1. Pendahuluan
1. 1 Latar belakang Kepulauan Raja Ampat terletak di Provinsi Papua Barat dengan posisi geografis pada 2 025’ Lintang Utara – 4025’ Lintang Selatan dan 1300 – 132055’ Bujur Timur (Gambar 1). Kepulauan ini membentang seluas 4.600.000 ha yang meliputi wilayah darat dan laut. Lokasinya berada di pintu masuk Arus Lintas Indonesia bagian timur laut yang mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, menjadi faktor penting bagi kehati Raja Ampat. Kepulauan Raja Ampat juga merupakan wilayah yang penting di kawasan Segitiga Karang Dunia, sebuah kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati (kehati) karang tertinggi di dunia, membentang di enam negara termasuk Indonesia. Hasil pendugaan ekologi secara cepat (Rapid Ecological Assessment – REA) yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) dan The Nature Conservancy (TNC) secara berturut-turut pada tahun 2001 dan 2002 menunjukkan kehati laut yang tinggi di Kepulauan Raja Ampat. Wilayah ini menjadi rumah bagi lebih dari 75% jenis karang dunia. Sebanyak 553 jenis karang terdapat di wilayah ekoregion Raja Ampat (Veron dkk, 2009). Angka tersebut menunjukkan bahwa Raja Ampat memiliki kehati karang tertinggi di dunia. Terdapat dua jenis terumbu karang endemik di Raja Ampat dari keluarga Acroporidae yaitu Montipora delacatula dan Montipora verruculosus (DeVantier dkk., 2009).
Selain itu, setidaknya 41 jenis dari 90 genus karang lunak
Alcyonacean dari 14 Famili ada di wilayah ini (Donnelly dkk., 2002). Wilayah ini juga mendukung keberadaan 699 jenis moluska dan menjadi rumah bagi 5 jenis penyu (McKenna dkk., 2002). Raja Ampat memiliki kehati jenis ikan karang terkaya di dunia. Sebanyak 1.476 jenis ikan karang ada di Raja Ampat termasuk jenis-jenis baru dan hanya ditemukan di wilayah ini (Erdmann dan Allen, 2009). Dengan tingkat keragaman hayati yang begitu tinggi, para ilmuwan menyebut Kepulauan Raja Ampat sebagai jantung Segitiga Karang Dunia. Kepulauan Raja Ampat menjadi rumah bagi 15 jenis mamalia laut yang terdiri dari 14 jenis setasea (paus dan lumba-lumba) dan 1 jenis duyung (Dugong dugon) (Kahn, 2007).
1
Paus sperma (Physeter
macrocephalus) dan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) adalah dua dari jenis-jenis setasea yang sering ditemukan di perairan Raja Ampat. Beragam ekosistem darat dan laut terdapat di Kepulauan Raja Ampat termasuk hutan hujan tropis dan savana hingga ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang di wilayah pesisirnya. Karakter kepulauan sangat menononjol dengan adanya atol, pulau-pulau batu kapur (karst), pulau karang, gosong karang (patch reefs), dan gunung laut (seamount). Penelitian yang baru saja dilakukan memberikan informasi bahwa terdapat sebanyak 56 danau air asin di Raja Ampat, yang terbentuk di antara ekosistem batuan kapur karst di Misool dan Wayag (Becking, 2011). Biota yang tinggal di danau air asin menunjukkan endemisme tinggi karena keterpisahannya dari ekosistem asli di laut. Informasi tentang keragaman hayati tumbuhan di Kepulauan Raja Ampat relatif sulit diketahui, tetapi sebagian besarnya sama dengan tumbuhan di Papua Nugini yang telah yang bersifat endemik dan memiliki kemiripan dengan tumbuh-tumbuhan di Maluku (Webb, 2004). Karena sebagian besar daerah di Raja Ampat memiliki ketinggian kurang dari 1.000 meter maka di kepulauan ini tipe tumbuhan menunjukkan karakter hutan dataran rendah.
Satu-satunya tumbuhan endemik Raja Ampat yang
teridentifikasi adalah Rhododendron cornu-bovis. Sebagai wilayah kepulauan, Raja Ampat memiliki total pulau besar dan kecil sebanyak 610 pulau dengan garis pantai sepanjang 4.860 km.
Sebanyak 34 pulau didiami oleh penduduk. Terdapat empat pulau
besar di Kabupaten Raja Ampat yang meliputi Pulau Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Salawati, dan Pulau Misool. Wilayah yang kaya keragaman hayati ini pun tidak luput dari berbagai ancaman yang bersumber dari kegiatan manusia. Meskipun secara keseluruhan kondisi karang di Raja Ampat relatif baik, tetapi tandatanda penggunaan bom dan racun ikan bahkan kondisi tangkap lebih terjadi di sini. Dalam rangka mengupayakan pengelolaan yang lestari dalam jangka panjang, diperlukan informasi yang utuh dan perencanaan tata ruang yang tepat yang memperhatikan aspek konservasi dan pemanfaatan potensi perikanan berkelanjutan dengan memperhatikan kearifan lokal, pendapat, dan kepentingan masyarakat Raja Ampat.
2
Gambar 1 Peta Kepulauan Raja Ampat dan Posisinya di kawasan Segitiga Karang
Secara administratif Kepulauan Raja Ampat termasuk dalam wilayah Kabupaten Raja Ampat.
Sebagai
upaya pengelolaan sumberdaya hayati laut dan ekosistemnya secara berkelanjutan, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2008 mengeluarkan Peraturan Daerah No. 27 tentang Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Raja Ampat yang meliputi Kepulauan Ayau-Asia, Selat Dampier, Teluk Mayalibit, Kawe, Kofiau dan Misool. Pada tahun 2009 terjadi penyerahan pengelolaan beberapa Suaka Margasatwa Laut (SML) dan Suaka Alam Laut (SAL) dari Departemen Kehutanan Republik Indoensia kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Satu di antaranya adalah penyerahan SML Kepulauan Raja Ampat dan SML Kepulauan Panjang yang dikenal dengan TPPKD Sayang-Wayag. Berdasarkan Berita Acara SerahTerima No. BA.01/Menhut-IV/2009 dan BA.108/MEN.KP/II/2009 maka kedua SML tersebut berubah
3
penamaannya menjadi Suaka Alam Perairan dengan status pengelolaan sebagai Konservasi Perairan Nasional (KKPN). Ketujuh kawasan konservasi perairan tersebut menjalankan fungsi biofisik yang saling mendukung bagi keberlanjutan kehati dan membentuk sebuah jejaring kawasan perlindungan laut di wilayah Bentang Laut Kepala Burung Papua (BLKBP). Diperlukan upaya pengelolaan secara terpadu di seluruh kawasan tersebut untuk memastikan jejaring kawasan konservasi ini dapat menjalankan fungsi-fungsinya. Mengacu pada Peraturan Menteri No. 17 Tahun 2008 dan berdasarkan Undang Undang No 27 Tahun 2007, kawasan konservasi Kabupaten Raja Ampat dikategorikan kedalam Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulua Kecil (KKP3K) karena terdapatnya sejumlah pulau-pulau kecil didalam kawasan konservasi ini. Adapun jenisnya sebagai Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat yang terdiri dari 5 wilayah kawasan konservasi yaitu Wilayah I Kepulauan Ayau-Asia, Wilayah II Selat Dampier, Wilayah III Teluk Mayalibit, Wilayah IV Misool dan Wilayah V Kofiau. Rencana Pengelolaan ini disusun sebagai arahan dalam pengelolaan ke enam wilayah kawasan konservasi dalam TPPKD Raja Ampat. Pembuatan Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat mengacu pada peraturan dan arah pembangunan nasional dan daerah yaitu 1. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, 2. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 3. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, 4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 02 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan, 6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan.
4
1.2 Tujuan dan Sasaran Penyusunan Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat bertujuan untuk merancang pedoman pelaksanaan pengelolaan yang menyeluruh dan terpadu bagi pengelolaan yang adaptif dan kolaboratif bagi seluruh TPPKD di wilayah Kabupaten Raja Ampat dengan memperhatikan kelestarian kehati, perikanan yang berkelanjutan, pariwisata bahari, pendidikan dan pelatihan, serta pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Sasaran utama Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah sebagai berikut: 1. Memastikan legitimasi penetapan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan. 2. Meningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat. 3. Meningkatkan fungsi pengelolaan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja dengan upaya perancangan sistem zonasi. 4. Meningkatkan efektifitas kelembagaan pengelola Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat pada tingkat kabupaten, distrik dan kampung atau di tingkat lapangan. 5. Membangun kerjasama pengelolaan TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat dalam konteks jejaring KKP Raja Ampat.
5
2. Potensi dan Permasalahan
2. 1 Potensi Umum Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat memiliki keanekaragaman hayati laut yang melimpah. Gugusan pulau-pulau kecil ini terletak di ‘jantung’ wilayah Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle) yang merupakan pusat keanekaragaman hayati karang di dunia dengan beragam biota yang berasosiasi dengannya, seperti ikan dan avertebrata. Sejumlah 553 jenis karang ditemukan di Kepulauan Raja Ampat (Veron dkk., 2009), angka ini menunjukkan bahwa keragaman jenis karang di Raja Ampat adalah yang tertinggi di dunia. Keragaman jenis Moluska (hewan lunak) termasuk tinggi dengan 699 jenis teridentifikasi (Wells dalam Mc. Kenna dkk, 2002). Tercatat 530 jenis siput-siputan (gastropoda), 159 jenis kerang-kerangan (bivalva), 2 jenis scaphoppoda, 5 jenis cumi-cumi (cephalopoda), dan 3 jenis chiton. Jenis-jenis hewan tersebut adalah yang umum ditemukan di daerah karang terlindung. Beberapa jenis moluska yang bernilai ekonomis antara lain adalah kerang-kerangan, cumi-cumi (Loligo sp.), sotong (Sepia sp.), gurita (Octopus sp.), teripang dan tiram mutiara (Pinctada sp). Kawasan ini juga memiliki jenis kima raksasa (Tridacna gigas) yang berukuran hingga 1,5 m yang dapat ditemukan dengan mudah. Jenis kima Tridacna crocea dan jenis siput Strombus luhuanus melimpah di beberapa lokasi (Wells dalam Mc. Kenna dkk, 2002). Keberadaan kerang ini menjadi indikator bahwa kondisi terumbu karang di wilayah Kepulauan Raja Ampat masih tergolong sehat (McKenna dkk., 2002). Selain itu, Kepulauan Raja Ampat kaya akan jenis-jenis ikan. Hasil penelitian terbaru menunjukkan total 1427 jenis ikan karang ada di sini (Jones et al., 2011). Beberapa jenis ikan adalah jenis unik dan endemik untuk wilayah ekologi Bentang Laut Kepala Burung Papua (BLKBP). Waigeo merupakan tempat penting bagi hiu karang sirip hitam (Carcharhinus melanopterus), bengkolo sirip biru - Bluefin Trevally (Caranx melampygus), Bubara mata besar – bigeye trevally (Caranx sexfasciatus), ikan bidadari – semicircular angelfish (Pomacanthus semicirculatus), dan ikan sersan mayor – sergeant major (Abudefduf vaigiensis). Jenis-jenis ikan endemik diantaranya adalah (Moringua abbreviate), (Hemiscyllium freycineti), (Apogon leptofasciatus), dan (Callionymus brevianalis).
6
Secara umum jenis lamun yang terdapat di Papua adalah Enhalus acroides, Halodule sp., Halophila sp., Thalassia hemprichii, Cymodocea sp. (Hutomo dalam Dahuri dkk, 2001). Ekosistem padang lamun terdapat di bagian timur, selatan dan barat Pulau Kofiau, sekitar Pulau Ayau, bagian barat Pulau Batanta, sekitar Pulau Gam dan di bagian barat Pulau Waigeo. Sementara rumput laut banyak terdapat di daerah Distrik Misool, Samate dan Waigeo Utara. Komoditas ini telah dibudidayakan oleh masyarakat, khususnya rumput laut jenis Euchema cottonii. Perairan Raja Ampat juga memiliki beragam jenis udang dan kepiting (krustasea). Jenis udang bernilai ekonomi tinggi adalah udang barong (Panulirus sp.); jenis ini banyak ditemukan di daerah terumbu karang. Selain itu komoditas lainnya adalah kepiting bakau (Scylla serrata) dan rajungan (Portunnus sp.) yang sering ditemukan di dekat hutan bakau. Wilayah gugus pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat juga memiliki kekayaan satwa penyu yang merupakan jenis yang dilindungi, seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Satwa lainnya yang banyak ditemukan di wilayah perairan Raja Ampat adalah mamalia laut (setasea) paus dan lumba-lumba.
2.1.1 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Sektor perikanan merupakan salah satu andalan kegiatan perekonomian di Kabupaten Raja Ampat, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Sebelum Raja Ampat menjadi sebuah kabupaten, sektor perikanan menyumbang pendapatan sebesar tidak kurang Rp 1,5 milyar per tahun bagi Kabupaten Sorong (Atlas Raja Ampat, 2006). Komoditas unggulan lain dari sektor perikanan budidaya di Kabupaten Raja Ampat adalah rumput laut dan mutiara.
2.1.1.1 Demografi Jumlah penduduk di Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2.000 sebanyak 27.039 jiwa, sedangkan pada tahun 2006 sebanyak 32.055 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 4 jiwa/km2. Laju pertumbuhan penduduk sampai dengan tahun 2006 adalah 18,6%, dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun adalah 3,9%. Angka pertumbuhan ini lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk Papua pada tahun 2000 sebesar 3,2%.
Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Distrik Waigeo Selatan sebesar 8,7%
sedangkan terendah di Distrik Kepulauan Ayau sebesar 0,1% (Atlas Raja Ampat, 2006). Jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Raja Ampat berdasarkan hasil Penilaian Paritisipatif Pedesaan (Participatory Rural Appraisal – PRA) 2005 sedikit lebih banyak dibanding penduduk perempuan yaitu sebesar 52.6%. Secara keseluruhan penduduk usia anak-anak (0-14 tahun) merupakan komposisi usia yang mendominasi sebesar 44%, dan jumlah ini hampir setengah dari total penduduk Kabupaten Raja
7
Ampat. Kondisi ini berdampak pada beban usia produktif (15 – 64 tahun) untuk menghidupi penduduk usia anak-anak.
2.1.1.2 Pendidikan Pendaftaran masuk sekolah di wilayah Provinsi Papua Barat berada di bawah rata-rata angka di tingkat nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 berdampak pada tingkat pendaftaran siswa masuk sekolah menurun sebanyak 5%. Setelah diterapkanya sistem otonomi daerah pada tahun 2001, rata-rata tingkat pendaftaran sekolah di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah mengalami peningkatan menjadi secara berurutan 78% dan 50%. Pada tahun 2001 tercatat bahwa sekitar 96% siswa dapat menyelesaikan pendidikan dasar dan melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi (World Bank dan Pemerintah Provinsi Papua dalam Mollet, 2007). Sebagian besar (98%) penduduk di Kabupaten Raja Ampat mengenyam pendidikan sampai dasar; hampir 70% dari mereka meneruskan ke tingkat pendidikan menengah, meskipun demikian belum tentu mereka menyelesaikan pendidikan tersebut (Hess dkk., 2011). Terdapat sejumlah 80 sekolah dasar, 16 sekolah menengah pertama, 3 sekolah menengah umum diKabupaten Raja Ampat (Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Raja Ampat, 2006). Dengan kompisisi usia sekolah yang tertinggi di Raja Ampat, keterbatasan jumlah dan pengetahuan guru serta jumlah ruang kelas di setiap sekolah masih menjadi permasalahan bagi kualitas pendidikan masyarakat di Raja Ampat.
2.1.1.3 Kesehatan
Fasilitas kesehatan secara umum di Kepulauan Raja Ampat masih terbatas. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tersebar di hampir setiap distrik yaitu 3 buah Puskesmas rawat inap di Distrik Waigeo Selatan, Waigeo Utara, dan Distrik Misool, dan 5 Puskemas rawat jalan. Puskesmas Pembantu berjumlah 23 tersebar di 8 distrik. Pada lokasi yang memiliki kasus malaria tergolong tinggi sudah didirikan Pos Malaria Desa (Posmaldes). Penyakit yang umum diderita oleh penduduk Raja Ampat adalah malaria klinis, saluran pernafasan akut dan penyakit kulit. Kasus kematian ibu waktu melahirkan masih terjadi di Raja Ampat. Pada tahun 2005 tercatat 8 kasus. Kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Raja Ampat masih tergolong rendah, ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah karena keterbatasan sarana dan pelayanan kesehatan, ketersediaan obat-obatan, tidak tersedianya cukup sarana air bersih, dan kurangnya informasi kesehatan.
8
2.1.1.4 Agama Mayoritas penduduk di Kabupaten Raja Ampat beragama Kristen Protetestan (23.728 jiwa atau 74%), sedangkan lainnya beragama Islam (26%) dan sisanya beragaman Katolik dan Hindu. Distrik Misool Timur Selatan merupakan distrik dengan penduduk mayoritas agama Islam terbesar, sementara seluruh penduduk yang tinggal di Distrik Kepulauan Ayau dan Waigeo Timur beragama Kristen Protestan. Sarana peribadatan di setiap distrik dan kampung tersedia dengan baik. Secara keseluruhan di Kabupaten Raja Ampat terdapat 75 gereja dan 25 mesjid. Kerukunan umat beragama terjalin di seluruh wilayah Kabupaten Raja Ampat.
2.1.1.5 Suku, Bahasa , Budaya, dan Adat Kebiasaan
Masyarakat di Kepulauan Raja Ampat masih menganut sistem adat berdasarkan kekerabatan diantara beberapa klan. Survei yang dilakukan pada tahun 2005 tentang Penilaian Desa Pesisir (Hess dkk., 2011) mendapatkan informasi tentang enam suku yang tinggal di wilayah Kabupaten Raja Ampat yaitu suku Maya, Matbat, Biak. Moi, Amer, Buton, Biak, Seram, dan Kei. Tiga suku besar asli penduduk Raja Ampat adalah suku Moi, Biak, dan Amer. Suku-suku tersebut hidup menyebar di kampung-kampung di Kepulauan Raja Ampat.
Adanya kepercayaan bahwa mereka masih berasal dari satu keturunan
menyebabkan interaksi antar suku yang berjalan baik dengan hubungan kekerabatan yang kuat dan rasa saling menghormati. Rangkaian kepulauan di Raja Ampat mempengaruhi keadaan bahasa dan penuturnya maupun sistem sosial yang dianut oleh masyarakat. Lokasinya yang unik berbatasan langsung dengan pulau lain dari kepulauan berbeda baik provinsi maupun negara, menjadikan daerah ini perbatasan berbagai kelompok bahasa dan budaya. Ditemukan 12 bahasa termasuk bahasa asli Raja Ampat yaitu Ma’ya. Ambel, Matbat, Biga, dan bahasa Salawati (Remijsen, 2001). Bahasa Melayu Papua merupakan bahasa yang paling sering dipergunakan saat ini untuk dapat berkomunikasi di antara beragam suku dan bahasa di Kabupaten Raja Ampat. Bagi suku-suku di Raja Ampat tanah merupakan harta pusaka. Mereka percaya bahwa tanah memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan. Dengan adanya tanah, masyarakat Raja Ampat dapat berkebun dan hasilnya dapat dimakan dengan hasil tangkapan ikan dari laut. Tanah juga memberikan tempat berpijak untuk mereka tinggal. Pembagian wilayah hak adat atas pengelolaan laut masih dilakukan di Raja Ampat. Masyarakat Raja Ampat mengenal pembagian hak dan penentuan batas wilayah ulayat laut. Sasi merupakan istilah yang umum dipergunakan sebagai sebuah aturan pemanfaatan sumber daya. Sasi laut mengacu pada aturan dan tata tertib yang mengatur pemanfaatan sumber daya laut dan menetapkan pembatasan atas alat
9
tangkap, spesies yang dipanen, waktu panen, lokasi panen, dan siapa saja yang berhak untuk memanen (Bailey dan Zerner dalam McLeod, 2007). Kampung Arborek dan Fam mempunyai aturan untuk pembatasan nelayan dari luar untuk menangkap ikan di salah satu wilayah desa tertentu. Pembatasan ukuran tangkapan lobster dilakukan masyarakat di Desa Sawinggarai. Desa Arborek menetapkan lola atau susu bundar pemanenannya diatur berdasarkan ukuran tangkapan tertentu. sistem moratorium (sasi gereja) untuk teripang, lobster dan lola; jenis-jenis tabu yang tidak boleh ditangkap di daerah tertentu (Tropika, 2005)
2.1.2 Ekonomi Sebagian besar masyarakat di Raja Ampat, sebanyak hampir 80% bergantung pada pemanfaatan langsung sumber daya laut (perikanan) sebagai mata pencaharian utamanya. Pada tahun 2006 sektor perikanan menyumbang 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan 82% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat (Huffard dkk., 2010). Penilaian ekonomis terhadap pemanfaatan sumber daya alam laut di Raja Ampat yaitu perikanan tradisional dan komersial, budidaya mutiara, penambangan karang dan budidaya rumput laut menunjukkan diperkirakan sekitar Rp. 126 milyar di tahun 2006 dan diprediksikan akan meningkat menjadi Rp. 1,2 triliun dalam waktu 20 tahun (Huffard et al., 2010). Pada sektor pariwisata, peningkatan nilai diperkirakan terjadi secara signifikan menjadi Rp. 2 milyar per tahun dari semula Rp. 14 milyar per tahun pada tahun 2006. Sektor pariwisata memberikan kontribusi PAD terbesar kedua bagi Kabupaten Raja Ampat, yang mana 34% dari seluruh pendapatan pariwisata ini disalurkan bagi program pemberdayaan masyarakat. Hasil survei pesisir menunjukkan 45% masyarakat Raja Ampat adalah nelayan dan 44% adalah petani (Larsen dkk., 2011). Meskipun demikian sulit untuk membedakan kedua jenis pekerjaan tersebut, karena banyak rumah tangga di Raja Ampat melakukan kedua kegiatan tersebut hampir secara bersamaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Selain itu juga terdapat pedagang, pengusaha kayu, pegawai negeri sipil, guru, tokoh agama dan pencari kerja. Mata pencaharian sebagai nelayan merupakan mata pencaharian pokok yang dianggap memberikan hasil bagi penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan, baik pada siang hari maupun malam hari dan umumnya masih secara tradisional. Di antara seluruh distrik di Kabupaten Raja Ampat, masyarakat di Kepulauan Ayau dan Waigeo Selatan memiliki persentase tertinggi dalam hal pekerjaannya sebagai nelayan, sementara masyarakat di Kofiau
10
dan Waigeo timur paling rendah persentasenya. Lebih dari 90% kelompok masyarakat di Kabupaten Raja Ampat yang diteliti menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut (Atlas Raja Ampat, 2006). Meskipun penduduk di Kabupaten Raja Ampat mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, namun potensi perikanan yang begitu besar masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Nelayan-nelayan lokal menggunakan peralatan tangkap yang sangat sederhana sehingga kalah bersaing dengan kapal nelayan asing yang beroperasi di wilayah tersebut (Atlas Raja Ampat, 2006). Pada tahun 2000 tercatat sekitar 2.400 kapal asing yang beroperasi di perairan Raja Ampat dan sekitarnya.
2.1.3 Potensi Perikanan Perikanan merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Kabupaten Raja Ampat baik dari perikanan tangkap maupun budaya. Visi Kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten bahari menempatkan sektor perikanan dan kelautan sebagai sektor unggulan dalam membangun kabupaten ini. Potensi lestari maksimum yang dapat dimanfaatkan (Maximum Sustainable Yield – MSY) di perairan Raja Ampat adalah sebesar 590.600 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sekitar 472.000 ton/tahun atau 80% dari MSY. Pemanfaatan perikanan tangkap di luar perhitungan perikanan subsisten pada tahun 2005 tercatat sebesar 38.000 ton/tahun, sehingga diperkirakan masih tersedia peluang sebesar 434.000 ton/tahun (DKP Raja Ampat, 2005). Saat ini mulai terjadi pengeksploitasian sumberdaya perikanan, tercatat pada beberapa kasus sudah terjadi penurunan hingga 10% dari jumlah aslinya (Huffard dkk., 2010). Komoditas perikanan unggulan di di Kabupaten Raja Ampat, antara lain ikan tuna, cakalang tenggiri, kerapu, napoleon, kakap merah, teripang, udang dan lobster. Budidaya mutiara, kerapu, dan rumput laut menjadi komoditas potensial untuk dikembangkan di wilayah ini. Daerah penangkapan ikan kerapu dan napoleon terdapat di perairan Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Kepulauan Ayau, Batanta, Kofiau dan Misool; lobster di perairan Waigeo, Misool dan Kofiau; cumi-cumi di perairan Waigeo Selatan dan Misool; teripang dan ikan tenggiri hampir diseluruh perairan Kabupaten Raja Ampat (Atlas Raja Ampat, 2006). Alat tangkap yang paling umum dipergunakan di Kepulauan Raja Ampat adalah pancing dasar (88%), pancing tonda (54%), sisanya menggunakan bagan (Larsen dkk., 2011). Teknologi penangkapan yang
11
dipergunakan nelayan Raja Ampat masih sederhana. Meting, kegiatan pemanenan avertebrata di daerah terumbu karang, masih sering dilakukan. Di bidang perikanan, hasil penilaian ilmiah di Teluk Kabui telah mendorong pemerintah Kabupaten Raja Ampat untuk mengembangkan kebijakan membatasi jumlah armada tangkap yang dapat beroperasi di perairan Raja Ampat. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan penangkapan ikan secara berlebihan serta penangkapan ikan secara ilegal. Di sisi lain mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan pengelolaan perikanan lewat pendapatan daerah dari sektor perikanan. Hal ini juga tidak lepas dari rekomendasi ilmiah lewat Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Kabupaten Raja Ampat yang menunjukkan bahwa pilihan sektor pembangunan yang ideal bagi kabupaten ini adalah Perikanan dan Pariwisata (Dohar dan Aggraeni, 2006).
2.1.4 Potensi Pariwisata dan Alternatif Ekonomi Pola pemanfaatan yang umum dilakukan oleh masyarakat di Raja Ampat adalah dengan cara tradisional, mengekstraksi sumberdaya alam. Beberapa upaya dilakukan untuk menggali potensi lain dari sumberdaya di Raja Ampat termasuk memperhatikan aspek potensi pariwisata alam. CI melakukan survei PRA pada tahun 2008 untuk mengumpulkan data dari seluruh kampunng untuk menilai kondisi sumberdaya alam, manusia, perekonomian dan memasukkan aspek sosial kemasyarakatan. Hasil survei digunakan untuk merancang strategi mendorong dan mendemonstrasikan pilihan-pilihan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat diantaranya pariwisata berbasis alam berdasarkan jasa-jasa lingkungan yang bisa dinikmati di Raja Ampat. Salah satu peluang yang berpotensi tinggi adalah penerapan sistem tarif masuk bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat baik domestik maupun internasional.
Rangkaian proses dilakukan untuk
menetapkan payung hukum dan tata cara pengelolaan dana pariwisata termasuk menetapkan susunan tim pengelola: 1. Pelatihan bagi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk membangun wacana kepariwisataan yang tepat bagi Kabupaten Raja Ampat 2. Sosialisasi ke seluruh kampung yang akan menjadi tujuan wisata, sosialisasi kepada pemilik penginapan dan kapal pesiar yang beroperasi di Raja Ampat 3. Melakukan survei kerelaan untuk membayar biaya pariwisata bagi para wisatawan asing 4. Sosialisai kepada instansi terkait
12
5. Pelatihan kepada para pengelola kapal pesiar tentang etika menyelam dan berwisata di Raja Ampat 6. Diskusi dan lokakarya para pihak mengenai rancangan Peraturan Bupati (Perbup) 7. Penetapan tiga Peraturan Bupati; Perbup No. 63 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Masuk Wisata di Kabupaten Raja Ampat, Perbup No. 64 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Dana Pengembangan Kepariwisataan Non-Retribusi bagi Masyarakat Raja Ampat, Perbup No. 65 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Pengelola Dana Pengembangan Kepariwisataan Non-Retribusi bagi Masyarakat Raja Ampat. 8. Sosialisasi Perbup ke seluruh kampung tujuan wisata, dan 9. Peresmian Perbup oleh Kabupaten Raja Ampat. Peraturan Bupati secara umum mengatur tata cara wisata di Raja Ampat, yang secara detil menetapkan biaya berwisata dan peruntukan dana pariwisata seperti berikut: 1.
Bagi seluruh wisatawan asing yang masuk ke Kabupaten Raja Ampat untuk tujuan wisata harus membayar sejumlah Rp. 500.000,00 per orang per tahun.
Dana ini ini dialirkan sebagai
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sebagian besar sebagai Dana Non-Retribusi kepada Tim Pengelola. 2. Bagi seluruh wisatawan lokal yang masuk ke Kabupaten Raja Ampat untuk tujuan wisata harus membayar sejumlah Rp. 250.000,00 per orang per tahun. Tim Pengelola Dana Pengembangan Kepariwisataan mengelola dana non-retribusi dari pariwisata di Kabupaten Raja Ampat yang pemanfaatannya diatur sebagai berikut: 1. Sebesar 40% dari keseluruhan pendapatan akan dialokasikan untuk Dana Kesejahteraan Masyarakat, 2. Sebesar 40% dari keseluruhan pendapatan akan dialokasikan untuk Dana Konservasi, dan 3. Sebesar 20% dari keseluruhan pendapatan akan digunakan untuk biaya administrasi termasuk diantaranya untuk biaya operasional kantor dan membayar gaji Manajer dan Bendahara. Tim Pengelola merupakan gabungan berbagai unsur seperti pemerintah daerah, LSM setempat dan internasional, pengusaha pariwisata, dewan adat, dan PKK dengan susunan keanggotaan seperti pada tabel berikut. Peresmian sistem tarif masuk ini dilakukan oleh Bupati Raja Ampat pada tanggal 14 Agustus 2007, diikuti dengan pembangunan kantor pengelola di Bandara DEO Sorong dan pembukaan perwakilan pengambilan tanda pembayaran tarif masuk di Bali.
13
Sejak diresmikannya sistem tarif masuk obyek wisata hingga 2011 telah terkumpul dana sebesar Rp. 6.849.000,00. Detil penerimaan dan alokasi sesuai aturan yang berlaku terlihat pada tabel berikut.
2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 Pendapatan (x 1000)
2007 482500
2008 1252750
2009 1520500
2010 2093000
2011 1502250
Sumber : Data Pendapatan Pariwisata CI, 2011
Gambar 2 Rekapitulasi pendapatan dari tarif masuk wisata Kabupaten Raja Ampat periode 2007 – 2011
Pemanfaatan alokasi dana kesejahteraan masyarakat dilakukan berdasarkan masukan dan usulan dari masyarakat dan tergantung dari besaran yang diperoleh. Sampai dengan tahun 2010, dana tersebut telah digunakan untuk mendukung kegiatan Posyandu. Setiap bulan selama satu tahun berjalan, Tim Pengelola telah menyalurkan kacang hijau dan gula merah ke setiap kampung di mana terdapat Posyandu. Selain itu dana digunakan untuk pembelian vitamin bagi ibu hamil, seragam bagi setiap kader Posyandu, dan pencetakan buku kesehatan.
2.1.5 Potensi Biofisik Kepulauan Raja Ampat kaya keragaman jenis karang. Survei RAP dan REA pada tahun 2001 dan 2002 secara berurutan menginventarisasi keragaman karang sampai kedalaman 34 meter di lebih dari 100 lokasi penyelaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keanekaragaman terumbu karang tertinggi terdapat di perairan Misool di sebelah Utara pulau Djam dengan 182 spesies karang ditemukan. Sepuluh
14
lokasi tertinggi keanekargaman karangnya selain Misool diantaranya adalah Teluk Wambong, Kofiau (174 spesies) dan Tanjung Sool, Kofiau (173 spesies) . Tipe terumbu yang umum ditemukan di Raja Ampat adalah terumbu tepi (fringing reefs), terumbu cincin (atol), dan terumbu penghalang (barrier reefs). Atol ditemukan di Kepulauan Ayau-Asia. Gosong karang (patch reefs) ditemukan di Selat Dampier (DeVantier dkk., 2009). Keanekaragaman hayati di Raja Ampat ditunjang oleh karakteristik fisik yang khusus yang mendukukung keberlangsungan sumber daya lautnya. Letak lokasinya di pintu masuk Arus Laut Indonesia memberikan asupan hara yang cukup bagi perkembangan dan ketahanan spesies di Raja Ampat. Hasil survei proyek Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecosystem Based Management – EBM) yang merupakan kerjasama antara tiga lembaga CII, TNC, dan WWF di Bentang Laut Kepala Burung Papua (BLKBP) mendapatkan beberapa temuan penting bagi upaya konservasi di Raja Ampat. Suhu air adalah faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup terumbu karang. Kenaikan suhu berhubungan dengan keadaan cuaca yang ekstrim dan perubahan iklim dapat menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching).
Pada beberapa lokasi khusus dimana terjadi
upwelling, pengadukkan massa air laut dalam yang bersuhu lebih dingin ke permukaan, terumbu karangnya memiliki ketahanan yang lebih kuat dan dapat pulih lebih cepat dari ancaman pemutihan karang. Pencatat suhu permukaan harian yang dipasang di perairan Raja Ampat menunjukkan bahwa suhu rata-rata adalah 29°C selama rentang waktu 2,5 tahun. Keunikan lain adalah terumbu karang di Raja Ampat terpapar perbedaan rentang suhu yang besar yaitu mulai dari 17°C hingga 36°C (EBM Infosheet, 2008). Beberapa daerah penting di Raja Ampat yang mengalami upwelling termasuk Misool Timur Selatan dan Selat Dampier, Selat Sagewin, dan Selat Bougainville di Barat Laut Raja Ampat (Huffard dkk., 2010). Dalam hal pelestarian habitat dan populasi penyu, penelitian jejak penyu lewat satelit telah menunjukkan Raja Ampat sebagai lokasi peneluran yang penting secara regional bagi penyu sisik dan penyu hijau (Huffard dkk., 2010). Selain itu lewat jejak satelit juga kita dapat mengetahui wilayah ruaya/migrasi penyu Raja Ampat dalam skala yang luas di luar perairan Raja Ampat. Hasil ini tidak saja mendorong inisiatif ditetapkannya kawasan pantai peneluran Pulau Sayang, Piay dan Wayag sebagai kawasan konservasi laut tetapi mengajak pemerintah selain pemerintah Raja Ampat untuk melestarikan habitat penting lain sebagai tempat mencari makan bagi penyu secara regional termasuk di Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Kei Maluku Tenggara, serta Kalimantan Timur.
15
Kabupaten Raja Ampat pun memiliki keunikan danau air laut yang terbentuk di pulau-pulau batuan kapur Karst. Sejumlah 56 danau air laut ditemukan di Misool dan Wayag (Becking dan Mangubhai, 2011). Danau air laut yang ditemukan di Raja Ampat lebarnya sekitar 50 – 500 meter dan berkedalaman 2 – 20 meter, terbentuk pada masa evolusi yang masih mudah sekitar 7.000 – 12.000 tahun yang lalu.
2.2 Permasalahan Umum Berbagai ancaman yang cukup serius terhadap keberlangsungan sumberdaya laut terjadi di seluruh kawasan konservasi perairan di wilayah TPPKD Raja Ampat dan berpotensi menghancurkan sumber mata pencaharian serta potensi perikanan dan pariwisata. Penangkapan ikan dengan menggunakan bom sering dilakukan di seluruh perairan Indonesia dan telah menyebabkan kerusakan terumbu karang di seluruh wilayah Asia Tenggara (Fox dan Caldwell, 2006), dan Raja Ampat termasuk diantaranya. Peningkatan tangkap lebih terus terjadi selama kurun waktu 20-30 tahun telah berkontribusi pada penurunan komunitas terumbu karang dan ikan di wilayah perairan Raja Ampat. Spesies yang bernilai ekonomi tinggi pun sudah sangat berkurang di beberapa lokasi (Huffard dkk., 2010). Masalah lain timbul dari penangkapan ikan tanpa ijin yang beresiko tinggi pada kondisi tangkap-lebih dan hilangnya peluang perolehan pendapatan daerah dari pajak perijinan. Jenis perikanan tanpa ijin yang terjadi di Raja Ampat termasuk di antaranya adalah perikanan bagan dengan target tangkapan ikan teri dan cumi-cumi, serta penangkapan ikan hiu untuk kebutuhan siripnya. Alat tangkap pasif seperti sero menangkap ikan dengan tidak selektif yang menyebabkan tertangkapnya penyu dan duyung. Kegiatan penangkapan tanpa ijin lainnya adalah pengambilan telur dan pencurian penyu untuk kebutuhan konsumsi di wilayah tertentu. Sejalan dengan upaya pembangunan di Kabupaten Raja Ampat, ancaman terhadap sumberdaya laut dan pesisir juga terjadi secara bersamaan. Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak terkendali dimana terjadi penebangan bakau dalam jumlah besar dan sedimentasi di daerah padang lamun dan terumbu karang,
serta
penambangan
karang
berdampak
pada
kerusakan
habitat
pembesaran
dan
perkembangbiakan biota laut. Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat cepat pada tahun 2010 di Provinsi Papua Barat, termasuk di wilayah Kabupaten Raja Ampat, mencapai angka pertumbuhan hamper 6% per tahun. Pertumbuhan populasi yang tinggi seperti ini akan menyebabkan peningkatan kebutuhandan potensi konflik atas pemanfaatan sumber daya perikanan, tanah dan infrastruktur, dan polusi seperti aliran limbahm bahan
16
buangan pertanian dan sampah.
Berbagai hasi riset menunjukkan bahwa daerah dengan populasi
penduduk yang tinggi memiliki kelimpahan ikan yang rendah akibat terjadinya situasi tangkap-lebih. Selain itu pertumbuhan penduduk yang sangat cepat akan menyebabkan peningkatan permintaanakan sumberdaya alam, masuknya bahan-bahan non alami ke dalam lingkunganm dan perubahan terhadap habitat alamai yang dapat merusak fungsi ekosistem (Huffard dkk., 2010). Satu-satunya cara untuk memastikan perlindungan keanekaragaman hayati dan ketersediaan sumberdaya alam kelautan yang efektif adalah dengan membangun Kawasan Perlindungan Laut (Marine Protected Areas-MPAs). Kawasan konservasi laut berfungsi untuk melindungi keberadaan dan keunikan keanekaragaman hayati laut, menjaga ketersediaan stok dan asupan ikan dan biota laut lainnya, sebagai sumber bibit atau benih ikan bagi perairan sekitar, melindungi habitat ikan dan biota laut, melindungi sumberdaya alam setempat dari ancaman perusakan dan pemanfaatan secara besar-besaran dari luar, melindungi hak petuanan dan nilai-nilai sejarah budaya dan ikatan adat komunitas setempat dengan ruang hidupnya dan memastikan pengelolaan sumberdaya alam laut secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya laut membutuhkan kesiapan pihak pengelola untuk menjalankan program konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara lestari di wilayah Kepulauan Raja Ampat. Saat ini pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah berada di bawah tanggung-jawab Dinas Kelautan dan Perikanan Kelautan Kabupaten Raja Ampat.
Kemampuan pihak pengelola dan para pemangku
kepentingan di seluruh wilayah TPPKD Raja Ampat dalam mengelola sumber daya laut diharapkan sudah dapat memenuhi standar kompetensi dasar pengelola kawasan perlindungan laut. Diperlukan beberapa upaya untuk menyetarakan pengetahuan, keterampilan, dan kompotensi pihak pengelola yang diharapkan sudah akan mandiri dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
2.3 Karakteristik Khusus Kawasan Konservasi di Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat 2.3.1 Ayau Asia Kawasan konservasi Ayau-Asia yang merupakan wilayah I dari TPPKD Raja Ampat meliputi Kepulauan Ayau dan Kepulauan Asia yang memiliki luas 101.440 ha terletak di sebelah utara Pulau Waigeo dan berbatasan dengan perairan Republik Palau. Terdapat 2 distrik yaitu Distrik Kepulauan Ayau dan Distrik Ayau dengan 5 kampung di dalam TPPKD Kep. Ayau – Asia yang meliputi Kampung Dorehkar, Yenkawir, Miosbekwan, Rutum dan Reni.
17
TPPKD Kepulauan Ayau-Asia terletak di daerah paling utara Raja Ampat dan berbatasan dengan Palau dengan luas kawasan 101.440 ha. Secara geografis TPPKD Ayau-Asia terbagi dalam 3 daerah yaitu Ayau Kecil, Ayau Besar dan Kepulauan Asia pada koordinat 0 019’52” - 1006’08” LU dan 130053’35” – 131017’48” BT. Di sebelah barat kawasan ini terdapat Pulau Moof yang diusulkan juga untuk menjadi bagian dalam TPPKD Ayau-Asia. Perencanaan pembangunan berwawasan lingkungan hidup/konservasi melibatkan berbagai pihak (masyarakat adat, pemerintah, pihak keamanan, LSM lokal, lembaga agama, dan sebagainya) untuk bersama-sama menjaga dan mengembangkan kawasan ini sebagai sumber ekonomi rakyat yang ramah lingkungan sehingga ekosistem kawasan ini tetap terjaga. Respon positif dari masyarakat atas pentingnya ekosistem di kawasan ini ditandai dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yang sering dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Gambar 3 Peta Kawasan Konservasi Wilayah I Ayau Asia
18
2.3.1.1 Karakteristik Biofisik Tipe terumbu karang dan tutupan karang Tipe terumbu karang di Ayau Kecil dan Ayau Besar adalah terumbu karang cincin atau atol, sedangkan di kepulauan Asia adalah terumbu karang tepi (fringing reef). Ayau besar merupakan atol di mana terdapat cincin laguna di dalamnya, sedangkan Ayau Kecil bisa dikatakan ’hampir Atoll’ (Tomascik dkk., 1997). Kontur terumbu pada ketiga daerah tersebut umumnya curam hingga tegak lurus dengan kecerahan air 5 – 20 meter. Kontur terumbu landai hanya berada di selatan Ayau Kecil, timur Pulau Miosros Ayau Besar dan utara Pulau Fani. Persentase penutupan karang hidup di Ayau Kecil berkisar antara 5 – 70% (kategori dari buruk hingga bagus) dengan rata-rata 30,8% (kategori sedang). Secara umum kondisi karang di tubir utara relatif lebih baik dibanding tubir selatan. Kondisi terumbu karang khususnya di bagian selatan relatif didominasi oleh karang mati hingga 85 % dengan rata-rata 40,9%. selebihnya, rata-rata persen penutupan rubble (patahan karang) sebesar 11,1%, pasir 4,3% dan biota lain sebesar 13,1%. Kontur terumbu sebagian besar curam hingga tegak lurus. Kontur landai hanya di selatan Ayau Kecil dan utara Pulau Urbabo. Persentase penutupan karang hidup di Ayau Besar berkisar antara 5 – 75% (kategori dari buruk hingga memuaskan) dengan rata-rata 36,2% (kategori sedang). Secara umum kondisi karang di tubir barat hingga selatan Misosbekwan relatif lebih baik dibanding di tubir bagian timur. Rata-rata persentase penutupan karang mati adalah sebesar 25,8%, pecahan karang 15,2%, pasir 6%, dan biota lain sebesar 16,8%. Kontur terumbu umumnya curam hingga tegak lurus. Kontur landai hanya terdapat di timur Pulau Miosros hingga timur Rutum. Persentase penutupan karang hidup di Kepulauan Asia berkisar antara 10 – 60% (kategori dari buruk hingga bagus) dengan rata-rata 31,7% (kategori sedang). Secara umum kondisi karang di tubir barat relatif lebih baik dibanding tubir timur. Di kepulauan ini, penutupan karang mati mendominasi dengan rata-rata persen penutupan sebesar 39,6%. selebihnya, rata-rata persen penutupan rubble 9,2%, pasir 6,1% dan biota lain 13,3%. Kontur terumbu umumnya tegak lurus. Kontur landai hingga curam hanya terdapat di utara Pulau Fani dan selatan Pulau Miarin. Daerah-daerah yang diduga mengalami penangkapan destruktif adalah sepanjang tubir selatan Ayau Kecil, sepanjang tubir timur Ayau Besar dan sebagian tubir selatan Miosbekwan, sepanjang tubir timur Kep. Asia. Tidak terdapat pemutihan karang (coral bleaching) maupun ledakan populasi mahkota berduri pada semua kawasan.
19
TPPKD Ayau-Asia menjadi habitat peneluran penyu hijau yang penting secara regional (Huffard dkk., 2010). Lokasi spesifik ditemukan di Pulau Mof, yang terletak sekitar 40 km dari Pulau Ayau Kecil.
Potensi perikanan, kelautan dan jasa lingkungan 1. Lokasi pemijahan ikan kerapu di selatan Ayau Besar yang salah satunya terbesar di Indonesia 2. Ikan Napoleon 3. Ikan-ikan pelagis seperti tuna, cakalang dan tengiri 4. Lokasi peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) di Pulau Mof dan Pulau Fani 5. Gurita atau sebutan setempat kombrof 6. Cacing laut atau sebutan setempat insonem 7. Perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) dari jenis a. Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus) b. Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris) c. Paus sperma (Physeter macrocephalus)
2.3.1.2 Karakteristik Sosial-Budaya Kesadaran terhadap hubungan yang harmonis manusia dengan alam sejak manusia Papua menempati tanah ini sudah hidup dalam hubungan interaksi alam yang berkesinambungan dari waktu ke waktu. Keharmonisan hidup antara manusia dan alam selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Manusia dalam menjaga hubungan antar sesama membangun hubungan kekerabatan sebagai pertalian persaudaraan untuk membangun kerjasama sosial, budaya, ekonomi, politik dan keamanan dalam hubungan kekerabatan manusia. Dalam konteks yang sama, manusia juga membangun hubungan kekerabatan dengan alam semesta dimana manusia hidup dan mengelola alam sebagai sumber kehidupan. Dalam hubungan kekerabatan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam terbangun kesadaran bersama manusia untuk melambangkan berbagai fenomena alam sebagai simbol kekerabatan. Alam, dalam hubungan kekerabatan tersebut oleh manusia Papua dilambangkan sebagai seorang “Ibu”. Simbol alam sebagai seorang ibu, mempunyai makna yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Karena dalam pandangan kosmologi yang di yakini menempatkan Ibu/Alam adalah sumber kehidupan untuk manusia. Keyakinan ini pula yang mendorong manusia untuk selalu menghormati dan memperlakukan alam dengan menjaga hubungan keharmonisannya. Selain itu Alam dipandang sebagai pusat kekuatan
20
supernatural, sumber kehidupan, tempat manusia berkarya, dan tempat manusia melangsungkan kehidupannya. Keyakinan akan nilai-nilai kearifan alam dan budaya hidup manusia inilah yang terus diperjuangkan oleh manusia sejak menempati tanah Papua-Raja Ampat dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Warisan kearifan leluhur ini, terus menjadi simbol perjuangan manusia Raja Ampat dalam menjaga keharmonisan hubungan dengan alam. Pesan-pesan kearifan ini menjadi spirit untuk terus dikomunikasikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan. Kearifan leluhur terus diperjuangkan untuk dikomunikasikan kepada masyarakat adat dan berbagai pihak (pemerintah, penegak hukum, pengusaha, kelompok swadaya dan masyarakat adat) di berbagai tempat, dan kegiatan-kegiatan nyata di masyarakat untuk bagaimana menjaga, melestarikan alam sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat. Terbentuknya sejumlah Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Raja Ampat juga merupakan contoh nilai-nilai leluhur yang terus dipertahankan. Dengan semangat kebaharian, pemerintah bertekad untuk mendukung kebijakan pengelolaan yang berbasis ekosistem dengan menetapkan sejumlah TPPKD dalam kerangka kebijakan pembangunan kabupaten “Bahari” Raja Ampat. Dukungan dari pihak pemangku adat dalam wujud Deklarasi Adat pada tahun 2009 memberikan kontribusi penting dalam upaya pelestarian di Kepulauan Ayau-Asia. Dukungan adat menunjukkan adanya kesadaran tentang pentingnya tata kelola sumberdaya alam yang eksosentris dalam menentukan kebijakan pengelolaan kawasan. Upaya penyadartahuan juga dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan informal tentang lingkungan hidup (PLH). Media komunikasi (seperti lembar informasi, tabloid) digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kearifan leluhur kepada masyarakat di berbagai tingkatan. PLH kepada anak usia sekolah, kegiatan-kegiatan rohani (Kristen-Muslim), kegiatan masyarakat, siaran di radio (RRI Sorong dan Radio Komunitas), menyiapkan mata pencaharian alternatif kepada masyarakat, mempersiapkan masyarakat untuk menggunakan cara-cara baru (patroli masyarakat kampung) untuk menjaga alam kawasan kampungnya, dan kegiatan-kegiatan penelitian dan pemantauan terumbu karang terus dilakukan. Kegiatan penting lainnya adalah kampanye sadar wisata dan kesehatan. Kebijakan pembangunan pun menjadi target kampanye untuk menyadarkan pelaku pembangunan agar mengelola sumberdaya alam di Raja Ampat secara lestari dengan kebijakan perundangan yang tegas.
21
2.3.1.3 Pengelolaan Pengawasan Pengawasan TPPKD Ayau Asia telah dilakukan secara rutin oleh masyarakat. Telah terbentuk sebuah tim patroli yang melakukan pengawasan terhadap kawasan. Fungsi utama mereka adalah melakukan pencegahan terhadap pelanggaran baik penangkapan ilegal dan secara merusak dari luar maupun pelanggaran zonasi. Tim patroli TPPKD Ayau Asia terdiri dari 42 orang masyarakat yang bertugas bergantian dengan menggunakan sebuah Speed Boat “INSONEM” dan bahan bakar yang difasilitasi oleh CI. Sebagai dukungan terhadap patroli masyarakat ini, pemerintah distrik Ayau juga mengikutsertakan polisi pamong praja distrik. Selain patroli yang dilakukan masyarakat, telah dilaksanakan pula patroli bersama yang beranggotakan polres, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Raja Ampat, polisi pamong praja dan masyarakat. Dari seluruh kegiatan pengawasan yang dilakukan pada tahun 2008, tim ini telah berhasil mengurangi kegiatan perusakan terumbu karang sampai dengan 60%. Hal ini diindikasikan dengan sudah tidak adanya praktek pemboman dan sianida di 3 kampung Dorehkar, Meosbekwan dan Yenkawir kecuali beberapa yang masih difasilitasi dari pihak luar di Reni dan Rutum. Pelanggaran-pelanggaran yang masih terus datang, umumnya berasal dari luar seperti Sorong bahkan dari Sulawesi. Satu hal yang masih intensif ditanggulangi adalah penangkapan ikan hias di perairan Reni dan Rutum. Pemantauan Ada dua jenis monitoring yang telah dilaksanakan di TPPKD Ayau Asia yaitu kesehatan terumbu karang dengan menggunakan metoda Manta Tow dan monitoring SPAGs (Spawning Aggregation Sites) atau lokasi pemijahan ikan kerapu. Monitoring kesehatan terumbu karang pertama dilakukan untuk mendapatkan data dasar kondisi terumbu karang saat ini. Pemantauan SPAG telah dilakukan sejak beberapa tahun sebelumnya untuk melihat perubahan atau perkembangan populasi kerapu setelah dilakukan pengelolaan dan melindungi lokasi ini menjadi kawasan larang ambil (no take zone). Pelibatan masyarakat setempat dalam setiap kegiatan monitoring di kawasan ini telah menambah keterampilan dan pengetahuan masyarakat terhadap potensi kawasan maupun teknik metode monitoring itu sendiri. Zonasi Pendekatan budaya secara holistik untuk sosialisasi, diskusi tingkat marga, menjaring informasi daerah sasaran penangkapan ikan kerapu, dan kesepakatan untuk menetapkan dan memasang pelampung di daerah Zonasi TPPKD terus dilakukan dengan berbagai metode dan melibatkan masyarakat adat. Zonasi kawasan konservasi laut kemudian ditetapkan masyarakat sebagai langkah awal positif untuk menjaga kawasan ini tetap terjaga dengan baik dan dapat dimanfaatkan secara lestari oleh masyarakat. Terdapat 6
22
kawasan yang diusulkan menjadi kawasan larang ambil dan diberi tanda dengan pelampung oleh masyarakat sendiri. Kawasan yang diusulkan tersebut masing–masing terdiri dari zona milik marga Imbir, Mambrisau, Umpes, Burdam, zona milik masyarakat kampung Yenkawir dan zona masyarakat kampung Rutum. Pengusulan tersebut diikuti dengan dibuatnya aturan adat tertulis untuk tidak melakukan berbagai kegiatan penangkapan di dalam kawasan tersebut. Sanksi-sanksi dikenakan kepada masyarakat adat ataupun penduduk yang melanggar aturan adat tersebut. Kesadaran masyarakat akan arti penting kawasan konservasi laut ini secara sadar tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di masyarakat, walaupun disadari masih membutuhkan proses panjang untuk terus-menerus bersama masyarakat membangun rasa hormat, peduli, kebersamaan dan cinta terhadap lingkungan hidup. Hambatan lain yang terjadi adalah sering masuknya kapal – kapal penangkap ikan hias, kapal pengumpul ikan kerapu, Napoleon, dan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan untuk pemenuhan terhadap kapal-kapal tersebut.
2.3.2 Teluk Mayalibit Kawasan konservasi Teluk Mayalibit merupakan wilayah II dari TPPKD Raja Ampat terletak di Pulau Waigeo dengan luas 53.100 ha. Teluk Mayalibit merupakan teluk memanjang yang hampir memisahkan Pulau Waigeo menjadi dua bagian dengan mulut teluk yang sangat sempit menjadikan Teluk Mayalibit sebagai kawasan yang relatif tertutup. Secara geografis teluk ini terletak pada koordinat 0 022’14” – 0005’00” LS – 130036’43” – 130059’10” BT. Kampung-kampung di dalam TPPKD Teluk Mayalibit adalah Kampung Yensner, Mumes, Warsamdim, Lopintol, Kalitoko, Warimak, Waifoi, Go, Beo, Arawai, dan Kampung Kabilol.
2.3.2.1 Karakteristik Biofisik Tipe terumbu karang & tutupan karang Teluk Mayalibit memiliki tipe terumbu karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan karang penghalang (barrier reef).
Tipe terumbu karang penghalang berada di depan mulut teluk yang
membentang dari timur hingga ke selatan Pulau Waigeo. Karena kondisinya yang tertutup dengan kisaran kecerahan air horizontal 0 – 12 m dan rata-rata 6 m. Ekosistem terumbu karang tidak hidup subur di daerah ini. Terumbu karang hanya tumbuh sedikit di mulut teluk dan sebagian dalam teluk yang relatif masih dekat dengan mulut teluk. Itupun hanya tumbuh antara kedalaman 0 – 5 m. Selebihnya dasar teluk adalah pasir hingga berlumpur.
23
Berdasarkan survei Mantatow tahun 2008, persentase penutupan karang hidup berkisar antara 0 – 70% dengan rata-rata tutupan 8,8%, sedangkan rata-rata persentase penutupan biota lainnya termasuk di dalamnya adalah karang lunak adalah 27,2%. Persentase penutupan rata-rata karang mati adalah 21,9%, sedangkan persentase penutupan pasir dan patahan karang masing-masing adalah 26,7% dan 9,5%.
Gambar 4 Peta Kawasan Konservasi Wilayah II Teluk Mayalibit
Teluk Mayalibit memiliki habitat mangrove dan lamun yang sangat baik. Lebar hamparan padang lamun dapat mencapai 70 m dari tepi hutan mangrove menuju darat. Pada beberapa titik seperti di daerah sebelum Kalitoko, terdapat formasi mangrove dan lamun yang baik. Hutan mangrove juga dijumpai di daerah antara Waifoi dan Weenok dan antara Kabilol dan Arawai. Meskipun persentase karang keras relatif kecil, namun daerah Teluk Mayalibit sangat berpotensi sebagai tempat pembesaran ikan konsumsi penting masyarakat Raja Ampat seperti tenggiri, ikan samandar, udang, bubara, kakap, kepiting bakau, dan ikan lema atau kembung (Rastreliger kanagurta).
24
Peran aktif masyarakat dalam upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup dari ancaman kerusakan yang bersumber dari dalam (masyarakat setempat) dan luar (nelayan pendatang), sekarang ancaman alami, serangkaian pertemuan dilakukan untuk merancang upaya pelestarian secara bersamasama para pemangku kepentingan di Teluk Mayalibit seperti berikut ini: 1. Pertemuan para pemangku kepentingan Raja Ampat pada tanggal 2 September 2006 di Sorong, 2. Pertemuan seluruh kepala kampung dari seluruh distrik Teluk Mayalibit pada tanggal 21 September 2006 di Warsambin, 3. Konsultasi dengan para pemangku kepentingan tentang persiapan kawasan konservasi perairan Teluk Mayalibit pada tangggal 27 September – 3 Oktober 2006, yang dilanjutkan dengan 4. Pengukuhan kawasan laut Teluk Mayalibit secara adat tanggal 15 November 2006, dan 5. Deklarasi tingkat kabupaten pada tanggal 15 Desember 2006 yang dikukuhkan dengan Peraturan Bupati (Perbup) No. 66 Tahun 2007.
Ekosistem pesisir Ekosistem pesisir di Teluk Mayalibit relatif didominasi oleh hutan mangrove di TPPKD Teluk Mayalibit. Mangrove menghampar dari luar mulut teluk hingga di teluk bagian terdalam. Hutan mangrove ini memberikan potensi kepiting bakau dan rebon sebagai sumber penghasilan bagi masyarakatnya. Dari sisi potensi perikanan, Teluk Mayalibit merupakan daerah ikan lema (Rastrelliger kanagurta) bagi masyarakat Teluk Mayalibit. Padang lamun tumbuh sedikit di mulut teluk dan pesisir bagian dalam teluk, sedangkan pesisir di luar mulut teluk sebagian besar komunitas di dangkalan didominasi oleh alga Sargassum. Potensi perikanan, kelautan dan jasa lingkungan
Titik penyelaman pada mulut teluk dengan tipe penyelaman mengikuti arus (drift dive) dan penyelaman air keruh (muck dive)
Olah raga kayak menyusuri sungai
Lokasi relatif dekat kurang-lebih 20 km dengan ibukota Kabupaten Raja Ampat
Perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) dan duyung di daerah mulut teluknya o
Paus sperma atau sperm whale (Physeter Macrochepalus)
o
Paus pembunuh atau killer whale (Orchinus orca)
o
Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus)
o
Lumba-lumba hidung botol indopasifik (Tursiops aduncus)
25
o
Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens)
o
Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris)
o
Lumba-lumba risso (Grampus griseus)
o
Lumba-lumba bongkok atau lumba-lumba putih (Sousa chinensis)
o
Duyung (Dugong dugon)
Perikanan tangkap ikan lema (ikan kembung) (Rastrelliger kanagurta)
Penghasil anak udang (rebon) atau kasia (nama lokal)
Penghasil kepiting bakau
Kondisi Teluk Mayalibit dengan mulut teluknya yang sempit dan teluknya yang dalam menyebabkan ekosistem pesisirnya didominasi oleh hutan mangrove dengan sedikit padang lamun dan terumbu karang. Kondisi tertutup ini cenderung rentan dari kerusakan, sehingga pengelolaan kawasan teluk yang bijak mampu membuat potensi sumberdaya alamnya bisa dinikmati masyarakatnya secara lestari. Potensi kerusakan yang ada adalah pembukaan tambang di areal teluk dan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan. Kerusakan akibat alam yaitu pada musim tertentu terjadi kelimpahan alga merah (red tide) yang mengakibatkan banyak ikan yang mati.
2.3.2.2 Pengelolaan Pengawasan Kegiatan patroli dianggap sangat penting untuk didahulukan untuk tetap menjaga potensi kawasan ini dari kerusakan sambil menunggu komponen pengelolaan lainnya siap dijalankan. Dari sisi kondisi geografis, Teluk Mayalibit relatif mudah diawasi karena semua armada yang masuk ke dalam teluk melewati satu pintu masuk yang relatif kecil dan mudah dikontrol. Dalam beberapa kasus terjadi penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat setempat kepada nelayan pendatang, yang mendorong penangkapan berlebih dan menggunakan alat tangkap yang merusak. Penyalahgunaan surat ijin penangkapan dari pemerintah juga masih terjadi di sini. Pengawasan dilakukan selain dengan speedboat “Djoko Walut” juga dibangun posko lapangan di Kampung Warkabu. Pos tersebut berfungsi sebagai pos patroli tim TPPKD dan pusat aktifitas beragam kegiatan bersama masyarakat Teluk Mayalibit.
26
Zonasi Mengingat wilayahnya yang relatif kecil perancangan zonasi bertujuan antara lain untuk melindungi terumbu karang sebagai rumah berlindung bagi ikan, melindungi ketersediaan teripang sebagai salah satu biota penting bagi ekonomi masyarakat. Zona untuk teripang ini dibangun di kampung-kampung yang cocok seperti Warimak, Waifoy dan Kabilol berbentuk sasi sementara maupun permanen. Rencana zonasi lainnya adalah zona penangkapan ikan lema. Zona ini sedang dalam taraf negosiasi dengan masyarakat untuk membatasi atau mengatur penangkapan untuk tujuan ketersediaan jangka panjang. Zona lain yang direncanakan adalah zona mangrove yang merupakan salah satu komunitas terbesar di Teluk Mayalibit dan merupakan tempat berkembangbiaknya ikan dan kepiting sebagai biota penting untuk ekonomi masyarakat.
2.3.3 Selat Dampier Kawasan konservasi Selat Dampier merupakan wilayah III dari TPPKD Raja Ampat berada antara selatan Pulau Waigeo dan utara Pulau Batanta hingga timur Pulau Salawati, dengan luas 336.000 ha. Letaknya yang relatif dekat dengan Sorong dan Waisai, menjadikan kawasan ini memiliki pengguna sumberdaya paling beragam dibandingkan kawasan lainnya. Terdapat 4 distrik dan 24 kampung pada kawasan tersebut. Distrik Samate, Selat Sagawin, Waigeo Selatan dan Distrik Meos Mansar. Sedangkan 24 Kampung adalah Jeffman, Kapatlap ; Kampung Yensawai dan Arefi ; Kampung Arborek, Sawinggrai dan Yenbuba ; dan Kampung Yenbeser dan Friwen TPPKD Selat Dampier terletak di selatan Pulau Waigeo dan Pulau Gam. Pulau-pulau yang terletak di kawasan ini meliputi Pulau Saonek, Pulau Saonek Monde, Pulau Mioskon, Pulau Friwen, Pulau Friwen Bonda, Pulau Mansuar, Pulau Kri, Pulau Koh dan Pulau Arborek dengan luas kawasan 46.240 ha. Secara geografis TPPKD Selat Dampier terletak pada koordinat 0037’ - 0024’30” LS dan 130027’43” – 130048’16” BT. Kawasan ini merupakan wilayah yang paling ramai oleh berbagai pemanfaatan laut dibandingkan TPPKD lainnya. Selat Dampier berada dekat dengan pusat pengembangan ibu kota Kabupaten Raja Ampat, Waisai, sehingga aktifitas pengembangan dan pembangunan daerah (seperti pelabuhan, dermaga, bandara, jalan dan pengembangan pemukiman) turut mempengaruhi keberadaan TPPKD. Selain itu, Selat Dampier juga merupakan pusat pengembangan infrastruktur pariwisata baik oleh investor lokal maupun asing. Pemanfaatan perikanan di daerah ini cukup tinggi (Bailey dkk., 2008). Teluk Kabui yang berdekatan
27
dengan Selat Dampier telah menjadi pusat penangkapan ikan teri yang diketahui merupakan dasar rantai makanan bagi biota-biota besar lainnya. Kegiatan pengelolaan TPPKD Selat Dampier telah dimulai oleh Project Coremap Tahap II dan DKP. Sejumlah Daerah Perlindungan Laut (DPL) telah ditetapkan oleh masyarakat kampung di TPPKD Selat Dampier. Dalam sistem zonasi TPPKD, DPL-DPL ini akan berfungsi sebagai kawasan larang-ambil (no take zone) dan masih akan diperbanyak lagi untuk mencapai tujuan pengelolaannya. Kegiatan di Selat Dampier dimulai dengan serangkaian koordinasi dan kegiatan bersama dengan COREMAP. Beberapa diantaranya adalah Lokakarya Patroli Pengawasan yang dilakukan masyarakat melalui sistem Pokmaswas atau Kelompok Masyarakat Pengawas. Pokmaswas dibentuk di setiap kampung. Kegiatan patroli secara bersama menggunakan Inbekwan juga telah dilakukan, dalam kegiatannya tim patroli telah berhasil menangkap 2 kapal ilegal dan 37 buah perahu penangkap cumi-cumi yang berasal dari Sulawesi. Kegiatan lainnya adalah pengembangan pariwisata. Upaya pengelolaan Selat Dampier diarahkan untuk untuk perlindungan kehati untuk tujuan pariwisata disamping perlindungan atas sumberdaya perikanannya. Kawasan wisata yang dikembangkan oleh masyarakat dan didukung oleh PEMDA dan mitra pembangunan antara lain adalah di Pulau Dayan. Selain pengembangan infrastruktur di darat, lokasi ini juga dilindungi oleh masyarakat Yensawai Batanta dari perusakan terumbu karang dan penangkapan ikan. Kemajuan terkini dari pengembangan Selat Dampier sebagai TPPKD, bekerja sama dengan DKP dan COREMAP untuk membangun Rencana Pengelolaan TPPKD Selat Dampier sebagai proyek perintis dalam pengembangan rencana pengelolaan TPPKD di Raja Ampat.
28
Gambar 5 Peta Kawasan Konservasi Wilayah III Selat Dampier
2.3.3.1 Karakteristik Biofisik Tipe terumbu karang & tutupan karang Selat Dampier memiliki tipe terumbu karang tepi (fringing reef) dan gosong karang (patch reef). Sebagian besar gosong karang berada di antara selatan Pulau Waigeo dan utara Batanta. Beberapa patch reef merupakan tempat berkumpulnya ikan pari manta dan mempunyai schooling ikan yang tinggi sehingga banyak dive point untuk pariwisata selam di daerah ini. Berdasarkan survei Manta Tow 2008, persentase penutupan karang hidup berkisar antara 0 – 85% dengan rata-rata tutupan 24,8%, sedangkan rata-rata persentase penutupan biota lainnya adalah 22,7%. Persentase penutupan rata-rata karang mati adalah 21%, sedangkan persentase penutupan pasir dan patahan karang masing-masing adalah 12,1% dan 18,9%.
29
Ekosistem pesisir Hutan mangrove di TPPKD Selat Dampier tumbuh subur di selatan Pulau Waigeo, Selatan Pulau Gam, utara Pulau Batanta dan timur hingga tenggara Pulau Salawati dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Beberapa hutan mangrove merupakan dive point yang biasa disebut blue water mangrove, yaitu di selatan Pulau Gam dan Teluk Gam. Konsentrasi tertinggi habitat mangrove berada di sebelah utara Pulau Batanta (DeVantier dkk., 2009) Padang lamun tumbuh subur di selatan Pulau Waigeo hingga selatan Pulau Gam, sebelah utara Pulau Batanta dan sebelah timur Pulau Salawati. Daerah padang lamun ini merupakan habitat bagi duyung (Dugong dugon), ikan baronang (Siganus sp.) dan sebagai tempat pembesaran larva ikan lainnya. Potensi perikanan, kelautan dan jasa lingkungan 1. Titik-titik penyelaman yang memiliki kehati tertinggi di Raja Ampat dan telah menjadi tujuan wisata paling awal di Raja Ampat dengan tipe penyelaman paling lengkap yaitu penyelaman berarus (drift dive), penyelaman goa (cave diving), penyelaman obyek makro di air keruh (muck dive), manta point dan penyelaman wisata pada umumnya 2. Keberadaan landbase resort meliputi: Papua Diving (Kri Eco Resort dan Sorido Eco Resort) di Pulau Kri, Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar dan Papua Paradise Resort di Pulau Batanta 3. Homestay dan kampung-kampung wisata meliputi: homestay di Yenbuba dan Sawingrai; kampung wisata di Saondarek, Sawingrai, Arborek, Waiweser, dan Marandanweser 4. Akses terdekat dari ibukota Raja Ampat, Waisai 5. Perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) dan duyung, meliputi: a. Paus sperma atau sperm whale (Physeter Macrocephalus) b. Paus pembunuh atau killer whale (Orcinus orca) atau masyarakat Selat Dampier menyebutnya rowetroyer c. Paus Bryde (Balaenoptera brydei) d. Paus Bryde kerdil (Balaenoptera edeni) e. Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus) f. Lumba-lumba hidung botol indopasifik (Tursiops aduncus) g. Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) h. Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris) i. Paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) j. Duyung (Dugong dugon) 6. Perikanan tangkap pelagis tradisional dengan tengiri sebagai unggulan 7. Perikanan bagan dengan ikan teri sebagai unggulan 8. Pemantauan burung di Yenwaupnor, Sawinggrai, Sarporkren, Yenbeser dan Waiwo
30
2.3.4 Kofiau 2.3.4.1 Karakteristik Biofisik Secara geografis kepulauan Kofiau – Boo terletak pada 129°17,9’ – 129°58,4’ Bujur Timur dan 1°09’ – 1° 17’ Lintang Selatan. Kepulauan ini terletak di sebelah utara Pulau Misool atau sebelah barat Pulau Salawati dan Pulau Batanta. Berdasarkan Perda Raja Ampat No. 27 Tahun 2008, kawasan konservasi Kofiau-Boo yang mempunyai luasan 170.000 ha terletak pada koordinat 129°14’ 47’’ BT dan 1°07’ 37’’ LS menuju ke timur koordinat 129°59’ 32’’ BT dan 1°07’ 28’’ LS menuju ke selatan. Keragaman karang di Kofiau tinggi, ditemukan 292 jenis karang pada 6 titik pengamatan REA (Donnelly dkk., 2002). Terumbu karang di perairaran ini menunjukkan keseragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan terumbu karang di Misool. Untuk ukuran pulau yang kecil seperti Kofiau, keragaman jenis karangnya merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan pulau-pulau kecil lainnya. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Kofiau - Boo berdasarkan hasil survei dan monitoring tahun 2008 – 2010, diketahui seluas kurang-lebih 10.724 ha dan terdiri dari beberapa tipe terumbu karang utama (DeVantier dkk., 2009) yaitu 1) Gosong karang di sebelah utara Pulau Kofiau, sebelah utara Pulau Boo Besar dan sebelah selatan Pulau Boo Kecil 2) Terumbu karang tepi terletak di sepanjang pantai utara Pulau Kofiau, di sebelah tenggara Pulau Kofiau 3) Terumbu karang penghalang berada di sepanjang selatan Pulau Boo Besar dan Pulau Boo Kecil 4) Beberapa laguna terdapat di sekitar Pulau Tolobi memiliki karang yang unik dan beragam 5) Atol terdapat di bagian selatan Kepulauan Boo
Selain habitat terumbu karang dijumpai juga hutan mangrove, padang lamun serta habitat peneluran penyu dan peneluran burung laut, yang merupakan satu kesatuan ekosistem laut di perairan Kofiau. Hutan mangrove yang diketahui, luasnya sekitar 3.409 ha dan berada di sebelah selatan Pulau Kofiau serta pulau-pulau kecil lainnya, sedangkan padang lamun yang teridentifikasi luasnya hanya 770 ha di daerah laguna Pulau Tolobi.
31
Gambar 6 Peta Kawasan Konservasi Wilayah V Kofiau
Berdasarkan hasil temuan saat survei terumbu karang, sering dijumpai dua jenis penyu laut yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) (Syakir dan Lantang, 2009). Pemantauan darat untuk habitat penyu memberikan informasi tentang 11 pulau kecil yang berpotensi sebagai pantai peneluran. Berdasarkan data biofisik di atas, beberapa potensi yang perlu tetap dipertahankan kelestariannya serta mendapat perhatian dalam penentuan zonasi di Taman Pulau Kecil Kofiau serta dapat dikembangkan di masa depan dalam pengelolaan kawasan, yaitu: 1) Potensi terumbu karang; luasan terumbu karang di Taman Pulau Kecil Kofiau adalah 10.724 ha. Lokasi ini masih asli karena tingkat kerusakan karang sangat kecil. Lokasi ini diusulkan sebagai daerah larang tangkap dan hanya diperuntukkan bagi pariwisata selam.
32
2) Potensi ikan karang; Ikan-ikan karang seperti kerapu dan Napoleon masih banyak ditemukan di lokasi-lokasi penyelaman.
Kondisi ini sangat mendukung untuk pengembangana wisata bahari,
khususnya wisata selam. 3) Potensi hutan mangrove; kawasan hutan mangrove di Taman Pulau Kecil Kofiau adalah seluas 770 ha. Hutan mangrove ini selain berfungsi sebagai pelindung terhadap abrasi pantai, juga merupakan habitat penting dalam siklus hidup berbagai jenis biota laut seperti ikan, udang, kepiting, dll. Berbagai jenis ikan karang menjalani hidup sebagai telur dan larva, serta anakan ikan didaerah mangrove. Selainnya itu hutan mangrove juga merupakan tempat bertelur udang dan berbagai jenis crustacea. Hutan mangrove dapat dimanfaatkan juga sebagai lokasi konjungan wisata terbatas untuk tujuan pendidikan dan penelitian. 4) Potensi (lokasi) peneluran penyu; terdapat 11 buah pulau yang telah diidentifikasi sebagai lokasi peneluran penyu, terutama penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Lokasi ini penting bagi pelestarian spesies penyu karena hewan ini sangat terancam hidupnya dan semakin langka diperairan laut Raja Ampat. 5) Potensi (lokasi) peneluran burung laut; Pulau Marmar Kecil di Taman Pulau Kecil Kofiau merupakan lokasi penting bagi burung-burung laut sebagai tempat bersarang dan bertelur. Bebek laut banyak ditemukan di Teluk Kofiau. 6) Potensi Perikanan Ikan Komersial; Taman Pulau Kecil Kofiau merupakan lokasi penting bagi perikanan. Jenis-jenis ikan komersial penting banyak ditangkap di daerah ini seperti ikan kerapu, kakap, Napoleon, tuna dan ikan-ikan pelagis lainnya. Hutan mangrove di sekitar pulau ini merupakan tempat bertelur ikan, udang, dan berbagai jenis krustasea sehingga menjadi daerah penyokong makanan untuk berbagai jenis ikan di wilayah ini. 7) Potensi Budidaya Perikanan; Karakteristik perairan Kofiau sangat mendukung bagi perikanan. Saat ini masyarakat setempat memanfaatkan wilayah perairan Kofiau sebagai tempat pembesaran secara terbatas untuk jenis mutiara, kerapu, dan teripang. Sebagian besar masyarakat menggunakan sistem sasi gereja untuk pembesaran jenis-jenis yang bernilai ekonomis penting. Pembesaran dengan menggunakan karamba apung digunakan masyarakat untuk memenuhi permintaan ikan hidup. Untuk kegiatan di masa datang, perikanan budidaya dapat menjadi alternatif di Taman Pulau Kecil Kofiau. 8) Potensi Wisata Alam Bahari; keragaman jenis yang tinggi akan karang dan biota yang berasosiasi dengannya serta merupakan daerah penting bagi ruaya setasea, Taman Pulau Kecil Kofiau cocok untuk wisata selam.
33
9) Potensi Wisata Pengamatan Setasea dan Duyung; sebagai tempat perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) serta menjadi habitat duyung, maka lokasi ini sangat penting untuk perlindungan bahari. Beberapa jenis setasea dan duyung yang dijumpai di Taman Pulau Kecil Kofiau yaitu a) Paus sperma (Physeter macrocephalus) b) Paus pembunuh atau killer whale (Orcinus orca). c) Paus Bryde (Balaenoptera brydei) d) Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus) e) Lumba-lumba hidung botol Indopasifik (Tursiops aduncus) f) Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) g) Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris) h) Paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) i)
Duyung (Dugong dugon)
10) Potensi sasi; masyarakat Kofiau memiliki budaya sasi yaitu upaya pelestarian secara tradisional berdasarkan hukum adat yang diberlakukan dalam jangka waktu tertentu (biasanya 1 – 3 tahun) untuk melindungi jenis-jenis penting tanaman pangan atau biota komersial penting (seperti teripang, udang, kima, ataupun lola-Trochus). Sasi bertujuan untuk memberikan kesempatan pada jenis target penting berkembang-biak di alam sehingga populasi jenis tersebut terjaga dan/atau bahkan meningkat. Pemanenan jenis yang disasi dapat dilakukan apabila hasil pemantauan tokoh adat terhadap jenis tersebut menunjukkan ukuran dan jumlah yang memadai untuk dipanen, maka sasi akan dibuka dan anggota masyarakat dapat memanen hasil sasi. Konsep pengelolaan tradisional sasi dapat menjadi dasar untuk memadukan pengelolaan konservasi modern dan pengelolaan tradisional di Taman Pulau Kecil Kofiau. 11) Potensi Pariwisata Budaya; masyarakat Kofiau adalah masyarakat yang sangat religius serta memiliki ikatan adat-istiadat yang sangat kuat terutama terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Upacara adat dan ritual penting keagamaan, seperti saat penutupan dan pembukaan sasi yang dihadiri oleh seluruh komunitas mayarakat adat, menjadi daya tarik untuk promosi wisata budaya di Kofiau.
34
2.3.4.2 Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Demografi Penduduk Kofiau berdasarkan data pada tahun 2008 berjumlah 2.579 jiwa, dan tersebar di 3 kampung besar, yaitu Kampung Deer, Kampung Dibalal dan Kampung Tolobi. Mayoritas penduduk adalah suku Beteuw. Suku ini adalah salah satu suku asli di Papua yang bermigrasi dari Pulau Biak ke Kepulauan Raja Ampat dan menetap di Kofiau pada puluhan tahun yang lalu. Komposisi jumlah penduduk dan kepala keluarga di Taman Pulau Kecil Kofiau dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1 Jumlah penduduk di Taman Pulau Kecil Kofiau No
Kampung
Penduduk KK
Jiwa
Sub Total
1
Deer
204
1092
1092
2
Dibalal
174
828
828
3
Tolobi
132
659
659
Total
510
2.579
2.579
(Sumber : Data Distrik Kofiau, 2007)
Beberapa marga asli dari suku Beteuw yang hidup di Pulau Kofiau antara lain adalah marga Ambrauw, Watem, Mambrasar, Dimara, Umpaim, Mayor, Mambraku, Waropen, Mandurun, Kalapain, Kapitarau dan Meosido. Saat ini sudah mulai terjadi percampuran suku dari para pendatang atau akibat perkawinan dengan suku setempat. Beberapa suku pendatang di Distrik Kofiau yang terdata adalah suku Menui dan Toraja (Sulawesi), Batak (Sumatera), dan suku Biak (Papua daratan). Masyarakat Kofiau sebagian besar tamat sekolah dasar, hanya sedikit saja yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Data pemantauan persepsi tahun 2005 menunjukkan hanya seperlima dari responden survey melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah ke atas (Hess dkk., 2011). Anggota masyarakat yang merantau ke luar kampung asal bekerja sebagai pegawai negeri sipil, tentara, polisi, dan karyawan swasta di beberapa ibukota kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam strata sosial, suku Beteuw Kofiau memiliki tingkatan yang lebih tinggi karena keberhasilan dan keuletannya bekerja. Perekonomian Keadaan ekonomi masyarakat di pulau Kofiau tergolong rendah sampai sedang. Sumber pendapatan utama masyarakat diperoleh dari hasil pertanian kelapa (kopra) dengan harga di kampung Rp. 2.500,00 per kilogram dan minyak kelapa Rp. 15.000,00 per liter, kakao Rp. 12.500 per kilogram, sedangkan hasil yang diperoleh sebagai nelayan umumnya untuk dikonsumsi sendiri.
35
Pada tahun 2003 saat penangkapan ikan hias sangat marak, Pulau Kofiau menjadi salah satu lokasi penangkapan ikan hias dengan menggunakan obat bius. Harga tangkapan ikan sangat rendah sekitar Rp. 3.000,00 – 5.000,00 per ekor untuk ikan hias, sedangkan ikan kerapu hidup dapat dijual dengan harga Rp. 10.000,00 - 15.000,00 per kilogram. Ikan asin dibeli dengan harga Rp. 10.000,00 per kilogram. Usaha penangkapan ikan umumnya dilakukan oleh masyarakat suku Menui dari Sulawesi. Jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi seperti teripang, lola, dan lobster, banyak ditemukan di Kofiau. Tetapi seiring dengan bertambahnya nelayan dari luar yang beroperasi di Kofiau, dengan mendapatkan izin dari kepala kampung atau tokoh adat setempat, menyebabkan turunnyapopulasi biota laut penting tersebut dengan cepat. Dampak negatif perekonomian ini dirasakan oleh masyarakat setempat. Kesadaran masyarakat timbul akan pentingnya melindungi biota laut bernilai ekonomi tinggi dengan melakukan sasi atau pelarangang untuk meningkatkan populasi spesies penting seperti teripang, lola, dan lobster.
2.3.4.3 Permasalahan Secara umum Taman Pulau Kecil Kofiau dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan karena masyarakat yang mendiami kawasan pulau ini memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga dan mengelola secara berkelanjutan sumberdaya alam laut yang terdapat di sekitar kawasan konservasi ini. Hal ini ditandai dengan berbagai inisiatif lokal yang muncul dari masyarakat untuk melakukan patroli pengawasan di sekitar kampung masing-masing agar nelayan luar tidak boleh menangkap ikan di daerah ini dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Permasalahan yang umum dan sering kali ditemukan di masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan ini disebabkan oleh tingkat pemanfataan yang berlebihan sebagian besar dari nelayan-nelayan dari luar, baik dari Kabupaten Sorong maupun dari luar provinsi Papua Barat, yaitu dari Ternate, Halmahera, dan Sulawesi Selatan. Permasalahan itu antara lain adalah : Alat tangkap merusak Penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan terjadi di Kofiau. Penggunaan bubu, bius, sianida dan bom. Hasil pemantauan sumber daya pada tahun 2006, 2007 dan 2008 menunjukkan bahwa penggunaan kompresor mengalami penurunan drastis sepanjang tahun dan penggunaan bom dan sianida hanya terjadi pada tahun 2007 oleh satu orang nelayan Tolobi (Muljadi, 2009). Perikanan tangkap dengan cara merusak membahayakan populasi jenis-jenis ikan dan tertangkapnya hewan yang dilindungi, serta rusaknya habitat terumbu karang. Kompresor digunakan untuk menyelam pada
36
kedalaman 10 – 20 meter untuk menangkap teripang, lobster dan jenis-jenis moluska komersial. Beberapa nelayan asal Sorong masih melakukan pemboman di daerah Kofiau. Penangkapan biasanya menggunakan kapal bermesin 40 PK. Modus penangkapan dilakukan saat masyarakat kampung mengikuti ibadah gereja pada hari Minggu. Penangkapan Berlebihan Penangkapan berlebihan biasanya dilakukan dengan menggunakan pukat harimau, pukat pantai, rawai, dan sebagainya. Alat-alat ini menyebabkan ada jenis hewan tertentu tertangkap secara tidak sengaja misalnya penyu, lumba-lumba dan duyung. Penangkapan hiu dengan rawai bertujuan untuk mengambil sirip dan ekornya, sementara bagian tubuh lainnya hanya dibuang. Penyalahgunaan Izin Penangkapan Dari beberapa kasus penangkapan nelayan luar di Kofiau oleh kapal patroli gabungan dengan Kapal Motor (KM) Imbekwan, ditemukan beberapa dokumen ijin penangkapan yang disalah-gunakan oleh nelayan, misalnya dalam dokumen disebutkan tidak boleh menangkap ikan di TPPKD Selat Dampier dan Kawe, lalu nelayan tersebut menangkap ikan di Kofiau atau Misool. Juga terdapat kasus penyalahgunaan surat izin penangkapan yang dikeluarkana oleh DKP Sorong untuk beroperasi di wilayah perairan Sorong tetapi dipergunakan untuk menangkap di wilayah perairan Kofiau. Beberapa nelayan memiliki ijin untuk menangkap di Halmahera, Ternate dan perairan Sulawesi Selatan tetapi pada prakteknya nelayan-nelayan ini melakukan aktifitas penangkapan di Kofiau. Pengawasan dan penegakkan hukum Pengawasan dan penegakan hukum adalah permasalahan klasik yang dialami di semua kawasan konservasi laut di Indonesia termasuk di Kofiau. Khusus di Kofiau, masyarakat memiliki komitmen untuk melakukan pengawasan secara swadaya di setiap kampung. Kekecewaan timbul di masyarakat yang melakukan patrol karena tidak ada proses hukum oleh aparat penegak hukum setelah penangkapan dilakukan. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi pasif untuk melakukan tindakan untuk membantu karena kekhawatiran penegakkan hukum tidak akan berjalan sesuai yang diharapkan. Sebagai sebuah Kabupaten Konservasi, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mempunyai tugas penting untuk menindaklanjuti kasus pengawasan dan penegakkan aturan di wilayah Taman Pulau Kecil Kofiau.
37
2.3.5 Misool 2.3.5.1 Potensi Biofisik Kawasan konservasi Misool sebagai wilayah IV TPPKD Raja Ampat memiliki luas 366.000 hektar, terletak di 3 distrik yakni Distrik Misool Timur, Distrik Misool Selatan dan Distrik Misool Barat. Status hukum Taman Pulau Kecil Misool ditetapkan dengan Perda Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Posisi geografis kawasan Taman Pulau Kecil Misool meliputi kawasan yang dihubungkan dengan batas sebelah Utara pada koordinat 130 o 27’ 23’’ BT dan 1o49’ 57” LS, menuju Timur Laut pada koordinat 130o 29’ 55’’ dan 1o 49’ 40” LS, kemudian ke bagian tenggara dengan koordinat 130o 51’ 46’’ BT dan 1o 50’ 05’’ LS, menuju tenggara ke titik koordinat 131o 03’ 09’’ BT dan 2o 16’ 12’’ LS, kemudian ke barat pada koordinat 130o 03’ 23’’ BT dan 02 16’ 13’’ LS dan ke Utara pada koordinat 130 03’ 23” BT dan 02 01’ 38” LS, selanjutnya menuju ke titik awal batas mengikuti garis pantai pada batas pasang tertinggi.
Gambar 7 Peta Kawasan Konservasi Wilayah IV Misool
38
Terdapat 6 habitat karang di Taman Pulau Kecil Misool (DeVantier dkk., 2009). Kurang lebih 339 jenis karang keras ditemukan di 8 titik pengamatan Misool (Donnelly dkk., 2002). Habitat-habitat hamparan karang yang paling menarik dan luar biasa dijumpai di dalam dan di sekitar punggung bukit pulau-pulau yang memanjang dari Misool. Punggung bukit karst yang terjal dan berupa patahan memanjang ke arah timur bertemu dengan terusan tegak lurus terhadap arah utara-selatan, menyebabkan arus-arus pasang yang bergerak di sekitar punggung bukit bergerak cepat maju dan mundur melalui terusan-terusan yang ukurannya sempit. Pada lokasi dimana bukit karst berbatasan dengan laut, serambi bukit yang terpotong oleh arus menciptakan kondisi yang unik bagi habitat dan pengelompokkan beragam jenis karang yang luar biasa.
Dengan kondisi khusus ini, banyak jenis-jenis karang keras dan lunak yang biasanya
ditemukan di laut dengan cahaya terbatas dapat hidup di kedalaman yang dekat permukaan. Arus-arus yang bergerak cepat membawa asupan hara yang mencukupi bagi pertumbuhan karang lunak (soft coral) dari keluarga Dendronephthea yang berlimpah di perairan dangkal Misool. Keunikan kawasan Taman Pulau Kecil Misool terletak pada bentang alam yang spektakuler dengan kepulauan batu kapur yang berasosiasi langsung dengan sistem dan keragaman terumbu karang kompleks di Raja Ampat. Kawasan ini pun memiliki setidaknya empat puluh danau air asin yang berperan penting dalam perlindungan biota endemis (Becking, 2011). Kawasan ini kaya akan tipe habitat meliputi gunung laut, karang tepi, dan karang datar, laguna yang tertutup maupun semi tertutup, danau air asin, padang lamun, hutan mangrove, dan pantai berpasir (Donnelly dkk., 2002). Keberadaan ekosistem terumbu karang ini semakin menarik karena dihuni tidak kurang 300 jenis ikan (Donnelly, 2002) lumba-lumba dan duyung (Dugong dugon) yang sering ditemukan di lokasi ini. Hutan mangrove yang tercatat terdapat di kampung Kapatcol, Biga, Gamta, Magei, Fafanlap dan Tomolol. Data yang diperoleh dari kegiatan pemantauan karang menunjukkan bahwa sering kali ditermukan dua jenis penyu yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) (Syakir and Lantang, 2009). Hasil pemantauan empat kelompok Patroli Perlindungan Penyu dari Kampung Fafanlap, Yellu, Lilinta dan Kapatcol di 20 lokasi pengamatan pada bulan Oktober dan November 2010 menemukan bahwa pantai peneluran potensial terdapat di Pulau Yan yang terletak di antara Kampung Kapatcol dan Lilinta. Masyarakat mengusulkan daerah ini sebagai daerah perlindungan penyu. Berdasarkan data biofisik diatas, maka beberapa potensi yang perlu tetap dipertahankan kelestariannya serta mendapat perhatian dalam penentuan zonasi di Misool serta dapat dikembangkan dimasa depan dalam pengelolaan kawasan, yaitu :
39
1.
Potensi terumbu karang; Misool memiliki keragaman jenis karang paling tinggi, sebanyak 339 jenis karang tercatat pada survei REA tahun 2001. Lokasi – lokasi ini masih asli karena tingkat kerusakan karang sangat kecil. Banyak lokasi yang diusulkan sebagai daerah larang tangkap dan hanya diperuntukan bagi pariwisata selam.
2.
Potensi ikan karang; dengan luas areal karang yang cukup besar maka maka potensi biomassa ikan karang cukup tinggi. . Beberapa jenis ikan dilindungi seperti ikan Napoleon, dan jenis ikan karang lainnya ditemukan dalam jumlah banyak pada setiap lokasi penyelaman. Kekayaan jenis ini menjadikan wilayah perairan Misool penting bagi keberlanjutan produktifitas ikan di seluruh kawasan konservasi perairan juga berpotensi bagi wisata selam.
3.
Potensi hutan mangrove; hutan manggrove cukup luas di Misool penyebarannya, mulai dari daerah Kapatcol, Biga, Gamta, Magei, Fafanlap serta Tomolol. Mangrove ini selain berfungsi sebagai pelindung terhadap abrasi pantai, juga merupakan habitat penting dalam siklus hidup berbagai jenis biota laut seperti ikan, udang, dan kepiting. Berbagai jenis ikan karang menjalani hidup sebagai telur dan larva, serta anakan ikan didaerah mangrove. Selainnya itu hutan mangrove juga merupakan tempat bertelur udang dan berbagai jenis crustacea. Hutan mangrove dapat dimanfaatkan juga sebagai lokasi kunjungan wisata terbatas untuk tujuan pendidikan dan penelitian.
4.
Potensi (lokasi) peneluran penyu: terdapat 20 lokasi yang telah diidentifikasi sebagai lokasi peneluran penyu, terutama penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Lokasi ini penting bagi pelestarian spesies penyu karena hewan ini sangat terancam hidupnya dan semakin langka diperairan laut Raja Ampat.
5.
Potensi (lokasi) peneluran burung laut; di beberapa pulau di Misool menjadi tempat persarangan dan peneluran burung-burung laut. Hal ini penting untuk perlindungan berbagai spesies burung laut.
6.
Potensi Perikanan Pelagis; Taman Pulau Kecil Misool merupakan lokasi penting bagi penangkapan ikan kerapu, tuna serta ikan puri (anchovies). Beberapa spesies ikan seperti kerapu, kakap merah, Napoleon, tuna, cakalang dan tenggiri adalah jenis komersial penting yang banyak ditangkap di wilayah ini. Keberadaan hutan bakau yang baik di Misool menjadi habitat penting bagi tempat bertelur ikan, udang, dan jenis-jenis avertebrata lainnya yang memungkinkan untuk
40
ketersediaan stok makanan bagi berbagai jenis ikan pemangsa lainnya di wilayah Taman Pulau Kecil Misool. 7.
Potensi Budidaya Perikanan. Saat itu kawasan perariran Taman Pulau Kecil Misool di beberapa tempat telah dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya mutiara dan rumput laut. Masyarakat setempat memanfaatkan sejumlah lokasi sebagai lokasi sasi untuk pembesaran jenis-jenis teripang dan lola. Budidaya ikan ekonomis penting sangat berpotensi untuk dilakukan di TPPKD ini.
8.
Potensi Wisata Alam Bahari. Karena memiliki luasan areal terumbu karang yang luas serta berbagai tipe habitat, antara lain : terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, pesisir pantai peneluran penyu, peneluran burung laut, dan pulau-pulau kecil yang panoramanya masih asli, maka potensi ini dapat dikembangkan sebagai salah satu tujuan paket wisata bahari.
9.
Potensi Wisata Pengamatan Setasea, Duyung dan Manta; Taman Pulau Kecil Misool merupakan daerah perlintasan setasea yang penting di jejaring TPPKD Raja Ampat.
Jenis
karismatik yang ditemui di wilayah Misool adalah lumba-lumba, paus, duyung, dan pari manta. 10.
Potensi Sasi; masyarakat di Taman Pulau Kecil Misool masih menjalankan sasi.
Ritual
pembukaan dan penutupan menjadi daya tarik tersendiri dari sisi pariwisata. Sasi berpotensi untuk melestarikan jenis-jenis penting baik ikan, tanaman pangan, dan jenis-jenis moluska yang dipanen oleh masyarakat. Dalam perancangan dan pengelolaan wilayah Taman Pulau Kecil Misool, sasi dapat dipadukan dengan upaya konservasi konvensional.
Pembukaan sasi, saat masyarakat
setempat bisa memanen hasil, dilakukan pada umumnya pada bulan Oktober sampai dengan bulan Januari. 11.
Potensi Pariwisata Budaya; masyarakat Misool adalah masyarakat yang masih kuat memegang adat istiadat terutama suku Matbat. Upacara keagamaan dan ritual budaya masih dilakukan di sini. Beberapa gua keramat serta tempat-tempat yang dikeramatkan banyak terdapat di Misool. Guagua tersebut menunjukkan nilai seni yang bersumber dari sejarah, adat-kebiasaan leluhur masyarakat Misool. Keunikan gua-gua yang berada di gunung kapur Misool dapat menjadi daya tarik pariwisata tersendiri.
41
2.3.5.2 Karakteristik Sosial dan Budaya Demografi Terdapat 3 distrik di wilayah Taman Pulau Kecil Misool yakni Distrik Misool Timur, Distrik Misool Barat dan Distrik Selatan. Terdapat 13 kampung di dalam Taman Pulau Kecil Misool. Kampungkampung yang berada di wilayah Misool Selatan meliputi kampung Harapan Jaya, Yellu, Dabatan, Kayarepop dan Fafanlap. Sedangkan di Distrik Misool Barat meliputi kampung Kayarepop, Lilinta, Biga, Gamta dan Magei. Distrik Misool Timur meliputi kampung Usaha Jaya, Tomolol dan Folley, 12 kampung terletak dalam wilayah Taman Pulau Kecil Misool sedangkan 1 kampung yakni kampung Folley di zona penyangga. Tahun 2008, hanya terdapat 10 kampung namun pada tahun 2010 terjadi pemekaran dari kampung Yellu dibagi menjadi 3 kampung yakni kampung Yellu, Dabatan dan Kayarepop. Kampung Dabatan yang baru menjadi ibukota Distrik Misool Selatan saat ini. Jumlah penduduk yang terbesar saat ini terdapat di kampung Yellu. Keberadaan tiga perusahaan mutiara di Kampung Yellu menarik minat penduduk untuk tinggal dan mencari kerja. Sebagian besar pekerjanya adalah perempuan. Ketiga perusahaan mutiara tersebut adalah Lima, perusahaan mutiara Kabalam dan perusahaan mutiara Mate.
Kebanyakan penduduk adalah penduduk migran yang mencari kerja di
perusahaan mutiara Misool berasal dari Halmahera, Kei, Ambon dan Seram. Masyarakat di pulau bagian selatan Misool terdiri dari dua suku besar yakni masyarakat Matbat dan Matlol, yang sejalan dengan perkembangan terjadi percampuran dari kedua suku ini. Masyarakat Matbat mendiami Kampung Kapatcol, Biga, Gamta, Magei dan Tomolol, dan masih memegang adat istiadat dengan kuat. Pendidikan Hampir semua kampung di wilayah Taman Pulau Kecil Misool memiliki fasilitas sekolah dasar enam tahun, namun terkendala oleh terbatasnya jumlah guru yang mengajar di sini. Praktek yang umum terjadi adalah keterlibatan aparat desa atau para sukarelawan yang datang membantu untuk mengajar di sekolah. Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat di Kampung Lilinta, Fafanlap, Folley dan Magei. Saat ini sudah dibangun SMP di Kampung Dabatan dan juga SD dengan pola asrama di Kampung Folley. Sedangkan Sekolah Menengah Umum (SMU) terdapat hanya di 3 kampung yakni Folley, Lilinta dan Fafanlap.
42
Saat ini telah dibangun SMP teladan di Kampung Dabatan dan telah dibangun juga SMP pola asrama di Kampung Folley. Kebanyakan siswa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di Kota Sorong. Namun ada juga yang melanjutkan kuliahnya ke Jayapura, Makasar atau ke Pulau Jawa.
Tabel 2 Data Penduduk di Distrik Misool Timur, Barat dan Selatan (Mei 2010) No
1
2
3
Distrik (Kecamatan)
Misool Timur
Misool Selatan
Misool Barat
Kampung (Desa)
Jumlah KK
Jumlah Laki-laki
Perempuan
Total
1 Folley
80
223
225
448
2 Tomolol
90
220
186
406
3 Usaha Jaya
53
113
98
211
1 Harapan Jaya
76
186
184
370
2 Yelu
260
622
641
1,263
3 Fafanlap
160
378
347
725
4. Dabatan
22
55
48
103
5.Kayarepop
25
60
50
110
1.Gamta
28
57
52
109
2.Magey
26
68
57
125
3.Biga
69
187
155
342
4 Lilinta
101
257
236
493
5. Kapacol
29
76
78
154
TOTAL
1019
2502
2357
4859
Sumber: Data Statistik Distrik, 2010
Kesehatan Penyebaran jenis penyakit dan masalah kesehatan masyarakat Jenis penyakit yang sering diderita masyarakat Misool adalah diare, malaria tropika (falsiparum) dan malaria tertiana. Pada beberapa kasus ditemukan juga penyakit infeksi paru-paru Tuberculosa (TBC) yang diderita oleh pasien usia produktif (TNC dan MER-C, 2008). Keterbatasan tenaga dokter, pola hidup masyarakat dan keterbatasan obat-obatan merupakan permasalahan kesehatan di wilayah Taman Pulau Kecil Misool. Penyebaran penyakit di wilayah ini seringkali bersumber dari ketersediaan air bersih dan jamban. Penyakit diare seringkali mewabah pada musim pancaroba. Sarana dan Prasaranan Pelayanan Kesehatan Sarana kesehatan di ketiga distrik yang terdiri dari 14 kampung dalam kawasan Taman Pulau Kecil Misool kondisi dan keberadaannya bervariasi. Bebeberapa kampung memiliki sarana kesehatan berupa pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) dan Puskesmas Pembantu (PUSTU). Meski wilayah ini telah
43
dimekarkan menjadi tiga distrik, namun baru tersedia satu puskesmas yang terletak di distrik induk yaitu di Kampung Folley, Dabatan dan Yellu. Sebaliknya ada juga kampung yang tidak memiliki sarana puskesmas maupun pustu. Keberadaan pusat kesehatan belum tentu diiringi oleh ketersediaan medis di lapangan.
Beberapa kampung juga sudah memiliki pos pelayanan terpadu (POSYANDU), namun
demikian tidak semua pos tersebut memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu, anak, dan balita. Keterbatasan tenaga medis yang bertugas di wilayah Taman Pulau Kecil Misool menjadi permasalahan lain. Hanya tersedia satu orang dokter yang bertugas untuk melayani masyarakart di seluruh distrik Taman Pulau Kecil Misool. Obat-obatan yang merupakan kebutuhan penting dalam pelayanan kesehatan juga tidak cukup tersedia. Banyak bidan dan perawat sering kesulitan menangani pasien akibatnya kurang tersedianyan obat-obatan di puskesmas atau pustu. Banyak pasien yang harus dirujuk ke kota karena kurang tersedianya obatobatan padahal pasien bisa saja ditangani di puskesmas atau pustu. Memperhatikan kualitas hidup masyarakat di Misool, pembangunan di wilayah ini juga harus memperhatikan aspek kesehatan masyarakat. Dibutuhkan setidaknya tiga orang dokter, tambahan bidan dan perawat yang dapat melayani tiga distrik di Misool yang disertai dengan ketersediaan pasokan obat dan sarana kesehatan yang baik bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Perekonomian Lokal
Masyarakat yang tinggal di wilayah Taman Pulau Kecil Misool bekerja sebagai petani, nelayan, dan karayawan pada perusahaan mutiara. Kegiatan penangkapan ikan, pengambilan teripang, bia dan lola untuk dijual di pasar setempat. Moluska bernilai ekonomis penting bagi masyarakat di Raja Ampat. Bia lola (susu bundar – Trochus niloticus) di pasar tradisional setempat berkisar antara Rp. 25.000,00 – Rp. 35.000,00 per kilogram. Teripang malam (Holothuridae) dihargai sebesar Rp. 40.000,00 per kilogram, teripang gosok dan teripang minyak Rp. 70.000,00 per kilogram, dan teripang tewer seharga Rp. 175.000,00 per kilogram. Lobster menjadi komoditas penting bagi perekonomian masyarakat.
Harga pasaran berkisar antara Rp.
120.000,00 per kilogram untuk jenis lobster bambo dan lobster setan sampai dengan Rp. 200.000,00 per kilogram untuk jenis udang hias (TNC, 2010). Pada musim laut tenang (setelah musim selatan antara Juli – September) masyarakat di Misool mulai berkegiatan untuk menangkap ikan dan membuka sasi. Sasi lola dan teripang dibuka oleh pemegang hak ulayat setempat dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh masyarakat dari wilayah sasi berada.
44
2.3.5.3 Permasalahan Secara umum pengelolaan kawasan konservasi perairan Taman Pulau Kecil Misool dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan karena masyarakat yang mendiami kawasan ini memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga dan mengelola secara berkelanjutan sumberdaya alam laut yang ada di sekitar kawasan konservasi ini. Hal ini ditandai dengan berbagai inisiatif lokal yang muncul dari masyarakat untuk melakukan patroli pengawasan di sekitar kampung masing-masing agar nelayan luar tidak menangkap ikan di daerah ini dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Beberapa permasalahan yang terjadi di Taman Pulau Kecil Misool adalah: Penggunaan alat tangkap yang merusak dan tidak ramah lingkungan Masih ditemukan penggunaan kompresor untuk mencari teripang bukan saja nelayan lokal namun juga ditemukan nelayan dari luar seperti masyarakat pulau wejim bahkan nelayan dari Madura. Penggunaan Bubu yang berukuran besar juga ditemukan. Pengguna bubu ini berasal dari Sorong dan Menui (Sulawesi) tetapi dikoordinir oleh oleh nelayan lokal. Target utama bubu adalah untuk penangkapan ikan kerapu yang mempunyai nilai jual yang tinggi karena menjadi target perdagangan ikan hidup di Misool. Bubu yang ditemukan di Taman Pulau Kecil Misool berukuran sangat besar dengan panjang 2 meter, lebar 1 meter, tinggi 1 meter, dan sangat berpotensi merusak terumbu karang tempat dipasangnya bubu. Kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh penggunaan pemberat dari karang hidup atau karang yang secara langsung tertimpa oleh bubu yang berat, alat ini juga didentifikasi dapat menyebabkan over fishing atau penangkapan berlebih karena ukuran yang besar dan jumlah yang banyak. Penangkapan berlebihan Penangkapan ikan berlebihan ini dilakukan kebanyakan dari nelayan dari luar Misooll seperti dari Sorong, Seram, Madura dan bahkan Buton. Seperti Nelayan ini melakukan penangkapan ikan hiu dengan alat tangkap Rawai Dasar. Selain itupula adanya bagan-bagan puri yang melakukan penangkapan puri untuk kapal-kapal mincing tuna dalam TPPKD. Penangkapan Jenis yang Dilindungi Selama tim patroli melakukan patroli sering menemukan kelompok nelayan yang melakukan penangkapan penyu. Penangkapan penyu dilakukan oleh beberapa kelompok nelayan asal Misool maupun nelayan dari luar. Alasan untuk memenuhi kebutuhan makan dan untuk memenuhi kebutuhan acara suatu perayaan adat di Kampung. Lima jenis penyu yang sering ditemukan di seluruh perariran
45
Indonesia statusnya adalah hewan yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Penyalahgunaan Izin Penangkapan dan Penangkapan Ilegal Penangkapan di wilayah Taman Pulau Kecil Misool dalam beberapa kasus dilakukan dengan menggunakan izin yang tidak seharusnya. Hasil /pemantauan pemanfaatan surmberdaya pada tahun 2008 menunjukkan bahwa penyalagunaan izin penangkapan terjadi saat nelayan menggunakan izin penangkapan di wilayah selain Taman Pulau Kecil Misool dan menggunakan izin alat tangkap yang seharusnya tidak beroperasi di wilayah Taman Pulau Kecil Misool.
Pengawasan dan penegakkan aturan Berdasarkan hasil pemantauan Tim Patroli Raja Ampat, masih terdapat beberapa kasus penyalahgunaan izin penangkapan yang dipergunakan bagi beberapa kapal dan izin yang kadaluarsa. Ketidakpahaman nelayan akan keterangan yang tertera dalam surat izin penangkapan menyebabkan beberapa nelayan melaukan pelanggaran penangkapan ikan di wilayah Taman Pulau Kecil Misool. Kekurangpahaman kepala kampung atau tokoh adat terhadap prosedur perizinan mengakibatkan permasalahan sosial di masyarakat.
Pada beberapa lokasi, kepala kampung mengeluarkan izin
penangkapan ikan kepada nelayan yang berasal dari luar TPPKD untuk dapat menangkap di dalam wilayah Taman Pulau Kecil Misool. Praktek seperti ini dapat merugikan nelayan setempat karena peningkatan intensitas persaingan pemanfaatan sumberdaya laut di dalam wilayah TPPKD, yang sebenarnya hanya sedikit saja pihak yang mendapat keuntungan dari dikeluarkannya surat izin tersebut.
46
3. Arah Kebijakan Pengelolaan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat merupakan sebuah jejaring dari lima Kawasan Konservasi Perairan Daerah yang ditetapkan dengan tujuan untuk membentuk kawasan laut dan pesisir yang dilindungi dan berfungsi untuk mempertahankan fungsi reproduksi dan stok ikan, sebagai kawasan wisata bahari yang ramah lingkungan, sebagai kawasan bagi pengembangan sosial ekonomi masyarakat yang dimanfaatkan secara lestari, dan untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan pengembangan di Kabupaten Raja Ampat. Pembentukan kawasan konservasi Ayau-Asia, Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Kofiau dan Misool dilakukan berdasarkan Peraturan Bupati No. 5 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat.
Penamaan kelima kawasan konservasi ini
mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008 dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 sebagai Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat.
Dalam upaya pengelolaan
TPPKD Raja Ampat yang mencakup luasan hampir 80% dari wilayah Kabupaten Raja Ampat, PEMDA Raja Ampat menetapkan pembentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) TPPKD yang berada di bawah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat berdasarkan Peraturan Bupati No. 16 Tahun 2009 dan Peraturan Bupati No. 7 Tahun 2011. Dalam menentukan arah pengelolaan sumberdaya laut hayati jangka panjang di seluruh wilayah Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat diperlukan kerangka arahan kebijakan pengelolaan yang menjadi panduan dalam pelaksanaan program.
Arahan pengelolaan ini tidak hanya semata-mata mencakup
pengelolaan kelima kawasan konservasi sebagai sebuah TPPKD Raja Ampat, namun juga mencakup arahan kerjasama pengelolaan antara TTPKD Raja Ampat dengan KKPN yang terdapat di Raja Ampat yaitu SAP Raja Ampat dan SAP Waigeo Barat sebagai sebuah jejaring KKP di Raja Ampat
3.1 Visi dan Misi Visi pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah terwujudnya tata kelola jejaring TPPKD Raja Ampat sebagai sarana peningkatan produksi perikanan dan jasa jasa kelautan serta wisata bahari secara berkelanjutan demi tercapainya peningkatan ekonomi masyarakat.
47
Misi pengelolaan adalah (1) Penataan kawasan melalui sistem zonasi (2) Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat (3) Pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan lokal masyarakat (4) Pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat (5) Penguatan kearifan lokal untuk mendukung pengelolaan TPPKD secara berkelanjutan (6) Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan TPPKD (7) Pembangunan kerjasama pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Waigeo Barat dan KKPN Raja Ampat
3.2 Tujuan dan Sasaran Pengelolaan Tujuan pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah untuk 1) Memanfaatkan kawasan pesisir pulau-pulau kecil dalam TPPKD sesuai peruntukkan berdasarkan zona yang telah ditetapkan. 2) Menumbuhkembangkan sumber mata pencaharian baru seperti budidaya laut, pengolahan hasil laut dan ekonomi kreatif. 3) Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. 4) Mengembangkan teknologi tepat guna bagi masyarakat untuk peningkatan ekonomi masyarakat. 5) Menerapkan dan melestarikan nilai – nilai kearifan lokal dalam pengelolaan TPPKD. 6) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TPPKD. 7) Mengembangkan kerjasama pengelolaan TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Waigeo Barat dan KKPN Raja Ampat sebagai jejaring KKP Raja Ampat.
Sasaran yang ingin dicapai dari pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah: 1) Terkelolanya lima TPPKD sesuai peruntukkannya yakni di KKDP Selat Dampier, TPPKD Teluk Mayalibit, TPPKD Ayau Asia, Taman Pulau Kecil Kofiau dan Taman Pulau Kecil Misool. 2) Adanya pengembangan sumber-sumber mata pencaharian baru dalam hal budidaya laut, pengolahan hasil laut dan ekonomi kreatif. 3) Meningkatnya kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam di kelima TPPKD. 4) Tersedianya teknologi tepat guna yang dapat diterapkan oleh masyarakat. 5) Teradopsinya nilai – nilai kearifan lokal sebagai model pengelolaan di kelima TPPKD.
48
6) Adanya partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan TPPKD dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. 7) Terbentuknya kerjasama pengelolaan TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Waigeo Barat dan KKPN Raja Ampat dalam konteks jejaring KKP Raja Ampat melalui kelembagaan kolaboratif dan pelibatan masyarakat setempat.
3.3 Strategi Pengelolaan Untuk mewujudkan visi pengelolaan TPPKD Raja Ampat, dirancang berbagai strategi untuk dapat menyasar tujuan pelestarian sumberdaya laut di Kabupaten Raja Ampat.
3.3.1 Strategi Penguatan Kelembagaan Strategi penguatan kelembagaan meliputi 1) Pemantapan lembaga pengelola TPPKD Raja Ampat yang sudah terbentuk berdasarkan PERBUP No. 7 Tahun 2011 tentang Pembentukan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Kawasan Konservasi Perairan pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. 2) Peningkatan kapasitas pengelola TPPKD Raja Ampat yang mencakup seluruh unit pengelolaan pada jejaring kawasan konservasi perairan daerah di Kabupaten Raja Ampat. 3) Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia mitra pembangunan di kampung dan distrik serta pemangku kepentingan terkait agar dapat terlibat aktif dalam upaya pengelolaan dan pelestarian di seluruh wilayah TPPKD Raja Ampat. 4) Pengembangan infrastruktur pengelolaan pada semua unit teknis TPPKD Kabupaten Raja Ampat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan TPPKD Raja Ampat. 5) Pengembangan kebijakan dan aturan pengelolaan TPPKD Raja Ampat pada semua tingkatan yang mencakup kebijakan dan aturan pada tingkat kampung, distrik, provinsi dan nasional. 6) Pengembangan mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan TPPKD Raja Ampat. 7) Pembentukan kelembagaan kolaborasi pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat 8) Pengembangan partisipasi dan penguatan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat
3.3.2 Strategi Penguatan Pengelolaan Sumber Daya Kawasan Strategi pengembangan pemgelolaan sumber daya alam kawasan akan mencakup dua sumber daya penting yang mencakup (1) Sumber Daya Alam dan (2) Sumber Daya Manusia , dengan demikian strategi pengembangan pengelolaan yang akan dilaksanakan antara lain: 49
1. Pengelolaan sumber daya alam secara holistik Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat 2. Pengelolaan sumber daya alam secara spesifik di setiap unit teknis Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat.
3. Pemantapan dan pendampingan kepada unit-unit pengelola bidang sosial, budaya dan ekonomi pada semua tingkatan yakni kampung, distrik dan kabupaten. 5. Pengembangan infrastruktur pengelolaan pada tingkat kabupaten sebagai pusat kendali pengelola utama. 6. Pengembangan dan pemantapan infrastruktur pada tingkat jejaring pengelola TPPKD di tingkat kampung dan distrik. 7. Pengembangan infrastruktur ekonomi. 8. Pemantapan kebijakan pengelolaan TPPKD Raja Ampat yang disertakan pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Papua Barat sebagai bagian dari kebijakan nasional pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan ekonomi masyarakat. 9. Pengembagana kerjasama pengeliolaan dengan seluruh pemangku kepentingan bisnis dalam upaya untuk memastikan pengelolaan TPPKD Raja Ampat diterapkan secara berkelanjutan. 10. Pengembangan kerjasama pengelolaan dengan seluruh pelaku pembangunan di tingkat kabupaten dan distrik untuk memastikan bahwa masyarakat memberikan peran dalam penerapan, pengawasan dan pemantauan di wilayah TPPKD Raja Ampat. 11. Membentuk lembaga pengelolaan keuangan TPPKD Raja Ampat di tingkat kabupaten. 12. Mengembangkan dan menjalankan mekanisme pengelolaan keuangan dengan sistem Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) – Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Raja Ampat. 13. Menerapkan mekanisme kredit mikro di tingkat kampung 14. Mengembangkan kebijakan dan aturan pemanfaatan yang mengakomodir kebutuhan pembiayaan operasional dari kegiatan pengelolaan 15. Pemantauan Ekologi/Biologi yang terdiri dari pemantauan kesehatan karang, pemantauan ikan dan daerah pemijahan ikan, pemantauan jenis yang dilindungi, dan lainnya sesuai dengan program kegiatan yang menjadi target konservasi. 16. Pemantauan Sosial-Ekonomi untuk mengukur dan memastikan pengelolaan kawasan konservasi perairan memperhatikan aspek-aspek sosial-ekonomi, menggunakan informasi pemantauan ini bagi pengelolaan yang adaptif. 17. Pemantauan dan Evaluasi Tata Kelola dan Kelembagaan untuk memastikan bahwa pengelolaan secara adaptif dilakukan berdasarkan penilaian pengelolaan secara efektif di seluruh kawasan konservasi perairan.
50
3.3.3 Strategi Penguatan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat berperan penting dalam upaya pengelolaan TPPKD Raja Ampat. Diperlukan keterlibatan aktif masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan untuk dapat mencapai visi pengelolaan TPPKD Raja Ampat yang dapat dilakukan melalui: 1. Meneruskan program pendidikan lingkungan hidup untuk anak usia dini sebagai bagian dari pengelolaan pemberdayaan masyarakat yang peduli pada kesadaran pemeliharaan lingkungan hidup pesisir. 2. Mengembangan modul pendidikan lingkungan yang digunakan sebagai Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) pada tataran jejaring pengelolaan TPPKD Raja Ampat. 3. Menyusun, menyempurnakan dan mendistribusikan Kurikulum Mulok untuk wilayah Kabupaten Raja Ampat yang dilengkapi dengan buku-buku paket pendidikan kelautan dan lingkungan hidup sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat akan kesadaran pemeliharaan laut dan lingkungan pesisir. 4. Melakukan pelatihan bagi pelaksanaan kurikulum MULOK pada berbagai jenjang pendidikan dalam upaya mempersiapkan mentalnya dalam melaksanakan kurikulum MULOK secara efektif, efisien dan berkelanjutan. 5. Melatih sebanyak mungkin pelaku pembagunan pada tataran pengelolaan TPPKD Raja Ampat pada tingkat kampung dan distrik sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan agar dapat melakukan berbagai kegiatan pelestarian dan pemantauan berbasis masyarakat dan perbaikan kualitas lingkungan. 6. Melatih para mitra pembangunan yang mencakup satuan-satuan penggiat ekonomi, penggiat lingkungan dan adat pada tingkat kampung dan distrik.
51
4. Penataan Zonasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa pola pengelolaan kawasan dilakukan melalui sistem zonasi. Demikian juga berlaku bagi seluruh TPPKD di Kabupaten Raja Ampat. Pengembangan zonasi di TPPKD Raja Ampat dilakukan berdasarkan kriteria yang telah dikembangkan atas kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan mitra-mitra pembangungan lainnya, yang bertujuan untuk memastikan bahwa aspek-aspek biofisik dan sosial-ekonomi terakomodir dalam perancangan zonasi TPPKD Raja Ampat. Proses perancangan zonasi meliputi beberapa tahapan yang pada setiap tahapannya peran serta masyarakat sangat berpengaruh dalam menetapkan zona-zona di setiap TPPKD.
Sampai dengan
September 2011, telah dilakukan rangkaian konsultasi publik tahap pertama di seluruh TPPKD Raja Ampat.
Pelibatan masyarakat dalam perancangan zonasi dilakukan sejak awal kepada berbagai
pemangku kepentingan dan masyarakat luas untuk mendapatkan dukungan dan menjadi syarat penting dalam penerapan zonasi di masa datang. Perancangan zonasi harus memperhatikan tiga fungsi penting yaitu perlindungan kawasan, pemeliharaan, dan pemanfaatan kawasan secara terencana. Berdasarkan Undang Undang No. 27 Tahun 2007 zonasi adalah suatu bentuk rekayasa terkini pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Perancangan zonasi TPPKD Raja Ampat dilakukan dengan mempertimbangkan tiga aspek penting yaitu: 1. Potensi kehati laut dan ekosistem yang dimiliki oleh masing-masing kawasan seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, serta potensi biofisik lainnya 2. Kepentingan masyarakat setempat terhadap potensi kehati laut; memperhatikan hak ulayat, aspek budaya setempat. 3. Kepentingan pengelolaan kawasan yang efektif
52
Proses perancangan zonasi dilakukan bersama-sama dengan lembaga mitra CI dan TNC secara bertahap di berbagai tingkat di masyarakat dengan mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten Raja Ampat melalui Dinas Kelautan dan Perikanan.
4.1 Kriteria Zonasi Terdapat beberapa kriteria penting yang digunakan sebagai acuan dalam perancangan zonasi untuk menciptakan sebuah kawasan konservasi perairan yang tangguh. Kriteria tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 3 Kriteria penting perancangan zonasi Kriteria Biofisik 1)
Ukuran setiap zona larang-ambil harus berdiameter minimal 10-20 km untuk ukuran terkecil, kecuali di wilayah-wilayah pesisir.
2)
Jarak maksimal antar dua zona larang-ambil adalah 15 km.
3)
Minimal 20%, dengan sasaran 30%, dari tiap tipe habitat (misal terumbu karang, mangrove, padang lamun) harus terwakili dalam sebuah zona larang-ambil.
4)
Minimal ada tiga kali pengulangan dari tiap tipe habitat di dalam zona larang-ambil untuk mengurangi peluang terjadinya gangguan di habitat tersebut oleh akibat yang sama.
5)
Apabila mungkin, pilihlah daerah yang memiliki tipe-tipe habitat yang beragam ke dalam sebuah zona tanpaambil untuk memastikan keterkaitan ekologi yang tinggi antar habitat.
6)
Apabila mungkin, pilihlah zona tanpa-ambil yang dekat dengan kawasan lindung darat untuk memaksimalkan keutuhan ekosistem pesisir.
7)
Hindari fragmentasi (pemisahan) – apabila mungkin, masukkan keseluruhan suatu satuan biologis dalam zona tanpa-ambil (mis. sebuah gunung laut, sebuah atoll, sebuah laguna, yang utuh).
8)
Pilihlah bentuk-bentuk sederhana untuk zona-zona tanpa-ambil untuk meminimalkan pengaruh-pengaruh akibat tata batas, sambil memaksimalkan perlindungan di dalam kawasan lindung.
9)
Lindungi daerah-daerah yang kritis atau unik, seperti misalnya:
Habitat spesies yang terancam punah
Komunitas biota laut yang unik dan beragam
Spesies yang endemik atau daerah-daerah kunci bagi ke-endemikan biota-biota.
Habitat-habitat yang penting secara global
Daerah-daerah yang penting dalam tahapan-tahapan kehidupan suatu species seperti tempat-tempat berkumpul ikan untuk kawin, tempat-tempat berkumpul atau berkembang-biak hiu, pantai-pantai peneluran atau daerah-daerah makan/istirahat penyu, dan tempat-tempat bertelur burung laut.
Habitat buaya
Habitat duyung
Habitat-habita pelagis yang unik (mis. daerah-daerah yang memiliki konsentrasi yang tinggi dari upwelling, tempat bertemu arus dan pusaran-pusaran arus laut).
53
Perubahan Iklim 1)
Memilih daerah-daerah yang tangguh terhadap perubahan iklim
Daerah-daerah dengan kisaran suhu air yang bervariasi, termasuk habitat-habitat yang memiliki suhu tinggi
Habitat pelagis yang dinamik secara fisik (misalnya daerah-daerah yang mengalami upwelling, pusaran-pusaran arus, pertemuan arus, dan berarus kuat).
2)
Daerah-daerah yang agak terlindung dari matahari karena adanya pulau-pulau.
Daerah-daerah dengan jumlah ikan herbivora yang banyak.
Daerah-daerah yang memiliki pertumbuhan karang-karang baru
Memilih daerah-daerah yang tangguh terhadap dampak naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim
Daerah mangrove yang masih memiliki ruang untuk bisa berkembang ke arah daratan.
Pantai-pantai peneluran penyu yang masih memiliki ruang untuk bisa berkembang ke arah daratan
Kriteria sosial-ekonomi
Ketahui dan hargai sistem hak ulayat laut masyarakat Papua dan hak-hak masyarakat setempat, dengan memastikan bahwa mereka adalah pusat dalam proses pengambilan keputusan.
Padukan pengetahuan tradisional, praktek-praktek konservasi tradisional dan perikanan berkelanjutan ke dalam pengelolaan KKP.
Minimalkan dampak negatif dari kegiatan-kegiatan mata pencaharian masyarakat setempat yang ada.
Lindungi daerah-daerah yang memiliki nilai-nilai budaya-tradisional yang penting bagi pemilik-pemilik sumberdaya setempat.
Minimalkan pemanfaatan-pemanfaatan yang menimbulkan konflik (misalnya antara pariwisata dan perikanan).
Pertimbangkan spesies-spesies yang penting bagi perikanan masyarakat (misalnya lola, teripang, lobster, siput hijau, abalone, kima), dan ketahui variasi-variasi sebaran tempat dan musim dalam pemanfaatannya dan nilai-nilainya.
Dukung penangkapan ikan yang subsisten (untuk kebutuhan sehari-hari) dan perikanan yang berdampak rendah.
Lindungi pemanfaatan sumberdaya laut masyarakat setempat dengan melarang praktek-praktek perikanan yang merusak.
Fasilitasi dan dukung penerapan praktek-praktek pengelolaan yang mendukung keberlanjutan dan perikanan komersil yang berdampak rendah.
Pastikan pengembangan KKP dirancang untuk mendukung perikanan artisanal (skala kecil atau tradisional) bagi masyarakat setempat.
Pertimbangkan spesies-spesies yang rentan terhadap penangkapan berlebihan (misalnya kerapu, hiu).
Lindungi tempat-tempat wisata yang potensial.
Dukung industri ramah-lingkungan yang berdampak rendah yang cocok dengan KKP (misalnya wisata alam dan budidaya mutiara).
Cegah penempatan KKP atau zona larang-ambil di dekat lokasi infrastruktur perkapalan yang ada.
54
4.2 Jenis dan Definisi Zona Jenis Zona yang dikembangkan di TPPKD Raja Ampat adalah mengacu pada PERMEN No. 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yaitu: 1) Zona Inti; merupakan bagian dari kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilindungi, yang ditujukan untuk perlindungan habitat dan populasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta pemanfaatannya hanya terbatas untuk penelitian 2) Zona Pemanfaatan Terbatas; merupakan bagian dari Zona Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang pemanfataannya hanya boleh dilakukan untuk budidaya pesisir, ekowisata dan perikanan tradisional. Menurut Undang Undang No. 27 Tahun 2007, zona pemanfaatan terbatas mencakup sub-zona perikanan berlanjutan dan budidaya, ketahanan pangan dan pariwisata. Perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, serta penelitian – pengembangan dan pendidikan. Beberapa sub-zona yang diadopsi dalam perancangan zonasi Taman Pulau Kecil Raja Ampat mencakupi:
Sub zona ketahanan pangan dan pariwisata adalah zona larang ambil yang diperuntukkan bagi perkembangbiakan ikan dan biota laut lainnya dengan tujuan sebagai sumber cadangan pangan bagi masyarakat, dan sekalius memberikan manfaat ekonomi melalui kegiatan wisata bahari
Sub zona perikanan berkelanjutan dan budidaya; diperuntukkan bagi a) Perlindungan habitat dan populasi ikan; b) Penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan; c) Budi daya ramah lingkungan; d) Pariwisata dan rekreasi; e) Penelitian dan pengembangan f) Pendidikan g) Budidaya
3) Zona lainnya; merupakan zona di luar Zona Inti dan Zona Pemanfaatan Terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu.
Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 17 Tahun 2008 menyebutkan bahwa zona lainnya dapat diperuntukkan sebagai zona sasi dan pemanfaatan tradisional, zona alur dan zona pengembangan infrastruktur. Ketiganya diperjelas sebagai berikuti
55
Sub zona sasi dan pemanfaatan tradisional masyarakat; merupakan zona tangkap ikan yang diperuntukan khusus bagi masyarakat tradisional yg masih menggunakan alat-alat tradisional dalam skala kecil dengan tujuan untuk menjamin keberlangsungan mata pencaharian nelayan tradisional
Sub zona alur; merupakan zona yang diperuntukkan bagi alur kapal Pelni maupun kapal komersial lainnya
Sub zona pemanfaatan lainnya (saat ini sedang diusulkan sebagai sub zona pengembangan infrastruktur); merupakan zona yang diperuntukkan bagi aktivitas pembangunan atau pengembangan infrastruktur
4.3 Pengaturan berbagai kegiatan dalam zona Zonasi mengatur berbagai kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan wilayah untuk mencapai tujuan pelestarian sumberdaya hayati laut yang berkelanjutan. Panduan umum peruntukkan setiap zona dan berbagai kegiatan yang terkait dengan perancangan zona-zona terdapat pada Lampiran 2 dokumen ini. Berbagai kegiatan dan peruntukkan wilayah di setiap zona pada seluruh TPPKD Raja Ampat mengacu pada aturan yang sama. Sebagai ringkasan, di seluruh wilayah TPPKD Raja Ampat penggunaan alat tangkap yang merusak dilarang dipergunakan. Pada zona inti tidak diperkenankan melakukan kegiatan apapun kecuali untuk tujuan pendidikan, penelitian, upaya pelestarian berdasarkan surat ijin yang berlaku. Ditetapkannya zona sasi merupakan sebuah keistimewaan bagi upaya konservasi yang menggunakan nilai-nilai kearifan tradisional.
Penetapan zona sasi menunjukkan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat di
Kabupaten Raja Ampat.
56
4.4. Zonasi TPPKD Raja Ampat Berikut ini adalah Rencana Luas Zonasi Taman Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat : TPPKD
Ayau Asia
Zona
Sub Zona
Zona Inti
Zona Inti Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata Sub Zona Perikanan Berkelanjutan dan Budidaya Sub Zona Alur
Zona Pemanfaatan Terbatas
Zona Lainnya
Zona Inti
Teluk Mayalibit
Zona Pemanfaatan Terbatas Zona Lainnya Zona Inti
Selat Dampier
Zona Pemanfaatan Terbatas
Zona Lainnya Zona Inti
Misool
Zona Pemanfaatan Terbatas
Zona Lainnya
Sub Zona Pemanfaatan Lain Sub Zona Pemanfaatan Tradisional Masyarakat Zona Inti Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata Sub Zona Perikanan Berkelanjutan dan Budidaya Sub Zona Pemanfaatan Lain Sub Zona Pemanfaatan Tradisional Masyarakat Zona Inti Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata Sub Zona Perikanan Berkelanjutan dan Budidaya Sub Zona Alur Sub Zona Pemanfaatan Lain Sub Zona Pemanfaatan Tradisional Masyarakat Zona Inti Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata Sub Zona Perikanan Berkelanjutan dan Budidaya Sub Zona Pemanfaatan Tradisional Masyarakat Sub Zona Sasi Sub Zona Pemanfaatan Umum
Kofiau
Zona Pemanfaatan Terbatas Zona Lainnya
Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata Sub Zona Perikanan Berkelanjutan dan Budidaya Sub Zona Pemanfaatan Lain Sub Zona Pemanfaatan Tradisional Masyarakat
57
Total Zona (ha)
Total Sub Zona (ha)
% Sub Zona
846
0.83%
10,169
10.02%
36,517
36.00%
7,204
7.10%
1,903
1.88%
44,801
44.17%
609
1.15%
14,982
28.21%
1,398
2.63%
1,377
2.59%
34,734
65.41%
36,111
3,986
1.20%
3,986
1.20%
52,426
15.60%
193,489
57.60%
245,915
73.20%
11,400
3.40%
9,213
2.70%
65,486
19.50%
750
0.20%
79,890
21.83%
6,700
1.83%
253,410
69.24%
9,180
2.51%
16,070
4.39%
17,249
10.15%
4,131
2.43%
18,292
10.76%
130,328
76.66%
846 46,686
% Zona
Total TPPKD (ha)
0.83% 46.02% 101,440
53,908
609 16,380
53.14%
1.15% 30.85% 53,100 68.01%
336,000 86,446
25.60%
750
0.20%
86,590
23.66% 366,000
278,660
76.14%
21,380
12.58% 170,000
148,620
87.42%
4.4.1 Usulan Zonasi TPPKD Raja Ampat Wilayah I Kep. Ayau-Asia Dalam perancangan zonasi di TPPKD Ayau Asia memberikan komposisi terbesar pada sub-zona perikanan berkelanjutan sebesar 72% dan sub-zona ketahanan pangan dan pariwisata sebesar 12% dibandingkan dengan luas total TPPKD. Zona inti merupakan zona yang luasannya paling kecil yaitu sebesar 1% dari total luas wilayah.
Gambar 8 Peta Usulan Zonasi TPPKD Ayau Asia
Selain itu, zona pemanfaatan tradional masyarakat sebesar 6% dari total Luas TPPKD Kep.Ayau Asia sedangkan zona alur sebesar 7 %. Secara details usulan pemanfaatan ruang TPPKD Kep.Ayau Asia dapat ditemukan pada gambar 9 tentang prosentasi pemanfaatan ruang.
58
Zona Inti, 1% Sub Zona Alur, 7%
Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata, 12 %
Luas Zonasi terhadap Luas KKLD Ayau
Sub Zona Pemanfaatan Lain, 2% Sub Zona Pemanfaatan Tradisional Masyarakat, 6 %
Sub Zona Perikanan Berkelanjutan dan Budidaya, 72%
Zona Inti, 1%
Sub Zona Alur, 3%
Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata, 18 %
Sub Zona Perikanan Berkelanjutan dan Budidaya, 68%
Luas Zonasi terhadap Luas Terumbu karang di dalam KKLD Ayau
Sub Zona Pemanfaatan Tradisional Masyarakat, 10 %
Gambar 9 Prosentasi Usulan Zonasi di TPPKD Ayau Asia
4.4.2 Usulan Zonasi TPPKD Raja Ampat Wilayah II Selat Dampier Komposisi zona-zona dalam TPPKD Selat Dampier menunjukkan bahwa sebesar 72% dari total wilayah TPPKD diperuntukkan sebagai sub-zona perikanan berkelanjutan dan budidaya, dan bagian terbesar kedua adalah sub-zona ketahanan pangan dan pariwisata sebesar 15% dari luas total. Jika dilihat dari perbandingan luasan terumbu karang dengan total luas TPPKD Selat Dampier, sub-zona perikanan yang berkelanjutan dan budidaya memiliki 43% luasan terumbu karang, dan sub-zona ketahanan pangan hanya sebesar 29%. Selain zona-zona pemanfaatan tersebut diantaranya adalah zona untuk pemanfaatan tradional masyarakat sebesar 27% dari luas terumbu karang atau sebesar 5% dari luas TPPKD Selat Dampier; sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar 11.
59
Gambar 10. Peta usulan zonasi TPPKD Selat Dampier
60
Sub Zona Zona Alur, 4% Inti, 1%
Sub Zona Perikana n Berkelanj utan dan Budidaya , 72%
Sub Zona Luas Zonasi terhadap Ketahana Luas KKLD Selat Dampier n Pangan dan Pariwisat Sub Zona a, 15% Pemanfa atan Lain, 3% Sub Zona Pemanfa atan Tradision al Masyarak at, 5%
Zona Inti, 1%
Sub Zona Perikanan Berkelanjut an dan Budidaya, 43%
Luas Zonasi terhadap Luas Terumbu karang di dalam KKLD Selat Dampier
Gambar 11. Prosentasi usulan zonasi TPPKD Selat Dampier
61
Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata, 29%
Sub Zona Pemanfaat an Tradisional Masyarakat , 27%
4.4.3 Usulan Zonasi TPPKD Raja Ampat Wilayah III Teluk Mayalibit
Gambar 12 Peta usulan Zonasi TPPKD Teluk Mayalibit
Komposisi zona-zona dalam TPPKD Teluk Mayalibit menunjukkan bahwa sebesar 71% dari total luas wilayah TPPKD diperuntukkan sebagai sub-zona perikanan berkelanjutan dan budidaya, dan bagian terbesar kedua adalah sub-zona ketahanan pangan dan pariwisata sebesar 16% dari luas total. Jika dilihat dari perbandingan luasan terumbu karang dengan total luas TPPKD Teluk Mayalibit, sub-zona perikanan yang berkelanjutan dan budidaya memiliki 48% luasan terumbu karang, dan sub-zona ketahanan pangan hanya sebesar 33%. Selain zona-zona pemanfaatan tersebut diantaranya adalah zona untuk pemanfaatan tradional masyarakat sebesar 19% dari luas terumbu karang atau sebesar 11% dari luas TPPKD Teluk Mayalibit; sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar 13.
62
Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata, 16%
Luas Zonasi terhadap Luas KKLD Teluk Mayalibit
Sub Zona Pemanfaat an Lain, 2% Sub Zona Perikanan Berkelanjut an dan Budidaya, 7 1%
Sub Zona Pemanfaat an Tradisional Masyarakat , 11%
Sub Zona Perikanan Berkelanjut an dan Budidaya, 48%
Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata, 33%
Luas Zonasi terhadap Luas Terumbu karang di dalam KKLD Teluk Mayalibit
Gambar 13 Prosentasi usulan Zonasi TPPKD Teluk Mayalibit
63
Sub Zona Pemanfaat an Tradisional Masyarakat , 19%
4.4.4 Usulan Zonasi TPPKD Raja Ampat Wilayah IV Misool
Gambar 94 Peta Usulan Zonasi Taman Pulau Kecil Misool
Pada bulan Mei 2011, dilakukan kegiatan konsultasi pertama dengan masyarakat di wilayah KKLD Misool dimana dilakukan di 13 kampung yang berada di wilayah Distrik Misool Barat, Misool Selatan dan Misool Timur. Dari hasil pertemuan dan diskusi konsultasi pertama di 5 Kampung dalam wilayah Distrik Misool Barat, yaitu: Kapatcol, Lilinta, Magey, Gamta dan Biga, masyarakat merekomendasikan Yan sebagai zona inti dan pulau Femin bagian luar menjadi zona ketahanan pangan dan parawisata. Usulan ini berdasarkan pertimbangan bahwa (1) Pulau Yan memang adalah tempat Penyu bertelur, dan masih ada orang yang datang mengambil baik telur maupun penyu itu sendiri, (2) Pulau Yan jauh dari kampung biga, maka mereka ingin memastikan bahwa daerah tersebut dapat dijaga dan dilindungi dari pengerusakan, maka diputuskan bahwa Pulau Yan dan Femin dapat dijadikan Zona Inti sama dengan yang diusulkan oelh kampong Lilinta karena kampong lilinta dan Biga memiliki areal pemanfaatan secara bersama (satu petuanan/hak ulayat) yang juga mereka sebut makan bersama, bahwa ini adalah
64
kesepakatan anggota masyarakat yang hadir saat ini.
Dan pada pertemuan ini, masyarakat juga telah
mengkonfirmasi wilayah tempat Sasi Kampung Lilinta Biga, Magei, Gamta dan Kapatcol. Sedangkan di Distrik Misool Selatan terdapat 4 kampung yaitu: Yellu, Dabatan, Kayerepop dan Harapan Jaya . Dan hasilnya bahwa;
Pulau Jam dan pulau Wayaban adalah wilayah yang perlu dilindungi dan
dipertimbangkan untuk menjadi Zona Inti atau Sub Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata (mereka menyebutnya zona tabungan, perlu dikonfirmasi lagi). Sama seperti di Distrik Misool Selatan, proses sosialisasi dan diskusi zonasi baru dimulai di wilayah Distrik Misool Timur. Kampung-kampung yang berada di wilayah ini adalah, Usaha Jaya, Tomolol, Folley dan Fafanlap. Masyarakat Kampung usaha Jaya meminta pembicaraan terlebih dahulu dengan masyarakat Kampung Fafanlap, sebagai Kampung yang juga memegang kedaulatan hak ulayat di wilayah Misool Timur, dan setelahnya, hasil kesepakatan Kampung Fafanlap dibicarakan lagi dengan Kepala Kampung Usaha Jaya. Sedangkan masyarakat di Tomolol mengusulkan beberapa tempat yang akan dijadikan zona, antara lain : Tanjung Openta, keramat akan dijadikan zona pariwisata, Pulau Anut pejam zona ketahanan pangan, Pada pertemuan ini, masyarakat juga telah mengkonfirmasi wilayah tempat Sasi Kampung Tomolol di Kaunut lol masyarakat menyampaikan bahwa ‘kami hanya
Sedangkan hasil pertemuan di Kampung Folley
mengikuti apa yang diputuskan oleh keluarga kami di kampung Tomolol karena kami satu saudara’. Sampai dengan Juni 2012, akan dilakukan diskusi Zonasi untuk Tahap ke II, dimana komposisi pembagian zona zona di Taman Pulau kecil Misool yang akan dicapai adalah sebagai berikut : 1. Zona inti seluas 750 ha 2. Zona ketahanan pangan dan pariwisata seluas 79,890 ha. 3. Zona perikanan dan berkelanjutan dan budidaya seluas 6,700 ha 4. Zona pemanfaatan Tradisional Masyarakat seluas 253,410 ha 5. Zona Zasi seluas 9,180 ha 6. Dan zona pemanfaatan lainnya seluas 19,980 ha. Sehingga luas kawasan 366, 000 ha.
65
4.4.5 Usulan Zonasi Taman Pulau Pulau Kecil Daerah Wilayah V Kofiau
Gambar 105 Peta Usulan Zonasi Taman Pulau Kecil Kofiau
Komposisi pembagian zona-zona di Taman Pulau Kecil Kofiau dapat diuraikan sebagai berikut :
Zona pemanfaatan tradisional masyarakat, seluas 130,328 ha atau 76,6 % dari seluruh luas kawasan. Zona ini merupakan zona pemanfaatan masyarakat. Ada sekitar 11 lokasi yang telah ditetapkan sebagai “daerah SASI”
Zona ketahanan pangan dan Pariwisata (NTZ),seluas 17,249 ha, atau 10,1 % dari zona larang tangkap di Kofiau dan terbagi dalam 4 lokasi di Kofiau, yaitu : Zona ketahanan pangan & Pariwisata (NTZ . I) Wamei, Zona ketahanan pangan & pariwisata (NTZ. II) Wallo, Cina, gebe kecl, Zona ketahanan pangan & pariwaisata (NTZ. III) Dona Carmalita, Zona ketahanan pangan & Pariwisata (NTZ. IV) Boo besar bagian Utara,
Zona Perikanan berkelanjutan dan Budidaya, seluas 4,131 ha, atau 2,43 % dari luas kawasan. Zona ini merupakan tempat yang sudah dimanfaatkan untuk budidaya kerang mutiara oleh perusahaan mutiara di pulau Kofiau. Bila tidak ada ijin resmi dari Pemda Raja Ampat, maka lokasi ini dapat menjadi zona perikanan berkelanjutan & budidaya yang dapat dikembangkan oleh masyarakat di Taman Pulau Kecil Kofiau
66
Zona Pemanfaatan lainya, seluas 18,292 ha, atau 10,7 % dari luas kawasan. Zona ini merupakan zona daratan di pulau Kofiau dan pulau-pulau kecil lainnya yang termasuk dalam 42 pulau di Taman Pulau Kecil Kofiau. Saat ini telah dilakukan survey vegetasi di pulau Kofiau dan akan dibuat usulan rancangan zonasi darat pulau Kofiau, sebagai bagian dari rencana zonasi Taman Pulau Kecil Kofiau.
67
5. Rencana Pengelolaan Rencana Pengelolaan yang disusun akan berdasarkan arah kebijakan pengelolaan dan strategi yang dirancang untuk mencapai visi misi pengelolaan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat.
5.1 Penguatan Kelembagaan dan Pengelolaan Bersama Salah satu kunci keberhasilan program pengelolaan kawasan konservasi adalah terletak pada kekuatan kelembagaan yang akan mengelolanya. Lembaga pengelola kawasan konservasi harus memiliki kemampuan dan keterampilan teknis pengelolaan kawasan konservasi perairan yang memadai untuk menjalankan program-program pengelolaan termasuk mengelola kelembagaan itu sendiri sehingga mampu mencapai tujuan-tujuan pengelolaan kawasan yang telah ditetapkan. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pasal 14 ayat 6 dan pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa dinas daerah dapat membentuk unit pelaksana teknis daerah (UPTD) untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan; unit pelaksana teknis terdiri dari satu subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional. Payung hukum ini mendorong Pemerintah Kabupaten Raja Ampat membentuk UPTD KKPD Raja Ampat berdasarkan Peraturan Bupati No. 7 Tahun 2011. Berdasarkan Peraturan Bupati tersebut pada Bab VIII tentang Ketentuan Peralihan pasal 21 ayat 1 pengembangan UPTD KKPD akan ditingkatkan statusnya menjadi Satuan Kerja Perangkat Daerah setelah melalui evaluasi dan penilaian kinerja serta evaluasi pengelolaan keuangan dan administrasi yang dilakukan oleh tim kajian dalam kurun waktu dua tahun setelah UPTD KKPD berjalan. A. Pemantapan lembaga pengelola Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat yang sudah terbentuk berdasarkan PERBUP NO. 7 Tahun 2011 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kawasan Konservasi Perairan pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk menjalankan program ini adalah : (1) Penataan struktur kelembagaan mulai dari tingkat kabupaten sampai tingkat lapangan (2) Mengembangkan pengelolaan keuangan melalui pengembangan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak UPTD KKPD berjalan (Nota Kesepakatan Bersama, 2011)
68
B. Peningkatan status lembaga pengelola (catatan: saat ini status UPTD berdasarkan PERBUP 1/2011) (1) Meningkatkan status UPTD menjadi Kantor Pengelola Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat atau setingkat SKPD, dalam jangka waktu 2 tahun. (2) Meningkatkan status dari Kantor Pengelola menjadi Badan Pengelola dalam jangka waktu 5 tahun sejak terbentuknya kantor tersebut. C. Peningkatan Kapasitas Pengelola TPPKD Raja Ampat yang mencakup seluruh unit pengelola di setiap KKPD di Kabupaten Raja Ampat.
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk
menjalankan program ini adalah: (1) Melakukan studi penguatan kelembagaan dan tata kelola UPTD (2) Pengembangan kapasitas pengelola melalui Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) untuk fokus-fokus pengembangan yang diperlukan yaitu: Pengelolaan organisasi (management orgnanisasi, management sumberdaya manusia, pengelolaan keuangan, management adminsitrasi, management inventory) Perencanaan strategis Kemitraan dan penjangkauan masyarakat Komunikasi dan pengelolaan data Studi banding Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan Pemantauan dan evaluasi bagi pengelolaan KKP yang adaptif (3) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia para mitra pembangunan di kampung dan distrik serta para pemangku kepentingan terkait. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk menjalankan program ini adalah:
Pelatihan, kursus
Kunjungan belajar
Magang
Mentoring (pendampingan/bimbingan teknis)
D. Pengembangan infrastruktur pengelolaan pada semua TPPKD dari jejaring kawasan konservasi laut Kabupaten Raja Ampat sebagai bagian yang integral dari pengelolaan TPPKD. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan untuk menjalankan program ini adalah : (1) Verifikasi batas-batas terluar masing-masing TPPKD dan pemasangan tanda batas TPPKD;
69
(2) Pemasangan tanda batas (pelampung atau tanda lainnya) pada setiap zona di masing-masing TPPKD; dilakukan sesuai kemampuan dan ketersediaan sumberdaya di masing-masing TPPKD. (3) Menyiapkan kantor pengelola yang memadai di tingkat kabupaten (4) Menyiapkan kantor-kantor pengelola di tingkat lapangan (5) Pengadaan peralatan utama kantor (6) Pengadaan peralatan pendukung kantor pengelola di tingkat kabupaten dan lapangan (7) Penataan sarana dan prasarana yang telah dimiliki selama ini (8) Pengadaan fasilitas pendukung pengelolaan kawasan pada tingkat Kabupaten dan tingkat lapangan E. Pengembangan kebijakan dan aturan pengelolaan TPPKD Raja Ampat pada semua tingkatan yang mencakup kebijakan dan aturan di tingkat kampung, distrik, provinsi dan nasional. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan untuk menajalankan program ini adalah:
Penataan dan penyusunan peraturan perundangan yang terkait dengan program pengelolaan TPPKD Raja Ampat di tingkat nasional, provinsi, kabupaten dan kampung;
Sosialisasi peraturan-peraturan mengenai pengelolaan Taman Pulau-Pulau Kecil DaerahRaja Ampat
Sosialisasi zonasi dan aturan-aturam zonasi
Penataan dan penyusunan protokol dan Prosedur Operasional Baku yang terkait dengan pengelolaan TPPKD Raja Ampat (catatan: saat ini sudah terdapat Prosedur Operasional Baku bagi Pariwisata Laut di Kabupaten Raja Ampat).
F. Pengembangan mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan TPPKD Raja Ampat. Provinsi Papua Barat saat ini mendapat beragam dana bantuan karena statusnya sebagai daerah otonomi khusus.
Dana-dana tersebut ditujukan bagi percepatan pembangunan di wilayah
Provinsi Papua Barat yang Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu bagiannya. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dapat menjadi sumber utama bagi pengelolaan TPPKD Raja Ampat selain bantuan dari mitra lembaga di lokasi TPPKD berada. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan untuk menjalankan program ini adalah :
Penilaian kebutuhan dan peluang pendanaan bekelanjutan
Penyusunan rencana strategis sistem pendanaan berkelanjutan
Pengembangan kemitraan dengan lembaga-lembaga donor
G. Peningkatan kapasitas mitra untuk dapat mencari peluang pendanaan berkelanjutan bekerjasama dengan sektor publik dan swasta.
70
H. Pemantapan kebijakan pengelolaan TPPKD yang telah dibentuk oleh pemerintah pada tingkat kabupaten. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan adalah (1) Pemantapan kebijakan pengelolaan TPPKD Raja Ampat yang telah
dimasukkan pada
Rencana Tata Ruang dan Wilaya (RTRW) Provinsi Papua Barat, RTRW Kabupaten Raja Ampat, Rencana Tindak Lanjut Pemanfaatan Ruang Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat sebagai bagian dari kebijakan nasional dan daerah pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan ekonomi masyarakat. (2) Pengembangan kerjasama pengelolaan dengan seluruh para pemangku kepentingan bisnis dalam upaya untuk memastikan pengelolaan TPPKDRaja Ampat diterapkan secara berkelanjutan. (3) Pengembangan kerjasama pengelolaan dengan seluruh pelaku pembangunan di tingkat kampung dan distrik untuk memastikan bahwa peran serta masyarakat diperlukan dalam implementasi pengawasan, pemantauan dan manfaat ekonomi langsung. I.
Pembentukan kelembagaan kolaborasi pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat.
Kegiatan yang akan dilakukan untuk menjalankan
program ini adalah: (1) Pengkajian dan penyusunan konsep model kelembagaan dan program kolaborasi pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat. Program kolaborasi meliputi:
Pengawasan dan monitoring skala jejaring KKP Raja Ampat
Peningkatan kapasitas SDM
Database
Pendidikan lingkungan hidup
(2) Pembentukan, formalisasi dan penguatan kelembagaan kolaborasi pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat J. Pengembangan partisipasi dan penguatan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat.
Kegiatan yang akan
dilakukan untuk menjalankan program ini adalah: (1) Pengkajian dan penyusunan konsep model pengelolaan kolaborasi dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan masing-masing kawasan konservasi pada tingkat TPPKD Raja Ampat, KKPN Raja Ampat maupun KKPN Waigeo Barat.
Pelibatan masyarakat pada masing-
masing kawasan konservasi meliputi:
Pengawasan dan monitoring skala masing-masing kawasan konservasi
Pemanfaatan kawasan konservasi
71
(2) Pembentukan dan formalisasi pengelolaan kolaborasi pada masing-masing kawasan konservasi baik di TPPKD Raja Ampat, KKPN Raja Ampat maupun KKPN Waigeo Barat
5.2 Perlindungan habitat dan populasi ikan Strategi pengembangan pengelolaan sumber daya alam akan mencakup tiga hal penting yang mencakup (1) Sumber Daya Alam, (2) Sumber Daya Manusia, (3) Sumber Dana, dengan demikian strategi pengembangan pengelolaan yang akan dilaksanakan antara lain A. Pengelolaan sumber daya alam secara holistik pada jejaring Taman Pulau Kecil Kabupaten Raja Ampat. B. Pengelolaan sumber daya alam secara spesifikdi setiap TPPKD. C. Pemantapan dan pendampingan unit-unit pengelola sosial, budaya dan ekonomi pada semua tingkat yakni kampung, distrik dan kabupaten. Dengan memperhatikan aspek-aspek penting biofisik habitat, Tim Pengelola TPPKD Raja Ampat secara berkelanjutan melakukan perlindungan habitat dan populasi ikan dengan penerapan aturan zonasi di seluruh TPPKD. Penelitian secara berkala akan dilakukan bersama mitra lembaga yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan pesisir lautan. Upaya perlindungan habitat dan populasi ikan dilakukan dengan secara aktif memantau tingkat upaya penangkapan ikan agar tetap pada kondisi maksimum lestari di seluruh lokasi TPPKD, mencegah berbagai kegiatan perikanan tangkap yang tidak ramah lingkungan, pelarangan penangkapan satwa laut yang dilindungi dan terancam punah, dan mendorong penggunaan alat tangkap yang selektif. (1) Untuk mengurangi kondisi tangkap-lebih, Tim Pengelola akan mengkaji kuota perijinan untuk jenis ikan yang sudah mengalam tangkap-lebih termasuk jenis ikan karang, kerapu, teri, tuna; melakukan pemantauan hasil tangkapan per unit usaha, menerapkan daerah tabungan ikan atau zona inti atau zona larang-ambil, melindungi semua lokasi pemijahan ikan kerapu dan Napoleon di kawasan larang-tangkap dengan radius 5 km melalui sistem larang-tangkap secara musiman seperti sasi, menegakkan peraturan pelarangan pengambilan sirip hiu, dan mempertimbangkan sistem penutup siklus budidaya laut tertutup untuk menyediakan ikan untuk kegiatan perdagangan. Saat ini sebuah peraturan untuk menghentikan penangkapan hiu, ikan pari manta, duyung, ikan hias dan penyu sedang dirancang bertujuan untuk:
72
a) mengurangi laju eksploitasi sumber daya perikanan secara tidak bertanggung jawab. b) terciptanya manfaat ekonomi sumberdaya perikanan dan pariwisata secara maksimal dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. c) terpeliharanya kelestarian fungsi-fungsi alamiah ekosistem laut dan pesisir agar tetap dapat menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
5.3 Pengembangan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan Pengelolaan TPPKD Raja Ampat didasarkan pada ketersediaan seluruh aset yang tersedia di jejaring pengelolaan yang mencakup seluruh wilayah kawasan konservasi perairan di Kabupaten Raja Ampat. A. Pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan pada tingkat kabupaten sebagai pusat kendali pengelola utama. B. Pengembangan dan pemantapan sarana dan prasarana di seluruh TPPKD terkait pengelolaan di tingkat kampung dan distrik. C. Pengembangan sarana dan prasarana ekonomi Pengembangan pariwisata berbasis alam merupakan potensi kehati laut yang tinggi di TPPKD Raja Ampat. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam harus benar-benar memperhatikan konsep tata ruang yang mendukung keberlanjutan kehati Raja Ampat dan memastikan ekosistem alam tidak terganggu.
Tim Pengelola juga akan memastikan bahwa pembangunan pariwisata alam tidak
mendapatkan ancaman dari kegiatan penambangan di wilayah sekitar Taman Pulau Kecil Raja Ampat. Saat ini sudah terdapat Pedoman Operasional Laut dan Etika Penyelaman yang berlaku di seluruh wilayah perairan Raja Ampat yang memuat berbagai tata tertib dalam melakukan kegiatan wisata alam bawah laut termasuk diantaranya tata cara penambatan kapal dan peletakkan jangkar serta etika penyelaman yang tidak mengganggu biota dan habitat penting terumbu karang di seluruh perairan TPPKD Raja Ampat.
5.4 Pengembangan sosial ekonomi masyarakat Dengan mempertimbangkan kepentingan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan TPPKD Raja Ampat, Tim Pengelola TPPKD Raja Ampat berupaya untuk menilai, merancang, dan mengupayakan metode mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan dan mendukung programprogram konservasi di Raja Ampat.
73
Beberapa kegiatan yang berpeluang besar dalam peningkatan ekonomi masyarakat adalah dengan penggalakkan budidaya sumberdaya laut dan bekerjasama dengan mitra ahli di bidang budidaya dan pariwisata alam untuk dapat menyerap tenaga kerja sekaligus melindungi sumberdaya laut di Raja Ampat. Dalam rangka penciptaan peluang ekonomi dan pelibatan masyarakat beberapa kegiatan yang akan dilakukan meliputi: A. Meneruskan program pendidikan kelautan dan lingkungan hidup anak usia dini sebagai bagian dari pengelolaan pemberdayaan masyarakat yang peduli pada kesadaran pemeliharaan lingkungan hidup pesisir. B. Mengembangkan modul pendidikan kelautan dan lingkungan yang digunakan sebagai Kurikulum Muatan Lokal (MULOK) pada tataran Pengelolaan TPPKD Raja Ampat. C. Menyusun, menyempurnakan dan mendistribusikan Kurikulum Mulok untuk wilayah Raja Ampat yang dilengkapi Buku-buku paket pendidikan kelautan dan lingkungan hidup sebagai bagian dari pemberdayaan masyaakat akan kesadaran pemeliharaan laut dan lingkungan pesisir\ D. Melakukan pelatihan bagi pelaksanaan kurikulum MULOK pada berbagai jenjang pendidikan dalam upaya mempersiapkan mentalnya dalam melaksanakan kurikulum Mulok secara efektif, efisien dan berkelanjutan. E. Melatih sebanyak mungkin pelaku pembangunan pada tataran pengelolaan TPPKD Raja Ampat pada tingkat kampung dan distrik sesuai kompetensi yang dibutuhkan agar dapat melakukan berbagai kegiatan pelestarian dan pemantauan berbasis masyarakat dan perbaikan kualitas lingkungan. F. Melatih para mitra pembangunan yang mencakup satuan-satuan penggiat ekonomi, penggiat lingkungan dan adat pada tingkat kampung dan distrik. Memperhatikan bahwa dalam upaya pengelolaan TPPKD yang mencakup lima TPPKD bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan biaya besar dalam penerapan berbagai kegiatannya.
Untuk itu, diperlukan
strategi pendanaan yang memadai dan berkesinambungan untuk dapat mencapai target-target pengelolaan konservasi. Kegiatan yang akan dilakukan dalam mengelola TPPKD Raja Ampat adalah dengan cara: A. Membentuk lembaga pengelola keuangan TPPKD Raja Ampat pada tingkat kabupaten yang disebut dengan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). B. Mengembangkan dan menjalankan mekanisme pengelolaan keuangan dengan sistem Badan Layanan Umum Daerah pada UPTD KKPD Kabupaten Raja Ampat C. Menerapkan mekanisme kredit skala kecil di tingkat kampung
74
5.5 Pengawasan dan pengendalian Pengawasan dan pengendalian adalah sebagai alat untuk mengukur keberhasilan dari sebuah program. Melalui strategi ini juga dapat dipantau secara berkelanjutan setiap aktivitas yang sedang dijalankan apakah sudah sesuai dengan tujuan dan sasaran. Program pengelolaan Jejaring TPPKD Raja Ampat perlu juga di pantau dan di evaluasi dengan menggunakan sebuah metode standar untuk menemukan kendalakendala dalam aktivitas pengelolaan serta mencari alternatif pemecahannya. Pemantauan atau monitoring dilaksanakan secara rutin sesuai kebutuhan sedangkan evaluasi dilaksanakan setiap tahu sekali, dan hasil dari evaluasi ini akan digunakan sebagai acuan dalam menyusun rencana pengelolaan TPPKD Raja Ampat pada tahun berikutnya. Proses pemantauan dan pengendalian mencakup tiga aspek penting meliputi komponen biofisika, sosialekonomi, dan tata kelola.
Proses-proses ini bermanfaat baik bagi para pengelola untuk
mendokumentasikan kinerja pengelolaan, memperkuat kepercayaan dan dukungan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan KKP, dan dapat meningkatkan visibilitas serta kredibilitas pengelola TPPKD Raja Ampat. Penilaian terhadap efektivitas TPPKD Raja Ampat dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat pengukuran efektivitas pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut dengan memperhatikan unsur tata kelola, biofisika, dan sosial-ekonomi (Carter dkk., 2010). Berbagai kegiatan berikut adalah contoh-contoh kegiatan pemantauan dan pengendalian yang dapat dilakukan untuk mendukung pencapaian efektivitas pengelolaan TPPKD. A. Pemantauan Ekologi/Biologi yang terdiri dari: (1) Pemantauan Kesehatan Karang dan Pemutihan Karang (2) Pemantauan Pemanfaatan Sumberdaya Alam (3) Pemantauan Bakau (4) Pemantauan suhu air laut dan pola pergerakan arus (5) Pemantau jenis-jenis biota yang dilindungi (seperti paus, lumba-lumba, duyung dan penyu) (6) Pemantauan daerah-daerah penting pemijahan ikan (7) Pemantauan sumber-sumber perikanan penting (8) Pengkajian status ekologi jejaring TPPKD Raja Ampat, kondisi terumbu karang, bakau, padang lamun, pantai peneluran penyu dan sumberdaya penting lainnya.
75
B. Pemantauan Sosial - Ekonomi (1) Pemantauan persepsi masyarakat tentang TPPKD
(2) Pemantauan arus kunjungan wisata dan dampak pariwisata (3) Pemantauan manfaat sosial-ekonomi KKP bagi masyarakat di dalam dan sekitar TPPKD Raja Ampat (1) Pemantauan dan Evaluasi KelembagaanEvaluasi struktur kelembagaan (2) Evaluasi kompetensi personal dalam struktur lembaga (3) Evaluasi kegiatan kemitraan dalam pengembangan kerjasama pengelolaan TPPKD Raja Ampat
76
6. Tata Waktu dan Pembiayaan Penjabaran strategi pengelolaan TPPKD Raja Ampat akan dilakukan selama 20 tahun berdasarkan Rencana Kerja Jangka Panjang, yang diturunkan ke dalam Rencana Kerja Jangka Menengah 5 tahun, dan Rencana Kerja Tahunan. Pengelolaan TPPKD Raja Ampat terdiri kegiatan yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Semua kegiatan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pengelolaan ini akan dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan skala prioritas, ketersediaan anggaran, kapasitas dan kesiapan lembaga pengelolaa Taman Pulau Kecil Raja Ampat, aspek legalitas serta kesiapan masyarakat.
6.1 Tata Waktu Rencana Penguatan Lembaga Pengelola TPPKD Raja Ampat Dalam rangka mengupayakan pengelolaan adaptif yang mandiri dan profesional di TPPKD Raja Ampat, serangkaian proses penguatan kelembagaan telah dirancang dengan melibatkan berbagai komponen pemangku kepentingan di Raja Ampat dan tata waktu yang disesuaikan dengan tahapan pengembangan sarana-prasarana di dalam TPPKD Raja Ampat. Namun demikian, masih terdapat beberapa kendala yang menghambat proses penetapan TPPKD Raja Ampat termasuk diantaranya adalah (1) kebijakan yang berhubungan dengan rencana pengelolaan TPPKD di tingkat pusat belum sejalan dengan tindak lanjut di tingkat lapangan, (2) keterbatasan kapasitas para pengelola TPPKD, dan (3) pemahaman tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan masih terbatas di kalangan pengelola tingkat lapangan. Berikut adalah target capaian lima tahun dalam pengelolaan TPPKD Raja Ampat.
77
Tabel 4 Tata Waktu Penguatan Tata Kelola Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat
Tahun
Capaian
2012
(1) Persiapan Dokumen Pengusulan Surat Keputusan Penetapan Jejaring TPPKD Raja Ampat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (2) Menyusun program kerja UPTD yang terdiri dari 1) Rencana penguatan kelembagaan UPTD 2) Rencana penguatan staf UPTD 3) Program kerja dan biaya (3) Penerapan penguatan kapasitas kelembagaan UPTD (4) Penerapan penguatan kapasitas staf UPTD (5) Proses pendampingan (mentoring) (6) Pengkajian awal kinerja UPTD TPPKD untuk diusulkan setingkat SKPD dengan sistem pengelolaan BLUD (7) Finalisasi Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat (8) Pengusulan penetapan rencana pengelolaan zonasi dan rencana pengelolaan TPPKD Raja Ampat oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat kepada Bupati Raja Ampat (9) Penetapan TPPKD Raja Ampat melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesi
2013
(1) Penerapan Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat (2) Pengkajian kinerja TPPKD Raja Ampat untuk diusulkan setingkat SKPD oleh Tim Kajian
2014
(1) Pengusulan peningkatan status UPTD setingkat SKPD kepada Bupati Raja Ampat dengan tahapan a. Persiapan dan penyusunan persyaratan substantif, teknis dan administratif b. Penyusunan persyaratan substantif, teknis dan administratif c. Pengusulan persyaratan PPK BLUD kepada Bupati Raja Ampat untuk diteruskan kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia d. Proses evaluasi, penilaian dan revisi persyaratan pengusulan oleh Bupati Raja Ampat (2) Persetujuan dan penetapan UPTD setingkat SKPD melalui Peraturan Daerah (3) Penguatan kelembagaan Kantor/Badan KKP setingkat SKPD dan staf melalui tahapan
78
a. Perekrutan staf b. Penyusunan rencana strategis dan program kerja termasuk rencana strategi pengelolaan keuangan yang berkelanjutan c. Penyusunan Prosedur Operasional Standar d. Pendanaan e. Pengembangan kapasitas staf 2015
(1) Penerapan program kerja Kantor/Badan KKP (2) Asistensi teknis kepada Kantor/Badan KKP oleh mitra kerja
Tata waktu tata rencana pengelolaan TPPKD Raja Ampat 2012-2032 dapat dilihat pada lampiran 5 dokumen ini.
6.2 Pembiayaan Dalam rangka mengupayakan kemandirian pengelolaan dan memastikan bahwa upaya konservasi di seluruh TPPKD dalam Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat telah dipersiapkan berbagai tahapan dalam persiapan menuju pengelolaan transisi kawasan ini. Setiap tahapan kegiatan dalam pengelolaan Jejaring TPPKD Raja Ampat, mulai dari perencanaan, implementasi dan evaluasi direncanakan sesuai dengan ketersediaan pendanaan dan sumberdaya lainnya. Sumber-sumber pendanaan bisa diperoleh dari Pemerintah, melalui dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) serta dana dari sumber lain yang resmi yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku serta upaya-upaya tertentu yang resmi yang dilakukan oleh Lembaga Pengelola dan tidak bertentangan dengan UndangUndang dan peraturan yang berlaku. Saat ini pembiayaan di seluruh wilayah TPPKD Raja Ampat sebagian besar bersumber dari donor dan mitra LSM internasional yang bekerja di wilayah TPPKD. Dalam mengupayakan kemandirian di TPPKD Raja Ampat, mekanisme pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) diharapkan akan menjadi sebuah mekanisme yang dapat menerima, mengelola, dan menyalurkan berbagai dana pengelolaan baik yang bersumber dari APBN, APBD, dana bantuan dari donor, maupun dana-dana yang diperoleh dari kegiatan BLUD di TPPKD Raja Ampat. Target pengelolaan TPPKD Raja Ampat setingkat SKPD diharapkan berjalan mulai tahun 2015 dengan memperhatikan hasil penilaian kinerja UPTD TPPKD yang dimulai pada tahun 2012.
79
7. Penutup Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat terdiri dari lima kawasan konservasi yaitu Ayau Asia, Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Kofiau, dan Misool.
Kelima TPPKD tersebut merupakan sebuah
jejaring KKP di wilayah Kabupaten Raja Ampat yang berinteraksi satu dengan lainnya memberikan fungsi perlindungan dan pelestarian bagi sumberdaya laut penting bagi alam dan manusia. Rencana Pengelolaan ini merupakan dokumen penting sebagai panduan pengelolaan TPPKD Raja Ampat. Informasi yang disajikan dalam Buku I Rencana Pengelolaan merupakan hasil penelitian intensif selama kurang lebih 10 tahun yang mencakup aspek biologi, fisika, sosial, ekonomi, dan budaya yang dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari para peneliti, akademisi, dan badan pemerintahan. Data dan informasi tentang karakteristik umum dan khusus komponen bio-fisik dan sosek dari seluruh KKP di TPPKD Raja Ampat serta permasalahan umum yang bersumber dari ancaman langsung dan tidak langsung pada sumberdaya laut disajikan pada bagian 2 dokumen Rencana Pengelolaan. Bertolak pada kekhasan kelimaTPPKD Raja Ampat disusun arahan kebijakan pengelolaan pada bagian 3 yang mencakup visi-misi pengelolaan dan strategi yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pelestarian sumberdaya laut di Kabupaten Raja Ampat. Perancangan zonasi merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dalam upaya pengelolaan kawasan perlindungan laut. Zonasi mengatur peruntukan wilayah dan pemanfaatan yang lestari untuk memastikan bahwa aspek-aspek penting pengelolaan berlaku di seluruh zona. Rencana zonasi dan perkembangan penentuan zona di setiap TPPKD dijelaskan pada bagian 4. Keberhasilan penerapan dari Rencana Pengelolaan ini akan sangat ditentukan juga oleh dukungan dan komitmen semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan Taman Pulau Kecil Raja Ampat. Terima kasih kepada semua pihak yang sudah memberikan sumbangan pikirannya dalam proses penyusunan Rencana Pengelolaan ini. Mari kita bergandengan tangan mewujudkan Kabupaten Raja Ampat sebagai Kabupaten Bahari melalui pengelolaan kehati laut yang lestari.
80
Daftar Pustaka Ainsworth, C.H., T.J. Pitcher, C. Rotinsulu, 2008. Evidence of fishery depletions and shifting cognitive baselines in Eastern Indonesia. Biological Conservation 141, p: 848 – 859. Allen, G., 2007. Conservation hotspots of biodiversity and endemism for Indo-Pacific coral reef fishes. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystem. Wiley Interscience. Allen, G. and M.V. Erdmann, 2009. Two new species of damselfishes (Pomacentridae: Chromis) from Indonesia. Aqua, International Journal of Ichtyology Vol. 15 No. 3, p: 121 – 134. Allen, G. and M.V. Erdmann, 2009. Reef fishes of the Bird’s Head Peninsula, West Papua, Indonesia. Check List 5(3), p: 587-628. Bailey, M., C. Rotinsulu., dan U.R. Sumaila, 2008. The migrant anchovy fishery in Kabui Bay, Raja Ampat, Indonesia: Catch, profitability, and income distribution. Marine Policy 32, p: 483 – 488. Becking, L., 2011. Marine Lakes Survey of Misool, Raja Ampat, West Papua, Indonesia. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. Becking, L. and S. Mangubhai, 2011. Marine lakes of Raja Ampat, West Papua, Indonesia: ecological and socioeconomic values and recommendations for management. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. Campbell, O.W., 2004. Vegetation of the Raja Ampat Islands, Papua, Indonesia. A Report to The Nature Conservancy. Carter, E., A. Soemodinoto dan A. White, 2010. Management Effectiveness in Indonesia. Indonesia Marine Program. Xi + 49p.
Guide for Improving Marine Protected Area Bali, Indonesia: The Nature Conservancy –
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P. dan M.J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (Integrated coastal and ocean resources development). Second edition, Jakarta: Pradnya Paramita Publishers. Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat, 2005. Data Potensi Perikanan Raja Ampat. Dirhamsyah, D., 2006. Indonesian legislative framework for coastal resources management: a critical review and recommendation. Ocean and Coastal Management 49, p: 68 – 92. Dohar, A.C. dan D. Anggraeni, 2006. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam di Kepulauan Raja Ampat. Laporan Akhir Conservation International Indonesia dan Universitas Negeri Papua. EBM, 2008. EBM Bird’s Head, Papua Studies of Sea Temperature Throughout the Bird’s Head Seascape.
81
Erdmann, M.V., 2007. Stomatopod Crustaceans of Northern Papua (Vogelkop Seascape) in Marshall AJ and Beehler BM(eds): The Ecology of Papua, 2007. Singapore: Periplus Editions. Erdmann, M.V. dan J.S. Pet, 2002. A rapid marine survey of the northern Raja Ampat Islands. Henry Foundation/The Nature Conservancy/NRM/EPIQ. Fox, H.E. dan R.L. Caldwell, 2006. Recovery from blast fishing on coral reefs: A tale of two scales. Ecological Applications 16: 1631-1635. Heazle, M. dan J. G. Butcher, 2007. Fisheries depletion and the state in Indonesia: Towards a regional regulatory regime. Marine Policy 31, p: 276 – 286. Hess, S., S.N. Larsen, dan C. Leisher, 2011. TNC Raja Ampat Marine Protected Area Perception Monitoring Trend Analysis. Report to The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. Huffard, C.I., J. Wilson, C. Hitipeuw,C. Rotinsulu, S. Mangubhai, M.V. Erdmann,W. Adnyana, P. Barber, J. Manuputty, M. Mondo, G. Purba,K. Rhodes, H. Toha, 2010. Pengelolaan berbasis ekosistem di Bentang Laut Kepala Burung: Mengubah ilmu pengetahuan menjadi tindakan, Ecosystem Based Management Program: Conservation International, The Nature Conservancy, and WWF-Indonesia. Jones, B., M. Shimlock, M. Erdmann, dan G. Allen, 2011. Diving Indonesia’s Bird’s Head Seascape. Bali: Saritaksu with Conservation International. Kahn, B., 2009. Marine Mammals of the Raja Ampat Islands: visual and acoustic cetacean survey and training program. Conservation International and APEX Environment Report. Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, 2006. Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat. Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat, Akademi Perikanan Sorong, Departmen Kehutanan Ditjen PHKA BKDSA Papua II, ECO PAPUA, WWF, The Nature Conservancy, dan Conservation International. Larsen, S.N., C. Leisher, S. Mangubhai, A. Muljadi dan R. Tapilatu, 2011. Coastal Rural Appraisal in Raja Ampat Regency, West Papua, Indonesia. Report No. 3/11 The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. McLeod, E., B. Szuster dan R. Salm, 2009. Sasi and Marine Conservation in Raja Ampat, Indonesia. Coastal Management 37:6, p: 656 – 676. McKenna, S.A., G.R. Allen, dan S. Suryadi (eds.), 2002. A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. RAP Bulletin of Biological Assessment 22. Conservation International, Washington, DC. Mollet, J., 2007. Educational investment in conflict areas of Indonesia: The case of West Papua Province. International Education Journal 8 (2), p: 155-166. Muljadi, A.H. dan T. Nugraheni, 2009. Coral Reef Health 2006 – 2007 in Kofiau Marine Protected Area, Raja Ampat, Indonesia. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program.
82
Muljadi, A.H., 2009. Monitoring Report on Grouper spawning aggregations 2006 – 2007 in Kofiau Marine Protected Area, Raja Ampat, Indonesia. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. Muljadi, A.H., 2009. Monitoring Report on Uses of Marine Resources in Kofiau Marine Protected Area, Raja Ampat, Indonesia. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. Muljadi, A. H., 2009. Monitoring Report 2006 – 2008: Incidental Surveys in Kofiau Marine Protected Area, Raja Ampat, Indonesia. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. Remijsen, B., 2001. Word-prosodic systems of Raja Ampat languages. PhD diss. Leiden University LOT Dissertation Series vol. 49. Syakir, M. dan R. Lantang, 2009. Monitoring Report: Occasional Observations at South East Misool Marine Protected Area, Raja Ampat, Indonesia. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. Syakir. M. dan R. Lantang, 2009. Monitoring Report 2007: Coral Reef Health at South East Misool Marine Procted Area, Raja Ampat, Indonesia. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. Syakir, M. dan R. Lantang, 2009. Monitoring Report 2007 – 2008 on Uses of Marine Resources in South East Misool, Raja Ampat, Indonesia. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program. The Nature Conservancy- Indonesia Marine Program, 2009. Support for the Establishment of Effectively Manageed MPA Platform Sites as Foundation for Resilient Network of FunctionallyConnected Marine Protected Areas, Raja Ampat Islands, Western Papua Province, Indonesia. The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program, 2010. Masyarakat Misool (tidak dipubliksikan).
Laporan Pemetaan Sosial-Ekonomi
The Nature Conservancy dan MER-C, 2008. Laporan Singkat Kesehatan Masyarakat dan Kondisi Sarana Kesehatan Masyarakat di Wilayah KKLD Misool Timur Selatan, Raja Ampat (tidak dipublikasikan). Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and Moosa, M.K. (1997). The Ecology of Indonesian Seas, Part I. The Ecology of Indonesia Series, Volume VII. Periplus Editions, Singapore. 642 pp. Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and Moosa, M.K. (1997). The Ecology of Indonesian Seas, Part II. The Ecology of Indonesia Series, Volume VIII. Periplus Editions, Singapore. 746 pp. Veron, J.E.N, L.M. Devantier, E. Turak, A.L. Green, S. Kininmonth, M. Stafford-Smith, dan N. Peterson, 2009. Delineating the Coral Triangle. Journal of Coral Reef Studies 11, p: 91 – 100. Widyatun. A. Situmorang, dan I.G.D. Antariksa, 2007. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi Coremap II, Kasus Kabupaten Raja Ampat. Jakarta: COREMPAT – LIPI.
83
Lampiran 1. Peta Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat
Luas Kawasan : 1.026.540 hektar
a
Lampiran 2 Daftar kegiatan berdasarkan usulan zonasi Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat Zona Pemafaatan Terbatas No
Kegiatan
Zona Inti
Sub Zona Perikanan Berkelanjutan dan Budidaya
1
Patroli pengawasan
2
Monitoring dan Penelitian non ekstraktif
3
Monitoring dan Penelitian ekstraktif
4
Pendidikan Lingkungan Hidup (ekosistem lamun, manggrove, terumbu dan laut dalam)
Zona Lainnya Sub Zona
Sub Zona Ketahanan
Pemanfaatan
Sub Zona
Pangan dan Pariwisata
Tradisional
Alur
Masyarakat
Sub Zona pemanfaatan lain/pengembangan
dengan izin
dengan izin
X
dengan izin
dengan izin
dengan izin
dengan izin
5
Tambatan perahu
X
dengan izin
X
6
Pembangunan Infrastruktur wisata home stay
X
X
dengan izin
dengan izin
X
dengan izin
7
Pembangunan Infrastruktur wisata (resor permanen)
X
X
dengan izin
dengan izin
X
dengan izin
8
Kapal Pesiar
X
X
9
Infrastruktur Pengelolaan Kawasan (kantor, pos jaga, jetty,
X
dengan izin
X
10
Infrastruktur Pembangunan Landasan Udara
X
X
X
X
X
11
Wisata menyelam dan snorkling
X
X
12
Wisata Jet Ski
X
X
X
X
13
Wisata Budaya
X
X
14
Wisata Kayak
X
X
15
Wisata Mancing
X
X
X
X
16
Wisata melihat Ikan Paus dan Lumba-Lumba
X
X
b
17 18
Wisata untuk melihat spesies tertentu (hiu paus, kalabia,
X
X
duyung, dll) Wisata melihat burung (perlu disebutkan secara jelas jenisjenis burung misalnya maleo waigeo, dll)
19
Wisata memberi makan ikan
X
X
X
20
Wisata mangggrove
X
X
21
Wisata tracking
X
X
22
Pembuatan foto, video, film untuk tujuan komersial
X
dengan izin
dengan izin
dengan izin
dengan izin
dengan izin
23
Pembuatan foto, video, film untuk tujuan non komersial
X
24
Bagan Puri
X
X
X
X
X
X
25
Bagan Tancap
X
X
X
X
X
X
26
Bagan Apung
X
X
X
X
X
X
27
Bubu untuk menangkap kepiting
X
dengan izin
X
X
X
X
28
Bubu untuk menangkap Ikan
29
Sero
X
X
X
X
X
30
Rumpon
31
Pancing dasar
X
X
X
32
Pancing rawai
X
X
X
X
X
X
33
Bameti (dengan alat & cara yg tidak merusak terumbu karang)
X
X
X
34
Moroami, Jaring insang (gill net), purse seine , Jala
X
X
X
X
X
X
35
Menggunakan bahan beracun, kompresor dan bom
X
X
X
X
X
X
36
Molo tradisional untuk tangkap teripang, lobster, gurita
X
X
X
c
37
Menangkap ikan Hias
X
X
X
X
X
X
35
Menangkap ikan dengan jubi/senapan molo
X
X
X
36
Mencari kepiting (biasa)
X
X
X
37
Penangkaran kepiting kenari (dengan izin Menteri)
X
X
X
38
Mencari Ebi
X
X
X
39
Mencari Ikan Lema
X
X
X
X
dengan izin
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
40 41 42
Penangkapan Ikan dengan Kapal dibawah 30 GT dengan alat tangkap yang diperbolehkan Penangkapan Ikan dengan Kapal dibawah 1 GT dengan alat tangkap yang diperbolehkan Menangkap biota yang dilindungi (termasuk penyu, buaya, manta, duyung, hiu, paus, lumba-lumba dan kepiting kenari)
43
Budidaya Rumput Laut
X
X
X
44
Budidaya Mutiara
X
X
X
X
45
Budidaya dengan Keramba Jaring Apung (KJA)
X
X
X
X
46
Membangun Tambak
X
dengan izin
X
dengan izin
X
X
47
Alur Kapal Pelni
X
X
X
X
48
Penebangan Manggrove non konversi
X
X
X
X
X
49
Pengambilan Karang hidup atau mati
X
X
X
X
X
X
50
Penambangan Pasir Laut
X
X
X
X
X
X
51
Survei Seismic
X
X
X
X
X
X
52
Penambangan Minyak dan Gas
X
X
X
X
X
X
d
Lampiran 3 Surat Keputusan Pencadangan KKP
e
f
Lampiran 4 Surat Keputusan Unit Organisasi Pengelola
g
h
i
Lampiran 5 Tata Waktu Rencana Pengelolaan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat 2012 – 2032 No 1
Tahun Pelaksanaan
Fokus Rencana Pengelolaan Penguatan Kelembagaan dan Pengelolaan Bersama A. Pemantapan lembaga pengelola Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat yang sudah terbentuk berdasarkan Perbup No. 7 Tahun 2011 tentang Unit Pengelola Teknis Dinas – Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. B. Peningkatan status lembaga pengelola (1) Meningkatkan status UPTD menjadi Kantor atau Badan Pengelola Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat, dalam jangka waktu 2 tahun. (2) Meningkatkan status dari Kantor Pengelola menjadi Badan Pengelola dalam jangka waktu 5 tahun sejak terbentuknya kantor tersebut. C. Peningkatan Kapasitas Pengelola TPPKD Raja Ampat yang mencakup seluruh unit pengelola di setiap KKPD di Kabupaten Raja Ampat. (1) Melakukan studi penguatan kelembagaan dan tata kelola UPTD (2) Pengembangan kapasitas pengelola melalui Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) untuk fokus-fokus pengembangan yang diperlukan yaitu: Pengelolaan organisasi (management orgnanisasi, management sumberdaya manusia, pengelolaan keuangan, management adminsitrasi, management inventory) Perencanaan strategis Kemitraan dan penjangkauan masyarakat Komunikasi dan pengelolaan data Studi banding Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan Pemantauan dan evaluasi bagi pengelolaan KKP yang adaptif (3) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia para mitra pembangunan di kampung dan distrik serta para pemangku kepentingan terkait. Pelatihan, kursus Kunjungan belajar Magang Mentoring (pendampingan/bimbingan teknis) D. Pengembangan infrastruktur pengelolaan pada semua KKPD dari jejaring KKP Kab Raja Ampat sebagai bagian yang integral dari pengelolaan TPPKD (1) Verifikasi batas-batas terluar masing-masing KKPD dan pemasangan tanda batas KKPD (2) Pemasangan tanda batas (pelampung atau tanda lainnya) pada setiap zona di masing-masing KKPD; dilakukan sesuai kemampuan dan ketersediaan sumberdaya di masing-masing KKPD. (3) Menyiapkan kantor pengelola yang memadai di tingkat kabupaten (4) Menyiapkan kantor-kantor pengelola di tingkat lapangan (5) Pengadaan peralatan utama kantor (6) Pengadaan peralatan pendukung ktr pengelola di tingkat kab & lapangan (7) Penataan sarana dan prasarana yang telah dimiliki selama ini (8) Pengadaan fasilitas pendukung pengelolaan kawasan pada tingkat Kabupaten dan tingkat lapangan
j
5 tahun
10 tahun
15 tahun
Sumber Dana 20 tahun
APBN
APBD
Lainnya
No
Tahun Pelaksanaan
Fokus Rencana Pengelolaan E.
F.
G. H.
I.
J.
Pengembangan kebijakan dan aturan pengelolaan TPPKD Raja Ampat pada semua tingkatan yang mencakup kebijakan dan aturan di tingkat kampung, distrik, provinsi dan nasional. (1) Penataan dan penyusunan peraturan Daerah yang terkait dengan program pengelolaan TPPKD Raja Ampat di tingkat nasional, provinsi, kabupaten dan kampung; (2) Sosialisasi peraturan-peraturan mengenai pengelolaan Taman Pulau-Pulau Kecil DaerahRaja Ampat (3) Sosialisasi zonasi dan aturan-aturam zonasi (4) Penataan dan penyusunan protokol dan Prosedur Operasional Baku yang terkait dengan pengelolaan TPPKD Raja Ampat (catatan: saat ini sudah terdapat Prosedur Operasional Baku bagi Pariwisata Laut di Kabupaten Raja Ampat). Pengembangan mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan TPPKD Raja Ampat. (1) Penilaian kebutuhan dan peluang pendanaan bekelanjutan (2) Penyusunan rencana strategis sistem pendanaan berkelanjutan (3) Pengembangan kemitraan dengan lembaga-lembaga donor Peningkatan kapasitas mitra untuk dapat mencari peluang pendanaan berkelanjutan bekerjasama dengan sektor publik dan swasta. Pemantapan kebijakan pengelolaan TPPKD (1) Rencana Tata Ruang dan Wilaya (RTRW) Provinsi Papua Barat, RTRW Kabupaten Raja Ampat, Rencana Tindak Lanjut Pemanfaatan Ruang PulauPulau Kecil Raja Ampat sebagai bagian dari kebijakan nasional dan daerah pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan ekonomi masyarakat. (2) Pemantapan kebijakan pengelolaan TPPKD Raja Ampat yang telah dimasukkan pada Pengembangan kerjasama pengelolaan dengan seluruh para pemangku kepentingan bisnis dalam upaya untuk memastikan pengelolaan TPPKD Raja Ampat diterapkan secara berkelanjutan. (3) Pengembangan kerjasama pengelolaan dengan seluruh pelaku pembangunan di tingkat kampung dan distrik untuk memastikan bahwa peran serta masyarakat diperlukan dalam implementasi pengawasan, pemantauan dan manfaat ekonomi langsung. Pembentukan kelembagaan kolaborasi pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat (1) Pengkajian dan penyusunan konsep model kelembagaan dan program kolaborasi pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat (2) Pembentukan, formalisasi dan penguatan kelembagaan kolaborasi pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat Pengembangan partisipasi dan penguatan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat (1) Pengkajian dan penyusunan konsep model pengelolaan kolaborasi dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan masing-masing kawasan konservasi pada tingkat TPPKD Raja Ampat, KKPN Raja Ampat maupun KKPN Waigeo Barat
k
5 tahun
10 tahun
15 tahun
Sumber Dana 20 tahun
APBN
APBD
Lainnya
No
Tahun Pelaksanaan
Fokus Rencana Pengelolaan (2)
2
3
4
Pembentukan dan formalisasi pengelolaan kolaborasi pada masing-masing kawasan konservasi baik di TPPKD Raja Ampat, KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat Perlindungan habitat dan populasi ikan A. Perlindungan habitat dan populasi ikan dgn penerapan aturan zonasi di seluruh KKPD. B. Penelitian secara berkala akan dilakukan bersama mitra lembaga yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan pesisir lautan. C. Upaya perlindungan habitat dan populasi ikan dilakukan dengan secara aktif memantau tingkat upaya penangkapan ikan agar tetap pada kondisi maksimum lestari di seluruh lokasi KKPD D. Mencegah berbagai kegiatan perikanan tangkap yang tidak ramah lingkungan, pelarangan penangkapan satwa laut yang dilindungi dan terancam punah, dan mendorong penggunaan alat tangkap yang selektif. E. Untuk mengurangi kondisi tangkap-lebih, Tim Pengelola akan mengkaji kuota perijinan untuk jenis ikan yang sudah mengalam tangkap-lebih termasuk jenis ikan karang, kerapu, teri, tuna F. Melakukan pemantauan hasil tangkapan per unit usaha, G. menerapkan daerah tabungan ikan atau zona inti atau zona larang-ambil, melindungi semua lokasi pemijahan ikan kerapu dan Napoleon di kawasan larang-tangkap dengan radius 5 km melalui sistem larang-tangkap secara musiman seperti sasi, menegakkan peraturan pelarangan pengambilan sirip hiu, dan mempertimbangkan sistem penutup siklus budidaya laut tertutup untuk menyediakan ikan untuk kegiatan perdagangan. H. Penyusunan peraturan daerah untuk menghentikan penangkapan hiu, ikan pari manta, duyung, ikan hias dan penyu I. Pemantapan dan pendampingan unit-unit pengelola sosial, budaya dan ekonomi pada semua tingkat yakni kampung, distrik dan kabupaten. Pengembangan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan A. Pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan pada tingkat kabupaten sebagai pusat kendali pengelola utama. B. Pengembangan dan pemantapan sarana dan prasarana di seluruh KKPD terkait pengelolaan di tingkat kampung dan distrik. C. Pengembangan sarana dan prasarana ekonomi Pengembangan sosial ekonomi masyarakat A. Meneruskan program pendidikan kelautan dan lingkungan hidup bagi anak sebagai bagian dari pengelolaan pemberdayaan masyarakat yang peduli pada kesadaran pemeliharaan kelautan dan lingkungan hidup pesisir. B. Mengembangkan modul pendidikan kelautan dan lingkungan hidup yang digunakan sebagai Kurikulum Mulok pada tataran Pengelolaan TPPKD Raja Ampat. C. Melatih sebanyak mungkin pelaku pembangunan pada tataran pengelolaan TPPKD Raja Ampat pada tingkat kampung dan distrik sesuai kompetensi yang dibutuhkan agar dapat melakukan berbagai kegiatan pelestarian dan pemantauan berbasis masyarakat & perbaikan kualitas lingk D. Melatih para mitra pembangunan yang mencakup satuan-satuan penggiat ekonomi, penggiat lingkungan dan adat pada tingkat kampung dan distrik. E. Menerapkan mekanisme kredit skala kecil di tingkat kampung
l
5 tahun
10 tahun
15 tahun
Sumber Dana 20 tahun
APBN
APBD
Lainnya
No 5
Tahun Pelaksanaan
Fokus Rencana Pengelolaan Pengawasan dan pengendalian A. Pemantauan Ekologi/Biologi yang terdiri dari: (1) Pemantauan Kesehatan Karang dan Pemutihan Karang (2) Pemantauan Pemanfaatan Sumberdaya Alam (3) Pemantauan Bakau (4) Pemantauan suhu air laut dan pola pergerakan arus (5) Pemantau jenis-jenis biota yang dilindungi (seperti paus, lumba-lumba, duyung dan penyu) (6) Pemantauan daerah-daerah penting pemijahan ikan (7) Pemantauan sumber-sumber perikanan penting (8) Pengkajian status ekologi jejaring KKPD Raja Ampat, kondisi terumbu karang, bakau, padang lamun, pantai peneluran penyu dan sumberdaya penting lainnya. B. Pemantauan Sosial - Ekonomi (1) Pemantauan persepsi masyarakat tentang KKPD (2) Pemantauan arus kunjungan wisata dan dampak pariwisata (3) Pemantauan manfaat sosial-ekonomi KKP bagi masyarakat di dalam dan sekitar TPPKD Raja Ampat (4) Pemantauan dan Evaluasi KelembagaanEvaluasi struktur kelembagaan (5) Evaluasi kompetensi personal dalam struktur lembaga (6) Evaluasi kegiatan kemitraan dalam pengembangan kerjasama pengelolaan TPPKD Raja Ampat C. Patroli dan Monitoring Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan (1) Pengawasan / Patroli (2) Monitoring
m
5 tahun
10 tahun
15 tahun
Sumber Dana 20 tahun
APBN
APBD
Lainnya