Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik KKN serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa, maka lahirlah UU ASN No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Berikut ini analisis sederhana yang dilakukan terhadap UU ASN tersebut. 1. Problem yang dihadapi saat ini dalam kebijakan (policy) dan manajemen ASN. a. Pelaksanaan merit sistem di Indonesia menurut Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah Menurut Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah, tahapan yang harus dilakukan sebagai berikut : A.
Persiapan
1.
Pembentukan Panitia Seleksi Pembentukan oleh pejabat pembina kepegawaian di Instansi Pusat dan Instansi Daerah dengan berkoordinasi dengan Komisi Aparatur Negara (KASN) Terdiri dari pejabat terkait instansi yang bersangkutan dan pejabat dari instansi lain yang terkait dengan bidang tugas jabatan yang lowong Memiliki pengetahuan dan atau pengalaman serta pengetahuan umum tentang penilaian kompetensi Berjumlah ganjil, paling sedikit 5 orang dan paling banyak 9 orang
2.
Penyusunan dan penetapan standar kompetensi jabatan yang lowong
B.
Pelaksanaan
1.
Pengumuman Lowongan Jabatan Diumumkan secara terbuka dalam bentuk surat edaran melalaui papan pengumuman dan atau media cetak, media elektronik Dalam pengumuman harus dimuat secara lengkap seluruh informasi dan kriteria
2.
Seleksi Administrasi
3.
Seleksi Kompetensi Terdiri dari kompetensi manajerial dan kompetensi bidang
4.
Wawancara Akhir
5.
Penelusuran (Rekam Jejak) Calon 1
6.
Hasil Seleksi
7.
Tes Kesehatan dan Psikologi
C.
Monitoring dan Evaluasi
Sistem Merit Dan Kompetensi Dalam Rekrutmen Pegawai Sistem rekrutmen PNS yang selama ini dilaksanakan di Indonesia masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Para pegawai yang diperoleh melalui penyelenggaraan rekrutmen PNS masih belum memenuhi kebutuhan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Sistem rekrutmen PNS yang telah berjalan belum mampu menjaring calon pegawai yang berkualitas dan bermutu tinggi. Mutu dan kualitas pegawai yang dihasilkan dalam rekrutmen PN Smasih jauh dari standar minimal. Suplai pegawai yang kurang bermutu dan kurang berkualitas ini tentunya membawa dampak ikutan lainnya, berupa sulitnya mendidik dan melatih pegawai, lemahnya pegawai dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, dan terciptanya iklim / suasana kerja yang kurang kondusif, yang pada akhirnya akan menciptakan budaya kerja yang buruk. Semua pangkal persoalan yang berkaitan dengan kinerja pegawai yang lemah dan budaya kerja pegawai yang buruk adalah berasal dari sistem rekrutmen pegawai yang kurang bagus dan bahkan cenderung bernuansa KKN. Oleh karena itu, agar supaya hal ini tidak berkepanjangan dan menjadi kebiasaan yang membudaya di lingkungan birokrasi, maka diperlukan reformasi sistem rekrutmen PNS di lingkungan pemerintah. Salah satu reformasi sistem rekrutmen PNS adalah Sistem Merid. Istilah Sistem Merit (Merit System) dalam konteks manajemen sumber daya manusia selama ini telah diartikan secara beragam oleh berbagai pihak. Bagi sebuah organisasi bisnis, termasuk di Indonesia, sistem merit digunakan khususnya dalam konteks manajemen remunerasi (penggajian). Bagi organisasi pemerintah, sistem merit diartikan sebagai kebijakan dan sistem dimana kenaikan gaji “ganjaran” sepenuhnya pada prestasi/kinerja/kompetensi pegawai. Suatu model Perekrutan yang mana calon yang lulus seleksi benar-benar didasarkan prestasi, kompetensi, keahlian maupun pengalaman calon sehingga dengan demikian tipe rekrutmen yang bersifat spoil system yang lebih ditekankan pada hubungan patrimonial dapat dieliminasi. Dengan menerapkan tipe merit system, ini berarti bahwa calon yang lulus dalam seleksi dijamin memiliki kualitas yang baik yang dapat mendukung kinerja birokrasi untuk lebih optimal di masa yang akan datang. Selain itu, untuk mencapai tujuan ini, ada juga beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka melakukan reformasi dalam tubuh birokrasi, antara lain: Pertama, Transparansi. Di tengah semakin derasnya arus tuntutan 2
masyarakat terhadap terwujudnya tata pemerintahan yang baik, maka prinsip keterbukaan harus ikut mewarnai mekanisme perekrutan. Ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kinerja birokrasi yang bersifat terbuka dan transparan dalam menyampaikan informasi dan data yang akurat kepada masyarakat tentang mekanisme seleksi mulai dari masa pendaftaran hingga pengumuman hasil ujian sehingga dengan demikian masyarakat dapat memberikan penilaian yang lebih objektif dan rasional terhadap kinerja birokrasi. Kedua, Akuntabilitas publik. Mengingat seleksi perekrutan pegawai berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat luas, maka adalah wajar jika seluruh tindakan, perilaku dan aktivitas serta segala kebijakan dalam birokrasi harus pula dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebaliknya, masyarakat harus lebih proaktif untuk bertindak dalam melakukan kontrol terhadap birokrasi sehingga seluruh tugas dan tanggung jawab yang dilakukan oleh para birokrat baik yang bersifat administratif maupun fungsional senantiasa diorientasikan pada komitmen dan keberpihakan bagi kepentingan publik. Ketiga, pelayanan yang profesional. Kualitas pelayanan birokrasi kepada masyarakat sangat dipengaruhi berbagai faktor seperti: kualitas kepemimpinan dalam birokrasi, prosedur pelayanan sifatnya harus efisien, sederhana, mudah dijangkau di semua lapisan masyarakat, tepat, jelas dan aman. Di samping itu, untuk lebih mengoptimalkan pelayanannya kepada publik, khususnya dalam kaitannya dengan proses rekrutmen pegawai, maka posisi birokrasi harus netral sebagai mesin pemerintahan yang melaksanakan tugas-tugas administrasi dan operasional secara proporsional, rasional, objektif. Ini sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk mencegah jangan sampai birokrasi menjadi arena pertarungan dari berbagai bentuk intervensi dan konflik kepentingan di antara individu atau kelompok yang pada akhirnya menjadikan birokrasi tidak dapat bekerja secara sehat, efektif, profesional dan mandiri. Keempat, kehadiran lembaga independen. Belajar dari beberapa pengalaman masa lalu tentang mencuatnya sejumlah kasus seperti adanya oknum tertentu yang dengan sengaja meminta uang semir, isu beredarnya surat sakti dari beberapa pejabat dan dengan terjadinya kebocoran soal dalam proses seleksi perekrutan pegawai, maka untuk mengantisipasi semua permasalahan ini, dirasa perlu untuk membentuk suatu lembaga pemantau yang sifatnya independen yang terdiri dari sejumlah tokoh dan mewakili sejumlah komponen masyarakat yang bertugas untuk membantu birokrasi pemerintah, terutama dalam melakukan pemantauan dan pengawasan baik selama masa pendaftaran maupun setelah ujian seleksi dilaksanakan. Selain itu, keberadaan lembaga independen ini, memiliki peran yang sangat penting untuk melakukan 3
kontrol terhadap kinerja birokrasi, baik yang sifatnya formal maupun informal, sehingga posisi birokrasi tetap proporsional (berimbang) antara kepentingan negara (pemerintah) dan masyarakat (rakyat). Untuk kedepannya, penerapan merit sistem diharapkan mampu mengatasi semua permasalahan dalam perekrutan pegawai.
b. Representasi birokrasi dalam merit sistem (kebijakan afirmasi – afirmative policy) terhadap kekhususan (Ref: UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara) Kebijakan dan Manajemen ASN yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan dengan memperhatikan: Kekhususan daerah-daerah tertentu; dan/atau Yang dimaksud dengan daerah-daerah tertentu misalnya daerah yang memiliki otonomi khusus, daerah tertinggal, daerah konflik, daerah terpencil, daerah istimewa dan lain-lain. Warga negara berkebutuhan khusus. Yang dimaksud dengan warga negara berkebutuhan khusus adalah individu yang memiliki keterbatasan fisik (disable citizen), antara lain : • Tuna netra, adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan, diklasifikasikan dalam buta total (blind) atau rabun (low vision) • Tuna rungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen atau tidak permanen • Tuna daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuscular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, amputasi dan polio Saat ini, birokrasi memberikan toleransi terhadap daerah-daerah khusus yang memiliki tambahan aturan tersendiri. Sebagai contoh daerah DI Yogyakarta dan Aceh yang memiliki tambahan aturan. Hal ini dibenarkan oleh birokrasi, asal aturan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan secara nasional. Untuk warga berkebutuhan khusus, dalam hal fasilitas telah diciptakan. Contohnya pembangunan trotoar, ruang tunggu terminal serta bangunan publik yang dilengkapi dengan fasilitas bagi kaum difabel. Namun untuk mengisi jabatan masih belum terbuka peluang untuk mereka. Salah satu syarat untuk mengikuti seleksi adalah sehat jasmani dan rohani, yang artinya tidak ada cacat atau kekurangan secara fisik. Bahkan ada yang sampai melaksanakan tes kesehatan secara langsung untuk memastikan peserta seleksi “mampu” mengemban tugas sebagai abdi negara. 4
c. Intervensi politik dalam birokrasi Birokrasi secara harfiah diambil dari kata bureaucracy.bureau artinya meja sedangkan cracy artinya pemerintahan .jadi secara susunan kata birokrasi memiliki makna bahwa pemerintahan yang dijalankan atau pada proses pelayananya diatur di belakang meja.birokrasi sendiri diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.(Wikipedia bahasa Indonesia:2013) Birokrasi juga sebagai biro atau layanan publik yang secara sfesipik mengurusi perihal administratif. Secara politik birokrasi dipandang sebagai posisi tawar yang menguntungkan karena merupakan ujung tombak dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintah yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat secara langsung. Hubungan birokrasi dan dinamika politik terjadi ketika rezim penguasa mengintervensi dan memasukan kewenanganya atas nama partai dan golongan akibatnya birokrasi menjadi cerminan dan personifikasi dari sebuah kekuatan politik yang berkuasa. Ketika penguasa mengganti system pemerintahanya berganti pula manajemen dan regulasi birokrasi begitu pola ketika rezim berganti maka birokrat atau pejabat birokrasi akan ikut berganti muka. Pasca runtuhnya orde baru, hal yang sangat di perhatikan dalam birokrasi adalah gejala birokrat yang cenderung patrimonial dan patronasi pada masa orde baru di mana rule of man lebih tinggi dari rule of law sehingga presiden menjadi sentralistik baik dalam urusan kebijakan maupun mengangkat pejabat birokrat, birokrat di angkat karna kedekatan pribadi penguasa sehingga terjadi relasi patronasi antara penguasa dan birokrat, birokrat bukan hanya tidak netral akan tetapi pejabat birokrat berperan aktif dalam mengontrol politik dan administratif. Melihat permasalahan birokrasi pada awal transisi maka salah satu upaya pemerintah adalah mengadakan reformasi birokrasi. Reformasi sendiri pada hakekatnya merupakan perubahan dalam sistem bukan merubah sistem itu sendiri. Reformasi birokrasi merupakan konsep yang luas ruang lingkupnya, mencakup pembenahan struktural dan kultural. Secara lebih rinci meliputi reformasi struktural (kelembagaan), prosedural, kultural, dan etika birokrasi. Reformasi birokrasi pemerintahan diartikan sebagai penggunaan wewenang untuk melakukan pembenahan dalam bentuk penerapan peraturan baru terhadap sistem administrasi pemerintahan untuk mengubah tujuan, struktur maupun prosedur yang dimaksudkan untuk mempermudah pencapaian tujuan pembangunan. Di dalam konteks
5
Indonesia, dengan budaya paternalistik yang masih kuat, keberhasilan pembenahan birokrasi akan sangat ditentukan oleh peran pemimpin atau pejabat tinggi birokrasi. Jadi pembenahan tersebut seyogianya dilakukan dari level atas, karena pemimpin birokrasi kerapkali berperan sebagai ’patron’ sehingga akan lebih mudah menjadi contoh bagi para bawahannya. Pembenahan birokrasi mengarah pada penataan ulang aspek internal maupun eksternal birokrasi. Dalam tataran internal, pembenahan birokrasi harus diterapkan baik pada level puncak (top level bureaucrats), level menengah (middle level bureaucrats), maupun level pelaksana (street level bureaucrats). Pembenahan pada top level harus didahulukan karena posisi strategis para birokrat di tingkat puncak adalah sebagai pembuat keputusan strategis. Pada tataran menengah, keputusan strategis yang dibuat oleh pemimpin harus dijabarkan dalam keputusan-keputusan operasional dan selanjutnya ke dalam keputusan-keputusan teknis bagi para pelaksana di lapangan (street level bureaucrats). Tujuan reformasi birokrasi secara garis besar adalah menciptalan pemerintahan yang good goverment yaitu birokrasi atau pemerintahan yang modern, professional profosonal mandiri terbuka integritas kompeten akuntable dan bebas nilai. Untuk menciptakan birokrasi yang bebas nilai adalah tuntutan utama dalam birokrasi good government supaya pelayanan yang diberikan oleh birokrasi netral dan tidak memihak pada orsospol sebagaimana yang di katakan miftah toha (2003) birokrasi atau pemerintahan yang bukan merupakan kekuatan politik ini seharusnya di bebaskan dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan kekuatan yang sewaktu waktu bias masuk birokrasi dengan demikian di harapkan pelayanan kepada
masyarakat yang di berikan
birokrasi netral tidak memihak dan objektif. Akan tetapi pada kenyataanya pasca reformasi hakekat birokrasi yag bebas nilai dan netral sulit sekali terwujud hal ini dapat dilihat dari banyaknya pejabat birokrat yang maju menjadi calon angota legislatif dan eksekutif pada pemilihan umum dari tahun ketahunnya. Tantangan ke depan bukan bagaimana memisahkan dengan tegas diantara keduanya, melainkan
menciptakan
pola
relasi
yang
seimbang
antara
politik
dan
birokrasi.
Keseimbangan relasi tersebut harus berdasarkan pada kejelasan dan keseimbangan antara peran dan tanggung jawab kedua institusi tersebut. Hal ini sebagaimana tawaran solusi dari Carino (1994) agar relasi politik-birokrasi ditempatkan dalam pola bureaucratic subllation. Tipe ini mengacu pada relasi yang relatif sejajar dan seimbang antara politisi dengan birokrasi. Pola ini dilatarbelakangai oleh pemahaman bahwa birokrasi bukanlah sekedar entitas yang menjadi instumen atau alat untuk melaksanakan kebijakan publik. Birokrasi yang terlatih secara profesional memiliki sumberdaya dan power tertentu dari kedudukannya 6
sebagai pejabat pemerintah. Birokrasi biasanya memiliki perjalanan karier yang lebih panjang dibandingkan dengan politisi yang bisa saja terpilih secara kebetulan. Argumen bureaucratic subblation adalah, meskipun a politis dan non partisan, birokrasi juga memiliki power dan sumberdaya tersendiri saat berhadapan dengan pejabat politik, terutama terkait dengan kemampuan profesionalnya. Konsekuensinya, birokrasi tidak sekedar menjadi subordinasi ranah politik, tetapi juga dapat menjadi kekuatan penyeimbangnya.
2. Tantangan a. Peluang bagi Non PNS untuk menduduki jabatan ASN Dengan adanya peluang bagi non pns untuk mengisi posisi jabatan ASN, akan menimbulkan kompetisi berbasis kompetensi. Hal ini seharusnya memicu PNS agar meningkatkan kompetensi mereka agar bisa memiliki daya saing. Setiap PNS harus meningkatkan sumber daya manusianya (SDM). 1. Penataan kembali kelembagaan/organisasi, Sumber Daya Manusia Aparatur dan tatalaksana (manajemen) pemerintahan dengan ukuran yang pas (right sizing) sesuai dengan tujuan, urhensi, visi dan misi yang diemban; 2. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas para birokrat (PNS) dalam perumusan kebijakan, pemberian pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas atau kompetensi PNS diupayakan dengan cara : a. Pendidikan Formal, yakni dengan penugasan para PNS untuk mengikuti jenjang pendidikan tinggi S1, S2, dan S3, serta pemberian ijin belajar jenjang S1, S2, dan S3; b. Pendidikan dan Pelatihan Jabatan yang dipersyaratkan, yakni Diklatpim Tingkat IV, Diklatpim Tingkat III, Diklatpim Tingkat II, dan Diklatpim Tingkat I; c. Pendidikan dan Pelatihan Fungsional bagi PNS yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan fungsional; d. Pendidikan dan Pelatihan Teknis, untuk memenuhi kebutuhan keahlian para PNS di bidang teknis tertentu; e. Pemberian kemampuan melalui pengalaman (Tour of duty) para PNS. 3. Perbaikan sistem tatakelola (manajemen) urusan pemerintahan dan pelayanan masyarakat dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Dimana sekarang ini hamper semua instansi/organisasi perangkat daerah sudah memiliki web site,
sehingga berbagai informasi/kebijakan bisa
diakses
oleh
masyarakat,
7
4. Perbaikan sistem reward and punishment. Sistem reward dengan menerapkan equal work for equal pay atau pemberian gaji yang layak sesuai dengan tingkat kedudukannya
dalam
organisasi.
Pemberian
hukuman
bagi
yang
melakukan
pelanggaran sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS; 5. Perbaikan etika dan moralitas PNS sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korp dan Kode Etik PNS, dan meningkatkan pengawasan (pengawasan internal, pengawasan eksternal, pengawasan masyarakat). b. Promosi Terbuka Promosi terbuka atau lelang jabatan semakin marak saat ini. Tujuannya adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapasitas, kompetensi dan integritas yang memadai untuk mengisi posisi/jabatan tertentu sehingga dapat menjalankan tugas yang lebih efektif dan efisien Lelang jabatan merupakan salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi. Sebetulnya konsep lelang jabatan tidak jauh berbeda dengan fit and proper test. Namun demikian, gebrakan ini cukup menyita perhatian publik, bahkan menjadi topik aktual beberapa media massa bulan terakhir ini. Isu ini semakin menarik karena banyak orang yang kurang memahami istilah lelang jabatan. Ada persepsi bahwa lelang jabatan sama seperti lelang atau tender dalam proses pengadaan barang dan jasa. Bahkan ada pula menduga bahwa, lelang jabatan akan membuka celah munculnya KKN seperti halnya dalam praktek lelang pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan. Padahal sejatinya lelang jabatan justru bisa memperkecil potensi KKN karena dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh assesment centre. Sisi positif dari kebijakan promosi terbuka ini diharapkan membawa dampak sebagai berikut; Pertama; mendapatkan outcome yang positif yaitu terangkatnya PNS yang memiliki kompetensi dan profesionalitas yang memadai sesuai dengan jabatannya sekaligus memiliki hati nurani yang bersih atau paling tidak memiliki rekam jejak yang baik. Kedua, dengan adanya fit and proper test persaingan positif akan terbuka. Ada logika yang mengatakan bahwa tidak ada kualitas yang lahir tanpa sebuah persaingan. Tentu dengan adanya persaingan mendorong semangat bagi peningkatan kualitas, kinerja dan disiplin PNS. Selama ini PNS yang duduk dalam jabatan tertentu masih banyak yang belum teruji kualitasnya. Disamping itu budaya birokrasi kita masih mengindikasikan adanya keterkaitan emosional dan ekonomis tertentu dalam mendudukkan seseorang dalam 8
jabatan. Keterkaitan emosional seperti adanya kedekatan secara kekerabatan, organisasi kemasyarakatan
maupun
organisasi
kemahasiswaan
sehingga seseorang mendapat
kesempatan untuk dipromosikan dalam jabatan. Keterkaitan secara ekonomis terkait dengan jual beli jabatan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik tertentu. Ketiga, bagi pejabat Pembina kepegawaian dan pejabat eselon I, II yang berwewenang dalam member mandat bagi PNS dalam jabatan tertentu, lelang jabatan dapat bermanfaat untuk menghindarkan diri dari intervensi berbagai fihak yang berusaha menempatkan “orangnya” dalam jabatan strategis di lingkungan masing-masing. Jabatan politik dan kepartaian saat ini memiliki bargaining position untuk mempengaruhi keputusan pejabat public, karena memang atasan pejabat public secara structural adalah pejabat politik (menteri, gubernur dan seterusnya) Keempat, memperkuat sistem managemen karir berdasarkan merit sistem dimana terbuka peluang yang sama bagi setiap PNS untuk meningkatkan karir berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. Selama ini terkesan proses rekrutmen PNS dalam jabatan yang dilakukan oleh Baperjakat berjalan kurang objektif dan transparan sehingga PNS malas untuk meraih prestasi tertentu. Ada kesan kemampuan adalah nomor dua, nomor satunya adalah kedekatan dengan pejabat dan factor nasib. Kelima, bagi masyarakat, ini adalah kesempatan terbaik untuk membuktikan apakah kinerja pelayanan publik akan semakin baik? Secara teori tentu iya, namun apakah kenyataannya akan berbanding lurus dengan konsep teoritisnya. Tentu peran aktif masyarakat juga menjadi faktor penting bagi peningkatan kualitas pelayanan publik. Untuk itu, mestinya hal ini juga dibarengi dengan upaya pengawasan masyarakat yang jauh lebih intens agar pejabat yang telah diseleksi lebih fokus pada kerja pelayanan masyarakat. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan proses ini tidak berhasil, antara lain. Pertama, mekanisme seleksi pastilah memakan waktu yang relative lama dan biaya yang besar. Proses seleksi pastilah melibatkan berbagai lembaga terkait seperti Badan Kepegawaian Negara, Kemenpan dan RB dan Perguruan tinggi. Disamping proses seleksi tentu harus melewati prosedur standar bagi setiap daerah, ini menyebabkan proses berjalan relative lama. Lain lagi kalau kita hitung biaya penyelenggaraannya. Mengingat jabatan eselon di setiap level itu sangat banyak, mulai jabatan eselon I, II, II dan IV yang kosong akibat mutasi atau pensiun setiap bulannya pastilah biayanya juga besar. Kedua, mekanisme seleksi juga tidak menjamin hasilnya baik, mengingat pengalaman bernegara kita ada saja oknum-oknum yang diberi kepercayaan tertentu kurang amanah. Panitia Seleksi bisa saja tidak memberi nilai secara objektif karena ada kepentingan tertentu, baik kepentingan diri sendiri maupun kepentingan orang lain secara tidak sah. Budaya 9
birokrasi kita belum menunjukkan perubahan perilaku yang berintegritas dan layak dipercaya. Ketiga, keterbatasan aparatur yang professional di bidang tugasnya. Mengapa pelayanan public saat ini kurang baik ? Salah satu jawabannya adalah kurangnya PNS yang profesional. Kurangnya profesionalitas ini diakibatkan oleh tingkat pendidikan yang kurang memadai, pelatihan jabatan yang terbatas dan sedikit minat untuk belajar secara mandiri. Oleh karena itu kalaupun proses penyaringan dalam jabatan tertentu sudah dilakukan dengan baik namun karena kompetensi dan profesionalitas yang ada masih terbatas maka hasilnya juga kurang memuaskan. c. Kepemimpinan Birokrasi Nasional di Setiap Jabatan Apabila kepemimpinan secara nasional diterapkan maka pegawai yang direkrut akan berkualitas, karena diuji kompetensi akademisnya, kredibilitas dan loyalitasnya. Untuk menentukan PNS yang memegang jabatan struktural ditentukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan diseleksi secara terbuka. PNS peserta yang mendaftar untuk ikut tes lelang jabatan bisa dari provinsi lain, asalkan memenuhi syarat kepangkatan. Contohnya, PNS yang dilahirkan dan dibesarkan dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya, bisa berkarier di Provinsi Kalimantan Barat. PNS yang dilahirkan dan dibesarkan dari Provinsi Kalimantan Barat bisa berkarier di Provinsi Papua. Nantinya hanya orang yang berkualitas bisa diterima menjadi PNS. Ini akan memotivasi PNS bekerja lebih profesional dan maksimal. Hasil tes langsung diperiksa tim dari Jakarta dan teknis pengumuman kelulusan memang sengaja tidak dikoordinasikan terlebih dahulu dengan kalangan pejabat pemerintah penentu kebijakan di daerah. Permasalahannya adalah ketika sumber daya didaerah yang bersangkutan masih rendah atau dibawah rata-rata, maka daerah tersebut bisa dipimpin oleh orang yang berasal dari luar daerah. Hal ini akan menjadi permasalahan baru, karena masih adanya masih adanya pandangan bahwa daerah harus dipimpin oleh putra asli daerah tersebut. d. Membangun Profesionalisme Dalam Birokrasi Yang Efektif Untuk membangun profesionalisme dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut : Proses seleksi yang diadakan untuk merekruit SDM aparatur birokrasi dilaksanakan seobyektif mungkin, dengan menggunakan standar yang tinggi dan ketat dan pelaksanaan proses seleksi yang jujur. 10
Dalam rangka meningkatkan integritas dan profesionalisme, aparatur birokrasi harus dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance, seperti
prinsip
keterbukaan
(transparancy) dan akuntabilitas (accountability). Keterbukaan dapat diartikan bahwa aparatur birokrasi adalah bagian dari masyarakat, yang berintegrasi dengan masyarakat serta memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Akuntabilitas artinya aparatur birokrasi harus dapat mempertanggungjawabkan semua perilakunya secara hukum, dan meminimalisir pelanggaran yang terjadi. Perbaikan-perbaikan sistem promosi aparatur birokrasi, pendidikan dan pelatihan, serta mekanisme pengawasan yang lebih memberikan peran serta yang besar kepada masyarakat terhadap perilaku aparatur birokrasi. Misalnya dengan melaksanakan: o
Pendidikan dan pelatihan kepemimpinan;
o
Pendidikan dan pelatihan fungsional;
o
Pendidikan dan pelatihan teknis;
o
Penegakan disiplin aparatur birokrasi melalui pemberian reward and punish ment.
Peningkatan kesejahteraan aparatur birokrasi yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Sebagai bagian dari upaya penegakan supremasi hukum. Secara kelembagaan aparatur birokrasi yang belum sesuai menjadi penyebab tidak berjalannya reformasi birokrasi. Kearah upaya meningkatkan integritas dan profesionalisme inilah aparatur birokrasi
harus dibawa dan diposisikan guna dapat mengemban tugas pokoknya secara lebih baik, sebab hanya dengan demikian aparatur birokrasi akan memperoleh kredibilitas, legalitas, akuntanbilitas dan wibawanya sehingga senantiasa, akan dekat dan dapat dipercaya oleh rakyatnya. Dan pada akhirnya reformasi birokrasi menjadi sukses, sehingga desentralisasi yang efisien dapat terwujud. Selain itu, juga dapat dilakukan cara seperti : a. Penetapan Standar Kompetensi b. Peningkatan Kemampuan PNS Berbasis Kompetensi c. Sistem Nasional Diklat PNS Berbasis Kompetensi d. Penegakan Etika dan Disiplin Pegawai Negeri e. Sertifikasi Kompetensi Profesi f. Mutasi dan Rotasi Sesuai dengan Kompetensi Secara Periodik g. Pengukuran Kinerja Individu h. Penguatan Jabatan Fungsional: • Penambahan jumlah 11
• Penetapan Pola Karier • Peningkatan Kemampuan • Peningkatan Tunjangan e. Dilema jabatan dalam UU ASN (Antara Kepentingan Publik dan Pribadi) Hal utama yang menjadi permasalahan bagi pegawai pemerintah adalah kurangnya tingkat kesejahteraan. Tidak dapat dipungkiri bahwa penerimaan pegawai masih jauh dari yang diharapkan. Setidaknya, gaji dan tunjangan harus mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Ini menjadi dilema bagi pegawai, dimana mereka dituntut untuk memberikan pelayanan prima sementara pikiran mereka melayang untuk mencari “umega (usaha menambah gaji)”. Hal ini perlu menjadi perhatian utama pemerintah agar pelayanan prima dapat diciptakan. Selain itu, apabila pengisian jabatan secara nasional ini jadi diterapkan, maka akan banyak modus atau latar belakang yang mendorong seseorang untuk mengambil jabatan disuatu tempat. Salah satu dari sekian banyak modus adalah adanya kepentingan pribadi. Contohnya adalah bahwa jabatan yang dituju di suatu daerah merupakan tempat asal dari yang bersangkutan ataupun tempat keluarganya bermukim. Dengan dasar ini, makan tujuan untuk melayani publik agak sedikit ternoda. Namun, hal ini akan menjadi sirna apabila diikuti oleh profesionalitas dan komitmen yang tinggi dari seseorang / pegawai tersebut. Lebih jauh lagi, apabila mereka mampu menyelaraskan kepentingan pribadi dan publik maka akan tercipta goal congruence, sehingga kedua kepentingan ini dapat dipenuhi oleh pegawai tersebut.
3. Rekomendasi pondasi kelembagaan KASN Sebagaimana telah diatur oleh UU ASN No. 5 Tahun 2014, KASN terdiri dari a. Ketua (1 orang) b. Wakil ketua (1 orang) c. Anggota (5 orang) d. Asisten dan pejabat fungsional keahlian e. Kepala Sekretariat f. Anggota sekretariat g. Majelis kehormatan
12
Untuk itu, dapat rekomendasikan kelembagaan KASN yang mendasar seperti : Presiden
Badan Kehormatan
Ketua KASN
Asisten dan Pejabat Keahlian Fungsional
Wakil Ketua KASN
Kepala Sekretariat
Anggota Sekretariat
Deputi Pengawasan dan Pembinaan Profesi ASN
Deputi Pengawasan Sistem Merit
Deputi Pelaporan
Namun ini adalah pondasi, akan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Ini hanya mencakup tugas dari KASN, yaitu : 1. Menjaga netralitas pegawai ASN 2. Melakukan pengawasan dan pembinaan profesi ASN 3. Melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden
4. Analisis UU 5 tahun 2014 dengan menggunakan teori Traditional Model of Public Administration dan New Public Management Perbedaan UU Pokok Kepegawaian (UU 8/1974 JO 43/1999) dengan UU ASN, sebagai berikut :
13
Perbedaan Struktur : UU POKOK KEPEGAWAIAN
UU ASN
(UU 8/1974 JO 43/1999)
(SETELAH PEMBAHASAN)
VI BAB
XV BAB
41 Pasal
134 Pasal
12 PP
17 PP
UU POKOK KEPEGAWAIAN
UU ASN
(UU 8/1974 JO 43/1999)
(SETELAH PEMBAHASAN)
Perbedaan Substansi :
Pendekatan Administrasi Kepegawaian
Pendekatan Manajemen SDM
Sistem karier tertutup
Sistem karier terbuka
PNS belum ditetapkan sebagai profesi
ASN sebagai profesi.
PEGAWAI NEGERI :
APARATUR SIPIL NEGARA :
• Pegawai Negeri Sipil :
•
o Pusat
Pegawai
Negeri
Sipil
Republik
Pemerintah
dengan
Indonesia
o Daerah
•
o PTT
Pegawai
Perjanjian Kerja (PPPK)
o TNI (sudah ada UU tersendiri) • POLRI (sudah ada UU tersendiri) Jabatan :
Jabatan :
• Struktural : Eselon I s.d V
• Struktural : Jabatan Pimpinan Tinggi
• Fungsional : Keahlian Keterampilan
& Jabatan Administrasi • Fungsional : Keahlian Keterampilan
Pejabat
yang
berwenang
mengangkat, Pejabat
yang
berwenang
mengangkat,
memindahkan dan memberhentikan PNS memindahkan dan memberhentikan PNS (Pejabat Pembina Kepegawaian):
(Pejabat Pembina Kepegawaian):
• Presiden
• Presiden
• Didelegasikan kepada pejabat non karier • Didelegasikan kepada Pejabat (Menteri,
Gubernur,
Bupati/Walikota)
dan karier (Kepala LPNK)
non
karier (Menteri) dan Karier (Kepala LPNK, Sekda)
14
Pembentukan Komisi Kepegawaian Negara
Pembentukan Komisi Aparatur Sipil Negara
(KKN)
(KASN) bertugas
dijabat
ex-officio
Kepala
BKN
menjamin
penerapan
(sampai sekarang belum dibentuk)
sistem merit
Batas Usia Pensiun (BUP) tidak diatur
Batas Usia Pensiun (BUP) diatur secara
secara eksplisit (diatur dalam Peraturan
eksplisit dimuat dalam batang tubuh RUU
Pemerintah) Sistem Informasi ASN tidak diatur secara
Sistem informasi ASN secara nasional dan
eksplisit
terintegrasi antar instansi pemerintah
Sistem penggajian dengan skala ganda
Perubahan struktur gaji ke arah skala tunggal secara bertahap
Sanksi pidana tidak diatur
Pengaturan sanksi pidana bagi pejabat/ pegawai
yang
wewenang pegawai
menyalahgunakan
dalam ASN
atau
pengadaan
calon
pengisian
calon
pimpinan tinggi. Prinsip kunci dalam model tradisional model, sebagai berikut : 1. Tugas institusi diputuskan oleh politisi, dieksekusi oleh birokrasi 2. Pemerintahan/negara dalam bentuk tertulis, terdapat petunjuk teknis, prosedur. 3. Berbasis aturan 4. Menekankan pentingnya pelatihan dan pengembangan 5. Fungsi dibagi dalam unit-unit yang saling berbeda, sehingga koordinasi dan komunikasi tidak bersinergi 6. Modelnya hirarkis 7. Pemisahan kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi sehingga tidak bisa menggunakan sumber daya organisasi untuk pribadi 8. Bertujuan melayani publik dengan baik, sehingga kepentingan lain dikesampingkan 9. Pegawai mempunyai rasa memiliki tugas sebagai abdi negara. Sedangkan, model New Public Management lebih menekankan pada : 1. Fokus kepada hasil dan akuntabilitas 2. Fleksibel dalam struktur, kebijakan, proses dan praktek 3. Ada evaluasi dan monitoring atas kinerja 4. Adanya komitmen politik setinggi eselon I dan II 5. Adanya pasar jabatan 6. Mengurangi peran dan fungsi pemerintah 15
Berdasarkan analisa diatas, dapat disimpulkan bahwa birokrasi Indonesia sudah mengarah ke New Public Management. Namun, masih terdapat beberapa poin yang masih menganut model tradisional. Butuh waktu, sumber daya manusia serta sistem yang mampu untuk melaksanakan semua itu.
Tinjauan Pustaka UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Permenpan dan RB No. 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian http://wuriantos.blogspot.com http://taufiqnurohman25.blogspot.com http://lutfihakim.blogspot.com
16