11.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pasar Kerji dan Migmsi di Indonesia
2.1.1.
Pasar Kerja di Indonesia Pasar kerja adalah seluruh aktifitas pelaku ekonomi yang mempertemukan
pencari kerja dm kesempatan kerja. Pelaku ekonomi tersebut terdiri dari : 1.
Pengusaha yang membutuhkan pekerja.
2. Pencari kerja yang membutuhkan pekerjaan. Proses interaksi diantara keduanya memerlukan waktu yang lama karena
baik pencari kerja maupun kesempatan kerja bersifat tidak homogen dan
informasi mengenai keduanya tersebut sangat terbatas.
Pencari keja ingin
memperoleh pekejaan dengan kondisi yang paling baik dan pengusaha ingin
mencari pekerja yang paling cocok untuk mengisi 1owongan keja yang tersedia. Keragaan pasar dapat dilihat dari berbagai sisi. Faktor yang paling penting
dalarn menjelaskan keragaan pasar kerja di Indonesia adalah partisipasi kerja, kesempatan kerja sektoral, pengangguran, upah riil sektoral, produktivitas pekerja
sektoral dm pendapatan regional sektod. Berikut ini diuraikan keragaan pasar kerja di Indonesia pada periode krisis dan sebelum krisis ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama orde baru, khususnya pada tahun 1980-an, sangat berdampak positif terhadap perkembangan kesempatan kerja
Cjumlah orang yang bekerja penuh). Berdasarkan BPS (1 996),pangsa kesempatan
kerja dari sektor pertanian masih yang terbesar dibanding sektor-sektor lainnya, wdaupun ada penurunan dari 54.72 persen pada tahun 1985 menjadi 4 1.18 persen
pada tahun 1997. Sementara kontribusi sektor manufaktur (industri pengolahan) terhadap jumlah kesempatan kerja di Indonesia meningkat dari 9.29 persen pada
tahun 1985 menjadi 12.88 persen pada tahun 1997. Struktur kesempatan kerja ini menunjukkan bahwa sektor pertanian rnasih sangat penting bagi penyerapan tenaga kerja di Indonesia, namun sektor-sektor lainnya seperti industri manufaktur
semakin penting juga selama periode tersebut. Sektor sekunder lainnya, yakni bangunan dan beberapa sektor tersier juga mengalami peningkatan dalam jumlah
kesempatan kerja secara relatif maupun absolut.
Perubahan struktur kesempatan kerja merupakan salah satu dampak langsung dari perubahan struktur ekonomi di Indonesia selama masa orde b m ,
dimana laju pertumbuhan output di sektor-sektor sekunder, khususnya industri manufaktur dm sektor-sektor tersier seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, relatif lebih besar daripada laju pertumbuhan output di sektor-sektor primer, yaitu
pertanian dan pertambangan.
Menurut hasil studi Manning (1997), perubahan kesempatan kerja di sektor pertanian ternyata berbeda menurut propinsi. Laju pertumbuhan kesempatan kerja
di sektor pertanian Jawa negatif, tetapi di propinsi-propinsi di luar Jawa positif
kecuali NTB, NTT . Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perpindahan tenaga kerja dari Jawa ke luar Jawa tetapi tetap di sektor pertanian. Pergeseran
tenaga kerja di dalam sektor pertanian antara Jawa dm luar Jawa tersebut tidak
hanya disebabkan oleh program transmigrasi, tetapi juga merupakam salah satu hasil nyata dari usaha-usaha pemerintah selarna itu dalam meningkatkan
surnberdaya manusia dan pembangunan infrastfilktur di propinsi-propinsi di l u x Jawa dan juga akibat dari adanya perbaikan pendapatan di sektor pertanian di
wilayah luar Jawa. Adapun perhrmbuhan kesempatan kerja rata-rata per tahun di
sektor pertanian selama periode 1987-1 994 sebesar 4 . 3 persen dan pangsa tenagrt
kej a di sektor pertanian menurun tidak hanya pada tingkat nasional, tetapi juga pada tingkat propinsi . Menurut BPS (1998) dan ILO (1998), selama tahun 1990-an jumlah
kesempatan kerja di semua sektor ekonomi meningkat dari 76.4 juta pekeja pada tahun 1991 menjadi 87.1 juta pekerja pada tahun 1997. Akan tetapi ma-rata
pertumbuhan per tahun mengalami penurunan, yaitu dari 2.74 persen pada tahun 1991 menjadi 1.57 persen pada tahun 1997. Jumlah partisipasi kerja juga mengalami peningkatan dari 78.5 juta orang pada tahun 1991 menjadi 91.3 juta orang pada tahun 1997. Rata-rata pertumbuhannya pada tahun 1992 hampir mencapai 3 persen, sedangkan pada tahun 1997 turun lebih dari 50 persen menjadi 1.35 persen. Laju pertumbuhannya yang tertinggi tercatat pada tahun 1 994, yakni
mencapai 5 persen lebih. Seperti halnya kesernpatan kerja, partisipasi kerja di
Indonesia masih didominasi oleh kaum pria, walaupun laju pertumbuhan partisipasi kerja wanita rata-rata per tahun tidak selalu lebih rendah daripada
persentase penambahan jumlah partisipasi kerja pria selama periode tersebut.
Pdumbuhan populasi umur 15 tahun ke atas, sebagai sumber utama pertumbuhan partisipasi kerja, rata-rata per tahun sekitar 2 persen lebih. Tahun 1991 jumlah penduduk di lndonesia tercatat 137 juta orang lebih dan tahun 1997
telah mencapai 157 juta orang lebih. Dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain seperti tehnologi dm ratio harga tenaga kerja terhadap harga barang modal atau
h a r p input lainnya yang bisa menggantikan fungsi tenaga kerja tidak berubah,
maka proyeksi mengenai peningkatan kesempatan kerja apabila pertumbuhan ekonomi (output agregat) positif dapat dilakukan berchsarkan nilai elastisitas output terhadap permintaan tenaga kerja. Berdasarkan data pertumbuhan Produk
Domestik Bruto dan peningkatan kesernpatan kerja setiap tahun selama periode sebelum krisis ekonomi, elastisitas kesempatan kerja di Indonesia rata-rata rendah di bawah 50 persen, paling kecil tahun 1993 sebesar 10 persen. hi berarti apabila
output agregat PDB) naik rata-rata per tahun 50 persen, kesempatan kerja baru rata-rata per tahun hanya 5 persen. Elast isitas kesempatan kerja juga bervariasi
menurut sektor. Hasil estimasi dari Islam (1998), berdasarkan data perturnbuhan output dan kesempatan kerja per sektor tahun 1995 dan 1996 menunjukkan nilai elastisitas kesempatan keja di sektor pertanian negatif dan sektor kontruksi
memiliki elastisitas tertinggi . Di satu pihak, nilai rata-rata elastisitas kesempatan kerja yang rendah
menunjuickan bahwa dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap pertumbuhan kesempatan kerja tidak terlalu tinggi clan ini bisa berarti pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan peningkatan jumlah pengangguran. Akan tetapi, di pi hak lain,
ini berarti bahwa produktivitas tenaga kerja tinggi, yang selanjutnya bemi ada peningkatan pendapatan riil pekerja.
Menurut ILO (1 9981, selama @ode
sebelum krisis ekonomi yaitu tahun
1991- 1997 produktivitas pekerja naik setiap tahun dengan rata-rata pertumbuhan
antara 3.03 persen pada tahun 1997 dan tertinggi 8.20 persen pada tahun 1993.
Secara keseluruhan produktivitas tenaga kerja meningkat sekitar 35 persen dari 3.68 tahun 1991 ke 4.98 tahun 1997. Demikian juga gaji nominal mengalami
peningkatan setiap tahun.
Kenaikan ini dapat disebabkan oleh kenaikan
produktivitas tenaga kerja b e r k k a n prinsip teori ekonomi mikro, yaitu menjelaskan bahwa dalam pasar persaingan bebas, pada periode jangka panjang biaya produksi (dalam h J ini biaya tenaga keja) rata-rata per unit produk akan
sama dengan h a r p produk tersebut atau biaya tenaga kerja sama dengan hasil
penjualan d d a t a u sebagai darnpak dari kebijakan pemerintah mengenai Upah Minimum Regional (UMR). Apabila kenaikan gaji nominal lebih tinggi daripada
laju inflasi atau kenaikan indeks harga konsumen, maka gaji dalam nilai riil dengan sendirinya juga naik. Dari data perkembangan partisipasi kerja dan kesempatan kerja, dapat
diketahui
perkembangan
jumlah
partisipasi
kerja
yang
menganggur.
Pengangguran dapat dibagi tiga menurut jenisny a, yakni penganggwan terbuka (open
unemployment), setengah
pengangguran
(urederemployment) dan
pengangguran Bruto (Tambunan, 2000). Pengangguran terbuka adalah pencari kejq sedangkan setengah pengangguran adalah tenaga kerja yang bekerja di
bawah jumlah jam kerja normal. Kedua kategori tersebut dikelompokkan menjadi penganggur bruto (Depnaker, 1995). Pengukuran besarnya tingkat pengangguran terbuka adalah rasio antara jumlah pencari kerja dm jumlah partisipasi kerja; sedangkan pengukuran setengah penganggur adalah rasio tenaga keja yang
bekerja di bawah jumlah jam kerja normal per hari atau per rninggu d m jumlah partisipasi kerja.
Di Indonesia, sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan partisipasi kerja yang tinggi setiap tahun dan terbatasnya kemarnpuan sektor-sektor ekonorni yang ada (khususnya sektor formal) untuk menyerap pertumbuhan partisipasi
kej a tersebut, banyak yang masuk ke dalam kategori pengangguran, setengah atau terbuka. Pencari kerja yang masih menganggur biasanya sebagian besar
merupakan partisipasi kerja keluaran dari pendidi kan. Berdasarkan data Sakernas untuk periode 199 1 - 1997 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terbuka di
Indonesia selama periode tersebut mengalami peningkatan lebih dari 100 persen,
dari sekitar 2 juta orang pada tahun 199 1 menjadi 4 juta orang lebih pada tahun 1997. Persentase peningkatan ini terdiri dari partisipasi kg'a pria sebesar 100
persen dan partisipasi kerja wanita 123 persen.
Sedangkan perkembangan jurnlah underemployment selama periode tersebut tercatat hanya 10 persen.
dumlah pengangguran terbuka rata-rata per tahun sekitar
2 persen hingga 4 persen dari jumlah partisipasi kaja dan jumlah orang yang
bekerja tidak penuh rat.-rata sekitar 3 6 persen hingga 40 persen lebih dari jumlah
partisipasi kerja yang bekerja. Besarnya jumlah setengah pengangguran di Indonesia merupakan salah satu
karakteristik negara-negara berkembang/miskin. Di Indonesia, seperti halnya jusa di banyak negara berkembanglmiskin lainnya, tidak ada sistem jaminan sosial bagi pengangguran (unemployment benefit) sehingga orang yang sudah selesai
pendidikan atau yang sudah m a s k ke dalam kategori partisipasi kerja sesuai umurnya rnau tidak mau hams rnencari pekerjaan kalau tidak mau mati kelaparan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa sektor informal, seperti pedagang
asongan, wanmg, dan usaha kecil/mmahtangga, di Indonesia berkembangan sangat pesat, walaupun hampir untuk semua jenis usahanya mendapat saingan ketat dari sektor formal. Sebagian ksar dari jumlah setengah pengangguran di
Indonesia terdapat di sektor formal, yang kegiatan-kegiatan ekonominy w menghadapi masalah tingkat produktivitas tenaga kerja dan pendapatan riil yang sangat rendah.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah membawa
suatu dampak negatif yang sangat besar terhadap perekonomian nasional, tepatnya telah mengakibatkan suatu resesi besar. Tahun 1998 dan 1999 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif dm pertumbuhan ekonomi tahun 2000 positif
walaupun masih rendah bila dibandingkan sebelum terjadinya krisis ekonomi yaitu sebesar 3.9 persen (Prijambodo dm Kornara Djaja, 2000). Pertumbuhan kesempatan keja sangat ditentukan oleh pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi
atau output agregat, tentu dengan asumsi bahwa faktor-faktor berpengaruh lainnya seperti tehnologi dan harga relatif faktor-fakor produksi dianggap konstan atau
tidak h b a h yang berakibat negatif terhadap perrnintaan tenaga keja pada saat ada pertumbuhan.
negatif
Artinya, suatu resesi dengan sendirinya akan berpengaruh
terhadap perkembangan kesempatan kerja atau mengakibatkan
peningkatan jumlah orang yang menganggur. Pengaruh krisis ekonomi terhadap perkembangan kesempatan keja atau penganggum dapat dijelaskan secara teoritis (Garnbar 1).
Krisis ekonomi
rnenimbulkan banyak permasalahan bagi dunia usaha, diantaranya yang penting
adalah utang luar negeri perusahaan meningkat (&dam nihi dslar AS akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar), biaya produksi naik yang temtama
disebabkan oleh biaya impor melambung tinggi, modal kerja untuk membiayai kegiatan usaha berkurang akibat bank tidak lagi menyalurkan kredit ke dunin usaha atau karena tingkat suku bunga pinjaman terlalu tinggi atau karena investor/pemegang saham menarik kembal i modalnya, dan berkurangnya permintaan di pasar output akibat parrchingpow er masyarakat menurun. Semua
ini membuat banyak perusahaan mengalami kesulitan untuk meneruskan kegiatan
mereb atau stupmi. Hal ini dengan sendirinya mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja. Bersamaan dengan suplai tenaga kerja baru di pasar tenaga kej a
yang meningkat terns setiap tahun, membengkaknya jumlah penganggum tidak dapat dihindari.
Hal ini dapat terlihat dari berkurangnya tenaga kej a yang dapat terserap di berbagai lapangan kerja, khususnya pada lapangan pekerjaan non pertanian. Pada tahun 1997 jumlah pekerja di Indonesia tercatat sekitar 30.49 juta orang,
kemudian menjadi 28.80 juta orang pada tahun 1998 atau menurun sekitar 5.52 persen. Pada tahun 1999 kembali meningkat menjadi 29.38 juta orang meskipun
masih tetap lebih kecil dibandingkan dengan tahun 1997. Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada tahun 1998 baik jumlah pekerja di d a d perkotaan maupun perdesaan nampaknya mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun 1997, yaitu masing-masing menurun sekitar 2.75 persen dan 8.65 persen.
Namun pada tahun 1899, aba perb&n
antara
perkembangan pekerja di daerah perdesaan dengan perkotaan. Bila dibandingkan dengan jumlah pekerja pa& tahun 1998, jumlah pekerja di daerah perkotaan pada
tahun 1999 meningkat sekitar 4.81 persen sementara jumlah pekerja di daerah perdesaan pada tahun y ang sama justru menurun sekitar 1.36 persen (BPS,2000).
Pola kesernpatan kerja antara daerah perdesaan dm daerah perkotaan antar sektor ekonomi narnpaknya terdapat sedikit perbedaan. Sebagai negara agraris
yang sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian menjadi sangat wajar bila pekejanya banyak yang tertampung di &or
pertanian. Tabel I ,
menunjukkan persentase daya serap tenaga kerja sektor pertanian di daerah
perdesaan cukup besar sementara di daerah perkotaan yang lebih dorninan adalah
sektor industri dan sektor lainnya. Pada tahun 1999 di daerah perdesaan sekitar '
33.87 persen tenaga kerja terserap pada sektor pertanian, sedangkan di daerah
perkotaan hanya sekitar 6.33 persen. Gambar 1 . illustrasi Secara Teoristis Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Pengurangan Kesempatan Kerja 1 Peningkatan Jumlah Pengangguran.
r
P e r m a d a h Bag h
a Usaha:
a). Krisis Utmg b) Biaya Produks
Luar Negcri
c). Pasar Lesu
Meningkat
guran Meningkat
Sernentara tenaga kerja yang tertampung pada sektor industri di daerah perdesaan hanya sekitar 19.31 persen dan di daerah perkotaan sekitar 25.52 persen, demikian halnya dengan pekerja di sektor lainnya, di daerah perdesaan
sekitar 46.82 persen dm di daerah perkotaan sekitar 68.15 persen.
Tabel 1 . Tenaga Kerja di Indonesia Menurut Lapangan Pekerjaan dan Daerah Ternpat Tinggal, Tahun 1997-2000.
Sumber : Diolah dari hasil Sakernas.
Besarnya pengaruh dari pergeseran peran sektor ekonomi terhadap kesernpatan kerja dapat tergarnbar dari t ingkat elastisitas, yaitu dapat dilihat dari perbandingan antara laju pertumbuhan kesempatan kerja dengan laju pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada Tabel 2, menunjukkan rata-rata
pertumbuhan PDB selama kunin waktu 1997- 1999 adalah -2.76 persen pertahun, demikian halnya dengan rata-rata pertumbuhan kesempatan kerja juga - 1.83 persen pertahun dalam tahun yang sama, sehingga elastisitas kesempatan kerja
dalam kurun waktu tersebut sekitar 0.66 persen, angka ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan elastisitas &lam kurun waktu 1994- 1996 sebesar 0.44 persen (BPS, 2000).
Tabel 2. Elatisitas Kesempatan Kerja di Indonesia, Tahun 1994-1996 dan 1997-2000. --
Lapangan Pekerjaan
Rata-rata Laju Pertumbuhan PDBITahun (%)
94-% 1 Pertanian
2.65 11.61 8.97
97-2000 0.83 -1.48 -2.85
Rata-rata Laju Pertumbuhan Kernpatan Kerja trr;hun 94%
0.95 -0.30 7.36
97-2000 6.05 0.23 4.67
2. Industri 3. Lamnya Sumber : Diolah dari hasil Sakernas dan Pendapatan Nasional
Elastisitas Kesempatan Kerja 94-96 0.34 4.03 0.82
97-2000 7.29 4.16 1 .M
Sektor pertanian tercatat sebagai sektor dengan elastisitas cukup tinggi sebesar 7.29 persen dalam kurun waktu 1997-2000,ini berarti bahwa setiap
kenaikan output dalam hal ini PDS sektor pertanian sebanyak 1 persen akan
menciptakan kesempatan kerja disektor tersebut sebesar 7.9 persen. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan elastisitas selama tahun 1994-1996 sebesar 0.36 persen. Hal ini diduga salah satu akibat dari krisis ekonomi yang terjadi
sejak pertengahan tahun 1997, sehingga para tenaga kerja yang tekena PHK terpaksa pindah ke &or
pertanian demi mendapatkan pekerjaan. Sernentara
tingkat elastisitas sektor industri pengolahan justru minus 0.16 persen dan &or lainnya tercatat sebesar 1 .64 persen dalam kurun waktu 1997-2000. Menurut perkiraan Depnaker (1998) h I u m Tambunan (1998), akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan angka pengangguran tahun 1998 hmencapai 1 5.4 juta orang. sekitar 1 7.1 persen dari jumlah partisipasi kerja sebanyak 90 juta
orang. Menurut World Bank (1998), jumlah penganwran di Indonesia hhun 1998 akan mencapai sekitar 2 1 persen iebih tinggi dari negara-negara lainnya di
Asia yang terkena dampak secara langsung maupun tidak langsung M krisis tersebut. Sedangkan menurut BPS berdasarkan Sakernas 1997, 1998 dan 1999 jurnlah pengangguran terbuka dari bulan Agustus 1997 hingga 1999 cenderung meningkat. Pada tahun 1997 hanya sekitar 4.68 persen naik menjadi 5.46 persen
pada tahun 1998 dan meningkat lagi menjadi 6.36 persen pada tahun 1999. Konsep pengangguran terbuka didasadan pada seluruh partisipasi kerja yang
mencari pekejaan, baik yang pertarna kali maupun yang mdah pemah bekerja sebeiumnya. Bila dilihat perbedam antara laki-laki dan perempuan, ternyata dalam setiap
tahun tingkat pengangguran terbuka perempuan selalu lebih tinggi dari laki-laki. Tingkat pengangguran terbuka di daerah perdesaan jauh lebih kecil dibandingkan dengan di daerah perkoiaan.
Berdasarkan Survey Penduduk Antar Sensus BPS (1995), dan Survey Angkatan Kerja Nasional BPS Tahun1996-1998, pada tahun 1998 total
pengangguran rneningkat 20.86 persen di wilayah perkotaan dm 20.22 persen di perdesaan. Sekitar 61 persen dari total pengangguran penuh berada di perkotaan,
sedangkan 39 persen sisanya krada di perdesaan. Bila dibandingkan antara
kedua d a d ternyata jumlah pengangguran lebih tinggi di daerah perkotaan daripada perdesaan.
Jumlah pengangguran di perkotaan naik sebesar 20.86
persen, sedangkan di perdesaan jumlah pengangguran naik sebesar 20.22 persen ( Adriani, 2000).
Prima (1 992), menunjukkan adanya ketidak-seimbangan antara tenaga kerja yang tersedia dengan jenis tenaga kerja yang dibutuhkan dalarn pembanpnan-
Terdapat indikasi mengenai kekurangan kesempatan kerja bagi tenaga kerja tidak terdidik dan kekurangan tenaga kerja terdidik di banyak bidang.
Ketidak-
seimbangan antam jenis pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki pekerja dengan j eni s pekerjaan akan menimbuikan pengangguran.
2.2.2.
Kemgmn Migrrrsi di lndonwia Migrasi merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari gerak
langkah pembanguan ekonomi. Berbagai motif yang melatar-belakangi individu untuk melakukan migrasi didominasi oleh adanya keinginan untuk mengubah
hidup dan mutu kehidupan individu tersebut. Tirtosudarmo (1 985), menyatakan
bahwa keputusan dan kemampuan merealisasikan keputusan tersebut sangat tergarrtung pada lingkungan sosial, ekonomi industri yang bersangkutan. Artinya
keputusan untuk
melakukan migrasi tidak hanya semata-mata karena
Ada empat konsep yang dapat digunakan untuk menelaah proses urbanisasi, yaitu : (1) sistem perekonomian (urban systems), (2) mobilitas penduduk desa-
desa, kota-kota, desa-kota; (3) struktur tata mang, dm (4) made1 ekonomi yang
digunakan dalam pembangunan ekonominya (Todaro, 2000). Urbanisasi merupakan suatu proses yang wajar dan dialami oleh semua negara. Proses urbanisasi suatu negara perlu d i k d u i untuk melihat sejauhmana
tingkat hubungan antara wilayah p e r d e w dengan wilayah perkotaan, apakah hubungan tersebut bersifat sirnetris atau asimetris, dan sejauhmana intensitas stau bentuk hubungan antara kedua wilayah tersebut. Proses urbanisasi dapat dilihat dari dinamika mobilitas penduduk desa-kota dan kota-desa. Mobilitas penduduk secara geometris antara satu lokasi dengan lokasi yang lain atau antara daerah
perdesaan dan daerah perkotaan meruphn suatu fenomena yang dapat terjadi
dimana pun selama antara dua lokasi tersebut masih terdapat adanya perbedaan. Analisi s kuantitatif mengenai migrasi bi asanya menggunakan pendekatan tingkat urbanisasi. Menurut United Nation (1 974) &lam Wirosoehardjo ( 19781, urbanisasi adalah bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota, pertumbuhan
penduduk alami perkotaan dan reklasifikasi perdesaan menjadi perkotaan. Sementara tingkat urbanisasi dihitung sebagai proporsi penduduk yang tin&
di
perkotaan. Pada periode sebelum krisis ekonomi, kebijakan pembangunan lebih t erkonsentrasi ke perkotaan terutama dalam rangka pengembangan sektor industri
dan menyebabkan terabaikan pembangunan wilayah perdesaan. Fenomena ini mendorong penduduk perdesaan bermigrasi ke kota dengan harapan untuk
memperoleh penghasilan dan kehidupan yang Iebih baik di perkotaan (Adriani, 2000).
Selanjutnya pada periode krisis ekonomi t ingkat urbanisasi tergolong tinggi, karena lebih h a n g 50 persen penduduk telah terurbanisir. Tingkat urbani sasi
meningkat dari 2.173 persen menjadi 2.487 persen pada periode krisis ekonomi (BPS, 1998).
Hal ini menunjukkan bahwa pada periode krisis ekonomi,
perpindahan penduduk dari desa ke kota tetap terjadi. Namun dapat diperkirakan bahwa kcputusan bermigrasi yang terjadi pada periode tersebut terjadi bukan
karena alasan ekonomi, tetapi lebih mengarah kepada alasan non-ekonomi, rnisafnya alasan rneneruskan sekolah dan atau mengikuti kepindahan anggota
keluarga lainnya (Adriani, 2000).
2.2.
Kebijakiin dan Program Pembangunan
Kebijakan dan program pernbangunan pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kehidupan pekerja yang memiliki bargaining psltion lemah di pasar keja.
Situasi ini juga berkaitan dengan pasar kerja sendiri yang cenderung
bersifat l a h r sp~plers,sehingga pekerja tidak memiliki kekuatan tawar di pasar kerja.
2.2.1.
Upah Minimum Regional Sektoral dan Kebutuhan Hidup Minimum
Upah merupakan sumber utama penghasil seseorang, sehingga upah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan pekerja clan keluarganya secara wajar. Kewajaran dapat dinilai dengan kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan fisik
minimum. Kebutuhan fisik minimum adalah kebutuhan pokok seseorang yang dipwlukan untuk mempertahankan kondisi fisik dm mentalnya agar dapat
menjalankan hngsi sebagai salah satu faktor produksi. Nilai kebutuhan fisik minimum adalah nilai ekonomi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh pekerja dan keluarganya dalam jangka waktu satu bulan. Kebutuhan hidup minimum adalah
penyempurnaan kebutuhan fisik minimum berdasarkan kondisi saat ini .
Misalnya, pada perhitungan kebutuhan fisik minimum menggunakan tikar pandan sebagai alas tidur dm minyak tanah sebagai penerangan, maka pada perhitungan
kebutuhan hidup minimum menggunakan kasur sebagai alas tidur dm listrik sebagai penerangan. Namun saat ini penentuan upah b e r h k a n kebutuhan fisik minimum lebih umum digunakan. Ketidak-sernpurnaan pasar k e j a di Indonesia, dimana iubmr mplmrs terjadi
di pasar keja, memaksa pemerintah melakukan intervensi terhadap penentuan upah sehingga pekerja tetap memperoleh upah yang mencukupi kehidupan pekeija dm keluarganya secara wajar.
Pemerintah telah mengembangkan sistem
pengupahan, yaitu upah minimum. Sebagaimana telah diatur dalam PP No. 8/ 198 1 . upah minimum merupakan upah yang ditetapkan secara minimum
regional, sektoral regional maupun sub sektoral. Dalam ha1 ini upah minimum adalah upah pokok dan tunjangan. Jumlah upah minimum harus dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja secara minimal yaitu kebutuhan untuk pangan, sandmg,
kebutuhan rumahtangga dan kebutuhan dasar lainnya. Di Indonesia ketentuan upah minimum telah dimulai sejak tahun 1956.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 58/1%9, dibentuk Dewan Peneli-tian Pengupahan Nasional W N ) , dengan anggota mewakili Departemen Tenaga kerja, Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perfiubungan, Departemen
Pertambangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Urnurn, Bank Sentral, Bappenas, Universitaq Serikat Pekerja, dan Organisasi Pengusaha
(Simanjuntak, 1996). Masalah keanekaragaman
pengupahan cara
yang
pengupahan
dihadapi
saat
dan
tingkat
ini
adalah
upah
mengenai
yang
rendah.
Keanekaragaman cara pengupahan berbeda antar-daerah, antar-sektor, antarperusahaan bahkan di dalam perusahaan sendiri. Upah yang terlalu rendah tidak
dapat dipertanggung-jawabkan dari segi moral maupun dari segi kemanusiaan. Oleh karena itu, pemerintah berkepentingan untuk melindungi pekerja dengan mengarnbil kebijakan penentuan upah minimum yang diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum pekerja dan keluarganya. Salah satu cam yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi ha1 tersebut adalah dengan
meningkatkan upah minimum regional. Menurut Menteri Tenaga-Keja RI No. Per. 011 Men11996, upah minimum regional adalah upah pokok terendah terrnasuk
tunjangan tetap yang diterima oleh pekerja di wilayah tertentu dalam satu propinsi. Upah minimum regional bukan upah standar, tetapi merupakan jaring pengaman (=fey net) agar tidak terjadi pembayaran upah yang semakin menurun karena tidak seimbangnya penawaran dan permintaan tenaga keja.
Upah
minimum juga merupakan cara untuk meningkatkan taraf hdup golongan penerima upah terendah dan mmpakan w a urrtuk mengurangi kesenjangan upah antara penerima upah terendah dan penerima upah tertinggi serta pendorong ke arah disiplin dan produktivitas kej a .
Krisis ekonomi menuntut terjadinya reformasi dalam ketenaga-kerjaan.
Reformasi keternaga-kerjaan tersebut dilaksanakan di bidang pengupahan dengan paradigma bahwa upah minimum sama dengan kebutuhan hidup minimum.
Beberapa pendekatan yang dilakukan antara lain : 1 . Perubahan pendekatan dari classicc~lapprolach menjadi insii&tiomI economy
appreach. 2. Penerapan upah minimum harus menuju sekurang-kurangnya sama dengan
kebutuhan hidup minimum untuk mempertahankan dan mendorong naiknya produktivitas kerja, khususnya penerima upah rendah. 3. Peningkatan produktivitas berkelanjutan untuk meningkatkan upah dan kese-
jahteraan pekerja. 4. Pendekatan upah dipertajam bukan hanya sebagai komponen biaya, tetapi juga
sebagai pendorong naiknya daya beli (purchsing power).
Program Peningkatan Kmejahteraan
2.2.2.
2.2.2.1.
Program Jaring Pengamrn Sorial Bidang K d a t a n
Krisis ekonomi yang didorong oleh kontraksi moneter telah menimbulkan
kemerosotan daya beli rnasyarakat secara drastis, khususnya untuk mengkonsurnsi komoditas dengan komponen impor yang telah sedemikian meiuas. Program penye-suaian kebijakan dengan prstkarsa Internutiom1 Monelmy Fund (IMF)
mendorong perekonornian menjadi lebih kontmktif dan mengakibatkan banyak pengangguran tewtama di wi layah perkotaan. Kekeringan dan kegagalan panen
di beberapa daerah melengkapi ancaman kekurangan gizi dan penyakit menular diantara penduduk miskin yang tengah dilanda krisis berkepanjangan. Salah satu
bagian dari penyesuaian kebijakan ekonomi adalah dikembangkannya Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang meliputi pemenuhan kebutuhan dam seperti pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. JPS bertujuan untuk menyelamat-
kan dan memulihkan kelompok rentan di rnasyarakat, dengan harapan agar masyarakat mampu melewati rnasa transisi menuju tatanan kehidupan ymg lebih baik. Kegiatan Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dimulai sejak tahun 1998.
Kegiatan pelayanan dikelola oleh Departemen Kesehatan yang
mel iputi kegiatan pelayanan langsung dan penunjang.
Kegiatan pelayanan
langsung mencakup : 1. Pelayanan kesehatan dasar berupa pengobatan bagi semua anggota keluarga
miskin yang &it,
pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi ibu dan anak,
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, kesehatan lingkungan, pelayanan rawat inap di Puskesmas, perawatan dan pemberian rujukan untuk kasus tertentu dari Puskesmas ke Rumah Sakit kabupaten / kota.
2. Pelayanan kebidanan (antenatakehamiIan, pertolongan persalinan, ni fas,
pena-nganan gawat darurat dan rujukannya ke Rumah Sakit kabupatedkota). 3. Pelayananperbaikangizi. 4. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
5. Pelayanan mjukan di Rumah Sakit Umum kabupatenlkota.
Sedangkan kegiatan penunjang meliputi : I . Pemantapan S istem Kewaspadaan Pangan dm Gizi (SKPG) . 2. Revitalisasi Posyandu.
3. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.
4. Sosialisasi dan penyuluhan kesehatan masyarakat. 5 . Pelatihan tenaga kesehatan dan pemantauan program.
Untuk mendukung disediakan pula bantuan operasional dan pemeliharaan Ruma h
SakitIOPRS daerah sebagai bagian untuk peningkatan playanan kesehatan masyarakat.
Secara umum sasaran program adalah keluarga miskin, yang ditetapkan oleh Tim Desa. Secara khusus, berdasarkan target masing-masing kegiatan. kelompok sasarannya adalah : 1 . Anggota keluarga rniskin untuk pelayanan kesehatan dasar dm rujukannya. 2. Ibu hamil ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir dari keluarga miskin untuk pdayanan kesehatan kebidanan dasar dan rujukannya. 3. Ibu hamil/nifas yang kekurangan energi kalori dan bayilanak 6-59 bulan dari
kebarga miskin untuk pelayanan perbaikan gizi.
Identifikasi sasaran dilakukan oleh Tim Desa berdasarkan validasi terhadap daRar sasaran (keluarga miskin) yang teridentifikasi.
2.2.2.2.
Program Inpres Saranrm K a h a t a n
Program bantuan pembangunan sarana kesehatan yang lebi h di kenal dengan
Tnpres Sarana Kesehatan (Inpres Sarkes) pada saat dicanturnkan ke dalam agenda pembangunan nasional pada tahun anggaran 197311974 dimaksudkan untuk membantu pemerintah daerah @ati I dan 11) dalam rnelaksanakan tugas-tugas pemba-
ngunan di bidang kesehatan. Pengelolaan lnpres Sarkes ini semakin dimantapkan setelah sepuluh tahun masa pelaksanaannya. ?'emantapan diarahkan untuk meningkatkan koordinasi,
integrasi, dan sinkronisasi antar instansi terkait pusat dan daerah, baik dalam
perencanitan, pelaksanaan, dan pengendaliannya dengan diterbitkannya Instruksi
Presiden (Inpres) No. 611984 tentang Penyelenggaraan Bantuan Pembangunan kepada Propinsi Daerah Tingkat I Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dan Desa.
Berdasarkan Inpres No. 611984 pengelolaan Inpres Sarkes menjadi semakin mantap dan terarah dibandingkan masa sebelumnya, karena kebijakan pembangunan sarana kesehatan digariskan secara tegas, baik menyangkut tujuan dm ruang lingkup kegiatan maupun pembagian tugas antara instansi terkait pusat
dan daerah. Adapun tujuan lnpres Sarkes yang tertuang ddam Inpres No. 611 984 antara lain : 1 . Memberikan pelayanan kesehatan yang lebih merata dan sedekat mungkin
kepada masyarakat terutama penduduk perdesaan dan daerah perkotaan yang berpenghasilan rendah. 2 - Meningkatkan derajat kesehatan rakyat tenrtama dengan peningkatan
penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan yang lebih baik bagi masyankat
perdesaan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka ruang lingkup kegiatan Inpres Sarkes meliputi : penyediaan obat-obatan, pembangunan puskesmas,
puskesmas pembantu, peningkatan dan perluasan puskesmas serta puskesmas pembanty pengadam puskesmas keliling, penyediaan sepeda motor untuk dokter
puskesmas dan sepeda untuk temga paramedis, penyediaan sarana air bersih dan pembangunan sarana pembuangan kotoran.
Ditinjau dari sifatny a, maka program Inpres Sarkes tersebut merupakan suatu kebijakan pembangunan sebagai pengejawantahan asas tugas perbanturn.
Ciri-ciri khusus dari program bantuan tersebut antara lain : 1 . Pembiayaan program dialokasikan dari APBN yang disalurkan kepada
pemerintah daerah hanya untuk membiayai kegiatan pembangunan pada sektor kesehatan. Pola pembiayaan pembangunan seperti ini dikenal dengan
i stilah bantuan spesifik atau specific grant. 2. Pemerintah pusat rnenetapkan kebijakan pengelolaan, mulai dari penetapan
besaran dana bantuan, ruang lingkup dan jenis kegiatan pembangum yang akan dilaksanakan serta menetapkan mekanisme kmrdinasi kelembagaan dalarn proses perencanaan, pelaksanaan hingga pengendaliannya di daerah
setiap tahun anggaran. 3. Pemerintah daerah, baik Dati I maupun Dati I1 berkewajiban melaksanakan
dan mempertanggung-jawabkan pelaksanaannya pa& pemerintah pusat. 4. Program ini dikelola secara lintas sektoral dengan melibatkan berbagai
instansi terkait di tingkat pusat dm daerah.
2.2.2.3.
Progmm Perlursia Kesempatan Kej a
Kerniskinan merupakan masalah pembangunan yang sangat mendasar. Salah satu kebijakan penting dalam penanggulangan kemiskinan adalah melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dilaksanakan melalui lnstruksi
Presiden No. 511993, yaitu tentang peningkatstn penanggulangan kemiskinan. Melalui Inpres ini akan dipadukan program sektoral ataupun regional yang
mencakup desa-desa tersebut sehingga secara efektif akan berdampak k s a r
terhadap penanggulangan kemiskinan.
Program Inpres Desa Tertinggal sebagai upaya peningkatan penanggulangan
kemiskinan bertujuan untuk mempercepat upaya mengurangi jumlah penduduk miskin dan jumlah desa atau kelurahan tertinggal. Oleh karena itu upaya program ini dilakukan melalui peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat dengan bantuan
mod J, peningkatan sumberdaya manusia dan bantuan prasarana yang mendukung kegiatan tersebut di perdesaan
Program iDT terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu : (1) bantuan modal usaha berupa dana bergulir sebesar Rp. 20 juta per-desa, (2) bantuan teknis pendampingan, dm (3) bantuan Pembangunan Prasarana Pendukung Desa
Tertinggal (P3DT). Bantuan P3DT yang
dimulai
sejak Tahun Anggaran
199511896
dimaksudkan untuk mernperkuat kedua program IDT @antuan modal usaha dan bantuan pendampingan) serta untuk meningkatkan dan mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan dalam bentuk penyediaan prasarana dasar. Prasarana
dasar yang dibangun dalam bantuan P3DT addah jalan, jembataq tarnbatan pwahu, air bersih, dm MCK. Kelima kornponen prasarana tersebut &pat dipilih
sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing desa. Pada dasarnya tujuan bantuan P3DT semata-mata bukan hanya untuk
menyediakan prasarana guna rnendukung kegiatan usaha masyarakat desa, namun
lebih ditekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat miskin di desa tertinggal. Pemberdayaan terhadap rnasyarakat dilakukan dengan
dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan atau kuantitas prasarana dan sarana lingkungan perumahan dm permukiman terutama
di wilayah perkotaan. Pada tahap awal kegiatannya, program ini berada di bawah kmrdinasi Departemen Pekerjaan Umum.
Program ini ditujukan untuk tenaga kerja tidak t e m p i l , tidak berpengalaman yang tidak bekerja dan sedang rnencari kerja. Sehubungm dengan krisis ekonomi, program ini ditujukan untuk korban pernutusan hubungan kerja dan pekerja wanita yang rnencari kerja untuk menambah atau mencukupi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari khususnya untuk pengadaan pangan,
pembiayaan untuk pendidikan dan kesehatan serta kebutuhan sosial ekonominya. Sejalan dengan ha1 tersebut maka program berhijuan untuk : 1 . Menciptakan dukungan pendapatan segera kepada keluarga miskin dan
menciptakan kesempatan kerja terutama pada skala kota yang sebanyakbanyaknya.
2. Menyerap pencari kerja termasuk tenaga kerja wanita, yang tidak mempunyai
ketrampilan dalam waktu singkat d m jumlah yang besar. 3.
Meningkatkan pelayanan dan kualitas lingkungan melalui rehabilitasi sarana dm prasarana khususnya penanganan daerah kumuh di wilayah perkotaan.
Kegiatan diutamakan untuk kegiatan-kegiatan rehabilitasi serta sebagian besar untuk kegiatan pemeliharaan dan pengembangan yang diperlukan untuk
meningkatkan fungsi pelayanan dan prasarana dan sarana lingkungan perumahan. Lingkup kegiatan yang ditangani meliputi antara lain : 1 . Prasarana dan sarana berskala kota seperti : jaringan drainase primerlsekunder,
jaringan jalan, persampahan dan lainnya.
2. Prasarana lingkungan, antara lain adalah jalan lingkungan, j alan setapak,
jembatan kecil ataupun gorong-gorong, air bersih clan sanitasi lingkungan. 3. Fasilitas umum meliputi a n t m lain stasiun bus, shelter, pasar, kios, taman
kanak-kanak, gardu jaga, balai karya, posyandu, kantor kelurahan ataupun kantor RW. 4. Fasilitas lingkungan perurnahan nelayadkumuh, rumah tinggal, ruang terbuka
hijau, perkuburan, tainan, lapangan olahraga dan lapangan berrnain.
2.3. Tinjruan Studi Terdabulu
Tinjauan studi terdahulu pada sebuah penelitian bertujuan untuk
memberikan ruang lingkup bagi kegiatan penelitian yang dilakukan. Tinjauan ini j uga berguna untuk membandingkan penelitian yang di lakukan dengan kegiatan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. 2.3.1.
Pasar Kerja
Pada dasarnya, pengamatan mengenai keragaan pasar tenaga kerja dapat
dilihat dari betmapa sisi yaitu partisipasi kerja, kesempatan keja &oral, pengangguran, upah riil sektoral, produktivitas pekerja sektoral dan pendapatan
regional sektord. Penelitian mengenai aspek-aspek tersebut banyak dilakukan terutama Mam skala nasiond.
Sulistyaningsih ( 19971, melakukan analisis
dengan melihat keterkaitan antara struktur ketenaga-kerjaan dm kinerja perekonomian di Indonesia.
HasiI andisis menunjukkan bahwa perubahan
struktur ekonomi Indonesia terjadi dari ekonorni h t u m p u pada sektor pertanian kepada ekonomi yang bertumpu pada sektor manufaktur dan jasa. Selanjutnya,
diketahui bahwa perubahan struktur ekonomi mempengaruhi struktur penyerapan tenaga kerja.
Berdasarkan analisi s, diketahui bahwa meskipun belum ada pergeseran dominasi penyerapan tenaga kerja ddam ekonomi, tetapi terjadi perubahan
peranan penyerapan tenaga keja di masing-masing sektor.
Peranan sektor
pertanian menurun dalam penyerapan tenaga keja dari 5 7.7 persen pada tahun 1980 menjadi 44.8 persen pada tahun 1993. Meskipun penyerapm tenaga keja di
sektor manufaktur dm jasa pada @ode
1980 sampai 1993 rata-rata meningkat,
tetapi peningkatan peranan sektor ini belum dapat mengimbangi sektor pertanian.
Sektor manufaktur telah berhasil menarik tenaga kerja untuk pindah dari sektor
pertanian. Tetapi perpindahan yang mencerminkan pergeseran tenaga kerja ini berlangsung relatif larnbat karena tenaga kerja sektor pertanian yang pindah ke sektor manufaktur dituntut untuk merniliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Analisis mengenai partisipasi kerja dapat dianalisis dengan pendekatan Tingkat Partisipasi Keja (TPK). TPK merupakan salah satu faktor yang penting dalam menelaah keragaan pasar kerja.
Prima (19921, melakukan penelitian
mengenai pengaruh pendidikan terhadap tingkat parti sipasi kej a di Indonesia.
Hasil studi menunjukkan : 1 . Jumlah partisipasi kerja dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang bersekolah
dan yang mengurus rumahtangga.
Sernakin banyak penduduk yang
bersekolah dan mengurus rumahtangga, semakin sedikit jumlah penduduk yang tergolong partisipasi kerja dan semakin rendah TPK. 2. Pendidikan berpengaruh positif terhadap TPK, artinya kenaikan tingkat
pendidikan akan meningkatkan TPK. 3. TPK untuk tamatan sekolah kejuruan lebih tinggi daripada TPK untuk tamatan
sekolah umum, walaupun diketahui bahwa perbedaan jurusan pendidikan ini
ternyata tidak berpengamh pada TPK secara keseluruhan baik di Indonesia, Jawa Barat, dan propinsi-propinsi lain di pulau Jawa. 4. TPK di perdesaan
lebih tinggi daripada TPK di perkotaan.
Hal ini
dikarenakan sifat pekejaan di desa yang lebih fleksibel atau lebih bersifat kekehargaan daripa& di kota. 5 . TPK laki-laki secara umum lebih tinggi daripada TPK perempuan. Hal ini dapat dimengerti karena laki-laki addah pencari naflcah utarna dalarn
keluarga. Dilihat dari tingkat upah, hasil penelitian Safiida (1999), menunjukkan bahwa penganth peningkatan upah minimum terhadap perrnintaan tenaga keja sektor pertanian dan jasa cukup besar dan berpengaruh nyata, sedangkan terhadap
perrnintaan tenaga kerja sektor industri pengaruhnya kecil dan tidak nyata. Oleh
karena itu, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam penerapan upah minimum karena kemungkinan akan terjadinya peningkatan pengangguran sektor pdanian
dan jasa. Upah memiliki keterkaitan dengan produktivitas. Welsar (1988), dalam
penelitiannya mengenai faktor yang mempengmhi produktivitas pemetik teh di
PTP XI1 Jawa Barat menunjukkan tingkat pendapatan bersih keluarga mempunyai pengaruh nyata terhadap peni ngkatan produktivitas pekerja, sementara tingkat pendidikan dan pengalaman tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas kej a .
Hal ini karena pekerjaan tersebut adalah jenis pekerjaan yang mengutamakan
kekuatan fisik. Rofiqoh ( 19941, juga melakukan penel itian mengenai produktivitas pekerja
di Kalimantan Timur dan hasil analisis menunjukkan :
1. Upah nil mempunyai hubungan positif dengan produktivitas pekeja di
Kalimantan Timur. Karena semakin tin@ upah, pada taraf tertentu dapat memotivasi seseorang untuk lebih giat bekerja yang akhirnya akan meningkatkan produktivitas pekerja. 2. Pendapatan perkapita berpengaruh positif t erhadap produktivitas pekerja,
karena pendapatan perkapita dapat mencerminkan pendapatan penduduk makro. 3. Tenaga kerja tidak sekolah, tidak tamat SD dan Tamat SD mempunyai
hubungan negatif dengan produktivitas pekerja di Kalimantan Timur dan barn mernpunyai hubungan yang positif setelah menamatkan tingkat pendidikan SMP, SMA dan Perguman Tinggi. Berarti produktivitas akan meningkat
dengan semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditarnatkan tenaga kerja. Selanjutnya penelitian mengenai &d
worker dan discoarrage worker
masih jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian seperti ini lebih banyak dilakukan di Amerika Serikat. Lundberg (1 98 5 ) &lam Bojas (1 996), melaporkan bahwa cudded worker efecf cenderung lebih kecil daripada discourage worker effect pada
masa resesi ekonomi di Amerika Serikat, dimana setiap seratus pria kulit putih yang kehilangan pekerjaan hanya mendorong tiga orang istri masuk ke pasar
kerja. Namun hasil penelitian Adriani (20001, menunjukkan bahwa A&d
worker
dipengaruhi oleh peubah jumlah penduduk yang rnasuk ke pasar kerja dengan alasan membantu ekonomi rumahtangga dan menarnbah penghasilan serta
putudtamat sekolah. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada kasus krisis ekonomi, upah bukan merupakan ha1 penting yang mendorong seseorang untuk mas& ke pasar kerja. Situasi ekonomi yang mlit memaksa sewrang untuk masuk ke pasar
kerja dengan upah berapapun yang setidaknya dapat mernbantu memperbaiki
ekonomi rumah tangga. Adriani (2000), dalam penelitiannya mengenai darnpak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan rnigrasi pada masa krisis ekonomi
menunjukkan bahwa : 1. Peningkatan partisipasi keja dipengmhi oleh pertarnbahan penduduk usia
produhif dan jumlah partisipasi kerja tahun sebelumnya. 2. Peningkatan kesempatan kerja sektoral dipengaruhi secara nyata oleh
pendapatan nasional sektod, program padat karya di perkotaan dan pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal di perdesaan. 3. Upah riil sektord dipengamhi oleh kebijakan U M R sektoral dan inflasi.
4. Produktivitas pekeja utamanya dipengamhi oleh upah riil sektoral, konsumsi
kalori, dummy program jaring pengaman sosial bidang kesehatan. 5 . Pendapatan nasional sektoral dipengaruhi secara nyata oleh produktivitas
pekerja dan kesempatan kerja sektoral. 6. Jumlah pengangguran dipengaruhi oleh peningkatan d i e d worker di wilayah
perdesaan dan perkotaan.
2.3.2.
Migrtlsi
Penelitian menganai migrasi lebih banyak dilakukan dalam skala mikro dan
spasial/kewilayahan. Pergerakan atau mobilitas penduduk sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan proses berkembangnya pembangunan di Indonesia. Mobilitas penduduk sendiri menrpakan produk dari berbagai faktor antara lain irepadatan penduduk, langkanya lapangan kerja di desa, keinginan
untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik, daya tarik kota dan berbagai faktor lainnya yang pada dasarnya dapat diklasifrkasikan pada faktor penarik dan
pendorong tejadinya mobilitas penduduk.
Noekman dan Erwidodo (19921, meneliti tentang pengaruh kondisi desa dan karakteristik individu terhadap mobilitas penduduk dengan menggunakan f u n p i logit. Hasil studi rnenunjukkan bahwa keputusan seseorang untuk bermigrasi
dipengamhi oleh luas lahan yang dimiliki, usia, pendidikan dan kondisi desa yang
diwakili oleh keadaan irigasinya. Hasil studi di atas sejalan dengan hasil penelitian Gunawan dan Zulham (19921, yang menemukan bahwa rninat masyarakat perdesaan untuk bekerja di
sektor pertanian berkurang terutama pada kelompok muda dan berpendidikan.
Pada kelompok ini tingkat migrasi sangat tinggi, sehingga diperkirakan pertanian
akan didominasi pekerja berusia tua dan berpendidikan rendah. Hasil penelitian Levy dan Walter (1974), menunjukkan hasil yang beriawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Noekman dan Erwidodo (79921, terutama mengenai faktor jarak, yaitu menunjukkan bahwa :
I . Jarak berpengaruh nyata terhadap migrasi, baik rnigran yang tidak berpendidikan maupun migran yang berpendidikan dasar dan lanjutan, dimana semakin jauh jarak yang ditempuh migran akan mengurangi jumlah migran di Venezuela.
Pengaruh jarak ini semakin kecil dengan semakin tinggi
pendidikan migran.
2. Jumlah migran akan menurun dengan meningkatnya upah di daerah asal dan
jumlah migran akan meningkat dengan rneningkatnya upah di daerah tujuan.
3. Berdasarkan tingkat pendidikan, migran yang berpendidikan lebih respon
terhadap perubahan upah baik di herah asal maupun di daerah tujuan daripada migran yang tidak berpendidikan. 4. Tingkat pengangguran di daerah asal mempunyai hubungan positif dengan jumlah migrasi, sedangkan tingkat pengangguran di daerah tujuan (Venaela)
mempunyai hubungan negatif dengan jumlah migrasi. Sebaliknya, hasil penelitian Rofiqoh (1 994), menunjukkan hasil analisis yang sama dengan penelitian Levy dan Walter (1974). Rofiqoh (1994), meneliti
faktor-f&or yang rnempengaruhi migrasi di Kdimantan Timur dan menemukan bahwa : 1. Jarak antara daerah asal dan daerah tujuan mempunyai hubungan negatif
dengan migrasi netto yang masuk ke Kalimantan Timur. 2. Rasio upah nyata antara daerah asal dan tujuan berhubungan positif dengan
migrasi netto yang masuk ke Kdimantan Timur. 3. Rasio jumlah tenaga kerja yang menarnatkan SMP dan SMA antara daerah
asal dm tujuan mempunyai hubungan yang positif dengan migrasi netto yang
masuk ke Kalimantan Timur. 4. Rasio jumlah tenaga kerja yang menarnatkan Perguruan Tinggi antara daerah
asal dan tujuan mempunyai hubungan negatif dengan migrasi netto yang masuk ke Kalimantan Timur.
5 . Tingkat kesempatan kerja relatif daerah asal terhadap daerah tujuan
berpengaruh positif dengan migrasi netto yang masuk ke Kalimantan Timur. 6 . Tingkat industrialisasi di propinsi tersebut relatif terhadap daerah asal
berhubungan positif dengan migrasi netto.
Secara lebih spesifik hasil studi Mintchell (1961) dan Mantra (19781, mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang mendorong migran melakukan
migrasi . Faktor-faktor yang rnendorong migran meninggalkan daerah asalnya
disebut faktor sentrifugal, sedangkan faktor-faktor yang menarik kembali ke daerah asalnya disebut faktor sentripetal. Mantra ( 1 987), dalam analisi snya rnengenai migrasi penduduk di Indonesia berdasarkan hasil Survey Penduduk Antar Sensus BPS (19851, memperoleh
beberapa karakteristik pada migran diantaranya : 1 . Usia migran terkonsentrasi pada kelompok usia 25-44 tahun, dimana
kelompok ini rnerupakan kelompok usia produktif. Pada kelompok usia 1 5- 1 9 tahun persentase migran perempuan lebih besar dari persentase migran laki-
laki, karena pada usia tersebut migran perempuan pada umumnya belum kawin. 2. Kebanyakan migran berkerja di sektor informal. Sekitar 45 persen sebagai
buruh, hampir seperempatnya berusaha sendiri, dan sekitar 15 persen bekerja sebagai buruh tetap. 3. Pendidikan rnigran relatif lebih tinggi daripada pendidikan non rnigran.
Namun demikian migran yang telah berusia lanjut (>50 tahun) tiilgkat pendidi kannya rendah. Adriani (ZOO),
hasil penelitiannya menunjukkan penurunan jumlah
partisipasi kerja pedesaan dipengaruhi nyata oleh migrasi desa-kota. Hal ini
merupakan petunjuk bahwa peningkatan migrasi desa-kota secara besar-besaran
akan mengarah pada terjadinya kelangkaan partisipasi kerja di w ilayah perdesaan dan limpahan partisipasi kerja di perkotaan.