20 USKUP YANG BAIK HATI Kumpulan Refleksi atas Penggembalaan Mgr. Julianus Sunarka, SJ Sembah nuwun mring Sri Yesus Gusti Awit kersa maringi kawula Pangen kang yekti rumaket Monsinyur Yulianus Pribadi kang prasaja jati Satemah sagung umat Tinuntun Ma’ Luhur Kawula minangka umat Atur pepuji Rama Sunarka mugi Tansah manggihi begja Bapak Uskup yang terkasih, tembang dhandhanggula tersebut adalah ungkapan terimakasih kami atas penggembalaan Bapak Uskup selama 16 tahun di Keuskupan Purwokerto. Sebagian dari kami, para imam praja KP membuat refleksi atas penggembalaan Bapak Uskup. Berikut tulisan-tulisan kami:
1.
Sembah Nuwun Monsinyur Narka Oleh: Ag. Handi Setyanto, Pr Aku bertemu pertama kali dengan Rama J. Sunarka, SJ pada tahun 2000 saat aku masih di TOR Jangli Semarang. Waktu itu beliau sudah menjadi Uskup terpilih dan akan menerima tahbisan Uskup pada tanggal 02 September 2000 di Purwokerto. Aku sangat terkesan akan kepemimpinan beliau. Sampai kapanpun, aku akan mengenang beliau. Sungguh, beliau adalah pribadi yang:
1.
Sederhana: Kesederhaan ini patut kusebut pertama kali. Iya, beliau sangat sederhana, ugaharinya betul-betul teruji. Kesan ini muncul saat aku berkunjung ke rumah beliau di Klepu. Rumah beliau sangat bersahaja. Mobil dinas, sejak beliau ditahbiskan sebagai uskup sampai paripurnanya hanya satu: Corrola Biru. Ketika ditawari untuk ganti mobil, beliau tidak mau. Beliau bahkan senang naik kereta api dan lebih memilih naik bus umum. Beliaulah yang membuat kebijakan tentang mobil pastoran, bahwa mobil para romo tidak boleh lebih dari harga Avanza atau Ertiga.
2.
Kebapaan: beliau adalah pribadi yang merangkul semua imam dan umatnya sebagai anak-anak yang sangat dikasihi.
3.
Positive-thinking: Mgr Narka adalah pribadi yang sudah nyaman dan aman dengan dirinya sendiri sehingga dia tidak mudah berpikir negatif. Dia sungguh lepas bebas dan merdeka. Dia juga dikenal sebagai “Uskup yang baik hati.”
4.
Menganggap penting orang lain: ini ditunjukkan dengan kebiasaan beliau menyebut nama orang-orang di depan umum, misalnya dalam Ekaristi, dia mengenalkan imam-imamnya kepada umat.
5. Merakyat: Beliaulah uskup yang paling merakyat. Beliau tidak pernah “jaim.”
Bicara “saru” dalam rangka humor pengusir ketegangan pun dia katakan dengan ringan.
6.
Visioner: Mgr. Narka sangat visioner dan membawa Keuskupan Purwokerto
kepada kemajuan. Karena beliau, Keuskupan Purwokerto dikenal. Karena beliau, imam-imam praja diperhatikan dan mendapat peran. Karena beliau juga, Keuskupan Purwokerto jumlah parokinya bertambah banyak.
7.
Hidup rohani yang mendalam: Keenam ciri tersebut landasannya adalah kerohanian yang mendalam. Mgr. Narka adalah sungguh-sungguh pribadi yang “menep”.
Secara pribadi, aku dekat dengan Mgr. Sunarka, mungkin karena kesamaan hobby yakni kesenian dan kebudayaan Jawa. Sejak aku masih frater, beliau sangat perhatian dengan hobbyku. Beliau mengatakan: “tidak cukup kalau jadi romo hanya bisa bilang ‘Tuhan sertamu.’ Jadi Romo harus mempunyai keterampilan lain yang membuat dia menjadi romonya semua orang, bukan hanya romonya orang Katolik.” Aku menyambut baik kata-kata beliau. Ketika aku mengungkapkan bahwa aku mempunyai passion terhadap kebudayaan Jawa, Mgr. Narka sangat senang dan mendukung. Sejak itu ada “klik”, ada perasaan dipercayai dan mempercayai. Mgr. Narka sangat mendukung karya pewartaan dengan Wayang Wahyu yang kudirikan di Kroya. Atas dukungan beliau, aku bekerja dengan “passion.” Aku diutus beliau untuk mengangkat Wayang Wahyu yang kugeluti ke ranah akademik. Untuk itu aku diutusnya kuliah di UGM, mengambil program studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Terima kasih Monsinyor Narka, jasa-jasamu begitu besar untuk kami. Selamat menikmati masa pensiun. 2. “ANCER AYOM”: Sharing untuk Bp Uskup J. Sunarka, SJ Oleh: Ag. Dwiyantoro, Pr
Beberapa waktu menjelang tahbisan imam, saya dengan Romo Suraji pada waktu itu sempat menanyakan tentang agenda/waktu tahbisan imamat, setelah terpilih Mgr Julianus Sunarka SJ sebagai uskup diosesan Purwokerto. Tahbisan imamat direncanakan pada tanggal 9 Agustus 2000. Sedangkan tahbisan Uskup dilaksanakan sesudahnya (bulan September). Apakah tahbisan imamat tahun 2000 akan dilaksanakan setelah tahbisan Uskup atau bagaimana? Pada waktu itu memang sudah ada harapan bagi kami berdua untuk menerima tahbisan dari Mgr I Suharyo sebagai pilihan kami sewaktu masa Keuskupan dengan administrator diosesannya. Namun dalam hati kami berdua, akan sangat membahagiakan pula bila menerima tahbisan dari tangan uskup Diosesan sendiri, setelah mengetahui terpilihnya Mgr J Sunarka SJ sebagai Uskup Purwokerto. Namun keputusan dijalankan sesuai dengan yang telah dipersiapkan. Akhirnya pada tanggal 9 Desember 2000, saya menerima tahbisan imamat dari Mgr I Suharyo dengan didampingi (co-celebran) Mgr. J. Sunarka dan Rm Paulus Sigit Pramudji. Rasa syukur yang boleh saya terima atas sakramen imamat saya persembahkan pertama kali dalam ekaristi pagi hari setelah tahbisan imamat. Pada waktu itu ekaristi dihadiri oleh dua orang uskup. Sungguh membuat saya grogi sehingga bagian renungan yang saya siapkan berantakan. Speechless, bergetar suara tanpa kemantaban. Bagian saya adalah menyiapkan renungan, sementara bagian yang memimpin liturgi sebagai selebran utama adalah Rm. Suraji. Tidak berani menatap ke umat, apalagi tahu ada Bapak Uskup di situ. Deretan kata-kata yang sudah saya tuliskan tampak kabur, tidak terbaca dengan jelas. Tambah berantakan lagi saat pokok renungan yang saya ambil dari bacaan berbeda dengan yang dibacakan dalam liturgi ekaristi hari itu. Saya menyiapkannya berdasarkan bacaan harian, sementara petugas dan bacaan yang diatur diambil dari peringatan orang kudus. Namun ungkapan yang melegakan saat sarapan ketika bp Uskup mengatakan, “Terima kasih romo atas ekaristinya.” Itu kata-kata Mgr. Suharyo. Sementara Mgr. Narka mengatakan, “Apik...apik....wis apik...ndang madhang kene.” Itu pengalaman pertama saya memimpin ekaristi. Namun dalam perjalanan
ada suatu wejangan agar menghidupi rahmat imamat dengan “menyiapkan ekaristi” dengan sebaik-baiknya seperti menyiapkan kotbah, menyiapkan misa, ikut setia pada pimpinan romo parokinya, dsb. Sungguh di luar harapan saya ketika menerima penugasan pertama di paroki yang saya anggap “asing”. Sebab selama formasi, saya membayangkan keterlibatan Gereja partikular seperti di paroki-paroki Purwokerto, Purbalingga, Kebumen, Pekalongan, Slawi, Gombong, Wonosobo, dsb. Bayangan masuk paroki Stevanus Cilacap menjadi perjuangan tersendiri. Selain dalam komunitas campur (dengan OMI) juga gaya pastoralnya. Bisikan untuk tugas pertama di Paroki Stevanus sudah saya dengar sebelum tahbisan. Tentu dimaksudkan agar saya siap-siap, terutama batin saya. Maka ketika tahbisan diumumkan penugasan/SK sambutan tepuk tangan tidak semeriah pengumuman dari rekan saya. Wejangan pertama itulah yang saya jalankan. Setiap kali menyiapkan ekaristi sebaik-baiknya, dst. Kendati setelah perjalanan 16 th imamat ini, masih saya alami pergulatan untuk “tukang misa” atau “pelayan misa”. Awal-awal selalu rajin menulis renungan. Apalagi belum banyak tugas khusus yang diamanatkan maka masih bisa berkonsentrasi untuk dapat membiasakan diri dengan pelayanan Ekaristi. Namun seiring waktu catatan dalam buku renungan juga tidak pernah sampai habis satu buku. Malah kerap terjebak dalam pandangan kotbah spontan membuat pesan sabda lebih hidup. Namun pencarian semangat dan kuasa Roh Kudus memberi bentuk yang lebih nyaman di akhir-akhir ini. Penugasan “jadilah imam yang rajin” ternyata melampaui batas nyaman. Selain dalam komunitas baru, dinamika penugasan dengan konsentrasi ke pelosokpelosok menjadi prioritas menebar Injil. Hasil “blusukan” sebelum ditahbiskan sebagai Uskup, memberi “ancer” yang jelas. Gereja tumbuh di komunitas kecil, stasi dan pelosok. Manjing ajur ajer, nggetih, mangrasul, wiwéka, biji sesawi berkualitas bagi masyarakat sekitar harus menjadi jiwa Gereja. Pemetaan kua personalia umat katolik dibandingkan dengan umat beriman lainnya yang hanya 0.09%, didukung dengan kesiapan personalia imam, terutama imam diosesannya. “Taman bunga” pastoral Keuskupan, itu menjadi lukisan yang hangat dan tumbuh di awal penggembalaan Bapa Uskup. Ada suatu lompatan yang besar, supaya imam tinggal di stasi-stasi dan menemani kehidupan iman umat agar mencapai kemandirian. Potensipotensi komunitas umat beriman diberdayakan menjadi paroki. Pastoral pedesaan menjadi prioritas. Rintisan paroki pedesaan, tarekat yang berkarya dengan kekhasan opus propria masing-masing, dan kualitas hidup imam menjadi dambaan. Pastoral “blusukan” menebar kasih Kerajaan Allah menjadi kekuatan. Dengan gaya kebapakan dan kesederhanaan, terasakan menjadi dekat dengan kawanan domba. Tidak ada garis batas formal dalam relasi dengan umat dan imamnya. Saat mau merayakan ekaristi Krisma di stasi itu, suatu krisma yang jarang dilakukan karena selalu terkonsentrasi di paroki pusat, pengurus stasi sempat gelagepan untuk menyiapkan tempat, termasuk kelengkapan dekorasi. Seperti layaknya foto presiden dan wakil presiden, berhubung di stasi di mana saya tinggal waktu itu, dan di ruang pertemuan sederhana serta sempit, tidak ada foto bp Uskup, maka pengurus akan menggunakan foto Bapak Uskup di rumahnya agar dipasangkan di ruang pastoran. Ini terjadi 3 jam sebelum ekaristi. Saya lalu menyampaikan supaya tidak perlu ada foto Uskup kalau foto tersebut “hanya pinjaman” (setelah acara diambil lagi). Saya yakin pada waktu itu foto bukanlah yang utama dan tidak akan ditanyakan kenapa tidak ada foto. Meski sempat terjadi sedikit beda pendapat maka pastoran menjadi apa adanya. Tidak disulap indah, namun setelah acara selesai, kembali berantakan atau apa adanya seperti semula. Yang apa adanya ini malah akan mengesan. Itu keyakinan saya. Nyatanya dalam acara ramah tamah dan wawan hati setelah perayaan Krisma tersebut juga tidak ada singgungan berkaitan dengan aksesoris pastoran tersebut. Yang ada tentu saja harapan-harapan dan impian-impian agar stasi makin mandiri dan siap menjadi paroki. Pastoral “blusukan” ini juga yang menjadi daya tarik bagi calon-calon imam untuk bergabung dengan diosesan Purwokerto. Jumlah calon imam berkembang pesat. Tiap tahun menuai tahbisan imamat. Bagaimanapun pula gaya gembala menjadi faktor pendukung bagi calon imam. Saya sendiri sempat shock ketika memulai karya di lembaga pendidikan calon
imam ini. Merasa tidak punya modal dan kemampuan khusus, merasa hidup saya diatur oleh waktu dan bukannya mengatur waktu, serta terutama beban menjadi “panutan” atau contoh di semua aspek kehidupan imam yang khasat mata oleh para calon imam sungguh membuat tidak nyaman. Namun karena fungsi dan peran sebagai minister masih membuka pintu untuk membangun relasi dengan umat beriman dan keterlibatan dalam pelayanan di paroki dan komunitas pastores malahan makin menjernihkan misi panggilan imamat. “Bukan kamu yang memilih Aku melainkan Akulah yang memilih kamu dan kamu Kutetapkan supaya pergi dan menghasilkan buah dan buah itu tetap” (bdk Yoh 15:16) demikian gema motto atau nas tahbisan saya. Hal ini memang terasakan dalam kapasitas (ruang/tempat) sempit, mencintai keuskupan makin bergelora. Calon-calon imam makin dibawa pada pengenalan akan kekhasan Purwokerto. “Di mana hartamu di situ hatimu” menjadi refleksi atas spiritualitas imamat diosesan saya. Komitmen akan panggilan dan misi keuskupan yang “lahire sekang umat, gedhene sekang umat, gole berjuang bareng umat”, habitus dalam refleksi dan doa (termasuk ekaristi) serta kolegialitas (paguyuban para imam) menjadi tiga kunci menghayati imamat diosesan saya. Imam diosesan sebagai tulang punggung Gereja partikular sungguh diperhatikan baik penyiapan tenaga-tenaga agar berkualitas seperti studi lanjut maupun on going formasinya. Jumlah imam harus makin banyak dan berkualitas. Ini yang memang sempat menjadi pergulatan saya. Tetapi selalu didengarkan dengan baik, dari hati ke hati. Saya membuat suatu “bukti” dengan refleksi tertulis atas rencana penugasan studi lanjut saya. Gagap dalam penguasaan bahasa Inggris, ketidakjelasan lifecost dan scholarship studi serta peluang untuk menghayati imamat diosesan saya yaitu berkarya di paroki, sebab yang pada waktu itu ada semacam anggapan “yang penting di paroki ada romo yang misa”, mendorong saya untuk memilih agar perutusan studi ditangguhkan. Dan ”bukti tulisan” dimengerti. Saya akhirnya mendapat tugas menggembalakan paroki St Petrus. Meskipun demikian, kualitas imam dengan tuntutan studi lanjut sempat menjadi pergulatan batin saya sendiri. Amat terasa lebih mengejar jumlah dibandingkan dengan perhatian akan kebutuhan penanganan pastoral. Benturanbenturan dalam penghayatan akan strategi pastoral tentu bisa mengendorkan semangat pelayanan. Termasuk refleksi atas pilihan kemandirian paroki yang kadang perlu persiapan lebih khusus dan kerap diandaikan. Amat saya alami dalam tugas penggembalaan di paroki Tyas Dalem. Saya baru bisa dua langkah sementara bp Uskup bagi saya sudah lima langkah ke depan. Saya baru bisa berjalan sementara bapak Uskup sudah berlari. Namun itulah semangat yang tidak boleh berhenti. Semangat yang mengobarkan diri untuk maju dan tidak puas diri. Saat mengawali penugasan di St. Petrus, pesan diamanatkan, “inventarisasikan persoalan-persoalan” dan temani umat. Sebab waktu itu pasca pembangunan fisik Gereja dan pastoran, dinamika umat amat berwarna. Termasuk masalah yayasan sekolah, dan kelompok-kelompok umat yang ada. Hal yang sama juga saya terima dalam bisikan agar Tyas Dalem “ditunggoni”. Dari paroki besar dengan dinamika (termasuk persoalan) yang besar pula ke paroki pedesaan yang jumlah umatnya kecil tetapi dalam dinamika yang besar memang membuat saya boleh bersyukur sebab diajak untuk mengenal lebih dalam rahmat tahbisan ini. Pengalaman menjadi pastor paroki dengan anggota komunitas yang berganti, telah menjernihkan makna Gembala: Gembala yang bisa menyatukan umat, dan mengakui ada kelemahan-kelemahan dalam berkomunikasi dengan umat, gembala yang lebih bisa membawa ketenangan dan penuntun domba ke kandang Gembala Agung. Gembala yang tidak hanya mengutuki kegelapan melainkan menyalakan terang, Gembala yang ambyur di tengah masyarakat, dsb. Dengan penugasan-penugasan yang telah dipilihkan dari kecermatan doa dan wiwéka ini, selalu saya temukan rahmat penyertaan Tuhan. Ada makna rohani yang selalu hidup dan mengalir. Seperti saat di Tyas Dalem, saya diperkenankan untuk mewujudkan kecintaan pada devosi Hati Kudus Yesus. Saya mencari bentuk doa yang melekat dengan spiritualitas hati Kudus Yesus dan mudah dilakukan oleh umat. Saya menemukan “rosario Hati Kudus Yesus”. Saya memohon agar mendapatkan imprimatur dan akhirnya memang mendapatkannya. Mungkin bapak Uskup sendiri
tidak mengingat lagi, tetapi ini menjadi gelora yang hidup dalam batin sampai saat ini. Kendati doa itu masih saya lakukan sebagai doa pribadi saya sendiri dan belum menjadi doa umat namun tetap pengalaman peneguhan atas apa yang saya gulati, membawa sukacita imamat. Bapak Uskup meneguhkan dan mendengarkan dengan hati para imamnya. Dalam pengalaman ini pula saya temukan hidup dan karya Yesus, dari mukjizat petama (perkawinan Kana) dan berakhir dalam penyerahan Yesus di salib-menjadi permenungan atas karya yang dipercayakan kepada saya. Tiga setengah tahun (3,5) th di Tyas Dalem ibarat hidup dan karya Yesus yang mengalir dari 7 Sabda-Nya di atas salib. Dua tahun terakhir sampai perjalanan 16 tahun imamat saya ini, berada di Purwokerto. Menghayati kehidupan keluarga Nazareth yang tersembunyi, tidak tampak menonjol, seperti Bapa Yosep yang rendah hati, sederhana dan taat pada kehendak Bapa. Dalam kehidupan umat beriman yang sudah mapan, dalam tata penggembalaan maupun harta benda dan administrasi, perjumpaan untuk mendapatkan penghiburan rohani dari iman tentu menjadi pilihan. Kini Bapak Uskup telah berpurna tugas setelah 16 tahun menggembalakan Keuskupan Purwokerto. Pengunduran dari dari jabatan Uskup telah dikabulkan oleh Vatikan. Jabatan Uskup memang bisa terhenti. Tetapi imamat tidak boleh terhenti. 16 th menggembalakan umat, tidak bisa menjadi patokan bagi saya bahwa saya juga sudah 16 tahun menjadi imam. Sacerdos aeternus, imam selamanya begitulah yang menjadi doa. Saya masih perlu terus berjuang untuk menghidupi rahmat tahbisan tersebut. Sebagai imam saya menemukan banyak pengalaman dalam berpastoral maupun dalam olah kerohanian umat. Juga dalam kehidupan manusiawi saya sendiri dalam keterlibatan tugas-karya dan dinamika personal maupun bersama umat. Bagi saya, tugas penggembalaan selama 16 th ini sungguh “nganceri” (memberi ancer-ancer, pedoman). Apa yang dihidupi dalam karya penggembalaan Gereja selalu membuat saya ingat pentingnya untuk “wiwéka”/diskresi. Spiritualitas Ignasian yang terpola dan jelas, tegas menjadi kiblat/”ancer” ini. “Empan wektu, empan papan, empan uwong” memuat kekuatan wiwéka ini. Dan bagi saya ini berakar dalam kehidupan doa yang dalam. Bapak Uskup menjadi panutan saya dalam menjalani spiritualitas kehidupan ini. Dalam “penerawangan saya” begitulah gaung dari dinamika wiwéka ini. Bapak Uskup sungguh “ngancer-i”. Saya sungguh bersyukur sebab menjadi imam boleh menemukan sosok spiritualis, kuat dan tajam dalam olah batin. Ini punya pengaruh besar dalam karya pastoral. Arah pastoral juga tajam, terfokus dan senantiasa dari data-data. Pada awal penggembalaan Bapak Uskup, saya merasakan kegembiraan ketika tahta suci menunjuk anggota Serikat Yesus menggembalakan umat Purwokerto. Ternyata itu sungguh memberi warna kehidupan umat. Kembali ke pola atau dasar misi, seperti biji sesawi, janda miskin, dan “blusukan’ sungguh diwarnai dari pengalaman mendalam akan penghayatan spiritualitas. Terimakasih Bapak Uskup, telah “nganceri” kehidupan dioesasan Purwokerto dan terutama bagi saya sendiri. Bagi saya juga, Bapak Uskup sungguh menjadi ayah yang baik. “Ng-ayah-i”, amat kebapakan, dengan setia mendengarkan dari hati ke hati, mengunjungi imamimamnya di semua tempat, memperhatikan kebutuhan anak-anaknya yang diperlukan, mengarahkan, dan menuntun. Salah satu pengalaman, sebagai imam muda yang bergulat dalam mencari identitas diri, penegasan dalam karya dan idealisme, saya senantiasa mendapatkan sapaan personal. Terutama lewat jejaring internet. Melalui milis, saya tetap mendapat peneguhan dan arahan. Setiap kegiatan yang dikisahkan selau mendapatkan tanggapan. Itu sungguh meneguhkan. Seorang ayah bagi semua anak-anak Tuhan. Selain itu, saya bersyukur sebab dalam penggembalaan ini Bapak Uskup menjadi pengayom. Bapak Uskup sungguh menjadi panutan dalam “ngayomi”. Pelindung bagi imam dan umat. Pelindung imamat manakala ada imam yang sedang goyah dan jatuh. Membuka pintu kerahiman dan kasih, kendati hal ini tidak mudah karena “kontraproduktif” dan membutuhkan tenaga atau daya luar biasa yang kerap menghabiskan tenaga itu sendiri. “Management resleting” tetap menjadi pergulatan Gereja dan dalam pengayoman, kasih kebapakan, bagi anak-anak Tuhan dalam
panggilan ini selalu memberi arahan. Dan tentu juga penggembalaan ini, tidak lepas dari “nguyahi”. Bapak Uskup senantiasa menggarami kami baik para imam maupun umat. Ajaran-ajaran dan wejangan-wejangan yang jenaka, polos, visioner, taktis, sungguh menjadi garam. Dalam tiap kesempatan, baik pertemuan atau perayaan, selalu ada pesan untuk berkualitas, seperti biji sesawi atau janda miskin dengan persembahannya. Dengan gaya khas “Banyumasan” Uskup Kecamatan, bapak Uskup dapat menjadi magnet bagi keberagaman. Kekhasan Jawa, literatur dan dasar arahan-arahan dalam dialog keilmuan serta pelayanan kesupranaturalan membuat kami, umat dan imam, merasa bahwa ini “nguyahi”. Berani tampil beda, “nyentrik” dalam gaya tentu membawa kabar sukacita bagi Gereja Keuskupan. Terima kasih atas panutan-panutan ini. Terimakasih atas pelayanan penggembalaan ini. Saya percaya bapak Uskup selalu menjadi pendoa bagi kami para imamnya. Sekali lagi terimakasih bapak Uskup “Ancer Ayom”. Mohon maaf bila sharing saya ini jauh dari sempurna dan telanjur polos-polos saja. Mohon maaf pula bila sebagai anak, saya kurang dapat menghormati Bapak Uskup sebagai ayah karena keteledoran dan kekurangan saya. Demikian sharing atau ungkapan hati saya. Berkah Dalem.
3. Refleksi Enambelas Tahun bersama Mgr. J. Sunarka, SJ Oleh: R. Suraji, Pr Refleksi ini saya tulis pada tgl. 1 Januari 2017 sebagai kelanjutan permenungan Hari Raya Bunda Maria sebagai Bunda Allah. Penetapan Maria sebagai Bunda Allah merupakan penetapan Gereja atas praktik penghormatan atau devosi yang sudah hidup di tengah umat. Penempatan Bunda Maria sebagai Bunda Allah ini berpijak pada dua hal: 1) peranan Maria dalam karya keselamatan Allah sebagai bunda Kristus Tuhan dengan segala konsekuensi yang harus dia tanggung. 2) kerinduan akan sosok feminin dalam kerohanian umat. Allah kita mengesankan Allah yang maskulin, apalagi dengan sebutan Bapa. Paham Allah yang maskulin berkaitan dengan budaya di mana tradisi keagamaan lahir, yakni budaya Timur Tengah. Sosok maskulin lebih menggambarkan kekuatan, keberanian, ketegasan, dan perlindungan. Tetapi secara negatif gambar Allah yang maskulin juga berarti kemarahan, hukuman, dan peperangan. Bisa dimengerti gambaran Allah yang maskulin itu nampak dalam penghayatan agama di Timur Tengah yang suka berperang. Sedangkan sosok Feminin lebih menggambarkan kelembutan, keibuan, kasih, dan kerahiman. Paus pada tahun 2016 mengeluarkan bulla Misericordiae Voltus di situ disertai lambang Mater Miserocordiae. Kerahiman lebih dekat dengan sosok ibu karena yang punya rahim itu wanita (ibu). Paus Fransiskus mengingatkan pentingnya bagi Gereja untuk memaafkan dan merangkul bukan menghakimi dan menghukum. Ketegasan hukum itu perlu tetapi lebih dibutuhkan bahasa yang tidak menghakimi, bahasa yang merangkul. Merefleksikan kebersamaan dengan Mgr. Sunarka selama 16 th dalam konteks permenungan di atas: Mgr. Sunarka rasaku lebih banyak menampilkan sosok Allah yang feminin. Menampilkan Bunda Maria yang merangkul. Mgr. Sunarka menunjukkan keibuan seorang uskup yang menerima anak yang hilang. Beberapa imam telah beliau terima walaupun dalam keadaan 'seperti seorang anak bungsu yang telah menghabiskan harta bapanya bersama para pelacur'. Beberapa imam mau bergabung
di keuskupan ini karena kerahiman Allah yang beliau tampilkan. Begitu penuh kasihnya beliau, sampai seorang imam mengatakan dengan sarkastik: "Mgr. Narka lebih maharahim dibanding Allah Bapa'. Itulah Mgr. Narka. Beliau telah nenghidupi Mesericordiae Vultus, menampilkan sosok Allah yang feminin. Dengan kerahiman itu beliau telah memperkembangkan keuskupan Purwokerto. Semoga kerahiman yang telah diajarkannya berkembang dalam diri kita semua sebagai penerusnya. Hening Griya, Hari Raya Bunda Allah, 2017. 4. Mgr. Narka, Pribadi yang Mengesankan Oleh: V. Suranto, Pr Setelah surat pengunduran diri Bapak Uskup resmi diterima Vatikan, saya mengikuti postingan foto bapak Uskup yang diupload oleh mas Sutri di dinding facebook. Ada foto beliau yang membuat diriku terhenyak dan berhenti lama untuk mengamatinya. Saya tertegun melihat foto itu. Sebuah foto yang mengisahkan bapak Uskup sedang meniup lilin di dekat patung Maria di kapel Heninggriya setelah misa tutup tahun 2016. Nice picture...I like it. Begitu “humble”. Uskup yang dicintai dan dikasihi oleh semua umat di Keuskupan Purwokerto itu berdiri dan meniup lilin misa satu-satu dengan hembusan kerendahan hati. Mataku yang tak berkedip menatap postingan gambar itu mengirimkan pesan kepada nuraniku, "Lihatlah! Uskup yang begitu rendah hati..." Di samping ada rasa kehilangan menggelayut di sudut hati terdalam. Sosok hebat ini akan meninggalkan Purwokerto yang telah beliau cintai. Dulu beliau berusaha mencintainya... dan kini setelah cinta itu bersemi dan tumbuh, beliau harus meninggalkannya. Semoga Gereja yang telah dicintainya tetap tumbuh menjadi pohon besar yang memberi keteduhan bagi orang yang sedang kepanasan. Mengenang pribadi Uskup yang begitu humble ini, aku terlempar ke waktu beberapa tahun silam. Ketika itu umur imamatku baru dalam hitungan 'bulanan', belum setahun imamat. Saya ditinggal sendirian di paroki Pemalang. Hanya bersama Br Boni, FIC yang baru datang untuk mengelola SMA milik paroki Pemalang. Rm. Hadisiswaya, MSC pergi ke negeri Paman Sam. Amerika (Illinois)..., negara yang tak terbayangkan jauhnya. Dan di saat menjelang keberangkatannya saya bertanya kepada beliau, "berapa lama Rm Hadi tinggal di Illinois?". Tanpa ekspresi beliau menjawab, "kalau mungkin... ya selamanya..!" Mendengar jawaban tersebut, aku 'gemeteran'. Tak bisa membayangkan apa jadinya nanti. Sendirian mengelola paroki dalam usia imamat yang masih belia. Aku masih membutuhkan figur beliau. Aku masih harus “nyantrik” pada imam yang berpengalaman dalam melayani sebuah paroki. Aku yang masih harus belajar banyak menjadi imam; kok tiba-tiba 'disapih'? Perasaan 'masih muda' menjadikan aku gamang dan takut untuk membayangkannya. “Bagaimana ini dan bagaimana itu” Menjadi pertanyaan yang memenuhi otakku. Maka melepas kepergian Rm Hadi ke Amerika, ada rasa gelisah yang menggelayuti jiwaku. Bukan suka cita, melainkan perasaan sedih yang dipenuhi rasa takut. Merasa sendirian...jan...sendirian betul. Br. Boni, FIC harus fokus memikirkan SMA PL St. Lukas yang baru saja diserahkan pengelolaannya kepada Bruder-bruder Maria tak bernoda itu. Dalam situasi tersebut, dua hari sepeninggal Rm. Hadi ke Amerika, Bp Uskup berkunjung di paroki pemalang. Siang hari yang menyengat itu menjadi teduh buatku. "Isih pada slamet..ta.?", sapaan beliau yang khas. "Pangestunipun Bapak Uskup....taksih.... bapak Uskup!", jawabku pada Bapak Uskup. "Pripun..., Rm Hadi siyos tindak..?", beliau bertanya. "Estu...Bapak Uskup. Kalih dinten kepengker, Rm Hadi tindak Jakarta. Samangke lajeng dateng Amerika.", saya menjelaskan. "Oooo...ngono...iya wis...ora papa! Romo dikancani Br. Boni dhisik yo..", beliau menanggapi. Saya hanya tersenyum. Siang itu sembari makan siang, saya mengungkapkan rasa khawatir dan takut saya. Perasaan 'masih culun' sebagai seorang imam, mengalirkan kegamangan untuk melangkah dan bertindak. Beliau menanggapi ungkapan perasaan saya, "Ikuti gerak dinamika umat dan dewan paroki. Cintai semua umat! Yen suster-suster ora padha
gelem bihten(mengaku dosa) mergane Romo isih enom...yo wis ora papa." Kunjungan singkat di siang itu memberi sentuhan dukungan yang luar biasa pada diri saya. Saya yang imam muda merasa punya bapak yang memberi dukungan. Nasihat bijak yang beliau sampaikan dengan nada guyon itu memberi setitik sinar keberanian dalam hati saya untuk melangkah sebagai imamnya. Rendah hati itulah yang beliau tawarkan sebagai landasan untuk melayani. Tetap mencintai semua umat dan jika cinta kita ditolak karena kelemahan kita...ya tidak usah sakit hati. Itulah nilai yang kupetik dari perbincangan siang itu. Kisah di atas hanyalah salah satu cerita kunjungan Bapak Uskup kepadaku. Padahal kunjungan beliau tidak hanya sekali dua kali. Bapak Uskup berkali-kali mengunjungi saya. Mungkin saya adalah imam yang sering beliau kunjungi. Dan kunjungan beliau selalu mendadak, tiba-tiba hadir. Maka beberapa kali beliau berkunjung ke paroki dan tidak ketemu karena saya sedang siesta, he he. Koster hanya mengatakan, "tadi Bapak Uskup rawuh saat Romo sedang siesta!" "Lho..kok saya tidak dibangunkan?", tanyaku. "Bapak Uskup tidak mengijinkan!!", kata kosterku. Sebenarnya malu saya mengatakan ini...tapi ya sudahlah..wong sudah terlanjur terkatakan. 5. NON MEA SED TUA VOLUNTAS - JALAN SUNYI SEORANG JESUIT Oleh: Yohanes Suratman, Pr Judul tulisan ini saya dapatkan dari sebuah media sosial dengan tampilan foto Mgr. Julianus Sunarka, SJ yang sedang meniup lilin di depan patung Bunda Maria di Kapel Susteran Heninggriya Baturraden. Judul tulisan itu saya kira memang tepat untuk menggambarkan kehidupan rohani yang menjiwai cara hidup, berpikir, bertutur kata, bersikap, dan berperilaku Mgr. Julianus Sunarka, SJ. Beliau adalah seorang uskup jesuit yang memiliki kehidupan rohani yang begitu mendalam yang ditampakkan dalam cara hidupnya yang sangat rendah hati, sederhana, merakyat, "ngayomi" dan sekaligus menyegarkan. Ada berbagai peristiwa yang mencerminkan kedalaman rohani beliau yang bisa kita simak dan yang bisa kita jadikan teladan dalam membangun kehidupan sebagai orang beriman. Pada suatu hari, saya mendapat tamu dari utusan Bupati Banyumas yang menanyakan kepada keuskupan mengenai acara "open house" Natal karena Bupati Banyumas ingin hadir dan mengucapkan selamat natal. Pada saat saya menanyakan acara "open house" ini, beliau dengan tegas berkata, "Tidak ada "open house", adanya "close house" karena saya pada setiap hari natal merayakan Ekaristi di stasistasi dan sesudahnya saya langsung menjalani retret pribadi sampai tanggal 3 Januari". Mgr. Julianus Sunarka, SJ tidak pernah absen untuk mengunjungi Bupati di Pendopo Kabupaten dan para tokoh pemerintahan serta masyarakat pada setiap hari lebaran. Beliau selalu menaruh hormat dan perhatian kepada orang lain dan hal itu selalu diutamakannya. Sementara kehormatan bagi diri beliau sendiri, tidak pernah dipikirkan apalagi diharapkannya. Momen istimewa dimana banyak orang memiliki kesempatan untuk menunjukkan rasa hormat dan perhatiannya kepada beliau sebagai pimpinan Gereja, justru dijadikannya untuk menyepi. Beliau memilih jalan sunyi dan bukan jalan "selebritis" seperti yang banyak dicari oleh dunia. Apa yang beliau hayati ini kerap dikatakannya dalam Bahasa Jawa, demikian, "Awake dhewe kuwi kudu gelem ndlongsor karo sapa bae amarga wong Jawa kuwi nek dipangku mati". Kita harus mau merendah terhadap siapapun karena orang itu kalau disanjung mesti luluh (mati). Maka tidak heran jika beliau itu dengan rendah hati mau turun mengunjungi dan menjumpai siapapun terutama kepada para pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat bahkan juga terhadap para imam, biarawanbiarawati dan umat sendiri. Kalau beliau mempunyai wacana ingin memindahkan seorang imam, beliau tidak pernah memanggil imam yang bersangkutan untuk datang ke keuskupan tetapi sebaliknya beliau sendirilah yang langsung mengunjungi imam tersebut dan memberitahukannya. Karena itu beliau sering mendapat julukan "uskup yang suka blusukan". Beliau suka mengunjungi banyak orang hingga umat di
pelosok-pelosok. Perayaan-perayaan besar gerejawi beliau jadikan kesempatan untuk merayakannya dalam kesederhaan bersama umat di stasi-stasi. Beliau pernah berkata, "Rasanya akan jauh lebih sulit bagi umat stasi-stasi untuk bertemu dengan uskupnya daripada uskupnya sendiri bertemu dengan umatnya. Karena itu saya memilih untuk menemui umat di stasi-stasi itu". Jalan sunyi dan kerendahan hati yang beliau hayati ini, tidak lain dan tidak bukan adalah jalan "menurun" yang ditempuh oleh Yesus sendiri. Yesus Kristus walaupun dalam rupa Allah namun mengosongkan diriNya dan rela menjadi seorang hamba (bdk. Fil 2, 6-11). Dan gerak "turun" Yesus Kristus itu adalah gerak Kerajaan Allah. Dan beliau menghendaki agar gerak Kerajaan Allah itu semakin terwujud di Keuskupan Purwokerto. Oleh karena itu Kerajaan Allah beliau jadikan sebagai visi misi Keuskupan Purwokerto. Beliau memimpikan agar Keuskupan Purwokerto menjadi Gereja atau persekutuan umat beriman yang dibangun sedemikian rupa sehingga Kerajaan Allah sungguh-sungguh dirasakan kehadirannya oleh siapapun. Terimakasih Mgr. Julianus Sunarka, SJ atas karya, nasehat dan keteladanan hidupnya yang sungguh amat indah ini. Melalui Monseigneur Kerajaan Allah sungguh terasakan kehadirannya di Keuskupan Purwokerto ini. Doakanlah kami, agar para rama, suster, bruder dan seluruh umat Keuskupan Purwokerto mampu meneruskan reksa pastoral Monseigneur dalam menghadirkan Kerajaan Allah itu. Dan semoga Monseigneur juga senantiasa diberi berkat kesehatan dan kebahagiaan. Berkah Dalem.
6. Dari Temanmu, FX. Hartana Oleh: FX. Yitno Puspahandoyo, Pr Aku tak mampu menulis sendiri tapi demi kenangan untuk Uskupku dan sahabatku maka aku kutip tulisan yang bagiku menarik tentang St.Yohanes Maria Vianney yang aku punya yaitu dari buku “Kotbah dan Katekese Yohanes Maria Vianney”, Editor: Terry Th.Ponomban Pr. Identitas sebagai Imam “Imam adalah jantung Hati Yesus”- St.Yohanes Maria Vianey. “Seorang imam adalah seorang ibu bagimu, bagaikan seorang perawat bayi yang baru berusia beberapa bulan, ia memberinya makan kanank-kanak itu hanya perlu membuka mulutnya. Ibu berkata kepada anaknya, ‘ Mar, sayangku, makanlah.’ Imam mengatakan kepadamu: ‘Ambilah dan makanlah!’ Inilah Tuhan Yesus Kristus. Kiranya ia memeliharamu dan mengantarmu ke kehidupan yang kekal. O, betapa kata-kata yang luhur ! Kanak-kanak kecil meronta melawan siapa saja yang berusaha menahannya; ia membuka mulutnya mungil dan merentangkan kedua tangan mungilnya untuk memeluk ibunya. Jiwamu di hadapan imam, secara alamiah melonjak kegirangan; jiwa berlari kepadanya; tetapi jiwa ditahan oleh ikatan-ikatan daging, dalam diri mereka yang memberikan segalanya akal budimu yang hidup hanya bagi tubuhnya semata.” “St YM Vianney tidak berpuas diri dengan rutinitas melaksanakan aktivitas pelayanan pastoralnya. Ia berjuang agar hatinya dan hidupnya sesuai dengan hati dan hidup Kristus. DOA adalah jiwa dari hidupnya: doa hening dan kontemplatif, biasa dilakukan di gereja, dibawah kaki tabernakel. Melalui Kristus, jiwanya terbuka bagi Ketiga Pribadi Allah kepada siapa ia mempercayakan “jiwanya yang malang” hingga akhir hayat. Ia senantiasa memelihara persatuan yang terus menerus dengan Tuhan, bahkan di tengah tingkat kesibukan yang begitu padat. Ia tidak lalai mendaraskan Ofisi ataupun Rosario. Simak apa yang dikatakan imam dari Ars tentang doa,
“Semakin kita berdoa, semakin ingin kita berdoa. Bagaikan seekor ikan yang pada awalnya berenang dipermukaan air, dan kemudian membenamkan diri kedalam air, dan senantiasa semakin dalam lagi; jiwa membenamkan diri, menyelam, dan kehilangan diri sendiri dalam manisnya bercakap mesra dengan Allah. Waktu tak pernah terasa lama dalam doa. Aku tidak tahu apakah kita bahkan masih berharap akan surga? Ah, ya!... Seekor ikan yang berenang dalam anak sungai yang kecil merasa senang, tetapi alangkah terlebih menyenangkan berenang dalam laut. Apabila berdoa hendaknya kita membuka hati bagi Tuhan, bagaikan seekor ikan kala melihat gelombang yang datang. Allah yang baik tidak memerlukan kita. Ia meminta kita untuk berdoa hanya karena ia menghendaki kebahagiaan kita, dan kebahagiaan kita hanya dapat ditemukan dalam doa. Ketika Tuhan melihat kita datang. Ia membungkukkan hatiNya begitu rendah kepada mahluknya yang kecil, seperti seorang bapa membungkuk dalam kepada kanak-kanaknya yang kecil agar dapat mendengar anak itu berbicara kepadanya.” Semangat KEMISKINANnya sungguh luar biasa. Ia memberikan segala yang ada padanya kepada mereka yang miskin. Dan ia menolak penghormatan. Ia melahap tak lebih dari 2 butir kentang rebus dalam sehari. Jika orang memberinya seketul roti, ia akan menukar dengan pinggiran roti dari seorang pengemis. KEMURNIAN terpancar di wajahnya. Ia memahami nilai kemurnian demi “menemukan kembali sumber kasih yang adalah Tuhan” KETAATANnya kepada Kristus, yang bagi St. YM Vianney meliputi ketaatan kepada Gereja dan teristimewa kepada Uskup. Ketaatan ini diwujudkannya dengan menerima beban berat seorang imam paroki, yang sering kali menakutkannya. Sebab katanya, “Imam wajib senantiasa siap sedia menjawab kebutuhan jiwa-jiwa.”, lagi, “Imam bukanlah bagi dirinya sendiri, imam adalah bagi kamu.” Tetapi Injil menuntut secara istimewa PENYANGKALAN DIRI, dalam menerima salib. Begitu banyak salib yang datang menghampiri Imam dari Ars ini sepanjang pelayanannya: fitnah dari pihak orang kebanyakan, disalahmengerti oleh imam pembantu atau rekan imam lainnya, pertentangan, dan juga pergulatan yang misterius melawan kuasa-kuasa neraka, dan terrkadang bahkan percobaan berupa keputusasaan ditengah malam kelam jiwa. Waktu demikian ia tidak berpuas diri dengan hanya menerima pencobaan-pencobaan ini tanpa berkeluh-kesah; ia bertindak lebih jauh engan MATIRAGA, berpuasa terusmenerus dan mempraktekkan banyak matiraga ketat demi menundukkan tubuhnya.”seperti dikatakan St Paulus. Tetapi apa yang harus kita lihat dengan jelas dalam mati raga ini, yang sayangnya sangat sedikit dilakukan pada masa kini, adalah motivasinya, yaitu demi Kasih akan Tuhan dan demi pertobatan orang-orang berdosa. Ia keras terhadap dirinya sendiri, tetapi lembut terhadap para pendosa; ia memberikan penintensi ringan, katanya, “Aku memberi mereka penitensi yangringan, selebihnya aku sendiri yang melakukannya.” Singkat kata, ST. YM Vianney menguduskan dirinya sendiri agar dapat lebih berdaya guna dalam menguduskan yang lain. Tentu saja pertobatan tetap merupakan rahasia hati dan rahasiakasih karunia Allah. Dengan pelayanan imam hanya dapat mencerahkan orang, membimbing mereka dalam kerohanian dan memberikan sakramen kepada mereka. Sakramen-sakramen tentu saja adalah tindakan-tindakan KRISTUS sendiri dan efektifitas sakramen tidak berkurang karena ketidaksempurnaan atau ketidaklayakan sang pelayan. Tetapi hasilnya tergantung pada disposisi batin mereka yang menerima sakramen itu. Dan disposisi batin ini sangat didukung oleh kekudusan pribadi sang imam. Dengan kesaksian hidup yang nyata. Dan juga dengan pertukaran yang misterius jasa-jasa dalam Persekutuan Para Kudus. Seperti kata Paulus “Sekarang aku bersuka cita bahwa aku boleh menderita karena kamu dan menanggungkan dalam dagingku, apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk TubuhNya yaitu Jemaat” Dalam arti tertentu St.YM Vianney hendak ‘memaksa’ Tuhan untuk menganugerahkan rahmat-rahmat pertobtan ini tidak saja melalui doa-doanya, melaikan melalui kurban diri seluruh hidupnya. Ia hendak mengasihiNya dan bahkan
melakukan penitensi yang tak hendak mereka lakukan……” (dikutip dari buku yang telah saya sebutkan diatas hlm 44-49: oleh FX.Yitno Puspohandaya, Pr yang pernah menjadi teman di Mertoyudan selama setahun: saya di Klas Poisis dan Mas Julianus Kema Sunarka di Klas BC SMA pada th 1963, karena masuk Seminari sesudah beberapa tahun jadi guru SR. Dalam mata pelajaran tertentu sering bergabung di klas kami. Hanya Setahun di Merto, Mas Kema langsung masuk Sarikat Jesus di Girisonta). Semoga bermanfaat. Salam dan selamat menikmati masa purna bakti sebagai Uskup Keuskupan Purwokerto.
7. Olah Utek, Olah Ati, Olah Resleting Oleh: Christy Mahendra, Pr Saya mengenal Mgr. Sunarka sejak tahun 2005. Sejauh mengenal Mgr. Sunarka, saya merasa nyaman dan menikmati gaya bahasa yang spontan, saru, dan cenderung “kasar” menurut sebagian orang. Namun begitulah Mgr. Sunarka yang kita kenal sebagai Mantan Uskup Keuskupan Purwokerto selama kurang lebih 16 tahun. Satu hal yang mengesan dengan Mgr. Sunarka adalah kesaruan dalam olah rohani seksual. Ketika bimbingan tahunan/koloqium saat frater, saya belajar banyak tentang latihan rohani dalam mengolah tiga nasihat Injil, salah satunya kemurnian. Tanggapan santai dan humor membuat saya terbuka dalam pergulatan sebagai orang muda. Mgr. Sunarka hanya berpesan, manusia yang humanis itu perlu olah rasa, olah karsa, dan olah karya. Maksudnya, seorang manusia perlu mengolah “utek” (wawasan dan pengetahuan), mengolah “ati” (rendah hati dan bijaksana), dan mengolah “resleting” (nafsu).
Tentu olah utek, olah ati, dan olah resleting bukan suatu pengolahan yang mudah. Saya sendiri berjuang untuk menghidupi itu. Bahasa yang sederhana sangat mudah untuk diingat dalam suatu pengolahan dan refleksi yang mendalam. Pengalaman
yang mengesan kedua adalah Mgr. Sunarka seorang yang “Feel Free Bebas Untuk”. Padahal motto Feel Free Bebas Untuk merupakan motto imamat saya. Mungkin Mgr. Sunarka tidak menyatakan motto tersebut, namun menghidupi dalam hidup sehari-hari. Ada suatu pengalaman yang mengesan pada saat saya dan beberapa romo makan pagi di Keuskupan. Tiba-tiba, Mgr. Sunarka mengajak saya ke kamar beliau untuk mengambil beberapa kasula baru, pakaian batik baru, dan kaos baru untuk diberikan kepada umat di Paroki Sidareja dan stasi. Saya merasa umat begitu diperhatikan oleh Gembala Agung, meski bentuk perhatiannya berupa pakaian dan kasula baru. Mgr. Sunarka pernah berkelakar, “ Romo, aku masih punya celana panjang 5 potong. Jika tak kasih 3 untuk umat yang membutuhkan, maka saya akan membawa 2 potong untuk salin di Girisonta.” Mungkin kita melihat hanya sebuah celana panjang. Namun saya melihat sebuah pengorbanan kasih Gembala kepada domba. Itulah ke-feel free-an Mgr. Sunarka yang saya lihat.
Akhirnya, saya menghaturkan terimakasih kepada Mgr. Sunarka yang telah memberikan teladan dalam olah utek, olah ati, dan olah resleting untuk semakin feel free bebas untuk imamat saya yang masih panjang berjuang. Selamat memasuki masa pensiun Mgr. Sunarka di Girisonta. Saya pernah mengarang sebuah lagu dengan judul Girisonta. Dalam kesempatan ini, saya akan bagikan liriknya saja. Girisonta *Di gelapnya hari yang tertutup oleh cahaya Tertapak langkah menuju, suasana menyambut suka Jiwa ini terhanyut, keheningan yang tercipta Terpancar sinar ilahi membuat ketenangan hidup
Reff: GIRISONTA memanggilnya Akankah jiwa ini terus berjalan Oohh sanggupkah, perasaan Yang lama tak kunjung kini menjemput? **Sejenak aku terdiam Memandang indahnya kota ini Terlintas bayangan ini terbawa oleh mimpi surgawi Mimpipun terus terbuai Oleh panggilan sang alam Siapkan diri ini, memasuki GIRISONTA
8.
BAPA USKUP DALAM HATI UMAT KEBUMEN Oleh: C. Kris Wasito, Pr Bebrerapa bulan sebelum ditahbiskan menjadi Uskup, beliau Rama Yulianus Kema Sunarka, SJ, tinggal di Purwokerto, tekad yang mulia adalah mengunjungi semua paroki dan stasi-stasi di seluruh wilayah Keuskupan Purwokerto. Suatu saat beliau rawuh di Gombong. Begitu masuk, dengan suara lantang dan keras beliau memanggil “ Rm Kris, Rm Kris, Rm Kris” Mendengar suara itu, hati saya berkata “Apa maning Ter! Gembar-gembor bae! Mrene!” Ceritanya, ada seorang frater dari Novisiat MSC Karanganyar yang ingin mundur dan mau masuk diosesan. Beberapa kali ke Gombong, untuk konsultasi. Suaranya khas seperti beliau. Setelah saya lihat …e….Bapa Uskup. Mangga lenggah, beliau berkata-kata “Lima menit.” Saya akan ke Karanganyar, Kebumen, Kutoarjo dan Purworejo. Beliau bertanya “Kamarnya hanya ini?” Ya, jawab saya. Ini kamar Frater, yang itu saya tempati, ada 2 kamar tamu, tapi yang satu saya jadikan kantor,”Ya sudah nanti dibangun tingkat dan ditambah Imam. Saya berangkat.” Mangga sugeng tindak.
Peristiwa
lain yang juga tersimpan dalam hati umat terjadi pada waktu pemberkatan Gereja St. Teresia Sumpiuh. Pada waktu memberi sambutan beliau berkata” Rm Kris kuwi wis tuwa, meh mati” Umat sangat kaget dan saya pun demikian, kok beliau ngendika demikian. Banyak Romo dikatakan “meh mati” seperti Rm. Yohanes, OMI, Rm. Carolus, OMI, dll. Saya bermenung, itu cuma bahasa guna mengungkapkan rasa kasih bagi kami romo-romo yang sudah tua.
Bagi saya, beliau adalah seorang bapa yang berkenan tinggal di hati umatnya. Ini bukti dari ungkapan hati umat Kebumen, mereka berkata: 1. Legio Mariae : Menurut kami para Legioner, Bapa Uskup adalah seorang bapa
yang sangat sangat baik hati, merangkul semua umat, bahkan juga dengan non katolik. Beliau humoris, suka kunjungan.
2.
Ibu-Ibu St Monica : Beliau welcome terhadap St Monica, merengkuh dengan sangat akrab. Ibu-ibu “diuwongke.” Kalau ada pertemuan beliau pasti menjemput dengan pangandikan khas “ini pasanganku, gimana kabarnya?”
3.
Warga PDKK : Beliau amat baik dan kerja luar biasa. Terlalu keras, mungkin kurang memperhatikan kesehatan. Akibatnya sering sakit. Hati kami selalu ingat akan kebaikan beliau.
4.
Ibu-ibu WKRI: Beliau merangkul ibu-ibu WKRI dengan sangat hangat. Kalau
ibu-ibu sedang action, selfie ber foto-foto, beliau suka langsung datang ikut di tengah-tengah sambil berkata “aku sing bagus dewe.”
5.
Pengurus DPP : Beliau “totalitas” cerdas, pandai, tapi sederhana, rendah hati. Bicara kalau perlu bahasa akademis, tetapi kerap berbahasa rakyat hingga gampang dimengerti. Kadang ceplas-ceplos to the point, bahkan sering juga dengan bahasa maaf “saru.” Sangat dekat dengan umat bahkan juga dengan umat non Katolik. Akrab, supel, ajur-ajer tapi prinsipiil, kerja keras, cita-cita setinggi langit. Beliau sendiri berkata “ini gila.” Semua ini membekas dalam hati umat.
Rasanya sangat kompleks. Di satu sisi kebrilianan pikir, di sisi lain kedalaman batin yang tak terduga. Disatu sisi beliau sering duduk berjam-jam di depan komputer, tetapi di sisi lain beliau suka blusukan merambah setiap sudut kota dan pedesaan. Visi beliau amat populer, adalah “Kerajaan Allah.” Point pertama yang beliau perjuangkan adalah “mencetak Imam-imam Deosesan”. Puji Tuhan, hal itu terlaksana, pada tahun 2000 imam deosesan cuma 15 orang, setelah lima belas tahun, menjadi tiga kali lipat. Demikian Bapa Uskup, secuil ungkapan hati umatmu di Kebumen. Selamat jalan menuju peristirahatan taman surgawi GIRISONTA.
9.
Yesus Harus Tetap Menjadi Besar... Oleh: A. Tri Kusuma, Pr “Yesus harus tetap menjadi besar dan aku ingin menjadi besar dalam Kristus," merupakan bundhelan homili Bapa Uskup dalam kesempatan misa tahbisanku. Tema tersebut mengacu pada refleksi tahbisan kami (aku dan Rm. Susanto, OMI) yang dirumuskan dalam motto, "Aku semakin kecil, Dia semakin besar," sebagai buah refleksi keutamaan rohani Yohanes Pembaptis dalam menempatkan dirinya di hadapan Kristus. Dalam homilinya, beliau juga mengatakan, "Tri Kusuma kuwi wong Kedunglegok, wong ndesa, kuwi wes cilik. Tetapi ingin menjadi besar karena Kristus." Lebih lanjut lagi, "Wong ndesa, wong cilik sing nduwèni kewibawaan Kristus. Nek Diakon Tri Kusuma ora dadi ‘gedhe’, ora bakal ana wong ngrungokke." Apa yang Bapa Uskup sampaikan rasanya sangat meneguhkan dan meneduhkanku terlebih dalam memaknai imamat. Aku menjadi besar bukan karena diri sendiri, bukan pula untuk diri pribadi. Aku menjadi besar semata-mata karena imamat itu sendiri, kewibawaan Kristus. Tanpa kewibawaan-Nya, aku bukan siapa-siapa. Bapa Uskup yang terkasih, Bagiku kehadiran Bapa Uskup di Keuskupan Purwokerto seperti air di tengah padang gersang. Kiprah misi blusukan menjadi pastoral kreatif yang mampu menyentuh umat secara menyeluruh. Ini pula yang menjadi kekhasan Bapa Uskup selama berkarya di Gereja Keuskupan Purwokerto. Bapa Uskup gemar blusukan untuk mengunjungi, menyapa, mendengarkan umat dari setiap paroki di Keuskupan Purwokerto. Ada salah satu pengalaman konkret ketika menemani Bapa Uskup berpastoral blusukan. Bapa Uskup berkunjung ke daerah banjir rob di lingkungan Marta, Paroki Pekalongan. Kami datang ke lingkungan dengan naik mobil. Oleh karena kondisi jalan yang penuh genangan. Aku memutuskan untuk parkir mobil. Bapa uskup tanpa berpikir panjang, langsung melipat celana panjangnya dan turun melewati jalan penuh genangan itu. Satu persatu rumah umat kutunjukkan kepada
Bapa Uskup. Dengan spontan, Bapa Uskup minta untuk mampir ke salah satu rumah umat. Tanpa babibu Bapa Uskup langsung masuk ke dalam rumah (kebetulan pintu sudah terbuka) dan berteriak, “Assalamualaikum…” Sontak seluruh isi rumah terkejut dengan kedatangan Bapa Uskup. Mereka menghentikan semua aktifitas dan menyambut kedatangan Bapa Uskup dengan penuh sukacita. Usai mengunjungi rumah itu, berita kedatangan Bapa Uskup sudah tersebar dengan cepat. Dengan semangat umat langsung berkumpul di kapel menunggu kedatangan Bapa Uskup. Karya penggembalaan Bapa Uskup yang hangat dan merangkul umat bahkan imamnya menjadi keutamaan rohani yang melekat dalam dirinya. Gereja yang ditampilkan ialah Gereja yang terbuka, Gereja yang merangkul, Gereja yang memeluk sehingga semakin banyak orang merasa dikasihi, dicintai, dan diterima. Semangat itu sungguh dihayati oleh Bapa Uskup dalam penggembalaannya selama ini. Tidak hanya terbuka, merangkul, dan memeluk umatnya (Katolik) saja, Bapa Uskup pun getol berdialog dan bekerjasama dengan masyarakat plural. Pribadinya yang berkharisma mampu menembus batas dan semangat kasih pastoralnya mampu merasuki setiap pribadi yang berjumpa dengannya. Itulah sekelumit kisah perjumpaanku dengan Bapa Uskup Mgr. Julianus Sunarka, SJ. Tentu tulisan ini tidak bisa mengungkapkan keseluruhan makna perjumpaanku dengan beliau. Ada banyak peristiwa lainnya yang menghadirkan makna mendalam. Tetapi biarlah ini yang sedikit kuungkapkan sebagai bentuk syukurku kepada Tuhan atas kebersamaan dan perjumpaanku dengan Bapa Uskup. Akhirnya untuk menutup tulisan ini, aku mengingat apa yang Bapa Uskup pesankan kepada kami, “Untuk menjadi besar, Kristus harus menjadi pusat hidup dan pusat pelaksanaan kehidupan itu sendiri, neges kersaning pangeran dan nggolek dalan kanggo mujudake kersaning Gusti.” Terimakasih Bapa Uskup atas kasih dan cinta yang Bapa Uskup bagikan kepada kami. Semoga kami (para imam) mampu berkiprah total sebagaimana Bapa Uskup persembahkan bagi Gereja Keuskupan Purwokerto: Mata kami terbuka, telinga kami mendengar, tangan kami tidak disembunyikan (tetapi menggerayangi), dan mulut kami mewartakan kabar gembira keselamatan. 10.
Kesan untuk Bapa Uskup, Betapa Besar Cintanya bagi Gereja Purwokerto Oleh: P. Bambang Widyatmoko, Pr Kata-kata “Non Mea sed Tua Voluntas” sudah serigkali terdengar dan terpampang dalam berbagai kesempatan. Ya…, itulah motto tahbisan Bapa uskup Julianus Sunarka, SJ, yang bagi saya, lalu tidak hanya menjadi sebuah refleksi dan kenyakinan pribadi beliau, tetapi sudah menjadi hidup beliau sendiri. Seperti Yesus yang mengucapkan kalimat itu (Luk 22:42), Bapa Uskup sendiri senantiasa hidup dalam semangat kegembiraan iman ini, selalu penuh harapan, optimisme dan kasih. Saya sangat percaya, keyakinan akan kehendak dan penyelenggaraan karya Allah inilah yang menjadikan beliau seakan-akan terus kuat berlari membawa gerbong Gereja Keuskupan Purwokerto bertumbuh dan berkembang walaupun situasi dan banyak orang tidak selalu mendukung. Kenyakinan akan kehendak Allah “Non Mea sed Tua Voluntas” ini, beliau tempatkan dalam konteks prospek kekaryaan dalam misi Gereja Keuskupan Purwokerto. Hal ini terwujud dalam usaha mencari arah dan orientasi misi bagi Keuskupan Purwokerto: Gereja menuju Kerajaan Allah. Gereja Keuskupan Purwokerto yang bergerak membawa misi Gereja dalam konteks jaman. Satu sisi tetap mempunyai kesetiaan terhadap ajaran Gereja. Pada sisi yang lain, Gereja Keuskupan Purwokerto kreatif dalam mengejawantahkan perutusannya dalam konteks hidupnya. Yang paling mencolok adalah usaha beliau untuk merintis pastoral pedesaan dan bagaimana Gereja hadir sebagai minoritas dalam konteks pluralitas agama dan
budaya. Dengan pastoral desa yang dikembangkan, banyak segi-segi kehidupan masyarakat akar rumput yang tersapa dan disentuh. Dengan hadir secara positif dalam mayoritas berarti Gereja berusaha hadir sebagai garam dan terang dunia. Sebagai pribadi, kehadiran Mgr. J. Sunarka SJ membawa kebaharuan bagi wajah Keuskupan Purwokerto., Mgr. J. Sunarka SJ mempunyai jaringan yang luas, terbuka bagi semua golongan, komunikatif, blusukan, akrab dengan teknologi infomasi, visioner dan sederhana. Beliau juga dekat dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat (para kyai, pendeta, budayawan, pemimpin pemerintahan) di lingkup Keuskupan Purwokerto, Jawa Tengah dan Nasional. Dengan masyarakat kecil beliau punya perhatian. Umat-umat di pelosok stasi rajin beliau kunjungi dengan rutin. Para karyawan gereja-yayasan Katolik senantiasa beliau sapa. Kehadiran dan cara hidup dari Mgr. J. Sunarka, SJ yang demikian telah mampu menampilkan sisi lain dari wajah Gereja Keuskupan Purwokerto yang memasyarakat, mampu berdialog, dan akrab dengan semua golongan. Bagi saya, Mgr. J. Sunarka, SJ bukan hanya sekedar seorang pemimpin dalam institusi Gereja, tapi telah menjadi orangtua bagi saya (kami para imam). Lebih dari tiga tahun terakhir ini, saya bertugas melayani di paroki Gombong. Saya merasa sangat sering dikunjungi dan disapa (walaupun terkadang sekedar mampir untuk makan siang atau bahkan hanya untuk minum teh manis). Kadang juga tidak selalu ada bahan pembicaraan yang terlalu penting yang beliau sampaikan. Bahkan, yang seringkali disampaikan adalah sekedar sharing perjalanannya, impian dan sakit beliau. Seperti orangtua yang mencintai rumah tangganya dan anak-anaknya, demikianlah beliau. Mencintai sehabis-habisnya, bahkan ketika fisik dan pikirannya semakin tergerus oleh kesehatannya, cinta kepada Gereja Purwokerto, para imamnya dan kepasrahan kepada kehendak Tuhan tidak pernah tergerus sedikitpun. Pada Pesta 40 Imamat Rm. Wignyosumarto, MSC (5 Januari 2017) di Purworejo kemarin, Bapa Uskup memberi sambutan demikian: “mohon pamit….saya akan menjadi pendoa dan pencinta Keuskupan Purwokerto….”. Itulah beliau…. Cintanya bagi Gereja Keuskupan Purwokerto tidak akan habis dan pudar, pun ketika mesti berada di tempat yang jauh dam tubuh sudah rapuh….. Selamat jalan Bapa Uskup. Saling mendoakan bambangpr 11.
Epilog: Bapa yang Baik Hati Oleh Frans Kristiadi Prasetya, Pr Kalau aku ditanya apa arti kehadiran Mgr. Narka dalam hidupku, aku akan menjawabnya: dialah bapak yang baik hati. Saya menemukan gambaran yang paling nyata tentang kisah Bapa yang Baik Hati dalam diri Mgr. Narka. Ia yang dalam kemanusiaannya tetap menerima begitu banyak romo dan frater yang mengalami situasi yang sulit, memulihkan kembali, memberikan lagi kepercayaan diri, membangkitkan kesetiaan untuk tetap mencintai Imamat ini. Ia yang dalam kemanusiaannya tetaplah menyimpan segala masalah dan amarah, mungkin juga kekecewaannya, dalam hati, dan tentu saja di dalam doa-doanya. Terimakasih Mgr. Narka, terimakasih bapa(k) untuk sapaanmu, untuk jabat erat tanganmu, untuk tepukan di pundak, untuk senyum dan tawamu, untuk doadoamu. You always be in my heart and in my prayer.