1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi yang sangat beragam, dilewati garis katulistiwa, diapit dua benua dan dua samudera. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) yang dikenal sebagai sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) yang dikenal sebagai sirkulasi Walker (Swarinoto 2004; Las 2008). Dua sirkulasi ini sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Posisi semu matahari yang berpindah dari 23.50 LU ke 23.50 LS sepanjang tahun dan gangguan siklon tropis juga ikut mempengaruhi keragaman iklim dan perubahan musim Indonesia. Semua aktivitas dan sistim ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun dan menyebabkan sistim golakan lokal cukup dominan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara tropis memiliki pola hujan dengan variasi yang besar dibandingkan unsur cuaca dan iklim di wilayah lainnya (BMKG 2011). Variasi yang besar ini terlihat pada suatu saat terjadi penurunan curah hujan yang mengakibatkan terjadinya kekeringan dan pada saat yang lain mengakibatkan tingginya curah hujan sehingga dapat menimbulkan banjir (Allan 2000). Salah satu wilayah yang mengalami perubahan musim yang nyata yakni Kabupaten Indramayu. Wilayah ini juga rentan terhadap perubahan iklim regional terutama El-Nino Southern Oscillation (ENSO) (Septicorini 2009). Kabupaten ini merupakan wilayah pusat produksi padi utama di Jawa Barat dengan kontribusi produksi sebesar 35% dari produksi total provinsi (Suciantini 2004). Salah satu kerugian akibat pergeseran musim yakni kehilangan investasi untuk kegiatan penanaman, serta kerugian ekonomi akibat kegagalan panen. Pada tahun El Nino 1991, 1994, dan 1997, kerugian ekonomi akibat kegagalan panen di daerah ini mencapai Rp 571 miliar, sedangkan kehilangan investasi yang dialami petani mencapai Rp 228 miliar (BMG 2003). Resiko kegagalan panen tersebut dapat diminimalkan jika petani mampu beradaptasi dengan perubahan musim. Adaptasi dapat terjadi jika petani memiliki pemahaman yang cukup terhadap informasi peramalan cuaca.
2
Pengetahuan tentang peramalan cuaca dan iklim menjadi sangat penting di bidang pertanian, karena cuaca dan iklim yang ini sulit diramalkan kejadiannya. Salah satu di antara model peramalan yang diperlukan dalam bidang pertanian yakni model peramalan curah hujan. Model curah hujan yang banyak berkembang pada umumnya bersifat stokastik. Teknik analisis yg digunakan di antaranya analisis deret waktu (Dupe 1999, Haryanto 1999, Boer et al. 1999 yang diacu dalam Boer 2006). Analisis dengan deret waktu tunggal dapat dilakukan dengan model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Beberapa penelitian model curah hujan dengan ARIMA di antaranya Mauludiyanto (2008, 2009), Kalfarosi (2009), Naill (2009). Model ARIMA hanya digunakan untuk satu lokasi curah hujan. Model ini dapat dikembangkan untuk beberapa lokasi curah hujan yang disebut sebagai model Vector Autoregressive (VAR). Model VAR dapat digunakan untuk menentukan model curah hujan karena adanya korelasi curah hujan antar lokasi stasiun curah hujan dalam suatu wilayah.
Model ini banyak
dikembangkan dan dipergunakan dalam bidang ekonomi (Hamilton 1994; MacKinlay 1997; Tsay 2001), namun belum dikembangkan pada bidang klimatologi utamanya model curah hujan. Pengembangan model VAR dapat dilakukan dengan menambahkan suatu peubah eksogen. Pengembangan ini
disebut sebagai model Vector
Autoregressive Exogenous (VARX) (Sims 1980). Tidak seperti model VAR, model VARX membedakan bahwa suatu peubah itu endogen dan eksogen. Peubah eksogen merupakan peubah yang berpengaruh terhadap peubah endogen dalam suatu sistem. Dalam hal ini, jika peubah endogennya merupakan curah hujan dari suatu lokasi tertentu, maka peubah eksogennya merupakan peubah yang mempengaruhi curah hujan. Pengembangan model VARX dapat dilakukan dengan menambahkan peubah indikator yang mengindikasikan sebagai musim hujan, musim kemarau dan bulan lembab (perubahan dari musim kemarau ke musim hujan dan sebaliknya) dan secara simultan menambahkan fungsi pemulus spline pada
3
model tersebut. Pengembangan ini diharapkan akan meningkatkan ketepatan model. Model curah hujan lainnya yakni model curah hujan yang berbasis spasial dan temporal (spatio-temporal), di antaranya model aditif dan model aditif terampat (generalized aditif model/GAM). Lebih lanjut tentang model berbasis GAM ini dapat dibaca di Zoppou et al. (2000) dan Smith & Kolenikov (2004). Model lain yang juga dikembangkan yakni model aditif untuk data spasial (model geoaditif) oleh Kamman & Wand (2003), model yang berbasis struktur hierarki (Banerjee et al. 2004). Model yang dikembangkan di Indonesia, di antaranya
model generalized space time autoregressive-kriging (GSTAR-
Kriging) (Ruchjana 2005) dan model aditif spatio-temporal (Djuraidah 2007). Beberapa penelitian pemodelan curah hujan di Indramayu telah dilakukan di antaranya oleh Suciantini (2004) yang memodelkan curah hujan dengan Multivariate Adaptive Regression Spline (MARS) dan metode Iterative Time Series MARS (ItsMARS). Sutikno (2008) menyusun model Statistical Downscaling (SD), yakni model hybrid antara regresi splines adaptif berganda (RSAB) dan adaptive splines threshold autoregression (ASTAR). Apriyatna (2010) menyusun model peramalan curah hujan dengan jaringan syaraf tiruan/Artificial NeuralNetwork (ANN). Model tersebut tidak berbasis deret waktu ganda. Faktor eksogen yang mempengaruhi curah hujan di Indonesia antara lain, El Nino-Southern Oscillation (ENSO) (Apriyatna 2010). Selain El Nino di Samudera Pasifik, terdapat pula fenomena interaksi lautan atmosfer lainnya yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD) (Saji et al. 1999; Webster et al. 1999; Hendon 2003). ENSO dan IOD mempunyai dampak yang kuat terhadap curah hujan daerah tropis termasuk keragaman curah hujan di Indonesia (Naylor et al. 2007; Saji et al. 2003). Kedua fenomena tersebut semakin sering terjadi dengan kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin panjang sehingga secara signifikan dapat menyebabkan penurunan curah hujan terutama di musim peralihan saat memasuki musim hujan (IPCC 2007; Koesmaryono 2009). Sebagai indikator untuk memantau kejadian ENSO, biasanya digunakan data Sea Surface Temperature (SST).
4
Indikator ENSO lainnya yakni SOI (Southern Oscillation Index) yang mengacu pada perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti (di Timur Pasifik bagian ekuator) dan Darwin (di pantai utara Australia). Kawasan Nino 3.4 merupakan kawasan yang representatif mendefinisikan EL Nino (Dupe & Tjasyono 1998). Model curah hujan dengan beberapa lokasi belum dikembangkan, bahkan jika menambahkan faktor eksogen pada model tersebut. Penentuan model curah hujan memerlukan kelengkapan data, namun data curah hujan pada umumnya tidak memiliki data lengkap atau data hilang, sehingga diperlukan pendugaan. Selain itu, ada keragaman data curah hujan antar lokasi curah hujan sehingga diperlukan pewilayahan.
Tujuan Berdasarkan latar belakang, tujuan penelitian ini yakni 1
melakukan pendugaan data hilang,
2
melakukan pewilayahan pola curah hujan,
3
menentukan model curah hujan dengan VAR dan model VARX,
4
mengembangkan model VARX dengan model aditif VARX.
Kerangka Penelitian Permasalahan utama yang menjadi fokus penelitian yakni pemodelan curah hujan di Indramayu dengan model aditif-VARX. Langkah penelitian diawali dengan melakukan eksplorasi data curah hujan dan faktor yang mempengaruhinya. Jika data curah hujan tidak lengkap, maka dilakukan pendugaan terhadap data hilang tersebut. Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk pendugaan dilakukan dengan rata-rata bergerak (Moving Average).
Langkah
berikutnya
dilakukan
pewilayahan
curah
hujan.
Berdasarkan hasil pewilayahan tersebut, dilakukan pemodelan dengan VAR untuk setiap wilayah. Pemodelan dengan VARX dilakukan dengan menambahkan faktor yang mempengaruhi curah hujan, sehingga diperoleh faktor dominan yang berpengaruh terhadap curah hujan pada setiap wilayah. Pada pemodelan selanjutnya, dilakukan penambahan peubah indikator dan pemulusan spline.
5
Hasil pemodelan tersebut dievaluasi. Langkah penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Data curah hujan
Data lengkap ?
Tidak
Pendugaan data tidak lengkap
Ya
Pewilayahan curah hujan
Data curah hujan lengkap
Peubah penjelas : anomali SST/SST di kawasan Nino 3.4, DMI, SOI Model Vector Autoregressive (VAR)
Model Vector Autoregressive Exogenous (VARX)
Peubah indikator : bulan basah, bulan kering, dan bulan transisi
Model Aditif-VARX
Evaluasi kebaikan model
Gambar 1 Kerangka penelitian pemodelan curah hujan
Novelty (Kebaruan) Beberapa penelitian pemodelan curah hujan di Indramayu telah dilakukan di antaranya oleh Suciantini (2004) yang memodelkan curah hujan dengan Multivariate Adaptive Regression Spline (MARS) dan metode Iterative Time Series MARS (ItsMARS). Sutikno (2008) menyusun model Statistical Downscaling (SD), yakni model hybrid antara regresi splines adaptif berganda (RSAB) dan adaptive splines threshold autoregression (ASTAR). Apriyatna (2010) menyusun model peramalan curah hujan dengan jaringan syaraf tiruan/Artificial NeuralNetwork (ANN). Model tersebut tidak berbasis deret waktu ganda. Model dengan deret waktu ganda dapat ditentukan dengan model Vector Autoregressive Regressive (VAR). Model VAR hanya menggunakan
6
peubah endogen yakni peubah curah hujan di setiap lokasi stasiun curah hujan dalam satu wilayah. Model VAR belum pernah digunakan di bidang klimatologi. Selain itu, curah hujan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain SST/anomali SST di kawasan Nino 3.4, SOI, dan IDM. Faktor ini dianggap sebagai peubah eksogen. Penambahan peubah eksogen pada model VAR disebut model Vector Autoregressive Exogenous (VARX). Dalam penelitian ini, model VARX dapat dikembangkan mengingat adanya indikasi pola data curah hujan yang nonlinier dan juga adanya indikasi bahwa pada musim lembab terjadi kenaikan atau penurunan curah hujan yang tinggi. Pengembangan menggunakan peubah indikator musim (musim hujan, musim kemarau dan musim lembab) dan fungsi spline. Model ini disebut model aditifVARX yang merupakan keterbaruan dalam penelitian ini.