1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan hutan lestari dibangun dari 3 (tiga) aspek pengelolaan yang berhubungan satu dengan lainnya, yaitu aspek produksi, aspek ekologi dan aspek sosial. Ketiga aspek tersebut seharusnya dapat berjalan sinergi, berhubungan dan saling mempengaruhi. Lebih diprioritaskannya salah satu aspek dengan meninggalkan aspek lainnya dapat menjadi penyebab tidak tercapainya pengelolaan hutan lestari. Areal hutan disebut sebagai kawasan hutan jika sudah dilakukan proses pengukuhan kawasan hutan. Sesuai dengan Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan, proses pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui: (a) penunjukan kawasan hutan, (b) penataan batas kawasan hutan, (c) pemetaan kawasan hutan, dan (d) penetapan kawasan hutan. Semua proses tersebut disahkan melalui keputusan menteri. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi bahwa suatu areal hutan akan disebut kawasan hutan jika sudah dilakukan penetapan kawasan hutan, yang sebelumnya dilakukan melalui proses penunjukan kawasan, penataan batas, dan pemetaan kawasan hutan. Hermofilia dan Fay (2006) mencatat bahwa sampai awal tahun 2005 proses penataan batas hutan baru berhasil mencapai luas kurang lebih 12 juta hektar, dari keseluruhan luas kawasan hutan yang ditunjuk menjadi kawasan hutan negara. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa jumlah luasan hutan yang telah dilakukan penataan batas temu gelang baru seluas ± 14,238 juta hektar atau sekitar 11,83 % dari total luas kawasan hutan yang ditunjuk menjadi hutan negara, yaitu kurang lebih seluas 136 juta hektar (Ditjen Planologi 2010). Artinya hanya sekitar 11 % kawasan hutan yang statusnya dapat dipastikan, selebihnya mempunyai status yang belum pasti menyangkut hak-hak yang melekat didalamnya. Kementerian kehutanan mentargetkan bahwa pada tahun 2014 penataan batas dapat dapat diselesaikan sebanyak 70% dari keseluruhan luas hutan yang harus di tata batas. Target ini akan sulit tercapai jika berbagai permasalahan kepastian kawasan hutan belum dapat diselesaikan. Sampai saat ini masih terjadi perubahan penggunaan penggunaan kawasan hutan baik untuk pinjam pakai, pelepasan kawasan, dan penundaan perijinan. Masih ada rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten yang belum selesai, dan masih terus berlangsung pemekaran wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang mempengaruhi luasan kawasan hutan. Ketidakpastian status dan fungsi kawasan hutan tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusakan dan degradasi hutan, yang diawali dengan munculnya konflik atas sumberdaya hutan. Di beberapa daerah ketidakpastian status dan fungsi kawasan hutan telah memunculkan perbedaan persepsi dan kepentingan dari para pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, khususnya antara masyarakat yang berada di dalam dan di
2
sekitar hutan dengan pemerintah atau pihak swasta yang diberi hak untuk memanfaatkan kawasan hutan tersebut. Beberapa kejadian konflik sumberdaya hutan yang berkaitan dengan alih fungsi kawasan hutan antara lain seperti yang terjadi di Tahura Wan Abdurrahman, Lampung (Fajri 2006), Cagar Alam Pegunungan Cyclop, Papua (Maintindom 2005), Tahura Nuraksa Sesaot dan HKm Sesaot (Sahwan 2002; Dipokusuma 2011), dan Taman Nasional Lore Lindu (Mehring et al. 2011). Kajian dan paparan konflik sumberdaya hutan masih lebih banyak menggunakan analisis konflik struktural, dimana memposisikan Negara (pihak yang kuat) sebagai sumber masalah, dan masyarakat (pihak yang lemah) sebagai pihak yang tidak bersalah. Padahal menurut Maring (2010) yang melakukan penelitian di Nusa Tenggara Timur, sumber masalah tidak hanya berasal dari Negara, tetapi juga dapat berasal dari pihak lain, termasuk dari masyarakat. Menurut Moore (1996) konflik tidak hanya berkaitan dengan masalah struktural, tetapi juga mengenai tata nilai, tata hubungan, data dan informasi, dan konflik kepentingan. Jadi konflik pengelolaan hutan yang terjadi di sebuah wilayah bisa tidak hanya terkait dengan struktural, tetapi gabungan dari tipologi konflik, bergantung dari kepentingan aktor-aktornya. Menurut Pasya dan Sirait (2011) upaya penyelesaian atas konflik sumberdaya alam ditentukan bagaimana gaya bersengketa (conflict style) pihakpihak yang terlibat konflik. Gaya bersengketa dapat dibedakan menjadi saling menghindar, akomodatif, kompromistis, kompetitif, dan kolaborasi (Isenhart dan Spangle 2000 dalam Pasya dan Sirait 2011). Hasil penelitian Pasya dan Sirait (2011) yang mengkaji konflik sumberdaya alam di Jambi, Lampung, dan Sumatera Barat menemukan bahwa conflict style di masing-masing lokasi ternyata berbeda, sehingga upaya penyelesaian sengketanya pun mesti dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Kebijakan alih fungsi kawasan hutan, khususnya dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan konservasi, atau sebaliknya, juga membawa perubahan kewenangan pengelolaan, khususnya antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Perubahan ini merupakan wujud dari politik otonomi daerah yang berwujud pembagian kewenangan pemerintahan pusat dan daerah. Perubahan kewenangan ini seringkali menimbulkan perbedaan persepsi diantara para pihak yang kemudian berkembang menjadi konflik atas sumberdaya hutan. Pada kawasan Hutan Sesaot seluas ± 5.950 ha di Provinsi Nusa Tenggara Barat telah terjadi perubahan status dan fungsi kawasan. Di mulai dari kebijakan tata guna hutan kesepakatan pada tahun 1982 yang mengubah status dan fungsi kawasan dari hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung, kemudian pada tahun 1999 dan 2009 sebagian kawasan Hutan Sesaot juga diubah fungsinya menjadi kawasan konservasi. Kebijakan tersebut tidak diikuti dengan prosesproses penetapan kawasan hutan, seperti penataan batas, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi terhadap status dan fungsi kawasannya serta menimbulkan konflik sumberdaya hutan. Perubahan kebijakan tersebut menimbulkan konsekuensi perubahan kelembagaan pengelolaan dan/atau pemanfaatan, mulai dari bentuk pengelolaan, aktor-aktor yang terlibat, serta aturan mainnya.
3
Perubahan juga terjadi pada tingkat pengambil kebijakan berkaitan dengan kewenangan pengelolaan atau pemanfaatan hutan pada masing-masing fungsi. Terkait dengan hak dan akses terhadap sumberdaya hutan, pada hutan produksi dan hutan lindung masyarakat masih dapat memanfaatkan kawasan hutan tersebut melalui model pengelolaan hutan berbasis masyarakat, seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dengan legalitas perijinan dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKM), Ijin Usaha Pemanfaatan HTR dan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD). Perbedaannya pada jenis komoditas yang boleh dimanfaatkan, pada hutan produksi pemegang ijin dapat melakukan pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu, sedangkan pada hutan lindung hanya boleh memungut dan/atau memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, termasuk jasa lingkungan. Kebijakan alih fungsi kawasan hutan tidak berjalan tuntas, terutama kebijakan penunjukan sebagian kawasan hutan menjadi Tahura dan kebijakan pemberian IUPHKm kepada KMPH Sesaot yang diikuti dengan pengajuan ijin HKm oleh beberapa kelompok yang lain. Perubahan fungsi dari hutan lindung menjadi kawasan konservasi membawa implikasi perubahan kewenangan pengelolaan hutan antara pemerintah provinsi dan kabupaten. Padahal di lapangan, masyarakat telah masuk ke dalam kawasan hutan, baik pada areal yang ditunjuk sebagai Tahura maupun hutan lindung. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri, dimana ketika berada di dalam kawasan konservasi hak dan akses masyarakat sekitar hutan menjadi semakin terbatas. Masyarakat hanya dapat memanfaatkan kawasan konservasi pada zona pemanfaatan atau zona pemanfaatan tradisional dengan sepengetahuan pengelola kawasan. Sementara itu di dalam kawasan hutan lindung, masyarakat masih memiliki kesempatan untuk memanfaatkan areal tersebut dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa serta mendapatkan hak pengelolaan dan pemanfaatan dalam bentuk IUPHKm dan HPHD. Hubungan antar pihak yang timbul bersifat dinamis, baik pada tingkat pengambil kebijakan, terkait kewenangan pengelolaan antara pemerintah provinsi dan kabupaten, maupun di lapangan, berkaitan dengan hak dan akses masyarakat terhadap kawasan Hutan Sesaot. Dari sisi kelembagaan masing-masing pihak telah membentuk organisasi sebagai wadah untuk melakukan pemanfaatan kawasan hutan. Kelembagaan Tahura diwujudkan melalui Unit Pengelolaan Teknis Daerah (UPTD) Tahura Nuraksa dibawah Dinas Kehutanan Provinsi. Sementara kelembagaan di tingkat masyarakat telah terbentuk kelompokkelompok HKm dan Forum Kawasan Hutan Sesaot, sebagai tempat berhimpun lembaga-lembaga masyarakat tersebut. Kerangka Pemikiran Sumberdaya hutan, meskipun pada dasarnya adalah sumberdaya milik bersama (common pool resources), tetapi pengurusan dan pengaturannya dilakukan oleh Negara, melalui hak menguasai negara. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan memerlukan adanya kebijakan dan kelembagaan
4
pengelolanya. Menurut Djogo et al. (2003) kebijakan dan kelembagaan sulit dipisahkan. Kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan, kelembagaan dianggap sebagai unsur untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan. Analisis keterkaitan dan dampak kelembagaan pada kebijakan publik (kebijakan yang dibuat oleh pemerintah) dianggap tidak lengkap tanpa memperhatikan antara analisis kebijakan publik dan analisis kelembagaan. Kelembagaan memberi batasan yang jelas berkaitan dengan hak kepemilikan dan aturan pemilikan bagi setiap orang yang terlibat. Hak kepemilikan adalah hak dan tanggng jawab setiap stakeholder yang terlibat, sedangkan aturan pemilikan adalah aturan yang mengatur bagaimana stakeholder terebut dapat memperoleh dengan baik atas haknya dan sepenuhnya melaksanakan kewajibannya untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati (Bromley 1992 dalam Ardi 2011). Pada kawasan Hutan Sesaot telah diimplementasi sejumlah kebijakan, baik mengenai perubahan status dan fungsi kawasan hutan dan kebijakan pemanfaatan kawasan dalam bentuk Taman Hutan Raya dan Hutan Kemasyarakatan. Perubahan fungsi kawasan telah terjadi mulai dari Hutan Produksi Terbatas (HPT), berubah menjadi Hutan Lindung (HL), dan kemudian menjadi kawasan konservasi. Implementasi berbagai kebijakan yang diikuti dengan pembentukan kelembagaan pengelolanya diindikasikan menimbulkan implikasi perubahan pada kondisi biofisik kawasan dan munculnya konflik atas sumberdaya hutan diantara stakeholder yang memanfaatkan kawasan hutan. Sahwan (2002) menyebutkan bahwa telah terjadi konflik kewenangan pengelolaan Tahura Nuraksa Sesaot antara pemerintah provinsi dan kabupaten. Dipokusumo (2011) menyebutkan bahwa konflik yang terjadi areal HKm Sesaot merupakan konflik struktural, yang bersumber pada kebijakan pemerintah. Dari hasil studi pendahuluan, didapatkan informasi hasil bahwa konflik masih terjadi, khususnya antara masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan dengan Tahura. Sifatnya tidak hanya structural tetapi sudah mulai mengarah pada konflik horizontal. Dari paparan di atas, penelitian ini mengkaji proses dan implikasi dari implementasi berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan Sesaot, termasuk terjadinya konflik atas sumberdaya hutan yang telah terjadi dan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Untuk mengetahui sejauhmana kelembagaan masyarakat dan para pihak akan mampu melakukan pemanfaatan dan pengelolaan hutan digunakan kerangka analisis kelembagaan (institutional analysis development) yang dikembangkan oleh Ostrom (1999; 2004). Kerangka penelitian seperti pada Gambar 1.
5
Kerangka kerja penelitian digambarkan sebagai berikut : Exogenous variables Action arena B Kondisi Biofisik - Luas hutan - Kemiringan lereng - Kondisi tutupan lahan - Potensi sumberdaya hutan - Manfaat sumberdaya hutan
Atribut Komunitas: - Kondisi masyarakat sekitar hutan - Modal sosial - Kondisi pemanfaatan hutan oleh masyarakat
Aturan Main - Kebijakan alih fungsi dan status kawasan hutan - Kebijakan hutan kemasyarakatan - Kebijakan Tahura - Aturan main di tingkat lokal masyarakat.
Situasi Aksi : - Konflik kewenangan pengelolaan hutan - Dualisme kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan - Eksistensi Tahura vis a vis Hutan kemasyarakatan
Aktor -aktor: - Stakeholder kunci dan pendukung hutan kemasyarakatan - Stakeholder kunci dan pendukung Tahura
Interaksi: - Relasi antar stakeholder -Hubungan konfliktual antara aktoraktor pendukung HKm dan Tahura
Kriteria Evaluasi& Rekomendasi Kejelasan status dan fungsi kawasan hutan mekanisme penyelesaian konflik; rekomendasi pilihan bentuk pemanfaatan dan revisi kebijakan
Situasi terkini pengelolaan hutan Sesaot, termasuk eksistensi Tahura dan HKm
Gambar 1 Kerangka kerja analisis kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot (modifikasi dari Ostrom 2004)
6
Perumusan Masalah Kebijakan alih fungsi kawasan hutan menimbulkan implikasi perubahan, baik pada aspek produksi, ekologi, maupun sosial kawasan hutan serta kelembagaan pengelolanya. Perubahan status dan alih fungsi kawasan hutan dari hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung dan kemudian menjadi kawasan konservasi, seperti yang terjadi di kawasan hutan Sesaot, dari sisi sosial mengakibatkan terjadinya perubahan hak dan akses masyarakat tempatan terhadap sumberdaya. Kelembagaan dan kewenangan pihak-pihak pun menjadi berubah, yang jika tidak dijalankan dengan baik akan memunculkan permasalahan tersendiri yang berujung pada terjadinya konflik atas sumberdaya hutan. Hasil penelitian Wulan dkk (2004) menyebutkan bahwa kebijakan alih fungsi atau perubahan status kawasan hutan menjadi salah satu penyebab konflik di sektor kehutanan, disamping faktor yang lain, yaitu perambahan hutan, pencurian kayu dan perusakan lingkungan. Konflik (antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat) yang disebabkan alih fungsi kawasan hutan mencapai 3% dari 359 konflik sektor kehutanan dari tahun 1997 – 2003. Menurut Ardi (2010) yang mengutip Schmid (1987), pada tingkat kelompok, kinerja kelembagaan dapat dilihat pada tingkat kehidupan, kualitas lingkungan dan kualitas kehidupan secara umum. Parameter lain yang dapat dilihat adalah distribusi sumberdaya, pilihan untuk bertransaksi secara bebas, optimalisasi nilai produksi dan efisiensi. Dari gambaran tersebut dirangkum kondisi kelembagaan yang baik atau tidak baik akan dilihat dari kepastian atau ketidakpastian hak kepemilikan, kapasitas kelembagaan, implementasi instrumen ekonomi atau pasar. Menurut Agrawal (2001), faktor-faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya tata kelola sumberdaya milik bersama berkaitan dengan 1) karakteristik sistem sumberdaya, 2) karakteriktik kelompok, 3) Hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok, dan 4) tatanan kelembagaan. Penelitian ini untuk mengetahui implikasi dari implementasi kebijakan alih fungsi kawasan hutan serta kebijakan lainnya terhadap kondisi hutan Sesaot.yang menimbulkan konflik atas hutan Sesaot. Disamping itu dikaji juga kelembagaan pihak-pihak yang mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan Sesaot, dalam hal ini kelembagaan Tahura dan kelompok HKm serta dinamika hubungan antar pihak yang kemudian memunculkan konflik atas sumberdaya hutan. Dari uraian diatas maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengapa terjadi konflik atas hutan Sesaot ? Bagaimana pola konflik dan siapa para pihak yg berkonflik? 2. Bagaimana upaya-upaya yang mendorong kolaborasi atau konsensus, siapa para pihak yang berpartisipasi? 3. Bagaimana implikasinya terhadap sumberdaya hutan Sesaot dan kelembagaan pihak-pihak yang memanfaatkan? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis kelembagaan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan/ atau pemanfaatan kawasan hutan Sesaot.