1. The Very Winchester Ramadhan By. Deanloves ’Klutak - klutik – klutak - klutik’ Samar-samar Dean Winchester mendengar suara piring dan sendok beradu dari arah luar kamar, di tengah tidur malamnya yang lelap. Insting pemburu Dean langsung terbangun. Diraihnya pisau belati yang tersimpan siaga di bawah bantalnya dengan memasang telinga tajam-tajam. Diliriknya jam di tangannya. Masih pukul 3:30 pagi. Ditengoknya tempat tidur di sampingnya yang seharusnya ada adiknya tidur di sana. Tapi tidak ada. Sam tidak ada di tempat tidurnya. Dean langsung bangkit dan mengendap-endap tanpa suara keluar dari kamar. Ruang tengah terlihat terang benderang, dan semakin jelas bunyi piring dan sendok beradu. Dean harus tertegun melihat sosok Sam sedang duduk di meja makan menikmati sarapan subuhnya. ”Sammy?” Dean terheran. Sam mendongak dan tersenyum. ”Ngapain kamu, subuh-subuh makan?” Dean seraya memasukkan belati kesayangannya ke dalam saku celananya. ”Sahur, Dean, hari ini, hari pertama puasa,” Sam menyahut dengan ringannya. Dean sempat tertegun. Sahur? Puasa? Dan teringat, ’Eh, iya, hari ini Ramadhan hari pertama.’ ”Kamu mau puasa hari ini?” Sam hanya mengangguk. “Nggak takut laper?”
”Kan udah sahur, jadi nggak laper nanti.” Dean terdiam sesaat, dan mengangguk. ”Mau puasa juga, Dean? aku sisain kentang goreng sama telur mata sapi satu lagi, kalau kamu mau puasa juga.” Dean tersenyum jengah. ”Oh, gampang, aku nggak perlu sahur kalau mau puasa.” Sam terdiam melihat abangnya. ”Sahur itu sunah lho, satu paket sama puasanya sendiri.” Dean hanya tersenyum tipis, semakin jengah. ”Aku tidur lagi, ya...,” seraya berbalik kembali ke kamar. ”Puasa nggak, Dean?” ”Insya Allah!” seru Dean kembali ke tempat tidur. Pikirannya kembali pada Sam, adik satu-satunya yang amat disayanginya. Ada perasaan bangga di sana. Umurnya baru 10 tahun, tapi dia sudah menyadari kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Sementara Dean sendiri, di umur yang sudah 14 tahun, entah baru berapa kali ia puasa di bulan Ramadhan. Shalat aja, jarang-jarang, apalagi puasa. Tapi adiknya memang beda. Entah dipaksa oleh siapa, tapi Sam sudah mulai shalat dari umur 7 tahun dan belajar puasa ramadhan secara penuh. Dengan pekerjaan ayahnya yang seorang pemburu hantu dan sering bersinggungan dengan hal gaib, ayahnya memang sering membekalinya dengan nilai-nilai agama, tidak hanya Sam tapi Dean juga. Hanya saja, yang bisa menempel cuma pada Sam. Dean masih menganggap shalat dan puasa hanyalah ritual biasa, yang akan dimaklumi meski tidak menjalankannya. Toh, dia tidak berbuat jahat pada orang lain, itu sudah jadi pahala buat Dean. 2
2. I Know Why the Caged Bird Sings By. Etha M.R Pernah nonton film menye-menye di mana orangtua menatap anaknya dan berkata, "tidak terasa, kau sudah besar. Waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin kau terlahir"? Menurutku, itu sangat konyol. Butuh waktu belasan tahun dari seorang bayi dalam selimut untuk menjadi orang dewasa yang siap membuat bayi sendiri. Bisa-bisanya para orangtua dalam film itu tidak merasakan jalannya hari! Yah, kecuali mereka dikutuk jadi patung atau apa segera setelah bayi mereka lahir, dan baru dibebaskan dua puluh tahun kemudian, maka kurasa tidak mungkin mereka akan buta terhadap perkembangan anak mereka. Begitulah pendapatku. Setidaknya, sampai sebelum Sam memutuskan untuk pergi ke Standford. Rasanya baru kemarin Mom menggendongku untuk mencium Sammy kecil yang tertidur. Rasanya baru kemarin aku mengajari Sammy mengikat tali sepatu. Rasanya baru kemarin aku menggendong Sammy di pundak, memuaskan rasa penasarannya tentang apa yang ada di bagian atas lemari. Dan sekarang aku berdiri di depan Impalaku, menatap pemuda jangkung yang membawa ransel besar menggembung. Sammy mengalahkan tinggiku sejak dua tahun lalu. Tidak bisa lagi dia memakai baju warisanku – lagipula, selera pakaian kami sekarang beda. Sam lebih suka baju warna-warni yang melihatnya saja aku sudah malu. Dia juga tambah keras kepala, selalu mendebat apa yang dikatakan aku dan Dad. Puncaknya hari ini, ketika ia 3
berdebat sengit dengan Dad. Perdebatan yang tidak bisa kuhentikan. Perdebatan yang membawa kami ke sini. Perdebatan yang membuktikan bahwa Sam sudah dewasa.
3. DEMON's CHAIN By Lizzy Sullivan Winchester Huntington beach, california June 16th, 2006 “Hahaha.. i’m the god of gambler” Dean sumringah menghitung uang ditangannya. Sam hanya bisa menarik nafas melihat tingkah kakak nya yang kekanak – kanakan. “Watch that face, Sammy. It’s annoying.” Dean menyadari ekspresi adiknya itu “Mau sampai kapan kau terus menipu mereka, Dean? Tak biasakah kita mencari cara lain untuk mendapatkan uang?” “How?? Apa kita harus memungut tarif untuk setiap demon yang kita excorcist? Dan bilang ‘anytime you need a help to kick supernatural’s creature just contact us in o800-winchester’ ?dont be silly.” “But..” “Case close. What have you got Sam?” Dean memotong pembicaraan adiknya. “I cant find any sign of Dad’s location but i got this. Here, help yourself. I’m gonna ask for a beer.” “Make it two Sammy.” Tepat sebelum Sam beranjak ke meja bartender. 4
“ANOTHER DEADLY CRASH HAPPENT. MARCO AND SUSAN MCGUIRE DITEMUKAN TEWAS TAK BERNYAWA SETELAH MOBIL MEREKA DITEMUKAN DITENGAH LINTASAN REL 999 SEKITAR 1 KM DARI PINTU REL. H.B.P.D MASIH BELUM DAPAT MENEMUKAN APA YANG MENYERET MOBIL TERSEBUT HINGGA SEJAUH ITU MENGINGAT REL INI SUDAH TIDAK AKTIF SEJAK TAHUN 1970. SEORANG SAKSI YANG MELINTAS SEKITAR PUKUL 00.06 SEMPAT MELIHAT BUS BIRU YANG TERLIHAT TUA MELINTAS SEBELUM KECELAKAAN ITU TERJADI. AND RIGHT AFTER, HE HEARD A VERY LOUD HONKS HONKING. NAMUN B.H.P.D MASIH BELUM DAPAT MENEMUKAN JEJAK BUS DAN KERETA TERSEBUT” “Alright, what’s your theory Sam?” “Honestly, i still dont know what happend. This city has a very strong protection for their secret files. I still cant figure the pass out.” “Huh, seroiusly? Where’s that smart ass gone?” “Shut up, Dean.” “Grumpy Bitch” “Annoying Jerk.” Balas Sam tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop nya.
5
4. DUCT TAPE By. Oryn "Lakban." Jawaban satu kata atas pertanyaan "kamu butuh apa lagi, Dean, mumpung aku mau keluar belanja" yang barusan dilemparkan Sam itu cukup melenceng dari maksud si penanya. Sam yang tengah menyortir pakaian habis dicuci menjadi dua tumpukan berdasarkan pemiliknya mengangkat dan memalingkan kepala ke arah kakaknya. "Lakban?" Sam membeo. Dean mengangguk. "Cuma itu?" Satu anggukan lagi dari Dean. Sam menarik sebelah sudut bibirnya ke dalam. "Maksudku, apa kamu mau makanan yang lain? Agaragar, sup dengan merek berbeda atau apa?" Dean mengedikkan bahu. Terserah kamu saja, itu tersampaikan dengan jelas. Lagipula, untuk apa beli beraneka ragam dan bentuk makanan? Toh, semua itu sama saja rasanya buat dia. Sama-sama pahit di mulutnya dan mengiris kerongkongannya yang sensitif. "Puding coklat?" tawar Sam, masih belum menyerah. Terdengar menggiurkan, pikir Dean. Tentu saja kalau dia sedang sehat. Sebetulnya dia ingin sekali makan pai, tetapi dia juga tak mau santapan favoritnya itu nanti terasosiasikan dengan trauma sensasi menyakitkan jika dia mencoba menelan kulit pai yang kering dalam kondisinya sekarang. Dean menggeleng. Ekspresinya berubah komikal sewaktu dia buru-buru meraih ke samping, menjambret sehelai tisu dan membersit hidung kuat-kuat, menimbulkan suara 6
yang mengingatkan Sam pada raungan gajah. Dengan murah hati Sam mendekatkan tempat sampah ke bawah ranjang Dean, tisu itu mendarat di sana dalam bentuk gumpalan. Dean mendehem beberapa kali, seperti orang hendak mencoba mikrofon, dalam hal ini dia mengetes pita suaranya. "Pokoknya lakban," dia berucap, suaranya kasar seperti amplas dan turun beberapa oktaf. Sam mengingat-ingat. "Bukannya kita masih punya satu gulung?" sanggahnya. "Setengah," tukas Dean, menelan ludah. "Itu cukup, kan?" "Tidak," balas Dean, terdengar sengau kini dan dia mencabut sebuah inhaler dari sakunya, menempatkan benda itu di depan satu lubang hidungnya dan menghirupnya dalam-dalam. "Lakban, kan tidak mendesak, Dean," Sam berucap, memindahkan masing-masing tumpukan pakaian ke dalam dua buah ransel. "Uh-huh," gelengan kepala Dean dibarengi goyangan telunjuknya. "Kau tahu, di buku manual NASA..." "Iya, iya," potong Sam, sudah hafal benar ke mana argumen kakaknya akan menuju. Dean biasanya mengoceh bahwa dalam lakban disebut secara khusus dalam buku manual astronot NASA. Sam bakal menimpali dengan penggunaan lakban dalam buku itu bertujuan untuk mengikat astronot yang tiba-tiba mengalami gangguan jiwa dan perlu dikendalikan. Dean kemudian membalas dengan menyebutkan beberapa kasus kerusakan pesawat NASA di mana lakban memegang peran vital dalam mengatasinya dan Sam 7
akan tersenyum memperturutkan kalau sudah sampai di sana. Kali ini Sam tidak tega membiarkan debat lawas itu berjalan pada saat Dean mestinya mengistirahatkan tenggorokannya. Hasilnya juga senantiasa sama saja, kenapa harus berdebat kalau begitu? "Oke, akan kubelikan nanti," putus Sam yang disambut seringai setuju Dean.
5. Heart Rate By Indah Cenz Winchesterlovers Suara hembusan nafas itu semakin berat dan tidak beraturan. Denyut jantung berdetak lebih kencang setiap detiknya. Pandangan yang kabur, rasa sakit di kepala dan tubuh yang begitu lemas. Dada yang terasa sempit dan berat membuatnya semakin sulit untuk bertahan. Dean terus berjalan pelan bertumpu di sepanjang dinding yang ada. Lorong yang begitu gelap membuatnya semakin sulit untuk keluar dari tempat itu. “Sam….” Rintihnya sambil terus berjalan pelan. Keringat Dean terus berjatuhan yang membuat seluruh badannya basah. Dean terus berusaha berjalan sekuat tenaga. Dan tepat di hadapannya terbentuk segiempat yang memancarkan cahaya. Dan ada sosok yang tidak asing baginya. Sosok orang yang dia hormati, sayangi. Yeah, ayah.. “DDEEAANN……” Suara itu teraung di otak Dean dan segejap seseorang menghampirinya dan menangkap tubuh Dean dan beberapa detik kemudian Dean pun tak sadarkan diri. ***SPNSPN*** 8
6. Personal Crusade By Regal Deanna Winchester
1. Sam's Leaving John's POV Dawn was already breaking when I returned to No-Tell-Motel where me and my boys had been staying for the last couple of days. Did I say 'my boys'? Then I'd have to re-phrase it again. My BOY, just one boy. And I didn't really want to think about it. Life was way too short for us to just sit around, mourning and grieving for our lost. I've done enough with my beautiful wife, Mary. Running on empty, being fueled only by anger, and desperate intention for revenge. To say I was drunk, was an understatement. I was completely wasted. Because I didn't want to feel it. I didn't want to remember it. The screaming match, the accusations, the words spoken in anger, the pointing thing, it was hurting me too much. More than I could bear, for my heart was long broken already. Sammy, my baby boy, wanting a 'normal' life. An apple pie and white picket fences life. A life I once had, a life he should've had, if that Demon didn't come strolling into our life and killed my sweet Mary. And robbed Dean out of his innocence. Dean... He took Sam's leaving pretty hard, though he wouldn't admit it. 9
There, he was standing in front of me. My good little soldier. The lost look on him suddenly made me wanted to lash out. Damn it, the harder I tried to bury it the stronger my wanting to kill something. "Dad?" He was sounding tentative, almost scared, or lost. And I snapped. "IT was all your fault," "What" "His leaving," and I could see the light died down from those eyes. "it was all your fault" And I've lost both of my boys to my mouth. I drove one away, and I killed the other one.
7. All You Can Eat By RED_dahLIA Published at FF.net 27 February 2010
Genre : Horror, Rating : M
Ottoville, Ohio. Tak ada yang terbersit di benak sherrif Cameron McDoughlas hari itu. Bahkan juga terkait dengan kasus yang baru saja terjadi dua hari yang lalu. Pagi yang berawan di awal musim gugur dan ada indikasi akan segera terjadi badai rupanya lebih perlu untuk dikuatirkan. Lagipula, sebenarnya memang tidak ada sesuatu yang terlalu menyolok dalam kasus kematian James Bradley. Sedikit keanehan, mungkin. Tapi tidak semenyolok kehadiran dua orang agen FBI di kantornya 10
sekarang. Dua agen itu tipe pria flamboyan. Jas hitam dan dasi yang serasi, pikir Cameron. Namun penampilan dua orang pria muda itu sedikit mengesankan kalau mereka terlalu menarik untuk menjadi agen FBI. "Carl Morrison dan Steve Hendrix," kata seorang di antara mereka, sambil keduanya memperlihatkan lencana masing-masing. Apapun itu, batin Cameron agak jengah. Sherrif wanita itu tidak terlalu suka pada agen-agen rahasia pemerintah, dan ini sudah bukan rahasia umum lagi bagi sesama sherrif di kota itu. Kerja sama dengan agen rahasia pertama dan terakhir yang terjadi di sini tidak meninggalkan kesan yang baik di mata Cameron. Entah mengapa para agen itu selalu berusaha mengais semua yang bisa mereka dapat di kantornya secara arogan. Mereka selalu berpikir tugas mereka jauh lebih penting bagi negara dibanding para sherrif, pikir Cameron waktu itu. Karena itulah ia bertekad tidak ingin beramah-tamah dengan dua agen pria yang kini sedang duduk di hadapannya. "Tak ada indikasi teroris di kota kami," cetus Cameron kaku sebagai pembuka percakapan mereka. "Ottoville hanya didatangi segelintir orang, demikian pula dengan yang jumlah penduduk pendatang dan penduduk yang pergi. Rasanya sia-sia menjalankan metode yang kalian sarankan untuk menjaring teroris di sini. Tidak cocok dan kenyataan berkata demikian, sama seperti ucapanku dulu. Jangan tersinggung." Kedua agen FBI itu saling bertukar pandang, tampak agak kebingungan. Namun salah satunya, pria yang lebih muda, cepat menguasai diri untuk menjawab, "Kami
11
kemari bukan untuk alasan itu, ma'am. Kami sedang menyelidiki kasus James Bradley." Kening Cameron berkerut. Tugas FBI makin remeh saja, gerutu wanita paruh baya itu dalam hati. Sekarang mereka malah berusaha mencaplok kasus-kasus yang tidak berkaitan dengan keamanan nasional, yang biasanya membuat mereka tampak lebih penting dari aparatur negara lainnya.
8. The Real Hero By. NN
“Rise and shine, Sammy!” Sam mencoba mengumpulkan sebagian nyawanya yang masih terbawa mimpi, sedangkan Dean lagi aysik menggeliat meregangkan otot - ototnya. “Hantu gila kemarin benar-benar menguras seluruh tenagaku, untung saja korbannya seorang sexy dancer,” Dean tertawa girang membayangkan kejadian semalam. Sam hanya menepuk dahi dan bergegas ke kamar mandi. Tiba-tiba pintu motel di daerah Vancouver itu diketuk beberapa kali. Dengan malas, Dean segera membuka pintu yang ternyata terkunci. Dean melihat sekeliling dengan teliti mencari kunci terkutuk itu. Dan dia mendapati kunci tersebut tengah bersantai di atas nakas tempat tidur Sam. “Oh, bitch!” Dean berjalan sambil komat-kamit dan mengeluarkan sejumlah kata-kata yang sebaiknya tak 12
diucapkan anak underage. Tapi sayangnya Dean memang sudah dewasa walaupun sikapnya sedikit kekanakan, jadi dia tetap melanjutkan komat-kamitnya sambil meraih kunci tersebut. Setelah memutar kenop, Dean mengernyit menatap seseorang lelaki yang berdiri di hadapannya sekarang. “Benarkah Winchester Brothers tinggal di sini?” “Ya, benar.” “Apakah kamu Dean?” Dengan kesal Dean menjawab dengan jawaban yang sama. “Wah, ternyata lebih tampan aslinya.” Dean jadi senyum-senyum sekarang. Lelaki itu melanjutkan, “Syukurlah akhirnya ketemu juga. Huh, mencari tempat tinggal kalian itu yang paling susah. Aku sampai berkeliling ke berbagai kota. Ya aku tahu kalian kan tinggalnya berpindah-pindah, jadi aku....” “Ya aku mengerti. Sekarang apa tujuanmu ke sini?” Dean segera memotong pembicaraan sebelum dia mematung di sana. “Oh iya, aku mau mengantarkan undangan.” Lelaki itu mengambil sebuah kertas di tasnya kemudian menyodorkannya pada Dean. “Ini dia.” “Undangan?”
13