian, kita sebagai masyarakat diminta untuk menjadi masyarakat yang berfikir kritis sehingga kita dapat menyeleksi mana tayangan yang layak kita tonton dan mana tayangan yang seharusnya kita tidak tonton. Televisi sebagai media komunikasi massa yang mampu diakses dan ditonton secara serentak pada waktu dan hari yang sama Tayangan tersebut tak lagi diperhatikan segi kualitasnya melainkan lebih cenderung memperhatikan nilai tukarnya, seberapa untung stasiun televisi terkait jika menayangkan program acara tertentu. Kata Kunci : Komunikasi media massa televisi dan pendidikan Latar Belakang Dalam era Globalisasi Teknologi dan Komunikasi Massa Globalisasi media massa berawal dari kemajuan tekhnologi komunikasi dan informasi semenjak dasawarsa 1970-an dengan istilah popular seperti banjir komunikasi, era informasi, masyarakat informasi atau era stelit arus informasi meluas keseluruh dunia, globalisasi informasi dan media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi acara liputan dengan berbagai beragam peristiwa dapat disaksikan melalui layar kaca yang dimiliki hampir seluruh masyakat dunia, dalam era abad ke 21 dimana kebebasan dimiliki setiap media di Indonesia, yang berdampak pada semakin tumbuh kembangnya i media di Indonesia. Semakin banyaknya stasiun televisi di Indonesia namun tidak diimbangi dengan filter sebagai pondasi rasa aman dan rasa nyaman bahwa program yang disampaikan memang layak konsumsi bagi seluruh kalangan masyarakat, tanpa kecuali kalangan anak-anak. Bahkan banyaknya program acara pada stasiun televisi terkesan memarginalkan program tayangan anak-
anak. Inilah kemudian yang menjadi masalah karena dengan demikian, masyarakat tak lagi dianggap sebagai orang-orang yang akan disuguhi tayangan berkualitas dan mendidik hal ini karena tayangan televisi yang dijadikan program acara televisi swasta menjadi segmentasi iklan bertujuan menggaet konsumen anakanak hingga mereka yang berusia remaja, namun pemilihan model dan cara penyajian iklan tidak seharusnya demikian dengan kemajuantekhnologinya yang menunjukkan bahwa bisa diakses melalui media online dengan memakai kecanggihan teknologi saat ini, dengan bertujuan menghemat penggunaan kertas dan ikut serta pelestarian lingkungan, namun pada segmen terakhir terlihat Model dalam iklan tersebut. Salah satu contoh iklan Air Asia (versi butuh cuti), seorang model dengan geram memukul-mukul mesin fotocopy dan melempar dengan sepatu lalu meninggalkan begitu saja, apakah iklan tersebut mencerminkan tindakan yang baik yang bisa jadi suri tauladan pada para penonton televisi coba kita amati program acara televisi kita beberapa stasiun televisi mulai
143 A. Saharuddin “Komunikasi Massa Media Televisi Dalam Mewujudkan Pendidikan Dan Kritikkan”
dengan acara Talk Show, dan acara komedian. Para pelaku media televisi di Indonesia belum mampu membedakan mana yang menjadi ranah publik dan mana yang menjadi ranah privat semua campur aduk, Banyak kejadian yang dianggap menarik selama proses pencarian tersebut, mungkin para penonton bisa di buat jengkel, marah, senang, bahagia, sedih dan bahkan bisa menangis. pemirsa perlunya menyadari acara yang ada manfaatnya Rumusan Masalah : 1) Bagaimana komunikasi massa media televisi dalam mewujudkan pendidikan dan kritikkan; 2) Faktor-faktor apa yang memengaruhi komunikasi media televisi tentang pendidikan dan kritikan. Kerangka Teori Komoditas untuk program acara televisi dan bahkan masyarakat pun menjadi komoditasnya, sistem media masing-masing komunikasi massa televisi cenderung seragam dalam hal menentukan acara yang ditayangkannya serta kejadian yang dipandang penting untuk diliput suatu peristiwa yang terjadi disuatu Negara akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di Negara lainnya atau dengan kata lain, menurut istilah Jhon Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatren 2000 (1991), dunia kini telah menjadi Global Village. (Kuswandi,1996:1) Di Indonesia Globalisasi terus bergulir ditandai era pasar bebas dengan liberalisasinya, serta disusul dengan lengsernya kekuasaan orde baru telah membawa perubahan cukup signifikan di semua aspek kehidupan salah satunya media massa televisi dengan cepat terhadap informasi yang secara globalisasi sehingga kebijakan politik-ideologi media mengalami pergeseran fungsi. Sebagai perusahaan atau lembaga komunikasi, produk-produk media berupa industri informasi tidak hanya sekadar penyebar informasi, pendidikan dan hiburan. Di era informasi ini keberadaan media massa mendapatpengawasan rezim yang berkuasa. Media massa cenderung menjadi state apparatus, setidaknya digiring menjadi subordinasi dari sistem politik dan pemerintahan sehingga kebijakan media tak
boleh menyimpang. Restriksi sering dialami pengelola media, jika tak sesuai aturan main yang digariskan maka jangan harap kelangsungan media bertahan. Beberapa media massa terutama media cetak banyak menjadi korban, mulai dari ancaman, penganiayaan terhadap pekerja media sampai diberlakukannya sanksi pembreidelan. Ini menandakan bahwa kemerdekaan kebebasan pers saat itu masih jauh dari harapan. Televisi tampaknya sudah diasosiasikan dengan pesan yang berbeda yang selalu diingat, organisasi kompleks yang besar, distribusi sumber universal bagi semua orang), teknologi tinggi dengan profesi baru pembuat berita atau cerita televisi. Sudah tidak diragukan lagi bahwa sistem media komunikasi massa pasti akan mengalami perubahan barangkali secara radikal karena adanya berbagai kemungkinan dan tantangan teknologi baru dalam semua tahap komunikasi. (Kuswandi, 1996:4) Sepintas Sejarah Pers di Indonesia berlangsungnya reformasi tahun 1998 ternyata telah mampu mengubah tatakelola dan sistem pemerintahan di Republik ini. Salah satu produk dari sistem pemerintahan baru yaitu lahirnya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, sekaligus merupakan tonggak awal dimulainya kemerdekaan kebebasan pers yang semenjak lama diidamkan. Terlepas dari kepentingan apa yang melatarbelakangi lahirnya UU Pers ini, yang jelas liberalisasi semakin mendapatkan tempat, bahkan setiap warga negara diperbolehkan menyatakan pendapat termasuk mendirikan perusahaan pers. Dalam UU Pers yaitu Pasal 9 ayat (1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sungguh ini menjadi lahan baru bagi mereka yang berjiwa wirausaha, peluang segera ditangkap oleh mereka yang memiliki cukup modal untuk mendirikan perusahaan media karena dijamin undang-undang. Betapa tidak, jika dibanding mendirikan sebuah restoran mungkin mendirikan perusahaan media pers lebih gampang
144 Jurnal Baca Edisi Vol. VIII No. III Juli - September 2015
karena proses perizinannya tidaklah rumit. Sejak itulah dunia pers atau media massa tumbuh bak jamur di musim hujan seiring euforia reformasi, bahkan sulit dibedakan manamedia massa yang dapat dikategorikan dikelola secara profesional atau amatiran. Tercatat dalam sejarah perkembangannya, jumlah media masaa terutama cetak mengalami lompatan luar biasa tahun 1998, awal era reformasi. Setiap orang sangat mudah mendirikan perusahaan media massa. Media berbasis internet juga berkembang pesat mengikut maraknya pertumbuhan media massa. Komunikasi MassaSekarang kita tidak lagi menyamakan komunikasi Massa atau media massa dengan jurnalisme dalam menyebut media selain Koran dan majalah. Tentu saja dalam setiap komunikasi membutuhkan medium atau sarana pengirim pesan seperti kolom di Koran atau gelombang siaran. Teori Pendukung 1. Efek Komunikasi Massa Menurut Nurudin dalam buku Pengantar Komunikasi massa (2009:206) efek komunikasi massa bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Secara sederhana Keith R. Stamm dan Jhon E. Bowes (1990) membagi kedua bagian dasar. Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Kedua, efek skunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). 2. Teori Komunikasi massa Teori Kultivasi Teori Kultivasi (Cultivation Theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gebner ketika ia menjadi Dekan Annanberg School of Communication di Universitas Pennsylania Amerika Serikat (AS). Menurut teori ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat kultur dilingkungannya. Persepsi apa yang terbangun dibenak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, serta adat kebiasaannya. (Nurudin, 2009:167) Memang apabila dikomparasikan dengan keadaan sekarang, dimana masyarakat bisa
mengakses informasi dari manapun (baik cetak atau elektronik) teori kultivasi ini tidak berjalan seperti pada saat teori ini muncul. Namun komunikasi massa merujuk pada keseluruhan institusinya yang merupakan pembawa pesan Koran, majalah, atau stasiun pemancar yang mampu menyampaikan pesan ke jutaan orang yang nyaris serentak. Sebagai pranata sosial keberadaannya tidak hanya membuahkan manfaat namun juga masalah: kontrol, pembatasan pemerintah, sarana penunjang ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu komunikasi massa dapat diartikan dalam dua cara, yakni pertama, komunikasi oleh media, kedua komunikasi untuk massa. Namun ini tidak berarti komunikasi massa adalah komunikasi untuk semua orang. Media tetap cenderung memilih khalayak, dan demikian pula sebaliknya khalayak pun memilih-milih media. (Rivers, Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:18) Karakteristik Komunikasi Massa Menurut Rivers, dalam bukunya Mass media and Modern Society 2nd (di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:19-20) karakteristikterpenting:1)komunikasi massa adalah sifatnya yang satu arah. Memang ada televisi atau radio yang mengadakan dialog interaktif yang melibatkan khalayak secara langsung, namun itu hanya untuk keperluan terbatas; 2). selalu ada proses seleksi. Bahwa media massa itu memilih khalayaknya, dengan memberikan segmentasi yang tepat sehingga mampu menjawab akan kebutuhan informasi; 3)Karena media menjangkau khlayak secara luas, jumlah media yang dibutuhkan sebenarnya tidak usah terlalu banyak sehingga kompetisinya selalu berlangsung ketat; 4)Untuk meraih khalayak sebanyak mungkin, harus berusaha membidik sasaran tertentu; 5) komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya.Ada interaksi antara media massa dan masyarakat. Media tidak hanya mempengaruhi tataran politik, sosial, ekonomi dimana ia berada, namun juga dipengaruhi olehnya. Oleh karena itu untuk memahami media secara baik, kita harus
145 A. Saharuddin “Komunikasi Massa Media Televisi Dalam Mewujudkan Pendidikan Dan Kritikkan”
pulamemahami lingkungan atau masyarakat dimana media itu berada.Peminat pengiklan ditelevisi sangat besar, namun sayang biayanya relative sangat mahal. Jika biaya iklan di televisi bisa diturunkan, maka kemungkinan besar belanja iklannya akan tumbuh lebih cepat. (Rivers, Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:22) Di Indonesia media televisi bukan lagi dilihat sebagai barang mewah, seperti pertama kali ada. Hasil dan Pembahasan Kini media layar kaca tersebut menjadi barang kebutuhan pokok bagi kehidupan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Dengan kata lain, informasi sudah merupakan bagian dari hak manusia untuk aktualitas diri. Masuknya media televisi di Indonesia (Jakarta) pada tahun 1962 bertepatan dengan “The 4th Asian Games”. Ketika itu Indonesia sebagai penyelenggara. Peresmian pesta olahraga tersebut bersamaan dengan peresmian penyiaran televisi oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 24 Agustus 1962. Televisi yang pertama kali muncul adalah TVRI dengan jam siar antara 30-60 menit sehari. Jumlah pesawat televisi yang ada di Jakarta sebanyak 10.000 unit. Tujuh tahun setelah TVRI diresmikan (1969), jumlah pesawat televisi di Jakarta meningkat menjadi 65.000 unit, sampai akhir Maret 1972 jumlah televisi di Indonesia adalah 212.580 unit. (Kuswandi, 1996:34) Pertelevisian di Indonesia berkembang pesat terbukti dengan bermunculannya televisi swasta dibarengi dengan deregulasi pertelevisian Indonesia oleh pemerintah, sejak tanggal 24 Agustus 1990. Ada beberapa alternative tontonan bagi masyarakat pada saat itu, yaitu TVRI, Programa 2, RCTI, SCTV, TPI, AN-TV. Dan kemudian dilanjutkan dengan munculnya stasiun televisi Indosiar yang mulai siaran pada tahun 1994. (Kuswandi, 1996:35) Lengkaplah alternatif tontonan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Penyebaran teknologi informasi media massa telah lebih jauh memasuki pola peradaban manusia. Indonesia tidak mungkin menghindar dari gerakan
teknologi yang kian terus menuntut dan “menodong” sisi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak. Siap atau tidak siap, masyarakat harus menerima kehadiran teknologi komunikasi massa yang cangih tersebut. (Kuswandi, 1996:43) Pasca-reformasi, sejarah pers dan media massa di Indonesia mengalami banyak kejadian yang signifikan yaitu berkembangnya kebebasan pers, kebebasan berserikat bagi para wartawan, bahkan peningkatan jumlah penerbit pers yang luar biasa. Paling tidak, jumlah media cetak di Indonesia mencapai ada 829, ditambah 11 stasiun televisi yang mengudara secara nasional yakni TVRI dan stasiun televisi swasta AS saja hanya dibatasi empat jaringan televisi nasional (ABC, NBC, CBS dan Fox). Itu juga belum termasuk beberapa stasiun televisi swasta daerah serta TVRI stasiun daerah. Tidak hanya itu, kini juga telah beroperasi tujuh televisi berlangganan satelit, enam televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi berlangganan kabel. Juga udara kita dibuat bising dengan 1188 stasiun siaran radio di Indonesia (baik RRI maupun radio swasta). Acara Televisi Dalam Konteks Informasi dan Pendidikan Informasi sudah menjadi kebutuhan manusia yang esensial untuk mencapai tujuan, melalui informasi manusia dapat mengetahui peristiwa yang terjadi disekitarnya, memperluas cakrawala sekaligus memahami kedudukan serta peranannya dalam masyarakat. Jika pada masa orde baru, kecenderungan misi media massa adalah mendukung pembangunan, menempatkan media massa pada posisi terpenting dalam perumusan pola kebijakan pembangunan nasional. Media massa, khususnya pers yang membangun, pada hakikatnya berupaya memotivasi masyarakat untuk berparisipasi dalam pembangunan. Pers bukan saja menjadi mediator antara pemerintah dengan masyarakat, akan tetapi sekaligus patner pemerintah dan agen pembaharuan dalam segala kompleksitasnya yang berorientasi pada pembangunan nansional. (Kuswandi, 1996:68) Namun pada perkembangan media massa seperti saat ini, seolah
146 Jurnal Baca Edisi Vol. VIII No. III Juli - September 2015
masyarakat dalam mengakses informasi semakin tergelincir menjauh dari tatanan etis pada umumnya. Serbuan budaya “Westernisasi” yang menjangkit pada masyarakat kita, menjadikan masyarakat meninggalkan tatanan ajaran moral yang selama ini dianut oleh tiap-tiap individu. Media televisi mengakibatkan munculnya istilah baru yang disebut “mass culture”. Manusia cenderung menjadi konsumen budaya massa melalui kotak kaca ajaib yang menghasilkan suara dan gambar bergerak. Individu juga dihadapkan pada ralitas sosial yang Nampak di televisi. Tradisi-tradisi lokal (identitas budaya masyarakat) seperti sopan santun, menghormati wanita dan orang tua, menjunjung tinggi bahasa Indonesia, melestarikan tarian daerah kini mulai luntur dan terkikis budaya “western”. Dan budayabudaya asing lebih mendominasi dalam budaya kita sebagai warga Negara Indonesia. Hal demikian pula merupakan dampak implikasi negatif perkembangan media televisi. Dimana kita mampu mendapatkan sajian acara yang informatif dan sesuai dengan kebutuhan? Media televisi rasanya sudah cukup banyak menyuguhkan berbagai tayangan yang ditampilkan pada setiap harinya. Sebagai masyarakat yang membutuhkan informasi dan hiburan, hendaknya kita menjadi masyarakat yang peka yang mampu menyeleksi mana tayangan yang bermanfaat bagi kita dan generasi kita dan mana tayangan yang justru menyesatkan bagi kita. Pemilahan terhadap informasi yang disajikan oleh media televisi merupakan langkah dan tindakan kita sebagai filter dari semakin besarnya arus budaya westenisasi yang masuk ke Indonesia Sebagai tempat bertemunya permintaan dan penawaran dari masyarakat dalam interaksinya dengan kehidupan bermedia pasar juga harus dicermati. Idealnya pasar media harus mencerminan wacana yang sesungguhnya muncul dalam masyarakat. Sebagai komunikator, pihak media seharusnya menyampaikan pesan yang mampu memenuhi masyarakat untuk tahu, dan masyarakatlah yang akan
menentukan mana informasi yang sesuai dengankebutuhannya. (Wahyuni, 2000: 209) Dalam fungsi media sebagai Mass Education, media adalah sebagai pendidikan nonformal, dan semua bisa mengakses kapanpun dan dimanapun. Media Televisi Saat Ini Televisi merupakan media dominan komunikasi massa seluruh dunia. Dan sampai sekarang masih terus berkembang. Dengan sekitar 900 stasiun televisi, belanja iklan di televisi terus melonjak dari US$ 561 juta di tahun 1949 menjadi US$ 3,6 Milyar di tahun 1969. Dengan mengikut sertakan media massa sebagai konsepsional, kesenjangan antara cita-cita dengan kenyataan daalam bidang pendidikan akan dapat dijembatani dengan lebih cepat. Cita-cita pendidikan bangsa secara ideal telah dituangkan oleh para founding father republik Indonesia dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” pada alenia keempat pembukaan UUD1945, secara konstitusional dalam pasal 31 Bab XIII pendidikan yang berbunyi: 1) tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran, 2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan UndangUndang dan selanjutnya secara strategis telah dituangkan dalam GBHN dan Repelita. (Effendy, 2008:99-100) Namun pada kenyataannya saat ini apakah media televisi di Indonesia sudah berperan aktif dalam membantu menjebatani tecapainya pendidikan non formal secara nasional? Bisa dipastikan bahwa media televisi sudah ikut berperan dalam pendidikan nonformal tersebut. namun pada kenyataannya susunan jam siar yang justru terkadang membuat acara tidak tepat sasaran. Misalnya tayangan Madun yang di siarkan oleh MNC TV, tayangan ini menjawab pada karakteristik komunikasi massa poin kedua. Namun ada kesalahan pada jam tayang pada tayangan tersebut. Waktu ideal yang seharusnya digunakan untuk belajar oleh anak-anak, namun dalam otak anakanak telah di hegemoni oleh tayangan Madun. Pada pukul 18.00-23.00 beberapa stasiun televisi memberikan sajian program acara humor dan beragam tayangan
147 A. Saharuddin “Komunikasi Massa Media Televisi Dalam Mewujudkan Pendidikan Dan Kritikkan”
sinetron. Apakah setting timing program acara yang ini benar. Hal demikian membuktikan carut marutnya jadwal yang diberikan media televisi kita. Memang tidak dapat disangkal bahwa media televisi memiliki kekuatan yang ampuh, yang dapat mempengaruhi pola kebiasaan masyarakat. Itu artinya bahwa peran serta orangtua dalam membimbing anak-anak pada saat menyaksikan tayangan televisi sangat dibutuhkan. Agar kontrol dapat berjalan pada semestinya, serta peran serta orangtua dalam memberikan pengertian-pengertian kepada anaknya dharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan bagi si anak. Namun di Indonesia sendiri tidak semua masyarakat bisa mengakses media massa yang bermacam-macam tersebut. Di wilayah perkotaan mungkin bisa, namun jangan pernah lupa bahwa Indonesia memiliki wilayah yang jauh dari jangkauan perkotaan maupun pemerintahan. Akses media informasi yang mereka peroleh hanya satu, yakni media televisi. Tidak semua anak di Indonesia ini yang beruntung yang setiap saat bisa ditemani oleh orangorang dewasa pada saat menyaksikan program televisi. Orang-orang tua atau orang yang lebih dewasa kebanyakan disibukkan oleh aktivitas dan rutinitas mereka sehari-hari. Sehingga kontrol terhadap arus informasi yang diperoleh anak-anak tidak seimbang. Belum lagi masalah intelektual yang dimiliki masyarakat Indonesia. Diwilayah pedesaaan saja tidak semua warga lulus tingkat sekolah dasar, jadi kemungkinan mereka tidak paham apa yang disampaikan oleh televisi. Sehingga kadangkala apa yang mereka peroleh dari menonton ditelan begitu saja. Misalnya terkait dengan tayangan Masih Dunia Lain yang ditayangkan oleh Trans7, jika kita sebagai masyarakat yang memiliki intelektual tinggi menganggap bahwa tayangan tersebut tayangan yang telah di Konstruksikan oleh media itu sendiri, sehingga ketika kita menyasikan tayangan tersebut justru merasa geli karena ulah talent yang menurutnya melihat penampakan hantu atau syetan. Namun lain halnya apabila yang
menyaksikan tayangan tersebut adalah masyarakat pedesaan yang memiliki low culture, hal tersebut akan diamini bahwa tempat tersebut memang angker. Sehingga apabila mereka melewati rumah kosong, tempat sepi dan gelap, mereka akan merasa ketakutan yang berlebihan. Belum lagi tayangan komedi yang sarat dengan adegan ejek-ejekan antar pemain. Budaya yang demikian jika ditonton oleh anak-anak tanpa dampingan dari orang yang lebih dewasa tentunya akan diterima begitu saja. Bisa jadi fenomena yang demikian merupakan faktor menurunnya sopan santun dikalangan anak-anakterhadap orang tua, meskipun tidak keseluruhan. Tayangan adegan kekerasan, ketika anak-anak menyaksikan tayangan Smack Down misalnya, itu merupakan contoh riil dari terpaan media terhadap anak-anak, sehingga menimbulkan efek kognitif dan perubahan perilaku. Acara musik yang disiarkan secara langsung oleh beberapa Stasiun televisi pada setiap pagi hari pada jam belajar sekolah. Dapat disaksisan juga bahwa mereka yang menoton adalah remaja usia sekolah. Tentunya itu adalah tayangan yang tidak mendidik generasi Indonesia dimasa depan. Kesimpulan Di Indonesia setelah pasca reformasi, pendirian pers begitu banyak dan berkembang pesat. Sehingga kadangkala membingungkan kita terhadap media mana yang akan kita pilih sebagai sarana memperoleh informasi. Namun kembali lagi pada individu kita yang memiliki hak untuk memilih media mana yang paling tepat untuk dirinya memperoleh informasi. Semakin banyaknya media massa yang ada di Indonesia seharusnya malah justru menguntungkan bagi kita, karena tentunya informasi tidak hanya diperoleh dari berbagai pihak. Cakupan informasi yang diperoleh lebih luas, jauh lebih mendalam. Di Indonesia, media televisi nasional telah ada puluhan sehingga kita bisa menentukan chanel mana yangakan kita tonton. Ketika menginginkan program hiburan kita bisa menonton Transtv dan Trans7, ketika ingin menonton sinetron kita bisa beralih chanel pada media televisi Indosiar, MNC, TV, SCTV atau
148 Jurnal Baca Edisi Vol. VIII No. III Juli - September 2015
RCTI. Sedangkan apabila ingin mendapatkan informasi News bisa beralih pada stasiun Metrotv dan TVone. Dan beragam tayangan televisi lokal di Indonesia tentunya membantu referensi kita untuk mengakses informasi. Banyaknya stasiun televisi namun tidak diimbangi oleh banyaknya program acara untuk anak-anak, atau bahkan banyaknya stasiun televisi tidak diimbangi dengan tayangan yang bermutu. Hal ini seharusnya mendapat perhatian tersendiri dari kalangan pemerintah kita. KPI selaku pihak terkait kadangkala tidak mampu membendung arus informasi yang “bebas” yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indonesia. UU Penyiaran No.32 Th. 2002 seolah tak berdaya menjerat pelaku media yang terbukti melakukan pelanggaran.Pemerintah dan para pemilik stasiun televisi sarat dengan kepentingan. Simpulan:1) Ditinjau dari waktu siaran dan isi siaran ternyata tayangan televisi masih banyak yang bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dalam UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 36 Ayat 1 tentang penyiaran disebutkan, dalam setiap isi siaran di media massa wajib mengandung informasi, pendidikan dan hiburan. Selain itu juga disebutkan isi siaran harus bermanfaat untuk pembentukan intelektualitas, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia; 2) Dalam ayat 3 disebutkan, isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja. Masih dalam ayat ini disebutkan dalam menyiarkan mata acara stasiun televisi diwajibkan agar menyiarkan tayangan pada waktu yang tepat serta lembaga penyiaran wajib mencantumkan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Saran : 1) Para pelaku media harus memperhatikan efek primer dan efek skunder dari program yang disajikan dan diharapkan dengan adanya peran serta para pelaku media dalam memperhatikan kedua hal tersebut, diharapkan mampu mewujudkan tayangan yang penuh dengan
nilai edukasi. Penempatan waktu yang tepat dalam jam siarnya, sehingga anak-anak yang tidak semestinya meyaksikan tidak dipaksakan untuk menonton tayangan tersebut. KPI sebagai pihak terkait dalam memantau isi siaran diharapkan juga tegas dalam menindak setiap stasiun yang melakukan pelanggaran. Tidak hanya sebatas pemanggilan pihak terkait saja, namun adanya tindakan tegas pada pelanggar. Bahkan atau mempidanakannya; 2) Perlunya pengawasan tentang penyiaran di Indonesia itu diatur dan ditetapkan berdasarkan aturan-aturan dan UndangUndang, dalam penyiaran di atur dengan Undang-undang Penyiaran No.32 tahun 2002 yang didalamnya juga terdapat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) namun lemahnya sistem hukum di Indonesia membuat carut marutnya aturan-aturan yang sebenarnya telah ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut. Lebih lanjut, dampak buruk yang ditimbulkan pun tidak seharusnya diabaikan begitu saja karena hal ini akan sangat terkait dengan masa depan masyarakat ketika tayangan-tayangan tidak berkualitas terus mewarnai program pertelevisian swasta. Daftar Pustaka Dudy. 2004. Media Massa dan Masyarkat Modern. Prenada Media: Jakarta Effendy, Onong Uchjana. 2008. Dinamika Komunikasi cetakan ke 7. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung Kuswandi. Wawan. 1996. Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Rineka Cipta: Jakarta Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta Rivers,William L. Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar, Haris dan Priatna. Undang-Undang Penyiaran No.32 Th.2002. penerbit SL Media: Tangerang Selatan Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol.4 No.2:Relasi Media-Negara-Masyarakat Dalam Era Reformasi.Yogyakarta