Risalah Elektronik RHI Nomor 2 Volume I Tahun 1430 H
1 ZULHIJJAH 1430 HIJRIYYAH DI INDONESIA Dipublikasikan Pada Tanggal 11 November 2009
I.
PENDAHULUAN
Sistem kalender yang digunakan Umat Islam, selanjutnya dinamakan Kalender Hijriyyah, telah ditegaskan dasar–dasarnya dalam Al–Qur’an sebagai kalender yang murni didasarkan pada peredaran Bulan di langit (kalender lunar atau qamariyyah) 1. Setahun kalender terdiri dari 12 bulan (lunasi) 2 dimana sebagian berumur 29 hari dan sebagian lagi berumur 30 hari. Transisi/pergantian antar bulan (lunasi) merujuk pada eksistensi hilaal 3, yakni Bulan dalam fase sabit yang terkecil (termuda) sehingga bentuknya mirip sehelai benang yang melengkung. Juga digarisbawahi bahwa jika dibandingkan dengan sistem kalender lain terutama kalender kalender Julian (kalender surya atau syamsiyyah) 4, maka setiap 300 tahun Julian ekivalen dengan 309 tahun Islam 5. Dalam risalah ini akan dipaparkan awal lunasi Zulhijjah tahun 1430 H, khususnya untuk wilayah Indonesia dan Asia Tenggara. Awal lunasi didasarkan secara komprehensif pada metode perhitungan (hisab) yang bisa dipertanggungjawabkan karena merupakan model matematis yang berdasarkan pada tabulasi dan analisis data hasil pengamatan hilaal (rukyat) yang diakuisisi LP2IF–RHI dalam kurun waktu Januari 2007–Oktober 2008. Lunasi Hijriyyah 1430 H secara astronomis merupakan Islamic Lunation ke–17160 terhitung Muharram 1 H (Juli 622 TU 6). II.
KAIDAH
Kaidah yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Transisi/pergantian hari dalam kalender Hijriyyah terjadi pada saat terbenamnya Matahari (ghurub asy– Syams) secara lokalitas. 2. Saat terjadinya konjungsi (ijtima’) antara Bulan dan Matahari ditetapkan secara mutlak sebagai tanggal 29 Qamariyyah 7. 3. Perhitungan berdasarkan model visibilitas RHI yang berbentuk persamaan : a D ≥ 0,209 DAz2–2,969 DAz + 14,738 dimana a D = selisih tinggi antara pusat cakram Bulan dan pusat cakram Matahari pada saat Matahari terbenam dan DAz = selisih azimuth antara pusat cakram Matahari dan pusat cakram Bulan. Model visibilitas RHI mengacu pada kondisi toposentrik (mar’i), mengabaikan refraksi atmosfer (airless) serta Matahari/Bulan terbit dan terbenam secara geometrik. 4. Hilaal didefinisikan sebagai Bulan sabit yang terbenam dalam rentang waktu 27 menit hingga 42 menit setelah terbenamnya Matahari, dalam kondisi toposentrik (mar’i), mengabaikan refraksi atmosfer (airless) serta Matahari/Bulan terbit dan terbenam secara geometrik. 1
Q.S. Yunus : 5. Q.S. at–Taubah : 36. 3 Q,S, al–Baqarah :185, 189. 4 Adalah kalender yang mengacu kepada Julius Caesar, yakni orang yang pertama kali menerapkannya. Ini adalah kalender solar yang terpengaruh oleh kalender Mesir. Julius Caesar menetapkan bahwa 1 tahun terdiri dari 365 hari 6 jam, yakni nilai periode tropis Matahari. Berdasarkan penyelidikan Umar Khayyam dkk di Observatorium Nizamiyah, Baghdad, pada masa daulah Bani Abbasiyah, periode tropis Matahari sebenarnya adalah 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik. Perbaikan diusulkan jauh hari kemudian oleh Paus Gregorius sehingga kalender ini kemudian lebih dikenal sebagai kalender Gregorian. 5 Q.S. al–Kahfi : 25. 6 TU : Tarikh Umum, transliterasi dari Common Era (CE) yang digunakan untuk memerikan kalender surya. 7 Kaidah ini diusulkan oleh Hendro Setyanto dari Observatorium Bosscha, Bandung. 2
Halaman 1 dari 5
III.
KONJUNGSI (IJTIMA’)
Konjungsi (ijtima’) antara Bulan dan Matahari akan terjadi pada hari Selasa 17 Oktober 2009 pukul 02:14 WIB. Pada saat konjungsi Matahari dan Bulan sama–sama menempati garis bujur ekliptika 234o. Pada saat konjungsi Matahari memiliki deklinasi –18o 54’ dan ascensio recta (RA) 232o 12’ sementara Bulan memiliki deklinasi –22o 43’ dan ascensio recta (RA) 231o 44’. Sehingga baik Matahari maupun Bulan sama–sama berada di sebelah selatan ekuator langit dan menempati gugusan bintang Libra. Pada saat konjungsi terjadi, jarak sudut (elongasi) Matahari dengan Bulan sebesar 3o 50’ atau lebih besar dari diameter masing–masing pusat cakram Matahari dan Bulan yakni 0o 30’ sehingga tidak memungkinkan terjadinya Gerhana Matahari. Dengan demikian peristiwa konjungsi ini tidak bisa dilihat secara kasat mata. Dihitung sejak 1 Muharram 1 H (15 Juli 622 TU) maka hari terjadinya konjungsi merupakan Hijri Day Number (HDN) ke–506715. Periode sinodis Bulan untuk lunasi ini akan bernilai 29 hari 16 jam 49 menit, atau lebih besar dari nilai rata–ratanya yang sebesar 29 hari 12 jam 44 menit. Untuk konteks Indonesia, maka tanggal 29 Zulqa’idah berlaku pada 16 November 2009 saat ghurub hingga 17 November 2009 saat ghurub. Dengan demikian penentuan 1 Zulhijjah 1430 H dilaksanakan pada Selasa 17 November 2009 saat Matahari terbenam. IV.
PETA HILAAL
Peta hilaal untuk Indonesia merupakan gabungan antara peta dasar yang mengandung elemen tinggi hilaal dengan peta lanjut yang mengandung elemen visibilitas hilaal berdasarkan model visibilitas RHI. Peta disusun dengan aloritma Jean Meeus untuk elevasi permukaan laut rata–rata (0 m dpl), dalam kondisi toposentrik (mar’i) dengan memperhitungkan refraksi atmosfer (untuk tinggi hilaal) namun nir–atmosfer (untuk visibilitas RHI). 10
4
8
vis.RHI
3
6 4
Lintang
2 0
-2 -4 -6 -8
-10
6
5
-12 95
100
105
110
115
120
125
130
135
140
Bujur
Gambar 1 Peta Garis Tinggi dan Visibilitas Hilaal RHI
Pada gambar 1 di atas garis hitam tak terputus mewakili garis tinggi hilaal, yakni garis yang menghubungkan titik–titik dengan ketinggian hilaal yang sama pada saat terbenamnya Matahari. Dan garis biru putus–putus menunjukkan garis visibilitas RHI, yakni garis yang menghubungkan titik–titik dimana a D –[0,209 DAz2–2,969 DAz + 14,738] = 0.
Halaman 2 dari 5
V.
POTENSI VISIBILITAS HILAAL Pada gambar 1 di atas nampak Indonesia dilintasi garis visibilitas RHI yang memanjang dari Samudera Pasifik dan menerus ke tenggara melintasi sebagian pulau Irian untuk kemudian berbelok ke barat daya menuju Laut Arafuru. Wilayah yang berada di sebelah barat garis ini berpotensi bisa mengamati hilaal meski dengan persyaratan tertentu (yakni dengan cuaca cerah mendekati sempurna, pengamatan menggunakan alat bantu optik dan dilaksanakan oleh pengamat yang berpengalaman). Sehingga hilaal berpotensi terlihat di seluruh wilayah Indonesia kecuali di sebagian kecil propinsi Papua (yakni daerah Jayapura dan sekitarnya). Sementara tinggi hilaal di seluruh wilayah Indonesia memiliki rentang nilai antara 4o hingga 6,5o 25
0 -25
0
25
-25
selatan
utara
Gambar 2 Bentuk sabit hilaal menurut model visibilitas RHI
Gambar 2 menunjukkan bentuk Bulan jika dilihat dari salah satu titik pengamatan di Indonesia yakni kota Yogyakarta (DIY) yang memiliki elevasi 114 m dpl. Nampak Bulan memiliki panjang sabit 49o dengan bentuk melengkung ke arah selatan. Bulan akan terbenam dalam 26 menit setelah terbenamnya Matahari sehingga memenuhi definisi hilaal. Jika kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi, hilaal akan nampak 6 menit setelah terbenamnya Matahari jika dilihat dengan alat optik dan baru bisa dilihat dengan mata telanjang dalam 24 menit setelah Matahari terbenam. Sehingga hilaal hanya bisa dilihat dengan alat bantu optik. Bandingkan dengan berikut : 25
0 -25
0
25
-25
selatan
utara
Gambar 3 Bentuk sabit menurut model visibilitas RHI dalam 24 jam pasca fenomena dalam gambar 2
yang menunjukkan bentuk Bulan dilihat dari lokasi yang sama namun pada 24 jam berikutnya (atau tepatnya Rabu 18 November 2009 saat Matahari terbenam). Saat itu Bulan terbenam 78 menit setelah terbenamnya Matahari sehingga sebenarnya sudah berada di luar definisi hilaal. Bulan akan memiliki elemen panjang sabit 153o. Jika kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi, Bulan sabit ini akan nampak 14 menit sebelum terbenamnya Matahari dan baru bisa dilihat dengan mata telanjang 2 menit sebelum Matahari terbenam.
Halaman 3 dari 5
VI.
1 ZULHIJJAH 1430 H
Dari sisi rukyat, pada Selasa 17 November 2009 dipastikan hilaal berpotensi teramati di seluruh wilayah Indonesia terkecuali sebagian Papua karena probabilitasnya di antara 50% dengan75 % 8. Sementara dari sisi hisab, dengan menggunakan sistem hakiki bittahqiq (kontemporer) yang berlandaskan pada model visibilitas RHI, di seluruh wilayah Indonesia nilai visibilitas hilaal sudah berada di atas batas model visibilitas hilaal RHI. Dengan demikian disimpulkan, bahwa 1 Zulhijjah 1430 H akan dimulai pada Selasa 17 November 2009 saat Matahari terbenam. Atau dalam bahasa yang lebih umum, 1 Zulhijjah 1430 H bertepatan dengan Rabu 18 November 2009. VII.
PETA HILAAL TUA
Hilaal tua merupakan istilah untuk Bulan dalam fase sabit yang identik dengan hilaal, namun terjadi sebelum peristiwa konjungsi dengan sifat yang terbalik, yakni hanya bisa dilihat sebelum terbitnya Matahari. Hilaal tua tidak memiliki implikasi legal sehingga tidak berpengaruh terhadap penentuan awal lunasi kalender Hijriyyah, namun dari sisi ilmu pengetahuan observasi hilaal tua sangat bermanfaat untuk memperkaya dan mempertajam pengetahuan tentang hilaal. Karena konjungsi terjadi pada Selasa 17 November 2009 pukul 02:14 WIB maka hilaal tua hanya bisa diobservasi pada Senin 16 November 2009 pada saat Matahari terbit. Peta hilaal tua untuk Indonesia merupakan peta dasar yang mengandung elemen tinggi hilaal tua. Peta disusun dengan aloritma Jean Meeus untuk elevasi permukaan laut rata–rata (0 m dpl), dalam kondisi toposentrik (mar’i) dengan memperhitungkan refraksi atmosfer (untuk tinggi hilaal) namun nir–atmosfer (untuk visibilitas RHI). 10
9
8
10
6 4
Lintang
2
0 -2
-4 -6 -8
-10 -12 95
100
105
110
115
120
125
130
135
140
Bujur
Gambar 4 Peta Garis Tinggi Hilaal Tua
Pada gambar 1 di atas garis hitam tak terputus mewakili garis tinggi hilaal tua, yakni garis yang menghubungkan titik–titik dengan ketinggian hilaal tua yang sama pada saat terbitnya Matahari. Nampak bahwa tinggi hilaal tua memiliki rentang dari 9o hingga 10,5o.
8
Hilaal bisa diobservasi pada kondisi yang paling ekstrim jika probabilitas visibilitasnya minimal 50 %, dengan menggunakan alat bantu optik dan membutuhkan kondisi langit yang sempurna (cerah sekali). Halaman 4 dari 5
VIII.
POTENSI VISIBILITAS HILAAL TUA 25
0 -25
0
25
-25
utara
selatan
Gambar 5 Bentuk sabit tua menurut model visibilitas RHI
Gambar 5 menunjukkan bentuk Bulan jika dilihat dari salah satu titik pengamatan di Indonesia yakni kota Yogyakarta (DIY) yang memiliki elevasi 114 m dpl. Nampak Bulan memiliki panjang sabit 110o dengan bentuk melengkung ke atas. Matahari akan terbit dalam 45 menit setelah terbitnya Bulan sehingga Bulan sebenarnya masih dalam kondisi Bulan sabit tua atau berada di luar definisi hilaal tua. Jika kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi, Bulan sabit tua ini akan mulai tidak nampak 14 menit sebelum terbitnya Matahari bila diamati dengan mata telanjang namun masih bisa dilihat hingga 1 menit setelah Matahari terbit jika menggunakan alat optik. Sehingga Bulan sabit tua bisa dilihat baik dengan mata maupun dengan alat bantu optik. IX.
KESIMPULAN
1 Zulhijjah 1430 H akan dimulai pada Selasa 17 November 2009 saat Matahari terbenam. Atau dalam bahasa lebih umum, 1 Zulhijjah 1430 H bertepatan dengan Rabu 18 November 2009. Disiapkan oleh Muh. Ma’rufin Sudibyo, koordinator RHI wilayah Kebumen, Jawa Tengah.
Halaman 5 dari 5