1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan bahwasanya kebijakan merupakan keputusan dari yang pemerintah ingin lakukan atau tidak lakukan. Dari sudut pandang istilah , Dunn (2000) memandang kebijakan sebagai sebuah mekanisme pelaksanaan urusan publik atau administrasi pemerintahan. Terdapat lebih banyak lagi definisi mengenai kebijakan, namun yang perlu digarisbawahi adalah sebelum sebuah kebijakan dirumuskan, selalu ada isu yang mendasarinya. Nugroho (2011) menyaratkan sebuah isu dikatakan strategis bila mendasar, menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, (biasanya) jangka panjang, tidak selesai oleh perseorangan, dan harus diselesaikan. Salah satu isu strategis tersebut adalah deforestasi dan degradasi lahan. Sejak satu dekade ke belakang, banyak negara di dunia menjadi lebih perhatian terhadap kesehatan lingkungan, dan mulai memiliki orientasi “ramah lingkungan” dalam setiap aktifitas produktif di negaranya. Hutan memegang peranan penting bagi ekosistem dan lingkungan. Banjir, tanah longsor, erosi, hingga peningkatan suhu bumi adalah beberapa bencana yang menurut banyak penelitian diakibatkan oleh rusaknya hutan. Bagi negara -negara yang memiliki aset berupa hutan yang cukup luas, Indonesia misalnya, kerusakan dan potensi bencana akibat kerusakan tersebut adalah dua hal ya ng selalu disoroti. Indonesia memiliki catatan buruk pada pengurangan luas hutannya. Berdasarkan data yang dilansir oleh Forest W atch Indonesia (2011), dalam kurun waktu tahun 2000-2009, luas hutan Indonesia berkurang 15.15 juta ha, dari 103.33 juta ha di tahun 2000 menjadi 88.17 juta ha di tahun 2009, atau secara rata rata sebesar 1.51 juta ha/tahun (Gambar 1). Padahal hutan Indonesia merupakan hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo, dan sebagai yang kedua setelah Brazil dalam hal tingkat keanekaragaman hayati (M inistry of Environment 2009). The Straits Times (2009) melansir bahwa Indonesia merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Amerika. Situasi ini membuat Indonesia “harus” berperan ak tif dalam menyehatkan kembali hutan yang dimiliki. Langkah yang diambil pemerintah adalah melahirkan kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Pasal 43 Undang-undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan mengamanatkan bagi setiap orang yang memiliki, mengelola, dan/atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi. Pasal 40 menyebutkan bahwa RHL dimaksudkan untuk memulihkan, memertahankan, dan meningkatkan
2
fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Sumber: Forest Watch Indonesia (2011)
Gambar 1. Deforestasi di Indonesia tahun 2000 – 2009 RHL diselenggarakan melalui program lima tahunan, yang terbaru adalah Penanaman Satu M ilyar Pohon/One Billion Indonesia Trees (OBIT). OBIT merupakan aksi nyata penanaman pohon secara nasional dengan melibatkan seluruh komponen bangsa dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan kritis serta antisipasi dampak perubahan iklim global. Pada tahun pertama pelaksanaannya, target tertanam satu milyar pohon berhasil dicapai, bahkan terlampaui hingga 1.3 milyar pohon atau 130% dari target (Laporan Penanaman Satu M ilyar Pohon 2011). Hingga tahun 2013, realisasi kegiatan RHL melalui program OBIT selalu di atas target. Capaian tersebut bisa dibilang berpengaruh terhadap turunnya laju deforestasi, dari 0.8 juta ha/tahun di periode tahun 2006 -2009 ke angka 0.4 juta ha/tahun di periode 2009-2012 (Dirjen Planologi Kehutanan 2013). Dari tujuh wilayah yang terdistribusi bibit pohon, wilayah Sumatera serta Jawa dan M adura merupakan dua wilayah yang selalu mendapatkan distribusi bibit pohon lebih banyak (Tabel 1). Kemudian dari total 1.8 milyar bibit pohon yang didistribusikan di Pulau Jawa, 505 juta batang diantaranya didistribusikan di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan Pasal 9 ayat (3) Peraturan M enteri Kehutanan Nomor 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, kegiatan RHL dilakuk an dengan menggunakan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit pengelolaan dan merupakan wilayah DAS yang diprioritaskan. Terdapat 108 DAS yang diprioritaskan di seluruh wilayah Indonesia menurut Keputusan M enteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor: SK.328/M enhut-II/2009. Salah satu DAS yang diprioritaskan tersebut adalah DAS Citarum-Ciliwung di Jawa Barat. Pengelolaan DAS Citarum -Ciliwung diserahkan kepada Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum -Ciliwung sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT).
3
Tabel 1. Rekapitulasi realisasi penanaman bibit RHL 2010 - 2013 Total Bibit Tertanam (batang) Wilayah 2010
%
2011
%
2012
%
2013
%
Sumatera
654,197,191
47
600,226,259
40
651,510,289
41
827,345,382
46
Jawa dan M adura
309,210,323
22
395,282,124
26
491,339,362
31
609,203,939
34
Kalimantan
188,036,945
13
180,650,529
12
247,610,024
15
164,671,496
9
Sulawesi
117,064,482
8
188,488,812
12
114,105,371
7
111,725,997
6
Bali dan Nusa Tenggara
93,941,253
7
96,872,876
6
62,931,392
4
47,296,790
3
M aluku
17,734,194
1
24,374,604
2
12,805,214
1
12,233,906
1
Papua
18,368,079
1
30,697,126
2
23,946,299
1
42,703,025
2
100 1,604,247,952
100
JUMLAH
1,398,552,467
100 1,516,592,331
1,815,180,535 100
Sumber: Laporan Penanaman Satu M ilyar Pohon Tahun 201 1 - 2014: diolah (2015).
Salah satu tanggung jawab BPDAS Citarum -Ciliwung dalam kaitan implementasi kegiatan RHL adalah pemastian ketersediaan bibit pohon untuk ditanami. Berdasarkan data sebaran bibit dan penanaman RHL tahun 2010 -2013 (BPDAS Citarum-Ciliwung 2014), Desa Bangunjaya, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor merupakan salah satu sasaran lokasi penanaman. Sebagai bagian dari sub sistem DAS Ciliwung, Desa Bangunjaya memiliki peran yang cukup penting. Desa Bangunjaya dilewati oleh Sungai Cimenc ueri yang kelestariannya berperan penting terhadap wilayah Tangerang dan Utara Jakarta. Selain itu, di Desa Bangunjaya terdapat lima perusahaan tambang batu andesit, yang pengelolaannya justru berpotensi mengganggu kelestarian lingkungan. RHL merupakan kebijakan yang kompleks, implementasinya menyangkut berbagai aspek, memerlukan jangka waktu yang lama, melibatkan berbagai pihak, serta menggunakan sumberdaya yang tidak sedikit (Jatmiko et al. 2012). Sebagai sebuah sistem yang kompleks, keberhasilan pelaksanaan RHL d itentukan oleh banyak faktor. Peraturan M enteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.39/M enhut-II/2010 tentang Pola Umum dan Standar serta Kriteria RHL menyebutkan bahwa pelaksanaan RHL disebut berhasil jika sudah konsisten mengarah tujuannya. Tujuan tersebut dapat didekati jika ada ketepatan penanganan kawasan, kelembagaan yang kuat, serta teknologi RHL yang tepat orientasi terhadap pemanfaatan yang jelas. Kompleksitas serta sensitifitas (menyangkut hidup orang banyak) berakibat dibutuhkannya sebuah metode yang mampu memrioritaskan kriteria dan indikator penentu keberhasilan yang kompleks pula, salah satunya adalah Analytical Network Process (ANP). ANP umum digunakan untuk menentukan prioritas pengambilan keputusan yang kriteria dan sub kriterianya kompleks dan saling terkait. Saaty (1996)
4
menyebutkan bahwa kelebihan dari ANP adalah mampu mengakomodasi keterkaitan antar kriteria atau alternatif. Resiko dari kompleksitas adalah rumitnya manajerial dan besarnya potensi kegagalan, terlebih ketika lokasi pelaksanaan seperti Desa Bangunjaya yang cukup strategis bagi daerah lainnya dan memiliki karakteristik yang cukup unik. Oleh karena itu, untuk menekan resiko kegagalan bagi implementasi RHL selanjutnya dan meningkatkan keberhasilan, evaluasi implementasi dan merancang strategi penguatan implementasinya menjadi penting untuk dilakukan.
Perumusan M asalah
Sumber: Dirjen Planologi Kehutanan 2013: diolah (2015).
Gambar 2. Laju pengurangan luas hutan / deforestasi di Indonesia periode tahun 2000 – 2013 RHL sesungguhnya bukan kebijakan baru di Indonesia dan tidak hanya OBIT, banyak program/kegiatan sebelumnya sudah dilaksanakan. Namun data menunjukkan deforestasi dan degradasi lahan masih terus berlangsung. Gambar 2 menunjukkan bahwa laju deforestasi kembali meningkat dikisaran 0.7 juta ha/tahun pada tahun 2012-2013 (Dirjen Planologi Kehutanan 2013). Forest W atch Indonesia (2011) memroyeksikan pada tahun 2020 hutan di Jawa akan habis, Bali-Nusa Tenggara tersisa 0.08 juta ha, M aluku 2.37 juta ha, Sulawesi 7.20 juta ha, Sumatera 7.72 juta ha, Kalimantan 21.29 juta ha, dan Papua 33.45 juta ha (Gambar 3). Artinya perlu ada perbaikan yang berkelanjutan. Perbaikan yang berkelanjutan hanya dapat tercapai bila pelaksanaan RHL menyasar tujuannya. Berdasarkan Permenhut Nomor P.39/M enhut-II/2010, tujuan RHL dapat didekati jika ada ketepatan penanganan kawasan, kelembagaan yang kuat, serta teknologi RHL yang beriorientasi pemanfaatan yang jelas. Ketepatan penanganan kawasan ditentukan oleh unit perencanaan yang tepat, terkendalinya konflik lahan, dan fungsi kawasan yang spesifik. Kelembagaan yang
5
mantap ditentukan oleh sumberdaya manusia yang kompeten, organisasi yang efektif menurut kerangka kewenangan masing-masing, dan tata hubungan kerja yang fungsional. Sementara ketepatan teknologi dan pemanfaatan ditentukan oleh kesesuaiannya terhadap sistem lahan atau tapak setempat, oleh tingkat partisipasi masyarakat, dan oleh penyediaan input (utamanya pendanaan) yang cukup.
Sum ber: Forest W atch Indonesia (2011)
Gambar 3. Proyeksi tutupan hutan di Indonesia hingga tahun 2020 Desa Bangunjaya sebagai salah satu lokasi implementasi kebijakan RHL melalui program OBIT memiliki peran strategis bagi daerah di hilirnya . Fakta bahwa di wilayahnya terdapat usaha pemanfaatan lahan yang berpotensi merusak lingkungan, penting dijadikan pembelajaran bagi implem etasi kebijakan RHL selanjutnya. Berdasarkan hal tersebut, muncul beberapa pertanyaan penelitian yaitu: 1. Apakah pelaksanaan RHL di Desa Bangunjaya telah menyasar tujuan RHL? 2. Belajar dari pelaksanaan RHL di Desa Bangunjaya, apa alternatif strategi yang dapat dijadikan penguatan bagi implementasi kebijakan RHL kedepannya?
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. M elakukan evaluasi implementasi RHL di Desa Bangunjaya 2. M erumuskan strategi penguatan implementasi kebijakan RHL selanjutnya
M anfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai acuan oleh peneliti-peneliti lebih lanjut yang mempunyai kesamaan dengan tema penelitian yang diajukan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan SB-IPB