1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim menyebabkan musim hujan yang makin pendek dengan intensitas hujan tinggi, sementara musim kemarau makin memanjang. Kondisi ini diperparah oleh perubahan penggunaan lahan akibat tekanan penduduk berdampak terhadap kejadian banjir dan kekeringan semakin tinggi baik intensitas, waktu kejadian dan dampak yang ditimbulkannya (Irianto 2003). Meningkatnya kejadian bencana alam tersebut merupakan salah satu indikator dari pembangunan yang tidak berkelanjutan (Nugroho 2008). Banjir dan kekeringan merupakan jenis bencana lingkungan hidrometeorologi yang paling sering terjadi yang belum dapat dipecahkan secara menyeluruh, sehingga setiap upaya mengatasi dampak bencana tersebut menjadi dimensi yang penting dari pembangunan berkelanjutan (FAO and CIFOR 2005). Banjir di DAS Ciliwung makin sering terjadi dan intensitasnya makin tinggi menandakan kerusakan DAS ini semakin luas dan makin parah. Sejarah mencatat bahwa bencana banjir besar yang pernah terjadi di Jakarta adalah pada tahun 1621, 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002, dan 2007 (Nugroho 2008). Pada periode sebelum tahun 1970-an, penyebab utama banjir hanya berupa faktor alam yaitu intensitas hujan tinggi yang terjadi dalam waktu yang lama. Sesudah periode tersebut penyebab banjir menjadi semakin kompleks, bukan hanya faktor alam, tetapi faktor sosial ekonomi dan budaya serta akibat yang ditimbulkannya juga berbeda (Irianto 2004). Sejarah mencatat bahwa kejadian banjir di wilayah hilir DAS Ciliwung (Jakarta) terjadi pada tahun 1996 dan 2002 menyebabkan genangan yang cukup luas, merugikan jiwa, harta benda dan kenyamanan hidup, serta hilangnya waktu produktif masyarakat (Gunawan 2010). Kejadian banjir yang terjadi pada tahun 2007 mempunyai intensitas lebih tinggi, sehingga menimbulkan dampak genangan yang lebih luas serta lebih banyak memakan korban jiwa. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang selama periode 3-7 Februari 2007. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis diperkirakan 4,3 triliun rupiah. Secara umum penurunan ketersediaan air dilaporkan terjadi pada mata air, aliran sungai dan waduk, sehingga sungai dan waduk tidak berfungsi dengan baik. Kekeringan menyebabkan air yang dibutuhkan sehari-hari menjadi langka keberadaannya. Bagi sektor pertanian yang memerlukan air dalam jumlah banyak persatuan waktu dan luas, maka kekeringan agronomis berdampak terhadap produktivitas dan luas usahatani (Heryani dan Sutrisno 2005). Berbagai aspek dan permasalahan yang berkaitan dengan air, baik secara kuantitas maupun kualitasnya sangat ditentukan oleh baik atau buruknya sistem pengelolaan dan pengaturan daerah peresapan/penampungan sumberdaya air, baik di bagian hulu, tengah maupun di bagian hilir DAS (Irianto 2004). Pengaturan dan pengelolaan peruntukan serta penggunaan lahan di bagian hulu, yang berfungsi untuk meresapkan, menahan dan menampung air secara vegetatif maupun teknik sipil baik di lahan maupun di jalur aliran menjadi sangat penting. Pengelolaan air di jalur aliran diutamakan untuk menahan, menampung air di jalur sungai dan mendistribusikan kembali ke lahan. Pengelolaan air seperti ini sangat
2 efektif karena dapat mengembalikan air yang hilang melalui jalur sungai ke lahan sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan irigasi dan menambah cadangan air tanah. Pengelolaan air di jalur sungai dimulai dari bagian DAS yang paling hulu yaitu pada anak-anak sungai terkecil yaitu orde 1, 2, 3 dan 4 (Sawiyo 2010). Teknik menahan, menampung, menyimpan air dan didistribusikan ke areal target disebut teknik panen hujan. Teknik panen hujan efektif untuk mengurangi volume banjir, kecepatan/laju aliran, dan memperbesar cadangan air tanah dalam suatu DAS. Teknik ini pada intinya adalah suatu cara bagaimana menahan sejumlah volume air hujan dan aliran permukaan dengan media buatan dan media alam (pori tanah) di wilayah yang lebih tinggi (hulu) agar air tidak cepat hilang terbuang ke wilayah hilir. Penerapan teknik panen hujan dan aliran permukaan dapat merubah distribusi curah hujan dan aliran permukaan DAS menurut ruang dan waktu (spatialy dan temporally) (Irianto et al. 2001 dan Sawiyo et al. 2007). Sistem panen hujan dan aliran permukaan secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu cara vegetatif dan mekanis/teknik sipil. Teknik panen hujan secara vegetatif dapat dilakukan di lahan melalui penghijauan dengan pohon kayu, penanaman rumput pada daerah berlereng, tanam searah kontur dan penanaman tanaman pertanian. Secara teknik sipil dapat diterapkan pada lahan dan pada jalur aliran. Pada lahan, sistem panen hujan melalui teknis sipil dapat dilakukan melalui pembuatan terasering, guludan, petak pertanaman, konstruksi sawah, rorak, sumur resapan, kolam dan embung pertanian. Pada jalur aliran, sistem panen hujan melalui teknis sipil dapat dilakukan antara lain melalui pembuatan bendung, dam parit, bendung pengalihan, cek dam, dan lain-lain (Sawiyo et al. 2008). Dam parit merupakan salah satu alternatif teknik panen hujan secara mekanis di jalur aliran. Prinsip pengembangan bangunan dam parit adalah dengan membuat konstruksi bendung/dam di jalur anak sungai ordo 1, 2 ,3 atau 4 untuk menahan, menampung hujan dan aliran permukaan dan mendistribusikan ke lahan target. Volume tampungan dam parit relatif kecil (ratusan meter kubik), karena hanya menggunakan tubuh jalur sungai saja. Untuk memperbesar volume tampungan, dam parit dilengkapi saluran ke areal target, sehingga kapasitas tampung menjadi meningkat (ribuan meter kubik) dan akan lebih besar lagi karena dam parit dibuat secara bertingkat (cascade). Dengan makin besarnya kapasitas tampung dam parit, maka dampak pengurangan volume aliran permukaan yang dapat direduksi juga makin besar dan peningkatan cadangan air tanah juga makin besar. Pada kenyataannya volume dam parit di jalur sungai telah penuh oleh debit aliran sebelum terjadi debit puncak, sehingga pengurangan debit puncak sangat bergantung dari pengurangan debit melalui saluran irigasi kemudian ditampung pada petakan lahan di areal target (Sawiyo 2010). Agar pengembangan dam parit dalam suatu jalur aliran mempunyai dampak positif yang optimum maka perlu disusun suatu alat/pedoman sebagai acuan dalam pengembangan dam parit baik secara individual maupun pengembangan dam parit dalam skala DAS. Acuan pengembangan dam parit secara individu dalam lingkup DAS Mikro yang diperlukan adalah “kriteria model penentuan posisi dan kriteria model penentuan volume pengembangan dam parit”. Dalam pengembangannya untuk skala DAS, kriteria-kriteria tersebut dapat digunakan untuk mengkaji penentuan volume dan jumlah dam yang harus dibangun dan sebarannya melalui proses analisis model hidrologi.
3 Tingkat efektifitas pengembangan dam parit perlu diuji melalui analisis dampak terhadap kondisi hidrologi, yang meliputi tingkat pengurangan debit dan peningkatan ketersediaan air untuk meningkatkan produktivitas lahan dan peningkatan produksi. Secara ekonomi, pengembangan dam parit memerlukan analisis finansial usahatani dan analisis kelayakan pembangunan dam parit (Heryani dan Sutrisno 2005). Dalam penelitian ini dipilih suatu DAS yang termasuk dalam skala prioritas rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan reboisasi, penghijauan, dan konservasi tanah dan air, baik vegetatif, agronomis, struktural, maupun manajemen termasuk skala prioritas I (Kemenhut 2009). DAS Ciliwung Hulu merupakan salah satu DAS Prioritas I. Di wilayah DAS Ciliwung telah dibangun sejumlah 110 unit dam parit bertingkat selama periode 2006-2009 oleh Balai Besar Pengelolaan Sungai Ciliwung Cisadane dan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. DAS ini mempunyai ketersediaan data iklim dan debit yang panjang. Data iklim tersedia di Stasiun BMG, Citeko, Kecamatan Cisarua, sedangkan data debit tersedia di stasiun pengamatan debit di Bendung Katulampa. Selain itu tersedia pula acuan besaran debit/tinggi muka air yang telah dijadikan sebagai suatu perangkat peringatan dini untuk wilayah hilir DAS Ciliwung. Kerangka Pemikiran Sebaran hujan DAS Ciliwung Hulu yang tinggi dengan curah hujan rata-rata tahunan >3.000 mm terdistribusi secara tidak merata dengan bulan terbasah terjadi hanya selama 1-2 bulan yaitu antara bulan Januari - Februari. Distribusi hujan dalam bulan tersebut terjadi dalam beberapa hari, dan intensitas hujan pada saat tersebut itu sangatlah tinggi. Selain itu perkembangan pembangunan kawasan yang tidak didukung dengan pengembangan teknologi pengendalian banjir yang memadai seperti penghijauan, sungai, kanal, pintu pengatur, bendung, situ dan lain-lain menyebabkan kejadian banjir di DAS Ciliwung makin tinggi baik intensitas maupun waktu kejadiannya. Berdasarkan hasil pemantauan debit puncak Sungai Ciliwung di Katulampa, Bogor, perubahan kenaikan aliran permukaan di Ciliwung Hulu menunjukkan perubahan yang sangat signifikan terutama sejak tahun 1998. Sebelum tahun 1998 debit maksimum di Sungai Ciliwung di Katulampa masih berada di bawah 200 m3/dtk, akan tetapi setelah itu kondisinya terus menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan. Naiknya debit maksimum ternyata berdampak pada menurunnya debit mata air pada musim kemarau yang disebabkan karena berkurangnya wilayah resapan. Berdasarkan kajian BP DAS Ciliwung, Cisadane tahun 2011, menunjukan bahwa kenaikan debit puncak setelah tahun 1998 lebih banyak disebabkan oleh faktor kerusakan DAS, terutama perubahan tutupan lahan dibandingkan oleh pengaruh kejadian hujan. Dengan demikian maka perlu suatu usaha untuk melakukan konservasi air baik secara vegetatif, agronomis maupun teknik sipil dari mulai hulu hingga ke hilir. Menanggapi masalah kurangnya prasarana pengendali banjir maka penelitian pengembangan teknik panen hujan perlu dilakukan. Jenis teknik panen hujan yang dipilih dalam penelitian ini adalah dam parit. Dam parit merupakan salah satu jenis teknik panen hujan secara teknik sipil yang dibangun di jalur
4 aliran sungai/anak sungai untuk menampung dan mendisribusikan air hujan dan aliran permukaan ke lahan target yang umumnya terdapat di punggung bukit. Dalam suatu jaringan sungai dam parit dapat dibangun pada cabang sungai/anak sungai dengan orde 1, 2, 3, dan 4 yang posisinya berada di wilayah hulu. Dengan pengembangan dam parit maka aliran permukaan yang mengalir pada jalur aliran yang seharusnya terbuang ke hilir, ditampung dalam dam parit dan dialirkan kembali ke punggung bukit melalui saluran irigasi untuk disimpan di dipermukaan tanah melalui petak-petak lahan kemudian meresap ke dalam tanah (pori tanah) melalui proses infiltrasi. BANJIR DAN KEKERINGAN
Penyebab
Dampak
Anomali iklim
1. Run off meningkat 2 Cd Air tanah berkurang 3 Erosi & sedimentasi
1. Curah hujan tinggi
2. Kemarau panjang Sosial Ekonomi 1 Alih fungsi lahan 2 Kerusakan jalur aliran
Banjir & kekeringan meningkat
Evaluasi Dampak Pengembangan Dam Parit
Antisipasi
Panen hujan dan aliran permukaan Dam parit
Model Pengembangan Dam Parit Dam Parit Individual Skala DAS Mikro
Dam Parit Skala DAS
2. Produktivitas lahan
1. Model Kesesuaian Posisi
1. Analisis Penentuan Volume
3. Ekonomi
2. Model Kesesuaian Volume
2. Analisis Penentuan Sebaran
1. Dampak Hidrologi
Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan dam parit untuk mengatasi banjir dan kekeringan Dam parit dianggap efektif untuk mengurangi intensitas banjir dan kekeringan dalam suatu DAS karena: a) dibangun hanya dengan memanfaatkan luas badan parit atau anak sungai sehingga tidak mengurangi areal produktif, b) dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar karena sebagian aliran dialirkan melalui saluran irigasi dan dibangun berseri (cascade series), c) dapat meningkatkan masuknya air ke dalam tanah melalui proses infiltrasi (recharging) menjadi cadangan air tanah, memicu timbulnya mata air baru dan menstabilkan debit aliran, d) meningkatkan daerah layanan irigasi secara proporsional yang tersebar dari hulu sampai ke hilir suatu jalur aliran. Uraian tersebut yang menjadi kerangka pemikiran dalam Penelitan ini yang secara lebih ringkas disajikan pada Gambar 1. Perumusan Masalah Model Pengembangan dam parit individual dilakukan pada suatu jalur anak sungai (DAS mikro). Sedangkan pengembangan dam parit secara terpadu dilakukan di kawasan DAS. Masalah yang dihadapi selama ini adalah belum adanya acuan kesesuaian pengembangan baik berupa pedoman penentuan lokasi
5 atau segmen sungai yang sesuai, penentuan berapa kapasitas tampung individu dan dampak pengembangannya. Dalam skala DAS perlu dilakukan analisis untuk menentukan berapa besar hujan yang harus dipanen dan berapa jumlah dam parit yang harus dibangun serta bagaimana sebarannya untuk mengurangi intensitas banjir sampai tingkat tertentu. Model kesesuaian pengembangan dam parit secara individual yang diperlukan adalah “model kesesuaian posisi” dan “model kesesuaian volume” untuk pengembangan dam parit. Model kesesuaian posisi pengembangan dam parit diperlukan sebagai acuan acuan pada titik/lokasi mana konstruksi dam parit dan saluran irigasi sesuai untuk dibangun. Sedangkan model kesesuaian volume diperlukan sebagai acuan untuk menentukan kapasitas tampung konstruksi dam dan saluran irigasi yang akan dikembangkan. Untuk itu perlu dilakukan penentuan jenis parameter/sub parameter yang mempengaruhinya. Parameter tersebut meliputi faktor biofisik lingkungan, faktor iklim dan hidrologi dan faktor sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Untuk menentukan tingkat kesesuaian setiap parameter penentu maka disusunlah kriteria tingkat kesesuaian dari setiap parameternya. Penentuan tingkat kesesuaian posisi dan kesesuaian volume pada suatu titik ditentukan berdasarkan hasil paduserasi antara kualitas parameter dan kriteria parameter penentunya. Pengembangan dam parit secara terpadu dikawasan DAS meliputi kesesuaian volume dan kesesuaian jumlah dam parit. Model pengembangan volume dam parit terpadu didasarkan pada jumlah volume debit puncak yang akan dipanen. Sedangkan jumlahnya ditentukan berdasarkan voleme debit panen yang perlu dipanen dibagi dengan kapasitas tampung rata-rata dam parit individual. Penentuan jenis parameter, identifikasi kualitas jenis parameter dan kriteria parameter kesesuaian pengembangan dam parit perlu dirumuskan secara seksama agar dapat diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Perumusan masalah penyusunan kriteria pengembangan dam parit disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram perumusan masalah penyusunan Kesesuaian pengembangan dam parit
kriteria
6 Tujuan Penelitian • • • •
Berdasarkan pemasalahan tersebut maka penelitian bertujuan untuk: Melakukan karakterisasi kualitas parameter model pengembangan dam parit DAS Ciliwung Hulu. Menyusun desain kriteria kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam parit secara individu dalam kawasan DAS mikro. Melakukan analisis hidrologi untuk penentuan kapasitas tampung, jumlah dan sebaran dam parit skala DAS. Melakukan analisis dampak pengembangan dam parit terhadap aspek hidrologi, produktivitas lahan dan aspek pendapatan petani. Manfaat
• • •
Tersusunnya kriteria model kesesuaian pengembangan dam parit secara individu yang meliputi kriteria model kesesuaian posisi dan kriteria model kesesuaian volume dam parit. Diketahuinya volume hujan/ hujan debit puncak yang harus dipanen untuk mengurangi volume banjir DAS Ciliwung Hulu hingga level siaga 3 di Bendung Katulampa. Diketahuinya dampak pengembangan dam parit terhadap kondisi hidrologi, peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan petani. Hipotesis
Dam parit dapat mengurangi volume debit puncak dan kecepatan aliran, meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani.
2 TINJAUAN PUSTAKA Perubahan iklim Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi, sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan akibatnya suhu di atmosfer bumi memanas. Kejadian pemanasan bumi tersebut sama dengan kondisi di dalam rumah kaca yang memungkinkan sinar matahari untuk masuk tetapi energi panas yang keluar sangat sedikit, sehingga suhu di dalam rumah kaca sangat tinggi. Dengan demikian pemanasan global yang terjadi disebut juga Efek Rumah Kaca dan gas yang menimbulkannya disebut Gas Rumah Kaca (GRK). Pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan kondisi iklim yaitu terjadinya peningkatan intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi yang berpengaruh terhadap banjir, kekeringan, dan penurunan produksi pertanian. Meningkatnya suhu di atmosfer akan berpengaruh terhadap