1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove juga merupakan ekosistem utama di perairan estuarin yang memiliki sumber daya hayati dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menunjang kehidupan serta kesejahteraannya (Tis’in, 2008). Ekosistem ini memiliki beberapa fungsi diantaranya fungsi ekologis, fisik dan ekonomi. Ditinjau dari fungsi ekologis berperan sebagai daerah nursery, spawning dan feeding ground beberapa biota laut sekaligus sebagai tempat persinggahan burung. Secara fisik, ekosistem mangrove sebagai penjaga garis pantai (abrasi), penahan angin dan penangkap zat tercemar. Ekosistem mangrove digunakan sebagai sumber bahan baku beberapa produk (kayu arang, bahan bangunan, kertas, makanan dan obat-obatan) merupakan beberapa contoh fungsi mangrove dari segi ekonomi (Gunarto, 2004). Salah satu ekosistem mangrove yang potensial di Pulau Jawa adalah kawasan ekosistem mangrove Segara Anakan. Segara Anakan terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa. Secara administratif masuk dalam wilayah kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap dengan koordinat 07º34’29.42” - 07º47’32.39” LS dan 108º46’30.12” - 109º03’21.02” BT (Ardli et al., 2010). Wilayah ini termasuk ke dalam DAS Segara Anakan yang merupakan bagian hilir dari sungai Citanduy. Berdasarkan PERDA no. 6 tahun 2001 tentang Tata Ruang Kawasan Segara Anakan, kawasan tersebut dibagi menjadi kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya (Hartati et al., 2005). Bila dipandang dari prespektif lingkungan hidup, Segara Anakan sangat unik karena terdiri dari laguna berair payau, hutan mangrove dan lahan dataran rendah yang dipengaruhi pasang surut (BPKSA, 2007). Kondisi ini menjadi potensial bagi berbagai spesies ikan, udang, kepiting dan biota lain untuk memijah dan mencari makan. Salah satu biota yang hidup dalam ekosistem mangrove adalah Polymesoda erosa. P. erosa merupakan anggota filum Molluska kelas Bivalvia yang hidup di ekosistem mangrove. Kerang ini banyak dijumpai di hutan mangrove Indo-Pasifik Barat mulai dari India, Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, Burma, Philipina (Morton, 1984), Costa Rica, Amerika Selatan (Campos et al.,1998) dan Australia Utara. P. erosa pada wilayah Indonesia dilaporkan terdapat di hutan mangrove Papua, Makasar (Dwiono, 2003), Pulau Lombok dan mangrove Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah (Widowati et al., 2005). Kerang ini hidup di habitat yang berlumpur. Selain itu P. erosa dikenal oleh masyarakat sekitar Segara Anakan sebagai kerang totok yang hidup di hutan mangrove. P. erosa mempunyai nilai ekonomi dan ekologi bagi kehidupan. Masyarakat sekitar Segara Anakan memanfaatkan daging kerang ini sebagai sumber pangan yang memiliki nilai gizi. Kebanyakan masyarakat mengolah kerang sebagai lauk masakan khas setempat. Khasanah et al., (2010) menyebutkan bahwa kerang totok ukuran 6.0 – 6.9 cm mengandung rata-rata nilai protein hewani 55.96% dan lemak 6.53%. Secara ekonomi, kerang ini juga tergolong potensial. Nelayan di kawasan mangrove Segara Anakan dalam satu hari (06:00 – 15:00) dapat menangkap + 200 kg kerang totok dan menjualnya Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kg di wilayah
2
Cilacap. Pemasaran kerang ini juga merambah hingga ke daerah Jawa Barat seperti Ciamis (Kresnasari, 2010). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa konsumsi masyarakat akan kerang ini cukup tinggi. Kemungkinan frekuensi penangkapan ataupun eksploitasi kerang totok menjadi tinggi. Penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat tentunya tidak pernah memperhatikan ukuran maupun komposisi dari kerang. Akibatnya kerang yang masih dalam tahap tumbuh ataupun memijah menjadi ikut tertangkap. Kondisi tersebut memungkinkan mempengaruhi populasi kerang pada saat ini atau masa mendatang. Kekhawatiran ini menjadi mungkin karena minimnya data kondisi biologi dan lingkungan dari P. erosa sehingga sulit untuk melakukan pengelolaan kerang ini. Menurunnya kondisi kawasan mangrove Segara Anakan sebagai habitat dari P. erosa juga merupakan aspek yang dapat mempengaruhi keberadaan kerang. Degradasi habitat disebabkan oleh adanya beberapa faktor diantaranya sedimentasi, eksploitasi sumberdaya, konversi dan penebangan mangrove, migrasi penduduk serta faktor lain seperti belum terintegrasinya semua stakeholder dalam pengelolaan kawasan Segara Anakan (Ardli dan Widyastuti, 2001; BPKSA, 2003; Yuwono et al., 2007; Ardli dan Wolff, 2008). Menurut BPKSA (2007) jumlah lumpur yang masuk ke wilayah Segara Anakan melalui DAS yang bermuara di laguna Segara Anakan diperkirakan mencapai 7 juta m3 per tahun yang dibawa ketiga sungai besar yaitu sungai Citanduy mencapai 5 juta m3, sungai Cimeneng 0.4 juta m3, dan Cikonde 1.2 juta m3. Laju sedimentasi tersebut tergolong cepat karena penurunan luas laguna Segara Anakan dari tahun 1984 – 2010. Menurut Kresnasari (2010), luas laguna Segara Anakan tahun 1984 mencapai 2.906 ha, sedangkan pada tahun 2010 hanya mencapai + 700 Ha. Selain itu untuk luas mangrove Segara Anakan menurut Ardli dan Wolff (2008) pada tahun 1987 mencapai 15827.6 ha, tahun 1995 mencapai 10974.6 ha, tahun 2004 mencapai 9271.6 ha dan tahun 2006 mencapai 9237.8 ha. Secara keseluruhan dari tahun ke tahun luas mangrove Segara Anakan mengalami penurunan. Indikasi degradasi ekosistem mangrove dapat diukur dari penurunan luas hutan. Penurunan luas terjadi karena secara fisik dan perkembangan tumbuhan mangrove menjadi tidak memungkinkan. Berkurangnya luas dapat diakibatkan oleh laju sedimentasi tinggi, abrasi ataupun perubahan fisik lahan akibat intervensi manusia (Buana Katulistiwa, 2002). Menurut Ardli et al. (2008), penurunan luas mangrove di Segara Anakan dari tahun 1996 – 2007 terjadi sangat signifikan dan tergantikan dengan adanya lahan persawahan. Ekosistem mangrove yang terus menerus mengalami tekanan akan berakibat bagi biota yang terdapat di dalamnya. Salah satunya adalah P. erosa yang hidup di ekosistem mangrove Segara Anakan. Degradasi mangrove yang ditimbulkan dapat menyebabkan menurunnya populasi P. erosa dan memungkinkan merubah ataupun terputusnya rantai makanan pada ekosistem tersebut. Menurut penelitian Pribadi tahun 2003, kerang totok di kawasan mangrove Segara anakan mencapai 10.48 ind/m2. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan Widowati et al. pada tahun 2005, kerang totok hanya mencapai 9.7 ind/m2. Penelitian Listyaningsih et al. pada tahun 2011 menyatakan kepadatan P. erosa mencapai 6.53 ind/m2. Hal ini menunjukan penurunan populasi yang terjadi pada kerang ini. Kondisi ekosistem mangrove yang rusak total dapat menyebabkan P. erosa menurun tentunya dengan perubahan kondisi lingkungan yang drastis. Hal ini tentunya berpengaruh pada kelangsungan hidup mahluk lain yang ikut berinteraksi di dalamnya. Bila kondisi lingkungan menjadi
3
tidak normal, maka manusia juga akan mengalami dampaknya berupa tidak tersedianya sumber protein hewani yang biasa mereka konsumsi. Pengetahuan mengenai kajian keterkaitan degradasi ekosistem mangrove dengan kondisi P. erosa di Segara Anakan, Cilacap diperlukan. Perumusan Masalah Berbagai peristiwa alam dan prilaku manusia yang tentunya akan mengubah tatanan kehidupan di ekosistem mangrove Segara Anakan. Hal ini dikenal dengan degradasi. Degradasi dapat terjadi secara cepat maupun lambat. Proses degradasi yang terjadi secara cepat merupakan kondisi dimana seluruh komponen penyusun ekosistem (hewan dan vegetasi) mati, hilang ataupun rusak total (Wibisono dan Suryadiputra, 2006). Degradasi yang terjadi terus-menerus di ekosistem mangrove Segara Anakan dapat menyebabkan perubahan kondisi dari ekosistem tersebut. Tentunya hal ini berpengaruh juga terhadap P. erosa karena kerang ini bergantung pada kondisi mangrove sebagai habitat dan tempat mencari makanan. Penurunan populasi hingga ancaman kepunahan dapat terjadi bila degradasi berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Hal ini diperparah dengan adanya penangkapan dari masyarakat sekitar. Masyarakat menangkap kerang P. erosa tanpa memperhatikan ukuran ataupun bobot dari kerang tersebut karena kerang ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Selain itu kandungan gizi yang dimilikinya ataupun menjadi komoditi penting. Cangkangnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan (Kresnasari, 2010). Oleh karena itu penelitian mengenai kondisi populasi P. erosa dan keterkaitan dengan degradasi ekosistem mangrove perlu dilakukan. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji kondisi populasi P. erosa dan mengalisa keterkaitannya dengan degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di Segara Anakan, Cilacap. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengkaji degradasi mangrove yang terjadi di Segara Anakan, Cilacap. 2. Mengkaji kondisi populasi P. erosa di ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap. 3. Menganalisis keterkaitan antara populasi P. erosa dengan degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di Segara Anakan, Cilacap. 4. Mengkaji pemanfaatan P. erosa di ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk pengelolaan dalam upaya memperbaiki lingkungan dan populasi P. erosa di ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap.
4
Kerangka Pikir Salah satu fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai habitat (spawning, nursery, dan feeding ground) bagi biota yang hidup di dalamnya. Salah satunya yaitu P. erosa yang memiliki peran cukup penting di ekosistem mangrove. Selain bermanfaat bila dipandang dari segi ekologis, kerang ini juga memiliki nilai ekonomis dengan memanfaatkannya sebagai bahan makanan dan berbagai kerajinan tangan. P. erosa digunakan sebagai bahan makanan karena kerang ini mengandung protein yang cukup tinggi. Manfaat sebagai pemenuh kebutuhan gizi bagi masyarakat seiring dengan harga yang terjangkau sehingga kerang ini banyak dicari oleh masyarakat daerah lain. Atas dasar inilah masyarakat sekitar ekosistem mangrove Segara Anakan mulai memiliki kebiasaan mengambil P. erosa tanpa memperhatikan prinsip kelestariannya. Pemenuhan permintaan kerang P. erosa yang mengandalkan dari stok alami saja dapat menimbulkan penurunan populasi karena terlalu banyak pengambilan oleh masyarakat sekitar. Hal ini terjadi ketika kondisi habitat dari P. erosa mengalami degradasi yang tentunya mempengaruhi kondisi kehidupan kerang itu sendiri. Proses pertumbuhan dan perkembangan yang baik dari P. erosa membutuhkan kondisi habitat yang normal dan mendukung. Berbagai elemen dari ekosistem mangrove yang dapat mendukung terdiri dari vegetasi mangrove (kerapatan, komposisi dan sebaran), kualitas perairan dan substrat yang mendukung. Kondisi yang terjadi di Segara Anakan adalah sebaliknya. Degradasi yang terjadi memungkinkan memperparah kondisi dari populasi P. erosa. Degradasi yang terjadi di Segara Anakan berupa adanya sedimentasi serta penurunan luas hutan mangrove. Kondisi lingkungan suatu organisme sangat mempengaruhi aspek biologi (pertumbuhan, kelimpahan dan sebaran) dari organisme itu sendiri. Adanya upaya melakukan kajian mengenai keterkaitan kondisi mangrove yang terdegradasi dengan status populasi P. erosa di Segara Anakan diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi pengelolaan sember daya P. erosa secara berkelanjutan. Keseluruhan pemikiran ini tertuang dalam kerangka pemikiran dan secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1.1.
5
Ekosistem Mangrove Segara Anakan, Cilacap
Populasi P. erosa
Aktivitas Penangkapan
Degradasi Mangrove Kondisi Populasi P. erosa
Parameter Lingkungan
Mangrove (komposisi, kerapatan, sebaran)
Kualitas Perairan (fisikakimia)
Kualitas substrat (fisikakimia)
Parameter Biologi
Pertumbuhan: Kelimpahan dan ukuran
Sebaran Spasial
Sebaran Umur
Analisis Keterkaitan Populasi P. erosa dengan Kondisi ekosistem mangrove
Hasil Penelitian
Rekomendasi Pengelolaan Gambar 1.1. Kerangka pemikiran kajian degradasi ekosistem mangrove terhadap populasi P. erosa di Segara Anakan, Cilacap