RUANG ruang | kreativitas tanpa batas
April 2016
1
VOL. 2: NARASI Ayos Purwoaji - Davide Sacconi - Derrick Andika Juda - Maria Shéhérazade Giudici - Noa Haim - Rifandi S. Nugroho Rofianisa Nurdin - Savitri Sastrawan - Siti Amrina Rosada - Sri Suryani
#10
PEMERINTAH
edisi #10: Pemerintah
2
ruang | kreativitas tanpa batas
RUANG #10: PEMERINTAH vol. 2: Narasi
tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari: Maria Shéhérazade Giudici Davide Sacconi Ayos Purwoaji Derrick Andika Juda Siti Amrina Rosada Noa Haim Sri Suryani Rifandi S. Nugroho Savitri Sastrawan Rofianisa Nurdin
3
edisi #10: Pemerintah
RUANG
PEMBUKA Apakah pemerintah dan masyarakat memiliki visi dan aspirasi yang sama tentang kota? Bagaimana membangun komunikasi yang produktif antara pemerintah dan masyarakat? Lantas, apa peranan arsitek dalam hal ini? Pemerintah telah mengikutsertakan perencana kota dalam merencanakan pembangunan; namun uji kompetensi atau tender yang tidak terlaksana dengan baik, beserta kultur KKN yang masih mewabah, membuat banyak hasil pembangunan tidak terlaksana dengan baik atau mengusulkan strategi yang tidak tepat. Akhirnya, arsitek seringkali terjebak dalam konflik antara pemerintah dan masyarakatnya. Idealnya, arsitek harus bersikap sebagai penengah yang memediasi aspirasi masyarakat dengan visi pemerintah. Namun seringkali arsitek hanya berpihak pada satu sisi, atau malah memilih sisi ke-empat: pasar. Bagian kedua dari Ruang edisi #10: Pemerintah, menawarkan “narasi” dalam membaca praktek-praktek yang berlangsung; seperti realita lapangan yang seolah berjarak dengan visi, fenomena-fenomena politis keruangan atau pengaturan pengalaman ruang-ruang kota yang membentuk manusia. Ruang bersyukur mendapat masukan dari berbagai macam latar belakang disiplin keilmuan. Penyelenggara negara, praktisi arsitektur dan perencana kota, akademisi, seniman, aktivis, pengamat, serta pecinta arsitektur dan kota menawarkan beragam sudut pandang untuk membedah kompleksitas permasalahan tadi. Campuran antara bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ataupun bahasa Indonesia-Inggris memperkaya kemungkinan-kemungkinan yang membebaskan, bukan malah memenjarakan. Semoga artikel-artikel ini memancing kita dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Wacana akan dibuka oleh Maria Sheheraza de Guidici dan Davide Sacconi dari AA School, “City and Power: 12 Tales from a Present Future”, yang membahas tentang relasi antara kota dan kekuasaan melalui sebuah kolaborasi eksperimental bersama 12 arsitek dan praktisi kolektif. Kemudian Ayos Purwoaji dari AYOREK Surabaya bercerita tentang “Kota dan Narasi yang Majemuk”, bahwasanya kota justru dibentuk oleh fragmen-fragmen kecil yang kemudian menjadi identitas kolektif. Sementara Derrick Andika Juda, desainer urban di AECOM Jakarta, menyumbangkan bagian dari tesis masternya yang bertajuk “Pasar Senen: How Life Between Buildings Matters in Market Revitalisation”. Selanjutnya, Siti Amrina Rosada menjabarkan observasinya tentang “Arsitek dalam Profesi: Peran, Posisi, dan Potensi”, yang kembali kepada pertanyaan: apakah menjalani profesi arsitek saja akan cukup untuk bersetia pada arsitektur?
2
Noa Haim, founder dari Collective Paper Aesthetic Rotterdam, bercerita tentang proyek yang terinspirasi dari karya Buckminster Fuller dan memiliki tujuan untuk menjadi instrumen berpikir untuk arsitektur dan perencanaan kota berdasarkan konsep partisipatif, “How Can We Make Places People Truly Love?”. Sri Suryani, seorang lulusan UCL yang tinggal di Jakarta, menangkap fenomena realitas kaum marjinal di ibukota tersebut melalui tulisan “Di Atas Kertas”. Lalu, Rifandi S. Nugroho dari komunitas Kami Arsitek Jengki Surabaya, membahas tentang “Tiga Orang yang Berperan di Awal Kemerdekaan” dalam upaya merefleksikan gambaran akan pahit dan manisnya bersinergi bersama pemerintah pada masa tersebut. Seorang seniman bernama D.A.E. Savitri Sastrawan, akan mengusung artikel “Bali: We Now Devote Ourselves to the God of (US) Dollar” yang bercerita tentang pergeseran nilai pada pariwisata Bali dan pergerakan seniman untuk mengekspresikan kritik mereka kepada pemerintah melalui karya seni. Di akhir wacana, Rofianisa Nurdin, penggagas CreativeMornings Jakarta, akan menutup rangkaian narasi dengan mengangkat observasinya pada Umbrella Movement Hong Kong tahun 2014 silam, “Tentang Hong Kong: Okupasi Kota dan Bangkitnya Kesadaran Politik Kaum Muda”. Dalam euforia memaknai kebebasan bicara dan berwacana secara lantang di ruang publik, fenomena di atas sedikit banyak memberi andil dalam melahirkan beragam subkultur yang memperkaya kehidupan di ruang kota. Meski pada akhirnya, bagaimana kita memaknai kehadiran mereka, akan kembali lagi kepada keberpihakan kita kepada nilai-nilai yang mereka bawa. Selamat memilih sudut pandang, selamat menikmati Ruang!
ISI
vol.2: Narasi
7
City and Power: 12 Tales From A essay Present Future Davide Sacconi & Maria S. Giudici
23
Kota dan Narasi Yang Majemuk
esai Ayos Purwoaji
31
Pasar Senen: How Life Between essay Buildings Matters in Market Revitalization Derrick Andika Juda
37
Arsitek Dalam Profesi: Peran, Posisi esai dan Potensi Siti Amrina Rosada
45
How Can We Make Places People Truly essay Love? Noa Haim
51
Di Atas Kertas
esai Sri Suryani
59
Tiga Orang Yang Berperan Di Awal esai Kemerdekaan Rifandi S. Nugroho
69
Bali: We Now Devote Ourselves To The essay God of (US) Dollars D.A.E. Savitri Sastrawan
77
Tentang Hongkong: Okupasi Kota dan esai Bangkitnya Kesadaran Politik Kaum Muda Rofianisa Nurdin
K O N T R I B U T O R Ayos Purwoaji adalah AP seorang penggemar wacana dan arsip arsitektur. Sehari-hari menjalankan peran sebagai dosen ilmu budaya di sebuah universitas swasta di Surabaya. Davide Sacconi is an architect and PhD candidate at the Architectural Association of London. ds He graduated with honors from the Università degli Studi di Roma Tre and earned his postgraduate research diploma at the Berlage Institute of Rotterdam. He worked for IaN+ and MVRDV. In 2012-14 he has taught in the MArch Urban Design program at the Bartlett School of Architecture UCL and dj since 2014 he has been a Visiting Professor at the Syracuse University London Program, at the Liverpool University and visiting critic at the Architectural Association. Together with Luca Galofaro, Gianfranco Bombaci and Matteo Costanzo (2A+P/A) he is the co-founder of CAMPO, a space to study, debate dss and celebrate architecture. DERRICK JUDA ANDIKA is an urban designer working at a multidisciplinary built environment consultancy company in Jakarta. Graduated from School of Architecture, Planning and Policy Development at Institut Teknologi ms Bandung, he then pursued further education and obtained an MA degree in Urban Design from the University of Westminster, London, UK. He now lives in Jakarta and practices urban design at AECOM Indonesia..
D.A.E. SAVITRI SASTRAWAN is a Balinese nomad, DewaAyuEka Savitri Sastrawan is an arts and language freelancer. She is an artist, a Bahasa Indonesia - English translator, and currently completing Masters in Global Arts at Goldsmiths, University of London. She previously studied Fine Art Painting at ISI Denpasar, Bali and Chelsea College of Art and Design, UAL, UK. Her research interest is to explore the interdisciplinary possibilities in the arts and language within the global society and culture. Maria Shéhérazade Guidici earned her MA in Architecture from Mendrisio Academy, Switzerland, with an award winning project for Venice developed in Elia Zenghelis’ unit. She worked between 2005 and 2007 in Bucharest-based office BAU before graduating at the Berlage Institute in 2009 with the team thesis RomeThe Centres Elsewhere, published in fall 2010 by Skirà. (quoted from “The City as a Project”)
nh
NOA HAIM (Jerusalem, 1975) master of architecture, designer, journalist and contributing editor based in Rotterdam, Nederland where she graduated from The rsn Berlage Institute (2004). Following a presentation of her graduation work in a form of participatory activity within London Festival of Architecture 2008, she established her design studio Collective Paper Aesthetics. In collaboration with museums, science centres, cultural and educational organizations the rn studio is developing educational toys, hands-on furnishing and participatory pop-up spaces with the motto – everyone can play a designer! Rifandi Septiawan Nugroho adalah penggemar sar wacana dan arsip arsitektur. Saat ini bekerja paruh waktu di OMAH Library dan arsitek junior di RAW Architects. Pada tahun 2015 menyelenggarakan pameran arsip Harjono Sigit bersama teman-temannya di Surabaya. ss
ROFIANISA NURDIN menjadi sarjana Arsitektur ITB pada tahun 2012. Menggemari sastra dan arsitektur kota, dan diam-diam berkhayal ingin mengambil kuliah filologi. Ketertarikannya kepada kota, manusia, dan budaya membawanya ke dalam ranah industri kreatif dengan semangat kolaborasi melalui Vidour yang digagas pada tahun 2011 dan CreativeMornings Jakarta yang digagas pada tahun 2014. Memori kolektifnya tersebar di kota-kota Asia Tenggara: Bandung, Ubud, Jakarta, George Town (Penang), dan Singapura. SITI AMRINA ROSADA, di tahun 2013 lalu menjadi lulusan Arsitektur Brawijaya, saat ini menetap di Palangka Raya. Sampai saat ini kebanyakan berkarya lewat fotografi, tulisan, dan arsitektur. SRI SURYANI, arsitek amatir. yang telah menyelesaikan program master di Development Planning Unit – The Bartlett UCL jurusan Building and Urban Design in Development pada bulan September 2015. Saat ini sedang belajar di Yayasan Ciliwung Merdeka dan penelitian mandiri tentang politik ruang dan pengetahuan. Berharap suatu saat bisa membangun taman kanak-kanak dan melukis setiap hari.
RUANG Editorial Board : Ivan Kurniawan Nasution Mochammad Yusni Aziz Rofianisa Nurdin web : www.membacaruang.com facebook : /ruangarsitektur twitter : @ruangarsitektur tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com email :
[email protected] segala isi materi di dalam majalah elektronik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing penulis. penggunaan gambar untuk keperluan tertentu harus atas izin penulis.
Konsep: RUANG Desain: Yusni Aziz
CITY AND POWER: 12 tales from a present future by Maria Sheherazade Giudici & Davide Sacconi
ESSAY ENGLISH Architecture and politics, City as a project, Architectural representation
Superstudio’s “Twelve Cautionary Tales for Christmas”, defines as ‘premonitions of the mystical rebirth of urbanism,’ that is to say, a condition in which architecture takes command and becomes, in a very explicit way, a tool for the construction of subjects. It address the relationship between the project of governance, the project of the city, and the project of our domestic space.
edisi #10: Pemerintah
8
In 1971 Superstudio published in Architectural Design “Twelve Cautionary Tales for Christmas”, twelve short stories illustrated with their own drawings, which put forward in a narrative form a critique of the role of architecture in the making of the city. The twelve stories illustrate what Superstudio defines as ‘premonitions of the mystical rebirth of urbanism,’ that is to say, a condition in which architecture takes command and becomes, in a very explicit way, a tool for the construction of subjects. As such the ‘Cautionary Tales’ are not projections of a desirable future but rather an exaggerated portrait of the present condition. The science fiction character of the narrative, juxtaposed to the technical precision and evocative dimension of the drawings, constructs a detachment from actual reality that is the key to a ruthless and powerful critique. The chosen format itself becomes the device through which the authors can target precisely the relationship between space and government, form and modern politics, without either seeking refuge in academic theories or falling into naïve utopias for a future that might never come. Indeed the “Tales”, at their root, address the relationship between the project of governance, the project of the city, and the project of our domestic space. This relationship is not a new thing. For example, ancient Chinese cities, founded on the logic described in the Rites of Zhou, already present a sophisticated translation of ethical hierarchies in built form, as did the Roman colonial expansion grid. However, in these cases, the symbolic and military ambitions at stake are always laid out in a way that includes a clear form of self-representation. In other words, these traditional cities were always readable as projects. Moreover, the idea of power and authority in pre-modern times predated conceptually the making of the city, which then became the fit receptacle and embodiment of that power. However, from the 1700s onwards, the system shifted: it is the urban space itself which constructs the very possibility of government, it is the ordering of the city which builds the consensus that any power needs to exist. Abraham Bosse’s famous frontispiece for Hobbes’ Leviathan already figures forth this need to root power in the calculated composition of a mass of bodies into an orderly people. In this shift, the built form ceases to be a representation and becomes, as Le Corbusier would say a machine. As architects, this condition forces us to ask ourselves: have we yielded all our power of imagination and disruption by accepting this role, or on the contrary have we become all the more powerful, yet questionable, by becoming not only the accomplices but the very enablers of government? This conundrum is well expressed in the clinical, relentless descriptions of the original Superstudio “Tales” as well as in the illustrations which portray an architecture which is at the same time absolutely generic and rarefied, but becomes monumental in virtue of its sheer scale. The considerations on Superstudio’s approach and the reflections on the role of architects and architecture in critically address the project of the city have been the starting point of the ‘The Supreme Achievement’, an exhibition, a workshop and a publication born out of the collaboration of CAMPO and
ruang | kreativitas tanpa batas
Black Square – respectively, a space for architecture in Rome and a Milan-based publishing and educational platform. In the Summer of 2015, inspired by the rereading of Superstudio’s ‘Cautionary Tales’, we invited twelve architects and collective practices to give their own interpretation of this project in relationship to the contemporary condition, respecting the original format of one text and one image. Hereafter, to further elaborate and open up a discussion on these contributions, we organised a one-week workshop at CAMPO during which a group of students, speculated on the space of the self within the framework proposed by the twelve city visions. The work of the students opposed to the visionary character of the urban images the material presence of plaster models as the tool of investigation. The results of this process have been exhibited at CAMPO in September and will be collected and edited in a book to be published by Black Square Press at the beginning of 2016. The entire process has involved about 50 people between architects, students, and guest critics who have been engaged in an ongoing debate on the question first put forward by Superstudio: is architecture condemned to become a machine of government? In order to test the potential of this experimental approach, we assembled a fairly heterogeneous group of contributors. We invited architects and collectives with different backgrounds, experiences and positions, coming from three different continents and belonging to different generations. In spite of the differences, a common thread can be identified among the participants; on the one hand, a shared interest in the relationship between city and power, and, on the other hand, the particular relevance is given to architectural representation. They all use drawing as a heuristic device – that is to say, as a form of knowledge in its own right – rather than as a mere way to explain a project: for them, the drawing itself is the project. Starting from these premises Amid/Cero9 (Spain), Aristide Antonas (Athens), Behemoth (The Netherlands), Dogma (Belgium), Didier Faustino (France), FORA + Beth Hughes (Portugal / UK), MAPOffice (Hong Kong), Alex Maymind (USA), Microcities (France), Miniatura (Brazil), Philippe Morel (France) and Raumlabor (Germany) responded to the invite with a diverse and fascinating range of responses. The results have been quite extraordinary and surprising in many respects. The restraints and the consequent clarity of the “Cautionary Tale” format revealed not only its enduring validity but, if possible, an even increased power vis-à-vis the contemporary reality and the variety of invited contributors. The material as a whole stands in its stunning visual and conceptual clarity, but at the same time, once we enter in the depth of the narrative and the details of the design, it is able to produce countless possibilities of cross references. The images and the texts offer themselves to the viewer as a living matter, where each contribution can be read against the others in an endless play of elective affinities and conflicts. Thus, the framework of the Tales engenders a tension among
9
edisi #10: Pemerintah
the projects where the differences are neither recomposed nor irreconcilable, producing an understanding of the whole that is greater than the single parts. Each contribution insists on distinct attitudes that span from acceleration to opposition, from the poetic to the technological, from the ironically disenchanted to the resolutely pragmatic, giving form to a mosaic of visions and tools. Nevertheless, we can clearly read a common concern with the (im)possibility to investigate and represent the current transformations of the city, its dissolution in a system of norms defining behaviors, where architecture seems to be progressively absorbed into a productive machine. The physical and mental acceleration that is produced and at the same time produces the endless condition of urbanization, portrayed from different angles, emerges with striking and unquestionable clarity.
10
Figure 1. The Last Earth ©Phillippe Morel
ruang | kreativitas tanpa batas
Within this common ground, an interesting edge seems to materialize when it comes to defining a possible role of architecture within the condition of urbanization. For example, Philippe Morel with Last Earth (Figure 1) brings to the extreme consequences the possibilities offered by mathematics and computational tools, uncovering the irresolvable internal contradictions brought about by the progressive naturalization of capital as an endless process of accumulation. In a city of planetary scale, the last one, where everything is immediately and intrinsically available thanks to the computational management of a ‘state of statistical chaos’, architecture, the city and man itself are reduced to irrelevant numbers subordinate to ‘an ideal gas law’. On a similar path, but possibly locate few centuries earlier, Raumlabor speculates on the technical
11
Figure 2. Stadtfresser City ©Raumlabor
edisi #10: Pemerintah
and cultural possibilities offered by 3d printing technology applied to the urban scale. The mechanical precision of the drawings and the tech-journalist like the style of the text of Stadtfresser City (Figure 2) have an evocative quality that instrumentalizes the technical issue to open a more profound question of globalization, erasure of cultural differences and ultimately on the dissolution of architecture as language and knowledge. Precisely the relationship between knowledge production and life is at the center of the vision constructed by Behemoth, the Italo-Iranian Holland-based trio. Produced by their sharply critical and ironic gaze, Penelope or the endless loom (Figure 3) materializes in an absurdly low-tech but highly sophisticated machine, an allegory of the actual condition of
12
Figure 3. Penelope or, the Infinite Loom ©Bahemoth
ruang | kreativitas tanpa batas
labour within university campuses. Similarly to Morel’s proposal, the relationship between architecture and the city or between matter and man, are completely dissolved and substituted by the management of feedback loops, an ‘endless loom‘ of economic, intellectual and affective relationships efficiently serving the machine. With a different perspective but with the same planetary gaze seen in Morel’s proposal, FOR-A and Beth Hughes collaborated to materialize The Assembly (Figure 4), a post-apocalyptic and very actual scenario at once, where, in a process of ‘metropolitan autopoiesis’, the territory is continuously reorganized by infrastructural systems that leave behind a landscape of obsolete technology.
13
Figure 4. The Assembly ©FOR-A and Beth Hughes
edisi #10: Pemerintah
A glimpse of hope seems to reside in the possibility to ‘re-appropriate and co-opt’ these ‘wrecks of physical surplus’, in ‘extraterritorial exemptions’ where a new relation with space might emerge; a very tight space of maneuver for architecture. In a similar manner, architecture plays the role of a found opportunity within a larger system, in The warehouse city (Figure 5), the poetic vision of Aristides Antonas. The collage, to certain extent, could be read together with The Assembly – and here is not a chance the use of the collage being common to both projects – as a representation of the ‘inhabitation of the invisible flaws’, of the time, space and relationships that the connective infrastructure can produce between
14
Figure 5. The Warehouse City ©Aristide Antonas
ruang | kreativitas tanpa batas
and through humans. The city is the endless interior of an ‘abstract warehouse’ where everything is represented and where the potential resides, more than in the architecture, in the possibility to instrumentalize the ‘infrastructure protocols’ to construct new forms of co-existence. The recapture of the interior through a collective organization becomes the central theme of The city within (Figure 6), the tale imagined by MICROCITIES (in collaboration with Giacomo Nanni, Cristina Crippa, Raffaele Alberto Ventura e Francesca Guidoni), where a ‘slow and secret invasion’ from within is able to regain control of a city now turned into desert by private interests and technocratic control. The project exposes the blurring
15
Figure 6. The City Within ©Microcities
edisi #10: Pemerintah
of private and public space, domestic and working condition, political and the economic sphere, that is at the core of the contemporary condition.The detailed precision of the account, the choice of the section as a tool for representation and the happy ending betray an optimistic vein to which architecture seems to be inevitably condemned. As a sort of counterpart, the project Master and Slave (Figure 7) by Didier Fiuza Faustino relies on a much more ambiguous and dystopian atmosphere. The city, or possibly the entire civilization, is condensed in an inhabited Moloch that is eroded from the inside, a conflict of devotion and domination, dependence, and fulfillment that masters and slaves are obliged to
16
Figure 7. Master and Servant ©Didier Faustino
ruang | kreativitas tanpa batas
play in an uncanny and open-ended perversion. An estrangement of a different nature is provoked by the cyclic conception of time of the City without a Monument (Figure 8) by the Brazilian duo MINIATURA, where the city is a cycle that transforms the relationships between man, architecture and the city in an endless time-space loop. A process, more than an architectural form, that, containing ‘the repertoire of everything that was and has to be done’ brakes with the idea of Modernity based on progress and memory. The theme of memory finds its most poetic moment in the visionary tale narrated by MAP Office. The French duo, based in Hong Kong, speculates on
17
Figure 8 City without a Monument ©Miniatura
edisi #10: Pemerintah
the relationship between the nature of man and its technological extension, between the volatile character of information and the permanence of matter, the inevitability of death and the construction of memory. The record of each life, one chip after the other, gives form to The Island of Memory (Figure 9), a cemetery, and archive at once of the entire collective knowledge. The tale can be read both as a subtle critique of the technological faith and as a light-hearted journey into the abyss of human nature, where the role of architecture is nevertheless dissolved in a direct projection of ourselves in the infrastructure of the landscape. A step before death, Nocturnalia (Figure 10) by Cero9/Amid put forward the possibility of collective sleeping as the last and paradoxical frontier
18
Figure 9. The Island of Memories ©MAP Office
ruang | kreativitas tanpa batas
of wakefulness, as a form of ‘resistance to a life exposed to a machinic process of exploitation’. Civilization without homes surrounded by the endless productive field of work where architecture celebrates and gives form to the ultimate public space; an enormous dome with a golden ceiling beneath which the whole population sleeps together in the attempt to escape the nightmare of uniformity. Endlessly monotonous walls, an ‘absolute homogeneity, and sameness’ that continues unabated, is the theme of Alex Maymind’s The City of Walls (Figure 11), a direct reinterpretation of the Superstudio’s First City. The walls construct a background condition, ‘ a quality with no quality that has a quality of its own’, against which the unbridled nature of the city can materialize. Thus, the city is paradoxically conceived as subtraction that constructs, as the gesture that carves out of
19
Figure 10 Nocturnalia ©Cero9
edisi #10: Pemerintah
the infinite straight stubbornness of the walls a political space. Finally, Dogma proposes The Block (Figure 12), a straightforward reinterpretation of what was once the basic unit of the city, now condensed in a single monumental gesture. Architecture takes command over the city as an archetype that, through the precise articulation of its form can organize the relationship between ‘the two extremes of the human condition: solitude and togetherness’. The sheer scale of the artifact imposes a presence that nevertheless can be either rejected or eroded through inhabitation, opening up the possibility of a political dimension of co-existence by means of architecture.
20
Figure 10. The City of Walls ©Alex Maymind
ruang | kreativitas tanpa batas
These twelve cities are not mutually exclusive; they are all happening, after all, right here, right now, with their conflicts and their ambitions. Ultimately what emerges out of this complex mosaic of ideas is, against all odds, faith in architecture, in the possibility for architecture to exist perhaps beyond architects and against all the constraints of politics. A golden dome, a basement that becomes a city, the white noise of machines whose intricate construction doesn’t cease to fascinate us: the real Supreme Achievement resides in the capability to recognize the power of space, and to turn it from an instrument of power into a weapon that might as well return to us some sense of awareness, agency, and perhaps beauty.
21
Figure 12. The Block ©Dogma
edisi #10: Pemerintah
“It is the urban space itself which constructs the very possibility of government, it is the ordering of the city which builds the consensus that any power needs to exist.” 22
Maria Sheherazade Giudici & Davide Sacconi
KOTA DAN NARASI YANG MAJEMUK oleh Ayos Purwoaji
ESAI INDONESIA Arsitektur, Pemerintah, Narasi Kota, Demokrasi
Narasi sebuah kota tidak ditulis secara absolut oleh pemerintah dan perencana kota, tetapi juga oleh partisipasi warga-warganya. Namun seringkali hal yang muncul secara organik tersebut dianggap sebuah penyimpangan oleh sang penguasa.
© Ara Guler
ruang | kreativitas tanpa batas
Saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah anekdot stereotip yang sudah sering didengar oleh warga Surabaya: Untuk Anda yang belum tahu, konon, ada dua hal yang paling menggiurkan bagi seorang Madura yang memiliki jiwa pedagang, yaitu: besi bekas dan tanah mangkrak di pinggir jalan. Mendapatkan besi bekas tentu lebih gampang daripada mendapatkan tanah yang strategis. Lalu bagaimana cara orang Madura mendapatkan tanah tersebut? Pertama-tama, ia akan menaruh sebuah meja di atas tanah tersebut. Testing the water. Bila dalam tiga hari tidak ada yang menggubris, ia akan mulai menaruh barang lain yang lebih besar, seperti misalnya sebuah gerobak. Jika dalam seminggu gerobaknya masih utuh dan tidak terganggu. Ia akan segera kulakan bahan-bahan dan mulai berjualan. Awalnya ia akan pulang pergi. Tapi lambat laun, gerobak tersebut mulai beratap tenda terpal. Minimal agar para pembeli tak kepanasan atau kehujanan. Tak lama, muncul lincak atau bale-bale untuk bersantai. Kemudian, mulai hadir tembok semi permanen dari anyaman bambu dengan atap seng. Karena terlalu panas, atap seng tersebut diganti dengan genteng terakota. Setelah setahun berlalu dan tidak muncul klaim apa pun dari tanah yang ia tempati. Seorang Madura akan mulai gelisah dan kesepian. Ia pun mulai memanggil sanak saudara untuk mengisi tanah kosong di kiri dan kanannya. Sebuah komunitas sederhana pun mulai terbentuk. Pada sebuah titik, ketika komunitas yang ada sudah semakin kompleks. Mereka membutuhkan sebuah langgar. Masjid sederhana untuk beribadah. Karena toh sholat berjamaah itu dua puluh tujuh kali lebih baik daripada sholat sendirian. Ketika sebuah masjid berdiri, sebuah pemukiman organik komunitas Madura menjadi paripurna. Sulit untuk menggusur sebuah pemukiman yang memiliki masjid, sekalipun itu berada di tanah ilegal. Karena, bagi Gusti Allah, semua tanah di bumi ini legal hukumnya. Dan barangsiapa yang mencoba-coba menggusur rumah Allah yang sudah berdiri, maka ia harus berhadapan dengan sekelompok Madura yang rela mati syahid. Dan itu adalah opsi yang paling mengerikan. +++
25
edisi #10: Pemerintah
Bagi Henri Lefebvre, sosiolog Marxis asal Perancis, apa yang dilakukan oleh sekelompok orang Madura tersebut adalah sebuah praktik spasial. Praktik sosial yang melibatkan relasi dengan ruang. Sama seperti para pedagang kecil yang mengokupasi jalur pedestrian atau sekelompok transmigran yang mendirikan pemukiman di sempadan sungai. Mereka, para wong cilik ini, memahami setiap jengkal ruang sebagai sebuah kesempatan untuk bertahan hidup.Tak peduli apakah itu adalah ruang-ruang yang tersisa dari sebuah kota. Lefebvre percaya bahwa representasi ruang sebuah kota dikendalikan oleh gagasan arsitek, urban planner, atau pemerintah yang memegang kontrol atas konsepsi dan prouksi tata ruang sebuah kota. Di atas sebuah peta, mereka, para pemegang otoritas ini, mulai menarik garis dan memetakan apa yang baik dan tidak baik bagi sebuah kota. Batas-batas dibuat antara pemukiman, ruang produksi dan ruang konsumsi. Dan kemudian ruas-ruas jalan ditarik untuk menghubungkan ketiganya. Ketika representasi spasial ini hanya melibatkan sekelompok pemegang kontrol, maka yang terjadi pada akhirnya adalah praktik spasialiasi dominan. Sebuah narasi yang dipaksakan demi kenyamanan bersama yang bersifat homogen dan monolitik. Dus, atas dasar standar tersebut, nilai-nilai hidup dipaksakan. Sama halnya ketika Presiden Jokowi mampir ke Jambi untuk memberikan tanah dan pemukiman permanen, tanpa perlu memahami bahwa Suku Anak Dalam berpola hidup nomadik. Pemerintah dan urban planner seringkali memahami kota sebagai sebuah narasi tunggal versi mereka. Sehingga apa yang dilakukan oleh pedagang kecil dan sekelompok transmigran tersebut dianggap subversif. Melenceng dari apa yang dibayangkan dari sebuah perencanaan. 26
Padahal, sebagai sebuah entitas yang tumbuh organik, kota justru dibentuk oleh fragmen-fragmen kecil yang kemudian menjadi identitas kolektif. Sehingga wajar bila kemudian muncul narasi-narasi subversif yang mengimbangi perencanaan tunggal yang dibuat oleh pemilik kontrol ruang. Sebagaimana teks, akan selalu ada pemaknaan yang berbeda dari pembaca. Narasi-narasi kecil yang menuntut pemahaman dan pemaknaan baru akan kontestasi ruang kota tersebut juga muncul pada lirik-lirik lagu Silampukau, sebuah grup musik asal Surabaya:
ruang | kreativitas tanpa batas
Kami rindu lapangan yang hijau. Harus sewa dengan harga tak terjangkau. Tanah lapang kami berganti gedung. Mereka ambil untung, kami yang buntung.
Kami hanya main bola, tak pernah ganggu gedungmu. Kami hanya main bola, persetan dengan gedungmu.
(Bola Raya, album Dosa, Kota, & Kenangan)
27
edisi #10: Pemerintah
Bagi sebagian orang, kota adalah sebuah karya fiksi. Seperti karya-karya eksponen gerakan Archigram pada tahun 1960an yang memperlihatan bahwa kota memiliki daya spontan dan tidak terduga. Kota tidak lagi dibaca sebagai serentetan aturan dan birokrasi. Melainkan letupan-letupan kreatif yang bersifat futuristik. Ada optimisme dan kenakalan di sana. Satu dekade kemudian, Italo Calvino, seorang pengarang Italia, menerbitkan sebuah novelet berjudul Invisible Cities. Dalam karya tersebut, ia membentuk narasi tentang lima puluh lima kota melalui imajinasi dan kenangan dari seorang pengelana. Bagi Calvino, kota tak ubahnya seperti mimpi “yang terbuat dari jalinan keinginan dan ketakutan” masyarakat yang hidup di dalamnya. Kota, bagi Calvino, adalah sebentuk memori kolektif yang hidup. Orhan Pamuk, dalam memoarnya yang terkenal Istanbul: Memories and the City, juga menuliskan hal yang kurang lebih sama. Bagi Pamuk, Istanbul dibentuk oleh dua hal. Pertama, ingatan kolektif tentang jatuhnya Ottoman, dan yang kedua, imajinasi para petualang dan pelancong Eropa abad pertengahan yang pernah mengunjungi Istanbul seperti Gérard de Nerval, Théophile Gautier, dan Gustave Flaubert. Ketiganya -dikutuk oleh Pamuk, karena- menulis Istanbul melalui kacamata eksotisisme orientalis. Warisan tersebut membentuk persepsi masyarakat Eropa atas Istanbul untuk jangka waktu yang lama. Dampak dari kedua hal tersebut dapat dirasakan Pamuk hingga hari ini. Istanbul seakan membeku dalam waktu. Gamang dalam posisi yang mengambang. Tidak bisa mengejar kemajuan Eropa, namun berusaha lepas dari akar ketimuran Asia.
28
Rasa gamang itu disebut Pamuk sebagai hüzün. Sebuah melankoli, suasana murung, yang menjangkiti keseharian masyarakat Istanbul. Seperti halnya selat Bosporus yang selalu dirundung kabut tebal. Suram dan ngelangut. Perasaan yang sama juga hadir melalui karya Ara Güler, fotografer jalanan yang karyanya banyak dipakai sebagai ilustrasi bagi memoar Pamuk. Sebagai sebuah karya fiksi, kota dibangun oleh persepsi warganya. Namun secara resiprokal, diam-diam kota juga membentuk pengalaman keseharian yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat yang tinggal di dalamnya. We shape our buildings city, and afterwards our buildings city shape us. Begitu kalau saya boleh memelintir ucapan Winston Churchill.
ruang | kreativitas tanpa batas
Pada sebuah kota kecil yang dikuasai kartel narkoba seperti Juárez, Meksiko, kekerasan menjadi realitas keseharian yang diinternalisasi oleh seluruh warga kota. Sehingga suara tembakan dan kematian menjadi banal dan wajar. Sedangkan kepribadian warga Jakarta menjadi begitu sabar karena dibentuk oleh hari-hari penuh antrian, kemacetan, dan penggusuran. Dalam kasus lain, penataan sebuah kota memiliki kemampuan untuk merekayasa perilaku sosial sebuah masyarakat. Kota yang memiliki banyak mall dan gempuran citra billboard yang menghadang pandangan, warganya mudah sekali untuk menjadi konsumtif. Setiap akhir pekan, pusat-pusat perbelanjaan tersebut akan dipenuhi kelas pekerja yang membutuhkan leisure, yang menurut Lefebvre sebagai “radical break” dari kepenatan sehari-hari sebagai warga kota. Keputusan warga untuk menghabiskan waktu di mall sebetulnya adalah investasi yang sudah bisa diramalkan oleh para pemodal. Dengan mendorong otoritas perancang ruang kota untuk membangun lebih banyak pusat perbelanjaan dibanding ruang publik yang bersifat rekreatif, maka warga sebetulnya tidak punya pilihan lain untuk melakukan leisure. Pemerintah São Paulo sadar betul akan hal tersebut, sehingga menerbitkan pelarangan terhadap iklan luar ruang di kotanya dan menggalakkan ruang (dan kegiatan) publik sebanyak-banyaknya. Gunanya, sebagai sebuah alat yang efektif untuk membangun suasana demokrasi dan keterlibatan warga terhadap kotanya. Dukungan serta keterlibatan warga ini merupakan ramuan mujarab untuk mewujudkan lingkungan yang ramah dan berkelanjutan. Sebaliknya, suasana demokratis akan sulit diwujudkan pada kota yang pelit ruang publik. Anda bisa bayangkan, apa jadinya Arab Spring tanpa Tahrir Square atau gelombang demokrasi di Cina pada tahun 1989 tanpa hadirnya lapangan Tiananmen? Atau barangkali, jika memang para pemilik kontrol ruang tidak juga memberikan ruang hidup yang layak bagi warganya, itu tanda bagi wong cilik untuk segera kembali turun ke jalan dan -sekali lagi- menduduki gedung dewan.
29
“Sebagai sebuah karya fiksi, kota dibangun oleh persepsi warganya. Namun secara resiprokal, diam-diam kota juga membentuk pengalaman keseharian yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat”
Ayos Purwoaji
PASAR SENEN: HOW LIFE BETWEEN BUILDINGS MATTERS IN MARKET REVITALISATION by Derrick Juda
ESSAY ENGLISH Market Revitalisation, Pasar Senen, Urban Planning, Jakarta
Pasar Senen possesses huge potentials to be a walkable, safe and vibrant commercial and business district. Although Senen sub-district has long been associated with crime, prostitution and anti-social behaviour, the potentials still prevail as it is pretty much centred on the bus terminal, Pasar Senen Train Station and the markets. A question arises: What enhancement does Pasar Senen require for the spaces between its buildings?
edisi #10: Pemerintah
Jakarta Provincial Government has carried out many traditional market revitalisation projects for the last halfdecade. A long while after Pasar Mayestik three years ago, Pasar Blok A, Pasar Senen, Pasar Karang Anyar, Pasar Benhil and, the latest addition, Pasar Lontar - Kebon Melati are now under major refurbishment or at least being planned for it.
32
Amidst all those markets, Pasar Senen possesses huge potentials to be a walkable, safe and vibrant commercial and business district. Although Senen sub-district has long been associated with crime, prostitution and anti-social behaviour, the potentials still prevail as it is pretty much centred on the bus terminal, Pasar Senen Train Station and the markets. The history of Pasar Senen began in the Dutch colonial era when Justinus Vinck, a Dutch entrepreneur, developed Senen Market in east of Batavia in 1733. Pasar Senen, or Planet Senen as it was called few decades ago, became a poor area full of shacks with high crime rate and prostitution after Indonesian Independence in 1945.
ruang | kreativitas tanpa batas
© Derrick Juda
Ali Sadikin, the former Governor of Jakarta, initiated “Projek Senen” (Senen Project) in 1970 to regenerate the dilapidated area. In addition to the localisation of sex workers, a trade centre and a youth centre were built to improve Planet Senen. The later was inaugurated in 1974 and produced many artists and poets. Benyamin Sueb and Bing Slamet are two of the well-known ones. Nowadays, there are six blocks of market/ trading areas which sell a wide range of products, from food and clothing to used books and electronic appliances. Since the opening of the first three buildings, proper maintenance has been a rare occurrence causing building facade, structure as well as utilities to deteriorate. The fourth and the fifth, the newest buildings, hold wholesale trading where small retailers/resellers get their stock.
33
edisi #10: Pemerintah
Block VI, which sits next to the bus terminal to the north, is a large, but undermaintained traditional market. Block III, which got burned down in early 2014, is still in the reconstruction process with temporary trading spaces provided for the affected tenants. Though the train station has been renovated and equipped with additional security guards, the overall condition of Pasar Senen is still unpleasant, polluted and threatening. One of the notable experiences of visiting Pasar Senen is that motorcycles are simply everywhere. They spill over to the road, causing congestion, and even occupy the green passageway and spaces between buildings. A street market takes place on Jalan Stasiun Senen on weekdays, making the area even more crowded. Anxiety and insecurity intensify when walking around the area, mainly because it is cramped, chaotic and dark in some places, especially in the traditional market (Block VI) and in the bus terminal area. The condition createsl eft-over spaces that allow criminal activities to be conducted.
“People now are coming to markets not only for the price, but also for the pleasant shopping environment.” – Warson Aritonang, a shoe seller at Pasar Senen Block VI
34
For the first timers, they would find the area is difficult to navigate as no straight access from the nearby station to the commercial and business area. Actually, there was a direct access, but a 3-metre wall and a car park area create barriers that separate the train station with the core area. People coming from it have to walk around and further to reach the market. Coming from the Transjakarta bus shelters is not even a better option. Two shelters, both are situated on the road median, are not connected with proper, let alone safe, pedestrian crossings. It is obvious that Pasar Senen has the advantage in terms of connectivity, accessibility and commercial activity. A train station, a bus terminal and two Transjakarta bus shelters serve the area. No wonder it’s always bustling with people especially during the day when trading activity is at its peak. However, Pasar Senen, definitely, needs major changes and upgrades to thoroughly improve and rejuvenate the decaying area. A question arises: What enhancement does Pasar Senen require for the spaces between its buildings? Besides the transit infrastructure; the youth sport centre, Gelanggang Olahraga Remaja Senen; and the nearby performing arts venue, Gedung Kesenian Bharata; are the other catalysts that can encourage the regeneration of the disordered area. The green passageway, currently is a motorcycle parking area, could be the ”wow factor” of Pasar Senen. The revamped and extended passageway will be a green pedestrian corridor with commercials on both sides. It connects the train station and the trading centre and, possibly, to the Atrium Senen Mall across Pasar Senen Street as well.
ruang | kreativitas tanpa batas
Moreover, a war memorial and its barren plaza should be made inviting with more vegetation, public amenities and water features. The redesigned plaza will signify the new, regenerated Pasar Senen. Both corridor and plaza also aim to provide more space for people and draw them into Pasar Senen area. Further improvement to the area would be renovating the cinema building across the trade centre and the other corner buildings at the junction.
“First life, then spaces, then buildings - the other way around never works. If you have more space for public life or city life, you will have more people and public life.” – Jan Gehl, founder of Gehl Architects, Urban Quality Consultant 35
The area will always be a busy trading centre as it has been for almost three centuries. Having all those diamonds in the rough, Pasar Senen could be a successful regional trading centre as well as a prime example of a Transit Oriented Development (TOD) area in Jakarta. Yes, resolving the problems and maximising the potentials go beyond urban design. The traders and how they conduct trading activities should also be the main focuses along with involvement of urban design and any other major physical upgrades. Government (up-bottom) intervention and their concerted effort are crucially required to kick-start a regeneration program for Pasar Senen, if there is one planned.
“It is obvious that Pasar Senen has the advantage in terms of connectivity, accessibility and commercial activity.”
Derrick Juda
Arsitek dalam Profesi: Peran, Posisi, dan Potensi oleh Siti Amrina Rosada
ESAI INDONESIA Amatirisme, Peran arsitek, Posisi arsitek, Komunitas
Aktivitas arsitektur berhubungan dengan perancangan dan penciptaan yang melatih kepekaan dalam menemukan solusi yang paling layak dengan keadaan. Posisi arsitek berisinggungan langsung dengan warga dan instansi pemerintahan. Sehingga dalam mendesain, arsitek dapat memutuskan kepentingan mana yang akan tertuang dalam produk perencanaan. Sehingga perlu dipertanyakan, apa peran arsitek dalam pemerintahan?
edisi #10: Pemerintah
Ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memutuskan untuk tetap mengalihkan lokasi kehidupan warga Kampung Pulo ke sebuah rumah susun atas nama normalisasi Sungai Ciliwung, cukup banyak arsitek atau pihak berlatar belakang arsitektur menunjukkan ketidaksetujuannya dan menawarkan solusi yang dirasa lebih pantas ketimbang pengusuran. Aktivitas arsitektur berhubungan dengan perancangan dan penciptaan yang melatih kepekaan dalam menemukan solusi yang paling layak dengan keadaan. Namun, potensi yang dimiliki para arsitek tadi seolah tidak diberikan tempat dalam kebijakan. Sehingga perlu dipertanyakan, apa peran arsitek dalam pemerintahan? Untuk menjawab hal itu ada tiga macam perspektif yang akan dibahas: (1) kerangka birokrasi, (2) kerangka praktisi, dan (3) kerangka intelektual.
Arsitek dalam kerangka birokrasi Dalam kerangka birokrasi, sebuah legalitas diperlukan oleh sebuah profesi untuk dapat berperan. Legalitas itu hadir dalam bentuk keprofesian. Dalam konteks profesi arsitek, hal ini memiliki lima parameter: (1) pekerjaan penuh waktu, (2) menempuh pendidikan/pelatihan khsusus, (3) berada dalam organisasi profesi, (4) memiliki lisensi yang terafirmasi, dan (5) memiliki kode etik [1]. Pada praktiknya, kelima parameter tersebut terwakili dalam sebuah dokumen legal dari badan usaha konsultansi yang dikeluarkan oleh asosiasi profesi atau lembaga jasa, misalnya, surat ijin usaha konstruksi, sertifikat badan usaha, atau sertifikat keahlian personil –posisi kehadiran arsitek dalam badan usaha. Sebagaimana yang tertulis dalam naskah Rancangan Undang-Undang Arsitek, seorang arsitek membutuhakan lisensi untuk beroperasi.
38
Di satu sisi, pada pekerjaan pemerintahan, sebagian besar arsitek berpraktik melalui konsultan perencanaan yang mendapatkan pekerjaan dari instansi yang bersangkutan. Pekerjaan perancangan atau perencanaan yang dikerjakan merupakan salah satu poin turunan ‘Kegiatan’ untuk mencapai sasaran dari ‘Program’ (instrumen kebjiakan) yang disusun oleh perangkat pemerintahan. Sebagai contoh, Dinas Pariwisata Kota melakukan Pekerjaan Perencanaan Kawasan Wisata Sungai menjadi salah satu poin Kegiatan Pembangunan Infrastruktur Wisata untuk menyasar Program Pengembangan Tujuan Pariwisata Kota. Di sisi lain, dalam aktivitas kerjanya, arsitek akan turun langsung ke lokasi perencanaan, bertemu dengan penduduk sekitar lahan garapan, dan menimbangnimbang desain yang sesuai dengan konteks lingkungan. Dalam keadaan ini, posisi arsitek berisinggungan langsung dengan warga dan instansi pemerintahan. Sehingga dalam mendesain, arsitek dapat memutuskan kepentingan mana yang akan tertuang dalam produk perencanaan. Arsitek dapat menentukan material
ruang | kreativitas tanpa batas
yang akan digunakan, langgam yang ingin ditampilkan, lokasi pintu masuk kawasan, struktur bangunan yang sesuai dengan keahlian pekerja di lingkungan sekitar, atau titik lokasi tempat peristirahatan. Secara mikro, posisi arsitek sangatlah strategis, karena hasil rancangan akan terealisasi langsung dalam pembangunan. Namun, jika kita lihat dengan skala makro, posisi arsitek nyatanya tak lebih dari sekrup atau gerigi dalam jalannya roda pemerintahan. Jika kembali ke contoh sebelumnya, Program Pengembangan Tujuan Pariwisata dari sebuah kota merupakan hasil kebijakan pemerintah kota. Peran arsitek hanyalah mengolah kebijakan tersebut menjadi produk arsitektural yang dapat direalisasikan. Pola ini menunjukkan bahwa peran arsitek sendiri bermain dalam menjalankan kebijakan, bukan dalam tataran pengolahan kebijakan. Secara hukum, dalam konsep Naskah Akademik RUU Arsitek, arsitek didefinisikan sebagai perancang bangunan. Namun, peran arsitek tidak hanya sebatas bangunan saja, melainkan meliputi tugas penataan (penciptaan dan pewujudan) dari ruang dalam skala yang lebih luas. Ruang tersebut berwujud lingkungan binaan (built environment) yang diperuntukkan bagi kehidupan manusia maupun masyarakat luas (umum) [2]. Peran arsitek dalam penataan meliputi skala mikro, penataan ruang yang diintegrasikan ke dalam bangunan,
hingga makro, penataan dalam aspek tapak dan lingkungan sekitar. Peranan tersebut umum dilakukan arsitek saat ini, dan hal ini masih dalam proses legalisasi menjadi undang-undang.
Arsitek dalam kerangka praktisi Dalam kerangka konsultan perencana [1], arsitek berperan dalam proses pra-perancangan (seperti survey lokasi dan studi objek desain) hingga menghasilkan produk perancangan berupa laporan, gambar, Rencana Anggaran Biaya, dan Spesifikasi Teknis. Selanjutnya, peranan mereka biasanya hanya seputar revisi atau rekomendasi teknis. Sementara itu, keberlanjutan pelaksanaan desain dipegang oleh pihak pengawas dan kontraktor. Realita ini mempertegas pernanan arsitek dalam penataan ruang sebatas produksi dokumen teknis dari sebuah kebijakan yang telah ditetapkan. Ironisnya, konflik yang kerap muncul dalam kebijakan pembangunan kota sendiri bukanlah seputar hal desain yang mikro, namun pada isi kebijakannya itu sendiri. Dalam contoh perancangan wisata sungai di atas, yang menjadi masalah bukanlah material atau bentuk bangunan, melainkan ketidaksetujuan terhadap penetapan lokasi sungai yang dijadikan daerah wisata. Arsitek memang berwenang dalam bentuk objek perancangan, namun, birokrasilah yang menentukan hal yang dirancang dan lokasi perancangan. Hal ini tertuang
39
edisi #10: Pemerintah
dalam Kerangka Acuan Kerja. Struktur birokarasi tidak mengizinkan arsitek untuk berpartisipasi dalam menentukan arah kebijakan dalam realisasi proyek pada sebuah lokasi. Peran arsitek dikerucutkan menjadi pengolah desain ‘yang sudah ditentukan’ sesuai dengan konteks lingkungan. Karenanya, ketika arsitek mengusulkan kampung susun bagi solusi konflik relokasi permukiman Kampung Pulo, ia tidak memiliki tempat secara legal dan mempunyai peran yang berbeda dalam struktur pemerintahan. Pemprov DKI mengambil kebijakan untuk memindahkan permukiman Kampung Pulo, dan menyediakan peran untuk arsitek dalam merancang permukiman baru bagi penghuni yang direlokasi atau fungsi ruang baru di lokasi permukiman yang dibersihkan.
Arsitek dalam kerangka intelektual Batasan mengenai peran, posisi, dan potensi arsitek ini dipersiapkan sejak masa perkuliahan. Peran arsitek dalam mendesain dilegitimasi dengan kurikulum pendidikan arsitektur yang dipisahkan dari kerangka holistik birokrasi dan politik. Sehingga wajar, misalnya, dalam sebuah presentasi karya, seorang mahasiswa hanya memaparkan hasil desainnya yang meningkatan kualitas ruang kampung kota dengan rekomendasi berupa peningkatan sarana utilitas dan infrastruktur. Namun, rekomendasi tersebut tidak mampu menjawab komentar tentang permasalahan dasar ruang kampung kota yang berupa kepemilikan lahan.Terhadap hal itu arsitek kadang malah mengalihkannya ke peran pihak lain yang lebih ahli, misalnya, bidang hukum.
40
Argumentasi ‘bukan peranan arsitek’ ini menenggelamkan arsitek dalam wacanawacana praktikal semata. Muncul sinisme yang mempertanyakan untuk apa banyak wacana dan teori, kritisi sana-sini, atau pengkajian ini-itu, jika bisa langsung berpraktik dengan mendesain sebaik mungkin? Untuk apa berpusing-pusing membaca, ketika di luar sana referensi desain berhamburan memanjakan mata. Wacana yang populer malah berkutat pada pengalaman ruang, visual culture, struktur, atau materi desain aplikatif lainnya, dan mendesain sebaik mungkin berarti sesuai dengan kaidah keprofesian. Sehingga, arsitek teralienasi dari produk desainnya sendiri. Semenjak masa pendidikan, kegiatan arsitektur sangat jarang dihubungkan dengan bidang-bidang non-teknis seperti hukum, ekonomi, dan politik yang jauh dari kepentingan desain. Persinggungan dengan bidang lain sebatas kepentingan teknis dalam merancang seperti peraturan, standar, atau pengolahan anggaran. Hal ini sesuai dengan kerangka kerja keprofesian, tugas dan peran dari seorang arsitek akan berhubungan terutama dengan: (a) interior designer dan furniture designer – dalam skala mikro, (b) structural engineer, mechanical & electrical engineer – dalam
ruang | kreativitas tanpa batas
skala middle, dan (c) planolog / urban planner, urban designer dan arsitek lansekap – dalam skala makro [2]. Kenyataannya, arsitektur (termasuk arsitek dan hasil karyanya) berada dalam sebuah kerangka holistik kebijakan pembangunan. Hal ini berarti aktivitas arsitektur itu sendiri berhubungan dengan bidang-bidang lain tak hanya dalam konteks desain. Misalnya, setelah produk desain perancangan kawasan wisata sungai selesai, produk itu bisa dimanfaatkan oleh instansi pemerintahan untuk melegitimasi relokasi permukiman sekitar sungai atau desain ramah lingkungan yang dipakai bisa menjadi justifikasi terhadap argumen aktivis lingkungan yang menjaga ekosistem sungai. Namun, sekali lagi dengan peran berupa mendesain sebuah objek desain pada suatu lokasi perencanaan yang telah disediakan, maka bukan peran arsiteklah untuk menjawab permasalahan itu.
Amatirisme sebagai harapan Seorang peneliti poskolonial, Edward Said mengatakan bahwa “semakin tinggi pendidikan seseorang, dia akan semakin dibatasi oleh kawasan ilmu pengetahuan yang relatif sempit” [3]. Spesialisasi merupakan tekanan utama dari sebuah profesi yang berujung pada alienasi. Selain itu, Edward Said juga mengemukakan isu keprofesian lain sebagaimana yang terjadi dalam konflik arsitek pada kerangka praktisi. Isu tersebut antara lain profesional yang memiliki batasan ruang gerak dalam birokrasi, setiran dari kekuasaan terlembaga, dan kebutuhan akan kepakaran yang terlisensi atau tersertifikasi. Isu terakhir merupakan jawaban dari hilangnya peran masyarakat dalam pengolahan kebijakan kota, selain partisipasi formalitas seperti Focus Group Discussion (FGD) satu arah ataupun sosialisasi. Ketiadaan lisensi yang legal untuk menentukan kebijakan menempatkan masyarakat sebagai objek kebijakan dalam pemerintahan. Di sisi lain, anggota masyarakat yang telah terlisensi akan menjadi perangkat pemerintahan. Keperluan sebuah kepakaran untuk membuat/terlibat dalam sebuah ‘pengaturan’ merupakan refleksi bahwa bentuk pemerintahan dari dahulu sampai sekarang merupakan sebuah kekuasaan terlembaga. Menurut David Ludden, konfigurasi kekuasaan terlembaga terdiri dari: (1) kubu penguasa yang mencanangkan kemajuan, (2) masyarakat yang hidupnya harus ditingkatkan, (3) ideologi ilmu pengetahuan yang menyediakan prinsip dan teknik untuk melaksanakan kemajuan, dan (4) tokoh-tokoh yang mendaulat dirinya sebagai pakar dan tercerahkan [4]. Pada konfigurasi tersebut jelas menunjukkan bahwa masyarakat berada di posisi objek yang menerima perlakuan. Sementara itu arsitek berada pada lapisan cukup bawah dengan lisensi kepakaran yang dilegalisir oleh perangkat pemerintahan, mencakup tekanan-tekanan profesi yang terangkum dalam jalinan birokrasi.
41
edisi #10: Pemerintah
Posisi arsitek dan latar belakang keilmuan yang dilaluinya memiliki potensi untuk menjadi fasilitator antara pemerintah dan masyarakat, namun ruang gerak profesi arsitek dalam kerangka birokrasi dibatasi oleh badan hukum yang memayunginya. Terhadap konflik-konflik keprofesian tersebut, Edward Said mengajukan solusi berupa amatirisme. Amatirisme adalah aktivitas yang digerakkan oleh kepedulian dan rasa, bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit [3]. Secara pratikal, amatirisme membawa seorang profesional, dalam konteks ini arsitek, untuk melakukan hal-hal di luar peran yang telah dikonstruksikan untuknya, sesuai dengan pemikirannya. Sebagai tambahan, semangat intelektual sebagai seorang amatir dapat memasuki dan mengubah kerutinan profesional menjadi lebih hidup dan radikal [3]. Glorifikasi terhadap frasa profesionalisme selama ini menjadikan amatirisme dimengerti sebagai level awal terhadap sebuah gradasi yang berpuncak pada profesional. Amatirisme yang dimaksud oleh Edward Said adalah proses kerja melampaui batas profesi yang dikemudikan oleh kebenaran yang diimani, atau istilah populernya; keberpihakan. Menjadi amatir tanpa keberpihakan atau memahami konsep amatirisme sebagai cara kerja ‘sesuka hati’ semata jelas membawa dampak kesemerawutan yang malah menghambat progres yang ingin dicapai.
42
Dalam ruang kota yang sarat dengan konflik kepentingan, ‘keberpihakan’ menjadi motivasi arsitek untuk bergerak diluar apa yang dibentuk legitimasi terhadap profesinya. Misalnya, pada friksi permukiman Kampung Pulo, konsep kampung susun yang ikut disusun oleh beberapa arsitek dalam komunitas Ciliwung Merdeka tidak hanya berhenti pada produk desain, namun berlanjut pada advokasi, sampai pengembangan komunitas. Gerakan Ciliwung Merdeka merupakan salah satu bentuk nyata bagaimana usaha masyarakat membobol birokrasi agar bisa terlibat dalam kebijakan, juga bagaimana aktivitas arsitektur melampaui peran arsitek yang selama ini dikonstruksikan. Contoh kasus lain bisa dilihat pada konflik Revitalisasi Hutan Kota Malabar di Malang. Arsitek, perencana kota, bersama publik lintas keilmuan yang bergabung dalam Aliansi Hutan Kota Malabar berusaha menandingi desain konsultan perencana yang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Malang yang mengalihfungsikan hutan menjadi taman. Proses inisiasi akar rumput ini serupa dengan usaha Romo Mangun ketika mendampingi penduduk di permukiman Kali Code. Saat itu, apakah ia hanya menjalani perannya sebagai arsitek? Atau ketika Eko Prawoto
ruang | kreativitas tanpa batas
mendampingi pemulihan Ngibikan pasca gempa, apakah itu termasuk aktivitas profesi arsitektur seperti yang telah dikerangkakan selama ini? Beberapa kasus di atas merupakan contoh praktis bagaimana aktivitas arsitektur digerakan bukan sekedar tuntutan dari profesi, namun, dengan alasan keberpihakan. Pentingnya memiliki keberpihakan bagi seorang arsitek (dan profesional secara umum) pernah ditulis oleh Alm. Galih Widjil Pangarsa; bahwa tujuan keilmuan arsitektur di Indonesia seyogyanya diletakkan di atas kebijakan menetapkan muatan lokal, global dan universal dalam perspektif politik kebudayaan dan keilmuan yang tepat dan berpihak pada kaum lemah [5]. Profesionalisme dibentuk oleh legitimasi, sehingga ia bukanlah sebuah konsep bebas nilai dan jelas diolah untuk menguntungkan penyusunnya. Konsep amatirisme memang jauh dari solusi praktis, namun itu merupakan sebuah langkah awal dalam menghadapi konflik arsitek dalam profesionalisme. Karena ternyata pertanyaannya bukan tentang peranan profesi arsitek, namun apa dan bagaimanakah peranan yang bisa dilakukan seorang yang mempunyai latar kelimuan arsitektur baik formal maupun informal. Peran, posisi, profesi, dan potensi arsitek yang bertemu amatirisme saling berjalin dan membentuk sebuah kesimpulan, bahwa menjalani profesi arsitek saja tidaklah cukup untuk bersetia pada arsitektur. [1] Konsultan perencana dalam hal ini berarti badan usaha yang dipertemukan dalam pekerjaan perancangan, di mana arsitek menjadi bagian dari personilnya. Foto sampul: KOMPAS.com / Roderick Adrian Mozes
Referensi
[1] Dana Cuff, 1992. Architecture: The Story of Practice. Cambridge, US; London, UK: MIT Press. [2] Konsep Naskah Akademik RUU Arsitek per 14 April 2015. [e-book] http://www.dpr. go.id/doksileg/proses1/RJ1-20150626-021838-3596.pdf [3] Edward Said, 1998. Peran Intelektual. Diterjemahkan oleh P Hasudungan Sirait dan Rin Hindryati P. Jakarta: Penerbit Obor. [4] Dalam Tania Murray Li, 2012. The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Diterjemahkan oleh Hery Santoso dan Pujo Semed. Serpong, Tangerang Selatan: Penerbit Marjin Kiri. [5] Galih Widjil Pangarsa, 2008. Eurocentrism: Kebuntuan Keilmuan (Arsitektur) [e-book] http://issuu.com/eurocentrism/docs/eurocentrism_e_article
43
edisi #10: Pemerintah
“Peran, posisi, profesi, dan potensi arsitek yang bertemu amatirisme saling berjalin dan membentuk sebuah kesimpulan, bahwa menjalani profesi arsitek saja tidaklah cukup untuk bersetia pada arsitektur.” 44
Siti Amrina Rosada
Collective Paper Aesthetics: How Can We Make Places People Truly Love? by Noa Haim
ESSAY ENGLISH Cultural Entrepreneurship, Modelling Tool, Octet Truss, Participatory Planning, World Game.
Four years of practicing architecture and urban planning in Italy, Spain and the Netherlands, working on large scale projects all over the world made me think and re-think the Jerde partnership slogan: How can we make places people love? What are the qualities of these places? Are they measurable?
edisi #10: Pemerintah
According to the Tower of Babel as told in the book of genesis, at the beginning of humanity all people were speaking one tongue and worked together towards a common goal. Seeing this, God confused their language and scattered them all over the world.
46
© Collective Paper Aesthetics, photographer Alexander Weinstein, Moscow 2015.
How can we make places people truly love? The design of Spaceship HEART for 2011 Shenzhen-Hong Kong Urbanism\ Architecture Bi-City Biennale, Curated by Terence Riley was a play proposal following The Jerde Partnership’s slogan “Making Places People Love” [1]. Four years of practicing architecture and urban planning in Italy, Spain and the Netherlands, working on large scale projects all over the world made me think and re-think the Jerde partnership slogan. How can we make places people love? What are the qualities of these places? Are they measurable?
ruang | kreativitas tanpa batas
Biographical background When I was nine years old my family moved to a “self-made” village in the lower galilee named Timrat [2]. For my parents, born in Israel in the 40’s and shaped ideologically in the 60’s it was a dream comes true. Together with a group of 220 families, they apply in 1981 for a permit to build a new village categorized as “communal – rural locality”. For the next four years they were busy with planning and designing the regulations and the physical characteristic of the future village. With the years the regulations have changed and the village population was doubled, yet all the decisions are still taking in a format of members meetings and upon all members’ votes. Thirty years later, in my graduation thesis at the Berlage Institute in Rotterdam titled “Vertical Kibbutz” [3] I was examining the translation of the communal – rural collective principles into now-days mixed-use urban prototype. The search for a structural model which can match the self-governing quality as well as the character of growth and reduction in time, lead to the work of Buckminster Fuller and focused on the “octet truss” patent and the “world game” idea. In 2008, four years after my graduation I have been asked by London Architecture Festival to present my graduation work in a format of Installation art. Together with fablab team in Den Haag, we came up with a model of interlocking paper cubes, which with visitors can co-create their own visionary models of places. Following the success of the presentation, the cultural entrepreneurship Collective Paper Aesthetics was established in January 2009. © Collective Paper Aesthetics, Shenzhen 2011.
47
edisi #10: Pemerintah
© Collective Paper Aesthetics, photographer Monica De Pascalis, Madrid 2012.
48
Collective Paper Aesthetics Collective Paper Aesthetics is a physical modeling tool to communicate in a playful manner complex systems. The principle tool is a paper lattice, to be folded into three-dimensional polyhedral packs. The pack is closing with paper joints, which are integrated, as the instructions, in the lattice itself. The single packages can be connect one to another using the same joints; on each “vector” two paper joints are positioned one is to close the package itself and the other to connect package to package. The polyhedral packs can be assembled in multiple different directions, generating varied three dimensional patterns.
ruang | kreativitas tanpa batas
Tools for thoughts versus complete solutions One can look at urban planning and architecture as livable experiment; when we make a design, even if many steps are planned in the way to avoid mistakes and errors, only realization and time can tell if a project is a success or not. Many of the complete “solutions” for living, designed in the 60’s and 70’s imposing polyhedral geometry as a key for sense of community were actually not well received by the market. While, participatory planning in terms of shaping the rules and regulations of a physical place is a popular tool among architects and planners.
In that sense, Collective Paper Aesthetics is a tool to provoke thoughts about architecture and planning and not a proposal for a physical solution. As an architect, the project is taking the position of a mediator between governments to public in order to have a profound understanding about how can we make places people truly love. © Collective Paper Aesthetics, photographer Kobi ‘Kobtze’ Donner, Haifa 2014.
© Collective Paper Aesthetics, photographer Wendy Pratama, Jakarta 2015.
Footnotes: [1] Jon Adams Jerde, was an American architect based in Venice, California,. He was the founder and chairman of The Jerde Partnership, an architectural design and urban planning firm specializing in the design of shopping malls. [2] Timrat was established on the land of a Palestinian village named Ma’alul. [3] Collective community in Israel that was traditionally based on agriculture.
49
“One can look at urban planning and architecture as livable experiment; when we make a design, even if many steps are planned in the way to avoid mistakes and errors, only realization and time can tell if a project is a success or not. ”
Noa Haim
Di Atas Kertas oleh Sri Suryani
ESAI INDONESIA Kebijakan Perumahan, Pemukiman Ciliwung, Bukit Duri
Ke mana perginya arsitektur yang saya pelajari ketika dihadapkan dengan realitas hunian padat di kota besar? Bagaimana mungkin kita bicara tentang perbaikan kualitas pemukiman hanya dengan aspek fisik dan lupa dengan perbaikan ekonomi?
edisi #10: Pemerintah
Pagi tengah beranjak siang ketika Pak Hidayat datang mengenakan kaos berkancing dan celana hitam, melapisi sosok kurus jangkung. Tergopoh-gopoh ia membawa carik lembaran kertas. Jika ruang jalan di Jakarta memiliki wajah, mungkin itu adalah Pak Hidayat; rona kusam terbakar matahari, mata yang kecil dan lelah, dan lipatan-lipatan usia menghiasi dahi serta sudut mata. Pula aroma familiar keringat yang terbakar terik dan dibedaki debu semakin menangguhkan narasi jalan ibukota.
52
“Neng, ini sudah benar belom ngisinya?” Saya tersentak, seketika menerima lembaran formulir yang ia sodorkan. “Sebentar kita lihat sama-sama, ya Pak.” Pak Hidayat mengangguk cepat. Saya membuka lembaran kertas dan menelitinya dengan seksama, “Rumah Bapak berisi satu keluarga ya?” “Iya, Neng. Anak Bapak empat, dua sudah menikah dan mengontrak di tempat lain. Dua masih sekolah, masih tinggal bareng.” Saya mengangguk, “Kalau pekerjaan Bapak sehari-hari?”
ruang | kreativitas tanpa batas
53
“Saya tukang ojek. Di sini ‘kan deket stasiun, Neng. Bapak mangkal di Stasiun Tebet.” ujar Pak Hidayat dengan lancar. Kemudian mengalirlah narasi penghidupannya mengojek: dari pukul enam sampai sepuluh pagi dan dari pukul lima sore hingga sekitar sepuluh malam. Sangat masuk akal jika menarik hubungan antara alur jam berangkat dan pulang kerja warga Jakarta sehari-hari.Tanpa sadar saya ingat potret para tukang ojek yang siaga menunggu saya setiba di stasiun Klender Baru setiap pulang naik kereta komuter, berseru, “Ojek, Neng, ojek?” seraya melambaikan tangan. Pak Hidayat adalah salah satu dari mereka. “Bapak, ini kolom penghasilan belum diisi…” saya berhati-hati membuka percakapan lanjutan. Di luar dugaan, Pak Hidayat terkekeh pelan.
edisi #10: Pemerintah
“Wah ini nggak tentu, Neng,” ia meringis. Saat saya dorong untuk memberi perkiraan, ia menerawang dan menjawab angka satu setengah juta rupiah per bulan, lalu menuliskannya di lembar formulir pendataan. Menyaksikan tulisan Pak Hidayat seperti berjalan di atas ranting yang rapuh. Beberapa kata tidak lengkap atau salah eja. Kali ini giliran saya yang meringis, dalam hati. “Selanjutnya bagian simpanan atau tabungan juga belum Pak,”sebisa mungkin saya menyiapkan diri atas jawaban tak terduga. Pak Hidayat, sekali lagi, terkekeh dan menjawab dengan ragu. “Nggak tentu juga, Neng. Kadang sepuluh ribu-kadang lima puluh ribu. Itu juga saya nabungnya di celengan.” Siang itu sepertinya lebih pengap dari biasanya. Saya kehabisan kata-kata. Akhirnya Pak Hidayat kembali menuliskan jumlah perkiraan tabungan per bulan sebesar lima puluh ribu. Dari pertanyaan itu muncul cerita tentang istri Pak Hidayat yang membantu suaminya menjadi pengasuh anak dengan gaji tiga juta per bulan. Juga keluhan tentang pengeluaran bulanan untuk pendidikan anaknya: KJP (Kartu Jakarta Pintar) yang membebaskan biaya administrasi bulanan, tapi masih dibuntuti biaya pembelian seragam dan buku pelajaran. Pengeluaran PAM diganti dengan biaya sumur pompa komunal yang sewaktu-waktu butuh perawatan dan warga akan patungan membayarnya. Menatap topik terakhir dalam formulir, saya menelan ludah. “Status rumah Pak Hidayat rumah milik, ya... Bapak punya sertifikat kepemilikan tanah?”
54
“Nggak, Neng, itu rumah warisan dari orang tua saya. Paling ada struk pembayaran PBB dan listrik aja.” Pada kertas-kertas yang disebutkan, saya tenggelam dalam kekosongan. Pak Hidayat adalah satu dari kumpulan keluarga yang mendiami tanah seluas 2x4 meter di Bukit Duri. Sedikit demi sedikit mereka membangun rumah dari material bangunan yang memadai. Hingga waktu membuka kemungkinan untuk menambah jumlah lantai menjadi dua dan bertambahnya usia anak-anak membutuhkan kamar terpisah kala malam datang. Delapan meter persegi, dua lantai menjadi enam belas meter persegi, setara dengan delapan ruang parkir motor, dua parkir mobil, atau mungkin teras rumah seseorang di belahan Jakarta lain. Pada bidang itu, Pak Hidayat menghabiskan masa kecil hingga kini membangun keluarga, membesarkan anaknya. Ilmu arsitektur yang saya pelajari meleleh tak berbentuk. Pak Hidayat adalah arsitek bagi keluarganya. “Kira-kira berapa biaya membangun rumah Pak?” Barangkali ini adalah pertanyaan paling berat yang terlontar. Pak Hidayat tersipu menjawabnya, menggaruk kepala dengan gelisah. “Saya kurang tahu neng. Rumahnya sudah lama, sejak tahun 60an. Renovasi juga hanya ganti seng dan cat dinding saat lebaran. Yah, kalo itu mah paling seratus-dua ratus ribu.”
ruang | kreativitas tanpa batas
Pada titik ini saya merasa ilmu arsitektur yang saya pelajari menguap dihisap terik yang mencekik. Ini bukan hanya soal rumah, tapi perihal kehidupan seseorang,--suara yang mewakili sebuah keluarga. Mereka berusaha menyambung hari demi hari, bergelut dalam kemungkinan dan keadaan. Pikiran saya melayang tinggi pada Millenium Development Goals yang dicanangkan oleh UN untuk mengurangi pemukiman berkualitas minim yang diterjemahkan dengan berbagai cara oleh pemerintah pusat maupun daerah. Bappenas mengusahakan program SAPOLA (Slum Alleviation Policy and Action Plan) melalui skema 100–0–100 dijabarkan dalam skema 100% penyediaan air bersih--0% pemukiman ‘kumuh’--100% sanitasi memadai. Bagaimana mungkin kita bicara tentang perbaikan kualitas pemukiman hanya dengan aspek fisik dan lupa dengan perbaikan ekonomi? Belum lagi proyek 1000 tower rumah susun tahun 2006 yang salah sasaran, kini digunakan oleh kelas menengah. Sementara itu pemerintah kota sibuk memainkan lakon lama Jakarta dan banjir dengan melakukan normalisasi Sungai Ciliwung sejak PROKASIH (Program Kali Bersih) tahun 90an hingga sekarang. Terlepas dari wacana banjir yang selalu menjadi alat politik, apakah relokasi ke rumah susun mampu memperbaiki hidup Pak Hidayat? Jauhkah lokasi sekolah dari rumah yang baru? Berapa biaya yang harus ditambah per bulan untuk transport dan sewa unit beserta perawatan rusun?
Kita mungkin tak bisa memuaskan semua orang, tapi setidaknya kita bisa berpikir lebih jernih dan adil dalam memandang sesuatu. Tiba-tiba konsep pembangunan berkelanjutan menjadi jauh dan samar. Krisis perumahan terjangkau juga terjadi di belahan dunia lain. London, misalnya, mengalami perubahan sistem perumahan sejak akhir tahun 1970an. Tatcher memberikan kebebasan jual-beli rumah bagi penghuni perumahan publik, yang berujung pada tidak terkontrolnya harga rumah. Sedikit demi sedikit, tercipta hirarki pusat-pinggir pada kota metropolitan ini. Hingga kini, wacana London dan krisis perumahan terus terjadi dan lagi-lagi menjadi alat politik setiap pemilihan umum. Phnom Penh, tetangga dalam satu kawasan regional, tunggang langgang menghadapi isu manajemen tanah dan tingginya investasi asing yang masuk dalam bentuk pengembangan ‘kota’ baru atau kawasan industri. Perkembangan kota berbasis industri seperti ini tak lepas dari kebutuhan hunian jutaan pekerja. Seperti halnya Indonesia, Kamboja menghadapi tekanan sirkulasi penduduk dari desa ke kota, perputaran modal, dan berujung pada perkembangan kota yang pesat. “Saya tulis lima belas juta aja, ya, Neng?”suara Pak Hidayat memanggil saya kembali. Untuk beberapa saat saya terdiam, lantas hanya bisa mengiyakan.
55
edisi #10: Pemerintah
Dalam konteks sistem pertanahan Jakarta yang berdasarkan pasar, Pak Hidayat mengalami dilema yang panjang akan masa depan tempat tinggal. Tengok saja bagaimana media koran, televisi, bahkan pemerintah sendiri menganggap mereka yang tinggal di tepian Sungai Ciliwung sebagai penduduk ‘ilegal’ atau ‘liar’. Seakan keberadaan entitas kehidupan hanya diwakili oleh sertifikat kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh lembaga negara. Di atas petak tanah dua lantai 2x4 meter atau luas total 16 meter persegi, Pak Hidayat mendefinisikan rumahnya. Luasan itu dibawah standar luasan rumah sebesar 36 meter persegi yang ditetapkan oleh Kementrian Perumahan Rakyat. Belum lagi jika Rencana Detail Tata Ruang (RTDR) yang terus direvisi dalam kurun waktu tertentu memutuskan daerah tempat tinggalnya adalah tidak ditujukan untuk fungsi pemukiman. Dua layer ini menciptakan legitimasi mampu atau tidaknya Pak Hidayat memposisikan diri sebagai penduduk ‘legal’.
Apalah arti standar dan rencana-rencana di atas kertas itu. Rumah adalah ruang dimana kita melepas lelah dan berlindung dalam naungnya. Apakah tinggal di rumah susun sewa yang sewaktu-waktu bisa naik harga, atau kredit rumah murah tapi jauh dari stasiun tempat ia mengojek adalah satu-satunya jalan untuk Pak Hidayat?
56
Mungkin kota ini begitu sibuk mengelola arus siapa yang datang dan pergi. Rangkaian keputusan yang diambil di sana mengandung konsekuensi-konsekuensi, di mana nalar menjadi subjektif. Kali ini Pak Hidayat berada dalam transaksi tentang rumah. Mungkin Pak Hidayat bisa mendapat sepetak ruang di rumah susun entah dimana, namun apakah transaksi selesai di sana? Sementara itu ia dan keluarga memulai dari awal semuanya: sekolah untuk anak, lokasi mengojek, dan pekerjaan baru bagi istrinya. Transaksi tentang rumah menciptakan kompromi yang tidak sederhana. Kita lupa bahwa kebijakan publik selalu tawar-menawar dengan waktu. Dalam kasus relokasi pemukiman pada proyek normalisasi Waduk Pluit ke rumah susun Marunda, pada akhirnya warga meninggalkan ‘rumah’ yang disediakan. Lokasi yang jauh dari lokasi kerja di Muara Baru membuat warga memilih kembali menempati pemukiman ‘kumuh’ yang belum digusur. Jelas sekali bahwa yang dibutuhkan bukan rumah per se, tapi penghidupan. Selama kebijakan perbaikan pemukiman ‘kumuh’ masih sebatas transaksi unit yang tersedia di rumah susun, tanpa dukungan penghidupan bagi warga, Jakarta Bebas Banjir atau Jakarta Bebas Kumuh hanya lagu lama yang diputar berulang. Relokasi bukan solusi, namun hanya langkah awal satu opsi. Karena itu, dalam banyak kasus di belahan dunia, kebijakan perumahan erat dengan konsep pembangunan kota.
ruang | kreativitas tanpa batas
Mungkin Pak Hidayat dan warga yang terdampak kebijakan publik tidak butuh solusi, tapi platform. Pak Triatno Y.H., seorang profesor dari Universitas Indonesia menyebutkan pentingnya infrastruktur sosial untuk mendukung keberlanjutan pembangunan infrastruktur fisik. Mungkin ini yang seringkali luput dalam kebijakan publik selama ini.
Kebijakan publik, dalam konteks ini adalah pembangunan infrastruktur fisik, masih seperti acara hajatan dari pemerintah; kita yang tidak diundang seakan tidak punya andil apa-apa, cukup tahu saja. “Terima kasih, Neng.” Pak Hidayat kembali membuyarkan lamunan. “Oh ya sudah selesai ya, Pak.Terima kasih juga.” saya menerima berkas pendataan dengan senyum terbaik yang saya miliki. Bagaimanapun, upaya menawarkan alternatif bermukim tetap patut diperjuangkan. Hari ini belum usai dan esok adalah kesempatan baru. Pram pernah menulis, “Segala persoalan yang diciptakan oleh manusia, dapat diselesaikan oleh manusia.” Untuk itu tulisan ini ada. -Malam itu, di suatu sudut Jakarta, Pak Hidayat mengarahkan motor kreditannya, membelah jalan Bukit Duri yang sepi… sampai tiba ia pada pintu yang terbuka hangat untuknya. Bukit Duri, Januari 2016.
57
“Jelas sekali bahwa yang dibutuhkan bukan rumah per se, tapi penghidupan. ”
Sri Suryani
Tiga Orang yang Berperan di Awal Kemerdekaan oleh Rifandi S. Nugroho
ESAI INDONESIA Arsitek Indonesia, Sejarah, Kemerdekaan, F. Silaban, Soejoedi, Harjono Sigit.
Sebuah upaya merefleksikan gambaran akan pahit dan manisnya arsitek bersinergi bersama pemerintah pada awal kemerdekaan. Rifandi merangkum pasang surut perjalanan tiga arsitek Indonesia yang merupakan potongan kecil dari mozaik sejarah arsitektur yang lebih besar, di bawah pertanyaan mendasar: arsitek itu untuk siapa?
edisi #10: Pemerintah
Arsitek itu untuk siapa? Pertanyaan ini sepantasnya terus dilontarkan; sebagai pengingat, catatan, dan juga refleksi tentang kontribusi yang telah diberikan oleh para arsitek di Indonesia. Beberapa catatan tentang sebagian dari mereka--arsitek di era kemerdekaan--memberi gambaran akan pahit dan manisnya bersinergi bersama pemerintah..
Usulan Rancangan Monas karya Silaban © Rifandi Septiawan Nugroho
60
Mereka pernah berjaya, kebanjiran proyek di tengah gemuruh pembangunan nasional pada satu-per-empat periode setelah Indonesia merdeka. Semuanya merupakan bagian dari usaha presiden pertama, Soekarno, untuk mengatasi dilema dirinya atas keberagaman demografis yang dimiliki Indonesia. Saat itu kondisi politik belum begitu stabil, konflik dan perpecahan antar etnis sangat rentan terjadi. Menjadikan satu etnis tertentu sebagai jati diri bangsa dianggap sesuatu yang berbahaya. Modernisme ditempuh sebagai jalan pintas pencarian jati diri baru bangsa Indonesia, dianggap sebagai sesuatu yang paling netral dalam menyampaikan ideologi dirinya. Karya-karya arsitektur saat itu tidak cukup terdefinisikan dengan kata modern, tapi juga monumental. Apa yang dilakukan oleh Soekarno bertujuan untuk mencapai efek sublim, membuat orang lain takjub dan tenggelam ke dalam pesona sublimisme tersebut. Dalam kondisi tersebut sudah pasti arsitek menjadi profesi
ruang | kreativitas tanpa batas
yang sangat dibutuhkan pemerintah untuk mewujudkan mimpinya. Namun kejayaan tidak pernah mutlak, ada pula titik dimana para arsitek harus mengalah pada kenyataan yang pahit. Pasang surut perjalanan tiga arsitek Indonesia ini merupakan potongan kecil dari mozaik sejarah arsitektur yang lebih besar. Bertepatan di tahun 1959, muncul perkumpulan anak muda yang mendirikan Ikatan Arsitek Indonesia yang berganti dari nama sebelumnya NIAK. Upaya ini dilakukan sebagai pembebasan diri dari ingatan kolonial. Mereka berusaha mewujudkan “pembangunan nasional” melalui identitas. [1]
Usulan Rancangan Monas karya Silaban © Rifandi Septiawan Nugroho
Lakon pertama diwakilkan Frederich Silaban, arsitek yang sudah sering terdengar namanya bagi sejarah arsitek modern Indonesia. Silaban memiliki tendensi karya yang monumentalis dan modern. Latar belakang kesukaannya terhadap musik klasik mempengaruhi karyakaryanya. Hal ini tercermin pada usahanya menggubah bangunan dengan sangat memperhatikan skala, proporsi, ritme, dan harmoni seperti yang tertera pada teori estetika klasik. Kecenderungan dirinya yang seperti itu menjadikan ia sosok yang tepat bagi mimpi Soekarno.
61
edisi #10: Pemerintah
Di tahun 1955, ia terlibat pada proyek sayembara monumen nasional yang digagas Soekarno. Meskipun hanya menjadi pemenang kedua tapi ia menjadi yang terbaik karena tidak ada pemenang pertama. Pada tahun itu tidak didapatkan rancangan yang diharapkan Soekarno. Hingga Soekarno menunjuk kembali Silaban dan Soedarsono untuk bekerjasama membuat rancangan baru pada tahun 1961. Karena idealisme dirinya yang cukup kuat, Silaban memilih untuk menolak tawaran itu. Kemudian ia meminta untuk membuat rancangan sendiri-sendiri saja. Akhirnya, rancangan Silaban pun tidak jadi dibangun karena skala bangunan yang dirancangnya terlalu besar sedangkan dana anggaran tidak memadai. Kedekatan dirinya dengan Soekarno membuat dirinya menjadi arsitek “laris” dan dipilih untuk membangun beberapa bangunan lainnya di ibu kota. Selain proyek ini, ia juga merupakan perancang dari Masjid Istiqlal, Bank Indonesia, Markas Besar AURI, dan Hotel Banteng. [2]
Peresmian Gedung Conefo © Budi A. Sukada: Membuka Selubung Cakrawala Arsitek
62
Kedua adalah Soejoedi Wirjoatmodjo, seorang arsitek kelahiran Rembang, 27 Desember 1928, hari yang bertepatan dengan pengakuan kedaulatan negara Indonesia. [3] Soejoedi berjuang menyelesaikan masa studinya dengan berpindahpindah di tiga kampus dari tiga negara yang berbeda. Setelah belajar di L’ecole des Beaux-Arts, Paris, 1954 dan Technische Hoogeschool Delft, 1955. Akhirnya ia menyelesaikan tahapan akhir pendidikannya di Technische Universitat, Berlin Barat. Dirinya harus berpindah-pindah kampus karena pengaruh dari nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia yang pada saat itu sangat gencar dilakukan oleh pemerintah. Hubungan antara pemerintah Indonesia dan Belanda pun memanas. Akibat dari retaknya hubungan kedua negara ini banyak pelajar Indonesia di Belanda yang memutuskan untuk pindah negara meskipun tanpa disuruh, begitu pula dengan Soejoedi. Soejoedi kembali ke Indonesia untuk menggantikan Profesor Insinyur Van Rommondt sebagai Ketua Jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung, karena profesor tersebut juga ingin kembali ke Negara asalnya di Belanda. Selama empat
ruang | kreativitas tanpa batas
tahun Soejoedi menjabat sebagai Ketua Jurusan Arsitektur di ITB. Memiliki titel insinyur muda yang pernah mengenyam pendidikan di Eropa nyatanya bukan jaminan hidup nyaman. Soejoedi hidup sebagai orang yang perekonomiannya tergolong susah. Pada tahun 1960, selain menjadi kepala jurusan arsitektur ITB, ia mencari tambahan sehari-hari dengan bergabung bersama biro arsitek Estetika, mengepalai kantor cabang Bandung yang berkantor di garasi kediamannya sendiri. Kemudian ia juga membentuk bironya sendiri yang bernama Prakarsa. Selain berbagai jabatan tersebut, Soejoedi diangkat menjadi staf ahli bidang arsitektur di pemerintahan. Di situlah ia mengerjakan dan memenangkan proyek sayembara Gedung Conefo yang kemudian mengangkat dirinya dalam wacana arsitektur modern. [4]
Ilustrasi rencana Gedung Conefo © Budi A. Sukada: Membuka Selubung Cakrawala Arsitek
Pengerjaan Gedung Conefo tergolong ambisius dan sangat menguras tenaga arsitek. Sampai-sampai jurusan arsitektur ITB mengirimkan para mahasiswa terbaiknya untuk proyek tersebut. Mereka ditampung di Wisma Hasta dan bekerja penuh waktu. Bahkan agar para mahasiswa tersebut dapat mengikuti ujian dan kuliah, para dosen didatangkan dari Bandung ke Jakarta. Perlakuan khusus tersebut menimbulkan reaksi pro dan kontra di lingkungan kampus ITB khususnya jurusan arsitektur. Namun komando presiden Soekarno bukanlah sesuatu yang dapat ditawar.
Proses pembangunan Gedung Conefo © Budi A. Sukada: Membuka Selubung Cakrawala Arsitek
63
edisi #10: Pemerintah
Mereka diberi waktu untuk menyelesaikan proyek setahun saja semenjak pemancangan gedung dilaksanakan tanggal 19 April 1965. Saat itu sebagian besar tenaga ahli bidang bangunan gedung Indonesia berada di Senayan untuk menyelesaikan pekerjaan monumental sebelum tanggal 17 Agustus 1966.Untuk itu semua perusahaan bangunan negara dikerahkan dalam pekerjaan yang berlainan. PN Hutama Karya mengerjakan gedung sidang, PN Adhi Karja melaksanakan gedung sekretariat, PN Nindja Karja bertanggung jawab mengerjakan auditorium dan gedung resepsi. PN Waskita Karja, di lain pihak, mengerjakan pembangunan danau buatan, plaza, dan mengerjakan semua fasilitas elektrikal; sementara PN Peprida melaksanakan pekerjaan mekanikal.
Pekerjaan ini memberi pelajaran banyak bagi Soejoedi. Berkelut dengan proyek yang ambisius membuat dirinya rela melakukan apapun mulai dari awal hingga tuntas. Ia menjadi arsitek yang cukup tangguh untuk mewujudkan mimpi sang Presiden. Setelah itu Soejoedi mendirikan konsultan PT Gubahlaras. Di bawah bendera ini Soejoedi mulai menangani berbagai proyek yang mengangkatnya sebagai salah satu arsitek Indonesia yang patut diperhitungkan.
64
Di Surabaya, ada seorang arsitek muda bernama Harjono Sigit. Selepas lulus sarjana pada bulan Maret tahun 1964, Harjono lekas kembali ke Jawa Timur. Kebutuhan akan profesi arsitek di Surabaya pada saat itu cukup tinggi, menurutnya arsitek dicari-cari oleh proyek bukan arsitek yang mencari-cari proyek. Terbukti, ia langsung mendapat tawaran untuk merancang bangunan Gedung Aula PPS Semen Gresik yang dikerjakannya sendirian. Kesempatan ini digunakan olehnya semaksimal mungkin, eksperimentasi struktur busur menggantung dua buah balok auditorium dengan meminimalisasi penggunaan kolom konvensional di bawahnya. Rancangan busur beton yang diterapkan pada bangunan tersebut terinspirasi dari Palace of the Soviets, sebuah konsep arsitektur yang diajukan Le Corbusier saat mengunjungi Uni Soviet pada tahun 1928, namun gagal terbangun. Sebagai
ruang | kreativitas tanpa batas
Setelah keberhasilannya pada proyek pertama ini, proyek-proyek berikutnya pun berdatangan. Seperti Gedung Laboratorium Penelitian Kimia, Jagir (1967); Kantor Penggilingan Padi PT Mentras, Pasuruan (1967); hingga Guest House Perhutani di Jatirogo (1972); Taman Kanak-kanak Randu Belatung; Pasar Atum; dan Gedung Direksi Perhutani. Perlahan demi perlahan, di umurnya yang tergolong muda, ia terus menerus mendapatkan kesempatan berkarya. [5]
Kenyataan tidak selamanya indah. Politik Indonesia tidak pula selamanya stabil. Di sela-sela tahun 60 hingga 70an, terjadi kembali pergolakan politik di dalam negeri yang berakhir hingga pergantian presiden. 65
edisi #10: Pemerintah
Rezim berganti, begitu pula kendali dari penguasa. Di era kepemimpinan Soeharto yang dikenal dengan Orde Baru, pola pikir nasionalismenya sangat berbeda jauh dengan dengan rezim sebelumnya. Imbasnya, arsitek yang sebelumnya lancar mendapatkan proyek pun perlu sedikit bersabar. Rezim Orde Baru yang lebih pro-Barat mencoba untuk menghapuskan semua hal yang terkait dengan rezim Soekarno. Silaban menjadi satu orang yang diasosiasikan dengan Soekarno. Faktor ini yang diduga menyebabkan keterlambatan dalam pembayaran jasa desain Silaban untuk Hotel Banteng (sekarang Hotel Borobudur). Kemungkinan hal ini juga yang menyebabkan posisi Silaban sebagai arsitek tersisihkan. Cukup ironis, dalam fase hidup terakhirnya, ketika ia pensiun dari Departemen Pekerjaan Umum, beliau sangat haus akan pekerjaan dan penghasilan. Upah pensiunannya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar. Kedekatannya dengan Soekarno telah menyebabkan kejatuhan bagi karirnya pada rezim Orde Baru Soeharto. Beliau harus mencari pekerjaan baru yang sesuai dengan keahliannya dengan mencoba melamar pekerjaan ke PBB. Serupa dengan dua arsitek pendahulunya, Harjono Sigit menjadi yang paling muda dalam melewati tiga fase berbeda: mulai dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Di zaman Orde Baru, beliau yang sebelumnya sangat semangat mengikuti arus internasional, karyanya perlahan-lahan semakin melembut mengikuti keinginan Presiden Soeharto untuk menginjeksikan unsur “lokalitas” Indonesia pada tiap bangunan pemerintah. Gejala ini terlihat pada bangunan sekolahan yang dibangun pada sekitar tahun 90-an. Tipologinya mirip dengan bangunan sebayanya, dengan balok masa bangunan modern sesuai fungsi dipasangkan dengan atap miring bertumpuk seperti atap meru Gedung Rektorat UI karya Gunawan Tjahjono.
66
Ia pun mengungkapkan bahwa di zaman itu, menangani proyek pemerintah cukup melelahkan. Pihak yang terlibat ke dalam proyek semakin banyak, ia tidak lagi sebebas dirinya saat baru lulus kuliah. Bahkan pasca keruntuhan rezim Soeharto yang digantikan oleh era Reformasi, ia mengaku sudah tidak begitu bersemangat mengerjakan proyek pemerintah. “Yang campur tangan makin banyak,” ujarnya. Arsitek, menjadi sosok yang dijauhkan dari kliennya, dari fungsinya sebagai tempat berkonsultasi. Bukan lagi menjadi sosok yang personal dengan calon pengguna bangunan.
“Sejarah perlu diproduksi melalui proses pelupaan dan pengingatan (forgetting and rememberance). Istilah “pelupaan dan pengingatan” berarti kita menentukan sendiri bagaimana sejarah kita akan diceritakan. Dan ini penting untuk menunjukan jati diri si pemilik sejarah.” [6]
ruang | kreativitas tanpa batas
Rezim silih berganti, pembangunan pastinya bergantung pada kebijakan pemerintah dan pasang surut investasi. Dalam sebuah garis sejarah, selalu ada usaha keras untuk pembangunan yang berujung pada pembangunan identitas. Namun pada tiap titik pergantian rezim, usaha keras itu seperti berusaha menghilangkan ingatan lama. Mulai dari rezim Soekarno yang ingin melepaskan diri dari ingatan Kolonial, rezim Soeharto yang ingin melepaskan diri dari ingatan Orde Lama, dan rezim pasca Reformasi yang masih mencari jati dirinya. Campur aduk dunia politik selalu berimbas pada nasib arsitek yang terlibat pada proyek pemerintah. Kisah-kisah ini membentuk sebuah narasi arsitektural di Indonesia. Sebuah narasi modernis tentang pencitraan diri yang dihasratkan. Rezim terkadang berusaha melupakan yang sebelumnya. Namun karya pasti selalu tercatat untuk generasi selanjutnya. Ruang-ruang dan bangunan yang hadir di era kemerdekaan ini bukanlah tempat memberi pesan, tetapi ruang itu sendiri adalah pesan; yang kalau sudah dimengerti silakan beraksi dan masuk ke dimensi berikutnya. Bangunan-bangunan itu hanyalah titik berangkat atau batu loncat ke masa depan, untuk memulai era yang baru. Bangunan-bangunan itu adalah gertakan awal yang diperlukan untuk gertakan berikutnya dan seterusnya sehingga “revolusi” terus berjalan. Setidaknya tiga arsitek di atas mewakili beberapa arsitek lain yang cukup tangguh menanggung beban kebetulan demi kebetulan yang mereka dapatkan. Peristiwa-peristiwa yang mereka lewati menjadi tempaan bagi mereka. Ini semua mengingatkan kita bahwa arsitek tidak hidup sendirian, bukan sosok yang serba bisa menyelesaikan segala persoalan. Dengan begitu arsitek menjadi sosok yang rendah hati dan menyadari bahwa kita terkait pada siapa yang sekarang berpihak kepada kita. Sekaligus mengingatkan kita, sebagai arsitek, kita ini untuk siapa? Tulisan ini pun hanya untuk membantu penulis mengingat kembali peran mereka, sebagai rangkuman kecil buku-buku yang telah menuliskan mereka. * [1] Sopandi, Setiadi, dkk. 2008. Rumah Silaban. Jakarta: mAAN Publishing Indonesia. [2] Riset Setiadi Sopandi untuk Pameran Triennale Arsitektur UPH “Waktu Adalah Ruang”. [3] Tanggal 27 Desember 1949 adalah peristiwa soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) kepada Indonesia yang ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Pengakuan_tanggal_ kemerdekaan_Indonesia_oleh_Belanda (red). [4] Sukada, Budi A. Membuka Selubung Cakrawala Arsitek Soejoedi. Jakarta: Gubahlaras Arsitek & Perencana, 2011. Print. [5] http://ayorek.org/harjonosigit [6] Sidharta, Amir, Nadia Purwestri, M. Nanda Widyarta, dkk. Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012. Print.
67
“Dalam sebuah garis sejarah, selalu ada usaha keras untuk pembangunan yang berujung pada pembangunan identitas.”
Rifandi S. Nugroho
Bali: We Now Devote Ourselves to the God of (US) Dollar by D.A.E. Savitri Sastrawan
ESSAY ENGLISH Conversation, Bali Art, Tourism, Contemporary Art, Artist Movement.
In Bali, the emergence of a new god called “The God of US Dollar” has arguably become a haunting figure that has overwhelmed the relationship of the people to the existing deities and the land. Yet academics, historians, and anthropologists continue to read Bali as “the island of the gods”, and do not seem to have acknowledged this transition specifically.
edisi #10: Pemerintah
My understanding of Karl Marx’s Primitive Accumulation is how people or humans serve money as the divine: money is the almighty. The tourism in Bali, Indonesia, has affected inherited, cultivated, and sacred lands. One such example is the rice fields — despite being the source of the nation’s staple food and where Dewi Sri[1] the rice fields Goddess, lives, they have been sold for easy money or changing their function into hotels, properties, and villas. In Bali, the emergence of a new god called “The God of US Dollar” has arguably become a haunting figure that has overwhelmed the relationship of the people to the existing deities and the land. Yet academics, historians, and anthropologists continue to read Bali as “the island of the gods”, and do not seem to have acknowledged this transition specifically. Instead, it seems to have been visualised and developed by native artists. Visual culture becomes the critical discourse that summons the socio-cultural implications of worshipping this alternative deity into the general social consciousness. Here I would like to find the common ground to this phenomenon, summoning it with three other artists from Bali: Gede “Sayur” Suanda, Made “Bayak” Muliana, and Genetik. They have created artworks sounding a resistance[2] to the effect tourism has in their native land, which has been seen no different to the Dutch colonials way of “managing” Bali as the ultimate paradise destination. ---
70
Savitri Sastrawan (SS): In the 1970s the tourism that was initiated to be developed was cultural tourism – keeping up the Bali culture high was prioritised and tourism should not eradicate it.[3] Has cultural tourism been applied, could not be done, was never done, or vanished in Bali? GedeSayur (GS): In the 1970s we did have a healthy tourism current yet in the end its development created the Balinese self-righteous and destroyed the old system, all was too difficult to avoid. Made Bayak (MB): Post 1965 is a domestication process on the people; in Bali the Balinese were being stereotyped as kind, hard working and expressive through the arts.[4] The “cultural tourism” jargon has made the veins of Bali a destination for such, which half of the cultures are created rather than the existing habits.
ruang | kreativitas tanpa batas
So the base to it is very vulnerable, as we ourselves don’t know well what is that culture, which one is the Balinese culture? That is the question that can be very debated. The results can be seen today: if there is cultural tourism won’t the agrarian be the vital base? If all the agrarian lands change function, then one cultural tourism support has vanished. SS:Today we hear the phrase, “Kita sekarang menyembah Dewa Dollar,” (meaning “We now devote ourselves to the God of (US) Dollar”) instead of Dewi Sri or the other Gods and Goddesses that we have believed as Hindus.Where did the phrase originate? GS: I think the sentence came up when the Balinese started being self-righteous or forgot their identity as the frontier and last defence to preserve the development of Bali’s tourism. Genetik (GEN): It comes from: tourism, economy, and addiction. Since the colonisers came to Bali, they introduced Bali to the world. Through trading it was also popularised by foreign artists (such as Le Mayeur, Walter Spies, Antonio Blanco, and more), from that foreign tourists came to visit and eventually settle in Bali. One way of doing so is through marrying a Balinese girl. Then, Bali did have cultural tourism, tourists wanted to enjoy the Balinese culture yet due to the rapid development Bali has become based around a thriving tourism industry and no longer based on culture, i.e. no longer cultural tourism.
Economy wise, the Balinese lived a simple life. Their routines included working in the rice fields, go fishing, trading in the traditional markets, and ngatur ngayah (providing service without being rewarded for the ancestors and gods), and due to the developing tourism there were cultural exchanges. The Balinese that were bare chest now wear suitable clothes, as they wanted to be in the same level as the bule,[5] yet the bule is seen bare-chested at touristic spots in Bali. As there are drastic changing lifestyles, automatically the economic needs became more complex. And lastly, addiction. From that changed lifestyle, it is hoped that more foreign tourists come to Bali.These foreigners are now the gods as they bring exchange value financially and there are those who think if they married a bule their caste is higher than Anak Agung (royal family caste) or Ida Bagus (priest caste),[6] hmmm, it’s like marrying a God. From that there’s the “consumptive religion believing in God of (US) Dollar”. It’s an addictive consumption, which I would state as “Bali is so exotic but lost in paradise.”
71
edisi #10: Pemerintah
Fig 1. Savitri Sastrawan, Mother Earth Cries, 2011, batik and flannel doll installation ©DEA Savitri Sastrawan
SS: “Mother Earth Cries” (fig. 1) was my artwork that responded to this notion. It showed how the Mother Earth of Bali cries being dispossessed by the raksasa-raksasa [7] (monsters), which wanted a part of it. Your artworks were also reflecting what have haunted us with the economy and financial growth that dispossess the Bali Island.Yet what made you create them?
72
Fig 2. Not For Sale at Sayur’s rice field, 2011, installation, reproduced from Gede Sayur/Luden House Ubud Documentation
GS: I created “Not For Sale” (fig. 2) to generate consciousness for everyone, especially the Balinese themselves on the importance of a rice field’s existence. Rice fields are the last defence — not only for the importance of tourism but also its spiritual values towards life in Bali or how the Balinese live. And this is one of the most important things to protect in Bali for the future. It is hoped that the Balinese will always be aware of their action towards the tourism current that comes to Bali.
ruang | kreativitas tanpa batas
So far I have placed this phrase on my own rice field, this has been done since 2010 and from then until now it has been changing depending on how we wanted to express it — so it is not monotone. The one in Ceking, Tegallalang, Gianyar, Bali (fig. 3) was an art project in order to create consciousness at that particular touristic spot. Even though it lasted only 24 hours, it was an achievement already, as we have fought for the farmers’ right.
MB: We have to remember that from 1965 to 1968 was the most dreadful Indonesian history and Bali, especially, lost so many of its civilians. At that time, new era is about to start politically, economically, socially, culturally, even religiously; and belief was constructed such as the PHDI (Indonesia Hindu Dharma Unity) have created the Bali today. Fig 3. Not For Sale at Ceking, 2014, installation, ©Seni di Hari Libur
The cultural tourism field was formed by Soekarno (Indonesia’s first president), which then continued with the New Order government of Soeharto. It should be noted that Soekarno has continued what the colonials have left a “Bali programme” or the cultural politic to have created Bali be more Bali (Balinisation), sadly to create a living museum. At the exhibition in Santrian Hotel, Bali, I bring up the severe complexity of Bali’s tourism. Artists are now mostly just working with the flooding orders, looking for an artisan. The paintings exhibited, I bought them from Sukawati market[8] and “vandalised” them but still leaving the original painters’ signature to show the mass tourism in Bali (fig. 4, 5). Since this exhibition was created, many criticisms were received and have opened possibilities on how to explore this notion further.
Fig. 4. Gubuk Terakhir,[9] 2011 (Before), 85 x 135 cm, oil on canvas ©Made Bayak
73
Fig 5. GubukTerakhir, 2011 (After), 85 x 135 cm, oil on canvas ©Made Bayak
edisi #10: Pemerintah
Fig 6. Djamur Community’s “Gadis Bali dan Kuta Modern” mural sketch for walls at Kuta, Badung, Bali, 2014, watercolour on paper ©Genetik
GEN: The style of my artworks and the Djamur community (fig. 6, 7) was more into the parody where we can deliver the issues through art better and to entertain. [For example] I see Ronald McDonald (fig. 7) as a consumptive symbol, as in Bali some believed if you are able to eat McDonalds you have upgraded yourself to a higher class of the society.
74
Everything has its good and bad as in the Balinese philosophy stated “rwa kelawaning bhineda ten nyidang palasang” which means good and bad cannot be separated. From the change of cultural tourism, there are always positive and negative sides depending on ourselves — the foundation inside ourselves are strengthened by the art and culture, we have to be able to distinct which one is better and least better for us. For tourism itself, this is very blurry, yet as I said we have to think ahead and face it smartly. Fig 7. I Lovin It, 2011, acrylic on canvas ©Genetik
ruang | kreativitas tanpa batas
Here we see expressing through art has become the common ground of creating a realisation to what have happened in Bali. It revealed that the people of Bali and its governmental bodies have changed perspective towards their way of living and seeing Bali. Tourism has affected the rice fields, the beach, the green lands of Bali — the vital infrastructures and foundations to live as a human being that have now been taken over by different buildings for tourism through architecture. With the common ground that has been shared, what will be at stake in structuring the famous, and important Indonesian economy source, island of Bali? *
[1] Sri Owen, The Rice Book, (London: Frances Lincoln, 1993), 49-51 [2] See quote from Basil Davidson on secondary resistance is ideological resistance at Edward Said, Culture and Imperialism, (London: Vintage Books, 1993), 252-253. [3] BT/SS, “Life Times: Dewa Putu Merta Pastime”, The Bali Times, September 20, 2010, http://www. thebalitimes.com/2010/09/20/14131/ (Accessed 1/5/2015). [4] Also referred at Agung Wardana and Roberto Hutabarat, forward to Melawan Lupa: Narasi-Narasi Komunitas Taman 65 Bali, (Denpasar, Bali: Taman 65 Press, 2012), xii-xiii, a book reflecting forgotten narrations of the 1965 anti communist movement in Bali and Indonesia. [5] Bule refers to Caucasian in Bahasa Indonesia.These castes are the two highest among the Balinese castes that have existed. [6] These castes are the two highest among the Balinese castes that have existed. [7] Raksasa in Balinese wayang (shadow puppet) Kamasan painting characters are known as galak or temperamental. Wayang stories usually tell moral stories and all characters reflect human characters – hence Raksasa is a reminder of our bad character e.g. ego, see Senisavitri, “As I Have Left Netherlands By Now I Want to Share,” June 6, 2011, http://seni-savitri.tumblr.com/post/6235184266/as-i-have-leftnetherlands-by-now-i-want-to-share (Accessed 7/5/2015). [8] Sukawati Market is a market at Gianyar, Bali famous for its affordable arts and crafts sold for tourists, including different kind of Bali sceneries paintings that people can buy cheaply. [9] Meaning “The Last Hut”. [10] Meaning “Balinese Girl and the Modern Kuta” reflecting Kuta as a famous tourist destination in South Bali.
75
“The tourism in Bali, Indonesia, has affected inherited, cultivated, and sacred lands.”
D.A.E. Savitri Sastrawan
Kisah Hong Kong: Di Balik Surealisme Okupasi Kota dan Euforia Kesadaran Politik Kaum Muda oleh Rofianisa Nurdin
ESAI INDONESIA Demokrasi, Identitas Kota, Hong Kong, Umbrella Movement, Activism.
Pada kasus Umbrella Movement, seni muncul secara organik, spontan, ekspresif. Seni ikut membentuk teritori “miniatur kota” yang dibangun di tengah unjuk rasa; hadir dalam bentuk poster, instalasi maupun benda fungsional sehari-hari; beberapa bahkan menjadi penanda, —landmark.
edisi #10: Pemerintah
“Bustling City Under the Rain” watercolor on paper. © Rofianisa, 2016
Don’t forget your umbrella! It is 78
The Warrior God’s halberd, The Monkey God’s staff, Ai Wei Wei’s paintbrush, Bruce Lee’s fist of fury, The vermilion sword in Jin Yong’s wuxia, The five-petal orchid blossom That smells like freedom, And grandma’s chopsticks — Always reaching for the best piece of dim sum At the far end of the table. - Kenneth Wong -
ruang | kreativitas tanpa batas
Bagi saya, Hong Kong adalah kota surealis. Bahkan sebelum peristiwa Occupy Central terjadi di akhir tahun 2014, sepanjang 79 hari di sekitar bulan Oktober. Langkah tergesa para pekerja korporat berbaju rapi bercampur dengan turis-turis yang menghalangi jalur pedestrian; kepala mereka senantiasa mendongak ke atas, kamera di leher, koper besar di tangan. Pencakar langit bersandar di antara bukit-bukit. Perumahan elite di tengah hutan. Disneyland dan Buddha di pulau yang sama. Hotel bintang lima dan warung makan kaki lima dapat diakses dengan kemudahan yang sama. Dalam jangkauan langkah, sebentar melintasi pantai yang hening lalu klab malam muncul di kejauhan. Belum lagi taman kota seluas sekian hektar dipenuhi ratusan ribu pekerja asing Indonesia yang rindu ruang terbuka untuk bercengkrama. Berada di tengah mereka, saya menjadi orang asing yang merasa asing ketika wajah-wajah familiar, yang meski tak dikenal, menyapa ramah dan menawarkan makanan rumah dengan harga seperlima dari yang biasa saya keluarkan untuk makan di pujasera lokal. Meski saya bukan satu-satunya yang teralienasi. Anak-anak generasi ketiga di Hong Kong, yang orangtuanya pun lahir dan besar di sana, pun merasa asing dengan negaranya sendiri.
“They don’t want to be called Chinese. They hate mainland (China). Yes, we’re different from them, raised and taught a different ideology from what kids in mainland learn. And now we have to share the same political system?” Anak-anak generasi ketiga ini lah yang turun ke jalan, mengokupasi titik-titik sentral di tengah kota, menuntut demokrasi dan menyuarakan protes terhadap pemerintah China terkait kebijakan hak pilih universal untuk kota Hong Kong. Mereka adalah bagian dari generasi Y yang lahir pada tahun 1980 - 2000, generasi produktif yang masih bersekolah hingga eksekutif muda yang sedang meniti karir. Berbeda dengan generasi muda China yang apolitis, millenials di Hong Kong adalah pribadi yang vokal dan kritis terhadap pemerintah. Dan anak-anak ini tumbuh bersama nilai-nilai liberal barat, jauh dari paham sosialis di Beijing.
79
edisi #10: Pemerintah
80
ruang | kreativitas tanpa batas
Hong Kong memang kota yang istimewa. Setelah sekian dekade berada dalam konstitusi kerajaan Inggris, pada tahun 1997, mereka menyerahkan Hong Kong kepada China. Dibuatlah perjanjian yang memberlakukan sistem demokrasi agar setiap warga punya hak pilih penuh. Hong Kong (dan Makau) menjadi Special Administrative Region. Hal ini membuat China menjadi satu negara dengan dua sistem pemerintahan. Maka, ketika Pemerintah China memutuskan dalam pemilihan tahun 2017 nanti bahwa otoritas China yang akan memilih kandidat pemimpin Hong Kong, para pemuda ini menuntut. Di akhir bulan September 2014, ternyata tak hanya para pemuda (yang sebagian besar adalah pelajar yang tergabung dalam organisasi Scholarism dan Hong Kong Federation of Students); ribuan warga pun turun ke jalan. Apa yang diawali dengan protes damai di hari libur, berubah menjadi boikot kota besar-besaran yang konon hampir mengancam keberjalanan ekonomi kota. Sebuah fenomena yang aneh, mengingat warga Hong Kong adalah warga yang taat hukum dan bergantung kepada produktivitas kapital.
“What’s happening now with this Umbrella Movement is that you start to see among the younger people a collective obsession with Hong Kong, a Hong Kong identity, which is very unusual for Hong Kong,” …. “In the past, when they see something troubling, their first reaction would be emigration. But this is something new.We say, ‘We stay here, we fight.’This is total freedom to voice our discontent.” Kampanye pembangkangan sipil (civil disobedience campaign) ini kemudian lebih dikenal dengan nama Umbrella Movement, setelah insiden kekerasan dan penyemprotan gas airmata yang dilakukan oleh polisi direspon secara damai oleh pengunjuk rasa dengan hanya melindungi diri mereka menggunakan payung. Berangkat dari situ, payung yang semula dianggap sebagai simbol kelemahan politik, berubah makna menjadi simbol politis gerakan perlawanan. Simbol payung kemudian digunakan sebagai subyek maupun obyek kampanye yang mengokupasi distrik-distrik vital Hong Kong; Admiralty, Causeway Bay, dan Mong Kok.
“The Umbrella Revolution” watercolor on paper. © Rofianisa, 2016
81
edisi #10: Pemerintah
In a city as crowded as Hong Kong, where policy is often controlled by real-estate developers, the public has never had such unbridled access to roadways and avenues.The proliferation of artworks is in many ways a response to this experience of freedom and expansiveness.
The city is a giant gallery! “Occupy Central” watercolor on paper. © Rofianisa, 2016 82
Kebebasan berekspresi warga Hong Kong yang selama ini tertahan akibat minimnya ruang publik dan terbatasnya ruang gerak bahkan dalam skala hunian individu, tiba-tiba terlepas dan menemukan kanalnya. Yang terjadi adalah selebrasi ruang kota. Sebagian dari kita merasakannya setiap hari Minggu di Car Free Day, atau di beberapa festival komersial yang berhasil meyakinkan (dan tentu saja, membayar) pemerintah untuk menutup jalan demi memberikan pengalaman ruang yang baru dalam kurun waktu tertentu. Selebrasi rekreasional demi pembuktian identitas individual atau golongan. Sementara di Hong Kong, euphoria mengokupasi ruang terbuka justru muncul dalam kebersamaan pencarian identitas kolektif yang telah terkonstruksi sejak lama, lalu kehilangan pegangannya.
ruang | kreativitas tanpa batas
The icon of the movement: “The Umbrella Man” watercolor on paper. © Rofianisa, 2016
Maka bagi warga kotanya, sepanjang 79 hari di sekitar bulan Oktober 2014, Hong Kong adalah kota surealis. MTR berhenti beroperasi dan jalan-jalan protokoler sepi. Trem dan bus digantikan oleh deretan tenda dan kios-kios kuliah umum tentang demokrasi. Median jalan menjadi ruang belajar dadakan. Ruang kota terbebaskan dari definisi sehari-harinya yang mengekang. Hong Kong Central terokupasi menjadi sebuah galeri seni raksasa. Seni menjadi bagian integral dari aktivisme; akrab dengan keseharian dan bukan lagi menjadi sesuatu yang steril di balik lemari kaca, tak tersentuh debu keberpihakan politik. Pada kasus Umbrella Movement, seni muncul secara organik, spontan, ekspresif. Seni ikut membentuk teritori “miniatur kota” yang dibangun di tengah unjuk rasa; hadir dalam bentuk poster, instalasi maupun benda fungsional seharihari; beberapa bahkan menjadi penanda, —landmark.
83
edisi #10: Pemerintah
Lalu, apa yang dapat kita pelajari dari Hong Kong dan drama di bawah payung besar bernama demokrasi? Sementara di belahan dunia lain ada yang mengeluelukan pemimpin bertangan dingin yang mampu melindungi budaya lokal dari keruwetan pengaruh universalisme dan nilai-nilai global. Di era keberagaman dan kesetaraan yang mendefinisikan kemanusiaan dengan harga mati, Hong Kong justru ingin terlepas dari stereotip Chinese, menjadikan penduduk daratan Cina sebagai momok bahkan bahan ejekan. Atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat!
“It is important to protect our form of freedom. However it is also a lesson to learn that we are part of China now. Money or not. It is naïve for the government to not mediate the process for the past 17 years. And now created a certain degree of confrontation of cultures. If Shanghai and Beijing people can be proud of their cities,we Hong Kong could do the same. But have to realize that we are China as a whole.”
84
Virtual and symbolic support from the world to HK protesters. “Lennon Wall Add Oil” watercolor on paper. © Rofianisa, 2016
ruang | kreativitas tanpa batas
Kisah romantis tentang perjuangan memenangkan demokrasi yang muncul dari balik ribuan tenda pada 79 hari di sekitar bulan Oktober di Hong Kong, merupakan representasi mikrokosmis tentang bagaimana dunia saat ini sedang dalam kebingungan. Batas kota, batas negara, batas budaya; tercabik-cabik oleh kenyataan bahwa manusia saat ini telah terkoneksi lebih jauh dibanding garis imajiner geografis yang sudah disepakati. Era keterhubungan melepas pemaksaan identitas individu sebatas kedekatan geografis menjadi tak berbentuk dan samar. Secara cepat, nilai-nilai yang telah dibangun pendahulu mereka di masa lampau terkontaminasi norma budaya skala global. Individu-individu menjadi schizophrenic, berkepribadian majemuk, menyesuaikan diri tergantung di mana mereka berada. Mereka membaur sekaligus terasing di dunia nyata dan imajiner…. Dalam keterasingan yang familiar, keterbukaan yang janggal, dan keriaan yang sedikit terlihat ambisius; Hong Kong, bagi saya, menjadi lebih dari sekedar sebuah kota surealis. Ia ternyata mewakili individu schizophrenic yang brilian, kreatif, meletup-letup; namun terkungkung dalam ketidakmampuannya lepas dari realitas. *
Referensi: Bruls, T. (2015). An Interdisciplinary Study of the Collective Identity of the Umbrella Movement.Bachelor Thesis, Interdisciplinary Social Sciences, University of Amsterdam. http://kennethwongsf.blogspot.co.id/2014/10/the-ballad-of-umbrellas-poem-for-hong.html http://kyotoreview.org/issue-17/the-umbrella-movement-in-hong-kong-from-economic-concerns-to-the-rejectionof-materialism/ http://nextshark.com/hong-kong-china-differences-designs/ http://www.artnews.com/2015/01/06/art-during-hong-kong-umbrella-movement/ https://www.dissentmagazine.org/article/chinas-youth-do-they-dare-to-care-about-politics http://www.scmp.com/news/hong-kong/article/1610547/occupys-umbrella-statue-symbol-peace-says-artist https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2014/10/07/photos-the-colorful-world-of-hong-kongsprotest-art/ Wawancara dengan Kalun Keung (35), generasi kedua Hongkongers. Termasuk generasi Y dan kelas menengah, menempuh pendidikan tinggi di AS, dan pro-demokrasi.
85
NAR PEMERINTAH VOL. 2
RASI
edisi #10: Pemerintah
88
RUANG KREATIVITAS TANPA BATAS ©2016