1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masyarakat
senantiasa
berubah
di
semua
tingkat
kompleksitas
internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat meso terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat dengan fase kini dan fase kini merupakan prasyarat sebab akibat yang menetukan fase berikutnya (Sztompka, 2005). Perubahan sosial merupakan suatu proses terkait dengan keseluruhan dari aspek kehidupan masyarakat dan multidimensi. Transformasi ekonomi masyarakat sendiri diyakini sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Transformasi ekonomi masyarakat pedesaan menuju pada cara produksi kapitalisme, dengan konteks lokal masing-masing. Banyak yang meragukan keberhasilan aktor-aktor kapitalis lokal di dalam keberhasilan mengelola kelangsungan usaha. Antara lain Geertz (1963) yang mengungkapkan bahwa para aktor pengusaha lokal kurang memiliki mentalitas pemikir, sebagaimana tercermin dari rendahnya kemampuan mereka dalam memobilisasi sumberdaya sosial ekonomi dan mengorganisasikan pekerja secara sistematis untuk meraih tujuan-tujuan
bisnis.
Selanjutnya,
Castles
(1982)
dalam
Sitorus
(1999)
menjelaskan bagaimana kegagalan golongan santri dalam industri rokok kretek di Kudus. Analisis Castles tiba pada suatu kesimpulan bahwa kegagalan tersebut terjadi karena golongan santri (a) gagal dalam menguasai saham dalam rangka persaingan dengan golongan Cina, (b) gagal dalam mekanisasi industri rokok kretek, (c) gagal memajukan organisasi usaha menuju bentuk yang lebih kompleks dari perusahaan keluarga sehingga tidak dapat memainkan peran utama di dalam pembangunan, dan (d) gagal mempertahankan hubungan fungsional dengan golongan-golongan sosial lain. Penelitian Boeke mengenai transformasi struktur ekonomi pedesaan dilakukan dengan berfokus pada pengaruh kolonialisme pada struktur ekonomi lokal terutama erat kaitannya dengan : (1) transformasi ekonomi non kapitalis
69
menjadi kapitalis kolonial, dan (2) implikasi atau pengaruh sistem ekonomi kolonial terhadap perkembangan ekonomi lokal pasca kolonial. Studi Boeke tersebut menunjukkan rasa pesimisnya terhadap masa depan masyarakat Jawa, bahwa perekonomian pribumi yang pra kapitalis akan sulit berkembang menjadi ekonomi kapitalis. Kemudian, perekonomian kolonial yang kapitalis akan selalu mendominasi perekonomian lokal. Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo. Fenomena sosial ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat lokal mampu melakukan mobilitas sosial melalui ekspansi usaha ke arah cara produksi kapitalisme. Dahulu suku Bajo masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindahpindah, penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya (Zacot, 2002). Seiring dengan dimulainya relokasi masyarakat Bajo ke daratan, rupanya membawa implikasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya. Awalnya ketika masyarakat Bajo masih hidup berpindah-pindah dengan leppa, mereka tidak mengenal ekonomi uang, aktifitas sehari-hari hanyalah memancing, dan menangkap ikan pada suatu tempat selama sebulan kemudian pergi ke tempat lain. perdagangan hanya dilakukan dengan sistem barter. Untuk persediaan sehari-hari mereka, kelompok pengembara ini berbuat sebagai berikut : sebuah kelompok kecil pergi ke pantai pada hari-hari pasar, apakah itu pasar terapung atau pasar di darat. Mereka menukar ikan-ikan tangkapan mereka dengan kebutuhan lain atau peralatan yang mereka butuhkan. Namun, setelah proses relokasi, sendi-sendi kehidupan masyarakat Bajo mulai berubah sejalan dengan menetapnya masyarakat Bajo di pinggir pantai dengan membuat rumah-rumah terapung. Masyarakat Bajo mulai mengenal ekonomi uang (artinya mulai mengenal kemiskinan) dan pasar, generasi muda Bajo mulai diperkenalkan dengan sekolah formal, serta mau tidak mau harus mengakui dan takluk terhadap legitimasi pemerintah sebagai suatu suprasistem kehidupan mereka. Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Transformasi yang terjadi di dalam proses produksi diarahkan untuk menghasilkan surplus. Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi
70
(Harian Kompas, Senin 28 Juni 2010). Komunitas Bajo Mola menggeliat, perkembangan ekonomi berkembang dengan pesat, ini ditandai dengan skala usaha yang condong kearah kapitalisme. Penggunaan alat tangkap yang modern, terjadi akumulasi modal untuk ekspansi usaha, menggunakan sistem upah tenaga kerja, yang dahulu hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan ini jauh berbeda dengan kampung-kampung Bajo lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain kampung Bajo Lamanggau, La Hoa, Sama Bahari maupun Mantigola. Para nelayan Bajo Mola telah banyak menjadi pengumpul besar, dan menguasai jalur perdagangan ekspor kerapu hidup ke Hongkong melalui Bali. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di atas memang mengesankan, namun kemajuan yang dicapai juga menimbulkan konsekuensi tersendiri yakni ketidakmerataan ekonomi, antara lain pola distribusi keuntungan yang timpang. Selanjutnya, saat ini nelayan Bajo khususnya Mola tidak menjadikan laut sebagai satu-satunya sumberdaya yang digunakan untuk mencari nafkah. Nelayan Mola tidak lagi berorientasi pada upaya untuk bertahan hidup (survival) melainkan juga untuk memperbaiki status kehidupan mereka (consolidating strategy). Nafkah tidak lagi hanya diarahkan sebagai sesuatu yang harus dilakukan (necessity) melainkan juga sebagai suatu pilihan-pilihan rasional (rational choices). Strategi nafkah yang dilakukan nelayan Bajo Mola antara lain dengan melakukan diversifikasi nafkah di luar kegiatan menangkap ikan, dan melakukan migrasi ke pulau-pulau lainnya, hingga ke luar negeri. Kegiatan menangkap ikan tidak hanya dilakukan disekitar perairan Wakatobi saja melainkan juga melakukan penangkapan di laut Arafura, dan menangkap hiu di Pepela NTT. Diversifikasi nafkah selain menangkap ikan antara lain membuat perahu Lambo yang kemudian dipasarkan ke Pepela, budidaya ikan di dalam keramba, membuka usaha toko kelontongan, membuka usaha jasa penginapan kelas melati. Selanjutnya, merantau juga dilakukan oleh lelaki Bajo Mola, dengan daerah yang menjadi tujuan migrasi adalah Tawao Malaysia. Biasanya mereka bekerja sebagai ABK pada kapal-kapal ikan, status mereka adalah tenaga kerja ilegal, lama waktu perantauan kira-kira antara dua sampai tiga tahun. Merantau bagi beberapa nelayan Bajo Mola adalah upaya yang harus dilakukan ketika lahan nafkah di sektor perikanan sudah tidak menjanjikan lagi, dan merupakan sarana untuk mengumpulkan modal untuk usaha. Bagi beberapa pengusaha perintis, awal usaha dimulai ketika bekerja dengan pengusaha Cina yang datang
71
ke Mola. Setelah merasa paham dan mampu menyediakan sedikit modal untuk mandiri, kemudian membuka usaha hasil-hasil laut. Yang kemudian menjadi khas dalam membahas kapitalisme yang terjadi di komunitas suku Bajo adalah bahwa perempuan Mola adalah para usahawan. Sebaliknya, komunitas Bajo Mantigola yang adalah daerah asal Bajo Mola, cenderung persisten terhadap perubahan. Perputaran roda ekonomi cenderung lebih lambat tetap mempertahankan pola usaha perikanan yang tradisional. Kemudian nelayan Mantigola masih menggunakan cara-cara tradisional, jenis alat tangkap tradisional antara lain didominasi oleh alat tangkap panah, jaring, pancing, dan bubu. Daya jelajah nelayan Bajo Mantigola juga tidak terlalu jauh, wilayah penangkapan hanya sejauh wilayah karang Kaledupa. Kemandekan ekonomi yang terjadi di Mantigola disebabkan oleh “hal-hal” yang lebih kontekstual struktural, dan pada akhirnya memberikan dampak sistemik bagi perekonomian Bajo Mantigola Kemudian, dari segi pemukiman, Bajo Mantigola tetap mempertahankan ciri khas pemukiman tradisional Bajo dengan ciri khas bertempat tinggal di suatu rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Mulai dari jalan raya terlihat jembatanjembatan bambu yang menyebar ke seluruh rumah-rumah. Jembatan tersebut dipergunakan ketika air laut sedang surut, sebab ketika air laut sedang naik, nelayan Bajo Mantigola lebih senang menumpangi perahu dayung yang khusus dipergunakan untuk mengambil air minum di daratan. Sebaliknya, masyarakat Bajo Mola telah meninggalkan ciri khas tempat tinggal Bajo pada umumnya. Mola telah menjadi daratan yang bersambung dengan pulau Wanci. Rumah-rumah nelayan Bajo telah terbuat dari Batu, tidak ada lagi jalanan bambu yang menghubungkan rumah-rumah Bajo. Berdasarkan kesejarahan masyarakat Bajo di Kepulauan Wakatobi, sesungguhnya komunitas Nelayan Bajo Mola berasal dari Mantigola. Masyarakat Bajo Wakatobi awalnya menetap di pulau Kaledupa tepatnya di Lembonga. Setelah sekian lama hidup nomaden di atas laut, dari Lembonga masyarakat Bajo pindah dan membangun perumahan di atas laut di Mantigola yang masih merupakan wilayah pulau Kaledupa, atas izin Sultan Buton. Perpindahan masyarakat Bajo ke Mantigola disebabkan oleh dekatnya Mantigola dengan Karang Kaledupa (offshore reefs) yang kaya akan sumberdaya ikan jika dibandingkan ketika tinggal di Lembonga. Pada tahun 1950an terjadi
72
pemberontakan Kahar Muzakar, atau yang dikenal dengan istilah masa gerombolan, menyebabkan terusirnya sebagian besar nelayan Bajo Mantigola ke beberapa wilayah tukang besi, salah satunya ke Wanci. Terusirnya nelayan Bajo ke luar wilayah Mantigola karena keberpihakan mereka terhadap pihak gerombolan, sehingga oleh pemerintah Kaledupa, nelayan Bajo tersebut terusir dari Mantigola. Kemudian, kelompok Bajo Mantigola yang terkatung-katung di perairan Wanci diterima oleh masyarakat Wanci Mandati yang juga mendukung eksistensi para gerombolan. Oleh masyarakat Wanci, nelayan Bajo tersebut diizinkan untuk membangun 30 unit tempat tinggal baru yang dikenal dengan kampung Bajo Mola Utara (Stacey, 1999). Menetapnya
masyarakat
Bajo
di Mola
kemudian
diikuti
dengan
pembauran antara masyarakat Bajo dengan orang-orang Mandati. Pertukaran ekonomi antara orang-orang Bajo dengan orang-orang Mandati memuluskan proses pembauran tersebut. Masyarakat Wanci Mandati sendiri dikenal sebagai orang Buton yang sangat pandai berniaga. Jaringan perdagangan mereka tidak hanya di dalam negeri saja (seperti pulau Buton, Buru, Ternate, Kalimantan, Flores, Papua, dan Jawa), melainkan hingga melewati batas negara antara lain Singapura, dan Malaysia. Komoditas yang diperdagangkan oleh orang-orang Mandati, beberapa jenis merupakan hasil tangkapan orang-orang Bajo seperti teripang, dan sirip ikan hiu. Tidak saja komoditas pertanian yang diperdagangkan oleh orang-orang Mandati, misalnya kopra, mete, dan cengkeh. Melainkan juga sandang dan papan, seperti pakaian dan perhiasan. Komoditas pertanian yang diperdagangkan sesungguhnya berasal dari pulau Kaledupa. Pulau Wanci sendiri tidak banyak menghasilkan komoditas pertanian karena sebagian besar tanahnya adalah lahan kritis dengan struktur tanah kapur, sehingga sangat miskin unsur hara. Kondisi ekologi seperti ini yang menyebabkan masyarakat Wanci memiliki etos kerja yang tinggi dan menciptakan keunggulan masyarakat Wanci dalam berniaga. Penetrasi kultur kapitalisme melalui pertukaran ekonomi ini selain merubah kultur masyarakat Bajo, juga menciptakan perubahan struktural. Orientasi produksi nelayan Bajo Mola kini berubah sepenuhnya dari hanya bertujuan untuk subsistensi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam rangka memperoleh keuntungan. Nelayan Mola saat ini tidak saja mencari nafkah dengan cara menangkap ikan melainkan juga melakukan diversifikasi
73
usaha baik di sektor perikanan tangkap maupun sektor non perikanan. Kapitalisme Bajo Mola semakin menggeliat juga didukung oleh masuknya teknologi penangkapan ikan, seperti purse seine, dan teknologi pengolahan hasil perikanan seperti meloing untuk komoditas tuna. Beberapa wirausaha Bajo Mola memiliki jenis kapal purse seine, kapal motor berbobot 30 GT1, dan keramba apung tempat penampungan ikan-ikan kerapu hidup. Pentingnya peran kapital bagi Bajo Mola telah merubah hubungan-hubungan sosial produksi dan terjadi peralihan tenaga kerja keluarga menjadi buruh upahan. Misalnya saja di dalam sistem perniagaan ikan kerapu hidup yang dikelola nelayan Bajo Mola yang berskala ekspor dengan jaringan perdagangan yang luas ke Bali hingga ke Hong Kong menuntut penggunaan tenaga kerja upahan selain anggota keluarga. Namun, dari perubahan dramatis yang nampak dari gejala-gejala kapitalisme pada masyarakat Bajo, rupanya masih terdapat ruang-ruang bagi nilai-nilai lokal yang menyebabkan kapitalisme masyarakat Bajo dimaknai sebagai satuan sosial yang unik. Menurut Peribadi (2001) dalam memenuhi berbagai jenis kebutuhannya, etnis Bajo berpijak pada suatu etos dan pandangan hidup yang terkandung dalam falsafah “tellu temmaliseng dua temmaserrang”. Etos tersebut lah yang mempermasalahkan baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetik), benar dan salah (logis), serta pandangan hidup yang terintegral dengan alam sekitarnya. Yang pada akhirnya orientasi nilai tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan nafkah, basis etika nilai dan moralitas dalam ekspansi usaha, bentuk pola akusisi kapital, bentuk jejaring bisnis, dan bentuk-bentuk tindakan bisnis yang dilakukan oleh aktor kapitalis lokal Bajo. Selain itu masih kuatnya istilah sama yang menunjukkan inklusifitas kelompok masyarakat Bajo terhadap orang-orang di luar komunitas Bajo atau dikenal dalam peristilahan Bajo sebagai bagai atau orang-orang darat. Pemisahan antara sama dan bagai ini erat kaitannya dalam mekanisme perekrutan tenaga kerja upahan. Masyarakat Bajo lebih memilih orang sama sebagai buruh upahan dan pertimbangan bahwa tenaga kerja terkait erat pada ikatan kekerabatan. Kemudian,
hubungan kekerabatan bagi orang Bajo merupakan unsur yang
berperan dalam mempermudah akses seseorang terhadap peluang atau sumberdaya ekonomi dan sosial seperti perekrutan sawi. Perekrutan sawi dari unsur kerabat ini didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk ketenangan dan
1
Gross Tonage (ukuran besarnya perahu atau kapal)
74
ketentraman dalam bekerja, dan juga dapat membantu keluarga yang belum bekerja. Menurut Kasim dalam hamzah (2008) bahwa sawi lebih senang bekerja dengan kerabat/saudara sendiri daripada harus diperintah oleh orang lain. Penghargaan tinggi masyarakat Bajo terhadap ikatan kekerabatan (kinship) terkait erat dengan kelangsungan kehidupan masyarakat Bajo, kebudayaannya, dan juga kelangsungan sejarahnya. Maka berdasarkan pada fenomena unik tersebut, tulisan ini akan menunjukkan adanya perubahan orientasi ekonomi masyarakat Bajo dalam konteks lokal. Perubahan ini merupakan tanda bahwa menggeliatnya ekonomi local orang-orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang tetap melakukan pola-pola perikanan tradisonal, menunjukkan bahwa “spirit of capitalism” di setiap suku Bajo memiliki derajat perbedaan dalam hal perkembangannya. Untuk memahami mengapa terjadi perbedaan tersebut maka : pertama, tulisan ini akan mengkaji secara historis perubahan kultur masyarakat Bajo yang tradisional dan prakapitalis dengan menjawab bagaimana kultur kapitalisme mampu merembes ke dalam nilai-nilai masyarakat Bajo Mola melalui saluran (trajectory) tertentu. Dengan menggunakan analisa mengenai pemaknaan masyarakat Bajo Mola maupun Mantigola mengenai lima masalah dasar di dalam kehidupan manusia, antara lain mengenai hakekat dari hidup, hakekat dari karya manusia, hakekat ruang dan waktu, hakekat dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Analisa perubahan nilai masyarakat Bajo kepada kultur kapitalisme juga menekankan pada pentingnya analisa perubahan rasionalitas nelayan Bajo Mola dengan berpijak pada teori rasionalitas Weber, bahwa di masyarakat Bajo terdapat perbedaan dalam hal perkembangan rasionalitas, yang kemudian juga menggambarkan perbedaan orientasi perkembangan spirit of capitalism di masyarakat Bajo. Kemudian, tulisan ini juga
akan mencoba memahami bagaimana
perubahan budaya sebagai hasil adaptasi dan akulturasi masyarakat Bajo Mola di Pulau Wanci. Hasil adaptasi tersebut memunculkan suatu kultur kapitalisme khas lokal. Lokal di dalam tulisan ini tidak merujuk pada bentuk-bentuk kapitalisme murni masyarakat Barat yang berangkat dari masyarakat industri, melainkan berangkat dari masyarakat pesisir yang terkait oleh kultur lokal, yang sifat sumberdayanya yang open access, serta mekanisme berburu dan meramu (food and gathering) yang merupakan cara untuk memperoleh sumberdaya.
75
1.2.
Rumusan Masalah Penelitian
Telah banyak studi-studi mengenai transformasi ekonomi pedesaan, dan khususnya studi pembentukan kapitalisme lokal di Indonesia. Studi mengenai transformasi ekonomi dimulai oleh studi Boeke (1947) yang terkenal dengan tesisnya mengenai dualisme ekonomi. Dalan kajian dualisme ekonominya, Boeke memberikan tekanan pada ciri khas pedesaan Jawa yang menurutnya tidak mungkin diungkapkan melalui prinsip maupun dalil teori ekonomi klasik Barat. Oleh sebab itu menurut Boeke masyarakat pribumi tidak ada keinginan untuk mencari
keuntungan
maupun
mengumpulkan
modal
dan
mereka
juga
menjauhkan diri dari setiap tindakan yang mengandung resiko, sehingga pada akhirnya masyarakat pribumi akan berkembang ke arah dalam atau menurutnya ekspansi statis. Inti teori Boeke selanjutnya adalah sifat sosial ganda adalah pertarungan antara sistem sosial impor dari luar melawan sistem sosial lokal yang bergaya tersendiri. Menurutnya, pada akhirnya pertarungan masyarakat pribumi gagal menyesuaikan diri dan menarik manfaat dari pertarungan itu, tubuh komunitasnya akan tercerai berai dan merana, anggota-anggotanya makin melarat. Perspektif yang sama terlihat dari karya Geertz tentang moral subsistensi, yang akhirnya akan terus bermuara pada perkembangan yang semakin buruk. Retorika teoritisnya tentang involusi pertanian merupakan bukti pandangannya yang pesimis tentang sikap petani tradisional, yang sulit masuk ke dalam perspektif rasional, seperti dalam sistem masyarakat kapitalisme. Dalam sikap moral yang tradisional, diikuti oleh terbatasnya sumber alam, maka kehidupan ekonomi masyarakat tradisional bersangkutan mengalami proses involusi yang semakin buruk keadaannya dari waktu ke waktu. Tulisan Boeke mengenai dualisme ekonomi banyak menuai kritik. Tesis Boeke yang cenderung pesimis terhadap perkembangan ekonomi pribumi perlahan mulai terbantahkan. Studi Hefner (1999) adalah satu dari sekian peneliti social yang hasil penelitiannya menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap kesimpulan Boeke mengenai statis dan kehidupan kebersamaan yang membawa pada kehidupan ekonomi desa Jawa terdampar pada jalan yang buntu, tidak musnah,
namun
terperangkap
dalam
hubungan
dualisme
yang
tidak
terselesaikan sehingga kehidupan mereka seluruhnya menjadi tergantung dari kekuatan-kekuatan luar. Menurut Hefner orang Tengger tidak berubah menjadi
76
komersial karena gesekan dengan ekonomi kapitalis, masyarakat kecil mungkin telah melakukan interaksi dengan ekonomi luar tetapi mereka tidak terbelit oleh gambaran ekonomi kapitalis secara keseluruhan. Mereka tetap memelihara pola ritual dan status. Semua kekayaan yang masuk secara cermat disesuaikan dengan kebutuhan atau pembendaan yang berlaku. Kebebasan pribadi tetap ada, hanya akumulasi kekayaan ditentukan oleh batas-batas penggunaannya secara ketat oleh masyarakat. Selanjutnya, Husken (1988) dalam penelitiannya mengenai transformasi masyarakat desa Gondosari mengungkapkan bahwa masyarakat desa Jawa sebenarnya bukanlah masyarakat yang egaliter, subsistensi (pasca tradisional), tetapi telah berkembang melalui penguasaan teknologi dan kekuasaan atas tanah pertanian. Beberapa tulisan mengenai gejala pembentukan formasi kapitalis lokal menunjukkan bahwa masyarakat pribumi mampu membentuk formasi kapitalis khas
lokal
wilayah
masing-masing.
Tulisan
Tetiani
(2005)
mengenai
memudarnya dualisme ekonomi, studi mobilitas sosial komunitas perkebunan teh Kertamanah Pengalengan Jawa Barat menunjukkan kritik terhadap tesis Boeke. Tetiani mengungkapkan bahwa Boeke hanya membaca sebagian fakta yang terjadi di Jawa. Ada fakta lain yang semula tersortir, bahwa terjadi respon kapitalistik warga desa sejak masa kolonial akibat keberadaan perkebunan teh, kemudian munculnya serikat buruh, perolehan keuntungan buruh dalam perkembangan kebun, pola mobilitas sosial yang terstruktur, dan kekuatan elit lokal penekan penduduk desa yang merosot memudarkan pasar tenaga kerja ganda. Penelitian Nurjannah (2003) mengenai pola produksi dan gejala pembentukan kelas pedagang dalam masyarakat pengrajin di desa Banyumulek Lombok Barat menemukan bahwa sebagian mean of production dan pembagian kerja teknis cenderung dikuasai oleh pedagang, sehingga force of production pedagang meningkat. Kemudian pedagang gerabah berasal dari komunitas Banyumulek, dan muncul dari golongan elit ekonomi tradisional, yang karena kemampuannya dalam menguasai pemasaran tampil sebagai kapitalisme merkantilisme. Kemampuan pedagang melakukan mobilitas sosial, berdampak pada perubahan stratifikasi masyarakat. Selain itu terjadi pemudaran nilai-nilai pedesaan, perubahan hubungan sosial, dan perubahan tipe ekonomi.
77
Tulisan Purnomo (2005) mengenai transformasi pedesaan Jawa dengan judul perubahan struktur ekonomi lokal : studi dinamika moda produksi di Desa Pegunungan Jawa menyimpulkan bahwa moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang yang berasal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan oleh oleh faktorfaktor eksternal daripada internal sistem sosial. Dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsur-angsur memudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali. Kemudian, tulisan Sitorus (1999) mengenai pembentukan golongan pengusaha tenun dalam masyarakat Batak Toba, menegaskan bahwa golongan pengusaha kapitalis lokal terutama berasal dari golongan elit sosial ekonomi tradisional yang terdapat dalam komunitas lokal yang bersangkutan. Kemunculan golongan pengusaha kapitalis lokal merupakan resultan dari dua unsur pokok yaitu, pertama, terpenuhinya prakondisi produksi kapitalis berupa pembentukan modal uang pada golongan elit ekonomi lokal dan pembentukan golongan buruh upahan dalam komunitas lokal yang bersangkutan dan kedua adanya rekayasa sosial dari negara dalam bentuk bantuan teknis dan permodalan khususnya terdapat sejumlah elit sosial ekonomi tersebut. Penelitian Khan (1974) dalam Purnomo (2005) di Minangkabau melihat kehadiran tiga moda produksi bersamaan, yakni ; (1) cara produksi subsistensi (subsistensi production) yakni usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terjadi dalam keluarga inti dan bersifat egaliter ; (2) produksi komersialis (petty commodity production) yakni usaha di pertanian dan luar pertanian
yang
(sudah)
berorientasi
pasar
dimana
hubungan
produksi
menunjukkan gejala eksploitasi surplus melalui hubungan kekerabatan, dan hubungan sosial egaliter karena (umumnya keluarga/kerabat), namun bersifat kompetitif; (3) produksi kapitalis yakni usaha padat modal yang berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup hubungan struktur buruhmajikan/pemilik modal dan pemilik tenaga.
78
Dari beberapa studi mengenai berfokus pada komunitas masyarakat nelayan (Matriks 1), terdapat studi mengenai perubahan sosial, transformasi ekonomi pedesaan dan gejala terbentuknya kelompok kapitalis lokal. Tulisan Satria (2000) mengenai modernisasi perikanan dan mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan, menemukan bahwa modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, dimana cara produksi lama yang tradisional harus bersaing dengan cara produksi baru yang lebih modern, yang rupanya sering diikuti dengan konflik-konflik antar pelaku dari masing-masing cara produksi. Kemudian selanjutnya yang terjadi adalah tersingkirnya cara produksi tradisional (centrang2, payang3, dan klitik4) dalam dinamika formasi sosial usaha penangkapan ikan di Pekalongan. Kelembagaan produksi yang tercipta kemudian mengarah pada proses hubungan yang eksploitatif. Temuan Satria yang berikutnya adalah modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, munculnya gejala kompradorisasi, dan di dalam menghadapi modernisasi, nelayan melakukan tiga jenis pilihan strategi, antara lain strategi adaptasi, strategi bertahan, atau strategi keluar atau menyingkir dari persaingan. Matriks 1. State of the Art Studi tentang Masyarakat Nelayan No 1.
Penulis Satria, 2000
Fokus Kajian Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan (Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan).
Temuan Modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, menciptakan konflik-konflik baru antar pelaku masing-masing cara produksi. Kemudian, tercipta kelembagaan kerja modern yang eksploitatif. Modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, antara lain kelompok perintis, pengikut, dan kelompok penerus.
2
Jenis alat tangkap tradisional karena telah digunakan secara turun-temurun, berbentuk mini purseine,yang digunakan untuk menangkap jenis ikan pelagic kecil. Bobot kapal di bawah 10 GT. 3 Umumnya alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagic kecil, banyak dioperasikan di wilayah perairan pantai Utara Jawa. 4 Adalah alat tangkap berbentuk jaring, digunakan untuk menangkap ikan pelagic kecil yang sifatnya sculling atau berkumpul pada titik lokasi tertentu.
79
2.
Peribadi, 2001
Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat bajo, Sebuah Studi Komunitas di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara.
Keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dijalankan sesuai yang diharapkan oleh norma adat dan agama yang menjadi pegangan utama. Pengaruh tersebut nampak pada berbagai pola pengambilan keputusan, baik di bidang produksi, maupun domestik. Dominasi laki-laki dalam bidang produksi, sementara dominasi perempuan di bidang domestik atau rumahtangga.
3.
Wulansari,2001
Kajian Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Pulau Untung Jawa
Perempuan pesisir mengalami ketimpangan gender pada beban kerja, adanya stereotipe peran perempuan dan laki-laki, subordinasi dan marginalisasi dari setiap program-program pembangunan. Ketimpangan gender ini mengakibatkan kurangnya akses maupun kontrol mereka terhadap pengelolaan sumberdaya.
4.
Arnis, 2003
Jaringan Sosial Perempuan Bakul Ikan (Studi Kasus Perempuan “Bakul Ikan di Desa Bandar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati)
Jaringan sosial yang dibentuk oleh perempuan bakul ikan baik itu “bakul seret” maupun “bakul bengkel” dilandasi oleh motivasi relasi ekonomi. Karakter jaringan kegiatan produksi yang dibentuk oleh perempuan bakul ikan adalah simetris resiprokal. Konflik atau pertengkaran antar perempuan bakul ikan sering terjadi karena perebutan ikan pancingan, perebutan konsumen, persaingan harga, dan perebutan pelanggan. Pada akhirnya, jaringan sosial yang telah dibentuk oleh perempuan bakul ikan merupakan modal sosial yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga nelayan.
5.
Herwening, 2003
Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi Kasus di Kelurahan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi)
Bahwa implikasi kegiatan modernisasi perikanan di Pelabuhanratu telah menimbulkan berbagai potensi konflik, misalnya saja terdapat potensi konflik antara armada yang karena konflik pemanfaatan wilayah antar bagan apung dengan perahu payang. Selanjutnya, potensi konflik
80
dalam pola hubungan produksi terlihat dalam hubungan antara pemilik modal dengan pemilik perahu, pemilik kapal dengan ABK, yang ditunjukkan dengan adanya gejala eksploitasi. Seiring dengan peningkatan teknologi, maka ketimpangan pendapatan antara pemilik alat produksi dengan ABK semakin lebar, namun hal ini tidak menyebabkan gejala polarisasi. Komunitas nelayan terdeferensiasi lebih kompleks sehingga menyebabkan perubahan pada pola stratifikasi. 6.
Iqbal, 2004
Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur)
Secara garis besar terdapat dua jenis strategi nafkah yang dipergunakan masyarakat lapisan bawah di dalam menghadapi tekanan hidup, yaitu strategi produksi (ekonomi) dan strategi non produksi (pemanfaatan modal sosial). Strategi ekonomi erat kaitannya dengan kondisi ekologi, ketersediaan modal finansial dan sumberdaya manusia. Sementara strategi non produksi memanfaatkan modal sosial yang ada sebagai jaminan keamanan sosial (social security), seperti memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan lokal, jaringan, unsur norma dan nilai-nilai.
7.
Shaliza, 2004
Dinamika Konflik antar Komunitas dan Transformasi Modal Sosial (Studi Kasus Konflik antara Komunitas Nelayan Parit III dan Melati di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)
Konflik antar nelayan di Bengkalis telah berlangsung sejak tahun 1985, dengan lima titik ekstrim. Konflik disebabkan oleh dan berimplikasi pada perubahan pola hubungan sosial dan transformasi modal sosial. Kemudian pada komunitas nelayan Parit III, periode komersialisasi menggeser pelapisan sosial secara budaya menjadi pelapisan sosial secara ekonomi, namun sifatnya masih sederhana. Kemudian, konflik menimbulkan perubahan pada dimensi modal sosial. Serta penyebab konflik antar kedua komunitas nelayan adalah karena perbedaan tindakan pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir,
81
perubahan pola hubungan dan perbedaan orientasi nilai budaya. 8.
Kinseng, 2007
Kelas dan Konflik Kelas pada Kaum Nelayan di Indonesia (Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur)
Struktur kelas kaum nelayan di Balikpapan berkembang ke arah yang lebih “rumit” dengan munculnya kelas menengah baru atau kelas borjuis baru yang adalah nelayan pemilik, sehingga struktur kelas kaum nelayan terdiri dari emapt kelas, yakni buruh, nelayan kecil, nelayan menengah, dan nelayan besar/kapitalis. Selanjutnya, kaum buruh nelayan (sawi) masih belum mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas kaum buruh nelayan belum terjadi. Sebaliknya kelas pemilik secara keseluruhan telah mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas telah terjadi. Konflik kelas yang terjadi antara nelayan puse seine dengan nelayan tradisional disebabkan oleh dominasi nelayan kapitalis besar terhadap nelayan tradisional dalam proses penangkapan, dengan basis dominasi kelas tersebut adalah tingkat teknologi penangkapan.
9.
Hamzah, 2008
Respons Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap (mini purseine dan pukat cincin) gae diperkenalkan di Lagasa pada tahun 1976-1977, namun Bajo yang adopter cenderung lebih banyak dalam golongan pengadopsi lambat. Sejumlah kecil pengadopsi cepat memiliki umur yang lebih muda, dan tingkat pendapatan yang tinggi. Selanjutnya, terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Modernisasi perikanan di desa lagasa berdampak pada perubahan pola kerja, yakni daya jelajah lebih jauh, jumlah pekerja sawi lebih banyak dengan sifat semi bebas, dan perekrutan lebih selektif.
10.
Widodo, 2009
Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir (Kasus Dua Desa di
Kemiskinan di kedua desa kasus disebabkan oleh rendahnya akses rumahtangga terhadap sumber-
82
Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bengkalan, Propinsi Jawa Timur)
sumber nafkah. Kenaikan harga BBM menjadi masalah tersendiri bagi rumahtangga nelayan karena meningkatkan biaya melaut, ditambah lagi dengan konflik perebutan sumberdaya diantara sesama nelayan sehingga memperparah kondisi keuangan rumahtangga. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan miskin di kedua desa dilakukan dengan mencoba mempersluas basis nafkahnya, bukan saja pada terbatas pada basis nafkah on farm, dan off farm saja namun telah meluas hingga ke non farm.
11.
Nuryaddin, 2010
Kapital Sosial Nelayan Suku Bajo : Studi Kasus Komunitas Suku Bajo di Pulau Baliara, Provinsi Sulawesi Tenggara
Struktur sosial yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat pada skala komunitas, yakni bonding social capital dimana tingkatan kinerja integrasi dan jejaring yang ada menunjukkan indikatorindikator yang relatif tinggi karena faktor ; (1) homogenitas etnik (suku) yang penuh didasari hubungan kekeluargaan (danshitang), kekerabatan (kinship), relatif kecil (small scale), gotong-royong (sitabangan), dan menghindari konflik (orrai lesse), dan (2) homogenitas pekerjaan yaitu nelayan dimana bekerja sebagai nelayan adalah sumber atau tempat menggantungkan hidup (kalumanine). Relasi sosial nelayan suku Bajo dengan pemilik modal (punggawa tidak hanya berdimensi patron client, tetapi juga mutual simbiosis karena fungsi punggawa selain sebagai pemodal dan pengumpul, tetapi juga sebagai institusi jaminan sosial nelayan.
12.
Susilo, 2010
Dinamika Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir : (Kapasitas Ruang dan Titik Kritis Struktur Sosial masyarakat Nelayan di Dusun Karanggoso, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur)
Dinamika kapasitas ruang struktur sosial di ekosistem pesisir Karanggoso selama masa pengamatan, yaitu dalam tiga masa kehidupan (isolasi, terbuka-1, dan terbuka-2), secara umum dapat dijelaskan ada dua indikator yang penting, yakni indikator obyektif yaitu berupa ketersediaan peluang bekerja
83
dan berusaha dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kedua tingkat aksesbilitas individu di dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kapasitas ruang struktur sosial yang secara obyektif berkembang meluas tidak selalu diikuti oleh tingkat kemampuan akses individu atau sistem sosial yang ada dalam struktur sosial. Serta struktur sosial mendekati titik kritis di masa isolasi terjadi secara umum.
Dari beberapa hasil penelitian yang ditampilkan di dalam matriks 1. Menunjukkan bahwa saat ini baik masyarakat manapun khususnya masyarakat pesisir mengalami bentuk-bentuk transformasi, dan masyarakat pesisir bereaksi dalam
beragam
bentuk.
Keseluruhan
proses
transformasi
pedesaan
menghasilkan dampak lanjutan berupa : (1) derajat ketidakamanan sumber nafkah (degree of livelihood insecurity), serta (2) lumpuhnya struktur-struktur kelembagaan jaminan nafkah asli yang telah mapan (Dharmawan, 2007). Juga tidak bisa dipungkiri juga terdapat gejala-gejala terbentuknya masyarakat kapitalistik sebagai respon atas serangan-serangan yang mengguncang sistem ekonomi
subsisten
yang
dahulu
dipertahankan
beserta
nilai-nilai
yang
menyertainya. Sesuai dengan pemikiran dari para ahli sosiolog aliran strukturalis (aliran klasik) yang menyatakan bahwa gejala-gejala perubahan masyarakat yang awalnya subsisten (pra kapitalis) kemudian menggejala layaknya kapitalis dicirikan sebagai masyarakat yang mulai meninggalkan romatisme hubungan yang guyub “gemeinschaft” yang dalam pandangan Tonnies sebagai suatu masyarakat yang lebih “alamiah” dan “organis”, kemudian perlahan-lahan masyarakat semakin menghargai materi, dan pengejaran terhadap materi, berani melakukan akusisi kapital, dan karena kecenderungan mentuhankan materi maka masyarakat cenderung menjadi sangat individualistik dan egoistic. Ciri-ciri ini rupanya mulai merasuk dan dianut oleh para nelayan-nelayan Bajo baik di Mola dan Mantigola. Namun, tidak berarti kecepatan dalam perkembangan kapitalisme di setiap masyarakat Bajo akan sama, karena ada yang dengan mudah menerima, ada pula yang berupaya “bertahan” dengan subsistensinya. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan laju perubahan sosial yang terjadi di Mola dan Mantigola. Maka, berdasarkan kenyataan tersebut, tulisan ini
84
akan secara lebih mendalam membahas satu persatu gejala perubahan sosial yang terjadi di Mola maupun dan Mantigola, serta sekaligus membandingkannya, dan merefleksikannya dengan teori-teori kapitalisme dan hasil penelitian mengenai transformasi masyarakat yang telah dilakukan sebelumnya pada beberapa sistem masyarakat tertentu. Kemudian, penelitian ini juga sangat diperlukan, karena studi-studi mengenai transformasi ekonomi dan gejala kapitalisme lokal komunitas adat Bajo masih sangat langka. Misalnya saja penelitian Suyuti (1995) fokus mengenai perubahan makna sama dan bagai pada komunitas Bajo Sulaho Kolaka. Stacey (1999) dengan judul tulisan Boats To Burn, Bajo Fishing Activity in The Australian Fishing Zone yang membahas mengenai hilangnya hak perikanan tangkap tradisional nelayan Bajo Wakatobi akibat terbitnya MoU Box 1974. Kemudian, tulisan
Peribadi
(2000)
membahas
mengenai
kedudukan
dan
peranan
perempuan dalam sistem kekerabatan masyarakat Bajo Soropia, penelitian Hamzah (2008) mengenai respon komunitas nelayan Bajo Lagasa Muna terhadap modernisasi perikanan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi, serta modernisasi menyebabkan perubahan struktur sosial dengan sistem bagi hasil yang menjadi pranata nelayan, stratifikasi yang kompleks dan diferensiasi beragam dan pola hubungan semi eksploitatif, dan tulisan Nuryaddin (2010) berfokus tentang kapital sosial nelayan Bajo Baliara. Lebih lanjut, melihat telah terjadinya fenomena transformasi ekonomi masyarakat Bajo Mola sehingga muncul nelayan kapitalis lokal Bajo, dan hal ini tidak terjadi pada komunitas Bajo lainnya di Wakatobi, termasuk juga Bajo Mantigola yang adalah kampung asal Bajo Mola. Maka penelitian ini akan memfokuskan pada proses transformasi sosial masyarakat Bajo Mola dengan membandingkan transformasi immaterial dalam bentuk perubahan orientasi nilai dan rasionalitas yang pada akhirnya mengubah moda produksi nelayan Bajo Mola dan Mantigola, kemudian menguraikan perubahan moda produksi nelayan Bajo Mola bercirikan subsistensi pada awalnya hingga menjadi kapitalis seperti saat ini. Berdasarkan fakta yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa terjadi kemunculan kapitalisme dengan derajat perkembangan kapitalisme yang berbeda-beda, dan rupanya gambaran kapitalisme yang dialami orang
85
masyarakat Bajo Mola dan Mantigola ini berciri lokal. Maka pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola? 2. Bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola? 3. Seperti apa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk memahami bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola. 2. Untuk memahami dan menganalisa bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola 3. Untuk memahami dan menganalisa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Ciri-ciri Kapitalisme Menurut Marx dalam Darsono (2007), masyarakat kapitalis adalah
masyarakat penghisapan (kaum kapitalis) atas kerja kaum buruh, atau masyarakat capital yang menghisap darah manusia, dan masyarakat uang yang menimbun barang dagangan, atau masyarakat barang dagangan yang mengejar keuntungan. Dengan demikian masyarakat kapitalisme itu tujuan pokoknya ialah mencari keuntungan yang sebesar-sebesarnya untuk dijadikan kekayaan.
86
Dalam ekonomi masyarakat kapitalis, kapital mempunyai peranan yang sangat penting, sebab tanpa kapital, ekonomi masyarakat kapitalis tidak akan bisa hidup dan berkembang, Nilai atau bobot dan peranan seseorang atau seorang kapitalis diukur dan ditentukan oleh banyak sedikitnya capital yang dimilikinya. Makin besar kapitalnya, maka makin besar pula nilai, bobot, dan peranannya dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat kapitalis, sangat bertolak belakang terhadap sistem ekonomi komunal primitive yakni segala kegiatan ekonomi dimana alat produksi adalah milik semua anggota masyarakat. Hasil kerja dan keuntungan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Karena alat produksi milik bersama seluruh anggota masyarakat, tidak ada kelas-kelas dalam masyarakat seperti halnya
masyarakat
kapitalis.
Perkembangan
alat
kerjanya
menentukan
perkembangan tenaga kerja produktifnya dan hubungan produksinya. Booke dalam Dharmawan (2001) membedakan dengan jelas mengenai ekonomi kapitalis yang padat modal dengan ekonomi pra kapitalis yang sarat dengan bentuk-bentuk kepemilikan bersama dan cenderung egalitarianism. Matriks 2 berikut akan menggambarkan perbedaan dua sistem perekonomian tersebut dengan sangat rinci. Matriks 2. Sistem Ekonomi pada Masyarakat Pertanian (Suatu Perbandingan oleh Boeke) Indikator Perbandingan
1. Motivasi spiritual (nilainilai)
Bentuk Sistem Ekonomi Pra Kapitalis
Kapitalis
Kesadaran terhadap ketidaksamaan secara alamiah
Kesadaran terhadap kesamaan secara alamiah, namun secara ekonomi terjadi ketidaksamaan
Dengan kelompok masyarakatnya cenderung patuh dan mengutamakan pelayanan terhadap sesama
Kesadaran yang tinggi terhadap kebebasan, demokrasi, dan tanggung jawab.
Kepuasan pada terpenuhinya kebutuhan dasar
Kepuasan pada kuntungan individual
87
2. Organisasi (Struktur Sosial)
3. Teknologi
Tradisional, dan pemeliharaan status quo.
Rasional, dan orientasinya terhadap prestasi individu
Komunalisme
Individualisme
Ekonomi disubordinasi oleh agama
Ekonomi dan agama setara
Tenaga kerja : sebagai sesuatu yang tidak layak dilakukan, waktu santai diutamakan.
Tenaga kerja : sebagai basis usaha
Dominasi oleh nilai-nilai pedesaan
Dominasi oleh nilai-nilai perkotaan.
Hubungan patriarchal kepada majikan
Hubungan kerja bersifat kontraktual dan rasional antara bos dan buruh
Dominasi terhadap kebutuhan-kebutuhan social.
Dominasi terhadap Kebutuhan ekonomi individual
Organisasi sosial yang tradisional serta turuntemurun.
Individualisme, dan organisasi perusahaan
Berdasarkan kekerabatan (kinship)
Berdasarkan organisasi sukarela
Unit produksi adalah rumahtangga
Unit produksi adalah perusahaan
Berbasis status
Berbasis hubungan kontraktual
Solidaritas yang dipelihara secara terusmenerus
Solidaritas sukarela yang sementara
Gemeinschaft
Gesellschaft
Skala lokal
Lokal terhadap skala global.
Pemenuhan kebutuhan subsistensi
Pemenuhan kebutuhan pasar
Tidak ada atau sedikit sekali alur pertukaran
Uang sebagai modal, dan merupakan
88
uang
ekonomi moneter
Tenaga manual, yakni manusia
Terjadi mekanisasi
Aktivitas tertentu berdasarkan musim
Pekerjaan yang cenderung tetap dan aktivitas yang terusmenerus.
Industri pedesaan dan rumahtangga
Perusahaan
Sumber : Koentjaraningrat (1975) dalam Dharmawan (2001)
Bagi Marx dalam Magnis-Suseno (2005), dari segi proses, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum: hukum tawarmenawar di pasar. Jadi kapitalisme adalah ekonomi yang bebas, bebas dari berbagai pembatasan oleh siapapun (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar mana pun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya, bebas dari nilai pembatasan tenaga kerja. Yang menentukan semata-mata hanya untung yang besar. Dari segi output, bagi Marx dalam Magnis-Suseno (2005),perbedaan kapitalisme dari sistem produksi-produksi lain adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh para peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai. Karena dengan memproduksi nilai tukar tersebut menciptakan kelas proletariat yang dipercaya oleh Marx sebagai titik penghabisan kapitalisme. Marx menekankan bahwa tenaga kerja (labor) sebagai sumber dari pertukaran nilai ekonomi, juga merupakan sumber keuntungan (profit). Menurut Marx, keuntungan yang diperoleh oleh kaun borjuis sebagai pemilik modal berasal eksploitasi dari tenaga kerja. Berbanding terbalik dengan pemikiran Hegel maka, agama merupakan factor yang tergantung dari sistem ekonomi, dan bukan sebagai pendorong dari dinamika ekonomi seperti yang diungkapkan oleh Hegel. Kelas social merupakan pusat dari pemikiran Engels dan konsepsi Marx mengenai sejarah kelas social dalam konsepsi Marx berbasis pada material. Kelas didefinisikan sebagai jenis-jenis krusial dari pola-pola hubungan social 89
yang mana diikat berdasarkan hubungan materialism, ideology, dan politik dari setiap komunitas. Properti dalam konsepsi Marx diartikan sebagai hak yang dilegalkan, didukung oleh negara, dan kepemilikan dari barang-marang material. Setiap tipe dari setiap sistem social akan berbeda-beda dalam konsepsi Marx menurut bentuk dari property, dan kelas social. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, pola umum dari kepemilikan property adalah modal industrial. Kelas social dibagi atas kapitalis yang memiliki artikulasi cara produksi (means of production) dan pekerja atau proletariat, yang tidak memiliki property, dan kekuatan satu-satunya adalah tenaga yang dijualnya pada pasar tenaga kerja untuk tujuan bertahan hidup. Kelas ini lah yang menurut Marx sebagai aktor utama didalam perubahan sejarah suatu masyarakat. Ide-ide dan agama ditentukan oleh kelas sosial. Bagi Marx kelas merupakan actor utama didalam tahap perkembangan sejarah, dan sebagai basis dari terbentuknya ide-ide dan kepercayaan. Di dalam masyarakat kapitalis menurut Marx dan Engels, akan terdapat suatu kelas menengah di dalam sistem social masyarakat kapitalis, yakni yang merupakan kelas pedagang kecil, seniman, dan industry skala kecil. Menurut Marx dan Engels, kelas menengah ini memiliki lingkungan kultur pergaulan tersendiri, malah menjadi actor politik bagi dirinya sendiri. Marx dan Engels menyebutkan orang-orang di kelas menengah ini sebagai “petit bourgeois radicals”. Namun, menurut Marx dan Engels ini tidak berlaku tetap, karena persaingan di dalam sistem kapitalis itu sendiri, maka kelas ini tidak selamanya akan berbentuk radikalisme, karena kapitalisme akan menciptakan consentrasi industry yang semakin lama semakin besar maka Marx dan Engels menduga petit bourgoise akan kehilangan property skala kecilnya, dan jatuh sebagai kelas proletariat. Teori kelas dari Marx dan Engels menunjukkan analisa mengenai sebab dan akibat. Mereka menunjukkan bagaimana perjuangan-perjuangan kelas dapat dianalisa ke dalam konflik dan persekutuan diantara kelas sosial yang mengejar perbedaan minat ekonomi tertentu (Collins, 1985). Menurut marx, kelas social erat sekali hubungannya dengan ekonomi dan politik. Sistem ekonomi diorganisasikan melalui kepemilikan property, yang mendefinisikan kelas, dan property dikuatkan oleh kekuatan politik Negara. Properti tidak sendirinya dimiliki begitu saja, melainkan sesuatu dimiliki oleh seseorang hanya karena negara yang membentuk legalitas secara hukum
90
perundang-undangan terhadap property tersebut, dan akan berperan untuk menjalankan klaim-klaim kepemilikan bisa juga dengan cara menggunakan caracara militer. Selanjutnya bagi Marx, properti dalam beragam cara tidak akan dapat dicabut haknya oleh individu, tanpa dukungan dari sistem sosialnya itu sendiri. Misalnya, seseorang yang secara legal memiliki sebidang tanah namun tidak memiliki modal untuk membudidayakan tidak akan bermakna apapun. Karena alasan inilah, beberapa kelas ekonomi yang dominan harus sangat peduli terhadap politik. Namun, bukan berarti mereka terus-menerus bercokol di negara. Namun, peduli terhadap kondisi politik untuk memastikan bahwa negara tetap meneruskan perlindungan terhadap minat kepemilikan dari para kaum borjuis, dan sangat dibutuhkan intervensi dari kekuatan pemerintah untuk menciptakan peluang-peluang keberuntungan. Politik merupakan suatu cara perjuangan kaum borjuis untuk mengontrol keberlanjutan dukungan negara, dan kaum borjuis selalu memenangkan perjuangan ini, terkecuali situasi sejarah sebagai basis produksi berubah (Collins, 1985). Konsepsi
ekonomi
Marx
sesungguhnya
mengungkapkan
bahwa
masyarakat kapitalis muncul karena adanya kontradiksi secara internal sistem social yang membawa pada konsentrasi dari kepemilikan property oleh para actor kapitalis atau borjuis, di satu sisi menciptakan pertumbuhan jumlah besar kaum proletariat yang pengangguran, dan terkadang muncul suatu krisis ekonomi. Sehingga bagi Marx satu-satunya cara untuk keluar dari kondisi ini adalah dengan menghapuskan kepemilikan pribadi dari sistem social (Collins, 1985). Satu prinsip yang paling krusial bahwa kekuasaan bergantung pada kondisi mobilisasi material. Berdasarkan analisa Engels mengenai alasan mengapa petani di Jerman pada masa lampau dengan mudah dikuasai oleh kaum aristokrasi. Padahal sesungguhnya, kaum petani melakukan upaya-upaya untuk melawan kaum aristocrat di Jerman saat itu. Namun, para kaum bangsawan selalu memenangkan perlawanan kaum tani. Hal ini menurut Engels disebabkan karena kaum ningrat superior dalam hal memobilisasi. Kaum ningrat dengan mudah memecahkan para petani, membayar kelompok petani tertentu, untuk menyerang kelompok petani lainnya. Kaum ningrat mengorganisasikan dirinya dengan para proletariat melalui persekutuan, dan manuver secara militer. Petani kecil selalu kalah karena mereka tidak memiliki kepemilikan untuk
91
mengorganisasi mereka di dalam perlawanan secara politik. Keadaan petani di Jerman saat itu menurut Engels seperti petani-petani di Perancis: ‘Mereka terpecah-pecah” mereka mengatakan “kami seperti kentang-kentang di dalam karung (“like potatoes in a sack”) yang melulu menjadi gumpalan besar nampak dari luar secara bersama-sama, namun tidak menjadi satu. Kondisi material lah yang memisahkan mereka satu sama lain, dan menghambat mereka dalam mencapai kekuasaan (Collins, 1985). Kelas pemilik secara politik selalu mendominasi karena mereka lebih dominan dalam hal mobilisasi politik. Kapitalis sendiri sebuah sistem ekonomi saling interkoneksi. Para pebisnis misalnya sangat aktif berhubungan satu sama lainnya,
mengawasi
pesaing,
berani
mengambil
pinjaman,
dan
malah
memberikan pinjaman, dan membentuk kartel. Jejaring finansial, dan pasar itu sendiri dalam arti komunikasi lah yang membawa kelas kapitalis dalam jaringan sosial ekonomi yang lebih dekat. Berdasarkan alasan ini para pebisnis, khususnya pada golongan atas pebisnis, telah sangat terorganisasi. Kelompok pebisnis ini telah memiliki sebuah jaringan yang mereka gunakan untuk memudahkan mereka menggunakan jalur politik ketika mereka ingin melakukan sesuatu. Di sisi lain, kelas pekerja, di satu sisi, tidak memiliki organisasi yang tumbuh secara alami untuk ambil bagian dari kegiatan politik, mereka tidak memiliki kekuatan-kekuatan khusus untuk menciptakan organisasi politik dan bersusah payah mencoba untuk saling berhubungan dengan kelompok kelas pekerja lainnya di tempat yang berbeda untuk memperoleh suatu kekuatan perlawanan bersama. Selanjutnya, meskipun jumlah pekerja jauh lebih banyak dibandingkan elit-elit pebisnis, namun kekuatan besar dari mobilisasi politik yang dipegang oleh kaum pebisnis memberikan keseimbangan dalam hal kekuatan politik. Hal ini sekaligus dengan kuatnya kontrol dari kaum kelas atas dalam memperoduksi kekuatan mental –di dalam masyarakat modern kepemilikan dari koran, stasiun televisi, dan lain sebagainya- diartikan bahwa kelompok minoritas pebisnis akan dapat selalu dengan mudah mendefinisikan isu-isu politik dari sisi pandang mereka dan mencapai kekuatan politik keluar dari proporsi mereka di dalam sistem sosial. Sistem
politik
Negara
yang
demokrasi
sangat
cocok
kepada
berkembangnya dan menguatnya kelas social pebisnis, karena mereka adalah pihak yang paling kuat untuk memenangkan perjuangan untuk memperoleh
92
kekuasaan. Satu hal yang bisa dijadikan alasan karena kondisi material mendasari sistem bisnis itu sendiri telah sebelumnya menjadi dominan pada pasar. Alasan lain berikutnya yang penting juga untuk menjelaskan mengapa para kapitalis dapat dengan mudah mendominasi politik demokrasi. Ini karena pentingnya masalah financial pada setiap pemerintahan, khususnya dalam hutang luar negeri. Marx menekankan pemerintah revolusioner tahun 1848 di Perancis tidak tega menekankan pada efek dari kebijakan ekonomi yang radikal karena kesanggupan Negara saat itu membayar hutang bergantung pada kekuatan peredaran uang di Perancis, dan itu tidak pernah lepas dari peran para kapitalis (Collins, 1985). Sosiologi Weber sering dikatakan sebagai pemikiran antaginistik terhadap pendekatan Marxian. Sesungguhnya, Weber lebih sebagai penerus dari pemikiran Marx, dan dikemudian hari Ia merupakan generasi penerus dari tradisi pemikiran konflik sejarah di dalam dunia intelektual di Jerman. Weber sendiri sangat
menaruh
perhatiannya
terhadap
latarbelakang
dari
kemunculan
kapitalisme, mengenai potongan-potongan dari bagaimana kapitalisme bisa muncul ditempatkan pada tujuan utama analisanya. Pendekatan Weber tidak pada melihat rangkaian dari tahap-tahap perubahan, namun dengan membuat analisa perbandingan: Mengapa kapitalisme modern muncul di dunia eropa dibandingkan beberapa pusat peradaban dunia seperti Cina, India, Roma, dan Islam? Sosiologi Weber menjawab pertanyaan tersebut. Teori sosiologinya berusaha untuk menciptakan alat analisa mengenai institusionalisasi dasar dari kegiatan
ekonomi,
untuk
menunjukkan
apa
kekuatan-kekuatan
yang
melatarbelakangi sistem sosial yang berbeda-beda. Sebagai penyempurna dari pemikiran Marx, maka Weber lebih menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi namun dipengaruhi ide-ide relijius, yakni didorong oleh semangat puritan untuk bekerja keluar dari keinginannya untuk mencari keselamatan, dengan meninggalkan doktrin-doktrin teologikal dari takdir(Collins, 1985). Dalam berbagai cara teori Marxian berperan negative terhadap teori Weberian, akan tetapi dengan cara lain, Weber yang bekerja menurut tradisi Marxian, mencoba menyelesaikan” teori Marx. Teori Weberian mendapat banyak bahan dari teori Marxian (Burger, 1976 dalam Ritzer, 2001). Weber memandang Marx dan para pengikutnya sebagai determinisme ekonomi yang mengemukakan
93
teori-teori berpenyebab tunggal tentang kehidupan sosialnya. Salah satu contoh determinisme ekonomi yang rupanya sangat mengganggu pikiran Weber adalah pandangan yang mangatakan bahwa ide-ide hanyalah refleksi kepentingan material (utamanya kepentingan ekonomi) dan bahwa kepentingan materi menetukan ideologi. Sebaliknya Weber lebih banyak menekankan pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Menurut Weber, protestanisme sebagai sebuah gagasan mempengaruhi munculnya gagasan lain yakni semangat kapitalisme dan akhirnya menjadi sistem ekonomi kapitalis. Weber juga mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan merintangi perkembangan kapitalisme di dalam masyarakatnya. Misalnya irasional
(misalnya
weber menemukan sistem agama yang
konfusianisme,
Taoisme,
Hinduisme)
merintangi
perkembangan sistem ekonomi rasional. Pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan sementara, karena sistem ekonomi, dan bahkan struktur sosialnya akan menjadi rasional. Weber sangat terkenal dalam penjelasannya mengenai tiga model dimensi dari stratifikasi social yang sangat dekat dengan dengan kunci pemahaman teorinya yang sangat rumit. Tiga dimensi tersebut antara lain : (1) kelas, (2) status, (3) partai . Ketiga pihak ini saling “bertarung”. Tiga dimensi ini selalu
saling
berhubungan
satu
sama
lainnya,
dan
setiap
dimensi
menggambarkan realitas khusus mengenai teori Weberian. Analisa kelas di dalam teori Weber, memiliki realitas yang sama dengan Marx dan Engels. Namun, Weber mengubah model teorinya mengenai kelas. Konflik kelas bagi Weber jauh lebih rumit dibandingkan yang diteorikan oleh Marx dan Engels. Weber setuju dengan temuan Marx bahwa terjadi konflik antara kapitalis dengan pekerja, dan pemilik dari kekuatan produksi versus tenaga produksi. Weber mengelaborasi teori ini dengan menambahkan konflik antara kapitalis pemberi kredit (dimana Marx menggunakan analisa ini untuk menggambarkan revolusi Perancis) melawan para debitor yang meminjam modal, juga antara penjual versus pembeli. Konflik kelas ala Weberian berbeda dari Marxian lebih dalam dan lebih krusial.
Konsep
kelas
Marx
didefinisikan
sebagai
kepemilikan
atau
ketidakpemilikan atas kekuatan produksi. Sementara konsep kelas Weber didefinisikan oleh posisi
di dalam pasar. Beberapa penerus Marx, kemudian
94
melawan apa yang telah dikonsepsikan oleh Weber mengani kelas. Pendukung Marx mengkritisi skema ini karena menaruh stratifikasi sosial pada level pengukuran luar dari sirkulasi ekonomi, dibandingkan sebagai tingkatan dasar dari ekonomi produksi. Menurut Collins (1985), ini lah kekuatan teori dari Weber, jika Marx selalu berkutat pada perlawanan dua kelas saja, maka Weber jauh lebih melihat kenyataan yang ada bahwa kelas tidak melulu hanya terjadi pada kelas pemilik dan kelas pekerja melainkan juga fokus pada kelas menengah dengan jenis rumitisasi di dalam pergantian kelas atas : para pemberi pinjaman dengan pemilik lahan (Weber mengkonsepsikan kelas ini sebagai kelas debitor) yang ukurannya sama dengan para industrialis kecil. Weber membangun teori kelasnya kepada konflik ekonomi yang paling nyata : Suatu perjuangan untuk mengkontrol suatu tempat untuk pasar tertentu. Untuk Weber, monopoli tidak sesederhana bahwa timbul di akhir tahap dari kapitalisme. Bagi Weber monopoli merupakan proses yang mendasar di dalam sejarah pembentukan kelas. Kelas social dari konsepsi Weber didasarkan pada cara-cara yang berbeda dari upaya-upaya untuk lebih mengkontrol pasar tertentu: misalnya uang dan kredit, tanah, ragam industry manufaktur, dan ragam keterampilan tertentu. Semua ini memberikan gambaran yang realistic dari konflik kelas yang telah terjadi, dan juga menyediakan sebuah konsepsi teoritik yang umum dari proses stratifikasi. Kelas yang dominan kemudian mengelola cara-cara untuk mencapai suatu monopoli yang ketat untuk beberapa pasar yang menguntungkan.
Sementara
kelas
yang
tidak
mendapatkan
monopoli
sepenuhnya kemudian akan berjuang pada pasar yang terbuka untuk memperoleh monopoli. Kemudian, kategori kedua dari konsep stratifikasi sosial, yakni kelompok status. Ini selalu dipahami sebagai lawan dari konsep kelas ekonomi. Ketika kelas didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi-pengelompokan dari minat-minat yang sama oleh gambaran dari posisi yang sama di pasarkelompok-kelompok, maka status diandaikan menjadi bidang dari budaya. Yang menetukan kelompok-kelompok status merupakan komunitas itu sendiri. Yang harus diingat dan dicamkan baik-baik : bahwa kelompok kelas membagi suatu derajat tertentu dari monopoli terhadap pasar tertentu. Mereka para kelas atas melakukan ini melalui pengorganisasian, melalui pembentukan suatu komunitas
95
tertentu, memperoleh suatu kesadaran melalui beberapa penghambat budaya diantara mereka sendiri-pendek kata melalui kelompok status. Beberapa kelompok yang berhasil dan menjadi kelas yang memiliki kekuasaan yang dominan harus terorganisasikan sebagai suatu kelas status. Marx dan Engels mengungkapkan bahwa kelas penguasa terorganisasikan secara legal dan secara budaya untuk menjaga control dari kepemilikan property usaha melalui posisi mereka. Misalnya di India, kelompok-kelompok pekerja tergolong dalam kasta-kasta tertentu, menghindari satu sama lain melalui ritualritual yang menjustifikasi mereka dari penghindaran oleh doktrin-doktrin agama Hindu melalui karma masa lalu, dan reinkarnasi. Bagi Marx, kelas menjadi jubah bagi mereka para kelas atas pemilik moda produksi di dalam ideology mereka. Bagi teori Weber, hal tersebut juga disetujuinya, namun dengan syarat : bahwa ideology atau sisi budaya tentu sangat dibutuhkan bagi kelompok kelas tertentu untuk menjadi lebih berkuasa. Selanjutnya kelompok status menyerang kembali terhadap situasi ekonomi tertentu : yang merupakan jalan bagi kelompok untuk menjadi lebih kuat untuk memonopoli. Sehingga pengorganisasian kelompok status menjadi suatu senjata ekonomi. Weber menekankan bahwa dalam analisa komparasinya, mengungkapkan bahwa kelompok social tertinggi selalu memilih melakukan puji-pujian terhadap agama, menjalankan seremoninya, tapi tidak banyak yang melakukan dengan sungguh-sungguh ajaran agama dengan penuh komitmen; kelas menengah memilih menjadi asketik, agama moralistik yang mendorong kemampuan untuk bekerja keras sekaligus memotivasinya ; dan kelas bawah memperlakukan agama sebagai bentuk dari magis, intervensi supranatural yang dipahami mampu memberikan keberuntungan baik, dan mampu mematikan lawan.Memiliki jenis status ideologi membuat kelas tertentu dengan mudah memonopoli posisi ekonomi. Orang luar dari kelompok status ini kemudian bisa menjadi pengecualian dan persaingan menjadi terbatas secara otomatis, karena hanya orang-orang tertentu yang cenderung “tipe ideal” dapat memperoleh posisi tersebut. Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa Weber yang menyusun teorinya berdasarkan konsepsi Marx mengenai kelas social memberikan suatu kesimpulan baru, yang memperbaiki teori Marx, bahwa pejuangan untuk memperoleh kemapanan ekonomi lebih multidimensional dibandingkan yang Marx lihat. Kelas menjadi terbagi dalam tiga kelas, dan juga tergolong menjadi
96
ragam kelompok status dan mampu mengkontrol sector tertentu dari pasar ekonomi. Pada akhirnya partai-partai atau kelompok-kelompok yang berkuasa: disini Weber menekankan pada fakta perjuangan berikutnya, diantara faksi-faksi politik. Faksi-faksi politik juga sesungguhnya mendukung terbentuknya kelas social atas yang mendukung mereka. Negara dalam hal ini merupakan pencerminan dari faksi politik tertentu, memberikan suatu senjata khusus kepada kelas social tertentu melalui “legitimasi”. Menurut Weber, terdapat beberapa cara agar legitimasi dapat dihasilkan: Weber menyebutkan satu demi satu seperti kharisma dari pemimpin yang berkuasa, tradisi yang ada secara turun-temurun, dan kekuasaan yang legal rasional oleh kebijakan hokum Negara. Legitimasi tidak muncul begitu saja, melainkan diproduksi oleh produksi mental (means of emotional production). Bagi Weber dalam Giddens (1986), kapitalisme merupakan perwujudan dari adanya bentuk-bentuk rasionalisasi sekuler. Bagi Weber, Kapitalisme adalah utilitarianisme yang tiada hentinya dan secara keagamaan disistematiskan melalui agama protestan. Agama kemudian mendorong munculnya rasionalitas formal dari kebudayaan Barat. Kapitalisme rasional modern, diukur dengan batasan dari nilai-nilai inti dan efisiensi atau dari produktifitas. Weber dalam essaynya yang berjudul The Protestant Ethic and Spirit of capitalism memberikan gambaran beberapa cirri utama dari etos buruh pertanian, yang terbagi atas buruh terikat dengan buruh harian. Hasil temuan Weber mengungkapkan bahwa terdapat etos yang berbeda dari dua golongan buruh yang ditelitinya, buruh terikat etika moralitasnya terletak pada sikap menerima pola-pola tradisional tentang sikap hormat serta sikap perlindungan (patronage) di satu pihak dan suatu sikap individualisme ekonomi di lain pihak. Etika ini lah yang ditengarai membantu meruntuhkan struktur tradisional lama dari perusahaan-perusahaan pertanian besar. Bagi Weber, keretakan tradisionalisme ekonomi, menghasilkan suatu penanggalan tradisi pada umumnya, dan mengelupaskan lembaga-lembaga keagamaan dalam bentuk “kekolotannya”. Selanjutnya, Weber mengungkapkan bahwa protestanisme menganut suatu sikap yang sangat ketat terhadap hidup santai dan bersenang-senang. Ini merupakan suatu fenomena yang sangat ditekankan oleh calvinisme. Dan diakhir kesimpulan Weber, agama merupakan
97
factor kunci perangsang ekonomi kapitalisme. Weber mengidentifikasikan segisegi utama dari “semangat” kapitalisme modern sebagai berikut : “perolehan uang sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat menikmatinya sama sekali secara spontan…dipandang secara murni mungkin sebagai tujuan itu sendiri, sehingga hal itu bila dihadapkan kepada kebahagiaan atau kepada kemanfaatan bagi seseorang tampak sebagai sesuatu yang berada di atas segala-galanya dan sama sekali tidak rasional. Manusia didominasi usaha untuk memperoleh sesuatu, sebagai suatu maksud dari suatu kehidupan; perolehantidak lagi merupakan sarana untuk mencapai sasaran memuaskan kebutuhan-kebutuhan materiilnya. Kebalikan dari apa yang kita sebut situasi “alamiah” yang sama sekali tiada artinyabila dipandang dari suatu pendirian yang tidak berpurnasangka, jelas dan pasti merupakan suatu prinsip kapitalisme, yang sebaiknya merupakan suatu yang asing bagi semua orang yang tidak terkena pengaruh kapitalisme….ekonomi kapitalis modern dirasionalisasi atas dasar perhitungan yang sangat teliti, diarahkan dengan dengan tinjauan ke masa depan dan hatihati untuk kesuksesan ekonomi” (Weber dalam Giddens, 1986).
Maka analisis Marx mengenai kapitalisme kesemuanya didasarkan atas pertalian yang didalilkan antara perluasan pembagian kerja. Bagi Marx suatu factor utama yang melandasi asal mulanya dari kapitalisme di Eropa Barat, adalah proses historis tentang pengambilan-alihan hak para pemproduksi atas penguasaan
hak-hak
sarana-sarana
produksi.
Dengan
demikian,
maka
kapitalisme itu merupakan suatu kelas. Serta bagi Marx, “pertentanganpertentangan” mendasar, yang berada dalam dan tidak bisa dipisahkan dari ekonomi kapitalis, berasal langsung dari sifat sebagai suatu sistem yang didasarkan atas produksi nilai tukar. Sebaliknya,
Weber
dalam
konsepsinya
mengenai
kapitalisme
menekankan suatu konsepsi perhitungan rasional yang merupakan unsure utama dalam perusahaan kapitalistis modern, dan rasionalisasi kehidupan social pada umumnya merupakan atribut yang paling kentara dari kultur budaya Barat modern. Bagi Weber dalam Giddens (1986) hubungan kelas yang dipakai Marx sebagai paksi, poros kapitalisme, pada kenyataannya hanyalah merupakan satu unsure di dalam suatu rasionalisasi yang lebih meresap, yang memperpanjang
98
proses pengambilalihan hak pekerja atas sarana produksinya ke dalam kebanyakan dari lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat kontemporer. Weber menekankan analisisnya pada proses rasionalisasi dari beragam kelembagaan : membangun suatu pemaknaan, dan kalkulasi secara rasional. Weber mendeskripsikan bahwa kapitalisme modern sebagai ekonomi rasional, birokrasi sebagai organisasi rasional, Negara modern sebagai dasar dari prosedur formal dan aturan-aturan dari kewenangan legal rasional. Rasionalisasi bagi Weber seperti “dua mata pisau” secara bersama-sama meningkatkan prosedur formal, dan sekaligus menggangsir dari kemampuan manusia untuk dengan sadar mencapai suatu tujuan. Konflik tidak diartikan oleh Weber tidak ditimbulkan oleh satu faktor saja, namun konflik timbul sebagai bentuk ekspresi dari banyak ragam penyebab yang multidimensional, pluralitas dari kelompokkelompok yang berbeda, interest, dan sudut pandang yang berbeda dalam memandang kehidupan. Weber tidak hanya melihat konflik sebagai suatu ragam bidang, namun juga bahwa terdapat perjuangan untuk mendominasi satu sama lainnya. Ekonomi bagi Weber adalah perjuangan kelas, melalui banyak hal yang rumit, tidak sesederhana yang dilihat oleh Marx dan Engels. Politik sendiri merupakan realitas yang Weber kemukakan sebagai realitas dari perjuangan, diantara interes politik dan antara para politisi dan kelas ekonomi. Meskipun dunia terdiri atas ide-ide yang terbagi-bagi kepada beberapa kelompok masyarakat. Agama sebagai contoh, memiliki perjuangan tersendiri-berdasarkan organisasi social dari gereja itu sendiri-yang membagi para teolog professional dari perpolitikan gereja. Pada akhirnya Weber cenderung lebih melihat sebuah kejadian sejarah sebagai
suatu
rumitisasi,
proses
ragam
sudut
pandang.
Weber
juga
memposisikan dirinya sebagai “musuh” bagi siapa pun yang memandang bahwa tahap-tahap
evolusi
disimpilisasikan
atau
memaksakan
simplifisasi
dari
kompleksitas realitas sejarah. Di dalam sosiologi ekonominya Weber menekankan tiga hal penting : (1) mengartikan tindakan ekonomi sebagai sosial; (2) selalu mengikutsertakan makna, (3) dan ada dimensi kekuasaan. Tiga dimensi tersebut diuraikan secara lebih mendetail. Sebagai contoh Weber memasukkan dimensi hukum sebagai
99
“suatu pertukaran yang didefinisikan secara formal sebagai sesuatu yang bebas, namun selanjutnya, kekuasaan mengikutsertakan suatu persetujuan-persetujuan dari beragam kepentingan-kepentingan (Weber, 1922). Marx pada dasarnya mengemukakan teori kapitalisme, sementara Weber pada dasarnya adalah teori tentang proses rasionalisasi (Brubaker, 1984 dalam Ritzer, 2001). Weber tertarik pada masalah umum seperti mengapa institusi sosial di dunia Barat berkembang semakin rasional sedangkan rintangan kuat mencegah perubahan serupa di belahan bumi yang lain. Weber mengungkapkan kerangka rasional sebuah tindakan sosial (secara berjenjang dari bawah ke atas) dari suatu tindakan sosial rasional atau tidak. Weber dalam Kalberg (1980) menyebutkan empat tipe rasionalitas di dalam hubungannya dengan empat tipe tindakan sosial antara lain tindakan afeksi, tindakan tradisional, tindakan berorientasi nilai, dan tindakan instrumental. Sementara tipologi dari rasionalitas antara lain rasionalitas praktikal, rasionalitas teoritikal, rasionalitas formal, dan rasionalitas substantif. Empat tipe rasionalitas kemudian dikategorikan ke dalam dua bentuk besar rasionalitas. Antara lain rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) dan dan rasionalitas berorientasi nilai (valuerational action). Rasionalitas praktikal dan rasionalitas formal adalah tipe rasionalitas instrumental, sementara rasionalitas teoritikal maupun rasionalitas substantif tergolong sebagai rasionalitas berorientasi nilai.
Bilamana sebuah
tindakan semata-mata ditujukan untuk memenuhi fungsinya, maka tindakan tersebut disebut sebagai tindakan dalam kerangka rasionalitas instrumental (mean-ends rationality). Kemudian, Weber mengungkapkan bahwa dalam proses rasionalisasi dipengaruhi oleh konteks kehidupan khusus (sphere of life), yang akan merubah tataran nilai daripada minat individu. Konteks kehidupan yang dimaksud antara lain konteks politik, ekonomi, dominasi (herrschaft), dan pengetahuan, dan “internal” individu seperti konteks agama dan etika moralitasnya. Kemudian, Weber mengungkapkan perbedaan pokok yang diberikan juga pada tindakan rasional dan non rasional. Singkatnya, tindakan rasional (menurut Weber) berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Di dalam kedua kategori utama mengenai tindakan rasional dan nonrasional itu, ada dua bagian yang berbeda satu sama lain. Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang
100
sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Weber menjelaskan : Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuantujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri (zweckrational) apabila tujuan itu dijadikan alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif (Jhonson, 1988).
Tindakan ekonomi dalam sistem pasar yang bersifat interpersonal mungkin merupakan bentuk dasar rasinalitas instrumental ini. Tipe tindakan ini juga tercermin dalam organisasi birokratis. Weber melihat sistem pasar yang impersonal dan organisasi birokratis sedang berkembang dalam dunia Barat modern.Selanjutnya
bilamana
sebuah
tindakan
sosial
ditujukan
untuk
mewujudkan sebuah nilai tertentu di dalam kehidupan sosialnya, maka tindakan sosial itu dikategorikan sebagai tindakan dalam kerangka rasionalitas nilai. Rasionalitas yang berorientasi nilai (wertrationalitat) diartikan bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar ; tujuantujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Tindakan religius mungkin merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini. Rasionalitas praktis atau rasionalitas ekonomi yang merupakan golongan dari kerangka rasional instrumental erat hubungannya dengan kerangka pemaknaan yang pragmatis dan kecenderungan egoistis. Rasional praktis ini diimplementasikan
dengan
individu
yang
secara
aktif
memanipulasi,
mengganggap bahwa dunia sebagai sesuatu yang konkret sehingga sangat dibutuhkan perhitungan-perhitungan yang tepat. Seiring dengan menguatnya rasionalitas ini, maka individu akan cenderung mulai memisahkan dirinya atas segala bentuk mistisme, dan etika moralitas yang hadir berupaya untuk menjadikan agama dalam bentuk ”sekuler”. Menurut Weber, individu-individu
101
yang cenderung dominan dalam hal rasionalitas praktis antara lain adalah para pedagang, dan orang-orang yang berprofesi sebagai artisan yang memiliki keterampilan tertentu. Rasionalitas ini cenderung menentang semua orientasi hidup yang rutin dan sifatnya ”transedental”. Artinya bahwa segala hal yang di luar nalarnya akan tidak mudah untuk diyakini. Selanjutnya, rasionalitas theoretical, atau intelektual rasionalitas terlibat pada suatu kesadaran pada keunggulan dari kenyataan melalui bangunan pemikiran konsep-konsep yang abstrak. Rasionalitas ini erat kaitannya dengan kepercayaan individu terhadap kekuatan supranatural dan metafisik. Rasionalitas ini sangat memperhatikan pemahaman individu terhadap worldviewnya atau pemahaman dirinya terhadap alam, sebagai bagian kecil dari lingkungan cosmos yang sangat luas dan maha hebat. Pemaknaan ini identik dengan persetujuan mereka atas segala tindakan yang rutin dilakukan. Sebagai tambahan rasionalitas ini juga sangat menjunjung tinggi segala bentuk persembahyangan, metode-metode tradisional untuk permohonan akan sesuatu pada roh leluhur, bentuk-bentuk penebusan dosa melalui pengorbanan hewan-hewan tertentu, dan pantangan-pantangan dalam bentuk pamali yang harus dihindari. Misalnya ritualritual yang dilakukan dan dipertahankan oleh orang-orang Bajo Mantigola misalnya seperti ritual tamoni, atau memberi sesajen di Bungkanu wa’du karena dianggap
batu
tersebut
memberikan
keberkahan,
baik
rezeki
maupun
kesembuhan penyakit, menurut Weber tindakan rutin orang-orang Mantigola tersebut dilandasi oleh rasionalitas theoritical. Karena rasionalitas ini tidak berkaitan dengan bagaimana individu menghasilkan surplus ekonomi, maka Weber mengkategorikannya sebagai rasionalitas berorientasi nilai. Bentuk rasionalitas teoritis ini juga digambarkan melalui bentuk-bentuk kearifan lokal mereka dalam mengelola sumberdaya. Misalnya walaupun masyarakat suku Bajo boleh menangkap ikan sepanjang tahun, tetapi ada waktuwaktu tertentu dimana mereka boleh dan tidak boleh menangkap ikan yang hidup di karang. Waktu penangkapan ikan di karang ditandai oleh dikibarkannya bendera Ulu-ulu Bukak yang dibawa oleh parika (pemimpin armada tangkap). Waktu pengibaran bendera ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama dalam musyawarah suku Bajo yang dipimpin dan atau diketahui oleh punggawa (pemimpin kampung). Dengan berkibarnya bendera maka semua nelayan suku Bajo diperbolehkan menangkap ikan di wilayah karang yang dimaksud. Waktu
102
penangkapan selama enam bulan di dalam setahun, biasanya pada bulan September atau Oktober sampai dengan bulan April, yaitu pada musim Timur. Setelah ”diolah” selama enam bulan, karang kemudian ditutup, artinya semua nelayan dilarang menangkap ikan di karang tersebut, khususnya ikan-ikan batu (karang). Dengan demikian, karang Kapota dapat dianalogkan dengan kawasan ”sanctuary” bagi suku Bajo. Peraturan yang ditaati oleh nelayan suku Bajo ini secara langsung maupun tidak langsung ”mengatur” keseimbangan antara jumalah ikan yang ditangkap dengan pertambahan dan/atau perkembangan ikanikan karang. Tindakan ini didasari oleh nilai-nilai filosofi tentang kesakralan laut yang berbunyi ”papu manak ita lino bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana” artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya. Oleh karena itu, masyarakat Bajo tertentu misalnya Bajo Mantigola melestarikan sumber daya laut dengan bentuk-bentuk kearifan lokalnya dalam mengelola hutan bakau dan terumbu karang. Yang berikutnya adalah rasionalitas substantif. Rasionalitas substantif menurut Weber dikategorikan sebagai jenis rasionalitas yang berorientasi nilai. Rasionalitas ini erat sekali kaitannya dengan pemaknaan dan penerimaan terhadap nilai-nilai tertentu yang dijunjung tinggi oleh setiap individu tertentu. Rasionalitas ini cenderung bermakna ”ambigu”, karena sangat tergantung pada konteks masyarakat (life-spheres) dari individu tersebut. Karena rasionalitas dan potensi dari proses rasionalisasi akan kembali pada postulat dari nilai-nilai yang dianut masyarakat. Misalnya, orang-orang Wanci Mandati yang tidak menyukai segala bentuk status monopoli dan menganggapnya sebagai suatu irasionalitas, karena nilai-nilai ini menghalangi ekspansi usaha pada mekanisme pasar persaingan yang bebas. Namun, misalnya konteks sosial masyarakatnya feodalisme, maka sistem monopoli dianggap paling rasional. Maka, titik kajian dari rasional substantif akan selalu berbeda disetiap konteks masyarakatnya. Selanjutnya Weber menyebutkan bentuk rasionalitas yang lainnya, yakni rasionalitas formal, yang meliputi proses berfikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan. Dalam hal ini pilihan dibuat dengan merujuk pada kebiasaan, peraturan, dan hukum yang ditetapkan secara universal. Rasionalitas ini lah yang sangat berposisi antagonistik dengan terhadap segala bentuk rasionalitas substantif. Karena rasionalitas ini bertendensi pada kalkulasi dan
103
rutinitas tertentu dengan berdasarkan pada aturan legal formal, dan sangat dipengaruhi oleh beragam bentuk-bentuk perencanaan yang sangat mapan dan teratur. Menurut Weber, birokrasi formal di negara-negara Barat, dan tata kelola perusahaan industri bisa menjadi contoh konkret dari bentuk nyata rasionalitas formal. Pada matriks 3. Berikut akan dijelaskan secara ringkas bahwa Weber melalui teori rasionalitasnya bermaksud untuk menjelaskan bahwa proses mental menarik baginya karena bertujuan untuk menjelaskan bahwa dengan kondisi tertentu tindakan sosial bisa diterjemahkan. Pada beberapa kasus, misalnya rasionalitas praktis, aturan-aturan yang mengatur tindakan seseorang sangat dekat dengan perhitungan yang cermat dalam hubungannya dengan minat tertentu, meskipun proses mental tersebut jarang terlihat. Rasionalitas teoritikal, disatu sisi mengilustrasikan hal yang berlawanan dari rasionalitas praktis. Pada rasionalitas ini seringnya tidak menunjukkan pola-pola tindakan, sehingga sifatnya tidak langsung. Sementara secara umum rasionalitas formal, dan rasionalitas substantif langsung berhubungan dengan tindakan yang dilakukan. Matriks 3. Penguasaan Kesadaran dari Fragmentasi antara Realitas melalui Aturan-aturan dalam Bertindak (Weber dalam Kalberg, 1980) Tipe Rasionalitas
Proses Mental
Hubungannya dengan Tindakan
Acuan kepada Proses Mental
Rasionalitas Teoritis
Ragam pada proses yang abstrak
Secara tidak langsung
Lebih kepada masalah nilai-nilai dan teori tertentu.
Rasionalitas praktis
Kalkulasi instrumental
langsung
Lebih kepada minat
Rasionalitas formal
Kalkulasi instrumental
langsung
Lebih kepada aturanaturan , hukum, dan kebijakan
Tipe Rasionalitas
Proses Mental
Hubungannya dengan Tindakan
Acuan kepada Proses Mental
Rasionalitas substantif
Subordinasi dari segala bentuk realits kepada nilai-nilai
Langsung
Nilai-nilai
104
Tindakan tradisional atau yang berorientasi nilai merupakan tipe tindakan yang sifatnya nonrasional. Jika seseorang memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisional. Individu itu akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya.Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningkatnya rasionalitas instrumental. Tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Menurut Weber tindakan seperti ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologis atau kriteria rasionalitas lainnya. Keempat tipe tindakan sosial di atas harus dilihat sebagai tipe-tipe ideal. Weber mengakui bahwa tidak banyak tindakan, kalau ada, yang seluruhnya sesuai dengan salah satu tipe ideal ini. Misalnya, tindakan tradisional bisa mencerminkan suatu kepercayaan yang sadar akan nilai sakral tradisi-tradisi dalam suatu masyarakat, dan itu berarti bahwa tindakan itu mengandung rasionalitas yang berorientasi pada nilai. Membuat pembedaan antara tipe-tipe tindakan yang berbeda atas dasar ini penting untuk memahami pendekatan Weber terhadap organisasi sosial dan perubahan sosial. Selanjutnya menurut Weber tindakan sosial dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan polapola motivasional yang berkaitan dengan itu. Untuk tindakan rasional, arti subyektif itu dapat ditangkap dengan skema alat tujuan (mean-ends schema). Pada masyarakat Bajo Mola yang kapitalistik, rasionalitas praktis cenderung mendasari segala bentuk tindakan yang dilakukan. Sebagai pedagang yang berhubungan langsung dengan eksportir besar, maka hitunghitungan ekonomi mendasari segala bentuk tindakannya. Sementara masyarakat Bajo Mantigola yang cenderung pra kapitalistik, membangun tindakannya atas dasar rasionalitas substantive, dan juga teoritis atas pemahaman mendalamnya terhadap lingkungan laut dimana mereka
105
berada. Maka segala bentuk magifikasi tetap dipertahankan, dan cenderung menolak segala bentuk perusakan terhadap nilai-nilai kolektivitas. Pada kasus kapitalisme local di suku Bajo yang dibahas pada tulisan ini, Beberapa orang-orang Mola dianggap sebagai gambaran terbentuknya kapitalis Bajo. Ciri khas kapitalisme, antara lain menggunakan tenaga kerja upahan, melakukan akumulasi keuntungan, ekspansi usaha dan cenderung berani melakukan akusisi capital. Sesuatu hal yang jarang bisa dilakukan oleh orangorang bajo kebanyakan terutama Bajo Mantigola yang tetap mempertahankan sistem perekonomian yang prakapitalis. 2.2.
Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi Sistem nilai merupakan unsur sistem sosial masyarakat bersifat sangat
abstrak. Sistem sosial tersebut merupakan pedoman dari konsep-konsep ideal yang
memberikan
pendorong
kuat
terhadap
arah
kehidupan
warga
komunitasnya. Menurut Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (1990) bahwa sistem nilai budaya memberikan arah dan dorongan pada sistem nilai budaya masyarakat dalam lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas dasar konsepsi tersebut, ia mengembangkan suatu kerangka yang dapat dipakai ahli antropologi untuk menganalisa secara universal tiap variasi dalam sistem nilai budaya dalam semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia (Matriks 4). Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah dasar tersebut menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah : 1. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (disingkat MH) 2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia (disingkat MK) 3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (disingkat MW) 4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia alam sekitarnya (disingkat MA) 5. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (disingkat MA). Menurut C. Kluckhohn setiap komunitas akan berbeda-beda di dalam mengkonsepsikan kelima unsur di atas tersebut. Misalnya berdasarkan unsur pertama mengenai hakekat dari hidup manusia, ada komunitas tertentu yang mempersepsikan hidup itu baik, maka tidak banyak usaha-usaha untuk
106
meningkatkan kualitas hidup, sebaliknya jika suatu masyarakat memandang kehidupan sebagai sesuatu yang buruk namun manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik, akan cenderung memiliki etos kerja tinggi dan pantang menyerah. Matriks 4. Kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Masalah Dasar Dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia Masalah dasar dalam hidup
Orientasi Nilai Budaya
Hakekat Hidup (MH)
Hidup itu buruk
Hidup itu baik
Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik
Hakekat karya (MK)
Karya itu untuk nafkah hidup
Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya.
Karya itu untuk menambah karya
Persepsi manusia tentang waktu (MW)
Orientasi masa kini
Orientasi ke masa lalu
Orientasi ke masa depan
Pandangan manusia terhadap alam (MA)
Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat
Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam
Manusia berhasrat menguasai alam
Hakekat hubungan manusia antar manusia dengan sesamanya (MM)
Orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong)
Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat
Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri.
Sumber : Koentjaraningrat, 1990. Pemaknaan ini sesungguhnya memberikan suatu informasi penting sampai sejauhmana perkembangan orientasi nilai yang dipegang oleh suatu komunitas tertentu. Apakah dengan kategorisasi yang dibentuk oleh Kluckhohn tersebut, masyarakat tertentu dikategorikan sebagai masyarakat yang cenderung fatalis, optimistik, atau individualis. Dan kategorisasi ini akan cenderung menggambarkan
bentuk-bentuk
tindakan
sosialnya,
karena
asumsinya
107
pemaknaan memberikan justifikasi atau alasan terhadap tindakan tertentu yang ditampilkan. 2.3. Pengertian Kapitalisme Lokal Di dalam penelitian ini pumpunan penelitian yang paling krusial adalah menggambarkan munculnya kapitalisme di masyarakat suku Bajo dilihat sebagai suatu gejala sosiologis yang berlangsung di dalam suatu sistem social tertentu. Terminologi local khususnya disebut sebagai kapitalisme local diartikan sebagai suatu fenomena hibridisasi nilai-nilai local suku Bajo dengan nilai-nilai kapitalisme penuh yang kemudian memberikan warna pada perekonomian yang dikembangkan di Bajo Mola dan Bajo Mantigola. Serupa
dengan
penelitian
Sitorus
(1999)
yang
melihat
gejala
pembentukan pengusaha lokal penenun di Batak Toba yang melihat gejala ini bukan sebagai gejala social mikro lokal yang terisolir, melainkan terkait dengan sistem social di luar dari sistem social lokal masyarakat Bajo Mola dan Mantigola. Maka ekonomi local dalam bentuk kapitalisme lokal yang dimaksud adalah bagaimana pemaknaan dan pada akhirnya membentuk struktur ekonomi yang dilihat dalam konteks lokal. Lokal artinya merujuk pada satu komunitas tertentu, yang terkait dengan nilai-nilai tertentu, dan pada akhirnya mewarnai segala aspek kehidupannya termasuk sistem ekonominya. Perubahan ekonomi dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial kelompok masyarakat terkait aktifitas-aktifitasnya dalam usaha pemenuhan hidup (Purnomo, 2005). Penelitian ini akan menggambarkan bagaimana posisi “lokal” ekonomi masyarakat suku Bajo Mola dan Mantigola dalam suatu kontinum perubahan sosial masyarakat dari sistem ekonomi pra kapitalistik, yang hasil produksi tidak dipertukarkan ke pasar komersial, namun untuk digunakan bersama secara social, dan berorientasi pada nilai pakai (use value). Sementara sistem ekonomi kapitalistik sebaliknya, hasil produksi dipertukarkan ke pasar komersial yang berorientasi pada nilai tukar (exchange value). 2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian mengenai pembentukan kapitalisme lokal nelayan suku Bajo dilatarbelakangi oleh fenomena unik dari munculnya nelayan Bajo Mola yang sangat kapitalis namun di satu sisi dalam ruang-ruang kehidupannya masih 108
dilandasi oleh etos-etos dan pandangan hidup yang terkandung di dalam keyakinannya dan pandangannya terhadap alam dan laut sebagai sumber kehidupan
(worldview),
nilai-nilai
antara
sama
dan
bagai,
dan
fungsi
daparanakan (kinship) sebagai penopang keberhasilan usaha. Sementara ada fenomena lain dari masyarakat Bajo, khususnya Mantigola yang tetap mempertahankan kehidupan Bajo yang tradisional. Dengan pola nafkah lebih berorientasi pada subsistensi rumahtangga, anggota keluarga sebagai tenaga kerja keluarga, hubungan produksi bersifat egaliter, moral ekonomi nelayan masih berpijak pada basis sosial kolektif. Hidup menetapnya orang-orang Bajo di pulau Wanci maupun di Kaledupa rupanya merubah sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat Bajo. Mekanisme pertukaran social dan posisi orang Bajo di dalam struktur social pada kelompok masyarakat tertentu dimana ia terlekati bisa jadi menguatkan nilai-nilai dan norma yang dipertahankan, atau menimbulkan pergeseran serta pemaknaan baru terhadap lima dasar dalam kehidupan manusia oleh Kluckhon, antara lain mengenai hakekat hidup manusia, hakekat karya manusia, hakekat manusia terhadap ruang dan waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hakekat manusia dengan sesamanya oleh masyarakat Bajo Mola merupakan wujud dari adaptasi yang terjadi di komunitas Bajo Mola terhadap lingkungan fisik maupun sosial di Pulau Wanci. Perubahan sikap dan etika subsistensi nelayan Bajo menyebabkan mereka melibatkan diri dalam perkembangan ekonomi kapitalisme yang bergerak atas dasar motif rasional, keuntungan individu, pengambil resiko yang tinggi, dan selalu mencoba berbagai inovasi yang baru. Pemahaman terhadap pemaknaan masyarakat Bajo terhadap lima masalah dasar kehidupan manusia sebagai landasan untuk mempertanyakan kembali pemikiran Boeke melalui konsepsi masyarakat gandanya, bahwa sikap mental masyarakat pribumi tidak atau belum sesuai dengan rasionalisasi pola pikir kehidupan kapitalisme. Analisa awal dalam melihat gejala terbentuknya kapitalisme lokal adalah untuk memahami alasan terjadinya perbedaan laju perubahan sosial antara komunitas Bajo Mola dan Bajo Mantigola, melalui pemahaman yang mendalam konteks social masing-masing yang melatarbelakanginya. Berpijak pada pandangan Weberian, bahwa sebelum terjadinya perubahan teknologi terlebih dahulu telah terjadi perubahan gagasan baru dalam pola pemikiran masyarakat
109
Bajo. Menurut Weber, di setiap masyarakat terdapat suatu sistem nilai yang hidup dan bertumbuh secara khusus, yang membedakan masyarakat satu dengan lainnya. Nilai yang merupakan gagasan tersebut akhirnya menjadi kekuatan yang dominan dari suatu kelompok masyarakat, sehingga menjadikan kelompok masyarakat tersebut berbeda dari kelompok masyarakat yang lainnya. Konteks sosial juga berperan dalam member warna “lokal” sekaligus sebagai penyebab perbedaan orientasi ekonomi lokal yang dikembangkan baik di Bajo Mola dan Mantigola. Konteks sosial dimaknai dalam tulisan ini sebagai “wadah” tumbuh dan berkembangnya kapitalisme di masyarakat Bajo Mola, namun di satu sisi juga berperan di dalam perlambatan perkembangan kapitalisme di Mantigola. Konteks social dianalisis melalui sejarah pembentukan kapitalisme lokal, dan agama yang mewadahi perkembangan kapitalisme di Mola dan Mantigola. Rasionalitas di sini diartikan sebagai tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan tidak dapat dijelaskan hanya dengan merujuk pada motif individu semata. Sebagai bentuk dari tindakan sosial, tindakan ekonomi terlekat (embedded) pada jaringan hubungan masing-masing individu dari pada sebagai individu yang berdiri sendiri. Merujuk Weber, maka rasionalitas yang mendasari tindakan ekonomi bias saja dalam bentuk rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) dan rasional berorientasi nilai (substantive rationality). Semua ini pada akhirnya membentuk transformasi ekonomi dengan gejala lokal yang khas. Kapitalisme lokal dalam tulisan ini seperti yang telah dibahas sebelumnya, dimaknai sebagai terintegrasinya nilai-nilai ekonomi kapitalis yang berciri dominasi nilai-nilai materialism dengan nilai-nilai lokal tradisional. Secara perlahan-lahan masyarakat Bajo menuju suatu bentuk ekonomi kapitalisme, namun ruang-ruang nilai memberikan warna lokal terhadap tahap-tahap
menuju
kapitalismenya.
Derajat
menuju
orientasi
ekonomi
kapitalisme diukur berdasarkan kecenderungan dimensi-dimensi kapitalisme seperti profit maksimisasi, pola ekspansi ekonomi, transfer nilai-nilai keuntungan dari pasar komersial, kepemilikan properti ekonomi secara individu sehingga memberikan warna hubungan social produksi yang dapat dilihat bagaimana hubungan buruh dan majikan dalam bentuk eksploitatif, atau bisa jadi hubungan yang non eksploitatif dengan merujuk pada jejaring bisnis dalam bentuk aliansi startegis ke luar.
110
Profit maksimisasi dipinjam dari teorisasi Marxian dan Weberian bahwa nilai keuntungan diciptakan melalui produksi, dan juga pemeliharaan nilai-nilai tertentu.
Kegiatan ekonomi kapitalisme memang bertujuan untuk mencari
keuntungan. Apa yang para kapitalis miliki, termasuk keluarga bahkan dirinya sendiri diupayakan menjadi modal (kapital) untuk memperoleh keuntungan, namun disatu sisi untuk warna kapitalisme lokal suku Bajo keuntungan tidak semata-mata diciptakan untuk maksimisasi untuk diri sendiri, nilai-nilai lokal tertentu juga member warna dalam pembentukan profit, beserta tujuan maksimisasinya. Pola ekspansi ekonomi sesungguhnya erat kaitannya dengan beragam upaya yang dilakukan para aktor kapitalis untuk meningkatkan skala usaha, dan pada akhirnya mengarahkan pada maksimisasi profit. Dahulu model ekspansi usaha dengan berniaga di berbagai wilayah, memperluas pasar. Bahkan dengan bersaing keras dengan para kapitalis lainnya. Bangsa kolonial malah melakukan ekspansi melalui penjajahan. Untuk ekspansi usaha para kapitalis akan menempuh jalan seperti meningkatkan kualitas produksinya, memodernisasi alatalat kerjanya agar lebih efisien, dan dapat menurunkan biaya produksinya, kemudian mampu mengatasi persaingan harga. Tujuan produksi kapitalis ialah memperoleh nilai lebih semaksimal mungkin, untuk mengembangkan capital dan menumpuk kekayaan. Maka individualisme
menjadi cirri utama sistem ekonomi ini. Keuntungan kapitalis
hakikatnya ialah hasil dari pemerasan dan penghisapan atas kerja kaum buruh. Bagi Marx juga keuntungan ini bukan karena modernisasi alat-alat produksi, namun melainkan dari pemerasan atas kekuatan tenaga kerja. Hubungan antar manusia pada sistem kapitalisme berdasarkan pada fungsinya. Manusia sebagai individu berorientasi mencari keuntungan. Manusia yang memiliki kapital kemudian dapat mengeksploitasi manusia yang tidak memiliki kapital. Namun, karena masih ber”cokol’nya ruang-ruang nilai di diri sang aktor, dan motivasi spiritual, menciptakan hubungan produksi yang khas. Penelitian ini menekankan bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Mola dan Mantigola. Di dalam tulisan ini proses sosial yang dipahami bahwa masyarakat Bajo sekalipun tengah “bertarung” menuju sistem ekonomi kapitalis, bukan karena itu yang mereka inginkan, namun tekanan kehidupan membuat mereka harus bertarung dengan mengandalkan kekuatan
111
internal dari dirinya. Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana orang-orang Bajo menuju ekonomi kapitalisme melalui tahap-tahap yang berbeda dengan ciri khas lokal. Secara skematis dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 2.5. Hipotesa Pengarah Untuk menjawab pertanyaan pokok mengenai bagaimana kehadiran kapitalisme
di
dalam
sistem
sosial
masyarakat
suku
Bajo.
Kemudian
perkembangannya yang terkait nilai etika moralitas dan hubungannya terhadap perkembangan rasionalitas, maka hipotesa pengarahnya adalah sebagai berikut : 1. Kemunculan dan perkembangan kapitalisme di suku Bajo didorong oleh penetrasi nilai-nilai kapitalisme melalui saluran (trajectory) tertentu, baik melalui konteks sejarah dan agama yang menggambarkan peran akulturasi dan bukan disebabkan oleh kontradiksi internal dalam sistem sosial di suku Bajo. Konteks sejarah ini pada akhirnya berperan dalam membentuk kapitalisme lokal, dan pembentukan nilai-nilai tertentu dalam kehidupan ekonomi baik di suku Bajo Mola dan Mantigola. 2. Akulturasi dengan golongan masyarakat tertentu berperan di dalam kemunculan nilai-nilai kapitalisme lokal suku Bajo. 3. Orientasi nilai budaya akan memberikan warna tertentu pada sistem kapitalisme yang terbentuk di Bajo Mola maupun di Bajo Mantigola.
112
Orientasi nilai budaya akan sangat berperan dalam pembentukan rasionalitas yang mencirikan ekonomi kapitalisme khas suku Bajo.
113